l. tutorial blok tht 2012-2013 sken 1 kel. b13

39
LAPORAN TUTORIAL BLOK TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN SKENARIO I OLEH: KELOMPOK 15 1. Andreas Peter Patar B. S. (G0010018) 2. Anisa Nur Rahma (G0010022) 3. Cherryl Martha C. A. W. (G0010042) 4. Dhyani Rahma Sari (G0010056) 5. Finda Kartika (G0010080) 6. Kharisma Setya W. (G0010110) 7. Meutia Halida (G0010124) 8. M. Faiz K. Anwar (G0010118) 9. Rizqi Ahmad Nur (G0010168) 10. Wida Pratiwi Oktavia (G0010196) Tutor :Dr. Adi Prayitno,drg., M.Kes

Upload: dhyanis

Post on 12-Aug-2015

127 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

LAPORAN TUTORIAL

BLOK TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN

SKENARIO I

OLEH:

KELOMPOK 15

1. Andreas Peter Patar B. S. (G0010018)

2. Anisa Nur Rahma (G0010022)

3. Cherryl Martha C. A. W. (G0010042)

4. Dhyani Rahma Sari (G0010056)

5. Finda Kartika (G0010080)

6. Kharisma Setya W. (G0010110)

7. Meutia Halida (G0010124)

8. M. Faiz K. Anwar (G0010118)

9. Rizqi Ahmad Nur (G0010168)

10. Wida Pratiwi Oktavia (G0010196)

Tutor :Dr. Adi Prayitno,drg., M.Kes

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2012

Page 2: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

BAB I

PENDAHULUAN

Skenario 1: Ada apa dengan hidungku ?

Seorang laki-laki 35 tahun didiagnosis menderita polip hidung, sekitar 1

tahun ini dia merasakan pilek terus menerus disertai bersin-bersin terutama jika

terpapar debu, gaangguan dirasakan terutama saat bernafas, hidung terasa

tersumbat, tidak bisa menghidu,kadang-kadang disertai nyeri kepala separo dan

tercium bau busuk terutama pagi hari. Sejak lama istrinya juga sering mendengar

suaminya mengeluh sakit gigi, tapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, hanya

berkumur air garam dan rendaman daun sirih, dan jika bengkak hanya

menggunakan koyo yang ditempelkan pada pipinya. Karena keluhan dirasakan

makin berat, bahkan terkadang sampai mengeluarkan darah jika membuang ingus

dan berbau busuk maka ia mengantarkan suaminya ke Poli THT.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat konkha hipertrofi, massa

putih, discharge kental, kuning kecoklatan.Pada pemeriksaan orofaring didapatkan

post nasal drip, dan gigi gangren pada M1 kiri atas serta M2 kanan atas.Pada foto

kepala water's PA, dan lateral, terlihat air fluid level pada sinusitis maksilaris

dekstra.Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan lekositosis dan peningkatan

eosinofil.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi hidung?

2. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi keluhan pasien?

3. Bagaimana interpretasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium?

4. Bagaimana efek terapi mandiri oleh pasien?

5. Apa saja diagnosis banding pada kasus skenario satu?

6. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus skenario satu ?

Page 3: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

Tujuan Pembelajaran

1. Menjelaskan Anatomi dan fisiologi hidung?

2. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi keluhan pasien?

3. Menjelaskan interpretasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium?

4. Mengetahui efek terapi mandiri oleh pasien?

5. Mengetahui diagnosis banding pada kasus skenario satu?

6. Mengetahui penatalaksanaan pada kasus skenario satu ?

Page 4: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

BAB II

STUDI PUSTAKA

1. Anatomi dan fisiologi hidung

A. Embriologi

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan

embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung

sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan

prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke

otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral

akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari

pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah

mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris (Walsh WE, 2002).

Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai

terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang

masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan

bersatu membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia

sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh

invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus

unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut

hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan

pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap

meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus

superior. Dan akhirnyapada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding

lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka.

(Walsh WE, 2002)

Page 5: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

B. Anatomi

a. Hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian

luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar

dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat

digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan;

dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk

hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung

(hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar

dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan

ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2)

prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala

mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

b. Hidung Dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari

os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan

rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral

terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka

inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara

konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media

disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)

Page 6: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

c. Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai

muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di

belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

d. Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan

nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum..

