konsep perbuatan manusia dalam al-qur’an studi...
TRANSCRIPT
KONSEP PERBUATAN MANUSIA
DALAM
AL-QUR’AN
Studi Komparatif Tafsîr
Al-Kasysyâf Karya Az-Zamakhsyarî
dan
Mafâtîh Al-Ghaib Karya Fakhruddîn Ar-Râzî
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag.)
dalam Bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
Iin Tri Yuli Elvina
NIM. 213410554
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER (S2)
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1437 H/2016 M
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Swt., Tuhan
semesta alam yang telah memberika rahmat serat kasih sayang-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Shalawat serta salam semoga
senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Saw. pembawa kebenaran dan
petunjuk bagi umat manusia. Alhamdulillah, dengan berbagai kesulitan yang
penulis hadapi dalam penyelesaian buku ini, akhirnya berkat ridha dan inayah
Allah Swt., semua kesulitan tersebut dapat penulis lalui.
Buku ini disusun dengan melibatkan banyak pihak yang mendukung
penulis. Dengan penuh ketulusan hati, penulis ucapkan terimakasih kepada
banyak pihak yang telah membantu serta ikut andil di dalam penyelesaian
buku ini baik partner diskusi, motivator serta pihak-pihak lainnya.
Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor IIQ
Jakarta Prof Hj. Huzaemah T. Yanggo, MA., kepada Direktur, Dr. KH.
Ahmad Munif Suratmaputra, MA., Wakil Direktur dan kepada jajaran
pimpinan serta para dosen pengajar IIQ Jakarta Prof. Dr. Hj. Huzaemah T.
Yanggo, MA., Prof Dr. Said Agil al-Munawwar, MA., Prof Dr. H. D.
Hidayat, MA., Prof Dr. H. Hamdani Anwar MA., Dr. KH. Ahsin Sakho
Muhammad, MA., Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dr. Muchlis Hanafi,
MA., Dr. Sahabuddin MA, Dr. Ahmad Fathoni, Lc., M.Ag. Dr. Ahmad
Fudhaili, MA., Dr. Hj. Romlah Widayati, MA., Dr. Ulinnuha, MA., Dr. M,
Azizan Fitriana, MA.
Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan rasa terima
kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. H. Hamdani
Anwar, MA., selaku pembimbing I dan Dr. KH. Ahmad Fudhaili, M.Ag.,
selaku pembimbing II, Prof. Dr. H. Artani Hasbi, MA., selaku penguji I, Dr.
KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA., selaku penguji penguji II, dan
Dr. H. Muhammad Azizan Fitriana, MA., selaku sekretaris sidang. yang
dengan kesabaran dan ketelitiannya banyak sekali memberikan masukan-
masukan yang berharga kepada penulis demi berkualitasnya karya ini.
Ketiga, penulis ucapkan kepada yayasan Prof. Dr. Quraish Shihab,
MA. Pusat Studi Al-Qur’an Jakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikut Program Pendidikan Kader Mufassir (PKM)
Angakat XI selama 6 bulan (Agustus 2015-Januari 2016). Terima kasih
kepada pengelolah PSQ bapak Acmad Zayadi, bapak Arfan dan staff dan
terima kasih kepada para narasumber PKM yakni Prof. Dr. Quraish Shihab,
MA., Prof. Nasaruddin Umar, MA., Prof. Ahmad Thib Raya, MA., Prof.
Amin Suma, MA., Dr. Muchlis Hanafi, MA., Dr. KH. Ahsin Sakho
iv
Muhammad, MA., Prof. Wahib Mu’thi, MA., Prof Dr. H. Hamdani Anwar
MA., Prof Yusuf Yunan, MA., Prof Dr. H. D. Hidayat, MA., Faried F.
Saenong, Phd., Dr. Ulinnuha, MA., MA., Dr. Sahabuddin MA, Dr. Umar al-
Hadad, MA., Dr. M. Lutfi Fathullah, MA.
Kempat, penulis juga berkewajiban mengucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada ayahanda tercinta H. Haris, serta ibunda tercinta Hj.
Zaiyarwati, yang tak pernah letih memberikan dukungan, motivasi serta kasih
sayang yang tulus kepada penulis. Selain itu kepada adik-adik tercinta, Pelbi
Rezki dan Elki Alliyahfi, serta kepada H. Zainuddin keluarga besar dan M.
Zen (Alm) keluarga besar semoga Allah senantiasa melindungi mereka.
Kelima, tak ketinggalan penulis juga menguapkan terimakasih kepada
seluruh teman-teman yang mensuport kepada penulis dalam perjuangan
penulis menyelesaikan tesis ini yang mana sebuah karya ilmiah ini yang
penuh dengan perjuangan, rintangan, tantangan dan pengorbanan yang mana
di balik kisah ini banyak cerita yang bisa dinovelkan.
Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah, penulis persembahkan
karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian terhadap kajian keislaman,
disertai harapan semoga dengan hadirnya karya ini dapat memberikan
kontribusi dan manfaat dalam memperkaya wawasan intelektual, khususnya
bagi perkembangan khazanah Tafsir dan ‘Ulumul Qur’an
Jakarta, 1 Ramadhan 1437 H
6 Juni 2017 M
Iin Tri Yuli Elvina
v
ABSTRAK
Pembahasan Perbuatan Manusia merupakan pembahasan yang tidak
pernah terselesaikan dari masa ke masa. Para ilmuan Islam baik dari teologi,
tafsir dan lainnya seringkali membahas permasalahan ini. Pada hakikatnya
dalam pembahasan Perbuatan Manusia terbagi menjadi tiga golongan besar
dalam umat Islam, Pertama Mu’tazilah, Kedua Jabariyah, dan ketiga Ahlu
as-Sunnah. Setiap sekte memiliki sudut pandang yang berbeda dalam
menyelesaikan permasalahan Perbuatan Manusia. Tesis ini akan memusatkan
pembahasan terhadap dua sekte yang ada mengacu pada kitab tafsir karya
az-Zamakhsyarî dan Fakhruddîn ar-Râzî. Az-Zamakhsyarî sebagai
perwakilan dari pemikiran sekte Mu’tazilah dan Fakhruddîn ar-Râzî
perwakilan dari sekte Ahlu as-Sunnah.
Pada penjabaran sebelumnya, perbuatan manusia sudah banyak yang
meneliti, yang membedakan penlitian terdahulu dengan penelitian ini adalah
dari sisi perspektif dengan membandingkan dua tokoh Sunni dengan
Mu’tazili antara ar-Râzî dan az-Zamakhsyarî.
Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini ialah: kualitatif
deskritif, karena penelitian ini bermaksud mengekplorasi Perbuatan Manusia
dalam al-Qur’an dan mengkomparasi perbuatan manusia menurut menurut
az-ZamakhsyarĪ dalam karyanya al-Kasysyâf dan Fakhruddîd ar-Râzî dalam
karyanya Mafâtih al-Ghaib. Disebut kualitatif, karena data yang dihadapi
berupa pernyataan verbal. Dan juga penelitian kepustakaan (Library
Research), karena tempat dan sumber data adalah kepustakaan dan buku-
buku, baik karya az-Zamakhsyarî dan Fakhruddîn ar-Râzî maupun karya lain
yang terkait dengan penelitian ini. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai
yaitu: mengungkap, menela’ah, menganalisis dan memaparkan, maka
penelitian ini termasuk deskritif eksploratif dengan pendekatan konten
analisis.
Hasil penelitian ini bahwa az-Zamakhsyarî sependapat dengan sekte
Mu’tazilah dalam merumuskan permasalahan perbuatan manusia yaitu Allah
bukan pencipta perbuatan manusia, melainkan manusia sendiri yang
menciptakan perbuatannya. Masuk syurga atau neraka, iman atau kufur, kaya
atau miskin, sukses atau gagal tergantung pada diri manusia sendiri. Allah
telah memberikan fasilitas pada diri manusia dan Allah memberikan
kebebasan bagi manusia untuk memilih dua jalan yang telah Allah ciptakan
untuk manusia. Sedangkan Fakhruddîn ar-Râzî lebih condong kepada
pendapat Ahlu as-Sunnah yang menyatakan manusia bukan pencipta
perbuatan, masuk syurga atau neraka, iman atau kufur, tergantung kepada
kehendak Allah, jika Allah memasukkan neraka orang yang beriman maka
itu adalah keadilan Allah, namun jika sebaliknya maka itu karunia dari Allah.
vi
Meski perbuatan manusia ciptaan Allah, namun manusia memiliki ikhtiyâr
yang bisa mengarahkan dirinya menuju kepada kebaikan yang diridhai Allah.
vii
ABSTRACT
Discussion on Human Deeds a discussion that was never resolved from time
to time. Scientists from both Islamic theology, interpretation and more often
to discuss these issues. In essence, in the discussion of human deeds are
divided into three major groups within the Islamic community, Mu'tazila
First, Second Jabariyah, and the third the Sunnis. Each sect has a different
point of view to solve the problems of Human Deeds. This thesis will focus on
the two sects interpretation referred to the book of az-Zamakhsharî and
Fakhruddîn Râzî. Az-Zamakhsharî as representatives of the sect thought
Mu'tazila and Fakhruddîn Râzî representatives of the Sunni sect.
In the previous translation, human activity has been much
researched, which distinguishes penlitian prior to this study is from the
perspective by comparing two Sunnis with Mu'tazili between ar-Razi and
az-Zamakhshari.
The method used in this thesis are: Descriptive qualitative, because
this research is intended to explore the act of Man in the Quran and Human
Deeds compare according to according to az-Zamakhsharî in his al-Kasysyâf
and Fakhruddîn Râzî in his Mafâtih al-Ghaib , Called qualitative, because
the data is encountered in the form of verbal statements. And also the
research literature (Library Research), for the place and the data source is
literature and books, both by az-Zamakhsharî and Fakhruddîn Râzî and
other works related to the study. Based on the objectives to be achieved,
namely: Unraveling, researched, analyzed and explained, this study included
descriptive exploratory approach to content analysis.
