kulkul

39
SENI KARAWITAN (KULKUL) OLEH: A.A. SRI BASUNARI (10) PANDE KOMANG NOVI D. (12) EKO KURNIAMULIAWAN (16)

Upload: hendra-setiawan

Post on 05-Aug-2015

226 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kulkul

SENI KARAWITAN

(KULKUL)

OLEH:

A.A. SRI BASUNARI (10)

PANDE KOMANG NOVI D. (12)

EKO KURNIAMULIAWAN (16)

HENDRA SETIAWAN (28)

XI IPA 1

SMA NEGERI 1 SEMARAPURA 2000/200

Page 2: Kulkul

Kulkul Sebagai Simbol Budaya Masyarakat Bali

By indrasadguna on October 15th, 2010

Oleh: I Gde Made Indra Sadguna

Pendahuluan

Kulkul atau kentongan (Jawa) merupakan instrumen musik yang bisa dibuat dari kayu ataupun bambu. Secara spesifik, kayu yang dapat dipergunakan sebagai bahan kulkul adalah: kayu ketewel (nangka), kayu teges (jati), kayu camplung, dan kayu intaran gading (batang pohon pandan yang sudah tua). Untuk mendapatkan kulkul yang baik, maka dipilihlah kayu atau bahan yang baik pula, karena dengan bahan yang baik dapat memberikan kualitas suara yang baik pula. Kayu terbaik untuk dipergunakan sebagai bahan kulkul adalah kayu nangka (artocarpus heterophyllus). Hal ini disebabkan karena serat kayu nangka lebih padat dibandingkan dengan kayu yang lainnya, sehingga dapat menghasilkan suara yang lebih padat dan bagus.

Kulkul berbentuk bulat memanjang, di mana pada bagian tengah tubuhnya terdapat rongga suara yang berfungsi sebagai resonator. Alat musik ini dikelompokkan ke dalam golongan idiophone sebab sumber suaranya berasal dari getaran tubuhnya sendiri. Ukuranya bervariatif, ada yang panjangnya hanya ½ meter dengan lebar lingkaran 10 cm, tapi ada juga yang lebih dari 1 meter dengan lebar lingkaran 100 cm. Biasanya kulkul yang berukuran besar ditempatkan (digantung) di pos-pos siskamling, banjar-banjar atau pura-pura.

Sesungguhnya budaya kentongan terdapat di seluruh daerah  di Nusantara sebagai sarana komunikasi. Sebut saja di Pulau Jawa misalnya, instrumen kentongan biasa difungsikan untuk sarana siskamling atau dijadikan sarana membangunkan orang puasa ketika bulan Ramadhan. Namun hal ini kiranya tidak terjadi di Bali. Keberadaan kulkul di Pulau Dewata secara umum diposisikan sesuai kegunaannya di dalam kehidupan masyarakat.

Lalu pertanyaannya,

1.berapakah jenis kulkul yang terdapat di Bali?

2. Mengapa keberadaan instrumen kulkul begitu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Bali ?

3. Apakah karena faktor sejarah, politik, sosial, agama atau faktor lain, sehingga kalau di daerah lain kulkul dipandang sebagai alat musik biasa, tapi di Bali kulkul sangat bermakna?

Penjelasan mengenai permasalahan tersebut akan dibahas penulis sebagai berikut.

Kulkul Sakral

Di Bali terdapat tiga jenis kulkul. Pertama, ada kulkul sakral yang keberadaannya selalu ditempatkan di pura-pura dan disakralkan oleh masyarakat. Sebagai instrumen perkusi,

Page 3: Kulkul

keberadaan kulkul sakral tersebut tidak bisa dilepaskan dari odalan, karena selalu difungsikan sebagai sarana upacara. Dalam tata upacara di Bali disebutkan bahwa yang harus ada dalam suatu odalan adalah Panca Gita. Panca berarti lima sedangkan gita berarti suara atau nyanyian. Pembagian Panca Gita tersebut adalah suara kulkul, suara genta dari orang suci atau pendeta, suara kidung atau nyanyian berisi pujian kepada Tuhan, suara sunari[1] dan suara gamelan. Jadi berdasarkan uraian tersebut, kehadiran kulkul sifatnya wajib dan harus ada pada saat upacara berlangsung.

Dalam suatu pura yang sifatnya milik masyarakat umum bukan individual, kulkul akan ditempatkan pada suatu bangunan tertentu yang dinamakan bale kulkul. Bangunan ini biasanya akan berdiri pada salah satu sudut dari pura tersebut. Bale ini akan dibuat dengan tinggi sekitar 5 meter di mana kulkul akan digantung pada tempat yang paling atas. Fungsinya ditempatkan di atas adalah jika pada suatu odalan[3] berlangsung, seluruh warga masyarakat baik yang dekat maupun jauh bisa mengetahui bahwa upacara sedang berlangsung. Pada bale kulkul di pura, biasanya akan digantungkan dua atau beberapa buah kulkul yang berukuran besar. Ketika upacara berlangsung, kulkul tersebut akan ditabuh secara bergiliran dengan tempo yang pelan. Suara kulkul yang pelan itu juga membangkitkan suasana yang lebih sakral dan khusyuk dalam melaksanakan persembahyangan.

Kulkul Kubu

Selain kulkul sakral, di Bali juga dikenal instrumen musik yang disebut dengan kulkul kubu. Yaitu, alat musik perkusi yang biasa dibunyikan di area persawahan untuk mengusir hama atau burung-burung yang acap kali menggangu para petani. Biasanya terbuat dari bambu dan berbentuk kecil agar bisa dengan mudah dibawa oleh petani ke mana-mana.

Kulkul kubu ini juga memiliki makna simbolik karena sering diidentikkan dengan orang yang banyak omong tetapi tidak memiliki kemampuan apa-apa. Di Bali ada sebuah analogi yang kira-kira berbunyi sebagai berikut “yen memunyi de ngawag-ngawag, pang sing cara munyin kulkul kubu”. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, berarti: “berhati-hatilah kalau berbicara, jangan sembarangan biar tidak seperti kulkul kubu”. Jadi, persis seperti kulkul kubu yang dipasang di area persawahan, bunyinya sangat banyak dan ribut akan tetapi tidak akan pernah dimaknai atau dipedulikan oleh orang lain. Inilah makna dan fungsi kulkul kubu bagi masyarakat Bali.

Kulkul Banjar

Namun demikian, selain kulkul sakral dan kulkul kubu tersebut, yang menarik dicermati adalah fenomena kulkul banjar[4]. Kulkul jenis ini biasanya dipasang (digantung) di bale banjar[5] untuk dijadikan sarana mengumpulkan massa. Kulkul banjar, menurut asumsi penulis adalah kulkul yang memiliki peran dan fungsi signifikan karena secara umum oleh masyarakat Bali dijadikan sarana pemersatu kehidupan. Berkat peran kulkul banjar inilah, masyarakat Bali memiliki spirit kebersamaan yang tinggi, karena setiap mendengar bunyi kulkul ditabuh, warga akan berbondong-bondong datang ke banjar untuk melakukan aktivitas gotong-royong. Dengan kekuatan bunyinya inilah, kulkul banjar mampu menciptakan aturan tak tertulis yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Tak terkecuali masyarakat yang memiliki kasta tinggi, seperti

Page 4: Kulkul

Brahmana atau Kesatria. Semuanya dipastikan akan patuh setiap kali mendengar kulkul banjar ditabuh, karena bunyi yang terdapat pada alat musik tersebut adalah mengandung makna “perintah”.

Kenyataan ini tentunya tidak lepas dari suara kulkul banjar yang bunyinya sangat spesifik dengan tabuhan yang khas pula. Misalnya, pola suara untuk menandakan adanya warga yang punya hajat adalah disimbolkan dengan pola pukulan dari yang dimulai dengan tempo lambat dan kemudian secara perlahan dipercepat tapi hanya pada tempo medium, tidak sampai tempo kencang. Ketika mendengar tabuhan kulkul seperti ini maka setiap masyarakat pasti segera bergegas kumpul di banjar untuk kemudian melakukan gotong-royong di rumah warga yang punya hajatan. Biasanya warga -laki-laki khususnya- akan membawa sebuah pisau agak besar yang dinamakan blakas untuk proses ngelawar[6].

