kotribusi iuphhk terhadap hak ulayat
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ANALISA KONTRIBUSI IUPHHK TERHADAP HAK ULAYAT BAGI
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ADAT
BPPHP XVII JAYAPURA
TAHUN 2009
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Bangsa Indonesia dikaruniai dan mendapatkan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa
kekayaan alam berupa hutan yang tidak ternilai harganya, oleh karena itu, hutan harus
diurus dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan akhlak mulia, sebagai
ibadah dan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam rangka
pengelolaan hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan
hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan
hutan dapat dikelola dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya,
serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan
produksi. Oleh karena itu dalam pengelolaan hutan perlu dijaga keseimbangan ketiga
fungsi tersebut.
Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa
Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas
tanah, termasuk didalamnya Hutan Adat, yaitu kawasan hutan yang berada dalam
wilayah Masyarakat Hukum Adat. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian
hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan
pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan sesuai dengan kearifan lokal Masyarakat
Hukum Adatnya.
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan
negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara,
tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.
Namun demikian dalam Undang-undang No. 41 ini masih memberi pengaturan yang
cukup luas tentang keberadaan masyarakat hukum adat dalam bidang kehutanan
2
sebagaimana disebutkan dalam pasal 67 yang menyebutkan bahwa masyarakat hukum
adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
melakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, serta
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Banyak perusahaan dalam bentuk IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan berupa
Kayu) yang tidak menyadari bahwa masyarakat lokal yang berada di sekitarnya
merupakan bagian dari lingkungan yang sangat mempengaruhi kelangsungannya.
Hubungan yang kurang baik antara perusahaan dan lngkungannya akan sangat berpotensi
menimbulkan konflik. Sebelum zaman reformasi potansi konflik antara masyarakat
lokal dan perusahaan dianggap tidak terlalu mengancam karena dengan mudah dapat
diatasi, karena masih adanya rasa ketakutan masyarakat dengan aparat. Namun sejak
dihembuskannya angin reformasi, kini konflik dengan masyarakat lokal dapat
mengancam keberadaan perusahaan. Keberadaan masayarakat lokal kini menjadi kuat
dan mereka cenderung lebih berani dalam memperjuangkan hak-haknya .
Banyak juga perusahaan yang telah berusaha membina hubungan baik dengan
masyarakat. Beberapa perusahaan telah memberikan bantuan kepada masyarakat lokal,
sperti Program Bina Desa Hutan, pembuatan jalan, beasiswa, bantuan bibit tanaman
pertanian, lapangan kerja. Namun dalam kenyataannya di lapangan, sebagian besar
anggota masyarakat tidak puas akan bantuan-bantuan yang selama ini diberikan oleh
perusahaan.
Sesungguhnya keberadaan perusahaan dapat memberikan dampak ekonomi dan sosial
secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat lokal. Beberapa dampak
langsung manfaat perusahaan bagi masyarakat antara lain : adanya kesempatan pekerjaan
bagi tenaga lokal, program bantuan, dan pembinaan. Adapun dampak tidak langsung
yang diperoleh antara lain : pembukaan jalan dan transportasi perusahaan yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, kebutuhan para pekerja perusahaan (seperti buah-buahan,
sayuran, ikan, daging), memajukan perekonomian masyarakat setempat.
3
Besar kecilnya dampak tersebut sangat bergantung pada tingkat kepedulian perusahaan
dan pekerjanya dan kesiapan SDM masyarakat lokal dalam memanfaatkan peluang yang
ada. Selama ini rendahnya SDM masyarakat lokal selalu menjadi masalah utama
sehingga selalu mereka tersingkir oleh pendatang dalam memanfaatkan peluang.
Masalah tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan meningkatkan pendidikan dan
memberikan pelatihan.
Analisis dampak keberadaan IUPHHK pada lingkungan masyarakat lokal termasuk
kontribusinya terhadap hak ulayat merupakan salah satu cara untuk melihat sejauhmana
tingkat peran dan korelasi IUPHHK dalamdalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di samping itu ini merupakan salah satu langkah penting untuk mengetahui sejauhmana
pengaruhnya terhadap tingkat konflik yang dapat mengancam perusahaan dan merugikan
masyarakat setempat itu sendiri melalui kontribusi IUPHHK dengan terhadap hak ulayat.
1.2 Maksud dan Tujuan Kajian
Maksud analisis kegiatan ini adalah untuk mengetahui kontribusi IUPHHK terhadap hak
ulayat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan analisis ini adalah:
1. Untuk mengetahui perubahan tingkat ekonomi masyarakat dengan adanya
kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat
2. Untuk mengetahui pegaruh kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat terhadap
tingkat konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat.
1.3 Sasaran Kajian
Sasaran analisis ini adalah unit manajemen (IUPHHK) dan masyarakat hukum adat di
wilayah Papua
1.4 Ruang Lingkup
- Analisis tingkat pendapatan masyarakat
- Analisis dampak langsung dan tidak langsung kehadiran IUPHHK
- Analisis konflik antara perusahaan dan masyarakat
4
1.5 Dasar Hukum Hak Ulayat Terkait dengan Pelaksanaan IUPHHK
Beberapa aturan hukum yang memayungi hak ulayat terkait dengan keberadaan hutan
negara dan IUPHHK antara lain disajikan sebagai berikut :
1. Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu 1990 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Repulbik Indonesia Nomor 3886).
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Repulbik
Indonesia Nomor 3888).
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4725);
5
BAB II. SEKILAS TENTANG BPPHP XVII JAYAPURA
2.1. Organisasi dan Tata Laksana
2.1.1 Tugas Pokok dan Fungsi
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVII Papua adalah unit pelaksana teknis
di bidang pemantauan pemanfaatan hutan produksi yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, yang mempunyai
tugas melaksanakan sertifikasi tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan, penilaian
sarana dan metode pemanfaatan hutan produksi serta pengembangan informasi,
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemanfaatan hutan produksi lestari.
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi menyelenggarakan fungsi:
a. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pelaksanaan tugas pokok;
b. penilaian kinerja dan pengembangan profesi tenaga teknis bidang bina produksi
kehutanan;
c. Penyiapan tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan dan penyiapan
rekomendasi pemberian ijin operasional teknis fungsional;
d. Pemberian perpanjangan atau usulan pencabutan ijin operasional teknis fungsional;
e. Penilaian sarana dan pengembangan metode pemanfaatan hutan produksi yang
digunakan oleh tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan;
f. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rencana kerja usaha pemanfaatan hutan
produksi jangka panjang, rencana pemenuhan bahan baku industri, industri primer
kapasitas di atas 6000 M3/tahun dan dokumen peredaran hasil hutan;
g. Pelaksanaan pengembangan informasi pemanfaatan hutan produksi lestari;
h. Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga.
2.1.2 Jumlah Pegawai BP2HP XVII Jayapura
6
Potensi sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur penting dalam
pelaksanaan pemantauan kegiatan pengelolaan kawasan hutan. Dengan jumlah dan
kualifikasi tenaga yang cukup diharapkan mampu meningkatkan kinerja BP2HP XVII
jayapuran dalam menjalankan tugas-tugas pokok dan fungsinya. Sampai dengan bulan
Juli tahun 2009, jumlah pegawai sebanyak 38 orang dengan wilayah kerja yang sangat
luas dengan tingkat aksesibilitas yang relatif rendah dan sulit.
Berdasarkan jabatan, jumlah tenaga non struktural dan fungsional yang terbanyak yaitu
31 orang (82%), terdiri atas non struktural sebanyak 16 orang (42%) dan tenaga
fungsional 15 orang (40%), sedang sisanya berada pada level jabatan eselon III dan IV
berjumlah 4 orang dan upah/harian sebanyak 3 orang (Gambar 2.1). Dominasi kedua
jenis jabatan ini berkaitan dengan tugas dan fungsi pokok BP2HP yang mengutamakan
fungsionalisasi dalam pemantauan dan pengendalian hasil hutan di wilayah kerja.
13
16 15
3
0
5
10
15
20
(Ora
ng
)
Gambar 2.1. Perkembangan Pegawai Berdasarkan Jabatan S/D Juli 2009
ESELON III
ESELON IV
NON STRUKTURAL
FUNGSIONAL
UPAH/HARIAN
Selain ketersediaan jumlah tenaga kerja, maka faktor lain yang sangat penting dalam
mempermudah kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BP2HP adalah adalah tingkat
pendidikan. Berdasarkan jumlah pegawai sampai dengan data bulan Juli 2009, pegawai
dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA yaitu sebanyak 20 orang (53%) dan
S1 berjumlah 15 orang (40%), sedangkan untuk level pendidikan S2 sebanyak 1 orang
dan Sarjana Muda (SM) sebanyak 2 orang (Gambar 2.2) .
7
1
15
2
20
0
5
10
15
20
(ora
ng
)
Gambar 2.2. Perkembangan Pegawai Berdasarkan Pendidikan S/D Juli 2009
S2
S1
SM
SLTA
Distribusi pendidikan pegawai yang dominan pada level SLTA perlu semakin
ditingkatkan ke jenjang yang lebih tinggi (SM dan S1) agar memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang layak agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal
guna mendukung tugas pokok dan fungsi BP2HP dalam mendukung dan menunjang
pencapaian pelaksanaan PHPAL dimasa mendatang.
2.2. Visi dan Misi
A. Visi
”Terwujudnya profesionalisme tenaga teknis kehutanan dalam rangka terselenggaranya
pemantauan pemanfaatan hutan produksi untuk menjamin kelestarian hutan dan
peningkatan kemakmuran rakyat di Provinsi Papua”
B. Misi
(1) Meningkatkan profesionalisme tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan;
(2) Mendorong peningkatan sarana dan pengembangan metode pemanfaatan hutan
produksi;
(3) Membina pengembangan industri primer hasil hutan;
(4) Memantapkan sistem peredaran hasil hutan dalam rangka peningkatan penerimaan
negara;
(5) Mengembangkan sistem informasi pemanfaatan hutan produksi lestari;
8
(6) Meningkatkan kapasitas kelembagaan BP2HP Wilayah XVII yang profesional dan
akuntabel.
2.3. Rencana Strategi
Sesuai dengan visi dan misi, maka disusun rencana strategi yang akan memberikan arah
dan tujuan, sasaran, strategi dan program kebijakan oleh Balai Pemantauan Pemanfaatan
Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah XVII Jayapura sebagai berikut:
2.3.1. Tujuan
(1) Tujuan dari misi 1 : “Meningkatkan profesionalisme tenaga teknis bidang bina
produksi kehutanan”, adalah untuk :
a. Menyiapkan rencana pemenuhan tenaga teknis bidang bina produksi
kehutanan.
b. Menyiapkan rencana penilaian kinerja tenaga teknis bidang bina produksi
kehutanan.
(2) Tujuan dari misi 2 : “Mendorong peningkatan sarana dan pengembangan metode
pemanfaatan hutan produksi”, adalah untuk : Mendorong terwujudnya
peningkatan sarana dan pengembangan metode pemanfaatan hutan produksi oleh
pemegang ijin/unit manajemen.
(3) Tujuan dari misi 3 : “Membina pengembangan industri primer hasil hutan”,
adalah untuk: Mewujudkan industri primer hasil hutan yang tertib, efesien dan
berbahan baku legal.
(4) Tujuan dari misi 4 : “Memantapkan sistem peredaran hasil hutan dalam rangka
peningkatan penerimaan negara”, adalah untuk: Mewujudkan sistem pemantauan
peredaran hasil hutan yang tertib dan optimalisasi PNBP.
(5) Tujuan dari misi 5 : “Mengembangkan sistem informasi pemanfaatan hutan
produksi lestari”, adalah untuk: Mewujudkan sistem informasi pemanfaatan hutan
produksi yang uptodate, online dan valid.
(6) Tujuan dari misi 6 : “Meningkatkan kapasitas kelembagaan BP2HP Wilayah
XVII yang profesional dan akuntabel”, adalah untuk: Mewujudkan kelembagaan
9
BP2HP Wilayah XVII yang kredibel, profesional dan akuntabel dalam
mendukung pengelolaan hutan produksi secara lestari.
2.3.2. Sasaran
Dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai, maka ditetapkan sasaran
yang akan dicapai sebagai berikut:
(1) Tersosialisasinya peraturan-peraturan bidang bina produksi kehutanan;
(2) Tercapainya standar kebutuhan tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan;
(3) Terwujudnya pengelolaan hutan produksi secara lestari oleh pemegang IUPHHK;
(4) Terwujudnya industri primer hasil hutan yang tertib dan legal bahan baku;
(5) Terwujudnya tertib peredaran hasil hutan dan optimalisasi penerimaan negara
bukan pajak;
(6) Terlaksananya penguatan kapasitas kelembagaan BP2HP Wilayah XVII;
(7) Terwujudnya tata hukum struktur kelembagaan dan tata hubungan kerja dalam
mendorong penyelenggaraan PHPL.
2.3.3. Strategi
a. Kebijakan
Dalam rangka mewujudkan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran yang ingin dicapai oleh
BP2HP Wilayah XVII maka ditetapkan kebijakan-kebijakan yang mengacu pada
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Direktorat Jenderal Bina Produks Kehutanan
sebagai berikut :
(1) Pelayanan prima satu pintu;
(2) Peningkatan kemampuan SDM BP2HP dan mitra;
(3) Meningkatkan pembinaan pengelolaan hutan produks lestari oleh unit manajemen;
(4) Mendorong pengembangan produk industri hasil hutan;
(5) Menerapkan pengembangan PUHH berbasis teknologi informasi;
(6) Mendorong berkembangnya kemampuan kelembagaan dan kualitas pengelolaan
hutan produksi lestari.
