laporan akhir ekpd 2009 sulawesi tengah - untad
DESCRIPTION
Dokumen Laporan Akhir EKPD 2009 Provinsi Sulawesi Tengah oleh Universitas TadulakoTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Sebagai kelanjutan dari Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2007 dan Tahun 2008, pada Tahun 2009 ini, Kami kembali dipercayakan untuk menyusun Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
Berbeda dengan Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah di Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2008, Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Tahun 2009 dilaksanakan untuk menilai relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004-2008. Evaluasi ini juga dilakukan untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai tujuan/sasaran yang diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari pembangunan daerah tersebut.
Penyusunan EKPD Provinsi Sulawesi Tengah dimulai Bulan Juli 2009. Tim melaksanakan tugasnya dengan melakukan berbagai kegiatan : melakukan pembagian tugas penulisan laporan sesuai bidang keakhlian masing-masing; pengumpulan data dan informasi pada berbagai pihak yang terkait, dan melakukan rapat-rapat.
Alkhamdulillah, rangkaian proses dan finalisasi penyusunan laporan kegiatan ini akhirnya selesai juga. Tanpa kerja keras dari tim peneliti dan tanpa bantuan dan fasilitasi dari pihak BAPPENAS dan BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah, sulit dibayangkan apakah laporan ini selesai tuntas dan tepat pada waktunya.
Oleh karena itu, kepada tim peneliti dan sekaligus penyusun laporan ini yang telah bekerja sepenuh hati dan bertanggung penuh akan laporan hasil studi ini kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.
Kami sangat menyadari bahwa di dalam laporan akhir ini masih terdapat berbagai kekurangan dan kelebihan yang seharusnya tidak perlu terjadi, namun bagaimanapun, karena tim penyusun ini adalah juga anak manusia, maka berbagai kekurangan dan kelebihan tak dapat terhindarkan. Olehnya itu, kehadiran berbagai saran masukan dan kritik konstruktif untuk perbaikan laporan ini akan disambut baik dengan tangan terbuka.
Akhirul kalam, semoga laporan ini bisa memberikan manfaat untuk semua pembacanya.
Palu, 14 Desember 2009 Rektor/Ketua
Tim EKPD Sulawesi Tengah Tahun 2009
Drs. H. Sahabuddin Mustapa, MSi
ii
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik
i ii iv
BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang dan Tujuan 1
1.2 Keluaran 1
1.3 Metodologi 1
1.4 Sistematika Penulisan 3
BAB II HASIL EVALUASI 5 2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 8
2.1.1. Capaian Indikator 8
2.1.2. Demokrasi 12
2.1.3. Analisis Relevansi 19
2.1.4. Analisis Efektivitas 21
2.1.5. Aanalisis Capaian Indikator Spesifik Menonjol 24
2.1.6. Rekomendasi Kebijakan 26
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA 28 2.2.1. Capaian Indikator 28
2.2.2. Pendidikan 28
2.2.3. Kesehatan 40
2.2.4. Analisis Relevansi 50
2.2.5. Analisis Efektivitas 51
2.2.6. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 51
2.2.7. Rekomendasi Kebijakan 53
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI 55 2.3.1. capaian indikator 55 2.3.2. analisis relevansi 66 2.3.3. analisis efektivitas 69 2.3.4. analisis capaian indikator spesifik dan menonjol 67 2.3.5. Rekomendasi Kebijakan 71
iii
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM 72 2.4.1. Capaian Indikator 72 2.4.2. Kehutanan 73 2.4.3. Kelautan 76 2.4.4. Analisis Relevansi 79 2.3.5. Analisis Efektivitas 80 2.4.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 82 2.4.3. Rekomendasi Kebijakan 83
2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL 83 2.5.1. Capaian Indikator 84 2.5.2. Capaian Indikator Outcomes Provinsi dan Outcomes Nasional 89 2.5.3. Analisis Relevansi 90 2.5.4. Analisis Efektivitas 91 2.5.5. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 92 2.5.5. Rekomendasi Kebijakan 94 BAB III P E N U T U P 96
3.1 Kesimpulan 96 3.2 Rekomendasi 97
iv
DAFTAR GRAFIK
NOMOR JUDUL GRAFIK Hal 2.1.1.1 Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani Nasional dan Sulawesi Tengah dibandingkan
dengan yang dilaporkan; 9
2.1.1.2 Presentase Aparat yang Berijasah Minimal S1 Nasional dan Sulawesi Tengah 10
2.1.1.3 Persentase Jumlah Kabupaten/Kota Yang Memiliki PERDA Layanan Satu Atap 11
2.1.2.1 Gender Development Indeks Sulawesi Tengah dibandingkan dengan GDI Nasional
13
2.1.2.2
Gender Empowerment Meassurment (GEM) Sulawesi Tengah di Bandingkan dengan GEM Nasional
14
2.1.2.3 Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi 15
2.1.2.4 Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat pada Pemilihan Legislatif Tahun 2004 dan 2009 16
2.1.2.5 Tingkat Partispasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Presiden Pada Tahun 2004 dan 2009
17
2.1.2.6 Capaian Indikator Layanan Publik 18
2.1.2.7 Capaian Indikator Demokrasi 19
2.1.2.8 Kasus KDRT yang ditangani di Sulawesi Tengah 25
2.1.2.9 Partisipasi Perempuan dalam Legislatif, Pemerintahan setingkat Desa dan Pemerintahan di Sulawesi Tengah
26
2.2.2.1 Perkembangan Angka Partisipasi Murni SD/MI Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
31
2.2.2.2 Perkembangan Angka Partisipasi Murni SMP/Mts Sulawesi Tengah dan Nasional, 2003-2008
32
2.2.2.3 Perkembangan Angka Partisipasi Murni SMA/MA Sulawesi Tengah dan Nasional, 2003-2008
33
2.2.2.4: Perkembangan Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
34
2.2.2.5: Perkembangan Rata-rata Nilai Akhir SMA/MA Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
35
2.2.2.6 Perkembangan Angka Putus Sekolah SD Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
36
2.2.2.7 Perkembangan Angka Putus Sekolah SMP/MTs Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008 37
2.2.2.8
Perkembangan Angka Putus Sekolah SMA/MA Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008 37
v
NOMOR JUDUL GRAFIK Hal 2.2.2.9
Perkembangan Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke atas Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
38
2.2.2.10
Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs Sulawesi Tengah dan Nasional, Tahun 2004-2008
39
2.2.2.11
Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMA/MA Sulawesi Tengah dan Nasional, Tahun 2004-2008
40
2.2.3.1
Perkembangan Umur Harapan Hidup (UHH) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2009
41
2.2.3.2
Perkembangan Angka Kematian Bayi (AKB) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2009
42
2.2.3.3
Perkembangan Angka Kematian Ibu (AKI) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008 43
2.2.3.4
Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang/Buruk (PGKB) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2009
45
2.2.3.5
Perkembangan Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
46
2.2.3.6
Perkembangan Persentase Penduduk Ber KB Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
47
2.2.3.7
Perkembangan Persentase Laju Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
48
2.2.3.8
Capaian Indikator Kualitas Sumber Daya Manusia, Sulawesi Tengah dan Indonesia 2004-2008 49
2.2.3.9
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Tengah dan Indonesia, 2004-2008 50
2.3.1.1
Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tengah dan Nasional Tahun 2004-2008 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000
56
2.3.1.2
Persentase Ekspor Sulawesi Tengah dan Nasional terhadap PDRB/PDB Tahun 2004-2008 57
2.3.1.3
Persentase Output Manufaktur di Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
58
2.3.1.4 Pendapatan per Kapita Sulawesi Tengah dan Nasional Tahun 2004-2008 (Juta Rp)
60
2.3.1.5 Laju Inflasi Provinsi Sulteng dan Nasional (persen) Tahun 2004-2008
61
2.3.1.6a Panjang Jalan Nasional Berdasarkan Kondisi 62
2.3.1.6b Panjang Jalan Provinsi Berdasarkan Kondisi 63
2.3.1.7
Perkembangan Persentase Pertumbuhan Realisasi Investasi PMA Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
64
2.3.1.8
Perkembangan Persentase Pertumbuhan Realisasi Investasi PMDN Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
65
vi
NOMOR JUDUL GRAFIK Hal
2.3.1.9
Capaian Indikator Outcomes Tingkat Pembangunan Ekonomi Di Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
66
2.3.4a
Perkembangan Pendapatan Per Kapita Sulawesi Tengah (asumsi pertumbuhan rata-rata 8,56 %/tahun)
69
2.3.4b Perkembangan Pendapatan Per Kapita Sulawesi Tengah 70
2.4.2.1
Presentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis di Sulawesi Tengah di bandingkan dengan Luas Lahan Rehabilitasi terhadap luas lahan Kritis Nasional
73
2.4.2.2
Luas Rehabilitasi Lahan Luar Hutan di Sulawesi Tengah Dibandingkan dengan Luas Rehabilitasi Lahan Luar Hutan Nasional
74
2.4.2.3 Luas Kawasan Konservasi di Sulawesi Tengah Dibandingkan dengan Luas Kawasan Konservasi Nasional
75
2.4.3.1
Jumlah Tindak Pidana Perikanan di Sulawesi Tengah Dibandingkan dengan Jumlah Tindak Pidana Perikanan Nasional
76
2.4.3.2
Presentase Terumbu Karang dalam Keadaan Baik Secara Nasional
77
4.3.3
Luas Kawasan Konservasi Laut Sulawesi Tengah Dibandingkan dengan Luas Konservasi Laut Nasional
78
2.4.6 Luas Kawasan Konservasi Sulawesi Tengah 82
2.5.1.1
Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
85
2.5.1.2 Perkembangan Pengangguran Terbuka Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
86
2.5.1.3
Perkembangan Presentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak (terlantar, jalanan, balita terlantar, dan nakal) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
87
2.5.1.4
Perkembangan Presentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia Di Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
88
2.5.1.5
Perkembangan Presentase pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Di Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
89
2.5.2
Capaian Indikator Kesejahteraan Sosial Sulawesi tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
90
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan nasional. Pada hakekatnya pembangunan daerah adalah upaya
terencana untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam mewujudkan masa depan
daerah yang lebih baik dan kesejahteraan bagi semua masyarakat. Hal ini sejalan
dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa Pemerintah
Daerah diberikan kewenangan secara luas untuk menentukan kebijakan dan program
pembangunan di daerah masing-masing.
Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2009 dilaksanakan untuk menilai
relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004-2008.
Evaluasi ini juga dilakukan untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai
tujuan/sasaran yang diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari
pembangunan daerah tersebut.
Secara kuantitatif, evaluasi ini akan memberikan informasi penting yang
berguna sebagai alat untuk membantu pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan
pembangunan dalam memahami, mengelola dan memperbaiki apa yang telah dilakukan
sebelumnya.Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi
lokal guna mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan
daerah periode berikutnya, termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus
(DAK) dan Dana Dekonsentrasi (DEKON).
1.2 KELUARAN
1. Terhimpunnya data dan informasi evaluasi kinerja pembangunan daerah di Provinsi
Sulawesi Tengah.
2. Tersusunnya hasil analisa evaluasi kinerja pembangunan daerah di Provinsi Sulawesi
Tengah.
1.3 METODOLOGI
Metode yang digunakan untuk menentukan capaian 5 kelompok indikator hasil adalah
sebagai berikut:
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
2
1. Indikator hasil (outcomes) disusun dari beberapa indikator pendukung terpilih yang
memberikan kontribusi besar untuk pencapaian indikator hasil (outcomes).
2. Pencapaian indikator hasil (outcomes) dihitung dari nilai rata-rata indikator pendukung
dengan nilai satuan yang digunakan adalah persentase. 3. Indikator pendukung yang satuannya bukan berupa persentase maka tidak
dimasukkan dalam rata-rata, melainkan ditampilkan tersendiri.
4. Apabila indikator hasil (outcomes) dalam satuan persentase memiliki makna negatif, maka sebelum dirata-ratakan nilainya harus diubah atau dikonversikan terlebih dahulu
menjadi (100%) – (persentase pendukung indikator negatif).
Sebagai contoh adalah nilai indikator pendukung persentase kemiskinan semakin
tinggi, maka kesejahteraan sosialnya semakin rendah.
5. Pencapaian indikator hasil adalah jumlah nilai dari penyusun indikator hasil dibagi
jumlah dari penyusun indikator hasil (indicator pendukungnya). Contoh untuk indikator
Tingkat Kesejahteraan Sosial disusun oleh:
1) persentase penduduk miskin
2) tingkat pengangguran terbuka
3) persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak
4) presentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia
5) presentase pelayanan dan rehabilitasi sosial
Semua penyusun komponen indikator hasil ini bermakna negatif (Lihat No.4).
Sehingga:
Indikator kesejahteraan sosial = {(100% - persentase penduduk miskin) + (100% -
tingkat pengangguran terbuka) + (100% - persentase pelayanan kesejahteraan sosial
bagi anak) + (100%- persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia) +
(100% - persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial}/5
Daftar indikator yang menjadi komponen pendukung untuk masing-masing kategori
indikator outcomes dapat dilihat pada Lampiran 1. Untuk menilai kinerja
pembangunan daerah, pendekatan yang digunakan adalah Relevansi dan Efektivitas.
Relevansi digunakan untuk menganalisa sejauh mana tujuan/sasaran pembangunan
yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini,
relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren capaian pembangunan daerah
sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.
Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian
antara hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
3
pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah
membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang digunakan dapat melalui:
Pengamatan langsung Pengamatan langsung kepada masyarakat sebagai subjek dan objek
pembangunan di daerah, diantaranya dalam bidang sosial, ekonomi, pemerintahan, politik,
lingkungan hidup dan permasalahan lainnya yang terjadi di wilayah provinsi terkait.
Pengumpulan Data Primer Data diperoleh melalui FGD dengan pemangku kepentingan pembangunan
daerah. Tim Evaluasi Provinsi menjadi fasilitator rapat/diskusi dalam menggali
masukan dan tanggapan peserta diskusi.
Pengumpulan Data Sekunder Data dan informasi yang telah tersedia pada instansi pemerintah seperti BPS
daerah, Bappeda dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN
Laporan akhir ini disusun dengan mengikuti sistematika penulisan sebagai
berikut:
Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Tujuan
1.2 Keluaran
1.3 Metodologi
1.4 Sistematika Penulisan Laporan
BAB II HASIL EVALUASI
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
2.1.1. Capaian Indikator
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA 2.2.1. Capaian Indikator
2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
2.2.3. Rekomendasi Kebijakan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
4
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI 2.3.1. Capaian Indikator
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
2.3.3. Rekomendasi Kebijakan
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM 2.4.1. Capaian Indikator
2.4.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
2.4.3. Rekomendasi Kebijakan
2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL 2.5.1. Capaian Indikator
2.5.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
2.5.3. Rekomendasi Kebijakan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Rekomendasi
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
5
BAB II HASIL EVALUASI
Pembangunan daerah merupakan bagian integral sekaligus merupakan penjabaran
dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah dilakukan untuk mencapai sasaran
pembangunan nasional sesuai dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di
daerah. Kunci keberhasilan pembangunan daerah dalam mencapai sasaran pembangunan
nasional secara efisien, efektif, dan merata di seluruh Indonesia adalah koordinasi dan
keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah, antarsektor, antara sektor dan daerah,
antarprovinsi, antarkabupaten/kota, serta antara provinsi dan kabupaten/kota. Selain untuk
mencapai sasaran pembangunan nasional, pembangunan daerah dilakukan untuk
meningkatkan hasil-hasil pembangunan bagi masyarakat setempat secara adil dan merata.
Pembangunan daerah dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi
pembangunan sektoral. Pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui
berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan
sektoral yang dilakukan di daerah disesuaikan dengan kondisi dan potensinya. Kedua, dari
segi pembangunan wilayah, yang meliputi pembangunan kawasan-kawasan khusus,
perbatasan, serta pembangunan perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan
sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Ketiga, pembangunan daerah dilihat dari segi
pemerintahannya. Agar tujuan dan usaha pembangunan daerah dapat berhasil dengan baik
maka pemerintah daerah perlu berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pembangunan daerah
merupakan usaha untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintahan daerah dalam
rangka implementasi otonomi daerah secara nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab.
UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
juga menetapkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah
ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih
dilantik dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah. RPJM Daerah merupakan penjabaran
visi, misi, dan program Gubernur/Bupati/Walikota terpilih selama 5 (lima) tahun, ditempuh
melalui Strategi Pokok yang dijabarkan dalam Agenda Pembangunan Daerah yang
memuat sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, dan program-
program pembangunan. Untuk itu, beberapa hal yang menjadi perhatian dalam kaitan ini
antara lain adalah: (1) RPJM Nasional menjadi pedoman bagi Gubernur/Bupati/Walikota
terpilih dalam penyusunan RPJM Daerah masing-masing. (2) Penyusunan RPJM Daerah
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
6
memperhatikan sasaran-sasaran yang merupakan komitmen internasional Indonesia
terutama pencapaian sasaran dalam Millenium Development Goals (MDGs). (3) Perhatian
khusus untuk kabupaten-kabupaten yang relatif masih tertinggal dalam wilayah provinsi,
dan kecamatan-kecamatan tertinggal dalam wilayah kabupaten.
Sasaran-sasaran lima tahunan yang tertuang dalam RPJM Nasional dan RPJM
Daerah tersebut dijabarkan melalui kegiatan tahunan yang tertuang dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Selanjutnya yang
menjadi perhatian dalam penyusunan RKP dan RKP Daerah demi memantapkan koordinasi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pencapaian tujuan nasional adalah: (1)
Konsistensi dalam targeting, terutama terkait pada tujuan, kegiatan, kelompok sasaran, dan
lokasi dari program kementerian/lembaga dengan program pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. (2) Keserasian penganggaran: dana dekonsentrasi, tugas
perbantuan, dana perimbangan (Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi
Hasil), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (3) Penentuan indikator kinerja yang
jelas dan terukur. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
selain berkepentingan terhadap penyelenggaraan pembangunan sektoral nasional di daerah,
juga berkepentingan terhadap pembangunan dalam dimensi kewilayahan.
Untuk pengamatan yang lebih obyektif dan representatif dalam pencapaian sasaran-
sasaran pembangunan, digunakan serangkaian indikator kuantitatif dan kualitatif sebagai
ukuran pencapaian berbagai hasil pembangunan. Pengamatan tersebut selain bermanfaat
sebagai masukan bagi rumusan perencanaan pembangunan daerah ke depan, juga
merupakan bagian dari kewajiban pemerintah daerah untuk menyampaikan hasil kinerjanya
kepada masyarakat.
Di era otonomi daerah, pelaksanaan pembangunan berhubungan erat dengan
penyelenggaraan pembangunan sektoral nasional di daerah dan pembangunan dalam
dimensi kewilayahan. Oleh karena itu, aktivitas pembangunan daerah harus sejalan dengan
tujuan pencapaian sasaran-sasaran sektoral nasional di daerah dan tujuan pengintegrasian
pembangunan antarsektor di dalam satu wilayah.
Dalam perspektif ini, maka fungsi dan peran pemerintah daerah menjadi sangat
penting dalam upaya merealisasikan tujuan-tujuan pembangunan daerah. Berdasarkan
pengalaman dan perkembangan pembangunan daerah yang berlangsung selama ini, maka
ada beberapa isu pokok pembangunan daerah yang perlu mendapat perhatian dan prioritas
penanganannya, yaitu:
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
7
• Kesenjangan pembangunan antarwilayah, dalam hal ini perlu upaya yang serius
dalam menangani kesenjangan antarwilayah kabupaten dan kota, serta kesenjangan
pembangunan antara kota – desa.
• Keterbatasan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari
kemampuan daerah sendiri maupun sumber dana dari luar daerah (eksternal), belum
terbangunnya sistem dan regulasi yang jelas dan tegas, serta kurangnya kreativitas dan
partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional.
• Belum meratanya dukungan infrastruktur transportasi dan komunikasi, ketenagalistrikan,
energi, dan infrastruktur sosial ekonomi yang memudahkan warga masyarakat untuk
mengakses dan memperoleh layanan publik yang lebih baik, terutama oleh warga
masyarakat di daerah-daerah perdesaan pedalaman dan di daerah-daerah terpencil.
• Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak
tersentuh oleh program–program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan
sosial, ekonomi, dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah disekitarnya.
Oleh karena itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal
memerlukan perhatian serta keberpihakan dari pemerintah daerah dalam pembangunan.
• Pemanfaatan rencana tata ruang sebagai acuan koordinasi pembangunan lintas sektor
dan antarwilayah masih rendah. Pelaksanaan pembangunan di suatu wilayah sampai
saat ini masih sering dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya sehingga
degradasi lingkungan banyak terjadi. Selain itu sistem pengelolaan pertanahan yang ada
juga kurang optimal, padahal pengelolaan pertanahan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari penataan ruang.
• Masih banyak wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum
dikembangkan sehingga lambat dalam menciptakan kemandirian ekonominya.
• Masih banyak wilayah perbatasan dan terpencil yang kondisinya masih terbelakang.
Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terdepan memiliki potensi sumber daya
alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan
dan keamanan negara.
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan
profesi yang semakin penting. Pelayanan publik tidak lagi merupakan aktivitas sambilan,
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
8
tanpa payung hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di
banyak negara berkembang pada masa lalu.
Sebagai sebuah lembaga, pelayanan publik diharapkan dapat menjamin
keberlangsungan administrasi negara yang melibatkan pengembangan kebijakan
pelayanan dan pengelolaan sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan
publik. Sebagai profesi, pelayanan publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme
dan etika seperti akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi
semua penerima pelayanan.
Menguatnya arus globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi membawa
konsekuensi logis munculnya peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi pelayanan
publik, khususnya pelayanan bagi masyarakat dengan kebutuhan khusus.
Terkait dengan pelaksanaan demokrasi melalui berbagai “pesta demokrasi”
seperti Pemilu Legislatif, PILPRES dan PILKADA, nampaknya antusiasme masyarakat
agak mengalami penurunan akibat adanya semacam “kebosanan” karena mereka
menganggap tiada hari tanpa pemilu.
2.1.1. CAPAIAN INDIKATOR
Bagian ini akan memperbandingkan dan menganalisis berbagai capaian sub
indikator (indikator pendukung) pelayanan publik dan demokrasi di Daerah Provinsi
Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional.
Analisis dilakukan dengan memperbandingkan nilai capaian sub indikator
pelayanan publik dan demokrasi di Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan di tingkat
nasional dalam bentuk grafik. Adapun nilai capaian indikator pendukung pelayanan
publik dan demokrasi yang dianalisis terdiri atas: persentase jumlah kasus korupsi yang
tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan; presentase aparat yang memiliki ijasah
minimal S1; Jumlah Daerah yang memiliki Peraturan pelayanan satu atap; Gender
Development Indeks (GDI); dan Gender Empowerment Measurement(GEM).
Dengan cara memperbandingkan dan menganalisis nilai capaian sub Indikator
tersebut, diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang capaian kinerja
pelayanan publik dan demokrasi di Sulawesi Tengah selama periode evaluasi 2004-2008.
2.1.1.1. Persentase jumlah kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam
rangka pelayanan publik, karena sangat terkait dengan kualitas layanan yang cepat dan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
9
murah. Berdasarkan data Sulawesi Tengah Dalam Angka Tahun 2009, upaya
pemberantasan dan penanganan kasus korupsi masih belum menunjukkan hasil yang
maksimal. Hal ini terlihat dari data yang dilaporkan dengan kasus yang ditangani dari
Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 menunjukkan presentase yang menurun.
