konsep adil dalam izin poligami -...
TRANSCRIPT
KONSEP ADIL DALAM IZIN POLIGAMI
(Analisis Yurisprudensi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara
No. 205/Pdt. G/2008 PA.Bks)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
AHMAD NAFI’I
NIM: 107044201863
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
KONSEP ADIL DALAM IZIN POLIGAMI
(Analisis Yurisprudensi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara
No. 205/Pdt. G/2008 PA.Bks)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
AHMAD NAFI’I
NIM: 107044201863
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
NIP. 195505051982031012
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul KONSEP ADIL DALAM IZIN POLIGAMI (Analisis
Yurisprudensi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara No. 205/Pdt. G/PA.
Bks) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada
Program Studi Ahwal Syakhsiyah Administrasi Keperdataan Islam.
Jakarta, 21 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
NIP. 195003061976031001
Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA
NIP. 196906102003122001
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
Penguji I : Dr. Asmawi, M. Ag
NIP. 197210101997031003
Penguji II : Dr. Yayan Sopyam, M. Ag
NIP. 196810141996031002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang dajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya saya, atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 04 Mei 2011
Ahmad Nafi’i
NIM: 107044201863
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan sekalian alam, yang telah
memberikan rahmat, karunia dan berbagai nikmatnya, terutama nikmat iman, Islam
serta sehat wal „afiat, hanya dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Khatimul Anbiya
wa al-Mursalin, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman
jahiliah sampai zaman terang benderang seperti sekarang ini. Semoga tercurahkan
pula kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau, mudah-mudahan kita termasuk
bagian dari umatnya yang akan mendapat syafa‟at di akhirat nanti.
Proses penyelesaian skripsi ini adalah karena bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan selaku dosen
pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak memberikan
perhatian, bimbingan, kritik, saran dan banyak meluangkan waktunya dalam
membimbing dengan penuh kesabaran.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Hj. Rosdiana, MA., selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.
ii
3. Segenap bapak dan ibu dosen prodi Ahwal Syakhshiyah, khususnya pada
konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam (AKI) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis baik
langsung maupun tidak langsung.
4. Segenap jajaran karyawan akademik fakultas dan universitas berikut jajaran
karyawan perpustakaan fakultas dan universitas.
5. Umi dan Abiku, Hj. Aliyah binti H. Adih dan H. Arsyad bin H. Muhur yang
dicintai yang tak pernah jemu mendoakan dan senantiasa memberikan didikan,
kasih sayang, semangat, perhatian, dorongan serta bantuan keuangan dalam
menyelesaikan proses penulisan ini.
6. Para staf di Pengadilan Agama Bekasi yang memberikan kerjasama yang amat
memuaskan kepada penulis.
7. Kakak-kakakku, Tuti Alawiya beserta suami, H. Adang beserta isteri, Nur
Qomariyah beserta suami dan adikku Ahmad Baihaki yang selalu memberikan
motifasi dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 Program Studi Ahwal Al-
Syakhshiyyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, yang selalu
membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman terdekatku Siti Muthia, Khomaruddin, Ahmad Zamahsary,
Abdullah, Muhammad Ferdyansyah, Ahmad tohari dan lainnya yang telah
memberikan semangat, motifasi, kerjasama dan selalu membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
iii
10. Kepada insan yang amat kucintai, terima kasih atas segala pengorbanan, doa,
semangat dan segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga semua
kenangan indah yang telah kita lalui bersama akan menjadi kenangan yang indah
di dalam memori.
11. Terakhir, terima kasih banyak kepada semua pihak yang terlibat dan telah
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga selesai.
Demikian penulis menyelesaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak,
harapan penulis semoga Allah SWT membalas semua jasa kalian. Penulis berharap
semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang berkaitan maupun
pada pembaca pada umumnya.
Ciputat, 6 April 2011 M,
2 Jumadil Akhir 1432 H
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 6
D. Review Kajian Terdahulu ................................................................. 7
E. Metode Penelitian ............................................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 10
BAB II LANDASAN TEORITIS TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian, Dasar Hukum, Sejarah, Syarat-syarat dan Hikmah
Poligami ............................................................................................ 12
B. Pendapat Ulama Tentang “Ta‟ddud al-Zaujah” ............................... 24
C. Konsep Adil Dalam Poligami Menurut Perspektif Hukum Islam .... 27
D. Konsep Adil Dalam Poligami Menurut Undang-undang N0. 1
Tahun 1974 dan KHI ........................................................................ 52
E. Pandangan Feminisme Terhadap Konsepsi Adil Berpoligami ........ 58
v
BAB III IZIN POLIGAMI SEBUAH AMBIVALENSI HUKUM
A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Bekasi .................................. 63
B. Landasan Yuridis Putusan Pengadilan Agama ................................. 66
C. Penetapan Pengadilan Agama Dalam Perkara Izin Poligami ........... 68
D. Prosedur Penetapan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami ............. 69
E. Analisis Tentang Keadilan Poligami ................................................ 76
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 78
B. Saran ................................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya hukum keluarga di Indonesia mengandung asas perkawinan
monogami, tetapi peraturan tersebut tidak bersifat mutlak hanya bersifat
pengarahan kepada terbentuknya perkawinan monogami dengan jalan
mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama
sekali praktik poligami.1 Hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu
kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri lebih dari satu orang, sepanjang
persyaratan keadilan di antara isteri dapat terpenuhi dengan baik. Karena hukum
Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana cara pelaksanaannya agar poligami
dapat dilaksanakan, maka kita memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak
terjadi kesewenang-wenangan terhadap isteri, maka hukum Islam di Indonesia
perlu mengatur dengan rinci.2
Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling
sering dibicarakan, sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan
berbagai argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis, dan ketidakadilan
jender. Tapi pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki
1 Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal. 77
2 A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), cet. Ke- 4, hal. 170
2
sandaran-sandaran normatif yang tegas dan dipandang salah satu alternatif untuk
menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.3
Menurut Undang-Undang ini adalah perkawinan yang bersifat monogami,
namun demikian beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak
bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Beristeri lebih dari satu orang
dapat dibenarkan asalkan terpenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang
ditetapkan oleh Undang-Undang perkawinan lebih dari satu orang dapat
dilaksanakan apabila izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu.4
Pengadilan harus melakukan pemeriksaan sejak diterimanya surat
permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pengadilan juga harus memanggil
dan mendengarkan alasan-alasan isteri mengizinkan suaminya melakukan
poligami. Apabila alasan-alasan itu sudah terpenuhi, maka pengadilan harus
meneliti apakah apakah ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif.
Pada pasal 4 ayat 1 Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa
seseorang yang ingin beristeri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan
permohonana poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5
ayat 1 menerangkat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan
permohonana izin, yaitu:
3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), hal. 156
4 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 161
3
1. Adanya persetujuan dari isteri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.5
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 juga menyebutkan
alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut
berbunyi: “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila:
1. Isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.6
Apabila syarat-syarat secara tersebut sudah terpenuhi, maka pengadilan
barulah memberi izin kepada pemohon untuk melakukan perkawinan lebih dari
satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan
sebagaimana ketentuan tersebut, maka perkawinan tersebut berdasarkan hukum
dan pada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana terdapat dalam pasal 44
dan 45 Undang-Undang perkawinan.
Karena syarat yang tertulis pada pasal 4 ayat 2 adalah bentuk dasar
aktualisasi hukum tetap ada juga sebagai asas untuk meminimalisir terjadinya
poligami yang tidak dilaksanakan dengan alasan tetap. Maka kemudahan
5 Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 2
6 Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002, hal. 34
4
memperoleh izin poligami dalam prakteknya di Pengadilan Agama menimbulkan
persepsi inkonsistensi Pengadilan Agama dalam memberikan izin poligami
karena secara fakta memberikan mengizinkan pemohon berpoligami meskipun
tidak sesuai dengan ketentuan alasan dan syarat perundang-undangan.7
Dalam pandangan fiqih, poligami yang didalam kitab-kitab fiqih disebut
dengan ta‟addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Hal ini
menunjukan bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan poligami, namun
dengan persyaratan yang bermacam-macam. Dalam kitab al-Mabsut, yang ditulis
as-Sarakhsi tidak ditemukan tentang asas perkawinan tetapi hanya keharusan
suami yang berpoligami untuk berlaku adil kepada para isterinya.8 Dalam kitab
al-Muwatha, karya Imam Malik hanya ditulis kasus seorang pria bangsa Saqif
yang masuk Islam dan memiliki isteri sepuluh dan ternyata nabi hanya menyuruh
untuk mempertahankan empat saja.9 Dengan syarat berlaku adil, walaupun
menurut Syafi‟i keadaan tersebut hanya bisa dilakukan menyangkut urusan fisik
semisal mengunjungi isteri di malam atau siang hari, bukan keadilan secara batin
seperti kecenderungan hati kepada salah seorang isteri, yang tidak dapat
tersanggupi oleh manusia.10
7 Amiur Nuruddiin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 10
8 Syam ad-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1409-1989), v. 217
9 Imam Malik, Al- Muwatha, Tahqiq Muhammada Fu‟ad al-Baqi (tt: ttp, tth), hal. 362
10
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, cet ke-3, (Jakarta:
Kencana Media Group, 2006), hal. 158
5
Disinilah menurut penulis walaupun boleh poligami dengan segala
ketentuan dan persyaratan baik dalam agama maupun perundang-undangan,
kecenderungan suami tidak dapat berlaku adil sulit, maka perlu adanya
pertimbangan dengan seksama.
Beranjak dari latar belakang permasalahan diatas, penulis merasa tertarik
untuk mengangkat sebuah judul “Konsep Adil Dalam Izin Poligami (Analisis
Yurisprudensi Putusan Izin Poligami No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks)"
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas banyak sekali permasalahan yang muncul, untuk
menghindari pembahasan yang sangat luas itu maka penulis menguraikan
dasar-dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim
Pengadilan Agama Bekasi dalam mengabulkan permohonan izin poligami
pada putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks.
2. Perumusan Masalah
Dalam pandangan fiqih, keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan
yang bersifat materil yang dapat dikontrol suami dan menjadi
kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam,
dan pemberian nafkah hidup. Sedangkan yang berhubungan dengan hati,
maka dia tidak mungkin dapat malakukannya, karena berada di luar kontrol
suami atau di luar kesanggupannya, seperti: perasaan cinta dan kecenderungan
6
hati. Maka dalam hal ini suami tidak dituntut mewujudkannya karena berada
di luar kekuasaan manusia yang mustahil dapat dipenuhinya.
Namun dari realita yang ada di masyarakat seorang suami tidak dapat
berlaku adil kepada isteri-isterinya yang menjadi kesanggupannya, seperti
perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam, dan pemberian nafkah
hidup. Apalagi diluar kesanggupannya, seperti: perasaan cinta dan
kecenderungan hati.
Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis
merinci masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan, yaitu:
a. Hal-hal apa yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam
memberikan izin poligami pada putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks?
b. Bagaimana konsep keadilan menurut hakim dalam memberi izin poligami
dalam putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Mengetahui hal-hal yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan yang
dipergunakan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami pada
putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks
b. Mengetahui konsep keadilan menurut hakim dalam memberi izin poligami
dalam putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks
7
2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademik, menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata
serta mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang
perkawinan dan mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam
memutus perkara pemberian izin poligami.
b. Secara praktis, agar masyarakat mengetahui gambaran pengaturan
poligami dalam hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.
D. Review Kajian Terdahulu
Sudah cukup banyak studi yang dilakukan seputar hukum perkawinan
poligami baik ditinjau menurut perspektif hukum Islam maupun perundang-
undangan.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah
yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Walaupun
objek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar, misalnya
judul skripsi Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur
Tentang Permohonan Izin Poligami (No. 137/Pdt.G/2005/PA.JT) dan (No.
3303/Pdt.G/2005/PA.JT), yang disusun oleh Anita Harun Tagun 1427 H/2006 M.
skripsi ini lebih fokus kepada proses penyelesaian pemeriksaan perkara
permohonana izin poligami di PA. Jaktim dengan alasan-alasan dua putusan.
Sementara Awaludin Dalam skripsinya menuliskan tentang Urgensi
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Terhadap Perilaku Izin Poligami (Studi
8
Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Barat) tahun 1428 H/2007 M. Skripsi ini
lebih fokus kepada adanya kepada kesesuaian prosedur dan persyaratan dalam
mengajukan izin poligami di PA. Jakbar dengan UU No. 1 Tahun 1974, tanpa
melihat hukum Islam dan hukum positif lainnya di Indonesia.
Dari kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari kajian mengenai
poligami sepengetahuan penulis belum ada penelitian lain yang menjadikam
judul penelitian “Konsep Adil Dalam Izin Poligami (Analisis Yurisprudensi
Putusan Izin Poligami No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks)"
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Data
Dilihat dari segi datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
yaitu deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma-norma, atau aturan-aturan
dari kasus yang diteliti, oleh karena itu penulis berupaya mencermati
mengenai izin poligami yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama. Dilihat
dari segi tujuan dalam penelitian termasuk penelitian yang bersifat deskriptif
analisis yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data-data dan
informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.
2. Sumber Data
Secara umum data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data primer sebagai data utama dalam
penelitian ini adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
9
wawancara terhadap pihak yang terkait dengan permasalahan yang penulis
bahas. Sedangkan data sekunder adalah putusan Pengadilan Agama Bekasi
No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks dan beberapa dokumentasi hukum yang terkait
dengan permasalahan izin poligami
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam
menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah
sebagai berikut:
a. Studi Putusan Yurisprudensi
Studi putusan yurisprudensi yaitu teknik pengumpulan putusan
yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan
Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan
keputusan sosoial yang sama.11
Dalam hal ini, studi putusan yuresprudensi
yang dilakukan adalah studi putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:
205/Pdt. G/2008/PA.Bks.
b. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh landasan
teoritis berupa konsep dari beberapa literatul yang terkait dengan materi
pokok permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku
karangan ilmiah, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kompilasi
11
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1, hal.