10
Program
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 -2009 telah ditetapkan
Program Pembangunan dan terkait langsung dengan pembangunan pembinaan produksi
kehutanan dalam 5 tahun kedepan yaitu :
(1) Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan;
(2) Program Penyelenggaraan Pimpinaan Kenegaraan dan Kepemerintahan
Fokus Kegiatan dan Kegiatan
(1) Fokus Kegiatan
Dari sasaran-sasaran strategis tersebut yang akan dicapai, selanjutnya dituangkan
kedalam beberapa fokus kegiatan yaitu :
Pengelolaan kawasan yang tidak dibebani hak;
Pengelolaan pemanfaatan hutan produksi alam;
Pengelolaan pemanfaatan hutan tanaman;
Pengembangan industri dan pemasaran hasil hutan
Penertiban peredaran hasil hutan;
Penunjang fokus kegiatan
Kegiatan
Dari beberapa fokus kegiatan tersebut dirinci menjadi beberapa kegiatan yang akan
dilaksanakan BP2HP Wilayah XVII sebagai berikut :
a. Pengelolaan kawasan yang tidak dibebani hak;
Pengawasan dan pengamanan areal eks HPH/HTI;
b. Pengelolaan pemanfaatan hutan produksi alam;
Penilaian kinerja usaha pemanfaatan hutan alam
c. Pengelolaan pemanfaatan hutan tanaman;
Penilaian kinerja usaha pemanfaatan hutan alam
d. Pengembangan industri dan pemasaran hasil hutan
Pembinaan dan pengendalian bahan baku dan produk industri hasil hutan
e. Penertiban peredaran hasil hutan;
11
Pengembangan sertifikasi dan pengujian hasil hutan
Optimalisasi penerimaan bukan pajak
Pengendalian peredaran hasil hutan dan penertiban hasil hutan ilegal
Pengembangan sistem informasi manajemen pengujian dan penatausahaan hasil
hutan
12
BAB III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pendekatan
Kerangka metode pendekatan yang digunakan sangat tergantung dari maksud dan tujuan,
keluaran (output), manfaat dan lingkup pekerjaan yang diinginkan. Selain itu penetapan
kerangka metode pendekatan juga sangat tergantung dari serangkaian konsep yang
digunakan dalam menjawab maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Atas dasar tersebut
maka dalam melakukan analisis kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat bagi
kesejahteraan masyarakat adat menggunakan metode desk study, metode pendekatan
partisipatif, dan metode pendekatan survey (kunjungan dan atau pengamatan lapangan).
Ketiga metode pendekatan tersebut saling terkait dan saling mendukung satu sama lain.
Oleh sebab itu ketiganya akan digunakan secara bersamaan dan terstruktur yang
diuraiakan berikut ini.
3.1.1. Metode Pendekatan Desk Study
3.1.1a. Pengertian Metode Desk Study
Metode desk study yaitu cara pengumpulan data dan informasi melalui kajian dan analisis
data dan informasi yang menggunakan data sekunder, baik berupa laporan, referensi,
maupun peta-peta.
3.1.1.b. Cara dan Mekanisme Melakukan Desk Study
Dalam proses pengumpulan data dengan menggunakan mekanisme desk study untuk
mencapai output/tujuan analisis dilakukan dengan proses seperti disajikan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1. Proses dan Output Analisis Desk Study
INFORMASI UMUM YANG
DIGALIPROSES OUTPUT
Kebijakan Pembangunan Kehutanan Khususnya yang berkaitan dengan aspek kawasan, kelembagaan dan aspek usaha/bisnis untuk kesejahteraan masyarakat adat
Kebijakan Daerah yang berkaitan dengan aspek kawasan,
Mencari dan menyeleksi dokumen yang dibutuhkan melalui studi literatur /pustaka ke Dephut, Dinas terkait, Bappeda, , BPS dan lembaga lain yang memiliki data dimaksud, baik secara
Semua informasi yang
dibutuhkan untuk
melakukan analisis
kontribusi IUPHHK
terhadap hak ulayat bagi
kesejahteraan masyarakat
13
INFORMASI UMUM YANG
DIGALIPROSES OUTPUT
kelembagaan dan aspek usaha/bisnis untuk kesejahteraan masyarakat adatInformasi pasar/distribusi konsumsi dan produk olahan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masayarakat adatInformasi kelembagaan termasuk organisasi, aturan main kelembagaan masyarakat adat
langsung ataupun melaui internet
Menggandakan dokumen
Menganalisis Data yang diperlukan
adat yang telah
terkumpul disusun
menjadi draft laporan
3.1. 2. Metode Pendekatan Partisipatif
Metode pendekatan partisipatif merupakan salah satu metode yang digunakan dalam upaya menggali informasi dari berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan ini. Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa stakeholders dan masyarakat setempatlah yang lebih memahami kondisi kehidupan mereka. Dengan pengetahuan yang mereka miliki, merekalah yang akan merumuskan berbagai rencana sekaligus kegiatan-kegiatan tindak lanjutnya. Pendekatan partisipatif ini didasarkan pada prinsip dari, oleh dan untuk mereka. Pihak luar dalam hal ini tim konsultan pelaksana kegiatan, hanya berperan sebagai fasilitator.
Penetapan penggunaan metode pendekatan partisipatif ini juga didasarkan pada keluwesannya dalam menggali data dan informasi, karena prinsip metode pendekatan partisipatif ini adalah : (a) Belajar dari stakeholders; (b) Orang luar (peneliti, penyuluh, petugas, konsultan ) bertindak sebagai fasilitator. Sementara pihak (stakeholders) adalah sebagai pelaku; (c) Saling belajar, dan saling berbagi pengalaman; (d) Sifatnya informal; (e) Melibatkan seluruh stakeholders; (f) Menghargai perbedaan; (g) Triangulasi (koreksi silang/verifikasi); (h) Mengoptimalkan hasil; (i) Sering menyadari kesalahannya (belajar dari kesalahan); dan (j) Berorientasi praktis; (k) Berkelanjutan.
Untuk mengoptimalkan data dan informasi primer dari para pihak melalui diskusi grup terfokus (FGD), maka dalam metode pendekatan partisipatif tersebut konsultan akan menggunakan : (1) metode perencanaan yang berorientasi pada tujuan (PBPT) atau sering dikenal dengan istilah Ziel Orientierte Project Plannung (ZOPP), dan (2) metode Delphi.
14
3.1.2.a Metode Ziel Orientierte Project Plannung (ZOPP)
1) Apa dan Bagimana ZOPP
ZOPP adalah seperangkat alat-alat perencanaan partisipatif yang sederhana, bersifat terbuka dan realistis. Mutu dari hasil perencanaan metode ZOPP sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas kelompok dan informasi yang diberikan. Selain itu ZOPP dapat menyelaraskan harapan dan pendapat yang berbeda-beda melalui proses konsensus bersama. Adapun alat-alat perencanaan ZOPP yang sering digunakan yaitu : 1) Analisis masalah, (2) Analisis tujuan, (3) Analisis alternatif dari berbagai pilihan solusi dari masalah yang ada, (4) Analisis peran dan (5) Analisis matriks perencanaan/rencana tindak lanjut.
(a) Analisis Permasalahan, yaitu merupakan suatu teknis untuk meneliti semua masalah-masalah yang selanjutnya menentukan akar masalah yang dihadapi oleh stakeholders. Masalah yang diidentifikasi ditujukan pada masalah-masalah yang terkait dengan suatu kondisi masalah inti dan memperhatikan serangkaian hubungan sebab akibat baik yang berkaitan dengan masalah kawasan, masalah kelembagaan (organisasi termasuk hierarki dan job diskripsi, aturan main dalam kelembagaan termasuk peran dari stakeholders dalam kelembagaan yang dimaksud baik pada level kebijakan maupun implementasi, masalah kesiapan SDM, infrastruktur, pembiayaan sebagai faktor pendukung), maupun masalah usaha.
(b) Analisis tujuan, yaitu merupakan suatu teknis untuk meneliti tujuan-tujuan yang akan dicapai sebagai akibat dari pemecahan masalah-masalah yang telah diarahkan pada analisa masalah baik yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dari aspek kawasan, kelembagaan maupun aspek bisnis/usaha dari hasil kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat.
(c) Analisa alternatif, yaitu merupakan suatu teknik untuk mengkaji beberapa pilihan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi terhadap hak ulayat oleh IUPHHK, termasuk mengkaji peran masing-masing stakeholders atau peran dari berbagai instansi terkait dalam rangka merumuskan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat yang disepakati bersama, yang secara sistemik dan kontinu mampu mengakomodasikan seluruh informasi tentang struktur kelembagaan yang meliputi komponen kelembagaan staffing, hubungan tata kerja dan dasar hukum serta aturan main para pihak sesuai dengan perannya. Dalam analisis alternatif diadakan identifikasi dan pengkajian kemungkinan pilihan strategi yang paling memberi harapan untuk berhasil
15
(d) Analisis peran, yaitu merupakan alat ZOPP yang digunakan untuk memberikan gambaran mengenai semua pihak/kelompok yang berhubungan dengan kegiatan yang akan direncanakan baik dari aspek kawasan, kelembagaan maupun dari aspek bisnis/usaha atau perpaduan ketiganya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat adat. Melalui arahan peran ini dapat dilihat hubungan dan koordinasi yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan kegiatan, baik peran dari lembaga/instansi pemerintah (eksekutif). Legislatif, konsultan, LSM, Perguruan Tinggi dan masyarakat umum.
(e) Matrik perencanaan kegiatan (rencana tindak lanjut) yaitu merupakan rangkian dari berbagai alternatif peningkatan kesejahteraan masayarakat adat yang telah dan sedang berjalan saat ini. Selain itu pada matriks perencanaan kegiatan tersebut juga berisi asumsi-asumsi penting dan rencana tindak lanjut sebagai suatu solusi yang akan menjadi pertimbangan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat adat. Dalam implementasinya, pendekatan ini khususnya yang berkaitan dengan penggunaan alat analisis masalah dan tujuan akan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan seluruh stakeholders yang terlibat dalam forum diskusi.
3.1.1.b Metode Delphi
1) Apa dan Bagaimana Delphi
Delphi adalah sebuah teknik pendekatan yang dipola untuk menstruktur pendapat informan group melalui FGD dalam tatanan analisis dan menjelaskan suatu masalah, perencanaan dan isu-isu featur yang berkaitan dengan kebijakan (Davis, 1980). Dengan demikian metode delphi adalah proses perencanaan yang melibatkan berbagai pihak dalam mencapai suatu kesepakatan. Terdapat dua pendekatan dalam metode delphi, yaitu policy delphi dan conventional delphi. Policy delphi biasanya digunakan untuk melakukan pengumpulan data dan informasi serta analisis isu kebijakan yang bersifat makro, pada tingkat regional atau nasional. Sedangkan conventional delphi digunakan untuk pengumpulan data dan informasi serta analisis kebijakan bersifat jangka pendek. Kedua metode delphi tersebut akan digunakan secara bersamaan karena keduanya saling berkaitan dalam analisis kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat bagi kesejahteraan masyarakat adat.
16
2) Cara dan Mekanisme Penggunaan Policy Delphi
Metode delphi ini biasanya diawali dengan perumusan isu-isu strategis dan atau global yang bersifat makro dan mikro serta berbagai isu kebijakan dan termasuk isu-isu yang diperoleh dan hasil penelitian yang berkaitan dengan kegiatan, yang dalam konteks ini adalah analisis kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat bagi kesejahteraan masyarakat adat. Selanjutnya dilanjutkan dengan isu-isu lokal yang merupakan potensi dan permasalahan internal yang dihadapi peningkatan kesejahteraan masyarakat adat Adapun proses perumusan rancangan penggunaan metode pendekatan delphi tersebut dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan berikut :
(a) Merumuskan isu yang menjadi fokus tujuan serta apa yang akan dicapai dan pengaruh kebijakan yang akan dirumuskan tersebut ketika akan mengimplementasikan. Isu-isu kebijakan tersebut merupakan output dari hasil penerapan metode ZOPP yang disampikan para pihak dalam forum semi loka/workshop ZOPP baik yang berkaitan dengan aspek kawasan, kelembagaan maupun aspek usaha/bisnis
(b) Merencanakan pilihan-pilihan kebijakan yang diambil bersama berdasarkan isu-isu pokok kawasan, kelembagaan dan isu-isu usaha/bisnis yang disampikan melalui semi loka/workshop ZOPP
(c) Menentukan simpul masalah sebagai isu yang terpenting, dan identifikasi pertentangan-pertentangan yang berkaitan dengan aspek kawasan, kelembagaan maupun aspek usaha/bisnis
(d) Melakukan eksplorasi alasan-alasan pertentangan dan klarifikasi pandangan-pandangan dan asumsi-asumsi yang mendasarinya yang disampaikan pada saat peserta merumuskan alternatif kebijakan
(e) Melakukan evaluasi berbagai alternatif kebijakan tentang alasan-alasan yang mendasari isu
(f) Melakukan evaluasi kembali pilihan-pilihan kebijakan berdasarkan perkiraan bukti-bukti yang mendasari isu-isu yang diangkat.
17
3.1.3 Metode Pendekatan Survey
3.1.3.a. Pengertian Metode Survey
Pendekatan survey lapangan yang dimaksudkan dalam pekerjaan ini adalah pengumpulan data/informasi yang tidak bisa diakomodir melalui pendekatan delphy, ZOPP, dan pendekatan desk study (data/informasi sekunder). Data yang dikumpulkan melalui survei lapangan misalnya survei profil kelola kawasan, kelembagaan dan kelola usaha dari lokasi uji petik yang telah ditetapkan. Data dan informasi dari hasil survey melalui uji petik tersebut selanjutnya akan menjadi salah satu masukan dalam analisis kontribusi IUPHHK analisis kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat bagi kesejahteraan masyarakat adat.
Proses Prosedur Kerja Metode Survey
Kegiatan survey pada aspek kawasan akan difokuskan pada status kawasan (identifikasi status dan klarifikasi kawasan) apakah para pelaku usaha (Unit Manajemen) bersangkutan melakukan pengembangan dan pemanfaatan IUPHHK pada kawasan yang telah dibebani hak atau belum dibebani hak, kemantapan kawasan (ijin dan konflik kawasan), penataan kawasan, keamanan kawasan, dan karakteristik kawasan.
Selanjutnya pada aspek kelembagaan, kegiatan survey akan difokuskan pada penggalian data dan informasi mengenai bentuk kelembagaan, organisasi, aturan main, SDM, pembiayaan, dan infrastruktur pendukung. Sementara pada aspek usaha, kegiatan analisis akan difokuskan pada penggalian data dan informasi mengenai jenis komoditas yang dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat, teknik pemanfaatan, teknologi yang digunakan, pemasaran, pembiayaan (permodalan) usaha, jaringan, dan karakteristik sosial buadaya setempat sehubungan dengan adanya kontribusi terhadap hak ulayat oleh IUPHHK.
3.2 Jenis Data dan Informasi yang Dibutuhkan
Mengacu pada kerangka pendekatan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka jenis data yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaan ini adalah berupa data sekunder dan data primer. Kedua Jenis data tersebut didiuraikan berikut ini.
