konstruksi sosial_pembangunan sebuah identitas_diaspora masyarakat madura di malang
TRANSCRIPT
Konstruksi Sosial: Pembangunan sebuah Identitas
Diaspora masyarakat Madura di Malang
Laporan ini disusun berdasarkan hasil praktikum lapangan yang diadakan pada desa
Sumberjaya, Gondanglegi, dan Dermo, guna prasyarat dan mengikuti Ujian Akhir
semester Ganjil tahun Ajaran 2013-2014
Dosen Pembimbing:
Roikan S. Sos
Oleh
M. Roddini (12511080711008)
KEMENNTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
ANTROPOLOGI BUDAYA
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian
ini, dengan judul: Konstruksi Sosial: Pembangunan sebuah Identitas masyarakat
diaspora masyarakat Madura di Malang. Dalam proses penelitian dan penulisan
Laporan ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Ibunda tercinta Khoirun Nihayah. B.A.
2. Ayahanda Drs. Mansur
3. Bapak Roikan S. Sos selaku dosen pembimbing penelitian
4. Ibu Siti Zurinani, M.A. selaku ketua prodi Antopologi Brawijaya
5. Rekan-rekan seperjuangan prodi Antropologi Budaya angkatan 2012
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Laporan Penelitian ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, untuk itu saran-saran yang membangun sangat diharapkan.
Semoga semua ini bermanfaat bagi kita.
Malang, 11 Januari 2014
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Fenomena persebaran suatu kelompok sosial manusia dari satu tempat ke tempat
lain sebenarnya bukanlah fenomena yang baru. Sejak zaman dahulu, manusia sudah sering
berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Bahkan, ilmuwan antropologi dan arkeologi pun
sudah membuktikan bahwa gaya hidup sebagian besar nenek moyang kita adalah
nomaden. Seperti apa yang ditulis di buku “Manusia Setengah Salmon” oleh Raditya Dika,
bahwa manusia juga akan mengalami hal sebagaimana salmon yang selalu berpindah-
pindah untuk kelangsungan hidupnya. Namun ada perbedaan diantara keduanya, jika ikan
Salmon melakukan hal tersebut atas kebutuhan reproduksi kelangsungan populasinya.
Manusia cenderung berdiaspora atau melakukann persebaran diawali atas dasar
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan subsistennya, seperti, makanan, untuk mendapatkan
modal-modal kapital/uang dan lain sebagainya. Hal tersebut dikarenakan oleh sifat manusia
yang juga merupakan mahluk homo economicus yaitu, mahluk yang selalu ingin
memperbaiki dan meningkatkan kualitas dalam hidupnya. Artinya manusia sebagai makhluk
ekonomi bersikap rasional, segala perilaku dan kegiatannya selalu memperhitungkan
keuntungan yang diperoleh. Sebagai homo economicus, manusia dihadapkan pada
persoalan ekonomi, yang muncul karena jumlah alat pemuas kebutuhan yang terbatas
dibanding dengan kebutuhan manusia itu sendiri.
Namun lebih dari itu, proses diaspora pada realisasinya juga menyebabkan
munculnya berbagai gejala sosial yang pelik. Seperti yang dikatakan oleh (Abdullah, 2006;
Ingold, 1995) bahwa sekelompok manusia yang pindah dari satu lingkungan budaya ke
lingkungan budaya yang lain, akan mengalami proses sosial-budaya yang dapat
mempengaruhi mode adaptasi dan pembentukan identitasnya.1 Diaspora, baik itu yang
sifatnya hanya migrasi sementara atau untuk dekade yang lama tersebut, akan
menghadapkan individu kepada kerangka kultural, definisi, nilai dan norma-norma yang baru
dalam kehidupannya, seperti gaya hidup, cara berpakaian, bahasa, ideologi dan lain
sebagainya. Hal ini merupakan sebuah proses sosial yang penting menyangkut dua hal.
Pertama, mengambarkan dinamika kebudayaan yang sedang berjalan pada sebuah
kelompok sosial dengan melihat proses dominasi dan subordinasi budaya yang terjadi
secara dinamis dalam kelompok tersebut. Dan yang Kedua, mengambarkan resistensi2
1 Baca: produksi dan reproduksi kebudayaan dalam ruang sosial baru. Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm: 41 s.d 42 2 Resistensi adalah sebuah fenomena yang merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya.
didalam reprosuksi identitas sekelompok orang didalam konteks sosial-budaya tertentu.
Sebuah proses aktif menegaskan keberadaan latarbelakang budaya yang berbeda memalui
adaptasi terhadap sebuah kebudayaan baru atau yang biasa disebut pula sebagai
reproduksi kebudayaan.3 Serangkaian konsep tersebut penulis korelasikan dengan diaspora
yang terjadi pada etnis Madura yang ada di wilayah Jawa. Tepatnya penelitian ini dilakukan
di wilayah Malang dengan pengambilan sempel pada desa Bulupitu dan Sumberjaya
kecamatan Gondanglegi serta beberapa etnis Madura lain yang berdomisili di Malang.