Selama periode evaluasi, 2004-2008, jumlah kasus yang ditangani dibandingkan
dengan jumlah kasus yang dilaporkan di Daerah Sulawesi Tengah menunjukkan tren yang
makin menurun. Pada Tahun 2004 jumlah kasus yang ditangani dibandingkan dengan
jumlah kasus yang dilaporkan di Daerah Sulawesi Tengah mencapai 97,72 %. Pada
Tahun 2005 jumlah kasus yang ditangani mencapai 80%, kemudian menurun drastis
menjadi 33,33% pada Tahun 2007. Setelah itu kembali menaik menjadi 64,44% pada
Tahun 2008. Sedangkan di tingkat nasional, jumlah kasus yang ditangani dibandingkan
dengan jumlah kasus yang dilaporkan menunjukkan tren yang relatif stabil, yaitu menurun
dari 97% pada Tahun 2004 menjadi 94% pada Tahun 2008.
Grafik 2.1.1.1
Persentase Jumlah Kasus Korupsi Yang Tertangani Nasional dan Sulawesi Tengah Dibandingkan dengan yang Dilaporkan
Dari perbandingan capaian sub indikator tersebut, menunjukkan bahwa selama
periode evaluasi, 2004-2008, upaya penanganan kasus korupsi di Sulawesi Tengah
ternyata kinerjanya lebih buruk jika dibandingkan dengan di tingkat nasional.
Bedasarkan data BPS, kasus korupsi yang ditangani pada Tahun 2004 sebesar 97,72%,
kemudian menurun menjadi 80% pada Tahun 2005; sebesar 37,11% pada Tahun 2006;
dan menurun lagi menjadi sebesar 33,33% pada Tahun 2007, sedangkan pada Tahun
2008 capaian penanganan kasus korupsi kembali meningkat menjadi 64,44 % seperti
yang terlihat pada Grafik 2.1.1.1
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
10
Walaupun upaya pembenahan sistem politik telah dilaksanakan, namun pada
tataran daerah, khususnya dalam pandangan masyarakat umum, masih timbul kesan
adanya tebang pilih dalam penanganan kasus-kasus khusus, masih dirasakan adanya
pembedaan antara peradilan kepada masyarakat umum dan aparatur negara serta
kalangan tertentu. Olehnya upaya menciptakan sistem pemerintahan dan birokrasi yang
bersih, akuntabel, transparan, efisien dan berwibawa adalah menjadi keniscayaan.
2.1.1.2. Presentase aparat yang berijasah minimal S1
Upaya peningkatan pelayanan publik sangat ditentukan oleh sumberdaya manusia
yang tersedia. Salah satu indikator penting dalam konteks sumberdaya manusia adalah
tingkat pendidikan. Asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi tingkat pendidikan dari
aparat pelayanan publik yang ada maka semakin baik mutu layanan yang diberikan baik
dari segi ketepatan, keakuratan dan efisiensi pelayanan yang diberikan.
Grafik 2.1.1.2.
Presentase Aparat Yang Berijasah Minimal S1 Nasional dan Sulawesi Tengah
Sebagaimana disajikan pada Grafik 2.1.1.2, tingkat pendidikan aparat birokrasi
yang berijasah S1 di Sulawesi Tengah jika dibandingkan dengan nasional menunjukkan
presentase yang ebih tinggi dari pada rata-rata presentase nasional.
Selama periode evaluasi, 2004-2008, jumlah aparat yang berijasah S1 di Daerah
Sulawesi Tengah menunjukkan tren yang terus menaik. Pada Tahun 2004 jumlah aparat
yang berijasah S1 mencapai 30,67%. Pada Tahun 2005 naik menjadi 33,98%, kemudian
naik lagi menjadi 34,52 % pada Tahun 2006 dan 36,48 % pada Tahun 2007. Setelah itu
kembali menurun menjadi 35,54 % pada Tahun 2008. Sedangkan di tingkat nasional,
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
11
jumlah aparat yang berijasah S1menunjukkan tren yang relatif stabil, yaitu naik dari 29,9%
pada Tahun 2004 menjadi 30,9% pada Tahun 2008.
Realitas ini mengindikasikan bahwa upaya pemerintah daerah Sulawesi Tengah
dalam meningkatkan kualitas sumberdaya aparatnya selama periode evaluasi 2004-2008
menunjukkan kinerja yang cukup baik. Kinerja ini diharapkan dapat mendukung
peningkatan layanan publik yang lebih berkualitas.
2.1.1.3. Presentase jumlah kabupaten/kota yang memiliki PERDA layanan satu atap
Tingkat layanan publik juga dapat dilihat dari indikator regulasi peraturan daerah (PERDA) yang terkait dengan layanan satu atap. Dari data yang ada bentuk regulasi dari layanan satu atap ini terdiri atas layanan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); dan layanan pengurusan Surat-Surat Kendaraan Bermotor yang seluruhnya diatur berdasarkan PERDA tentang layanan satu atap tersebut. Grafik 2.1.1.3 memperlihatkan perbandingan layanan satu atap yang sudah dilaksanakan, baik di Daerah Sulawesi Tengah maupun di tingkat nasional.
Grafik 2.1.1.3
Persentase Jumlah Kabupaten/Kota Yang Memiliki PERDA Pelayanan Satu Atap
Tampak dari Grafik 2.1.1.3 bahwa persentase jumlah kabupaten/kota yang
memiliki PERDA pelayanan satu atap di Daerah Sulawesi Tengah jauh di atas tingkat
nasional. Capaian ini sekaligus membuktikan tekad pemerintah daerah Sulawesi Tengah
untuk meningkatkan mutu layanan publik telah berjalan pada jalur yang benar dan nyata.
Namun demikian, secara kelembagaan keberadaan unit layanan satu atap ini
masih perlu dilihat lagi dari segi efektivitas layanannya, baik dari segi standar pelayanan
minimalnya maupun dari segi standar operasional prosedurnya.
2.1.2. DEMOKRASI
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
12
Bagian ini menganalisis berbagai capaian sub indikator (indikator pendukung)
demokrasi di Provinsi Sulawesi Tengah dibandingkan dengan capaian sub indikator
demokrasi di tingkat nasional dalam bentuk grafik.
Beberapa sub indikator demokrasi yang diuraikan terdiri atas: Gender
Development Index (GDI), Gender Empowerment Meassurement (GEM), tingkat
partisipasi masyarakat dalam pemilihan gubernur, tingkat partisipasi masyarakat dalam
pemilihan legislatif, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan pilpres. Indikator-
indikator pendukung tersebut diuraikan dan dianalisis dengan cara membandingkan
tingkat capaian Sulawesi Tengah dengan tingkat capaian rata-rata persentase nasional.
2.1.2.1. Gender Development Indeks (GDI)
Ditinjau dari sisi sumberdaya manusia, perempuan merupakan kelompok yang
kurang beruntung. Mereka umumnya mengalami marginalisasi baik di bidang politik,
ekonomi, pengetahuan dan sosial. Peran perempuan dalam pembangunan, termasuk
pembangunan demokrasi masih sering terabaikan. Untuk itu dalam konteks
pembangunan yang berperspektif gender, upaya peningkatan perempuan dalam semua
sektor pembangunan perlu memasukkan aspek gender.
Dalam konteks inilah maka upaya peningkatan peran perempuan dalam
pembangunan perempuan yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan terus menerus
diupayakan oleh pemerintah Daerah Sulawesi Tengah. Namun dalam upaya
pembangunan berperspektif gender masih menemui berbagai kendala, baik karena
faktor budaya, sosial maupun kendala ekonomi yang terkait dengan upaya peningkatan
derajat perempuan terutama yang dapat diukur seperti tingkat pendidikan dan derajat
kesehatan, partisipasi dalam bidang politik dan penguasaan terhadap sumberdaya
ekonomi yang tersedia.
Untuk memperoleh gambaran capaian Gender Development Index (GDI) di
Provinsi Sulawesi Tengah dapat dilihat pada Grafik 2.1.2.1 berikut ini:
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
13
Grafik 2.1.2.1
Gender Development Indeks Sulawesi Tengah dibandingkan dengan GDI Nasional
Tampak dari Grafik 2.1.2.1 bahwa capaian nilai indikator pendukung GDI di daerah
Sulawesi Tengah relatif rendah terhadap capaian nilai indikator pendukung di tingkat
nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa aspek dan peran jender dalam praktik-praktik
pembangunan di daerah ini belum mendapatkan peran yang setara dan berimbang,
terutama pada jabatan-jabatan di sektor publik.
Realitas ini terjadi bukan karena aturan yang membatasi dan peluang yang
ditutup untuk perempuan, melainkan lebih disebabkan oleh faktor internal perempuan
sendiri. Sebab untuk menduduki jabatan-jabatan di sektor publik selain ditentukan
oleh kapasitas dan kredibilitas individu, juga turut ditentukan oleh persyaratan-
persyaratan tertentu yang berlaku umum, seperti kepangkatan, tingkat pendidikan
dan leadership serta dukungan publik.
2.1.2.2. Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Capaian nilai indikator pendukung GEM dalam konteks pembangunan demokrasi
di Sulawesi Tengah telah menunjukkan kinerja yang menggembirakan.
Selama periode evaluasi, 2004-2008, capaian nilai indikator pendukung GEM di
Daerah Sulawesi Tengah menunjukkan tren yang terus menaik. Pada Tahun 2004
Capaian nilai indikator pendukung GEM mencapai 58,3. Pada Tahun 2005 naik menjadi
59,6, kemudian naik lagi menjadi 62,5 pada Tahun 2006 dan 62,7 pada Tahun 2007.
Selanjutnya pada Tahun 2008 terjadi kenaikan yang cukup tinggi mencapai 65,18.
Sedangkan di tingkat nasional, capaian nilai indikator pendukung GEM
menunjukkan tren yang relatif stabil, yaitu naik dari 59,67 pada Tahun 2004 menjadi 62,1
pada Tahun 2008. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya penguatan peran sumberdaya
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
14
perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, khususnya di bidang politik dan
demokrasi, yang terus digerakkan oleh pemerintah daerah Sulawesi Tengah melalui
peningkatan peran serta perempuan dalam sistem pengambilan keputusan dan pelibatan
perempuan di sektor-sektor publik terus menunjukkan peningkatan, bahkan melebihi
capaian di tingkat nasional, hal ini dapat dilihat pada Grafik 2.1.2.2 berikut.
Grafik 2.1.2.2
Gender Empowerment Meassurment (GEM) Sulawesi Tengah di Bandingkan dengan GEM Nasional
2.1.2.3. Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah
Partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (Gubernur dan atau
Bupati/Walikota) secara langsung dapat dijadikan indikator yang cukup penting dalam
mengukur kualitas demokrasi di Indonesia.
Di Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, tingkat partisipasi politik masyarakat dalam
pemilihan Gubernur dapat dilihat pada pemilihan Gubernur Tahun 2006 dibandingkan
dengan rata-rata partispasi politik masyarakat pada Pemilihan Gubernur secara Nasional
Tahun 2008 seperti yang terlihat pada Grafik 2.1.2.3. Dari Grafik ini terlihat bahwa tingkat
partisipasi politik masyarakat pada saat pemilihan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah
lebih rendah dari pada partisipasi politik pada pemilihan Gubernur secara Nasional.
Ketika itu, pada Tahun 2006, partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan Gubernur
Provinsi Sulawesi Tengah hanya mencapai 67,7% sedangkan rata-rata partispasi politik
masyarakat pada Pemilihan Gubernur secara Nasional Tahun 2008 mencapai 75.31%.
Data ini menunjukkan bahwa secara kuantitatif partisipasi politik masyarakat
Sulawesi Tengah masih lebih rendah jika diperbandingkan dengan rata-rata nasional.
Tingkat partisipasi politik masyarakat Sulawesi Tengah pada saat pemilihan Gubernur
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
15
sedikit banyak dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur dan suprastruktur politik yang
ada. Rendahnya partisipasi politik pada saat pelaksanaan pemilihan Gubernur diduga
karena adanya kejenuhan masyarakat yang hampir tiap tahun melaksanakan pencoblosan/
pencentangan dalam pemilu. Untuk menghilangkan kejenuhan ini mungkin perlu
dipertimbangkan pelaksanaan pilkada serentak untuk pemilihan kepala daerah provinsi dan
pemilihan kepala daerah kabupaten/kota.
Grafik 2.1.2.3:
Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi
Namun secara kualitatif, boleh jadi rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam
pemilihan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah itu karena hilangnya kepercayaan (trust)
masyarakat terhadap aturan main yang setiap saat dapat dimanipulasi oleh para
penyelenggara pilkada atas desakan kepentingan tertentu, dan praktik-praktik culas
lainnya dalam pilkada.
2.1.2.4. Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Legislatif
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan demokrasi di Indonesia,
salah satunya dapat diukur dengan menggunakan indikator pendukung tingkat
partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan legislatif pada pemilihan umum anggota
DPR RI, DPD RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Capaian nilai indikator pendukung tingkat partisipasi politik pada saat Pemilihan
Umum Legislatif mencerminkan bagaimana kualitas demokrasi yang ada pada saat itu.
Dari Pemilihan Umum Legislatif yang berlangsung pada Tahun 2004 dan Tahun 2009
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
16
dapat menjadi indikator bagaimana tingkat partisipasi masyarakat di Sulawesi Tengah
terhadap pelaksanaan pemilihan umum legislatif.
Tingkat partisipasi politik masyarakat Sulawesi Tengah pada pemilihan legislatif
jika dibandindangkan dengan partisipsi rata-rata nasional menunjukkan suatu gambaran
bahwa sistem demokrasi yang berlangsung saat itu masih mendapat dukungan positif
dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 2.1.2.4:
Grafik 2.1.2.4:
Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilihan Legislatif Tahun 2004 dan 2009
Dari Grafik 2.1.2.4 dapat diketahui bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat
Sulawesi Tengah lebih tinggi dari pada partisipasi politik rata-rata nasional. Pada Tahun
2004 partisipasi politik masyarakat Sulawesi Tengah pada pemilihan legislatif adalah
88,94% sedangkan rata-rata nasional pada tahun yang sama hanya 75,19 %. Kemudian
pada Pemilihan Umum Legislatif yang berlangsung pada Tahun 2009 partisipasi politik
masyarakat Sulawesi Tengah adalah 77,96 %, sedang rata-rata nasional hanya 71%.
2.1.2.5. Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Presiden
Partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan presiden secara langsung juga
merupakan indikator yang cukup penting dalam mengukur kualitas demokrasi di
Indonesia. Pembangunan demokrasi yang berbasis pada partisipasi masyarakat pada
moment-moment penting dalam rangka legitimasi sistem pemerintahan sangat
menentukan apakah demokrasi yang dibangun tersebut telah mendapat legitimasi dan
diterima oleh masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
17
Dalam konteks pemilihan presiden, partisipasi politik masyarakat sangat ditentukan
oleh presentase keterlibatan masyarakat yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan
presiden. Pemilihan presiden yang berlangsung pada Tahun 2004 dan 2009 presentase
masyarakat yang menggunakan hak politiknya di Sulawesi Tengah cenderung mengalami
peningkatan sebagaimana yang tergambarkan pada Grafik 2.1.2.5.
Grafik 2.1.2.5:
Tingkat Partispasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Presiden Pada Tahun 2004 dan 2009
Dari Grafik 2.1.2.5 diketahui bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat Sulawesi
Tengah jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi politik secara nasional lebih tinggi.
Pada Tahun 2004 persentase masyarakat Sulawesi Tengah yang menggunakan hak
pilihnya 78,74%, sementara nasional 75,98%, dan pada Tahun 2009 mengalami sedikit
penurunan yakni 78,25 % sedang di tingkat nasional mengalami penurunan 2,98% basis
point menjadi 73%. Masih tingginya tingkat partisipasi tersebut diduga karena adanya
keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan penggunaan KTP sehingga
masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya.
2.1.2.6. Capaian Indikator Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi di Provinsi Sulawesi Tengah dan di Tingkat Nasional.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggabungkan tiga indikator penunjang
untuk capaian indikator tingkat layanan publik terlihat bahwa capaian indikator tingkat
layanan publik Sulawesi Tengah memiliki tren yang fluaktif dari capaian tertinggi pada
Tahun 2004 (72,80) dan berkecenderungan menurun pada tiga tahun berikutnya,
kemudian menaik kembali pada Tahun 2008, walaupun belum mencapai atau melewati
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
18
capaian pada Tahun 2004, sementara capaian indikator pada tataran nasional,
cenderung meningkat.
Grafik 2.1.2.6:
Capaian Indikator Layanan Publik
Menurunnya tren layanan publik di Sulawesi Tengah tidak terlepas dari adanya
penurunan dalam penanganan kasus-kasus korupsi antara yang dilaporkan dengan
yang ditangani dari 94% pada Tahun 2004 menjadi 64% di Tahun 2008.
Nilai pembentuk tren Sulawesi Tengah relatif lebih tinggi ketimbang nasional
yang mana nilai trend Sulawesi Tengah rata-rata 62,77 persen; sementara nilai trend
nasional rata-rata 56,99 persen. Hal ini tidak terlepas dari tingginya persentase aparat
yang berijasah minimal S1 dan persentase jumlah kabupaten/kota yang memiliki
peraturan daerah pelayanan satu atap.
Sementara nilai capaian indikator demokrasi, baik di Sulawesi Tengah maupun
Nasional berkecenderungan meningkat. Sulawesi Tengah meningkat dari 56,95 pada
Tahun 2004 menjadi 61,70 pada Tahun 2008, sementara secara Nasional meningkat
dari 61,81 menjadi 63,95.
Untuk capaian indikator kinerja demokrasi ini yang dihitung adalah pada dua sub
indikator yaitu GDI dan GEM, sementara sub indikator lainnya tidak dihitung karena
datanya hanya pada tahun tertentu.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggabungkan dua indikator penunjang
untuk capaian indikator demokrasi terlihat bahwa capaian indikator demokrasi di
Sulawesi Tengah memiliki tren yang terus meningkat, searah dengan meningkatnya
tren capaian indikator demokrasi di tingkat nasional.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
19
Grafik 2.1.2.7:
Capaian Indikator Demokrasi
2.1.3 ANALISIS RELEVANSI
Analisis relevansi terhadap nilai capaian indikator pendukung tingkat pelayanan
publik dan demokrasi di Daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional, diperoleh hasil
sebagai berikut:
1. Bahwa selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian dari indikator-indikator
pendukung tingkat pelayanan publik dan demokrasi di Daerah Sulawesi Tengah,
baik yang mencakup aspek-aspek pelayanan publik maupun aspek-aspek
demokrasi, secara umum menunjukkan adanya relevansi yang cukup signifikan
dengan nilai capaian indikator yang sama di tingkat nasional.
2. Dalam hal nilai capaian indikator pendukung penanganan korupsi yang ditangani di
Sulawesi Tengah dibandingkan dengan tingkat capaian penanganan korupsi secara
Nasional masih menunjukkan tren penurunan walaupun terjadi peningkatan
penanganan korupsi yang ditangani dari Tahun 2007 ke Tahun 2008 yang cukup
signifikan dimana pada Tahun 2007 kasus korupsi yang ditangani hanya 32 kasus
namun pada Tahun 2008 berhasil ditangani 75 kasus. Capaian tersebut belum
menunjukkan tren yang searah dan lebih baik jika dibandingkan dengan capaian
nasional. 3. Dalam hal pelayanan satu atap, persentase jumlah kabupaten/kota yang memiliki
PERDA pelayanan satu atap di Daerah Sulawesi Tengah jauh di atas tingkat
nasional. Namun demikian, secara kelembagaan keberadaan unit layanan satu
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
20
atap ini masih perlu dilihat lagi dari segi efektivitas layanannya, baik dari segi
standar pelayanan minimalnya maupun dari segi standar operasional prosedurnya. 4. Berdasarkan data yang ada, capaian nilai indikator pendukung GDI dan GEM di
Sulawesi Tengah menunjukkan trend yang terus meningkat dari tahun ke tahun
searah dengan capaian di tingkat nasional. Memang selama periode evaluasi 2004-
2008 capaian nilai indikator GDI masih di bawah capaian nilai GDI nasional,
sebaliknya untuk capaian nilai GEM di Sulawesi Tengah sudah melampaui capaian
nilai nasional. Hasil ini mengindikasikan bahwa kualitas sumberdaya manusia yang
terkait dengan aspek kesetaraan sedikit banyak menunjukkan trend yang
menggembirakan dan sesuai dengan trend nasional. Artinya trend yang terjadi
sudah sejalan dengan tren nasional dan cenderung positif. 5. Upaya pembangunan sistem politik yang bermuara pada partisipasi politik
masyarakat pada saat pemilihan kepala daerah provinsi secara langsung dapat
dikatakan bahwa pembangunan demokrasi di Sulawesi Tengah telah sejalan
dan jika dilihat dari aspek tren yang terjadi secara nasional, maka tren
pembangunan demokrasi yang berlangsung di Sulawesi Tengah dapat
dikatakan telah berhasil mendorong partisipasi masyarakat dalam menentukan
pemimpin daerahnya, dan lebih baik daripada rata-rata presentase nasional.
6. Partisipasi politik dan pembangunan demokrasi yang dicanangkan oleh Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan tren yang searah dengan pola
pembangunan demokrasi nasional, bahkan jika ukuran tren tingkat partisipasi yang
digunakan sebagai ukuran keberhasilan maka pembangunan demokrasi di
Sulawesi Tengah relatif lebih baik jika dibandingkan dengan tren rata-rata nasional,
walaupun dalam kurun lima
tahun terjadi penurunan tingkat partisipasi masyarakat baik secara nasional maupun
di Sulawesi Tengah. Walaupun pada Tahun 2009 tingkat partisipasi politik
masyarakat pada pemilihan legislatif mengalami penurunan cukup signifikan yakni
11% dibanding rata-rata nasional 4,19%. Penurunan tersebut salah satu faktor
penyebabnya adalah banyaknya peserta pemilu yang tidak terdaftar karena adanya
kisruh DPT pada saat Pemilu Legislatif yang berlangsung pada Tahun 2009.
Namun tingkat partisipasi tersebut masih sejalan dengan tren partispasi nasional.
7. Gambaran yang ditunjukkan oleh grafik dan data yang bersumber dari BPS
menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dikembangkan secara nasional
terkait dengan upaya untuk mendorong tingkat partisipasi masyarakat dengan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
21
memberikan keleluasaan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya akan
mampu meningkatkan partisipasi masyarakat. Realitas tersebut menunjukkan
bahwa terjadi keselarasan antara kebijakan yang ditetapkan secara nasional
dengan kebijakan yang dikembangkan pada level daerah di Sulawesi Tengah.
8. Hal penting yang merupakan kendala untuk mendukung pencapaian target-target
nasional di daerah terkait dengan tingkat pelayanan publik dan demokrasi ini adalah
makin merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap praktik-praktik
pelayanan publik yang semakin jauh dari harapan masyarakat.