18
3.2.1. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui kajian buku laporan, referensi maupun data-data penunjang lainnya yang relevan dengan pekerjaan. Data-data tersebut dapat diperoleh dari berbagai instansi, baik di tingkat pusat maupun di daerah, yaitu:
a. Kantor Departemen Kehutanan, untuk data dan informasi mengenai kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku, baik yang secara langsung berkaitan maupun tidak langsung berkaitan hak ulayat (masyarakat adat) dan kontribusi IUPHHK
b. Kantor instansi pemerintah di tingkat provinsi, khususnya kantor Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten, BAPPEDA provinsi dan kabupaten, kantor statistik provinsi dan kabupaten, kantor BPN, Dinas Pertanian, Dinas Sosial, Bapedalda, Dinas Perdagangan, dsb. Antara lain : laporan realisasi kegiatan peningkatan usaha masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dan atau data dan informasi lain yang mungkin berkaitan dengan pekerjaan ini.
c. Kantor UM (IUPHHK) untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kontribusi IUPHHK terhadap hak ulayat baik yang berkaitan dengan kawasan, kelembagaan, dan usaha/bisnis serta pola-pola kemitraan yang telah atau sedang dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat
d. LSM, dan Perguruan Tinggi, serta lembaga penelitian lain (pusat dan daerah) yaitu untuk memperoleh data dan informasi sekunder tentang hasil-hasil penelitian, pendampingan, dan atau data dan informasi sekunder reverensi lain yang berkaitan dengan analisis ini.
3.2.2. Data Primer
Data primer diperoleh dengan melakukan pengumpulan data dan informasi langsung di
lapangan, baik dengan cara pengamatan di lapangan maupun dengan cara wawancara
dengan sampel-sampel UM dan penduduk setempat (untuk data dan informasi sosial-
ekonomi-budaya). Selain itu juga diperoleh langsung melalui konsultasi publik baik
melalui delphi maupun forum ZOPP.
Kedua jenis data tersebut (primer dan sekunder) tersebut akan dilakukan secara simultan
karena saling melengkapi dan terkait, dan dalam mencari data dan informasi pada kedua
jenis data tersebut akan dilakukan dengan menggunakan ketiga kerangka metode
pendekatan sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
19
Data primer yang dikumpulkan antara lain, (1) data penerimaan masyarakat, (2) Data
penyerapan tenaga kerja, (3) Data distribusi penerimaan, (4) presepsi dan bentuk peran
aktif masyarakat dalam mengelola hutan Sedangkan data sekunder dilakukan dengan
mengutip/menyerap data pada beberapa instansi pemerintah maupun swasta serta hasil-
hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
3.3 Pengukuran Kontribusi Perusahaan Melalui Kegiatan Pemberdayaan
a. Penerimaan
Besarnya penerimaan diukur berdasarkan penerimaan yang diterima oleh rumah tangga
dan dianalisis berdasarkan sumbernya. Sumber penerimaan responden dimasukkan ke
dalam 4 kategori, yaitu : (1) hasil hutan, (2) pertanian, (3) jasa perdagangan, dan (4) jasa
lain (Astana, dkk., 2002). Penerimaan yang diukur adalah penerimaan rumah tangga yang
diperoleh dari berbagai sumber dalam satu tahun terakhir. Perhitungan besarnya
penerimaan penduduk per kapita per tahun dilakukan dengan cara membagi total
penerimaan rumah tangga contoh dalam satu tahun dengan jumlah anggota keluarga
rumah tangga contoh. Penerimaan per kapita merupakan penerimaan yang dimiliki oleh
setiap anggota rumah tangga.
Penyajian dan pengolahan data penerimaan dilakukan secara tabulasi berdasarkan pada
sumber penerimaan dan pengeluaran rumah tangga, serta besar penerimaan (pengeluaran)
rumah tangga.
b. Distribusi pengeluaran
Distribusi pengeluaran diukur dengan melihat persentase pengeluaran berdasarkan jenis
pengeluarannya atau kemana saja penerimaan tersebut didistribusikan. Jenis Pengeluaran
dikelompokkan kedalam 3 katagori kebutuhan yaitu : (1) Primer atau jenis pengeluaran
untuk kebutuhan pangan (beras, gula, kopi, dan kebutuhan makan lainnya), (2) Sekunder
atau jenis pengeluaran untuk kebutuhan sandang (pakaian, sekolah, hiburan), (3) tersier
atau jenis pengeluaran untuk kebutuhan papan atau kebutuhan konsumtif (rumah tinggal
yang layak, perabotan rumah tangga, alat electronik).
c. Penyerapan tenaga kerja
20
Penyerapan tenaga kerja dianalisis berdasarkan jumlah/persentase penduduk yang diserap
oleh masing-masing pola pemberdayaan masyarakat yang dikelompokkan menjadi (1)
lokal Papua, (2) lokal setempat. Dalam menganalisis berapa besar penyerapan tenaga
kerja digunakan satuan persentase (%).
Penyerapan tenaga kerja dianalisis dengan membandingkan persentase penduduk yang
bekerja pada setiap bagian dari kegiatan HPH. Efektifitas pola pemberdayaan dianalisa
menurut peta hubungan (Alhamid dan Rizal, 1997) sebagai berikut :
(1) Penyerapan tenaga kerja Tinggi X PendapatanRendah
(2) Penyerapan tenaga kerjaRendah X PendapatanRendah
(3) Penyerapan tenaga kerjaRendah X Pendapatan Tinggi
(4) Penyerapan tenaga kerja Tinggi X Pendapatan Tinggi
21
BAB 4. SEKILAS TENTANG HAK ULAYAT DI PROVINSI PAPUA
4.1 Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Beberapa pakar hukum adat, diantaranya Ter Haar dan Sepomo telah mencoba
mendeskripsikan pengertian “masyarakat hukum adat”. Ter Haar (dalam Muhammad
1984) mengemukakan bahwa masyarakat hukum adat adalah : “Kesatuan manusia yang
teratur, menetap di suatu daerah tertentu mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai
kekayaan yang berwujud dan tidak terwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-
masing mengalai kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam, dan tidak seorangpun untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau
meningalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya”.
Sementara itu, Soepomo (1981) menyatakan bahwa persekutuan-persekutuan hukum di
Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan yakni persekutuan berdasar pertalian
keturunan (geneologi) dan persekutuan yang berdasarkan lingkungan daerah (teritorial).
Sedangkan Hazairin (dalam soekanto), 1981) menjelaskan bahwa masyarakat-masyarakat
hukum adat seperti desa di Jawa atau marga di Sumatera Selatan adalah kesatuan-
kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup
berdiri sendiri,
yaitu pertama mempunyai kesatua lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah
dan air bagi semua anggota, kedua bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,
matrilineal atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahan, ketiga penghidupannya,
yang terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil
hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan
kerajinan tangan, berciri komunal dimana gotong royong, tolong menolong masih kuat
dan semua anggota masyarakat mempunyai kesaan hak dan kewajiban serta semua
mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan bersama.
Berdasarkan pendapat para pakar hukum adat tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
kriteria masyarakat hukum adat sebagai berkut :
22
a. Terdapat masyarakat yang teratur;
b. Menempati suatu tempat teratur;
c. Ada kelembagaan;
d. Memiliki kekayaan bersama;
e. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan dan berdsarkan
lingkungan daerah;
f. Hidup secara komunal dan gotong royong.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengatur pengakuan keberadaan Masyarakat
Hukum Adat, dalam Pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Masyarakat hukum adat diakui keberadaaanya jika menurut kenyataannya memenuhi
unsur, antara lain :
a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. Terdapat kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
23
Masyarakat hukum adat diartikan sebagai masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu
wilayah yang mempunyai kelembagaan penguasa adat dan pranata hak-hak tradisional
yang ditaati dan dipertahankan secara turun temurun. Pengakuan terhadap hak
masyarakat hukum adapt merupakan amanat Konstitusi. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945
menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang”.
Hutan adat tidak selalu berada dalam kawasan hutan negara, melainkan juga juga
dimungkinkan berada di dalam hutan hak yang dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh
masyarakat hukum adat.
Apabila hutan adat berada di dalam hutan negara maka pengelolaan hutan negara yang
telah ditetapkan sebagai hutan adat diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat hukum
adat yang dikukuhkan melalui peraturan daerah.
Jika pranata adat tidak memungkinkan lagi mengelola hutan adat secara lestari, maka
masyarakat hukum adat dapat mengajukan permohonan pembinaan teknis kepada
Pemerintah melalui Pemerintah Daerah, mengembalikan hak pengelolaan hutan adat
kepada Pemerintah melalui Pemerintah Daerah, atau hak pengelolaan hutan adat ditarik
kembali oleh Pemerintah melalui Pemerintah Daerah.
Menurut rumusan Ter Haar masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang
teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai
kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupaun tidak terlihat, dimana para
anggota kesatuan masingmasing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal
yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu
mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh
itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-
lamanya.
Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan berdasarkan statusnya
terdiri dari : hutan negara dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Hutan
adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
24
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Van Vollenhoven, jauh sebelum
kemerdekaan di wilayah nusantara terdapat 19 wilayah hokum adat, yaitu daerah (1)
Aceh, (2) Gayo, Alas, Batak dan Nias, (3) Minangkabau, Mentawai, (4) Sumatera
Selatan, Enggano, (5) Melayu, (6) Bangka, Belitung, (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9)
Gorontalo, (10) Toraja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku,
(14) Irian Barat, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali, Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa
Timur, Madura, (18) Solo, Yogyakarta, (19) Jawa Barat, Jakarta.
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi
unsur antara lain:
a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;
dan
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Apabila di suatu wilayah terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam
kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan Hak Pengusahaan Hutan/Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), maka terhadap permohonan atau
tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh
masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait
serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah
25
permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan.
Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat
sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999.
Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya diserahkan
kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) setempat, Bupati/Walikota
melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan
memuat letak, luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan
dengan rekomendasi Gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada (de facto) dan diakui
keberadaannya (de yure).
Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar
masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
Peraturan Daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan
kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat.
Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan
hutan adat. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat
menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang bersangkutan.
Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat
terhadap para pemegang HPH/IUPHHK yang melakukan kegiatan/operasi di wilayah
masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus berbentuk
uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau keterlibatan dalam usaha
pemanfaatan hutan disekitarnya atau pembangunan fasilitas umum/sosial yang
bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan dalam batas kewajaran/tidak
berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat.
Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat
terhadap para pemegang HPH/IUPHHK, Gubernur atau Bupati/Walikota dapat
memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian dengan cara
musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu, maka penyelesaiannya
26
disarankan dilakukan melalui proses pengadilan dengan mengajukan gugatan secara
perdata melalui Peradilan Umum.
Pemerintah Daerah mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau
hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah. Dalam pengelolaan hak ulayat
masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas
tanah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan
warga masyarakat hukum adat atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak
berlaku terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah
Khusus ini sudah dipunyai oleh perorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas
tanah sesuai dengan peraturan perundangun.
Pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat
hukum adat atas tanah berkewajiban melepaskan tanah tersebut yang diperlukan
Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti
kerugian atas faktor fisik dan ganti kerugian atas faktor nonfisik berdasarkan hasil
musyawarah dan peraturan perundang-undangan. Kerugian atas faktor fisik, meliputi :
a. Kehilangan tanah (tanah pertanian, akses ke hutan serta sumber daya alam lainnya,
hilangnya hak memanfaatkan sumber daya alam); dan atau
b. Kehilangan bangunan (rumah dan bangunan fisik lainnya); dan atau
c. kehilangan pusat kehidupan dan pusat budaya masyarakat (tempat-tempat religius,
tempat ibadah, pemakaman).
Ganti kerugian atas faktor fisik diberikan dalam bentuk : uang, tanah pengganti,
permukiman kembali, dana abadi, penyertaan saham, atau bentuk lain yang disepakati
bersama.
Kerugian atas faktor nonfisik meliputi kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan
karena ketergantungan pada tanah beserta segala isinya. Ganti kerugian atas faktor
nonfisik dapat berupa usaha pengganti, penyediaan lapangan kerja, bantuan kredit, dan
bentuk lain yang disepakati bersama.
27
Penentuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga
masyarakat hukum adat atas tanah di suatu daerah harus didahului oleh suatu kegiatan
penelitian yang cermat dengan metodologi penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan,
oleh suatu panitia peneliti yang dibentuk oleh Bupati / Walikota dengan Keputusan
Bupati / Walikota, kecuali bila lintas kabupaten /kota.
Kriteria adanya suatu wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak
perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah tertentu maksudnya bahwa hak
ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat
atas tanah tersebut mempunyai batas-batas yang jelas dan tidak bertentangan dengan
batas-batas hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga
masyarakat hukum adat atas tanah lainnya yang berbatasan.
Kewenangan mengelola hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan
warga masyarakat hukum adat atas tanah tidak berlaku bagi tanah-tanah yang sudah
dikuasai oleh instansi pemerintah atau badan hukum atau perseorangan dengan sesuatu
hak atas tanah sesuai ketentuan Undang-undang.
Pengelolaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat dimaksudkan agar warga
masyarakat hukum adat tersebut dapat memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan yang
makin tinggi. Oleh karena itu penguasa adat yang berwenang melaksanakan pengelolaan
hak ulayat berkewajiban untuk memanfaatkan hak ulayat untuk kesejahteraan warganya
melalui usaha bersama para warganya atau bekerjasama dengan pihak lain. Apabila untuk
keperluan kepentingan umum diperlukan pelepasan hak ulayat masyarakat hukum adat
dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah maka masyarakat
pemegang hak ulayat dan atau perorangan warga masyarakat hukum adat wajib untuk
melepaskan tanah ulayat yang diperlukan dengan pemberian ganti kerugian atas faktor
fisik dang anti kerugian factor nonfisik yang wajar sesuai kesepakatan antara Pemerintah
dengan masyarakat hukum adat dan atau perorangan warga masyarakat hukum adat
dengan memperhatikan kemampuan keuangan Pemerintah.
Dengan pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga
masyarakat hukum adat atas tanah, masyarakat hukum adat dan atau perorangan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan wajib mematuhi ketentuan peraturan
28
perundang-undangan yang berlaku. Misalnya kalau sebagian dari wilayah hak ulayat
masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas
tanah itu termasuk kawasan hutan lindung atau suaka margasatwa atau kawasan lindung
lainnya, maka masyarakat hukum adat dan atau perorangan warga masuarakat hukum
adat yang bersangkutan harus mencegah kerusakannya dan tidak diperkenankan untuk
diberikan kepada warganya atau kepada pihak luar untuk kepentingan usaha budidaya.
