klasifikasi pada skripsi
DESCRIPTION
karya tulis ilmiahTRANSCRIPT
38
III. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah observasional analitik dengan
pendekatan cross sectionalyang bertujuan untuk mengetahui korelasi
dukungan sosial dan mekanisme koping terhadap derajat nyeri pada pasien
osteoarthritis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Rancangan ini
observasi atau pengukuran variabel dilakukan pada saat tertentu, artinya
setiap subjek hanya diobservasi satu kali saja.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah sejumlah besar subyek yang memiliki karakteristik
tertentu. Populasi target, yaitu populasi yang merupakan sasaran akhir
penerapan hasil penelitian. Sedangkan populasi terjangkau adalah
bagian dari populasi target yang dapat dijangkau oleh peneliti
(Sastroasmoro, 2011).
a. Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah penderita osteoarthritis.
b. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah penderita
osteoarthritis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap mewakili populasinya (Sastrasmoro, 2011).
Sampel penelitian adalah penderita ostearthritis di RSUD Prof. DR.
Margono Soekarjo Purwokerto.
Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Kriteria Inklusi
a. Penderita Osteoarthritis yang memenuhi kriteria diagnosis klinis
osteoarthritis
b. Mampu secara bahasa dan kognitif untuk mengisi kuesioner
39
c. Subjek bersedia untuk ikut dalam penelitian
Kriteria Eksklusi
a. Sampel sedang menderita atau memiliki riwayat trauma sendi,
operasi sendi dan penyakit sendi yang lain.
Besar sampel minimal dalam penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan rumus yaitu: (Dahlan, 2004).
n =
Zα+Zβ
0,5∈[(1+r )(1−r )
]2 + 3
Keterangan :
n : besar sampel minimal
Zα : deviat baku normal untuk kesalahan tipe I (α),
ditetapkan α = 5%, sehingga Zα = 1,96
Zβ : deviat baku normal untuk kesalahan tipe II (β),
ditetapkan β = 10%, sehingga Zβ = 1,28
r : korelasi minimal yang dianggap bermakna,
ditetapkan 0,437
Hasil perhitungan dengan mengaplikasikan rumus di atas
diperoleh besar sampel minimal yaitu :
n =
Zα+Zβ
0,5∈[(1+r )(1−r )
]2 + 3
2 = (1,64 + 1,28)2 + 3
0,5 In [(1+0,437)/ (1-0,437)]
= 42
Berdasarkan rumus perhitungan sampel tersebut didapatkan besar
sampel minimal sebanyak 42 responden. Dengan
mempertimbangkan penambahan jumlah sampel dan antisipasi
sampel non-response sebesar 10%, maka sampel yang akan
40
diambil untuk penelitian ini adalah minimal sebanyak 42 dan
maksimal47 responden. Pengambilan sampel dilakukan
menggunakan teknik consecutive sampling yaitu semua subjek
memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai
jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel terikat : Derajat Nyeri
2. Variabel bebas : Dukungan Sosial dan Mekanisme Koping
D. Definisi Operasional
1. Dukungan Sosial
Dukungan Sosial diukur dengan sebuah kuesioner untuk mengetahui
dukungan sosial yang diperoleh atau yang dirasakan dan diterima oleh
pasien Osteoarthritis dari berbagai sumber dukungan sosial yang ada. Data
dukungan sosial diperoleh dari pilihan subjek penelitian.
Kuesioner disajikan dalam bentuk pertanyaan yang bersifat
favorable dan unfavorable, dengan menggunakan empat alternatf jawaban.
Pemberian skor untuk pertanyaan yang mendukung (favorable) dilakukan
dengan cara memerikan skor 4 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS), skor 3
untuk pilihan Sesuai (S), skor 2 untuk pilihan Tidak Sesuai (TS) dan skor
1 untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS). Sebaliknya pemberian skor
untuk pernyataan yang tidak mendukung (unfavorable) dilakukan dengan
cara memberikan skor 1 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS), skor 2 untuk
pilihan Sesuai (S), skor 3 untuk pilihan Tidak Sesuai (TS) dan nilai 4
untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS). Semakin tinggi skor dukungan
sosial yang diperoleh menunjukan semakin tinggi dukungan sosial yang
diterima pasien. Sebaliknya, semakin rendah skor dukungan sosial yang
diperoleh menunjukan semakin rendah dukungan sosial yang diterima
pasien. Skala dukungan sosial adalah Interval.
2. Mekanisme Koping
a. Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk
menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping
berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap
41
perubahan tersebut. Pengukuran mekanisme koping adalah dengan
menggunakan kuesioner mekanisme koping. Pertanyaaan pada
kuesioner disusun berdasarkan bentuk penanganan koping yang
dilakukan individu yaitu dimana individu secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi
yang menimbulkan stres atau strategi penanganan stres dimana individu
memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional.
Kuesioner disajikan dalam bentuk skala 0-100, 0 apabila pasien tidak
pernah melakukan suatu kegiatan dan 100 apabila pasien selalu
melakukan suatu kegiatan. Skala yang digunakan dalam mekanisme
koping adalah Interval.
3. Derajat Nyeri
Derajat nyeri diukur dengan menggunaan skala intensitas sederhana,
yaitu Visual Analogue Scale (VAS). VAS merupakan alat ukur beratnya
nyeri yang bersifat subyektif dan sering digunakan pada penelitian nyeri
klinis. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang
lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada
rangkaian dari pada dipaksa untuk memilih satu kata atau satu angka.
Visual Analogue Scale adalah sebuah skala berupa garis lurus sepanjang
100 mm, ujung yang satu (angka 0) digambarkan sebagai titik “tidak
nyeri” dan ujung yang lain (angka 100) menggambarkan “nyeri yang
paling berat yang sedang dirasakan”. Skala pada derajat nyeri adalah
Interval.
E. Pengumpulan Data
1. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan alat penelitian berupa kuesioner
dukungan sosial, mekanisme koping dan Visual Analogue Scale
(VAS) untuk mengukur derajat nyeri. Kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini menurut cara penyampaiannya termasuk tipe
langsung, yang berarti disampaikan langsung dan diisi sendiri oleh
42
orang yang dimintai informasi tentang dirinya sendiri (Notoatmodjo,
2002).
2. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara langsung
responden mengenai karakteristik responden, daftar panduan
pertanyaan, kuesioner dukungan sosial , kuesioner mekanisme koping
dan kuesioner Visual Analogue Scale (VAS).
F. Tata Urutan Kerja
1. Tahap persiapan
a. Menentukan judul penelitian
b. Studi kepustakaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
penelitian
c. Menyusun laporan proposal
2. Tahap pelaksanaan meliputi pengumpulan bahan penelitian (rekam
medis dan kuesioner) dari seluruh sampel, dilakukan dengan :
a. Peneliti meminta suat keterangan/ijin melakukan penelitian di RSUD
Prof. Dr. margono Soekarjo Purwokerto
b. Peneliti menentukan jumlah responden
c. Peneliti menjelaskan kepada responden mengenai tujuan penelitian
dengan harapan responden dapat memberikan jawaban yang benar,
jujur dan dapat bekerja sama dengan baik.
d. Responden mengisi kuesioner penelitian yang diberikan oleh peneliti.
e. Setelah pengsisan selesai dilakukan pengumpulan data semua
responden
3. Tahap pengolahan dan analisis data untuk mengetahui hubungan dukungan
sosial dan mekanisme koping terhadap derajat nyeri pada pasien
osteoarthritis.
G. Uji Validitas dan Reliabelitas Instrumen
1. Uji Validitas
Sebelum data diolah terlebih dahulu dilakukan uji validitas,
khususnya pada instrument variabel dukungan sosial (X1), hal ini
dimaksudkan agar instrument pada kuesioner yang dipakai benar-benar
43
tepat mengukur apa yang hendak diukur. Validitas merupakan ketetapan
atau kejituan alat pengukur serta ketelitian, kesamaan atau ketepatan
pengukuran apa yang sebenarnya diukur. Menurut Sugiono (2002:270),
instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal.
Instrumen yang mempunyai validitas internal, bila kriteria yang ada dalam
instrumen secara rasional (teoritis) telah mencerminkan apa yang diukur.