(Ballenger JJ,1994)

e. Sinus Paranasal

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri

atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid.Ballenger JJ,1994 ; Dhingra

PL, 2007 ; Hilger PA,1997)

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi

udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris

dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari

orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified

columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari

rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel

goblet (Sobol SE, 2007).

f. Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal

dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion

sfenopalatinum selaain memberikan persarafan sensoris juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima

serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari

Page 7: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus

profundus. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Nervus olfaktorius.Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan

bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu

padamukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ;

Soetjipto D & Wardani RS,2007)

C. Fisiologi

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka

fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk

mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)

fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir

udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna

untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara

sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk

meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5)

refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

a. Fungsi Respirasi

Udara inspirasi masuk ke hidung melalui nares anterior, lalu naik setinggi

konka kemudian turun ke arah nasofaring. Udara yang dihirup akan mengalami

humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap

air, sehingga terjadi penguapan udara inspirasi oleh palut lendir. Pada musim

dingin, sebaliknya. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

b. Fungsi Penghidu

Hidung bekerja sebagai indra penngecap dan penghidu dengan adanya

mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian

atas septum. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk

Page 8: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan. (Soetjipto D &

Wardani RS,2007)

c. Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara. Sumbatan pada

hidung akan menyebabkan resonansi berkurang, sehingga menimbulkan suara

sengau. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

d. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan

menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

D. Histologi

a. Mukosa Hidung

Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas

permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml

Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang

berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi

oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu

mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). dan sebagian besar mukosa pernafasan

(mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka

superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius.Lapisan mukosa

respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D

& Wardani RS,2007)

Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang

berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel

padahidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia,

sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri

atasdua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa

Page 9: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya

terletakmukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas

epitel,membran basalis dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).

Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang

bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari

empat macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified

columnar epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia

ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian

apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan

untuk kerja silia.Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat

(yang mempunyai mikrovili).(Watelet, 2002).

Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada

daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang

vestibulum.Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan

rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum

akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka

dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel

akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media

dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan

tersusun rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)

b. Sel Goblet

Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan

endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein

polisakarida yang membentuk lendir dalam air.Diantara semua sinus, maka sinus

maksila mempunyai kepadatan selgoblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet

juga banyak dijumpai didaerah nasofaring (Ballenger;1994 ; Waguespack,1995;

Levine,2002 )

Page 10: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

c. Silia Hidung

Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia)

memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap

selnya yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia

merupakan struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan

berperan dalam membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang,

dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50

- 200 buah tiap selnya. Panjang silia antara 5-7 µm dengan diameter 0,3 µm.

( Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)

Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring.

Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun

dari udara inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus

menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta

melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya.

(Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995)

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang

penting. Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan

didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk

membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang

masuk ke dalam rongga hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto

D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)

2. Patogenesis dan patofisiologi keluhan pasien

Infeksi Odontogen

Etiologi

Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal usus dalam

mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut.Yang

ditemukan terutama bakteri kokus aerob Gram positif, kokus anaerob Gram

positif dan batang anaerob Gram negative. Bakteri-bakteri tersebut dapat

Page 11: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

menyebabkan karies, gingivitis dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang

lebih dalam melalui nekrosis pulpa maka akan terjadi infeksi odontogen. Yang

terpenting di sini adalah infeksi disebabkan oleh berbagai macam bakteri, baik

aerob maupun anaerob. (Mansjoer, Arief et al. 2001)

Patofisiologi

Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat merupakan jalan

bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak,

maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang

kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi dapat menembus dan masuk ke

jaringan lunak.Penyebaran virus ini tergantung dari daya tahan jaringan dan

tubuh. Infeksi odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (per

kontinuitatum) , pembuluh darah (hematogen), dan pembuluh limfe (limfogen).

Yang paling sering terjadi adalah penyebaran melalui jaringan ikat karena terdapat

celah di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya

pus.Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses

submukosa, abses gingiva, thrombosis sinus kavernosus, abses labial, dan abses

facial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses sublingual,

abses submental, abses submandibula, abses submaseter dan angina Ludwig.

(Mansjoer, Arief et al. 2001)

Polip Hidung

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan dalam

rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat terjadi akibat inflamasi

mukosa.  Diduga predisposisi polip adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit

atopi (Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Patogenesis

Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat

peradangan atau turbulensi udara, terutama di daerah sempit di kompleks

Page 12: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

ostiomeatal.Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan

pembentukan kelenjar baru.Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh

permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori

lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor(Mangunkusumo &

Wardani, 2010).