The results of this study are az-Zamakhsharî agrees with sect
Mu'tazilah in formulating the problem Human Actions that God is not the
creator of human actions, but the man himself who creates his actions. To
viii
heaven or hell, faith or kufr, rich or poor, success or failure depends on the
man himself. God has given the facility on human beings and God gave
freedom for people to choose two paths that God has created for man. While
Fakhruddîn Râzî more inclined to the opinion of the Sunni stating humans
are not the creators of the act, to heaven or hell, faith or kufr, depending on
the will of Allah, if Allah to enter hell those who believe that it is the justice
of God, but otherwise it was a gift from God. Although God's creation of
human actions, but humans have ikhtiyar that can steer itself toward the
goodness that God approves.
xi
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ..................................................................................... i
Pernyataan Penulis ...................................................................................... ii
Kata Pengantar ............................................................................................ iii
Abstrak ........................................................................................................ v
Abstract ....................................................................................................... vii
ix .......................................................................................................... الخلاصة
Daftar Isi ...................................................................................................... xi
Pedoman Transliterasi ................................................................................. xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 13
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 13
D. Perumusan Masalah .................................................................. 13
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................. 14
F. Kajian Pustaka .......................................................................... 14
G. Metodologi Penelitian .............................................................. 16
H. Teknik dan Sistematika Penulisan ............................................ 18
BAB II: KARAKTERISTIK TAFSIR AL-KASYSYĀF DAN MAFĀTIH
AL-GHAIB
A. Tafsir Al-Kasysyâf .................................................................... 21
1. Biografi Az-Zamakhsyarî .................................................... 21
2. Identifikasi Fisik Tafsir Al-Kasysyâf ................................... 23
B. Tafsir Mafâtih Al-Ghaib ........................................................... 30
1. Biografi Fakhruddin Ar-Râzî .............................................. 30
2. Identifikasi Fisik Tafsir Mafâtih Al-Ghaib .......................... 33
BAB III: TEORI UMUM TENTANG PERBUATAN MANUSIA
A. Tinjauan Umum tentang Perbuatan Manusia ........................... 39
1. Definisi Perbuatan Manusia ............................................... 39
2. Kata-kata yang Semakna dengan Perbuatan Manusia
dalam Al-Qur’an ................................................................. 53
B. Tentang Perbuatan Manusia dalam Teologi Islam .................. 67
1. Perbuatan Manusia ............................................................. 67
2. Kebebasan dan Ketergantungan ........................................ 71
3. Kehendak Tuhan dan Perbuatan Manusia ......................... 80
4. Ikhtiar dan Upaya Manusia (Kasb) dan Kekuasaan Allah..84
5. Hubungan Perbuatan Tuhan dengan Perbuatan Manusia....91
xii
6. Qadha dan Qadar .............................................................. 97
BAB IV: DISKURSUS PERBUATAN MANUSIA DALAM TAFSIR
AL-KASYSYᾹF DAN MAFᾹTIH AL-GHAIB
A. Tinjauan Qur’ani ...................................................................... 111
1. Pembahasan Ayat-ayat tentang Kebebasan dan Tanggung
Jawab Manusia ............................................................................ 111
2. Penafsiran Ayat-ayat tentang Kebebasan dan Tanggung
Jawab Manusia ............................................................................ 117
a. Penafsiran Kebebasan Manusia .............................................. 117
b. Penafsiran Tanggung Jawab Manusia .................................... 124
B. Analisa Perbandingan Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Az-Zamakhsyarî dan Fakhruddîn Ar-Râzî ................................. 131
C. Analisa Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia .................... 134
1. Analisa Kebebasan Manusia ................................................... 134
2. Analisa Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia ................ 144
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 151
B. Saran-Saran ................................................................................. 152
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 153
LAMPIRAN ............................................................................................... 161
BIOGRAFI PENULIS .............................................................................. 165
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam tesis ini berpedoman
kepada buku “Pedoman Akademik Program Pascasarjana” yang diterbitkan
oleh Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta, 2011:
1. Konsonan
a : أ
th : ط
b : ب
zh : ظ
t : ت
„ : ع
ts : ث
gh : غ
j : ج
f : ؼ
h : ح
q : ؽ
kh : خ
k : ؾ
d : د
l : ؿ
dz : ذ
m : ـ
xiv
r : ر
n : ف
z : ز
w : ك
s : س
h : ق
sy : ش
, : ء
sh : ص
y : م
dh : ض
2. Vokal
Vokal tunggal vokal panjang vokal rangkap
Fathah : a
...مْ â : أ َ : ai
Kasrah : i
...كْ î : م َ : au
Dhammah : u
û : ك
3. Kata Sandang
a. Kata sandang yang diikuti alif lam (اؿ) qamariyah
xv
دِيػ ن ة al-Baqarah : ا ل بػ ق ر ة al-Madînah : ا ل م
b. Kata sandang yang dikuti oleh alif-lam (اؿ) syamsiyah
ar-rajul : ا لرَّجُل
as-Sayyidah : ا لسَّيِّد ة
س ad-Dârimî : ا لدَّارمِِي asy-syams : ا لشَّم
c. Syaddah (Tasydîd)
Âmnnâ billâhi : أ م نَّاْباِللِْ
السُّف ه اءُْْأ م ن ا : Âmana as-Sufahâ’u
wa ar-rukka’i : ك الرُّك عِْ Inna al-ladzîna : إِفَّْالَّذِي نْ
d. Ta Marbuthah (ة)
ةِْ ف ئِد س لا مِيَّةُْ al-Af’idah : ا لْ al-Jâmi’ah : ا لْ امِع ةُْا لْ
al-Islâmiyyah
Âmilatun‘ : ع امِل ةٌْن اصِب ةٌْ
Nâsibah
al-Âyat : الآي ةُْال كُبػ ر ل
al-Kubrâ
e. Huruf Kapital
xvi
Alî Hasan
al-„Âridh al-Âsqallânî al-Farmawî
Al-Qur‟an Al-Baqarah Al-Fâtihah Dan seterusnya
f. Singkatan-singkatan
Swt. Subẖânahu Wata‟âlâ
Saw. Shallallâhu „Alaihi wa Sallam
a.s. „Alaihissalâm
H. Tahun Hijriyah
M. Tahun Masehi
h. Halaman
Cet. Cetakan
tt.p. tanpa tempat penerbit
t.p. tanpa penerbit
t.t. tanpa tahun
HR. hadis riwayat
QS. Al-Qur‟an surat
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsepsi tentang perbuatan manusia selalu menjadi perdebatan yang
begitu hebat di dunia Islam. Begitu hebatnya perdebatan itu, sehingga
mengakibatkan pembunuhan terhadap para aktifisnya. Nuansa perdebatan itu
pun hingga kini masih terasa. Bahkan, menurut penulis, nuansa itu akan terus
terasa dan terus terjadi hingga di jaman yang akan datang.
Dalam ranah pemikiran Islam (baca; Ilmu Kalam), perbuatan manusia
diinterpretasikan meliputi oleh dua aliran yang paradoks. Pertama, ada yang
memandangnya sebagai kehendak bebas manusia. Bahwa perbuatan-
perbuatan manusia itu adalah diciptakan manusia sendiri. Manusialah yang
berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia bisa lakukan. Sebaliknya, yang
tidak diinginkan, dia bisa saja untuk tidak melakukannya. Kedua, bagi
kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia.
Melainkan oleh Allah Swt. Bagi kelompok ini, manusia tidak bisa berbuat
apa-apa, manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan.
Manusia hanyalah dikendalikan Allah Swt. Aliran pertama ini, dalam
pemikiran Islam dikenal dengan sebutan Qadariyah.1 Sementara yang kedua
disebut Jabariyah .2
1 Qadariyah dari bahasa arab, yaitu dari kata “qadara” yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Lihat dalam Ali bin al-Hasan al-Hunai al-Azdi. Al-Munjid fi al-Ligah, Juz I
(Kairo: „Alim al-Kutub, 1988), h. 436. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannnya atas kehendaknya. Lihat
dalam Ali bin al-Hasan al-Hunai al-Azdi. Al-Munjid fi al-Ligah, h. 436. Term Qadariah
mengandung dua arti, pertama: orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas dan
bebas dalam menentukan perbuatan-pebuatannya. Dalam arti itu Qadariyah berasal dari kata
qadara, yakni berkuasa. Kedua: orang-orang yang memandang nasib manusia telah
ditentukan dari azal. Dengan demikian qadar disini berarti menentukan, yakni ketentuan
Allah atau nasib. Lihat dalam Harun Nasution. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: Ul Press, 1987), h. 102. 2 Jabariyah berasal dari kata jabâra, berarti memaksa atau terpaksa. Di dalam al-
Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat
al-Jabâr (dalam bentuk mubâlagah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan
al-majbur (bentuk isim maf„ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Lihat
dalam Ali bin al-Hasan al-Hunai al-Azdi. Al-Munjid fi al-Lugah, Juz I (Kairo: „Alim
al-Kutub, 1988), h. 162. Selanjutnya, kata jabâra (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi
Jabariyah (dengan menambah ya‟ nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).
Paham al-jabâr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Menurut al-Syahrastani, al-jabr berarti meniadakan
2
Dalam perkembangannya, kedua aliran tersebut ternyata dijadikan
kendaraan politik untuk melanggengkan kekuasaan. Bani Umayyah
merupakan contoh yang dapat mendeskripsikan keadaan tersebut.
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai literature sejarah peradaban Islam,
Bani Umayyah memanfaatkan faham Jabariyah untuk melanggengkan
kekuasaannya.3 Sementara paham Qadariyah pada saat itu menguntungkan
pihak oposisi, dalam hal ini adalah Bani Abbasiyah. Bani Umayyah tentunya
dengan faham Jabariyahnya melakukan berbagai intimidasi bahkan
pembunuhan terhadap para pemberontak pemerintahan. Ketika ditanya,
mengapa mereka melakukan itu? Mereka akan sangat mudah menjawab, “ini
semua bukan atas kehendak kami, melainkan kehendak Tuhan”. Bani
Umayyah menjadikan doktrin agama sebagai landasan bagi tindakan mereka.
Di sinilah politisasi agama [politik dengan topeng agama] pernah
terjadi dalam dunia Islam. Agama dijadikan kendaraan politik untuk meraih
kekuasaan. Mungkin benar apa yang dikatakan George Balandes, agama
memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi agama dijadikan sumber
terbentuknya institusi yang menciptakan berbagai tata-aturan, sedang pada
sisi yang lain ia dapat dijadikan legitimasi bagi berbagai tindakan.4
Konsep tentang perbuatan manusia pun sering dijadikan kambing
hitam dalam menentukan maju dan mundurnya, berkembang dan
terbelakangnya keadaan umat Islam sekarang. Bagi kalangan liberalis, faham
Jabariyah yang menurut mereka kemudian diformulasikan oleh Asy‟ari 5 dan
perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyan-darkan perbuatan itu kepada
Tuhan. Lihat dalam Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 115.
Jabariyah adalah nama bagi sekelompok aliran yang menganut paham atau mazhab
jabar, yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai andil dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya, akan tetapi Allah-lah yang menggerakkannya. 3 Lihat umpamanya Nurkhalis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), Cet. III, h. 14. Fazlur Rahman. Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi
Tentang Fundamentalisme Islam, disunting Ebrahim Moosa, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), Cet. I, h. 62, selanjutnya disebut Gelombang Perubahan dalam Islam. 4Geroge Balandes. Antropologi Politik, (Jakarta: Bina Aksara), 1986, h. 152-153
5Aliran Asyari‟ah adalah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap
tengah- tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum salaf dan Mu‟tazilah. Titik
tengah yang sebenarnya, selamanya tidak jelas, dan tak terbataskan. Dengan sendirinya ia
tidak menyetujui kedua belah pihak, sebaliknya tidak terlepas dari kritik oleh kaum
Mu‟tazilah belakangan di mana pemimpinnya adalah al Qaadi Abdul Jabbar maupun kaum
kaum salaf belakang dimana tokoh terdepannya adalah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah. Dari
sisi lain, orang yang memadukan itu berusaha untuk menyelaraskan dan menghubungkan
antara pandangan- pandangan dari kedua belah kubu yang saling berlawanan. Puncak
tujuannya adalah hubungan ini harus sempurna dalam bentuk yang bisa diterima. Lihat
dalam lihat dalam Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, t.t),
h. 64.