Mengingat air merupakan kebutuhan mutlak manusia dan makhluk hidup lainnya, maka
tidak dibenarkan suatu masyarakat hukum adat dan atau perorangan warga masyarakat
hukum adat tertentu untuk menghalang-halangi penggunaan air yang bersumber atau
mengalir dalam hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga
masyarakat hukum adat atas tanahnya oleh masyarakat umum atau untuk dikelola oleh
Pemerintah Daerah dalam upaya memenuhi kebutuhan air bagi berbagai keperluan
masyarakat secara menyeluruh.
Wewenang pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga
masyarakat hukum adat atas tanah adalah :
a. Melaksanakan pengelolaan tanah sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
b. Melakukan musyawarah dengan pihak ketiga diluar warga masyarakat hukum adat
yang memerlukan tanah untuk berbagai kepentingan;
c. Menyerahkan sebagian atau seluruh hak ulayat kepada warga untuk dikuasai oleh
masing-masing warga sebagai hak perorangan,
Kewajiban pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga
masyarakat hukum adat atas tanah adalah :
a. Meningkatkan kesejahteraan dengan pemanfaatan tanah secara optimal;
b. Melepaskan tanah yang diperlukan Pemerintah/Pemerintah Provinsi/Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti kerugian atas
faktor fisik dan ganti kerugian faktor nonfisik berdasarkan hasil musyawarah dan
peraturan perundangundangan;
c. Menjaga kelestarian tanah,
29
Menurut Maria Sumardjono (1999), kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat
dihubungkan dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah:
a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek
hak ulayat,
b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup)
yang merupakan obyek hak ulayat;
c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-
perbuatan hukum.
Bila persyaratan tersebut di atas dipenuhi secara kumulatif, maka hal itu merupakan
petunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan masyarakat adat
tersebut masih ada. Dapat dipertegas kembali mengenai kriteria Masyarakat Adat
sebagai Subjek Hukum, Objek Hukum dan Wewenang Masyarakat Adat sebagai-berikut:
Subyek hak masyarakat atas wilayah adatnya (hak ulayat) dalam per Undang-undangan
nasional yang digunakan adalah masyarakat hokum adat. Masyarakat hukum adat di
Indonesia merupakan masyarakat atas kesamaan teritorial (wilayah), Genealogis
(keturunan), dan teritorialgenealogis (wilayah dan keturunan), sehingga terdapat
keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lainnya (Ter Haar, 1939
dalam Abdurahman & Wentzel, 1997; Sutanto-Sunario,1999; Titahelu 1998).
Obyek hak masyarakat atas wilayah adatnya (hak ulayat) adalah tanah, air, tumbuh-
tumbuhan, dan binatang, sedangkan dalam Undang-undang Braja Nanti Kerajaan Kutai
Kartanegara secara jelas dikatakan termasuk mineral sebagai hak adat. Wilayah
mempunyai batas-batas yang jelas baik secara faktual (batas alam atau tanda-tanda di
lapangan) maupun simbolis (bunyi gong yang masih terdengar). Mengatur dan
menetukan hubungan dapat terlihat dengan mudah apakah transaksi-transaksi mengenai
mengenai tanah dilakukan oleh aturan dan kelembagaan adat (Mahadi 1991 dalam
Abdurahman & Wentzel 1997).
Wewenang Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Hutan yang dimaksud
umumnya mencakup;
30
1) Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok
tanam, dll), persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru dll), dan
pemeliharaan tanah.
2) Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan
hak tertentu kepada subyek tertentu)
3) Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dll).
Wewenang masyarakat adat tidak sekedar atas obyek tanah, tetapi juga atas obyek-obyek
sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah (pepohonan, binatang,
bebatuan yang memiliki makna ekonomis); di dalam tanah bahan-bahan galian), dan juga
sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah
yang berada didalamnya.
4.2 Implementasi Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Atas Hutan
Di dalam Undang-undang Kehutanan Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa semua hutan
dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, dikuasai oleh Negara. Di dalam ayat (2) hak menguasai dari negara yang
tersebut pada ayat (1) diatur dengan memberi wewenang kepada negara untuk: a.
menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan
sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara; dan b.
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum
dengan hutan, dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang ini, Pemerintah dapat mengatur pemberian hak-
hak atas hutan kepada subyek hukum, apakah perorangan atau badan hukum. Sesuai
dengan semangat baru di era reformasi sekarang ini, sedang disusun konsep baru dalam
pembangunan kehutanan, yang lebih berpihak dan memberi peluang kepada masyarakat
setempat, yang berada di dalam dan sekitar hutan, baik yang merupakan masyarakat
hukum adat ataupun masyarakat lokal lainnya. Konsep baru ini, dimaksudkan untuk
memadukan kepentingan masyarakat setempat yang berada di dalam dan disekitar hutan,
dengan kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sebagai konsekuensi
31
adanya negara kesatuan Republik Indonesia. Kemakmuran yang dicitacitakan ialah
kemakmuran seluruh rakyat dan masyarakat Indonesia, dengan menggunakan dan
memanfaatkan salah satu modal dasar pembangunan yaitu “hutan”.
Terkait dengan masalah hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan, maka perlu di
perjelas mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Kawasan hutan yang merupakan wilayah hak ulayat (hutan adat) mempunyai fungsi
komunal.
2. Pengelolaan hutan adat harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Kawasan hutan adat tidak dapat dipecahkan dan dimiliki perorangan.
4. Pengelolaan hutan di serahkan kepada masyarakat hukum adat masing-masing.
5. Pengelolaan hutan adat tidak diperkenankan melakukan perikatan masalah kawasan
hutan kepada pihak manapun tanpa persetujuan pemerintah.
6. Hak-hak yang dimiliki masyarakat hutan adat sebagaimana diatur dalam pasal 67 ayat
(1) adalah sebagai berikut:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang;
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka kesejahteraannya.
d. Pola-pola pemberdayaan partisipatif merupakan pilihan yang ideal untuk
masyarakat hukum adat.
Adapun kewajiban dari masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan adat selain
didasarkan pada ketentuan adatnya, perlu diatur juga dalam peraturan pelaksanaan
tentang pengelolaan hutan adat mengenai : Kewajiban untuk pelestarian, pengelolaan
kawasan hutan, kewajiban pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi yang
berada di kawasan hutan adat, kewajiban untuk perlindungan kawasan dari gangguan
manusia dan ancaman lain.
32
Atas dasar hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut dan dengan dituangkannya dalam
peraturan perundang-undangan, maka diharapkan pengelolaan hutan adat yang dilakukan
oleh masyarakat hukum adat dapat berjalan dengan baik, dan kawasan hutan dapat
dimanfaatkan secara lestari.
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk
paguyuban (rehtsgemeenschap), ada kelembagaan adat, ada wilayah hukum, ada pranata
dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, masih mengadakan pemungutan hasil
hutan diwilayah hutan sekitarnya, yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan
Daerah.
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
yang dahulu disebut hutan ulayat atau hutan marga atau hutan pertuanan atau yang
sejenis itu.
Kriteria Hutan Adat
Hutan adat dari masyarakat hukum adat atas tanah dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat, yang masih berlangsung, diakui, dihormati dan dilindungi
keberadaannya. Hutan adat tidak meliputi kawasan hutan yang telah dibebani hak/izin
dan kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan
Khusus.
Hutan dapat ditetapkan sebagai Hutan adat apabila dipenuhi kriteria : pertama terdapat
masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak komunal tradisional atas hutan scara turun
temurun; kedua ada pemimpin adat yang melaksanakan ketentuan-ketentuan hak tersebut;
ketiga apa yang dilaksanakan menyangkut hutan, ditetapkan dan diperintahkan pemimpin
adat, masih ditaati oleh warga masyarakat yang bersangkutan; keempat terdapat
kesadaran bahwa hutan komunal tradisional adalah hutan bersama, bukan milik
perorangan, sehingga harus dipelihara dan dipertahankan secara bersama-sama; kelima
setiap pemanfaatan hutan harus dengan musyawarah; keenam semua orang yang tidak
termasuk dalam warga masyarakat adat tidak berhak atas hutan adat, jika mereka akan
33
ikut serta maka mereka perlu mengikuti prosedur yang berlaku, misalnya melalui
perkawinan atau mengabdi.
Pelaksanaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat harus memperhatikan : pertama
prinsip-prinsip persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; kedua pembangunan nasional; ketiga pengakuan, penghormatan dan
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan; keempat
fungsi sosial, ekosistem lingkungan setempat; kelima unifikasi hukum; keenam
perencanaan peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dan ketujuh penghormatan
dan perlindungan pada hak asasi manusia.
Pengukuhan dan Hapusnya Masyarakat Hukum Adat
Pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat didasarkan atas hasil penelitian tentang
keberadaan masyarakat hukum adat setempat. Penelitian dapat diajukan oleh pakar
hukum adat, masyarakat adat yang ada di daerah setempat, aspirasi masyarakat setempat,
Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM), instansi atau pihak lain yang terkait disampaikan
kepada Bupati/Walikota apabila berada dalam satu wilayah Kabupaten/Kota atau
Gubernur apabila berada dalam lintas wilayah Kabupaten/Kota.
Wilayah hukum adat meliputin pertama suatu wilayah tertentu yang berdasarkan sejarah
keturunan dan hubungan kerabat yang menguasai kawasan dan sumber daya alam
sekitarnya; kedua kawasan yang merupakan sumber mata pencaharian; ketiga batas
wilayah yang yuridiksinya dihormati dan diakui oleh sesama masyarakat hukum adat.
Sedangkan pranata, perangkat hukum dan peradilan adat yang masih ditaati meliputi :
pertama adanya sistem nilai, pranata, norma yang mengatur berbagai aspek atau sendi
kehidupan warga masyarakat adat; kedua adanya penegakan hukum dan sanksi hukuman
adat; ketiga adanya proses yang terorganisir dalam pengambilan keputusan adat; keempat
adanya tokoh-tokoh adat yang diakui otoritasnya sebagai perangkat adat; kelima adanya
ketaatan dan kepatuhan pada hukum adat.
Kegiatan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat di wilayah hutan berupa
pertama pemungutan hasil hutan atau pola pemanfaatan hutan secara lestari untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; kedua adanya ketergantungan kehidupan
34
masyarakat terhadap sumber daya hutan; ketiga adanya keterikatan sistem sosial dan
budaya terhadap sumber daya hutan; keempat potensi sumber daya hutan masih
memungkinkan untuk memenuhi sumber kehidupan komunitas masyarakat hukum adat.
4.3 Pengertian dan Kriteria Keberadaan Hak Ulayat
Hak ulayat merupakan hak kepemilikan bersama/komunal dari masyarkat hukum adat
yang dikelola secara gotong royong dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
bersama oleh para warga masing-masing. Pasal 3 UU Nomor 5 tahun 1960 (UUPA)
mengatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat itu tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang. Karena itu, tidak dapat dibenarkan apabila hak ulayat suatu masyarakat hukum
adat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah,
misalnya menolak dibukanya
hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan
transmigrasi dan lain sebagainya. Demikian pula, tidak dapat dibenarkan apabila hak
ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan
secara sewenang-wenang. Apabila hal ini dibiarkan akan ada negara dalam negara,
(penjelasan umum II angka 3 UUPA).
Apa yang dipaparkan dalam Undang-Undang Kehutanan mengenai hak ulayat dan hak-
hak perorangan sama dan sesua dengan apa yang terdapat dalam UUPA yang pada
dasarnya memberikan pengakuan hak ulayat dengan syarat keberadaan (eksistensi) hak
tersebut menurut kenyataannya masih ada. Dalam hal ini, pelaksanaan hak layat itupun
harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi (penjelasan umum II angka 3
UUPA).
Bagaimanakah cara untuk menemukenali keberadaan hak ulayat? Van Vollenhoven
menyebutkan sejumlah ciri atau tanda-tanda hak ulayat sebagai berikut (Riyanto,
2004a:4):
a. Persekutuan hukum dan anggota-anggotanya berhak dengan bebas menggunakan
dan mengenyam kenikmatan menggarap tanah dalam wilayah persekutuan hukum
tersebut.
35
b. Orang yang bukan anggota persekutuan hukm harus mendapat izin terlebih dahuklu
dari kepala persekutuan dengan membayar ganti kerugian.
c. Dalam menggunakan tanah, anggota persekutuan hukum tidak membayar, tetapi
bagi orang luar (asing) harus membayar uang pemasukan (recognitie/contributie).
d. Persetukan hukum bertanggung jawab atas kejahatan (pembunuhan) dalam wilayah
persekutuan hukumnya apabila sipelaku tidak bisa digugat atau tidak dikenal.
e. Persekutuan tidak boleh memindahtangankan (mejual, memberi) untuk selama-
lamanya kepada siapapun juga kecuali dalam hal-hal tertentu dan sangat khusus.
f. Persekutuan hukum tetap mempunyai hak campur tangan atas hak individu.
Soedijat (dalam Riyanto, 2004a: 5) berpendapat bahwa hak ulayat tersebut sangat jelas
terlihat di luar Jawa, Ciri-cirinya adalah :
a. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan
bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaanya.
b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan
tersebut ; tanpa izin itu ia dianggap melakukan pelanggaran
Keberadaan tanah ulayat di wilayah ini diketahui dengan adanya ciri-ciri :
a. Setiap warga masyarakat hukum gampong atau mukim dapat membuka tanah baru
dan menunggu hasilnya di wilayah mukimnya.
b. Batas-batas hak mukim ini jelas, yaitu bila berbatasan langsung dengan mukim yang
lain.
c. Adanya tanah, hutan, maupun perairan yang tetap dipertahankan sebagai milik
umum masyarakat hukum adat.
