kotribusi iuphhk terhadap hak ulayat

100
ANALISA KONTRIBUSI IUPHHK TERHADAP HAK ULAYAT BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ADAT BPPHP XVII JAYAPURA TAHUN 2009 1

Upload: ignoramus-financio

Post on 24-Apr-2015

11.167 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

ANALISA KONTRIBUSI IUPHHK TERHADAP HAK ULAYAT BAGI

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ADAT

BPPHP XVII JAYAPURA

TAHUN 2009

1

Page 2: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Bangsa Indonesia dikaruniai dan mendapatkan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa

kekayaan alam berupa hutan yang tidak ternilai harganya, oleh karena itu, hutan harus

diurus dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan akhlak mulia, sebagai

ibadah dan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam rangka

pengelolaan hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan

hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan

hutan dapat dikelola dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya,

serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan

produksi. Oleh karena itu dalam pengelolaan hutan perlu dijaga keseimbangan ketiga

fungsi tersebut.

Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa

Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas

tanah, termasuk didalamnya Hutan Adat, yaitu kawasan hutan yang berada dalam

wilayah Masyarakat Hukum Adat. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian

hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang menurut

kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan

pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan sesuai dengan kearifan lokal Masyarakat

Hukum Adatnya.

Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan

negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara,

tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada

dan diakui keberadaannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.

Namun demikian dalam Undang-undang No. 41 ini masih memberi pengaturan yang

cukup luas tentang keberadaan masyarakat hukum adat dalam bidang kehutanan

2

Page 3: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

sebagaimana disebutkan dalam pasal 67 yang menyebutkan bahwa masyarakat hukum

adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :

melakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

masyarakat adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan

hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, serta

mendapatkan pemberdayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Banyak perusahaan dalam bentuk IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan berupa

Kayu) yang tidak menyadari bahwa masyarakat lokal yang berada di sekitarnya

merupakan bagian dari lingkungan yang sangat mempengaruhi kelangsungannya.

Hubungan yang kurang baik antara perusahaan dan lngkungannya akan sangat berpotensi

menimbulkan konflik. Sebelum zaman reformasi potansi konflik antara masyarakat

lokal dan perusahaan dianggap tidak terlalu mengancam karena dengan mudah dapat

diatasi, karena masih adanya rasa ketakutan masyarakat dengan aparat. Namun sejak

dihembuskannya angin reformasi, kini konflik dengan masyarakat lokal dapat

mengancam keberadaan perusahaan. Keberadaan masayarakat lokal kini menjadi kuat

dan mereka cenderung lebih berani dalam memperjuangkan hak-haknya .

Banyak juga perusahaan yang telah berusaha membina hubungan baik dengan

masyarakat. Beberapa perusahaan telah memberikan bantuan kepada masyarakat lokal,

sperti Program Bina Desa Hutan, pembuatan jalan, beasiswa, bantuan bibit tanaman

pertanian, lapangan kerja. Namun dalam kenyataannya di lapangan, sebagian besar

anggota masyarakat tidak puas akan bantuan-bantuan yang selama ini diberikan oleh

perusahaan.

Sesungguhnya keberadaan perusahaan dapat memberikan dampak ekonomi dan sosial

secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat lokal. Beberapa dampak

langsung manfaat perusahaan bagi masyarakat antara lain : adanya kesempatan pekerjaan

bagi tenaga lokal, program bantuan, dan pembinaan. Adapun dampak tidak langsung

yang diperoleh antara lain : pembukaan jalan dan transportasi perusahaan yang dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat, kebutuhan para pekerja perusahaan (seperti buah-buahan,

sayuran, ikan, daging), memajukan perekonomian masyarakat setempat.

3

Page 4: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Besar kecilnya dampak tersebut sangat bergantung pada tingkat kepedulian perusahaan

dan pekerjanya dan kesiapan SDM masyarakat lokal dalam memanfaatkan peluang yang

ada. Selama ini rendahnya SDM masyarakat lokal selalu menjadi masalah utama

sehingga selalu mereka tersingkir oleh pendatang dalam memanfaatkan peluang.

Masalah tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan meningkatkan pendidikan dan

memberikan pelatihan.

Analisis dampak keberadaan IUPHHK pada lingkungan masyarakat lokal termasuk

kontribusinya terhadap hak ulayat merupakan salah satu cara untuk melihat sejauhmana

tingkat peran dan korelasi IUPHHK dalamdalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Di samping itu ini merupakan salah satu langkah penting untuk mengetahui sejauhmana

pengaruhnya terhadap tingkat konflik yang dapat mengancam perusahaan dan merugikan

masyarakat setempat itu sendiri melalui kontribusi IUPHHK dengan terhadap hak ulayat.

1.2 Maksud dan Tujuan Kajian

Maksud analisis kegiatan ini adalah untuk mengetahui kontribusi IUPHHK terhadap hak

ulayat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan analisis ini adalah:

1. Untuk mengetahui perubahan tingkat ekonomi masyarakat dengan adanya

kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat

2. Untuk mengetahui pegaruh kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat terhadap

tingkat konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat.

1.3 Sasaran Kajian

Sasaran analisis ini adalah unit manajemen (IUPHHK) dan masyarakat hukum adat di

wilayah Papua

1.4 Ruang Lingkup

- Analisis tingkat pendapatan masyarakat

- Analisis dampak langsung dan tidak langsung kehadiran IUPHHK

- Analisis konflik antara perusahaan dan masyarakat

4

Page 5: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

1.5 Dasar Hukum Hak Ulayat Terkait dengan Pelaksanaan IUPHHK

Beberapa aturan hukum yang memayungi hak ulayat terkait dengan keberadaan hutan

negara dan IUPHHK antara lain disajikan sebagai berikut :

1. Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana

telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu 1990 Nomor

49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3699);

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara

Repulbik Indonesia Nomor 3886).

6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Repulbik

Indonesia Nomor 3888).

7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor

4725);

5

Page 6: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

BAB II. SEKILAS TENTANG BPPHP XVII JAYAPURA

2.1. Organisasi dan Tata Laksana

2.1.1 Tugas Pokok dan Fungsi

Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVII Papua adalah unit pelaksana teknis

di bidang pemantauan pemanfaatan hutan produksi yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, yang mempunyai

tugas melaksanakan sertifikasi tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan, penilaian

sarana dan metode pemanfaatan hutan produksi serta pengembangan informasi,

pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemanfaatan hutan produksi lestari.

Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi menyelenggarakan fungsi:

a. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pelaksanaan tugas pokok;

b. penilaian kinerja dan pengembangan profesi tenaga teknis bidang bina produksi

kehutanan;

c. Penyiapan tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan dan penyiapan

rekomendasi pemberian ijin operasional teknis fungsional;

d. Pemberian perpanjangan atau usulan pencabutan ijin operasional teknis fungsional;

e. Penilaian sarana dan pengembangan metode pemanfaatan hutan produksi yang

digunakan oleh tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan;

f. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rencana kerja usaha pemanfaatan hutan

produksi jangka panjang, rencana pemenuhan bahan baku industri, industri primer

kapasitas di atas 6000 M3/tahun dan dokumen peredaran hasil hutan;

g. Pelaksanaan pengembangan informasi pemanfaatan hutan produksi lestari;

h. Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga.

2.1.2 Jumlah Pegawai BP2HP XVII Jayapura

6

Page 7: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Potensi sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur penting dalam

pelaksanaan pemantauan kegiatan pengelolaan kawasan hutan. Dengan jumlah dan

kualifikasi tenaga yang cukup diharapkan mampu meningkatkan kinerja BP2HP XVII

jayapuran dalam menjalankan tugas-tugas pokok dan fungsinya. Sampai dengan bulan

Juli tahun 2009, jumlah pegawai sebanyak 38 orang dengan wilayah kerja yang sangat

luas dengan tingkat aksesibilitas yang relatif rendah dan sulit.

Berdasarkan jabatan, jumlah tenaga non struktural dan fungsional yang terbanyak yaitu

31 orang (82%), terdiri atas non struktural sebanyak 16 orang (42%) dan tenaga

fungsional 15 orang (40%), sedang sisanya berada pada level jabatan eselon III dan IV

berjumlah 4 orang dan upah/harian sebanyak 3 orang (Gambar 2.1). Dominasi kedua

jenis jabatan ini berkaitan dengan tugas dan fungsi pokok BP2HP yang mengutamakan

fungsionalisasi dalam pemantauan dan pengendalian hasil hutan di wilayah kerja.

13

16 15

3

0

5

10

15

20

(Ora

ng

)

Gambar 2.1. Perkembangan Pegawai Berdasarkan Jabatan S/D Juli 2009

ESELON III

ESELON IV

NON STRUKTURAL

FUNGSIONAL

UPAH/HARIAN

Selain ketersediaan jumlah tenaga kerja, maka faktor lain yang sangat penting dalam

mempermudah kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BP2HP adalah adalah tingkat

pendidikan. Berdasarkan jumlah pegawai sampai dengan data bulan Juli 2009, pegawai

dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA yaitu sebanyak 20 orang (53%) dan

S1 berjumlah 15 orang (40%), sedangkan untuk level pendidikan S2 sebanyak 1 orang

dan Sarjana Muda (SM) sebanyak 2 orang (Gambar 2.2) .

7

Page 8: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

1

15

2

20

0

5

10

15

20

(ora

ng

)

Gambar 2.2. Perkembangan Pegawai Berdasarkan Pendidikan S/D Juli 2009

S2

S1

SM

SLTA

Distribusi pendidikan pegawai yang dominan pada level SLTA perlu semakin

ditingkatkan ke jenjang yang lebih tinggi (SM dan S1) agar memiliki pengetahuan dan

pengalaman yang layak agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal

guna mendukung tugas pokok dan fungsi BP2HP dalam mendukung dan menunjang

pencapaian pelaksanaan PHPAL dimasa mendatang.

2.2. Visi dan Misi

A. Visi

”Terwujudnya profesionalisme tenaga teknis kehutanan dalam rangka terselenggaranya

pemantauan pemanfaatan hutan produksi untuk menjamin kelestarian hutan dan

peningkatan kemakmuran rakyat di Provinsi Papua”

B. Misi

(1) Meningkatkan profesionalisme tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan;

(2) Mendorong peningkatan sarana dan pengembangan metode pemanfaatan hutan

produksi;

(3) Membina pengembangan industri primer hasil hutan;

(4) Memantapkan sistem peredaran hasil hutan dalam rangka peningkatan penerimaan

negara;

(5) Mengembangkan sistem informasi pemanfaatan hutan produksi lestari;

8

Page 9: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

(6) Meningkatkan kapasitas kelembagaan BP2HP Wilayah XVII yang profesional dan

akuntabel.

2.3. Rencana Strategi

Sesuai dengan visi dan misi, maka disusun rencana strategi yang akan memberikan arah

dan tujuan, sasaran, strategi dan program kebijakan oleh Balai Pemantauan Pemanfaatan

Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah XVII Jayapura sebagai berikut:

2.3.1. Tujuan

(1) Tujuan dari misi 1 : “Meningkatkan profesionalisme tenaga teknis bidang bina

produksi kehutanan”, adalah untuk :

a. Menyiapkan rencana pemenuhan tenaga teknis bidang bina produksi

kehutanan.

b. Menyiapkan rencana penilaian kinerja tenaga teknis bidang bina produksi

kehutanan.

(2) Tujuan dari misi 2 : “Mendorong peningkatan sarana dan pengembangan metode

pemanfaatan hutan produksi”, adalah untuk : Mendorong terwujudnya

peningkatan sarana dan pengembangan metode pemanfaatan hutan produksi oleh

pemegang ijin/unit manajemen.

(3) Tujuan dari misi 3 : “Membina pengembangan industri primer hasil hutan”,

adalah untuk: Mewujudkan industri primer hasil hutan yang tertib, efesien dan

berbahan baku legal.

(4) Tujuan dari misi 4 : “Memantapkan sistem peredaran hasil hutan dalam rangka

peningkatan penerimaan negara”, adalah untuk: Mewujudkan sistem pemantauan

peredaran hasil hutan yang tertib dan optimalisasi PNBP.

(5) Tujuan dari misi 5 : “Mengembangkan sistem informasi pemanfaatan hutan

produksi lestari”, adalah untuk: Mewujudkan sistem informasi pemanfaatan hutan

produksi yang uptodate, online dan valid.

(6) Tujuan dari misi 6 : “Meningkatkan kapasitas kelembagaan BP2HP Wilayah

XVII yang profesional dan akuntabel”, adalah untuk: Mewujudkan kelembagaan

9

Page 10: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

BP2HP Wilayah XVII yang kredibel, profesional dan akuntabel dalam

mendukung pengelolaan hutan produksi secara lestari.

2.3.2. Sasaran

Dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai, maka ditetapkan sasaran

yang akan dicapai sebagai berikut:

(1) Tersosialisasinya peraturan-peraturan bidang bina produksi kehutanan;

(2) Tercapainya standar kebutuhan tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan;

(3) Terwujudnya pengelolaan hutan produksi secara lestari oleh pemegang IUPHHK;

(4) Terwujudnya industri primer hasil hutan yang tertib dan legal bahan baku;

(5) Terwujudnya tertib peredaran hasil hutan dan optimalisasi penerimaan negara

bukan pajak;

(6) Terlaksananya penguatan kapasitas kelembagaan BP2HP Wilayah XVII;

(7) Terwujudnya tata hukum struktur kelembagaan dan tata hubungan kerja  dalam

mendorong penyelenggaraan PHPL.

2.3.3. Strategi

a. Kebijakan

Dalam rangka mewujudkan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran yang ingin dicapai oleh

BP2HP Wilayah XVII maka ditetapkan kebijakan-kebijakan yang mengacu pada

kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Direktorat Jenderal Bina Produks Kehutanan

sebagai berikut :

(1) Pelayanan prima satu pintu;

(2) Peningkatan kemampuan SDM BP2HP dan mitra;

(3) Meningkatkan pembinaan pengelolaan hutan produks lestari oleh unit manajemen;

(4) Mendorong pengembangan produk industri hasil hutan;

(5) Menerapkan pengembangan PUHH berbasis teknologi informasi;

(6) Mendorong berkembangnya kemampuan kelembagaan dan kualitas pengelolaan

hutan produksi lestari.