Asy‟ariah pada abad ke- 6 H menjadi madzhab satu- satunya dan akidah yang resmi
bagi madzhab Sunni. Tak Pelak lagi bahwa orang- orang Saljuk dan Ayubiah yang datang
3
dianut oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah, merupakan faktor utama
mundurnya umat Islam sekarang ini. Bagi mereka, jika umat Islam ingin
maju, Qadariyahlah [dalam hal ini maksudnya adalah Mu‟tazilah6] yang
harus dianut atau dijadikan worldview untuk mengembalikan kemajuan
peradaban Islam.
Benarkah demikian? Pemaparan singkat ini mudah-mudahan bisa
memberikan gambaran dan jawaban terhadap pertanyaan di atas.
Mungkin terbersit pertanyaan, apa hubungannya free will dan
Predistintion dengan Qadariyah dan Jabariyah, sehingga kedua aliran
tersebut dijadikan acuan dalam pendahuluan. Menurut Harun Nasution yang
kemudian diikuti Dr. Hasan Zaini, Qadariyah dalam istilah Inggrisnya
dikenal dengan nama free will, sedangkan Jabaiyyah dikenal dengan sebutan
predestination atau fatalism.7 Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat
sekali antara istilah-istilah itu. Namun, di sini yang akan dibicarakan bukan
mengenai kedua aliran itu (baca; Qadariyah dan Jabariyah), melainkan nilai
dan fahamnya. Lagi pula, baik Qadariyah ataupun Jabariyah keduanya itu
lebih cenderung merupakan kelompok politik ketimbang aliran pemikiran
murni (Madzhab).8
sesudah mereka mengakarnya di Timur, dan Ibnu Tumart, murid al Ghazali ini berhasil
mentransfernya ke Maghrib. Hingga saat ini pendapat Asy‟ariah telah menjadi akidah Ahl- al
Sunnah. Pendapatnya dekat sekali dengan pendapat al Maturidi yang satu saat pernah ia
tentang disebabkan oleh persaingan dalam masalah Fiqh, karena ia mewakili syafi‟yiah dan
Malikiah mendominasi pendapat al Asy‟ari. 6Secara harfiah Mu‟tazilah berasal dari i‟tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti menjauhkan diri. Secara teknis Mu‟tazilah menunjuk pada dua
golongan, yaitu golongan Mu‟tazilah I muncul sebagai respon politik murni dan golongan
kedua disebut Mu‟tazilah II sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan
khawarij dan Murji‟ah akibat adanya peristiwa tahkim. Lihat dalam Abdul Rozak, Ilmu
kalam untuk UIN, STAIN, dan PTAIN, (Bandung: CV. Pustaka Setia, t.t.) h. 77
Golongan Mu‟tazilah dikenal juga dengan nama ahl al- „adl yang berarti golongan
yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl at- tauhid wa „adl yang berati golongan yang
mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Mu‟tazilah memberi nama golongan
al Qadariah karena mereka menganut paham free will and free act, yakni bahwa manusia itu
bebas berkehendak dan bebas berbuat.
Mu‟tazilah memiliki lima ajaran dasar teologi, kelima ajaran tersebut tertuang dalam al
Ushul al-khamsah adalah at-Tauhid (pengesaan Tuhan), al-„adl, (Keadilan Tuhan), al-waad
al-wa‟id (janji dan ancaman Than), al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi diantara dua
posisi), dan al amr bi al ma‟ruf wa nahy an al munkar (menyeru kepadada kebaikan dan
mencegah kemungkaran). Lihat dalam Abdul Rozak. Ilmu kalam untuk UIN, STAIN, dan
PTAIN, h. 80 7 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 2002), Edisi Kedua, Cet. I,
h. 33. Hasan Zaini. Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1997), cet. I, h. 60. selanjutnya disebut Tafsir Tematik. 8 Sebagaimana dijelaskan para sejarawan Muslim, Qadariyah merupakan aliran
yang didirikan oleh Ma‟bad al-Juhani dan Ghilan al-Dimsyaqi. Ma‟bad merupakan orang
yang ikut serta dalam pemberontakan terhadap Ibnu al-Ash‟ath. Karena inilah, dia diadili
4
Menurut kalangan rasionalis Islam, yang dimotori Mu‟tazilah9,
manusia mempunyai daya yang besar lagi bebas. Mu‟tazilah sebagaimana
dikatakan al-Syahratsani, bersepakat bahwa manusia mampu menciptakan
perbuatan-perbuatannya, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
Karenanya, manusia, menurut mereka, berhak mendapatkan upah dan siksaan
terhadap apa yang dilakukannya di akhirat nanti. Tuhan itu bersih dari
pemerintahan Abdul Malik dan dieksekusi mati karena mempunyai paham Qadariyah.
Menurut Fazlur Rahman, sangat mungkin ia dieksekusi mati dikarenakan paham
Qadariyahnya dijadikan dalih untuk memberontak. (Fazlur Rahman. Gelombang Perubahan
Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam, h. 58-59) keterangan serupa diberikan
Harun Nasution. Menurutnya, Ma‟bad ikut lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman
Ibn al-Asy‟as, Gubernur Sijistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. (Teologi
Islam, h. 34) Sedangkan Ghilan al-Dimsyaqi dieksekusi mati di bawah pimpinan Umayyah
Hisyam bin Abdul Malik. Dia mati dikarenakan hal yang sama, yakni masalah politik. Dia
juga dituduh menyebarkan propaganda melawan pemerintahan ketika di angkatan darat pada
sebuah ekspedisi di Armenia. (Gelombang Perubahan dalam Islam, h. 58) Data ini menjadi
bukti untuk mengatakan Qadariyah sebagai aliran teologi yang cenderung pada politik,
bukan aliran pemikiran murni. Bukan sebagai sebuah Madzhab. Sementara Jabariyah, ada
yang menarik di sini. Fazlur Rahman berbeda dalam hal ini dengan Harun Nasution. Al-Jad
bin Dirham yang oleh Harun Nasution dikatakan sebagai peletak dasar Jabariyah (Teologi
Islam, h. 35), oleh Fazlur Rahman disebut sebagai pendukung Qadariyah. (Gelombang
Perubahan dalam Islam, h. 58). Saya buka bukunya al-Syahratsani, ketika membahas
Jabariyah, beliau tidak menyebut al-Jad bin Dirham. Syahratsani justru memasukan Jahm bin
Sofyan dalam urutan utama tokoh Jabariyah. (lihat al-Imam Abu al-Fath Muhammad bin
Abd al-Karim al-Syahratsani. Al-Milal wa al-Nihal, al-Juz al-Awwal, Tahqiq. Al-Ustad
al-Syaikh Ahmad Fahmi Muhammad, Dar al-Surur, Bairut, Libanon: 1368 H/1948, Cet. I, h.
112-113). Namun, kendati Fazlur Rahman dan Harun Nasution berbeda, data dari Fazlur
Rahman menarik untuk kita ketahui. Menurut Rahman, al-Jad bin Dirham mempunyai
hubungan dekat dengan cucu Marwan, Marwan bin Muhammad. Bahkan al-Jad bin Dirham
ini adalah guru pribadi Marwan bin Muhammad. Cucu Marwan ini kata Fazlur Rahman
adalah pengikut al-Jad bin Dirham. Pengaruh dia terhadap Marwan bin Muhammad sungguh
begitu banyak. Marwan bin Muhammad sendiri adalah gubernur Jazira yang kemudian
menjadi khalifah terakhir bani Umayyah. (Gelombang Perubahan dalam Islam, h. 59). Jika
kita menerima al-Jad bin Dirham sebagai pendiri Jabariyah, maka kita bisa menyimpulkan
bahwa paham ini cenderung pada gerakan politik. Paham ini menjadi legitimasi politik Bani
Umyyah. 9 Mu‟tazilah, sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, merupakan madzhab [aliran
pemikiran murni], bukan aliran politik. (Gelombang Perubahan dalam Islam, h. 57). Mereka,
kata Rahman, tidak seperti Khawarij. Mereka diam dalam masalah politik karena mereka
hanyalah aliran pemikiran. (ibid, hal. 64). Memang para tokoh Mu‟tazilah pada awalnya
tidak pernah aktif dalam dunia politik. Al-Manshur misalnya, pernah mengajak Ibnu Ubaid
dan kelompoknya yang berfaham Mu‟tazilah untuk membantunya membantu pemerintahan.
Namun mereka menolaknya. (Lihat dalam catatan kaki Dr. Afif Muhammad. Dari Teologi ke
Ideologi; Tela‟ah Atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, (Bandung: Pena
Merah, 2004), Cet. I, h. 16. Selanjutnya disebut Dari Teologi Ke Ideologi). Akan tetapi, pada
akhirnya Mu‟tazilah juga terseret juga dalam masalah politik, terutama pada masa
Abbasiyyah. Bahkan mereka pernah dijadikan Madzhab resmi Negara oleh al-Ma‟mun.
5
penyandaran keburukan dan kedzaliman, dari kekufuran dan kemaksiatan.
Seandainya kedzaliman itu diciptakan Tuhan, berarti Dia dzalim.10
Paham Mu‟tazilah yang memberikan kebebasan dan berkuasanya
manusia, akan lebih jelas lagi jika kita merujuk pernyataan para tokohnya.
Wasil bin Atha misalnya. Dalam masalah ini, pendiri Mu‟tazilah ini banyak
persamaan dengan Ma‟bad al-Juhani dan Ghilan al-Damsyaqi. Menurut
Wasil bin Atha, Allah Swt. itu adil. Tidak boleh menyandarkan kejelekan dan
kedzaliman kepada-Nya, dan tidak boleh (Dia) berkehendak agar hamba-Nya
melanggar perintahNya. Tuhan harus mengadili mereka kemudian membalas
mereka atas perbuatan-perbuatannya. Maka hamba, kata Washil bin Atha,
adalah yang mengerjakan kebaikan dan keburukan. Begitu juga iman, kufur,
ta‟at dan ma‟siat itu pilihan manusia.11 Senada dengan Washil, al-Juba‟i juga
mempunyai pandangan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-
perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada
Tuhan atas kemauannya sendiri. Dan daya (al-isthithâ‟ah) untuk
mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya
perbuatan.12 Begitu juga dengan al-Qadhi Abd al-Jabbar. Menurutnya,
perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Tetapi,
manusia sendirilah yang mewujudkannya. Perbuatan adalah apa yang
dihasilkan13 dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah makhluk yang
dapat memilih.14 Tuhan, menurut Abd al-Jabbar, tidak akan menyiksa atau
memberi pahala kepada seseorang berdasar kehendak mutlak-Nya, tetapi
karena amal yang dilakukannya. Dalam pengertiannya sebagai suatu
tindakan, amal yang dilakukan seseorang terjadi karena pilihan bebasnya.