2.1.4 ANALISIS EFEKTIFITAS
Analisis efektifitas terhadap nilai capaian indikator pendukung tingkat pelayanan
publik dan demokrasi di Daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional, diperoleh hasil
sebagai berikut:
1. Bahwa selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian dari indikator-indikator
pendukung tingkat pelayanan publik dan demokrasi di Daerah Sulawesi Tengah dan
di tingkat nasional, telah menunjukkan adanya tren perkembangan yang membaik,
sehingga dipandang cukup efektif untuk dapat mendukung pencapaian sasaran-
sasaran target yang telah ditetapkan, baik di tingkat daerah Sulawesi Tengah
maupun di tingkat nasional. Dalam hubungan ini, ada hal-hal penting yang perlu
diperhatikan untuk mendukung efektivitas pencapaian sasaran-sasaran target
nasional di daerah, yaitu i) meningkatkan mutu layanan publik dan praktik-praktik
pembangunan demokrasi sedemikian rupa sehingga dapat memperkuat respons dan
kepercayaan masyarakat; ii) penanganan secara adil, jujur, menyeluruh dan tuntas,
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai kasus-kasus korupsi dan
pelanggaran hukum lainnya terkait dengan pelayanan publik dan penyelenggaraan
pesta demokrasi seperti Pemilu Legislatif, PILPRES dan PILKADA; iii) pengaturan
waktu penyelenggaraan pesta-pesta demokrasi seperti Pemilu Legislatif, PILPRES
dan PILKADA, agar tidak menimbulkan kebosanan masyarakat, sehingga kualitas
dari setiap penyelenggaraan pesta demokrasi itu dapat dipertanggungjawabkan.
2. Selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian indikator pendukung tingkat
pelayanan publik dan demokrasi di Daerah Sulawesi Tengah dinilai sudah cukup
berhasil, bahkan untuk beberapa sub indikator telah melampaui kinerja di tingkat
nasional, dan cukup efektif dalam mendukung pencapaian target-terget nasional.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
22
3. Jika dicermati trend capaian pemberantasan korupsi dari Tahun 2004 sampai dengan
Tahun 2008 di Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi
menunjukkan tren yang menurun, walaupun pada Tahun 2007 dan 2008 cenderung
mengalami tren yang meningkat, namun jika ditinjau dari tujuan pembangunan
daerah yang tertuang dalam RPJM Sulawesi Tengah yang bertekat untuk terus
menerus meningkatkan pemberantasan korupsi secara nyata belum sepenuhnya
dapat diwujudkan sebab jumlah kasus yang ditangani dengan yang dilaporkan belum
sepenuhnya mampu dicapai.
4. Aparat pemerintah di Propinsi Sulawesi Tengah yang berijasah minimal S1 jika
dibandingkan dengan trend capaian secara nasional dari Tahun 2004 terus
mengalami peningkatan dan lebih baik jika dibandingkan dengan trend secara
nasional sebab presentase jumlah aparat yang berijasah minimal S1 di Sulawesi
Tengah lebih tinggi dari pada jumlah rata-rata nasional. Artinya trend yang terjadi di
Sulawesi Tengah sejalan dengan trend nasional bahkan lebih baik dari pada
nasional. Berdasarkan trend perkembangan selama periode evaluasi, dapat
dikatakan bahwa dari Tahun 2005 capaian peningkatan
kemampuan dalam pelayanan aparatur pemerintah daerah menunjukkan trend yang
membaik dan ini sejalan dengan sasaran yang ditetapkan dalam RPJM Propinsi
Sulawesi Tengah yakni meningkatkan kemampuan pelayanan pemerintah daerah
terhadap masyarakat.
5. Berdasarkan data yang tersedia maka hampir seluruh kabupaten/kota yang ada telah
memiliki Perda Pelayanan Satu atap. Ini memperlihatkan adanya keinginan dari
pemerintah daerah kabupaten/kota berupaya untuk membentuk regulasi sistem
pelayanan yang cepat dan murah sehingga dapat mengefisienkan pelayanan publik
di wilayahnya masing-masing.
6. Berdasarkan capaian dan trend yang terkait dengan GDI maka pembangunan
demokrasi dilihat dari aspek gender setidaknya sudah sesuai dan sejalan dengan
tujuan pembangunan nasional. Dalam konteks capaian tujuan pembangunan GDI di
Sulawesi Tengah juga sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai dalam RPJM
karena upaya peningkatan GDI telah menunjukkan hasil yang memadai.
7. Dari berbagai telaah yang dilakukan dengan berbagai pihak kendala yang dihadapi
terkait dengan upaya pembangunan GDI di Sulawesi Tengah disebabkan oleh
kendala budaya yang masih menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua,
terutama terkait dengan kesempatan memperoleh pendidikan dan dalam akses
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
23
terhadap kekuasaan, meski kecenderungan telah banyak Kepala Desa di Sulawesi
Tengah yang dijabat oleh perempuan.
8. Efektifitas capaian tingkat partisipasi politik dalam konteks pembangunan demokrasi
di Sulawesi Tengah dilihat dari tren yang berlangsung dalam 2 pemilihan Legislatif
pada tahun 2004 dan 2009 masih menunjukkan hasil yang positif dan masih berada
di atas rata-rata nasional, artinya upaya melibatkan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan yang cukup penting, yakni menentukan wakil-wakil rakyat
di DPRRI, DPRD, dan di DPD masih dalam kerangka capaian sasaran yang
tertuang dalam RPJM Sulawesi Tengah yakni pembangunan demokrasi yang
mampu melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses-proses politik yang
berlangsung.
9. Program pembangunan demokrasi yang dicanangkan dalam RPJM Sulawesi Tengah
ditandai dengan meningkatnya partisipasi politik masyarakat saat pemilihan presiden
pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan pemilihan presiden pada tahun 2004 di
Sulawesi Tengah menunjukkan dan tujuan serta sasaran pembangunan demokrasi di
Sulawesi Tengah telah mencapai sasaran yang diharapkan. Adapun sasaran tersebut
adalah meningkatnya partisipasi politik masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik
baik pada level nasional maupun pada level daerah. Artinya pemerintah Sulawesi
Tengah telah berhasil mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat dan
mampu memunculkan kepercayaan masyarakat.
2.1.5 ANALISIS CAPAIAN INDIKATOR SPESIFIK MENONJOL
Salah satu capaian indikator spesifik dan menonjol yang dicapai dalam konteks
pelayanan publik di Sulawesi Tengah adalah penanganan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) yang dilaporkan dan ditangani oleh aparat penegak hukum terus
meningkat. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah kasus KDRT yang dilaporkan dan
ditangani dari tahun ke tahun, serta semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
menyelesaikan masalah yang terkait dengan KDRT melalui jalur hukum.
Sepanjang Tahun 2006 rasio kasus KDRT yang berhasil ditangani sebanyak 53
orang/kasus. Kemudian pada Tahun 2007 rasio KDRT yang berhasil ditangani mengalami
peningkatan sebanyak 67 orang/ kasus, dan diikuti pada Tahun 2008 sebanyak 99 orang/
kasus. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah yang memberikan perhatian penuh dalam
rangka perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kaum perempuan atas tindak
kekerasan, dengan membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam hal
pengaduan tindak kekerasan yang mereka terima melalui Komnas HAM dan aparat
penegak hukum.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
24
Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa penanganan kasus KDRT
mengalami kemajuan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan kasus-kasus
lainnya termasuk penanganan kasus korupsi, yang masih membutuhkan penanganan
yang lebih serius. Untuk lebih jelasnya tren penanganan kasus KDRT di Sulawesi
Tengah disajikan pada Grafik 2.1.2.8 berikut ini:
Grafik 2.1.2.8:
Kasus KDRT Yang Ditangani di Sulawesi Tengah
Dalam konteks pembangunan demokrasi terutama yang terkait dengan
kesetaraan gender dalam bidang politik dan demokrasi yang menonjol di Sulawesi
Tengah yakni meningkatnya peran perempuan dalam bidang pemerintahan baik sebagai
anggota legislatif maupun sebagai kepala desa dan kelurahan. Berdasarkan data
Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 2009, partisipasi perempuan sebagai
anggota legislatif relatif meningkat jika dibandingkan dengan sebelum masa reformasi.
Perempuan yang menjadi anggota DPRD pada tahun 2007-2008 berjumlah 38 orang,
yang menjadi kepala desa berjumlah 23 orang sedang yang menduduki jabatan dalam
struktur pemerintahan daerah eselon IV-II berjumlah 270 orang.
Jumlah tersebut menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam bidang politik
dan pemerintahan terus mengalami peningkatan yang signifikan, telah terjadi perubahan
paradigm dalam masyarakat yang telah mulai menerima perempuan sebagai pemimpin
yang patut mendapatkan peluang yang sama dengan kaum laki-laki. Hal ini terutama
pada level masyarakat desa yang umumnya masih hidup dengan norma-norma yang
masih sangat menjujung tinggi nilai-nilai patriarchy (paham serba laki) telah menerima
perempuan sebagai kepala desa, bahkan dalam beberapa kasus pemilihan kepala desa
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
25
yang diikuti oleh perempuan selalu memenangkan pertarungan dalam proses pemilihan.
Ini mengindikasikan bahwa program pemberdayaan perempuan dalam konteks
demokrasi, politik dan pemerintahan di Sulawesi Tengah telah menunjukkan tren positip
yang perlu terus menerus dikembangkan.
Grafik 2.1.2.9:
Partisipasi Perempuan dalam Legislatif, Pemerintahan setingkat Desa dan Pemerintahan di Sulawesi Tengah
2.1.6 REKOMENDASI KEBIJAKAN
Mencermati perkembangan dan trend pelayanan publik dan demokrasi yang
diukur dari indikator penanganan kasus korupsi, aparat yang berijasah minimal S-1,
pelayanan satu atap, GDI, GEM, Partisipasi Politik masyarakat dalam Pemilu Legislatis,
Pilkada dan Pilpres, maka direkomendasikan kebijakan sebagai berikut:
1. Penanganan kasus-kasus Korupsi yang dilaporkan perlu terobosan berupa
peningkatan peran dari institusi penegak hukum dalam hal koordinasi antara KPK,
Kepolisian dan Kejaksaan disatu pihak dan aparat auditor dengan pihak penyidik
dalam hal ini Bawasda, Inspektorat, BPKP dan BPK agar terjadi satu sinergisitas
dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Yang tidak kalah pentingnya
adalah diperlukannya semacam perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi pada
tingkat daerah;
2. Dalam rangka meningkatkan tingkat pendidikan Aparatur Pemerintah Daerah,
maka kerjasama dengan lembaga penyelenggara pendidikan perlu terus
ditingkatkan, dan pemerintah daerah pada tingkat propinsi dan kabupaten perlu
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
26
menyediakan dukungan pembiayaan dalam bentuk beasiswa bagi aparat yang
akan melanjutkan jenjang pendidikannya;
3. Upaya pelayanan satu atap agar pemerintah Provinsi diharapkan melakukan
terobosan melalui regulasi sistem pelayanan yang cepat dan murah dengan
menerbitkan Keputusan/instruksi Gubernur tentang pelayanan satu atap kepada
pemerintah daerah sambil mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota bersama
DPRD menerbitkan Peraturan Daerah tentang pelayanan satu atap;
4. Capaian dalam bidang pembangunan demokrasi yang positif perlu terus menerus
ditingkatkan terutama yang terkait dengan GDI dan GEM yang masih berada di
bawah rata-rata tren nasional melalui kebijakan sebagai berikut:
1) Mengoptimalkan program pendidikan keluarga dan pelayanan kesehatan
yang dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat;
2) Pendidikan politik bagi perempuan disinergikan melalui program pemberdayaan
perempuan dan keluarga;
3) Peningkatan partisipasi politik yang semakin membaik harus terus menerus
dioptimalkan melalui pendidikan politik yang melibatkan multi stakeholders.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
27
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
Dalam konteks pembangunan manusia, aspek kualitas sumberdaya manusia
merupakan salah satu fokus penting yang memperoleh perhatian khusus. Penempatan
kualitas sumberdaya manusia atau mutu modal manusia sebagai titik sentral dalam
pembangunan manusia tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen
hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sebagaimana diketahui bersama, dibandingkan dengan negara-negara lain di
dunia peringkat kualitas sumberdaya manusia Indonesia terus merosot. Apabila hal ini
tidak segera di atasi, maka tingkat kompetisi sumberdaya manusia Indonesia akan
semakin merosot. Kondisi ini pada gilirannya akan menghambat Indonesia dalam
memasuki persaingan global.
Dalam hubungan itulah maka dalam studi ini akan dievaluasi program-program
pembangunan yang terkait dengan kualitas sumberdaya manusia dengan menggunakan
beberapa indikator terpilih yang mencakup indikator outcome pendidikan, kesehatan,
keluarga berencana dan indikator outcome kependudukan.
2.2.1. CAPAIAN INDIKATOR
Bagian ini membahas nilai capaian indikator outcomes kualitas sumberdaya
manusia di tingkat daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional. Analisis
dilakukan dengan memperbandingkan nilai capaian sub indikator (indikator pendukung)
dalam bentuk grafik. Adapun nilai capaian indikator pendukung yang dianalisis terdiri
atas: pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, dan kependudukan.
Dengan cara memperbandingkan dan menganalisis nilai capaian sub Indikator
tersebut, diharapkan akan diperoleh sebuah gambaran yang lebih jelas tentang capaian
kinerja pembangunan sumberdaya manusia atau tingkat kualitas sumberdaya manusia di
Sulawesi Tengah selama periode evaluasi 2004-2008.
2.2.2 PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan salah satu sub indikator penting yang dapat menentukan
tingkat kualitas sumberdaya. Dalam undang–undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional dinyatakan bahwa pembangunan di bidang pendidikan bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
28
Pemaknaan yang perlu ditekankan dari tujuan pendidikan nasional tersebut adalah
bahwa dengan meningkatnya pendidikan masyarakat memiliki dampak berantai terhadap
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan produktivitasnya.
Masalah pendidikan masih merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi
penduduk Sulawesi Tengah, sebagaimana juga dihadapi di daerah provinsi yang lain.
Permasalahan tersebut meliputi aspek pemerataan, akses, mutu, relevansi dan daya
saing. Tentunya untuk menjawab permasalahan tersebut perlu penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan, tenaga pendidik dan kependidikan dalam jumlah yang cukup dan
berkompeten, dan layanan proses belajar mengajar yang baik.
Secara rinci, permasalahan pembangunan pendidikan di Sulawesi Tengah dalam
kurun waktu Tahun 2004-2008 dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Kondisi Geografis
Daerah Sulawesi Tengah yang terdiri dari daerah kepulauan dan pedamalan
mengakibatkan masih rendahnya akses anak usia sekolah terutama di daerah-daerah
terpencil, (2) Belum optimalnya penyelenggaraan otonomi pendidikan, (3) Rendahnya
kualifikasi Guru, khususnya pada jenjang SD/MI, (4) tidak meratanya sebaran guru pada
jenjang, tingkat dan jenis pendidikan, (5) masih minimya ketersediaan sarana dan
prasarana pendidikan di jenjang sekolah dasar untuk mendukung proses pembelajaran,
(6) belum maksimalnya dukungan pemerintah daerah Kab/Kota dalam pembiayaan
pendidikan, serta masih rendahnya peran serta dan dukungan dunia usaha dan dunia
industri (DUDI) dalam membantu penyelenggaraan pendidikan, (7) penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana penyedia bahan ajar dan penunjang
proses belajar mengajar belum optimal.
Dengan memperhatikan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan
pendidikan di Sulawesi Tengah tersebut, maka yang menjadi tujuan pembangunan pada
masa Tahun 2004-2008 yakni meningkatkan akses pemerataan, kualitas dan relevansi
pendidikan, dan meningkatkan angka partisipasi pendidikan pada semua jenis dan
jenjang pendidikan, serta meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan pendidikan di Sulawesi
Tengah adalah: (1) menuntaskan angka buta aksara, (2) meningkatkan akses dan mutu
pendidikan terutama untuk penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, (3)
meningkatkan relevansi dan lulusan pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, serta (4)
meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen layanan pendidikan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
29
Berdasarkan sasaran pembangunan pendidikan tersebut, maka arah kebijakan
lebih diorientasikan pada upaya (1) memperluas dan memeratakan kesempatan
memperolah pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat, (2) meningkatkan
kemampuan akademis dan profesional, serta jaminan kesejahteraan tenaga pendidik
sehingga mampu berfungsi optimal, (3) Melakukan pembaharuan dan pemantapan
manajemen pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi, (4) Menurunkan secara
signifikan jumlah penduduk buta aksara melalui peningkatan kualitas penyelenggaraan
pendidikan keaksaraan fungsional, dan (5) Menuntaskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun untuk mewujudkan pemerataan pendidikan dasar yang bermutu.
Dalam laporan ini, evaluasi terhadap indikator pendidikan meliputi: Angka
Partisipasi Murni SD/MI; Angka Partisipasi Murni SMP/MTs; Angka Partisipasi Murni
SMA/MA; Angka Putus Sekolah SD ; Angka Melek Aksara 15 Tahun Keatas; Angka
Putus Sekolah SMP/MTs; Angka Putus Sekolah SMA/MA; Persentase jumlah guru yang
layak mengajar SMP/MTs; Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs;
Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs; Persentase jumlah guru yang
layak mengajar SMA/MA.
2.2.2.1 Angka Partisipasi Murni SD/MI
Angka Partisipasi Murni (APM) pada jenjang pendidikan SD/MI sebagai salah satu
dimensi penting dalam mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan,
menjelaskan seberapa banyak persentase kelompok penduduk usia sekolah SD/MI yang
tercatat dan terlibat aktif sebagai murid sekolah SD/MI. Semakin tinggi nilai APM ini
semakin berhasil program pembangunan pendidikan sekolah SD/MI.
Selama periode evaluasi 2004-2008, perkembangan nilai APM SD/MI di Sulawesi
Tengah berlangsung lebih cepat melebihi perkembangan nilai APM SD/MI di tingkat
nasional. Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.2.2.1, selama periode evaluasi nilai
APM SD/MI meningkat sebesar 6,34 persen, dari 90,78 persen pada Tahun 2004
menjadi 97,12 persen pada Tahun 2008, sementara pada APM SD/MI di tingkat nasional
hanya meningkat sebesar 0,98 persen, dari 93,0 persen pada Tahun 2004 meningkat
menjadi 93,98 persen pada Tahun 2008.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
30
Grafik 2.2.2.1
Perkembangan Angka Partisipasi Murni SD/MI Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
Kenaikan APM SD/MI di Sulawesi Tengah tidak terlepas dari upaya serius dari
semua stakholder dalam menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun melalui
perluasan akses dan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah
yang menghadapi kesulitan akses kepada layanan pendidikan dasar.
2.2.2.2 Angka Partisipasi Murni SMP/MTs
Memperhatikan data APM SMP/MTs di Sulawesi Tengah dari Tahun 2003 sampai
Tahun 2008 sebagaimana disajikan pada Grafik 2.2.2.2 tidak mengalami perkembangan
yang signifikan. Hal ini relatif sama dengan perkembangan secara nasional, dari 63,49
persen pada Tahun 2003 berkembang menjadi 66,75 persen pada Tahun 2008.
Perkembangan APM SMP/MTs di Sulawesi tengah berada di bawah rata-rata
secara nasional. Perbedaan tingkat perkembangan APM SMP/MTs tersebut dikarenakan
oleh beberapa sebab, diantaranya ketersediaan ke sekolah SMP/MTs tidak merata pada
setiap wilayah kecamatan, terutama di wilayah kecamatan di daerah pedalaman dan di
daerah kepulauan terpencil, sehingga diantara anak-anak usia sekolah di wilayah
kecamatan tersebut tidak melanjutkan sekolahnya.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
31
Grafik 2.2.2.2
Perkembangan Angka Partisipasi Murni SMP/Mts Sulawesi Tengah dan Nasional, 2003-2008
2.2.2.3 Angka Partisipasi Murni SMA/MA
Memperhatikan Grafik 2.2.2.3 tentang perkembangan APM SMA/MA di Sulawesi
Tengah selama kurun waktu 2003 sampai 2008 masih berada di bawah perkembangan
secara nasional. Meskipun tren membaik, tetapi apabila dikaji fluktuasinya masih dapat
dikatakan sejalan dengan tren nasional. Misalnya Tahun 2004-2005 penurunan angka
dari 36,33 ke 34,04 ternyata sejalan dengan penurunan secara nasional pada tahun
yang sama yaitu dari 42,96 menjadi 40,66.
Rendahnya APM SMA/MA di Sulawesi Tengah disebabkan oleh keterbatasan
akses ke sekolah-sekolah SMA/MA terutama bagi anak-anak usia APM SMA/MA yang
tinggal didaerah-daerah pedalaman dan daerah–daerah terpencil, serta ketidakmampuan
para orang tua mereka membiayai pendidikan anaknya.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
32
Grafik 2.2.2.3
Perkembangan Angka Partisipasi Murni SMA/MA Sulawesi Tengah dan Nasional, 2003-2008
2.2.2.4 Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs
Perkembangan rata-rata nilai akhir SMP/MTS di Sulawesi Tengah sebagaimana
disajikan pada Grafik 2.2.2.4 menunjukkan adanya peningkatan, walaupun dengan
tingkat perkembangan yang lamban. Selama periode evaluasi 2004-2008, rata-rata nilai
akhir SMP/MTs di daerah ini mengalami peningkatan sebesar 0,31 yaitu dari 5, 42 pada
tahun 2004 meningkat menjadi 6,07 pada Tahun 2008.
Jika diperbandingkan dengan rata-rata nilai akhir SMP/MTS di tingkat nasional,
maka capaian rata-rata nilai akhir SMP/MTS di Sulawesi Tengah masih relatif lebih tinggi.
Prestasi ini dapat dicapai karena berbagai faktor, diantaranya adalah makin
meningkatnya persentase jumlah guru yang layak mengajar di tingkat SMP/MTs.
Boleh jadi, faktor-faktor eksternal yang lain seperti perubahan kurikulum, kebijakan ujian
akhir nasional dan sebagainya menjadi faktor pemicu munculnya suasana belajar yang
lebih baik serta berlangsungnya proses pembelajaran yang semakin memenuhi harapan
para peserta didik.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
33
Grafik 2.2.2.4:
Perkembangan Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
2.2.2.5 Rata-rata Nilai Akhir SMA/MA
Dengan menyimak Grafik 2.2.2.5 rata-rata nilai akhir SMA/MA di Sulawesi
Tengah menunjukkan arah perkembangan yang semakin baik. Selama periode evaluasi
2004-2008 rata-rata nilai akhir SMA/MA di daerah ini meningkat sebesar 1,55. Rata-
rata nilai akhir SMA/MA pada Tahun 2004 sebesar 4,54 kemudian meningkat menjadi
6,09, sedangkan di tingkat nasional pada periode yang sama mengalami peningkatan
sebesar 1,58 yaitu dari 4,77 pada Tahun 2004 meningkat menjadi 6,35 pada Tahun
2008. Jika diperbandingkan dengan rata-rata nilai akhir SMP/MTS di tingkat nasional,
maka capaian rata-rata nilai akhir SMP/MTS di Sulawesi Tengah masih relatif lebih
rendah. Namun demikian, capaian ini sudah cukup memadai karena berbeda tipis
dengan capaian di tingkat nasional.
Keberhasilan ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh makin meningkatnya
persentase jumlah guru yang layak mengajar di tingkat SMA/MA. Selain daripada itu,
faktor-faktor eksternal yang lain seperti perubahan kurikulum, kebijakan ujian akhir
nasional dan sebagainya boleh jadi menjadi faktor pemicu munculnya semangat belajar
yang lebih kuat dari peserta didik serta berlangsungnya proses pembelajaran yang
semakin memenuhi harapan para peserta didik.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
34
Grafik 2.2.2.5:
Perkembangan Rata-rata Nilai Akhir SMA/MA Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
Meskipun perkembangan rata-rata nilai akhir SMA/MA di daerah ini tidak
menunjukan kenaikan yang berarti, akan tetapi dapat dikatakan cukup menggembirakan.
