kontestasi diskursus: studi kasus do it ......1. prof. dr. zulkifli, ma., selaku dekan fakultas ilmu...
TRANSCRIPT
KONTESTASI DISKURSUS:
STUDI KASUS DO IT TOGETHER (D.I.T.)
KOMUNITAS PUNK TARING BABI
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Rahmat Fernandes
NIM : 1113111000073
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019
ii
ABSTRAK
Skripsi ini hendak mendalami ideologi dalam punk yaitu ‘Do It
Yourself’menggunakan analisa teori diskursus dan kekuasaan Michael Foucault.
Kekuasaan kerap diperbincangkan dalam beragam wacana sosial, politik dan
ekonomi. Dalam konteks ini, kekuasaan dipahami sebagai kualitas, kapasitas atau
modal untuk mencapai tujuan tertentu dari pemiliknya. Foucault tidak menolak
cara pandang semacam ini, tapi hal itu tidak cukup kompleks memahami praktik
‘penundukan’ yang tak kasat mata. Menjadi salah satu prinsip yang paling dasar
dalam ideologi punk, Do It Yourself atau ‘kerjakanlah sendiri’ menjadi etos kerja
bagi kelompok punk dominan. Namun entitas diskursus Do It Yourself yang
sedemikian rupa nyatanya tidak relevan di negara Indonesia bagi komunitas punk
Taring Babi melainkan Do It Together atau Gotong-royong.
Penelitian ini berupaya menerangkan kembali strategi dibalik keberhasilan
diskursus Do It Yourself terbentuk dalam ideologi punk, dengan cara menguraikan
mekanisme beroperasinya kekuasaan menurut pemikiran Foucault. Kegiatan
penelitian diarahkan pada pencarian keragaman diskursus beserta proses
pembentukannya. Proses demikian dipakai untuk memahami dinamika kekuasaan
dan kontestasi diskursus dalam ideologi punk yang menjadi identitas bagi
komunitas punk Taring Babi. Secara garis besar, narasi Do It Yourself mencakup
domain tertib komunitas punk sebagai identitas yang menolak berhubungan
dengan korporat besar. Kemudian diskursus normalisasi Do It Yourself sebagai
konsekuensi dari sikap perusahaan media musik yang enggan untuk bekerja sama
dengan musik punk. Pertarungan diskursif melibatkan beragam kehendak dari
aktor/ institusi yang produktif dan konsisten memunculkan diskurus Do It
Together.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa relasi kuasa (opponent discourse)
tidak cukup kuat menolak kehendak Do It Yourself (proponent discourse) sebagai
identitas punk yang ideal.
Kata Kunci: Diskursus, Komunitas, Punk, Prinsip, Identitas.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat
kekuasaan Nya, rahmat, karunia, dan Anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta
sahabat, keluarga serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Terima kasih untuk yang paling istimewa, Bapak, Supra Yugo dan Mamah,
Fenirita. Terima kasih. Untuk kakak-kakak tersayang, Eka Prawita Sari dan Dewi Laras
Sati. Terima kasih telah memberikan bantuan materi dan nonmaterial, semangat serta
kesabaran yang tiada henti kepada penulis.
Skripsi ini bukan hanya hasil karya penulis seorang diri, karena banyak pihak-
pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, izinkan penulis untuk
mengucapkan rasa terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran yang senantiasa
menjadi cermin pengetahuan bagi peneliti.
2. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan semangat ketika bertemu
di kampus.
3. Joharotul Jamilah, S.Ag., M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kritik dan masukan
yang bersifat membangun selama peneliti mengajukan proposal skripsi.
4. Saifudin Asrori, M.Si., selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini, berkat
ketelitian, kesabaran, dan keikhlasan beliau, peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih atas waktu, tenaga, dan pikiran yang beliau berikan.
5. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku dosen seminar proposal yang senantiasa memberikan
pemahaman kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini.
iv
6. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pembelajaran berharga kepada
penulis. Dan juga untuk seluruh staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
7. Para anggota komunitas punk Taring Babi selaku informan yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini.
8. Khalid Syaifullah, S.Sos., sebangai senior yang selalu peduli dan mau
berdiskusi peneliti.
9. Ayu Amanahwati Pertiwi dan Noor Rachmawaty Idat S.Sos., Selalu
memberikan semangat tanpa henti dan member optimisme kepada penulis
untuk selalu menyelesaikan penelitian ini.
10. Terimakasih kepada kawan kelas di bangku kuliah Lathifah Dinar S.Sos., dan
Tiara Nur Fauziah S.Sos., yang kerap mendukung serta memberikan
semanagat bagi peneliti.
11. Terimakasih kepada kawan-kawan “SEPAKET” Shandy Andika P. S.sos, M.
Reza Zamzami, Syafrizal SF Marbun S.sos dan Arbian Darmaji yang selalu
memberikan semangat agar menyelesaikan penelitian ini.
12. Kawan-kawan Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2013
Terima kasih karena telah menjadi teman seperjuangan yang luar biasa.
13. Januar Irawan dan Syahrul Romadhon sebagai teman berdiskusi seputar
fenomena-fenomena sosial.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima saran dan kritik yang membangun.
Semoga penelitian ini memberi manfaat dan pengetahuan bagi pembaca.
Jakarta, 27 Desember 2018
Rahmat Fernandes
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Penyataan Penelitian ............................................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian .............................................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 7
C.1. Tujuan.................................................................................................................. 7
C.2. Manfaat ................................................................................................................ 8
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 8
E. Kerangka Teoritis .................................................................................................. 14
E.1. Diskursus Foucault ............................................................................................. 14
E.2. Bangunan Filososfis ............................................................................................ 18
E.3. Power – Knowledge. ........................................................................................... 20
E.4. Metode Diskursus Foucault ............................................................................... 22
E.5. Pembentukan Diskursus ..................................................................................... 26
E.6. Pengelolaan Diskursus ....................................................................................... 27
F. Metode Penelitian ................................................................................................. 29
F.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ........................................................................ 29
F.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................. 30
F.3. Jenis Data ........................................................................................................... 31
G. Sistematika Penulisan .............................................................................................. 36
BAB II GAMBARAN UMUM......................................................................................... 37
C. Kepengurusan Komunitas Taring Babi ................................................................. 43
D. Nilai-nilai Komunitas Taring Babi ....................................................................... 44
E. Aktivitas Komunitas Taring Babi ......................................................................... 45
BAB III Diskursus Do It Together: Sebuah Kontestasi .................................................... 51
A. Jejak Diskursus Lama ................................................................................................ 52
B. Diskursus Baru .......................................................................................................... 55
B.1. Proponent Discourse ......................................................................................... 56
vi
B.2. Opponent Discourse .......................................................................................... 58
C. Kontestasi Diskursus ................................................................................................. 62
BAB IV PENUTUP .......................................................................................................... 76
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 76
B. Saran ..................................................................................................................... 77
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 78
Buku dan Jurnal ............................................................................................................. 78
Internet ......................................................................................................................... 80
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Rumah komunitas punk Taring Babi ........................................................... 42 Gambar 2.2. Nilai-nilai dalam komunitas punk Taring Babi ............................................ 44 Gambar 2.3. Aksi panggung komunitas punk Taring Babi ............................................... 46 Gambar 2.4. Workshop cukilan komunitas punk Taring Babi .......................................... 47 Gambar 2.5. Kegiatan menyablon kaos anggota komunitas punk Taring Babi ................ 48 Gambar 2.6. Emma anggota komunitas dari Jerman ........................................................ 49 Gambar 2.7. Penghargaan dan cindera mata komunitas punk Taring Babi ...................... 50 Gambar 2.8. Penghargaan dan cindera mata komunitas punk Taring Babi ...................... 50 Gambar 3.1. Prinsip Do It Together komunitas punk Taring Babi ................................... 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penyataan Penelitian
Skripsi ini melihat konstruksi idiologi atau nilai-nilai prinsip yang
ada di dalam punk melalui analisis diskursus Michel Foucault. Skripsi ini
berfokus pada proses pembentukan diskursus Do It Together dalam
kelompok punk Taring Babi berangkat dari normalisasi identitas dalam
punk yakni Do It Yourself. Proses konstruksi diambil berdasarkan
pembentukan dan pemberlakuan etos kerja Do It Together yang ada dalam
komunitas Taring Babi.
Komunitas punk merupakan sebuah fenomena sosial yang telah
menjamur diberbagai kota besar dalam negara Indonesia. Komunitas punk
berada di tengah masyarakat pada pusat-pusat kota yang memiliki
penampilan berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Berpenampilan
ekstrim dari rambut sampai kaki. Rambut bergaya mohawk (seperti suku
Apache) dengan warna-warni yang beraneka ragam, body piercing
(tindik), gelang rantai dan spike (gelang berduri), jaket kulit, rip jeans
(celana robek-robek), sepatu boots dan baju yang lusuh biasanya berwarna
hitam. Penampilan punk yang sedemikian ekstrim tersebut bukanlah tanpa
makna.
2
Segala atribut yang dikenakan oleh komunitas punk merupakan
simbol-simbol untuk menunjukan sikap solidaritas mereka. Seperti, gaya
rambut anak punk yang cenderung berdiri merupakan sebuah simbol
kepedulian punk terhadap suku Mohawk asli Apache yang ditindas dan
dibunuh oleh orang kulit putih yaitu Amerika. Bergaya penampilan Spike,
yaitu gelang yang mereka pakai dipergelangan tangan sebagai sebuah
simbol terpidana matinya para aktivis yang diculik oleh para diktator kulit
putih pada saat itu dengan memakai kursi listrik. Juga bergaya penampilan
sepatu boots, yaitu merupakan simbol bentuk diskriminasi yang kerap
dilakukan oleh oknum-oknum aparat tentara dan kepolisisan atau militer
kepada masyarakat minoritas (Sugiyati, 2014: 2). Demikian punk adalah
perwujudan kepedulian terhadap sesama manusia melalui simbol-simbol
serta prinsip yang ada di dalamnya.
Komunitas punk merupakan counter culture (budaya perlawanan)
yang memiliki ideologi tentang perlawanan terhadap sistem pemerintahan
yang timpang dan anti-kemapanan. Sejarah lahirnya punk diawali dengan
perasaan marah oleh sebagian masyarakat terhadap sistem pemerintahan
Inggris pada tahun 1970-an. Rasa tidak puas masyarakat terhadap sistem
pemerintahan yang bersifat Monarkis pada waktu itu, menjadi sebab
terjadinya pemberontakan dari kalangan pemuda-pemudi nergara Inggris.
Punk adalah salah satu dari sekian banyak gerakan perlawanan kepada
berbagai bentuk penyeragaman disegala lini dan menentang segala bentuk
kemapanan (Bestari, 2016: 11). Punk merupakan singkatan yang berasal
3
dari bahasa Inggris “Public United Not Kingdom” yang berarti kesatuan
masyarakat di luar kerajaan. Sebuah gerakan revolusioner anti-penindasan
dan sebuah gerakan libertarian (kemerdekaan) dari kelompok sosial yang
tidak puas terhadap kondisi yang sedang terjadi.
Punk merupakan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh
berbagai pemuda-pemudi dalam struktur sosial yang ada. Gerakan punk
biasanya dikategorikan dengan istilah subkultur atau youth culture
(budaya pemuda). Lahirnya punk di Indonesia memiliki beragam versi.
Seperti tulisan dalam penelitian Siti Sugiyati (2014: 2) yang menyatakan
bahwa, punk dikenal dalam negara Indonesia pada akhir tahun 1970-an.
Namun, punk baru mengalami perkembangan yang pesat di Jakarta pada
tahun 1990. Lahir nya generasi komunitas pertama punk di Jakarta dengan
sebutan Young Offender (Y.O), yaitu sebuah komunitas pemuda-pemudi
berpenampilan rambut dengan bergaya mohawk yang memiliki makna
simbol-simbol dari punk. Kemudian tambahan dari tulisan Fathun Karib
dalam Jakarta Beat (2013) yang berjudul Acid Anti Septic:
Proklamator punk Jakarta menyatakan bahwa punk di Indonesia
dideklarasikan pada tahun 1990, disaat Acid dengan bandnya
Dickhead bermain di salah satu tempat kesenian terpenting di
negeri ini yaitu Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Menjadi deklarasi
pertama punk dalam sejarah Jakarta dan Indonesia di saat Beri
sang legenda maju ke atas panggung untuk mengisi kekosongan
mengambil mic dan berteriak lantang untuk sebuah lagu punk
"Fucking USA" dari the Exploited!
4
Kemudian dalam interaksi kelompok punk pada generasi awal ini
menurut Fathun Karib dalam Jakarta Beat (2009) bahwa punk di
Indonesia pada periode pertama memiliki beberapa interaksi yang khas.
Pertama, saling tukar-menukar kaset menjadi interaksi sesama punk yang
intensif. Fenomena ini bisa dilihat sebagai sindikasi kaset atau tape
syndicate. Kedua, melauli tulisan-tulisan atau nama-nama sebuah band
punk dalam kaos yang mereka kenakan sehingga seorang individu punk
dapat teridentifikasi oleh individu punk lainnya. ”Bahasa Kaos” sebagai
identifikasi mereka untuk saling berkenalan dan berinteraksi. Ketiga,
band-band punk pada generasi pertama ini cenderung diberi nama dengan
bahasa inggris serta kerap membawakan lagu-lagu dari berbagai band luar
negeri yang mempengaruhi mereka.
Komunitas punk juga sering mendapatkan pertentangan dari
masyarakat karena mewabah nya kelompok punk yang berada di jalanan-
jalanan kota sekedar mengamen untuk menyambung hidup. Komunitas
punk tersebut dinamai kelompok Street Punk. Dimana kelompok Street
Punk adalah sebutan bagi kelompok punk yang berada di pinggir jalan,
bermain musik (ngamen) dan berpindah-pindah tempat. Tidak jarang
lagu-lagu yang dilantunkan oleh musisi punk jalanan ini bertema kan
menyindir sistem pemerintahan yang terasa tidak adil terhadap kelompok
minoritas. Kelompok Street Punk sering dianggap membuat warga resah
karena gaya penampilan punk yang memiliki ciri khasnya sendiri itu
sering kali ditafsirkan oleh masyarakat sebagai kedok oknum yang hanya
5
berperilaku kriminal. Pemerintah mengeluarkan UU Republik Indonesia
No 22 tahun 2009 Pasal 258 tentang lalu lintas dan angkutan jalan yang
berbunyi:
Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana
dan prasara jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu
lintas, dan Angkutan jalan, pengembangan disiplin dan
etikaberlalu lintas,dan berpartisipasi dalam pemeliharaan
keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan
angkutan jalan. (Kesindo Utama dalam Misrawati, 2013: 5).
Ada nya undang-undang tersebut maka komunitas punk dengan
ciri khas penampilan dan ideologi nya yang menentang sistem
pemerintahan seringkali dianggap mengganggu ketertiban, meresahkan
masyarakat dan melanggar UU Republik Indonesia.
Akhir-akhir ini kelompok punk kembali mengalami tekanan dari
masyarakat. seperti yang di lansir dari media liputan6 (2018) menulis
bahwa “sebanyak 30 anak punk ditahan oleh polisi syariah diAceh dan
dicukur rambutnya.” Padahal bagi kelompok punk gaya rambut yang
mereka percayai merupakan sebuah simbol bagi kelompok mereka.
Perlakuan deskriminasi terhadap kelompok punk di Aceh seringkali
terjadi. Selanjutnya seperti yang dilansir oleh media tempo (2011)
menyatakan bahwa anak punk Aceh sering jadi kambing hitam. Dalam
tulisannya sekitar bulan Mei, dilakukan pembubaran lokasi perkumpulan
komunitas punk.
6
Sekertaris Jendral Partai Rakyat Aceh Tahamrin Ananda
mengatakan bahwa:
Pembubaran tempat perkumpulan anak punk itu karena
masyarakat menganggap kumpulan seperti itu akan memicu
tindakan kriminal. Anak punk itu kerap dijadikan kambing hitam
disini (Aceh). Padahal mereka hanya ingin ekspresi saja (Tempo,
2011).
Banyaknya pertentangan yang dialami oleh kelompok punk,
menjadi arus diskriminasi keberadaan mereka. Diskriminasi yang kerap
dialami oleh kelompok punk cenderung dalam hal-hal seperti Hak Asasi
Manusia (HAM), mencari pekerjaan, pengusiran dari tempat tinggal dan
diskriminasi verbal dari masyarakat. Seperti kasus yang dilansir oleh
media Tribunnews (2011) sedikitnya 20 anak punk yang tergabung dalam
solidaritas punk menggelar aksi damai didepan kantor Satpol PP kota
Jambi. Mereka menuntut kebebasan HAM yang mereka nilai belum
bejalan secara adil. "Di Aceh terjadi pelanggaran HAM yang membuat
kami kecewa. Kenapa mereka (punk Aceh) diceburin ke kolam, terus
digunduli? Itu sudah melanggar HAM" kata Ismed, koordinator aksi.
Mereka kecewa akan tindakan penangkapan dan pembotakan oleh aparat
kepada teman-teman kelompoknya "Sekarang apa ada undang-undang
yang melarang seseorang berambut gondrong atau mohawk? Terus
kenapa hanya kami (punk) yang digunduli" lanjut Ismed dalam aksi damai
yang sedang digelar oleh kelompoknya.
7
Melalui musik, dan karya seni lainnya gerakan punk berbuah dari
kelompok pemuda yang marah karena diabaikan dan dibungkam oleh
sistem dominan menjadi jaringan yang aktif dan efektif. Salah satu
komunitas punk di Indonesia yang berperan akitf dan bekerja keras untuk
menyuarakan keresahan yang terjadi dalam masyarakat minoritas di
negeri ini adalah komunitas Taring Babi.
Taring Babi merupakan sebuah komunitas punk yang
menggunakan etos kerja kolektif atau Do It Together (gotong-royong)
melalui kegiatannya untuk berkreasi berbagai macam karya seni. Maka
dari itu, peneliti tertarik dengan kelompok punk Taring Babi. Peneliti
ingin melihat bagaimana diskursus Do It Together dibentuk dalam
komunitas Punk Taring Babi.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana kontestasi diskursus dalam Do It Together komunitas
punk Taring Babi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C.1. Tujuan
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan
pembentukan diskursus Do It Together dalam komunitas punk Taring
Babi. Penelitian ini juga ingin mengungkap semangat anggota kelompok
terkait proses konstruksi Do It Together dalam komunitas punk Taring
Babi.
8
C.2. Manfaat
a. Penelitian skripsi ini memiliki manfaat Teoritis yakni sebagai
ukuran sejauh mana relevansi teori diskursus dan metodologi
kuaitatif yang digunakan dalam penelitian ini.
b. Adapun manfaat Praktis dalam penelitian skripsi ini yakni sebagai
sumber referensi kepada sivitas akademik dalam melihat analisis
diskursus sekaligus menjadi bahan bagi pemecahan masalah yang
ada mengenai konstruksi sebuah diskursus yang dibangun dalam
struktur sosial. Selain itu, penelitian skirpsi ini juga dapat
bermanfaat bagi berbagai kelompok yang memiliki fokus terhadap
fenomena konstruksi sosial.
D. Tinjauan Pustaka
Telah cukup banyak ditemui penelitian dengan tema komunitas
punk. Berbagai penelitian terdahulu telah berhasil melihat punk menjadi
sebuah fokus penelitian dari berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat
seperti sosial, budaya, ekonomi, maupun komunikasi.
Terdapat penelitian skripsi Anisa Mutmainah (2014), yang
berjudul “Eksistensi Komunitas Punk Di Kelurahan Titi Kuning
Kecamatan Medan Johor.” Penelitian tersebut menggunakan metode
yang sama dengan penelitian ini yakni metode kualitatif. Menggunakan
teknk pengumpulan data dengan melakukan observasi, wawancara dan
studi pustaka. Berbagai data hasil penelitian ini didukung oleh hasil
wawancara yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian eksistensi
9
komunitas punk di kelurahan Titi Kuning kecamatan Medan Johor.
Penelitian tersebut memiliki tujuan untuk mengetahui perkembangan
punk yang terjadi, bagaimana eksistensi punk, simbol atau makna yang
terkandung dalam atribut-atribut yang dipakai oleh komunitas punk,
kepribadian sebenarnya seorang punk, serta berbagai faktor yang
mendorong seseorang menjadi punk di daerah Medan Johor.