Sedangkan instrumen yang mempunyai validitas external bila kriteria
dalam instrumen disusun berdasarkan luar atau fakta-fakta empiris yang
telah ada.
Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan validitas internal. Hal
ini karena peneliti ingin mengetahui valid dan tidaknya instrumen atas
dasar kevalidan soal setiap butir dengan mengembangkan teori-teori yang
ada. Oleh karena itu, dari item pertanyaan mengenai dukungan masyarakat
sebanyak 48 dilakukan pengujian validitas atas jawaban sebanyak 42
responden. Untuk mengetahui validitas item instrumen, dapat dilakukan
korelasi antara skor butir pertanyaan dengan total skor kontruk atau
variabel. Untuk N = 42 pada tabel r Product Moment dengan taraf
signifikansi 5%, diperoleh dk = n - 2 = 42 – 2 = 40 pada tabel didapat
angka sebesar 0,304 (Sugiono 2000:288). Jadi jika r hitung (pada kolom
Corrected Item-Total Correlation) lebih besar dari r tabel dan nilai r
positif, maka butir atau pertanyaan tersebut dinyatakan valid (Ghozali
2001:135). Dengan demikian, item yang dianggap valid adalah item yang
koefisien korelasinya lebih besar atau sama dengan ( ≥ ) 0.304 dari nilai
butir tersebut. Jika semua skor butir berkolerasi secara signifikan dengan
skor total maka dapat disimpulkan bahwa alat ukur itu mempunyai
validitas (Sugiono 2002:288). Dari hasil pengujian ini akan diperoleh item-
item yang valid dan item-item yang tidak valid. Item-item yang tidak valid
dibuang dari keseluruhan instrumen penelitian, dan selanjutnya hanya
item-item valid yang digunakan sebagai alat memperoleh data penelitian.
2. Hasil Uji Reliabilitas
44
Uji ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil suatu
pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Apakah responden
dapat mengungkapkan data-data yang ada pada variabel-variabel
penelitian. Uji ini juga merupakan syarat sebelum instrument ini
digunakan dalam proses pengumpulan data. Proses ini dilakukan agar data
yang dihasilkan oleh produk ini secara konsisten memberikan hasil yang
ajeg/sama meskipun digunakan berulang kali dan dalam kurun waktu yang
berbeda.
Husaini Usman (2000 : 293) menyatakan bahwa tes reliabitas untuk
skala Likert paling sering menggunakan analisis item, yaitu untuk masing-
masing skor item tertentu dikorelasikan dengan skor totalnya. Untuk r
yang kurang dari 0,80 dinyatakan gugur (tidak reliabel). Dengan demikian,
apabila hasil perolehan skor 0,80 ke atas dapat dinyatakan bahwa
instrumen telah memenuhi uji reliabelitas.
H. Uji Persyaratan Analisis Data
1. Uji Normalitas
Uji normalitas sampel dilakukan untuk menguji apakah dalam
model regresi (korelasi), yaitu variabel independen dan variabel
dependen terdistribusikan secara normal atau tidak. Uji normalitas ini
dilakukan pada variabel dukungan sosial, mekanisme koping, dan derajat
nyeri dengan mengunakan uji Grafik Histogram dan normal P-Plot.
Apabila hasil gambar grafik Histogram menunjukkan data yang telah
dibuat frekuensinya terlihat mempunyai kemiripan bentuk dengan dengan
kurfa normal (berbentuk seperti lonceng). Hal ini membuktikan bahwa
distribusi tersebut sudah dapat dikatakan normal (Santoso, 2003:141).
Sedangkan hasil uji dengan normal P-Plot ditunjukkan jika data
menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal
atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka
model regresi (korelasi) memenuhi asumsi normal (Ghozali, 2002:76).
2.Uji Homogenitas Varian
45
Uji homogenitas menggunakan uji heteroskedastisitas bertujuan
untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian
dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari
residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut
homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model
yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi
heteroskedastisitas (Ghozali, 2002:69). Dalm penelitian ini, uji
homogenitas varian dilakukan dengan menggunakan grafik Scatterplot,
apabila titik-titik menyebar secara acak serta tersebar di bawah angka 0
pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi suatu gejala
heteroskesdasitas pada model regresi (korelasi) jadi data yang ada layak
digunakan untuk analisis lebih lanjut (Ghozali, 2002:71).
3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi ini dilakukan dengan uji mapping Durbin Watson
(DW). Uji ini digunakan untuk melihat ada tidaknya autokorelasi dalam
suatu model regresi. Dengan mendasarkan pada nilai D-W tabel,
bandingkan nilai statistik. Jika signifikan atau berada pada daerah
autokorelasi positif, maka spesifkasi model persamaan utama adalah salah,
atau misspesification (Ghozali, 2002:77).
I. Analisis Data
1. Analisis Univariabel
Analisisunivariabeldigunakanuntuk menjelaskan setiap variabel
yang diukur dalam penelitian ini. Data disajikan dalam distribusi
frekuensi untuk semua variabel yang diteliti.
2. Analisis Bivariabel
Analsis data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah
analisis statistik dengan cara menghitung koefisien korelasi Pearson
dan korelasi parsial. Analisis ini digunakan untuk mencari korelasi
antara dukungan sosial dengan derajat nyeri dan mekanisme koping
dengan derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis.
3. Analisis Korelasi Ganda
46
Analisis korelasi ganda digunakan untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan variable dukungan social dan menisme koping
dengan variable derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis. Dalam hal
ini korelasi ganda dilakukan melalui teknik regresi linear.
Besarnya korelasi ini menggambarkan seberapa erat hubungan
linear antar variabel, bukan hubungan sebab akibat. Notasi dari
koefisien korelasi ini adalah r yang besarnya antara -1 hingga 1.
Apabila koefisien korelasi didapatkan nilai positif maka sifat
korelasinya positif, artinya apabila dukungan sosial meningkat maka
derajat nyeri juga meningkat atau sebaliknya dan apabila mekanisme
koping meningkat maka derajat nyeri juga meningkat atau sebaliknya.
Sedangkan apabila koefisisen korelasi didapat nilai negatif, maka sifat
korelasinya negatif, artinya apabila dukungan sosial meningkat maka
derajat nyeri menurun begitu pula sebaliknya dan apabila mekanisme
koping meningkat maka derajat nyeri menurun begitu pula sebaliknya.
Berkaitan dengan besaran angka korelasi. Angka korelasi berkisar
pada 0 (tidak ada korelasi sama sekali) dan 1 (korelasi sempurna).
Sebenarnya tidak ada ketentuan yang tepat mengenai apakah angka
korelasi tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi atau lemah.
Namun, dapat dijadikan pedoman sederhana, bahwa angka korelasi di
atas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedang di bawah 0,5
korelasi lemah (Santoso, 2003:291). Oleh karena itu untuk
menginterpretasikan nilai rs digunakan interval koefisien sebagai
berikut:
1) 0,00 – 0,29 : Tingkat hubungan sangat rendah
2) 0,30 – 0,49 : Tingkat hubungan rendah
3) 0,50 – 0,69 : Tingkat hubungan cukup kuat
4) 0,70 – 0,89 : Tingkat hubungan kuat
5) 0,90 – 1,000 : Tingkat hubungan sangat kuat.
J. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2014 pada pasien
Osteoarthritis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
47
K. Jadwal Penelitian
Kegiatan Oktober
2013
April 2014 April201
4
Mei 2014
Pembuatan
proposal penelitian
Bimbingan
proposal peneitian
Seminar proposal
penelitian
Pengumpulan data
penelitian
Analisi data
penelitian dan
seminar hasil
penelitian
48
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data Responden
a. Identitas Responden
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai data deskriptif
responden. Data deskriptif responden ini menggambarkan berbagai
kondisi responden yang ditampilkan secara statistik dan memberikan
informasi secara sederhana tentang keadaan responden yang dijadikan
obyek penelitian. Pada penelitian ini responden digambarkan
berdasarkan jenis kelamin dan usia. Adapun data deskripsi identitas
responden yang digambarkan berdasarkan jenis kelamin dan usia dan
pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Deskripsi Jenis Kelamin Responden
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase
1 Pria 15 35,71 %
2 Wanita 27 64,29 %
Total 42 100%
Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2014
Berdasarkan tabel 4.1 di atas diketahui bahwa responden dalam
penelitian ini adalah penderita osteoarthritis di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto sebagian besar adalah wanita. Jumlah
responden pria sebanyak 15 responden (35,71 %) dan wanita sebanyak
49
27 responden (64,29 %). Sedangkan berdasarkan usia responden dalam
penelitian ini diklasifikasikan sebagai berikut :
Tabel 4.2
Deskripsi Usia Responden
No. Usia (Tahun) Jumlah Persentase
1. 50 – 59 17 22,45
2. 60 - 69 15 35.71
3 70 – 80 10 23,81%
Total 42 100 %
Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2014
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dijelaskan bahwa responden
dalam penelitian ini adalah penderita osteoarthritis di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto memiliki usia minimal 50 tahun dan
maksimal 80 tahun dengan kasifikasi yang berusia antara 50 - 59 tahun
sebanyak 17 responden (40,48 %), berusia 60 – 69 tahun sebanyak 15
responden (35,71%), dan berusia 70 – 80 tahun sebanyak 10 responden
(23,81%).
2. Analisis Univariabel
Analisis univariabel digunakan untuk menjelaskan setiap variabel
yang diukur dalam penelitian ini. Data disajikan dalam distribusi
frekuensi untuk semua variabel yang diteliti.
a. Analisis Data Dukungan Sosial
Untuk mengetahui kondisi variabel dukungan sosial secara umum
dibuat lima klasifikasi, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan
sangat rendah. Penetapan skor pada kriteria jawaban responden terhadap
variabel yang diungkap didasarkan pada perkalian jumlah item dengan
skor tertinggi pada alternatif jawaban (48 x 4 = 192), hasil perkalian
tersebut dikurangi jumlah item (192 – 48 = 144), dan hasilnya dibagi
50
jumlah klasifikasi (144 : 5 = 28,8). Jadi rentangan skor dari setiap
klasifikasi adalah 28.
Dari analisis SPSS pada lampiran …. halaman … dapat dilihat
bahwa variabel dukungan sosial memiliki skor rata-rata (mean) 169,07
standar deviasi 18,826 skor minimum 130 dan skor maksimum 192. Hasil
pernyataan responden terhadap dukungan sosial secara rinci ditunjukkan
pada tabel berikut:
Tabel 4.3
Deskripsi Variabel Dukungan Sosial
No Klasifikasi Skor Frekuensi Persentasi
1 Sangat tinggi 164 – 192 24 57,14
2 Tinggi 135 – 163 15 35,71
3 Sedang 106 – 134 3 7,15
4 Rendah 77 – 105 0 0
5 Sangat rendah 48 – 76 0 0
Jumlah 42 100
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan tabel 4.3 di atas, menunjukkan bahwa tanggapan
responden terhadap dukungan sosial yang dialami atau dirasakan pada
klasifikasi/kriteria sangat tinggi sebanyak 24 responden (57,14%), tinggi
sebanyak 15 (35,71%), dan rendah sebanyak 3 responden (7,15%),
Sedangkan skor rata-rata (mean) 169 terdapat pada klasifikasi sangat
tinggi. Jadi, dapat dikatakan bahwa rata-rata responden merasakan
dukungan sosialnya sangat tinggi.
Persebaran tanggapan responden terhadap variabel dukungan sosial
lebih lanjut dapat digambarkan ke dalam histogram sebagai berikut:
51
130 140 150 160 170 180 190 200
DUKUNGAN
0
2
4
6
8
10
Fre
qu
en
cy
Mean = 169.07Std. Dev. = 18.826N = 42
Histogram
Sedangkan analisis berdasarkan jenis kelamin dan umur responden
terkait dengan dukungan sosial lebih rinci dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.4
Deskripsi Variabel Dukungan Sosial Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Rata-rata Skor Kreteria
1 Laki-laki 173 Sangat tinggi
2 Perempuan 167 Sangat tinggi
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan tabel di atas, dukungan sosial responden jenis kelamin
laki-laki memperoleh rata-rata skor 173 dan perempuan memperoleh skor
167. Dengan demikian, responden laki-laki dan perempuan memiliki
tingkat dukungan sosial yang sangat tinggi, namun rata-rata skor dukungan
sosial laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan.
Tabel 4.5
Deskripsi Variabel Dukungan Sosial Berdasarkan Umur
No Umur Rata-rata Skor Kreteria
1 50 – 59 tahun 170 Sangat tinggi
2 60 – 69 tahun 171 Sangat tinggi
3 70 – 80 tahun 165 Sangat tinggi
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan tabel di atas dukungan sosial umur 50-59 tahun
memperoleh rata-rata skor 170, umur 60-69 tahun memperoleh rata-rata
skor 171, dan umur 70-80 tahun memperoleh rata-rata skor 165. Dengan
Gambar 4.1 Histogram Frekuensi
Variabel Dukungan Sosial
52
demikian, semua usia responden (50-80 tahun) memiliki tingkat dukungan
sosial yang sangat tinggi, namun rata-rata skor dukungan sosial usia 60-69
tahun lebih tinggi dibanding usia 50-59 tahun dan usia 70-80 tahun.
b. Analisis Data Mekanisme Koping
Untuk mengetahui kondisi variabel mekanisme koping yang
dialami atau dirasakan responden secara umum dibuat lima klasifikasi,
yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Penetapan
skor pada kriteria jawaban responden terhadap variabel yang diungkap
didasarkan pada skor skala tertinggi dibagi lima (100 : 5 = 20). Jadi
rentangan skor dari setiap klasifikasi adalah 20.
Dari analisis SPSS pada lampiran …. halaman … dapat dilihat
bahwa variabel mekanisme koping memiliki skor rata-rata (mean) 74,24
standar deviasi 3,740 skor minimum 70 dan skor maksimum 85. Hasil
pernyataan responden terhadap mekanisme koping secara rinci
ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 4.6
Deskripsi Variabel Mekanisme Koping
No Klasifikasi Skor Frekuensi Persentasi
1 Sangat tinggi 81 – 100 13 30,95
2 Tinggi 61 – 80 29 69,05
3 Sedang 41 – 60 0 0
4 Rendah 21 – 40 0 0
5 Sangat rendah 0 – 20 0 0
Jumlah 42 100
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, menunjukkan bahwa tanggapan
responden terhadap mekanisme koping yang dialami atau dirasakan pada
klasifikasi/kriteria sangat tinggi sebanyak 13 responden (30,95 %) dan
tinggi sebanyak 29 (69,05 %). Sedangkan skor rata-rata (mean) 72,24
53
terdapat pada klasifikasi tinggi. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa
rata-rata responden merasakan atau mengalami tingginya mekanisme
koping. Jadi rata-rata responden dapat beradaptasi terhadap perubahan
yang terjadi.
Persebaran tanggapan responden terhadap variabel mekanisme
koping lebih lanjut dapat digambarkan ke dalam histogram sebagai
berikut:
70 72.5 75 77.5 80 82.5 85
KOPING
0
2
4
6
8
10
12
14
Fre
qu
en
cy
Mean = 78.24Std. Dev. = 3.74N = 42
Histogram
Sedangkan analisis berdasarkan jenis kelamin dan umur responden
terkait dengan mekanisme koping lebih rinci dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.7
Deskripsi Variabel Mekanisme Koping Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Rata-rata Skor Kreteria
1 Laki-laki 78 Tinggi
2 Perempuan 78 Tinggi
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan tabel di atas, mekanisme koping responden dengan
jenis kelamin laki-laki dan perempuan memperoleh rata-rata skor yang
sama, yaitu 78. Dengan demikian, dapat dikatan bahwa responden laki-laki
dan perempuan memiliki tingkat mekanisme koping yang sama tingginya.