Dalam hubungan dengan keberadaan hak ulayat, perlu diperhatikan adanya kriteria
penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, seperti yang dikemukakan oleh Maria
Sumardjono,3) sebagai berikut:
a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek
hak ulayat;
b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang
merupakan obyek hak ulayat;
36
c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu, yaitu:
1) Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman,
bercocok tanam dan lain-lain), persediaan (pembuatan pemukiman/ persawahan
baru dan lain-lain), dan pemeliharaan tanah;
2) Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah
(memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu);
3) Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan, dan lain-
lain).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diaturnya hutan yang dikuasai oleh Masyarakat
Hukum Adat tersebut ke dalam pengertian Hutan Negara tidaklah meniadakan hak-hak
masyarakat hukum adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya, untuk
mendapatkan manfaat dari hutan-hutan itu, sepanjang hak-hak itu menurut kenyataanya
memang masih ada. Pelaksanaannya pun harus sedemikian rupa, sehingga tidak
mengganggu tercapainya tujuan yang dicantumkan dalam undang-undang kehutanan dan
pengaturan pelaksanaannya,
37
BAB 5. ANALISIS KONTRIBUSI IUPPHK TERHADAP HAK ULAYAT
Beberapa tahun terakhir ini masyarakat Hukum Adat mulai bangkit lagi untuk
membangun kepercayaan diri dan bahkan telah beberapa kali dapat menyelesaikan
konflik yang sedang mereka hadapi, termasuk juga menyelesaikan konflik penguasaan
sumber daya alam dengan pihak lain seperti negara atau swasta, dengan menggunakan
mekanisme yang mereka selama ini punyai. Namun demikian Masyarakat Hukum Adat
menghendaki adanya kepastian kelola kawasan/areal sebagai tempat hidup masyarakat
hukumnya, sehingga tidak menimbulkan keresahan dan adanya kepastian hukum.
Beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan masyarakat
hukum adat dapat dibagi menjadi 3 materi konflik yang perlu lebih dalam dikaji yaitu :
a. Konflik kewenangan atas ruang
Selama beberapa dekade ini telah terjadi pemanfaatan kawasan oleh pelaku ekonomi
sebagai pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang berakibat terkuranginya teritori
masyarakat hukum adat. Misalnya adanya perizinan dibidang pemanfaatan kayu,
perkebunan, hutan tanaman industri dan lain sebagainya.
b. Konflik atas keberadaan masyarakat hukum adat
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki sistem pengaturan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu
sendiri dengan kesepakatan masyarakat sekitarnya. Masyarakat hukum adat tersebut
memiliki tata hukum serta nilai sendiri yang berlaku di dalam batas wilayah adatnya
sehingga dikatakan otonom. Intervensi yang berlebihan dari pihak luar (pemerintah)
dapat merusak bentuk pengaturan tentang kewenangan dari masyarakat hukum adat
yang telah berjalan dan berakibat runtuhnya sistem dan pola pengelolaan yang
dimiliki. Ini sering terjadi dengan penetapan-penetapan pemerintah yang melakukan
intervensi terlalu jauh terhadap suatu sistem yang sudah cukup mandiri. Sehingga
penilaian keberadaan masyarakat hukum adat oleh pihak luar yang tidak mengerti
38
tentang bentuk pengaturan yang ada dikawatirkan menggangu tatanan yang telah
terbentuk sekian lama.
c. Konflik atas pola pengelolaan sumber daya alam
Konflik atas pola pengelolaan yang ada pada masyarakat hukum adat sering terjadi
dengan memisahkan suatu pola pengelolaan dari sistemnya. Contoh pola pengelolaan
yang jelas adalah perladangan gilir balik yang hanya melihat ladang yang sedang
dikerjakan saja tanpa melihat lahan beranya, dan pola-pola lain di dalam sistem
pengelolaan sumber daya alam. Perladangan gilir balik harus dapat dilihat sebagai
suatu sistem yang menyatu dengan pola sawah yang ada di beberapa bagian
kampung, hutan tutupan, kebun wanatani, sungai hutan tempat berburu bahkan
tempat-tempat keramat.
Sekitar 25 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan perlu
ditingkatkan harkat kehidupan sosial ekonominya ke tingkat yang layak. Di Propinsi
Irian Jaya Barat yang merupakan Propinsi termuda di Indonesia memiliki rumah tangga
miskin sebanyak 128.156 atau 75% dari 170.049 rumah tangga (BPS. 2006). Umumnya
mereka berada di desa-desa tertinggal di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan kondisi
tersebut maka pembangunan kehutanan berkelanjutan yang merupakan upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat desa seharusnya mendapat prioritas yang tinggi.
Sebagai upaya untuk mendorong dan mendukung program nasional pengentasan
kemiskinan, pembangunan kehutanan menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai
salah satu sasaran utama. Pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah mengeluarkan
kewajiban pemberdayaan masyarakat sekitar hutan kepada pemegang hak pengusahaan
hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang pada awalnya melalui Hak
Pengusahaan Hutan Bina Desa melalui SK Menhut No. 671/Kpts-II/1991 selanjutnya
program tersebut diganti dengan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) melalui
SK Menhut 523/Kpts-II/1997.
Namun demikian sejak tahun 2000 upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan,
termasuk di Papua, tidak saja dilakukan dengan pola PMDH tetapi juga menggunakan
pola kompensasi hak berdasarkan SK Gubernur Papua No 51 Tahun 2001 dan sejak
Tahun 2004 biaya kompensasi mengacu pada SK Gubernur No.184 Tahun 2004.
39
Tahun 2005, pelaku ekonomi (HPH/HTI) tidak lagi dibebani dengan PMDH sesuai
dengan Keputusan Menteri No. 4795/Kpts-II/2002 tentang pencabutan SK No. 523/Kpts-
II/1997. Selanjutnya pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pada HPH dan HTI
mengacu pada Kepmen 177/Kpts-II/2003 tentang kriteria dan indikator usaha
pengelolaan hutan secara lestari pada unit manajemen usaha pemanfaatan hutan tanaman.
Keluarnya Kepmen tersebut membawa dampak pada pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan di termasuk di Papua yang semakin tidak jelas. Sebagian
IUPHHK masih menjalankan pola PMDH bersamaan dengan pelaksanaan dana
kompensasi dan ada pula yang hanya menjalankan dana kompensasi. Kondisi ini
meyebabkan semakin tidak jelasnya makna kehadiran IUPHHK bagi kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan.
5.1. Karakteristik Masyarakat Sekitar Hutan di Papua
a. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di wilayah Papua sebagian besar didominasi oleh petani
peramu, nelayan dan buruh pada perusahaan (Tabel 5.1). Sehingga sumber pendapatan
penduduk dapat dikelompokkan menjadi unsur meramu hasil hutan (menangkap ikan,
menokok sagu, berburu, mengumpulkan masoi, rotan dll), pertanian (menanam umbi-
umbian, pisang, jagung, sayuran, pinang, kakao, kelapa), jasa perdagangan (membuka
kios) dan terlibat dalam kegiatan kehutanan (tenaga kerja pada perusahaan/hutan rakyat).
Distribusi jenis mata pencaharian disajikan pada Tabel berikut:
Table 5.1. Distribusi Jenis Mata Pencaharian
40
Pada umumnya penduduk melakukan aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan tiap
bulannya. Kondisi ini ditunjukkan adanya penduduk yang mempunyai tabungan untuk
keberlanjutan kehidupannya. Namun demikian untuk mengatasi kebutuhan uang yang
mendesak penduduk pada umumnya melakukan kegiatan berternak (antara lain babi,
kambing, ayam) yang dapat dijual jika sewaktu-waktu membutuhkan uang. Oleh karena
itu semakin banyak hewan ternak maka, keluarga tersebut dianggap mampu dari segi
materi.
Coklatdan kopra juga menjadi salah satu komoditi yang dihasilkan di Papua. Dengan
komoditi coklat dan kopra penduduk memiliki penghasilan yang cukup tinggi, bahkan
sudah mampu menyekolahkan anak di kota Propinsi Papua. Sumber pengeluaran terbesar
pada setiap kabupaten umumnya terdapat pada barang konsumsi (primer) seperti barang-
barang kebutuhan keluarga sehari-hari (pakaian, minyak tanah, minyak goreng, bumbu)
dan kebutuhan dirinya seperti minyak rambut, sabun mandi, sabun cuci, rokok, bedak,
sampo. Hanya penduduk di Kabupaten Fakfak, Raja Ampat dan Sarmi yang sudah
mampu membeli barang besar yaitu barang-barang sekunder dan tersier seperti TV,
Parabola, Radio. Distribusi jenis pengeluaran masyarakat disajikan pada Tabel 5.2.
Table 5.2. Distribusi Jenis Pengeluaran
41
b. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan bagian dari perilaku masyarakat itu sendiri. Dalam kehidupan
bermasyarakat sebagian penduduk masih melakukan ritual adat sebagai bukti masih
kuatnya pengaruh adat pada wilayah tersebut khususnya dalam mengatur penggunaan
lahan hutan. Ritual adat yang masih dilakukan secara tidak langsung mempengaruhi
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di wilayah IUPHHK khususnya dalam merubah
pola pikir yang tradisional menjadi mandiri. Tabel 5.3 menunjukkan ritual adat yang
masih di lakukan di masing-masing lokasi contoh di Papua.
Tabel 5.3. Jenis Upacara Adat yang masih dilakukan
Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa ritual adat pada saat kelahiran sudah sangat jarang di
lakukan, hal ini dipengaruhi peradaban agama yang sudah cukup berkembang di wilayah
tersebut. Namun pada suku Kuri yang berada pada kampung Wagura distrik Sarbe
kabupaten Teluk Bintuni masih melakukan ritual adat yang lama dengan menempatkan
sang ibu yang akan melahirkan di sebuah gubuk tersendiri jauh dari rumah induk.
Sampai sang anak berumur kurang lebih 3 bulan sang ibu dan bayi melalui pesta adat
dapat dibawa kembali ke rumah. Ritual ini masih dilakukan hingga sekarang, hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa Yesus sang juru selamat lahir di kandang domba,
bukan di dalam sebuah rumah yang megah. Sehingga penduduk yakin bahwa bayi yang
baru lahir dan suci selayaknya berada pada tempat yang serupa dengan tempat kelahiran
Yesus.
42
Ritual kematian masih dilakukan pada suku Kuri, Suku Bugu, suku Dani. Ritual tersebut
masih dilakukan oleh penduduk yang menganut “agama tua” atau agama nenek moyang.
Sedangkan penduduk yang beragama nasrani dan mengenal gereja sudah tidak lagi
melakukannya. Ritual kematian tersebut berbeda-beda, jika penduduk Suku Kuri
meninggal maka jenazah dapat dikuburkan langsung, namun setelah 3- 5 tahun kuburan
tersebut dibongkar untuk diambil tengkorak kepala. Melalui prosesi adat tengkorak
tersebut diletakkan di goa yang terletak di bukit-bukit batu untuk kemudian dijadikan
tempat bersemayamnya arwah-arwah. Tempat tersebut selanjutnya dikenal dengan
tempat keramat. Suku Bugu di pedalaman Sarmi masih melakukan prosesi bayar kepala,
dimana jika kepala keluarga penduduk suku Bugu meningggal dunia maka sang istri
tidak boleh memotong rambutnya sampai dia mampu membayar sejumlah uang yang
diminta oleh keluarga suami sebagai uang kepala. Jika dalam memenuhi jumlah uang
yang diminta sang istri tidak mampu maka, saudara kandung sang istri harus mampu
membayar lunas sejumlah uang tersebut.
Berbeda dengan suku yang lain, suku Dani melakukan ritual kematian dengan melakukan
pemotongan jari. Jika dalam satu keluarga ada yang meninggal, maka sebagai tanda
berduka sang istri harus memotong jarinya dan melumuri dirinya dengan arang selama 40
sampai 100 hari kematian. Dalam pembukaan areal hutan untuk pemanfaatan komersil
dan berskala besar maka, masih dilakukan riual adat dalam bentuk sesajen dan
pengucapan syukur. Ritual ini dilakukan dengan menyembelih ternak babi/kambing dan
mengubur kepala ternak tersebut pada areal yang akan dimanfaatkan. Kegiatan ini
dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap arwah nenek moyang, agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan berupa kemurkaan arwah-arwah nenek moyang selama
kegiatan berlangsung.
5.2. Kemitraan Masyarakat Lokal dan IUPHHK
Pengusahaan hutan adalah suatu kegiatan yang kompleks yang membutuhkan investasi
besar dan pengetahuan akan teknologi yang tepat serta akses terhadap jaringan dan pasar.
Kebijakan dan peraturan kehutanan sudah sangat banyak dan beragam, sehingga
memrlukan pendidikan yang relative tinggi untuk dapat memahami nya. Kurangnya
43
informasi mengenai kebijakan lemahnya kondisi ginansial dan rendahnya kemampuan
dalam bidang teknis dan dukungan politis memicu masyarakat membentuk kemitraan
dengan IUPHHK.
Hanya IUPHHK yang mempunyai modal kemampuan dan sumberdaya yang cukup untuk
mengelola konsesi di ulayat mereka. Model konsesi yang diperoleh melalui IUPHHK
pada prakteknya juga mendorong terjalinnya kemitraan antara masyarakat lokal dan
IUPHHK baik untuk pengusaha IUPHHK besar atau perusahaan non IUPHHK. IUPHHK
mempunyai sarana dan modal besar yang menjadi kendala bagi masyarakat dalam
mengelola areal konsesi. Tujuan dari pola kemitraan adalah awalnya untuk mendorong
pengembang keterampilan masyarakat lokal melalui partisifasi aktif dalam pengelolaan
hutan dan memberikan akses kepada masyarakat untuk manfaat dari ijin konsesi tersebut.
Peran IUPHHK seharusnya tidak hanya dibatasi kepada penanaman modal untuk
menebang kayu. Masyarakat dan IUPHHK harus menjadi mitra yang sejajar dalam
mengelola hutan ulayat bersama-sama. Pembagian manfaat juga harus adil dan merata
berdasarkan kontribusi masing-masing pihak yaitu penyediaan modal, teknologi dan
keterampilan oleh IUPHHK. IUPHHK juga harus berperan aktif dalam mengembangkan
kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan misalnya dengan
memberikan kesempatan kerja dan pengalaman untuk mengelola konsesi, yang tentunya
sangat berharga bagi anggota masyarakat lokal dalam mengelola hutan ulayat mereka
dikemudian hari.
Namun demikian pada kenyataannya IUPHHK cenderung mengambil keuntungan dari
keterbatasan kapasitas masyarakat dan kemampuan negoisasi mereka yang lemah.
IUPHHK melihat kemitraan lebih sebagai kebutuhan administratif untuk menebang kayu
hutan. Oleh karena itu model kemitraan IUPHHK perlu diperbaharui kembali jika ingin
mencapai tujuan semula, yaitu memberdayakan masyarakat lokal dan memberikan bagian
keuntungan yang lebih adil dari pengelolaan sumberdaya hutan di Papua.
44
5.3. Kontribusi Kegiatan Pemanfaatan Hutan Bagi Masyarakat
Pemanfaatan hutan di Papua selain dibebani dengan pelaksanaan TPTI yang optimal, juga
memiliki kontribusi kepada masyarakat yang dikenal dengan dana kompensasi hak ulayat
serta dana Pemberdayaan Masyarakat sekitar hutan (PMDH). Pelaksanaan Dana
kompensasi hak ulayat berdasarkan SK Gubernur telah dilakukan sejak tahun 2001.