Artinya sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan pendidikan telah sesuai dan
sejalan dengan arah pengembangan secara nasional, meski harus diakui bahwa dari segi
mutunya masih di bawah tingkat nasional.
2.2.2.6 Angka Putus Sekolah SD
Perkembangan angka putus sekolah SD di Sulawesi Tengah selama periode
evaluasi 2004 – 2008 telah menunjukkan angka yang relatif rendah jika dibandingkan
angka putus sekolah di tingkat nasional. Sebagaimana disajikan pada Grafik 2.2.2.6
tren perkembangan angka putus sekolah SD di daerah ini selama periode 2004-2008
tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sedangkan perkembangan angka putus
sekolah SD di tingkat nasional menunjukkan perkembangan yang membaik, terutama
sejak digulirkannya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Penurunan
angka putus sekolah SD dari 3,17 pada Tahun 2005 menjadi 1,81 pada Tahun 2008
menunjukan kinerja yang membaik secara nasional.
Dalam kaitan ini, posisi dan peran Sulawesi Tengah menurunkan angka putus
sekolah SD sudah lebih baik terhadap capaian angka nasional. Olehnya keberhasilan ini
penting dipertahankan dan ditingkatkan melalui program percepatan, terutama yang
fokus pada upaya pemerataan dan peningkatan akses pendidikan di wilayah pedalaman
dan terpencil di Sulawesi Tengah.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
35
Grafik 2.2.2.6: Perkembangan Angka Putus Sekolah SD
Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
2.2.2.7 Angka Putus Sekolah SMP/MTs
Pada Grafik 2.2.2.7 perkembangan angka putus sekolah SMP/MTs di Provinsi
Sulawesi Tengah apabila dibandingkan dengan capaian nasional terjadi kesenjangan
yang signifikan. Dari Tahun 2004 sampai Tahun 2006 terjadi peningkatan angka putus
sekolah SMP/MTs di Sulteng, sedangka dari Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2008
terjadi penurunan yang tajam. Hal ini merupakan dampak dari adanya program
pengembangan mutu SMP di Sulawesi Tengah. Selain meningkatkan mutu tenaga
pendidiknya, program ini ternyata berdampak pada penurunan angka putus sekolah
SMP/MTs yang signifikan.
Memang disadari bahwa angka putus sekolah SMP/MTs di Sulawesi Tengah
masih tinggi dibandingkan dengan nasional, karena masih banyak ditemui anak-anak
kelompok usia sekolah di Sulawesi Tengah, terutama di perdesaan, lebih memilih
membantu orang tua ke sawah/kebun dari pada melanjutkan sekolah.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
36
Grafik 2.2.2.7:
Perkembangan Angka Putus Sekolah SMP/MTs Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
2.2.2.8 Angka Putus Sekolah SMA/MA
Perkembangan angka putus sekolah SMA/MA yang terlihat pada Grafik 2.2.2.8 menunjukkan perbaikan yang berarti, terutama dari Tahun 2005 sampai Tahun 2008.
Adanya kenaikan lonjakan angka putus sekolah SMA/MA di Provinsi Sulawesi Tengah
pada Tahun 2004-2005 dapat diduga karena dampak dari rendahnya kehidupan
perekonomian masyarakat di daerah ibi pada masa itu. Akibatnya penduduk usia
sekolah SMA/MA banyak yang putus sekolah, terutama di wilayah pedesaan. Bahkan
pada periode 2007-2008 penurunan angka putus sekolah SMA/MA di Sulteng
melampaui capaian angka putus sekolah SMA/MA secara nasional.
Grafik 2.2.2.8 Perkembangan Angka Putus Sekolah SMA/MA
Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
37
2.2.2.9 Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke atas
Angka melek aksara pada kelompok penduduk usia 15 tahun ke atas di Sulawesi
Tengah sudah melampaui angka melek aksara di tingkat nasional. Selama periode
evaluasi 2004-2008 telah terjadi kenaikan yang cukup signifikan dalam penuntasan melek
aksara di Sulawesi Tengah, yaitu dari sekitar 94,41% pada Tahun 2004 meningkat
menjadi 95,58% pada Tahun 2008. Sedangkan di tingkat nasional, selama periode yang
sama capaian penuntasan melek aksara masih di bawah capaian Sulawesi Tengah, yaitu
dari 90,40% pada Tahun 2004 meningkat menjadi 92,19% pada Tahun 2008.
Upaya penuntasan melek aksara di Sulawesi Tengah yang selama ini ditempuh
dengan melibatkan berbagai kelompok pemangku kepentingan, termasuk dari kalangan
kampus, dianggap telah berhasil dengan baik. Keberhasilan tersebut perlu dipertahankan
dan ditingkatkan sedemikian rupa agar upaya penuntasan melek aksara di daerah ini
benar-benar tuntas.
Grafik 2.2.2.9: Perkembangan Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke atas
Sulawesi Tengah dan Nasional, 2004-2008
2.2.2.10 Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs
Grafik 2.2.2.10 menunjukkan perkembangan jumlah guru di Sulawesi Tengah
yang layak mengajar di SMP/MTS. Harus diakui selama kurun waktu 2004-2008
banyak program yang telah dikembangkan oleh pemerintah daerah Sulawesi Tengah
dalam meningkatkan kompetensi dan kemampuan mengajar guru baik di jenjang
SMP/MTs maupun di SMA/MA.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
38
Bahkan apabila dibandingkan dengan perkembangan nasional, kedudukan
kelayakan mengajar guru SMP/MTs di Sulawesi Tengah lebih baik dari nasional.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan, antara lain: (1) keinginan yang kuat dari
guru untuk mengembangkan diri, (2) program melalui MGMP yang telah dilaksanakan
sehingga mendorong kemampuan guru untuk mengembangkan diri, (3) apresiasi dari
pemerintah daerah yang cukup baik.
Di daerah Sulawesi Tengah, beragam bentuk dan kegiatan dalam rangka
meningkatkan kompetensi guru dalam mengajar telah dilakukan. Upaya-upaya
tersebut terbukti memberikan dampak yang baik bagi jumlah guru yang memiliki
kelayakan mengajar di kelas, seperti terlihat dari Grafik 2.2.2.10 dan Grafik 2.2.2.11.
Grafik 2.2.2.10: Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs
Sulawesi Tengah dan Nasional, Tahun 2004-2008
2.2.2.11 Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMA/MA
Kelayakan guru mengajar merupakan aspek yang mempengaruhi kualitas
penyelenggaraan pendidikan. Dari Grafik 2.2.2.11 diketahui bahwa perkembangan
kemampuan dan kelayakan guru SMA/MA dalam mengajar mengalami perbaikan
dengan tren yang terus membaik. Bahkan apabila dibandingkan dengan perkembangan
nasional, kedudukan kelayakan mengajar guru SMA/MA di Sulawesi Tengah lebih baik
dari nasional. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan, antara lain: (1) keinginan
yang kuat dari guru untuk mengembangkan diri, (2) program melalui MGMP yang telah
dilaksanakan sehingga mendorong kemampuan guru untuk mengembangkan diri, (3)
apresiasi dari pemerintah daerah yang cukup baik.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
39
Grafik 2.2.2.11:
Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMA/MA Sulawesi Tengah dan Nasional, Tahun 2004-2008
2.2.3 KESEHATAN
Kesehatan merupakan salah satu indikator pendukung penting yang dapat
menggambarkan tingkat kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraannya.
Dalam undang–undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan dinyatakan bahwa
pembangunan di bidang kesehatan bertujuan meningkatkan kesehatan serta
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk mencapai
sasaran pembangunan bidang kesehatan melalui upaya kesehatan yang berkualitas,
merata, dan terjangkau.
Dalam konteks pembangunan bidang kesehatan, keberhasilan upaya kesehatan
dan peningkatan derajad kesehatan masyarakat memiliki dampak berantai terhadap
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan produktivitasnya. Secara
kuantitatif dan kualitatif kebutuhan jasa kesehatan dari waktu ke waktu terus meningkat.
Hal ini tentunya akan membutuhkan penyediaan prasarana dan sarana kesehatan yang
memadai, pilihan-pilihan layanan kesehatan yang lebih berkualitas dan penyediaan tenaga
kesehatan dalam jumlah yang cukup dan berkompeten. Kesemua itu merupakan masalah
kesehatan yang dewasa ini tengah dihadapi di daerah Sulawesi Tengah, sebagaimana
juga dihadapi di daerah provinsi yang lain, terutama di Kawasan Timur Indonesia.
Evaluasi terhadap capaian indikator kualitas sumberdaya manusia di bidang
kesehatan mencakup dimensi umur harapan hidup, angka kematian bayi, angka
kematian ibu, prevalensi gizi kurang/buruk, dan tenaga kesehatan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
40
2.2.3.1 Usia Harapan Hidup (UHH)
Kesehatan merupakan salah satu aspek penting dalam menentukan tingkat
kesejahteraan penduduk, sehingga suatu daerah dikatakan berhasil pembangunannya
dapat ditinjau dari sisi kesehatan masyarakat.
Kinerja pembangunan bidang kesehatan, salah satunya dapat dilihat dari capaian
indikator umur harapan hidup. Semakain tinggi angka indikator ini, maka akan semakin
tinggi pula peluang penduduk berumur panjang dan hidup sehat. Capaian indikator
umur harapan hidup penduduk di Sulawesi Tengah sebagaimana ditunjukkan pada
Grafik 2.2.3.1, terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode
evaluasi, 2004-2008, umur harapan hidup meningkat sebesar 1,5 tahun, yaitu dari 64,6
pada Tahun 2004 menjadi 66,1 tahun pada Tahun 2008. Sedangkan di tingkat nasional,
indikator pendukung umur harapan hidup meningkat sebesar 1,9 tahun, yaitu dari 68,6
pada Tahun 2004 menjadi 70,5 tahun pada Tahun 2008.
Grafik 2.2.3.1:
Perkembangan Umur Harapan Hidup (UHH) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2009
Masih rendahnya UHH ini sebenarnya merupakan resultante dari pola hidup
sehat masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan, dan akses kepada layanan
kesehatan yang masih sulit serta kemampuan ekonomi yang masih rendah sehingga
keterpenuhan asupan gizi masyarakat juga rendah atau dibawah kebutuhan minimal.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
41
2.2.3.2 Angka Kematian Bayi (AKB)
Untuk mengetahui kinerja pembangunan bidang kesehatan, selain menggunakan
indikator umur harapan hidup, dapat juga diukur dengan menggunakan indikator Angka
Kematian Bayi (AKB). Indikator ini menunjukkan banyaknya jumlah bayi yang lahir hidup
kemudian meninggal sebelum mencapai usia satu tahun yang dinyatakan dengan per
1.000 kelahiran hdup. Selain itu, indikator AKB juga dapat digunakan untuk mengetahui
pergeseran jumlah komposisi penduduk di suatu daerah dalam suatu periode tertentu.
Berdasarkan data yang ada, angka kematian bayi di daerah Sulawesi Tengah
adalah yang tertinggi di kawasan Pulau Sulawesi, sedangkan yang terendah adalah
Sulawesi Utara. Pada Tahun 1997, angka kematian bayi di Provinsi Sulawesi Tengah
tercatat 95 per 1.000 kelahiran, kemudian turun menjadi 52 per 1.000 kelahiran pada
tahun 2002/2003, dan berada pada urutan ketiga tertinggi di bawah Sulawesi Tenggara
dan Gorontalo. Secara umum angka kematian bayi di Pulau Sulawesi berada di atas
rata-rata nasional kecuali Provinsi Sulawesi Utara.
Grafik 2.2.3.2:
Perkembangan Angka Kematian Bayi (AKB) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2009
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.2.3.2, selama periode evaluasi angka
kematian bayi di daerah ini berfluktuasi dengan kecenderungan yang terus menaik.
Pada Tahun 2004, AKB mencapai 52 dan meningkat menjadi 55 kematian/1000
kelahiran hidup pada Tahun 2008. Jika dibandingkan dengan perkembangan AKB pada
periode yang sama di tingkat nasional, capaian ini masih relatif rendah. Lagi-lagi, hal ini
disebabkan oleh terbatasnya jenis dan layanan kesehatan, masih sulit akses kepada
layanan kesehatan, serta pola hidup sehat masyarakat yang masih rendah.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
42
2.2.3.3 Angka Kematian Ibu (AKI)
Tidak jauh beda dengan indikator angka kematian bayi, indikator angka
kematian ibu juga dapat dipakai untuk mengetahui kinerja pembangunan bidang
kesehatan. Indikator ini menunjukkan banyaknya kematian ibu melahirkan per 100.000
kelahiran hidup dalam suatu periode tertentu. Makin tinggi angka kematian ibu
melahirkan, maka akan semakin rendah kinerja pembangunan bidang kesehatan. Hal ini
dapat dijelaskan melalui dua alasan: pertama, kasus kematian ibu melahirkan pada
umumnya terjadi karena lambatnya cara penanganan yang disebabkan oleh peralatan
yang tidak mendukung dan kurangnya kesiapan/ketersediaan tenaga kesehatan yang
mampu dan terampil menangani persalinan; dan kedua, sulitnya memperoleh layanan
kesehatan yang baik dan tepat waktu karena terhambat oleh keterbatasan akses ke
pusat-pusat layanan kesehatan, khususnya bagi sebagian besar penduduk yang tinggal
di daerah perdesaan dan pedalaman.
Karena alasan itulah, maka warga masyarakat di perdesaan masih sangat
mempercayakan penanganan persalinan keluarganya kepada dukun kampung, meski
mereka ini belum mendapatkan pelatihan khusus tentang penanganan persalinan
secara benar, sehat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Grafik 2.2.3.3:
Perkembangan Angka Kematian Ibu (AKI) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Angka kematian ibu di Provinsi Sulawesi Tengah selama periode evaluasi
menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik
2.2.3.3, angka kematian ibu melahirkan menurun dari 517 kematian pada Tahun 2004
menjadi 281 kematian pada Tahun 2008.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
43
Capaian tersebut tidak terlepas dari peranan beberapa unsur penunjang
kesehatan penduduk yang lain seperti tersedianya tenaga kesehatan (tenaga penolong
persalinan) khususnya ditinjau dari keadaan kesehatan ibu dan bayi yang dilahirkan, dan
sarana kesehatan yang mampu dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Sampai
dengan Tahun 2006, sekitar 49,79 persen proses persalinan bayi ditolong oleh
bidan/tenaga medis lainnya, menyusul pemanfaatan dukun kampung yang mencapai
38,49 persen.
2.2.3.4 Gizi Kurang/Buruk
Keadaan gizi kurang/buruk, khususnya pada balita (anak berumur di bawah 5
tahun) selain menggambarkan rendahnya derajad kesehatan balita itu sendiri, juga
mencerminkan kurang atau buruknya keadaan gizi masyarakat secara umum. Maka dari
itu, masalah gizi kurang/buruk memerlukan penanganan khusus karena kecerdasan
bangsa tergantung pada kecukupan asupan gizinya, terutama pada kelompok balita.
Dari publikasi resmi yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan bahwa persentase
balita yang berstatus gizi kurang/buruk di Sulawesi Tengah mengalami penurunan dari
tahun ke tahun. Pada Tahun 1992 jumlah balita berstatus gizi kurang/buruk baru sekitar
5,6 persen, kemudian meningkat menjadi 13,16 persen pada Tahun 1998. Salah satu
penyebabnya adalah menurunnya daya beli masyarakat sebagai akibat dari dampak
krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan Tahun 1997 lalu.
Masalah gizi kurang/buruk ini tampaknya belum tertangani secara baik dan
bahkan terus meningkat. Selama periode 1992-2005 persentase balita berstatus gizi
kurang/buruk cenderung meningkat, dari 5,6 persen pada Tahun 1992 menjadi 10,36
persen pada Tahun 2005. Capaian ini bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di
Pulau Sulawesi menempati urutan ke 3.
Dalam hal penanganan masalah gizi kurang/buruk, sebagaimana disajikan pada
Grafik 2.2.3.4, menunjukkan perkembangan capaian indikator yang berfluktuasi dengan
tren yang semakin menurun. Pada Tahun 2004, capaian indikator PGKB sebesar 20,96
persen kemudian pada Tahun 2006 menurun secara drastis menjadi 13,5 persen dan
kembali naik menjadi 19,1 persen pada Tahun 2008.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
44
Grafik 2.2.3.4:
Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang/Buruk (PGKB) Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2009
Masih tingginya tingkat Prevalensi Gizi Kurang/Buruk ini disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya adalah kurang proaktifnya pihak petugas kesehatan masyarakat di
lapangan dalam mendeteksi masalah kekurangan/kecukupan gizi, keterbatasan
pengetahuan masyarakat, terutama para kaum ibu tentang kesehatan dan cara
penanganan kesehatan anak balita, dan ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan gizi minimumnya.
2.2.3.5 Tenaga Kesehatan per Penduduk
Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan
masyarakat adalah dengan meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah
dan kualitas yang cukup serta mampu memberikan layanan kesehatan kepada berbagai
lapisan masyarakat. Tenaga kesehatan tersebut mencakupi: dokter, apoteker, asisten
apoteker, sarjana kesehatan masyarakat (SKM), bidan, penunjang kesehatan, perawat,
perawat gigi dan sanitarian.
Untuk mengetahui capaian kinerja penyediaan tenaga kesehatan, dalam evaluasi
ini digunakan indikator berupa persentase tenaga kesehatan per penduduk. Indikator ini
menunjukkan bahwa semakin kecil nilai indikatornya maka akan semakin kecil pula
peluang layanan kesehatan dapat diberikan kepada masyarakat.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
45
Grafik 2.2.3.5:
Perkembangan Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.2.3.5, persentase tenaga kesehatan per
penduduk di Sulawesi Tengah, selama periode evaluasi tidak menunjukkan
perkembangan yang cukup signifikan. Pada Tahun 2004, persentase tenaga kesehatan
per penduduk sebesar 0,25 kemudian menurun menjadi 0,23 pada Tahun 2008. Pada
pertengahan periode itu, yaitu pada Tahun 2006, terjadi penurunan yang sangat drastis
menjadi 0,17. Hal ini mengindikasikan, bahwa manakala kemampuan penyediaan
tenaga kesehatan semakin berkurang, maka semakin berkurang pula jenis layanan
kesehatan yang dapat diberikan kepada masyarakat.
Salah satu penyebab mengapa ketersediaan tenaga kesehatan di daerah ini
rendah adalah kurangnya minat untuk menetap dan mengabdi di daerah ini oleh
kalangan tenaga kesehatan (khususnya dokter) yang umumnya adalah pendatang,
sehingga pada saat masa tugas wajib selesai, mereka cenderung pindah ke kota-kota
besar atau kembali ke daerah asalnya. Kondisi inilah yang menyebabkan kekurangan
tenaga kesehatan di daerah ini, khususnya di daerah-daerah pedesaan.
2.2.3.6 Penduduk Ber KB
Sebagaimana diketahui, program nasional KB adalah salah satu pendekatan
dalam pengendalian jumlah penduduk. Untuk mengetahui keberhasilan program
nasional keluarga berencana, dalam evaluasi ini digunakan indikator persentase
penduduk ber KB. Indikator ini menjelaskan bahwa semakin tinggi nilai indikator
tersebut, maka akan semakin berhasil program nasional keluarga berencana.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
46
Indikator persentase penduduk ber KB di Daerah Sulawesi Tengah selama
periode evaluasi menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Pada
Tahun 2004, indikator persentase penduduk ber KB di daerah ini mencapai angka
67,68 persen kemudian meningkat menjadi 76,36 persen pada Tahun 2008.
Grafik 2.2.3.6:
Perkembangan Persentase Penduduk Ber KB Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Jika diperbandingkan dengan capaian di tingkat nasional, maka capaian ini
sangat luar biasa dan tentu sangat menggembirakan semua pihak. Mengapa? Pertama,
daerah ini sangat luas dan penyebaran penduduknya sangat tidak merata, sehingga
akses mereka untuk memperoleh layanan program KB cukup sulit; Kedua, secara
topografis, daerah ini lebih banyak didominasi oleh kawasan pegunungan dimana
penduduknya bermukim atau bertempat tinggal, sehingga untuk menjangkau mereka
sebagai sasaran target program keluarga berencana juga sulit; dan Ketiga, terbatasnya
jumlah penyuluh lapangan KB.
Namun berkat kerja keras tenaga penyuluh KB di lapangan dan partisipasi aktif
masyarakat, sehingga program KB tersebut dapat berlangsung secara efektif.
2.2.3.7 Laju Pertumbuhan Penduduk
Untuk mengetahui keberhasilan program pengendalian jumlah penduduk,
salah satunya digunakan indikator laju pertumbuhan penduduk. Semakin tinggi nilai
indikator ini semakin tidak berhasil program pengendalian jumlah penduduk.
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.2.3.7, selama periode 2004-2008, laju
pertumbuhan penduduk di Sulawesi Tengah menunjukkan tren yang terus menurun. Pada
Tahun 2004 laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,98 persen, kemudian menurun
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
47
menjadi 1,72 persen pada Tahun 2008. Pada rentang waktu tersebut, laju pertumbuhan
penduduk mengalami kenaikan pada Tahun 2006 dan Tahun 2007. Kenaikan ini
disebabkan oleh kondisi ekonomi yang terus memburuk pada tahun tersebut.
Grafik 2.2.3.7:
Perkembangan Persentase Laju Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Jika diperbandingkan dengan capaian di tingkat nasional, upaya pengendalian
penduduk di daerah Sulawesi Tengah relatif belum berhasil. Berdasarkan keberhasilan
program KB di atas, tampaknya tidak cukup untuk pengendalian jumlah penduduk
karena tertnyata laju pertumbuhan penduduk di daerah ini masih relatif tinggi melebihi
tingkat laju pertumbuhan penduduk di tingkat nasional. Aspek migrasi tampaknya
merupakan faktor penentu laju pertumbuhan penduduk karena daerah ini masih sangat
terbuka dan menarik bagi kaum migran dari daerah lain di luar Sulawesi Tengah.
2.2.3.8 Capaian Indikator kualitas sumberdaya manusia Provinsi Sulawesi Tengah dibandingkan dengan capaian di tingkat Nasional
Nilai capaian indikator kualitas sumberdaya yang dihitung dengan menjumlahkan
nilai rata-rata indikator pendukung atau sub indikator yang mencakup pendidikan,
kesehatan, dan keluarga berencana, kemudian dibagi dengan banyaknya indikator
pendukung, sebagaimana disajikan pada Grafik 2.2.3.8 diperoleh hasil sebagai berikut:
Pertama, capaian indikator kualitas sumberdaya manusia di Daerah Provinsi Sulawesi
Tengah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan capaian indikator kualitas sumberdaya
manusia di tingkat nasional;
Kedua, selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian indikator tersebut menunjukkan
tren yang terus menurun, baik di tingkat Daerah Sulteng maupun dalam skala nasional.
Namun penurunan tren itu terjadi lebih cepat di daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
48
Dengan demikian, temuan ini menggambarkan kondisi kualitas sumberdaya
manusia yang terus menurun, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah Provinsi
Sulawesi Tengah.
Grafik 2.2.3.8:
Capaian Indikator Kualitas Sumber Daya Manusia, Sulawesi Tengah dan Indonesia 2004-2008
Nilai capaian indikator tersebut cukup menarik untuk dicermati karena kondisinya
berbanding terbalik dengan nilai indeks pembangunan manusia (IPM). Selama periode
evaluasi, 2004-2008, nilai IPM di tingkat nasional selalu lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai IPM Daerah Sulteng. Demikian halnya dengan tren perkembangannya,
selama periode evaluasi selalu menunjukkan tren yang terus menaik (Grafik 2.2.3.9).