155
10
Hukum Islam serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah
yang dibahas.
c. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan analisis yurisprudensi yang dilakukan yaitu studi
putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks sehingga
didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis
sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan proposal
skripsi ini.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan proposal skripsi ini kurang lebih penulis uraikan
sebagai berikut:
Bab I Merupakan pendahuluan yang memuat beberapa sub-bab,
diantaranya adalah: Letar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian
terdahulu, metode penulisan dan penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II Didalamnya mengurai landasan teoritis mengenai poligami yang
menyangkut tentang: pengertian poligami, dasar hukum poligami,
syarat-syarat poligami dan hikmah poligami, pendapat ulama
tentang “Ta‟ddud al-Zaujah”, konsep adil dalam poligami menurut
11
perspektif hukum Islam, konsep adil dalam poligami menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
Bab III Merupakan pemaparan tentang izin poligami sebuah ambivalensi
hukum yang di dalamnya terdiri dari: Deskripsi putusan Pengadilan
Agama Bekasi, landasan yuridis putusan Pengadilan Agama,
penetapan Pengadilan Agama dalam perkara izin poligami, prosedur
penetapan hukum Islam terhadap izin poligami, analisis penulis
tentang keadilan poligami
Bab IV Adalah bab penutup yang berisikan kesimpulan sebagai rumusan
jawaban dari perumusan masalah dan saran-saran yang terkait serta
beberapa saran yang diharapkan dapat berguna khususnya bagi
penulisan umumnya bagi masyarakat.
12
BAB II
LANDASAN TEORITIS TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian, Dasar Hukum, Syarat-syarat dan Hikmah Poligami
1. Pengertian Poligami
Kata-kata poligami terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara
etimologinya “poli” artinya “banyak” dan “gami” artinya “istri”. Jadi
poligami itu artinya beristeri banyak. Sedangkan secara terminologinya,
poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Atau seorang
laki-laki beristeri lebih dari satu orang.1
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani pecahan dari kata “poly”
yang artinya banyak, dan “gamein” yang berarti pasangan, kawin atau
perkawinan. Secara epistemologis poligami adalah “suatu perkawinan yang
banyak” atau dengan kata lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari
seorang, seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu pada waktu yang
bersamaan.2
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
pengertian poligami adalah “ikatan perkawinan yang salah satu pihak
1 Zaleha Kamaruddin, Kamus Istilah Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: Zebra
Editions Sdn Bhd, 2002), Cet. Ke-1, hal. 14
2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) Cet. Ke-7, h. 799
13
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang
bersamaan”.3
Term poligami ini sebenarnya mempunyai makna umum, yaitu
memiliki dua orang isteri atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Adapun
kebalikan dari perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan
dimana suami hanya memiliki seorang isteri.4
Dalam Islam poligami mempunyai arti memiliki isteri lebih dari satu,
dengan batasan umum yang telah ditentukan. Al-Qur‟an memberi penjelasan
empat untuk jumlah isteri meskipun ada yang mengatakan lebih dari itu.
perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran tentang
ayat yang menyatkan boleh berpoligami.5
Opini masyarakat Islam mengenai kebolehan berpoligami yaitu
anggapan jumlah perempuan yang semakin bertambah dibandingkan dengan
jumlah laki-laki yang ada, tersebutkan dalam rasio perbandingan 1:3. Dengan
alasan tersebut para ulama berpendapat bahwa tujuan ideal dalam Islam dalam
perkawinan adalah monogami. Tentang konsep poligami yang jelas-jelas
tertulis dalam ayat Al-Qur‟an itu, menurut sebagian mereka adalah hanya
karena tuntutan zaman ketika masa nabi, yang ketika itu banyak anak yatim
atau janda yang ditinggal bapak atau suaminya. Sedangkan sebagian pendapat
3 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 18
4 Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, ( Yogyakarta: Pustaka Al-kautsar, 1999), cet. Ke-1, h. 71
5 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), cet. Ke-1, h. 119
14
yang lain meyatakan bahwa kebolehan berpoligami hanyalah bersifat darurat
atau kondisi terpaksa, karena agama adalah memberikan kesejahteraan
(mashlahat) bagi pemeluknya. Sebaliknya, agama mencegah adanya darurat
atau kesusahan. Darurat dikerjakan jika hanya sangat terpaksa.6
2. Dasar Hukum Poligami
a. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam
Mengenai dasar penetapan hukum poligami sendiri terpengaruh
dengan proses sejarah poligami dan juga hal-hal yang berkaitan dengan
konsep tujuan berpoligami. Bangsa Arab dan non Arab sebelum Islam
datang sudah terbiasa berpoligami. Ketika Islam datang, Islam membatasi
jumlah isteri yang boleh dinikahi. Islam mengajarkan dan memberikan
arahan untuk berpoligami yang adil sejahtera.7
Allah SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang isteri
dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Adapun adil dalam melayani
isteri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran, dan segala
hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu
orang isteri saja.8 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. An-
Nisaa ayat 3 yang berbunyi:
6 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 117
7 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 119
8 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. Ke-1,
hal.129-130
15
43
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisa/4: 3)
Apabila seorang laki-laki merasa tidak mampu berlaku adil, atau
tidak memiliki harta untuk membiayai isteri-isterinya, dia harus menahan
diri dengan hanya menikah dengan satu orang saja.
Sayyid kutub berpandangan bahwa sering kali terjadi dalam
kehidupan hal-hal yang tidak dapat dipungkiri dan dilewatkan
keberadaannya, seperti halnya melihat masa subur laki-laki yang
berlangsung hingga umur 70 tahun atau diatasnya, sementara kesuburan
seorang perempuan terhenti ketika mencapai umur 50 tahun atau
sekitanya. Maka dari itu, terdapat jarak waktu 20 tahun masa subur laki-
laki dibandingkan masa subur perempuan.9
Imam Malik berkata dalam al-Muwatha‟ bahwa Ghailan bin Salman
memeluk Islam sedang mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah SAW
bersabda:
9 Abu Usamah Muhyidin dan Abu Hamid, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Ajaran
Islam, (Yogyakarta: Sketsa, 2006), cet. Ke-1, h. 28
16
10
Artinya: “Dari Usman bin Muhammad bin Abi Suwayd: Sesungguhnya
Rasulullah SAW berkata kepada Ghailan bin Salamah ketika
masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang isteri. Beliau
bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang diantara mereka dan
ceraikanlah yang lainnya”. (HR. Daruquthni)
Dalam hadits lain, Imam Daruquthni meriwayatkan:
11
Artinya: Dari Ar-Rabi‟ bin Qais berkata: “Sesungguhnya kakeknya Haris
bin Qais telah memeluk agama Islam dan ia memiliki delapan
orang isteri, maka Rasulullah SAW memerintahkan kepadanya
untuk memilih empat isteri saja dari mereka”. (HR. Daruquthni)
Mempunyai isteri lebih sari satu sangatlah penting bagi seorang
suami untuk berlaku seadil mungkin terhadap isteri-isterinya. Karena
tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan keluarga yang
sejahtera, suami dan isteri-isterinya serta anak-anaknya dapat hidup rukun,
damai dan berkasih sayang. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam al-
Qur‟an surat ar-Ruum ayat 21:
10
Ali bin Umar Daruquthni, Sunan Daruquthni, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jil. 2, h. 166 11
Ali bin Umar Daruquthni, Sunan Daruquthni, h. 166
17
3021
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfiki.” (QS. Ar-Ruum/30: 21)
Ayat selanjutnya yang berkaitan dengan perkawinan poligami yaitu
yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 129:
4129
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa/ 4: 129)
Kalau dilihat pada surat an-Nisa ayat 3 dan 129 yang telah
disebutkan diatas, dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan yang
dianut dalam Islam pun adalah monogami. Namun, kebolehan poligami
apabila syarat-syarat yang menjamin keadilan seorang suami kepada isteri-
isterinya, baik adil dalam segi material maupun dari segi spiritual.
18
Islam memandang poligami lebih banyak membawa
madharat/resiko dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut
fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-
watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam
kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa
menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara
suami dengan isteri-isteri dan anak-anaknya, maupun konflik antara isteri
beserta anaknya masing-masing.12
Oleh karena itu asas perkawinan dalam Islam adalah menganut
asas monogami.
b. Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia
Penetapan dasar hukum mengenai poligami selain yang tertera
dalam surat an-Nisaa ayat 3 mengenai kebolehan poligami, juga didasari
oleh aspek-aspek perundang-undangan yang ada. Dalam Pasal 3, 4 dan 5
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sangat mengakomodir semua hal yang
bersangkutan mengenai poligami berikut juga persyaratannya.
Pada dasarnya Undang-Undang perkawinan di Indonesia menganut
prinsip monogami, prinsip tersebut tercantum dalam pasal 3 ayat 1
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
12
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006), cet. Ke- 37, h. 538
19
“Pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami”.13
Walaupun dalam Undang-Undang perkawinan telah menganut prinsip
monogani tetapi dalam pelaksanaannya prinsip ini tidak berlaku mutlak,
dalam Undang-Undang perkawinan di Indonesia tetap diperbolehkan
poligami dengan persyaratan yang sangat ketat, dan hanya orang-orang
yang tertentu saja yang dapat melakukannya.14
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
aturan tentang kebolehan beristeri lebih dari seorang terdapat dalam pasal
3,4 dan 5 yang berisikan alasan serta syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 3 ayat (2) menerangkan bahwa:
“Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan”. Ayat ini jelas sekali bahwa Undang-Undang perkawinan
telah melibatkan Peradilan Agama sebagai instansi yang cukup penting
untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seseorang.15
13
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), cet,.
Ke- 37, hal. 538
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 156
15
Amiur Nuruddiin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, hal. 156
20
Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) menerangkan bahwa: “Apabila
seorang suami yang akan melakukan poligami, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Selanjutnya
dalam ayat (2) disebutkan: “Alasan-alasan pengadilan mengizinkan
seorang suami berpoligami apabila: 1. Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai seorang isteri; 2. Isteri mendapat cacat
badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3. Isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Alasan
yang ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal,
maka alternatifnya adalah poligami. Dalam pasal 5 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 memberikan sejumlah persyaratan bagi seoarang suami yang
akan beristeri lebih dari satu.16
Diantaranya adalah: a. Adanya persetujuan
dari isteri pertama; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya; dan c. adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
Namun apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai dalam
perjanjiannya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabar
dari isterinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, dan sebab-sebab lain
16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006), cet.
Ke- 1, h. 47
21
yang mendapat penilaian dari hakim pengadilan, maka suami tidak dapat
memerlukan persetujuan dari isterinya.17
Perlu kita ketahui bahwa pada Pasal 4 adalah persyaratan alternatif,
artinya salah satu harus ada untuk dapat melakukan poligami. Sedangkan
Pasal 5 adalah persyaratan kumulatif, dimana seluruh persyaratan harus
dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami.
3. Sejarah Poligami
Poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia, yaitu
sebelum agama Islam datang. Sehingga dapat dikatakan bahwa poligami
merupakan hal yang biasa terjadi atau telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat.
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-
orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Jerman,
Cekoslovakia, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya
adalah Negara-negara yang berpoligami. Dengan demikian bangsa-bangsa
timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu
tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan
tentang berpoligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang
ini juga juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut
17
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
22
Islam, seperti Afrika, Cina, India, dan Jepang.18
Maka tidaklah benar jika
poligami hanya terbatas di negeri-negeri Islam.
Sebenarnya Kristen pun tidak melarang adanya poligami, sebab di
dalam Injil tidak ada satu pun dengan tegas melarang poligami. Para pemeluk
Kristen bangsa Eropa, dahulu mempunyai adat istiadat hanya boleh kawin
dengan seorang wanita saja. hal ini disebabkan karena sebagian besar bangsa
Eropa penyembah berhala, yang kemudia didatangi oleh agama Kristen, adalah
orang-orang Yunani dan Romawi yang terlebih dahulu mempunyai kebiasaan
yang melarang poligami. Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan
dan adat istiadat nenek moyang mereka tetap dipertahankan dalam agama Naru
itu. jadi sistem monogami yang mereka jalankan bukanlah berasal dari agama
Kristen semata, tetapi merupakan warisan agama berhala (Paganisme).
Kemudian gereja mengambil alih paham yang berkembang dalam masyarakat
dan akhirnya melarang poligami dan dinyatakan sebagai aturan agama.19
4. Syarat-syarat Poligami
Mengenai syarat-syarat poligami, seperti yang dijelaskan pada Pasal 4
ayat 1 Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa seorang yang ingin
beristeri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan permohonana
18
Hasan Aedy, Poligami Syari‟ah dan Perjuangan Kaum Perempuan, (Bandung: Alfabeta,
2007), cet. Ke-1, h. 60
19
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2003), cet. Ke-1, h. 270-271
23
poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1
menerangkat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan
permohonana izin, yaitu:
a. Adanya persetujuan dari isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.20
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 juga menyebutkan
alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal
tersebut berbunyi: “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.21
Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami
meskipun dengan alasan yang sangat ketat jelaslah bahwa asas Undang-
Undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas
monogami terbuka.22
20
Undang-Undang Pokok Perkawinan, hal. 2
21
Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002, hal. 34
22
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 156
24
5. Hikmah Poligami
Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah SWT pasti terdapat hikmah
yang dapat diambil oleh manusia. Karena setiap permasalahan pasti terdapat
hikmah di dalamnya, demikian pula ketika Allah menurunkan ayat tentang
poligami. Mengenai hikmah poligami, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang
mandul;
b. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun
isteri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai isteri, atau ia mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapt disembuhkan;
c. Untuk menyelamatkan suami dari hypersex dari perbuatan zina dan krisis
akhlak lainnya;
d. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di
masyarakat yang jumlah wanitanya lebih banyak dari kaum prianya,
misalnya akibat peperangan yang sangat lama.