10

Page 11: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Program

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 -2009 telah ditetapkan

Program Pembangunan dan terkait langsung dengan pembangunan pembinaan produksi

kehutanan dalam 5 tahun kedepan yaitu :

(1) Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan;

(2) Program Penyelenggaraan Pimpinaan Kenegaraan dan Kepemerintahan

Fokus Kegiatan dan Kegiatan

(1) Fokus Kegiatan

Dari sasaran-sasaran strategis tersebut yang akan dicapai, selanjutnya dituangkan

kedalam beberapa fokus kegiatan yaitu :

Pengelolaan kawasan yang tidak dibebani hak;

Pengelolaan pemanfaatan hutan produksi alam;

Pengelolaan pemanfaatan hutan tanaman;

Pengembangan industri dan pemasaran hasil hutan

Penertiban peredaran hasil hutan;

Penunjang fokus kegiatan

Kegiatan

Dari beberapa fokus kegiatan tersebut dirinci menjadi beberapa kegiatan yang akan

dilaksanakan BP2HP Wilayah XVII sebagai  berikut  :

a. Pengelolaan kawasan yang tidak dibebani hak;

Pengawasan dan pengamanan areal eks HPH/HTI;

b. Pengelolaan pemanfaatan hutan produksi alam;

Penilaian kinerja usaha pemanfaatan  hutan alam

c. Pengelolaan pemanfaatan hutan tanaman;

Penilaian kinerja usaha pemanfaatan  hutan alam

d. Pengembangan industri dan pemasaran hasil hutan

Pembinaan dan pengendalian bahan baku dan produk industri hasil hutan

e. Penertiban peredaran hasil hutan;

11

Page 12: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Pengembangan sertifikasi dan pengujian hasil hutan

Optimalisasi penerimaan bukan pajak

Pengendalian peredaran hasil hutan dan penertiban hasil hutan ilegal

Pengembangan sistem informasi manajemen pengujian dan penatausahaan hasil

hutan

12

Page 13: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

BAB III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pendekatan

Kerangka metode pendekatan yang digunakan sangat tergantung dari maksud dan tujuan,

keluaran (output), manfaat dan lingkup pekerjaan yang diinginkan. Selain itu penetapan

kerangka metode pendekatan juga sangat tergantung dari serangkaian konsep yang

digunakan dalam menjawab maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Atas dasar tersebut

maka dalam melakukan analisis kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat bagi

kesejahteraan masyarakat adat menggunakan metode desk study, metode pendekatan

partisipatif, dan metode pendekatan survey (kunjungan dan atau pengamatan lapangan).

Ketiga metode pendekatan tersebut saling terkait dan saling mendukung satu sama lain.

Oleh sebab itu ketiganya akan digunakan secara bersamaan dan terstruktur yang

diuraiakan berikut ini.

3.1.1. Metode Pendekatan Desk Study

3.1.1a. Pengertian Metode Desk Study

Metode desk study yaitu cara pengumpulan data dan informasi melalui kajian dan analisis

data dan informasi yang menggunakan data sekunder, baik berupa laporan, referensi,

maupun peta-peta.

3.1.1.b. Cara dan Mekanisme Melakukan Desk Study

Dalam proses pengumpulan data dengan menggunakan mekanisme desk study untuk

mencapai output/tujuan analisis dilakukan dengan proses seperti disajikan pada Tabel 3.1

Tabel 3.1. Proses dan Output Analisis Desk Study

INFORMASI UMUM YANG

DIGALIPROSES OUTPUT

Kebijakan Pembangunan Kehutanan Khususnya yang berkaitan dengan aspek kawasan, kelembagaan dan aspek usaha/bisnis untuk kesejahteraan masyarakat adat

Kebijakan Daerah yang berkaitan dengan aspek kawasan,

Mencari dan menyeleksi dokumen yang dibutuhkan melalui studi literatur /pustaka ke Dephut, Dinas terkait, Bappeda, , BPS dan lembaga lain yang memiliki data dimaksud, baik secara

Semua informasi yang

dibutuhkan untuk

melakukan analisis

kontribusi IUPHHK

terhadap hak ulayat bagi

kesejahteraan masyarakat

13

Page 14: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

INFORMASI UMUM YANG

DIGALIPROSES OUTPUT

kelembagaan dan aspek usaha/bisnis untuk kesejahteraan masyarakat adatInformasi pasar/distribusi konsumsi dan produk olahan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masayarakat adatInformasi kelembagaan termasuk organisasi, aturan main kelembagaan masyarakat adat

langsung ataupun melaui internet

Menggandakan dokumen

Menganalisis Data yang diperlukan

adat yang telah

terkumpul disusun

menjadi draft laporan

3.1. 2. Metode Pendekatan Partisipatif

Metode pendekatan partisipatif merupakan salah satu metode yang digunakan dalam upaya menggali informasi dari berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan ini. Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa stakeholders dan masyarakat setempatlah yang lebih memahami kondisi kehidupan mereka. Dengan pengetahuan yang mereka miliki, merekalah yang akan merumuskan berbagai rencana sekaligus kegiatan-kegiatan tindak lanjutnya. Pendekatan partisipatif ini didasarkan pada prinsip dari, oleh dan untuk mereka. Pihak luar dalam hal ini tim konsultan pelaksana kegiatan, hanya berperan sebagai fasilitator.

Penetapan penggunaan metode pendekatan partisipatif ini juga didasarkan pada keluwesannya dalam menggali data dan informasi, karena prinsip metode pendekatan partisipatif ini adalah : (a) Belajar dari stakeholders; (b) Orang luar (peneliti, penyuluh, petugas, konsultan ) bertindak sebagai fasilitator. Sementara pihak (stakeholders) adalah sebagai pelaku; (c) Saling belajar, dan saling berbagi pengalaman; (d) Sifatnya informal; (e) Melibatkan seluruh stakeholders; (f) Menghargai perbedaan; (g) Triangulasi (koreksi silang/verifikasi); (h) Mengoptimalkan hasil; (i) Sering menyadari kesalahannya (belajar dari kesalahan); dan (j) Berorientasi praktis; (k) Berkelanjutan.

Untuk mengoptimalkan data dan informasi primer dari para pihak melalui diskusi grup terfokus (FGD), maka dalam metode pendekatan partisipatif tersebut konsultan akan menggunakan : (1) metode perencanaan yang berorientasi pada tujuan (PBPT) atau sering dikenal dengan istilah Ziel Orientierte Project Plannung (ZOPP), dan (2) metode Delphi.

14

Page 15: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

3.1.2.a Metode Ziel Orientierte Project Plannung (ZOPP)

1) Apa dan Bagimana ZOPP

ZOPP adalah seperangkat alat-alat perencanaan partisipatif yang sederhana, bersifat terbuka dan realistis. Mutu dari hasil perencanaan metode ZOPP sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas kelompok dan informasi yang diberikan. Selain itu ZOPP dapat menyelaraskan harapan dan pendapat yang berbeda-beda melalui proses konsensus bersama. Adapun alat-alat perencanaan ZOPP yang sering digunakan yaitu : 1) Analisis masalah, (2) Analisis tujuan, (3) Analisis alternatif dari berbagai pilihan solusi dari masalah yang ada, (4) Analisis peran dan (5) Analisis matriks perencanaan/rencana tindak lanjut.

(a) Analisis Permasalahan, yaitu merupakan suatu teknis untuk meneliti semua masalah-masalah yang selanjutnya menentukan akar masalah yang dihadapi oleh stakeholders. Masalah yang diidentifikasi ditujukan pada masalah-masalah yang terkait dengan suatu kondisi masalah inti dan memperhatikan serangkaian hubungan sebab akibat baik yang berkaitan dengan masalah kawasan, masalah kelembagaan (organisasi termasuk hierarki dan job diskripsi, aturan main dalam kelembagaan termasuk peran dari stakeholders dalam kelembagaan yang dimaksud baik pada level kebijakan maupun implementasi, masalah kesiapan SDM, infrastruktur, pembiayaan sebagai faktor pendukung), maupun masalah usaha.

(b) Analisis tujuan, yaitu merupakan suatu teknis untuk meneliti tujuan-tujuan yang akan dicapai sebagai akibat dari pemecahan masalah-masalah yang telah diarahkan pada analisa masalah baik yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dari aspek kawasan, kelembagaan maupun aspek bisnis/usaha dari hasil kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat.

(c) Analisa alternatif, yaitu merupakan suatu teknik untuk mengkaji beberapa pilihan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi terhadap hak ulayat oleh IUPHHK, termasuk mengkaji peran masing-masing stakeholders atau peran dari berbagai instansi terkait dalam rangka merumuskan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat yang disepakati bersama, yang secara sistemik dan kontinu mampu mengakomodasikan seluruh informasi tentang struktur kelembagaan yang meliputi komponen kelembagaan staffing, hubungan tata kerja dan dasar hukum serta aturan main para pihak sesuai dengan perannya. Dalam analisis alternatif diadakan identifikasi dan pengkajian kemungkinan pilihan strategi yang paling memberi harapan untuk berhasil

15

Page 16: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

(d) Analisis peran, yaitu merupakan alat ZOPP yang digunakan untuk memberikan gambaran mengenai semua pihak/kelompok yang berhubungan dengan kegiatan yang akan direncanakan baik dari aspek kawasan, kelembagaan maupun dari aspek bisnis/usaha atau perpaduan ketiganya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat adat. Melalui arahan peran ini dapat dilihat hubungan dan koordinasi yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan kegiatan, baik peran dari lembaga/instansi pemerintah (eksekutif). Legislatif, konsultan, LSM, Perguruan Tinggi dan masyarakat umum.

(e) Matrik perencanaan kegiatan (rencana tindak lanjut) yaitu merupakan rangkian dari berbagai alternatif peningkatan kesejahteraan masayarakat adat yang telah dan sedang berjalan saat ini. Selain itu pada matriks perencanaan kegiatan tersebut juga berisi asumsi-asumsi penting dan rencana tindak lanjut sebagai suatu solusi yang akan menjadi pertimbangan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat adat. Dalam implementasinya, pendekatan ini khususnya yang berkaitan dengan penggunaan alat analisis masalah dan tujuan akan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan seluruh stakeholders yang terlibat dalam forum diskusi.

3.1.1.b Metode Delphi

1) Apa dan Bagaimana Delphi

Delphi adalah sebuah teknik pendekatan yang dipola untuk menstruktur pendapat informan group melalui FGD dalam tatanan analisis dan menjelaskan suatu masalah, perencanaan dan isu-isu featur yang berkaitan dengan kebijakan (Davis, 1980). Dengan demikian metode delphi adalah proses perencanaan yang melibatkan berbagai pihak dalam mencapai suatu kesepakatan. Terdapat dua pendekatan dalam metode delphi, yaitu policy delphi dan conventional delphi. Policy delphi biasanya digunakan untuk melakukan pengumpulan data dan informasi serta analisis isu kebijakan yang bersifat makro, pada tingkat regional atau nasional. Sedangkan conventional delphi digunakan untuk pengumpulan data dan informasi serta analisis kebijakan bersifat jangka pendek. Kedua metode delphi tersebut akan digunakan secara bersamaan karena keduanya saling berkaitan dalam analisis kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat bagi kesejahteraan masyarakat adat.

16

Page 17: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

2) Cara dan Mekanisme Penggunaan Policy Delphi

Metode delphi ini biasanya diawali dengan perumusan isu-isu strategis dan atau global yang bersifat makro dan mikro serta berbagai isu kebijakan dan termasuk isu-isu yang diperoleh dan hasil penelitian yang berkaitan dengan kegiatan, yang dalam konteks ini adalah analisis kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat bagi kesejahteraan masyarakat adat. Selanjutnya dilanjutkan dengan isu-isu lokal yang merupakan potensi dan permasalahan internal yang dihadapi peningkatan kesejahteraan masyarakat adat Adapun proses perumusan rancangan penggunaan metode pendekatan delphi tersebut dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan berikut :

(a) Merumuskan isu yang menjadi fokus tujuan serta apa yang akan dicapai dan pengaruh kebijakan yang akan dirumuskan tersebut ketika akan mengimplementasikan. Isu-isu kebijakan tersebut merupakan output dari hasil penerapan metode ZOPP yang disampikan para pihak dalam forum semi loka/workshop ZOPP baik yang berkaitan dengan aspek kawasan, kelembagaan maupun aspek usaha/bisnis

(b) Merencanakan pilihan-pilihan kebijakan yang diambil bersama berdasarkan isu-isu pokok kawasan, kelembagaan dan isu-isu usaha/bisnis yang disampikan melalui semi loka/workshop ZOPP

(c) Menentukan simpul masalah sebagai isu yang terpenting, dan identifikasi pertentangan-pertentangan yang berkaitan dengan aspek kawasan, kelembagaan maupun aspek usaha/bisnis

(d) Melakukan eksplorasi alasan-alasan pertentangan dan klarifikasi pandangan-pandangan dan asumsi-asumsi yang mendasarinya yang disampaikan pada saat peserta merumuskan alternatif kebijakan

(e) Melakukan evaluasi berbagai alternatif kebijakan tentang alasan-alasan yang mendasari isu

(f) Melakukan evaluasi kembali pilihan-pilihan kebijakan berdasarkan perkiraan bukti-bukti yang mendasari isu-isu yang diangkat.

17

Page 18: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

3.1.3 Metode Pendekatan Survey

3.1.3.a. Pengertian Metode Survey

Pendekatan survey lapangan yang dimaksudkan dalam pekerjaan ini adalah pengumpulan data/informasi yang tidak bisa diakomodir melalui pendekatan delphy, ZOPP, dan pendekatan desk study (data/informasi sekunder). Data yang dikumpulkan melalui survei lapangan misalnya survei profil kelola kawasan, kelembagaan dan kelola usaha dari lokasi uji petik yang telah ditetapkan. Data dan informasi dari hasil survey melalui uji petik tersebut selanjutnya akan menjadi salah satu masukan dalam analisis kontribusi IUPHHK analisis kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat bagi kesejahteraan masyarakat adat.

Proses Prosedur Kerja Metode Survey

Kegiatan survey pada aspek kawasan akan difokuskan pada status kawasan (identifikasi status dan klarifikasi kawasan) apakah para pelaku usaha (Unit Manajemen) bersangkutan melakukan pengembangan dan pemanfaatan IUPHHK pada kawasan yang telah dibebani hak atau belum dibebani hak, kemantapan kawasan (ijin dan konflik kawasan), penataan kawasan, keamanan kawasan, dan karakteristik kawasan.

Selanjutnya pada aspek kelembagaan, kegiatan survey akan difokuskan pada penggalian data dan informasi mengenai bentuk kelembagaan, organisasi, aturan main, SDM, pembiayaan, dan infrastruktur pendukung. Sementara pada aspek usaha, kegiatan analisis akan difokuskan pada penggalian data dan informasi mengenai jenis komoditas yang dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat, teknik pemanfaatan, teknologi yang digunakan, pemasaran, pembiayaan (permodalan) usaha, jaringan, dan karakteristik sosial buadaya setempat sehubungan dengan adanya kontribusi terhadap hak ulayat oleh IUPHHK.

3.2 Jenis Data dan Informasi yang Dibutuhkan

Mengacu pada kerangka pendekatan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka jenis data yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaan ini adalah berupa data sekunder dan data primer. Kedua Jenis data tersebut didiuraikan berikut ini.