Perbedaan tersebut terjadi karena dalam indikator kualitas sumberdaya manusia
dimensi-dimensi yang diperhatikan berbeda dengan dimensi-dimensi yang diperhatikan
dalam indeks pembangunan manusia.
Pada indikator kualitas sumberdaya manusia memasukkan dimensi pendidikan,
kesehatan dan keluarga berencana, sedangkan pada indeks pembangunan manusia
mengandung dimensi pendidikan, kesehatan dan daya beli.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
49
Grafik 2.2.3.9:
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Tengah dan Indonesia, 2004-2008
2.2.4 ANALISIS RELEVANSI
Analisis relevansi terhadap nilai capaian indikator pendukung kualitas sumber daya
manusia di Daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional, diperoleh hasil sebagai berikut:
9. Bahwa selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian dari indikator-indikator
pendukung kualitas sumberdaya manusia, baik yang mencakup aspek pendidikan dan
kesehatan, maupun aspek keluarga berencana dan kependudukan telah menunjukkan
adanya relevansi yang cukup signifikan dengan nilai capaian indikator yang sama di
tingkat nasional. Hal penting yang merupakan kendala untuk mendukung pencapaian
target-target nasional di daerah adalah masih terbatas dan belum meratanya sarana dan
prasarana pendidikan dan kesehatan, terutama kecukupan tenaga guru dan dokter,
serta rendahnya akses masyarakat kepada layanan publik di bidang pendidikan dan
kesehatan, terutama di daerah-daerah pedalaman dan daerah-daerah terpencil di
kawasan kepulauan.
10. Selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian indikator program nasional KB di
Daerah Sulawesi Tengah cukup mengesankan. Capaian indikator ini jika kemudian
dibandingkan dengan capaian indikator yang sama di tingkat nasional, maka program
nasional KB di Daerah Sulawesi Tengah sudah sangat relevan. Namun keberhasilan
program KB ini belum berdampak terhadap upaya pengendalian penduduk. Ini berarti,
upaya pengendalian penduduk tidak cukup hanya melalui program KB, melainkan juga
perlunya upaya yang sungguh-sungguh melalui pengendalian arus migrasi masuk.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
50
2.2.5 ANALISIS EFEKTIFITAS
Analisis efektifitas terhadap nilai capaian indikator pendukung kualitas sumber daya
manusia di Daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional, diperoleh hasil sebagai berikut:
10. Bahwa selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian dari indikator-indikator
pendukung kualitas sumberdaya manusia, baik yang mencakup aspek pendidikan dan
kesehatan, maupun aspek keluarga berencana dan kependudukan telah menunjukkan
adanya tren perkembangan yang membaik, sehingga dipandang cukup efektif untuk dapat
mendukung pencapaian sasaran-sasaran target yang telah ditetapkan, baik di tingkat
daerah Sulawesi Tengah maupun di tingkat nasional. Dalam hubungan ini, ada hal-hal
penting yang perlu diperhatikan untuk mendukung efektivitas pencapaian sasaran-sasaran
target nasional di daerah, yaitu i) koordinasi dan singkronisasi kegiatan penyusunan,
pelaksanaan dan pemantauan program di daerah-daerah kabupaten dengan daerah
provinsi dan pemerintah pusat pada fokus dan prioritas program yang sama; ii)
penanganan secara menyeluruh dan tuntas mengenai keterbatasan dan belum meratanya
sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya akses masyarakat
kepada layanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan, terutama di daerah-daerah
pedalaman dan daerah-daerah terpencil di kawasan kepulauan.
11. Selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian indikator program KB di Daerah
Sulawesi Tengah dinilai sudah cukup berhasil melampaui kinerja di tingkat nasional,
dan bahkan dinilai cukup efektif dalam mendukung pencapaian target-terget nasional.
Namun dalam hal upaya pengendalian penduduk belum menunjukkan hasil yang
signifikan. Berdasarkan nilai capaian indikator pendukung pertumbuhan penduduk di
Daerah Sulawesi Tengah, khususnya dalam hal pengendalian jumlah penduduk,
tampaknya belum menunjukkan tingkat efektivitas yang cukup untuk mendukung
capaian target-target secara nasional.
2.2.6. ANALISIS CAPAIAN INDIKATOR SPESIFIK DAN MENONJOL
Berdasarkan hasil analisis relevansi dan efektivitas terhadap sejumlah indikator
pendukung kualitas sumberdaya manusia di SulawesiTengah, dalam hal ini mencakup
capaian indikator pendidikan, kesehatan, dan keluarga berencana, maka perlu dianalisis
beberapa capaian indikator spesifik dan menonjol sebagai berikut:
Di bidang pendidikan: Pertama, dalam hal penanganan masalah rendahnya akses
penduduk kepada layanan pendidikan SMP/MTs dan pendidikan SMA/MA yang lebih
berkualitas, maka yang perlu mendapat sentuhan program adalah i) perluasan dan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
51
peningkatan prasarana pendidikan, terutama di daerah-daerah pedalaman dan terpencil; ii)
penyediaan jumlah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dalam jumlah dan mutu yang
memadai; iii) pemerataan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan ke seluruh sekolah, baik
di wilayah perkotaan maupun di wilayah perdesaan. Kedua, Dalam rangka mengoptimalkan
kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah, pemerintah daerah hendaknya lebih terbuka
baik dalam menjalin kemitraan secara lintas instansi maupun pelibatan para ahli, praktisi, dan
pengamat pendidikan untuk bersama-sama menyusun perencanaan dan pelaksanaan
kebijakan pembangunan pendidikan di daerah secara berkesinambungan untuk meningkatkan
mutu sumber daya manusia yang dibutuhkan bagi pembangunan daerah; Ketiga, Dengan
digulirkannya otonomi pendidikan yang merupakan salah satu kewenangan esensial daerah,
peluang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang merupakan tolok ukur kualitas
sumber daya manusia di daerah. Oleh karena itu, akan sangat dibutuhkan komitmen, visi,
dan misi daerah untuk terus meningkatkan kualitas sesuai dengan harapan yang tentunya
perlu pengkajian ulang sistem yang digunakan sebelumnya. Artinya sistem penyelenggraan
pendidikan di daerah selayaknya tetap mengacu pada program nasional yang tercermin
dalam empat strategi dasar pendidikan nasional yaitu pemerataan pendidikan, peningkatan
mutu, efisiensi, dan relevansi.
Di bidang kesehatan, hampir semua indikator pendukung pembangunan kesehatan
seperti indikator umur harapan hidup, angka kematian bayi, angka kematian ibu, prevalensi
gizi kurang/ buruk, dan indikator tenaga kesehatan menunjukkan capaian indikator yang
tidak lebih baik dari capaian secara nasional. Namun demikian, terdapat suatu capaian
indikator yang dianggap spesifik dan menonjol untuk dianalisis lebih lanjut, yaitu indikator
tenaga kesehatan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tenaga kesehatan tersebut
mencakup: dokter, apoteker, asisten apoteker, sarjana kesehatan masyarakat (SKM), bidan,
penunjang kesehatan, perawat, perawat gigi dan sanitarian. Masing-masing dari mereka
tercatat sebanyak 350 orang dokter umum, 73 orang dokter spesialis, dan 60 orang dokter
gigi. Tenaga kesehatan lainnya mencapai 5.252 orang yang terdiri atas apoteker, asisten
apoteker, sarjana kesehatan masyarakat, bidan, perawat, dan sanitarian. Jumlah tersebut
sudah termasuk tenaga kesehatan yang tercatat sebagai pegawai tidak tetap (PTT).
Hampir separuh dari tenaga kesehatan non-dokter tersebut adalah perawat, yakni sebesar
48,68 persen. Mereka tersebar di 10 (sepuluh) daerah kabupaten dan satu kota dengan
tingkat penyebaran yang sangat tidak merata.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
52
Fakta di lapangan menunjukkan, ketika para pegawai tidak tetap ini, khususnya tenaga
dokter, telah menjalani masa wajib kerja di daerah-daerah perdesaan (terpencil), mereka
pindah ke kota atau pindah ke daerah lain dan bahkan banyak yang melanjutkan
pendidikannya. Kondisi ini sangat terasa pada Tahun 2006, sehingga ketersediaan tenaga
kesehatan pada waktu itu semakin berkurang. Akibatnya, semakin berkurang pula layanan
kesehatan yang dapat diberikan kepada masyarakat.
Di bidang keluarga berencana, terdapat fenomena yang menarik untuk dianalisis,
terutama pada indikator persentase penduduk ber KB. Capaian indikator ini melampaui
capaian indikator secara nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan arti
pentingnya KB telah dipahami dan dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat. Harusnya,
dengan semakin tingginya keikutsertaan warga masyarakat ber KB, laju pertumbuhan
penduduk dapat di tekan.
Di daerah Sulawesi Tengah kenyataannya lain, hal ini menandakan bahwa laju
pertumbuhan penduduk tidak cukup dikendalikan melalui keluarga berencana, melainkan
perlunya pengelolaan yang lebih efektif terhadap dinamika aspek demografi seperti migrasi.
Hal ini penting untuk dilakukan karena tampaknya upaya pengelolaan yang efektif terhadap
dinamika aspek demografi cukup signifikan pengaruhnya terhadap upaya pengendalian
jumlah penduduk.
2.2.7. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan hasil analisis capaian indikator spesifik dan menonjol sebagaimana
diuraikan di atas, diajukan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
1. Dalam kurun waktu tersisa, RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Tahun 2006-2011, diharapkan
adanya penguatan sinergitas antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dengan
seluruh stakeholders pendidikan dan kesehatan untuk mempercepat perencanaan dan
pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan yang lebih partisipatif, transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan, mengelola sumber dana secara efisien dan memberikan
pelayanan publik bidang pendidikan dan kesehatan secara lebih efektif dengan
menerapkan standar pelayanan minimal, sehingga dapat diukur kinerja pemerintah daerah
dalam meningkatkan akses dan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
2. Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan penyelenggaraan pendidikan,
mutu tenaga pendidik/guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, tata usaha, laboran,
pustakawan, pengawas) serta peningkatan ketersediaan, kualitas dan kesejahteraan
pendidik. hendaknya lebih diperhatikan lagi agar penuntasan wajar DIKDAS sembilan tahun
dan pembangunan pendidikan dapat dipercepat di Provinsi Sulawesi Tengah.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
53
3. Untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan,
meningkatkan jumlah dan mutu tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, asisten
apoteker, sarjana kesehatan masyarakat (SKM), bidan, penunjang kesehatan, perawat,
perawat gigi dan sanitarian serta peningkatan ketersediaan, kualitas dan kesejahteraan
tenaga kesehatan hendaknya lebih diprioritaskan agar visi menuju Indonesia Sehat Tahun
2015 dapat dipercepat di Provinsi Sulawesi Tengah.
4. Peningkatan akses, pemerataan pelayanan dan relevansi pendidikan menengah dan
tinggi yang berkualitas, serta peningkatan pendidikan luar sekolah.
5. Peningkatan akses, pemerataan, keterjangkauan dan kualitas layanan kesehatan
terutama bagi masyarakat di perdesaan perlu diprioritaskan.
6. Upaya peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan, terutama untuk layanan kesehatan
dasar di daerah terpencil dan tertinggal perlu diprioritaskan.
7. Penanganan masalah gizi kurang/buruk pada ibu hamil, bayi dan anak balita harus
secara terus menerus mendapat penanganan secara serius.
8. Perlunya penguatan dan penajaman program KB yang sudah berjalan dan secara
langsung menyentuh pada sasaran program.
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI
Pembangunan ekonomi adalah sebuah proses perubahan yang tidak hanya
semata-mata bersentuhan dengan aspek ekonomi, melainkan juga bersentuhan dengan
aspek sosial budaya, demokrasi, politik dan hukum. Oleh karena itu, pembangunan
ekonomi akan berhasil dengan baik jika didalam prosesnya senantiasa mengakarkan diri
pada aspek-aspek tersebut.
Demikian luasnya ruang lingkup pembangunan ekonomi, maka didalam studi ini hanya akan dievaluasi beberapa indikator utama yang dipandang mampu menjelaskan tingkat kemajuan atau keberhasilan pembangunan ekonomi.
2.3.1. CAPAIAN INDIKATOR
Bagian ini membahas nilai capaian indikator tingkat pembangunan ekonomi yang
mencakup beberapa sub indikator (indikator pendukung), yaitu indikator pendukung laju
pertumbuhan ekonomi; persentase ekspor terhadap PDB/PDRB; persentase output
manufaktur; pendapatan perkapita; laju inflasi; investasi dan indikator pendukung
infrastruktur. Sebenarnya ada satu sub indikator yaitu persentase output UMKM terhadap
PDB/PDRB, namun tidak dapat diuraikan karena ketiadaan data provinsi.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
54
Pembahasan dilakukan dengan memperbandingkan nilai capaian dari masing-
masing sub indikator dari indikator tingkat pembangunan ekonomi di daerah Provinsi
Sulawesi Tengah dengan di tingkat nasional sebagai berikut:
2.3.1.1 Laju Pertumbuhan ekonomi
Pembangunan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan jalan (antara lain)
memperluas lapangan kerja dan kesempatan kerja, memperbaiki distribusi pendapatan
masyarakat, serta meningkatkan kegiatan ekonomi.
Pada Tahun 2004, kinerja pembangunan ekonomi Sulawesi Tengah mengalami
percepatan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 7,15 persen (harga konstan
2000) dan 6,60 persen (harga konstan 1993). Dari sisi produksi, semua sektor ekonomi
mengalami peningkatan. Sektor pertanian dan industri pengolahan masing-masing
tumbuh sekitar 6,30 persen dan 5,57 persen. Sedangkan dari sisi permintaan,
pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh sekitar 6,04 persen dengan nilai ekspor
barang ke manca negara tumbuh pesat sekitar 15,24 persen.
Hingga Tahun 2004, peran konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah dalam
perekonomian daerah Sulawesi Tengah masih sangat dominan dengan tingkat
pertumbuhan masing-masing sekitar 6,66 persen.
Berdasarkan harga konstan Tahun 2000, Laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi
pada Tahun 2005 meningkat menjadi 7,57 persen; 7,82 persen pada Tahun 2006, 7,99
persen pada Tahun 2007 dan sedikit menurun menjadi 7,76 persen pada Tahun 2008.
Sampai dengan triwulan III Tahun 2009 diperkirakan tumbuh sebesar 7,47 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV Tahun 2009 terutama didorong oleh
konsumsi rumah tangga dan investasi. Konsumsi rumah tangga diperkirakan
meningkat terkait dengan bulan puasa dan persiapan hari raya Idul Fitri, sedangkan
investasi diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya realisasi belanja
modal pemerintah dan swasta antara lain berbagai proyek yang dibiayai paket
stimulus fiskal infrastruktur dan APBN/APBD serta penyelesaian pembangunan PLTA
Poso II dengan kapasitas 3x60 MW.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
55
Grafik 2.3.1.1
Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tengah dan Nasional Tahun 2004-2008 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000
Dibandingkan dengan nilai capaian indikator pendukung pertumbuhan ekonomi
nasional, nilai capaian indikator pendukung laju pertumbuhan ekonomi daerah Sulawesi
Tengah selama periode evaluasi 2004-2008 masih lebih tinggi. Realitas ini menunjukkan
bahwa daya tahan ekonomi daerah Sulawesi Tengah menghadapi berbagai perubahan
eksternal masih lebih kuat dibandingkan dengan daya tahan ekonomi nasional.
2.3.1.2 Persentase Ekspor terhadap PDB/PDRB
Perkembangan ekspor yang didominasi komoditi pertanian dalam beberapa tahun
terakhir terus menunjukkan peningkatan. Peningkatan pertumbuhan volume
perdagangan dan kondisi moneter yang cenderung baik, dapat dimanfaatkan oleh
eksportir daerah untuk meningkatkan kegiatan usahanya. Makin baiknya perekonomian
internasional (perkembangan ekonomi negara pengimpor) utamanya negara tujuan
ekspor Sulawesi Tengah akan meningkatkan transaksi perdagangan apalagi didukung
nilai tukar yang kompetitif.
Walaupun perkembangan ekspor Sulawesi Tengah dalam beberapa tahun
terakhir terus menunjukkan peningkatan namun belum sepenuhnya mampu memberi
kontribusi yang berarti pada peningkatan PDRB. Peningkatan pertumbuhan volume
perdagangan dan tingginya harga komoditas di pasar internasional, nampaknya dapat
dimanfaatkan oleh eksportir daerah untuk meningkatkan kegiatan usahanya.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
56
Grafik 2.3.1.2
Persentase Ekspor Sulawesi Tengah dan Nasional terhadap PDRB/PDB Tahun 2004-2008
Perkembangan persentase ekspor Sulawesi Tengah terhadap PDRB selama lima
tahun terakhir masih cukup rendah dan berfluktuasi bila dibandingkan dengan
perkembangan ekspor Nasional terhadap PDB. Pada Tahun 2004 persentase ekspor
mencapai 9,66 %, menurun menjadi 8,16 % pada Tahun 2005, kembali menurun
menjadi 6,63% pada Tahun 2006, meningkat menjadi 8,75% pada Tahun 2007, dan
pada Tahun 2008 meningkat menjadi 10,40%.
Bila dibandingkan dengan persentase ekspor nasional terhadap PDB maka
persentase ekspor nasional terhadap PDRB Sulawesi Tengah jauh tertinggal, karena
secara prorata, persentase ekspor Sulawesi Tengah berada pada kisaran 8 persen
terhadap PDRB sementara secara nasional rata-rata 20 persen. Seperti terlihat pada
Grafik 2.34. Rendahnya persentase ekspor terhadap PDRB Sulawesi Tengah bisa
dimaklumi, karena selama ini andalan ekspor Sulawesi Tengah hanya pada komoditas
pertanian tertentu.
2.3.1.3 Persentase Output Manufaktur
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.3.1.3, persentase output manufaktur
terhadap PDRB Sulawesi Tengah masih sangat rendah dibandingkan dengan
persentase output manufaktur terhadap PDB. Kemampuan produk industri manufaktur di
Sulawesi Tengah yang kebanyakan terdiri dari pertanian olahan dan yang lainnya, dalam
kondisi seperti sekarang ini tampaknya tak akan bertahan lama untuk bisa bersaing di
pasar bebas regional ataupun nasional. Pangsa pasar komoditas ini akan terkikis, jika
visi dan strategi jangka panjang yang dibuat pemerintah dalam RPJMD untuk
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
57
memperkuat daya saing produk manufaktur tidak fokus. Sulawesi Tengah seharusnya
sudah mampu bersaing dengan daerah-daerah lain di Indonesia maupun di Kawasan
ASEAN dalam hal perdagangan. Akan tetapi, karena pemerintah kurang memiliki visi dan
strategi dalam jangka panjang, maka menghadapi ASEAN Free Trade Area
(AFTA/Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN) pun Sulawesi Tengah belum siap.
Bukti industri yang tidak mampu bersaing di pasar regional adalah industri
pertanian. Sektor ini masih sulit bersaing, terutama dengan industri pertanian yang
berasal dari jawa karena kalah dari segi penguasaan teknologi dan sumberdaya manusia
pengelolanya. Bahkan beberapa produk seperti industri produk pertanian olahan, pada
akhirnya juga akan terkikis. Kekalahan itu disebabkan karena visi dan strategi yang
dimiliki pemerintah daerah hanya difokuskan untuk jangka pendek.
Grafik 2.3.1.3
Persentase Output Manufaktur di Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Jika ingin kompetitif di pasar regional, maka pemerintah daerah harus mampu
membuat investor asing dan regional tertarik berinvestasi di Sulawesi Tengah. Investasi
itu tidak hanya pada industri hilirnya saja, tetapi juga pada industri hulu dan
pendukungnya. Dengan demikian basis produksi akan semakin luas, karena adanya
supporting industri untuk membuat industri hilirnya efisien, sehingga tercipta kegiatan
produksi manufaktur yang lebih luas. Untuk itu perlu diciptakan iklim investasi yang
kondusif dalam jangka panjang dan menengah, sehingga investor asing dan investor
regional tidak hanya berpikir menanamkan modalnya dalam jangka pendek.
Selain itu, perlu juga dilakukan sinergi dengan perusahaan lain di Sulawesi.
Dengan adanya iklim investasi jangka panjang dan sinergi itu, diharapkan Sulawesi
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
58
Tengah akan mampu menghadapi persaingan global. Untuk persaingan di pasar
regional, industri pertanian yang selama ini diandalkan, mulai mengalami kemunduran.
Pasalnya, karena berbagai masalah, seperti kurangnya energi listrik yang tersedia, biaya
yang dikeluarkan tidak sebanding dengan produk yang dihasilkan. Akibatnya, pasar
mulai melirik daerah-daerah lain.
Dengan gambaran tersebut maka bisa dimaklumi bila kontribusi industri
manufaktur terhadap PDRB Sulawesi Tengah masih relatif rendah karena memang basis
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah selama ini berada pada sektor pertanian yang
memiliki andil kurang-lebih 40 persen terhadap PDRB, sementara persentase industri
manufaktur terhadap PDB secara nasional sudah di atas 27 persen.
2.3.1.4 Pendapatan Per Kapita
Perkembangan ekonomi Sulawesi Tengah sampai dengan Tahun 2009 telah
menunjukkan kemajuan yang cukup pesat, prestasi yang dicapai dalam kurun waktu
tersebut ditunjukkan oleh meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan
meningkatnya pendapatan per kapita. Di sisi lain, usaha pemerintah daerah dalam
menstabilkan kondisi sosial dan keamanan, dapat dirasakan hasilnya. Sejak Tahun
2006, Sulawesi Tengah telah masuk pada fase tingkat pertumbuhan yang semakin
melaju. Fase dimana kondisi sektor-sektor ekonomi secara keseluruhan saling
menunjang, mantap dan terpadu dengan akar perekonomian domestik lokal yang kuat.
Faktor non ekonomi misalnya lingkungan, keamanan, sosial dan budaya yang juga
telah tumbuh secara seimbang dengan kemajuan ekonomi. Hal ini ikut memberikan
andil terhadap perbaikan perekonomian sampai dengan Tahun 2008.
Dari data yang ada, pendapatan per kapita Sulawesi Tengah sebesar Rp 6,49 juta
pada Tahun 2004, meningkat menjadi Rp 7,46 juta pada Tahun 2005; Rp 8,22 juta
Tahun 2006; Rp 9,07 juta Tahun 2007 dan Rp 11,55 juta pada Tahun 2008. Walaupun
perkembangannya cukup signifikan, namun pendapatan per kapita ini masih jauh di
bawah pendapatan per kapita nasional. Bila dibandingkan maka Pendapatan Per Kapita
Sulawesi Tengah kurang lebih hanya setengah dari Pendapatan Per Kapita Nasional.