B. Pendapat Ulama Tentang “Ta’ddud al-Zaujah”
Dalam pandangan fiqih, poligami yang di dalam kitab-kitab fiqih disebut
dengan ta‟addud al-Zaujat yang artinya bertambahnya jumlah isteri. Dengan
demikian ta‟addud al-zaujah berarti dapat dikatakan perkawinan yang tidak
terbatas dalam waktu yang bersamaan. Sebenarnya hal tidak lagi menjadi
25
persoalan. Hal ini menunjukan bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan
poligami, namun dengan persyaratan yang bermacam-macam.
Dalam Islam ta‟ddud al-zaujah mempunyai isteri lebih dari satu, dengan
batasan umum yang telah ditentukan di dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 3 yang
menjelaskan empat untuk jumlah isteri. Namun terdapat perbedaan yang
disebabkan karena perbedaan penafsiran tentang ayat tersebut, yakni:
43
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa: 3)
Maksud dari kata dua-dua, tiga-tiga dan empat-empat. Ulama ahli bahasa
sepakat, bahwa kalimat-kalimat itu adalah kalimat hitungan, yang masing-masing
menunjukkan jumlah yang disebut itu. matsna berarti: dua, dua; tsulasa berarti:
tiga, tiga; ruba‟ berarti: empat, empat. Jadi maksud dari ayat di atas adalah
kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai sesukamu dua-dua, tiga-tiga
atau empat-empat.
Zamakhsyari berkata: omongan ini ditunjukkan kepada orang banyak,
yang diulang masing-masing orang yang hendak kawin itu berkehendak untuk
berpoligami sesuai dengan hitungan itu. Misalnya: engakau mengatakan kepada
26
orang banyak: bagikanlah uang ini 1000 dirham misalnya dua dirham, dua
dirham, tiga dirham, tiga dirham atau empat dirham, empat dirham. Jika omongan
itu disebutkan dalam bentuk tunggal (ifrad), maka tidak mempunyai arti, misalnya
engkau mengatakan: bagikanlah uang ini dua dirham. Tetapi jika engkau
mengatakan: dua dirham, dua dirham maka maknanya berarti masing-masing
mendapatkan dua dirham saja, bukan empat dirham.
Jadi, menurut ayat ini kawin lebih dari empat itu adalah haram. Dan
semua ulama ahli fiqih telah sepakat atas perkara tersebut. Sedangkan para ahli
bid‟ah (orang yang membuat model dalam agama), menyatakan bahwa kawin
Sembilan itu boleh, karena dalam ayat di atas dipergunakan “wawu” (dan) liljam‟i
untuk menggabungkannya, yakni 2+3+4=9.
Al-„allamah al-Qurtubi berkata: ketahuilah bahwa bilangan yang terdapat
pada ayat di atas (matsna, tsulatsa, ruba‟) tidak dibolehkannya kawin Sembilan,
sebagaimana pengertian orang yang jauh dari pengertian al-Qur‟an dan al-
Sunnah, dan menentang yang menjadi kesepakatan ulama-ulama terdahulu,
dengan beranggapan bahwa “wawu” disini adalah liljam‟i.
Aku (Shabuni) mengatakan bahwa: Ijma‟ ulama menetapkan haram kawin
lebih dari empat. Masa mereka yang telah berijma‟ itu telah berlalu, sebelum
datangnya orang-orang belakang yang banyak menyimpang itu. oleh karena itu
anggapan mereka ini sama sekali tidak berharga, bahkan menunjukkan
kebodohannya.23
23
Mu‟ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), cet. Ke- 1, h. 361-363
27
C. Konep Adil Dalam Poligami Menurut Perspektif Hukum Islam
1. Pengertian Adil
Banyak sekali istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki pengertian
yang kompleks dan sulit untuk merumuskan secara baku. Kata adil misalnya,
ketika dipahami lebih dari satu orang, maka mereka akan berbeda penilaian
tentang adil yang dimaksud. Adil menurut dia belum tentu adil juga bagi
masyarakat yang lain. Adil menurut orang sekarang, belum tentu adil untuk
orang yang hidup di masa mendatang.24
Adil secara bahasa adalah musytaq dari kata „adala, ya‟dilu, „adalan
fahuwa „aadilun. Al-„Adl berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau
menyamakan yang satu dengan yang lain. Istilah lain dari al-„adl adalah al-
Qisth, al-Mitsl, dan al-Mizan.
Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang
lain, maupun dari segi ukuran sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah
dan tidak berbeda satu sama lain. Dengan kata lain adil berarti berpihak atau
berpegang kepada kebenaran. Ada juga yang mengartikan adil itu dengan
“wad‟u al-Syai fi mahallihi” (meletakkan sesuatu pada tempatnya).25
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu benang merah bahwa adil
kata adil mengandung dua pengertian. Pertama, adil berarti berbuat sama
24
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
Lampiran UU No. 1 Tahun 1974, (Jakarta:Tintamas, 1975), h. 13
25
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 25-26
28
terhadap siapa pun, tidak memihak atau tidak berat sebelah.26
Adil jenis ini
disebut dengan adil komutatif. Bahwa setiap orang akan diperlakukan sama
tanpa melihat latar belakangnya.
Bentuk keadilan komutatif ini bisa relevan dalam satu konteks, tetapi
belum tentu dalam konteks yang lain. Misalnya dalam pembagian waris.
Keadilan jenis ini tidak berlaku, karena adil menurut hukum yang berlaku
adalah tidak menyamakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapatkan
dua bagian sedangkan perempuan mendapatkan satu bagian saja.
Pengertian adil yang kedua yaitu i‟tau kulli dzi haqqin haqqah (berbuat
kepada orang lain apa yang menjadi haknya). Adil jenis ini disebut juga
dengan keadilan distrebutif. Setiap seseorang akan diperlakukan sama sesuai
dengan apa yang menjadi haknya. Misalnya, seorang suami akan membedakan
perlakuan terhadap isteri baru, yang masih gadis dengan isterinya yang
pertama yang sudah tidak gadis. Maka ia akan bermukim lebih lama di rumah
isteri yang baru itu.
Abdul Karim Usman mengemukakan bahwa, keadilan disteributif
adalah keadilan hukum. Ia mengatakan: “la yatahaqqaqu al‟adlu fi al-hukmi
alla biisholi kulli dzi haqqin haqqahu (keadilan hukum tidak akan tercapai
kecuali dengan memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya)”.27
26
Abd. Karim Usman, Ma‟alim al-Tsaqaafahal-Islamiyyah, (Beirut:Muassasah al-Risalah,
1982), h. 78
27
Abd. Karim Usman, Ma‟alim al-Tsaqaafahal-Islamiyyah, h. 80
29
2. Konsep Adil Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah
a. Konsep Adil Menurut Al-Qur’an
Al-Qur‟an yang secara harfiyah berarti “bacaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu
bacaan pun sejak manusia mengenal baca tulis lima ribu tahun yang lalu
yang dapat menandingi al-Qur‟an al-Karim, bacaan yang sempurna dan
mulia itu.
Khusus mengenai pembahasan tentang keadilan, banyak teks al-
Qur‟an yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk keadilan sesuai dengan
konteks yang sedang dibicarakan. Keadilan diungkapkan oleh al-Qur‟an
antara lain dengan kata-kata al-„adl, al-Qist, al-Mizan atau menafikan
kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim dari
kezaliman.
Kata al-„adl yang berarti sama, memberi kesan adanya dua pihak
atau lebih, Karena jika ada hanya satu pihak tidak terjadi “persamaan”. Al-
Qist arti asalnya adalah “bagian”. Dan bagian biasanya dapat diperoleh
oleh satu pihak saja, karena itu kata al-Qist lebih umum dari pada kata al-
„adl, dan karena itu pula ketika al-Qur‟an menuntut seseorang untuk
berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata al-Qist itulah yang digunakan.
Sebagaimana yang disebut dalam firman Allah SWT:
30
... 4135
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.S an-Nisa:135(.
Sedangkan kata al-Mizan merupakan derivasi dari kata “wazn”
yang berarti “timbangan”. Oleh karena itu kata al-Mizan sering digunakan
sebagai kata menunjukan alat untuk menimbang. Namun dapat ula
diartikan “keadilan”, karena bahasa seringkali menyebut “alat” untuk
makna hasil penggunaan alat itu.28
Jadi pembicaraan tentang keadilan dalam al-Qur‟an tidak hanya
dalam proses penetepan hukum atau terhadap pihak berselisih, melainkan
al-Qur‟an juga menuntut keadilan terhadap dirinya sendiri, baik ketika
berucap, menulis atau bersikap batin.29
.... .... 6152
“....dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun ia adalah kerabat(mu)....”. (QS Al-An‟am: 152)
28
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan
Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet. Ke-13, h. 114
29
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan
Umat, h. 113
31
Lebih rinci lagi, Rifyal Ka‟bah menyebutkan beberapa ayat yang
berbicara tentang keadilan sebagai berikut:30
1) Keadilan yang berhubungan dengan tauhid. Seperti firman Allah SWT:
318
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang
berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak
ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS Al-Imran: 18).
Jadi, keyakinan akan keesaan Allah SWT merupakan suatu
bentuk keadilan menusia terhadapnya, karena Dialah yang menciptakan
dan memberikan kehidupan kepada manusia.
Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW berada di Madinah. Pada
saat itu ada dua orang cendikiawan dari Syam yang berkunjung ke
Madinah. Salah seorang berkata, “alangkah persisnya keadaan kota ini
dengan kota yang akan melahirkan nabi akhir zaman”. Kemudian,
ketika bertemu dengan Rasulullah SAW, mereka berdua melihatnya
adanya sifat-sifat kenabian yang melekat pada dirinya. Kedua bertanya,
“anda Muhammad?”, “Ya!” jawab nabi, “Anda Muhammad?”, Tanya
mereka lagi, “Ya!” tegasnya. Keduanya berkata lagi, “kami ingin
30
Rafyal Ka‟bah, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), h. 84-
86
32
menanyakan kepadamu tentang suatu kesaksian, yang jika kamu
memberitahu kami tentang hal itu, maka kami akan beriman, dan
membenarkan segala ucapanmu, lalu Rasulullah SAW berkata kepada
keduanya, “(kalau begitu) tanyalah (kepadaku)!”. Keduanya pun
bertanya seraya mengujinya, “sebutkanlah kepada kami kesaksian apa
yang paling agung dalam kitab Allah?”, untuk menjawabnya, lalu
turunlah ayat diatas dan akhirnya keduanya pun masuk agama Islam.31
2) Keadilan juga terkait dengan meletakkan sesuatu pada pada tempatnya,
seperti yang disebutkan pada ayat berikut ini:
.. 335
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” (QS al-
Ahzab: 5)
Ayat di atas menunjukan bahwa penempatan nama ayah di
belakang nama menunjukkan sikap yang adil. Ada pendapat bahwa
orang yang menisbatkan dirinya kepada seseorang padahal dia bukan
bapaknya, dan dia menganggapa hal tersebut sah-sah saja, maka ia
dianggap kafir, tetapi jika ia dalam hatinya menganggap hal tersebut
31
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-
Fikr, 2003), vol. 2, h. 192
33
tetap perbuatan dosa, maka ia masih tetap dianggap muslim yang kufur
nikmat.32
Adapun kebiasaan masyarakat barat yang juga diikuti oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengganti nama ayah
dibelakang nama kecil dengan nama suaminya, dapat dikatakan sebagai
perilaku yang tidak adil, karena dia menghubungkan diri kepada orang
yang bukan asal-usulnya. Bagaimana pun sebagai pria dan wanita itu
berasal dari ayahnya sendiri, bukan dari suaminya.33
3) Keadilan adalah sebagian dari ketakwaan. Siapa pun harus berlaku adil
kepada diri sendiri, orang tua atau kerabat. Seperti firman Allah SWT:
... 4135
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.S an-
Nisa:135(.
Dari bantuknya ayat yang menjelaskan tentang keadilan, menurut
Quraish Shihab secara umum ada empat konsep keadilan, dan konsep
ini juga yang dipegang oleh para ulama. Yang pertama, adil dalam arti
“sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi tersebut
adalah persamaan dalam hak. Kedua, keadilan yang ditunjukan untuk
32
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, h. 253
33
Rafyal Ka‟bah, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur‟an, h. 85
34
pengertian “seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok
yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju pada suatu
tetentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oeh setiap bagian.
Keadilan disini identik dengan kesesuaian, bukan lawan kezaliman.
Keseimbangan tidak mengharuskan kadar dan syarat bagi semua unit
agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar,
sedangkan kecil besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan
darinya.34
Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian
terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap
pemiliknya. Pengertian inilah yang mengandung pemahaman bahwa
pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan kepada
pemiliknya dapat dikatakan suatu kezaliman.
Yang ke emapat adalah adil yang dinisbatkan kepada ilahi.
Konsepsi adil ini berarti memeilihara kewajaran atas keberlanjutan
eksistensi, tidak kelanjutkan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu
terdapat banyak kemungkinan untuk itu. keadilan ilahi pada dasarnya
merupakan rahmat dan kebaikannya. Keadilannya mengandung
konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh
sejauh mahluk itu dapat meraihnya.35
34
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan
Umat, h. 114-115 35
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan
Umat, h. 116
35
b. Konsep Adil Menurut al-Sunnah
Salah satu sumber hukum terpenting dalam Islam setelah al-Qur‟an
adalah al-Sunnah. Menurut para ulama, al-Sunnah merupakan wahyu
Allah selain al-Qur‟an, yang tidak kalah pentingnya dengan al-Qur‟an.
Dikatakan wahyu, sebab al-Sunnah adalah sekumpulan praktek keagamaan
yang berasal dari seorang utusan Allah, yang membawa syari‟atnya.