Pola suara untuk menandakan adanya warga yang meninggal dunia (kematian) adalah disimbolkan dengan pola pukulan yang pelan dan biasanya mempunyai hitungan tertentu, misal dipukul sebanyak sembilan atau tujuh kali secara berulang. Demikian juga ketika masyarakat mendengar tabuhan ini, maka warga akan berduyun-duyun datang membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Warga akan membantu untuk membuat sesajen upakara dan bade atau wadah untuk orang yang meninggal.

Kemudian yang tidak kalah menarik, adalah bunyi kulkul yang bermakna bulus atau menandakan adanya marabahaya, misalnya: banjir, kebakaran, pembunuhan, perampokan dan lain-lain. Bunyi kulkul bulus yang disimbolkan dengan pola tabuhan cepat dan kencang ini, selain mencitrakan daya gotong royong masyarakat Bali secara umum, ternyata juga menggambarkan spirit primordialisme[7] lokal, yang lebih membela kepentingan kelompok atau golongan. Adapun fenomena yang terjadi di Bali bahwa keberadaan kulkul bulus selain untuk menandai adanya marabahaya: banjir, kebakaran, perampokan, pembunuhan dan lain-lain demi kepentingan orang banyak, pada sisi lain juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan masyarakat banjar guna melakukan keributan masal dengan masyarakat banjar yang lain.

Hal tersebut kerap terjadi, di mana antara satu banjar dengan banjar lain terlibat perkelahian masif, lantaran rasa solidaritas kolektif masyarakat Bali yang tinggi. Oleh karena itu, ketika kulkul bulus dibunyikan, maka segera masyarakat akan berkumpul dengan membawa senjata seperti pedang, keris, maupun pisau. Tetapi tidak untuk bergotong royong, melainkan untuk berperang dengan banjar yang lain. Di Bali situasi yang demikian kerap terjadi, karena setiap masyarakat yang hidup dalam satu banjar selalu tergerak ikut membela kepentingan banjarnya akibat bunyi kulkul bulus. Bahwa oleh sebagian masyarakat tidak sekedar dimaknai sebagai “perintah” bergotong royong, tetapi juga “perintah” untuk berperang melawan banjar yang lain. Sekalipun hal ini banyak yang menyayangkan, namun pada kenyataannya inilah fenomena instrumen kulkul di Bali yang memiliki banyak fungsi.

Penutup

Seluruh fenomena sosial budaya di atas tersebut sesungguhnya tidak lepas dari karakter masyarakat Bali yang memang dikenal patuh terhadap aturan tradisinya. Sehingga, selain

Page 5: Kulkul

memiliki kekayaan seni budaya yang eksotik, original, Bali secara umum memiliki tradisi sosial yang sangat kuat yakni budaya gotong royong.

Budaya gotong-royong bagi masyarakat Bali, tidak hanya dimaknai sekedar kegiatan saling bantu-membantu antar-sesama, lebih dari itu juga dimaknai sebagai kegiatan yang sangat sakral. Karena keberadaan gotong-royong bagi masyarakat Bali adalah terkait dengan ajaran keyakinan (agama) Hindu. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam membangun hubungan sosial, masyarakat Bali selalu mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Barangkali, hal inilah yang melatarbelakangi mengapa masyarakat Bali selalu patuh terhadap simbol-simbol budayanya – seperti halnya instrumen musik kulkul – karena semua adalah bagian dari ajaran Tri Hita Karana. Yaitu, suatu ajaran yang mengharuskan setiap masyarakat Bali selalu menghargai dan menghormati alam, sesama manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.

Keberadaan kulkul di Bali telah menjadikannya sebuah budaya dengan makna simbolik tersendiri jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Meskipun setiap daerah memiliki budaya kulkul atau kentongan dengan fungsi sebagai sarana komunikasi, akan tetapi konteks sosial yang ada pada masyarakat Bali yang membedakannya dengan daerah lain. Walau zaman telah mengalami perkembangan begitu pesat khususnya dalam bidang komunikasi dengan masuknya beragam teknologi baru seperti telepon, telepon sellular, dan layanan pesan singkat, namun keberadaan kulkul di Bali akan tetap eksis dana tidak akan pernah bisa tergantikan. Hal tersebut bisa dilihat di setiap wilayah banjar yang masih memiliki kulkul sebagai sarana upacara dan komunikasi. Fenomena seperti ini terjadi karena masyarakat Bali menganggap bahwa kulkul memiliki makna simbolik tersendiri dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan.

Menurut ST. Sunardi, Direktur Pascasarjana Universitas Sanata Darma ini – sebagaimana dipaparkan dalam buku Semiotika Negativa – bahwa segala sesuatu yang mengandung simbol selalu menuntun pada hubungan paradigmatik yang memicu kesadaran orang terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, kemudian dihubungkan dengan tanda-tanda yang tidak kelihatan.[8] Artinya, ketika masyarakat mendengar bunyi kulkul maka dalam imajinasinya akan dihadapkan pada suatu sistem nilai, yakni spirit kebersamaan, persatuan, etnisitas, lokalitas, identitas dan lain-lain.

Apa yang disampaikan ST Sunardi ini pada dasarnya bersesuaian dengan simbol kulkul bagi masyarakat Bali. Kulkul yang sebenarnya hanyalah alat musik, tapi pada satu sisi dipandang sebagai instrumen yang sangat sakral karena keberadaannya ditempatkan sebagai bagian pelengkap sarana upacara. Oleh karena itu, sesuai fungsinya, maka yang bisa membunyikan kulkul sakral di pura-pura hanyalah pendeta atau orang yang diberi kewenangan oleh adat.

Demikian juga dengan kulkul kubu yang diibaratkan orang yang kerjanya hanya berbicara, tetapi tidak ada yang mempedulikan. Adalah suatu representasi dari wujud kulkul kubu yang biasanya berjumlah banyak dan hanya berbunyi kalau ia dipukul (dibunyikan) untuk mengusir burung-burung dan tidak bersifat sakral. Tempatnya pun hanya dipersawahan, notabene merupakan ruang yang mencitrakan tingkat sosial paling bawah. Bila dibandingkan dengan pura dan banjar, sawah secara image adalah mencitrakan tempat yang kotor, becek, lahan para petani mendulang rejeki. Barangkali inilah jawaban mengapa kulkul kubu diidentikan sebagai orang yang banyak

Page 6: Kulkul

omong. Bisa jadi dilandasi bentuk tidak sebagus dan sebesar kulkul yang biasa ditempatkan di pura atau di banjar-banjar.

Hal yang cukup menarik dari aspek semiotika adalah keberadaan kulkul banjar. Bisa jadi keberadaannya yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, maka kulkul ini memiliki peran cukup signifikan. Secara fungsional kulkul banjar disimbolkan sebagai sarana menciptakan kebersamaan dan persatuan, karena setiap masyarakat akan selalu mematuhi simbol-simbol bunyi yang disuarakan dari kulkul tersebut. Bisa jadi kenyataan ini tidak lepas dari makna bunyi yang terkandung dalam kulkul, secara tidak langsung merupakan perjanjian tidak tertulis antara kulkul dengan masyarakat. Sehingga setiap mendengar suara kulkul banjar ditabuh, maka tanpa dikomando masyarakat sudah mengetahui apa makna bunyi tersebut. Apakah ajakan untuk bergotong royong membantu tetangga yang punya hajat, ataukah ajakan untuk menghadiri upacara kematian maupun ajakan untuk bersama-sama mempertahankan keberadaan banjar dari ancaman musuh, semuanya tidak lepas dari fungsi kulkul yang tidak sekedar alat musik perkusi, melainkan suatu simbol budaya yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada dasarnya memiliki kepatuhan, serta taat pada aturan tradisinya. Inilah inti dari simbol budaya kulkul di Bali, yang hingga kini masih dipatuhi sebagai sarana simbolik dalam mengatur harmoni kehidupan masyarakat.

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan. Dinamika Kebudayaan Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra, 1996.

Bing, Agus. “Negarakretagama: Sebuah Festival”. Dalam harian Jawa Pos. 20 Juni 2010.

Cobley, Paul, dan Litza Jansz. Mengenal Semiotika For Beginners. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.

Zoest, Aart van. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 2003.

————————–, dan Panuti Sudjiman. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Sumber Internet

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1609&Itemid=29

http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/kulkul01.jpg

http://www.google.co.id/imglanding?q=kulkul%20bali&imgurl=http://www.balifotografer.com

Page 7: Kulkul

[1] Sunari merupakan sebuah alat musik yang terbuat dari batang bambu yang panjang, di mana pada bagian atas akan diberikan sebuah lubang sebagai tempat keluar masuknya angin yang nantinya akan menghasilkan suara yang khas.