Hasil temuan dari penelitian mengenai eksistensi komunitas punk
telah menjadi sangat baik di Medan terutama didaerah Titi Kuning
kecamatan Medan Johor. Komunitas punk didaerah tersebut tetap
menjnjung tinggi motto hidup anak punk diseluruh dunia yaitu D.I.Y atau
“Do It Yourself”. Makna dari prisip tersebut tidak hanya mengerjakan
semuanya sendiri dalam artian mandiri atau sebuah kebebasan bertindak,
akan tetapi lebih luas lagi maknanya memiliki kebebasan dalam
berpelilaku namun tetap memiliki tanggung jawab. Rasa bertanggung
jawab ini diartikulasikan sebagai tanggung jawab kepada persatuan semua
golongan anak punk dan tidak memetakan satu dan yang lainnya hanya
karena perbedaan. Tidak ada perbedaan atara satu dan yang lainnya karena
semua dinilai setara.
Selanjutnya jurnal penelitian dari Panca Martha Handayani dan
Kris Hendrijanto (2013), yang berjudul “Motivasi Anak Memilih Menjadi
Anggota Komunitas Punk (Children’s Motivation For Joining Punk
Community).” Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
Jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan di sekitar kawasan
10
Kampus Tegal Boto Kecamatan Sumber sari Kabupaten Jember dengan
penentuan informan menggunakan teknik Purposive. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis tentang motivasi apa yang
mendasari seorang anak memutuskan masuk menjadi anggota komunitas
punk.
Hasil temuan dari penelitian ini adalah berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi keberadaan anak punk
tersebut, baik melalui penangkapan ataupun melalui penahanan, namun
keberadaan anak-anak punk tersebut tetap tidak berkurang secara
signifikan. Hal ini menjadi salah satu masalah yang harus segera
diselesaikan. Anak yang tertarik dan memutuskan masuk dalam
komunitas punk memiliki beberapa alasan atau motivasi sendiri sehingga
mereka memutuskan untuk memilih komunitas punk sebagai sarana
pelarian dari masalah-masalah anak dengan keluarganya, sehingga anak
tersebut masuk dalam komunitas punk setelah dia menemukan
kenyamanan dan ketenangan dalam komunitas punk. Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa motivasi anak untuk masuk ke dalam
komunitas punk dibagi menjadi motivasi internal dan motivasi eksternal.
Kemudian penelitian skripsi Jhoni Akbar (2011), yang berjudul
“Keberadaan Komunitas Punk Di Kota Bukit tinggi.” Metode yang
digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode kualitatif dengan tipe
deskriptif. Pemilihan informan dalam penelitian tersebut menggunakan
teknik purposive sampling serta pengumpulan data penelitian
11
menggunakan teknik observasi dan wawancara mendalam. Sementara itu,
demi tercapainya keabsahan data penelitian dalam penelitian tersebut
digunakan teknik triangulasi.
Hasil dari penelitian tersebut adalah perilaku komunitas punk yang
berada di Kota Bukittinggi dapat ditinjau dari berbagai segi, yakni melalui
pengetahuan, sikap dan tindakan dari seluruh anggotanya. Melalui segi
pengetahuan, anggoota komunitas mengetahui dan memahami ideologi-
ideologi yang dimiliki punk global. Melalui sikap, anggota komunitas
menghayati dan menilai bahwa tidak semua ideologi dalam punk dapat
diterima, namun juga memikirkan kemampuannya dalam menerapkan
ideologi tersebut. Serta melalui segi tindakan, penerapan ideologi tersebut
dapat dilihat dalam penampilan dan berbagai asesoris yang digunakan
serta kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Yaitu, seperti mengamen,
berhimpun, meminum tuak, tidur di jalan dan emperan-emperan toko,
bergaul bebas, jalan-jalan ke luar daerah dengan cara estafet, menato serta
menindik.
Selanjutnya penelitian skripsi Siti Sugiyati (2014), yang berjudul
“Fenomena Anak Punk Dalam Perspekstif Teori Michel Foucault, Agama
dan Pendidikan (Studi Kasus Di Cipondoh Kota Tangerang).” Metode
yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode kulaitatif
deskriptif yang dilakukan guna mengungkapkan, menafsirkan data yang
didapat, melihat peristiwa dan berbagai gejala fenomena yang sedang
diteliti. Yakni, fenomena individu punk menurut berbagai subjektivitas.
12
Pengumpulan data dalam penelitian tersebut dilakukan dengan observasi,
wawancara, serta melakukan dokumentasi penelitiaan saat di lapangan
dengan menggunakan teknik random sampling. Penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk mengetahui bagaimana fenomena anak punk menurut
berbagai persfektif (Michel Foucault, Agama dan pendidikan).
Hasil dari penelitian ini dalam pandangan Michel Foucault
terhadap kumunitas anak. Punk ditinjau melalui awal mula kelahirannya.
Penampilan yang terlihat, individu punk seperti tidak terurus dan kumal.
Namun individu punk tidak hanya datang dari kalangan keluarga yang
kurang mampu. Sebagian dari mereka ada yang berasal dari keluarga yang
berkelebihan. Tetapi sebenarnya punk sendiri adalah sebuah attitude atau
sikap yang cenderung lahir dari sifat memberontak, ketidakpuasan, marah
dan benci terhadap permasalahan sosial yang ada, politik, serta ekonomi
yang kerap menindas masyarakat kecil. Inilah maka lahirlah punk.
Pandangan agama terhadap anak punk adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, mendorong terjadinya era
globalisasi. Hal ini dapat menyebabkan pemuda-pemudi gemar meniru
gaya budaya orang luar negeri dengan beranggapan bahwa mereka dapat
lebih menarik dengan melakukan hal tersebut. Pandangan pendidikan
tehadap anak punk. Pendidikan sejak dini merupakan sarana penting
dalam penentuan jati diri seorang anak, karena pada usia dini mereka
masih mencari jati dirinya dalam menuju tahapan kedewasaan. Fenomena
anak punk lahir dari minimnya pendidikan yang dimilikinya, dimana
13
mereka bertindak sesuka hati tanpa memandang norma dan aturan yang
ada di dalam masyarakat.
Kemudian penelitian skripsi oleh Cessna Oki Triputra (2014),
yang berjudul “Persepsi Komunitas Punk Taring Babi Terhadap
Pendidikan.” Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif
dengan teknik analisi data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Tujuan dari penelitian yang dilakukan
untuk mengetahui persepsi komunitas punk taring babi terhadap
pendidikan.
Hasil temuan penelitian bahwa pendidikan menurut perspektif
komunitas punk Taring Babi adalah sebuah proses yang akan menjadi
tiang agar dikemudian hari yang telah mengikuti proses tersebut kemudian
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup. Melihat ketika seorang
individu dengan kemampuannya telah mampu untuk bertahan hidup,
maka individu tersebut telah melalui proses pendidikan. Juga hasil dari
suatu keberhasilan pendidikan bukan dilihat berdasarkan ijazah yang
didapat ketika lulus sekolah, melainkan mendapatkan suatu kemampuan
bagi individu, minimal untuk bertahan hidup dan menghasilkan sebuah
karya.
14
Ditinjau melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan di atas,
dapat dilihat persamaan serta perbedaan yang ada dengan penelitian
skripsi ini. Persamaan penelitian dapat dilihat melalui objek yang diteliti,
yakni komunitas punk. Sementara perbedaan penelitian, yang tentu sangat
mendasar bagi penelitian ini, ialah tidak ditemukannya pembahasan
mengenai tema tentang diskursus Do It Together terbentuk menjadi
identitas yang ideal dalam komunitas punk Taring Babi melalui analisis
Michel Foucault.
E. Kerangka Teoritis
Dibutuhkan seperangkat teori dan konsep untuk mempertajam fokus
permasalahan. Penggunaan teori diskursus Michele Foucault (Poitiers 1926-
1984) dan pemahamannya terhadap relasi pengetahuan dan kekuasaan
(power – knowledge) menjadi kerangka dominan dalam skripsi ini.
E.1. Diskursus Foucault
Memahami diskursus Foucault berpangkal pada pembahasan
pemandangan baru dalam sosiologi beserta konsekuensinya. Pada dekade
1960 dan 1970-an, terdapat gerakan akademis yang bermula di Perancis
berupa pusaran linguistik (linguistic turn), telah mengubah sendi-sendi
karakteristik ilmu sosial masa kini. Pengaruh putaran linguistik tidak
sekedar berupa pengembangan strukturalisme sebagai konsekuensi dari
teori linguistik Saussure (langue – parole), melainkan sampai dengan
kritiknya dalam bentuk aliran pascastrukturalisme dan pascamodernisme
(Agusta, 2014: 12).
15
Kehadiran strukturalisme telah melemahkan posisi dan
menghilangkan peran dari subyeknya. Subyek atau individu disini tidak
muncul dan bertindak secara bebas sebagaimana yang diteorikan oleh
tindakan sosial weberian, melainkan dimunculkan dengan mengambil posisi
peran yang terbatas dalam institusi yang sudah ditentukan sebelumnya
(Agusta, 2014: 13). Secara berturut-turut sampai pascastrukturalisme,
kehadiran aliran ini dipandang sebagai pemandangan baru dalam sosiologis,
khususnya dalam kajian diskursus yang mulai menjadi tren di era
kontemporer.
Teks menjadi basis utama dalam pemandangan ini. Adapun relasi
subyek sang penulis/pengarang (autor) dipandang berada di luar teks dan ia
telah 'mati', hingga teks dapat menampakkan diri dan bermain dalam bahasa.
Fungsi penulis, dalam sosio-historis, usai 'kematian'nya, bagi Foucoult
hanyalah; untuk mengkarakterisasi eksistensi, sirkulasi dan operasi suatu
diskursus dalam suatu masyarakat, menampakkan konfergensi komplek
jaringan praktek diskursus, dan merefleksikan perubahan praktek diskursus.
Oleh karena the death of autor tersebut, karakteristik diskursus yang
mendukung penggunaannya dan mendeterminasi perbedaannya dari
diskursus lain itu, perlu dipertimbangkan, atau dengan kata lain intensitas
Foucault berpindah ke arah diskursus (Sanusi, 2010: 995).
16
Sebelum dikembangkan oleh Foucault, teori diskursus telah
dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara umum diskursus dimengerti
sebagai pernyataan-pernyataan. Masyarakat umum memahami wacana
sebagai perbincangan yang terjadi dalam masyarakat dalam topik tertentu.
Dalam ranah yang lebih ilmiah Michael Stubbs menyatakan bahwa
diskursus memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut, (a) memberi
perhatian terhadap penggunaan bahasa (language use, bukan language
system) yang lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi
perhatian pada hubungan antara bahasa dengan masyarakat dan (c) memberi
perhatian terhadap perangkat interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari.
Slembrouck juga menekankan bahwa analisis terhadap wacana tidak
memandang secara bias antara bahasa lisan atau tertulis, jadi keduanya
dapat dijadikan objek pemeriksaan (Eryanto, 2005).
Kajian mengenai diskursus memiliki perjalanan panjang mulai dari
pembahasan mengenai kalimat, kata, kebahasaan, gesture hingga ke ranah
yang lebih kompleks kaitannya dengan ideologi dan kekuasaan seperti
pemandangan strukturalisme dan setelahnya pascastrukturalisme.
Sementara pengaruh Saussurean dalam konsep petanda yang konseptual dan
penanda yang lebih operasional dijadikan medium atau alat menganalisis
hubungan sosial secara lebih mendalam.
17
Dalam analisanya, Foucault mengartikan diskursus sebagai otoritas
untuk mendeskripsikan sesuatu, yang dipropagandakan oleh suatu institusi
dan berfungsi untuk memisah-misah dunia dengan jalan tertentu (Sanusi,
2010: 995). Analisis diskursus Michel Foucault merupakan salah satu
metode analisis teks media untuk membongkar cara mengkonstruksi sebuah
diskursus. Analisis ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi
pada proses produksi dan reproduksi makna. Analisis diskursus melihat
pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai praktik sosial. Bahasa
dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan,
tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa
dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk di dalamnya praktik
kekuasaan (Eryanto, 2005: 11). Diskursus juga dipandang sebagai arena
atau ruang tempat bertemunya berbagai kepentingan kaitannya dengan
kehendak berkuasa (Faruk, 2010).
Memahami konsepsi kekuasaan Foucault dalam konteks ini tidak
membayangkannya seperti pemandangan lama, dimana kekuasaan
mewujud dalam (power to) atau (power over) atau pandangan dari Robert
Dahl, Peter Bachrach, Morton Baratz, Stevan Luke dimana kekuasaan
mewujud dalam satu, dua atau tiga dimensi, yang seluruhnya menekankan
posisi kekuasaan pada subyek atau individu tertentu (Hutagalung, 2010: 3).
Kekuasaan juga dipahami tidak lagi bersandar pada sifatnya yang represif
melainkan bersifat produktif dan reproduktif. Konsekuensinya keberadaan
kuasa tidak lagi dialamatkan pada status, posisi, sumber, atau institusi sosial
18
apa adanya, melainkan ‘kekuasaan hanya dapat muncul dalam suatu
interaksi antar individu maupun antar institusi’ (Agusta, 2014). Jadi,
kekuasaan bukanlah suatu properti yang dimiliki oleh individu maupun
segelintir masyarakat untuk mendominasi dan mengontrol orang lain,
melainkan kekuasaan dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan
menyebar seperti jejaring yang mempunyai ruang lingkup strategis.
Konsekuensi interaksi membawa kekuasaan dapat muncul di mana
saja, sejauh adanya interaksi sosial berlangsung. Hal tersebut mengantarkan
kita pada pemikiran, bahwa kekuasaan melandasi interaksi sosial bahkan
dalam komunikasi verbal sekalipun. Kekuasaan ditunjukkan oleh
kemampuannya dalam mendominasi tafsir terhadap tanda tersebut. Sebuah
tanda dapat memiliki tafsir yang beragam dan bertingkat-tingkat, namun
pada akhirnya suatu definisi atau makna atas tanda dalam suatu masyarakat
tergantung kepada pemilik kekuatan dominan (Nietzsche dalam Agusta,
2014:15).
E.2. Bangunan Filososfis
Analisa diskursus Foucault memiliki kekhasannya tersendiri, hal ini
nampak dari bangunan filosofisnya. Analisis diskursus Foucault sangat
memperhatikan dua hal yakni pembentukan disiplin ilmu pengetahuan dan
praktik pendisiplinannya. Bangunan filosofis keduanya berangkat dari
pandangannya mengenai episteme. Istilah tersebut berkembang dalam
filsafat Perancis, digunakan sebagai pangkal memulai suatu pembahasan.
Sementara konsep epistemologi lebih akrab diartikan sebagai upaya
19
penggalian atau cara-cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan
pengetahuan. Episteme secara khusus merujuk pada kegiatan menelusuri
sejarah timbulnya, berkembangnya, hingga berubahnya suatu pengetahuan
atau disiplin (Bertens dalam Agusta, 2014:9).
Istilah ini merujuk pada bentuk tertentu dari struktur pengetahuan
pada periode dan waktu tertentu. Pembahasan mengenai episteme memiliki
konsekuensi mendasar pada perumusan sejarah pengetahuan. Sejarah
pengetahuan tidak dipandang bersifat universal – kumulatif – kontinu,
melainkan bersifat diskontinu (Agusta, 2014:10). Hal ini sekaligus menjadi
kritiknya terhadap kemapanan teori lama dan universalitas sejarah.
Foucault menjelaskan episteme sebagai sebuah totalitas yang
menyatukan, mengendalikan cara kita memandang dan memahami realitas
tanpa kita sadari. Episteme hanya berlaku pada satu zaman. Ketika kita sadar
akan episteme yang mempengaruhi kita, berarti kita telah berada dalam
episteme berbeda, karena suatu episteme tidak dapat dilihat atau disadari
ketika masih berada di dalamnya (Sugiharto, 2000).
George Canguilhem menyajikan kekhususan kajian mengenai
sejarah pengetahuan. Biasanya filsuf lainnya cendrung membedakan mana
pengetahuan ilmiah dan membedakannya dengan pengetahuan masyarakat
umumnya, kemudian dengan sengaja hanya mengkaji hanya pengetahuan
yang ilmiah. Namun episteme kiranya tidak membedakan antara keduanya
(Agusta, 2014: 9). Segala hal yang berasal dari praktik bahkan kondisi
20
irasional menjadi bagian dalam pembahasannya, bahkan untuk struktur
pengetahuan yang dilainkan sekalipun.
E.3. Power – Knowledge.
Terinspirasi sosok Frederich Nietzsche, Foucault memberikan
pemahaman baru dalam bingkai analisa diskursusnya, dimana ia
memaparkan keterkaitan antara konsep pengetahuan dan kekuasaan. Kedua
hal tersebut selalu hadir dalam mengisi berbagai rezim sejarah, disiplin
ilmu, institusi dan lain sebagainya. Tidak ada suatu pengetahuan tanpa
kehendak kuasa begitupun sebaliknya setiap kekuasaan pasti ditopang
pengetahuan mapan hingga dalam suatu masa mampu menghasilkan apa
yang dianggap sebagai ‘kebenaran’ (Faruq, 2010; Agusta, 2014). Dengan
kata lain, struktur pengetahuan yang menciptakan sebuah kebenaran tidak
disusun atas objektifitas, melainkan terbatas pada tafsir atau metafora
(Nietzsche dalam Agusta, 2014: 10).
Pemahaman ini membawa kita pada sifat pengetahuan yang semu,
yang kerap terselip kehendak daripada penyusunnya. Kesadaran seseorang
selalu berupa kesadaran yang disusun atas hierarki penafsir yang lebih kuat
dan yang lebih lemah. Namun demikian hierarki penafsiran ini tidak bersifat
homogen, melainkan selalu mengalami pemaknaan yang beragam. Objek
tidaklah pasif dan dia sendiri merupakan sebuah kekuasaan untuk di maknai,
sehingga terjadi tarik-menarik antara objek dengan kekuatan yang
menguasainya (Nietzsche 2000: 81-83). Dalam bentuk yang saling
berkaitan atau interaksi dengan kekuasaan lain, ruang kosong yang hadir
21
dalam proses interaksi tersebut, diisi dengan suatu yang disebut ‘kehendak
berkuasa’, menegaskan perbedaannya, distingsinya dan diskontinuitasnya
dari kekuatan yang lain (Agusta, 2014: 11). Dari sini munculah mekanisme
dominasi terhadap suatu tafsiran.
Mengenai konsep kehendak berkuasa, Nietzsche dalam bukunya
Beyond Good and Evil menyebut hakekat dunia adalah kehendak untuk
berkuasa, sementara dalam The Genealogi Moral ia masih menyebut kata
yang sama, kemudian dalam bukunya The Will to Power lagi-lagi ia
menyebutkan kehendak untuk berkuasa. Kehendak berkuasa merupakan
saripati petualangan pemikiran Nietzsche (Sunardi, 2001: 45). Kehendak
berkuasa ini mendasari segala pemandangan baik dalam pengetahuan, sains,
bahkan moralitas, ia mengatakan:
Dunia adalah kehendak untuk berkuasa, tidak ada lagi lainnya; kita
semua adalah kehendak untuk berkuasa. Intepretasi moral muncul
juga berdasarkan kehendak berkuasa. Kalau demikian bukankah
segal hal berarti dari dorongan kehendak berkuasa? Bukankah
orang-orang lemah dan kuat menyusun moralitasnya karena
kehendak untuk berkuasa, karena sesungguhnya kehendak berkuasa
adalah prinsip moralitas… (Sunardi, 2001: 82).
Ia menganggap nilai-nilai interinsik semacam ini diterima begitu
saja sebagai fakta pengalaman tanpa ada upaya mempertanyakan kembali,
sebab andaikan kebalikannya (yang persepsikan moralitas buruk) adalah
‘benar’, bukankah nilai tersebut justru berpotensi bahaya dan meruntuhkan
manusia itu sendiri. Sebagai suksesor Nietzsche, Foucault memakai filsafat
22
kehendak berkuasa dalam bangunan teori diskursusnya. Karena
mempengaruhi unsur pengalaman dan fakta-fakta, Foucault meyakini
segala hal termasuk sains dan pengetahuan disusun berdasarkan kehendak,
dan fakta pengetahuan tidak lagi disusun sebagai sesuatu bentuk yang netral
(Sunardi, 2001: 73).
Lebih jauh, meskipun skeptis terhadap pengetahuan modern, teori
diskursus Foucault tidak diarahkan pada pelarangan terhadap pengetahuan
manapun, ia lebih menitikberatkan bagaimana suatu kekuasaan mampu
memproduksi kebenaran, sehingga manusia menerima kebenaran tersebut
sebagai sesuatu yang alami, mempengaruhi tindakan dan cara berfikir kita.
Dalam pandangan ini, yang terpenting adalah melihat sejauh mana sebuah
diskursus memiliki konsekuensi terhadap penundukan tubuh manusia.
Selama ini pemahaman kelompok punk terhadap Do It Yourself
disusun oleh pengetahuan yang memojokannya ke dalam persepsi yang
dianggap benar dalam tren kelompok punk. Realitas tersebut merupakan hal
yang akan dikaji dalam penelitian ini, dengan melihatnya sebagai wujud
yang berbeda dari masa ke masa (diskontinu).