Karena itu segala tindakannya merupakan suatu amaliah yang tidak lepas
dari peran dia sebagai penyambung antara Allah dan makhluknya.36
Dengan bahasa lain, al-Sunnah merupakan wahyu yang ghair al-
Matluw (tidak dibacakan), melainkan hanyalah berupa wahyu
dimanifestasikan dalam pekerjaan, perkataan dan ketetapan Rasulullah
SAW. Karena itu al-Sunnah berbeda dengan al-Qur‟an yang lafaz dan
maknanya dari Allah, sehingga al-Sunnah dapat saja disampaikan dari sisi
mananya saja, yang tidak persis sama dari redaksi yang diterima dari
sebelumnya. Sedangkan al-Qur‟an tidak demikian, al-quran harus sama
dengan redaksinya, tidak boleh ditambah atau dikurang.37
Dengan demikian posisi al-Sunnah sama pentingnya dengan al-
Qur‟an, oleh karena itu banyak hukum al-Qur‟an yang butuh penjelasan
36
Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits Wa al-Muhadditsun aw-„Inayat al-Ummah al-Islamiyyah
bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo: Syirkah Syahamah, tth), h. 11
37
Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits Wa al-Muhadditsun aw-„Inayat al-Ummah al-Islamiyyah
bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 15
36
lebih lanjut dari al-Sunnah, atau bahkan al-Sunnah menetapkan hukum
yang tidak ditetapkan dalam al-Qur‟an.38
Banyak hal yang dibicarakan dalam al-Sunnah. Segala segi
kehidupan dari mulai persoalan pribadi hingga dalam persoalan sosial
dapat ditemukan di dalamnya. Banyak ulama dari generasi ke generasi
yang mengkaji kandungannya, bahkan banyak diantara mereka yang
mengawal sekuat tenaga kehujjahan al-Sunnah sebagai hukum ke dua
setelah al-Qur‟an.
Salah satu tema yang dibicarakan dalam al-Sunnah adalah keadilan.
Berbagai riwayat yang menjelaskan tentang adil itu penting, menunjukkan
bahwa tema ini mendapat perhatian yang cukup segnifikan dari al-Sunnah.
Sebab sudah menjadi tabi‟at manusia tidak mau diperlakukan tidak adil.
Karena itu siapapun yang dapat mewujudkan keadilan baik bagi dirinya
maupun bagi orang lain, dia termasuk orang yang istimewa, baik dihadapan
Allah maupun dihadapan manusia pada umumnya.
Dalam khazanah ilmu hadis, ilmu yang mengkaji riwayat dan
kandungan hadis, dikenal istilah „adalah seorang rawi sebagai salah satu
syarat bagi sebuah hadis. Menurut pakar disiplin ilmu hadis, „adalah
merupakan derivasi dari kata „adalah, ya‟dili, „adlan wa „adalalatan.39
Itu
berarti suatau sifat yang dimiliki oleh seorang mubaligh yang berakal sehat,
38
Adil Muhammad Darwis, Nazarat fi al-Sunnah wa Ulum al-Hadits, (Kairo:Kulliyah
Da‟wah al-Islamiyyah, 1998), h. 32
39
Ibrahim Anis dkk, Mu‟jam al-Wasit, (tt: tpn, tth), h. 617
37
dia juga harus selam dari hal-hal yang menyebabkan kefasikan dari
rusaknya kehormatan diri, yang kuat ingatannya (tidak mudah lupa), dia
juga harus hafal jika ia menceritakan dari hafalannya dan ia terpecaya
tulisannya jika menceritakan dari tulisannya, yang mengetahui terhadap
apa yang merusak makna jika ia meriwayatkan dengan apa yang ditulisnya
tersebut.40
Jadi dalam perspektif ilmu hadis, ilmu yang mengkaji al-
Sunnah, orang yang adil disini adalah orang yang memiliki sifat-sifat
tersebut.
Sama halnya dengan al-Qur‟an didalam al-Sunnah juga terdapat tiga
kata yang biasa digunakan untuk menunjukkan makna keadilan. Ketiga
kata itu adalah al-„adl, al-Qist dan al-Mizan. Masing–masing kata
ditunjukkan kepada pengertian adil sesuai dengan konteks yang sedang
dibicarakan. Khusus kata al-‟adl, banyak riwayat yang berkaitan dengan
kata al-„adl yang ditujukan kepada makna keadilan. Diantaranya adalah:
41
40
Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Syuyuthi, Tadrib al-Rawi fa Syarh Taqrib an-
Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), h. 163
41
Muhammad bin Ismail al-Bukahri, al-Jami‟ al-Sahih al-Mukhtasar, (Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 1987), juz. 2, h. 144
38
Artinya: Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “tujuh orang
yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat,
yaitu imam yang adil, pemuda yang tumbuh berkembang dalam
ibadah kepada Tuhannya, orang yang hatinya selalu terpaut
dengan masjid, dan dua orang yang saling mencintai karena
Allah, keduanya berkumpul ddan berpisah karenanya, dan
seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang
mempunyai kedudukan dan cantik menawan, dan ia berkata
kepada wanita itu: “Saya takut kepada Azab Allah”, dan seorang
yang bersedakah secara sembunyi, sampai-sampai tangan kirinya
sendiri tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan
kanannya, dan seorang laki-laki yang berlinang air mata dalam
kesendiriannya”. (HR. Al-Bukhaari).
Imam Ibnu Hajar berpendapat bahwa kata al-„adil pada redaksi
hadis di atas merupakan isim fail (pelaku) dari kata al-„adl. Dalam satu
riwayat juga ada yang menggunakan istilah al-Imam al-„adl sebagai kata
pengganti dari dari kata al-Imam al-„adil, yang oleh Imam Ibnu Abdil Barr
dianggap lebih kuat maknanya, karena orang yang berlaku adil disebut
dengan menggunakan kata bendanya, yakni al-„adl.42
Adapun yang dimaksud dengan Imam ialah orang yang memiliki
jabatan yang besar. Masuk dalam pengertian ini juga setiap orang yang
berkuasa atas berbagai urusan kaum muslimin. Sedangkan pengertian dari
adil itu sendiri ialah orang yang mengikuti perintah Allah SWT dengan
meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan tanpa melampaui batas, tidak
lebih dan tidak kurang.43
42
Ibu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari: Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
1374 H), juz. 2, h. 144
43
Ibu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari: Syarh Sahih al-Bukhari
39
Masih tentang keadilan yang menggunakan kata al-„adl adalah hadis
berikut:
44
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “tiga orang yang
tidak akan ditolak doanya, yaitu orang yang berpuasa sehingga ia
berbuka, imam yang adil, dan doanya orang yang dizalimi. Allah
mengangkat doa tersebut ke atas awan dan dibukakan baginya
pintu langit, lalu Tuhan berkata: “sesunggugnya aku yang akan
menololngmu”. (HR. Ibnu Majah).
Selain kata al-„adl untuk menunjukkan makna keadilan, hadis juga
sering menggunakan kata al-Qist, seperti hadis berikut:
45
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang
berlaku adil mendapat tempat yang mulia di sisi Allah, kedua
tangannya disamping orang-orang yang berlau adil dalam
menghukumi, dan terhadap keluarga mereka, dan terhadap apa
yang mereka kuasai”. (HR. Muslim).
Imam Nawawi mengatakan, baahwa yang dimaksdu al-Muqsitun
adalah al-„adilun (orang-orang yang adil). Kata al-Qist yang dibaca kasrah
qafnya berarti al-„adl. Adapun al-Qasthu dengan dibaca fathah huruf
qafnya berarti menyimpang, seperti yang diungkapkan dalam surat al-Jin
44
Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), vol. 1,
h. 547
45
Muslim bin Hijjaj, Sahih Muslim, (Beirut: Dar ihya al-Taurats, tth), vol. 2, h. 1458
40
ayat 15: “wa ammal qosithuna fakanu lijahannama hathoba (adapun orang
yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi
neraka jahannam)”.46
47
Artinya: Dari Ibn al-Musayyab, dia mendengar Abu Hurairah berkata,
Rasulullah SAW bersabda: “Demi zat yang juwaku berada dalam
genggamannya, hampir saja aku turun diantara kalian Ibnu
Maryam (Nabi Isa AS) sebagaimana orang memutuskan perkara
(hakim) yang berlaku adil , mematahkan salib, membunuh babi,
dan meninggalnya jizyah, dan harta berlimpah ruah, hingga tidak
ada seorangpun yang menerimanya”. (HR. Muslim).
Di samping kedua kata di atas, yakni kata al-„adl dan al-Qist, kata
al-Mizan juga bisa digunakan untuk pengertian keadilan. Al-Mizan secara
bahasa berarti timbangan atau neraca. Al-Mizan juga dapat diberi makna al-
„adl (keadilan) oleh karena dengan timbangan yang benar itulah salah satu
pihak tidak merasa terzalimi, sehingga keduanya merasakan keadilan.
48
46
Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Taurats al-„araby, 1392 H), vol. 12, h.
211
47
Muslim bin Hijjaj, Sahih Muslim, h. 85
48
Muslim bin Hijjaj, Sahih Muslim, vol. 1, h. 161
41
Artinya: Dari Abu Musa RA, beliau berkata: “Rasulullah SAW berdiri di
tengah-tengah kita dengan memberikan lima kalimat, beliau
bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak patut
baginya tidur, Dia menurunkan dan menaikkan timbangan,
diangkat kepadanya amal yang dilakukan di malam hari sebelum
datanya amal di siang hari, dan juga sebaliknya”. (HR. Muslim)
Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Qist
pada redaksi hdis adalah al-Mizan, karena al-Qist itu berarti al-„adl, dan
dengan al-Mizan (neraca atau timbangan) itulah terwujudnya keadilan.49
Dalam sebuah hadis dikatakan:
50
Artinya: Dari Abu Darda RA, dari Nabi SAW bersabda: “Tidak ada
sesuatu pun yang lebih berat timbangannya dari pada ahklak
yang baik”. (HR. Abu Daud).
3. Adil Berpoligami Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah
a. Adil Berpoligami Menurut Al-Qur’an
Berbicara poligami tidak akan lepas dari pembahasan mengenai
surat an-Nisa ayat 3. Ayat tersebut disamping dalil naqli dari al-Sunnah
oleh mayoritas umat dijadikan sebagai landasan teologis bagi
dibolehkannya praktek poligami, sehingga perilaku tersebut diyakini illegal
dan diakui oleh agama. Ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
49
Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, vol. 3, h. 13
50
Abu Daud Sulaiman bin Asy‟ats, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), vol. 3, h.
443
42
43
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saj, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa: 3)
Ayat di atas tidak saja berbicara mengenai kebolehan menikahi
wanita lebih dari satu, tetapi juga berbicara mengenai kewajiban wali agar
tidak berbuat aniaya terhadap anak yatim yang berada dalam asuhannya.51
Karena berdasarkan kronologisnya, ayat ini masih terkait dengan ayat
sebelumnya, yakni an-Nisa ayat 2, dimana ayat tersebut memerintahkan
kepada wali untuk tidak memakan harta anak yatim dan memberikan harta
tersebut kepadanya jika anak tersebut sudah baligh.
Disamping itu juga para wali gemar menukar barang-barang anak
yatim yang baik dengan yang buruk atau mereka memakan harta anak
yatim yang tercampur di dalam harta mereka. Bahkan lebih dari itu, mereka
bahkan menikahi anak yatim yang berada dalam perlindungannya dengan
tujuan ingin menguasai harta dan memenuhi hawa nafsu seksualnya, karena
51
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), vol. 2, h. 179
43
itulah kemudian turun surat an-Nisa ayat 3. Ayat tersebut mencegah para
wali berbuat zalim terhadap anak yatim. diungkapkan dalam satu riwayat
dari Imam Bukhari, Muslim, Nasa‟i, al-Baihaqi dan lainnya, bahwasanya
ketika Urwah Bin Zubair pernah bertanya kepada bibinya, Aisyah Ra.
Tentang sebab turunnya ayat “wa inkhiftum alla tuqsitu……..(an-Nisa: 4)”.
Lalu Aisyah menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim
yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian walinya itu ingin
mengawininya, tetapi tanpa mahar yang pantas baginya, ahirnya mereka
dilarang untuk menikahi yatim tersebut, tetapi dipersilahkan menikahi
wanita lain yang mereka sukai dua, tiga atau empat.52
Dalam riwayat lain, juga dari Aisyah Ra, beliau menjelaskan bahwa
ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai
banyak isteri, lalu ketika hartanya habis dan dia tidak sanggup lagi
menafkahi isteri-isterinya, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang
berada dalan perwalian dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk
membiayai kebutuhan isteri-isterinya.
Ada beberapa persoalan yang terangkum dalam ayat ke tiga surat
an-Nisa tersebut. Diantaranya adalah persoalan terhadap penafsiran
terhadap pengertian atau konsep adil berpoligami yang terkandung di
dalamnya. Ayat tersebut berbunyi: “fain khiftum alla ta‟dilu fawahidah aw
52
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi, Al-Jami‟ Li ahkam al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Fikr,
1987), vol. 5, h. 11
44
ma malakat aymanukum” yang artinya “bahwa jika sang suami tersebut
takut tidak mampu berlaku adil kepada isteri-isterinya, maka wajib baginya
menikahi seorang isteri saja, atau menikahi budak-budak yang ada dalam
kekuasannya. Menurut al-Maraghi, pengertian khauf (takut) pada ayat
tersebut adalah adanya dugaan kuat (zan) atau keraguan (syak) dalam diri
suami bahwa dia tidak mampu berlaku adil. Karena itu yang diperbolehkan
menikahi wanita lebih dari satu ialah suami yang yakin mampu berlaku
adil, yang tidak ada keraguan sama sekali.53
Sedangkan hal-hal dimana suami wajib berlaku adil, sebagaimana
dikatakan Imam al-Qurtubi seraya mengutip pendapat ad-Dahhak adalah
dalam hal al-Mail (kecondongan perlakuan), mahabbah (cinta), al-Jima‟
(persetubuhan), al-„isyrah (pergaulan) dan al-Qasmu (giliran bermalam).54
Menurut penafsiran tersebut bahwa suami yang tidak dapat memenuhi
keadilan, terutama dalam membangun husnul mu‟asyarah (hubungan
pergaulan yang harmonis) dalam hal-hal tersebut, terlarang untuk
berpoligami.