[2] Diunduh dari http://www.google.co.id/imglanding?q=kulkul

[3] Odalan adalah suatu istilah dalam masyarakat Bali untuk menyebutkan suatu upacara perayaan di tempat suci. Biasanya pelaksanaan odalan bisa didasarkan atas dua hal, yaitu berdasarkan sistem kalender pawukon yang jatuhnya tiap 210 hari sekali, atau berdasarkan sistem sasih atau bulan yang jatuhnya tiap setahun sekali.

[4] Banjar merupakan perkumpulan warga dalam suatu wilayah tertentu

[5] Bale banjar merupakan sebuah balai yang dipergunakan sebagai berkumpulnya dan melaksanakan kegiatan bermasyarakat

[6]Ngelawar adalah suatu proses membuat sebuah makanan tradisional Bali yakni Lawar. Makanan ini terbuat dari potongan sayur seperti kacang panjang, daun ketela, sayur nangka yang dicampur dengan potongan daging babi, ayam, bebek, atau yang lainnya. Biasanya masyarakat Bali akan membuat lawar sebagai sebuah hidangan yang disuguhkan pada hajatan-hajatan adat.

[7] Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

[8] Dalam Agus Bing. “Negarakretagama: Sebuah Festival”. Dalam harian Jawa Pos. Tanggal 20 Juni 2010.

Page 8: Kulkul

KulkulDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Kulkul adalah alat komunikasi tradisional masyarakat Bali, berupa alat bunyian yang umumnya terbuat dari kayu atau bambu, dan benda peninggalan para leluhur. Di setiap organisasi tradisional di Bali, terdapat setidaknya sebuah kulkul. Selain di Bali, Kulkul yang lazimnya disebut dengan kentongan, terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Untuk itu, kulkul dijadikan alat komunikasi tradisional oleh masyarakat Indonesia.

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Sejarah 2 Pembuatan

o 2.1 Ritual pembuatan

o 2.2 Teknik pembuatan

3 Fungsi

4 Jenis

5 Peranan

6 Referensi

7 Pranala luar

[sunting] Sejarah

Pada zaman Jawa-Hindu, kulkul disebut ’Slit-drum’ yaitu berupa tabuhan dengan lubang memanjang yang terbuat dari bahan perunggu. Pada masyarakat Bali, istilah kulkul ditemukan dalam syair Jawa-Hindu Sufamala. Beberapa lontar Bali, juga menyebutkan keberadaan kulkul seperti Awig-awig Desa Sarwaada, MarkaNdeya Purana, dan Diwa Karma. Keempat naskah kuno Bali ini, mengungkapkan pentingnya kayu, yang bermakna pikiran dalam kehidupan manusia, yang biasa disebut dengan kulkul. Kayu adalah bahan dasar dari kulkul yang erat hubungannya dengan manusia. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, kulkul lebih dikenal dengan nama ’Tongtong’.

[sunting] Pembuatan

Page 9: Kulkul

[sunting] Ritual pembuatan

Untuk menyebutkan suatu keadaan, umat Hindu Bali menggunakan istilah "ala ayuning dewasa" artinya dewasa yang baik dan dewasa yang kurang baik. Kedua hal ini sulit dipisahkan bahkan selalu berdampingan. Demikian pula dalam pembuatan sebuah kulkul dari kayu biasa menjadi sebuah alat bunyian bernilai sakral dan keramat, harus mengalami pemrosesan yang cukup panjang. Dimulai dari mencari bahan, menebang kayu sampai kepada proses pembuatannya harus melalui serentetan upacara. Para pembuat kulkul harus melakukan tahap-tahap upacara guna mencari dewasa yang baik dan menghindari dewasa yang kurang baik, dari awal hingga akhir pembuatan kulkul. Sampai kepada tahap melepaskan sebuah kulkul juga harus melalui sebuah upacara. Apabila tahapan upacara sudah dilaksanakan maka kulkul telah memiliki kekuatan magis dan dianggap sebagai benda suci serta keramat.

Bagi masyarakat Bali, kulkul mempunyai nilai yang sakral. Nilai sakral sebuah kulkul ini didukung sepenuhnya oleh agama Hindu Bali yang diyakini masyarakat Bali secara umum. Nilai sakral tersebut terutama berada pada kulkul yang tersimpan di Pura-pura besar di Bali yang dianggap sebagai wujud nyata beryadnya sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaannya maka segera upacara penyucian dilakukan. Oleh karena itu kulkul diletakkan pada sebuah bangunan yang disebut ’Bale Kulkul’, tepatnya digantungkan pada sudut depan pekarangan pura atau banjar.

[sunting] Teknik pembuatan

Secara teknis, kulkul terbuat dari seruas bambu berukuran cukup besar, yang mana kedua belah buku ruasnya dilubangi, dan sepanjang badan bambu itu dibuat lubang memanjang. Adakalanya kulkul dibuat dengan dua alur lubang yang sejajar, satu lubang besar, dan satu lubang yang lebih kecil. Ada pula yang terbuat dari dari potongan kayu, panjangnya kira-kira satu sampai dua meter, dikorek pula sepanjang badannya untuk membuat lubang memanjang, dan bagian dalamnya dibuat menggerongong. Kedua ujungnya ditutup atau tertutup oleh karena pengorekan bagian dalam kayu tersebut dijaga agar tidak sampai menembus kedua bagian ujungnya.

[sunting] Fungsi

Kulkul mempunyai fungsi yang berkaitan erat dengan kegiatan banjar. Berikut merupakan beberapa fungsi dari kulkul:

Tanda Pertemuan Rutin

Masyarakat Bali biasanya melakukan pertemuan rutin sebulan sekali pada setiap banjar. Menjelang hari pertemuan, terlebih dahulu kulkul dipukul dengan sebuah alat pemukul dari kayu. Suara kulkul akan terdengar sampai ke pelosok banjar. Suara tersebut merupakan panggilan kepada warga untuk segera berkumpul di tempat yang sudah disepakati bersama.

Tanda Pengerahan Tenaga Kerja

Page 10: Kulkul

Selain sebagai tanda pertemuan, bunyi kulkul juga mengandung arti untuk pengerahan tenaga kerja. Pengerahan tenaga kerja tersebut ada yang sudah direncanakan, dan ada pula yang sifatnya mendadak. Bentuk pengerahan tenaga kerja yang sudah direncanakan contohnya gotong royong membersihkan desa, mempersiapkan upacara di pura bagi masyarakat Bali, dan mencuci barang-barang suci. Pengerahan warga diawali dengan terdengarnya suara kulkul. Segera, setelah warga berkumpul, mereka secara bersama-sama melakukan aktivitas membersihkan desa. Sedangkan contoh pengerahan tenaga kerja yang sifatnya mendadak, umumnya seperti menanggulangi kejadian yang tiba-tiba menimpa banjar. Kejadian itu dapat berupa kebakaran, banjir, orang mengamuk, dan pencuri. Bunyi kulkul terdengar cepat dan panjang sekaligus sebagai isyarat supaya warga segera datang atau berjaga-jaga karena ada bahaya mengancam.

Tanda Gejala Alam

Di samping sebagai tanda pertemuan rutin dan pengerahan tenaga kerja, kulkul seringkali digunakan ketika terjadi gejala alam seperti gerhana bulan yang akan disambut oleh seluruh banjar. Masyarakat Bali berkeyakinan bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan dimangsa oleh Kalarau. Bunyi kulkul yang menggema di seluruh Bali akan menghilangkan konsentrasi Kalarau, sehingga ia akan melepaskan bulan kembali.

[sunting] Jenis

Ada empat jenis kulkul yang dikenal oleh masyarakat Bali yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusia, dan Kulkul Hiasan.

Kulkul Dewa

Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya. Kulkul Dewa dibunyikan ketika memanggil para dewa. Ritme yang dibunyikan sangat lambat dengan dua nada yaitu ‘tung.... tit.... tung.... tit.... tung.... tit’ dan seterusnya.

Kulkul Bhuta

Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram.

Kulkul Manusa

Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu rutin maupun mendadak. Kulkul Manusa terbagi atas tiga jenis yaitu Kulkul Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling. Bunyi ritme kulkul manusa untuk kegiatan yang rutin ialah lambat dan pendek, sedangkan pada kegiatan mandadak, terdengar cepat dan panjang.