Data ini menunjukkan bahwa daya beli Sulawesi Tengah masih lebih rendah dari
Nasional, atau dengan kata lain perkembangan tingkat kesejahteraannya lebih rendah
daripada Nasional. Perkembangan daya beli yang lebih lambat daripada Nasional akan
mempengaruhi kinerja daerah dalam penurunan jumlah dan persentase keluarga miskin
jika dibandingkan dengan kinerja nasional untuk hal yang sama.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
59
Grafik 2.3.1.4
Pendapatan per Kapita Sulawesi Tengah dan Nasional Tahun 2004-2008 (Juta Rp)
2.3.1.5 Tingkat Inflasi
Laju inflasi di Kota Palu yang menjadi patokan inflasi Sulawesi Tengah pada
Tahun 2004 mencapai 7,01 persen meningkat secara tajam pada tahun berikutnya
(2005) yaitu 16,33 persen. Tekanan inflasi yang meningkat pada Tahun 2005 disebabkan
karena pemerintah/PLN merealisasikan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) demikian
halnya dengan adanya kenaikan BBM sebanyak dua kali. Pada Tahun 2006 inflasi
menurun menjadi 8,69 persen penurunan ini seiring dengan turunnya tekanan inflasi
yang berasal dari administered prices.
Adanya asumsi pasokan dan distribusi barang tetap terjaga, serta kurs rupiah
relatif stabil maka tingkat Inflasi Kota Palu Tahun 2007 sedikit lebih rendah daripada
tahun sebelumnya yaitu mencapai 8,13 persen. Hal ini searah dengan prakiraan inflasi
Tahun 2007 hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Beberapa hal yang
melatarbelakangi perkiraan tersebut antara lain minimalnya tekanan permintaan barang
dan jasa, distribusi barang dan jasa yang relatif lebih baik, stabilnya nilai tukar rupiah dan
tidak adanya penyesuaian harga barang, administered strategis, sampai dengan akhir
Tahun 2007, khususnya harga BBM dan TDL serta berjalannya program pembangunan
infrastruktur di Sulawesi Tengah,
Berdasarkan data dan perkembangan terkini, inflasi IHK Kota Palu Tahun 2008
mencapai 10,4 persen. Tekanan inflasi ini terutama berasal dari imported inflation.
Sementara itu, tekanan inflasi administered prices dan volatile foods diperkirakan
memberi tekanan minimal pada Tahun 2008 tersebut. Namun demikian, laju inflasi Kota
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
60
Palu di tahun-tahun mendatang perlu diwaspadai karena akan mendorong peningkatan
ekspektasi inflasi masyarakat di masa yang akan datang.
Untuk itu diperlukan upaya yang lebih baik lagi untuk mengatasi sumber tekanan
inflasi melalui peningkatan koordinasi berbagai pemangku kepentingan, perbaikan dan
pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, saluran irigasi dan pelabuhan.
Grafik 2.3.1.5
Laju Inflasi Provinsi Sulteng dan Nasional (persen) Tahun 2004-2008
Inflasi IHK Tahunan (y-o-y) Kota Palu pada triwulan IV-2009 diperkirakan akan
mengalami penigkatan. Inflasi terutama terjadi pada kelompok bahan makanan,
kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau serta kelompok perumahan, air,
listrik, gas dan bahan bakar. Inflasi pada triwulan mendatang tersebut antara lain
didorong oleh imported inflation akibat pelemahan kurs rupiah, musim hujan yang
menyebabkan gangguan pasokan subkelompok sayur-sayuran dan ekspektasi kenaikan
upah yang diikuti dengan kenaikan harga beberapa barang dan jasa pada kelompok
perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (misalnya sewa dan kontrak rumah).
Rencana Pemerintah menurunkan harga BBM subsidi diharapkan mampu mengurangi
ekspektasi inflasi masyarakat.
2.3.1.6 Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur adalah bagian integral dari pembangunan daerah.
Dapat dikatakan bahwa Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi,
sosial dan politik.
Ketersediaan infrastruktur prasarana jalan (khususnya) yang cukup memadai
diyakini oleh para pakar ekonomi pembangunan akan mendorong pertumbuhan ekonomi
pada suatu kawasan atau wilayah. Ketersediaan tersebut haruslah sedemikian rupa,
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
61
sehingga mempunyai pengaruh yang nyata pada kinerja jaringan transportasi dan
perubahan dalam perilaku ekonomi transportasi. Demikian pula, tercapainya tingkat
ekonomi tertentu diyakini akan mendorong perkembangan sistem transportasi yang lebih
luas dan efisien. Infrastruktur yang akan menjadi perhatian dalam bagian ini, adalah
kondisi prasarana/sarana jalan, baik jalan nasional maupun jalan provinsi.
Data-data yang disajikan pada Grafik Grafik 2.3.1.6a di bawah ini merupakan
data kondisi jalan di Sulawesi Tengah, tanpa membandingkannya dengan kondisi jalan
secara nasional karena datanya tidak tersedia. Dari data yang tersedia, kondisi jalan
nasional dalam kategori baik di Sulawesi Tengah mengalami kenaikan yang cukup
signifikan yaitu dari 429.1 Km pada Tahun 2004 (31%); menjadi 764.12 Km (42,30%)
pada Tahun 2008; kondisi jalan dalam kategori sedang turun dari 671.07 Km (48,48%)
pada Tahun 2004 menjadi 499,13 Km (27,63%) pada Tahun 2008, sedangkan kondisi
jalan dalam kategori Buruk, meningkat dari 284 Km (20,52% pada Tahun 2004 menjadi
543,21 Km (30,07%).
Grafik 2.3.1.6a
Panjang Jalan Nasional Berdasarkan Kondisi
Untuk jalan provinsi kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi jalan nasional.
Walaupun berfluktuasi, kondisi jalan provinsi dalam kategori baik naik dari 254,2 Km
(12,48%) pada Tahun 2004 menjadi 331,84 Km (16,29%) pada Tahun 2008, pada Tahun
2005, kondisi jalan provinsi dalam kategori baik tidak mengalami perubahan dari tahun
sebelumnya, Tahun 2006 naik menjadi 427,84 Km (27,87%), turun drastis menjadi 79,97
Km (3,93%) pada Tahun 2007.
Sebaliknya pada Jalan Provinsi dalam kondisi sedang yang menurun dari
1.003,53 Km (49,26%) pada Tahun 2004 menjadi 782,37 Km 38,41%) pada Tahun 2008.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
62
Disayangkan, jalan provinsi dalam kondisi rusak justeru meningkat dari 799,33 Km
38,26%) pada Tahun 2004 menjadi 922,85 Km (45,30%) pada Tahun 2008. Panjangnya
jalan yang berkategori rusak ini bisa dimaklumi karena kondisi wilayah geografis
Sulawesi Tengah yang pada wilayah tertentu sering terjadi longsor dan terjadinya banjir
bandang pada ruas-ruas jalan tertentu.
Grafik 2.3.1.6b
Panjang Jalan Provinsi Berdasarkan Kondisi
2.3.1.7 Pertumbuhan Realisasi Investasi PMA
Informasi dan data mengenai realisasi investasi PMA selama periode 2004-2008
tidak cukup lengkap dan akurat untuk dievaluasi, terutama pada Tahun 2006 dan Tahun
2008. Di Daerah Sulawesi Tengah, pertumbuhan yang cukup tinggi dalam aktivitas
investasi PMA terjadi pada periode 2004-2005, masing-masing 91,33 dan 97,67 persen
dan kemudian menurun menjadi 59,32 pada Tahun 2007. Sedangkan aktivitas investasi
PMA pada Tahun 2006 dan Tahun 2008 sama sekali tidak diperoleh data dan
informasinya. Secara umum, selama periode 2004-2008 aktivitas investasi PMA
menunjukkan tren yang menurun.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
63
Grafik 2.3.1.7: Perkembangan Persentase Pertumbuhan Realisasi Investasi PMA
Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Sebagaimana disajikan pada Grafik 2.3.1.7, capaian indikator tersebut jika
diperbandingkan dengan capaian indikator pertumbuhan investasi PMA dalam skala
nasional masih relatif lebih tinggi. Dari pengamatan di lapangan, beberapa faktor
penyebab yang mempengaruhi kinerja indikator pertumbuhan realisasi investasi PMA di
daerah ini diantaranya adalah peluang investasi di daerah ini masih cukup besar di
sektor primer, terutama pada bidang pertambangan, perkebunan dan perikanan.
Sekalipun demikian, masalah infrastruktur dan kecukupan energi masih menjadi kendala
yang harus mendapat prioritas penanganannya.
2.3.1.8 Pertumbuhan Realisasi Investasi PMDN
Berbeda dengan aktivitas investasi PMA, pada aktivitas investasi PMDN di daerah
ini data dan informasinya relatif lebih lengkap dan akurat untuk dievaluasi. Selama
periode 2004-2008, pertumbuhan realisasi investasi PMDN menunjukkan tren yang
meningkat. Pada Tahun 2004, pertumbuhan realisasi PMDN baru mencapai 7,16 persen
kemudian meningkat menjadi 16,07 persen pada Tahun 2008. Pada Tahun 2005 dan
Tahun 2007 terjadi lonjakan pertumbuhan realisasi investasi PMDN yang cukup tinggi,
masing-masing sebesar 46,21 persen dan 31,62 persen. Khusus pada Tahun 2006,
pertumbuhan realisasi investasi PMDN menurun menjadi 4,80 persen. Hal ini tampaknya
berkaitan dengan merosotnya realisasi investasi PMA yang pada tahun itu mengalami
kontraksi cukup kuat mencapai 32,76 persen.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
64
Catatan: Investasi PMDN digunakan data Kredit Investasi Perbankan (Miliar Rp)
Grafik 2.3.1.8: Perkembangan Persentase Pertumbuhan Realisasi Investasi PMDN
Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Capaian indikator tersebut jika diperbandingkan dengan capaian di tingkat
nasional masih relatif rendah. Beberapa faktor penyebab rendahnya realisasi investasi
PMDN adalah 1) belum adanya regulasi di tingkat daerah yang menjamin adanya
kepastian berusaha bagi kalangan pelaku ekonomi domestik, 2) ketersediaan dan
dukungan infrastruktur dan energi masih sangat rendah, dan 3) masih lambatnya
layanan publik dan sulitnya mengakses perbankan.
2.3.1.9 Capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional.
Dari delapan indikator Tingkat Pembangunan Ekonomi, yang di analisis
berdasarkan persentase hanya pada lima sub indikator outcomes yaitu Laju
Pertumbuhan Ekonomi; Persentase Ekspor terhadap PDB/PDRB; Persentase Output
Manufaktur; Laju Inflasi; dan Investasi. Data Output UMKM terhadap PDRB tidak tersedia
maka analisis hanya dilakukan pada lima indikator outcomes tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggabungkan lima indikator penunjang
untuk capaian indikator tingkat pembangunan ekonomi terlihat bahwa capaian indikator
tingkat pembangunan ekonomi Sulawesi Tengah memiliki tren yang kurang lebih sama
dengan capaian indikator pembangunan ekonomi nasional, yaitu adanya kemiripan
fluktuasi dari pembentukannya berdasarkan data Tahun 2004-2008. Walaupun demikian,
nilai pembentuk trend Sulawesi Tengah relatif lebih rendah ketimbang nasional yang
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
65
mana nilai trend Sulawesi Tengah rata-rata 30,76; sementara nilai trend nasional rata-
rata 33,40.
Grafik 2.3.1.9:
Capaian Indikator Outcomes Tingkat Pembangunan Ekonomi Di Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
2.3.2 ANALISIS RELEVANSI
Analisis relevansi terhadap nilai capaian indikator pendukung tingkat
pembangunan ekonomi di Daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional, diperoleh
hasil sebagai berikut:
1. Laju pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir memperlihatkan kemajuan yang
signifikan, dikatakan demikian karena laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah
selama ini berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan
ekonomi yang cukup signifikan tersebut, diharapkan mampu menjadi stimulus dalam
perputaran roda perekonomian Sulawesi Tengah dimasa yang akan datang. Proses
tersebut pada gilirannya diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Pendapatan per kapita Sulawesi Tengah selama ini memang meningkat dari tahun
ke tahun, namun harus diakui bahwa naiknya pendapatan per kapita tersebut
belum sepenuhnya memenuhi harapan karena nilainya yang masih relatif rendah
yaitu hanya setengah bila dibandingkan dengan pendapatan per kapita nasional. Rendahnya pendapatan per kapita Sulawesi Tengah ini tak terlepas dari basis
pertumbuhan ekonomi yang masih bernuansa agraris. Keadaan ini mencerminkan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
66
sasaran pembangunan daerah sudah sejalan dengan target/sasaran pembangunan
nasional namun keadaannya tidak lebih baik ketimbang pembangunan nasional.
3. Inflasi adalah salah satu ‘penyakit’ ekonomi yang harus dihindari karena bila
meningkat tajam, bukan tidak mungkin dapat menyebabkan mundurnya kemakmuran
rakyat. Berdasarkan trend yang telah diungkapkan di atas maka capaian Sulawesi
Tengah maupun Nasional berkecenderungan meningkat, namun kecenderungan ini
masih dalam batas-batas yang dapat ditoleransi. Walaupun tidak persis sama,
fluktuasi inflasi dalam perjalanan waktu Tahun 2004-2008 antara inflasi Sulawesi
Tengah dengan Nasional agaknya sejalan, dan bila terdapat kebijakan pemerintah
yang bisa memicu meningkatnya harga secara umum, akan dapat menyebakan
tingkat inflasi dalam kondisi “lampu merah” (di atas dua digit). Tentu hal ini harus
dihindari, sehingga tidak merugikan rakyat banyak.
4. Seperti terpaparkan di atas, Infrastruktur jalan di Sulawesi Tengah selama ini banyak
yang dalam kondisi buruk baik poros jalan dalam kewenangan pusat (jalan nasional
yang berada di Sulawesi Tengah), sebesar 30,07% pada Tahun 2008, maupun ruas
jalan dalam kewenangan provinsi yang mencapai 45,30%. Kondisi ini jelas lebih jelek
ketimbang jalan nasional yang berkategori rusak sekitar 18% (data Tahun 2007).
Dengan begitu maka tujuan/sasaran pembangunan yang direncanakan belum mampu
menjawab permasalahan utama/tantangan, dan belum sesuai dengan trend capaian
pembangunan daerah yang kurang sejalan dengan capaian pembangunan nasional.
5. Berdasarkan data yang dipaparkan di atas kelihatan bahwa terjadi trend yang
fluktuatif yang searah antara Sulawesi Tengah dengan Nasional, baik pada
persentase pertumbuhan realisasi PMA maupun PMDN. Trend-nya menaik Tahun
2004-2005, menurun di Tahun 2006, kemudian menaik lagi pada Tahun 2007 dan
pada Tahun 2008 menurun. Kenyataan ini mengandung arti bahwa tujuan/sasaran
pembangunan yang direncanakan belum mampu menjawab permasalahan utama
pembangunan dalam kaitannya dengan PMA/PMDN. Karena kecenderungannya
searah maka tren capaian pembangunan daerah sejalan dengan capaian
pembangunan nasional.
2.3.3 ANALISIS EFEKTIVITAS
Analisis efektifitas terhadap nilai capaian indikator pendukung tingkat
pembangunan ekonomi di Daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional, diperoleh
hasil sebagai berikut:
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
67
1. Ekonomi makro Sulawesi Tengah saat ini telah tumbuh dengan peningkatan yang
signifikan, hal ini ditandai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi
peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. Pembangunan ekonomi sebagai
proses yang berdimensi jamak, melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial dan
sikap masyarakat terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakmerataan, pemberantasan kemiskinan absolut. Karena pertumbuhan riel
PDRB rata-rata 7,6 % per tahun untuk periode 2004-2008 jauh melebihi rata-rata laju
penduduk, 1,74 % per tahun maka secara riel terjadi pertumbuhan pendapatanper
kapita yang berpotensi mendorong terjadinya proses akumulasi, alokasi, demografi
dan distribusi pendapatan pada ekonomi daerah Sulawesi Tengah.
2. Pendapatan per kapita sebagai wujud dari tingkat kemakmuran, sehingga bila
terjadi peningkatan maka dapatlah dikatakan masyarakat semakin makmur.
Peningkatan pendapatan per kapita Sulawesi Tengah sebagaimana tergambarkan
pada grafik di atas, memang bisa dimaknai sebagai adanya peningkatan
kemakmuran, namun ketika diperhadapkan dengan tingginya pendapatan per
kapita nasional maka Sulawesi Tengah masih jauh tertinggal. Kenaikannya dari
tahun ke tahun mengindikasikan bahwa capaian pembangunan daerah sudah
sesuai dengan sasaran RPJM-D, walau demikian, masih diperlukan kerja keras
untuk dapat mendekati capaian nasional.
3. Secara rata-rata, tingkat inflasi di Sulawesi Tengah selama periode evaluasi
2004-2008 berada pada tingkat yang kurang menguntungkan (sekitar dua digit).
Sebenarnya hal ini bisa dimaklumi karena salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap inflasi di Sulawesi Tengah adalah adanya tekanan inflasi terutama berasal
dari imported inflation, tekanan inflasi administered prices dan volatile foods
diperkirakan juga akan memberi pengaruh. Dengan memperhatikan tren
perkembangan inflasi di daerah ini selama periode evaluasi 2004-2008 maka capaian
indiktor ini bukannya membaik dalam artian tingkat inflasi menurun malah sebaliknya.
4. Dengan kondisi jalan seperti dipaparkan pada analisis relevansi di atas maka tidak
keliru bila dikatakan terdapat ketidaksesuaian antara hasil dan dampak pembangunan
terhadap tujuan yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena persentase jalan dalam
kondisi mantap turun dari 79,48% pada Tahun 2004 menjadi 69,93% pada Tahun
2008 untuk jalan nasional, dan dari 61,74% pada Tahun 2004 menjadi 54,70% untuk
jalan provinsi. Sementara itu, target yang akan diraih sesuai Revisi RPJMD Sulawesi
Tengah adalah 64,60% jalan Provinsi dalam kondisi mantap dan 80% jalan nasional
dalam kondisi mantap pada Tahun 2011.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
68
5. Dengan adanya kecenderungan yang searah baik PMA maupun PMDN pada tataran
Nasional maupun Sulawesi Tengah, dapat dikatakan bahwa belum memiliki
kesesuaian antara hasil dan dampak terhadap tujuan pembangunan yang diharapkan.
Adanya penurunan trend juga mengandung makna PMA/PMDN dalam kontribusinya
terhadap pembangunan daerah, khususnya di Tahun 2007-2008 berkecenderungan
menurun dari tahun sebelumnya.
2.3.4. ANALISIS CAPAIAN INDIKATOR SPESIFIK DAN MENONJOL
Dari delapan indikator penunjang tingkat pembangunan ekonomi yang dipaparkan
di atas ada tiga indikator yang akan diuraikan di bawah ini untuk dianalisis tingkat
capaian indikator spesifik dan menonjol, yaitu peningkatan pendapatan per kapita,
persoalan infrastruktur (jalan), dan Investasi (PMA dan PMDN).
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa selama periode evaluasi
2004-2008 terdapat kecenderungan meningkatnya pendapatan per kapita (PDRB/kapita)
yaitu sekitar 8,56 persen rata-rata per tahun. Kalau kecenderungan rata-rata
pertumbuhan ini terwujud, maka target RPJMD (Rp 12,5 juta) dapat dicapai pada tahun
Tahun 2009 ini, seperti terpapar pada Grafik 2.3.4a
Grafik 2.3.4a
Perkembangan Pendapatan Per Kapita Sulawesi Tengah (asumsi pertumbuhan rata-rata 8,56 %/tahun)
Namun jika menggunakan analisis trend maka target tersebut akan tercapai
sesudah Tahun 2011 seperti dipaparkan pada Grafik 2.3.4b.
Namun demikian, pertumbuhan rata-rata 8,56 persen per tahun tersebut
nampaknya belum akan mendekati peningkatan pendapatan per kapita nasional karena
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
69
selama ini pendapatan per kapita Sulawesi Tengah hanya sekitar setengah dari
pendapatan per kapita nasional.
Grafik 2.3.4b
Perkembangan Pendapatan Per Kapita Sulawesi Tengah (analisis trend)
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu persoalan yang
dihadapi Sulawesi Tengah selama periode observasi 2004-2008 adalah Infrastruktur
jalan. Baik kondisi jalan nasional maupun kondisi jalan provinsi dalam kategori baik
dalam lima tahun terakhir semakin berkurang. Untuk jalan nasional, pada Tahun 2004
yang berkategori baik sepanjang 1.147 Km menurun menjadi 764 Km pada Tahun 2008;
untuk jalan Provinsi turun dari 1.003 Km pada Tahun 2004, menjadi 764 Km pada Tahun
2008. Hal ini nampaknya disebabkan karena kurangnya perhatian Pemerintah (Pusat
dan Daerah) untuk memberi anggaran yang memadai bagi perbaikan infrastruktur jalan
ini, disamping adanya berbagai bencana alam yang terjadi (khususnya banjir bandang) di
wilayah tertentu.
Adapun mengenai Investasi, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, nampak
terlihat dalam perjalanan waktu 2004-2008 dapat dikatakan tidak ada penambahan
Investasi, baik dalam bentuk PMA maupun PMDN di Provinsi Sulawesi Tengah. Hal ini
paling tidak terkait dengan tiga penyebab: pertama; kondisi infrastruktur yang mengalami
kerusakan di sebagian wilayah; kedua: kondisi kelistrikan yang sangat parah. Pasokan
energi listrik di wilayah kerja PT. PLN Cabang Palu, mengalami defisit sehingga
pemadaman bergilir menjadi hal yang tidak terhindarkan. Pemadaman bergilir tentunya
menimbulkan dampak yang cukup serius antara lain peningkatan biaya produksi pada
berbagai jenis usaha, berkurangnya pendapatan usaha, peningkatan konsumsi BBM
subsidi dan non-susbsidi dan terganggunya berbagai aktivitas masyarakat.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
70
Selain itu, pemadaman bergilir juga berpengaruh pada perlambatan pertumbuhan
sektor listrik dan air bersih, juga sektor ekonomi lainnya; dan ketiga, ketiadaan regulasi
yang memungkinkan investor tertarik menanamkan investasinya di daerah ini.
2.3.5 REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan hasil analisis capaian indikator spesifik dan menonjol sebagaimana
diuraikan di atas, diajukan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
1. Sangat perlu dan segera dilakukan peningkatan investasi pemerintah dalam upaya
perbaikan kualitas berbagai infrastruktur jalan sebagai penunjang perkembangan
aktivitas ekonomi, disamping itu diperlukan pula peningkatan aksesibilitas pelayanan
transportasi yang terjangkau bagi masyarakat banyak;
2. Dalam upaya perbaikan kualitas berbagai infrastruktur jalan tersebut hendaknya
disertai dengan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dengan pihak instansi teknis
terkait di daerah Provinsi dan Kabupaten agar dicapai suatu perbaikan dan
peningkatan kualitas berbagai infrastruktur jalan tersebut secara simultan sehingga
dapat menghubungkan daerah-daerah kantong produksi dengan pasar secara lebih
mudah, murah dan efisien;
3. Untuk dapat menarik investor menanamkan modalnya di Sulawesi Tengah, sangat
mendesak untuk segera menyelesaikan penyediaan energi listrik, sembari
menemukenali energi terbarukan dan diperlukan intervensi kebijakan dalam
peningkatan pemerataan pelayanan listrik bagi masyarakat, terutama di wilayah
perdesaan, disamping itu diperlukan pula tambahan regulasi yang terkait dengan
layanan satu atap untuk kepentingan perizinan dunia usaha;
4. Agar pertumbuhan ekonomi dapat memiliki efek multiplier yang tinggi, pemerataan,
dan keberlanjutan, pengembangan ekonomi perlu diarahkan pada peningkatan
aktivitas sektor riil;
5. Untuk dapat meningkatkan daya saing daerah dan peningkatan ekspor (non migas),
diperlukan kebijakan pembangunan ekonomi yang disesuaikan dengan karakteristik
dan potensi sumberdaya serta keunggulan masing-masing wilayah, disamping itu
pengembangan ekonomi harus diarahkan pada keterkaitan aktivitas rantai industri;
6. Diperlukan intervensi kebijakan dalam menciptakan pemerataan pendapatan
antarwilayah yang dapat dilakukan antara lain dengan peningkatan peran sektor riil
yang berbasis kepada potensi unggulan wilayah sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat wilayah tersebut.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
71
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
Pembangunan ekonomi di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan
dan dukungan sumber daya alam. Tanpa mengandalkan dukungan sumberdaya alam,
pola dan strategi pembangunan yang ditempuh selama ini sudah tidak bisa lagi
dipertahankan.