E.4. Metode Diskursus Foucault
Kerapkali kajian diskursus dianggap sebagai tanpa metode. Namun
Foucault telah mengkajinya secara khusus dengan menerbitkan artikel dan
menamai bangunan identitasnya dengan ‘metode Foucault’. Ia menjelaskan
tentang tahapan mengkaji sebuah diskursus. Dalam mengkaji diskursus
23
setidaknya terdapat dua perangkat, pertama ia sebut sebagai arkeologi
pengetahuan dan genealogi kekuasaan (Agusta, 2014: 40-41).
1. Metode Arkeologi
Analisis arkeologi bersandar pada kajian sejarah yang secara
langsung berhubungan dengan pengetahuan. Rival Foucault yang paling
nyata dalam mempelajari pengetahuan itu sendiri adalah tentang ‘sejarah
pengetahuan’. Maka tidak heran sebelum mendeskripsikan pandangan ini,
Foucault terlebih dahulu mengkritisi teori-teori sejarawan. Sejarawan sering
mengusung konsep kontinuitas, yang kemudian ditandingi dengan konsep
diskontinuitas Foucault. Menurut Dilger, tujuan tandingan konsep tersebut
adalah untuk mengekspos dan memerangi distorsi, serta menyeimbangi
konsep kontinyuitas yang selalu mengontrol, mendominasi dan mendistorsi
sejarah (Sanusi, 2010: 998). Konsekuensinya, metode untuk menilai ilmu
pengetahuan hari ini tidaklah bersifat universal, melainkan hanya sesuai
dengan ruang dan waktu terbentuknya pengetahuan tersebut.
Dalam kerangka arkeologi, diskursus dapat dipilah baik dalam
kerangka masa/waktu dan dapat juga dalam konteks budaya, teknologi,
religi atau aspek lainnya yang lebih khusus. Uraian yang bersifat khusus
tersebut diperoleh dari masa ke masa. Dengan demikian sebuah rangkaian
diskursus menampilkan serangkaian informasi untuk membentuk fakta
sosial yang didasarkan pada data dan cara berfikir (Wiradnyana, 2018: 41).
24
Arkeologi dapat diartikan sebagai pencarian sistem umum dari
formasi dan transformasi pernyataan bahasa kedalam formasi diskursif
semisal dokumen, kearsipan, pembicaraan maupun tulisan sebagai unitnya
(Ritzer, 2010: 610). Metode arkeologi menerapkan kaidah pembalikan.
Kaidah ini dibedakan menurut bentuk-bentuk pengecualian, pembatasan
dan penyisihan sebagaimana prinsip diskontinuitas (Foucault, 2003: 70-89).
Analisis arkeologi hendak dipakai untuk memperlihatkan bentuk-
bentuk pengecualian dalam pembicaraan mengenai diskursus Do It Yourself
terbangun, bagaimana aspek pengetahuan Do It Yourself dimodifikasi dan
diganti untuk menghadapi segala bentuk kondisinya, seperti halnya ketika
ramai perdebatan tren identitas punk, tentu muncul beragam pengetahuan-
pengetahuan baru. Dari sini peneliti melakukan pencarian informasi teks
(kearsipan) dalam berbagai Jurnal untuk melihat rekam jejak diskursus Do
It Yourself, dengan memperhatikan konteks waktu dan wilayah kejadian
serta melihatnya secara historikal dari masa ke masa sebagai sebuah
bangunan pengetahuan dalam kerangka konstruksi sosial.
2. Metode Genealogi
Dalam Genealogi kekuasaan, Foucault membahas bagaimana orang
mengatur diri sendriri dan orang lain melalui produksi pengetahuan.
Singkatnya, ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan
mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek
dengan pengetahuan. Foucault memperhatikan suatu hal yang berasal dari
25
pengetahuan dan memperhatikan cara yang digunakan beragam institusi
untuk memaksakan kekuasaan manusia (Wiradnyana, 2018: 29).
Dalam pandangan ini genealogi diartikan sebagai salah satu tipe
sejarah yang berbeda sama sekali dari tipe sejarah kebanyakan. Genealogi
merupakan cara pandang melihat sesuatu, tanpa melihat asal-usul dan tidak
menitik beratkan pada hukum dan keniscayaan. Segala sesuatu adalah
mungkin dari perspektif ini. Sebab genealogi menganut prinsisp
diskontinuitas, penetapan dan eksterioritas (Foucault, 2003: 89-90).
Genealogi berusaha menyingkap keanekaragaman faktor dibalik suatu
peristiwa dan kerapuhan (retakan) bentuk-bentuk sejarah (Wiradnyana,
2018: 29).
Selain itu metode genealogi juga bersifat kritis melibatkan
pemahaman dan sikap tidak kenal lelah terhadap apa-apa yang dianggap
netral, alami, niscaya atau tetap. Foucault tertarik menggunakan perspektif
ini untuk melihat suatu yang dianggap benar atau “pernyataan kebenaran”
(Ritzer, 2010: 610). Di samping itu genealogi juga mempertanyakan fungsi
kehendak, dalam arti menunjukan karakter dari kekuasaan untuk
membenarkan sesuatu hingga kemudian diskursus menjadi bentuk-bentuk
nyata dalam peristiwa sosial (Foucault, 2003: 89-90). Kehendak akan
kebenaran dalam konteks ini biasa muncul dalam bentuk kehendak untuk
menambah pengetahuan mengenai Do It Yourself dan juga sikap terhadap
dukungan eksistensinya dalam kelompok punk. Kekuatan untuk mencari
26
pengetahuan Do It Yourself diperoleh dari berbagai pusaran kekuasaan yang
tampil di sekitarnya.
Genealogi, dengan tata kerjanya itu, dapat kita simpulkan sebagai
suatu proses pembongkaran sejarah/pengetahuan/data dan mengungkap
yang tidak terungkap, guna mencari orisinalitas dan otentitas, dan membuka
jalan kemungkinan-kemungkinan lain.
Jadi, baik arkeologi dan genealogi menjadi satu kesatuan metode
yang solid. Jika arkeologi sebelumnya membahas tentang aturan-aturan
formasi diskursus, deskripsi genealogi yang baru dan kritis membahas baik
itu kelangkaan pernyataan (statement) dan kekuasaan dari pihak afirmatif.
Dari segi hubungan antar kedua metode tersebut, arkeologi melakukan tugas
yang diperlukan untuk melakukan tugas genealogi. Arkeologi melibatkan
analisis empiris terhadap diskursus sejarah (pencarian informasi), sementara
genealogi menjalankan serangkaian analisis kritis terhadap historikal
diskursif dan hubungannya dengan isu-isu yang menjadi perhatian dunia
kontemporer (Ritzer, 2010: 611).
E.5. Pembentukan Diskursus
Kajian pembentukan diskursus Foucault terdiri atas level strategi,
modalitas penyampaian, konsep, positivitas dan pernyataan (Agusta, 2014:
21). Mengadaptasi pemikiran tersebut, bentuk diskursif Do It Yourself ialah
sekelompok pernyataan yang menunjukan, seperangkat aturan umum yang
membentuk si objek Do It Yourself berkaitan dengan (pemikiran, tindakan,
27
susunan kebendaan), (2) secara teratur memilah-milah hal yang boleh
disampaikan dalam dinamika identitas punk, dan (3) pijakan dari suatu
tindakan dan pemikiran. Bentuk diskursif terdiri atas analisis pernyataan
mengenai Do It Yourself (pembentukan objek, pembentukan posisi subjek,
pembentukan konsep, pembentukan pilihan strategi), yang
berkorespondensi dengan analisis tempat fungsi penyampaian informasi
prinsip Do It Yourself bekerja (wilayah peristiwa diskursif dan modalitas
penyampaian).
Objek diskursus Do It Yourself terbentuk dengan dipetakannya
kemunculan objek pikiran, tindakan dan benda-benda pertama kali. Bagi
penganutnya, objek diskursus baru dipandang lebih rasional ketimbang
diskursus lama. Analisis ini diarahkan kepada cara untuk menentukan dan
membatasi ranah suatu diskursus Do It Yourself, yakni hal-hal yang boleh
dibahas diantara penganutnya.
E.6. Pengelolaan Diskursus
Diskursus memiliki sifatnya sendiri menemukan diskontinuitasnya,
bahkan sifatnya ini mampu berkembang melebihi yang dibayangkan. Dalam
kondisi ini lembaga sosial dipandang memainkan peranan utama untuk
mengurangi ‘efek revolutif’ diskursus dalam melakukan perubahan sosial.
Penataan diarahkan pada pengurungan atau pendisiplinan interaksi sosial
yang secara inheren menyebarkan kekuasaan (Agusta, 2014: 23). Dari sini
terdapat dua jenis pengelolaan diskursus, yakni pengelolaan aturan internal
diskursus dan pengelolaan diskursus atas kehadiran relasi kekuasaannya.
28
Dalam konteks identitas punk, pengelolaan terhadap aturan internal
diskursus meliputi; pertama pengaturan klasifikasi penataan dan distribusi
berbagai pernyataan tentang diskursus yang di munculkan. Kedua,
memberikan perhatian terhadap komentar dalam diskursus, khususnya
perdebatan mengenai identitas punk, karena hal ini memainkan dua peranan,
yaitu berpeluang menciptakan diskursus yang baru atau sebaliknya dengan
mengatakan hal-hal biasa tanpa munculnya pernyataan baru. Ketiga,
pengarang bukan subjek melainkan sebagai kesatuan prinsip dalam suatu
kelompok tulisan atau pernyatan-pernyataan tertentu. Keempat, keberadaan
diskursus Do It Yourself sebagai identitas punk yang absolut, dibentuk oleh
kelompok objek, metode, sekelompok proposisi yang diandaikan sebagai
pernyataan kebenaran, aneka ragam aturan dan definisi, teknik dan peralatan
sehingga membentuk tata aturan diskursif.
Sementara dalam pengelolaan relasi kekuasaannya meliputi,
pertama, ritual berupa tindakan berulang dalam suatu diskursus misalnya
tentang hal berkaitan dengan sebuah identitas komunitas punk. Kedua,
persahabatan diskursus, berupa interaksi solidaritas diskursus dengan
diskursus lainnya, disini kita bisa melihat kolaborasi dan interaksi antar
diskursus yang mendukung (proponent) atau bahkan yang menolak
(opponent) identifikasi individu / kelompok punk. Ketiga, kehadiran
kelompok doktrinal dalam suatu diskursus. Keempat, penyisihan sosial bagi
pihak lain yang dipandang sebagai orang luar dari suatu diskursus tersebut.
29
F. Metode Penelitian
F.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. “Pendekatan
kualitatif berusaha menjelaskan fenomena sosial terutama terkait dengan
pertanyaan mengapa, bagaimana dan dengan cara apa” (Faisal, 2003: 15).
Pendekatan kualitatif dipilih karena dianggap lebih sesuai dengan
kebutuhan akan pencarian dan penginterpretasian data-data lapangan
berupa diskursus, maupun dalam menangkap hasil pemaknaan refleksi
anggota komunitas punk Taring Babi.
Cara berpikir kualitatif juga dipandang lebih fleksibel terhadap
penelitian ini, sebab alur berfikirnya yang tidak selalu linear, dalam artian
memberi toleransi terhadap penyesuaian dan alur yang dimunculkan dari
beragam arah, bisa mundur, bisa maju dan tidak selalu mengacu pada
masalah yang dibatasi sebelumnya, sehingga penelitian ini bisa
beradaptasi dengan lebih baik di lapangan (Faisal 2003: 19).
Sejalan dengan pendekatannya, skripsi ini termasuk kedalam jenis
penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk ekplorasi
dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan
jalan mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah
dan unit yang diteliti. Jenis penelitian deskriptif tidak sampai pada
mempersoalkan hubungan antar variabel yang ada, sebab memang tidak
dimaksudkan untuk menarik generasi yang menjelaskan variabel-variabel
yang menyebabkan gejala atau kenyataan sosial. Oleh karena itu,
30
penelitian ini tidak menggunakan pengujian hipotesis secara langsung
yang kaku dan tidak bermaksud untuk membangun serta mengembangkan
perbendaharaan teori (Faisal, 2003: 20).
Sementara metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah
metode diskursus Foucault. Metode diskursus merupakan pengembangan
ilmiah yang dilakukan Michele Foucault meliputi cara atau tahapan-
tahapan mengkaji sebuah diskursus dalam kehidupan sosial (Agusta,
2014). Metode diskursus dipakai sebagai instrumen sesuai untuk
mendekatkan diri pada data (formasi teks) diskursus dan analisa lapangan.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba melakukan apa yang dimaksud
Foucault sebagai arkeologi ‘sederhana’, sederhana yang dimaksud ialah
bahwa penelitian ini tetap mengarah pada metode pencarian arsip, akan
tetapi informasi sejarah diskursus Do It Yourself yang disajikan dalam
penelitian ini sekiranya ‘dibatasi’ hanya seputar eksistensi komunitas
punk Taring Babi yang dipertanyakan identitasnya dalam punk itu sendiri
dan bukan pada kajian epistemik tentang Do It Yourself sebagaimana yang
dilakukan Foucault dalam mengkaji ‘kegilaan’. Adapun semangat
genealogis semacam deteksi kritis guna membongkar aspek kuasa yang
beroperasi didalamnya.
F.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini berada dikediaman atau rumah para anggota
komunitas punk Taring Babi menetap, yaitu berada di Jagakarsa, gang
setiabudi, Jakarta Selatan.
31
Sementara waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian
ini kurang lebih selama 3 bulan, terhitung sejak bulan Oktober sampai
dengan bulan Desember 2018. Adapun ketepatan waktu dan perubahan
timeline tergantung pada tingkat kesulitan dan permasalahan di lapangan.
Secara rinci peneliti telah membuat timeline kerja untuk memudahkan
proses penelitian.
Bulan Oktober 2018 sebagai tahap awal penentuan masalah yang
akan diteliti serta penyesuaian metodologi dan kerangka teori yang dipakai.
Kemudian, bulan November 2018 merupakan tahap pengumpulan data
(primer - sekunder), Terakhir, bulan Desember 2018 merupakan tahap
penyusunan dan penulisan kedalam laporan skripsi.
F.3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi data
primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis,
sementara data sekunder merupakan informasi yang diperlukan guna
mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan
pendukung ataupun pembanding.
1. Data Primer
Data Primer dalam penelitian ini diperoleh melalui penggabungan
data antara pernyataan diskursus maupun lapangan. Penelusuran diskursif
kasus yang unik seperti punk dilakukan melalui pencarian pemberitaan
media sosial subkultur (Jakartabeat dan lainnya). Sementara yang kedua
32
adalah pencarian data lapangan dengan cara menggali informasi dari
anggota komunitas punk Taring Babi.
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini ditelusuri melalui cakupan
informasi diluar konsepsi data primer. Misalnya dengan melakukan studi
dokumen, seperti dari media massa online (Tribunnews, Liputan6 Dll.) juga
pada referensi dokumen penunjang lainnya seperti buku, Skripsi, Jurnal,
Tesis.
F.4. Teknik Pengumpulan Data dan Informan
Berikut model teknik pengumpulan data disertai pembahasan profil
informan yang diambil penelitian ini, antaralain:
1. Wawancara
Tekhnik yang digunakan berupa wawancara mendalam, dimana
peneliti mengajukan serangkaian pertanyaan secara langsung kepada
informan kunci. Pertanyaan yang disampaikan terukur akan tetapi tidak
diarahkan dan bersifat kaku sehingga keseluruhan data yang diterima
menekankan prinsip subjektifitas data. Pandangan ini mengacu pada cara
informan memandang dunianya dalam mengingat kejadian yang lalu.
Pengambilan data dengan tekhnik wawancara juga dipakai guna
meletakan posisinya yang sosiologis. Data hasil wawancara nanti dipakai
untuk memberikan signifikansi terhadap data lain berupa wacana-diskursus
kearsipan hasil dari studi dokumen.
33
Informan dipilih berdasarkan statusnya sebagai anggota komunitas
punk Taring Babi yang mengerti dan paham tentang identitas punk
komunitas tersebut. Berikut profil informan dalam penelitian ini; Pertama,
Mike (43 tahun), seorang anggota sekaligus pelopor terbentuknya
komunitas punk Taring Babi. Kedua, Bobi (42 tahun) seorang anggota
komunitas punk Taring Babi yang juga menjadi pelopor terbentuknya
komunitas punk tersebut. Ketiga, Imam (40 tahun) merupakan anggota
komunitas punk Taring Babi. Keempat, Ayah Baron (42 tahun) anggota
komunitas punk Taring Babi.
2. Studi Dokumen
Studi dokumen menjadi ruh dalam penelitian ini. Salah satu
alasannya karena pembentukan diskursus Do It Yourself yang menjadi
identitas dari punk terbentuk beberapa tahun yang lalu, sehingga pencarian
informasi dianggap lebih utuh dengan menggunakan tekhnik ini. Selain itu
studi dokumen dianggap sebagai desain tradisi pascastrukturalisme, dengan
mencari hal berupa pernyataan – argumentasi – pikiran dalam lembar
kearsipan.
Peneliti coba menemukan informasi seputar diskursus Do It Yourself
muncul pertama kali. Pengamatan dari media massa merupakan sarana
memahami keragaman dan dinamika kontestasi diskursus. Sementara
penelusuran dokumen sekunder diambil dari media massa online, buku,
34
skripsi - jurnal penelitian, artikel, dan literatur yang berkaitan dengan isu
Do It Yourself kelompok punk.
F.5. Pengelolahan dan Analisis Data
Dibutuhkan serangkaian proses panjang untuk mengolah data. Di
mulai dari eksplorasi data mentah melalui teknik dokumen dan
wawancara, selanjutnya dibuatkan klasifikasi-klasifikasi dan tabulasi.
Model pengolahan demikian bertujuan untuk mempermudah
penganalisaan terhadap masalah. Disamping itu model ini mampu
memberi penggambaran terhadap pembentukan diskursus Do It Yourself
dan memperlihatkan segenap aspek kuasa di dalamnya serta
mempermudah peneliti dalam membedah dan memfilterisasi data berupa
teks. Proses panjang ini kiranya sejalan dengan penerapan metode
Foucault.
Model tabulasi diarahkan pada pemahaman kajian pembentukan
diskursus Foucault yang terdiri atas level strategi, modalitas
penyampaian, konsep, objek positivitas dan pernyataan (Agusta, 2014:
21). Berikut model tabulasi yang dipakai dalam penelitian ini:
Tanggal Main Statement Aktor/Institusi Sikap Sumber
Telaah Kemuncul
an diskursus (Prinsip
diskontnuitas)
Telaah motif strategi dan modalitas
penyampaian
Telaah kehendak kuasa
Menentukan Proponent
dan Opponent
Telaah Sumber
Table 1. Model Tabulasi data
35
Ada lima kategori umum dalam proses pentabulasian data,
diantaranya; 1) Kolom Penanggalan, untuk mendeteksi dan mengetahui
periode kemunculan diskursus, dengan cara melihat data melalui studi
dokumen, 2) Kolom Aktor – institusi, dipakai untuk menampakan kehendak
pihak-pihak yang andil dalam kontestasi diskursus, 3) Kolom Main
Statement, dipakai untuk menelaah strategi dan modalitas penyampaian dari
tiap-tiap pernyataan (teks), dari pembacaan detail kita bisa menyimpulkan
ranah pembentukan arena kontestasi diskursus, 4) Kolom Sumber, dipakai
untuk mengetahui posisi asal wacana, dan terakhir 5) Kolom Sikap, dipakai
untuk menerjemahkan diskursus dan relasi kuasaannya apakah ia dalam
bentuk (proponent) atau menjadi lawan dalam (Opponent). Matriks tabulasi
ini dapat membedah ratusan pernyataan argumentasi untuk menjelaskan
ragam diskursus Do It Yourself dan konsekuensinya terhadap identitas
komunitas punk yang ideal.
Seluruh data yang telah ditabulasikan dianalisis secara kualitatif.
Adapun pengambilan kesimpulan menggunakan logika berfikir deduktif
sehingga diperoleh gambaran yang cukup jelas dan menyeluruh mengenai
ragam kemunculan dan kontestasi diskursus identitas punk Do It Yourself.
Analisis dalam penelitian ini mengacu pada pemahaman teori diskursus dan
kekuasaan MicheleFoucault.
36
G. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini disusun dengan sistematika
penulisan yang terdiri dari lima (V) BAB, yakni:
BAB I: Dalam BAB ini berisi tentang pernyataan penelitian,
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II: Berisikan tentang sejarah komunitas punk dan gambaran
umum mengenai objek penelitian yakni Komunitas Punk Taring
Babi.