Kulkul Hiasan

Page 11: Kulkul

Diberi nama kulkul hiasan karena kulkul ini diberi hiasan-hiasan untuk menambah keindahannya. Biasanya kulkul ini sering dijadikan oleh-oleh atau buah tangan. Para wisatawan yang datang ke pulau Bali menganggap kulkul sebagai sebuah barang antik.

[sunting] Peranan

Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat Bali mengikutsertakan kulkul. Bahkan, dalam upacara pemanggilan para Dewa, dimulai dengan membunyikan alat ini. Kulkul juga hampir selalu hadir dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Dalam acara pagelaran atau pertunjukan seni, mulai dari pertunjukkan Gamelan Anyar, Tektekan, sampai pada seni Karawitan, semuanya menggunakan kulkul sebagai pelengkap dari pertunjukan tersebut. Selanjutnya, kulkul juga digunakan dalam upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Salah satu upacara adat tersebut seperti upacara mesabatan biu atau yang dikenal pula dengan perang pisang, yaitu upacara untuk menunjukkan seorang pemuda telah memasuki usia akil balig dan telah menjadi dewasa. Selain itu, kulkul kerap kali digunakan dalam tradisi-tradisi masyarakat Bali, contohnya dalam tradisi ngoncang. Tradisi ngoncang merupakan tradisi memukul kulkul (kentongan) bambu keliling desa. Tujuan dari ritual 'ngoncang' adalah memanggil para leluhur yang telah diaben. Tradisi ngoncang ini merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh para krama desa. Tradisi ini memakai sarana kentongan atau kulkul bambu dan dipukul sesuai irama yang telah diatur oleh anggota sekaa ngoncang. Belakangan, kulkul juga selalu hadir dalam setiap pembukaan atau peresmian acara, dan digunakan sebagai simbol bahwa acara tersebut telah resmi dibuka.

Jadi, sebuah kulkul dapat dikatakan bukan saja merupakan alat tradisional, melainkan suatu media komunikasi tradisional yang menjembatani komunikasi masyarakat Bali, baik antara manusia dengan Dewa, manusia dengan penguasa alam, maupun manusia dengan sesamanya. Selain itu, kulkul juga diyakini mampu membentuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam kehidupan masyarakat Bali. Dengan demikian, peranan kulkul sebagai media komunikasi tradisional masyarakat Bali sangatlah besar. Kulkul berperan untuk menyampaikan simbol-simbol atau kode-kode yang dapat dimaknai secara langsung seperti ritme pukulan maupun nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, seperti rasa persatuan dan kesatuan, kepada seluruh masyarakat Bali.

[sunting] Referensi

http://www.hupelita.com http://blog.baliwww.com

http://aligufron.multiply.com

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1986). Ensiklopedi Musik Indonesia Seri K-O: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayan Daerah. Jakarta.

[sunting] Pranala luar

[1]

Page 12: Kulkul

http://www.babadbali.com/seni/gamelan/karawitan-kontemporer.htm

Kulkul Alat komunikasi Masyarakat Bali

http://www.babadbali.com/seni/gamelan/ga-tektekan.htm

http://www.beritabali.com/index.php?reg=krm&kat=&s=news&id=200801250015

http://202.146.5.33/ver1/Negeriku/0710/22/212957.htm

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2604/5/16/a1.html

Page 13: Kulkul

Kulkul, Alat Komunikasi Kelompok Masyarakat Tradisional Bali.February 7, 2010

Oleh: Tim Wacana Nusantara

A. Komunikasi kelompok

Kelompok adalah sekumpulan orang yang memunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam kelompok biasanya terjadi komunikasi, baik komunikasi antar-kelompok maupun komunikasi antarpribadi.

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling memengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.  Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Kedua definisi komunikasi kelompok di atas memunyai kesamaan, yakni adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu untuk mencapai tujuan kelompok. B. Curtis, James J.Floyd, dan Jerril L. Winsor (2005, h. 149) menyatakan komunikasi kelompok terjadi ketika tiga orang atau lebih bertatap muka, biasanya di bawah pengarahan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan atau sasaran bersama dan mempengaruhi satu sama lain.

B. Komunikasi Tradisional

Komunikasi tradisional adalah proses penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lain, dengan menggunakan media tradisional yang sudah lama digunakan di suatu tempat sebelum kebudayaannya tersentuh oleh teknologi modern. Pada zaman dahulu, komunikasi tradisional dilakukan oleh masyarakat “primitif” dengan cara yang sederhana seperti dengan menggunakan kentongan. Seiring dengan perkembangan teknologi, komunikasi tradisional mulai luntur dan

Page 14: Kulkul

jarang digunakan, namun masih ada sebagian orang yang masih tetap menggunakan komunikasi tradisional, misalnya masyarakat pedesaan di daerah Bali. Komunikasi lama/tradisional, cirinya adalah berlangsung secara tatap-muka sehingga terjelma hubungan interpersonal yang mendalam, hubungan dengan status yang berbeda (patron-client), serta pemberi pesan dinilai oleh penerima berdasarkan identitasnya (siapa bicara, bukan apa isinya). Alat komunikasi tradisional pada saat sekarang ini sudah mulai di tinggalkan hal ini terjadi seiring dengan perkembangan zaman.

a. Peranan dan Manfaat Komunikasi Tradisional

Sebelum mengenal alat komunikasi seperti sekarang, masyarakat pada zaman dahulu melakukan komunikasi dengan media tradisional, seperti peraturan, upacara keagamaan, hal-hal tabu, dan lain sebagainya, yang berlaku pada masyarakat tertentu. Komunikasi sebagai bagian dari tradisi memiliki perbedaan antara kebudayaan yang satu dengan yang lain. Komunikasi tradisional sangat penting dalam suatu masyarakat karena dapat mempererat persahabatan dan kerja sama untuk mengimbangi tekanan yang datang dari luar. Komunikasi tradisional memunyai dimensi sosial, mendorong manusia untuk bekerja, menjaga keharmonisan hidup, memberikan rasa keterikatan, bersama-sama menantang kekuatan alam dan dipakai dalam mengambil keputusan bersama. Dengan demikian, komunikasi tradisional merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

b. Kelebihan dan Kekurangan Komunikasi Tradisional

Keberadaan komunikasi tradisional yang media-medianya biasa dipertukarkan dengan seni tradisional atau seni pertunjukan, menjadikan bentuk komunikasi ini lebih menarik, sederhana, dan mudah dimengerti oleh komunitas sasarannya. Hal itulah yang membuat media komunikasi tradisional melekat erat dengan kehidupan masyarakat dan berdampak pada perkembangan proses sosial masyarakat seperti memupuk rasa persaudaraan.

Pengalaman-pengalaman yang ada menunjukkan bahwa media kesenian tradisional masih tetap disenangi oleh masyarakat. Namun demikian, media-media kesenian tersebut tetap harus dikemas dengan baik dan menarik. Buktinya, saat ini media modern seperti televisi seolah berlomba menampilkan pola pertunjukan tradisional dalam berbagai tayangan. Ini menunjukkan kelebihan/keistimewaan media tradisional yang tidak dimiliki oleh media modern. Sedangkan kekurangan dari komunikasi tradisional ialah ketidakmampuannya menjangkau ruang dan waktu serta audiens yang lebih luas. Karena keterbatasan itulah komunikasi ini sering dianggap tidak efektif dan kalah bersaing dengan media komunikasi modern yang lebih canggih.

Page 15: Kulkul

C. Kulkul Masyarakat Bali

Kulkul; Photo oleh:http://blog.baliwww.com

Masyarakat Bali terkenal sebagai masyarakat yang kaya akan warisan budaya. Mereka menerima warisan budaya secara tradisional. Artinya, antara satu generasi ke generasi berikutnya tetap terjalin hubungan yang erat dari sejak dahulu hingga sekarang ini. Hubungan itu pula yang pada akhirnya membentuk suatu wadah berupa organisasi tradisional seperti tempel, banjar, dan subak.

Lazimnya sebuah organisasi tradisional di Bali memiliki sebuah kulkul. Apabila terdengar suara kulkul maka hal itu sebagai pertanda panggilan kepada warga untuk berkumpul. Panggilan tersebut bisa karena kesepakatan sebelumnya atau karena situasi mendadak. Kulkul adalah alat komunikasi tradisional masyarakat Bali, berupa alat bunyian yang umumnya terbuat dari kayu atau bambu dan benda peninggalan para leluhur. Di setiap organisasi tradisional di Bali terdapat setidaknya sebuah kulkul. Selain di Bali, Kulkul yang lazimnya disebut dengan kentongan terdapat hampir di seluruh pelosok kepulauan Indonesia. Untuk itu, kulkul dijadikan alat komunikasi tradisional oleh masyarakat Indonesia.