Tabel 4.8
Deskripsi Variabel Mekanisme Koping Berdasarkan Umur
No Umur Rata-rata Skor Kreteria
Gambar 4.2 Histogram Frekuensi
Variabel Mekanisme Koping
54
1 50 – 59 tahun 79 Tinggi
2 60 – 69 tahun 77 Tinggi
3 70 – 80 tahun 79 Tinggi
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan tabel di atas mekanisme koping umur 50-59 tahun
memperoleh rata-rata skor 79, umur 60-69 tahun memperoleh rata-rata
skor 77 dan umur 70-80 tahun memperoleh rata-rata skor 79. Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa semua usia responden (50-80 tahun)
memiliki tingkat mekanisme koping yang tinggi, namun rata-rata skor
mekanisme koping antara usia 50-59 tahun dan usia 70-80 memiliki
tingkatan yang sama serta lebih tinggi dibanding usia 60-69 tahun.
c. Analisis Derajat Nyeri
Untuk mengetahui kondisi variabel derajat nyeri yang dialami atau
dirasakan responden penderita osteoarthritis secara umum dibuat tiga
klasifikasi, yaitu nyeri hebat, nyeri sedang, dan nyeri rendah. Pengukuran
tersebut berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS) pada nilai dibawah 40
dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai diantara 40-70 dinyatakan sebagai
nyeri sedang, dan diatas 70 dianggap sebagai nyeri hebat.
Dari analisis SPSS pada lampiran …. halaman … dapat dilihat
bahwa variabel derajat nyeri memiliki skor rata-rata (mean) 47,14, standar
deviasi 15,817 skor minimum 20 dan skor maksimum 80. Hasil pernyataan
responden terhadap derajat nyeri akibat menderita osteoarthritis secara
rinci ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 4.9
Deskripsi Variabel Derajat Nyeri
No Klasifikasi Skor Frekuensi Persentasi
1 Nyeri hebat 71 – 100 11 26,19
2 Nyeri sedang 40 – 70 29 69,05
3 Nyeri ringan 1 – 39 2 4,76
Jumlah 42 100
55
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan tabel 4.9 di atas, menunjukkan bahwa tanggapan
responden terhadap derajat nyeri yang dialami atau dirasakan akibat
menderita osteoarthritis pada klasifikasi/kriteria nyeri hebat sebanyak 11
responden (26,19 %), nyeri sedang sebanyak 29 responden (69,05 %), dan
nyeri ringan sebanyak 2 responden (4,76 %). Sedangkan skor rata-rata
(mean) 47,14 terdapat pada klasifikasi sedang. Jadi, secara umum dapat
dikatakan bahwa rata-rata responden penderita osteoarthritis merasakan
atau mengalami nyeri sedang.
Persebaran tanggapan responden terhadap variabel derajat nyeri
lebih lanjut dapat digambarkan ke dalam histogram sebagai berikut:
20 40 60 80
NYERI
0
2
4
6
8
10
Fre
qu
en
cy
Mean = 47.14Std. Dev. = 15.817N = 42
Histogram
Sedangkan analisis berdasarkan jenis kelamin dan umur responden
terkait dengan derajat myeri lebih rinci dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.10
Deskripsi Variabel Derajat Nyeri Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Rata-rata Skor Kreteria
1 Laki-laki 49 Nyeri sedang
2 Perempuan 46 Nyeri sedang
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Gambar 4.3 Histogram Frekuensi
Variabel Derajat Nyeri
56
Berdasarkan tabel di atas derajat nyeri responden jenis kelamin
laki-laki memperoleh rata-rata skor 49 dan perempuan 46, ke duanya
sama-sama pada derajat nyeri sedang, namun derajat nyeri laki-laki lebih
tinggi dibanding derajat nyeri perempuan.
Tabel 4.11
Deskripsi Variabel Derajat Nyeri Berdasarkan Umur
No Umur Rata-rata Skor Kreteria
1 50 – 59 tahun 46 Nyeri sedang
2 60 – 69 tahun 44 Nyeri sedang
3 70 – 80 tahun 53 Nyeri sedang
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan derajat nyeri responden yang berumur 50-59 tahun
memperoleh rata-rata skor 46, umur 60-69 tahun memperoleh rata-rata
skor 44 dan umur 70-80 tahun memperoleh rata-rata skor 53, ke tiganya
pada kondisi derajat nyeri sedang. Namun derajat nyeri usia 70-80 tahun
paling tinggi dibanding derajat nyeri usia 50-59 tahun dan usia 60-69
tahun.
3. Uji Validitas dan Reliabelitas Instrumen
a. Hasil Uji Validitas
Dari item pertanyaan mengenai dukungan masyarakat sebanyak 48
dilakukan pengujian validitas atas jawaban sebanyak 42 responden. Untuk
mengetahui validitas item instrumen, dapat dilakukan korelasi antara skor
butir pertanyaan dengan total skor kontruk atau variabel. Untuk N = 42
pada tabel r Product Moment dengan taraf signifikansi 5%, diperoleh dk =
n - 2 = 42 – 2 = 40 pada tabel didapat angka sebesar 0,304 (Sugiono
2000:288). Jadi jika r hitung (pada kolom Corrected Item-Total
Correlation) lebih besar dari r tabel dan nilai r positif, maka butir atau
pertanyaan tersebut dinyatakan valid. Dengan demikian, item yang
dianggap valid adalah item yang koefisien korelasinya lebih besar atau
sama dengan ( ≥ ) 0.304 dari nilai butir tersebut. Jika semua skor butir
berkolerasi secara signifikan dengan skor total maka dapat disimpulkan
bahwa alat ukur itu mempunyai validitas.
57
Setelah dilakukan uji validitas sesuai dengan prosedur sebagaimana
uraian tersebut di atas didapatkan hasil analisis butir masing-masing
instrumen penelitian pertanyaan tentang dukungan sosial diperoleh skor rxy
dalam rentangan nilai terendah 0,315 sampai dengan nilai tertinggi 0,822
sebagaimana terlampir pada lampiran… halaman… Berdasarkan hasil
perhitungan validitas tersebut, setelah dikonsultasikan dengan rxy table
dengan taraf signifikansi sebesar 5% dan N 42 diperoleh nilai r tabel
sebesar 0,304. Karena hasil r hitung ke 48 item pertanyaan lebih besar dari
r tabel (rxy hitung > rxy tabel), maka ke 48 butir pertanyaan tersebut
dinyatakan valid dan dapat digunakan sebagai instrumen variable
dukungan sosial dalam penelitian ini.
b. Hasil Uji Reliabilitas
Uji reliabitas untuk skala Likert paling sering digunakan adalah
analisis item, yaitu untuk masing-masing skor item tertentu dikorelasikan
dengan skor totalnya. Untuk r yang kurang dari 0,80 dinyatakan gugur
(tidak reliabel). Dengan demikian, apabila hasil perolehan skor 0,80 ke
atas dapat dinyatakan bahwa instrumen telah memenuhi uji reliabelitas.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas instrumen variabel dukungan
sosial memperoleh skor Cronbach Alpha sebesar 0,971. Jadi, dapat
dinyatakan bahwa instrumen variabel dukungan sosial reliabel (andal)
untuk dipakai dalam penelitian ini.
4. Hasil Uji Persyaratan Analisis Data
a. Uji Normalitas
Uji normalitas sampel dilakukan untuk menguji apakah dalam
model regresi (korelasi), yaitu variabel independen dan variabel
dependen terdistribusikan secara normal atau tidak. Uji normalitas ini
dilakukan pada variabel dukungan sosial, mekanisme koping, dan derajat
nyeri dengan mengunakan uji Grafik Histogram dan normal P-Plot.
Hasil Grafik Histogram sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.4
di bawah ini:
58
-2 -1 0 1 2 3
Regression Standardized Residual
0
2
4
6
8
10
Fre
qu
en
cy
Mean = 4.3E-16Std. Dev. = 0.975N = 42
Dependent Variable: NYERI
Histogram
Gambar 4.4 Histogram Uji Normalitas
Pada gambar grafik Histogram tersebut menunjukkan bahwa data
yang telah dibuat frekuensinya terlihat mempunyai kemiripan bentuk
dengan dengan kurfa normal (berbentuk seperti lonceng). Hal ini
membuktikan bahwa distribusi tersebut sudah dapat dikatakan normal
(Santoso, 2003:141).