Karena itu, menjadi mukmin atau kafir bukanlah ditetapkan oleh kehendak
mutlak Tuhan, tetapi merupakan pilihannya sendiri. Akan tetapi, agar pilihan
tersebut berjalan adil pula, Allah wajib menurunkan petunjuk, aturan, dan
mengirim nabi-nabi dengan membawa peringatan. Jika semua itu telah
10
Al-Syahratsani, Al-Milal wa al-Nihal, h. 59 11
Al-Syahratsani, Al-Milal wa al-Nihal, h. 62 12
Al-Syahratsani, Al-Milal wa al-Nihal, h. 105 13
Orang Mu‟tazilah biasanya memakai kalimat yahluqu (menciptakan) terhadap
perbuatan manusia. Namun, di sini penulis merasa ada kerancuan; sebenarnya kata apa yang
digunakan al-Qadh Abd al-Jabbar? Apakah ini kesalahan Harun Nasution dalam
mengartikan? Atau memang, Abd al-Jabbar sendiri yang memakai kata itu. Jika Abd al-
Jabbar sendiri yang memakai kata itu, berarti ini bertentangan dengan pendapat mayoritas
tokoh Mu‟tazilah. Sebab, jika dikatakan menghasilkan, berarti ada sesuatu yang mendorong
sesuatu itu dihasilkan. Jika dikatakan daya manusialah yang menciptakan perbuatan, ini juga
aga rancu, sebab Abd al-Jabbar juga menyatakan daya itu bersifat baharu. Artinya daya juga
diciptakan. Namun, seandainya Abd al-Jabbar meyakini bahwa daya yang baharu itu
diciptakan oleh manusia bukan oleh Tuhan seperti yang dikatakan Harun Nasution,
kerancuan itu bisa hilang. 14
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 103
6
diberikan Tuhan, maka manusia dipersilahkan memilih menjadi iman atau
kafir.15
Dari beberapa keterangan tokoh Mu‟tazilah di atas, jelaslah bahwa
manusia dalam pandangan Mu‟tazilah adalah pencipta perbuatannya.
Kehendak berbuat adalah kehendak manusia. Jika kita perhatikan, pandangan
Mu‟tazilah dalam masalah ini hampir mirip, untuk tidak mengatakan sama,
dengan pandangan Qadariyah. Karenanya, tidaklah mengherankan jika ada
yang menyebut Mu‟tazilah itu adalah Qadariyah.16 Bahkan Fazlur Rahman
menyebut Mu‟tazilah sebagai aliran bentukan dari pengembangan
Qadariyah.17 Meskipun demikian, sebenarnya dari awal Mu‟tazilah menolak
stigma tersebut. Sebagaimana disebut Syahratsani, bagi Mu‟tazilah sebutan
Qadariyah itu lebih tepat diberikan kepada orang yang percaya Qadar Tuhan,
baik dan buruknya.18 Sedangkan Mu‟tazilah itu menganut paham
ikhtirariyyah (pilihan bebas).19
Menurut Harun Nasution, dari pemaparan para tokoh Mu‟tazilah di
atas, tidak dijelaskan apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan
itu adalah juga daya manusia sendiri, bukan daya Tuhan. Dalam hubungan
ini, demikian Harun Nasution, perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk
terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk
melaksanakan kehendak itu dan kemudian barulah terwujud perbuatan.
Harun kemudian menyimpulkan, bahwa bagi Mu‟tazilah ternyata daya untuk
mewujudkan itu adalah daya manusia bukan daya Tuhan. Ini bisa dilihat dari
pernyataan Abd al-Jabbar sendiri. Menurutnya, yang dimaksud dengan
“Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” ialah bahwa
Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah
bergantung wujud perbuatan yang telah dibuat manusia. Tidaklah mungkin
bahwa Tuhan dapat mewujudkan perbuatan yang telah diwujudkan manusia.20
Untuk mendukung pendapatnya ini, al-Jabbâr kemudian memberikan
argument rasional. Manusia, kata al-Jabbar, dalam berterima kasih kepada
manusia atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasih
kepada manusia yang berbuat baik itu pula. Demikian pula, dalam
melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang
15
Afif Muhammad. Dari Teologi ke Ideologi, h. 22 Kalimat wajib yang dipakai oleh
Mu‟tazilah telah menjebaknya kepada pengurangan kehendak Mutlak Allah. Jika dikatakan
“Allah wajib…” artinya di sini Mu‟tazilah telah memaksakan kategori manusianya sendiri di
atas Tuhan yang harus melakukan ini dan tidak melakukan itu. Padahal, penurunan wahyu,
petunjuk, aturan dan mengirim rasul-rasul-Nya adalah merupakan rahmat dan hikmah Allah
subhanahu wa ta‟ala. 16
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 103 17
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, h. 58 18
Al-Syahratsani, Al-Milal wa al-Nihal, h. 58. 19
Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, h. 23 20
Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, h. 104
7
diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Lebih lanjut lagi ia
menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jika
sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan
manusia, perbuatan itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan
demikian bersifat dzalim. Hal ini tidaklah mungkin, tidak bisa diterima akal.21
Abd al-Jabbar tidak hanya menyodorkan argument rasional, tetapi dia
juga menggunakan argument al-naqliyah (Al-Quran) untuk menguatkan
pendapatnya. Dalil (baca; argument) al-naqliyyah yang dipakai Abd
al-Jabbar dan kebanyakan Mu‟tazilah di antaranya adalah; QS. Al-Baqarah
[2]:108, QS. Ali „Imrân [3]:133, QS. Al-Nisâ‟ [4]:79, QS. Al-Taubah [9]:82,
QS. Al-Kahfi [18]:29, dan QS. Al-Taghâbun [64]:2.22
Begitulah pandangan Mu‟tazilah tentang kehendak dan perbuatan
manusia. Bagi Mu‟tazilah perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan,
tetapi adalah perbuatan manusia sendiri, dan seperti kata Asy‟ari, perbuatan
manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kata kiasan.
Dengan kata lain, manusia adalah pencipta (khâliq) perbuatan-perbuatannya.
Ini jelas sekali bertentangan dengan Ijma‟ ulama tentang tidak adanya
pencipta kecuali Allah Swt. Karena inilah, lawan-lawannya menuduh mereka
mempunyai paham syirik atau polytheisme. Bahkan al-Asy‟ari dan
al-Maturudi menuduhnya tidak lagi membutuhkan Tuhan.23
Berbeda dengan Mu‟tazilah, al-Asy‟ari, kata Harun Nasution,
memandang lemah manusia. Karenanya, al-Asy‟ari lebih dekat kepada
paham Jabariyah. Manusia dalam kelamahannya banyak bergantung kepada
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
manusia dengan kemauan dan kekuasan mutlak Tuhan, al-Asy‟ari memakai
kata al-kasb (acquisition, perolehan).24
Dalam kitabnya al-Maqalat, sebagaimana dikutip Harun Nasution,
Arti al-kasb menurut al-Asy‟ari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan
perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan
atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Di kitabnya
yang lain, al-Luma, al-Asy‟ari juga memberi penjelasan yang sama. Arti
yang sebenarnya dari al-Kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-muktasib
(acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan.25
21
Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, h. 105 22
Hasan Zaini, Tafsir Tematik, h. 62. Untuk mengetahui interpretasi Abd al-Jabbar
terhadap ayat-ayat tersebut lihat Tafsir Tematik, h. 64-65 23
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107. Kata “menuduh” dikutip langsung dari
tulisan Harun Nasution. 24
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107-108 25
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107-108
8
Tentang teori al-Asy‟ari di atas, Harun Nasution memberi komentar.
Menurutnya, term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung arti
kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan
mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-
perbuatannya. Kata-kata timbul dari yang memperoleh membayangkan
kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau perolehan mengandung arti
keaktifan dan dengan demikian tangggung jawab manusia atas perbuatannya.
Tetapi keterangan bahwa kasb itu adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti
keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-
perbuatannya.26
Pendapat al-Asy‟ari seperti di atas, dapat dilihat dari urainnya
mengenai perbuatan-perbuatan involunter dari manusia. Dalam perbuatan-
perbuatan involunter, kata al-Asy‟ari, terdapat dua unsur; pertama penggerak
yang mewujudkan gerak dan kedua badan yang bergerak. Penggerak dalam
hal ini maksudnya adalah Tuhan, sedangkan yang bergerak maksudnya
adalah manusia. Yang bergerak bukanlah Tuhan, sebab, gerak menghendaki
tempat yang bersifat jasmani, sedangkan Tuhan tidak mempunyai bentuk
jasmani. Dari sinilah kemudian al-Asy‟ari mengemukakan teori kasbnya.
Menurutnya, al-Kasb juga serupa dengan gerak involunter, yakni mempunyai
dua unsur; pertama pembuat (Tuhan) dan kedua yang memperoleh perbuatan
(manusia). Pembuat yang sebenarnya dalam kasb adalah Tuhan, sedangkan
yang memperoleh perbuatan adalah manusia. Tuhan tidak menjadi yang
memperoleh perbuatan, karena kasb terjadi hanya dengan daya yang
diciptakan, dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.27
Menurut Harun Nasution, jika dilihat uraian al-Asy‟ari di atas,
jelaslah sebenarnya tidak ada perbedaan antara perbuatan involunter dan
al-kasb. Dua-duanya merupakan dari Tuhan. Tuhanlah yang menjadi
pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Manusia hanyalah
sebagai tempat mewujudkan dan berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Jika
demikian, kata Harun, kasb, sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan
involunter, merupakan perbuatan paksaan dan perbuatan di luar kekuasaan
Tuhan. Namun, bagi al-Asy‟ari, demikian Harun Nasution, kadua hal itu
berbeda. Dalam perbuatan involunter, manusia terpaksa melakukan sesuatu
yang tidak dapat dielakkannya, walau bagaimanapun ia berusaha, namun
dalam al-kasb paksaan yang demikian tidak teradapat. Gerak manusia yang
berjalan pulang pergi berlainan dengan gerak manusia yang menggigil karena
demam. Meskipun keduanya sama-sama mengandung unsur gerak, namun
tetap saja berbeda. Dalam hal yang pertama terdapat daya yang diciptakan,
sedangkan dalam hal yang kedua terdapat ketidakmampuan. Karena dalam
26
Harun Nasution. Teologi Islam, h. 107-108 27
Harun Nasution. Teologi Islam, h. 108-109
9
hal pertama teradapat daya, kata Asy‟ari, perbuatan itu tidak dapat disebut
paksaan; kepadanya diberi nama al-kasb. Begitupun, kedua perbuatan itu
adalah ciptaan Tuhan.28
Di sini belum jelas, daya yang menyebabkan manusia mewujudkan
perbuatan itu apakah bersatu dengan diri manusia atau tidak? Apakah daya
itu ada sebelum perbuatan atau ada bersama-sama perbuatan? Menurut al-
Asy‟ari, daya itu lain berpisah dari diri manusia sendiri, karena manusia
terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa. Daya tidak terwujud
sebelum adanya perbuatan; daya itu ada bersama-sama dengan adanya
perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja. 29
Dalam paham al-Asy‟ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua
daya; daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang
efektif pada ahirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan.30 Itu
argument-argumen al-Asy‟ari secara rasional. Al-Asy‟ari menggunakan dalil
Al-Quran untuk menguatkan teologinya. Alasan al-Asy‟ari berpendapat
bahwa perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan didasarkan pada QS.