Pada zaman Jawa-Hindu kulkul (slit-drum) berupa tabuhan dengan lubang memanjang yang terbuat dari bahan perunggu. Pada masyarakat Bali, istilah kulkul ditemukan dalam syair Jawa-Hindu Supamala. Beberapa lontar Bali juga menyebutkan keberadaan kulkul seperti Awig-awig Desa Sarwaada, Markandeya Purana, dan Diwa Karma. Keempat naskah kuno Bali ini mengungkapkan pentingnya kayu yang bermakna pikiran dalam kehidupan manusia yang biasa disebut dengan kulkul. Kayu erat hubungannya dengan manusia, sementara kayu adalah bahan

Page 16: Kulkul

dasar dari kulkul. Sedangkan pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, kulkul lebih dikenal dengan nama “tongtong”.

1. Ritual pembuatan

Untuk menyebutkan suatu keadaan, umat Hindu Bali menggunakan istilah “ala ayuning dewasa“,  artinya dewasa yang baik dan dewasa yang kurang baik. Kedua hal ini sulit dipisahkan bahkan selalu berdampingan. Demikian pula pembuatan sebuah kulkul dari kayu biasa menjadi sebuah alat bunyian bernilai sakral dan keramat, harus mengalami pemrosesan yang cukup panjang. Dimulai dari mencari bahan, menebang kayu sampai kepada proses pembuatannya harus melalui serentetan upacara. Para pembuat kulkul harus melakukan tahap-tahap upacara guna mencari dewasa yang baik dan menghindari dewasa yang kurang baik, dari awal hingga akhir pembuatan kulkul. Sampai kepada tahap melepaskan sebuah kulkul juga harus melalui sebuah upacara. Apabila tahapan upacara sudah dilaksanakan maka kulkul telah memiliki kekuatan magis dan dianggap sebagai benda suci serta keramat.

Kulkul yang berada di bale kulkul http://batualambali.blogspot.com/

Bagi masyarakat Bali, kulkul memunyai nilai yang sakral. Nilai sakral sebuah kulkul ini didukung sepenuhnya oleh agama Hindu Bali yang diyakini masyarakat Bali secara umum. Nilai sakral tersebut terutama berada pada kulkul yang tersimpan di Pura-pura besar di Bali yang dianggap sebagai wujud nyata beryad-nya sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaannya maka segera upacara penyucian dilakukan. Oleh karena itu, kulkul diletakkan pada sebuah bangunan yang disebut “Bale Kulkul”, tepatnya digantungkan pada sudut depan pekarangan pura atau banjar.

2. Teknik pembuatan

Page 17: Kulkul

Secara teknis, kulkul terbuat dari seruas bambu berukuran cukup besar, di mana kedua belah buku ruasnya dilubangi, dan sepanjang badan bambu itu dibuat lubang memanjang. Adakalanya kulkul dibuat dengan dua alur lubang yang sejajar, satu lubang besar dan satu lubang yang lebih kecil. Ada pula yang terbuat dari dari potongan kayu, panjangnya kira-kira satu sampai dua meter, dikorek pula sepanjang badannya untuk membuat lubang memanjang, dan bagian dalamnya dibuat menggerongong. Kedua ujungnya ditutup atau tertutup oleh karena pengorekan bagian dalam kayu tersebut dijaga agar tidak sampai menembus kedua bagian ujungnya.

3. Fungsi

Kulkul memunyai fungsi yang berkaitan erat dengan kegiatan banjar. Berikut merupakan beberapa fungsi dari kulkul:

a. Tanda Pertemuan Rutin

Masyarakat Bali biasanya melakukan pertemuan rutin sebulan sekali pada setiap banjar. Menjelang hari pertemuan, didahului dengan memukul kulkul dengan sebuah alat pemukul dari kayu. Suara kulkul akan terdengar sampai ke pelosok banjar. Suara tersebut merupakan panggilan kepada warga untuk segera berkumpul di tempat yang sudah disepakati bersama.

b. Tanda Pengerahan Tenaga Kerja

Selain sebagai tanda pertemuan, bunyi kulkul juga mengandung arti untuk pengerahan tenaga kerja. Pengerahan tenaga kerja tersebut ada yang sudah direncanakan, dan ada pula yang sifatnya mendadak. Contohnya gotong royong membersihkan desa, mempersiapkan upacara di pura bagi masyarakat Bali, dan mencuci barang-barang suci adalah bentuk-bentuk pengerahan tenaga kerja yang sudah direncanakan. Pengerahan diawali dengan terdengarnya suara kulkul, warga pun segera berkumpul dan bersama-sama melakukan aktivitas membersihkan desa. Sedangkan pengerahan tenaga kerja yang sifatnya mendadak umumnya menanggulangi kejadian yang tiba-tiba menimpa banjar. Kejadian itu dapat berupa kebakaran, banjir, orang mengamuk, dan pencuri. Bunyi kulkul terdengar cepat dan panjang. Ini sebagai isyarat supaya warga segera datang atau berjaga-jaga karena ada bahaya mengancam.

c. Tanda Gejala Alam

Di samping sebagai tanda pertemuan rutin dan pengeran tenaga kerja, kulkul sering kali digunakan ketika terjadi gejala alam seperti gerhana bulan yang akan disambut oleh seluruh banjar dengan membunyikan kulkul. Masyarakat Bali berkeyakinan bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan dimangsa oleh Kalarau. Bunyi kulkul yang menggema di seluruh Bali akan menghilangkan konsentrasi Kalarau sehingga ia akan melepaskan bulan kembali.

4. Jenis

Ada empat jenis kulkul yang dikenal oleh masyarakat Bali, yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusa, dan Kulkul Hiasan.

Page 18: Kulkul

a. Kulkul Dewa

Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya. Kulkul Dewa dibunyikan apabila akan memanggil para dewa. Ritme yang dibunyikan sangat lambat dengan dua nada yaitu “tung … tit … tung … tit … tung … tit” dan seterusnya.

b. Kulkul Bhuta

Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman nan tenteram.

c. Kulkul Manusa

Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu rutin maupun mendadak. Di kedua kegiatan inilah saat membunyikan Kulkul Manusa. Kulkul Manusa terbagi lagi atas tiga, yaitu Kulkul Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling. Ritme yang dibunyikan kulkul manusa lambat dan pendek, sedangkan pada kegiatan mendadak terdengar cepat dan panjang.

d. Kulkul Hiasan

Diberi nama kulkul hiasan karena kulkul ini diberi hiasan-hiasan untuk menambah keindahannya, biasanya kulkul ini sering dijadikan oleh-oleh atau buah tangan. Oleh para wisatawan yang datang ke pulau Bali, kulkul dianggap sebagai sebuah barang antik.

5. Peranan

Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat Bali mengikutsertakan kulkul. Bahkan pemanggilan para dewa dimulai dengan membunyikan alat ini. Kulkul juga hampir selalu hadir dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Dalam acara pagelaran atau pertunjukan seni, mulai dari pertunjukkan Gamelan Anyar, Tektekan, sampai pada seni karawitan, semuanya menggunakan kulkul sebagai pelengkap dari pertunjukan tersebut. Selanjutnya, kulkul juga digunakan dalam upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Salah satunya adalah upacara adat seperti upacara mesabatan biu atau yang dikenal pula dengan perang pisang, yaitu upacara untuk menunjukkan seorang pemuda telah memasuki usia akil balig dan telah menjadi dewasa. Selain itu, kulkul kerap kali digunakan dalam tradisi-tradisi masyarakat Bali. Sebagai contoh adalah penggunaan kulkul dalam tradisi “ngoncang”. Tradisi ngoncang merupakan tradisi memukul kulkul (kentongan) bambu keliling desa. Tujuan dari ritual ngoncang adalah memanggil para leluhur yang telah di-aben. Tradisi ngoncang ini merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh para krama desa. Tradisi ini memakai sarana kentongan atau kulkul bambu, dan dipukul sesuai irama, yang telah diatur oleh anggota sekaa ngoncang. Belakangan kulkul juga selalu hadir dalam setiap pembukaan atau peresmian acara dan digunakan sebagai simbol bahwa acara tersebut telah resmi dibuka.