18

Page 19: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

3.2.1. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui kajian buku laporan, referensi maupun data-data penunjang lainnya yang relevan dengan pekerjaan. Data-data tersebut dapat diperoleh dari berbagai instansi, baik di tingkat pusat maupun di daerah, yaitu:

a. Kantor Departemen Kehutanan, untuk data dan informasi mengenai kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku, baik yang secara langsung berkaitan maupun tidak langsung berkaitan hak ulayat (masyarakat adat) dan kontribusi IUPHHK

b. Kantor instansi pemerintah di tingkat provinsi, khususnya kantor Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten, BAPPEDA provinsi dan kabupaten, kantor statistik provinsi dan kabupaten, kantor BPN, Dinas Pertanian, Dinas Sosial, Bapedalda, Dinas Perdagangan, dsb. Antara lain : laporan realisasi kegiatan peningkatan usaha masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dan atau data dan informasi lain yang mungkin berkaitan dengan pekerjaan ini.

c. Kantor UM (IUPHHK) untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat baik yang berkaitan dengan kawasan, kelembagaan, dan usaha/bisnis serta pola-pola kemitraan yang telah atau sedang dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat

d. LSM, dan Perguruan Tinggi, serta lembaga penelitian lain (pusat dan daerah) yaitu untuk memperoleh data dan informasi sekunder tentang hasil-hasil penelitian, pendampingan, dan atau data dan informasi sekunder reverensi lain yang berkaitan dengan analisis ini.

3.2.2. Data Primer

Data primer diperoleh dengan melakukan pengumpulan data dan informasi langsung di

lapangan, baik dengan cara pengamatan di lapangan maupun dengan cara wawancara

dengan sampel-sampel UM dan penduduk setempat (untuk data dan informasi sosial-

ekonomi-budaya). Selain itu juga diperoleh langsung melalui konsultasi publik baik

melalui delphi maupun forum ZOPP.

Kedua jenis data tersebut (primer dan sekunder) tersebut akan dilakukan secara simultan

karena saling melengkapi dan terkait, dan dalam mencari data dan informasi pada kedua

jenis data tersebut akan dilakukan dengan menggunakan ketiga kerangka metode

pendekatan sebagaimana yang telah diuraikan diatas.

19

Page 20: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Data primer yang dikumpulkan antara lain, (1) data penerimaan masyarakat, (2) Data

penyerapan tenaga kerja, (3) Data distribusi penerimaan, (4) presepsi dan bentuk peran

aktif masyarakat dalam mengelola hutan Sedangkan data sekunder dilakukan dengan

mengutip/menyerap data pada beberapa instansi pemerintah maupun swasta serta hasil-

hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.

3.3 Pengukuran Kontribusi Perusahaan Melalui Kegiatan Pemberdayaan

a. Penerimaan

Besarnya penerimaan diukur berdasarkan penerimaan yang diterima oleh rumah tangga

dan dianalisis berdasarkan sumbernya. Sumber penerimaan responden dimasukkan ke

dalam 4 kategori, yaitu : (1) hasil hutan, (2) pertanian, (3) jasa perdagangan, dan (4) jasa

lain (Astana, dkk., 2002). Penerimaan yang diukur adalah penerimaan rumah tangga yang

diperoleh dari berbagai sumber dalam satu tahun terakhir. Perhitungan besarnya

penerimaan penduduk per kapita per tahun dilakukan dengan cara membagi total

penerimaan rumah tangga contoh dalam satu tahun dengan jumlah anggota keluarga

rumah tangga contoh. Penerimaan per kapita merupakan penerimaan yang dimiliki oleh

setiap anggota rumah tangga.

Penyajian dan pengolahan data penerimaan dilakukan secara tabulasi berdasarkan pada

sumber penerimaan dan pengeluaran rumah tangga, serta besar penerimaan (pengeluaran)

rumah tangga.

b. Distribusi pengeluaran

Distribusi pengeluaran diukur dengan melihat persentase pengeluaran berdasarkan jenis

pengeluarannya atau kemana saja penerimaan tersebut didistribusikan. Jenis Pengeluaran

dikelompokkan kedalam 3 katagori kebutuhan yaitu : (1) Primer atau jenis pengeluaran

untuk kebutuhan pangan (beras, gula, kopi, dan kebutuhan makan lainnya), (2) Sekunder

atau jenis pengeluaran untuk kebutuhan sandang (pakaian, sekolah, hiburan), (3) tersier

atau jenis pengeluaran untuk kebutuhan papan atau kebutuhan konsumtif (rumah tinggal

yang layak, perabotan rumah tangga, alat electronik).

c. Penyerapan tenaga kerja

20

Page 21: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Penyerapan tenaga kerja dianalisis berdasarkan jumlah/persentase penduduk yang diserap

oleh masing-masing pola pemberdayaan masyarakat yang dikelompokkan menjadi (1)

lokal Papua, (2) lokal setempat. Dalam menganalisis berapa besar penyerapan tenaga

kerja digunakan satuan persentase (%).

Penyerapan tenaga kerja dianalisis dengan membandingkan persentase penduduk yang

bekerja pada setiap bagian dari kegiatan HPH. Efektifitas pola pemberdayaan dianalisa

menurut peta hubungan (Alhamid dan Rizal, 1997) sebagai berikut :

(1) Penyerapan tenaga kerja Tinggi X PendapatanRendah

(2) Penyerapan tenaga kerjaRendah X PendapatanRendah

(3) Penyerapan tenaga kerjaRendah X Pendapatan Tinggi

(4) Penyerapan tenaga kerja Tinggi X Pendapatan Tinggi

21

Page 22: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

BAB 4. SEKILAS TENTANG HAK ULAYAT DI PROVINSI PAPUA

4.1 Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Beberapa pakar hukum adat, diantaranya Ter Haar dan Sepomo telah mencoba

mendeskripsikan pengertian “masyarakat hukum adat”. Ter Haar (dalam Muhammad

1984) mengemukakan bahwa masyarakat hukum adat adalah : “Kesatuan manusia yang

teratur, menetap di suatu daerah tertentu mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai

kekayaan yang berwujud dan tidak terwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-

masing mengalai kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat

alam, dan tidak seorangpun untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau

meningalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya”.

Sementara itu, Soepomo (1981) menyatakan bahwa persekutuan-persekutuan hukum di

Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan yakni persekutuan berdasar pertalian

keturunan (geneologi) dan persekutuan yang berdasarkan lingkungan daerah (teritorial).

Sedangkan Hazairin (dalam soekanto), 1981) menjelaskan bahwa masyarakat-masyarakat

hukum adat seperti desa di Jawa atau marga di Sumatera Selatan adalah kesatuan-

kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup

berdiri sendiri,

yaitu pertama mempunyai kesatua lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah

dan air bagi semua anggota, kedua bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,

matrilineal atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahan, ketiga penghidupannya,

yang terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil

hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan

kerajinan tangan, berciri komunal dimana gotong royong, tolong menolong masih kuat

dan semua anggota masyarakat mempunyai kesaan hak dan kewajiban serta semua

mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan bersama.

Berdasarkan pendapat para pakar hukum adat tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

kriteria masyarakat hukum adat sebagai berkut :

22

Page 23: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

a. Terdapat masyarakat yang teratur;

b. Menempati suatu tempat teratur;

c. Ada kelembagaan;

d. Memiliki kekayaan bersama;

e. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan dan berdsarkan

lingkungan daerah;

f. Hidup secara komunal dan gotong royong.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengatur pengakuan keberadaan Masyarakat

Hukum Adat, dalam Pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa masyarakat hukum adat

sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :

a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari

masyarakat adat yang bersangkutan;

b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Masyarakat hukum adat diakui keberadaaanya jika menurut kenyataannya memenuhi

unsur, antara lain :

a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

b. Terdapat kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

23

Page 24: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Masyarakat hukum adat diartikan sebagai masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu

wilayah yang mempunyai kelembagaan penguasa adat dan pranata hak-hak tradisional

yang ditaati dan dipertahankan secara turun temurun. Pengakuan terhadap hak

masyarakat hukum adapt merupakan amanat Konstitusi. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945

menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur

dalam undang-undang”.

Hutan adat tidak selalu berada dalam kawasan hutan negara, melainkan juga juga

dimungkinkan berada di dalam hutan hak yang dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh

masyarakat hukum adat.

Apabila hutan adat berada di dalam hutan negara maka pengelolaan hutan negara yang

telah ditetapkan sebagai hutan adat diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat hukum

adat yang dikukuhkan melalui peraturan daerah.

Jika pranata adat tidak memungkinkan lagi mengelola hutan adat secara lestari, maka

masyarakat hukum adat dapat mengajukan permohonan pembinaan teknis kepada

Pemerintah melalui Pemerintah Daerah, mengembalikan hak pengelolaan hutan adat

kepada Pemerintah melalui Pemerintah Daerah, atau hak pengelolaan hutan adat ditarik

kembali oleh Pemerintah melalui Pemerintah Daerah.

Menurut rumusan Ter Haar masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang

teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai

kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupaun tidak terlihat, dimana para

anggota kesatuan masingmasing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal

yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu

mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh

itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-

lamanya.

Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan berdasarkan statusnya

terdiri dari : hutan negara dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Hutan

adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang

24

Page 25: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Masyarakat hukum adat sepanjang

menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari

masyarakat adat yang bersangkutan;

b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Van Vollenhoven, jauh sebelum

kemerdekaan di wilayah nusantara terdapat 19 wilayah hokum adat, yaitu daerah (1)

Aceh, (2) Gayo, Alas, Batak dan Nias, (3) Minangkabau, Mentawai, (4) Sumatera

Selatan, Enggano, (5) Melayu, (6) Bangka, Belitung, (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9)

Gorontalo, (10) Toraja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku,

(14) Irian Barat, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali, Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa

Timur, Madura, (18) Solo, Yogyakarta, (19) Jawa Barat, Jakarta.

Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi

unsur antara lain:

a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;

dan

e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Apabila di suatu wilayah terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam

kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan Hak Pengusahaan Hutan/Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), maka terhadap permohonan atau

tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh

masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait

serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah

25

Page 26: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan.

Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat

sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999.

Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya diserahkan

kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) setempat, Bupati/Walikota

melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan

memuat letak, luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan

dengan rekomendasi Gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya

masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada (de facto) dan diakui

keberadaannya (de yure).

Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar

masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.

Peraturan Daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan

kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat.

Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan

hutan adat. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat

menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang bersangkutan.

Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat

terhadap para pemegang HPH/IUPHHK yang melakukan kegiatan/operasi di wilayah

masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus berbentuk

uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau keterlibatan dalam usaha

pemanfaatan hutan disekitarnya atau pembangunan fasilitas umum/sosial yang

bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan dalam batas kewajaran/tidak

berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat.

Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat

terhadap para pemegang HPH/IUPHHK, Gubernur atau Bupati/Walikota dapat

memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian dengan cara

musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu, maka penyelesaiannya

26

Page 27: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

disarankan dilakukan melalui proses pengadilan dengan mengajukan gugatan secara

perdata melalui Peradilan Umum.

Pemerintah Daerah mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau

hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah. Dalam pengelolaan hak ulayat

masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas

tanah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewenangan pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan

warga masyarakat hukum adat atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak

berlaku terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah

Khusus ini sudah dipunyai oleh perorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas

tanah sesuai dengan peraturan perundangun.

Pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat

hukum adat atas tanah berkewajiban melepaskan tanah tersebut yang diperlukan

Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti

kerugian atas faktor fisik dan ganti kerugian atas faktor nonfisik berdasarkan hasil

musyawarah dan peraturan perundang-undangan. Kerugian atas faktor fisik, meliputi :

a. Kehilangan tanah (tanah pertanian, akses ke hutan serta sumber daya alam lainnya,

hilangnya hak memanfaatkan sumber daya alam); dan atau

b. Kehilangan bangunan (rumah dan bangunan fisik lainnya); dan atau

c. kehilangan pusat kehidupan dan pusat budaya masyarakat (tempat-tempat religius,

tempat ibadah, pemakaman).

Ganti kerugian atas faktor fisik diberikan dalam bentuk : uang, tanah pengganti,

permukiman kembali, dana abadi, penyertaan saham, atau bentuk lain yang disepakati

bersama.

Kerugian atas faktor nonfisik meliputi kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan

karena ketergantungan pada tanah beserta segala isinya. Ganti kerugian atas faktor

nonfisik dapat berupa usaha pengganti, penyediaan lapangan kerja, bantuan kredit, dan

bentuk lain yang disepakati bersama.

27

Page 28: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Penentuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga

masyarakat hukum adat atas tanah di suatu daerah harus didahului oleh suatu kegiatan

penelitian yang cermat dengan metodologi penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan,

oleh suatu panitia peneliti yang dibentuk oleh Bupati / Walikota dengan Keputusan

Bupati / Walikota, kecuali bila lintas kabupaten /kota.

Kriteria adanya suatu wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak

perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah tertentu maksudnya bahwa hak

ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat

atas tanah tersebut mempunyai batas-batas yang jelas dan tidak bertentangan dengan

batas-batas hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga

masyarakat hukum adat atas tanah lainnya yang berbatasan.

Kewenangan mengelola hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan

warga masyarakat hukum adat atas tanah tidak berlaku bagi tanah-tanah yang sudah

dikuasai oleh instansi pemerintah atau badan hukum atau perseorangan dengan sesuatu

hak atas tanah sesuai ketentuan Undang-undang.

Pengelolaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat dimaksudkan agar warga

masyarakat hukum adat tersebut dapat memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan yang

makin tinggi. Oleh karena itu penguasa adat yang berwenang melaksanakan pengelolaan

hak ulayat berkewajiban untuk memanfaatkan hak ulayat untuk kesejahteraan warganya

melalui usaha bersama para warganya atau bekerjasama dengan pihak lain. Apabila untuk

keperluan kepentingan umum diperlukan pelepasan hak ulayat masyarakat hukum adat

dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah maka masyarakat

pemegang hak ulayat dan atau perorangan warga masyarakat hukum adat wajib untuk

melepaskan tanah ulayat yang diperlukan dengan pemberian ganti kerugian atas faktor

fisik dang anti kerugian factor nonfisik yang wajar sesuai kesepakatan antara Pemerintah

dengan masyarakat hukum adat dan atau perorangan warga masyarakat hukum adat

dengan memperhatikan kemampuan keuangan Pemerintah.

Dengan pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga

masyarakat hukum adat atas tanah, masyarakat hukum adat dan atau perorangan warga

masyarakat hukum adat yang bersangkutan wajib mematuhi ketentuan peraturan

28

Page 29: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

perundang-undangan yang berlaku. Misalnya kalau sebagian dari wilayah hak ulayat

masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas

tanah itu termasuk kawasan hutan lindung atau suaka margasatwa atau kawasan lindung

lainnya, maka masyarakat hukum adat dan atau perorangan warga masuarakat hukum

adat yang bersangkutan harus mencegah kerusakannya dan tidak diperkenankan untuk

diberikan kepada warganya atau kepada pihak luar untuk kepentingan usaha budidaya.