Al-Shâffât [37]:96.
Wa mâ ta‟malun dalam ayat di atas diartikan al-Asy‟ari “dan apa
yang kamu perbuat”. Jadi, secara global ayat itu diartikan “Dan Allahlah
yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat”. Dalam edisi al-Quran
terjemah Indonesia juga artinya sama seperti itu. Jika merujuk pada kitab
tafsir bi al-Ma‟tsûr, misalnya Tafsir Al-Quran Al-„Adzîm, karya Ibnu Katsir,
maknanya juga hampir sama dengan yang diungkapkan al-Asy‟ari. Ketika
menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat Bukhari dalam
kitab Af‟al al-„Ibâd yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta‟aala adalah pencipta setiap pembuat
(pekerja) dan perbuatannya (pekerjaannya)”.31
Namun, karena argument inilah al-Asy‟ari banyak mendapat kritikan. Fazlur
Rahman misalnya. Dia mengkritik al-Asy‟ari baik karena argument naqlinya
ini, ataupun teorinya tentang kasb (acquire, memperoleh). Tentang isitlah al-
Kasb yang digunakan al-Asy‟ari, pernyataan Rahman sangatlah menarik.
Menurut Rahman, al-Asy‟ari ketika ditanya mengapa ia menggunakan kata
acquire daripada kata do berkenaan dengan manusia. Jawaban al-Asy‟ari,
sebab Al-Quran pun begitu. [padahal] Al-Quran, kata Rahman, tentu, dengan
jelas menggunakan kata “do” (fa‟ala) dan “perform” („amala) berkenaan
dengan manusia. Sementara istilah al-Kasb oleh Al-Quran agak jarang
28
Harun Nasution. Teologi Islam, h. 108-109 29
Harun Nasution. Teologi Islam, h. 111 30
Harun Nasution. Teologi Islam, h. 112 31
Al-Imam al-Hafidz „Imaad al-Din Abu al-Fida Isma‟il bin Katsir al-Qaraisy
al-Dimsyaqi. Tafsir al-Quran al-„Adzim, al-Juz al-Raabi‟, (Bairut: Dar al-Jail, 1411 H/1991
M), h. 15
10
digunakan. Al-Quran tampak mengunakan istilah ini ketika ingin
menegaskan tidak hanya menunjukkan perbuatan tetapi membangkitkan rasa
tanggung jawab terjadap perbuatan manusia, baik atau buruk. Karena itu,
demikian Rahman, al-Asy‟ari pasti melakukan penekanan terhadap makna
Al-Quran di sini. 32
Sedangkan mengenai interpretasi al-Asy‟ari terhadap QS. Al-Shâffât
[37]:96, di sini pernyataan Rahman juga sangat menarik. Kata Rahman,
interpretasi al-Asy‟ari terhadap ayat itu merupakan usaha yang sangat
rasional untuk membuktikan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia.
Ini merupakan bagian pembicaraan Ibrahim kepada orang-orang yang
menyembah berhala. Saat itu, Ibrahim berkata pada mereka; “Apakah kamu
menyembah apa yang kamu bentuk [pahat]? Jelas, kata Rahman, bahwa ayat
ini juga menyatakan bahwa Ia-lah Tuhan yang telah menciptakan kamu dan
berhala-berhala yang telah kamu buat itu. Tetapi al-Asy‟ari, demikian
Rahman, mengganti kata-kata “apa yang kamu buat” dengan kata-kata “apa
yang kamu lakukan”. Dalam bahasa Arab, wa mâ ta‟malûn, sangat rentan
terhadap dua penafsiran. Tetapi secara jelas, konteks itu melawan interpretasi
Asy‟ari. 33
Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu‟tazilah
ataupun Asy‟riyah, pada dasarnya ingin membela Allah Swt. Mu‟tazilah
dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah Swt. dalam masalah
keadilan. Bagi mereka, Allah Swt. itu harus adil. Dia tidak mungkin
dinisbatkan dengan kejahatan dan kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat
dalam perbuatan manusia. karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk,
jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia.
Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan
dan kehendak Mutlak Allah Swt. Di lain sisi, dengan penekanan yang
berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy‟ariyah
menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia
bisa saja melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Dia bisa saja
memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal,
surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy‟ari juga
terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, Rahmat dan
Hikmah-Nya. Mungkin perkataan Afif Muhammad ada benarnya juga.
Dengan memberi takanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu‟tazilah
telah mengorbankan tauhid af‟âl, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada
tauhîd af‟âl, Asy‟ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan.34
Persoalan perbuatan manusia menjadi topik yang sangat populer
dalam sejarah pemikiran Islam oleh kalangan mutakallimin. Silang pendapat
32
Fazlur Rahman. Gelombang Perubahan Dalam Islam, h. 78 33
Fazlur Rahman. Gelombang Perubahan Dalam Islam, h. 78-79 34
Afif Muhammad. Dari Teologi ke Ideologi, h. 26
11
yang terjadi di kalangan Ahli Ilmu Kalam dalam menanggapi persoalan
manusia. Persoalan manusia itu merupakan topik kajian yang ramai dan
cukup menarik, sekaligus amat penting. Di samping itu karena ia menyangkut
keyakinan mendasar yang terkait erat dengan aktifitas kehidupan dan
berimplikasi pada etos kerja manusia, persoalan ini juga telah mengantarkan
pola pikir para teolog Islam pada tataran yang lebih filosofis.
Bila dianalisa ulang, adanya perdebatan yang dimulai dari masa klasik
hingga sekarang antar sekte Islam dalam perbuatan manusia tidak dapat
dipadukan dan disatukan, sebab dalam Al-Qur‟an sendiri ayat-ayat yang
menjelaskan perbuatan manusia tidak menjelaskan secara detail yakni di
sebagian ayat menjelaskan bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan
Allah dan ayat lain menjelaskan manusia sendiri yang menciptakan
perbuatannya. Ini juga menjadi pemicu munculnya perbedaan para mufassir
dalam memutuskan perbuatan manusia. Hal ini yang membuat penulis
tertarik untuk meneliti perbuatan manusia.
Dari sini penulis menganggap penting untuk membahas perbuatan
manusia versi az-Zamakhsyarî (467-538 H) yang terkenal dengan penafsiran
mazhab Mu‟tazilah, agar supaya kita mengetahui dengan jelas seperti apa
perbuatan manusia menurut kacamata az-Zamakhsyarî yang sekaligus penulis
komaparasikan dengan penafsiaran ar-Râzî (544-606 H) yang mazhab
akidahnya mengikuti Ahli Sunnah. Tidak hanya mencantumkan pendapat dua
tokoh tafsir di atas, akan tetapi penulis berusaha menganalisa baik dari
keunggulan dan kelemahan antara dua tokoh yang berlawanan aliran di atas.
Alasan penulis mengambil tokoh az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî:
Pertama, Ketika membahas sunni dan mu‟tazilah, yang muncul dalam
kesimpulan awal dihampir setiap pemerhati adalah disintegrasi yang
berlebihan. Bahkan dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, kedua aliran
dalam kalam ini pernah saling menghabisi dan tidak sedikit telah
mengakibatkan pertumpahan darah. Al-Mihnah seperti yang terjadi pada
masa khalifah al-Ma‟mun dari Daulah Abbasiyah menjadi fakta yang tidak
dapat dipungkiri. Dimana penguasa dengan seenaknya melenyapkan nyawa
para ulama yang tidak sepaham dengan rezim penguasa.
Kedua, pertentangan kalam yang terjadi antara Sunni dan Mu‟tazilah
ternyata tidak hanya terjadi antara rezim penguasa dengan rakyat yang
dianggap pembangkang, namun sedemikian jauh merasuk pada setiap segi
kehidupan umat Islam kala itu, tidak terkecuali pada kehidupan para ulama
sebagai pengayom umat. Mayoritas ulama dari semua aliran kalam yang
pernah ada ternyata dijadikan sebagai pihak pencari legalitas dan argumentasi
normatif baik dari al-Qur‟an dan hadis, seperti yang terjadi pada diri Imam
az-Zamakhsyarî yang Mu‟tazili dan Imam ar-Râzî yang Sunni.
12
Ketiga, tulisan ini akan mengungkap “keganasan” kedua aliran Sunni
dan mu‟tazilah dalam memaksakan faham teologisnya kepada pihak lain,
dengan mengangkat kajian konsep perbuatan manusia sebagai tema pokok.
Sementara az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî adalah dua tokoh yang dianggap
dapat mewakili masing-masing aliran dari Mu‟tazilah dan Sunni, mengingat
kedua ulama besar ini sangat berpengaruh dan begitu dihormati karena
ke‟alimannya dalam ilmu agama. Disamping itu, kedua tokoh ini telah
mampu merepresentasikan faham alirannya dalam bentuk tafsir yang
demikian besar.
Keempat, az-Zamakhsyarî telah menyusun Tafsir al-Kasysyâf dan
ar-Râzî menyusun Tafsir Mafâtih al-Ghaib, kedua tafsir ini isinya saling
menyerang teologi yang dianggapnya sesat, bahkan tidak segan-segan
masing-masing menjastivikasi lawannya sebagai pihak yang kâfir, dan
seterusnya. Kontrofersi yang terjadi antara satu aliran dengan aliran yang lain
dalam tubuh Islam, kendati awal mulanya hanya berkisar pada masalah
politik.