Sedangkan hasil uji dengan normal P-Plot sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 4.5 di bawah ini:
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Observed Cum Prob
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ex
pe
cte
d C
um
Pro
b
Dependent Variable: NYERI
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Gambar 4.5 Normal P-P Plot
Gambar di atas menunjukkan bahwa semua data berdistribusi secara
normal dan tidak terjadi penyimpangan. Hal ini dibuktikan dengan
memperhatikan sebaran data yang menyebar disekitar garis diagonal pada
“Normal P-Plot of Regresion Standardized Residual”. Hasil ini sesuai
59
penjelasan Ghozali (2002:76) yang menyatakan bahwa jika data menyebar
di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik
histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi
(korelasi) memenuhi asumsi normal.
b. Uji Homogenitas Varian
Uji homogenitas menggunakan uji heteroskedastisitas bertujuan
untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian
dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari
residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut
homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model
yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi
heteroskedastisitas (Ghozali, 2002:69).
Dalm penelitian ini, uji homogenitas varian dilakukan dengan
menggunakan grafik Scatterplot sebagaimana ditunjukkan pada gambar
4.6 di bawah ini:
-2 -1 0 1 2 3
Regression Standardized Predicted Value
-2
-1
0
1
2
3
Re
gre
ss
ion
Stu
de
nti
ze
d D
ele
ted
(P
res
s)
Re
sid
ua
l
Dependent Variable: NYERI
Scatterplot
Gambar 4.6 Grafik Scatterplot
Hasil pengujian heteroskedastisitas melalui tampilan grafik
Scatterplot dengan persebaran antara nilai prediksi variabel terikat dengan
residulnya tidak membentuk suatu pola yang pasti, atau terjadi persebaran
yang tidak menggerombol membentuk suatu pola yang teratur. Hasil ini
sesuai penjelasan Ghozali (2002:71) yang menyatakan bahwa apabila titik-
titik menyebar secara acak serta tersebar di bawah angka 0 pada sumbu Y.
60
Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi suatu gejala
heteroskesdasitas pada model regresi (korelasi) jadi data yang ada layak
digunakan untuk analisis lebih lanjut.
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi ini dilakukan dengan uji mapping Durbin Watson
(DW). Uji ini digunakan untuk melihat ada tidaknya autokorelasi dalam
suatu model regresi. Dengan mendasarkan pada nilai D-W tabel,
bandingkan nilai statistik. Jika signifikan atau berada pada daerah
autokorelasi positif, maka spesifkasi model persamaan utama adalah salah,
atau misspesification (Ghozali, 2002:77). Dari regresi diperoleh angka DW
sebesar 2,09 (lihat lampiran .... halaman ...). Dengan jumlah data (n) = 42
dan jumlah variabel (k) = 3 serta = 5% diperoleh angka dL = 1,34 dan dU
= 1,66. Hasilnya seperti terangkum seperti tabel berikut.
Tabel 4.12
Hasil Pengujian Durbin Watson
Autokorel
asi
Negative
Tanpa
Kesimpula
n
Tidak
Terdapat
Autokorelasi
Tanpa
Kesimpula
n
Autokorel
asi Positif
dL dU DW 4-dU 4-dL
1,34 1,66 2,09 2,34 2,66
Sumber: Output SPSS 2014, Diolah.
Karena DW = 2,09 terletak antara 4 - dU dan 4 - dU, maka model
persamaan regresi yang diajukan tidak terdapat autokorelasi baik positif
maupun negatif.
5. Analisis Hipotesis
61
Uji hipotesis dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji 3
hipotesis, yaitu: 1) menguji hubungan dukungan sosial (X1) dengan derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis (Y), 2) menguji hubungan mekanisme
koping (X2) dengan derajat nyeri pada penderita osteoarthritis (Y), dan 3)
menguji hubungan dukungan sosial (X1) dan mekanisme koping (X2) dengan
derajat nyeri pada penderita osteoarthritis (Y) di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.
Analsis data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah analisis
statistik dengan cara menghitung koefisien korelasi Pearson dan korelasi
parsial. Analisis ini digunakan untuk mencari korelasi antara dukungan sosial
dengan derajat nyeri dan mekanisme koping dengan derajat nyeri pada
penderita Osteoarthritis.
Besarnya korelasi ini menggambarkan seberapa erat hubungan linear
antar variabel, bukan hubungan sebab akibat. Notasi dari koefisien korelasi
ini adalah r yang besarnya antara -1 hingga 1. Apabila koefisien korelasi
didapatkan nilai positif maka sifat korelasinya positif, artinya apabila
dukungan sosial meningkat maka derajat nyeri juga meningkat atau
sebaliknya dan apabila mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri juga
meningkat atau sebaliknya. Sedangkan apabila koefisisen korelasi didapat
nilai negatif, maka sifat korelasinya negatif, artinya apabila dukungan sosial
meningkat maka derajat nyeri menurun begitu pula sebaliknya dan apabila
mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri menurun begitu pula
sebaliknya.
Selain hal di atas, untuk menguji ketiga hipotesis ini digunakan juga
analisis korelasi dan analisis regresi. Analisis korelasi bertujuan untuk
mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) linear antara dua variabel. Korelasi
juga tidak menunjukkan hubungan fungsional. Dengan kata lain, analisis
korelasi tidak membedakan antara variabel dependen dengan variabel
independen. dalam analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan dua
variabel atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan variabel dependen
dengan variabel independen (Ghozali 2002:42).
62
Berkaitan dengan besaran angka korelasi. Angka korelasi berkisar
pada 0 (tidak ada korelasi sama sekali) dan 1 (korelasi sempurna).
Sebenarnya tidak ada ketentuan yang tepat mengenai apakah angka korelasi
tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi atau lemah. Namun, dapat
dijadikan pedoman sederhana, bahwa angka korelasi di atas 0,5 menunjukkan
korelasi yang cukup kuat, sedang di bawah 0,5 korelasi lemah (Santoso,
2003:291). Oleh karena itu untuk menginterpretasikan nilai rs digunakan
interval koefisien sebagai berikut:
6) 0,00 – 0,29 : Tingkat hubungan sangat rendah
7) 0,30 – 0,49 : Tingkat hubungan rendah
8) 0,50 – 0,69 : Tingkat hubungan cukup kuat
9) 0,70 – 0,89 : Tingkat hubungan kuat
10) 0,90 – 1,000 : Tingkat hubungan sangat kuat
a. Hubungan Variabel Dukungan sosial (X1) dengan Derajat Nyeri (Y)
Untuk menguji keeratan hubungan antara variabel dukungan sosial
(X1) dengan derajat nyeri (Y) digunakan korelasi koefisien korelasi
Pearson dan korelasi parsial dengan pengolahan data menggunakan
menggunakan komputer dan SPSS versi 17. Hasilnya sebagaimana
penjelasan di bawah ini.
Tabel 4.13
Hasil Uji Korelasi Person X1 dengan Y
Correlations
1 -,324*
. ,036
42 42
-,324* 1
,036 .
42 42
Pears on Corre lation
Sig. (2-tai led)
N
Pears on Corre lation
Sig. (2-tai led)
N
DUKUNGAN
NYERI
DUKUNGAN NYERI
Corre lation is s ign i fi c ant a t the 0.05 lev el (2-ta i led).*.
Tabel di atas menunjukkan dukungan sosial (X1) dengan derajat
nyeri (Y) memperoleh angka koefisien korelasi sebesar -0,324. Nilai
63
korelasi tersebut kemudian diinterpretasikan dengan tabel interpretasi nilai
r berada pada interval di bawah 0 (nol) artinya negative atau tidak ada
hubungan sama sekali. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
sama sekali antara dukungan sosial yang tinggi dengan tingginya derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dinyatakan bahwa tingginya
dukungan sosial berhubungan dengan menurunnya derajat nyeri pada
penderita osteoarthritis.
Kemudian untuk mengukur korelasi antar dua variabel dengan
mengeluarkan pengaruh dari satu atau beberapa variabel (disebut variabel
kontrol) menggunakan korelasi parsial (Santoso 2003:301), hasilnya
sebagai mana dijelaskan di bawah ini.
Tabel 4.14
Hasil Uji Korelasi Parsial X1 dengan Y
Correl at i ons
1, 000 -, 277
. , 079
0 39
-, 277 1, 000
, 079 .