Mengingat air merupakan kebutuhan mutlak manusia dan makhluk hidup lainnya, maka

tidak dibenarkan suatu masyarakat hukum adat dan atau perorangan warga masyarakat

hukum adat tertentu untuk menghalang-halangi penggunaan air yang bersumber atau

mengalir dalam hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga

masyarakat hukum adat atas tanahnya oleh masyarakat umum atau untuk dikelola oleh

Pemerintah Daerah dalam upaya memenuhi kebutuhan air bagi berbagai keperluan

masyarakat secara menyeluruh.

Wewenang pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga

masyarakat hukum adat atas tanah adalah :

a. Melaksanakan pengelolaan tanah sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam

masyarakat hukum adat yang bersangkutan;

b. Melakukan musyawarah dengan pihak ketiga diluar warga masyarakat hukum adat

yang memerlukan tanah untuk berbagai kepentingan;

c. Menyerahkan sebagian atau seluruh hak ulayat kepada warga untuk dikuasai oleh

masing-masing warga sebagai hak perorangan,

Kewajiban pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga

masyarakat hukum adat atas tanah adalah :

a. Meningkatkan kesejahteraan dengan pemanfaatan tanah secara optimal;

b. Melepaskan tanah yang diperlukan Pemerintah/Pemerintah Provinsi/Pemerintah

Kabupaten/Kota untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti kerugian atas

faktor fisik dan ganti kerugian faktor nonfisik berdasarkan hasil musyawarah dan

peraturan perundangundangan;

c. Menjaga kelestarian tanah,

29

Page 30: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Menurut Maria Sumardjono (1999), kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat

dihubungkan dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah:

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek

hak ulayat,

b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup)

yang merupakan obyek hak ulayat;

c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan

tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-

perbuatan hukum.

Bila persyaratan tersebut di atas dipenuhi secara kumulatif, maka hal itu merupakan

petunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan masyarakat adat

tersebut masih ada. Dapat dipertegas kembali mengenai kriteria Masyarakat Adat

sebagai Subjek Hukum, Objek Hukum dan Wewenang Masyarakat Adat sebagai-berikut:

Subyek hak masyarakat atas wilayah adatnya (hak ulayat) dalam per Undang-undangan

nasional yang digunakan adalah masyarakat hokum adat. Masyarakat hukum adat di

Indonesia merupakan masyarakat atas kesamaan teritorial (wilayah), Genealogis

(keturunan), dan teritorialgenealogis (wilayah dan keturunan), sehingga terdapat

keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lainnya (Ter Haar, 1939

dalam Abdurahman & Wentzel, 1997; Sutanto-Sunario,1999; Titahelu 1998).

Obyek hak masyarakat atas wilayah adatnya (hak ulayat) adalah tanah, air, tumbuh-

tumbuhan, dan binatang, sedangkan dalam Undang-undang Braja Nanti Kerajaan Kutai

Kartanegara secara jelas dikatakan termasuk mineral sebagai hak adat. Wilayah

mempunyai batas-batas yang jelas baik secara faktual (batas alam atau tanda-tanda di

lapangan) maupun simbolis (bunyi gong yang masih terdengar). Mengatur dan

menetukan hubungan dapat terlihat dengan mudah apakah transaksi-transaksi mengenai

mengenai tanah dilakukan oleh aturan dan kelembagaan adat (Mahadi 1991 dalam

Abdurahman & Wentzel 1997).

Wewenang Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Hutan yang dimaksud

umumnya mencakup;

30

Page 31: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

1) Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok

tanam, dll), persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru dll), dan

pemeliharaan tanah.

2) Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan

hak tertentu kepada subyek tertentu)

3) Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dll).

Wewenang masyarakat adat tidak sekedar atas obyek tanah, tetapi juga atas obyek-obyek

sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah (pepohonan, binatang,

bebatuan yang memiliki makna ekonomis); di dalam tanah bahan-bahan galian), dan juga

sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah

yang berada didalamnya.

4.2 Implementasi Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Atas Hutan

Di dalam Undang-undang Kehutanan Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa semua hutan

dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya, dikuasai oleh Negara. Di dalam ayat (2) hak menguasai dari negara yang

tersebut pada ayat (1) diatur dengan memberi wewenang kepada negara untuk: a.

menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan

sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara; dan b.

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum

dengan hutan, dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang ini, Pemerintah dapat mengatur pemberian hak-

hak atas hutan kepada subyek hukum, apakah perorangan atau badan hukum. Sesuai

dengan semangat baru di era reformasi sekarang ini, sedang disusun konsep baru dalam

pembangunan kehutanan, yang lebih berpihak dan memberi peluang kepada masyarakat

setempat, yang berada di dalam dan sekitar hutan, baik yang merupakan masyarakat

hukum adat ataupun masyarakat lokal lainnya. Konsep baru ini, dimaksudkan untuk

memadukan kepentingan masyarakat setempat yang berada di dalam dan disekitar hutan,

dengan kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sebagai konsekuensi

31

Page 32: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

adanya negara kesatuan Republik Indonesia. Kemakmuran yang dicitacitakan ialah

kemakmuran seluruh rakyat dan masyarakat Indonesia, dengan menggunakan dan

memanfaatkan salah satu modal dasar pembangunan yaitu “hutan”.

Terkait dengan masalah hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan, maka perlu di

perjelas mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Kawasan hutan yang merupakan wilayah hak ulayat (hutan adat) mempunyai fungsi

komunal.

2. Pengelolaan hutan adat harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Kawasan hutan adat tidak dapat dipecahkan dan dimiliki perorangan.

4. Pengelolaan hutan di serahkan kepada masyarakat hukum adat masing-masing.

5. Pengelolaan hutan adat tidak diperkenankan melakukan perikatan masalah kawasan

hutan kepada pihak manapun tanpa persetujuan pemerintah.

6. Hak-hak yang dimiliki masyarakat hutan adat sebagaimana diatur dalam pasal 67 ayat

(1) adalah sebagai berikut:

a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-

hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan undang-undang;

c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka kesejahteraannya.

d. Pola-pola pemberdayaan partisipatif merupakan pilihan yang ideal untuk

masyarakat hukum adat.

Adapun kewajiban dari masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan adat selain

didasarkan pada ketentuan adatnya, perlu diatur juga dalam peraturan pelaksanaan

tentang pengelolaan hutan adat mengenai : Kewajiban untuk pelestarian, pengelolaan

kawasan hutan, kewajiban pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi yang

berada di kawasan hutan adat, kewajiban untuk perlindungan kawasan dari gangguan

manusia dan ancaman lain.

32

Page 33: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Atas dasar hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut dan dengan dituangkannya dalam

peraturan perundang-undangan, maka diharapkan pengelolaan hutan adat yang dilakukan

oleh masyarakat hukum adat dapat berjalan dengan baik, dan kawasan hutan dapat

dimanfaatkan secara lestari.

Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk

paguyuban (rehtsgemeenschap), ada kelembagaan adat, ada wilayah hukum, ada pranata

dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, masih mengadakan pemungutan hasil

hutan diwilayah hutan sekitarnya, yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan

Daerah.

Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat

yang dahulu disebut hutan ulayat atau hutan marga atau hutan pertuanan atau yang

sejenis itu.

Kriteria Hutan Adat

Hutan adat dari masyarakat hukum adat atas tanah dan hak-hak yang serupa itu dari

masyarakat hukum adat, yang masih berlangsung, diakui, dihormati dan dilindungi

keberadaannya. Hutan adat tidak meliputi kawasan hutan yang telah dibebani hak/izin

dan kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan

Khusus.

Hutan dapat ditetapkan sebagai Hutan adat apabila dipenuhi kriteria : pertama terdapat

masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak komunal tradisional atas hutan scara turun

temurun; kedua ada pemimpin adat yang melaksanakan ketentuan-ketentuan hak tersebut;

ketiga apa yang dilaksanakan menyangkut hutan, ditetapkan dan diperintahkan pemimpin

adat, masih ditaati oleh warga masyarakat yang bersangkutan; keempat terdapat

kesadaran bahwa hutan komunal tradisional adalah hutan bersama, bukan milik

perorangan, sehingga harus dipelihara dan dipertahankan secara bersama-sama; kelima

setiap pemanfaatan hutan harus dengan musyawarah; keenam semua orang yang tidak

termasuk dalam warga masyarakat adat tidak berhak atas hutan adat, jika mereka akan

33

Page 34: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

ikut serta maka mereka perlu mengikuti prosedur yang berlaku, misalnya melalui

perkawinan atau mengabdi.

Pelaksanaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat harus memperhatikan : pertama

prinsip-prinsip persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia; kedua pembangunan nasional; ketiga pengakuan, penghormatan dan

perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan; keempat

fungsi sosial, ekosistem lingkungan setempat; kelima unifikasi hukum; keenam

perencanaan peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dan ketujuh penghormatan

dan perlindungan pada hak asasi manusia.

Pengukuhan dan Hapusnya Masyarakat Hukum Adat

Pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat didasarkan atas hasil penelitian tentang

keberadaan masyarakat hukum adat setempat. Penelitian dapat diajukan oleh pakar

hukum adat, masyarakat adat yang ada di daerah setempat, aspirasi masyarakat setempat,

Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM), instansi atau pihak lain yang terkait disampaikan

kepada Bupati/Walikota apabila berada dalam satu wilayah Kabupaten/Kota atau

Gubernur apabila berada dalam lintas wilayah Kabupaten/Kota.

Wilayah hukum adat meliputin pertama suatu wilayah tertentu yang berdasarkan sejarah

keturunan dan hubungan kerabat yang menguasai kawasan dan sumber daya alam

sekitarnya; kedua kawasan yang merupakan sumber mata pencaharian; ketiga batas

wilayah yang yuridiksinya dihormati dan diakui oleh sesama masyarakat hukum adat.

Sedangkan pranata, perangkat hukum dan peradilan adat yang masih ditaati meliputi :

pertama adanya sistem nilai, pranata, norma yang mengatur berbagai aspek atau sendi

kehidupan warga masyarakat adat; kedua adanya penegakan hukum dan sanksi hukuman

adat; ketiga adanya proses yang terorganisir dalam pengambilan keputusan adat; keempat

adanya tokoh-tokoh adat yang diakui otoritasnya sebagai perangkat adat; kelima adanya

ketaatan dan kepatuhan pada hukum adat.

Kegiatan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat di wilayah hutan berupa

pertama pemungutan hasil hutan atau pola pemanfaatan hutan secara lestari untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; kedua adanya ketergantungan kehidupan

34

Page 35: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

masyarakat terhadap sumber daya hutan; ketiga adanya keterikatan sistem sosial dan

budaya terhadap sumber daya hutan; keempat potensi sumber daya hutan masih

memungkinkan untuk memenuhi sumber kehidupan komunitas masyarakat hukum adat.

4.3 Pengertian dan Kriteria Keberadaan Hak Ulayat

Hak ulayat merupakan hak kepemilikan bersama/komunal dari masyarkat hukum adat

yang dikelola secara gotong royong dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan

bersama oleh para warga masing-masing. Pasal 3 UU Nomor 5 tahun 1960 (UUPA)

mengatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat itu tidak boleh bertentangan dengan undang-

undang. Karena itu, tidak dapat dibenarkan apabila hak ulayat suatu masyarakat hukum

adat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah,

misalnya menolak dibukanya

hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan

transmigrasi dan lain sebagainya. Demikian pula, tidak dapat dibenarkan apabila hak

ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan

secara sewenang-wenang. Apabila hal ini dibiarkan akan ada negara dalam negara,

(penjelasan umum II angka 3 UUPA).

Apa yang dipaparkan dalam Undang-Undang Kehutanan mengenai hak ulayat dan hak-

hak perorangan sama dan sesua dengan apa yang terdapat dalam UUPA yang pada

dasarnya memberikan pengakuan hak ulayat dengan syarat keberadaan (eksistensi) hak

tersebut menurut kenyataannya masih ada. Dalam hal ini, pelaksanaan hak layat itupun

harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-

undang dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi (penjelasan umum II angka 3

UUPA).

Bagaimanakah cara untuk menemukenali keberadaan hak ulayat? Van Vollenhoven

menyebutkan sejumlah ciri atau tanda-tanda hak ulayat sebagai berikut (Riyanto,

2004a:4):

a. Persekutuan hukum dan anggota-anggotanya berhak dengan bebas menggunakan

dan mengenyam kenikmatan menggarap tanah dalam wilayah persekutuan hukum

tersebut.

35

Page 36: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

b. Orang yang bukan anggota persekutuan hukm harus mendapat izin terlebih dahuklu

dari kepala persekutuan dengan membayar ganti kerugian.

c. Dalam menggunakan tanah, anggota persekutuan hukum tidak membayar, tetapi

bagi orang luar (asing) harus membayar uang pemasukan (recognitie/contributie).

d. Persetukan hukum bertanggung jawab atas kejahatan (pembunuhan) dalam wilayah

persekutuan hukumnya apabila sipelaku tidak bisa digugat atau tidak dikenal.

e. Persekutuan tidak boleh memindahtangankan (mejual, memberi) untuk selama-

lamanya kepada siapapun juga kecuali dalam hal-hal tertentu dan sangat khusus.

f. Persekutuan hukum tetap mempunyai hak campur tangan atas hak individu.

Soedijat (dalam Riyanto, 2004a: 5) berpendapat bahwa hak ulayat tersebut sangat jelas

terlihat di luar Jawa, Ciri-cirinya adalah :

a. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan

bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaanya.

b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan

tersebut ; tanpa izin itu ia dianggap melakukan pelanggaran

Keberadaan tanah ulayat di wilayah ini diketahui dengan adanya ciri-ciri :

a. Setiap warga masyarakat hukum gampong atau mukim dapat membuka tanah baru

dan menunggu hasilnya di wilayah mukimnya.

b. Batas-batas hak mukim ini jelas, yaitu bila berbatasan langsung dengan mukim yang

lain.

c. Adanya tanah, hutan, maupun perairan yang tetap dipertahankan sebagai milik

umum masyarakat hukum adat.