Orang madura yang melakukan persebebaran ke suatu daerah tertentu, mau tidak
mau tentunya juga akan berhadapan dengan masyarakat lain dengan kebudayaannya yang
berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan koentjaraningrat bahwa, keterkaitan persebaran
dapat menyebabkan pertemuan-pertemuan antar kelompok manusia dan kebudayaan yang
berbeda, yang mengakibatkan individu-individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan
unsur kebudayaan yang lain.4 Sebuah realitas mengenai strategi yang menyangkut
bagaimana ‘kebudayaan asal’ direpresentasikan dalam lingkungan yang baru, guna
membedakan mereka dengan kelompok lain. Semisal salah satunya adalah kecenderungan
untuk mengasosiasikan diri dalam suatu wadah organisasinya yang disebut dengan asosiasi
klen5. Dimana mereka menciptakan suatu wadah tempat melakukan aktivitas yang
berhubungan dengan adat dan kegiatan sosial dalam arti usaha tolong-monolong di antara
sesama anggota klen di bawah pengaturan asosiasi.
Dalam penulisan laporan ini, penulis hendak memaparkan mengenai proses dinamis
yang dapat terjadi pada saat berlangsungnya interaksi yang terus-menerus antara sifat-sifat
general (sosial) pada saat proses reproduksi kebudayaan tersebut. Mengenai perubahan
ruang yang telah menyebabkan munculnya beberapa strategi untuk mempertahankan
sebuah identitas kebudayaan tertentu. Yaitu dengan cara menggunakan norma-norma dan
idiologi tradisional asalnya untuk mengembangkan gaya hidup (sub budaya) sendiri, guna
membedakan mereka dengan kelompok lain bahkan ketika dalam situasi yang kontemporer
sekalipun.
3 Reproduksi kebudayaan: proses penegasan identitas kebudayaan yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya. Dengan kata lain reproduksi budaya merupakan penegasan budaya asli ke tempat tinggal yang baru. 4 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi I. (Rineka Cipta; Jakarta, 1990). Hlm: 2485 Klen/ clan : kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara universal atau unilineal, yaitu melalui garis sepihak dari pihak ibu (matrilineal) atau garis ayah (patrilineal). Lihat Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi. Akademika Pressindo; Jakarta. Hal 204.
Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
mengenai: hal apa saja yang berhubungan dengan strategi budaya pada kasus diaspora
masyarakat Madura di Malang. Menyangkut sebuah proses reproduksi kebudayaan,
pembentuk identitas individu, ‘kekuasaan’ dalam sebuah kelompok sosial, sehingga
mempengaruhi prilaku serta tatanan sosial dalam keseharian hidupnya.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas praktikum penelitian lapangan
pada matakuliah etnografi Jawa dan Madura. Serta selanjutnya, untuk mendeskripsikan
mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan strategi budaya pada kasus diaspora
masyarakat Madura di Malang. Menyangkut sebuah proses reproduksi kebudayaan,
pembentuk identitas individu, ‘kekuasaan’ dalam sebuah kelompok sosial, sehingga
mempengaruhi prilaku serta tatanan sosial dalam keseharian hidupnya.
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN METODE PENELITIAN
1. Landasan Teori
Ilmu antropologi menyediakan banyak teori yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli. Penulis memilih beberapa di antaranya yang mendasari penelitian
yang dilakukan guna mengkaji mengenai reproduksi kebudayaan masyarakat
Madura di Malang, yaitu:
1.1 Teori Kekuasaan Michel Foucault dan Ideologi: Lois Althusser
Teori Pengetahuan-Kekuasaan Foucault mulanya berpusat pada sebuah cara
dalam pembacaan dinamika persoalan masyarakat modern. Dimana pada
masyarakat modern sering ditemukan terdapatnya kompleksitas kekuasaan.
Sebuah kelompok sosial tidak lagi hanya terkurung dalam sebuah ‘kuasa’ budaya
tertentu. Mobilitas dan interaksi antar budaya dalam sebuah ruang/ arena
tertentu, telah meyebabkan bermacam-macam representasi tentang dunia yang
berbeda-beda. Disini Foucault mempertimbangkan adanya keberagaman hasil
tindakan manusia.
Foucault mendefinisikan kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya, bahwa
kekuasaan itu tersebar, tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan
dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, serta memiliki
sifat produktif.6 Dalam kerangka kultural yang demikian ‘Kuasa’ tidak lagi
dipahami sebagai sistem umum dominasi suatu kelompok sosial terhadap yang
lain, Melainkan dipahami dengan banyak dan beragamaannya, hubungan-
hubungan yang melekat pada bidang hubungan tersebut dan organisasinya.7
Sebuah realitas yang bergerak melalui proses dialog, penerapan strategi tertentu
untuk menebarkan sebuah wacana, hingga membentuk identitas dan disiplin
tertentu.
Tujuan penulis menggunakan teori ini yaitu untuk menjelaskan, relasi antara
diaspora masyarakat Madura di Malang dengan reproduksi kebudayaan yang
terjadi didalamnya. Bagaimana pengetahuan dan spirit orang Madura tentang
norma dan nilai-nilai budaya asalnya untuk direpresentasikan kembali pada
6 Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.7 Ibid. Hlm: 11
ruang diaspora yang ia tempati, yang pada akhirnya juga menciptakan ‘kuasa’ di
lingkungannya tersebut. Seperti adanya blater (atau yang orang desa bulupitu
dan Sumberjaya sebut ‘reng embongan’) sebagai lembaga keamanan informal,
Togukkan sebagai asosiasi klen, memicu eksklusifitas orang Madura di Malang.
Hal ini adalah pembukaan sebuah kedok teknik tertentu dari kekeuasaan yang
mengelompokkan orang kedalam kategori dan mengkaitkannya dengan identitas.