Mengacu pada SK Gubernur Papua No 50 tahun 2001, besar kompensasi hak ulayat atas
kayu yang dipungut pada arel hak ulayat di propinsi Papua untuk jenis merbau
Rp. 25.000/m dan jenis kayu campuran Rp.10.000/m . Sejak tahun 2004, pelaksanaan
dana kompensasi mengacu pada SK Gubernur Papua No. 184 tahun 2004, dimana jenis
kayu merbau Rp. 50.000/m dan kayu campuran Rp. 10.000/m .
Dana kompensasi ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan hutan sebagai
pengganti menurunnya kualitas hutan dan hilangnya akses dengan hutan sebagai
lapangan kerja, sebagai dampak eksploitasi kegiatan pengusahaan hutan. Pembayaran
biaya kompensasi dilakukan di blok tebangan/base camp dalam bentuk uang tunai dan
disaksikan oleh MUSPIKA serta instansi terkait. Adapun pelaksanaan PMDH mengacu
pada SK 523/Kpts-II/1997 dengan satuan biaya Rp. 1000/m yang di hitung berdasarkan
hasil tebangan 2 (dua) tahun sebelumnya. Tabel berikut merupakan nilai rupiah yang
telah di serahkan HPH sebagai dana kompensasi dan PMDH selama 5 tahun terakhir
(2000-2005). Adapun Perkembangan pembayaran hak ulayat dari tahun 2004-2008 di
masing-masing Kabupaten wilayah Propinsi Papua untuk setiap IUPHHK secara detil
disajikan pada Tabel 5.4. Sedangkan rekapitulasi pembayaran dan nilai hak ulayat
masing-masing disajikan pada Tabel 5.5. dan 5.6.
45
Tabel 5.4 Perkembangan Pembayaran Hak Ulayat Beberapa IUPHHK di Propinsi Papua
No Kabupaten / Perusahaan
PERKEMBANGAN PEMBAYARAN HAK ULAYAT
KetTahun 2004
Tahun2005
Tahun2006
Tahun2007
Tahun2008 Total
Rp Rp Rp Rp Rp RpA. ASMAT 1 PT. RIMBA MEGAH LESTARI Aktif2 PT. KAYU PUSAKA BUMI
MAKMUR Stagnasi 2002
JUMLAH A -
-
- -
- -
B. BOVENDIGUL 1 PT. BADE MAKMUR ORISSA Aktif2 PT. TUNAS SAWAERMA Aktif3 PT. DIGUL DAYA SAKTI 1 Belum operasi4 PT. DIGUL DAYA SAKTI 2 Stagnasi 20025 PT. DARMALI MAHKOTA
TIMBER Stagnasi 2002
6 PT. TUNGGAL YUDHI Unit II Stagnasi 2002 JUMLAH B
- -
- -
- -
C. KEEROM 1 PT. HANURATA UNIT
JAYAPURA 1354091400
866,534,400 2,220,625,800 Aktif
2 PT. RISANA INDAH FOREST INDUSTRIES
Stagnasi 2005
3 PT. TUNGGAK YHUDI UNIT I Stagnasi 20034 PT. BATASAN Stagnasi 2002 JUMLAH C
- -
- 1,354,091,400.00
866,534,400
2,220,625,800
D. MAPPI
46
1 PT. DAMAI SETIATAMA TIMBER Stagnasi 20022 PT. ARTIKA OPTIMA INTI UNIT
IV Stagnasi 2000
3 PT. WANA TIRTA EDHIE WIBOWO
Belum Operasi
JUMLAH D -
-
- -
- -
E MERAUKE 1 PT. PRABU ALASKA UNIT II Stagnasi 2001 JUMLAH E
- -
- -
- -
F MIMIKA 1 PT. DIADYANI TIMBER 2,246,867,350 Aktif2 PT. ALAS TIRTA KENCANA Stagnsi 19983 PT. KAMUNDAN RAYA Stagmnasi
19984 PT. ARTIKA OPTIMA INTI UNIT II Stagnasi 2005JUMLAH F
- -
- -
- 2,246,867,350
G NABIRE 1 PT. JATI DHARMA INDAH
862,248,200 1,551,853,600
900,954,000
3,315,055,800 Aktif
2 PT. SAURI MOWARI RIMBA I Belum operasi3 PT. SAURI MOWARI RIMBA II Belum operasiJUMLAH G
- -
862,248,200
1,551,853,600
900,954,000
3,315,055,800
H. SARMI 1 PT. BINA BALANTAK UTAMA
2,393,785,586 1,952,205,800
4,345,991,386 Aktif
2 PT. MAMBERAMO ALAS MANDIRI
1,009,229,800
2,978,983,400
4,024,099,500
8,012,312,700 Aktif
3 PT. MONDIALINDO SETYA PRATAMA
Aktif
4 PT. SALAKI MANDIRI 1,287,636,240 Aktif
47
SEJAHTERA 366,138,900 240,692,300 222,952,240 457,852,800 5 PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER
II
2,155,679,900 1,441,241,400
1,026,771,900
490,448,700
5,114,141,900 Aktif
6 PT. SUMBER MITRA JAYA Belum beroperasi
7 PT. PAPUA RIMBA LESTARI Belum beroperasi
JUMLAH H -
2,521,818,800
5,084,949,086
6,180,913,340
4,972,401,000
18,760,082,226
I. WAROPEN 1 PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER
III
68,239,900 Aktif
2 PT. IRMASULINDO UNIT I Aktif3 PT. PERSADA PAPUA HIJAU Belum OperasiJUMLAH I
- -
- 68,239,900.00
0 0
TOTAL -
2,521,818,800
5,947,197,286
9,155,098,240
6,739,889,400
26,542,631,176
Sumber : Seksi Pemantauan dan Evaluasi Hutan Produksi
48
Tabel 5.5 Rekapitulasi pembayaran Hak Ulayat oleh IUPHHK
Kabupaten Jumlah IUPHHK
IUPHHK Aktif
IUPHHK yang membayar Hak Ulayat
Asmat 2 1Bovendigul 6 2Keerom 4 1 1Mappi 3Merauke 1Mimika 4 1 1Nabire 3 1 1Sarmi 7 5 4Waropen 3 2 1
Jumlah 33 13 8
Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa dari total IUPHHK yang tersebar di beberapa
kabupaten di Provinsi Papua, hanya terdapat 13 IUPHHK yang aktif (± 39%), dan
dari IUPHHK yang aktif terdapat 8 IUPHHK yang melakukan pembayaran hak ulayat
(±62%). IUPHHK di Kabupaten Asmat dan Bovendigul tidak melakukan
pembayaran hak ulayat, berbeda dengan di Kabupaten Mimika dan Nabire, semua
IUPHHK yang aktif melakukan pembayaran pembayaran hak ulayat. Jumlah
IUPHHK yang paling banyak melakukan pembayaran hak ulayat terdapat di
Kabupaten Sami yaitu sebanyak empat IUPHHK. Banyaknya HPH/IUPHHK yang
membayar hak ulayat untuk setiap tahunnya disajikan pada gambar 5.1. Adapun
besarnya nilai IUPHHK pada masing-masing kabupaten setiap tahunnya disajikan
pada Tabel 5.6
Gambar 5.1 Banyaknya IUPHHK yang membayar hak ulayat setiap tahun
0
1
2
3
4
5
6
7
8
2004 2005 2006 2007 2008
0
2000
4000
6000
8000
10000
Jumlah HPH BayarHU
Hak Ulayat (JutaRp)
49
Tabel 5.6 Rekapitulasi Nilai Pembayaran Hak Ulayat di Propinsi Papua tahhun 2004-2008
Kabupaten Nilai Hak Ulayat (Rp) %
2004 2005 2006 2007 2008 TotalAsmat Bovendigul Keerom 1.354.091.400 866.534.400 2.220.625.800 8,3Mappi Merauke Mimika 2.246.867.350 2.246.867.350 8,4Nabire 862.248.200 1.551.853.600 900.954.000 3.315.055.800 12,5Sarmi 2.521.818.800 5.084.949.086 6.180.913.340 4.972.401.000 18.760.082.226 70,5Waropen 68.239.900 68.239.900 0,3Jumlah 0 2.521.818.800 6.015.437.186 9.086.858.340 8.986.756.750 2.661.0871.076 100,0
Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa total pembayaran hak ulayat terbanyak dari tahun
2004-2008 dilakukan oleh para IUPHHK di Kabupaten Sarmi yaitu senilai Rp
18.760.082.226 atau sebesar 70,5% dari total pembayaran hak ulayat yang telah
dilakukan selama kurun waktu 2004-2008 di sembilan kabupaten. Adapun rataan
pembayaran hak ulayat per tahun dan per IUPHHK disajikan pada tabel 5.7.
Tabel 5.7 Rekapitulasi Rataan Pembayaran Hak Ulayat di Beberapa Kabupaten di Provinsi Papua
Kabupaten Rataan (Rp/thn) Rataan/IUPHHK Periode PembayaranAsmat 0Bovendigul 0Keerom 1.110.312.900 1.110.312.900 2 xMappi 0Merauke 0Mimika 2.246.867.350 2.246.867.350 1 xNabire 1.105.018.600 1.105.018.600 3 xSarmi 4.690.020.557 1.172.505.139 4 xWaropen 68.239.900 68.239.900 1 x
Jumlah Rataan 6.652.717.769 1.140.588.778
Kontribusi kepada masyarakat diserahkan dalam bentuk kompensasi hak ulayat dan
“aturan ketuk pintu”. Ketuk pintu diklaim sebagai syarat adat oleh masyarakat
setempat, yang mana bila tidak dipenuhi, akan mengakibatkan tidak diijinkannya
perusahaan beroperasi di wilayah dimaksud ataupun kalau dipaksakan akan
menimbulkan kendala-kendala yang lebih besar pada perusahaan di kemudian hari.
Aturan ketuk pintu tidak seragam diterapkan pada seluruh marga, dan belum ada
standar yang baku.
50
Berdasarkan Tabel 5.7 masing-masing IUPHHK rata-rata mengeluarkan dana
pembayaran hak ulayat berkisar Rp. 68.239.900/th – 4.690.020.557/th. Kompensasi
pembayaran hak ulayat tertinggi per tahunnya ditunjukkan di Kabupaten Sarmi, di
mana pembayaran hak ulayat dilakukan sebanyak 4x yaitu mulai tahun 2005-2008.
Distribusi pemanfaatan dana tersebut beragam berdasarkan besar kecilnya rupiah yang
diterima. Masyarakat yang memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan primer
berupa (sandang, pangan dan papan) maupun sekunder, ada juga yang memanfaatkan
untuk kebutuhan primer, sekunder dan tersier (TV,Kendaraan, dan renovasi rumah
serta bersenang-senang). Masyarakat yang mampu mengalokasikan dana untuk
kebutuhan tersier umumnya kepala kampung dan masyarakat yang menerima
kompensasi relatif besar sebagai akibat jumlah produksi kayu tinggi sedangkan jiwa
yang ada dalam satu kampung sangat sedikit.
5.4. Pembagian Manfaat : Pembayaran Tunai untuk IUPHHK
Pada masa rezim order baru, masyarakat lokal tidak mempunyai hak legal terhadap
sumber daya hutan. Areal hutan itu secara resmi digolongkan sebagai kawasan milik
negara yang kemudian lebih banyak dialokasikan kepada pemegang ijin IUPHHK
besar untuk kegiatan eksploitasi kayu, teorinya masyarakat lokal seharusnya
menerima setidaknya sedikit bantuan keuangan dari perusahaan IUPHHK , yang
beroperasi di tanah mereka melalui program Bina Desa Hutan dan PMDH (Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan) akan tetapi pada kenyataannya program-program tersebut
tidak banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat lokal karena pemegang konsesi
kurang memenuhi kewajigan mereka.
Masyarakat lokal hanya menerima sedikit atau bahkan tidak sama sekali dari
kompensasi yang semestinya diberikan oleh pemegang IUPHHK, sehingga
masyarakat tidak lagi percaya dengan sistem konpensasi “ In-Kind” (tidak dalam
bentuk uang tunai) yang dijanjikan IUPHHK tersebut. Pembangunan infrastruktur
yang dijanjikan seperti pusat kesehatan dan gedung-gedung sekolah jarang terealisasi
maka tidaklah mengehrankan jika masyarakat lebih memilih pembayaran tunai seperti
yang mereka terima dalam konsesi IUPHHK ini. Besarnya kompensasi yang harus
dibayarkan pihak IUPHHK kepada masyarakat hukum adat diatur berdasarkan SK.
Gubernur No. 13/2000 dan SK Gubernur No. 50/2001 dimana IUPHHK diwajibkan
51
memberi kompensasi produksi per meter kubiknya. Tabel standar kompensasi bagi
masyarakat adat atas kayu yang dipungut pada areal hak ulayat di propinsi Irian Jaya
( Papua ) disajikan pada Tabel 5.8 berikut :
Tabel 5.8 Standar Kompensasi Kayu yang Dipungut dari Areal Hak Ulayat
Jenis kayuSK.Gub No.
50/2001SK. Gub No. 13/2000
RKT 2001 RKT2000 RKT 95/96-99/00Merbau 25.000 3.000 1.500Non-Merbau 10.000 2.000 1.000Kayu indah 50.000Kayu bakau 1.000 600 300
5.5. Pembagian Manfaat : Pembayaran Tunai pada masyarakat
Melalui sistem IUPHHK masyarakat lokal untuk pertama kalinya memperoleh akses
terhadap sistem ekonomi lokal. Dengan pengalaman di masa lampau, saat ini daya
beli masyarakat lokal sangat jauh melambung tinggi. Manfaat financial yang
diperoleh dari bermitra dengan IUPHHK tersebut dirasakan sangat tiba-tiba sehingga
mereka lebih cenderung menggunakan uang tunai dengan kurang bijaksana. Sangat
sulit menemukan anggota masyarakat penerima manfaat yang berorientasi kepada
investasi jangka panjang dalam menggunakan uang-uang yang diterima. Ketika uang
dialokasikan kepada masing-masing kepala keluarga kebanyakan orang
menggunakannya untuk membeli barang-barang konsumsi modern atau untuk
membayar hutang dan mahar (mas kawin) yang besar bagi perempuan yang akan
menikah.