BAB III: Pada bagian BAB ini berisikan tentang potret diskursus
identitas punk yang mempaparkan jejak diskursus Do It Yourself
dan ragam diskursus Do It Together komunitas punk Taring Babi
serta menjabarkan kontestasi diskursus.
BAB IV: Bagian ini memaparkan kesimpulan dari penelitian ini
dan memberikan saran yang berguna untuk penelitian selanjutnya.
37
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Komunitas Punk di Indonesia
Setelah bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya, terdapat
banyak perjuangan dari masyarakat yang menjadi bukti sejarah dalam
kehidupan masyarakat baik dari sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia
hingga setelah kemerdekaan Indonesia. Berbagai perjuangan heroik
dilakukan oleh masyarakat baik dari kalangan masyarakat muda sampai
kalangan orang tua untuk melawan ketidak adilan, ketidak setaraan,
ekonomi, maupun politik yang banyak dijalankan oleh pemuda-pemuda
bangsa, khususnya kalangan mahasiswa.
Dalam coretan sejarah, bangsa Indonesia telah mengalami revolusi
kemerdekaan nasional pada tahun 1945 sampai 1950, kemudian terjadi
perubahan situasi politik pada tahun 1965 yang telah menghabisi riwayat
komunisme di Indonesia. Kemudian terjadi peristiwa Malari pada tahun
1974 menjadi ungkapan perasaan masyarakat sebagai bentuk perlawanan
terhadap pengaruh modal asing. Ketiga kejadian-kejadian tersebut
merupakan perlawanan masyarakat Indonesia kepada kekuatan politik,
ekonomi, dan sosial yang menjadi faktor penderitaan rakyat (Adnan dan
Pradiansyah, 1999: vii).
38
Peristiwa selanjutnya yang terjadi adalah Reformasi pada tahun
1997-1998, ditandai dengan turunnya presiden Soeharto tanggal 22 Mei
tahun 1998. Kejadian tersebut adalah bentuk kekecewaan masyrakat
kepada pemerintah dalam menjalankan sistem pemerintahan pada masa
itu. Pada mulanya tersebar berbagai isu yang timbul seperti isu turunkan
harga, hapus korupsi, kolusi, dan nepotisme, reformasi ekonomi, politik,
serta hukum, atau reformasi total. Seriring tidak adanya penyelesaian
masalah dari pihak pemerintahan, isu turunkan harga berubah arti menjadi
turunkan Soeharto dan keluarga atau kroni-kroni nya.
Rasa kekecawaan rakyat terhadap pemerintah membuat kalangan
masyarakat maupun mahasiswa melakukan berbagai aksi-aksi
demonstrasi ataupun unjuk rasa yang terjadi pada berberapa wilayah di
Indonesia. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya berbagai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan berbagai kelompok ataupun organisasi
dalam kalangan mahasiswa.
Kemunculan pertama komunitas Punk terjadi dalam sebuah klub
di Jakarta pada tahun 1992. Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh
Fathun Karib (2016) dalam subkulturindonesia.wordpress.com ia menulis
bahwa:
Pada tahun 1992 terdapat sebuah klub di bilangan Pancoran-
Gatot Subroto bernama Black Hole. Tempat ini sering didatangi
oleh anak-anak metal Jakarta. Beri, salah satu personil band Punk
pertama (Anti Septic) sendiri sering menghadiri acara-acara di
klub tersebut. Musik-musik yang dimainkan di Black Hole
terutama adalah Nirvana, Pearl Jam, dan Jane’s Addiction
39
sampai dengan musik progresif. Di klub inilah untuk pertama
kalinya Beri bertemu dengan segerombolan anak punk dengan
dandanan ala Sex Pistols dan The Exploited. Black Hole menjadi
saksi sejarah terbentuknya kelompok tongkrongan punk Jakarta
pertama bernama Young Offender (Y.O).
Seiring dengan berjalannya waktu, komunitas-komunitas dari
tiap-tiap daerah di Jakarta pun bermunculan. Pada akhir tahun 1995/1996
media sosialisasi musik punk mulai mudah dikenal dengan melalui
Compact Disc (CD). Duta Suara adalah salah satu dari berbagai toko kaset
klasik yang menyediakan CD Punk dimana pada saat itu tidak dapat
ditemui. Untuk memperoleh berbagai produk punk dari luar negeri, cara
lainnya adalah melalui Mail Order. Dengan melalui mail order serta
memilah berbagai katalog pemesanan dari record label musik punk yang
ada di luar negeri, komunitas punk di Jakarta kerap menggali informasi
seputar punk di luar negeri. Pengetahuan mengenai dimensi politik dari
musik pun terbentuk (Karib, 2016).
Salah satu komunitas punk yang muncul di Jakarta adalah
komunitas Taring babi. Taring Babi juga dikenal sebagai Marjinal (sebuah
grup musik aliran punk), Anti Facist, Racist Action (AFRA) dan Tempe
Quality. Komunitas ini pertama lahir adalah sebuah jaringan Anti Facist
Racist Action (AFRA) pada zaman orde baru tanggal 22 Desember 1996.
AFRA dibentuk oleh sekumpulan mahasiswa yang memiliki kesadaran
untuk melawan sistem fasis pada masa orde baru. AFRA menggunakan
media visual, poster dari pahatan di kayu, baliho serta lukisan untuk
menyadarkan gerasi muda pada masa itu untuk melawan sistem fasis yang
diusung oleh pemerintah orde baru.
40
B. Perjalanan Komunitas Taring Babi
Taring Babi adalah sebuah komuniras punk yang mecintai
kearifan lokal. Nama Taring Babi sendiri diadopsi dari kata Taring dan
Babi, pemberian nama komunitas tersebut memiliki arti serta menjadi
simbol bagi komunitas. Taring kerap digunakan oleh masyarakat
Indonesia sebagai simbol kepercayaan mengenai hal-hal mistik di dalam
budaya Indonesia. Biasanya, Taring digunakan untuk menolak balak.
Selanjutnya kata Babi adalah gambaran dari binatang Babi. Sebagaimana
Babi adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang dikenal sebagai
hewan yang rakus, pemakan segala. Bahkan, dalam ajaran salah satu
agama di Indonesia yaitu agama Islam menyatakan haram hukumnya
memakan daging Babi. Nama Taring Babi sebagai pengingat agar menjadi
manusia yang tidak serakah atau rakus.
Komunitas Taring Babi lahir pada tanggal 22 Desember 1996 yang
diprakarsai oleh beberapa mahasiswa dari kampus Grafika Jakarta
Selatan. Hingga kini yang bertahan dalam komunitas tersebut sejak awal
berdiri adalah Bobi dan Mike. Kelompok Taring Babi terbentuk karena
terdapat berbagai kesamaan dari anggota-anggota nya yaitu berkarya seni
dan salah satunya adalah bermain musik. Terbentuknya komunitas ini
bukan berdasarkan untuk menciptakan sebuah organisasi, melainkan
sebagai suatu bentuk aktivitas kolektif yang diartikan oleh Mike Marjinal
sebagai suatu kegiatan yang memiliki tujuan bersama dan semua tanggung
jawab diambil secara bersama-sama.
41
Perjalanan komunitas punk Taring Babi dimulai dengan berbagai
perjuangan, seperti turut serta ikut dalam aksi massa pada saat
kepemimpinan presiden Soeharto. Melalui aksi massa tersebut komunitas
Punk Taring Babi berekspresi lewat berbagai media, dengan bakat dan
kemampuan yang mereka miliki. Komunitas punk Taring Babi
menyalurkan ekspresi mereka, salah satunya dengan melalui media visual,
seperti baliho, pembuatan poster dari pahat (cukilan), dan lukisan yang
berisi brbagai kritik serta pernyataan yang mengguggah semangat
generasi muda untuk melawan sistem pada masa orde baru.
Dalam perjalanannya, Taring Babi juga aktif diberbagai organisasi
gerakan mahasiswa pada saat itu yang bernama Anti Facist Racist Action
(AFRA). Sebagian anggota dalam jaringan tersebut memiliki kesadaran
untuk melawan sistem yang fasis. Taring Babi juga memiliki aktifitas
kolektif dalam bermusik (grup musik) yang diberi nama Anti-Military.
Namun, ketika ABRI berganti nama menjadi TNI, Anti-Military pun
berubah nama menjadi Marjinal.
Mike menjelaskan Taring Babi bermusik karena:
Kita secara sadar, memilih fungsi sebagai alat untuk penjabaran,
menyampaikan pesan, untuk menjadi sebuah media belajar
bersama. Sebagai sebuah alat perjuangan, mendokumentasikan
sebuah peristiwa yang penting yang kita sadar bahwa generasi ke
depan itu membutuhkannya. Ini yang mejadi latar belakang
kenapa kita bermusik (wawancara dengan Mike, 12 November
2018).
42
Berbagai album lagu yang sudah dikeluarkan oleh Marjinal sejak
awal terbentuk terlihat sebagai suatu bentuk respons mereka terhadap
keadaan yang terjadi di Indonesia. Misalnya lagu mereka yang berjudul
“Marsinah” sebagai bentuk respons mereka terhadap tragedi terbunuhnya
seorang perempuan yang memperjuangkan hak-hak buruh. Perempuan
tersebut bernama Marsinah.
Pada awalnya keberadaan komunitas punk Taring Babi dilandai
berbagai macam kendala atas penerimaan keberadaannya ditengah
masyarakat Indonesia, sebab mereka berlabel dan bergaya punk dan
cenderung berbeda dengan masyarakat lainnya. Pada masa-masa kesulitan
mendapatkan tempat tinggal tersebut, Taring Babi selalu berpindah-
pindah tempat tingggal sekitar Jakarta dan Depok. Awal tahun 2004
keberadaan Taring Babi mulai diterima sebagian masyarakat. Komutias
tersebut memiliki sebuah tempat tinggal hingga sekarang yang berada di
Gang Setia Budi, Jl. Moh. Kaffi II No. 39, Jagakarsa – Jakarta Selatan.
Gambar 2.1. Rumah komunitas punk Taring Babi
(Sumber: Hasil observasi 13 November 2018)
43
C. Kepengurusan Komunitas Taring Babi
Organisasi atau komunitas terdapat struktur kepengurusan
didalamnya. Struktur kepengurusan dalam komunitas tersebut memiliki
posisi atau jabatan yang diamanatkan kepada pengurus sesuai dengan
jobdesk masing-masing bagiannya. Struktur organisasi tersebut menjadi
sebuah prasyarat menggerakan suatu organisasi ataupun komunitas.
Lain halnya dengan komunitas Taring Babi. Sejak awal berdirinya
komunitas ini sudah mempertegas bahwa dalam komunitas ini merupakan
sistem yang kolektif. Taring Babi ingin mengangkat kembali nilai-nilai
leluhur bangsa indonesia yang hilang yaitu, gotong royong. Jadi tidak ada
ketua maupun pendiri seperti yang dikatakan oleh Mike:
Di sini kan kita juga gak ada yang namanya ketua, pendiri gitu ya.
Selayaknya yang paling penting adalah semangat dimana kita
membuka tempat ini karena memang ada semangat kebersamaan
biar semua orang juga bisa merasakan (wawancara dengan Mike,
https://www.youtube.com/watch?v=a7yh8EDmgEk, diakses pada
28 Agustus 2018).
44
D. Nilai-nilai Komunitas Taring Babi
Gambar 2.2. Nilai-nilai dalam komunitas punk Taring Babi
(Sumber: Hasil observasi 12 November 2018)
Taring Babi memiliki nilai-nilai yang dipegang teguh di dalam
komunitasnya, yaitu berpengetahuan, berkeyakinan, berkeberanian, dan
nakal. Mike menjabarkannya dengan mengatakan:
Berkeyakinan itu kan sari dari sebuah pengetahuan. Bagaimana
kamu bisa yakin tanpa sebuah pengetahuan? Pengetahuan yang
kemudian menjadi sebuah pondasi untuk keyakinan itu sendiri.
(wawancara dengan Mike, 14 November 2018).
Bagi komunitas Taring Babi berpengetahuan adalah hal yang
paling penting, sebagai sebuah pondasi. Karena pengetahuan akan
melahirkan ilmu, dengan ilmu tersebut lah keyakinan dapat tumbuh.
Keyakinan akan melahirkan keberanian. Seperti kata Mike:
45
Begitupun kemudian keyakinan menjadi sebuah ukuran yang
dikenali secara jelas yang bisa dipertanggung jawabkan oleh kita
sehingga itu menjadi sebuah nilai keberanian (wawancara
dengan Mike, 14 November 2018).
Untuk mewujudkan nilai-nilai di atas, bagi Taring Babi modalnya
adalah nakal. Mike menegaskan pentingnya nakal dengan mengatakan:
Bagi Mike sendiri nakal itu adalah fitrah yang memang itu harus
dikenali, dirawat, dipelihara sebagai sebuah kebutuhan. Karena
nakal itulah yang akan mendorong kita sehingga memiliki
keberanian untuk menemukan untuk ada dalam sebuah ruang dan
kesempatan, sehingga memiliki pengalaman. Pengalaman
menjadi wawasan. Wawasan menjadi pengetahuan. Pengetahuan
menjadi ilmu. Dan itu semua berangkat dari nakal. Kalo gak
nakal, kamu tidak akan pernah menemukan apa yang seharusnya
kamu temukan. Karena kamu gak berani keluar dari jalur aman
(wawancara dengan Mike, 14 November 2018).
E. Aktivitas Komunitas Taring Babi
Komunitas Taring Babi juga aktif terlibat dalam aksi-aksi sosial
dan merspons berbagai isu yang terjadi di Indonesia. Mereka turut terlibat
dalam aksi massa untuk menyuarakan kegelisahan-kegelisahan yang
terjadi dalam lingkungan sosial. Bentuk respons yang paling
mendominasi pada komunitas Taring Babi adalah dengan melahirkan
karya seni.
46
Komunitas Taring Babi dengan bersuara juga menyambung
hidupnya sehari-hari dari pertunjukan musik dengan mengamen atau
manggung melalui aktifitas kolektif grup musik mereka yaitu Marjinal.
Gambar 2.3. Aksi panggung komunitas punk Taring Babi
(Sumber: Hasil observasi 12 November 2018)
Musik tidak pernah lepas dari komunitas Taring Babi sebagai
media untuk mengeskpresikan kritik mereka, menyalurkan spirit, serta
merekam berbagai peristiwa yang terejadi di negara ini. Taring Babi sudah
menetaskan lima album. Salah satu album mereka menjadi latar sebuah
film, yaitu Punk in Love. Sebuah film yang dirilis pada tahun 2009. Film
tersebut digarap oleh Ody C. Harahap dengan Vino G. Bastian yang
menjadi pemeran utamanya. Bobby (Taring Babi) juga berperan dalam
film tersebut. Kegiatan bermusik ini dilakukan secara kolektif. Tidak ada
anggota tetap grup musik Marjinal. Semua dilakukan oleh anggota Taring
Babi.
47
Jadi gapenting musik itu kita grup nya harus lengkap, harus ikut,
kalo ga lengkap bubar (wawancara dengan Mike, 12 November
2018).
Taring Babi juga kerap membuka diskusi terbuka setelah
manggung serta mengadakan workshop sebelum manggung.
Gambar 2.4. Workshop cukilan komunitas punk Taring Babi
(Sumber: Hasil observasi 20 November 2018)
Aktifitas kolektif Taring Babi lainnya adalah memproduksi
berbagai merchandise seperti poster atau cukilan, membuat seni tattoo,
menyablon kaos, memproduksi emblem yang akan mereka jual dalam
toko nya sendiri yang bernama Blaut Store.
Taring Babi juga aktif berkarya dengan melakukan kerajinan
tangan dari limbah plastik menjadi suatu hasil karya. Taring Babi belum
memiliki cabang untuk toko nya tersebut namun telah banyak yang
menjadi re-seller dari berbagai kota bahkan sampai ke luar negeri.
48
Pendapatan yang mereka hasilkan dipakai untuk keberlangsungan
hidup sehari-hari dalam komunitas ini, berbagi kepada teman yang sedang
membutuhkan, serta sesekali juga digunakan untuk membeli modal
produksi dengan membeli alat-alat musik, sablon ataupun alat-alat lainnya
seperti tinta dan papan untuk mengajarkan siapa saja yang ingin belajar
seni pahat (cukilan).
Segala aktivitas-aktivitas yang ada di Taring Babi dikerjakan
secara bersama-sama atau di istilahkan dengan Do It Together. Seperti
yang dinyatakan oleh Imam, salah satu anggota Taring Babi ngatakan:
Yang penting semua bagian ada yang megang sendiri-sendiri,
kalo kita ngerjain bareng-bareng. Kalo didiskusiin kita bareng-
bareng. Ya bukan Do It Yourself bukan, tapi Do It Together
(wawancara dengan Imam, 2018).
Gambar 2.5. Kegiatan menyablon kaos anggota komunitas punk Taring Babi
(Sumber: Hasil observasi 15 November 2018)
49
Ayah Baron, sebagai salah satu anggota dari komunitas Taring
Babi juga mempertegasnya dengan mengatakan:
Ya siapa aja ngerjain. Dari musik, lukisan, hampir semua di
produksi. Musik, tato, lukisan, cukilan, sablonan, rekaman, ya
hampir semua sih kawan-kawan ngerjain. Bagusnya kolektif kan
begitu. Jadi semua temen-temen kreatif dengan skill nya masing-
masing bisa berkontribusi bareng. Ruang belajar kan disitu. Jadi
gotong royong lah (wawancara dengan Ayah, 2018).
Komunitas punk Taring Babi juga aktif menjalin hubungan
dengan komunitas-komunitas yang ada di luar negeri. Seperti yang
dijumpai oleh peneliti ketika melakukan observasi, rumah komunitas
punk Taring Babi sedang di datangi oleh Emma dan Roul. Mereka adalah
aktivis dari komunitas yang ada di negara Jerman, yaitu komunitas Seven.
Komunitas ini bergerak dengan melakukan perlawanan-perlawanan
terhadap racism dan sexism melalui karya-karya seni.
Gambar 2.6. Emma anggota komunitas dari Jerman
(Sumber: Hasil observasi 12 November 2018)
50
Taring Babi juga aktif dalam kegiatan seminar maupun talkshow
mulai dari institusi-institusi Pendidikan, media surat kabar, dan juga
media Televisi. Hingga saat ini, komunitas punk Taring Babi banyak
mendapatkan penghargaan ataupun cindera mata dari karya seni nya
maupun dari kegiatannya menjadi pembicara atau narasumber.
Gambar 2.7. Penghargaan dan cindera mata komunitas punk Taring Babi
(Sumber: Hasil observasi 13 November 2018)
Gambar 2.8. Penghargaan dan cindera mata komunitas punk Taring Babi
(Sumber: Hasil observasi 13 November 2018)
51
BAB III
Diskursus Do It Together: Sebuah Kontestasi
Bab ini akan membahas paling tidak dua hal penting, pertama
sejarah pengetahuan yang pernah muncul dan memusatkan pada entitas
Do It Yourself, kedua membahas ragam diskursus dalam bentuk relasi
kuasa mendukung (proponent discourse) dan menolak (opponent
discourse) prinsip Do It Yourself. Ketiga menyajikan kontestasi diskursus
yang ada.
Teori diskursus Foucault merupakan metode analisis teks media
untuk membongkar cara media mengkonstruksi sebuah diskursus.
Analisis ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada
proses produksi dan reproduksi makna. Analisis diskursus melihat
pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai praktik sosial
(Eryanto, 2005: 11). Oleh karenanya data primer yang tersaji dalam
penelitian ini merupakan data-data berupa ‘teks atau pernyataan’ yang
didapat melalui hasil studi dokumen, studi dokumen sendiri didapatkan
melalui pencarian kearsipan dalam Jurnal dan sumber-sumber lainnya.
Adapun yang kedua berdasarkan refleksi anggota komunitas punk Taring
Babi.
Penelitian ini menerapkan kaidah arkeologi sederhana, proses ini
sekiranya belum mampu menyamai mekanisme penarikan sejarah seperti
yang dilakukan Marx apalagi Foucault dalam upaya memahami epistem
(asal-usul) baik tentang konsepsi sejarah kegilaan ataupun sejarah lainnya,
52
akan tetapi penelitian ini coba memaknai konsep arkeologi secara
substantif berkenaan dengan pencarian sistem umum dari formasi dan
transformasi pernyataan bahasa kedalam formasi diskursif yang bisa
ditemukan dari hasil pencarian dokumen, pembicaraan maupun tulisan
(Ritzer, 2010: 610). Disisi lain analisis arkeologi dipakai untuk
memperlihatkan bentuk-bentuk pengecualian dalam pembicaraan
diskursus, dengan menyelidiki bagaimana aspek pengetahuan
termodifikasi – diganti untuk menghadapi segala bentuk yang
dihadapinya dan sejauh mana bentuk tersebut dapat bekerja dilapangan
(Foucault, 2003: 70-89). Arkeologi merupakan proses menyejarah, oleh
karenanya sebelum sampai pada bahasan inti, terlebih dahulu akan
dipaparkan retakan epistemik sejarah pengetahuan Do It Yourself.