Hal ini nantinya, sedikit banyak tentu juga akan menyinggung terhadap
konsep pemikiranya Lois Althusser tentang ideologi. Yaitu bahwa Ideologi8
merupakan sebuah hal yang terkonsep, memiliki kekuatan untuk menunjukkan
kekuasaannya dengan caranya sendiri terhadap berbagai perkembangan sosial,
dengan berbagai kekuatan determinismenya (overdetermining) - ekonomi, politik,
cultural - yang saling bekerja dan berkompetisi satu dengan yang lain hingga
membentuk sebuah wacana lalu bermuara pada praktik sosial tertentu. Bahwa,
Interaksi antar manusia atau antara manusia dengan sebuah teks di kehidupan
sehari-hari merupakan aktivitas ideologis dan power yang terjadi di masyarakat,
‘mengikat’ mereka ke dalam suatu tatanan sosial yang disebut socialorder.
dimana ideologi dalam sebuah masyarakat terus ber-reproduksi.9 Bahwa tatanan
nilai dan norma yang di sebarkan oleh orang Madura di Malang, seperti
pengunaan bahasa daerah asalnya, pembentukan asosiasi/ organisasi klen, dan
lain sebagainya juga merupakan serangkaian aktivitas ideologis. Dengan
demikian artinya, fokus ideologi bukan hanya pada sikap antar manusia,
melainkan tatanan sosial yang terus-menerus membentuk ideologi itu sendiri.
Bagaimana pola internalisasi dalam keluarga Madura yang ada di Malang,
seperti proses ibu/ ayah dalam mendidik anak-anaknya menjadi faktor penting
untuk keberlangsungan produksi ideologi, dan berjalan terus demikian sampai
sang anak juga menjadi agen produksi ideologi tersebut.
2. Metode dan Teknik Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengunakan Metode Kualitatif dengan pendekatan
Etnografi, Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan Menurut
Spradley metode ini ialah sebagai berikut: Tujuan utama aktifitas ini adalah untuk
memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana
dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah “memahami
sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan
8 ideologi adalah representasi/kumpulan ide atau gagasan dari hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya.9 Muchamad Sidik Roostandi. Ideologi dan identitas.(Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Indonesia, 2010 ). Hlm: 26
pandangannya mengenai dunianya”. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan
aktifitas belajar mengenai dunia orang lain dengan cara belajar, melihat, mendengar,
berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Etnografi tidak hanya
mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu. Etnografi belajar dari masyarakat.10
Artinya, penelitian ini juga merupakan penelitian yang bersifat empiris (dapat diamati
dengan pancaindera sesuai dengan kenyataan), hanya saja pengamatan atas data
bukanlah berdasarkan ukuran-ukuran matematis yang terlebih dulu ditetapkan peneliti
dan harus dapat disepakati (direplikasi) oleh pengamatan lain. Melainkan berdasarkan
ungkapan subjek penelitian, sebagaimana yang dikehendaki dan dimaknai oleh subjek
penelitian dengan cara menggunakan konsep ke-alamiahan (kecermatan, kelengkapan,
atau orisinalitas) data dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Jadi, adapun dari
situ untuk dapat menggambarkan permasalahn seputar reproduksi kebudayaan
masyarakat Madura di Malang secara lebih dalam. Penulis juga tidak lupa untuk
menggunakan baik-baik semua indra yang dimilikinya untuk menangkap respon-respon
atau stimulus-stimulus yang berkaitan dengan penelitian tersebut. Hal ini melalui
beberapa tahapan seperti pertama yaitu pengamatan terhadap sasaran (masyarakat
Pandalungan di desa bulupitu dan Sumberjaya). Lalu berlanjut wawancara yaitu
mengajukan beberapa pertanyaan terstruktur terhadap pihak sasaran. Mendengar
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut serta mengamati segala macam respon
yang di tunjukkan oleh sasaran, seperti gerak gestur, mimik muka dan lain sebagainya.
Penulis memilih pendekatan tersebut bertujuan untuk menelaah sikap atau perilaku
dalam proses reproduksi kebudayaan masyarakat Madura di Malang yang cenderung
artifisial, artinya sebagai sebagai kultur buatan atau hasil tiruan.
2.1 Teknik Pengambilan dan Penentuan Data
Penelitian ini didasarkan pada dua kelompok sumber data, yaitu data sekunder
dan primer. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai tempat dan meliputi karya-
karya terpublikasi, buku, majalah, jurnal, serta dokumen histori yang terkait dengan
masalah yang di teliti. Data sekunder tersebut dibutuhkan untuk membangun
konstruksi awak penelitian dan selanjutnya dibutuhkan untuk mambangun
interpretasi agar memperoleh pemahaman yang komprehensif dan mendalam.
Sedang data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa informasi
dari kalangan masyarakat etnis Madura da Pandalungan melalui wawancara
langsung, mendalam dan intensif. Peneliti mengambil sempel dari informan yang
berumur 18 s.d 40 tahun, yang mengacu pada masyarakat Pandalungan (orang-
10 James P. Spradley. Metode Etnografi. 2007. Edisi II. (Yogyakarta: Tiara Wacana. 2007) hlm: 4
orang keturunan Madura) yang ada di Malang. Hal ini berkolerasi dengan tujuan
penelitian yaitu mendeskripsikan mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan
strategi budaya pada kasus diaspora masyarakat Madura di Malang. Menyangkut
sebuah proses reproduksi kebudayaan, pembentuk identitas individu, ‘kekuasaan’
dalam sebuah kelompok sosial, sehingga mempengaruhi prilaku serta tatanan sosial
dalam keseharian hidupnya. Jumlah sempel pada mulanya ditentukan sebesar 4 s.d
6 orang informan dari desa Sumberjaya dan Bulupitu, sebagai daerah di malang
yang mayoritas masyarakatnya adalah orang-orang pandalungan. Dan 3 s.d 4 orang
informan dari luar kedua daerah tersebut yaitu tepatnya di kelurahan dermo
kecamatan Jetis kota Malang.