Pada beberapa kasus manajer IUPHHK mengalokasikan sebagian uang kompensasi
dari IUPHHK untuk membeli peralatan yang dibutuhkan oleh karyawan atau anggota
IUPHHK serta untuk mensubsidi biaya keperluan sehari-hari para anggotanya. Uang
yang tersisa kemudian dibagikan kepada semua anggota keluarga IUPHHK. Selain
itu setiap keluarga juga masih menerima pendapatan lain berdasarkan volume kayu
yang dihasilkan di lahan ulayat mereka. Pendapatan tambahan ini juga biasanya
digunakan untuk membeli barang-barang elektronik seperti : televisi, pemutar CD dan
senapan angina untuk berburu.
52
5.6. Investasi Untuk Pembangunan Sarana dan Prasana
Keberadaan IUPHHK juga telah membantu meningkatkan aksesibilitas masyarakat
desa dengan membuka fasilitas sarana jalan yang memudahkan masyarakat untuk
membawa hasil kebunnya ke pasar. Menghubungkan satu kampong dengan kampong
yang lain dan juga mempercepat pertumbuhan pertumbuhan desa karena masyarakat
lebih mudah menerima informasi. Pada beberapa IUPHHK mereka juga
menggunakan sebagian dari keuntungan produksi untuk membeli sarana transportasi
(mobil atau motor) untuk keperluan anggota marga.
5.7. Dampak Lingkungan Dari Kegiatan Pengusahaan Hutan
Secara garis besar hutan mempunyai tiga fungsi yaitu : fungsi ekonomi , fungsi
lingkungan/perlindungan dan fungsi sosail budaya ( Simon 1998 ). Jika salah satu
dari tiga fungsi ini hilang atau terganggu maka fungsi lainnya juga akan berpengaruh
(walaupun pengaruh tersebut tidak selalu negatif). Usaha untuk melestarikan dan
menjaga keseimbangan fungsi-fungsi ini sangat terkait erat dengan kemampuan teknis
dari pihak-pihak yang berkepentingan serta bertanggunag jawab atas pengelolan
hutan.
Sikap masyarakat lokal tehadap upaya pelestarian hutan telah berubah cepat sejak era
otonomi daerah. Kemitraan dengan pihak luar telah menimbulkan suatu konsep baru
bahwa hutan dapat mengasilkan uang tunai. Pengusahaan hutan telah menfasilitasi
akses masyarakat lokal terhadap kegiatan perekonomian global. Ketika sekelompok
IUPHHK datang dan menawarkan uang dalam jumlah yang tak pernah dibayangkan
sebelumnya masyarakat lebih tertarik dengan IUPHHK yang memberikan penawaran
tertinggi tanpa mempertimbangkan apakah hutan yang mereka miliki saat ini akan
rusak atau tidak. Jumlah uang tunai yang sangat banyak membuat mereka lupa
berpikir bagaimana mereka akan memelihar sumber daya hutan tersebut untuk masa
yang akan datang. Selain itu kebijakan dan peraturan nasional mengenai pemanfaatan
hutan juga memperburuk permasalahan ini. Karena kebijakan-kebijakan tersebut
hanya memfokuskan pada pengelolaan kayu sebagai sumberdaya komersial dari
hutan. Tidak banyak perhatian yang dicurahkan untuk proses rehabilitasi lahan hutan
53
jangka panjang atau kegiatan regenerasi keanekaragaman hayati yang hilang sebagai
akibat kegiatan penebangan. Potensi hasil hutan non kayu (Non Timber Forest
Product/NTFP ) yang berpotensi mendukung tercapainya kelestarian hutan sebagai
sumber penghidupan yang berkelanjutan di Papua juga masih terabaikan.
Teorinya masyarakat lokal seharusnya masih bisa mempunyai akses kepada areal
hutan yang ada di sekitar tempat hidup mereka untuk berburu dan mengumpulkan
hasilhutan non-kayu. Mereka merupakan bagian yang tidak terpisah dari ekosistem
kawasan hutan yang menjadi areal IUPHHK tersebut. Masyarakat lokal masih sangat
bergantung kepada hasil hutan non-kayu dan hewan buruan untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya sehari hari. Diskusi dengan beberapa kelompok masyarakat di
tingkat lokal juga menunjukan bahwa masyarakat semakin sulit untuk menemukan
hewan buruan sekitar areal konsesi.
5.8. Kontribusi IUPHHK terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Adat
Kehadiran IUPHHK telah memberikan damapak tersendiri bagi kehidupan
masyarakat di sekitar hutan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak
ekonomi langsung dari kehadiran IUPHHK antara lain :
1. Penyerapan tenaga kerja
2. Bantuan dari perusahaan
Bantuan IUPHHK antara lain dalam bentuk PMDH dan pembayaran hak ulayat.
3. Bantuan transportasi
Adapun dampak ekonomi tidak langsung dari perusahaan antara lain :
1. Pembukaan area perladangan baru dan rencana pemukiman baru
2. Terbukanya pemasaran baru hasil hutan, pertanian, dan kerajinan lokal
3. Meningkatnya eksploitasi hasil hutan dan sumber daya alam lainnya
Pembukaan jalan oleh perusahaan bukan hanya berdampak pada perladangan dan
lokasi pemukiman baru, namun tekanan terhadap hasil hutan pun cenderung
semakin besar. Masyarakat memanfaatkan akses jalan logging dan angkutan
perusahaan tersebut untuk berburu, mencari ikan, mencari gaharu, sarang burung,
dan hasil hutan lainnya.
54
4. Peningkatan harga hasil hutan, pertanian, kerajinan, dan kebutuhan pokok di
tingkat desa
5. Terbukanya jenis pekerjaan baru
Sejak masuknya perusahaan banyak peluang kerja yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat lokal untuk menambah pendapatan rumah tanggaanya antara lain :
membuka warung, menyewakan rumah, menjadi tukang masak, dll.
5.9. Alternatif Peningkatan Kerjasama IUPHHK dengan Masyarakat Adat
Strategi jangka panjang dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat di sekitar areal
kerja IUPHHK mencakup kurun waktu lebih dari 5 tahun. Stretegi ini dilakukan
untuk memberikan kesempatan berusaha bagi masyarakat untuk jangka waktu yang
panjang/lama. Sehingga diharapkan masyarakat mendapatkan manfaat kegiatan
tersebut untuk meningkatkan kesejahteraannya dalam jangka waktu yang
panjang/lama. Pemanfaatan hasil pembayaran hak ulayat untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan
hasil hutan bukan kayu, merupakan salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan.
Hutan memiliki fungsi yang beraneka ragam, antara lain sebagai fungsi lindung,
konservasi, dan produksi. Sebagai fungsi lindung, hutan memiliki peran penting
dalam mengatur tata air, mengurangi erosi, memperbaiki iklim terutama iklim mikro.
Sedangkan sebagai fungsi produksi, hutan berperan dalam memproduksi kayu dan
hasil hutan bukan kayu serta bagian-bagian hutan tertentu dapat ditunjuk untuk
mengkonservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) yang diarahkan kepada
pengelolaan hutan secara lestari.
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) mempunyai dua dimensi penting yaitu
dimensi hasil (HPL = Hutan Produksi Lestari) dan dimensi manajemen (P =
Pengelolaan) sehingga hutan produksi lestari adalah hutan produksi yang mampu
memberikan dan menjamin kelestarian fungsi ekonomi, fungsi ekologi dan fungsi
sosial.
(1) Lestari Fungsi Ekonomi meliputi :
(a) Kepastian kawasan hutan produksi yang aman konflik jangka panjang
(b) Mempunyai nilai ekonomi yang selalu berkembang
55
(c) Memiliki nilai finansial bagi pelaku ekonomi yaitu sektor pemerintah,
sektor swasta, dan sektor koperasi atau masyarakat
(2) Lestari Fungsi Ekologi meliputi :
(a) Kepastian kawasan yang mampu mencerminkan keterwakilan semua tipe
ekosistem khususnya kawasan koservasi dan kawasan lindung
(b) Kemampuan perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan
sebagaimana diamanatkan oleh Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
(c) Pengawetan plasma nutfah flora fauna dan ekosistem unik, yaitu pada
kawasan konservasi dan kawasan lindung sesuai dengan Undang-undang
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
(3) Lestari Fungsi Sosial meliputi :
(a) Kepastian kawasan sosial budaya dan hak ulayat
(b) Kehutanan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, terutama
masyarakat di sekitar hutan (nir kayu)
(c) Kehutanan dan aksesibilitas dalam rangka percepatan akses
masyarakat/integrasi sosial budaya masyarakat, melalui integrasi sarana
jalan IUPHHK dengan jalan umum menuju pusat-pusat
permukiman/pertumbuhan
Upaya pelestarian hutan dan ekosistem memiliki kaitan yang erat dengan masyarakat
terutama yang hidup di sekitar kawasan konservasi dan kawasan hutan produksi.
Pencegahan gangguan terhadap keberadaan hidupan liar dan kekayaan hutan seperti
perburuan liar, perambahan hutan, dan kebakaran hutan memerlukan peran aktif
masyarakat.
Untuk itu perlu diupayakan suatu tindakan nyata agar masyarakat yang masih
tertinggal dan hidup subsistem dapat ikut merasakan hasil-hasil pembangunan
kehutanan melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Pemberdayaan
56
masyarakat tersebut memiliki arti penting bagi keberhasilan pengelolaan hutan secara
lestari dalam jangka panjang.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar yang merupakan usaha
terencana dan sistematis yang dilaksanakan secara berkesinambungan baik bagi
individu maupun kolektif guna mengembangkan daya (potensi) dan kemampuan yang
terdapat dalam diri individu dan kelompok masyarakat sehingga mereka mampu
berusaha secara mandiri.
Pengertian pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dalam kaitannya
dengan pengelolaan kehutanan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan
atau kapasitas masyarakat di sekitar hutan dalam mengelola sumberdaya hutan dan
lahan (yang mencakup kemampuan teknis dan manajamen), meningkatkan
kemampuan mengakses modal dan pasar serta meningkatkan usaha mereka ke arah
pemandirian secara berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan perlu dilakukan karena pada
kenyataannya mereka adalah salah satu lapisan masyarakat yang termiskin di
Indonesia. Masyarakat ini juga dianggap paling lemah dan tertinggal dibandingkan
dengan masyarakat lainnya. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pada umumnya
kurang memiliki keterampilan dan sulit mengakses modal. Akibatnya kelompok
masyarakt ini kurang memiliki kemampuan untuk memajukan dirinya (agar taraf
hidup mereka menjadi lebih baik). Di sisi lain pemerintah memiliki sumber daya
hutan dan ingin mewujudkan hutan yang lestari dan masyarakat yang sejahtera. Oleh
karena itu masyarakat tersebut perlu diberdayakan agar mereka mampu meningkatkan
taraf hidupnya dengan melakukan usaha produktif di bidang kehutanan dengan tidak
merusak hutan.
Dalam pemberdayaan diperlukan fasilitasi. Langkah awal dilakukan dengan
memfasilitasi penggalian potensi dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat
tersebut, antara lain dengan menggunakan metode Partisipatory Rural Apraisal
(PRA) dengan fasilitasi masyarakat, masyarakat yang diupayakan untuk mengenali
masalah yang dihadapinya secara jelas, mengetahui potensi yang diupayanya (baik
kemampuan maupun sumber daya di sekitarnya).
Untuk dapat melaksanakan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari, masyarakat
itu perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai berbagai aspek pengelolaan hutan
57
melalui pelatihan. Perancangan pelatihan ini harus dilakukan dengan baik, didahului
dengan identifikasi kebutuhan pelatihan. Materi pelatihan harus disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan masyarakat setempat serta potensi yang dapat
dikembangkan. Kegiatan pelatihan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dengan
materi antara lain tentang :
1. Bagaimana mengelola kawasan secara lestari
2. Bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan masyarakat
3. Bagaimana mengelola usahanya termasuk bagaimana memasarkan hasil.
Ke depan, program pemberdayaan masyarakat diarahkan untuk mengurangi secara
perlahan ketergantungan masyarakat sekitar dan di dalam hutan terhadap hasil hutan
berupa kayu kepada hasil hutan bukan kayu. Bahkan pemendekan jarak untuk
mendapatkan hasil hutan bukan kayu dengan cara menerapkan beberapa teknik
budidaya tanaman di sekitar tempat tinggal masyarakat atau areal di luar hutan,
merupakan salah satu kegiatan yang perlu diterapkan agar tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap kayu lambat laun semakin berkurang. Kayu tidak lagi menjadi
prioritas sumber utama penghasilan masyarakat tetapi menjadi kebutuhan sekunder
dalam melengkapi kebutuhan hidup masyarakat.
Semakin berkurangnya luas hutan primer dari waktu ke waktu menyebabkan
ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan berupa kayu secara perlahan harus
bergeser kepada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Di beberapa negara,
komoditi hasil hutan bukan kayu merupakan komponen ekspor penting dalam hasil
hutan. Di samping itu penduduk di berbagai suku di dunia yang hidup di pedesaan,
banyak bergantung pada komoditi hasil hutan bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan
dasar. Data FAO (1995) menyebutkan bahwa di negara berkembang sekitar 80%
penduduknya bergantung pada hasil hutan bukan kayu terutama untuk kebutuhan
hidup dan nutrisinya.
Hasil hutan bukan kayu merupakan semua produk yang berasal dari tanaman selain
kayu, fauna dan turunanya, serta jasa yang diperoleh dari hutan. Hasil hutan bukan
kayu memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
terutama yang bermukim di sekitar areal hutan. Produk hasil hutan bukan kayu yang
dapat dihasilkan dari dalam hutan dapat dijadikan sebagai sumber makanan, obat-
obatan, resin, getah, kayu bakar, dan menyediakan bahan baku industri seperti rotan
dan minyak atsiri.
58
Pengurangan ketergantungan masyarakat dari hasil huta berupa kayu kepada hasil
hutan berupa kayu dapat dilakukan dengan cara memindahkan lokasi produk hasil
hutan bukan kayu dari dalam hutan ke lokasi-lokasi yang lebih dekat sehingga mudah
terjangkau oleh masyarakat.
Kontribusi IUPHHK melalui pembayaran hak ulayat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dapat diarahkan kepada kegiatan pemberdayaan masyarakat
dengan tetap memperhatikan potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Salah
satu potensi yang dapat dikebangkan dan sesuai dengan kultur budaya maupun
kondisi alam masyarakat adalah pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Melalui
pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan HHBK maka perlu digali
permasalahan-permasalahan yang ada dalam pemanfaatan HHBK asli Papua agar
dapat ditingkatkan mutu dan kualitas hingga aspek pemasarannya. Hasil analisis
SWOT salah satu jenis HHBK di Provinsi Papua dari jenis buah merah menunjukkan
adanya peluang, tantangan, ancaman, kekuatan, kelemahan, dan beberapa strategi
yang dapat dicapai disajikan pada Tabel 5.9. Adapun beberapa potensi HHBK di
Provinsi Papua disajikan pada Tabel 5.10.