Bila proses berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi

polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai

(Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Makroskopis

Polip merupakan massa bertangkai, permukaan licin, bentuk bulat atau

lonjong, warna putih keabuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple

dan tidak sensitive. Warna polip yang pucat disebabkan karena mengandung

banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip (Mangunkusumo & Wardani,

2010).

Mikroskopis

Epitel serupa mukosa hidung normal, epitel bertingkat semua bersilia

dengan submukosa yang sembab. Polip yang sudah lama dapat mengalami

metaplasia karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik,

atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.(Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Diagnosis Polip Nasi

Anamnesis

Keluhan utama adalah hidung rasa tersumbat ringan sampai berat, rinore

mulai jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.Mungkin disertai bersin,

nyeri hidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila infeksi sekunder mungkin

terdapat post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul

ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan

penurunan kualitas hidup (Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Page 13: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior terlihat sebagai massa warna pucat yang berasal

dari meatus medius dan mudah digerakkan(Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Pemeriksaan Radiologi

Foto sinus paranasal dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan batas

udara-cairan dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan

tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas apakah ada

proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal

(Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Penatalaksanaan

Menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi dan rekurensi

polip.Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip sebagai polipektomi

medikamentosa, topikal atau sistemik.Kasus polip yang tidak membaik dengan

terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi

bedah (Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Rinithis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai IgE.

Page 14: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi

terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi

Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam

setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Lambat (RAFL)

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase tipe hiper-reaktifitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofagg

atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC)

akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah

diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung

dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper

(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)

yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL3. IL4 dan IL3 dapat

diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B

menjadi aktif dan akan memproduksi Ig E. Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke

jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil

sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang

mengasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi

terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen

sesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),

Leukotrien D4 (LTD4), Leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating

Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase

Cepat.

Page 15: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga

akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin erangsang ujung saraf

vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1)

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah:

Polip hidung

Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.

Sinusistis paranasal

Sinusitis

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus

paranasal.Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut

rinosinusitis.Penyebab utamanya adalah selesma yang merupakan infeksi virus,

yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri.Yang paling sering terkena ialah

sinus etmoid dan maksila.

Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM.Mukus juga mengandung substansi

antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi

edema, mukosa yang saling berhadapan akan saling bertemu sehingga siia tidak

dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam

Page 16: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.Kondisi

ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya bisa sembuh

dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan

media baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri.Sekret menjadi

purulen.Keadaan ini isebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan

terapi antibiotik.

Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut terjadi hipoksia dan bakter

anaerob berkembang.Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus

yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu

hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.Pada keadaan ini diperlukan

tindakan operasi.

Sinusitis Odontogenik

Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.

Dasar sinus maksila adalah prossesus alveolaris tempat akar gigi rahang

atas, sehingga rongga sinus maksla hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar

gigi, bahkan kadang tanpa tulang pembatas.Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi

apikal akar ggi atau ingflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara

langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.

Tanda Gejala

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa

tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post

nasal drip).Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan

ciri khas sinusitis akut, serta kadang nyeri juga terasa ditemat lain. Nyeri pipi

menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau belakang ke dua bola mata

menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan

sinusitis frontal.Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital,

Page 17: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

belakang bola mata dan daerah mastoid.Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada

nyeri alih ke gigi dan telinga.

Gejala lain adalah sakit kepala, hposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip

yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

Komplikasi

o Kelainan orbita

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata.Yang

paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan

maksila.Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan

perkontinuitatum.Kelainan yang dapat timbul ialah edema palbebra, selulitis

orbita, abses subperiostal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis

sinus kavernosus.

o Kelainan intrakranial

Daat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak

dan trombosis sinus kavernosus.

Epistaksis

Epistaksis adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga

hidung dan nasofaring. Penyakit ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun

sistemik dan sumber perdarahan yang paling sering adalah dari pleksus Kiessel-

bach’s. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,

pemeriksaan laboratorium dan radiologik. Prinsip penanggulangan epistaksis

adalah menghentikan perarahan, mencegah komplikasi dan kekambuhan.

Epistaksis anterior ditanggulangi dengan kauter dan tampon anterior, sedangkan

epistaksis posterior dengan tampon Bellocq dan ligasi arteri atau embolisasi

(Delfitri Munir-2006)

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu :

Page 18: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

Epistaksis anterior

Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little

area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior

tepat di ujung postero superior vestibulum nasi atau juga dapat berasal dari bagian

depan konkha inferior dimana mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat

erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan

udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi

patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan

Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri

etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan

sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau

pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005).