Namun kenyataan di lapangan hanya terdapat 4 orang informan kunci dari total
5 orang informan yang dapat dijadikan data. Karena adanya beberapa tipe informan
yang tidak dapat melengkapi fokus kajian penelitian yaitu perwujudan atau gambaran
praktik-praktik sosio-kultural tentang tujuan penelitian. Mengingat data yang tersedia
dan informasi yang minim, peneliti terpaksa menggunakan data yang tersedia.
BAB 3
PEMBAHASAN
Diaspora Masyarakat Madura di Malang: Redefinisi Area kebudayaan
Secara sedarhana Konsep “DIASPORA” merupakan bentuk hubungan sosial yang
diproduksi dari perpindahan sebuah masyarakat. Sekalipun mereka pindah dari daerah asal
mereka, namun mereka tetap menjaga keaslian identitas mereka. Diaspora ditandai dengan
tindakan keluar sebuah masyarakat atau etnis tertentu dari lingkungan asalnya dan
beberapa hal yang melatarbelakanginya. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa diaspora
dengan istilah migrasi. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari
satu tempat ke tempat lain. Perpindahan tersebut dilatarbelakangi oleh enam faktor yaitu, (1)
makin berkurangnya sumber-sumber alam di daerah asalnya, (2) menyempitnya lahan
pekerjaan akibat sistem politik, pendidikan, dan adat-istiadat didaerah asalnya, (3) alasan
perkawinan, (4) bencana alam, (5) adanya tekanan-tekanan/diskriminasi agama, politik, dan
suku didaerah asalnya, (6) ketidak cocokan lagi terhadap budaya dan kepercayaan di
tempal asalnya. Persamaan antara migarasi dan diaspora adalah keduanya sama-sama
merupakan sebuah bentuk perpindahan dan perbedaanya adalah pada identitas. Masarakat
yang berdiaspora adalah masyarakat yang tetap mempertahankan identitas asalnya, sedang
pada migrasi para migran lebih sering melepakan identitasnya dan cenderung tidak adanya
lagi rasa ketertarikan terhadap tanah airnya. 11
Faktor yang melarbelakangi diaspora orang Madura di malang adalah pada nomor
satu, dua, dan tiga. Seperti yang dikatakan Wiyata dalam Subaharianto dkk, bahwa
masyarakat Madura dipulau Madura sudah sangat lama diasosiasikan dengan atribut
kemiskinan dan keterbelakangan. Atribut tersebut didapatkan karena kondisi alam madura
yang gersang dan tandus sehingga daya dukung lahan, khususnya sektor pertanian,
terhadap penduduk tidak memadai. Ketika musim kemarau tiba tidak ada lagi yang dapat
diperbuat atas tanah yang kering dan tandus itu, kecuali tembakau.12 Tekanan kehidupan
sosial-ekonomi yang berat memaksa orang madura pergi merantau ke daerah lain, dalam
rangka mencari penghidupan yang lebih baik. Seperti yang dikemukakan oleh Pak Hariri,
seorang yang berprofesi sebagai Pamong desa13. Bahwa alasan terpenting pertama ia
pindah ke desa Bulupitu adalah lahan pekerjaan dan kepemilikan tanah di desa asalnya.11 Huprey. 2004: 32 dalam Shabrina. 2012. SKRIPSI. Diaspora masyarakat Libanon (1860-1990). Jakarta: Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Hlm: 512 Subaharianto, Wiyata, Kusnadi dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura: Menbentur Kultur, Menjunjung Leluhur. (Malang: Bayu Media). Hlm 4-513 Pamong desa merupakan pengurus pemerintahan desa yang bertugas sebagai pelaksana Teknis Lapangan, yang disesuaikan dengan kondisi kebutuhan masyarakat setempat dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.
“...saya pindah kesini waktu umur 15 tahun mas, saudara saya ada enam. Dan bapak saya
hanya seorang buruh tani tembakau, yang memilki sepetak tanah tidak dapat ditanami selain
tembakau. Bapak saya dan saya sebagai anak tertua waktu itu, memutuskan pindah disini
karena mendapat kabar dari tetangga yang lebih dulu tinggal disini (maksudnya desa
Bulupitu). Katanya disini masih banyak tanah seng kosong, yo enek pabrik tebu pisan
(banyak lahan tanah yang kosong, serta terdapat pabrik tebu”
“...tetap tinggal disana saya juga mau makan apa mas, ya yang penting saat itu nekat dan
berdoa saja. Wong saya Cuma punya ijazah SD apalagi ayah saya”
(wawancara pada Pak Hariri, kamis 02 Januari 2014)
Hal ini adalah suatu sifat alamiah manusia sebagai mahluk homo economicus yang selalu
ingin memperbaiki dan meningkatkan kualitas dalam hidupnya. Orang madura dengan
kondisi ekologis daerah asalnyanya seperti demikian akhirnya berusaha untuk mengadakan
serangkaian cara agar kebutuhan penghidupannya tercukupi.