A. Jejak Diskursus Lama
Dalam subkultur punk etika Do It Yourself (D.I.Y.) merupakan
etos kerja yang paling dasar. Etika Do It Yourself dalam budaya punk
dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang pada dasarnya dibuat oleh
penggemar, untuk para penggemar. Hardcore Punk pada tahun 1980-an
tidak akan mungkin berkembang tanpa didasari oleh Do It Yourself karena
pada masa itu tidak ada label besar (Major Label) yang menunjukkan
minat pada musik punk. Punk dipaksa untuk menciptakan hampir setiap
aspek subkultur. Chris (dalam Moran, 2010: 62) mempercayai etika Do It
Yourself lahir dari anak-anak di akhir 1970-an dengan "Memberikan jari
tengah mereka ke kelompok rock utama pada saat itu." Chris
53
menyebutkan pentingnya bagaimana etika Do It Yourself sangat dekat
dengan output politik banyak individu dalam subkultur dengan
mengatakan:
Banyak publikasi awal (fanzines) yang meliput kelompok-
kelompok baru yang dibuat oleh penggemar dengan analogi
pamflet politik yang beredar selama berabad-abad dahulu kala.
Selain itu, apa yang lebih politis daripada menolak konglomerasi
media yang dominan dan melepaskan seni Anda sendiri? (Moran,
2010).
Do It Yourself tidak hanya mengedepankan produksi musik, tetapi
membuka kesempatan bagi individu atau kelompok untuk memesan tur
mereka sendiri, merilis catatan mereka sendiri, dan mendistribusikan ide
dan materi mereka sendiri melalui fanzines. Dengan semangat
kemandirian (Do It Yourself) ada akhir 1970-an, label Indie (Indie Label)
mulai bermunculan hampir seluruh daerah di Amerika Serikat untuk
menandingi Major Label. Label Indie seperti SST, TwinTone, Epitaph,
BYO, dan ROIR merilis rekaman oleh banyak band punk lokal. Band-
band termasuk Black Flag, Youth Brigade, Minor Threat, dan Dead
Kennedys sekarang sedang merilis catatan dan memesan tur mereka
sendiri (Moran, 2010).
Meskipun banyak band yang merekam musik mereka sendiri pada
masa lalu; punk menjadi pintu sebagai jalan bagi kelompok-kelompok
atau berbagai grup musik untuk menciptakan musik mereka sendiri,
merilis rekaman, dan tur dengan minimnya bantuan dana dari luar.
54
Dalam sejarah musik Indie dapat dikatakan Sex Pistols merupakan
salah satu band punk yang pantas disebut mewakili masa ‘flower
generation’. Band punk tersebut melahirkan lirik-lirik anti kemapanan
dan juga dengan aksesoris nyelenehnya yang kental dengan nuansa
kritikan sosial (Bandindienesia, 2017). Punk menjadi bukti bahwa
individu dapat menciptakan musik dan pergi tur tanpa menjadi bintang
rock yang ideal dengan pemikiran "lebih baik untuk melakukannya
sendiri". Etika Do It Yourself menjadi sebuah persyaratan yang tidak
terduga karena sifat underground subkultur punk.
Roberts seorang peneliti subkultur punk (dalam Moran, 2010: 63)
menyatakan bahwa:
Anak-anak mulai membuat kaos buatan sendiri untuk mendukung
band favorit mereka, atau bahkan untuk band mereka sendiri. Jadi
bahkan jika perusahaan mau berbisnis dengan mereka untuk
merchandise atau tidak, mereka tetap tidak memiliki uang.
Karena dianggap jika bekerja sama dengan sebuah perusahaan,
maka perusahaan tersebutlah yang memiliki keuntungan dari penjualan
tersebut. Bar adalah satu-satunya tempat yang menyambut band punk
untuk tampil. Karena subkultur punk sebagian besar terdiri dari remaja,
melalui etika Do It Yourself mereka membuat pakaian mereka sendiri
dengan anggaran terbatas yang mereka miliki untuk mendukung band-
band subkultur tersebut dan punk sebagai paham yang berarti tidak
55
bergantung pada siapa pun kecuali mereka sendiri untuk menciptakan
subkultur.
Dari rentetan sejarah singkat ini, peneliti coba menemukan
diskursus baru melalui studi dokumen. Pencarian dilakukan dengan
melakukan kajian historis sederhana terhitung sejak kemunculan
diskursus Do It Yourself. Proses ini memperlihatkan dengan jelas bahwa
klaim prinsip Do It Yourself muncul pada keadaan masyarakat barat yang
menganut budaya individualis dan kerap tertutup dengan orang lain serta
situasi dimana produsen musik besar tidak punya keinginan pada musik
punk, artinya semua narasi Do It Yourself muncul sebagai ideologi punk
yang paling mendasar sesuai dengan keadaan dimana punk itu sendiri
lahir. Selain data dokumen, penelitian ini juga mendalami 4 orang
Informan yang merupakan anggota komunitas punk Taring babi
B. Diskursus Baru
Penelitian ini menerapkan kaidah genealogi sebagai metode
mendekatkan diri pada data berupa teks atau wacana. Cara pandang
genealogi adalah dengan bersikap kritis terhadap kebenaran dan kritis
terhadap kehendak yang muncul dalam diskursus Do It Yourself. Kajian
pascastrukturalisme memandang suatu kehendak sebagai karakter dari
sebuah kekuasaan, sebagaimana peneliti melakukan analisis detail
terhadap aktor dan lembaga-lembaga yang memiliki arah kekuasaan
tertentu, entah berkontribusi dalam membenarkan atau menolak Do It
56
Yourself. Dari sini diskursus dapat memperlihatkan cengkramannya dan
menjadi bentuk-bentuk yang nyata dalam peristiwa sosial.
Semangat genealogis dalam pembahasan diskursus baru
dituangkan dengan cara melihat formasi teks dalam wujud yang
dikotomis. Pandangan semacam ini dilakukan guna memperlihatkan
ragam potret diskursus terhadap adanya tendensi kekuasaan tertentu. Oleh
karena itu pendikotomian ini terbagi dalam kerangka diskursus
pendukung (proponent discourse) dan diskursus rival (opponent
discourse). Berikut akan dipaparkan mengenai pengertian dan contoh dari
dua model tersebut.
B.1. Proponent Discourse
Diskursus pendukung atau diskursus kawan dalam konteks prinsip
dalam punk dimaknai sebagai kumpulan pernyataan yang memiliki tendensi
mendukung tercapainya semangat Do It Yourself sebagai identitas punk
yang ideal. Jadi segala upaya diskursif mendukung Do It Yourself,
dikategorikan sebagai proponent discourse.
Diskursus ini berkembang dalam kelompok pemuda pemudi dalam
subkultur punk, beberapa diantaranya adalah, mulai musik underground
sampai ke penjualan atribut serta barang-barang lainnya yang enggan
bergabung dengan korporat melalui pemahaman ‘korporat hanya ingin
meraup untung dan menjadikan punk sebagai nilai komoditas’ turut
dilakukan dan kontributif terhadap kesuksesan gaya hidup Do It Yourself.
57
Contoh daripada proponent discourse muncul setelah peristiwa
fenomena punk tersebar luas ke berbagai negara. Pasca peristiwa tersebut,
gaya hidup serta fashion punk menjadi perbincangan publik bahkan
perusahaan-perusahaan musik besar (Major label) mulai memperlihatkan
minat pada musik punk. Namun bagi kelompok punk melawan korporat-
krporat besar yang dipahami sebagai kapitalis adalah prinsip motto hidup
kelompok punk sejak awal berdiri. Kontrasosial adalah salah satu band punk
Indonesia. Grup musik Kontrasosial pernah menolak ambil bagian dalam
festival Obscene Extreme Asia 2013 dengan mengokupasi panggung dalam
acara tersebut dan menyatakan “Kami tidak ingin memposisikan diri dalam
barikade yang sama dengan korporat; yang menjadikan energi, amarah dan
kreativitas hanya sebagai produk-produk bernilai jual dan beli. Bagi kami,
terlibatnya 7-Eleven sebagai partnership penjualan tiket Obscene Extreme
Asia 2013 dapat menjadi gerbang pembuka semakin merasuknya
kapitalisme kedalam kehidupan harian kita.” (Berisiknews, 2013).
Selanjutnya berita yang dilansir oleh CNN (2017) dalam artikelnya yang
berjudul ‘Do It Yourself dan Punk’ menyatakan “salah satu sub-kultur
penting dalam gerakan punk adalah Do It Yourself dan semangat
menghilangkan ketergantungan pada institusi”. (CNNIndonesia, 2017).
Selama proses pendeteksian, diskursus Do It Yourself tersebut menjadi
satusatunya temuan yang mengawali perdebatan wacana identitas ideal
kelompok punk. “Punk generasi awal itu kan mereka mencari-cari identitas.
Identitas mereka itu dimulai dari cara berfikir mereka atau ideologi mereka
58
pada pembebasan untuk berkreasi, lakukan sendiri (Do It Yourself) dengan
cara apapun juga hingga harus melawan semua yang dianggap mereka
sebagai penghalang-penghalang yang mengarah pada tidak produktifitas.”
Ujar J.F. Warouw seorang Sosiolog UI (dalam BadanOtonomEconomica,
2014).
Proponent discourse di atas memperlihatkan sebuah interaksi dan
relasi pengetahuan khususnya dalam membingkai identitas punk.
Konsekuensi dari relasi pengetahuan diskursus tersebut adalah melancarkan
proses dan mendukung terciptanya prinsip Do It Yourself sebagai bentuk
kesepakatan normalisasi identitas punk. Adapun sebagian publik yang tidak
sepakat dalam konteks ini kemudian memuncul rival daripada proponent
discourse yang dalam penelitian ini disebut sebagai opponent discourse.
B.2. Opponent Discourse
Opponent discourse merupakan rival daripada proponent discourse.
Diskursus ini diidentifikasi sebagai kumpulan penyataan yang memiliki
tendensi kehendak menolak prinsip Do It Yourself sebagai satu-satunya
identitas punk yang ideal. Diskursus ini kontradiktif dengan eksistensi
sebagai punk harus melakukan prinsip Do It Yourself. Kritik, keluhan,
perlawanan argumentatif anggota punk komunitas Taring Babi menjadi
substansi dalam kategori pembicaraan ini.
Beragam aspek pengetahuan ditunjukan dalam kelompok diskursus
ini, terutama dari anggota komunitas punk Taring Babi. Kemudian juga
59
diramaikan beragam pengetahuan kebudayaan seperti pengamat budaya.
Dalam bagian ini juga menampilkan ragam refleksi kisah anggota
komunitas punk Taring Babi sebagai aktor yang terhubung dengan punk
beserta ideologi yang ada di dalamnya. Refleksi mereka menjelaskan segala
hal yang dirasakan mereka saat tindakan mereka menyimpang dari prinsip
Do It Yourself.
Kehendak melawan pengidentifikasian sebagai punk diarahkan pada
beragam persoalan seputar perlawanan terhadap budaya individualis dan
terhadap hak serta kebebasan. Pada intinya menjadi antithesis daripada
syarat identitas sebagai punk tersebut. Berikut akan dipaparkan relasi
diskursus dalam domain opponent discourse.
Sejak peristiwa minat nya perusahaan-perusahaan musik besar
(Major Label), fenomena punk melambung dikalangan pemuda-pemudi
berbagai negara sebagai tren fashion serta gaya hidup yang dipilih. Sebuah
kondisi dimana kembali mengingatkan kelompok punk tentang sejarah-
sejarah kemunculan punk, apalagi tidak lama setelah peristiwa tersebut
kelompok punk akan kembali menertibkan prinsip anti-kemapanan, dan
melambungkan etika Do It Yourself agar dapat memboikot minat kapitalis
yang ingin menjadikan gaya hidup dan fashion punk sebagai komoditas.
Dari sana anggota komunitas punk Taring Babi dan beragam pihak
lainnya ikut meramaikan kebijakan tersebut.
Model diskursus ini paling banyak disampaikan oleh kehendak
anggota komunitas punk Taring Babi, salah satunya sang pelopor
60
terbentuknya komunitas tersebut yakni Bobi. Ia mengaku terusik terhadap
wacana identifikasi punk dominan yang mempertanyakan eksistensi
komunitas punk Taring Babi karena tidak melakukan prinsip Do It
Yourself. Pelopor komunitas tersebut mengarahkan kehendaknya pada
persoalan kebebasan atas prinsip yang dipilih dimana nilai-nilai dari punk
sendiri pun menawarkan kebebasannya. “Bicara punk itu bagaimana dia
melakukan proses ‘bunuh diri kelas’ yang dengan sadar membawa diri
tanpa mengatasnamakan kelompoknya, tapi sebagai insan yang melebur
dalam sebuah perjuangan rakyat” ujar Bobi (CNNIndonesia, 2017).
Bobi pelopor terbentuknya komunitas punk Taring Babi juga
memprioritaskan perjuangannya pada budaya yang ada di Indonesia yaitu
budaya gotong-royong. Sementara konsep identifikasi punk menurut
Taring Babi adalah ‘tidak tebang pilih’, berarti seluruh individu atau
kelompok yang mengadopsi punk harus menekankan prinsip Do It
Yourself pada masing-masing diri agar teridentifikasi sebagai punk tanpa
terkecuali. Sehingga sub-kultur punk yang diadopsi dari barat ini tidak
boleh dipilah lagi seakan menyerap mentah-mentah budaya nya dan
mengesampingkan budaya yang ada di negeri sendiri. Padahal bagi
komunitas punk Taring Babi, punk dengan budaya Indonesia itu bisa
bersinergi. Senada dengan Bobi, budayawan Suyadi San dari Universitas
Negeri Medan menyampaikan analisanya, mengatakan “Siapa kita
sebenarnya, orang mana, apa budayanya, dan berasal dari mana, itu sudah
hilang. Tidak tahu lagi dari mana. Zaman sekarang serba globalisasi dan
61
mungkin saja budaya jadi universal, tetapi sesungguhnya dengan
globalisasi itu kita bisa mempertahankan budaya kita” (KoranSindo,
2017).
Dalam pembahasan sub diskursus baru, kita bisa melihat sebagian
potret diskursus identitas punk menampakan wujudnya dalam dua wajah.
Dari semua yang menekankan Do It Yourself (proponent) ternyata adapula
sebagian pihak yang menolak (opponent), bahkan bukan tidak mungkin
bila identifikasi punk mutlak melalui prinip Do It Yourself pada akhirnya
tidak terealisasi akibat besaran opponent discourse menghadirkan efek
evolutif melebihi proponent discourse. Pembicaraan pengetahuan disini
tidak terbatas antara kehendak kelompok punk yang menilai identitas
punk melalui prinsip kerjakan sendiri (Do It Yourself) versus anggota
komunitas punk Taring Babi yang mengadopsi punk namun tetap
menjujung tinggi budaya Indonesia yakni gotong-royong (Do It
Together), namun wujud diskursif yang demikian dapat terjadi dalam
wilayah yang lebih luas bahkan menembus ruang dan waktu, sebab
praktik disiplin pengetahuan dalam pandangan pascastrukturalisme dapat
terjadi dimana saja, selama adanya hubungan interaksi yang dialogis.
Elemen manapun berhak tampil sebagai penguasa tanda dalam konteks
identitas punk.
Kehadiran proponent discourse dan opponent discourse dalam
penelitian ini hendak menampilkan dua wajah yang terintegrasi dalam
relasi pengetahuan, dimana proses interaksi yang terjadi saling
62
menenggelamkan pengetahuan yang satu dan yang lainnya. Dari
pembahasan ini kita bisa melihat keduanya mampu menampilkan sebuah
pertarungan disksursif yang aktif sampai kepada bentuk nyata dalam
peristiwa sosial. Pendikotomian diskursus menjadi sebuah pengantar
memahami kontestasi diskursus ideologi dalam identitas punk.
Foucault: Kontestasi diskursus:
C. Kontestasi Diskursus
Dapat dilihat ragam potret diskursus identitas punk terbagi dalam
relasi pengetahuan yang dikotomis, yakni diskursus proponent dan
Opponent sebagai manifestasi relasi kekuasaan. Pada bagian ini, menjadi
anti klimaks dengan memperlihatkan bentuk rival serta pembentukan
diskursus Do It Together komunitas punk Taring Babi dengan menarik
kembali pada jejak lama diskursus. Arena yang muncul secara umum
terbagi menjadi 2, yakni normalisasi identitas kelompok punk budaya barat
dengan prinsip Do It Yourself dan identitas kelompok punk Taring Babi
yang membentuk prinsip Do It Together menyoal hak-hak dan budaya
Indonesia.
Diskursus Proponent:
Do It Yourself
Diskursus Opponent:
Do It Together VS
63
Dalam sebuah peradaban kemunculan budaya punk lahir untuk
melawan ketidak-adilan sebuah sistem negara terhadap kelas masyarakat
yang minoritas. Karena media-media besar terutama media musik pada
masa kemunculan punk tidak memiliki minat terhadap kelompok punk
yang identik bersuara melalui berbagai media visual, etika Do It Yourself
lahir dengan letak yang sama dimana punk lahir yaitu pada negara bagian
Barat kemudian menjadi etos kerja yang paling mendasar bagi budaya
punk. Etika Do It Yourself ini memiliki makna bahwa setiap individu
dapat hidup dengan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan orang lain
untuk menciptakan dan menyebarkan karya seni. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Tjipto Susana, seorang Psikolog dari Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta dengan statement nya:
Letak geografis suatu negara atau wilayah akan mempengaruhi
pola interaksi masyarakatnya. Masyarakat yang tinggal di daerah
yang jauh dari garis katulistiwa, yaitu di daerah dingin, akan
cenderung mengembangkan nilai‐nilai individualisme. Hal ini
disebabkan adanya tuntutan yang besar bagi setiap individu untuk
mampu bertahan hidup. Suhu udara yang dingin dan tidak
tersedianya sumber alam yang memadai, menghendaki
kreativitas, daya inovasi, dan juga ketangguhan untuk tetap bisa
bertahan hidup (Susana, Vol 33: 1).
Dalam scene punk yang menjadi bagian dari minoritas dalam
struktur masyarakat, punk merupakan wujud amarah yang menganggap
bahwa kapitalis adalah sumber ketimpangan ekonomi pada masyarakat.
"Dari awal memang teman-teman punk menggunakan media musik untuk
64
menyampaikan pesan, menyampaikan ide, menjadikan proses belajar
sama-sama tentang kondisi negeri," kata Bobi (CNNIndonesia, 2017). Do
It Yourself menjadi sebuah etos kerja untuk menyebarkan karya seninya
sendiri tanpa terikat atau tanpa bantuan dari luar kelompok serta
memisahkan diri dari ketergantungan kepada institusi. Sebagai bukti
bahwa punk tetap mampu berkarya dan tetap bersuara dengan dirinya
sendiri. Do It Yourself menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh
kelompok punk untuk menolak konglomerasi media dan melepaskan
karya seni nya sendiri tanpa terikat oleh orang lain. Namun pemikiran Do
It Yourself yang melekat pada budaya individualis tidak sejalan dengan
komunias punk Taring Babi. Bobi (anggota Taring Babi) mengungkapkan
soal hak setiap manusia dan mengkaji ulang fenomena yang ada di depan
mata.
“Melakukan apapun adalah hak setiap manusia. Bagi gua
dimanapun tempatnya, disitu gua tetap menyampaikan pesan.
Gua bosen dengan kalimat jargon Do It Yourself. Nyata nya siapa
sih dibangsa ini yang gak ngelakuin Do It Yourself? Mandiri?
Coba lu liat tuh pedagang disana mereka ga kenal waktu banting
tulang untuk mereka hidup tidak dibayai oleh negara! Itu baru
namanya Do It Yourself!” (Berisiknews, 2013).
Budaya perlawanan dari kelompok punk banyak diadopsi oleh
berbagai individu atau kelompok masyarakat dalam setiap daerah-daerah
bahkan negara-negara lainnya. Indonesia adalah negara yang termasuk
beberapa individu atau kelompok masyarakat di dalamnya mengadopsi
65
budaya punk. Seiring berjalannya waktu, Taring Babi sebagai salah
komunitas punk di Indonesia merasa bahwa efek dari etos kerja Do It
Yourself telah disalah gunakan dan mengikis nilai-nilai tradisi masyarakat
yang ada di Indonesia itu sendiri yaitu masyarakat yang bersifat gotong-
royong. Efek negatif masuknya budaya dari luar yang kerap mengikis
budaya dalam negeri ini juga sejalan dengan analisis sosiolog, Emrus
Sihombing dari Universitas Pelita Harapan menyatakan:
Kebanyakan generasi muda sekarang sering berpikir dan
bertindak global dibandingkan memikirkan dan berperilaku lokal
seakan mengabaikan masyarakat lokal atau sekitar. Prinsip
bergotongroyong harus tetap digelorakan, tetapi juga
membangun hubungan dengan dunia luar (Nusantaranews, 2017).