Page 19: Kulkul

Jadi, sebuah kulkul bisa dapat dikatakan bukan saja merupakan alat tradisional, melainkan juga suatu media komunikasi tradisional yang menjembatani komunikasi masyarakat Bali, baik antara manusia dengan dewa, manusia dengan penguasa alam, maupun manusia dengan sesamanya. Selain itu kulkul juga diyakini mampu membentuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam kehidupan masyarakat Bali. Dengan demikian, peranan kulkul sebagai media komunikasi tradisional masyarakat Bali sangatlah besar. Kulkul berperan untuk menyampaikan simbol-simbol atau kode-kode yang dapat dimaknai secara langsung seperti ritme pukulan maupun nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, seperti rasa persatuan dan kesatuan, kepada seluruh masyarakat Bali.

 

Kepustakaan

Arifin, Anwar. 1984. Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas. Bandung: Armico.

Jahi, Amri. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga. PT Gramedia: Jakarta.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nurudin. 2004. Sistem Komunikasi Indonesia. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Rakhmat, Jalaluddin. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ranganath. 1976. Telling the People Tell Themselves. Media Asia 3.

Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi

Prakosa, Adi. 2008. Komunikasi Kelompok. [Online]. Terdapat di. http://adiprakosa.blogspot.com/2008/07/komunikasi-kelompok.html. [01/06/2010]

Silvana, Dahlia. 2010. Kulkul Alat Komunikasi Tradisional Masyarakat. [Online]. Terdapat di. Balihttp://www.pelita.or.id/baca.php?id=3245 [01/06/2010]

Sosiawan, Edwi Arief………. Komunikasi Tradisional. [Online]. Terdapat di. http://edwi.dosen.upnyk.ac.id/PIK.11.doc. [01/06/2010]

Page 20: Kulkul

Kulkul Alat Komunikasi Tradisional Masyarakat Bali Oleh Dahlia Silvana

Masyarakat Bali terkenal sebagai masyarakat yang kaya akan warisan budaya. Mereka menerima warisan budaya secara tradisional. Artinya, antara satu generasi ke generasi berikutnya tetap terjalin hubungan yang erat dari sejak dahulu hingga sekarang ini. Hubungan itu pula yang pada akhirnya membentuk suatu wadah berupa organisasi tradisional seperti tempel, banjar, dan subak.

Lazimnya sebuah organisasi tradisional di Bali memiliki sebuah Kulkul. Apabila terdengar suara kulkul maka hal itu sebagai pertanda panggilan kepada warga untuk berkumpul. Panggilan tersebut bisa karena kesepakatan sebelumnya atau karena situasi mendadak.

Kulkul adalah alat bunyian yang merupakan umumnya terbuat dari kau dan benda peninggalan para leluhur. Selain di Bali Kulkul yang lazimnya disebut dengan kentongan hampir terdapat di seluruh pelosok kepulauan Indonesia. Kulkul dijadikan alat komunikasi tradisional oleh masyarakat Indonesia. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, kulkul lebih populer dengan nama "Tongtong." Sedangkan pada zaman Jawa-Hindu kulkul disebut "Slit-drum" yaitu berupa tabuhan dengan lubang memanjang yang terbuat dari bahan perunggu.

Pada masyarakat Bali, istilah kulkul ditemukan dalam syair Jawa-Hindu Sudamala. Beberapa lontar Bali juga menyebutkan keberadaan kulkul seperti Awig-awig Desa Sarwaada, Markandeya Purana, dan Siwa Karma. Keempat naskah kuno Bali ini mengungkapkan pentingnya kayu bermakna pikiran dalam kehidupan manusia yang biasa disebut dengan kulkul. Kayu erat hubungannya dengan manusia, sementara kayu adalah bahan dasar dari kulkul.

Untuk menyebutkan suatu keadaan, umat Hindu Bali menggunakan istilah "ala ayuning dewasa" artinya dewasa yang baik dan dewasa yang kurang baik. Kedua hal ini sulit dipisahkan bahkan selalu berdampingan. Demikian pula dalam pembuatan sebuah kulkul dari kayu biasa menjadi sebuah alat bunyian bernilai sakral dan keramat, harus mengalami pemrosesan yang cukup panjang. Dimulai dari mencari bahan, menebang kayu sampai kepada proses pembuatannya harus melalui serentetan upacara. Para pembuat kulkul harus melakukan tahap-tahap upacara guna mencari dewasa yang baik dan menghindari dewasa yang kurang baik, dari awal hingga akhir pembuatan kulkul. Sampai kepada tahap melepaskan sebuah kulkul juga harus melalui sebuah upacara. Apabila tahapan upacara sudah dilaksanakan maka kulkul telah memiliki kekuatan magis dan dianggap sebagai benda suci serta keramat.

Ada empat jenis kulkul yang dikenal masyarakat Bali yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusa, dan Kulkul Hiasan. Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya. Kulkul Dewa dibunyikan apabila akan memanggil para dewa. Ritme yang dibunyikan sangat lambat dengan dua nata yaitu tung.... tit.... tung.... tit.... tung.... tit dan seterusnya. Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram. Kulkul Manusa adalah

Page 21: Kulkul

kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu rutin maupun mendadak. Di kedua kegiatan inilah saat membunyikan Kulkul Manusa. Kulkul Manusa terbagi atas tiga yaitu Kulkul Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling. Ritme yang dibunyikan kulkul manusa lambat dan pendek, sedangkan pada kegiatan mendadak terdengar cepat dan panjang. Kulkul Hiasan disebut karena kulkul ini diberi hiasan-hiasan untuk menambah keindahannya. Biasanya kulkul ini dianggap sebagai barang anti oleh wisatawan yang datang ke pulau Bali, sering dijadikan oleh-oleh atau buah tangan. Kulkul biasa banyak dijual di toko-toko, di pasar dengan harga relatif murah.

Nilai sakral sebuah kulkul ini didukung sepenuhnya oleh agama Hindu Bali yang diyakini masyarakat Bali secara umum. Terutama kulkul yang tersimpan di Pura-pura besar di Bali dianggap sebagai wujud nyata beryadnya sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaannya maka segera upacara penyucian dilakukan. Sebuah kulkul layaknya diletakkan pada sebuah bangunan yang disebut "Bale Kulkul", tepatnya berada pada sudut depan pekarangan pura atau banjar dengan cara menggantungkannya.

Fungsi kulkul berkaitan erat dengan kegiatan banjar. Banjar-banjar di Bali umumnya melakukan pertemuan rutin warga sebulan sekali. Menjelang hari pertemuan, didahului dengan memukul kulkul dengan sebuah alat pemukul dari kayu. Suara kulkul akan terdengar sampai ke pelosok banjar. Suara tersebut merupakan panggilan kepada warga untuk segera berkumpul di tempat yang sudah disepakati bersama.

Selain untuk pertemuan rutin, bunyi kulkul juga mengandung arti untuk pengerahan tenaga kerja. Ada pengerahan tenaga kerja yang sudah direncanakan, dan ada pula yang sifatnya mendadak. Gotong royong membersihkan desa, mempersiapkan upacara di pura, dan mencuci barang-barang suci adalah bentuk-bentuk pengerahan tenaga kerja yang sudah direncanakan. Diawali dengan terdengarnya suara kulkul, warga pun segera berkumpul dan bersama-sama melakukan aktivitas membersihkan desa. Sedangkan pengerahan tenaga kerja yang sifatnya mendadak umumnya menanggulangi kejadian yang tiba-tiba menimpa banjar. Kejadian itu dapat berupa kebakaran, banjir, orang mengamuk, dan pencuri. Bunyi kulkul terdengar cepat dan panjang. Ini sebagai isyarat supaya warga segera datang atau berjaga-jaga karena ada bahaya mengancam.

Terjadinya gejala alam seperti gerhana bulan akan disambut oleh seluruh banjar dengan membunyikan kulkul. Masyarakat Bali berkeyakinan bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan dimangsa oleh Kalarau. Bunyi kulkul yang menggema di seluruh Bali akan menghilangkan konsentrasi Kalarau sehingga ia akan melepaskan bulan kembali.

Contoh-contoh yang telah disebutkan menunjukkan warga patuh terhadap aturan banjar. Kepatuhan warga terhadap aturan banjar menunjukkan azas kebersamaan dan kekeluargaan. Di dalamnya terkandung nilai semangat gotong royong yang mendorong warga untuk menciptakan keharmonisan dan keselarasan dalam lingkungan banjar.