Kelima, permasalahan ini juga telah menghibas kepada para
mufassirin yang secara kebetulan mereka memegang dari salah satu dari
aliran tersebut. Misalnya; Imam az-Zamakhsyarî sebagai seorang tokoh
Mu‟tazilah yang ber madzhab Hanafi dalam masalah fiqh, dengan susah
payah berusaha untuk memberikan satu alternatif penafsiran Al-Qur‟an
berdasarkan metode yang diajukannya. Dengan bekal kemahirannya dalam
bidang ilmu kebahasaan (balaghah) ia berusaha menafsirkan Al-Qur‟an yang
disesuaikan dengan doktrin (faham) yang dianutnya (mu‟tazilah) bahkan
menurut Basuni Faudah, bila ia (az-Zamakhsyarî) menemukan suatu ayat
yang kontradiksi dengan fahamnya, maka tak segan-segan ia melakukan
penyimpangan dan memanipulasi. Hal ini ia lakukan dalam rangka untuk
membela madzhabnya, terutama sekali ketika menghadapi lawannya (Ahlus
Sunnah) yang dikecamnya secara habis-habisan. Seperti halnya ketika ia
berbicara masalah Al-Qur‟an, ia pun sependapat dengan orang-orang
Mu‟tazilah lainnya, sebagaimana ia kemukakan dalam Muqadimah
tafsirannya.
Keenam, golongan Ahlus Sunnah yang merasa diserang tentu saja
tidak tinggal diam, diantara mereka yang ahli dalam bidang tafsir, seumpama
Imam Fakhruddîn ar-Râzî tampil kepermukaan untuk menjawab serangan
tersebut. Fakhruddîn ar-Râzî, sebagai seorang yang beraliran Sunni dengan
madzhab fiqh Syafi‟i dalam berbagai kesempatan mengambil sikap
menentang terhadap golongan Mu‟tazilah dan menyerang pendapat-pendapat
mereka yang dianggapnya salah. Sungguh, sekalipun ulama-ulama Ahlus
Sunnah menentang aqidah Mu‟tazilah yang dianut Imam az-Zamakhsyarî,
tetapi mereka banyak meragukan manfa‟at darinya, terutama dalam masalah
13
metodologi dan ilmu balaghah, demikian juga Imam Fakhruddîn ar-Râzî
sering mengitip pendapat az-Zamakhsyarî.
Dengan dilatarbelakangi hal-hal tersebut itulah penulis terdorong
untuk menulis tesis ini dengan judul: “KONSEP PERBUATAN MANUSIA
DALAM AL-QUR’AN (Studi Komparatif Tafsir Al-Kasysyâf Karya
Az-Zamakhsyarî dan Mafâtih Al-Ghaib Karya Fakhruddîn Ar-Râzî)”
B. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah penelitian yang berkaitan dengan judul yang di atas
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Adapun identifikasi masalah Perbedaan ahlu sunnah wal jamaah
dengan aliran mu‟tazilahdi antaranya adalah:
1. Penasiran az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî terhadap ayat-ayat Perbuatan
Manusia dalam Al-Qur‟ân.
2. Peran Perbuatan Manusia dalam merubah Qadha‟ dan Qadar Allah.
3. Penyebab maraknya Perbuatan Manusia.
4. Tanggapan sekte Mu‟tazilah terhadap pendapat Mu‟tazilah dalam
masalah Perbuatan Manusia.
5. Hukum orang yang tidak mempercayai Qudrah Allah yang bersifat
universal.
6. Persamaan dan perbedaan penafsiran az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî
terhadap ayat-ayat Perbuatan Manusia.
C. Pembatasan Masalah
Masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini cukup banyak
dan tentu saja tidak semua masalah itu dapat diteliti secara sekaligus. Oleh
karena itu, perlu dibatasi hanya pada masalah-masalah sebagai berikut:
1. Penafasiran az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî terhadap ayat-ayat Perbuatan
Manusia dalam Al-Qur‟ân.
2. Persamaan dan perbedaan penafsiaran az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî
terhadap ayat-ayat Perbuatan Manusia.
D. Perumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah yang akan dijadikan sebagai fokus
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Penafasiran az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî terhadap ayat-
ayat Perbuatan Manusia dalam Al-Qur‟ân?
2. Bagaimana Persamaan dan perbedaan penafsiaran az-Zamakhsyarî
dan ar-Râzî terhadap ayat-ayat Perbuatan Manusia?
14
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui penafasiran az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî terhadap
ayat-ayat Perbuatan Manusia dalam Al-Qur‟ân.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran
az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî terhadap ayat-ayat Perbuatan Manusia.
1. Tujuan Penelitian
a) Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk diajukan sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag.).
b) Tujuan penulisan adalah untuk menambah keilmuan yang lebih
mendalam tentang perbuatan manusia karena permasalahan ini sampai
sekarang belum tuntas perdebatannya.
2. Kegunaan Penelitian
a) Kegunaan Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dalam
bidang tafsir terutama masalah Perbuatan Manusia yang mana hingga saat ini
masih tetap menjadi pembahasan kontroversial antara tokoh tafsir dan
teologi. Penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi koleksi
perpustakaan khususnya perpustakaan IIQ Jakarta di bidang tafsir.
b) Kegunaan Praktis
Penelitian ini memberi warna lain dalam wacana sekitar Perbuatan
Manusia sehingga dapat mengetahui mana pendapat yang lebih relevan dan
tepat dalam memutuskan permasalahan tersebut tanpa menafikan sifat Allah
yang Maha Kuasa.
F. Kajian Kepustakaan
Hasil penelitian tersebut tentunya mempunyai arti yang sangat
penting, karena akan menambah khazanah ilmu keislaman dan menjadi
sumbangan pemikiran yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Di
antaranya kajian kepustakaan yang terdahulu ialah:
Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur‟an (Suatu Kajian Tafsir
Tematik) Jalaluddin Rahman, Jakarta: Bulan Bintang 1992, Cet. I. Dalam
kajian itu, Jalaluddin Rahman menulis; tentang penafsiran aksiologi kasb
dalam Al-Qur‟an, ia banyak menjelaskan tentang tanggung jawab manusia
terhadap semua kasb yang dilakukannya serta serta akibat-akibat apa yang
akan timbul baik pribadi maupun kelompok. Dalam pembahasan ini
dilakukan secara metode mawdhû‟i, dedukasi dan indukasi. Dengan
menggunakan tiga kitab tafsir, yaitu Tafsir Baydhawi (Ahlussunnah), Tafsir
al-Kasysyâf (Mu‟tazilah) dan Tafsir al-Manar (pembaharuan).
15
Af‟âl al-„Ibâd dalam Al-Qur‟an: Kajian Komparatif Tafsir
al-Kasysyâf Karya az-Zamakhsyarî dan Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‟wîl
Karya al-Baidawi, Tesis, Muhammad, Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Surabaya 2015. Dalam kajian ini, Muhammad menulis; tentang analisa
kebebasan manusia menurut az-Zamakhsyarî dan al-Baidawi, ia banyak
menjelaskan tentang perbuatan manusia tanpa kontrol Allah, ayat-ayat
Al-Qur‟an mengindikasikan Allah pengatur perbuatan manusia, qadha dan
qadar. Penelitian ini bersifat deskritif kulitatif dan mengkomparasikan Af‟âl
al-„Ibâd menurut az-Zamkhsyari dan al-Baidhawi.
Penafsiran az-Zamakhsyarî tentang ayat-ayat Kalam dalam Tafsir al-
Kasysyâf, Tesis, Bustomi Saladin, Institu Ilmu Qur‟an Jakarta, 2003. Dalam
kajian ini, Bustomi Saladi menulis; tentang pandangan az-Zamakhsyarî
terhadap ayat-ayat kalam dalam tafsir al-Kasysyâf yang menyangkut tentang:
ayat-ayat mutasyabih, Sifat-sifat Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan manusia,
konsep iman dan kufur. Penelitian ini dengan pendekatan deskritif analitik,
dengan metode tahlili (analisa).
Takdir dan Ikhtiyar dalam Al-Qura‟an Menurut Ibn Qayyim
Al-Jauziyyah, tesis, Suhilman, Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, 2003. Dalam
kajian ini, Suhilman menulis; tentang interpretasi Ibn Qayyim terhadap ayat-
ayat takdir dan ikhtiyar dalam Al-Qur‟an, yang menyangkut tentang:
kehendak dan kekuasaan absolut Tuhan, kebebasan dan ketertarikan manusia,
dan keadilan Tuhan. Penelitian ini diklasifikasi menurut rancangan
tema-tema yang sudah disusun, dan dideskripsikan dengan tema penelitian
melalui analisis isi.
Takdir dalam Perpektif Al-Qur‟an (Studi ayat-ayat Takdir dengan
Pendekatan Tematik), Tesis, Fathimah Askan, Institut Ilmu Al-Qur‟an
Jakarta, 2007. Dalam kajian ini, Fathimah Askan menulis; tentang takdir
manusia dalam Al-Qur‟an, yang meliputi tentang; manusia sebagai makhluk
Allah, kedudukan manusia, kebebasan dan keterbatasan manusia,
kemampuan dan keterbatasan manusia, hubungan manusia dengan Allah dan
makhluk lain. Analisa teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah
berkenaan dengan ayat-ayat takdir yang kemudian dikumpulkan dan
diklarifikasikan dengan memakai analisis linguistik, sistem dan komparatif.
Al-Kasb dalam Perpektif Teologis Al-Asy‟riyah, Disertasi, Nukman,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002. Dalam kajian ini, Nukman menulis;
tentang implikasi pemahaman al-kasb dan suatu tinjauan tentang: beberapa
tanggapan/ ulasan terhadap konsep kasb al-Asy‟ari, pemahaman modern
tentang perbuatan manusia, qadha dan qadar, suatu tinjauan. Menggunakan
16
analisis kritis dengan fokus penelitiannya adalah mendeskripsikan,
membahas dan mengkritik.