Punk pada generasi awal di Indonesia juga mempunyai ciri khas
identitasnya yaitu memberi nama band-band mereka dengan bahasa
inggris dan kerap membawakan lagu-lagu dari band luar yang
mempengaruhi mereka. Komunitas punk Taring Babi melihat fenomena
punk tidak hanya diadopsi pemikirannya lagi melainkan budaya Barat
yang masuk ke Indonesia melalui arus global.
Sebenernya dikalangan temen-temen punk sendiri kan asik
dengan menggunakan bahasa inggris ya dengan menggunakan
istilah D.I.Y atau Do It Yourself yang artinya jadi diri sendiri atau
lakukan dengan sendiri istilahnya gitu ya. Kemudian temen-temen
Taring Babi menggunakan istilah D.I.T atau Do It Together yang
kemudian juga perlu digarisbawahi karena ada bahasa yang lebih
keren yaitu Gotong Royog gitu loh atau kerja bakti yang
66
merupakan sebuah warisan daripada nilai-nilai kearifan leluhur
atau lokal yang kita punya (wawancara dengan Mike, 27
November 2018).
Gambar 3.9. Prinsip Do It Together komunitas punk Taring Babi
(Sumber: Hasil observasi 15 November 2018)
Komunitas punk Taring Babi mengadopsi punk tapi tidak ingin
nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia hilang. Oleh karena itu Taring Babi
sebagai komunitas punk yang hidup dan tinggal di bangsa ini ingin
menyadarkan bahwa punk juga bisa bersinergi dengan nilai-nilai tradisi
yang ada di bangsa sendiri. Mengajak pemuda-pemudi bangsa khususnya
kalangan punk itu sendiri agar tidak menukar budaya luar dengan nilai-
nilai tradisi gotong-royong dengan membentuk diskursus Do It Together.
Ya sebenarnya kita mau mencoba lebih asik ya, Do It Together ini
kan lebih kemudian merespon tentang generasi milenial atau
dibawah milenial itu sendiri atau diatasnya ya, generasi yang
gemar menggunakan bahasa inggris sebagai komunikasi saat ini
yang sesungguhnya kalo dirasa-rasa justru semakin tergerusnya
kepercayaan diri sebagai generasi yang hidup di bangsa ini ya,
kenapa ga pake bahasa ibu kita sendiri? (wawancara dengan
Mike, 27 November 2018).
67
Dalam scene punk yang diadopsi dari budaya barat, bahwa punk
memiliki sifat untuk menutup diri dengan orang lain atau tidak
membutuhkan orang lain. Bekerja sendiri, lakukan sendiri ataupun
dikenal dengan istilah Do It Yourself idealnya menjadi sebuah
pengetahuan utama yang ada di dalam punk. Craig O’Hara dalam buku
Philosophy of Punk (1999) menyebut kesan individualitas itu lebih
mengarah pada sikap independen lewat prinsip yang selama ini dipegang
punk: do it yourself (D.I.Y.) atau kemandirian (CNNIndonesia, 2017).
Taring Babi memandang bahwa punk seharunya tidak tertutup
dengan prinsip Do It Yourself seperti pandangan dari salah satu band punk
di Indonesia yaitu Kontrasosial yang mengokupasi panggung dalam acara
Obscene Extreme Asia (2013) dengan pernyataan “punk tidak ingin
memposisikan diri dalam barikade yang sama dengan korporat.” Sehingga
prinsip Do It Yourself adalah wujud normalisasi identitas punk. Dalam
pandangannya, menjual karya kepada korporat tidak bisa didukung oleh
punk lagi, karena itu hanya mencari nilai jual dalam berkarya. Seperti
yang dinyatakan oleh Dan Ozzi dalam artikelnya “Bergabung ke major
label nyaris selalu menuai kritik pedas dan dipandang sebagai bentuk
pengkhianatan terhadap pihak-pihak yang melejitkan band-band kecil
keluar dari acara komunitas. Tidak peduli apakah album perdana major
label tersebut sukses secara komersil atau tidak, dihargai para kritikus atau
tidak, banyak penggemar akan mengacungkan jari tengah mereka
68
terhadap keputusan band, seolah-olah mengatakan, "Kami mendukung
band kamu, tapi bukan supaya kamu bisa foya-foya!" (Vice, 2017).
Bagi komunitas punk Taring Babi Do It Yourself terbilang tidak
cukup untuk menjadi sebuah prinsip. Karena pada dasarnya manusia
saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, dalam arti manusia adalah
makhluk sosial.
Ya sebenernya ga legkaplah kalo kita mau jabarkan tentang salah
satu istilah lakukan sendiri atau Do It Yourself gitu tanpa memiliki
sebuah landasan mau ngapain gitu loh? Artinya kan tidak ada
seseorang yang luput dari pengaruh orang lain. Terbilang bahwa
kita dikandung, dilahirkan, dan kemudian dikelilingi oleh suatu
karakter masyarakat yang cenderung komunal (wawancara
dengan Mike, 27 November 2018).
Bagi Taring Babi ‘bahasa’ adalah salah satu cara untuk
menunjukan makna dibalik ungkapan. Oleh Karena itu Taring Babi
memilih Do It Together dengan maksud menunjukan bahwa Indonesia
dikaruniai oleh budaya yang indah, yaitu Gotong-royong.
Kami pakai bahasa yang sederhana, sekarang banyak orang
pintar tetapi tidak berbagi. Mereka menggunakan bahasa-bahasa
“langit” yang tidak bisa dipahami oleh semua orang (wawancara
dengan Bobi 22 Januari 2019).
Taring Babi adalah salah satu komunitas punk yang memiliki
sistem kolektif sesuai dengan nilai-nilai tradisi yang ada di Indonesia yaitu
69
gotong-royong. Hal ini menunjukan keadaan saat Taring Babi lahir pada
masa Orde Baru, dimana kondisi sosial pada masa itu budaya kolektif di
bangsa Indonesia terlihat memudar, seperti yang dilansir dalam media
berita Kompas (2018) yang menyatakan:
Dari sejarahnya, masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang
majemuk, egaliter, dan saling menghargai. Namun kesadaran
budaya kolektif ini memudar karena diredam pada masa Orde
Baru.
Taring Babi menjadi komunitas punk yang menganut sistem
budaya kolektifisme. Segala aktifitas ataupun kegiatan yang dilakukan
dalam komunitas ini dilakukan secara kolektif. Tindakan kolektif ini
dimaksudkan masing-masing anggota Taring Babi memiliki bagiannya
masing-masing dalam melakukan suatu kegiatan atau mencapai suatu
tujuan bersama. Dalam melakukan kegiatannya para anggota komunitas
punk Taring Babi tidak meninggalkan nilai-nilai para leluhur dalam tradisi
bangsa Indonesia seperti gotong-royong, atau kolektif, atau juga yang
dinamakan dalam bahasa inggris yaitu Do It Together.
Mike begini punk. Boleh aja penampilan. Namanya sebuah
peradaban. Tapi hati, etika gua tetep lokal. Perjuangan gua tetep
lokal. Pemikiran gua tetep lokal. Karena gua lebih melihat hal
yang objektif, permasalahan gua tuh ada didepan mata gua,
bukan disana (wawancara dengan Mike, 12 November 2018).
70
Taring Babi melihat masyarakat sekarang kurang memberikan
kepercayaan kepada sesama sehingga setiap sesuatu yang dilakukan oleh
individu telah ditentukan apa yang benar dan apa yang salah.
Sebenarnya yang kurang dibangsa ini kan memberikan
kepercayaan karena semuanya sudah diwakili. Hak-hak kita
sebagai manusia yang merdeka sudah diwakili oleh negara. Hak
atas hukum, hak atas keadilan, semua diwakili oleh negara.
Artinya bahwa sangat kurang kepercayaan ini diberikan oleh
suatu generasi atau individu yang memang sebagai warga negara
disebuah bangsa yang merdeka (wawancara dengan Mike, 12
November 2018).
Berangkat dari fenomena tersebut, komunitas punk Taring Babi
terinspirasi untuk saling memberikan kepercayaan agar setiap individu
dalam komunitas tersebut dapat memahami makna dari prinsip gotong-
royong atau kerjasama ataupun diistilahkan dengan Do It Together. Tidak
semata-mata doktrin harus mengikuti aturan atau nilai-nilai yang
dijalankan di dalam komunitas punk Taring Babi.
Kalo di Taring Babi setiap orang diberikan kepercayaan, setiap
orang menjadi dirinya sendiri. Agar kemudian ya harapan
besarnya, seseorang itu punya suatu peluang besar untuk
mempelajari suatu kejadian atau peristiwa baik itu kondisi
diluarnya maupun kemudian berdampak kepada dirinya sendiri.
Sehingga dia tau bagaimana sesungguhnya pilihan yang akan dia
ambil (wawancara dengan Mike, 27 November 2018).
71
Bagi Taring Babi dengan saling memberikan kepercayaan, maka
budaya kolektif akan dapat dipahami dan kembali dibangun oleh setiap
anggota komunitas serta menjadikan prinsip Do It Together menjadi
identitas yang ideal.
Kepercayaan aja kita berikan kepercayaan bahwa setiap orang
itu yang namanya manusia itu dikasih bekal akal dan pikiran dan
hati nurani yang sama seperti kita yang kita rasakan saat ini
(wawancara dengan Mike, 27 November 2018).
Do It Yourself berperan juga sebagai ketertutupan penjualan karya
seni kelompok punk terhadap perusahaan-perusahaan besar karena
dianggap jika bekerja sama dengan sebuah perusahaan maka perusahaan
tersebutlah yang meraih keuntungan dari penjualannya tersebut. Do It
Yourself menolak penjualan karya apapun kepada korporat demi nilai jual,
hal tersebut menjadi bentuk eksistensi identitas punk yang ideal. Seperti
kasus sebuah band punk bernama Blink-182, Isu seputar apakah Blink-
182 kehilangan identitas sebagai punk semakin tinggi ketika Enema of the
State, album debut major label mereka dirilis pada tahun 1999. Johnny
Rotten adalah vokalis dari band punk bernama Sex Pistol ketika ditanya
soal opininya terhadap Blink-182. Dia menjawab: "Blink itu yang
segerombolan bocah tengil ya? Mereka itu imitasi aksi komedi. Mereka
itu jelek banget dan harusnya terus aja disuruh tampil di Saturday Night
Live, yang menurut saya adalah bentuk ejekan yang paling tinggi" (Vice,
2017).
72
Bagi komunitas punk Taring Babi, identitas sebagai punk tidak
perlu dinyatakan atau diuraikan dengan menaati aturan-aturan yang ada
dengan alasan jika tidak mengikuti aturan-aturan tersebut maka dinilai
bukan punk. Bobi mengartikan punk dengan menyatakan
Kalau soal bagaimana menerjemahkan punk, misal ada 30 anak
punk di sini, kalau ditanya soal punk punya jawaban berbeda-
beda. Ada yang menerjemahkan punk dengan berkarya sebagai
koki, pemusik, penulis, tapi pada intinya punk itu menjadi diri
sendiri. Jadi tidak ada satu pakem punk seperti apa, apakah harus
turun ke jalan, harus bertato, atau harus mohawk (wawancara
dengan Bobi, 22 Januari 2019).
Mike menjelaskan pengalamannya ketika memulai sebuah grup
musik komunitas punk Taring Babi yang bernama Marjinal dalam
wawancara:
Sebenarnya kita kerap kali mewakili bahasa bahkan dimulai
dengan Marjinal ya. Memperkenalkan dan melahirkan album
dengan bahasa indonesia yang pada saat itu cukup diolok-olok
dan dipertanyakan gitu loh, eksistensi atau tentang jati diri
sebagai punk karena pada saat itu punk identik pake bahasa
inggris gitu yakan. Kalo gak pake bahasa inggris kayaknya lu ga
nge punk deh. Lu gak keren gitu yakan, pokoknya dari sono ya kita
harus menjiplak abis dari sono (wawancara dengan Mike, 27
November 2018).
Sejak saat itu komunitas punk Taring Babi mulai memberontak,
sebagai bentuk perlawana terhadap sistem hegemoni yang ada di dalam
73
struktur dan praktik-praktik punk itu sendiri, Mike sebagai salah satu
anggota komunitas punk Taring Babi yang ada sejak awal berdirinya
komunitas tersebut menjelaskan bahwa warisan nilai-nilai dari para
leluhur telah hilang karena masyarakat lebih suka mengikuti dan
menyerap suatu budaya tanpa mau melihat dasar nilai-nilai budaya
tersebut dibangun.
Artinya sudah dimulai pada saat-saat itu ada sebuah keterasingan
sebagai generasi saat itu bahwa dominan barat ini menjadi
sesuatu yang kita gak tau mau ngapain sebenernya, selain
kemudian hanya menjadi orang asing disana gitu loh dan
kemudian menjadi asing di negeri sendiri ngapain? Disitu kita
udah mulai, dulu juga sebelum nama Taring Babi kita namain
Tempe Quality (wawancara dengan Mike, 27 November 2018).
Grup musik Marjinal telah memiliki berbagai album. Salah satu
albumnya pernah menjadi soundtrack film layar lebar yaitu film Punk In
Love yang dibintangi oleh Vino G. Bastian. Marjinal melakukan aksi
panggung tribute untuk Chrisye dalam acara Hip Hip Hura yang diadakan
oleh Major Label yaitu Musica Studio’s dengan membawakan lagu-lagu
dari Chrisye pada tanggal 18 Desember 2018. Toko Blaut juga memiliki
banyak re-seller baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk
penjualan merchandise yang diproduksi oleh komunitas punk Taring
Babi. Dari mulai bermusik hingga memproduksi segala macam
merchandise dan karya seni, Taring Babi melakukan segala kegiatan baik
74
di dalam maupun di luar komunitas secara kolektif sesuai dengan prinsip
yang mereka pegang yaitu gotong-royong atau Do It Together.
Bagi komunitas punk Taring Babi budaya dapat berubah namun
nilai-nilai tradisi yang ada di bangsa ini tidak boleh hilang. Karena tradisi
adalah sebuah harta warisan yang ada dalam negara Indonesia.
Tradisi adalah sesuatu yang memang itu sudah terjawab, terbukti
merupakan sesuatu rangkaian peristiwa yang diciptakan oleh
para leluhur orangtua kita sebelumnya. Sedangkan budaya, itu
adalah sesuatu yang terus berkembang. Nah budaya itu bisa
dilakukan oleh budaya orde baru, budaya orde lama, budaya yang
nanti di depan lebih modern. Budaya sesuatu yang mainstream.
Ini budaya. Jadi budaya itu cenderung diciptakan oleh otoriterism
atau kekuasaan (wawancara dengan Mike 12 November 2018).
Diskursus Do It Together dibentuk dan di konstruk oleh komunitas
punk Taring Babi sebagai bentuk keresahannya melihat budaya kolektif
bangsa Indonesia mulai terkikis. Taring Babi bertujuan untuk menunjukan
nilai-nilai manusia yang tidak bisa hidup sendiri atau makhluk sosial,
terutama nilai-nilai tradisi bangsa ini yaitu gotong-royong atau Do It
Together. Dengan keteguhan memegang prinsip yang diyakini secara
kolektif, komunitas punk Taring Babi semula diolok-olok dan
dipertanyakan identitasnya sebagai punk karena tidak mengikuti nilai-
nilai yang mendasar di dalam punk yaitu etos kerja Do It Yourself kini
mendapatkan apresiasi yang lebih positif. Apresiasi ini berupa bahwa
komunitas punk Taring Babi sering dipanggil untuk menjadi pembicara
atau narasumber berbagai pokok pembahasan tentang tradisi dan budaya
75
yang ada di Indonesia di media Televisi, media surat kabar, maupun di
institusi-institusi pendidikan seperti perguruan tinggi karena komunitas
punk Taring Babi mempertahankan nilai-nilai tradisi lokal. Banyak juga
dari berbagai macam komunitas dari luar negeri yang berdatangan rumah
Taring Babi ini untuk saling bertukar pikiran.
76
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara menyeluruh skripsi ini telah memperlihatkan bagaimana
keragaman diskursus menjadi suatu realitas menarik. Dari sini kita bisa
melihat pemandangan pascastrukturalisme khusus penggunaan analisa
diskursus Foucault menjadi alternatif membahas secara rinci polemik
diskursus Do It Together komunitas punk Taring Babi.
Pemandangan ini dinilai mampu menjelaskan fenomena
kekuasaan baru berupa pendisiplinan yang tak kasat mata, khususnya
dalam konteks Idiologi dalam punk. Keragaman data penelitian ini
mencakup upaya pembentukan dan penciptaan diskursus yang diarahkan
pada prinsip Do It Together komunitas punk Taring Babi, sehingga
kepatuhan tubuh kalangan punk hadir sebagai konsekuensi dari proses
dalam kontestasi diskursus. Strategi pembentukan diskursus terbagi ke
beberapa domain yang secara dominan dikuasai pihak yang
mengidentifikasi punk dengan prinsip Do It Yourself (Proponent
discourse).
Dengan menggali keragaman diskursus, sekiranya mampu
menjawab pertanyaan di muka mengenai “konstruksi Do It Together”
komunitas punk Taring Babi. Selain memang terdapat upaya represif,
pengidentifikasian melalui strategi diskursus dianggap efektif menghalau
kehendak kolektif komunitas punk Taring Babi.
77
B. Saran
Bebrapa saran yang dikemukakan peneliti dalam melihat
konstruksi Do It Together komunitas punk Taring Babi. Peneliti
memberikan saran-saran yang semoga menjadi bahan renungan dan
masukan kepada beberapa pihak yang terkait, yaitu:
1. Disarankan kepada pemerintah agar lebih memperhatikan
nilai-nilai tradisi yang ada di bangsa ini sehingga budaya-
budaya luar yang terbawa arus hingga masuk ke negara
Indonesia tidak menghilangkan nilai-nilai budaya bangsa
sendiri.
2. Masyarakat Indonesia khususnya agar lebih peduli
terhadap nilai-nilai tradisi bangsanya sendiri agar tidak
menyerap budaya dari luar secara utuh sehingga
melupakan identitas diri sebagai bangsa Indonesia yang
sebenarnya.
3. Untuk penelitian selanjutnya dapat lebih mengeksplorasi
diskursus fenomena-fenomena yang terjadi di tengah
masyarakat. karena ada begitu banyak normalisasi
kebenaran yang terabaikan hanya karena hal-hal demikian
disepelekan.
78
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Adnan, Ricardi, S., Pradiansyah. (1999). Kisah Perjuangan Reformasi.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Agusta, Ivanovich. (2014). Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan
di Pedesaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Bestari, Darmayuni. (2016). Konstruksi Makna Punk Bagi Anggota
Komunitas Punk di Kota Pekan Baru. Universitas Bina Widya.
Pekan Baru.
Cessna, O.T. (2014). Persepsi Komunitas Punk Taring Babi Terhadap
Pendidikan.
Eryanto. (2005). Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta : LKis.
Faisal, Sanapiah. (2003). Format-Format Penelitian Sosial ed VI. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Faruk. (2010). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik
Sampai Post Modernisasi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Foucault, M. (2003). Kritik Wacana Bahasa. Terj. The Discourse of
Language oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
79
Hutagalung, Daniel. “Hegemoni, Kekuasan dan Ideologi” dalam Jurnal
Pemikiran Sosial, Politik dan Hak Asasi Manusia, Nomor. 12,
Oktober, 2004. Tersedia di:
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/35307550/Da
niel_Hutagalung_-
_Hegemoni__kekuasaan_dan_Ideologi.pdf?AWSAccessKeyId=A
KIAIWO
Jhoni, A. (2011). Keberadaan Komunitas Punk Di Kota Bukit tinggi
Misrawati. (2013). Kepatuhan Hukum Komunitas “Punk” Terhadap Pasal
258 Undang- Undang Republik Indonesia Nomer 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Studi di Komunitas Punk
Kota Malang).
Moran, Ian P. (2010). Punk: The Do-It-Yourself Subculture. Social
Sciences Journal: Vol. 10 : Iss. 1 , Article 13.
Mutmainah, A. (2014). Eksistensi Komunitas Punk Di Kelurahan Titi
Kuning Kecamatan Medan Johor.
Panca, M.H., dan Kris, H. (2013). Motivasi Anak Memilih Menjadi
Anggota Komunitas Punk (Children’s Motivation For Joining Punk
Community).