Dalam hubungan dengan keberadaan hak ulayat, perlu diperhatikan adanya kriteria

penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, seperti yang dikemukakan oleh Maria

Sumardjono,3) sebagai berikut:

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek

hak ulayat;

b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang

merupakan obyek hak ulayat;

36

Page 37: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan

tertentu, yaitu:

1) Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman,

bercocok tanam dan lain-lain), persediaan (pembuatan pemukiman/ persawahan

baru dan lain-lain), dan pemeliharaan tanah;

2) Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah

(memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu);

3) Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan, dan lain-

lain).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka diaturnya hutan yang dikuasai oleh Masyarakat

Hukum Adat tersebut ke dalam pengertian Hutan Negara tidaklah meniadakan hak-hak

masyarakat hukum adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya, untuk

mendapatkan manfaat dari hutan-hutan itu, sepanjang hak-hak itu menurut kenyataanya

memang masih ada. Pelaksanaannya pun harus sedemikian rupa, sehingga tidak

mengganggu tercapainya tujuan yang dicantumkan dalam undang-undang kehutanan dan

pengaturan pelaksanaannya,

37

Page 38: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

BAB 5. ANALISIS KONTRIBUSI IUPPHK TERHADAP HAK ULAYAT

Beberapa tahun terakhir ini masyarakat Hukum Adat mulai bangkit lagi untuk

membangun kepercayaan diri dan bahkan telah beberapa kali dapat menyelesaikan

konflik yang sedang mereka hadapi, termasuk juga menyelesaikan konflik penguasaan

sumber daya alam dengan pihak lain seperti negara atau swasta, dengan menggunakan

mekanisme yang mereka selama ini punyai. Namun demikian Masyarakat Hukum Adat

menghendaki adanya kepastian kelola kawasan/areal sebagai tempat hidup masyarakat

hukumnya, sehingga tidak menimbulkan keresahan dan adanya kepastian hukum.

Beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan masyarakat

hukum adat dapat dibagi menjadi 3 materi konflik yang perlu lebih dalam dikaji yaitu :

a. Konflik kewenangan atas ruang

Selama beberapa dekade ini telah terjadi pemanfaatan kawasan oleh pelaku ekonomi

sebagai pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang berakibat terkuranginya teritori

masyarakat hukum adat. Misalnya adanya perizinan dibidang pemanfaatan kayu,

perkebunan, hutan tanaman industri dan lain sebagainya.

b. Konflik atas keberadaan masyarakat hukum adat

Keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki sistem pengaturan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu

sendiri dengan kesepakatan masyarakat sekitarnya. Masyarakat hukum adat tersebut

memiliki tata hukum serta nilai sendiri yang berlaku di dalam batas wilayah adatnya

sehingga dikatakan otonom. Intervensi yang berlebihan dari pihak luar (pemerintah)

dapat merusak bentuk pengaturan tentang kewenangan dari masyarakat hukum adat

yang telah berjalan dan berakibat runtuhnya sistem dan pola pengelolaan yang

dimiliki. Ini sering terjadi dengan penetapan-penetapan pemerintah yang melakukan

intervensi terlalu jauh terhadap suatu sistem yang sudah cukup mandiri. Sehingga

penilaian keberadaan masyarakat hukum adat oleh pihak luar yang tidak mengerti

38

Page 39: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

tentang bentuk pengaturan yang ada dikawatirkan menggangu tatanan yang telah

terbentuk sekian lama.

c. Konflik atas pola pengelolaan sumber daya alam

Konflik atas pola pengelolaan yang ada pada masyarakat hukum adat sering terjadi

dengan memisahkan suatu pola pengelolaan dari sistemnya. Contoh pola pengelolaan

yang jelas adalah perladangan gilir balik yang hanya melihat ladang yang sedang

dikerjakan saja tanpa melihat lahan beranya, dan pola-pola lain di dalam sistem

pengelolaan sumber daya alam. Perladangan gilir balik harus dapat dilihat sebagai

suatu sistem yang menyatu dengan pola sawah yang ada di beberapa bagian

kampung, hutan tutupan, kebun wanatani, sungai hutan tempat berburu bahkan

tempat-tempat keramat.

Sekitar 25 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan perlu

ditingkatkan harkat kehidupan sosial ekonominya ke tingkat yang layak. Di Propinsi

Irian Jaya Barat yang merupakan Propinsi termuda di Indonesia memiliki rumah tangga

miskin sebanyak 128.156 atau 75% dari 170.049 rumah tangga (BPS. 2006). Umumnya

mereka berada di desa-desa tertinggal di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan kondisi

tersebut maka pembangunan kehutanan berkelanjutan yang merupakan upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat desa seharusnya mendapat prioritas yang tinggi.

Sebagai upaya untuk mendorong dan mendukung program nasional pengentasan

kemiskinan, pembangunan kehutanan menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai

salah satu sasaran utama. Pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah mengeluarkan

kewajiban pemberdayaan masyarakat sekitar hutan kepada pemegang hak pengusahaan

hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang pada awalnya melalui Hak

Pengusahaan Hutan Bina Desa melalui SK Menhut No. 671/Kpts-II/1991 selanjutnya

program tersebut diganti dengan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) melalui

SK Menhut 523/Kpts-II/1997.

Namun demikian sejak tahun 2000 upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan,

termasuk di Papua, tidak saja dilakukan dengan pola PMDH tetapi juga menggunakan

pola kompensasi hak berdasarkan SK Gubernur Papua No 51 Tahun 2001 dan sejak

Tahun 2004 biaya kompensasi mengacu pada SK Gubernur No.184 Tahun 2004.

39

Page 40: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Tahun 2005, pelaku ekonomi (HPH/HTI) tidak lagi dibebani dengan PMDH sesuai

dengan Keputusan Menteri No. 4795/Kpts-II/2002 tentang pencabutan SK No. 523/Kpts-

II/1997. Selanjutnya pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pada HPH dan HTI

mengacu pada Kepmen 177/Kpts-II/2003 tentang kriteria dan indikator usaha

pengelolaan hutan secara lestari pada unit manajemen usaha pemanfaatan hutan tanaman.

Keluarnya Kepmen tersebut membawa dampak pada pelaksanaan pemberdayaan

masyarakat sekitar hutan di termasuk di Papua yang semakin tidak jelas. Sebagian

IUPHHK masih menjalankan pola PMDH bersamaan dengan pelaksanaan dana

kompensasi dan ada pula yang hanya menjalankan dana kompensasi. Kondisi ini

meyebabkan semakin tidak jelasnya makna kehadiran IUPHHK bagi kesejahteraan

masyarakat sekitar hutan.

5.1. Karakteristik Masyarakat Sekitar Hutan di Papua

a. Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di wilayah Papua sebagian besar didominasi oleh petani

peramu, nelayan dan buruh pada perusahaan (Tabel 5.1). Sehingga sumber pendapatan

penduduk dapat dikelompokkan menjadi unsur meramu hasil hutan (menangkap ikan,

menokok sagu, berburu, mengumpulkan masoi, rotan dll), pertanian (menanam umbi-

umbian, pisang, jagung, sayuran, pinang, kakao, kelapa), jasa perdagangan (membuka

kios) dan terlibat dalam kegiatan kehutanan (tenaga kerja pada perusahaan/hutan rakyat).

Distribusi jenis mata pencaharian disajikan pada Tabel berikut:

Table 5.1. Distribusi Jenis Mata Pencaharian

40

Page 41: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Pada umumnya penduduk melakukan aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan tiap

bulannya. Kondisi ini ditunjukkan adanya penduduk yang mempunyai tabungan untuk

keberlanjutan kehidupannya. Namun demikian untuk mengatasi kebutuhan uang yang

mendesak penduduk pada umumnya melakukan kegiatan berternak (antara lain babi,

kambing, ayam) yang dapat dijual jika sewaktu-waktu membutuhkan uang. Oleh karena

itu semakin banyak hewan ternak maka, keluarga tersebut dianggap mampu dari segi

materi.

Coklatdan kopra juga menjadi salah satu komoditi yang dihasilkan di Papua. Dengan

komoditi coklat dan kopra penduduk memiliki penghasilan yang cukup tinggi, bahkan

sudah mampu menyekolahkan anak di kota Propinsi Papua. Sumber pengeluaran terbesar

pada setiap kabupaten umumnya terdapat pada barang konsumsi (primer) seperti barang-

barang kebutuhan keluarga sehari-hari (pakaian, minyak tanah, minyak goreng, bumbu)

dan kebutuhan dirinya seperti minyak rambut, sabun mandi, sabun cuci, rokok, bedak,

sampo. Hanya penduduk di Kabupaten Fakfak, Raja Ampat dan Sarmi yang sudah

mampu membeli barang besar yaitu barang-barang sekunder dan tersier seperti TV,

Parabola, Radio. Distribusi jenis pengeluaran masyarakat disajikan pada Tabel 5.2.

Table 5.2. Distribusi Jenis Pengeluaran

41

Page 42: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

b. Kebudayaan

Kebudayaan merupakan bagian dari perilaku masyarakat itu sendiri. Dalam kehidupan

bermasyarakat sebagian penduduk masih melakukan ritual adat sebagai bukti masih

kuatnya pengaruh adat pada wilayah tersebut khususnya dalam mengatur penggunaan

lahan hutan. Ritual adat yang masih dilakukan secara tidak langsung mempengaruhi

pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di wilayah IUPHHK khususnya dalam merubah

pola pikir yang tradisional menjadi mandiri. Tabel 5.3 menunjukkan ritual adat yang

masih di lakukan di masing-masing lokasi contoh di Papua.

Tabel 5.3. Jenis Upacara Adat yang masih dilakukan

Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa ritual adat pada saat kelahiran sudah sangat jarang di

lakukan, hal ini dipengaruhi peradaban agama yang sudah cukup berkembang di wilayah

tersebut. Namun pada suku Kuri yang berada pada kampung Wagura distrik Sarbe

kabupaten Teluk Bintuni masih melakukan ritual adat yang lama dengan menempatkan

sang ibu yang akan melahirkan di sebuah gubuk tersendiri jauh dari rumah induk.

Sampai sang anak berumur kurang lebih 3 bulan sang ibu dan bayi melalui pesta adat

dapat dibawa kembali ke rumah. Ritual ini masih dilakukan hingga sekarang, hal ini

didasarkan pada pemikiran bahwa Yesus sang juru selamat lahir di kandang domba,

bukan di dalam sebuah rumah yang megah. Sehingga penduduk yakin bahwa bayi yang

baru lahir dan suci selayaknya berada pada tempat yang serupa dengan tempat kelahiran

Yesus.

42

Page 43: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Ritual kematian masih dilakukan pada suku Kuri, Suku Bugu, suku Dani. Ritual tersebut

masih dilakukan oleh penduduk yang menganut “agama tua” atau agama nenek moyang.

Sedangkan penduduk yang beragama nasrani dan mengenal gereja sudah tidak lagi

melakukannya. Ritual kematian tersebut berbeda-beda, jika penduduk Suku Kuri

meninggal maka jenazah dapat dikuburkan langsung, namun setelah 3- 5 tahun kuburan

tersebut dibongkar untuk diambil tengkorak kepala. Melalui prosesi adat tengkorak

tersebut diletakkan di goa yang terletak di bukit-bukit batu untuk kemudian dijadikan

tempat bersemayamnya arwah-arwah. Tempat tersebut selanjutnya dikenal dengan

tempat keramat. Suku Bugu di pedalaman Sarmi masih melakukan prosesi bayar kepala,

dimana jika kepala keluarga penduduk suku Bugu meningggal dunia maka sang istri

tidak boleh memotong rambutnya sampai dia mampu membayar sejumlah uang yang

diminta oleh keluarga suami sebagai uang kepala. Jika dalam memenuhi jumlah uang

yang diminta sang istri tidak mampu maka, saudara kandung sang istri harus mampu

membayar lunas sejumlah uang tersebut.

Berbeda dengan suku yang lain, suku Dani melakukan ritual kematian dengan melakukan

pemotongan jari. Jika dalam satu keluarga ada yang meninggal, maka sebagai tanda

berduka sang istri harus memotong jarinya dan melumuri dirinya dengan arang selama 40

sampai 100 hari kematian. Dalam pembukaan areal hutan untuk pemanfaatan komersil

dan berskala besar maka, masih dilakukan riual adat dalam bentuk sesajen dan

pengucapan syukur. Ritual ini dilakukan dengan menyembelih ternak babi/kambing dan

mengubur kepala ternak tersebut pada areal yang akan dimanfaatkan. Kegiatan ini

dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap arwah nenek moyang, agar tidak terjadi

hal-hal yang tidak diinginkan berupa kemurkaan arwah-arwah nenek moyang selama

kegiatan berlangsung.

5.2. Kemitraan Masyarakat Lokal dan IUPHHK

Pengusahaan hutan adalah suatu kegiatan yang kompleks yang membutuhkan investasi

besar dan pengetahuan akan teknologi yang tepat serta akses terhadap jaringan dan pasar.

Kebijakan dan peraturan kehutanan sudah sangat banyak dan beragam, sehingga

memrlukan pendidikan yang relative tinggi untuk dapat memahami nya. Kurangnya

43

Page 44: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

informasi mengenai kebijakan lemahnya kondisi ginansial dan rendahnya kemampuan

dalam bidang teknis dan dukungan politis memicu masyarakat membentuk kemitraan

dengan IUPHHK.

Hanya IUPHHK yang mempunyai modal kemampuan dan sumberdaya yang cukup untuk

mengelola konsesi di ulayat mereka. Model konsesi yang diperoleh melalui IUPHHK

pada prakteknya juga mendorong terjalinnya kemitraan antara masyarakat lokal dan

IUPHHK baik untuk pengusaha IUPHHK besar atau perusahaan non IUPHHK. IUPHHK

mempunyai sarana dan modal besar yang menjadi kendala bagi masyarakat dalam

mengelola areal konsesi. Tujuan dari pola kemitraan adalah awalnya untuk mendorong

pengembang keterampilan masyarakat lokal melalui partisifasi aktif dalam pengelolaan

hutan dan memberikan akses kepada masyarakat untuk manfaat dari ijin konsesi tersebut.

Peran IUPHHK seharusnya tidak hanya dibatasi kepada penanaman modal untuk

menebang kayu. Masyarakat dan IUPHHK harus menjadi mitra yang sejajar dalam

mengelola hutan ulayat bersama-sama. Pembagian manfaat juga harus adil dan merata

berdasarkan kontribusi masing-masing pihak yaitu penyediaan modal, teknologi dan

keterampilan oleh IUPHHK. IUPHHK juga harus berperan aktif dalam mengembangkan

kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan misalnya dengan

memberikan kesempatan kerja dan pengalaman untuk mengelola konsesi, yang tentunya

sangat berharga bagi anggota masyarakat lokal dalam mengelola hutan ulayat mereka

dikemudian hari.

Namun demikian pada kenyataannya IUPHHK cenderung mengambil keuntungan dari

keterbatasan kapasitas masyarakat dan kemampuan negoisasi mereka yang lemah.

IUPHHK melihat kemitraan lebih sebagai kebutuhan administratif untuk menebang kayu

hutan. Oleh karena itu model kemitraan IUPHHK perlu diperbaharui kembali jika ingin

mencapai tujuan semula, yaitu memberdayakan masyarakat lokal dan memberikan bagian

keuntungan yang lebih adil dari pengelolaan sumberdaya hutan di Papua.