Epistaksis (Delfitri Munir-2006) dapat terjadi akibat :

a. Tauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek

hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas.

b. Iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan.

Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma

spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan

c. Hemangioma, karsinoma dan angiofibroma.

d. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah

e. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause. K

f. Kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada

demam berdarah.

g. Tifoid dan morbili.

h. Penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer.

Page 19: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

3. Interpretasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium

4. Efek terapi mandiri oleh pasien

5. Diagnosis banding pada kasus skenario satu

6. Penatalaksanaan pada kasus skenario satu

!!!!!!!!!!!!!!!!

Page 20: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario ini disebutkan bahwa pasien mengalami gejala pilek terus

menerus disertai bersin-bersin terutama jika terpapar debu, gangguan dirasakan

terutama saat bernafas, hidung terasa tersumbat, tidak bisa menghidu, kadang-

kadang disertai nyeri kepala separo dan tercium bau busuk terutama di pagi hari.

Pilek terus menerus disertai bersin-bersin yang dirasakan terutama jika

terpapar debu terjadi akibat inflamasi yang diawali dengan tahap sensitasi dan

diikuti dengan reksi alergi.

Proses ini terjadi diawali dengan paparan allergen yang dalam skenario ini

adalah debu. Alergen atau antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut

akan diproses oleh sel makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit

dan sel penyaji antigen (APC) menjadi peptide pendek yang terdiri dari 7-14 asam

amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari kompleks MHC

class II. Sel APC ini akan mengalami migrasi menuju adenoid, tonsil, atau

limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limfosit Tho bersama

dengan sel CD4 dapat mengenali peptide yang disajikan oleh sel APC tersebut.

Kontak simultan yang terjadi diantara sel TCR bersama molekul CD4 dengan

MHC class II, CD 28 dan B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada

sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada membrane sel,

sitoplasma maupun nucleus pada sel T yang hasil akhirnya berupa produksi

sitokin. (Suprihatin, 2006)

Paparan allergen dosis rendah yang terus menerus pada seorang penderita

yang mempunyai bakat alergi (atopic) dan presentasi allergen oleh sel penyaji

antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B

untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi

berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan

reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil atau sel

mast. Sel mast kemudian masuk venula post kapiler di mukosa yang kemudian

Page 21: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan

submukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan

sensitive atau sudah tersensitasi. Apabila sudah dalam keadaan tersensitasi ini

penderita terpapar kembali dengan allergen, maka akan terjadi tahap provokasi

atau reaksi alergi dimana nanti IgE akan memicu eksositosis granula sel mast

yang berisi mediator kimia yang disebut pula preformed mediator seperti

histamine, tryptase dan bradikinin dalam suatu alur tertentu.

Histamin mempunyai efek langsung pada endotel yang meningkatkan

permeabilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang memperberat

gejala rinore. Ikatan histamine pada reseptor syaraf nociceptif tipe C pada mukosa

hidung yang berasal dari Nervous Facialis menyebabkan rasa gatal di hidung dan

merangsang timbulnya bersin.Histamine merupakan mediator utama terjadinya

bersin.Bersin umumnya merupakan gejala reaksi alergi fase cepat.Bersin

disebabkan stimulasi reseptor H1 pada ujun syaraf vidianus.Peptida endotelin 1

yang dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan reaksi bersin. (Sumarman,

2001)

Efek histamine pada kelenjar karena aktifasi reflex parasimpatis

menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala rinore yang

serous. Selain itu histamine juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka.

Mukosa yang berlebihan pada cavum nasi menyebabkan penjalaran

reseptor bau terhambat.Ujung syaraf olfaktorius pada mukosa hidung menjadi

tidak sensitive sehingga penderita sulit menghidu bahkan sampai tidak dapat

menghidu.

Reaksi hipersensitif atau reaksi alergi yang terjadi berulang pada mukosa

hidung diatas dapat pula menyebabkan polip hidung.Pada scenario juga

disebutkan bahwa pasien mengalami gangguan terutama pada saat bernafas,

pasien merasa hidungnya tersumbat.Prevalensi kejadian polip hidung ini

seringkali ditemukan bersamaan dengan infeksi dalam hidung ataupun sinus

paranasal.

Page 22: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau

sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung karena

grafitasi. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil

dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip

biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak –

anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.

Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab

tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang

lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema

mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada

akhirnya terbentuk polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus

etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal

ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering

dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis

alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena

tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu

sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan

obstruksi di meatus media.

Dalam scenario pula, didapati gejala yang mengarah pada diagnosis

sinusitis dentogen seperti nyeri kepala sebelah dan keluhan penyerta riwayat sakit

gigi kronis. Selain itu, hasil pemeriksaan penunjang berupa foto polos dengan 3

posisi yakni PA atau Caldwell, Water’s, dan lateral didapati air-fluid level di sinus

maksilaris dekstra. Berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan pada scenario, selain

terdapat polip hidung yang telah didiagnosis sebelumnya, ada kemungkinan

pasien juga menderita penyakit sinusitis.

Penyebab dari sinusitis yang dialami oleh pasien, bisa dihubungkan

dengan sakit gigi yang diderita pasien selama ini.Secara anatomis, dasar sinus

maksila adalah prosesus alveolaris yakni tempat akar gigi bagian atas, maka dari

itu infeksi yang menyerang gigi molar pasien dapat meluas dan menyebar

langsung ke sinus maksila melalui pembuluh darah dan limfe. Selain karena posisi

anatomis, gaya hidup pasien yang sering berkumur dengan air garam dan

Page 23: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

rendaman daun sirih juga mendukung terjadinya infeksi pada gigi yang bisa

menyebar ke sinus.

Page 24: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penyakit- penyakit hidung sering berkomplikasi dan menyebabkan penyakit

hidung lainnya apabila tidak ditangani dengan segera dan adekuat. Rhinitis

alergica pada pasien dalam kasus berkomplikasi menjadi polip hidung.

2. Infeksi pada gigi rahang atas bisa menyebar ke sinus maksila dan

menyebabkan terjadinya sinusitis dentogen terkait dengan kondisi anatomis

dari sinus tersebut.

B. Saran

1. Pasien disarankan memeriksakan kondisinya apabila merasakan kesehatannya

terganggu agar dapat segera ditangani dengan adekuat dan tidak berkomplikasi

menjadi penyakit lainnya.

2. Pasien disarankan tidak melakukan terapi sesuai pengetahuan sendiri (seperti

berkumur dengan air garam dan rendaman daun sirih) karena tindakan yang

salah justru semakin memperburuk kondisi pasien.

3. Dokter sebaiknya memeriksa pasien dengan cermat dan mengetahui etiologi

serta patofisiologi penyakit pasien agar tatalaksana yang dilakukan sesuai dan

segera mengatasi penyakit pasien.

Page 25: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga

Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989

Ballenger (Ed.).1994. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck, 14th

edition, Lea and Febiger, Philadelphia: PA.

Delfitri Munir, Yuritna Haryono, Andrina Y.M. Rambe. 2006. Departemen Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala leher Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara(Epistaksis). Vol 39: 274

Dhingra PL. 2007. Disseases of Ear, Nose & Throat. Elsevier 5th edition

Mangunkusumo, E. dan Wardani, R. 2010.Polip Hidung in Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Mansjoer, Arief et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid

1.Jakarta: Media Aesculapius FKUI

Nishino, T. 2000. Physiological and pathophysiological implications of

upperairway reflexes in humans. Jpn J Physiol 50: 314.

Raisa Darusman, K. Paper : Polip Nasi. FK-Universitas Trisakti. Jakarta 2002

Sobol SE. 2007. Management of acute sinusitis and its complications. In:

Wetmore RF, editor. Pediatric otolaryngology, Pediatric otolaryngology:

the requisites in pediatrics. Philadelphia: Elsevier/Mosby

Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000

Suprihati, 2006. Patofisiologi RInitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah

Simposium Nasional Perkembengan Terkini Penatalaksanaan Beberapa

Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral,

Maksilektomi dan Septrinoplasti, Malang,pp.10,1,1-15

Suranyi, L. 2001. Localization of the sneeze center.Neurology 57: 161.

Thornton MA, Mahest BN, Lang J.2005.Posterior epistaxix: Identification of

common bleeding sites. Laryngodcope. Vol. 115 (4): 588 – 90.

Page 26: L. Tutorial Blok THT 2012-2013 Sken 1 Kel. B13

Wallois, F., Macron, J.M., Jounieaux, V. and Duron, B.1991.Trigeminal

afferences implied in the triggering or inhibition of sneezing in

cats.Neurosci Lett 122: 14514

Widdicombe, J.G.1990. Nasal pathophysiology.Resp Med 84(Suppl. A): 39.