Ritzer, G dan D J. Goodman. (2010). Teori Sosiologi Modern. Edisi ke VI.
Jakarta: Kencana
80
Sugiharto, Bambang. (2000). Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Sugiyati, Siti. (2014). Fenomena Anak Punk Dalam Perspektif Teori
Michel Foucault, Agama dan Pendidikan (Studi Kasus Di
Cipondoh Kota Tangerang).
Sunardi. (2001). Nietzsche. Cetakan ke 3. Yogyakarta : LKiS.
Tjipto, Susana. Evaluasi Terhadap Asumsi Teoritis Individualisme dan
Kolektivisme: Sebuah Studi Meta Analisis. Jurnal Psikologi
Volume 33, No. 1, 33-49
Wiradnyana, Ketut. (2018). Arkeologi Pengetahuan dan Pengetahuan
Arkeologi. Jakarta : Obor Indonesia.
Internet
https://nasional.tempo.co/read/371861/anak-punk-aceh-sering-jadi-
kambing-hitam(diakses pada tanggal 9 januari 2018).
http://news.liputan6.com/read/3220508/foto-wajah-lemas-anak-punk-saat-
dicukur-rambutnya-oleh-polisi-aceh?page=3 (diakses pada tanggal
9 januari 2018).
http://www.tribunnews.com/regional/2011/12/21/anak-punk-kami-
bukan-sampah (diakses pada tanggal 10 januari 2018).
https://subkulturindonesia.wordpress.com/tag/fathun-karib/ (diakses pada
tanggal 9 Januari 2018).
81
Fathun Karib. (2009). Sejarah Komunitas Punk Jakarta.
www.jakartabeat.net (diakses pada tanggal 9 Januari 2018).
Fathun Karib. (2013). Acid Anti Septic:Proklamator Punk Jakarta.
www.jakartabeat.net (diakses pada tanggal 9 Januari 2018).
Sanusi, Irfan. (2010). “Membedah Diskursus dan Berkreasi Dalam Ranah
Pluralitas : Rereading Arkeologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu
Dakwah Vol. 4 No. 15 Januari – Juni 2010. Tersedia di:
https://media.neliti.com/media/publications/64459-ID-
membedahdiskursus-dan-berkreasi-dalam-r.pdf (Diakses pada
tanggal 20 Januari 2019)
https://www.youtube.com/watch?v=a7yh8EDmgEk (diakses pada 28
Agustus 2018).
https://bandindienesia.blogspot.com/2017/03/sejarah-musik-dan-
perkembangan-band.html (Diakses pada tanggal 20 Januari 2019).
http://berisiknews.com/read/476/Catatan-Di-Balik-Lancarnya-Event-
Obscene-Extreme-Jakarta-2013#.XEm-HidR3IX (Diakses pada
tanggal 20 Januari 2019).
https://www.cnnindonesia.com/laporanmendalam/nasional/20171204/lap
oranmendalam-nasional-punk-tak-pernah-mati/index.php
(Diakses pada tanggal 21 Januari 2019).
82
https://www.youtube.com/watch?v=oIxngo40tZc&t=467s (Diakses pada
tanggal 21 Januari 2019).
http://koran-sindo.com/page/news/2017-02-
26/4/31/Jangan_Tinggalkan_Budaya_Sendiri (Diakses pada
tanggal 21 Januari 2019).
https://nusantaranews.co/lunturnya-budaya-gotong-royong/ (Diakses pada
tanggal 21 Januari 2019).
https://www.vice.com/id_id/article/ae5qwa/review-ulang-deretan-album-
punk-yang-dikecam-karena-sellout-ke-major-label (Diakses pada
tanggal 22 Januari 2019).
https://kompas.id/baca/utama/2018/10/19/bangkitkan-kesadaran-budaya-
kolektif/ (Diakses pada tanggal 22 Januari 2019).
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Transkip Wawanacara
1. Informan : Imam
Lokasi : Jagakarsa
Status : Anggota komunitas punk Taring Babi
Umur : 40 Tahun
Tanggal : 12 November2018
P : Dalam keadaan sosial-politik seperti apa taring babi lahir?
I : Kalo muncul sih antara temen ke temen aja sih ga ada hubungannya sama
Sosial-Politik.
P : Waktu keadaan reformasi taring babi ikut aktif turun aksi?
I : Kalo ikut akatif ya aktif.
P : Kapan komunitas Taring Babi lahir?
I : Sudah 23 tahun ini dah Taring Babi ada tahun 1996 kita ada sebelum
reformasi.
P : Dimana temen-temen pertamakali berkumpul?
I : Iya temen-temen yang kuliah di Grafika lebak bulus.
P : Siapa aja yang ketemu di Grafika waktu itu bang?
I : Awalnya temen-temen yang dulu tuh temen-temennya si Mike.
P : Ada berapa anggota Taring Babi sekarang?
I : 8 orang. Kalo temen ya banyak banget.
P : 8 orang itu tinggal disini (basecamp) semua?
I : Ada yang disini, ada yg tinggal sama anak istri.
P : Taring Babi semua anggota nya dari jakarta?
I : Enggak, kita dari mana-mana aja sih kayak saya kan dari pekalongan.
P : Bang imam masuk jadi anggota Taring Babi tahun berapa?
I : Tahun 2004-an.
P : Bang Imam di Taring Babi yang urus sablonan?
I : Iya bagian marchendise.
P : Sablon diproduksi setiap hari bang?
I : Ya kadang produksi sablonan. Ya ada lah setiap harinya yang di
produksi. Sekarang lagi produksi cukilan kan nih.
P : Biasanya yang produksi cukilan ada berapa orang?
I : Yang penting semua bagian ada yang megang sendiri-sendiri, kalo kita
ngerjain bareng-bareng. Kalo didiskusiin kita bareng-bereng.
P : Kalo sablon baju ada tempatnya juga bang?
I : Tempatnya disini juga. Kalo disini kan buat produksi nya, kalo penjualan
di toko, di Distro depan.
P : Apa aja yang di produksi oleh Taring Babi?
I : Ya banyak si ya kaos, topi, kaos polo, terus daur ulang dari limbah,
korek, ya bermacam-macam produk lah.
P : Penjualan di toko sendiri apa masuk ke toko lain juga?
I : Paling re-seller tuh dari sini juga, kalo kita cabang belom punya adanya
re-seller.
P : Re-seller nya dari berbagai kota juga?
I : Ya dari luar negeri juga. Biasaya kan kita juga workshop juga kan.
P : Banyak juga ya bang yang penelitian di taring babi? Biasanya dari mana
aja bang?
I : Ya macem-macem ya dari eropa juga ada.
P : Semua produksi disini berarti dikerjain bareng-bareng secara kolektif ya
bang?
I : Iya makanya dibilang tadi bukan Do It Yourself bukan, tapi Do It
Together. Nah kalo band nya marjinal. Blaut toko nya. Kalo nama kan kita
ngambil yang lokal-lokal aja. Babi itu simbol keserakahan. Mudah di inget
lah. Nah kita udah megang taringnya.
2. Informan : Ayah Baron
Lokasi : Jagakarsa
Status : Anggota komunitas punk Taring Babi
Umur : 42 Tahun
Tanggal : 12 November 2018
P : Abang siapa namanya bang?
I : Saya ayah baron.
P : Kapan masuk jadi anggota Taring Babi bang?
I : 2000-an.
P : Sempet kuliah di grafika juga bang?
I : Enggak. Ketemu aja.
P : Semua marchendise disini dikerjain bareng-bareng secara kolektif ya
bang?
I : Ya siapa aja ngerjain. Dari musik, lukisan, hampir semua di produksi.
Musik, tato, lukisan, cukilan, sablonan, rekaman, ya hampir semua sih
kawan-kawan ngerjain. Bagusnya kolektif kan begitu. Jadi semua temen-
temen kreatif dengan skill nya masing-masing bisa berkontribusi bareng.
Ruang belajar kan disitu. Jadi gotong royong lah. Bikin patung-patung
kaya gini. Wayang juga. Ya macem-macem lah.
P : Untuk penjualan nya, produksi marchendise tunggu ada yang pesan apa
masukin toko aja?
I : Kita produksi aja kadang kita share di media sosial, kadang temen ada
yang pesan. Kalo ditanya taring babi ngerjain apa aja ya semua dikerjain.
Karena kolektif kita.
3. Informan : Bobi
Lokasi : Jagakarsa
Status : Anggota komunitas punk Taring Babi
Umur : 42 Tahun
Tanggal : 22 Januari 2019
P : Apa arti punk menurut bang Bobi?
I : Kalau soal bagaimana menerjemahkan punk, misal ada 30 anak punk di
sini, kalau ditanya soal punk punya jawaban berbeda-beda. Ada yang
menerjemahkan punk dengan berkarya sebagai koki, pemusik, penulis,
tapi pada intinya punk itu menjadi diri sendiri. Jadi tidak ada satu pakem
punk seperti apa, apakah harus turun ke jalan, harus bertato, atau harus
mohawk.
P : Kenapa bang bobi memilih menjadi punk?
I : sebenernya didorong sama keadaan aja. Mau gamau gua harus hidup.
Tidak kaya anak-anak normal saat itu, gua harus hidup dijalan, belajar
dijalan, dan gua menemukan punk disana yang mewakili perasaan gua
pada saat itu.
P : Toko tempat Taring Babi menjual produk karya seni saya liat namanya
Blaut? Boleh tau ga bang kenapa dikasih nama Blaut?
I : Blaut itu kan singkatan dari Belajar Untuk Toleransi. Kami pakai bahasa
yang sederhana, sekarang banyak orang pintar tetapi tidak berbagi.
Mereka menggunakan bahasa-bahasa “langit” yang tidak bisa dipahami
oleh semua orang.
P : kenapa Taring Babi kolektif bang atau Do It Together ga kaya yang lain
yang Do ItYourself?
I : lakukan sendiri emangnya lu mau ngapain? Mau nafas doang? Binatang
juga bisa. Disini di tempat kolektif ini gua mencoba berbagi skill sama
temen-temen yang lain agar kita bisa survive, bisa bertahan hidup, dengan
karya kita bisa buat apa yang kita mau tanpa harus menunggu negara yang
ngajarin.
4. Informan : Mike
Lokasi : Jagakarsa
Satus : Anggota pertama komunitas punk Taring Babi
Umur : 43 Tahun
Tanggal : 14 dan 27 November 2018
14 November 2018
I : Kenalin mat apa itu imaji. Lu mau meng imaji kan tentang apa misalnya,
tinggal digeser doang. Artinya bahwa basic itu udah ada.
P : Tinggal di aplikasi ya bang.
I : Ya sama kaya motor. Motor kan bisa buat boncengin cewek bisa buat
ngojek kan gitu.
P : Bisa buat bawa barang,
I : Bisa buat barang ya kan. Bisa buat dipajang doang kan bisa. Itu imaji tuh
mat kenalin. Itu harus tumbuh. Terus juga harus kreatif. Ya modalnya
nakal mat. Kalo ga nakal lu ga mampu mengendalikan apa yang harusnya
bisa dikendalikan.
P: dulu kuliah di grafika ya bang?
I : Iya, Bobi juga.
P : Awal ketemu emang disana bang?
I : Awal ketemu nya? Ya jauh dari sebelumnya. Pada saat ruh dihidupkan
itu udah di pertemukan. Kita nya aja yang secara jasad baru ketemu. Kaya
sama kamu kan? Jauh-jauh hari kita udah ketemu sebenernya bagi siapa
yang bersyukur bagi siapa yang berfikir. Makanya kamu datang kesini
bukan urusan sekolah doang nih. Tapi ada hal-hal lain yang harus
dimaknai. Artinya ya ada suatu hal yang berdampak kepada aspek
psikologi yang memang terikat, artinya satu kesatuan dengan banyak
pemahaman ilmu, kesadaran, kewarasan kita sebagai manusia ya.
Sehingga faktor-faktor itu juga menjadi sebuah pemenuhan kebutuhan
yang dikejar atau justru kebutuhan yang dicari, kenapa lu bisa kemari, lalu
bisa ketemu. Hingga ada sifat menghargai bicara waktu, kesempatan,
gituloh. Bukan Cuma kebutuhannya sekolah doang. Kebutuhan sekolah
ini kan artinya belajar, belajar untuk mendapatkan, menemukan
pengetahuan dan wawasan sebagai seorang yang terpelajar. Tanggung
jawabnya disitu. Bukan sebagai kuliah abis itu kerja selesai. Banyak mat
soalnya temen-temen kemari itu ga menghargai, kasian kan mereka. ya
apalah boleh buat apa yang bisa dibantu ya bantu. Kamu tuh harus
bertanggung jawab sama diri kamu. Tanggug jawab sebagai manusia yang
ada dilingkungan masyarakat apa yang sudah kamu lakukan? Pilihan sih
mat. Lu mau jadi Mamat apa mau jadi apa. Karna Mike merasakan itu.
Bahkan sistem pendidikan itulah perpanjangan garis perbudakan. Kalian
itu tidak dicetak menjadi mamat seutuhnya, tidak menjadi nurdin, tidak
menjadi irfan, tidak menjadi muhammad, cuma dilabelkan menjadi maha,
tapi sifatnya seperti kerbau. Jadi mahakerbau. Jadi sebagai prodak pabrik.
Disinilah peninggalan ukuran imperialisme itu tetap bertahan sampe hari
ini. Dimana bahwa bangsa itu tidak mampu untuk mengendalikan juga
sekira nya melihat suatu peluang atau kesempatan untuk membawa
bangsa ini lebih baik terutama dalam aspek pendidikan. Adanya binatang-
binatang pandai. Yang tidak memiliki jiwa kemanusiaannya, jiwa
kepeduliannya. Bukan kah hidup ini terus berkembang? seiring waktu
juga terjadi banyak perubahan-perubahan?
P : Padahal kebenenaran itu pasti berubah suatu waktu ya bang?
I : Iya kebenaran itu kan butuh proses. Bahkan tidak berhenti pada titik
benar.
P : Sistem dimasyarakat kan bener salah itu absolut bang tapi.
I : Karena semuanya diwakili. Karena hak mamat itu diwakili. Hak individu
seorang mamat telah diwakili oleh negara oleh sekolah oleh masyarakat.
P : Cuma dibentuk ini loh mamat yang bener ya bang?
I : Iya, tak usah jadi mamat yang berotak. Karena berfikir itu udah bukan
jamannya kali, kan gitu. Kan udah tau mana yang bener mana yang kagak.
Kan udah tau kalo mau lulus itu bagaimana. Kan udah tau mana bener
mana salah. Padahal tidak ada benar salah, tidak ada baik buruk. Makanya
sistem di taring babi ini kita memilih nakal apa jahat gitu loh. Jadi tidak
ada baik, tidak ada buruk, tidak ada salah benar.
P : Nakal itu dalam artian apa bang?
I : Ya nakal itu bisa bermacam-macam. Seakan nakal itu kan sudah dipatri
atau dilabel atau dibangun sebuah stigma seolah olah sesuatu bagian dari
pada yang buruk. Padahal nakal itu bisa berarti yang lain. Bagi Mike
sendiri nakal itu adalah fitrah yang memang itu harus dikenali, dirawat,
dipelihara sebagai sebuah kebutuhan. Karena nakal itulah yang akan
mendorong kita sehingga memiliki keneranian untuk menemukan untuk
ada dalam sebuah ruang dan kesempatan, sehingga memili pengalaman.
Pengalaman menjadi wawasan. Wawasan menjadi pengetahuan.
Pengetahuan menjadi ilmu. Dan itu semua berangkat dari nakal. Kalo gak
nakal, kamu tidak akan pernah menemukan apa yang seharusnya kamu
temukan. Karena kamu gak berani keluar dari jalur aman tadi.
P : Cuma ngikutin apa yang harus dijalanin doang ya bang?
I : Iya. Hanya untuk menjadi orang baek. Kadang udah baek dipaksa insaf
lagi. Jadinya apa mat? Jadi penganten bom mat.
P : Kalo jahat itu bang?
I : Nah itu tadi dia tidak belajar dati pengalaman hidupnya. Kan orang jahat
itukan orang yang baek. Orang yang baek itu kan tidak menerima
kecenderungan atau apa saja yang ada dalam kehidupan ini, yang dia mau
tau hanyalah yang baek.
P : Taring babi ini ngebuka forum diskusi-diskusi ga sih bang?
I : Ya diskusi nya gini sambil ngobrol, ngebahas. Ya karena kan metodologi
nya kan berbeda. Gabisa langsung diciptakan gaya kaum akademis itu
gabisa.
P : Iya kemaren juga taring babi manggung ga cuma manggung aja ya bang.
Tapi ada diskusi selesai manggungnya.
I : Ya. Ya kan kita tau bagaimanakita berjibaku dengan masalah, karena kita
tau apa yang menjadi kebutuhannya, gitu loh ya.
P : Nilai-nilai Taring Babi yang berkeyakinan itu bagaimana bang?
I : Berkeyakinan itu kan sari dari sebuah pengetahuan. Bagaimana kamu
yakin bahwa tanpa sebuah pengetahuan.
P : Jadi diawali dengan pengetahuan?
I : Seharusnya. Ya pengetahuan itulah yang kemudian menjadi sebuah
pondasi keyakinan itu sendiri.
P : Taring Babi kan anggota nya dari berbeda-beda daerah. Bagaimana
menyatukan keyakinan di dalam taring babi?
I : Tidak ada sebuah keharusan. Yang akan mempertemukan itu kan adalah
rasa ingin tahu nya, atau pengetahuannya tadi maka kita akan ketemu
dalam semangat pengetahuan itu. Artinya yang mempertemukan
perbadaan adalah upaya besar untuk berfikir. Dimana manusia-manusia
berfikir itu akan bergerak seiring, sejajar, bersinergi, gitu loh. Tapi orang-
orang yang tidak berfikir itu akan memisahkan diri. Itu aja. Begitupun
kemudian keyakinan menjadi sebuah ukuran yang dikenali secara jelas
yang bisa dipertanggung jawabkan oleh kita sehingga itu menjadi sebuah
nilai keberanian. Keberanian itu juga terus mendorong keliaran-keliaran
atau munculnya, bergeraknya, secara fitrah yang dimiliki oleh manusia,
yang kita kenal dengan kelebihan manusia. Panca indera kita, itu bergerak
semua. Karena didorong oleh keberanian itu. Gitu loh. Karena masing-
masing punya marwahnya. Punya keliaran nya masing-masing. Apa yang
kemudian menjadi unsur, aspek di dalam diri manusia itu. Manusia hanya
air, api, tanah, dan udara. Jadi masing-masing punya karakter. Masing-
masing punya warna nya, punya bentuknya, sifatnya, gitu loh. Tidak bisa
tanah harus disamakan dengan air, yang bisa adalah bagaimana kita
mengenali ke autentikan daripada nilai-nilai tadi yang memang memiliki
sifat-sifat saling mendukung itu.
27 November 2018
P : Apa makna Do It Together dalam Taring Babi?
I : Ya sebenarnya kita mau mencoba lebih asik ya, Do It Together ini kan
lebih kemudian merespon tentang generasi milenial atau dibawah milenial
itu sendiri atau diatasnya ya, generasi yang gemar menggunakan bahasa
inggris sebagai komunikasi saat ini yang sesungguhnya kalo dirasa-rasa
justru semakin tergerusnya kepercayaan diri sebagai generasi yang hidup
di bangsa ini ya, kenapa ga pake bahasa ibu kita sendiri? Sebenernya
dikalangan temen-temen punk sendiri kan asik dengan menggunakan
bahasa inggris ya dengan menggunakan istilah Do It Yourself yang artinya
jadi diri sendiri atau lakukan dengan sendiri istilahnya gitu ya. Kemudian
temen-temen menggunakan istilah D.I.T atau Do It Together yang
kemudian juga digarisbawahi karena ada bahasa yang lebih keren yaitu
Gotong Royog gitu loh atau kerja bakti yang merupakan sebuah warisan
daripada nilai-nilai kearifan leluhur atau lokal yang kita punya. Ya
sebenernya ga legkaplah kalo kita mau jabarkan tentang salah satu istilah
lakukan sendiri gitu tanpa memiliki sebuah landasan mau ngapain gitu
loh? Artinya kan tidak ada seseorang yang luput dari pengaruh orang lain.
Terbilang bahwa kita dikandung, dilahirkan, dan kemudian dikelilingi
oleh suatu karakter masyarakat yang cenderung komunal. Maka
sebenenernya bentuk dari kesadaran yang nyata dalam istilah Do It
Yourself atau menjadi diri sendiri tadi atau lakukan oleh diri sendiri adalah
memang tahapannya atau bentuk praktek yang nyata nya adalah memiliki
sebuah bangunan kesadaran bahwa kita tidak bisa hidup seorang diri
gituloh. Artinya bahwa kita membutuhkan orang lain disekeliling kita
artinya jiwa kita mengajak untuk kemudian melestarikan konsep kerja
bersama seperti itu loh ya atau yang kita kenal dengan istilah gotong
royong.