39 0
Correlat ion
Signif icance (2-t ailed)
df
Correlat ion
Signif icance (2-t ailed)
df
DUKUNGAN
NYERI
Cont rol Var iablesKOPI NG
DUKUNGAN NYERI
Dari hasil perhitungan korelasi parsial di atas, angka degree of
freedom (df) = 39, yaitu dari jumlah sample (n) - jumlah kontruk (2),
maka didapat 42-3 = 39. Setelah variabel mekanisme koping dikeluarkan
(sebagi variabel kontrol) dan dilakukan korelasi antara dukungan sosial
dengan derajat nyeri, besaran korelasi berubah menjadi -0,277. Artinya
dengan adanya mekanisme koping masuk sebagai variabel kontrol, maka
besaran korelasi meningkat dari (-0,324) menjadi (-0,227) atau sebesar
0,097.
Kemudian untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara
dukungan sosial dengan derajat nyeri menggunakan hasil nilai kolom Sig
(2-tailed) dengan hipotesis:
64
Ho≠ : 1 = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial
dengan derajat nyeri.
Ha : 1 ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial
dengan derajat nyeri.
Pengambilan keputusan:
- Jika probabilitas lebih besar dari 0,05 atau ρ > 0,05 maka Ho diterima
- Jika probabilitas lebih kecil dari 0,05 atau ρ < 0,05 maka Ho ditolak
Hasil pada tabel di atas menunjukkan perolehan nilai pada
korelasi person 0,036 dan pada korelasi parsial 0,079, karena perolehan
ρ > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak, jadi dapat dinyatakan bahwa
tingginya dukungan sosial tidak signifikan berhubungan dengan
tingginya derajat nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dikatakan
tingginya dukungan sosial berhubungan secara signifikan dengan
rendahnya derajat nyeri pada penderita osteoarthritis. Jadi apabila
dukungan sosial meningkat maka derajat nyeri menurun dan sebaliknya
apabila dukungan sosial menurun maka derajat nyeri akan meningkat.
b. Hubungan Variabel Mekanisme Koping (X2) dengan Derajat Nyeri
(Y)
Untuk menguji keeratan hubungan antara variabel mekanisme
koping (X2) dengan derajat nyeri (Y) digunakan korelasi koefisien
korelasi Pearson dan korelasi parsial dengan pengolahan data
menggunakan menggunakan komputer dan SPSS versi 17. Hasilnya
sebagaimana penjelasan di bawah ini.
Tabel 4.15
Hasil Uji Korelasi Person X2 dengan Y
65
Correlations
1 -,355*
. ,021
42 42
-,355* 1
,021 .
42 42
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
KOPING
NYERI
KOPING NYERI
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).*.
Tabel di atas menunjukkan mekanisme koping (X2) dengan derajat
nyeri (Y) memperoleh angka koefisien korelasi sebesar -0,355. Nilai
korelasi tersebut kemudian diinterpretasikan dengan tabel interpretasi
nilai r berada pada interval di bawah 0 (nol) artinya negative atau tidak
ada hubungan. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan sama
sekali antara mekanisme koping yang tinggi dengan tingginya derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dinyatakan bahwa tingginya
mekanisme koping berhubungan dengan menurunnya derajat nyeri pada
penderita osteoarthritis.
Kemudian untuk mengukur korelasi antar dua variabel dengan
mengeluarkan pengaruh dari satu atau beberapa variabel (disebut variabel
kontrol) menggunakan korelasi parsial (Santoso 2003:301), hasilnya
sebagai mana dijelaskan di bawah ini.
Tabel 4.16
Hasil Uji Korelasi Parsial X2 dengan Y
Correlations
1,000 -,313
. ,046
0 39
-,313 1,000
,046 .
39 0
Correlat ion
Signif icance (2-tailed)
df
Correlat ion
Signif icance (2-tailed)
df
KOPING
NYERI
Cont rol VariablesDUKUNGAN
KOPING NYERI
Dari hasil perhitungan korelasi parsial di atas, angka degree of
freedom (df) = 39, yaitu dari jumlah sample (n) - jumlah kontruk (2),
maka didapat 42-3 = 39. Setelah variabel dukungan sosial dikeluarkan
66
(sebagi variabel kontrol) dan dilakukan korelasi antara mekanisme
koping dengan derajat nyeri, besaran korelasi berubah menjadi -0,313.
Artinya dengan adanya dukungan soaial masuk sebagai variabel kontrol,
maka besaran korelasi meningkat dari (-0,355) menjadi (-0,313) atau
sebesar 0,042.
Kemudian untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara
mekanisme koping dengan derajat nyeri menggunakan hasil nilai kolom
Sig (2-tailed) dengan hipotesis:
Ho≠ : 1 = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara mekanisme
koping dengan derajat nyeri.
Ha : 1 ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara mekanisme koping
dengan derajat nyeri.
Pengambilan keputusan:
- Jika probabilitas lebih besar dari 0,05 atau ρ > 0,05 maka Ho diterima
- Jika probabilitas lebih kecil dari 0,05 atau ρ < 0,05 maka Ho ditolak
Hasil pada tabel di atas menunjukkan perolehan nilai pada korelasi
person 0,021 dan pada korelasi parsial 0,046, karena perolehanρ > 0,05
maka Ho diterima dan Ha ditolak, jadi dapat dinyatakan bahwa tingginya
mekanisme koping tidak signifikan berhubungan dengan tingginya
derajat nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dikatakan tingginya
mekanisme koping berhubungan secara signifikan dengan menurunnya
derajat nyeri pada penderita osteoarthritis. Jadi apabila apabila
mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri menurun dan
sebaliknya apabila mekanisme koping menurun maka derajat nyeri akan
meningkat.
c. Hubungan Variabel Dukungan Sosial (X1) dan Mekanisme Koping
(X2) dengan Derajat nyeri (Y)
Hasil uji hubungan dukungan sosial (X1) dan mekanisme koping
(X2) dengan derajat nyeri (Y), uji ini dilakukan melalui regresi linear.
Model Summaryb
,-440a ,-193 ,-152 14,567 2,092
Model1
R R SquareAdjustedR Square
Std. Error ofthe Estimate
Durbin-Watson
Predictors: (Constant), KOPING, DUKUNGANa.
Dependent Variable: NYERIb.
67
Hasil koefisien korelasi (R) sebesar -0,440 sebagaimana tabel di
bawah ini kemudian diintepretasikan dengan tabel interpretasi nilai r
berada pada interval di bawah nilai 0 (nol) atau negatif. Hal ini dapat
diartikan bahwa tidak terdapat sama sekali hubungan antara tingginya
dukungan sosial dan tingginya mekanisme koping dengan tingginya
derajat nyeri atau dapat dikatakan terjadi hubungan antara tingginya
dukungan sosial dan meknisme koping dengan menurunnya derajat nyeri
pada penderita osteoarthritis.
Tabel 4.17
Hasil Uji Koefisien Korelasi X1 dan X2 dengan Y
Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara dukungan
sosial dan mekanisme koping dengan derajat menggunakan korelasi ganda.
Hipotesis:
Ho≠ : 1 = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial
dan mekanisme koping dengan derajat nyeri.
Ha : 1 ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan
mekanisme koping dengan derajat nyeri.
Pengambilan keputusan menggunakan uji F adalah:
- Jika probabilitas lebih besar dari 0,05 atau ρ >0,05 maka Ho diterima
- Jika probabilitas lebih kecil dari 0,05 atau ρ <0,05 maka Ho ditolak
Hasil uji F sebagamana tabel di bawah ini
Tabel 4.18
Hasil Uji F X1 dan X2 dengan Y
68
ANOVAb
1981, 801 2 990, 900 4, 670 , 015a
8275, 342 39 212, 188
10257, 143 41
Regression
Residual
Tot al
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predict ors: (Const ant ) , KOPI NG, DUKUNGANa.
Dependent Var iable: NYERIb.