Oleh karena itu, upaya pengelolaan sumberdaya alam secara arif dan ramah
lingkungan adalah merupakan faktor kunci keberlanjutan pembangunan ekonomi di
negeri ini yang harus dipertahankan dan dioptimalkan. Semua pihak harusnya menyadari
bahwa upaya pengelolaan sumberdaya alam secara arif dan ramah lingkungan adalah
sebuah pendekatan yang berusaha untuk tetap dapat mempertahankan kelestarian
fungsi lingkungan bagi kehidupan semua makhluk hidup, termasuk manusia.
Dengan demikian, upaya ini hendaknya menjadi komitmen nasional dan bahkan
menjadi norma yang berlaku untuk semua warga bangsa ini. Artinya, tanpa kecuali,
siapapun yang akan memanfaatkan sumberdaya alam di negeri ini harus tunduk dan
bersedia secara sukarela mengikatkan diri pada norma-norma itu.
Untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas pengelolaan sumberdaya alam
itu, dalam studi ini dievaluasi beberapa indikator pendukung yang merepresentasikan
kualitas pengelolaan sumberdaya alam .
2.4.1. CAPAIAN INDIKATOR
Bagian ini menganalisis nilai capaian indikator outcome kualitas pengelolaan
sumberdaya alam Provinsi Sulawesi Tengah dibandingkan dengan nilai capaian indikator
outcomes kualitas pengelolaan sumberdaya alam di tingkat nasional dalam bentuk grafik
dan analisis bidang kehutanan. Indikator-indikator pendukung dari indikator outcomes
kualitas pengelolaan sumberdaya alam bidang kehutanan yang akan dianalisi terdiri atas
indikator kualitas kehutanan yang mencakup: persentase luas lahan rehabilitasi dalam
hutan terhadap lahan kritis; rehabilitasi lahan luar hutan; dan luas kawasan konservasi.
Indikator-indikator pendukung tersebut dianalisis dengan cara membandingkan antara
capaian Provinsi Sulawesi Tengah dengan capaian di tingkat nasional dalam satuan
ukuran rata-rata persentase.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya laut
digunakan 3 (tiga) indikator pendukung yaitu jumlah tindak pidana perikanan,
persentase terumbu karang dalam keadaan baik, dan luas kawasan konservasi laut.
Ketiga indikator pendukung tersebut dibandingkan dengan indikator pendukung yang
sama pada tingkat nsional, untuk memaknai apakah program pengelolaan laut yang
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
72
dilakukan selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir telah relevan dengan tren
perkembangan nasional atau tidak, dalam artian negatif. Disamping itu, juga
dianalisis efektifitas capaian yang diukur dari pencapaian sasaran yang telah
ditetapkan dalam RPJM Sulawesi Tengah dan RPJM Nasional. Dengan
perbandingan tersebut akan diketahui bagaimana Pemerintah Daerah Sulawesi
Tengah mencapai target-target yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.4.2. KEHUTANAN
2.4.2.1. Persentase Luas Lahan Rehabilitasi dalam Hutan Terhadap Lahan Kritis
Indikator luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis adalah indikator
yang dapat digunakan dalam mengukur kualitas hutan dari suatu Negara. Semakin tinggi
presentase luas lahan yang berhasil direhabilitasi terhadap luas lahan yang masuk
kategori kritis maka semakin tinggi kualitas hutan dari suatu wilayah, sebaliknya semakin
rendah presentase luas lahan yang direhabilitasi dalam hutan terhadap luas lahan kritis
maka makin rendah kualitas hutan suatu wilayah.
Pada Grafik 2.4.2.1 memperlihatkan nilai capaian indikator pendukung
persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis di Daerah Sulawesi
Tengah dan di tingkat nasional. Selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian
indikator pendukung persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis
di tingkat nasional menunjukkan kecenderungan yang menurun. Walaupun tidak
didukung data yang cukup, patut diduga bahwa tren yang sama untuk indikator
pendukung tersebut juga terjadi di Sulawesi Tengah.
Grafik 2.4.2.1:
Presentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis di Sulawesi Tengah di bandingkan dengan Luas Lahan Rehabilitasi
terhadap luas lahan Kritis Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
73
Dari Grafik 2.4.2.1, tampak bahwa pada Tahun 2006 persentase luas lahan
rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis di Daerah Sulawesi Tengah masih relatif
tinggi (sekitar 2,14 persen) di banding dengan nasional yang hanya 0,83 persen. Dari
nilai capaian indikator pendukung ini mengindikasikan bahwa presentase luas lahan
yang berhasil direhabilitasi terhadap luas lahan yang masuk kategori kritis di Daerah
Sulawesi Tengah masih relatif tinggi dibanding dengan di tingkat nasional.
2.4.2.2. Rehabilitasi Lahan Luar Hutan
Rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan mencakup rehabilitasi atau pemulihan
fungsi lahan agar fungsi-fungsi ekologis dapat dipulihkan sehingga dapat didayagunakan
untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkait dengan
keberadaan lahan yang akan direhabilitasi. Rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan
hutan mencakup pemulihan fungsi dan meningkatkan kemampuan daya dukung lahan
baik dalam konteks ekonomi, sosial, dan fungsi ekologis lainnya. Dalam konteks itulah
Pemerintah Sulawesi Tengah telah mencanangkan program pemulihan dan rehabilitasi
lahan-lahan kritis yang ada agar dapat didayagunakan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan konteks tersebut maka sejak Tahun 2004 sampai dengan Tahun
2006 upaya pemulihan atau rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan di Sulawesi
Tengah mengalami peningkatan.
Grafik 2.4.2.2
Luas Rehabilitasi Lahan Luar Hutan di Sulawesi Tengah Dibandingkan dengan Luas Rehabilitasi Lahan Luar Hutan Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
74
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.4.2.2, pada Tahun 2004 berhasil
direhabilitasi 1170 Ha, (Nasional 390.896,00 ha) kemudian meningkat menjadi 1530 ha
(Nasional 70.410,00 ha) pada Tahun 2005, dan pada Tahun 2006 meningkat cukup
signifikan menajadi 7.104 Ha ( nasional 301.020,00 ha). Namun pada Tahun 2007 luas
lahan kritis di luar kawasan hutan yang berhasil direhabilitasi mengalami penurunan
menjadi 605 Ha (nasional, 239.236,00 ha).
2.4.2.3 Luas Kawasan Konservasi
Kawasan konservasi adalah kawasan yang berfungsi untuk perlindungan
dan pengawetan flora dan fauna serta fungsi ekologis dari kawasan tersebut. Luasan
kawasan konservasi indikator penting yang dapat dijadikan ukuran terhadap kualitas
pengelolaan sumberdaya alam yang ada di suatu Negara atau daerah. Semakin luas
kawasan yang berhasil di konservasi maka semakin tinggi pula kualitas pengelolaan
sumberdaya suatu Negara atau suatu daerah.
Berdasarkan konsepsi itulah maka pemerintah secara terus menerus berusaha
meningkatkan luas kawasan konservasi dalam bentuk hutan konservasi dan lahan
konservasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya
yang ada. Pemerintah Sulawesi Tengah dalam RPJM telah mencanangkan program
peningkatan kawasan konservasi terutama dalam hal upaya perambahan terhadap
hutan lindung, taman nasional dan hutan dan lahan konservasi lainnya.
Sumber: BPS Sulawesi Tengah
Grafik 2.4.2.3 Luas Kawasan Konservasi di Sulawesi Tengah
Dibandingkan dengan Luas Kawasan Konservasi Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
75
Untuk dapat memahami apakah program kualitas pengelolaan sumberdaya alam
di Sulawesi Tengah 5 tahun terakhir ini telah berhasil meningkatkan kualitas dari kawasan
konservasi dapat ditunjukkan dengan data yang disajikan pada Grafik 2.4.2.3, pada Tahun
2004 luas kawasan konservasi di Sulawesi Tengah 593.038.75 ha. (nasional
22,715,297.35 ha), pada tahun 2006 meningkat menjadi 624377.38 ha (nasional,
22,702,527.17), dan pada Tahun 2007 tidak mengalami peningkatan yakni tetap
624377.39 ha, (nasional, 20,040,048.01).
2.4.3 KELAUTAN
2.4.3.1 Jumlah Tindak Pidana Perikanan
Jumlah tindak pidana perikanan yang terjadi di suatu wilayah atau daerah
adalah indikator yang penting untuk dicermati. Semakin tinggi jumlah tindak pidana
yang terjadi semakin semakin tinggi pula tingkat kerusakan lingkungan laut yang
ada. Hal ini disebabkan oleh karena umumnya tindak pidana perikanan tidak hanya
terkait dengan proses illegal fishing semata, seperti penyalahgunaan izin tangkap
atau izin usaha perikanan laut, tetapi juga mencakup tindak pelanggaran seperti
penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan
Pukat Harimau, penggunaan bom yang berbahan dasar potassium dan bahan
berbahaya lainnya, sehingga merusak ekosistem karang. Disamping itu pula terkait
dengan upaya-upaya penegakan hukum di sektor perikanan tangkap, baik
mencakup izin, retribusi dan pajak serta hal-hal lain seperti penyelundupan hasil
tangkap.
Sumber: BPS Sulawesi Tengan dan Nasional
Grafik 2.4.3.1. Jumlah Tindak Pidana Perikanan di Sulawesi Tengah
Dibandingkan dengan Jumlah Tindak Pidana Perikanan Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
76
Berdasarkan hal tersebut Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah
menetapkan program penegakan hukum yang terkait dengan pengelolaan perikanan
tangkap baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang dilakukan oleh dunia
usaha, serta kegiatan illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan dari Negara-negara
tetangga seperti nelayan Thailand, China, Taiwan dan Philipina.
Pada Grafik 2.4.3.1 ditunjukkan bahwa jumlah tindak pidana perikanan dari
tahun 2005-2007 terus mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada Tahun
2005 berhasil ditindak 4 kasus, dan pada tahun 2006 dan 2007 1 kasus, sedang
secara nasional pada tahun 2005 174 kasus, tahun 2006 174 kasus dan pada tahun
2007 139 kasus.
2.4.3.2 Persentase Terumbu Karang dalam Keadaan Baik
Untuk indikator terumbu karang dalam keadaan baik di Sulawesi Tengah
tidak dapat dianalisis karena tidak ada data yang tersedia, namun jika asumsi bahwa
keadaan berdasarkan persentase nasional yang dijadikan indikator maka keadaan
terumbu karang di Sulawesi Tengah, sama dengan keadaan terumbu karang
nasional yang mengalami proses penurunan pada tahun 2005 ke tahun 2007 yakni
dari 31.49 % menjadi 29.49% dan pada tahun 2007 dan 2008 mengalami
peningkatan menjadi 30.62 % dan 30.96 %. Untuk lebih jelasnya keadaan terumbu
karang yang dalam kondisi baik Secara Nasional disajikan pada Grafik 2.4.3.2 berikut ini:
Grafik 2.4.3.2: Presentase Terumbu Karang dalam Keadaan Baik
Secara Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
77
2.4.3.3 Luas Kawasan Konservasi Laut
Kawasan laut merupakan kawasan yang penting bagi pertahanan dan ekonomi karena banyak sekali sumberdaya seperti jenis-jenis ikan dan non ikan serta beberapa bahan galian lainnya terkandung didalamnya, dan berada di dasar perairan laut kita. Dalam konteks sumberdaya alam maka indikator luasan kawasan konservasi yang ada sangat menentukan kualitas sumberdaya yang ada. Semakin luas wilayah yang bisa dan berhasil dikonservasi maka semakin tinggi pula kualitas sumberdaya laut kita, baik terhadap sumberdaya yang terbarukan seperti jenis ikan dan non ikan, maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbarukan.
Sulawesi Tengah dlam upaya untuk mempertahankan kualitas sumberdaya alam laut yang ada telah menetapkan beberapa kawasan sebagai kawasan konservasi laut berupa Taman Wisata Alam Laut diantaranya Taman Wisata Alam TWA) Laut (L) Pulau Tokobae di Kabupaten Poso seluas 1000 ha, TWA (L) Tomori di Kabupaten Morowali seluas 7200 ha, TWA (L) Tosale di Kabupaten Donggala seluas 5000 ha, TWA (L) Pulau Peling di Kabupaten Banggai kepulauan seluas 17.462 ha, dan TWA (L) Kepulauan Sogo di Kabupaten Banggai Kepulauan seluas 153.850 ha. Upaya tersebut sekaligus menunjukkan adanya keseriusan pemerintah Sulawesi Tengah dalam upaya konservasi laut. Untuk lebih jelasnya gambaran konservasi laut di Sulawesi Tengah dibandingkan dengan Konservasi Laut nasional disajikan pada Grafik 2.4.3.3 berikut ini:
Grafik 2.4.3.3:
Luas Kawasan Konservasi Laut Sulawesi Tengah Dibandingkan dengan Luas Konservasi Laut Nasional
Berdasarkan data dan Grafik 2.4.2.3 luas kawasan konservasi laut di Sulawesi Tengah 362. 605 ha yang ditetapkan sejak Tahun 2004. Artinya sejak saat itu, luas kawasan konservasi laut cenderung tidak mengalami pertambahan, sementara secara nasional terus bertambah dari 8,6 juta ha pada Tahun 2004 menjadi 13.5 juta ha pada Tahun 2008.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
78
2.4.4 ANALISIS RELEVANSI
Analisis relevansi terhadap nilai capaian indikator pendukung kualitas
pengelolaan sumberdaya alam di Daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional,
diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Berdasarkan data BPS dan Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah tren
rehabilitasi lahan diluar kawasan hutan sejak tahun 2004 sampai 2007, program
rehabilitasi lahan kritis sejalan dengan tren program dan hasil yang dicapai nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa implementasi program rehabilitasi lahan diluar kawasan
hutan di Sulawesi Tengah sejalan dan mendukung proses capaian pembangunan
nasional di bidang hutan dan lahan. Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh data yang
selaras dengan apa yang dicapai pada tren nasional, secara nasional terjadi
peningkatan hal yang sama juga terjadi di Sulawesi Tengah, artinya tren rehabilitasi
lahan di Sulawesi Tengah mengarah pada capaian yang positip.
2. Berdasarkan data yang ada, ditunjukkan bahwa capaian pengelolaan indikator luas
kawasan konservasi di Sulawesi Tengah menunjukkan tren yang positip sebab
dalam kurun waktu 4 tahun luas kawasan konservasi cenderung mengalami
peningkatan, sementara secara nasional luas lahan konservasi cenderung
mengalami penurunan. Walaupun masalah yang terlkait dengan upaya peningkatan
dan upaya mempertahankan luas kawasan konservasi terus berbenturan dengan
meningkatnya populasi penduduk disatu sisi dan meningkatnya akan kebutuhan
lahan bagi pengembangan kawasan industry baik pertambangan maupun usaha
agro industry yang telah menetapkan Sulawesi Tengah sebagai daerah tujuan
investasi di bidang pertambangan dan agro industri. Sementara pada sisi yang lain
perambahan dan pembalakan liar masih merupakan hal yang terus mengancam
eksistensi kawasan konservasi yang ada, belum lagi ditambah dengan munculnya
klaim masyarakat yang mengatasnamakan hak adat atau hak ulayat terhadap
kawasan konservasi seperti yang terjadi di Dongi-Dongi. Namun dari data yang ada
dapat disimpulkan bahwa luas kawasan konservasi jika dibandingkan dengan luas
kawasan konservasi nasional dari sisi tren maka Sulawesi Tengah telah mengalami
kemajuan dibandingkan dengan tren nasional.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
79
2.4.5 ANALISIS EFEKTIFITAS
Analisis efektifitas terhadap nilai capaian indikator pendukung dari indikator
outcome kualitas pengelolaan sumberdaya alam di Daerah Sulawesi Tengah dan di
tingkat nasional, diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Jika asumsi bahwa tren nasional adalah gambaran tren daerah, maka berdasarkan
data Tahun 2006 luas lahan rehabilitasi dalam kawasan hutan kritis di Sulawesi
Tengah masih di atas rata-rata nasional. Ini berarti, pengelolaan dan program
rehabilitasi hutan kritis di Sulawesi Tengah lebih efektif dibandingkan dengan hal
yang sama secara nasional. Hal ini dimungkinkan oleh karena program rehabilitasi
hutan melalui program reboisasi dan hutan tanaman industri yang cukup berhasil
dikembangkan di Sulawesi Tengah serta sejalan dengan sasaran yang ditetapkan
dalam RPJM Sulawesi Tengah yakni menurunnya luas kawasan hutan kritis di
Sulawesi Tengah.
2. Efektifitas capaian sasaran pembangunan bidang kehutanan pada salah satu
indikator rehabilitasi lahan luar hutan menunjukkan capaian yang efektif karena
mampu menurunkan luas lahan kritis luar kawasan hutan secara signifikan dari
tahun 2004 sampai dengan tahun 2006, walau pada tahun 2007 luas lahan yang
mampu direhabilitasi mengalami penurunan yang cukup signifikan, artinya ini dapat
dijadikan asumsi bahwa luas lahan yang akan direhabilitasi pada tahun tersebut
juga mengalami penurunan Karena keberhasilan program rehabilitasi lahan pada
tahun 2004-2006. Keadaan tersebut sejalan dengan kondisi yang terjadi secara
nasional yang juga secara signifikan berhasil menurunkan luas lahan kritis diluar
kawasan hutan.
3. Berdasarkan sasaran yang telah dicanangkan dalam RPJM Nasional dan RPJM
Sulawesi Tengah jika dicermati berdasarkan data yang ada dan jika dibandingkan
dengan tingkat pencapaian nasional, maka luas kawasan konservasi di Sulawesi
Tengah sebagai indikator kualitas sumberdaya alam yang ada telah mampu
ditingkatkan oleh Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah artinya program dan
kegiatan yang dilaksanakan selama 4 tahun terakhir telah efektif dalam
mempertahankan dan meningkatkan luas kawasan konservasi yang ada,
walaupuntren secara nasional terus mengalami penurunan luasan kawasan
konservasi secara signifikan. Artinya program dan kegiatan yang telah dicanangkan
telah efektif dan tepat dalam mencapai sasaran yang ingin dicapai.
4. Program pengamanan kekayaan perikanan laut yang merupakan kekayaan sumber
daya alam yang sangat penting nilainya telah menunjukkan hasil yang signifikan,
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
80
karena selama periode evaluasi 2004-2008 telah terjadi tren penurunan yang cukup
tinggi rata-rata 30-50% dalam setiap tahunnya. Fakta ini sekaligus menjadi indikasi
bahwa upaya-upaya pengamanan dan penegakan hukum terhadap perairan laut
kita di daerah Sulawesi Tengah cukup efektif. Dalam hal ini dapat disimpulkan
bahwa upaya penegakan hukum melalaui penindakan terhadap pidana perikanan
tangkap di Sulawesi Tengah telah sejalan dengan tren nasional.
5. Mencermati tren nasional yang terus mengalami peningkatan secara signifikan dalam
hal luas kawasan yang berhasil dikonservasi selama 5 (lima) tahun 2004-2008,
sementara di Sulawesi Tengah dalam kurun waktu tahun 2006-2007 tidak
mengalami perubahan, artinya upaya konservasi sumberdaya laut di Sulawesi
Tengah belum menunjukkan arah yang sejalan dengan capaian secara nasional.
6. Dari segi efektifitas, jika diukur dari capaian sasaran ang tercantum dalam RPJM
Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan RPJM Nasional, menunjukkan bahwa upaya
penegakan hukum terkait dengan pidana perikanan tangkap yang terjadi di
Sulawesi Tengah, telah menunjukkan kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan di
Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun yang terus membaik.
7. Efektititas pencapaian sasaran pengelolaan kawasan konservasi laut di daerah
Sulawesi Tengah belum menunjukkan tren yang baik jika dibandingkan dengan tren
nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya-upaya yang dilakukan selama kurun
waktu 5 tahun terakhir belum menunjukkan hasil yang signifikan bahkan cenderung
stagnan, sementara upaya-upaya pada tingkat nasional telah mampu
menoingkatkan capaian dari tahun 2004 sampai dengan 2008 yang mengalami tren
meningkat. Dengan demikian, upaya yang dilakukan di daerah ini belum efektif
mencapai sasaran yang ingin dicapai yakni perluasan kawasan konservasi laut
yang dapat meningkatkan kualitas sumberdaya laut secara nasional.
2.4.6 ANALISIS CAPAIAN INDIKATOR SPESIFIK DAN MENONJOL
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya laut tidak ada aspek yang
menonjol sebagai indikator yang dapat dijadikan ukuran atau menilai keberhasilan
program pengelolaan sumberdaya alam di Sulawesi Tengah sebab minimnya
informasi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut. Namun upaya-upaya
untuk meningkatkan kualitas sumberdaya alam laut bukannya tidak ada, hal ini
dapat dilihat dari telah ditetapkannya beberapa kawasan sebagai kawasan
konservasi dalam bentuk kawasan wisata alam laut di beberapa kabupaten di
Provinsi Sulawesi Tengah.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
81
Analisis capaian indikator spesifik dan menonjol yang terkait dengan
pengelolaan kualitas sumberdaya alam di Sulawesi Tengah, adalah indikator
rehabilitasi lahan luar hutan dan indikator luas kawasan konservasi. Hal ini terlihat
dari meningkatnya secara signifikan luas kawasan lahan kritis diluar hutan yang
berhasil di konservasi dari tahun ketahun terus meningkat, sementara secara
nasional peningkatan pada indikator yang sama relatif rata-rata hanya meningkat 1
(satu) sampai dengan 2 (kali) dari luas lahan yang mampu direhabilitasi, sementara
di Sulawesi Tengah dalam kurun waktu 2004 sampai dengan 2006 meningkat
sampai dengan 4 (empat) kali.