Pada penjabaran sebelumnya, perbuatan manusia sudah banyak yang
meneliti, yang membedakan penlitian terdahulu dengan penelitian ini adalah
dari sisi perspektif dengan membandingkan dua tokoh Sunni dengan
Mu‟tazili antara ar-Râzî dan az-Zamakhsyarî. Dari sekian banyak judul tesis
dan disertasi yang telah diteliti, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
tesis dengan judul: “Konsep Perbuatan Manusia dalam Al-Qur’an : Studi
Komparatf Tafsir Al-Kasysyâf Karya Az-Zamakhsyarî dan Mafâtih
Al-Ghaib Karya Fakhruddîn Ar-Râzî”, penulis masih belum menemukan
skripsi, tesis, disertasi, dll, dengan mengkomparasi dua tokoh yang saling
menyerang itu. Disini penulis lebih memfokuskan penafsiran ayat-ayat
teologi yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang terkesan kontradiktif
yaitu penafsiran manusia bebas berkehendak dan manusia bertanggung jawab
atas setiap pilihan kehendaknya, dengan metode content analysis, analisis
mawdhû‟i, analisis komparatif dan analisis isi. Oleh karena itu, penulis
mengangkat tema ini, agar dapat menjadi khazanah keilmuan bagi para
pembaca.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian Penelitian ini sepenuhnya menggunakan penelitian
kepustakaan (library research), karena sumber data yang akan dianalisa dan
digunakan dari bahan tertulis, baik berkaitan langsung atau tidak langsung
dengan tema yang akan dibahas. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu
penelitian yang lebih menekankan analisis pada proses penyimpulan deduktif
dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang
diamati.35
2. Sumber Data
Untuk memperoleh data yang lengkap penulis mengutip dari berbagai
pustaka, baik itu dari Sumber Primer, yaitu tafsir Mafâtih al-Ghaib dan tafsir
al-Kasysyâf maupun Sumber Sekunder36 digunakan buku-buku lain yang
35
G.R. Raco, Metode penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulan
(Jakarta: Grasindo, 2010), h. 46 36
Islam Rasional, karya Nasution, Harun. Kitâb Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, karya
Muhammad Husein al-Dzahabi. Tafsir Hikmah, karya Juhaya S. Praja. Ilmu Kalam, karya
KHM Taib Thahir. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, karya Abdul Mustaqim. Kitab
Pengantar Studi Ilmu Qur‟an, karya Syaikh Manna‟Al Qaththan. Corak Tafsir falsafi Ibn
Rusyd, karya Abdul Mustaqim. Skripsi Penafsiran al-Râzî Terhadap Fitnah dalam al-
Qur‟an, karya Syofullah Anwar. Kitab Az-Zamakhsyarî Lughawiyan wa Mufasiran, karya
17
membahas tentang riwayat ar-Râzî dan az-Zamakhsyarî, buku-buku tentang
teologi dan lain-lain.
Metode pengumpulan data dari literatur ini yang terdiri dari paradigma,
teori, konsep, metode pendekatan dan pemahaman ayat-ayat tentang
perbuatan manusia dilakukan melalui analalisis kritis dan interpretasi data
atas berbagai referensi terutama penafsiran ayat-ayat yang berhubungan
dengan perbuatan manusia. Adapun tentang biografi Imam Ar-Râzî dan
az-Zamakhsyarî penulis dapatkan dalam berbagi buku-buku yang membahas
tentang ar-Râzî dan az-Zamakhsyarî yang sudah beredar.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, digunakan teknik instrument data
dokumentasi37
dengan menganalisa sumber data tersebut. Mengumpulkaan
semua data kualitatif yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
4. Metode Analisis Data
Untuk mengarahkan keakuratan dan ketepatan analisa digunakan
metode content analysis38
atau disebut juga dengan analisis isi yaitu suatu
cara sistematik untuk menganalisis isi pesan, mengolah pesan dan
mempertajam isi bahasan. Sedangkan untuk menulis data akan digunakan
analisis tematik39
, analisis komparatif,40
dan analisis isi. Analisis linguistic
Murtadha Ayatullah Zad az-Sairazi. Kitab Mu‟jam al-Adibba‟, karya Yaqut al-Himawi.
Kitab Al-Masail al-I‟tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyarî, karya Shalih
Gharamullah al-Ghamidi. Kitab At-Tafsir wal Mufassiruun, karya Muhammmad Husain
al- Zahabi(.) 37
Dalam karya seseorang dapat dijadikan sebagai dokumentasi karena dapat
dijadikan sumber data, lihat Sartono Karto Dirjo, Metode Penggunaan Bahasa Dokumen
dalam Koentcaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1994), h. 44-45 38
Guide H. Stempel, Content Analysis, alih bahasa Jalaluddin Rahmat & Arko Kasta
(Bandung: Arai Komunikasi, 1983), h. 8 39
Al-Farmawi di dalam kitab Al-Bidâyah fî al-Tafsir al-Maudhû‟iy. Lihat dalam
Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Maudhu‟i, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 45-46. Secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu
karya tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memilih atau
menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji secara maudhû‟iy (tematik). 2. Melacak dan
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat
Makkiyyah dan Madaniyyah. 3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut
kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau
asbâb an-nuzûl. 4. Mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-
masing suratnya.. 5. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna dan utuh (outline). 6. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila
dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas. 7.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun
ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian „âm
18
dilakukan mengindikasikan perbuatan manusia. Sedangkan analisis
komparatif dilakukan dengan membandingkan pandangan Ar-Râzî dan
az-Zamakhsyarî.
H. Teknik dan Sistematika Penulisan Teknis penulisan ini menggunankan standar transliterasi dan
penulisan note dengan mengikuti buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Institut Ilmu
Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta tahun 2011.41
Teknik dan pokok-pokok pikiran yang dikemukakan sebelumnya,
disusun dengan tata urut penulisan sebagai berikut:
Secara umum tesis ini akan terbagi ke dalam lima bab pembahasan.
Bab pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, teknik dan istematika
penulisan.
Bab kedua, karakteristik tafsir yaitu tafsir al-Kasysyâf dan Mafâtih al-Ghaib
untuk memperkenalkan tokoh dan kitab dari produk tafsir dengan itu penulis
memaparkan tafsir al-Kasysyâf meliputi biografi az-Zamaksyarî dan
identifikasi fisik tafsir al-Kasysyâf. Selanjutnya tafsir Mafâtih al-Ghaib
meliputi biografi Fakhruddîn ar-Râzî dan dentifikasi fisik tafsir Mafâtih al-
Ghaib.
Bab ketiga, teori umum tentang perbuatan manusia meliputi tinjauan umum
tentang perbuatan manusia yaitu definisi perbuatan manusia dan kata-kata
yang semakna dengan perbuatan manusia dalam Al-Qur‟an. Selanjutnya
tentang perbuatan manusia dalam teologi Islam yaitu Perbuatan Manusia,
Kebebasan dan Ketergantungan, Kehendak Tuhan dan Perbuatan Manusia,
Ikhtiar dan Upaya Manusia (Kasb) dan Kekuasaan Allah, Hubungan
Perbuatan Tuhan dengan Perbuatan Manusia.
dan khash, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang
lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat
tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan
terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat. Lihat dalam M. Alfatih
Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 48, 8. Menyusun
kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap masalah yang dibahas. Lihat
dalam Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (t.tp.: Tafakur, t.t.), h. 116. 40
Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain dan perbandingan penafsiran
mufassir dengan mufassir yang lain. Sedangkan dalam perbedaan penafsiran mufassir yang
satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik
temu diantara perbedaan-perbedaan itu bila mungkin, dan mentarjîh salah satu pendapat
setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing. Lihat dalam M. Quraish Shihab,
dkk, Sejarah dan „Ulûm al-Qurân, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 191 41
Tim Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi, (Jakarta: IIQ Press, 2011).
19
Bab keempat, diskursus perbuatan manusia dalam tafsir al-Kasysyâf dan
Mafâtih al-Ghaib: di antaranya dari segi tinjauan Qur‟ani yang berisi tentang
pembahasan ayat-ayat tentang kebebasan dan tanggung jawab manusia dan
penafsiran az-Zamaksyarî dan Fakhruddîn ar-Râzî. selanjutnya penulis
menganalisa perbandingan persamaan dan perbedaan antar penafsiran
az-Zamakhsyarî dan Fakhruddîn ar-Râzî. Dan terakhir penulis memaparkan
Kebebasan dan Tanggung Jawan Manusia.
Bab kelima, penutup yang berisi kesimpulan dari isi tesis dan juga
dicantumkan saran-saran yang memotivasi penulis agar penulisan ini lebih
baik untuk ke depannya.
151
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan perbuatan manusia versi az-Zamakhsyarî
dan ar-Râzî yang sudah lewat, maka bisa disimpulkan menjadi beberapa poin
sebagaimana berikut:
1. Penafsiran az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî terhadap ayat-ayat Perbuatan
Manusia:
a) Penafsiran Az-Zamakhsyarî
Az-Zamakhsyarî berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh yang
tunduk kepada akal. Kebebasan berkehendak erat hubungannya
dengan keadilan Tuhan. Az-Zamakhsyarî memandang keadilan Tuhan
menjadi hilang jika seseorang dituntut harus
mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau jika
ia dihisab tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki.
b) Penafsiran ar-Râzî
Menurut Ar-Râzî semua perbuatan, baik dan buruk, diciptakan oleh
Allah. Sama sekali tidak ada keraguan dalam hal ini. Merupakan
kesalahan tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu
menciptakan perbuatan kafirnya, karena seseorang tidak menciptakan
kecuali apa yang dituju dan diinginkannya. Kekafiran itu adalah
sesuatu yang fasid dan jelek, tidak patut diinginkan, maka jika ia
datang dengan tanpa unsur kesengajaan dari penciptanya maka tidak
mungkin jika padahal penciptanya. Pada hakikatnya, yang bukan
pencipta tidak boleh mencipta. Sehingga kemungkinan penciptanya
tinggal Allah Swt.
2. Persamaan dan perbedaan Penafsiran Az-Zamakhsyarî dan ar-Râzî
terhadap ayat-ayat Perbuatan Manusia:
a. Persamaan penafsiran manusia memiliki kehendak,
konsekuensi/tanggung jawab, perbuatan buruk, ganjaran untuk
dirinya sendiri, usaha diperuntukkan untuk diri sendiri dan
memperoleh ganjarannya.
b. Perbedaan penafsiran manusia tidak memiliki kehendak, beriman
dan kafir datanggnya dari Allah, perbuatan baik, ganjaran untuk
orang lain, usaha diperuntukkan untuk orang lain.
Maka penulis lebih condong kepada penafsiran ar-Râzî dengan
madzhab sunninya.
152
B. Saran-Saran
Setiap pembaca karya tulis pasti memiliki pandangan tersendiri dalam
memberikan saran, komentar, dan kritikan pada karya tulis yang telah dibaca.
Saran-saran di bawah ini tidak bersifat umum, namun hanya sebatas dari hasil
membaca dan meneliti dalam permasalahan perbuatan manusia dari dua
tokoh tafsir yang hidup pada abad pertengahan yaitu az-Zamakhsyarî yang
madzhab teolognya mengikuti paham Mu’tazilah dan ar-Râzî yang
mengikuti paham Ahli Sunnah. Berikut ini saran-saran tehadap kitab
al-Kasysyâf karya az-Zamakhsyarî dan Mafâtih al-Ghaib karya ar-Râzî, serta
saran-saran bagi pengkaji selanjutnya.
153
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jam’ah, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1992.Abduh, Muhammad, Tafsir Juz Amma, Bandung:
Mizan, 1999.
Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Kairo: Dar
al-Fikr al-Arabi, t.t..
Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1985.
Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran
Theologi Islam, Pustaka Setia, Bandung, t.t..
Abdul Mu’in, Taib tahir, Ilmu Kalam, Widjaya: Jakarta, 1997.
‘Abduh, Muhammad, sulayman dunya (ed.), Hashiyah ‘ala al-‘Aqaid al-
‘Adudiah, dalam al-shaykh Muhammad ‘Abduh, Bayn al-Falasifah
wa al-Kalamiyin, Kairo:’Isa al-Halaabi, 1958.