44

Page 45: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

5.3. Kontribusi Kegiatan Pemanfaatan Hutan Bagi Masyarakat

Pemanfaatan hutan di Papua selain dibebani dengan pelaksanaan TPTI yang optimal, juga

memiliki kontribusi kepada masyarakat yang dikenal dengan dana kompensasi hak ulayat

serta dana Pemberdayaan Masyarakat sekitar hutan (PMDH). Pelaksanaan Dana

kompensasi hak ulayat berdasarkan SK Gubernur telah dilakukan sejak tahun 2001.

Mengacu pada SK Gubernur Papua No 50 tahun 2001, besar kompensasi hak ulayat atas

kayu yang dipungut pada arel hak ulayat di propinsi Papua untuk jenis merbau

Rp. 25.000/m dan jenis kayu campuran Rp.10.000/m . Sejak tahun 2004, pelaksanaan

dana kompensasi mengacu pada SK Gubernur Papua No. 184 tahun 2004, dimana jenis

kayu merbau Rp. 50.000/m dan kayu campuran Rp. 10.000/m .

Dana kompensasi ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan hutan sebagai

pengganti menurunnya kualitas hutan dan hilangnya akses dengan hutan sebagai

lapangan kerja, sebagai dampak eksploitasi kegiatan pengusahaan hutan. Pembayaran

biaya kompensasi dilakukan di blok tebangan/base camp dalam bentuk uang tunai dan

disaksikan oleh MUSPIKA serta instansi terkait. Adapun pelaksanaan PMDH mengacu

pada SK 523/Kpts-II/1997 dengan satuan biaya Rp. 1000/m yang di hitung berdasarkan

hasil tebangan 2 (dua) tahun sebelumnya. Tabel berikut merupakan nilai rupiah yang

telah di serahkan HPH sebagai dana kompensasi dan PMDH selama 5 tahun terakhir

(2000-2005). Adapun Perkembangan pembayaran hak ulayat dari tahun 2004-2008 di

masing-masing Kabupaten wilayah Propinsi Papua untuk setiap IUPHHK secara detil

disajikan pada Tabel 5.4. Sedangkan rekapitulasi pembayaran dan nilai hak ulayat

masing-masing disajikan pada Tabel 5.5. dan 5.6.

45

Page 46: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Tabel 5.4 Perkembangan Pembayaran Hak Ulayat Beberapa IUPHHK di Propinsi Papua

No Kabupaten / Perusahaan

PERKEMBANGAN PEMBAYARAN HAK ULAYAT

KetTahun 2004

Tahun2005

Tahun2006

Tahun2007

Tahun2008 Total

Rp Rp Rp Rp Rp RpA. ASMAT              1 PT. RIMBA MEGAH LESTARI             Aktif2 PT. KAYU PUSAKA BUMI

MAKMUR            Stagnasi 2002

JUMLAH A -

-

- -

- -

 

B. BOVENDIGUL              1 PT. BADE MAKMUR ORISSA             Aktif2 PT. TUNAS SAWAERMA             Aktif3 PT. DIGUL DAYA SAKTI 1             Belum operasi4 PT. DIGUL DAYA SAKTI 2             Stagnasi 20025 PT. DARMALI MAHKOTA

TIMBER            Stagnasi 2002

6 PT. TUNGGAL YUDHI Unit II             Stagnasi 2002 JUMLAH B

- -

- -

- -

 

C. KEEROM              1 PT. HANURATA UNIT

JAYAPURA      1354091400

866,534,400 2,220,625,800 Aktif

2 PT. RISANA INDAH FOREST INDUSTRIES

            Stagnasi 2005

3 PT. TUNGGAK YHUDI UNIT I             Stagnasi 20034 PT. BATASAN             Stagnasi 2002                  JUMLAH C

- -

- 1,354,091,400.00

866,534,400

2,220,625,800

 

D. MAPPI              

46

Page 47: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

1 PT. DAMAI SETIATAMA TIMBER             Stagnasi 20022 PT. ARTIKA OPTIMA INTI UNIT

IV             Stagnasi 2000

3 PT. WANA TIRTA EDHIE WIBOWO

            Belum Operasi

JUMLAH D -

-

- -

- -

 

E MERAUKE              1 PT. PRABU ALASKA UNIT II             Stagnasi 2001 JUMLAH E

- -

- -

- -

 

F MIMIKA              1 PT. DIADYANI TIMBER           2,246,867,350 Aktif2 PT. ALAS TIRTA KENCANA             Stagnsi 19983 PT. KAMUNDAN RAYA             Stagmnasi

19984 PT. ARTIKA OPTIMA INTI UNIT II             Stagnasi 2005JUMLAH F

- -

- -

- 2,246,867,350

 

G NABIRE              1 PT. JATI DHARMA INDAH    

862,248,200 1,551,853,600

900,954,000

3,315,055,800 Aktif

2 PT. SAURI MOWARI RIMBA I             Belum operasi3 PT. SAURI MOWARI RIMBA II             Belum operasiJUMLAH G

- -

862,248,200

1,551,853,600

900,954,000

3,315,055,800

 

H. SARMI              1 PT. BINA BALANTAK UTAMA    

2,393,785,586 1,952,205,800

  4,345,991,386 Aktif

2 PT. MAMBERAMO ALAS MANDIRI

    1,009,229,800

2,978,983,400

4,024,099,500

8,012,312,700 Aktif

3 PT. MONDIALINDO SETYA PRATAMA

            Aktif

4 PT. SALAKI MANDIRI   1,287,636,240 Aktif

47

Page 48: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

SEJAHTERA 366,138,900 240,692,300 222,952,240 457,852,800 5 PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER

II 

2,155,679,900 1,441,241,400

1,026,771,900

490,448,700

5,114,141,900 Aktif

6 PT. SUMBER MITRA JAYA             Belum beroperasi

7 PT. PAPUA RIMBA LESTARI             Belum beroperasi

JUMLAH H -

2,521,818,800

5,084,949,086

6,180,913,340

4,972,401,000

18,760,082,226

 

I. WAROPEN              1 PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER

III     

68,239,900     Aktif

2 PT. IRMASULINDO UNIT I             Aktif3 PT. PERSADA PAPUA HIJAU             Belum OperasiJUMLAH I

- -

- 68,239,900.00

0 0  

TOTAL -

2,521,818,800

5,947,197,286

9,155,098,240

6,739,889,400

26,542,631,176

 

Sumber : Seksi Pemantauan dan Evaluasi Hutan Produksi

48

Page 49: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Tabel 5.5 Rekapitulasi pembayaran Hak Ulayat oleh IUPHHK

Kabupaten Jumlah IUPHHK

IUPHHK Aktif

IUPHHK yang membayar Hak Ulayat

Asmat 2 1Bovendigul 6 2Keerom 4 1 1Mappi 3Merauke 1Mimika 4 1 1Nabire 3 1 1Sarmi 7 5 4Waropen 3 2 1

Jumlah 33 13 8

Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa dari total IUPHHK yang tersebar di beberapa

kabupaten di Provinsi Papua, hanya terdapat 13 IUPHHK yang aktif (± 39%), dan

dari IUPHHK yang aktif terdapat 8 IUPHHK yang melakukan pembayaran hak ulayat

(±62%). IUPHHK di Kabupaten Asmat dan Bovendigul tidak melakukan

pembayaran hak ulayat, berbeda dengan di Kabupaten Mimika dan Nabire, semua

IUPHHK yang aktif melakukan pembayaran pembayaran hak ulayat. Jumlah

IUPHHK yang paling banyak melakukan pembayaran hak ulayat terdapat di

Kabupaten Sami yaitu sebanyak empat IUPHHK. Banyaknya HPH/IUPHHK yang

membayar hak ulayat untuk setiap tahunnya disajikan pada gambar 5.1. Adapun

besarnya nilai IUPHHK pada masing-masing kabupaten setiap tahunnya disajikan

pada Tabel 5.6

Gambar 5.1 Banyaknya IUPHHK yang membayar hak ulayat setiap tahun

0

1

2

3

4

5

6

7

8

2004 2005 2006 2007 2008

0

2000

4000

6000

8000

10000

Jumlah HPH BayarHU

Hak Ulayat (JutaRp)

49

Page 50: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Tabel 5.6 Rekapitulasi Nilai Pembayaran Hak Ulayat di Propinsi Papua tahhun 2004-2008

Kabupaten Nilai Hak Ulayat (Rp) %

2004 2005 2006 2007 2008 TotalAsmat              Bovendigul              Keerom       1.354.091.400 866.534.400 2.220.625.800 8,3Mappi              Merauke              Mimika         2.246.867.350 2.246.867.350 8,4Nabire     862.248.200 1.551.853.600 900.954.000 3.315.055.800 12,5Sarmi   2.521.818.800 5.084.949.086 6.180.913.340 4.972.401.000 18.760.082.226 70,5Waropen     68.239.900     68.239.900 0,3Jumlah 0 2.521.818.800 6.015.437.186 9.086.858.340 8.986.756.750 2.661.0871.076 100,0

Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa total pembayaran hak ulayat terbanyak dari tahun

2004-2008 dilakukan oleh para IUPHHK di Kabupaten Sarmi yaitu senilai Rp

18.760.082.226 atau sebesar 70,5% dari total pembayaran hak ulayat yang telah

dilakukan selama kurun waktu 2004-2008 di sembilan kabupaten. Adapun rataan

pembayaran hak ulayat per tahun dan per IUPHHK disajikan pada tabel 5.7.

Tabel 5.7 Rekapitulasi Rataan Pembayaran Hak Ulayat di Beberapa Kabupaten di Provinsi Papua

Kabupaten Rataan (Rp/thn) Rataan/IUPHHK Periode PembayaranAsmat     0Bovendigul     0Keerom 1.110.312.900 1.110.312.900 2 xMappi     0Merauke     0Mimika 2.246.867.350 2.246.867.350 1 xNabire 1.105.018.600 1.105.018.600 3 xSarmi 4.690.020.557 1.172.505.139 4 xWaropen 68.239.900 68.239.900 1 x

Jumlah Rataan 6.652.717.769 1.140.588.778

Kontribusi kepada masyarakat diserahkan dalam bentuk kompensasi hak ulayat dan

“aturan ketuk pintu”. Ketuk pintu diklaim sebagai syarat adat oleh masyarakat

setempat, yang mana bila tidak dipenuhi, akan mengakibatkan tidak diijinkannya

perusahaan beroperasi di wilayah dimaksud ataupun kalau dipaksakan akan

menimbulkan kendala-kendala yang lebih besar pada perusahaan di kemudian hari.

Aturan ketuk pintu tidak seragam diterapkan pada seluruh marga, dan belum ada

standar yang baku.

50

Page 51: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Berdasarkan Tabel 5.7 masing-masing IUPHHK rata-rata mengeluarkan dana

pembayaran hak ulayat berkisar Rp. 68.239.900/th – 4.690.020.557/th. Kompensasi

pembayaran hak ulayat tertinggi per tahunnya ditunjukkan di Kabupaten Sarmi, di

mana pembayaran hak ulayat dilakukan sebanyak 4x yaitu mulai tahun 2005-2008.

Distribusi pemanfaatan dana tersebut beragam berdasarkan besar kecilnya rupiah yang

diterima. Masyarakat yang memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan primer

berupa (sandang, pangan dan papan) maupun sekunder, ada juga yang memanfaatkan

untuk kebutuhan primer, sekunder dan tersier (TV,Kendaraan, dan renovasi rumah

serta bersenang-senang). Masyarakat yang mampu mengalokasikan dana untuk

kebutuhan tersier umumnya kepala kampung dan masyarakat yang menerima

kompensasi relatif besar sebagai akibat jumlah produksi kayu tinggi sedangkan jiwa

yang ada dalam satu kampung sangat sedikit.

5.4. Pembagian Manfaat : Pembayaran Tunai untuk IUPHHK

Pada masa rezim order baru, masyarakat lokal tidak mempunyai hak legal terhadap

sumber daya hutan. Areal hutan itu secara resmi digolongkan sebagai kawasan milik

negara yang kemudian lebih banyak dialokasikan kepada pemegang ijin IUPHHK

besar untuk kegiatan eksploitasi kayu, teorinya masyarakat lokal seharusnya

menerima setidaknya sedikit bantuan keuangan dari perusahaan IUPHHK , yang

beroperasi di tanah mereka melalui program Bina Desa Hutan dan PMDH (Pembinaan

Masyarakat Desa Hutan) akan tetapi pada kenyataannya program-program tersebut

tidak banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat lokal karena pemegang konsesi

kurang memenuhi kewajigan mereka.

Masyarakat lokal hanya menerima sedikit atau bahkan tidak sama sekali dari

kompensasi yang semestinya diberikan oleh pemegang IUPHHK, sehingga

masyarakat tidak lagi percaya dengan sistem konpensasi “ In-Kind” (tidak dalam

bentuk uang tunai) yang dijanjikan IUPHHK tersebut. Pembangunan infrastruktur

yang dijanjikan seperti pusat kesehatan dan gedung-gedung sekolah jarang terealisasi

maka tidaklah mengehrankan jika masyarakat lebih memilih pembayaran tunai seperti

yang mereka terima dalam konsesi IUPHHK ini. Besarnya kompensasi yang harus

dibayarkan pihak IUPHHK kepada masyarakat hukum adat diatur berdasarkan SK.

Gubernur No. 13/2000 dan SK Gubernur No. 50/2001 dimana IUPHHK diwajibkan

51

Page 52: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

memberi kompensasi produksi per meter kubiknya. Tabel standar kompensasi bagi

masyarakat adat atas kayu yang dipungut pada areal hak ulayat di propinsi Irian Jaya

( Papua ) disajikan pada Tabel 5.8 berikut :

Tabel 5.8 Standar Kompensasi Kayu yang Dipungut dari Areal Hak Ulayat

Jenis kayuSK.Gub No.

50/2001SK. Gub No. 13/2000

RKT 2001 RKT2000 RKT 95/96-99/00Merbau 25.000 3.000 1.500Non-Merbau 10.000 2.000 1.000Kayu indah 50.000Kayu bakau 1.000 600 300

5.5. Pembagian Manfaat : Pembayaran Tunai pada masyarakat

Melalui sistem IUPHHK masyarakat lokal untuk pertama kalinya memperoleh akses

terhadap sistem ekonomi lokal. Dengan pengalaman di masa lampau, saat ini daya

beli masyarakat lokal sangat jauh melambung tinggi. Manfaat financial yang

diperoleh dari bermitra dengan IUPHHK tersebut dirasakan sangat tiba-tiba sehingga

mereka lebih cenderung menggunakan uang tunai dengan kurang bijaksana. Sangat

sulit menemukan anggota masyarakat penerima manfaat yang berorientasi kepada

investasi jangka panjang dalam menggunakan uang-uang yang diterima. Ketika uang

dialokasikan kepada masing-masing kepala keluarga kebanyakan orang

menggunakannya untuk membeli barang-barang konsumsi modern atau untuk

membayar hutang dan mahar (mas kawin) yang besar bagi perempuan yang akan

menikah.