Akan tetapi jika dilihat secara sekilas, masih belum ada kejelasan
tentang adil yang dimaksud dalam penggalan ayat tersebut. Apakah
keadilan tersebut hanya menyangkut aspek materi atau lahir semata? Tidak
mencakup immateri atau batin? Ataukah kedua-daunya?. Jika ditinjau
53
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 180
54
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi, Al-Jami‟ Li ahkam al-Qur‟an, h. 20
45
sambungan ayat tersebut, yakni “dzalika adna alla ta‟ulu” maka akan
Nampak jelas pengertian adil yang dimaksud. Setidknya penggalan ayat
itu menyebutkan sesuatu yang menjadi penyebab dilarangnya berpoligami
karena dianggap tidak berlaku adil, baik lahir maupun batin.
Ada dua pendapat dalam penafsiran pada penggalan ayat tersebut di
atas. Menurut pendapat pertama, yakni dari Zaid bin Aslam, Sufyan bin
Uyaynah dan Imam Syafi‟i, bahwa yang dimaksud dengan “dzalika adna
alla ta‟ulu” (yang demikian itu lebih mendekati kepada tidak membuat
aniaya) adalah “dzalika adna alla taksuru iyalukum”, artinya, pilihan
monogami, hanya menikahi isteri satu saja.
Dalam hal ini pendapat pertama lebih menekankan kepada keadilan
terhadap materi. Tampaknya ada beberapa ilmuan yang lebih condong
terhadap pendapat pertama ini, diantaranya adalah Arij Abdurrahman al-
Sannan. Ia mengatakan bahwa adil berpoligami adalah menyamakan isteri
dalam hal bermalam (menggilir) dan semua jenis nafkah lahir baik makan,
minum, pakaian maupun tempat tinggal.55
Sedangakan pendapat kedua lebih menitikberatkan pada tidak
berbuat zalim, dan tidak ada cara yang layak bagi sikap “tidak berlaku
zalim” kepada isteri-isteri kecuali dengan berbuat adil terhadap mereka
bukan hanya berbuat persoalan nafkah lahir semata, melainkan juga nafkah
55
Arij Abdurrahman al-Sannan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: Global
Media Cipta, 2002), h. 43
46
batin. Karenanya meraka menafsirkan penggalan ayat diatas dengan
,yang berarti jangan berat sebelah atau condong sebelah اَلَتِمْيُلْوا dan اَلَتُجْوُرْوا
yang membuat kalian berbuat zalim. Sehingga kalua dari sini, akan sulit
sekali bagi seorang suami untuk dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya.
Penafsiran ini juga diperkuat denagn firman Allah:
...... 4129
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian....". (QS. An-
Nisa: 129).
Ayat di atas menurut penafsiran Sayyid Qutb adalah bahwa
keadilan yang dituntut dalam ayat ini menyatakan terlarangnya poligami ini
dikhawatirkan keadilan itu tidak dapat terealisasi, yaitu keadilan dalam
bidang muamalah, pemberian nafkah, pergaulan dan seluruh bentuk urusan
lahiriah, yang tidak dapat seoarang isteri pun dikurangi haknya dalam
urusan ini dan tidak seorang pun dari merekan yang lebih diutamakan dari
pada yang lain.56
Dari uraian di atas seolah ada dua kontradiksi. Di satu sisi al-Qur‟an
membolehkan poligami, yakni sesuai dengan surat an-Nisa ayat tiga
dengan catatan dapat berlaku adil, akan tetapi di sisi lain al-Qur‟an juga
manafikan suami dapat berlaku adil sesuai dengan ayat 129 surat an-Nisa.
56
Arij Abdul Rahman as-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: PT Global
Media Cipta Publishing, 2003), h. 114
47
Untuk mengurai kontradiksi antar kedua ayat tersebut, menurut Arij
Abdurrahman al-Sinnan surat an-Nisa ayat 129 itu berbicara dalam konteks
keadilan yang berada di luar kemampuan atau kesanggupan suami, yaitu
soal kecenderungan hati. Sedangkan surat an-Nisa ayat 3 berbicara dalam
konteks keadilan yang wajib diwujudkan oleh suami, karena berada dalam
kesanggupan suami, yakni salah satunya adalah al-Qasmu (menggilir) dan
nafkah lahir.57
Menurut penulis, pandangan Arij tersebut terlalu menafikan
keadilan dalam konteks nafkah batin. Padahal nafkah batin tidak kalah
pentinnya dengan nafkah lahir.
Oleh karena itu agama juga memerintahkan kepada suami untuk
menggauli isterinya dengan baik (al-mu‟asyarah bil al-ma‟ruf). Isteri yang
tidak diperlakukan dengan baik nafkah batinnya akan merasa tertekan dan
tidak merasakan kebahagiaan, yang justru menjadi tujuan utama dalam
sebuah pernikahan.58
Sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
3021
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
57
Arij Abdurrahman al-Sannan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, h. 51
58
Siti Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Diterbitkan atas Kerjasama LKAJ
Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999), h. 14-15
48
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Ruum: 21).
Dengan demikian, keadilan batin juga harus dipenuhi semaksimal
mungkin oleh sang suami meskipun dia tidak dapat berlaku adil seratus
persen. Hal itu sejalan dengan prinsip dasar bahwa suami tidak boleh
berbuat zalim kepada isteri-isterinya sebagaimana yang terkandung dalam
keumuman pengertian dalam surat an-Nisa ayat 3 tersebut. Adapun
penafian berlaku adil oleh surat an-Nisa ayat 129 bukan berarti mentolerir
suami yang tidak berlaku adil dalam hal batin. Seperti yang dikemukakan
oleh Imam al-Maraghi,
“Berlaku adil terhadap suami isteri hampir tidak mungkin dapat
dilakukan, karena itu seorang suami dapat dilakukan, karena itu
seorang suami harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk
mewujudkan keadilan tersebut, agar tidak ada seorang isteripun yang
merasa terzalimi. Dan akhhirnya Allah memberikan keringanan untuk
berlaku adil terhadap hal-hal yang dia senggupi dengan catatan
mengerahkan segenap kemampuannya, karena terkadang perihal
kecondongan hati tumbuh begitu saja, dan hal ini di luar kemampuan
manusia, karena itu Allah memaafkan hal itu, dan menjelaskan bahwa
adil yang sempurna (100%) tidak akan mampu dilakukan, karena itu
sang suami tidak terbebani untuk melakukannya”.59
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa tidak berbuat zalim adalah
sebagai perwujudan keadilan terhadap isteri-isteri yang dipoligami menjadi
kewajiban bagi suami sesuai dengan kemampuannya. Adil dalam materi
haruslah sesuai dengan hak-hak seorang isteri, sedangkan kecondongan
masalah hati yang terkandung di luar batas kesangggupan seorang suami
59
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 173
49
dalm batas-batas tertentu dapat ditolerir. Sebagaimana yang dikatakan
dalam surat an-Nisa ayat 129, “fala tamilu kull al-mail” yang artinya
“maka janganlah kalian terlalu condong kepada isteri yang lebih kalian
cintai dan mengabaikan isteri-isteri yang lain”. “fatadzarahu ka al-
mullaqah”, yang artinya “sehingga kalian menjadikan merekan tergantung,
seolah-olah mereka bukan wanita yang dinikahi dan juga tidak ditalak”.
b. Adil Berpoligami Menurut Al-Sunnah
Di dalam al-Sunnah banyak dijelaskan mengenai tata cara
pergaulan Rasulullah SAW dengan isteri-isterinya, baik dalam hal yang
bersifat umum, yakni perlakuan dalam konteks tata cara perkawinan dan
pergaulannya, maupun secara khusus yang menyangkut masalah
mekanisme atau cara perlakuan dalam konteks berpoligami. Oleh karena
itu dalm kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW mempraktekkan dua
bentuk tersebut, perkawinan pada umumnya dan juga poligami.
Di satu sisi praktek perkawinan Rasulullah SAW yang bersifat
umum, dan bentuk ini banyak menyangkut hal-hal yang selain praktik
beliau dalam berpoligami, contohnya dalam masalah mahar, rukun nikah,
fasakh, khitbah, cara memilih jodoh, perwalian, radha‟ah, adab jima‟,
hadhanah, dan lain sebagainya. Namun disisi lain terdapat praktik
perkawinan Rasulullah SAW yang khusus berkaitan dengan tata cara
pergaulan dalam berpoligami. Riwayat yang berkaitan dengan hal tersebut
50
jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan praktik perkawinan yang bersifat
umum yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Imam an-Nasai dalam Sunannya sedikit membahas mengenai
persoalan tata cara Rasulullah SAW bergaul dengan isteri-isterinya dalam
konteks berpoligami. Pernah ketika isteri Rasul menuntut keadilan terhadap
Aisyah. Para isteri Rasul tersebut menganggapnya lebih condong kepada
Aisyah, lalu beliau bersabda:
Artinya: Dari Aisyah Ra, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai Ummu Salamah jangan engaku sakiti aku karena Aisyah,
karena sesunggunya demi Allah tidak pernah ada wahyu yang
turun kepada aku ketika aku besama wanita kecuali (ketika aku
bersama) dia”. (HR an-Nasai).
Dari keterangan hadis di atas, nampaknya Ummul Mukminin
Aisyah Ra mendapat perlakuan yang lebih istimewa dari Rasulullah SAW
disbanding dengan Ummul Mukminin yang lain. Menurut al-Suyuthi,
perlakuan Rasulullah SAW yang demikian itu lebih dilatarbelakangi
adanya kedudukan Aisyah Ra yang sangat mulia di sisi Allah, oleh karena
itu wahyu turun ketika beliau sedang bersamanya, dan hal yang seperti itu
tidak pernah terjadi kepada Ummul Mukminin lainnya.60
60
Al-Suyuthi, Sunan al-Nasai bi Syarh al-Suyuthi wa Hasyiyah al- Sanay, (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), vol. 4, h. 71
51
Sungguhpun demikian Rasulullah SAW tetap berusaha
semampunya untuk tidak berbuat zalim terhadap isteri-isterinya, agar tidak
ada diantara mereka yang merasa begitu tersakiti. Pada waktu kesempatan
beliau pernah berdoa ketika usai menggilir isteri-isterinya:
Artinya: “Ya Allah ini adalah usaha yang sanggup saya lakukan, maka
janganlah engkau hinakan aku atas apa yang Engkau perintahkan
sedangkan aku tidak sanggup melakukannya”. (HR. An-Nasai).
Karena itu menjadi keharusan bagi suami untuk berlaku adil dalam
hak-hak isteri yang bersifat lahiriyyah dan juga perlakuan hati sebatas
kemampuannya. Kecondongan hati yang tidak nerlebih-lebihan masih
ditolerir, tetapi tidak ditolerir jika kecondongan hati tiu berlebih-lebihan
sehingga keadaan isteri-isteri yang lain terabaikan. Karena itu Rasulullah
memperingatkan perlakuan tersebut dengan sabdanya:
Artinya: Dari Abu Hurairah Ra. Dari Rasulullah SAW bersabda: “siapa
saja yang mempunyai dua orang isteri kemudian ia lebih condong
dari pada salah satu dari yang lainnya, maka ia akan datang
pada hari kiamat kelak dengan salah satu pundaknya yang
miring”. (HR. An-Nasai).
Wahbah Zuhaili menjelaskan, bahwa perlakuan adil terhadap isteri-
isteri itu ada dua bentuk, perlakuan yang bersifat fisik, dan non fisik. Allah
52
hanya mewajibkan belaku adil dalam hal perlakuan fisik, tidak pada yang
non fisik, seperti cinta, kecondongan gairah, dan lain sebagainya. Tetapi
tetap saja suami tidak boleh condong kepada salah satu isteri sehingga
isteri-isteri yang lain merasa terzalimi.
D. Konsep Adil Berpoligami Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan
KHI
1. Poligami Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Salah satu payung hukum bagi praktik perkawinan di Indonesia adala
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang ini
adalah suatu hasil usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum
yang memiliki kekuatan absolut yang berlaku bagi setiap warga Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Yang merupakan hasil dari sebuah unifikasi
yang unik yang mengakomodir berbagai varian keagamaan yang berkeTuhan
Yang Maha Esa.61
Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam, KHI lebih merupakan upaya
kodifikasi dan unifikasi hukum fiqih dari berbagai mazhab yang menjadi
acuan semua hakim Peradilan Agama dalam memutuskan perkara. Hal itu
dilakukan karena adanya problem teknis yustisial Peradilan Agama, yakni
kelangkaan hukum materiil Islam secara positif yang dapat dijadikan rujukan
61
Hazairin, Tinjauan Mengenai Indang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta:
Tintamas, 1975), h. 5
53
bagi para hakim.62
Menurut Marzuki Wahid, kebanyakan materi KHI ini
banyak ditemukan pula dalam UU No. 1 Tahun 1974, UU N0. 22 Tahun 1946
tentang pencatatan perkawinan jo UU No. 32 Tahun 1954 dan PP No. 9 Tahun
1975 tentang perkawinan.63
Salah satu tema hukum yang dibahas dalam kedua peraturan di atas,
yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI adalah masalah poligami
atau suami yang mempunyai isteri lebih dari satu. Dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974, tema hukum tersebut masuk dalam pembahasan BAB 1
mengenai dasar perkawinan, tepatnya pada Pasal 3 sampai 5,64
yaitu sebagai
berikut:
Pasal 3 ayat (1), “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami”. Ayat (2), “Pengadilan Dapat memberikan
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Pasal 4 ayat (1), “Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini,
maka wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya”. Ayat (2), “Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
62
Rumadi & Marzuki Wahid, Fikih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001), cet. Ke-1, h. 188 63
Rumadi & Marzuki Wahid, Fikih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, h. 195 64
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam,
(Surabaya: Arkola, tth), h. 6-7
54
Pasal 5 ayat (1), “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang ini, harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a). Adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri, b). Adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka, c). Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka”.