Abduh, Muhammad, Tafsir Juz Amma, Bandung: Mizan, 1999.
Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Anwar, Rasihon dan Adul Razak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,
2003.
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,
2007.
Awang, Abdul Hadi, Beriman kepada Qada dan Qadar, Batu Caves: PTS
Islamika, 2008
Al-Asy’ari, Abu Hasan, Kitab Al-Luma’: Humadah Gharabah, Kairo:
Mudariyah, t.t..
154
Al-Asfahani, Raghib, Mufradat al-Fazd al-Qur’an, Damaskus: Dar al-
Qalam, 2009.
Asy’ari, Musa, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir, Yogyakarta:
Lesfi, 2002.
_________, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur'an,
Yogyakarta: Lesfi, 1991.
Al-Asy’ariy, Abu al-Hasan Ismail, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhilaf al-
Mushallin, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, 1969.
Al-Azdi, Ali bin al-Hasan al-Hunai, Al-Munjid fi al-Ligah, Kairo: ‘Alim al-
Kutub, 1988.
Balandes, Geroge, Antropologi Politik, Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Bastaman, Hannaa Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju
Psikologi Islami, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Badan Litbang dan kementrian RI, Suhuf; Jurnal Kajian al-Quran dan
Kebuudayaan, Jakarta: t.p., 2011.
Al-Bazdawi, Abu al-Yusuf Muhammad, Kitab Ushul al-Din, Kairo: Isa al-
Babi al- Halabi, 1963.
Al-Dawwani, Syarh al-‘Aqaid adh-Adhudiyah, dalam (ed), Sulaiman dunya,
al-Sya’ilah Muhammad Abduh bain al- Falasifah wa al-Kalam.
Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1958.
Dirjo, Sartono Karto. Metode Penggunaan Bahasa Dokumen dalam
Koentcaraningrat: Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Al-Daudi, Syamsuddin bin Muhammad bin Ali bin Ahmad, Thabaqatu al-
Mufassirin, Al-Qahirah: Amirah, t.t..
155
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara dan
Penterjemah Al-Qur’an, 1998.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemah, Surabaya: Mahkota, 1989.
_____, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Diponegoro, 2001.
Al-Dimsyaqi, Al-Imam al-Hafidz ‘Imaad al-Din Abu al-Fida Isma’il bin
Katsir al-Qaraisy, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, Bairut: Dar al-Jail, 1411
H/1991 M.
Al-Farmawiy, Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Fathul Mufid, Ilmu Tauhid / Kalam, Kudus: STAIN Kudus, 2009.
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Kairo: Dar al-Masyruk, 1962.
Al-Ghurabi, Ali Musthafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah
Muhammad Ali Shubaih wa Auladih, t.t..
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.
Hanafi Ma. Theologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996.
Harun, Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, tt.p.: Tafakur, t.th.
J. M. Cowan (ed.), The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic,
Wiesbaden, Jerman: Spoken Language Services, 1976
156
Al-Juwaini, Luma al-Adillah, Kairo: Dar-al Mishriyyah, 1965.
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, Juz IV, Bairut: Dar al-Jail, 1411
H/1991 M.
Al-Khandahlawi, Maulana Muhammad Yusuf, Muntakhab Ahadith, Sri
Petaling: Klang Book Center, 2009.
Al-Kharsani, Muhammad Hadi, Al’amal fi Al-Islam Wa Dauruhu fi Al-
Tanmiyati Al-Iqtishadiyyah, Beirut: Dar Al-hâdî, t.t.
Al-Kharizmi, Mahmud bin Umar al-Zamakhsari, Tafsir Al-Kasysyâf,
Lebanon: Dar Al-Ma’rifah, t.t.
Kimball, John W. Biologi, Jakarta: Erlangga, t.t..
Leahy, Louis. Siapakah Manusia?: Sintesis Filosofis Tentang Manusia,
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Louis, Ma’luf, Munjid Fi ilmiWa Alam, tt.p.: Dar Katolik, tth.
Ma’luf, Luwis, Al Munjid Fi Al Lughah Wa Al Alam, Beirut: Dar Al Masyriq,
1998.
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap
Konsepsi Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Machendrawaty, Amrullah Ahmad dalam Nanih dan Agus Ahmad Syafe’i.
Pengembangan Masyarakat Islam,dari Ideologi: Strategi
sampai Tradisi, Bandung: Rosda Karya, 2001.
Madkour, Ibrahim, (terj. Yudian Wahyuni Asmin), Aliran dan Teori Filsafat
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan
Filsafat Islam, Bangil: Al-Izzah, 2002.
Majid, Nurkhalis, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1996.
157
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Maraghi, Bairut: Dar Al-Fikr, t.t.
Muhammad, Afif, Dari Teologi ke Ideologi: Tela’ah Atas Metode dan
Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, Bandung: Pena Merah, 2004.
Muhammad, Ahmad Fahmi, Bairut, Libanon: Dar al-Surur, 1368 H/1948 M.
Mufid Fathul, Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus, 2009.
Muhammad bin Yusuf, Bahrul Muhith, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Muthahari, Murtadha, Manusia dan Takdirnya, anatara free Will dan
Determinisme, Bandung: Muthahari Paperback, 2001.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Aanalisis Al-
Naisaburi, Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih
Muslim, Kairo: Dar al-Hadits, 1997.
_________, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2002.
_________, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI press, 1974.
_________, Teologi Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press, 1986.
Nawawi, Rif'at Syauqi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an: Dalam
Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Al-Qadhi, Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah al-
Wahbiyah, 1965.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahist fi ulumil Qur’an, Perj, Mudzakir,
Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, t.t.
______, Studi-studi Ilmu Al-Quran, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011.
158
Al-Qurtubhi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Al-jami’ li
Ahkam al-Quran, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1988.
Quthb, Sayyid, Tafsir fi zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an,
Jakarta: Gema Insani, t.t..
Raco, G.R. Metode penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan
Keunggulan, Jakarta: Grasindo, 2010.
Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi Islam, TafsirSosial berdasarkan Konsep-
konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, t.t..
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, disunting Ebrahim Moosa, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000.
Rahman, Jalaluddin. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al- Qur’an: Suatu
kajian Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka, 1996.
Al-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Darul al-Fikr, 1994.
_____, At-Tafsir al-Kabir, Kairo: Maktabah at-Taufiqiah, t.t..
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, 2007.
Al-Rifa’i, Muhammad Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qodir Li Ikhtishari Tafsir
Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Rozak, Abdul, Ilmu kalam untuk UIN, STAIN, dan PTAIN, Bandung: CV.
Pustaka Setia, t.t..
Shihab, M. Quraish, dkk., Sejarah dan ‘Ulûm al-Qurân, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999.
_________, Tafsir Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
159
Soemarwoto, Otto, Ekolog:i Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:
Djambatan, 2001.
Stempel, Guide H, Content Analysis: (alih bahasa Jalaluddin Rahmat & Arko
Kasta). Bandung: Arai Komunikasi, 1983.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras,
2005.
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur.
Surabaya : Bina Ilmu, 2006.
Tarigan, Azhari Akmal, Tafsir ayat ekonomi, Bandung: Cita Pustaka Media
Perintis, t.t..
Al-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan an Ta’wil Ayi al-
Quran, Kairo: Dar as-Salam, 2007.
Thalib, Moh., Batasan antara Qadar dan Ihtiyar, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1977.
Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, Jakarta: Dar al-Haq, 2003.
Tim Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ). Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi. Jakarta: IIQ Press, 2011.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan at-Tirmidzi,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t..
Wher, Hans. A Dictionary Of Modern Written Arabic. Wlesbanden, 1971.
Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam, Perkasa: Jakarta, 1990.
160
Al-Zahabi, Muhammad Husain, At-Tafsir wal Mufassiruun, Darul Hadits:
kairo, t.p., 2005.
Zaini, Hasan, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1997.
Al-Zuhaili, Wahbah, At-Tafsir al-Munir, Damaskus: Dar al-Fikr, 2007.
Al-Zamakhsyarî, Al-Kasyyâf, Berut: Libanon: Dar al ma’rifah, t.t..
161
LAMPIRAN
REKAPITULASI AYAT-AYAT KEBEBASAN DAN TANGGUNG
JAWAB MANUSIA
1. Kelompok ayat yang mendukung kebebasan berkehendak, yaitu:
No Nomor Ayat
dan Surah
Redaksi Ayat-ayat Al-Qur’an dan Terjemahannya
1. Yûnus[10]:108
Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah
datang kepadamu kebenaran (Al-Quran) dari
Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat
petunjuk Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk
kebaikan dirinya sendiri. dan barangsiapa yang sesat,
Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan
dirinya sendiri. dan Aku bukanlah seorang Penjaga
terhadap dirimu." (QS. Yûnus [10]:108)
2. Al-Kahf
[18]:29
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi
orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung
mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka
162
2. Kelompok ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia telah ditentukan pada mereka, yaitu:
No Nomor Ayat
dan Surah
Redaksi Ayat-ayat Al-Qur’an dan Terjemahannya
1. Al-Baqarah
[2]:6
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi
mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri
peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS. Al-
Baqarah [2]:6)
2. Al-Baqarah
[2]:7
“Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran
mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka
siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah [2]:7)
akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih
yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahf
[18]:29)
3. Fussilat
[41]:46
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka
(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa
mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk
dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu
menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fussilat [41]:46)
4. Al-Muddassir
[74]:38
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah
diperbuatnya.” (QS. Al-Muddassir [74]:38)
163
3. Al-A’lâ
[87]:9
“Berilah peringatan bila peringatan itu bermanfaat.”
(QS. Al-A’lâ [87]:9)
4. Al-A’râf
[7]:178
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka
dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa
yang disesatkan Allah, Maka merekalah orang-orang
yang merugi.” (QS. al-A’râf [7]:178)
5. Al-Qashash
[28]:56
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.” (QS. Al-Qashash [28]:56)
6. Al-Ankabût
[29]:69
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Ankabût [29]:69)
7. Ash-Shaff
[61]:5
“Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya:
164
"Hai kaumku, Mengapa kamu menyakitiku, sedangkan
kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Aku adalah
utusan Allah kepadamu?" Maka tatkala mereka berpaling
(dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”
(QS. Ash-Shaff [61]:5)
8. At-Taubah
[9]:51
“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami
melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami....
" (QS. At-Taubah [9]:51)
9. Al-Qashash
[28]:68
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan
memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka....”
(QS. Al-Qashash [28]:68)
10. Al-An’âm
[6]:124
...
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas
kerasulan.” (QS. Al-An’âm [6]:124)
11. Al-Muddassir
[74]:31
...
"Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan Ini
sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah
membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-
Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya....” (QS. Al-Muddassir [74]:31)
12. At-Takwîr
[81]:29
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh
jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. At-Takwîr [81]:29)