Page 22: Kulkul

Hal tersebut terkait erat dengan peranan kulkul dalam masyarakat Bali. Dapat dikatakan hampir seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat Bali mengikutsertakan kulkul. Bahkan dalam pemanggilan para Dewa dan Bhuta Kala didahului dengan membunyikan kulkul. Kulkul diyakini mengandung kekuatan magis dan dianggap keramat oleh pendukungnya. Kulkul adalah alat komunikasi tradisional, antara manusia dengan dewa, manusia dengan penguasa alam, dan manusia dengan sesamanya. Kulkul diyakini juga dapat meningkatkan rasa kesatuan dan persatuan. Hal ini terlihat dari rasa kebersamaan dan kekeluargaan seluruh warga ketika mendengar bunyi kulkul. Oleh sebab itu, keberadaan kulkul pada masyarakat Bali perlu dilestarikan karena sangat membantu jalannya pelaksanaan pembangunan.

Dahlia Silvana (Dir Tradisi & Kepercayaan/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)

Sumber: www.hupelita.com

Page 23: Kulkul

Faktor Penyebab Pergeseran nilai-nilai masyarakat Tradisional menuju Masyarakat Modern

          Banyak penyebab bergesernya nilai-nilai masyarakat dari masyarakat modern ke masyarakat tradisional, pergeseran itu bisa berdampak positif ataupun negative, tergantung dari perubahan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai berikut:

a.      Pengaruh GlobalisasiGlobalisasi merupakan perkembangan kotemporer yang mempunyai pengaruh dalam mendorong berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang berlangsung. Pebgaruh globalisasi akan dapat menghilangkanberbagai halangan dan rintangan yang manjadikan dunia semakin terbuka dan saling bergantung satu sama lainnya, globalisasi akan membawa perspektif baru bagi dunia tanpa tapal batas yang saat ini diterima sebagai realita masa depan yang akan mempengaruhi perkembangan budaya dan membawa perubahan baru. Globalisasi berpengaruh pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang dapat menerima adanya globalisasi, seperti generasi muda, penduduk dengan status sosial yang tinggi, dan masyarakat kota. Namun, ada pula masyarakat yang sulit menerima atau bahkan menolak globalisasi seperti masyarakat di daerah terpencil, generasi tua yang kehidupannya stagnan, dan masyarakat yang belum siap baik fisik maupun mental. Dan jelaslah dalam globalisasi muncul pergeseran sebagai akibat pengaruh globalisasi yang mambawa peubahan besar dari semua sector kehidupa.

b.      Respon dari masyarakat selaku penerima perubahanBanyak masyarakat mempunyai respon beda tentang pengaruh global. Biasanya Masyarakat tradisional cenderung sulit menerima budaya asing yang masuk ke lingkungannya, namun ada juga yang mudah menerima budaya asing dalam kehidupannya. Ini tergantung dari masing-masing individu ada yang negative responnya dan ada juga yang positif responnya. Pada masyarakat tradisional, umumnya unsur budaya yang membawa perubahan sosial budaya dan mudah diterima masyarakat adalah, jika:

1. unsur kebudayaan tersebut membawa manfaat yang besar,2. peralatan yang mudah dipakai dan memiliki manfaat,

3. unsur kebudayaan yang mudah menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang menerima unsur tersebut.Tapi kenyataannya tidak juga demikian ada masyarakat yang menanggapi perubahan yang berbeda, dalam artian negative

c.       Pengaruh ModernisasiSALAH satu efek dari modernisasi adalah pergeseran nilai. Hal ini bisa dilihat dari perubahan

yang terjadi dalam masyarakat. Ketika ada unsur baru yang menarik di hati, maka masyarakat

pun dengan perlahan tapi pasti akan mengikut pada nilai tersebut. Dalam hal ini nilai positif yang

konstruktif dan negatif yang destruktif.

Fenomena yang paling tampak depan mata adalah nilai budaya. Nilai ini setidaknya bisa dilihat

dari tiga hal: kognitif, interaksi sosial, dan artefak. Dalam tingkatan kognitif, budaya berada

dalam pikiran pemeluknya. Di situlah berkumpul nilai, pranata serta ideologi. Pada skala

interaksi sosial, bisa dilihat dan dirasakan karena ada hubungan. Sedangkan dalam wilayah

Page 24: Kulkul

artefak, nilai yang telah diyakini oleh pemilik kebudayaan itu ada dijelmakan dalam bentuk

benda-benda.

Jika melihat perihal masyarakat kita, pergeseran nilai budaya memang wajar terjadi. Setidaknya

ini terjadi karena efek dari modernisasi dan globalisasi. Terkadang juga nilai budaya yang telah

lama dipegang menjadi sedemikian mudah untuk dilepaskan. Itu  dikarena terlalu kerasnya

tarikan modernitas.

Modernitas seharusnya dimaknai sebagai pertemuan dari berbagai unsur dalam bumi. Ada

kebaikan ada keburukan, ada tinggi ada rendah, ada atas ada bawah. Kita perlu selektif dalam

mengadopsi unsur budaya yang masuk. Jangan sampai pranata sosial yang telah lama dibangun

kemudian runtuh hanya persoalan kemilau modernitas.

Kelompok yang paling mudah mendapat pengaruh modernitas adalah golongan muda. Kaum

muda biasanya ditandai dengan proses pencarian jati diri. Dalam perjalanannya, kadang ada

individu yang berhasil mendapatkan jati dirinya dengan baik. Juga ada yang terperangkap dalam

lorong gelap modernitas. Salah satu pengaruh modernitas ada pada dunia entertainment. Dunia

ini penuh dengan lifestyle yang cenderung kebarat-baratan. Kiblat hidupnya selalu ke negara

barat. Persoalannya bukan pada geografis, akan tetapi pada nilai. Sebagaimana kita ketahui, nilai

barat cenderung liberal. Terutama dalam pergaulan.

d.      Kemajuan pariwisata

Paradigma pembangunan di banyak negara kini lebih berorientasi kepada pengembangan sektor jasa dan industri, termasuk di dalamnya adalah industri pariwisata. Demikian juga halnya yang berlangsung di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir, aktivitas sektor pariwisata telah didorong dan ditanggapi secara positif oleh pemerintah dengan harapan dapat menggantikan sektor migas yang selama ini menjadi primadona dalam penerimaan devisa negara.  Sektor pariwisata memang cukup menjanjikan untuk turut membantu menaikkan cadangan devisa dan secara pragmatis juga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Situasi nasional yang kini mulai memperlihatkan perkembangan ke arah kestabilan khususnya dalam bidang politik dan keamanan akan memberikan jaminan kepercayaan kepada wisatawan asing untuk masuk ke wilayah Indonesia.Pariwisata secara sosiolosis terdiri atas tiga interaksi yaitu interaksi bisnis, interaksi politik dan interaksi kultural (B. Sunaryo, 2000).  Interaksi bisnis adalah interaksi di mana kegiatan ekonomi yang menjadi basis materialnya dan ukuran-ukuran yang digunakannya adalah ukuran-ukuran yang bersifat ekonomi.  Interaksi politik adalah interaksi di mana hubungan budaya dapat membuat ketergantungan dari satu budaya terhadap budaya lain atau dengan kata lain dapat menimbulkan ketergantungan suatu bangsa terhadap bangsa lain yang dipicu oleh kegiatan persentuhan aktivitas pariwisata dengan aktivitas eksistensial sebuah negara.  Sedangkan interaksi kultural adalah suatu bentuk hubungan di mana basis sosial budaya yang menjadi