P : Karena manusia makhluk makhluk sosial juga ya bang?
I : Iya artinya bahwa itu lebih konseptual, lebih kontekstual. Artinya
memang sesuatu hal yang sangat prinsip bukan sekedar jargon atau istilah-
istilah biar terlihat keren ya seperti itu.
P : Apa yang menjadi dasar Taring Babi membentuk pemikiran Do It
Together bang?
I : Ya agar kemudian juga generasi akan punya sebuah keberanian ya untuk
hidup kepada warisan atau nilai-nilai para leluhur kita yang telah banyak
mewariskan nilai-nilai di negeri ini. Itu memang perlu dihidupkan lagi ya
hal-hal semacam itu. Ya apa-apa kan semua serba inggris seolah-olah
bahwa bicara inggris adalah suatu kasta atau kelas masyarakat yang
cenderung berpendidikan atau terdidik atau kelas menengah keatas.
Hingga ironis aja kita bayangin generasi saat ini malu atau mungkin juga
menjadi pelaku dalam secara sadar untuk mengurangi atau mungkin
menginjak-injak daripada identitas lokal atau warisan daripada leluhur
kita sebelumnya.
P : Apa tujuan Do It Together itu sendiri bang?
I : Ya artinya bahwa gotong royong yang lebih kerennya bahasa nya
makanya kita populerkan istilah gotong-royong. Do It together hanya
pelengkap dari kata-kata aja tapi sebenernya yang mau kita angkat adalah
konteks realitas sosial atau sesuatu yang udah ada di lingkungan kita,
nyata, bahwa kita memiliki konsep dalam masyarakat kita saat ini
memiliki konsep kerja sama itu atau bekerja bersama-sama.
P : Kapan Taring Babi memunculkan konsep Do It Together?
I : Sebenarnya kita kerap kali mewakili bahasa bahkan dimulai dengan
Marjinal ya memperkenalkan ya melahirkan album dengan bahasa
indonesia yang pada saat itu cukup diolok-olok dan dipertanyakan gitu loh
eksistensi atau tentang jati diri sebagai punk karena pada saat itu identik
punk itu pake bahasa inggris gitu yakan kalo gak pake bahasa inggris
kayaknya lu ga nge punk deh gitu kan, lu gak keren gitu yakan, pokoknya
dari sono ya kita harus menjiplak abis dari sono. Nah temen-temen itu
udah memberontak, udah membuktikan bahwa kita mampu gitu loh ya.
Kesini nya baru pada ikut-ikutan yang lain kan. Awalnya iya diolok-olok
kan apaan tuh punk pake bahasa indonesia, ngomongnya juga kritik,
politik, gitu-gitu. Inget banget Mike pada saat itu. Artinya sudah dimulai
pada saat-saat itu ada sebuah keterasingan sebagai generasi saat itu bahwa
dominan barat ini menjadi sesuatu yang kita gak tau mau ngapain
sebenernya, selain kemudian hanya menjadi orang asing disana gitu loh
dan kemudian menjadi asing di negeri sendiri ngapain? Disitu kita udah
mulai, dulu juga sebelum nama Taring Babi kita namain Tempe Quality.
Ya pokoknya asik deh kalo bagi Mike, kenapa asik? Ini akan juga
membuktikan bahwa kita memiliki persoalan, kita diwarisi persoalan yang
ada di negeri ini bukan negeri orang lain, kenapa kita ga percaya diri? Nah
artinya bahasa inggris sendiri ini kan akhirnya mereduksi suatu nilai-nilai
dan juga mengasingkan generasi dari suatu keterhubugan dia dengan para
leluhurnya atau para pendahulunya sehingga ya apapun yang diwakili oleh
jaman ini tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan patokan atau
kebanggaan. Walaupun memang sah-sah aja siapa sih yang bisa
menghalangi sebuah peradaban yang terjadi ya tapi ironis aja ketika kita
tidak bisa menentukan sebuah pilihan bangsa ini, karena sudah banyak
sekali yang digaungkan ya artinya bahwa ketika suatu bangsa atau
generasi ini tidak lagi menggunakan atau malu ataupun kemudian tidak
memiliki sebuah karakternya sendiri maka itu sebuah kerusakan dan
kehancuran sebuah bangsa atau suatu tempat dimana generasi itu hidup
dan tinggal.
P : Bagaimana anggota Taring Babi memegang teguh prinsip gotong-royong
atau Do It Together?
I : Sebenarnya yang kurang dibangsa ini kan memberikan kepercayaan
karena semuanya sudah diwakili. Hak-hak kita sebagai manusia yang
merdeka sudah diwakili oleh negara. Hak atas hukum, hak atas keadilan,
semua diwakili oleh negara. Artinya bahwa sangat kurang kepercayaan ini
diberikan oleh suatu generasi atau individu yang memang sebagai warga
negara disebuah bangsa yang merdeka. Ini soal kepercayaan aja.
Kepercayaan bahwa setiap orang adalah majikan, tuan, pemilik atas
dirinya sendiri. Sebagai pelaku atas nasib dirinya, generasinya, maupun
bangsanya ini sendiri. Nah ini yang kemudian konteks dominan untuk
menentukan artinya untuk memaksakan kehendak untuk semua orang itu
ikut kepada nilai-nilai yang sesungguhnya tidak semua orang memahami
atas nilai-nilai itu datang dari mana, dan bagaimana kebenarannya tapi
semua orang harus ikut norma itu semua orang harus ikut aturan itu.
Sehingga seseorang cenderung kehilangan atas kepercayaan dirinya
hingga tidak menjadi diri sendiri, bagaimana dia akan melahirkan sebuah
inovasi, sebuah inisiasi atau inisiatif, bahkan sebuah kreasi artinya dibalik
semua ini akan berakibat seseorang tidak mengenal pilihannya. Maka kalo
di Taring Babi setiap orang diberikan kepercayaan, setiap orang menjadi
dirinya sendiri. Agar kemudian ya harapan besarnya, seseorang itu punya
suatu peluang besar untuk mempelajari suatu kejadian atau peristiwa baik
itu kondisi diluarnya maupun kemudian berdampak kepada dirinya
sendiri. Sehingga dia tau bagaimana sesungguhnya pilihan yang akan dia
ambil. Kepercayaan aja kita berikan kepercayaan bahwa setiap orang itu
yang namanya manusia itu dikasih bekal akal dan pikiran dan hati nurani
yang sama seperti kita yang kita rasakan saat ini. Terkadang kan mayoritas
kebanyakan maupun negara ini tidak percaya gitu loh bahwa manusia
yang ada di depannya itu adalah manusia. Seolah yang merasa manusia
adalah dirinya merasa paling benar, merasa paling hebat gitu loh karena
kedudukannya, karena jabatannya, karena kelas ekonominya kan gitu.
Sendiri-sendiri gituloh siapa yang kuat dia yang berkuasa. Dan itu akan
turun-menurun, generasipun akan mengikuti hal yang sama seperti itu.
Bagamaimana dia bisa menjabah, atau mungkin menyentuh persoalan
ataupun mengenali tentang tradisi kebiasaan daripada orang tua nya,
leluhurnya, yang banyak sekali sudah menawarkan sudah memberikan
suatu bukti-bukti besar atas konsep kehidupan ini.
B. Transkip Diskusi
Pembicara : Mike dan Ayah Baron
Lokasi : Universitas Pancasila
Tanggal : 12 November 2018
Mike : Ya mereka adalah penghuni surga. Tinggal mempraktekannya aja kan
sebagai penghuni surga bagaimana kan? Ini loh. Jadi mereka ditunggangi.
Memang mereka awam, di awami secara sistematis. Bodoh, dibodohkan
secara sistematis secara struktural. Jadi bukan benar-benar bodoh, bukan
bener-bener ga ngerti. Ngeri. Ini mimpi buruk bagi negara imperialisme,
ketika generasi yang ada di Indonesia ini di negeri ini, mampu bagaimana
mengolah sumberdaya alamnya, dan mampu untuk mengenali kejayaan-
kejayaan nenek moyangnya. Pertanyaannya mereka mau makan apa? Gitu
loh. Inggris. Amerika, eropa, mereka mau makan apa? Sepatu Nike kan
brand. Siapa sih yang gamau punya sepatu Nike? Mahal, ya.material nya
dari sini bahan-bahannya dari sini. Tenaga nya keringetnya orang-orang
sini. Kemudian dibuat disini. Dioper kesana, abis dioper kesana dikasih
barcode kirim lagi. Impor kesini. Dan kita beli wow bangga ya dari
Amerika padahal buatnya di Tangerang. Apasih yang ga dibuat disini? Ya
semoga dengan pandangan-pandangan gini juga bisa menjadi pendekatan
secara intelektual, secara kritis temen-temen ya mengenai harapan yang
temen-temen bangun dalam hidup. Ngeri loh. Mike itu keliling-keliling ya
ke Amerika, Jepang, ya ga ada sekelingkingnya yang dibangga-banggakan
yang ada disana dengan yang ada disni. Belom ada sekelingkingnya apa
yang ada disini. Belom ada! Bahaya nya nanti di era kesini nih. Ini
memang program Genocide hati-hati. Ini akan menjadi bom waktu yang
memang selalu ketika ada jatah Pemilu. Tapi ini waktunya yang tepat
untuk mengusung perang. Karena perang itu bisnis. Sama ketika pelajaran
tentang bosnia dan serbia ketika mereka perang saudara. Atau kapitalisme
Amerika, Rusia, mereka dapat bisnis senjata, abis bisnis senjata mereka
dapat uang, ternyata kota juga hancur dengan sendirinya, gaperlu alat-alat
berat yang mereka sewa, mahal! Untuk menghancurkan kota, ternyata
kota sudah hancur, mereka datang pakai helikopter bawa koper, mau
dibangun berapa? Mau berapa dibangun jalan tol? Mau berapa dibangun
hotel-hotel bertingkat? Mereka akan investiasi duit disitu, karena
kapitalisme begitu. Sirkulisai seperti tadi, dia butuh itu. Ini akan terjadi
ketika dicontohkan dengan Indonesia, dengan disisipin dengan katanya
ekstrimis-ekstrimis ya, religious ekstrimis, itu semua bullshit. Memang
digunakan untuk mengurangi populasi bangsa indonesia. Ketika populasi
bangsa ini saling bunuh membnunuh, mereka masuk, siapa yang ga mau
nempatin tempat syurga ini?
Peserta : Kenapa dari Anti-Millitary ganti nama jadi Marjinal?
Mike : Kita sebenarnya follower, dari ABRI berubah menjadi TNI kita berbubah
dari Anti-Millitary menjadi Marjinal. TNI berubah nanti kita juga berubah
tapi dia ga berubah-berubah sampe sekarang. Artinya gini ya temen-
temen, bahaya latin itu kan militeristiknya, ada simbol artinya bahwa
adasebuah upaya penyeragaman, mindset cara berfikir akan
menyeragamkan manusia. Ini sebuah kejahatan besar. Karena manusia
itulah otentik. Ga ada manusia di dunia yang kaya gini kaya kamu ga ada.
Walaupun kembar-siam, sidik jari nya pasti beda. Nah itu loh paham
militeristik itu adalah suatu upaya yang memang menyeragamkan salah
satu nya. Artinya bahwa tidak ada sebuah pilihan. Ini sebenarnya yang
kita kuak ya paham militeristik yang selalu mengedepankan nilai-nilai
kekerasannya. Bukan tentang profesi nya. Daftar kehadiran menentukan
nilai tanpa terkecuali, itu militeristik. Perubahan arah Marjinal, basic nya,
kita secara sadar, memilih fungsi sebagai alat untuk penjabaran,
menyampaikan pesan, untuk menjadi sebuah media belajar bersama,
untuk menjadi sebuah alat perjuangan, mendokumentasikan sebuah
peristiwa yang penting yang kita sadar bahwa generasi kedepan itu
membutuhkan. Ini yang mejadi latas belakang kenapa kita bermusik. Jadi
gapenting musik itu kita grupnya harus lengkap harus ikut kalo ga lengkap
bubar. Karena memang kita berangkatnya dari situ, kita sadar bahwa
masyarakat kita sudah di asingkan sejak ratusan tahun yang lalu,
diasingkan dengan pengetahuan. Bahkan diasingkan daripada nilai-nilai
para leluhurnya sendiri. Sampai saat ini namanya budaya, kan sebuah tur
rekayasa sistem. Jadi kita harus melihat antara tradisi dan budaya. Tradisi
adalah sesuatu yang memang itu sudah terjawab, terbukti merupakan
sesuatu rangkaian peristiwa yang diciptakan oleh para leluhur orangtua
kita sebelumnya. Sedangkan budaya, itu adalah sesuatu yang terus
berkembang. Nah budaya itu bisa dilakukan oleh budaya orde baru,
budaya orde lama, budaya yang nanti di depan lebih modern. Budaya
sesuatu yang mainstream. Ini budaya. Jadi budaya itu cenderung
diciptakan oleh otoriterism atau kekuasaan. Kita hanya disisipi oleh
tahayul, mitos-mitos, Mike garis bahawi lagi ya praktek-praktek jahat
selalu bermotif kepentingan pribadi. selama ini itu dibuat oleh kaum-
kaum pecinta kekuasaan. Makanya kalo kamu liat, di sekolah-sekolah,
pahlawan-pahlawan pasti pangeran. Emang ga ada pahlawan dari tukang
becak? Emang ga ada pahlawan dari petani? Sampe hari ini aja hari
pahlawan selalu bicara militeristik. Itu loh indikasi yang temen-temen
wajib untuk mencurigai nya. Artinya ini pandangan kritis. Jangan kita
berdiam diri pada hipokritis. Hipo artinya kurang, kritis artinya berfikir,
kurang berfikir. Sehingga kita nerima doang. Nerima, nerima, nerima aja.
Tapi tidak mau memahami apa yang kita terima. Jadi jangan percaya yang
namanya janji-janji. Kalian seolah-olah di didik, ketika lulus ditendang
kalian. Terserah mau jadi apa kek masalah lu masing-masing. Kita lah
majikan, kita lah tuan atas diri kita masing-masing. Kita yang menentukan
dalam hidup kita. Hari ini dan kedepan dan di akherat nanti. Ga perlu
dependent. Harus independent. Karena keilmuan yang kalian miliki saat
ini, hak-hak yang kalian dapat. Bahkan belum sepenuhnya yang kalian
dapatdari kampus kalian. Mahal loh, keringet kalian, belum keringet
orangtua, gila loh apa yang kalian dapat? Nanti pasar bebas, ketika
globalisasi dilegalkan, itu ga pandang ijazah kalian. Tapi kemampuan dan
kepandaian kamu ada dimana dan bisa dibuktikan seperti apa. Itu terjadi
seperti di barat saat ini. Sistem pendidikan saat ini hanya mencetak inflasi.
Meneruskan perbudakan. Menjadi mekanik tidak menjadi organik. Jadi
harus nakal. Manusia itu harus nakal. Jahat jangan, karena itu fitrah. Nakal
itu yang kemudian mengakses kita punya wawasan. Punya pengalaman.
Pengalaman kemudian menjadi pengetahuan. Pengetahuan menjadi ilmu.
Ilmu adalah modal untuk kita menghadapi masalah. Untuk bisa mencapai
sebuah kesimpulan yang a’rif dan bijaksana. Hanya orang-orang yang
kemudian tidak nakal itu menjadi jahat. Jadi hidup ini Cuma 2 pilihan.
Mau nakal atau jahat. Bukan naik atau buruk. Karena baik itu relatif. Baik
orang jawa beda dengan orang sumatera, beda dengan orang papua, beda
dengan orang inggris, beda dengan amerika. Nakal itu pilihan yang harus
dijaga dan dirawat. Jangan sampe kemudian menjadi anak komplek.
Kamu kan anak komplek ya anak mama jangan maen sama orang-orang
kampung itu, nanti kamu jadi bejad. Iya mama. Mama kerja dulu ya. Iya.
Mamanya kerja dia keluar lompat pager. Dia nakal. Karena dia nakal
akhirnya apa? Dia bisa manjat pohon, diajarin orang kampung yakan bisa
berenang, bisa mancing, abis itu pulang lagi kerumah ya. Ditanya mama
kamu seharian kemana aja? Dirumah aja mama. Itu nakal! Orang selama
hidup dari remaja sampedewasa gapernah namanya buat dosa, buat dosa
takut, karena tujuannya mau jadi anak baek, oke. Dari muda sampe
dewasa tidak pernah buat dosa. Bayangin, udah gapernah buat dosa, anak
baek, dipaksa insaf, jadinya apa? Jadi penganten bom bunuh diri. Lah kalo
anak nakal disuruh insaf sih masih wajar. Ini udah baek dipaksa insaf, jadi
penganten lu. Nanti janji nya apa? Nanti ketemu malaikat 7 bidadari. Itu
tadi karena apa? Karena ga nakal. Coba kalo dia nakal, misalkan kaya gua
nih nakal. Mike lu gua janjiin surga. Iya oke boleh mau juga gua. Tapi lu
gini Mike lu harus berjuang bla bla bla. Oke ini bom. Ya gua tanyain lagi
karena gua nakal. Jadi saya suruh mati nih? Kenapa ga lu duluan yang
mati. Lah gua nakal gitu, dosa gua masih banyak. Lu kan orang baek lu.
Kan gua tanyain. Takut dia ama orang nakal. Kagak mempan dah ama
orang nakal mah. Makanya sejak dari SD dari PAUD, kemudian SD,
SMP, SMA sampe kuliah maka apa seruannya? Jangan nakal, jangan
nakal. Itu terpatri! Hingga apa? Nilai-nilai kemanusiaan kita, keliaran-
keliaran kita sebagai manusia hilang. Jadi mekanik. Ya itu tadi karena
nakal itu melahirkan pengalaman, pengalaman menjadi wawasan,
wawasan menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi ilmu, dan kemudian
ilmu akan memunculkan sebuah inovasi baru, kreatifitas baru, intusi baru,
dan kemudian itu mendorong keinginan tawaf untu mendapatkan
pengetahuan baru. Keyakinan juga tumbuh menjadi lebar menjadi luas.
Kemudian menjadi berani, karena keyakinan. Keyakinan tanpa
pengetahuan, apa? Masa pohon mangga tanpa ada pohon, gimana? Logika
aja. Karena apayang kau tanam itu yang kau petik. Masa depan itu bukan
didepan, tapi masa depan itu dibelakang. Ketika kita memahami tentang
masa yang dibelakang, masa depan yang kita hadapi. Masa depan itu
dibelakang, kita belajar dari pengalaman empiris kita. Belajar dari sebuah
sejarah. Hari ini gua begini masa besok lu gatau lagi? Lu harusnya tau
dong. Karena lu kemaren kemaren udah tau kan lu lakuin apa, masa lu
ulangin lagi kaya keledai. Makanya harus belajar kebelakang. Maka masa
depan itu dibelakang bukan didepan. Ketika kita menguasai kebelakang,
kita menguasai sejarah hidup kita, kita belajar dari pengalaman kita,
disitulah kita akan bisa menantang masa depan kita. Gitu. Baru timbulah
inovasi, timbulah kreasi, timbulah imajinasi. Buatlah hukum baru, jangan
pake hukum yang dipake dari jaman waktu belanda dulu. Makanya
mengulang-ngulang.
Mike begini punk. Boleh aja penampilan. Namanya sebuah peradaban.
Tapi hati, etika gua tetep lokal. Perjuangan gua tetep lokal. Pemikiran gua
tetep lokal. Karena gua lebih melihat hal yang objektif, permasalahan gua
tuh ada didepan mata gua, bukan disana.
Mike : Seharusnya perubahan itu seiring menjadi kebutuhan manusia itu sendiri.
Bahkan kalau perlu kalian tadi nya kerja 9 jam tapi karena situasi terus
bertambah, inovasi terus berkembang, penemuan-penemuan semakin
maju, sehingga kerja dari 9 jam menjadi 7 jam. Berkurang lagi menjadi 5
jam. Tapi kemudian pendapatan juga terus sama. Jangan kita diadu oleh
sebuah keadaan, diadu oleh sebuah perkembangan dan modernitas tadi
diadu oleh mesin. Gila men! Itu buruh-buruh freeport, perkala mereka itu
3ribu setiap bulan untuk kemudian dipecat. Karena apa? Karena mesin
mereka menggunakan1 operator aja. Jadi mesin itu, mesin melawan
manusia.
Ayah : Pengetahuan itu harus mempermudah banyak orang bukan
mempermudah 1 atau 2 orang. Sehingga mempersulit orang lain itu
namanya berbamding terbalik dengan pengetahuan itu sendiri.
Mike : Itu pengalaman pribadi.