Namun melalui itu pula, bahwa internalisasi yang begitu kuat dalam sitem
kekerabatan orang madura, tentang norma dan nilai-nilai adiluhung kebudayaan asalnya
juga mendapatkan tantangan. Pertemuan antar etnis dalam sebuah ruang budaya juga pada
akhirnya akan membawa mereka yang pendatang untuk adaptasi/ penyesuain terhadap
nilai-nilai yang beredar pada ruang baru yang ia tinggali. Hal ini beracuan pada konsep
bahwa kebudayaan bagi sebuah masyarakat juga merupakan frame of reference, pedoman
tingkah laku dalam berbagai praktik sosial. Pola interaksi dan adaptasi antar budaya sebagai
konsekuensi proses komunikasi antar etnis, tidak dapat dipungkiri, telah melahirkan sebuah
varian budaya baru bernuansa hibrid yang kemudian disebut Pandalungan.14 Hal tersebut
berlangsung pada kurun waktu yang cukup lama melalui sebuah proses budaya dalam
masyarakat secara kontinyu.
Pada kasus perpindahan orang madura ke Jawa ini terdapat sebuah keunikan.
Orang madura mengadakan serangkaian cara agar kebudayaanya tetap dapat langgeng
dan terus menerus di pertahankan generasinya. Keterangan dari seorang informan, pak
shaleh warga kelurahan dermo kecamatan Dau misalnya. Pak shaleh adalah anak dari
orang Madura asli Sumenep, Ia lahir dan di besarkan di kota Jember. Pada usia kisaran 19
tahun, tepatnya pada tahun1987 ia memutuskan untuk merantau ke kota Malang. Tujuannya
14 Barker, Chris. Cultural Studies, Teori dan Praktik: terjemahan Indonesia oleh Nurhadi. (Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2004). Hlm: 208Pieterse dalam Barker menjelaskan bahwa hibridasi merupakan proses perpaduan yang menghasilkan piihan organisasional bagi masyarakat. Sedangkan hibridasi kultural membedakan berbagai respons budaya yang merentang dari asimilasi, bentuk¬bentuk pemisahan, sampai dengan hibrida yang mendestabilkan dan mengaburkan sekat¬sekat budaya sehingga terjadi persilangan serta munculnya `komunitas terbayang' meskipun tidak selamanya sekat masing-masing budaya terhapus.
perantaunya pada saat itu adalah untuk mencari pekerjaan. Namun akibat tingkat
pendidikannya yang rendah pekerjaan yang ia dapat hanya sebagai pemerah susu di dusun
Dermo. Dahulu sama sekali ia tidak memilki kenalan orang madura, ia hanya bisa
berbahasa Madura. Suatu waktu ia bertemu dengan juragan baru/ pengepul baru yang juga
mempunyai pekerjaan sampingan jual mobil bekas, bernama Pak Said warga tumpang.
Awalnya dia hanya mereka-mereka bahwa pak Said adalah orang Madura. "...Yo angger
nebak ae le biyen, ketok e teko glagate kok wong medura pas tak ajak omong boso meduro
kok isa.( ya asal menebak saja waktu dulu itu nak, dari glagatnya seperti orang madura. Dan
waktu saya ajak bicara bahasa Madura dia bisa)". Pak shaleh dan Said adalah sama-sama
orang madura minoritas yang bertempat tinggal di Malang pada saat itu, maksudnya, dalam
keseharian hidupnya mereka sangat jarang berinteraksi dengan warga Madura, tetangga
rumah mereka sama sekali tidak ada orang Maduranya.
Namun pada akhirnya pertemuan tersebut menjadi awal bagi mereka berdua untuk
mengembangkan interaksi dengan orang sesama etnisnya. Pak said yang meskipun
notabenya jarang bertemu dengan orang Madura tapi dia juga mempunyai banyak kenalan
dengan sesama orang Madura di Malang. Sering mengajak pak said untuk kumpul bersam
dengan orang-orang Madura yang ada di Malang. Bahkan sampai membentuk sebuah
organisasi orang Madura dengan kegiatan istighosah mingguan bergilir di tiap-tiap rumah
anggota organisasinya. Dari situlah orang-orang Jawa yang bertetangga dengan pak shaleh
mulai mengenal bagaimana itu orang Madura sesungguhnya, meliputui mengenai
keeksklusif-an orang madura. "...dulu pertama-tama ketika aggotanya masih sedikit, hampir
setiap jumat malam rumah saya yang jadi tempat istigosah le, jadi yo sering rame" warga
sekitar kini mengenal pak shaleh sebagi seorang yang agamis. Akibat dari organisasi
tersebut, sekarang ia juga telah menjadi seorang berprofesi jual-beli mobil yang tergolong
sukses."...dulu waktu saya pertama disini orang sering menganggap bahwa orang madura
adalah orang yang didentik dengan kekerasan, kaku, angkoh, atau mudah terseinggung
mas, tapi alhmdulillah pelan tapi pasti dari bebrapa kegiatan yang kami lakukan. Pandangan
masyarakat yang seperti demikian berubah terhadap kami. Bahkan di salah satu pengajian
di desa ini (maksudnya adalah kelurahan Dermo). Saya pernah mengatakan, 'jika perkataan
orang Madura itu kasar itu adalah unkapan yang benar dari hatinya, dan jika pujian dari
orang madura yang mungkin anda lihat terlalu berlebihan, itu juga dari hatinya'.