Pasal 5 ayat (2), “Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
Pasal ini tidak diperlukan bagi suami apabila isteri/isteri-isteri tidak
mungkin dimintai persetujuannyadan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapatkan penilaian dari hakim Pengadilan “.65
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tema hukum
tersebut masuk dalam satu bab khusus yaitu bab IX Pasal 55, 56, 57, 58 dan
59 yang memaparkan tentang pembahasan khusus beristeri lebih dari satu
(poligami). Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
Pasal 55 ayat (1), “Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu yang
bersamaan, terbatasnya hanya sampai empat isteri”. Ayat (2), “syarat
utama beristeri dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya”. Ayat (3), “Apabila syarat utama yang
terlah disebutkan dalam ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beriteri lebih dari seorang”.
Pasal 56 ayat (1), “Suami yang hendak beristeri dari seorang harus
dapat izin dari Pengadilan Agama”. Ayat (2), “ Pengajuan permohonan
izin yang dimaksud pada ayat (1) menurut tata cara sebagaimana yang
telah diatur dalam bab VIII Peraturan Pemerintah N0. 9 Tahun 1975”.
Ayat (3). “Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan
hukum”.
Pasal 57, “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seoarang apabila:
65
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam, 6-
7
55
a). Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri
b). Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c). Isteri tidak dapat melahirkan keturunan”.
Pasal 58 ayat (1), “Selain syarat utama yang disebutkan dalam Pasal
55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula
dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Ayat (2), “Dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975, persetujuan isteri/isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis
atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang
Pengadilan Agama”. Ayat (3), “Persetujuan yang dimaksud dalam ayat
(1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isteri
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri/isteri-isteri
sekurang-kurangya 2 tahun atau karena ada sebab lain yang perlu
mendapat penilaian hakim”.
Pasal 59, “dalam hal ini suami tidak mau tidak mau memberikan
persetujuan , dan permohonan izin untuk mempunyai isteri lebih dari
seorang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur Pasal 55 ayat (2)
dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di
persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau
suami dapat mengajukan banding atau kasasi”.66
Dalam paparan Pasal demi Pasal di atas, maka dapat dilihat bahwa
peraturan poligami yang ada di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan yang ada di
dalam KHI. Keduanya mengatur tentang mekanisme tata cara bagaimana agar
poligami diakui oleh hukum, namun dalam Undang-Undang tersebut tidak
mengatur perihal tentang bagaimana sikap Pengadilan terhadap isteri yang
66
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam, h.
196-197
56
tidak mau memberikan izin, sedangkan suami ingin sekali menikah lagi
(poligami), sebagaimana yang telah diatur dalam dalam Pasal 59 Kompilasi
Hukum Islam.
2. Konsep Adil Berpoligami Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
dan KHI
Mengenai pembahasan „adil‟ dalam berpoligami mendapat tempat
tersendiri dalam pembahasan kedua peraturan tersebut, yaitu Undang-Undang
No. 1 Tahun Tahun 1974 dan KHI. Adalah Pasal 5 ayat 1c yang menegaskan
bahwa suami yang hendak mengajukan permohonan kepada Pengadilan
untuk beristeri lebih dari satu maka harus ada jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri/isteri-isteri dan anak-anak mereka.67
Terkait dengan itu, isteri yang hendak dipoligami diberi hak privasi
untuk mengatakan setuju atau tidak berdasarkan pada penilaian isteri akan
kesanggupan sang suami dapat berlaku adil. Jika sekiranya sang suami tidak
dapat berlaku adil, maka isteri boleh mengemukakan penolakannya, dan
sidanglah yang akan memutuskan apakah permohonan sang suami akan
dikabulkan atau ditolak.
Ketika sang suami mengajukan kepada Pengadilan, kedua peraturan
tersebut juga meminta suatu indikasi logis yang menjamin adanya
kemampuan suami dalam hal nafkah lahir/materi, agar jika dikabulkan, suami
67
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), h. 23
57
benar-benar sudah siap materi, seperti nafkah, tempat tinggal, pakaian dan
sebagainya yang akan dijadikan bekal untuk menafkahi isteri/isteri-isteri dan
anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan yang tercantum di dalam Pasal 41c
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu: a. Surat keterangan
mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat
bekerja, atau b. Surat penghasilan, atau c. Surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh Pengadilan.
Jadi, mengenai persoalan nafkah materi ini pihak pengadilan dapat
menilai apakah suami tersebut layak beristeri lagi atau tidak. Sedangkan
untuk keadilan secara keseluruhan meliputi juga kecondongan hati dalam
membagi hak-hak isteri-isteri dan anak-anaknya, sang suami harus
mengemukakan suatu persyaratan atau janji di Pengadilan. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu: “ada atau tidaknya
bahwa jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri/isteri-isteri dan anak-
anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditetapkan untuk itu”.
Dalam KHI juga diatur bagaimana mekanisme agar sang suami
dikabulkan permohonannya. Salah satu yang ditegaskan dalam KHI adalah
menjadikan adil sebagai syarat utama diterima atau tidaknya permohonan
tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2), dan juga
adanya kepastian bahwa suami mampu manjamin keperluan hidup
58
isteri/isteri-isteri dan anak-anaknya, sebagai antisipasi agar tidak menjadi
kezaliman.
E. Pandangan Feminis Terhadap Konsepsi Adil Berpoligami
Seputar poligami mengalami tarik menarik antara dua kubu yang
mainstream yang saling berseberangan. Di satu sisi, Feminis sebagai kubu yang
terdepan membela hak-hak perempuan, menuntut keadilan, anti terhadap
kekerasan yang berbasis gender (gendere related violence) baik terhadap pisik
maupun psikis, dan menggugat terhadap pemahaman-pemahaman atau
pembacaan teks yang bias gender. Di sisi lain, para ulama sebagai kaum
pemegang otoritas dari masa ke masa yang mayoritas laki-laki tidak ada hentinya
mengkampanyekan kebolehan poligami, bahkan banyak yang
mempraktekannya.68
Banyak persoalan yang menjadi target sasaran kaum feminis, yang
diantaranya adalah institusi poligami, hijab, kepemimpinan yang dikhususkan di
tangan laki-laki, nilai kaum wanita setengah dari pria baik dalam kesaksianm
aqiqah dan warisan.
Di Indonesia, gerakan feminis banyak bermunculandan lebih agresif dari
gerakan-gerakan sebelumnya setelah orde baru jatuh. Menurut Tati Hartimah,
kelangkaan literature mengenai sejarah pergerakan wanita Indonesia, para peneliti
menghadapi kesulitan yang sangat serius ketika membahas sepak terjeng
68
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta: Fajar pustaka, 2006), h. 29
59
pergerakan tersebut. Karena itu dapat dipastikan dengan benar sejarah lahir dan
perkembangannya.69
Salah satu pemikir feminis di Indonesia yang cukup representative pada
era sekarang adalah Siti Musdah Mulia, di samping masih banyak lagi pemikir-
pemikir yang lain baik dari kalangan pria seperti K.H Husein Muhammad,
maupun dari kalangan wanita seperti Warda Hafidz, Yenny Zannuba Wahid dan
lain-lain. Gagasan Musdah dinilai cukup aplikatif dan paling representatif dalam
menghadapi paham yang sudah mapan. Salah satu yang dugugat oleh Musdah
adalah pemahaman terhadap institusi poligami yang dianut oleh kaum ortodoks.
Menurutnya, banyak yang menjadikan surat an-Nisa ayat 3 sebagai
landasan bagi praktek poligamio tanpa mengkaji lebih dalam ayat-ayat yang lain
yang berkaitan dengannya. Padahal tidak mudah dan tidak secepat itu
memutuskan persoalan poligami. Perlu upaya pendekatan lain dalam
memahaminya, yakni dengan melihat kon teks turunnya ayat, dan kaitannya
dengan ayat-ayat yang lain.70
Di samping itu, menurut pandangannya, perlu juga memperhatikan ayat
lain dalam memahami surat an-Nisa ayat 3 tersebut, diantaranya adalah surat an-
Nisa ayat 129. Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan dalam hal cinta atau
immateri tidak mungkin dapat dilakukan oleh suami. Suami yang berpoligami
69
Tim Penulis PSW (Pusat Study Wanita) UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender,
(Diterbitkan atas kerjasama PSW dengan McGill-ICIHEP, 2003), H. 86
70
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Diterbitkan atas kerjasama Lembaga
Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Solidaritas Perempuan, dan The Asia Foundation, Jakarta, 1999), h.
31
60
tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, terutama dalam bidang
immateri, meski dia telah berusaha seoptimal mungkin.71
Kalangan feminis tetap beranggapan bahwa institusi poligami yang sudah
mengakar kuat dalam tradisi patriarchat merupakan suatu bentuk ketidakadilan ,
bahkan penghinaan terhadap wanita. Karena menjadi sebuah kesimpulan umum
bahwa tidak mungkin suami dapat berlaku adil sebagaimana yang dikatakan oleh
surat an-Nisa ayat 129.
Dikatakan tidak adil dan penghinaan, oleh karena poligami akan
menyakiti psikis isteri dan penderitaan psikis tersebut tentu akan lebih berat dirasa
dari pada sekedar penderitaan materi. Belum lagi problem psikologis akibat
konflik internal antara isteri dan keluarga lainnya. Jika demikian, bagaimana
mungkin poligami dikatakan adil, padahal Islam mengajarkan prinsip laa dharara
wala dhirara (janganlah berbuat aniaya terhadap diri sendiri dan orang lain).
Analiis kritis kalangan feminis terhadap institusi poligami ini pada
hakikatnyaadalah perwujudan pembelaan terhadap hak-hak wanita agar tidak
tertindas dalam kungkungan tradisi patriarkat yang cenderung kurang melindungi
hak-hak mereka. Menurut mereka adil dalam konteks berpoligami bukan hanya
ditekankan pada aspek materi semata, melainkan juga pada hak-hak immateri si
isteri, karena hakikat dari berlaku adil adalah tidak ada pihak-pihak yang terzalimi
sehingga hak-haknya terabaikan.72
71
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 80
72
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 32
61
Selama ini permasalahan poligami terkesan hanya dipahami dari sudut
kepentingan lelaki belaka. Meski pada kenyataannya para pelaku poligami
bersikukuh untuk membela poligami dan mencari berbagai legalimitas dari aneka
sumber. Dapat dipahami bahwa poligami merupakan bentuk konstruksi kuasa
laki-laki yang mengaku superior dengan nafsu menguasai perempuan.
Rasyid Ridha mengatakan bahwa poligami secara alamiah bertentangan
dengan tujuan perkawinan, sebab pada dasarnya perkawinan adalah antara satu
orang laki-laki dan satu orang perempuan. Poligami hanya untuk keadaan yag
sangat darurat, selain itu juga disertai dengan persyaratan yang sangat ketat, tidak
boleh mengandung ketidakadilan. Ketika poligami menimbulkan lebih banyak
madharat dari pada manfaat, maka para hakim dapat mengharamkan adanya
poligami.
Rasyid Ridha juga melihat poligami sebagai persoalan sosial yang
penegasan status hukumnya tidaklah sederhana. Berbagai pertimbangan tersebut
mencakup persoalan watakdan potensi antara laki-laki dan perempuan, dan
bagaimana hubungan keduanya dari sudut perkawinan dan tujuannya.73
Izin poligami menurut beberapa hakim pada dasarnya bukan hak, tetapi
sebagai jalan darurat yang ditempuh karena keterpaksaan. Jika tidak ada kondisi
darurat, izin itu sangat boleh jadi ditutup. Perspektif jender membantu hakim
untuk memaknai apa arti kondisi darurat itu. Sebab, hal itu bisa menjadi Pasal
karet yang bisa ditarik ulur sesuai kehendak suami. Analisis jender membantu
73
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Mesir: Daarul Manar, 1999), h. 284
62
hakim untuk menggeser patokan dari memenuhi ke perlindungan maksimal bagi
isteri. Hakim juga dapat mengukur sejauhmana poligami tak memunculkan proses
pemiskinan isteri yang ditinggal poligami seperti isteri pertama.
Ada dua hal yang terkait sensitivitas jender yang sepatutnya dimiliki oleh
hakim dalam kasus permohonan izin poligami. Pertama, sikap kehati-hatian
hakim untuk idak begitu saja mempercayai pengaukuan izin yang diberikan isteri
di muka sidang. Faktanya hakim harus berulang-ulang bertanya kepada isteri
untuk memastikan tidak adanya unsur ancaman dan paksaan dalam pemberian
izin poligami tersebut. Kedua, sikap empati kepada isteri yang mungkin saja akan
dirugikan atau terabaikan setelah suaminya menikah lagi.74
74
Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Leis Marcoes Natsir dan Wahdi Sayuti, Demi Keadilan dan
Kesetaraan, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah dengan The Asia Foundation, 2009),
h.79
63
BAB III
IZIN POLIGAMI SEBUAH AMBIVALENSI HUKUM
A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Bekasi
Pengaturan poligami di Indonesia telah diatur oleh pemerintah dalam
rangka melindungi warga Negara khususnya perempuan dari tindak ketidakadilan
melaului Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 3, 4 dan 5.
Dan sejak diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, telah diatur
beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang laki-laki yang hendak berpoligami
harus seizin isteri pertama. Meski kalimat ini tidak tercantum secara eksplisit,
akan tetapi banyak sumber agama Islam yang mengarah ke sana.