Page 25: Kulkul

modalnya. Dalam dimensi interaksi kultural dimungkinkan adanya pertemuan antara dua atau lebih warga dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda.  Pertemuan ini mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan keberadaan interaksi bisnis dan interaksi politik. Kontak ini apabila terjadi secara massif akan mengakibatkan keterpengaruhan pada perilaku, pola hidup dan budaya masyarakat setempat. Menurut Soekandar Wiraatmaja (1972) yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan proses-proses sosial atau mengenai susunan masyarakat.  Sedangkan perubahan budaya lebih luas dan mencakup segala segi kebudayaan, seperti kepercayaan, pengetahuan, bahasa, teknologi, dsb.  Perubahan dipermudah dengan adanya kontak dengan lain-lain kebudayaan yang akhirnya akan terjadi difusi (percampuran budaya). Kita lihat misalnya bagaimana terjadinya pergeseran kultur kehidupan masyarakat sekitar kawasan Candi Borobudur yang semula berbasis dengan aktivitas kehidupan agraris (bertani) bergeser menjadi masyarakat pedagang dan penjual jasa.Dengan demikian pariwisata ditinjau dari  dimensi kultural dapat menumbuhkan suatu interaksi antara masyarakat tradisional agraris dengan masyrakat modern industrial. Melalui proses interaksi itu maka memungkinkan adanya suatu pola saling mempengaruhi yang pada akhirnya akan mempengaruhi struktur kehidupan atau pola budaya masyarakat khususnya masyarakat yang menjadi tuan rumah.  Dari dimensi struktural budaya, aktivitas industri pariwisata  memungkinkan  terjadinya suatu perubahan pola budaya masyarakat yang diakibatkan oleh penerimaan masyarakat akan pola-pola kebudayaan luar yang dibawa oleh para pelancong. Pola-pola kebudayaan luar ini terekspresikan melalui tingkah laku, cara berpakaian, penggunaan bahasa serta pola konsumsi yang diadopsi dari wisatawan yang datang berkunjung. Apabila tingkat massifitas kedatangan turis ini cukup tinggi maka ada kemungkinan terjadi “perkawinan” antara dua unsur kebudayaan yang berbeda. Dari pertemuan atau komunikasi antar pendukung-pendukung kebudayaan yang berbeda tersebut, akan muncul peniru-peniru perilaku tertentu atau muncul pola perilaku tertentu.  Meniru tindakan orang lain adalah kewajaran dari seorang manusia.  Tindakan ini bisa lahir karena tujuan-tujuan tertentu, dan bisa jadi karena terdorong oleh aspek kesadaran ataupun karena dorongan-dorongan yang sifatnya emosional. Artinya, seseorang individu  bisa saja meniru perilaku orang lain hanya karena dia melihat bahwa perilaku yang ditampilkan oleh orang lain tersebut nampak indah atau nampak lebih modern.  Tindakan meniru atau yang biasa disebut dengan tindakan imitasi bisa terjadi jika ada yang ditiru. Di sini faktor emosional dominan bermain karena seseorang tidak akan memikirkan apakah perilaku yang ditiru tersebut sesuai atau tidak dengan keadaaan dirinya. Dengan kata lain, orang tersebut tidak sempat lagi untuk memikirkan kenampakan-kenampakan yang paling mungkin untuk muncul ke permukaan, yang penting bagi dia adalah “aku ingin seperti turis itu karena aku menganggap turis itu keren”.Kontak selanjutnya antara wisatawan dengan masyarakat tuan rumah adalah komunikasi verbal. Kontak antara masyarakat tuan rumah dengan wisatawan membutuhkan suatu perantara atau media atau alat yang mampu menjalin pengertian antara kedua belah pihak, perantara atau media tersebut adalah bahasa, bahasa menjadi faktor determinan. Akhirnya masyarakat kembali terdorong untuk bisa berbahasa asing. Dorongan itu muncul bukan semata-mata karena motif ingin berhubungan misalnya korespondensi atau yang lain, melainkan lebih disebabkan karena faktor ekonomi, untuk dapat komunikatif dalam memasarkan dagangannya (baik produk souvenir, jasa menjadi guide, dll). Ini berarti telah terjadi pola perubahan budaya masyarakat menuju ke arah yang positif yaitu memperkaya kemampuan masyarakat khususnya dalam bidang bahasa.

Page 26: Kulkul

Demikian pula kemunculan hotel, cafe, maupun toko-toko cinderamata di sekitar kawasan wisata adalah variabel yang turut membantu menjelaskan apa yang menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat sekitar kawasan wisata.  Dengan adanya berbagai sarana penunjang pariwisata itu masyarakat menjadi paham akan adanya pola / sistem penginapan yang bersifat komersial,  dengan adanya cafe dan toko, logika pasar tradisional akan sedikit tergeser dari pola penjualan dengan model tawar-menawar menjadi model harga pas. Dengan demikian sedikit banyak telah terjadi pergeseran budaya dan tatanan sosial di masyarakat sekitar kawasan wisata.  Artinya budaya-budaya lama itu mengalami proses adaptasi yang diakibatkan oleh adanya interaksi dengan para pelancong tersebut.  Hal itu dimungkinkan juga karena sifat dari budaya itu sendiri yang dinamis terhadap perubahan yang terjadi.

e.       Pergeseran BudayaDalam perspektif fungsionalisme, perubahan budaya masyarakat pedesaan ini terjadi diawali dengan adanya tekanan dari pemerintah (misalnya peraturan, sanksi, iming-iming, dll) lalu ada penolakan dari sistem lama, integrasi antara keduanya dan akhirnya dicapai titik keseimbangan baru. Karena pada awalnya terjadi kesenjangan budaya, maka pemerintah membutuhkan agen-agen penyalur perubahan budaya ini. Pada masa orde baru, elite pemerintahan birokrasi desa yang dipantau ketat berperan aktif dalam menyalurkan perubahan kebudayaan ini.Ada kalanya perubahan kebudayaan ini mendapat penolakan dari beberapa pihak. Namun sikap represif dan antipati segera akan muncul dan menyebabkan kelompok penolak perubahan budaya ini seolah-olah tersingkir dari lingkungan sosialnya. Seringkali terjadi penamaan status-status kepada kelompok yang menolak perubahan budaya ini. Misalnya saja orang tersebut dikatakan “kuno dan tentinggal”, “ndeso”, “tidak taat aturan” dan sebagainya. Penyikapan sosial inilah yang secara perlahan merubah penolakan (resistan) kepada penerimaan. Perlahan-lahan kebudayaan baru diterapkan dan kebudayaan lama ditinggalkan. Kalaupun kebudayaan lama masih dilakukan itupun sangat jarang.Misalnya saja program listrik masuk desa dengan sangat cepat akan diikuti invasi teknologi, orang mulai beli radio, televisi, lemari es, mesin cuci dan sebagainya. Akses informasi yang dibawa oleh masing-masing alat komunikasi ini kemudian membawa nilai-nilai baru bagi warga desa.Inovasi teknologi pertanian dari yang semula menggunakan peralatan sederhana menjadi mesin modern, dari yang semula membajak dengan binatang diganti membajak dengan mesin, semula menumbuk dengan alu berganti menumbuk otomatis dengan mesin, semula mengangkut hasil pertanian dengan pedati berganti dengan mobil. Kenyataan ini tidak hanya merubah paradigma masyarakat yang semula motivasi bertani adalah bertahan hidup, menjadi orientasi profit finansial. Disamping itu juga, percepatan panen padi membawa budaya instan dan sikap tergesa-gesa.Program Keluarga Berencana (KB) merubah kebiasaan masyarakat dari “keluarga besar” menjadi—meminjam istilah pemerintah—“keluarga kecil sejahtera”. Pergeseran ini tidak hanya merubah pola hubungan keluarga dari “keterkaitan genetik/persaudaraan” menjadi “keterkaitan reproduksi dan finansial”, namun juga mengeliminasi adanya organisasi kultural masyarakat dalam sebuah “keluarga besar”.Teknologi permainan merubah jenis permainan kelompok menjadi permainan modern teknologis yang cenderung individual. Misalnya permainan tradisional gobak sodor, gundu, patek lele, jumpritan tidak lagi populer dan diganti dengan permainan baru seperti Play Station (PS) dan game. Permainan tradisonal yang pada dasarnya menumbuhkembangkan psikomotorik-afektif

Page 27: Kulkul

diganti dengan permainan modern yang mengarah pada kognitif saja. Ini berpengaruh terhadap karakter anak setelah ia berkembang dan hidup dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Sehingga, kemudian jika ada orang atau sekelompok orang yang memiliki atau memelihara pola-pola budaya lama, dengan segera ia akan dicap buruk dan disingkirkan dari kelompok. Boleh jadi orang seperti ini akan dianggap menghalangi kemajuan, anti-progresifitas. Perlakuan ini membuat orang kemudian malu untuk menggunakan budaya lama dalam kehidupan sehari-hari, dan karena tidak pernah digunakan lagi budaya itu berangsur-angsur hilang.

http://ardiptamblang.blogspot.com/2011/02/pergeseran-nilai-masyarakat-tradisional.html

pergeseran nilai masyarakat tradisional ke moderen

Page 28: Kulkul