Dari sini dapat dilihat bahwa sebuah arena budaya juga tidak melulu didefinisikan
sebagai mana dahulu, yang mengedepankan bentuk fisik seperti geografis, pakaian atau
yang lainnya. Melainkan, juga dapat dilihat dari tatanan sosial dalam sebuah ruang tertentu
yang membentuk etnis tersebut. Perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat
bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor yang
menentukan penataan sosial secara meluas. Meminjam istilah Abdullah, bahwa perubahan
komunitas harus dilihat dalam konteks perubahan globalyang terjadi dan memilki pengaruh
dalam penataan sosial hingga ketingkat yang paling kecil. Tempat-tempat pun mengalami
perubahan karakter akibat interaksi dengan berbagai nilai yang berlainan dari berbagai
kelompok masyarakat.
Konstruksi Sosial: Pembangunan sebuah Identitas
Sebagai mahluk sosial manusia selalu hidup berdampingan dan saling
membutuhkan satu sama lain. Namun dari keadaan itulah manusia juga mendapati berbagai
batasan atas tindak-prilaku dalam keseharian hidupnya. Hal ini diperoleh dari gagasan dan
kesepakatan bersama antar individu dalam sebuah kelompok tertentu, guna kepentingan
kontrol sosial mereka dalam berkehidupan di lingkungannya masing-masing. Hal ini
memang cukup relevan ketika di terapkan dalam sebuah ruang budaya yang disitu di
tempati oleh satu etnis tertentu. Tapi lalu bagaimana dengan kasus diaspora orang madura
di Jawa? dimana dalam satu ruang budaya, mereka dipaksa untuk hidup berdampingan
dengan satu atau beberapa etnis lain. Arena budaya baru yang mereka tempati, disadari
atau tidak memeberi kerangka kultural baru bagi mereka, memberikan definisi-definisi dan
ukuran-ukuran nilai bagi kehidupan kelompok pendatang tersebut.15
Dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan, mengenai mengapa penulis lebih
cenderung mengunakan istilah diaspora ketimbang migrasi. Bahwa pada diaspora,
masyarakat yang melakukan perpindahan cenderung akan memepertahankan kebudayaan
asalnya, berkesebalikan dengan istilah migrasi. lalu kemudian akan berkorelasi dengan
kontrusi sosial. Kontruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya
dihubungkan pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Secara sederhana
Kontruksi sosial adalah sebuah pernyataan keyakinan (a claim) dan juga sebuah sudut
pandang (a viewpoint) bahwa kandungan dari kesadaran, dan cara berhubungan dengan
orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan masyarakat.16 Pemahaman individu tentang
dunia, pengetahuan dan diri individu terbentuk dalam kondisi sosial historis yang konkrit.
Pengetahuan dan realitas konkrit dihubungkan oleh apa yang disebut Foucault sebagai
discourse atau diskursus, yakni sejumlah gagasan dan argumen yang langsung berkaitan
dengan teknik-teknik kontrol demi kekuasaan (power). Tanpa memandang dari mana
kekuasaan tersebut berasal, tetapi kekuasaanlah yang mendefinisikan pengetahuan,
melakukan penilaian apa yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh, mengatur
perilaku, mendisiplinkan dan mengontrol segala sesuatu, dan bahkan menghukumnya.
15 Lihat: Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm: 41- 4316 Charles R. Ngangi. KONSTRUKSI SOSIAL DALAM REALITAS SOSIAL dalam jurnal ASE – Volume 7 Nomor 2, Mei 2011: 1 - 4
Dari pemahaman tersebut penulis hendak memaparkan mengenai beberapa strategi
yang dilaksanakan pada diaspora orang Madura yang akhirnya menjadikan mereka mampu
me-reproduksi kebudayaan asal mereka pada ruang baru yang ia tempati. Meminjam istilah
james scott, bahwa bentuk-bentuk reproduksi tersebut justru melahirkan wilayah-wilayah
simbolik baru yang memilki kekuatan isolasi yang sangat kuat terhadap lingkungan sekitar.
Terdapat beberapa strategi yang diterapkan oleh orang Madura pada proses
diaspora tersebut. Pertama adalah melalui bahasa, dialeg bahasa Madura pada desa
Bulupitu dan Sumberjaya. Dalam keseharian hidup mereka, tidak ada kejelasan yang pasti
tentang bahasa apa yang sebanarnya pertama di-internalisasikan oleh para orang tua
kepada anak-anaknya. Mereka hanya sedemikian rupa berjalan, mengajari anak-anak
mereka untuk paham terhadap dua varian bahasa yaitu, bahasa Madura dan Jawa. semisal
pada dialog ini :
Ujaran seorang pandhalungan :“...jek de’iyeh, mon de’eiyeh gak oleh le.(tidak, begitu itu
tidak baik nak).”
“...seteyah kan bulan maulud, mon maskeh belajar ye
belajar, tapeh agemah jok sampek kelopaen. (ini kan bulan
maulid, belajar ya belajar. Tapi agama juga jangan
dilupakan).”17
Ujaran seorang Madura asli :”...ela jek de’iyeh, mon de’iyeh tak lebur cong”
“...satiya kan bulen maulid, mon maskeh ajer ye ajer, tapeh
agemah jugen tek olle ekalopaen”
Dari kedua dialog tersebut, ditemukan terdapatnya perbedaan antara ujaran dari seorang
madura pandalungan dan madura yang asli. Orang pandalungan tersebut cenderung masih
membawa unsur bahasa Jawa dalam dialeknya. Istri dari pak Hariri juga memberikan
pengumpamaan bahwa hal tersebut merupakan bentuk pembelajaran mereka terhadap
bahasa Madura kepada anaknya. Dan lebih jauh dari pada itu, sistem pembelajaran dua
bahasa seperti demikian ternyata juga ia akui dapatkan sejak ia masih seusia anaknya.