Mengenai kasus yang ada, penulis meneliti satu putusan poligami di
Pengadilan Agama Bekasi. Berikut deskripsi putusan izin poligami dengan
nomor: 205/Pdt.G/2008/PA.Bks, yang penulis kemukakan sebagai berikut:
1. Ringkasan Kasus
Adalah Zulkarnain bin Kairul Muluk Al-Hatta (nama samaran dari
perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks), berstatus menikah dengan Siti
Zubaidah binti Abdul Qadir (nama samaran dari perkara No.
205/Pdt.G/2008/PA.Bks), dengan kutipan akta nikah nomor: 143/07/VII/2000
tanggal 02 Juli 2000 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cirebon. Dari hasil
pernikahannya, mereka dikaruniai dua orang anak bernama Nurul Syamsiyah
(nama samaran dari perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks) lahir tanggal 14
64
April 2001 dan Faris Zulkarnain (nama samaran dari perkara No.
205/Pdt.G/2008/PA.Bks) lahir tanggal 22 Januari 2005. Kehidupan rumah
tangga pemohon dan termohon diliputi kerukunan dan keharmonisan
sebagaimana layaknya suami isteri, sampai suatu saat Zulkarnain bin Kairul
Muluk Al-Hatta berkenalan dengan Nur Lailawati binti Budi Priyanto (nama
samaran dari perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks), umur 23 tahun, pekerjaan
swasta, bertempat tinggal di Komplek Ciputat Baru Jl. Teratai Buntu Blok AA
No. 3A Rt 001/06, Kelurahan Sawah Lama, Kecamatan Ciputat, Kabupaten
Tangerang. Mereka sepakat untuk membina hubungan mereka kejenjang
pernikahan meskipun tahu bahwa Zulkarnain bin Khairul Muluk Al-Hatta
telah mempunyai isteri dan anak, dan calon isteri kedua juga menyatakan
tidak akan mengganggu gugat harta bersama antara pemohon dan termohon.
2. Duduk Perkara
Tersebutkan bahwa Zulkarnain bin Khairul Muluk Al-Hatta sebagai
pemohon dan Siti Zubaidah binti Abdul Qadir serta Nur Lailawati binti Budi
Priyanto sebagai calon isteri ke dua pemohon. Pemohon meminta izin kepada
Pengadilan Agama Bekasi untuk menikah ke dua kali dengan cara poligami
dengan alasan karena pemohon berkemampuan untuk beristeri lagi serta
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh agama dan pemohon akan
sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
65
3. Pertimbangan
Pertimbangan-pertimbangan hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam
perkara poligami nomor: 205/Pdt.G/2008/PA.Bks yakni, mengabulkan
permohonan pemohon dan menetapkan memberikan izin kepada pemohon
untuk menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan bernama Nur
Lailawati binti Budi Priyanto. Didasari atas pertimbangan pemohon
berkemampuan untuk beristeri lagi dan sanggup berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anaknya serta tidak akan membedakan satu sama lain.
Kemudian pemohon telah menyatakan kesediaan atas tanggung jawab dalam
membina rumah tangganya di masa yang akan datang.
Pertimbangan selanjutnya yaitu Majelis Hakim menimbang keterangan
saksi-saksi yang menyatakan sesuai dengan termohon nyatakan. Pertimbangan
poligami juga dikuatkan dengan jawaban lisan yang pada intinya disimpulkan
bahwa termohon membenarkan dalil-dalil pemohon serta tidak keberatan
untuk memberikan izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan
perempuan yang bernama Nur Lailawati binti Budi Priyanto demi
kemaslahatan dan untuk menghindari hal-hal yang melanggar agama, setelah
Majelis Hakim mendengar pernyataan termohon dan kedua saksi agar lebih
baik jika pemohon diizinkan untuk menikah lagi (poligami), Majelis Hakim
juga melihat tidak adanya halangan secara hukum Islam dan perundang-
undangan di Indonesia, maka Majelis Hakim mengabulkan permohonan
tersebut.
66
B. Landasan Yuridis Putusan Pengadilan Agama
Permohonan izin poligami merupakan suatu dilema hukum yang
disebabkan adanya perbedaan mengenai persyaratan yang terdapat dalam hukum
Islam dan perundang-undangan di Indonesia.
Persyaratan yang dimaksud dalam hukum Islam yaitu beragama Islam,
baligh, berakal, dewasa pikiran, tidak terdapat halangan perkawinan/perwalian.
Kemudian syarat yang tidak kalah pentingnya dalam perkawinan adalah adanya
mahar (mas kawin).1
Lain halnya dengan persyaratan perkawinan dalam hukum positif yaitu
harus berdasarkan perundang-undangan yang berlaku baik memenuhi persyaratan
materiil dan persyaratan formil. Permohonan izin melakukan poligami dalam ilmu
hukum disebut juga dengan istilah “Voluntaire Jurisdictie” yaitu perkara yang
berisi tuntutan hak dan tidak mengandung sengketa.
Permohonan izin poligami ini tidak akan diberikan melainkan dengan
pertimbangan yang sangat matang melalui prosedur perundang-undangan yang
berlaku. Proses pertimbangan perizinan tersebut merupakan langkah jitu hakim
Pengadilan Agama dalam upaya menjalankan sistem perundang-undangan yang
formal dan juga sebagai upaya memperlihatkan eksistensi absolut hakim sebagai
penengah atau pemberi solusi hukum.
1 Kamarusdiana dan Laenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007), cet. Ke-1, h. 6
67
Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam pemberian izin poligami
di Pengadilan Agama Bekasi dalam menjatuhkan putusan tersebut yaitu:
1. Untuk bisa mengajukan izin poligami, pemohon telah menyerahkan alat-alat
bukti berupa:
a. Foto copy kutipan akta nikah pemohon dengan termohon no.
143/07/VII/2000 tertanggal 02 Juli 2000 yang dikeluarkan oleh Kantor
Urusan Agama Cirebon (bukti P-1).
b. Surat pernyataan akan menggauli isteri-isterinya secara adil menurut
hukum Islam (bukti P-2).
c. Surat pernyataan persetujuan dari termohon untuk menikah lagi dengan
seorang perempuan yang bernama Nur Lailawati binti Budi Priyanto
(bukti P-3).
2. Perimbangan Majelis Hakim merujuk Pada Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, Undang-Undang ini merupakan bentuk hasil usaha permasalahan
perkawinan atau sejenisnya dalam kerangka hukum baku, yang bisa menjadi
pedoman menyelesaikan perkara perkawinan. Dalam Undang-Undang ini
diatur dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1) dan (2) dan Pasal 5 ayat (1) dan (2).
3. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975, peraturan pemerintah ini adalah penjelasan atau pelaksanaan dari
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
4. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang lahir dari para ulama yang tersebar diseluruh nusantara. Dengan
68
bertujuan selain mempositifkan syari‟at Islam dalam bidang keperdataan, juga
mengkodifikasikan kitab-kitab fiqih yang digunakan di Pengadilan Agama.
5. Kemudian pertimbangan Majelis Hakim juga merujuk pada al-Qur‟an surat
an-Nisa (4) ayat 3 sering dijadikan dalil oleh sebagian umat Islam dengan
melakukan poligami. Hal ini juga diakui oleh Pengadilan Agama Bekasi
sehingga Majelis Hakim dalam setiap pemberian izin poligami mengambil
sandaran hukum pada ketentuan ayat di atas.
C. Penetapan Pengadilan Agama Dalam Perkara Izin Poligami
Penetapan Pengadilan dalam perkara izin poligami umumnya mengandung
amar penetapan tunggal, yaitu penetapan berupa pengabulan atau penolakan
permohonan pemohon untuk melakukan perbuatan hakim:
1. Mengabulkan atau menolak permohonan pemohon untuk menikah lagi.
2. Mengabulkan atau menolak permohonan izin poligami yang diajukan oleh
pemohon.
Selanjutnya dalam putusan poligami No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks, mutlak
dikabulkan melalui pertimbangan-pertimbangan yang panjang. Karena semua
prosedur yang harus dijalankan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penetapan Majelis
Hakim dalam putusan yang berbunyi:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
69
2. Menetapkan memberi izin kepada Zulkarnain bin Khairul Muluk Al-Hatta
untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang bernama Nur Lailawati
binti Budi Priyanto.
3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
156.000,- (seratus lima puluh enam ribu rupiah).
Jika melihat sifat hukum dari penetapan tersebut dapat dikategorikan
penetapan tersebut berupa penetapan konstitutif yang berarti menciptakan keadaan
hukum baru bagi pemohon, yaitu diberikannya izin kepada pemohon untuk
menikah lagi dengan cara poligami dengan wanita yang tercantum dalam surat
permohonan. Meslipun pemohon masih terikat dalam perkawinan yang sah
dengan isteri pertamanya.
D. Prosedur Penetapan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami
Prosedur perkara permohonan izin untuk melakukan poligami di
Pengadilam Agama Bekasi dilakukan melalui beberapa tahap tertentu yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang, antara lain:
1. Tahap Permulaan
Tahap Permulaan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Permohonan poligami menurut hukum diajukan secara tertulis atau
lisan (membawa bukti nikah berupa Buku Kutipan Akta Nikah atau Duplikat
Kutupan Akta Nikah). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3
70
Tahun 2006. Dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yang
berbunyi:
“Apabila seorang suami bermaksud beristeri lebih dari seoarang maka ia
wajib menunjukkan permohanan secara tertulis kepada Pengadilan”.2
Ketentuan tersebut di atas diatur pula dalam Pasal 118 ayat 1 HIR
Pasal 142 ayat 1 Rbg. Namun pemohon yang tidak dapat membaca dan
menulis maka kepadanya diberikan dispensasi untuk mengajukan permohonan
izin poligami secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat 1 HIR Pasal 114 ayat 1 Rbg, yang
berbunyi”
“Bagi penggugat/pemohon yang tidak bisa menulis atau hanya baca tulis,
maka gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan.
Kemudian Panitera membantu mencatat segala sesuatu, yang dikemukakan
oleh penggugat/pemohon tersebut. Selanjutnya gugatan/permohonan itu
diserahkan kepada kepada salah satu Hakim yang memeriksa/menelitidan
menanyakan kepada penggugat/pemohon kebenaran isinya, lalu
ketua/Hakim menanda tangani gugatan/ permohonan tersebut”.
Dalam hal ini penulis akan membahas putusan perkara nomor:
205/Pdt. G/2008/PA.Bks atas nama Zulkarnain bin Khairul Muluk Al-Hatta.
Menurut hasil penelitian terlihat bahwa permohonan izin poligami tersebut
telah dilakukan secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup atau di atas
2 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.
71
kertas bersegel. Apa yang telah dilaksanakan oleh pemohon tersebut telah
sesuai dengan maksud Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang
menghendaki permohonan izin poligami harus dilakukan secara tertulis.
Adapun isi permohonan tersebut menurut Hukum Acara Perdata yang
berlaku di Pengadilan Agama meliputi:
a. Identitas Pemohon
Identitas pemohon yang dimaksud adalah nama lengkap,
tempat/tanggal lahir, umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan dan
tempat tinggal. Dalam berkas permohonan sebagaimana yang termuat
dalam perkara di atas telah memuat identitas pemohon sebagaimana yang
dikehendaki oleh Undang-Undang.
b. Fundamentum Petendi
Berisi penjelasan tentang keadaan/peristiwa dan penjelasan yang
berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar/alasan gugat.
Adapun alasan dari pemohon mengajukan permohonan poligami
menurut hasil penelitian penulis adalah karena pemohon berkemampuan
untuk menikah lagi dan mampu menjamin kebutuhan anak-anak dan isteri-
isterinya serta menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki oleh agama.
Terhadap alasan poligami sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 ayat
1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi:
1) Adanya persetujuan dari isteri;
72
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anaknya.
c. Petitum
Berisi tuntutan yang diminta oleh penggugat/pemohon agar
dikabulkan oleh hakim.
1) Pendaftaran Permohonan Dengan Biaya
Setelah permohonan dinilai telah lengkap memuat syarat-syarat
yang ditentukan Hukum Acara di atas, maka selanjutnya pemohon
harus mendaftarkan permohonan izin poligami tersebut kepada
kepaniteraan Pengadilan Agama. Kemudian pemohon dikenakan
kewajiban untuk membayar biaya perkara.
Menurut hasil penelitian di Pengadilan Agama Bekasi, penulis
mendapat data bahwa biaya perkara yang ditanggung oleh Pemohon
meliputi: biaya pendaftaran, panggilan-panggilan, materai dan redaksi.
Namun bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya
perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (pro deo)
dengan mendapatkan izin dari pembayaran biaya perkara, dengan
mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pihak
73
polisi/camat daerah setempat ytang berkepentingan tinggal, sesuai
dengan ketentuan Pasal 237 HIR Pasal 273 Rbg.3
2) Penetapan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Bekasi telah menerima pendaftaran
permohonan izin poligami, maka Pengadilan Agam Bekasi menetapkan
tiga orang hakim yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara
tersebut, serta dibantu oleh soerang panitera pengganti. Hal ini
dilakukan untuk menjamin pemeriksaan perkara yang objektif guna
memberikan perlindungan kepada pencari keadilan. Sebagaimana yang
dimuat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970
untuk semua perkara yang masuk ke Penngadilan Agama Bekasi harus
mengeluarkan penetapan seperti itu.
3) Penetapan Hari Sidang
Penetapan hari sidang paling lambat setelah satu bulan
permohonan tersebut didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan
Agama Bekasi, maka Pengadilan harus menyidangkan perkara tesebut
dan harus menetapkan hari dan tanggal atas persidangan perkara
permohonan itu dikabulkan, dalam surat penetapan.
Dalam surat penetapan tersebut memuat pula tentang perintah
juru sita yang ditunjuk untuk memanggilpemohon, termohon dan
3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), cet.
Ke-1, h. 17
74
sekaligus para saksi yang dibutuhkan dalam perkara tersebut. Hal ini
telah dilakukan oleh Pengadilan Agama Bekasi sebagaimana yang
termuat dalam surat penetapan.