Berdasarkan hasil perhitungan SPSS diperoleh nilai signifikansi F
sebesar 0,015 menunjukkan lebih besar dari 0,05. Dengan demikian Ho
diterima dan Ha ditolak, sehingga hipotesis yang menyatakan tidak ada
hubungan yang positif dan signifikan antara tingginya dukungan sosial dan
mekanisme koping dengan tingginya derajat nyeri dapat diterima. Hal ini
dapat diartikan semakin tinggi dukungan sosial dan mekanisme koping
akan menurunkan derajat nyeri dan sebaliknya semakin rendah dukungan
sosial dan mekanisme koping akan dapat meniingkatkan derajat nyeri.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian deskripsi identitas responden dan
derajat nyeri di atas, memberikan gambaran mengenai derajat nyeri yang
dialami atau dirasakan responden di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto akibat menderita osteoarthritis dengan klasifikasi derajat nyeri
hebat sebanyak 26,19 %, nyeri sedang sebanyak 69,05 %, dan nyeri ringan
sebanyak 4,76 %. Usia mereka pada kisaran 50-80 tahun dengan jenis
kelamin sebagian besar adalah wanita (64,29 %) dan selebihnya laki-laki
(35,71 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zeng QY et
al (2008) yang menyebutkan bahwa prevalensi nyeri rematik di Indonesia
mencapai 23,6% hingga 31,3 %, juga sejalan dengan hasil penelitian
SUSENAS (2004) dalam Depkes (2006) yang menyebutkan bahwa
prevalensi sakit persendian pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-
laki. Prevalensi sakit persendian mulai meningkat tajam pada kelompok
umur 35-44 tahun. Setelah melampaui umur tersebut prevalensi mulai
69
meningkat tajam pada kelompok umur 55-64 tahun sampai lebih dari 65
tahun.
Hasil penelitian di atas menguatkan pernyataan Felson (2008)
bahwa usia adalah faktor risiko yang paling berpotensi untuk terjadinya
osteoarthritis. Bukti radiografik menunjukan bahwa jarang terjadi
osteoarthritis pada usia kurang dari 40 tahun dan pada beberapa sendi
seperti osteoarthritis pada tangan 50% terjadi padaa usia lebih dari 70
tahun. Penuaan meningkatkan kerentanan sendi melalui beberapa
mekanisme. Sedangkan pembebanan dinamis sendi merangsang sintesis
matriks kartilago oleh kondrosit dalam tulang rawan muda, tulang rawan
yang lebih tua kurang responsif terhadap rangsangan tersebut. Orang tua
mengalami keadaan dimana terdapat kegagalan sintesis dari matriks,
kartilago semakin menipis karena usia, dan tulang rawan yang lebih tipis
tersebut mengalami tegangan geser tinggi pada lapisan basal dan beresiko
lebih besar terhadap kerusakan tulang rawan. Pelindung sendi juga lebih
sering mengalami kegagalan dengan meningkatnya usia. Otot yang
menjembatani sendi menjadi lemah dan menjadi kurang respon terhadap
laju impuls. Input saraf sensorik semakin melambat dan akan
memperlambat umpan balik mekanoreseptor ke otot dan tendon. Ligamen
semakin meregang mengakibatkan kurang mampu menyerap impuls.
Wanita pada dekade keenam akan meningkatkan risiko terkena
osteoarthritis pada semua sendi.
Nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan
psikologis), pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan atau potensial akan adanya kerusakan jaringan
kerusakan jaringan. Sedangkan penderita osteoarthritis (OA) merupakan
penyakit reumatik kronis yang menjadi penyebab utama rasa nyeri,
hilangnya fungsi dan kecacatan sehingga mengganggu aktivitas sehari-
hari. Osteoartritis dapat mengenai beberapa sendi seperti sendi di cervical,
lumbosacral, pinggul, lutut, metatarsal phalangeal, interphalangeal
proximal dan distal.
70
Sebagian besar Osteoartritis menyerang bagian pinggul dan lutut.
Osteoartritis dapat didiagnosis dari kelainan struktural yang terjadi atau
dari gejala-gejala yang ditimbulkan oleh kelainan tersebut. Osteoartritis
mempengaruhi semua struktur dalam sendi. Tidak hanya kartilago hialin
yang hilang, pertumbuhan osteofit, remodelling tulang juga terjadi, dengan
peregangan kapsul dan kelemahan otot periarticular. Beberapa pasien akan
muncul sinovitis, kelemahan pada ligamen dan lesi di sumsum tulang yang
berkembang dan mungkin menggambarkan trauma tulang.
Berbagai pengobatan dilakukan untuk mengurangi atau bahkan
menghilangkan rasa nyeri akibat menderita osteoarthritis baik secara
medis maupun non medis, diantaranya melalui dukungan social dan
mekanisme kopin. Dukungan sosial merupakan dukungan emosional yang
berasal dari teman, anggota keluarga, bahkan pemberi perawatan
kesehatan yang membantu individu ketika suatu masalah muncul.
Dukungan sosial berbeda dengan kontak sosial, yang tidak selalu
memberikan dukungan emosional.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, terkait dengan dukungan
sosial yang dirasakan oleh penderita osteoarthritis di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto pada klasifikasi sangat tinggi sebanyak
57,14%, klasifikasi tinggi sebanyak 35,71%, dan klasifikasi rendah
sebanyak 7,15% dengan rata-rata responden merasakan adanya dukungan
social yang sangat tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa dukungan social
yang dirasakan responden mengacu pada kesenangan yang dirasakan,
penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang menerima dari orang-
orang atau kelompok lain. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh
dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan,
mendapatkan saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Kondisi
ini sejalan dengan Bisconti & Bergeman. (2006) yang menyatakan bahwa
hubungan sosial yang bermakna dengan keluarga atau teman terbukti
memperbaiki hasil akhir kesehatan dan kesejahteraan pada individu
dewasa lanjut. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa unsur esensial
71
dari perbaikan hasil tersebut adalah keluarga atau teman berespons dengan
memberi dukungan ketika hal tersebut diminta.
Hasil perhitungan korelasi menunjukkan dukungan sosial dengan
derajat nyeri memperoleh angka koefisien sebesar -0,324. Nilai korelasi
tersebut di bawah 0 (nol) artinya negative atau tidak ada hubungan sama
sekali. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan sama sekali
antara dukungan sosial yang tinggi dengan tingginya derajat nyeri pada
penderita osteoarthritis atau dapat dinyatakan bahwa tingginya dukungan
sosial berhubungan dengan rendahnya derajat nyeri pada penderita
osteoarthritis. Hasil tersebut diperkuat oleh nilai ρ > 0,05 maka Ho
diterima dan Ha ditolak, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
tingginya dukungan sosial tidak signifikan berhubungan dengan tingginya
derajat nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dikatakan tingginya
dukungan sosial berhubungan secara signifikan dengan rendahnya derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis. Jadi apabila dukungan sosial
meningkat maka derajat nyeri menurun dan sebaliknya apabila dukungan
sosial menurun maka derajat nyeri akan meningkat.
Hasil tersebut memperkuat dua model peranan dukungan sosial
dalam kehidupan sebagaimana pernyataan Lubis (2006) bahwa terdapat
dua model peranan dukungan sosial dalam kehidupan yaitu model efek
langsung (direct effect) dan model efek penyangga (buffer effect). Dalam
efek langsung tetap berpendapat bahwa dukungan sosial itu bermanfaat
bagi kesehatan dan kesejahteraan tidak peduli banyaknya stress yang
dialami seseorang. Menurut efek dukungan sosial yang positif sebanding
di bawah intensitas-intensitas stres tinggi dan rendah. Sedangkan efek
penyangga, dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan melindungi
orang itu terhadap efek negatif dari stres berat. Fungsi yang bersifat
melindungi ini hanya atau terutama efektif kalau orang itu menjumpai
stres yang kuat. Efek penyangga bekerja paling sedikit dengan dua cara.
Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi mungkin akan kurang menilai
situasi penuh stres. Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi akan
mengubah respon mereka terhadap sumber stres.
72
Hasil uji signifikansi tersebut juga sejalan dengan manfaat
dukungan sosial dalam bidang klinis sangat besar karena terbukti dapat
membantu manusia dalam mencapai perkembangan yang optimal.
Sebagaimana hasil penelitian La Rocco, dkk dalam Sarafino (2006) yang
menyimpulkan bahwa dukungan sosial memiliki peranan yang sangat
besar terhadap kesehatan mental. Dukungan sosial berhubungan dengan
berkurangnya kecemasan, gangguan umum, somatisasi, dan depresi,
termasuk di dalamnya mampu menurunkan derajat nyeri pada penderita
osteoarthritis.