Selanjutnya lain dari pada itu, seorang informan, Pak Abdul Ghoni Pamong desa
Sumberjaya juga memberikan isyarat pengumpamaan. Sebagai gambaran tentang begitu
kuatnya internalisasi dari keluarga, mengenai pengenalan norma dan nilai kebudayaan
asalnya Madura. Dengan mengatakan: “...kalau orang Jawa itu berpikir bahwa bekal yang
terbaik bagi anaknya itu ada dua yaitu agama dan pendidikan/ ilmu pengetahuan. Orang
Madura berbeda bekal yang terpenting untuk anak adalah Agama, pendidikan hanya
pendukung ketika orang itu mampu baik dri tenaga pikiran maupun ekonomi. Bapak dan
mabah dulu waktu saya kecil, mana pernah memarahi saya ketika saya tidak berangkat
17 Didapatkan ketika wawancara pada Pak hariri. Saat itu istri pak hariri sedang memarahi anaknya yang masih berusia kisaran 6 tahun, yang sedang bermain di selokan depan rumah. Serta ketika ia bercanda dengan saya tentang maulid nabi. Nb: perlu diketahui bahwa istri pak hariri juga merupakan anak dari Migran madura, tapi dia lahir di desa bulupitu kabupaten Malang. Kamis 02 januari 2014
kesekolah. Yang ada saya di samblekki iku le ambek sapu lek gak budal ngaji ( saya di
pukuli itu nak dengan gagang sapu ketika tidak berangkat mengaji). Dan ketika sore begini
ini saya di kon ngelalar/ngapalno olehi ngaji seng dino wingi (saya disuruh belajar tentang
hasil yang sudah di peroleh ketika mengaji kemaren harinya)”. Hubungan pembentukan
identitas orang Madura yang ada di Malang begitu kuat melalui keluarga. Bagaimana
mereka mereprensentasikan kembali kebudayaan asalanya, yang kuat bernuansa islami di
daerah perantauan mereka.
Seperti apa yang dikatakan oleh Althusser, bahwa fokus ideologi bukan hanya pada
sikap antar manusia, melainkan tatanan sosial yang terus-menerus membentuk ideologi itu
sendiri. dalam contoh ini adalah organisasi sosial ‘keluarga’. Ketika dia sukses
menginternalisasikan ideologi tersebut kepada anak-anaknya, berarti kemungkinan besar
ideologi tersebut juga akan sukses langgeng di kemudian harinya. Namun jika seorang
menemui kegagalan dalam menjunjung nilai-nilai kebudayaan asalnya tersebut, maka dapat
dicurigai bahwa keluarganya dahulu juga telah gagal merepresentasikan hal tersebut
kepadanya.
Kedua, asosiasi klen18 yang dimaksud disini adalah kecenderungan suatu etnis
tertentu untuk mengasosiasikan diri dalam suatu wadah organisasi. Dimana mereka
menciptakan suatu wadah tempat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan adat dan
kegiatan sosial dalam arti usaha tolong-monolong di antara sesama anggota klen di bawah
pengaturan asosiasi. Penulis menemukan konsep-konsep semacam demikian di desa
Sumberjaya yaitu melalui bentuk organisasi yang bernama togukkan.19 Seorang informan
bernama Pak Hariri yang kemudian dikuatkan oleh Rahman mengemukakan bahwa, didesa
juga terdapat organisasi yang bernama togukkan. Meskipun tidak diketahui peraturanya
secara pasti. Namun di organisasi tersebut diketahui bahwa semua anggotanya rata
merupakan ‘reng embongan’ atau blater jika orang madura sebut.20 Lebih dari itu, setiap ada
pergelakan acara togukkan akan sering dibarengi oleh karnaval kasenian Madura. Atau jika
tidak demikian sebelum acara togukkan tersebut di mulai, akan ada adu pantun dari pihak
yang mengadakan acara kepada para anggotanya. Pantun tersebut berisi guyonan yang
18 Klen/ clan : kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara universal atau unilineal, yaitu melalui garis sepihak dari pihak ibu (matrilineal) atau garis ayah (patrilineal). Lihat Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi. Akademika Pressindo; Jakarta. Hal 204.19 Togukkan adalah semacam acara Buwuhan jika orang jawa menyebut. Yaitu, rombongan beberapa orang yang datang untuk menyumbangkan sebagian harta bendanya kepada saodara, teman atau tetangganya yang sedang mengadakan hajatan atau pesta, entah itu seperti sunatan, perkawinan maupun lamaran. Namun Togukkan sedikit berbeda, ia memilki sistem yang hampir sama dengan arisan (ungkap pak Hariri). Orang yang terdaftar dalam Togukkan meiliki kewajiban untuk bergantian menyumbang. Orang-orang yang masuk pada daftar anggota Togukkan tersebut juga tidak bisa sembarangan. Ada beberapa prosedur yang harus ia lalui seperti pengisian alamat lengkap, surat perjanjian dan lain sebagainya.20 Dalam prespektif orang Jawa blater adalah orang yang memilki sifat terbuka, luwes, dan ekspresif, dalam pergaulan sosial. orang blater adalah orang yang mudah bergauldengan siapapun dan dalam lingkungan sosial apa pun dan tidak ada kaitannya dengan kecenderungantindakan sosialnyayang kriminal. Blater dalam pengertian orang madura agaknya sinonim dari pengertian jagoan dalam masyarakat Jawa. (Wiyata dalam Subaharianto. 2004) hlm: 57
disampaikan dengan menggunakan bahasa Madura. Dan pada malam harinya akan di isi
oleh kontes musik dangdut. Dalam kontes tersebut biasanya para anggota organisasi akan
naik keatas panggung untuk memeberikan saweran atau penghargaan kepada penyanyi.