Pada beberapa kasus manajer IUPHHK mengalokasikan sebagian uang kompensasi

dari IUPHHK untuk membeli peralatan yang dibutuhkan oleh karyawan atau anggota

IUPHHK serta untuk mensubsidi biaya keperluan sehari-hari para anggotanya. Uang

yang tersisa kemudian dibagikan kepada semua anggota keluarga IUPHHK. Selain

itu setiap keluarga juga masih menerima pendapatan lain berdasarkan volume kayu

yang dihasilkan di lahan ulayat mereka. Pendapatan tambahan ini juga biasanya

digunakan untuk membeli barang-barang elektronik seperti : televisi, pemutar CD dan

senapan angina untuk berburu.

52

Page 53: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

5.6. Investasi Untuk Pembangunan Sarana dan Prasana

Keberadaan IUPHHK juga telah membantu meningkatkan aksesibilitas masyarakat

desa dengan membuka fasilitas sarana jalan yang memudahkan masyarakat untuk

membawa hasil kebunnya ke pasar. Menghubungkan satu kampong dengan kampong

yang lain dan juga mempercepat pertumbuhan pertumbuhan desa karena masyarakat

lebih mudah menerima informasi. Pada beberapa IUPHHK mereka juga

menggunakan sebagian dari keuntungan produksi untuk membeli sarana transportasi

(mobil atau motor) untuk keperluan anggota marga.

5.7. Dampak Lingkungan Dari Kegiatan Pengusahaan Hutan

Secara garis besar hutan mempunyai tiga fungsi yaitu : fungsi ekonomi , fungsi

lingkungan/perlindungan dan fungsi sosail budaya ( Simon 1998 ). Jika salah satu

dari tiga fungsi ini hilang atau terganggu maka fungsi lainnya juga akan berpengaruh

(walaupun pengaruh tersebut tidak selalu negatif). Usaha untuk melestarikan dan

menjaga keseimbangan fungsi-fungsi ini sangat terkait erat dengan kemampuan teknis

dari pihak-pihak yang berkepentingan serta bertanggunag jawab atas pengelolan

hutan.

Sikap masyarakat lokal tehadap upaya pelestarian hutan telah berubah cepat sejak era

otonomi daerah. Kemitraan dengan pihak luar telah menimbulkan suatu konsep baru

bahwa hutan dapat mengasilkan uang tunai. Pengusahaan hutan telah menfasilitasi

akses masyarakat lokal terhadap kegiatan perekonomian global. Ketika sekelompok

IUPHHK datang dan menawarkan uang dalam jumlah yang tak pernah dibayangkan

sebelumnya masyarakat lebih tertarik dengan IUPHHK yang memberikan penawaran

tertinggi tanpa mempertimbangkan apakah hutan yang mereka miliki saat ini akan

rusak atau tidak. Jumlah uang tunai yang sangat banyak membuat mereka lupa

berpikir bagaimana mereka akan memelihar sumber daya hutan tersebut untuk masa

yang akan datang. Selain itu kebijakan dan peraturan nasional mengenai pemanfaatan

hutan juga memperburuk permasalahan ini. Karena kebijakan-kebijakan tersebut

hanya memfokuskan pada pengelolaan kayu sebagai sumberdaya komersial dari

hutan. Tidak banyak perhatian yang dicurahkan untuk proses rehabilitasi lahan hutan

53

Page 54: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

jangka panjang atau kegiatan regenerasi keanekaragaman hayati yang hilang sebagai

akibat kegiatan penebangan. Potensi hasil hutan non kayu (Non Timber Forest

Product/NTFP ) yang berpotensi mendukung tercapainya kelestarian hutan sebagai

sumber penghidupan yang berkelanjutan di Papua juga masih terabaikan.

Teorinya masyarakat lokal seharusnya masih bisa mempunyai akses kepada areal

hutan yang ada di sekitar tempat hidup mereka untuk berburu dan mengumpulkan

hasilhutan non-kayu. Mereka merupakan bagian yang tidak terpisah dari ekosistem

kawasan hutan yang menjadi areal IUPHHK tersebut. Masyarakat lokal masih sangat

bergantung kepada hasil hutan non-kayu dan hewan buruan untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya sehari hari. Diskusi dengan beberapa kelompok masyarakat di

tingkat lokal juga menunjukan bahwa masyarakat semakin sulit untuk menemukan

hewan buruan sekitar areal konsesi.

5.8. Kontribusi IUPHHK terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Adat

Kehadiran IUPHHK telah memberikan damapak tersendiri bagi kehidupan

masyarakat di sekitar hutan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak

ekonomi langsung dari kehadiran IUPHHK antara lain :

1. Penyerapan tenaga kerja

2. Bantuan dari perusahaan

Bantuan IUPHHK antara lain dalam bentuk PMDH dan pembayaran hak ulayat.

3. Bantuan transportasi

Adapun dampak ekonomi tidak langsung dari perusahaan antara lain :

1. Pembukaan area perladangan baru dan rencana pemukiman baru

2. Terbukanya pemasaran baru hasil hutan, pertanian, dan kerajinan lokal

3. Meningkatnya eksploitasi hasil hutan dan sumber daya alam lainnya

Pembukaan jalan oleh perusahaan bukan hanya berdampak pada perladangan dan

lokasi pemukiman baru, namun tekanan terhadap hasil hutan pun cenderung

semakin besar. Masyarakat memanfaatkan akses jalan logging dan angkutan

perusahaan tersebut untuk berburu, mencari ikan, mencari gaharu, sarang burung,

dan hasil hutan lainnya.

54

Page 55: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

4. Peningkatan harga hasil hutan, pertanian, kerajinan, dan kebutuhan pokok di

tingkat desa

5. Terbukanya jenis pekerjaan baru

Sejak masuknya perusahaan banyak peluang kerja yang dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat lokal untuk menambah pendapatan rumah tanggaanya antara lain :

membuka warung, menyewakan rumah, menjadi tukang masak, dll.

5.9. Alternatif Peningkatan Kerjasama IUPHHK dengan Masyarakat Adat

Strategi jangka panjang dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat di sekitar areal

kerja IUPHHK mencakup kurun waktu lebih dari 5 tahun. Stretegi ini dilakukan

untuk memberikan kesempatan berusaha bagi masyarakat untuk jangka waktu yang

panjang/lama. Sehingga diharapkan masyarakat mendapatkan manfaat kegiatan

tersebut untuk meningkatkan kesejahteraannya dalam jangka waktu yang

panjang/lama. Pemanfaatan hasil pembayaran hak ulayat untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan

hasil hutan bukan kayu, merupakan salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan.

Hutan memiliki fungsi yang beraneka ragam, antara lain sebagai fungsi lindung,

konservasi, dan produksi. Sebagai fungsi lindung, hutan memiliki peran penting

dalam mengatur tata air, mengurangi erosi, memperbaiki iklim terutama iklim mikro.

Sedangkan sebagai fungsi produksi, hutan berperan dalam memproduksi kayu dan

hasil hutan bukan kayu serta bagian-bagian hutan tertentu dapat ditunjuk untuk

mengkonservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) yang diarahkan kepada

pengelolaan hutan secara lestari.

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) mempunyai dua dimensi penting yaitu

dimensi hasil (HPL = Hutan Produksi Lestari) dan dimensi manajemen (P =

Pengelolaan) sehingga hutan produksi lestari adalah hutan produksi yang mampu

memberikan dan menjamin kelestarian fungsi ekonomi, fungsi ekologi dan fungsi

sosial.

(1) Lestari Fungsi Ekonomi meliputi :

(a) Kepastian kawasan hutan produksi yang aman konflik jangka panjang

(b) Mempunyai nilai ekonomi yang selalu berkembang

55

Page 56: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

(c) Memiliki nilai finansial bagi pelaku ekonomi yaitu sektor pemerintah,

sektor swasta, dan sektor koperasi atau masyarakat

(2) Lestari Fungsi Ekologi meliputi :

(a) Kepastian kawasan yang mampu mencerminkan keterwakilan semua tipe

ekosistem khususnya kawasan koservasi dan kawasan lindung

(b) Kemampuan perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan

sebagaimana diamanatkan oleh Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990

tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

(c) Pengawetan plasma nutfah flora fauna dan ekosistem unik, yaitu pada

kawasan konservasi dan kawasan lindung sesuai dengan Undang-undang

No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

(3) Lestari Fungsi Sosial meliputi :

(a) Kepastian kawasan sosial budaya dan hak ulayat

(b) Kehutanan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, terutama

masyarakat di sekitar hutan (nir kayu)

(c) Kehutanan dan aksesibilitas dalam rangka percepatan akses

masyarakat/integrasi sosial budaya masyarakat, melalui integrasi sarana

jalan IUPHHK dengan jalan umum menuju pusat-pusat

permukiman/pertumbuhan

Upaya pelestarian hutan dan ekosistem memiliki kaitan yang erat dengan masyarakat

terutama yang hidup di sekitar kawasan konservasi dan kawasan hutan produksi.

Pencegahan gangguan terhadap keberadaan hidupan liar dan kekayaan hutan seperti

perburuan liar, perambahan hutan, dan kebakaran hutan memerlukan peran aktif

masyarakat.

Untuk itu perlu diupayakan suatu tindakan nyata agar masyarakat yang masih

tertinggal dan hidup subsistem dapat ikut merasakan hasil-hasil pembangunan

kehutanan melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Pemberdayaan

56

Page 57: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

masyarakat tersebut memiliki arti penting bagi keberhasilan pengelolaan hutan secara

lestari dalam jangka panjang.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar yang merupakan usaha

terencana dan sistematis yang dilaksanakan secara berkesinambungan baik bagi

individu maupun kolektif guna mengembangkan daya (potensi) dan kemampuan yang

terdapat dalam diri individu dan kelompok masyarakat sehingga mereka mampu

berusaha secara mandiri.

Pengertian pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dalam kaitannya

dengan pengelolaan kehutanan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

atau kapasitas masyarakat di sekitar hutan dalam mengelola sumberdaya hutan dan

lahan (yang mencakup kemampuan teknis dan manajamen), meningkatkan

kemampuan mengakses modal dan pasar serta meningkatkan usaha mereka ke arah

pemandirian secara berkelanjutan.

Pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan perlu dilakukan karena pada

kenyataannya mereka adalah salah satu lapisan masyarakat yang termiskin di

Indonesia. Masyarakat ini juga dianggap paling lemah dan tertinggal dibandingkan

dengan masyarakat lainnya. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pada umumnya

kurang memiliki keterampilan dan sulit mengakses modal. Akibatnya kelompok

masyarakt ini kurang memiliki kemampuan untuk memajukan dirinya (agar taraf

hidup mereka menjadi lebih baik). Di sisi lain pemerintah memiliki sumber daya

hutan dan ingin mewujudkan hutan yang lestari dan masyarakat yang sejahtera. Oleh

karena itu masyarakat tersebut perlu diberdayakan agar mereka mampu meningkatkan

taraf hidupnya dengan melakukan usaha produktif di bidang kehutanan dengan tidak

merusak hutan.

Dalam pemberdayaan diperlukan fasilitasi. Langkah awal dilakukan dengan

memfasilitasi penggalian potensi dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat

tersebut, antara lain dengan menggunakan metode Partisipatory Rural Apraisal

(PRA) dengan fasilitasi masyarakat, masyarakat yang diupayakan untuk mengenali

masalah yang dihadapinya secara jelas, mengetahui potensi yang diupayanya (baik

kemampuan maupun sumber daya di sekitarnya).

Untuk dapat melaksanakan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari, masyarakat

itu perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai berbagai aspek pengelolaan hutan

57

Page 58: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

melalui pelatihan. Perancangan pelatihan ini harus dilakukan dengan baik, didahului

dengan identifikasi kebutuhan pelatihan. Materi pelatihan harus disesuaikan dengan

kemampuan dan kebutuhan masyarakat setempat serta potensi yang dapat

dikembangkan. Kegiatan pelatihan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dengan

materi antara lain tentang :

1. Bagaimana mengelola kawasan secara lestari

2. Bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan masyarakat

3. Bagaimana mengelola usahanya termasuk bagaimana memasarkan hasil.

Ke depan, program pemberdayaan masyarakat diarahkan untuk mengurangi secara

perlahan ketergantungan masyarakat sekitar dan di dalam hutan terhadap hasil hutan

berupa kayu kepada hasil hutan bukan kayu. Bahkan pemendekan jarak untuk

mendapatkan hasil hutan bukan kayu dengan cara menerapkan beberapa teknik

budidaya tanaman di sekitar tempat tinggal masyarakat atau areal di luar hutan,

merupakan salah satu kegiatan yang perlu diterapkan agar tingkat ketergantungan

masyarakat terhadap kayu lambat laun semakin berkurang. Kayu tidak lagi menjadi

prioritas sumber utama penghasilan masyarakat tetapi menjadi kebutuhan sekunder

dalam melengkapi kebutuhan hidup masyarakat.

Semakin berkurangnya luas hutan primer dari waktu ke waktu menyebabkan

ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan berupa kayu secara perlahan harus

bergeser kepada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Di beberapa negara,

komoditi hasil hutan bukan kayu merupakan komponen ekspor penting dalam hasil

hutan. Di samping itu penduduk di berbagai suku di dunia yang hidup di pedesaan,

banyak bergantung pada komoditi hasil hutan bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan

dasar. Data FAO (1995) menyebutkan bahwa di negara berkembang sekitar 80%

penduduknya bergantung pada hasil hutan bukan kayu terutama untuk kebutuhan

hidup dan nutrisinya.

Hasil hutan bukan kayu merupakan semua produk yang berasal dari tanaman selain

kayu, fauna dan turunanya, serta jasa yang diperoleh dari hutan. Hasil hutan bukan

kayu memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

terutama yang bermukim di sekitar areal hutan. Produk hasil hutan bukan kayu yang

dapat dihasilkan dari dalam hutan dapat dijadikan sebagai sumber makanan, obat-

obatan, resin, getah, kayu bakar, dan menyediakan bahan baku industri seperti rotan

dan minyak atsiri.

58

Page 59: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Pengurangan ketergantungan masyarakat dari hasil huta berupa kayu kepada hasil

hutan berupa kayu dapat dilakukan dengan cara memindahkan lokasi produk hasil

hutan bukan kayu dari dalam hutan ke lokasi-lokasi yang lebih dekat sehingga mudah

terjangkau oleh masyarakat.

Kontribusi IUPHHK melalui pembayaran hak ulayat untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dapat diarahkan kepada kegiatan pemberdayaan masyarakat

dengan tetap memperhatikan potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Salah

satu potensi yang dapat dikebangkan dan sesuai dengan kultur budaya maupun

kondisi alam masyarakat adalah pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Melalui

pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan HHBK maka perlu digali

permasalahan-permasalahan yang ada dalam pemanfaatan HHBK asli Papua agar

dapat ditingkatkan mutu dan kualitas hingga aspek pemasarannya. Hasil analisis

SWOT salah satu jenis HHBK di Provinsi Papua dari jenis buah merah menunjukkan

adanya peluang, tantangan, ancaman, kekuatan, kelemahan, dan beberapa strategi

yang dapat dicapai disajikan pada Tabel 5.9. Adapun beberapa potensi HHBK di

Provinsi Papua disajikan pada Tabel 5.10.