Solichah (2009) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan
sumber koping yang mempengaruhi situasi yang dinilai stressful dan
menyebabkan orang yang stres mampu mengubah situasi, mengubah arti
situasi atau mengubah reaksi emosinya terhadap situasi yang ada.
Friedman (2010) mendefinisikan koping sebagai respons yang positif,
sesuai dengan masalah, afektif, persepsi dan respon perilaku yang
digunakan keluarga dan subsistemnya untuk memecahkan suatu masalah
atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh masalah atau peristiwa.
Koping pasien adalah reaksi terhadap tekanan yang berfungsi
memecahkan, mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan.
Dengan demikian, koping merupakan suatu reaksi atau respons dari
individu dalam memecahkan suatu masalah yang dilaksanakan secara
sadar dan menyangkut mekanisme pengaruh psikis. Mekanisme koping
berhubungan dengan derajat nyeri pada penderita osteoarthritis.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, terkait dengan mekanisme
koping yang dilakukan responden penderita osteoarthritis di RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto menunjukkan bahwa mekanisme
koping yang dilakukan responden pada klasifikasi sangat tinggi sebanyak
30,95 % dan klasifikasi tinggi 69,05 %. Lebih rinci mekanisme koping
responden dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia pada
kisaran 50-80 tahun memperoleh rata-rata skor yang sama pada klasifikasi
tinggi. Artinya responden laki-laki dan perempuan memiliki tingkat
mekanisme koping yang sama tingginya. Jadi, secara umum dapat
73
dikatakan bahwa rata-rata responden melakukan, merasakan, atau
mengalami tingginya mekanisme koping sehingga dapat beradaptasi
terhadap perubahan kesehatan yang terjadi.
Hasil deskripsi variable mekanisme koping tersebut sejalan dengan
pernyataan Folkmann dan Lazarus dalam Resick (2001) yang
mengemukakan factor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap strategi
coping, diantaranya: 1) factor usia, dimana orang dewasa lebih sering
menggunakan PFC dalam mengurangi stresor karena individu yakin akan
dapat mengubah situasi yang stressful, 2) factor jenis kelamin, pria
cenderung menggunakan PFC karena biasanya pria menggunakan rasiao
atau logika dan terkadang kurang emosional, sedangkan wanita lebih
cenderung menggunakan EFC, 3) kesehatan fisik, sumber stres ada di
dalam setiap diri individu salah satunya adalah kesehatan fisik, kesehatan
fisik yang kurang baik akan memunculkan tingkat stres yang berbeda dan
akan berpengaruh dalam coping, 4) factor karakteristik kepribadian,
dimana karakteristik kepribadian dapat berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung dalam coping. Conthnya: individu ekstrovert
sering mengeluhkan rasa nyeri.
Hasil angka koefisien korelasi yang menunjukkan sebesar -0,355
atau di bawah 0 (nol) artinya korelasi negative atau tidak ada hubungan
sama sekali antara tingginya mekanisme koping dengan tingginya derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis. Hal ini dapat dinyatakan bahwa
tingginya mekanisme koping berhubungan dengan menurunnya derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis. Hasil ini juga diperkuat oleh perolehan
nilai korelasi person 0,021 dan pada korelasi parsial 0,046, atauρ > 0,05,
maka Ho diterima dan Ha ditolak, jadi dapat dinyatakan bahwa tingginya
mekanisme koping tidak signifikan berhubungan dengan tingginya derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dikatakan tingginya
mekanisme koping berhubungan secara signifikan dengan rendahnya
derajat nyeri pada penderita osteoarthritis. Dengan demikian, apabila
apabila mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri menurun dan
74
sebaliknya apabila mekanisme koping menurun maka derajat nyeri akan
meningkat.
Terkait hasil penelitian di atas, untuk menurun derajat nyeri bagi
penderita osteoarthritis meningkatkan mekanisme koping perlu
memperhatikan factor-faktor yang dapat mempengaruhi mekanisme
koping sebagamana disebutkan dalam Sutrisno & Hany (2008): 1)
Kesehatan fisik, dimana seorang individu membutuhkan tenaga yang
cukup besar ketika menghadapi stress, 2) Keyakinan atau pandangan
positif, seperti keyakinan akan nasib atau external of control yang
mengarahkan seorang individu pada penilaian ketidakberdayaan yang
menurunkan kemampuan strategi coping, 3) Ketrampilan memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan mencari inti masalah, menganalisa
situasi, mengidentifikasi masalah dan menyelesaikan masalah, 4)
Ketrampilan sosial, yaitu kemampuan berkomunikasi dan bertingkah laku
sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat, 5) Dukungan
sosial, meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional
yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga, saudara, teman, serta
lingkungan masyarakat, dan 6) Materi, yaitu sumber daya berupa uang,
barang atau layanan yang bisa dibeli.
Tingginya dukungan social dan mekanisme koping mrupakan
kekuatan hubungan ganda secara signifikan dapat menurunkan derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis. Hal ini dibuktikan oleh hasil koefisien
korelasi (R) sebesar -0,440 di bawah nilai 0 (nol) atau negatif. Hal ini
dapat diartikan bahwa tidak terdapat sama sekali hubungan antara
tingginya dukungan sosial dan tingginya mekanisme koping dengan
tingginya derajat nyeri atau dapat dikatakan terjadi hubungan antara
tingginya dukungan sosial dan meknisme koping denga rendahnya derajat
nyeri pada penderita osteoarthritis. Hasil korelasi tersebut diperkuat
perolehan nilai signifikansi F sebesar 0,015 menunjukkan lebih besar dari
0,05. Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga hipotesis
yang menyatakan tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara
tingginya dukungan sosial dan mekanisme koping dengan tingginya
75
derajat nyeri dapat diterima. Bila kekuatan hubungan ganda ini secara
simultan ditingkatkan akan signifikan menurunkan derajat nyeri penderita
osteoarthritis. Dengan demikian, dapat disimpulkan semakin tinggi
dukungan sosial dan mekanisme koping akan menurunkan derajat nyeri
dan sebaliknya semakin rendah dukungan sosial dan mekanisme koping
akan dapat meningkatkan derajat nyeri penderita osteoarthritis.
76
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Terdapat korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dengan
menurunnya derajat nyeri pada penderita osteoarthritis artinya apabila
dukungan sosial meningkat maka derajat nyeri pada penderita
Osteoarthritis menurun dan sebaliknya apabila dukungan sosial
menurun maka derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis akan
meningkat.
2. Terdapat korelasi yang signifikan antara mekanisme koping dengan
menurunnya derajat nyeri pada penderita osteoarthritis artinya apabila
mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri pada penderita
Osteoarthritis menurun dan sebaliknya apabila mekanisme koping
menurun maka derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis akan
meningkat.
3. Terdapat korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dan
mekanisme koping dengan menurunnya derajat nyeri pada penderita
osteoarthritis artinya apabila dukungan sosial dan mekanisme koping
meningkat maka derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis menurun
dan sebaliknya apabila dukungan sosial dan mekanisme koping
menurun maka derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis akan
meningkat.
77
B. Saran
1. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi untuk menambah
ilmu pengetahuan dan wawasan di bidang ilmu kedokteran jiwa dan ilmu
penyakit dalam, khususnya mengenai korelasi dukungan sosial dan
mekanisme koping terhadap derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis baik
secara parsial maupun secara simultan.
2. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum
tentang pengelolaan derajat nyeri yang disebabkan oleh Osteoarthritis dengan
meningkatkan kualitas hidup pasien melalui manajemen selain obat, yaitu
melalui peningkatan dukungan sosial dan mekanisme koping.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi
peneliti lain, khususnya pertimbangan mengenai pembahasan korelasi
dukungan sosial dan mekanisme koping dengan derajat nyeri pada penderita
Osteoartritis.
4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan atau kajian pustaka bagi instansi,
khususnya yang terkait dengan kesehatan sebagai bacaan untuk memperluas
ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai korelasi dukungan sosial dan
mekanisme koping dengan derajat nyeri pada penderita Osteoartritis.