Sebagai simbol bahwa ia telah mampu dalam bidang ekonomi atau berkecukupan. Dari sini
dapat dapat dilihat bahwa togukkan juga merupakan strategi kebudayaan dari orang
pandalungan untuk merepresentasikan wujud kebudayaan aslinya.
Selanjutnya kita akan coba melihat mengenai bagaimana mekanisme konsep
kekuasaan faucolt pada sebuah masyarakat yang berlaku di diaspora orang Madura di
malang dari sebutan reng embungan atau blater tersebut. Misalnya melalui pemaparan Pak
Rahman kepala desa Bulupitu yang juga kemudian dikuatkan oleh Pak Haris kepala desa
Sumberjaya, tentang fenomena ssosial yang terjadi saat pemilihan kepala desa Bulupitu
bulan november kemaren. Kedua orang tersebut sama-sama mengemukakan bahwa,
"...pada saat terakhir menjelang pemilihan. Semua Gang-gang masuk RT desa bulupitu di
tutup oleh wong-wong embongan. Bahkan pak Rahman mengumpamakan bahwa setiap
lorong masuk desa ini di tutup dan di jaga ketat oleh orang-orang tersebut. Tujuan mereka
untuk menghindari adanya kegiatatn-kegiatan politik praktis pada saat minggu tenang
tersebut. Setiap warga yang tidak berkepentingan jelas tidak diperbolehkan berkunjung/
masuk ke daerah yang bukan RT tempat tinggalnya. Dan siapa pun yang menolak atau
melanggar hal tersebut akan ditindak tegas oleh wong-wong embungan tersebut. Dalam
kasus ini, meskipun penulis juga sempat menemui kecurigaan bahwa ini merupakan
kepntingan-kepentingan politis ulah dari politisi elit desa tersebut. Namun sedikit banyak hal
tersebut telah memberikan gambaran mengenai disiplin dan keketraturan sosial yang di
bentuk melalui simbol-simbol kebudayaan. Reng embungan atau blater yang diartikan oleh
orang madura sebagai jagoan, orang yang luwes, banyak pengalaman, dan semacam
lembaga keamanan informal dan orang yang patut untuk di segani. Pada akhirnya juga
menjadi simbol kebudayaan yang mampu mewacanakan ideologi/ penetahuan, yang itu
sama artinya dengan memilki kekuasaan. Mampu memberi tindakan-tindakan represif pada
angota kelompoknya. Anggota kelompok masyarakat tersebut bahkan sampai tidak
menyadari bahwa itu juga merupakan kekerasan simbolik. Sebuah alat pranata sosial yang
tanpa di dasari mengatur kehidupan sosialnya.
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan
Pergeseran konsep etnisitas dan batas kebudayaan secara struktural, sejalan
dengan globalisasi yang meluas dan intensif. Pada akhirnya juga mengantarkan masyarakat
Madura pada tantangan untuk membuat serangkaian strategi agar tetap mempertahankan
norma-dan nilai-nilai kebudayaan asalnya. Proses reproduksi ideologi yang berjalan pada
masyarakat multietnis demikian, tidak hanya fokus pada sikap antar individu. Melainkan,
juga lewat tatanan sosial yang terus-menerus membentuk ideologi itu sendiri. Tatanan sosial
tersebut jugalah yang telah melahirkan kekuasaan untuk megendalikan individu dalam
masyarakat. Kuatnya pengetahuan dan spirit orang-orang Madura yang ada di Jawa
khususnya Malang menjadikanya terus dapat melanggengkan ideologi kebudayaan asalnya
di tempat yang baru. Namun spirit itu sendiri, bukanlah hal yang begitu saja muncul,
melainkan ia adalah bentuk dari lingkaran siklus pewarisan simbol-simbol budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi I. Rineka Cipta; Jakarta
Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi. Akademika Pressindo;
Jakarta.
Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik
Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari
2002.
Muchamad Sidik Roostandi. 2010. Ideologi dan identitas. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya.
Universitas Indonesia
James P. Spardley. 2007. Metode Etnografi. Edisi II. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Shabrina. 2012. SKRIPSI. Diaspora masyarakat Libanon (1860-1990). Jakarta: Fakultas
Ilmu pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia
Subaharianto, Wiyata, Kusnadi dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura: Menbentur
Kultur, Menjunjung Leluhur. Malang: Bayu Media
Barker, Chris. Cultural Studies, 2004. Teori dan Praktik: terjemahan Indonesia oleh Nurhadi.
Yogyakarta: Kreasi Wacana
Charles R. Ngangi. KONSTRUKSI SOSIAL DALAM REALITAS SOSIAL dalam jurnal ASE –
Volume 7 Nomor 2, Mei 2011: 1 - 4