59

Page 60: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Tabel 5.9 Analisis Swot Strategi Pemanfaatan HHBK Kelompok Jenis Tumbuhan Obat (Buah Merah)

FAKTOR INTERNAL

FAKTOR EKSTERNAL

Strength (Kekuatan)

1. Potensi buah merah tinggi 2. Teknik budidaya sederhana ( mudah diterima

masyarakat) 3. Gangguan kawasan rendah4. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan

tinggi5. Kepemilikan lahan dikuasai oleh masyarakat

adat6. Adanya dukungan kebijakan pemerintah daerah

untuk pemanfaatan jenis HHBK7. orientasi pemanfaatan oleh masyarakat bersifat

semi komersial

Weakness (Kelemahan)

1. Database potensi dan sebaran belum tersedia secara pasti

2. kapasitas organisasi pengelola sumber masih rendah

3. Kemampuan SDM rendah4. volume usaha pada umumnya rendah5. koordinasi antar sector yang berkepentingan dari

pengelola sumber, pengolah, dan pemasaran lemah

Opportunity (Peluang)

1. Permintaan pasar tinggi2. Harga tinggi3. Kelembagaan tataniaga meliputi pembudidaya,

pengumpul, pengolahan maupun pemasara ada.4. Pada pengolahan awal tidak membutuhkan

teknologi pengolahan canggih5. Dapat dikembangkannya teknologi yang lebih

tinggi melalui pola Kerjasama.6. Pemasaran orientasi ekspor7. Peluang Investasi sumber tinggi

Strategi S-O (menggunakan kekuatan untuk memanfatkan peluang)

1. Meningkatkan teknologi pengolahan melalui pengembangan pola kerjasama ( melalui kemitraan, subsidi, swadaya)

2. Pengembangan teknik budidaya yang lebih moderen

3. Meningkatkan pemasaran 4. perumusan kebijakan mempercepat alih

teknologi5. Menetapkan wilayah pengembangan buah

merah dalam bentuk sentra industri.6. Melibatkan petani dan masyarakat setempat

dalam budidaya buah merah

Strategi W-O (mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang)

1. Segera melakukan identifikasi potensi dan sebaran Buah Merah

2. Meningkatkan kemampuan SDM pelaksana melalui pelatihan, kursus dan seminar.

3. meningkatkan koordinasi lintas sektoral pemanfaatan gaharu dari hulu ke hilir

60

Page 61: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Threat (Ancaman)

1. Kurang jelasnya standarisasi mutu2. kontrak/perjanjian kerjasama dan komunikasi

dalam kerjasama sangat penting.3. Terjadinya pasar monopoli, yang tidak berpihak

pada pamungut

Stategi S-T (menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman)

1. Perumusan kebijakan pola pemasaran buah merah yang tidak merugikan pengelola sumber.

2. penguatan kapasitas kelembagaan dalam perumusan kontrak kerjasama

3. penyusunan protokol komunikasi dalam kerjasama

Strategi W-T (memperkecil kelemahan dan mengatasi tantangan)

1. Penyusunan database 2. Peningkatan kapasitas organisasi pengelola3. Penyusunan standar mutu produk buah merah 4. Adanya pengawasan dari pemerintah dalam

pemasaran produk.

Tabel 5.10 Potensi HHBK di Provinsi Papua

No Jenis Jumlah/Luas Potensi Penyebaran Keterangan

1 Rotan(Daemonorops, Korthalsia, Foser, Calamus sp., Sersus, Ceratolobus, Plectocomia, dan Myrialepsis)

2.215.625 ha 2.062,22 Kg/ha Kab, Nabire (Sima, Yaur, S. Nauma, S. Buami, S. Wabi-Wammi, S. Wanggar), Kab. Jayapura (Unurum Guay, Lereh, Pantai Timur), Manokwari ( Masni, Bintuni, Ransiki, S. Kasi, S. Sima), Merauke (Ds. Poo, Torey)

Potensi rotan belum dimanfaatkan secara optimal sehingga terbuka untuk investasi pemanfaatan rotan skala industri.

2 Sagu (Metroxylon rumphii var silvester, Metroxylon rumphii var longispinum, Metroxylon Rumphii mart, Metroxylon

4.769.548 ha, sudah dimanfaatkan 14.000 ha

5,67 batang/ha. Kab. Sorong (Kec. Inawatan, Seget, Salawati), Kab. Manokwari (Kec. Bintuni), Kab. Jayapura (Kec. Sentani, Sarmi), Kab. Merauke (Kec. Kimaam, Asmat, Atsy, Bapan,

Potensi sagu belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih dimungkinkan diusahakan dalam skala industri.

61

Page 62: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

No Jenis Jumlah/Luas Potensi Penyebaran Keterangan

Rumphii var microcantum dan Metroxylon sago rottb)

Pantai kasuari), Kab. Yapen Waropen (Kec. Waropen)

3 Nipah 1.150.000 ha. Potensi nipah belum dapat diketahui secara pasti (belum dilakukan inventariasi potensi).

Pemanfaatan nipah belum dapat berkembang, masih tahap pemanfaatan masyarakat lokal berupa pemanfaatan daun dan buah. Pemanfaatan nipah untuk skala industri/besar masih terbuka.

4 Kayu Masoi Informasi potensi kayu masoi belum akurat (penyebaran alami sporadis). potensi kayu masoi cukup menjanjikan dan dapat dikembang menjadi hutan tanaman masyarakat setempat

Kab. Manokwari (Bintuni, Ransiki), Kaimana, Fakfak, Jayapura, Nabire.

Potensi kayu masoi belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih terbuka investasi untuk pemanfaatan kayu masoi untuk skala industri.

5 Kayu Putih(Asteromyrtus simpocarpa, Melaleuca lecadendron)

Kab. Merauke (Kawasan Taman Nasional Wasur).

Potensi kayu putih merupakan tempat tumbuh alamiah di TN. Wasur yang merupakan daun kayu putih merupakan bahan baku minyak kayu putih hasil penyulingan. Hasil penyulingan masyarakat diperoleh minyak kayu putih dari daun kayu putih sebanyak 125 kg sebanding dengan 2,5 liter minyak kayu

62

Page 63: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

No Jenis Jumlah/Luas Potensi Penyebaran Keterangan

putih6 Lebah Madu Semua kabupaten/kota di

Provinsi PapuaMulai dikembangkan oleh masyarakat di beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Jayawijaya, Jayapura dan Yapen Waropen.

7 Gaharu Pemburuan gaharu yang sangat gencar menyebabkan keberadaan jenis kayu gaharu saat ini sudah semakin sulit diperoleh

Penyebaran pohon gaharu tersebar hampir diseluruh daratan Papua antara lain Jayapura (Mamberamo, Nimboton), Jayawijaya, Merauke (Bade dan Agats), Nabire, Enarotali, Manokwari (Bintuni).

Mengingat prospek pemasaran eksport dengan harga yang menggiurkan maka perlu pengembangan budidaya tanaman gaharu sebagai sumber pendapatan ekonomi masyarakat.

63

Page 64: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

5.10. Analisis Peran

Melalui analisis peran yang dilakukan dapat memberikan gambaran mengenai semua

pihak/kelompok yang berhubungan dengan kegiatan yang akan direncanakan baik dari

aspek kawasan, kelembagaan maupun dari aspek bisnis/usaha atau perpaduan

ketiganya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi

pembayaran hak ulayat oleh IUPHHK. Melalui arahan peran ini dapat dilihat

hubungan dan koordinasi yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan kegiatan,

baik peran dari lembaga/instansi pemerintah (eksekutif). Legislatif, konsultan, LSM,

Perguruan Tinggi dan masyarakat umum. Ringkasan analisis peran berdasarkan aspek

kawasan, kelembagaan, dan usaha disajikan pada Tabel 5.11

Tabel 5.11 Peran Stakeholder dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

No Kriteria Stakeholder yang Berperan

A Kawasan

a. Kepastian Hak Departemen Kehutanan, BPN, masyarakat, pemda

b. Penataan kawasan Departemen Kehutanan, masyarakat, BUMS, BUMNc. Pengamanan Kawasan Dephut, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota,

masyarakat, aparat keamanand. Potensi Dephut (INTAG), Dinas Kehutanan provinsi dan

kabupaten/kota, Universitas, LSM

B Kelembagaan

a. Bentuk lembaga Departemen Kehutaan, Koperasi, b. Kapasitas organisasi Departemen Kehutanan, Pemda, c. Aturan main Koperasi, Deperindag, LSM, d. Peran Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan

Kabupaten/kota, Deperindag,

C Usaha/Bisnis

a. Teknologi Litbang Kehutanan, Lembaga-lembaga penelitian, Universitas, LSM,

b. Volume usaha Departemen Kehutanan, Deperindag, Deptan, Koperasi, c. Orientasi Produksi Deperindag, Koperasi, BUMS/BUMN

64

Page 65: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI6.1 Kesimpulan

1. Pola PMDH mampu mengakomodir keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat

sekitar hutan di Papua, terutama dengan adanya tenaga bina desa yang berfungsi

mendampingi masyarakat. Namun pelaksanaan PMDH di Papua masih terkesan

merupakan bantuan fisik. Kondisi ini dipengaruhi keterbatasan masyarakat desa

binaan dalam merencanakan program pembinaan di desa, dan kurangnya tenaga

teknis bina desa, serta lemahnya komitmen perusahaan dalam meningkatkan

kesejahteraan penduduk.

2. Kontribusi IUPHHK melalui bentuk pembayaran hak ulayat belum dilaksanakan

seluruhnya oleh IUPHHK yang masih aktif di beberapa kabupaten di Papua, hal

ini menyebabkan dampak yang diberikan dari pembayaran hak ulayat tersebut

belum dapat dirasakan sepenuhnya bagi masyarakat yang wilayahnya berada pada

IUPHHK yang tidak melakukan pembayaran hak ulayat.

3. Kehadiran HPH harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat

mengingat sebagian adalah petani peramu yang masih membutuhkan

pendampingan ke arah pertanian menetap.

4. Perlu diperhatikan besaran pemberian dana kompensasi hak ulayat agar nilai uang

tunai yang diterima tidak lebih kecil dari UMR yang di tetapkan di Papua.

6.2 Rekomendasi

1. Pelaksanaan Kepmen 177/Kpts-II/2003 tentang kriteria dan indikator usaha

pengelolaan hutan secara lestari, pada unit manajemen usaha pemanfaatan hutan

tanaman, harus didukung dengan kegiatan sosialisasi dan integrasi program

dengan instansi terkait/LSM yang telah bekerja di sekitar lokasi IUPHHK

mengingat IUPHHK tidak dapat mengambil alih semua tugas pemberdayaan

masyarakat yang tegas dan tanggungjawabnya perlu disesuaikan dengan porsinya

masing-masing.

2. Pemanfaatan pembayaran hak ulayat oleh IUPHHK sebaiknya diarahkan untuk

pemberdayaan masyarakat, yang antara lain dilakukan dalam rangka pemanfaatan

Hasil Hutan Bukan Kayu dari Provinsi Papua agar memberikan dampak secara

berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat

65

Page 66: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Tuharea, Achmad Rizal dan Ifhendri. 2001. Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Produksi (Studi kasus di PT. Risana Indah Forest Industries). Buletin PenelitianNo.

Astana, S. 2003. Usulan Kegiatan Penelitian (UKP) Kajian Pengentasan Illegal Logging. Badan LitbangKehutanan.

Anonimous, 2003. Mengurangi Polusi dalam Pemantauan Lingkungan Indonesia. Tahun 2003. TheWord Bank.

Budi Riyanto, 2003, Prossiding Diskusi Nasional Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 Dan Dampaknya Terhadap Perhutani; Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor.

---------------, 2004, Pengaturan Hukum Adat di Indonesia, Lembaga pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor.

Bertham, Jeremy, 1997, Law as a faal of Social Engineering, Harper & Row Publissher, New York.

DepartemenKehutanan, 1998. Petunjuk Survey Sosial EkonomiKehutanan Indonesia.

Dinas Kehutanan Provinsi Papua. 2001. Rencana Strategis Dinas Kehutanan Propinsi Irian JayaTahun 2001- 2005. (tidak diterbitkan).

Dinas Kehutanan Provinsi Papua 2002, Data Ijin Pemungutan kayu per Pebruari 2002 di Kabupaten Manokwari , Dinas Kehutanan Provinsi Papua , Jayapura

Dinas Koperasi dan Usaha Pengusaha Kecil Menengah 2002, Pemberdayaan dan Pengendalian , Kopermas yang bergerak di Bidang Koperasi. Dinas Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah Jayapura

Ditjen PHKA, 2003. Seminar Nasional Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan, Hotel Mirah, Bogor.

Effendi Rachman. 2003. Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP) Kajian Pola-pola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Produksi dalam Mencegah Illegal Logging.

Harry Hikmat. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama. Bandung.

Harsono, Boedi, 1981. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jembatan, Cetakan Kedua. Harian Kompas, 28 Oktober 2000, hal 10.

Hidayat Alhamid dan Achmad Rizal. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Irian Jaya; Proseding.

66

Page 67: Kotribusi Iuphhk Terhadap Hak Ulayat

Innah, Henry Silka. 2005. Model Pemanfaatan Hutan (Kasus: IUPHHK Di Teluk Bintuni Papua). Tesis Magister Program Studi Pembangunan ITB, Bandung.

Irma Yeny, dkk. 2006. Kajian Pola-pola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Alam di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Tidak diterbitkan.

Irma yenydan henry S.I. 2007. Kajian Pelaksanaan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) di Papua. JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 4 No. 1 Maret 2007, Hal. 73 - 91

Jufrina Rizal, 2000, Sosiologi Perundang-undangan, Jakarta.

Maria Indarti Suprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogya Kanisius, Yogyakarta.

Muslimin Nasution, 1999. Hutan dan Pengelolaan Tanah Ulayat, Seminar dan Lokakarya tentang Tanah Ulayat dalam Perspektif Hukum

Nasional dan Penerapannya di Riau tanggal 20 -21 Februari 1999.

Soeharto Prawirokusuma. 2001. Ekonomi Rakyat (Konsep, Kebijakan, dan Strategi). BPFE Yogyakarta.

Soepomo. R, 1981. Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Sumarjono. SW, Maria, Pengakuan Keberadaan Hutan Adat Dalam Rangka Reformasi Agraria, Lokakarya Keberadaan Hutan Adat, Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta.

Republik Indonesia, Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Republik Indonesia, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

67