2. Pemeriksaan Perkara Dimuka Sidang
Proses pemeriksaan perkara di muka Pengadilan Tingkat Pertama
dilakukan menurut ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu dimulai dengan
tahapan-tahapan berikut:
a. Pembacaan surat permohonan/gugatan, kemudian dilanjutkan dengan
jawaban termohon serta duplik dari termohon atas replik pemohon
tersebut.
b. Pembuktian
c. Acara pembuktian ini dimulai dari pemeriksaan alat-alat bukti sebagai
berikut:
1) Alat bukti surat, baik berupa akta (akta otentik dan akta di bawah
tangan)dan surat-surat lainnya yang bukan akta.
2) Pemeriksaan bukti saksi-saksi, yang dimulai deri pemeriksaan saksi-
saksi yang diajukan oleh pemohon, kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh termohon.4
3) Pemeriksaan lapangan (hal ini jika diperlukan).
4 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), cet. Ke-4, h. 154-165.
75
3. Putusan dan Penetapan
Putusan atau penetapan dalam perkara permohonan izin poligami
dijatuhkan setelah adanya proses pembuktian, dikarenakan penetapan
merupakan proses akhir dari pemeriksaan perkara permohonan izin poligami.
Adapun isi penetapan tersebut berupa pengabulan atau penolakan.
Dalam proses pemeriksaan ini terdapat pengecualian tertentu, antara
lain:
a. Pemeriksaan permohonan izin poligami tidak diperlukan adanya jawaban
termohon , Repkik atau Duplik, sebagaimana dilakukan dalam perkara
permohonan perceraian. Hal ini terjadi karena dalam perkara permohonan
izin poligami tidak ada kedudukan selaku termohon atau pemohon atau
tergugat, dengan demikian maka sudah cukup jika Majelis Hakim telah
mengetahui dari permohonan pemohon.
b. Pemohon materiil harus diperiksa oleh Majelis Hakim, dan tujuannya
untuk mengetahui kebenaran dari isi permohonan pemohon. Dalam
perkara objek penelitian penulis terlihat pemohon telah diperiksa langsung
dalam persidangan untuk mengetahi kebenaran dari isi permohonan
pemohon.
c. Bahwa setelah pemohon diperiksa maka tindakan selanjutnya yang harus
dilakukan oleh Majelis Hakim adalah memeriksa alat bukti yang diajukan
oleh pemohon. Alat bukti tersebut menurut hasi penelitian penulis
meliputi surat-surat sebagai berikut:
76
1) Foto copy duplikat kutipan akta nikah pemohon dan termohon (P-1)
2) Foto copy kartu keluarga pemohon dan termohon (P-2)
3) Surat pernyataan pemohon bersedia berlaku adil (P-3)
4) Surat tidak keberatan dari temohon bermaterai (P-4)
5) Surat keterangan penghasilan pemohon (P-5).
E. Analisis Penulis Tentang Keadilan Poligami
Setelah penulis melakukan pnelitiam dan menganalisa masalah tersebut
serta dari pemaparan bab demi bab, maka penulis beranggapan bahwa persoalan
poligami bukanlah persoalan yang mudah diputuskan mana yang benar dari
berbagai pendapat yang dikemukakan.
Para ulama berpendapat bahwa berikap adil dari segimateri merupakan
suatu harga mati yang tidak bisa ditawar lagi bagi suami yang ingin melakukan
poligami, sedangkan keadilan immateri adalah persoalan lain, dalam artian dapat
ditawar lagi, namun demikian seorang suami juga tidak boleh berlaku condong
(berat sebelah) hatinya kepada salah seorang atau sebagian isteri-isterinya,
sehingga isteri-isteri yang lain merasakan sakit hati dan tertekan psikisnya. Hal ini
sesuai dengan penggalan ayat surat an-Nisa ayat 129, “janganalah kalian terlalu
menyayangi salah satu isteri kalian, sedangkan isteri yang lainnya terkatung-
katung. Sesungguhnya jika kalian berbuat adil dan bertakwa, maka Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
77
Dengan demikian pada hakikatnya kedua ayat tersebut, yakni surat an-
Nisa ayat 3 dan ayat 129 tidak saling bertentangan. Bahkan maksud sari
kandungan kedua ayat tersebut saling melengkapi satu sama lain, sehingga dapat
ditemukan suatu kesimpulan bahwa berbuat adil meliputi materi dan non materi
juga harus dipenuhi, hanya saja jika ada sesuatu yang bersifat non materi yakni
kecondongan hati, cinta atau kasih sayang yang terkadang di luar batas
kemampuan manusia, oleh agama dianggap sebagai suatu yg di kesanggupan
kemampuan manusia.
Akan tetapi seorang suami perlu mempertimbangkan kemungkinan-
kemungkinan terjadinya ketidak adilan yang akan ia perbuat secara matang.
Karena fakta banyak fakta yang membuktikan bahwa suami yang melakukan
poligami kemudian gagal membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis.
Yang timbul adalah keadaan rumah tangga yang dihiasi dengan rasa penuh dengki
dan permusuhan.
Kemudian mengenai kasus yang terdapat pada nomor
205/Pdt.G/2008/PA.Bks setelah penulis menganalisis kasus tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pertimbangan hakim kurang teliti dan kurang adil dalam
memutuskan perkara, karena hakim hanya melihat dari persetujuan dari isteri
pertama dan surat keterangan dapat berlaku adil yang mana hal tersebut dilihat
dari pihak suami serta surat keterangan mampu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anaknya.
78
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan secara panjang lebar pada bab-
bab sebelumnya, maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan
menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti,
diantaranya sebagai berikut:
1. Hasil keputusan Pengadilan Agama Bekasi mengenai izin poligami telah
sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan perundang-undangan. Hal ini
dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutus perkara
poligami nomor 205/Pdt. G/2008/PA.Bks, antara lain:
a. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, Undang-Undang ini merupakan bentuk hasil usaha dalam mengatur
permasalahan perkawinan atau sejenisnya, yang bisa menjadi pedoman
atau acuan menyelesaikan permasalahan perkawinan.
b. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975, Peraturan Pemerintah ini adalah sebagai penjelas atau
pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berikut ketentuan pidana
jika terjadi pelanggaran hukum di dalam pelaksanaannya.
c. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Kompolasi Hukum Islam
(KHI), KHI ini lahir dari semangat para ulama yang tersebar diseluruh
79
Indonesia, yang bertujuan adalah selain mempositifkan hukum syariat
Islam dalam bidang keperdataan, juga untuk mengkodifikasikan kitab
fiqih yang digunakan di Pengadilan Agama.
d. Pertimbangan Majelis Hakim juga merujuk pada al-Qur‟an Surat an-Nisa
ayat 3 dalam setiap pemberian izin poligami, mengambil sandaran hukum
pada ketentuan ayat di atas.
2. Konsep adil dalam berpoligami menurut hakim kembali kepada ajaran Islam
yaitu keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan yang bersifat materi yang
dapat di kontrol suami dan menjadi kesanggupannya, seperti perlakuan baik,
pembagian waktu dalam bermalam, dan pemberian nafkah hidup. Sedangkan
yang berhubungan dengan hati, maka dia tidak mungkin dapat
malakukannya, karena berada diluar kontrol suami atau diluar
kesanggupannya, seperti: perasaan cinta dan kecenderungan hati. Maka
dalam hal ini suami tidak dituntut mewujudkannya karena berada diluar
kekuasaan manusia yang mustahil dapat dipenuhinya. Kemudian hakim
melihat keadilan dari putusan dengan cara melihat surat pernyataan yang
dibuat oleh suami untuk dapat berlaku adil dan surat pernyataan mampu
menjamin keperluan isteri-isteri dan anak-anaknya.
80
B. Saran
Sebagai catatan akhir dari penelitian ini maka penulis ingin memberikan
saran, diantaranya:
1. Kepada Majelis Hakim:
Agar lebih teliti dan berhati-hati dalam memutus perkara poligami
agar tujuan dari perkawinan tersebut dapat dijaga.
2. Kepada Pemerintah:
a. Aturan tentang pengajuan perkara poligami di Indonesia diharapkan lebih
diperketat lagi, dengan bertujuan untuk meminimalisir terjadinya praktek
poligami yang dilakukan secara diam-diam dan alasan-alasan yang dapat
merugikan salah satu pihak.
b. Adanya persetujuan anak yang telah dewasa bagi pihak yang ingin
melakukan poligami karena salah satu akibat dari poligami tersebut adalah
anak.
c. Meninjau kembali masalah pidana dan denda bagi pihak yang melanggar
ketentuan poligami karena pidana dan denda ini masih dianggap remeh
sehingga masih banyak yang melanggarnya.
3. Bagi mereka yang inin berpoligami agar merenungkan salah satu sabda Nabi
SAW: “Bertakwalah kepada Allah dalam (urusan) wanita. Karena kalian
mengawini mereka atas amanat Allah, dan kalian menghalalkan „farji‟ mereka
dengan kalimat Allah”. (HR. Ibnu Majah).
81
DAFTAR PUSTAKA
al Sarakhsi, Syam ad-Din, , al-Mabsut, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1409-1989.
al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari: Syarh Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-
Ma‟rifah, 1374 H, juz. 2.
al-Bukahri, Muhammad bin Ismail, al-Jami‟ al-Sahih al-Mukhtasar, Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 1987, juz. 2.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006,
cet. Ke- 1.
al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Taurats al-„araby, 1392 H, vol.
12.
al-Qurtubi, Muhammad bin Ahmad, Al-Jami‟ Li ahkam al-Qur‟an, Beirut: Dar al-
Fikr, 1987, vol. 5.
al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, 2004,
vol. 1.
al-Syafi‟i, Muhammad ibn Idris, , al-Umm, Juz V, Beirut: Dar al-Tarbiyyah, tth.
al-Syamilah Al-Maktabah, , Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an.
al-Syuyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi fa Syarh Taqrib
an-Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth.
Arto,Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, cet. Ke-4.
as-Sanan, Arij Abdul Rahman, Memahami Keadilan Dalam Poligami, Jakarta: PT
Global Media Cipta Publishing, 2003.
as-Sanan, Arij Abdurrahman, , Memahami Kaedilan Dalam Poligami, Jakarta: PT.
Global Media Cipta Publishing, 2003.
Asy‟ats, Abu Daud Sulaiman bin, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, vol. 3.
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 1Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1999.
82
Daruquthni, Ali bin Umar, Sunan Daruquthni, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, jil. 2.
Darwis, Adil Muhammad, Nazarat fi al-Sunnah wa Ulum al-Hadits, Kairo:Kulliyah
Da‟wah al-Islamiyyah, 1998.
Depdikbud, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Djalil, A. Basiq, “Peradilan Agama Di Indonesia”, Jakarta: Kencana, 2006.
Ghazaly, Abd. Rahman, “Fiqh Munakahat”, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Hamidy, Mu‟ammal dan Manan, Imron A. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-
Shabuni, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985, cet. Ke- 1.
Hartono Ahmad Jaiz, Wnita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007, cet. Ke-1.
Hasan Aedy, Poligami Syari‟ah dan Perjuangan Kaum Perempuan, Bandung:
Alfabeta, 2007, cet. Ke-1.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada
Media, 2003, cet. Ke-1.
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dan Lampiran UU No. 1 Tahun 1974, Jakarta:Tintamas, 1975.
Hijjaj, Muslim bin, Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Taurats, tth, vol. 2.
Kamaruddin, zaleha, “Kamus Istilah Undang-Undang Keluarga Islam”, Kuala
Lumpur: Zebra Editions Sdn Bhd, 2002.
Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002.
Malik, Imam, Al- Muwatha, Tahqiq Muhammada Fu‟ad al-Baqi, tt: ttp, tth.
Maraghi, Ahmad Mustafa, al-, Tafsir al-Maraghi, vol. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
2006, cet. Ke-1.
Muhyidin, Abu Usamah dan Hamid, Abu, Legalitas Poligami Menurut Sudut
Pandang Ajaran Islam, Yogyakarta: Sketsa, 2006, cet. Ke-1.
83
Mulia, Musdah, Pandangan Islam Tentang Poligami, Diterbitkan atas kerjasama
Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Solidaritas Perempuan, dan The
Asia Foundation, Jakarta, 1999.
Naisaburi, Shahih Muslim, Juz VII, al-Ishdar al-Tsani, al-Qism: kutub al-Mutum.
Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974
sampai KHI, cet ke-3, Jakarta: Kencana Media Group, 2006.
Qurtubi, Muhammada bin Ahmad, al-, al-Jami‟ Li Ahkam al-Qur‟an, vol. 5, Beirut:
Dar al-Fikr, 1987.
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Mesir: Daarul Manar, 1999.
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Yogyakarta: Fajar pustaka, 2006.
Rofiq, A , “Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000.
Rumadi & Wahid, Marzuki, Fikih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam
di Indonesia, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001, cet. Ke-1.
Salim, Arskal, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta: PUSKUMHAM UIN
Syarif Hidayatullah dengan The Asia Foundation, 2009.
Sani, Abdullah, Hakim dan Keadilan Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1997,
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006.
Subekti, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Sumiati, “Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan”, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Suprapto, Bibit, Liku-liku Poligami, Yogyakarta: Pustaka Al-kautsar, 1999, cet. Ke-1.
Syihab, M. Quraisy, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai
Permasalahan Umat, Bandung: Mizan, 2003, cet. Ke-13.
Tim Penulis PSW (Pusat Study Wanita) UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian
Gender, Diterbitkan atas kerjasama PSW dengan McGill-ICIHEP, 2003.
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum
Islam, Surabaya: Arkola, tth.
84
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum
Islam, Surabaya: Arkola, tth.
Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Usman, Abd. Karim, Ma‟alim al-Tsaqaafahal-Islamiyyah, Beirut:Muassasah al-
Risalah, 1982.
Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, cet. III, Damaskus: Daar al-Fikr, 1991.