59
Tabel 5.9 Analisis Swot Strategi Pemanfaatan HHBK Kelompok Jenis Tumbuhan Obat (Buah Merah)
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
Strength (Kekuatan)
1. Potensi buah merah tinggi 2. Teknik budidaya sederhana ( mudah diterima
masyarakat) 3. Gangguan kawasan rendah4. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan
tinggi5. Kepemilikan lahan dikuasai oleh masyarakat
adat6. Adanya dukungan kebijakan pemerintah daerah
untuk pemanfaatan jenis HHBK7. orientasi pemanfaatan oleh masyarakat bersifat
semi komersial
Weakness (Kelemahan)
1. Database potensi dan sebaran belum tersedia secara pasti
2. kapasitas organisasi pengelola sumber masih rendah
3. Kemampuan SDM rendah4. volume usaha pada umumnya rendah5. koordinasi antar sector yang berkepentingan dari
pengelola sumber, pengolah, dan pemasaran lemah
Opportunity (Peluang)
1. Permintaan pasar tinggi2. Harga tinggi3. Kelembagaan tataniaga meliputi pembudidaya,
pengumpul, pengolahan maupun pemasara ada.4. Pada pengolahan awal tidak membutuhkan
teknologi pengolahan canggih5. Dapat dikembangkannya teknologi yang lebih
tinggi melalui pola Kerjasama.6. Pemasaran orientasi ekspor7. Peluang Investasi sumber tinggi
Strategi S-O (menggunakan kekuatan untuk memanfatkan peluang)
1. Meningkatkan teknologi pengolahan melalui pengembangan pola kerjasama ( melalui kemitraan, subsidi, swadaya)
2. Pengembangan teknik budidaya yang lebih moderen
3. Meningkatkan pemasaran 4. perumusan kebijakan mempercepat alih
teknologi5. Menetapkan wilayah pengembangan buah
merah dalam bentuk sentra industri.6. Melibatkan petani dan masyarakat setempat
dalam budidaya buah merah
Strategi W-O (mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang)
1. Segera melakukan identifikasi potensi dan sebaran Buah Merah
2. Meningkatkan kemampuan SDM pelaksana melalui pelatihan, kursus dan seminar.
3. meningkatkan koordinasi lintas sektoral pemanfaatan gaharu dari hulu ke hilir
60
Threat (Ancaman)
1. Kurang jelasnya standarisasi mutu2. kontrak/perjanjian kerjasama dan komunikasi
dalam kerjasama sangat penting.3. Terjadinya pasar monopoli, yang tidak berpihak
pada pamungut
Stategi S-T (menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman)
1. Perumusan kebijakan pola pemasaran buah merah yang tidak merugikan pengelola sumber.
2. penguatan kapasitas kelembagaan dalam perumusan kontrak kerjasama
3. penyusunan protokol komunikasi dalam kerjasama
Strategi W-T (memperkecil kelemahan dan mengatasi tantangan)
1. Penyusunan database 2. Peningkatan kapasitas organisasi pengelola3. Penyusunan standar mutu produk buah merah 4. Adanya pengawasan dari pemerintah dalam
pemasaran produk.
Tabel 5.10 Potensi HHBK di Provinsi Papua
No Jenis Jumlah/Luas Potensi Penyebaran Keterangan
1 Rotan(Daemonorops, Korthalsia, Foser, Calamus sp., Sersus, Ceratolobus, Plectocomia, dan Myrialepsis)
2.215.625 ha 2.062,22 Kg/ha Kab, Nabire (Sima, Yaur, S. Nauma, S. Buami, S. Wabi-Wammi, S. Wanggar), Kab. Jayapura (Unurum Guay, Lereh, Pantai Timur), Manokwari ( Masni, Bintuni, Ransiki, S. Kasi, S. Sima), Merauke (Ds. Poo, Torey)
Potensi rotan belum dimanfaatkan secara optimal sehingga terbuka untuk investasi pemanfaatan rotan skala industri.
2 Sagu (Metroxylon rumphii var silvester, Metroxylon rumphii var longispinum, Metroxylon Rumphii mart, Metroxylon
4.769.548 ha, sudah dimanfaatkan 14.000 ha
5,67 batang/ha. Kab. Sorong (Kec. Inawatan, Seget, Salawati), Kab. Manokwari (Kec. Bintuni), Kab. Jayapura (Kec. Sentani, Sarmi), Kab. Merauke (Kec. Kimaam, Asmat, Atsy, Bapan,
Potensi sagu belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih dimungkinkan diusahakan dalam skala industri.
61
No Jenis Jumlah/Luas Potensi Penyebaran Keterangan
Rumphii var microcantum dan Metroxylon sago rottb)
Pantai kasuari), Kab. Yapen Waropen (Kec. Waropen)
3 Nipah 1.150.000 ha. Potensi nipah belum dapat diketahui secara pasti (belum dilakukan inventariasi potensi).
Pemanfaatan nipah belum dapat berkembang, masih tahap pemanfaatan masyarakat lokal berupa pemanfaatan daun dan buah. Pemanfaatan nipah untuk skala industri/besar masih terbuka.
4 Kayu Masoi Informasi potensi kayu masoi belum akurat (penyebaran alami sporadis). potensi kayu masoi cukup menjanjikan dan dapat dikembang menjadi hutan tanaman masyarakat setempat
Kab. Manokwari (Bintuni, Ransiki), Kaimana, Fakfak, Jayapura, Nabire.
Potensi kayu masoi belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih terbuka investasi untuk pemanfaatan kayu masoi untuk skala industri.
5 Kayu Putih(Asteromyrtus simpocarpa, Melaleuca lecadendron)
Kab. Merauke (Kawasan Taman Nasional Wasur).
Potensi kayu putih merupakan tempat tumbuh alamiah di TN. Wasur yang merupakan daun kayu putih merupakan bahan baku minyak kayu putih hasil penyulingan. Hasil penyulingan masyarakat diperoleh minyak kayu putih dari daun kayu putih sebanyak 125 kg sebanding dengan 2,5 liter minyak kayu
62
No Jenis Jumlah/Luas Potensi Penyebaran Keterangan
putih6 Lebah Madu Semua kabupaten/kota di
Provinsi PapuaMulai dikembangkan oleh masyarakat di beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Jayawijaya, Jayapura dan Yapen Waropen.
7 Gaharu Pemburuan gaharu yang sangat gencar menyebabkan keberadaan jenis kayu gaharu saat ini sudah semakin sulit diperoleh
Penyebaran pohon gaharu tersebar hampir diseluruh daratan Papua antara lain Jayapura (Mamberamo, Nimboton), Jayawijaya, Merauke (Bade dan Agats), Nabire, Enarotali, Manokwari (Bintuni).
Mengingat prospek pemasaran eksport dengan harga yang menggiurkan maka perlu pengembangan budidaya tanaman gaharu sebagai sumber pendapatan ekonomi masyarakat.
63
5.10. Analisis Peran
Melalui analisis peran yang dilakukan dapat memberikan gambaran mengenai semua
pihak/kelompok yang berhubungan dengan kegiatan yang akan direncanakan baik dari
aspek kawasan, kelembagaan maupun dari aspek bisnis/usaha atau perpaduan
ketiganya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi
pembayaran hak ulayat oleh IUPHHK. Melalui arahan peran ini dapat dilihat
hubungan dan koordinasi yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan kegiatan,
baik peran dari lembaga/instansi pemerintah (eksekutif). Legislatif, konsultan, LSM,
Perguruan Tinggi dan masyarakat umum. Ringkasan analisis peran berdasarkan aspek
kawasan, kelembagaan, dan usaha disajikan pada Tabel 5.11
Tabel 5.11 Peran Stakeholder dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
No Kriteria Stakeholder yang Berperan
A Kawasan
a. Kepastian Hak Departemen Kehutanan, BPN, masyarakat, pemda
b. Penataan kawasan Departemen Kehutanan, masyarakat, BUMS, BUMNc. Pengamanan Kawasan Dephut, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota,
masyarakat, aparat keamanand. Potensi Dephut (INTAG), Dinas Kehutanan provinsi dan
kabupaten/kota, Universitas, LSM
B Kelembagaan
a. Bentuk lembaga Departemen Kehutaan, Koperasi, b. Kapasitas organisasi Departemen Kehutanan, Pemda, c. Aturan main Koperasi, Deperindag, LSM, d. Peran Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan
Kabupaten/kota, Deperindag,
C Usaha/Bisnis
a. Teknologi Litbang Kehutanan, Lembaga-lembaga penelitian, Universitas, LSM,
b. Volume usaha Departemen Kehutanan, Deperindag, Deptan, Koperasi, c. Orientasi Produksi Deperindag, Koperasi, BUMS/BUMN
64
BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI6.1 Kesimpulan
1. Pola PMDH mampu mengakomodir keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat
sekitar hutan di Papua, terutama dengan adanya tenaga bina desa yang berfungsi
mendampingi masyarakat. Namun pelaksanaan PMDH di Papua masih terkesan
merupakan bantuan fisik. Kondisi ini dipengaruhi keterbatasan masyarakat desa
binaan dalam merencanakan program pembinaan di desa, dan kurangnya tenaga
teknis bina desa, serta lemahnya komitmen perusahaan dalam meningkatkan
kesejahteraan penduduk.
2. Kontribusi IUPHHK melalui bentuk pembayaran hak ulayat belum dilaksanakan
seluruhnya oleh IUPHHK yang masih aktif di beberapa kabupaten di Papua, hal
ini menyebabkan dampak yang diberikan dari pembayaran hak ulayat tersebut
belum dapat dirasakan sepenuhnya bagi masyarakat yang wilayahnya berada pada
IUPHHK yang tidak melakukan pembayaran hak ulayat.
3. Kehadiran HPH harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat
mengingat sebagian adalah petani peramu yang masih membutuhkan
pendampingan ke arah pertanian menetap.
4. Perlu diperhatikan besaran pemberian dana kompensasi hak ulayat agar nilai uang
tunai yang diterima tidak lebih kecil dari UMR yang di tetapkan di Papua.
6.2 Rekomendasi
1. Pelaksanaan Kepmen 177/Kpts-II/2003 tentang kriteria dan indikator usaha
pengelolaan hutan secara lestari, pada unit manajemen usaha pemanfaatan hutan
tanaman, harus didukung dengan kegiatan sosialisasi dan integrasi program
dengan instansi terkait/LSM yang telah bekerja di sekitar lokasi IUPHHK
mengingat IUPHHK tidak dapat mengambil alih semua tugas pemberdayaan
masyarakat yang tegas dan tanggungjawabnya perlu disesuaikan dengan porsinya
masing-masing.
2. Pemanfaatan pembayaran hak ulayat oleh IUPHHK sebaiknya diarahkan untuk
pemberdayaan masyarakat, yang antara lain dilakukan dalam rangka pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu dari Provinsi Papua agar memberikan dampak secara
berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
65
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Tuharea, Achmad Rizal dan Ifhendri. 2001. Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Produksi (Studi kasus di PT. Risana Indah Forest Industries). Buletin PenelitianNo.
Astana, S. 2003. Usulan Kegiatan Penelitian (UKP) Kajian Pengentasan Illegal Logging. Badan LitbangKehutanan.
Anonimous, 2003. Mengurangi Polusi dalam Pemantauan Lingkungan Indonesia. Tahun 2003. TheWord Bank.
Budi Riyanto, 2003, Prossiding Diskusi Nasional Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 Dan Dampaknya Terhadap Perhutani; Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor.
---------------, 2004, Pengaturan Hukum Adat di Indonesia, Lembaga pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor.
Bertham, Jeremy, 1997, Law as a faal of Social Engineering, Harper & Row Publissher, New York.
DepartemenKehutanan, 1998. Petunjuk Survey Sosial EkonomiKehutanan Indonesia.
Dinas Kehutanan Provinsi Papua. 2001. Rencana Strategis Dinas Kehutanan Propinsi Irian JayaTahun 2001- 2005. (tidak diterbitkan).
Dinas Kehutanan Provinsi Papua 2002, Data Ijin Pemungutan kayu per Pebruari 2002 di Kabupaten Manokwari , Dinas Kehutanan Provinsi Papua , Jayapura
Dinas Koperasi dan Usaha Pengusaha Kecil Menengah 2002, Pemberdayaan dan Pengendalian , Kopermas yang bergerak di Bidang Koperasi. Dinas Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah Jayapura
Ditjen PHKA, 2003. Seminar Nasional Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan, Hotel Mirah, Bogor.
Effendi Rachman. 2003. Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP) Kajian Pola-pola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Produksi dalam Mencegah Illegal Logging.
Harry Hikmat. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama. Bandung.
Harsono, Boedi, 1981. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jembatan, Cetakan Kedua. Harian Kompas, 28 Oktober 2000, hal 10.
Hidayat Alhamid dan Achmad Rizal. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Irian Jaya; Proseding.
66
Innah, Henry Silka. 2005. Model Pemanfaatan Hutan (Kasus: IUPHHK Di Teluk Bintuni Papua). Tesis Magister Program Studi Pembangunan ITB, Bandung.
Irma Yeny, dkk. 2006. Kajian Pola-pola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Alam di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Tidak diterbitkan.
Irma yenydan henry S.I. 2007. Kajian Pelaksanaan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) di Papua. JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 4 No. 1 Maret 2007, Hal. 73 - 91
Jufrina Rizal, 2000, Sosiologi Perundang-undangan, Jakarta.
Maria Indarti Suprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogya Kanisius, Yogyakarta.
Muslimin Nasution, 1999. Hutan dan Pengelolaan Tanah Ulayat, Seminar dan Lokakarya tentang Tanah Ulayat dalam Perspektif Hukum
Nasional dan Penerapannya di Riau tanggal 20 -21 Februari 1999.
Soeharto Prawirokusuma. 2001. Ekonomi Rakyat (Konsep, Kebijakan, dan Strategi). BPFE Yogyakarta.
Soepomo. R, 1981. Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Sumarjono. SW, Maria, Pengakuan Keberadaan Hutan Adat Dalam Rangka Reformasi Agraria, Lokakarya Keberadaan Hutan Adat, Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
67