Sedangkan pada luas lahan konservasi jika pada tren nasional kawasan
konservasi terus mengalami pengurangan cukup siginifikan tetapi di Sulawesi
Tengah luas kawasan Konservasi relatif mengalami peningkatan yang signifikan
terutama dalam kurun waktu tahun 2004-2006. Untuk memperoleh gambaran yang
jelas terhadap tren dari kedua indikator tersebut disajikan pada Grafik 2.4.6 berikut
ini:
Grafik 2.4.6
Luas Kawasan Konservasi Sulawesi Tengah
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
82
2.4.7 REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan sebelumnya dan untuk
meningkatkan upaya pengelolaan sumberdaya alam di Sulawesi Tengah maka
Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah perlu melakukan beberapa kebijakan sebagai
berikut:
1. Program pelibatan masyarkat dalam konteks konservasi dan rehabilitasi lahan
kritis perlu terus menerus ditingkatkan;
2. Pengembangan kawasan konservasi hutan, tanah dan air yang berbasis pada
masyarakat perlu terus dikembangkan;
3. Penyelesaian kasus perambahan kawasan lindung dan taman nasional perlu
segera diselesaikan agar ada kepastian hukum dengan pelibatan multi
stakeholder seperti Pemerintah, Perguruan Tinggi, LSM, Tokoh masyarakat dan
agama;
4. Penegakan atas kasus-kasus yang melibatkan pengusaha dan masyarakat agar
dilakukan dengan tegas, tepat dan elegan;
5. Meningkatkan operasi penangkapan ikan secara illegal dengan meningkatkan
kerjasama dengan Instansi Kepolisian dan Angkatan laut dalam melakukan
operasi pengamanan sumber daya laut terutama yang terkait dengan ikan dan
non ikan;
6. Meningktkan upaya penyuluhan hukum tentang larangan penggunaan bahan
peledak dalam penangkapan ikan dan non ikan di laut oleh nelayan tradisional;
7. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi baik kawasan
wisata alam laut maupun dalam pengelolaan kawasan lindung sehingga
masyarakat dapat merasakan manfaat dari adanya kawasan konservasi tersebut;
8. Mengintensifkan program reboisasi pada lahan kritis dan daerah tangkapan
secara berkelanjutan;
9. Mengintensifkan program pemberdayaan hutan kemasyarakatan secara
berkelanjutan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
83
2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL
Kata pembangunan, apapun pemaknaannya dan dimanapun diselenggarakan,
termasuk di Indonesia, selalu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Maka dari itu, kesejahteraan sosial menjadi salah satu tujuan utama pembangunan.
Yang dimaksud kesejahteraan sosial disini adalah keadaan sentosa dan
makmur serta berkecukupan, baik dalam dimensi fisik maupun nonfisik. Dalam
konteks pembangunan kesejahteraan sosial, mereka yang kondisi kesejahteraan
sosialnya rendah biasanya dicirikan atau disandang oleh mereka yang menderita
cacat, telantar dan tuna sosial.
Sehubungan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial tersebut,
berbagai upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan sosial telah banyak
dilakukan. Untuk mengetahui sampai sejauh mana kinerja pelaksanaan program-
program pembangunan sosial itu, dalam studi ini akan dievaluasi melalui beberapa sub
indikator atau indikator pendukung yang dapat merepresentasikan indikator outcome
tingkat kesejahteraan sosial.
2.5.1. CAPAIAN INDIKATOR
Bagian ini membahas capaian indikator kesejahteraan sosial di daerah
Provinsi Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional. Nilai capaian indikator diperoleh
dengan menjumlahkan nilai rata-rata indikator pendukung yang mencakup persentase
penduduk miskin; tingkat pengangguran terbuka; persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak (terlantar, jalanan, balita terlantar, dan nakal);
persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia, dan persentase pelayanan
dan rehabilitasi sosial (penyandang cacat, tuna sosial, dan korban penyalahgunaan
narkoba), dibagi dengan banyaknya indikator pendukung.
Uraian tentang capaian indikator Tingkat Kesejahteraan Sosial ini dimulai
dengan mengedepankan sub-sub indikator (indikator pendukung) pembentuknya.
2.5.1.1 Persentase Penduduk Miskin
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang sudah klasik dan telah demikian
intensif dibahas dan didiskusikan, baik dalam kajian ilmu ekonomi pembangunan dan
ilmu-ilmu sosial maupun di berbagai forum diskusi. Sedemikian intensifnya kemiskinan
itu dibahas dan didiskusikan, memunculkan kesan baru bahwa seolah-olah
kemiskinan itu semakin sering dibahas dan didiskusikan, semakin tak kunjung selesai
penyelesaian masalahnya. Namun, mengapa kemiskinan itu tetap menjadi perhatian
dalam evaluasi ini? Ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan: pertama, dari
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
84
dimensi filosofi, kemiskinan itu tidak dikehendaki oleh siapapun. Kemiskinan
merupakan sisi gelap dari kehidupan umat manusia, baik secara individual maupun
kelompok, kondisi kemiskinan menyebabkan seseorang atau kelompok orang sulit
mencapai kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan kerja produktif yang
menguntungkan secara ekonomi dan sosial. Karena miskin, seseorang sebagian
waktunya habis tersita hanya untuk mempertahankan survival dalam kehidupannya.
Realitas ini terjadi hampir di semua tempat, termasuk di daerah Provinsi Sulawesi Tengah; kedua, dari dimensi ideologi kemiskinan merupakan tantangan dan sekaligus
masalah krusial yang dihadapi dalam upaya memajukan kesejahteraan sosial,
sehingga setiap kebijakan pengentasan kemiskinan, khususnya di daerah Sulawesi
Tengah, harusnya selalu menjadi prioritas; dan ketiga, dari dimensi empiris
kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bisa terjadi di mana dan kapan saja,
termasuk yang sedang dihadapi di daerah ini.
Memang, mengungkap kemiskinan itu tidak mudah, apalagi bagi mereka yang
sama sekali tidak pernah bergelut dan merasakan hidup miskin. Kemiskinan itu
bukanlah sesuatu yang dengan mudahnya dapat dikuantifikasikan, ia sangat erat
hubungannya dengan nilai-nilai sosial, kultural dan agama. Oleh karena itu, masalah
kemiskinan bersifat multidimensional. Boleh jadi kemiskinan itu adalah sesuatu yang
misterius, kemiskinan itu ada akan tetapi tidak otomatis diakui keberadaannya,
terutama oleh individu-individu yang termasuk atau dimasukkan dalam kategori si
miskin. Dalam evaluasi ini, si miskin atau penduduk miskin yang dijadikan obyek
pembahasan adalah penduduk miskin yang dikriteriakan oleh BPS.
Grafik 2.5.1.1 :
Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
85
Selama periode evaluasi, capaian indikator persentase penduduk miskin relatif
tidak mengalami perubahan yang berarti, baik di Sulawesi Tengah maupun di tingkat
nasional. Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.5.1.1 persentase penduduk miskin
di Sulawesi Tengah pada Tahun 2004 mencapai 21,6 persen, kemudian menurun
menjadi 20,75 persen pada Tahun 2008. Di tengah periode evaluasi, yaitu pada
Tahun 2006, persentase penduduk miskin terjadi kenaikan yang cukup signifikan
menjadi 23,63 persen. Pola perubahan indikator persentase penduduk miskin juga
berlaku di tingkat nasional. Tampaknya, kenaikan ini disebabkan oleh dampak
berantai dari kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik yang terjadi pada Tahun 2005.
2.5.1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka
Dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial, tingkat pengangguran
terbuka dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kinerjanya. Makin tinggi tingkat
pengangguran terbuka dalam suatu masyarakat, makin tidak sejahtera masyarakat
tersebut. Dalam evaluasi ini tidak membahas tentang apa dan mengapa
pengangguran terbuka itu ada dan terjadi, melainkan hanya ingin membandingkan
kenyataan yang terjadi di Daerah Sulawesi Tengah dengan di tingkat nasional.
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.5.1.2 , capaian indikator tingkat
pengangguran terbuka di daerah Sulawesi Tengah menunjukkan tren yang menurun,
walaupun di tengah periode evaluasi terjadi kenaikan yang cukup signifikan.
Grafik 2.5.1.2 Perkembangan Pengangguran Terbuka
Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
86
Pada awal periode evaluasi, Tahun 2004, capaian indikator ini sebesar 5,85
persen dan kemudian menurun menjadi 5,45 persen di akhir periode evaluasi, Tahun
2008. Naiknya pengangguran terbuka pada Tahun 2006 tampaknya juga turut
disebabkan oleh dampak berantai dari kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik yang
terjadi pada Tahun 2005.
2.5.1.3 Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak (terlantar, jalanan, balita terlantar, dan nakal)
Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya
mencapai tujuan nasional yang diamanatkan dalam UUD 45. Di dalam sila ke-5
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dinyatakan
bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofi
bangsa, karenanya setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh
keadilan sosial yang sebaik-baiknya, termasuk anak-anak terlantar, anak jalanan,
balita terlantar dan anak nakal. Selama periode evaluasi, capaian indikator persentase
pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak relatif tidak mengalami perubahan yang
berarti, khususnya di daerah Sulawesi Tengah.
Grafik 2.5.1.3:
Perkembangan Presentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak (terlantar, jalanan, balita terlantar, dan nakal)
Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.5.1.3 persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak di Sulawesi Tengah pada Tahun 2004 mencapai 2,4
persen, kemudian menurun menjadi 2,14 persen pada Tahun 2008. Berbeda halnya di
tingkat nasional, capaian indikator pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
87
menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Pada Tahun 2004 mencapai 2,18 persen,
kemudian menurun menjadi 1,25 persen pada Tahun 2008.
2.5.1.4 Persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia
Pelayanan kesejahteraan sosial bagi kelompok penduduk lanjut usia adalah
merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan nasional sebagaimana diamanatkan
dalam UUD 45. Atas dasar itulah, maka setiap Warga Negara Indonesia, khususnya
kelompok lanjut usia (LANSIA) berhak memperoleh keadilan sosial yang sebaik-baiknya,
termasuk pelayanan kesejahteraan sosialnya.
Selama periode evaluasi, capaian indikator persentase pelayanan kesejahteraan
sosial bagi kelompok penduduk LANSIA mengalami perubahan, baik di Sulawesi
Tengah maupun di tingkat nasional. Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.5.1.4
persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi kelompok penduduk LANSIA di
Sulawesi Tengah mencapai 2,15 persen pada Tahun 2004, kemudian menurun menjadi
1,5 persen pada Tahun 2008.
Di tingkat nasional, capaian indikator persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi
kelompok penduduk lanjut usia menurun dari 1,42 persen pada Tahun 2004 menjadi
0,72 persen pada Tahun 2008.
Grafik 2.5.1.4:
Perkembangan Presentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia Di Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
2.5.1.5 Persentase Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
88
Dalam sila ke-5 Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara
jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi salah satu
filosofi bangsa, karenanya setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh
keadilan sosial yang sebaik-baiknya, termasuk wanita tuna susila, anak terlantar dan
penyandang masalah sosial lainnya. Dalam kaitan ini, pelayanan dan rehabilitasi sosial
adalah merupakan bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan social sebagaimana
dimaksudkan di atas.
Selama ini pemerintah bersama masyarakat telah berusaha secara sungguh-
sungguh mewujudkan tata kehidupan dan penghidupan sosial, baik secara materil
maupun spirituil. Berbagai pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada kelompok
sasaran seperti anak-anak terlantar, wanita tunasusila dan kelompok lainnya seperti
memberikan pembekalan keterampilan seperti tata rias, menjahit, pertukangan,
elektronik, dan otomotif serta kemandirian berusaha dan sebagainya tidak lain
dimaksudkan untuk mencapai kehidupan sosial yang makin baik.
Grafik 2.5.1.5: Perkembangan Presentase pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Di Sulawesi Tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Selama periode evaluasi, capaian indikator persentase pelayanan dan
rehabilitasi sosial mengalami perubahan yang signifikan, khususnya di daerah Sulawesi
Tengah. Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2.5.1.5 persentase pelayanan dan
rehabilitasi sosial di Sulawesi Tengah pada Tahun 2004 mencapai 31,86 persen,
kemudian menurun menjadi 27,03 persen pada Tahun 2008.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
89
Hal yang sama juga terjadi di tingkat nasional, capaian indikator pelayanan dan
rehabilitasi sosial menunjukkan tren penurunan yang relatif lamban, dari sekitar 1,00
persen pada Tahun 2004 menurun menjadi 0,74 persen pada Tahun 2008.
2.5.2. CAPAIAN INDIKATOR OUTCOMES PROVINSI DIBANDINGKAN DENGAN CAPAIAN INDIKATOR OUTCOMES NASIONAL
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai capaian indikator kesejahteraan sosial
sebagai berikut: 1) capaian indikator kesejahteraan sosial di Daerah Provinsi Sulawesi
Tengah relatif rendah dibandingkan dengan capaian indikator kesejahteraan sosial di
tingkat nasional; 2) selama periode evaluasi 2004-2008, nilai capaian indikator tersebut
menunjukkan tren yang terus menaik, baik di Daerah Sulawesi Tengah maupun dalam
skala nasional dengan arah dan pola perubahan yang sama. Tren dan pola perubahan
capaian indikator tersebut mengindikasikan bahwa tingkat keberhasilan pembangunan
kesejahteraan sosial di daerah Sulawesi Tengah sangat ditentukan oleh keberhasilan
pembangunan kesejahteraan sosial di tingkat nasional.
Grafik 2.5.2: Capaian Indikator Kesejahteraan Sosial
Sulawesi tengah dan Indonesia, Tahun 2004-2008
Hal ini dapat dijelaskan bahwa selama ini program-program pembangunan
kesejahteraan sosial di Daerah Sulawesi Tengah sebagian besar pendanaannya
bersumber dari dana APBN. Kondisi sebaliknya dimana capaian indikator kesejahteraan
sosial di daerah ini melebihi tingkat capaian indikator di tingkat nasional dapat saja terjadi
manakala ada komitmen yang kuat dari pemimpin daerah dan dukungan dana daerah
yang memadai untuk pembiayaan pembangunan kesejahteraan sosial.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
90
2.5.3 ANALISIS RELEVANSI
Analisis relevansi terhadap nilai capaian indikator pendukung tingkat
kesejahteraan sosial di Daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional, diperoleh hasil
sebagai berikut:
1. Capaian indikator persentase penduduk miskin di daerah ini walaupun masih lebih
tinggi jika diperbandingkan dengan capaian indikator persentase penduduk miskin di
tingkat nasional namun menunjukkan kinerja yang terus membaik. Jika capaian
indikator ini dibandingkan dengan target persentase penduduk miskin sebesar 18
pesen sebagaimana tertuang dalam RPJMD Sulawesi Tengah 2006-2011, maka
relevansinya cukup tinggi terhadap upaya penanggulanaan kemiskinan.
2. Capaian indikator pengangguran terbuka di daerah ini sudah di bawah capaian
indikator pengangguran terbuka di tingkat nasional. Jika diperbandingkan dengan
target pengangguran terbuka sebesar 4 - 6 persen sebagaimana tertuang dalam
RPJMD 2006-2011 maka relevansinya sangat tinggi terhadap upaya penurunan
angka pengangguran terbuka.
3. Capaian indikator pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak di daerah ini secara
kualitatif tidak lebih baik jika diperbandingkan dengan capaian di tingkat nasional.
Jika capaian indikator ini dibandingkan dengan sasaran terbinanya kesejahteraan
sosial, fakir miskin dan komunitas adat terpencil, rehabilitasi sosial penyandang
cacat, penanggulangan korban bencana, pembinaan kesejahteraan sosial keluarga,
anak terlantar dan lanjut usia terlantar sebagaimana tertuang dalam RPJMD
Sulawesi Tengah 2006-2011, maka relevansinya rendah terhadap upaya pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak.
4. Capaian indikator persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi kelompok
penduduk lanjut usia di daerah ini masih tidak lebih baik jika diperbandingkan
dengan capaian indikator persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi kelompok
penduduk lanjut usia di tingkat nasional. Jika capaian indikator ini dibandingkan
dengan sasaran pembangunan kesejahteraan sosial sebagaimana tertuang dalam
RPJMD Sulawesi Tengah 2006-2011, maka dinilai tidak cukup relevan terhadap
upaya pembangunan kesejahteraan sosial di daerah ini.
5. Capaian indikator persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial di daerah ini masih
tidak lebih baik jika diperbandingkan dengan capaian indikator persentase
pelayanan dan rehabilitasi sosial di tingkat nasional. Jika capaian indikator ini
dibandingkan dengan sasaran pembangunan kesejahteraan sosial sebagaimana
tertuang dalam RPJMD Sulawesi Tengah 2006-2011, maka dinilai tidak cukup
relevan dalam mendukung pembangunan kesejahteraan sosial di daerah ini.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
91
2.5.4 ANALISIS EFEKTIVITAS
Analisis efektifitas terhadap capaian indikator pendukung tingkat kesejahteraan sosial
di daerah Sulawesi Tengah dan di tingkat nasional, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Menurunnya capaian indikator persentase penduduk miskin di daerah ini ternyata
tidak lebih baik jika diperbandingkan dengan capaian indikator secara nasional.
Namun demikian, capaian indikator ini menunjukkan adanya perbaikan atau
peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga dinilai sangat efektif dalam
mendukung pencapaian tujuan pembangunan, khususnya dalam pengentasan
kemiskinan.
2. Menurunnya capaian indikator pengangguran terbuka di daerah ini ternyata lebih baik
jika diperbandingkan dengan capaian indikator secara nasional. Capaian indikator ini
juga disertai dengan adanya perbaikan atau penurunan angka pengangguran
terbuka dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga dinilai sangat efektif dalam
mendukung pencapaian tujuan pembangunan, khususnya dalam menekan tingkat
pengangguran terbuka.
3. Menurunnya capaian indikator pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak di daerah ini
ternyata tidak lebih baik jika diperbandingkan dengan capaian indikator secara
nasional. Namun demikian, capaian indikator ini menunjukkan adanya perbaikan
atau peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga dinilai cukup efektif dalam
mendukung pencapaian tujuan pembangunan, khususnya dalam pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak.
4. Menurunnya capaian indikator persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi
kelompok penduduk lanjut usia di daerah ini ternyata tidak lebih baik jika
diperbandingkan dengan capaian indikator secara nasional. Ditambah lagi, capaian
indikator ini tidak menunjukkan adanya perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya,
sehingga dinilai tidak efektif dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan,
khususnya dalam pelayanan kesejahteraan sosial bagi kelompok penduduk lanjut
usia.
5. Menurunnya capaian indikator persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial di daerah
ini ternyata tidak lebih baik jika dirbandingkan dengan capaian indikator secara
nasional. Ditambah lagi, capaian indikator ini tidak menunjukkan adanya perbaikan
dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga dinilai tidak efektif dalam upaya mencapai
tujuan pembangunan, khususnya dalam pelayanan kesejahteraan sosial bagi
kelompok penduduk sasaran.
2.5.5. ANALISIS CAPAIAN INDIKATOR SPESIFIK DAN MENONJOL
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
92
Setelah memperhatikan hasil analisis relevansi dan efektivitas sejumlah indikator
pendukung dari indikator tingkat kesejahteraan sosial di Sulawesi Tengah, dalam hal ini
mencakup capaian indikator persentase penduduk miskin, pengangguran terbuka,
pelayanan dan rehabilitasi sosial, persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi
lanjut usia, dan persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak. Dari indikator-
indikator pendukung di atas, persentase penduduk miskin akan dikaji sebagai indikator
spesifik dan menonjol. Indkator pendukung ini menarik untuk di kaji karena dalam kenyataannya hingga Tahun 2008 seperlima penduduk Sulawesi Tengah berada di
bawah garis kemiskinan, semetara target RPJMD Sulawesi Tengah pada Tahun 2011
persentase penduduk miskin sekitar 17-18%.
Sejak diberlakukannya undang-undang tentang pemerintahan daerah,
penanggulangan kemiskinan menjadi salah satu perhatian utama pembangunan
nasional dan daerah. Seharusnya hal tersebut dijadikan momentum dan peluang untuk
mewujudkan desentraliusasi pembangunan yang sensitif terhadap persoalan lokal.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, sayangnya
pencapaian program penanggulangan baik secara nasional dan maupun daerah belum
sepenuhnya berhasil.
Penanggulangan atau pengentasan kemiskinan selama otonomi daerah
diberlakukan belum mampu manjawab masalah kemiskinan secara menyeluruh dan
tuntas, karena: 1) Program tidak tepat sasaran; 2) Program tidak bertahan lama; 3)
Program dipaksakan terhadap penduduk miskin; dan Program tidak diakses karena
hambatan struktual.
Ada juga menyatakan penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan bersifat
karitatif (Charity) yang cenderung menjadikan orang miskin semakin tergantung pada
bantuan pihak luar dan sangat sedikit sekali program penangulangan kemksikinan yang
benar-benar memenuhi tujuan pemberdayaan penduduk di bawah garis kemiskinan. Ini
berarti program pengentasan kemiskinan tidak bertumpu pada komunitas setempat.
Akibatnya perekonomian mereka rentan dan mereka dengan mudah kembali berada di
bawah garis kemiskinan ketika ada kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-poor
seperti kenaikan BBM, TDL dll. Faktor lain berkaitan dengan kelemahan organisai
pelaksana seperti pemerintah lokal dan pemerintah kelurahan atau desa. Oleh karena
itu diperlukan strategi baru untuk mengentaskan kemiskinan yang menggunakan
potensi sosial lokal untuk membantu orang miskin terbebas dari kemiskinannya.
Strategi yang dikembangkan termasuk dalam community based development dengan
menggunakan potensi lokal setempat.
Secara eksplisit dalam prioritas pembangunan daerah Sulawesi Tengah
dicantumkan tentang Penanggulangan Kemiskinan, yang pelaksanaannya
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
93
dilaksanakan secara terus menerus sehingga masyarakat miskin di Sulawesi Tengah
berangsur angsur dapat ditekan seminimal mungkin. Prioritas ini difokuskan pada :
1. Pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin atas pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi.
2. Revitalisasi pelayanan KB dan keselamatan ibu melahirkan (save mother hood)
3. Penanganan gizi buruk
4. Pemberdayaan usaha mikro
Walaupun upaya pengurangan jumlah dan persentase penduduk di bawah garis
kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tengah, terus digalakkan namun harus diakui bahwa
masih sangat diperlukan upaya keras untuk dapat menurunkan jumlah penduduk miskin
tersebut. Bilamana program prioritas yang dicanangkan tersebut tepat sasaran dan
berkelanjutan maka target penurunan persentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah
sebesar 17-18 persen (target RPJMD) pada Tahun 2011 diperkirakan akan tercapai.
Dalam RPJMD Sulawesi Tengah Tahun 2006-2011, pengentasan kemiskinan
menduduki prioritas pertama. Dengan menempatkannya pada priorits utama,
seharusnya persentase penduduk miskin ditargetkan turun setengahnya (sekitar 10-
12%) sebagaimana tercantum dalam RPJMD (sebelum di revisi). Dalam RPJMD
(sebelum di revisi) tercantum: “Sasaran yang ingin dicapai berdasarkan Visi
Penanggulangan Kemiskinan di Propinsi Sulawesi Tengah yaitu ”Terwujudnya
penurunan 12 % angka kemiskinan pada Tahun 2011 melalui upaya terpadu dari
semua stakeholder menuju keluarga mandiri, adil dan sejahtera”. Sasaran ini
dijabarkan lebih lanjut melalui:
a. Tersedianya pangan yang bermutu dan terjangkau, serta meningkatnya status gizi
masyarakat, terutama ibu, bagi dan anak balita.
b. Tersedianya pe!ayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan tanpa diskriminasi
gender.
c. Tersedianya pelayanan pendidikan dasar yang bermutu, terjangkau dan tanpa
diskriminasi gender.
d. Tersedianya lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta meningkatnya
kemampuan pengernbangan usaha tanpa diskriminasi gender.
e. Tersedianya perumahan yang layak dan lingkungan permukiman yang sehat.
f. Tersedianya air bersih dan sanitasi dasar yang baik.
g. Terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan hak komural atas tanah.
h. Terbukanya akses masyarakat miskin dalam pengolahan dan pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
94
i. Terjaminnya rasa aman dari gangguan keamanan dan tindak kekerasan terutama di
daerah konflik (Kabupaten Poso).
j. Terjaminya partisipasi masyarakat miskin dan keseluruhan proses pembangunan.
2.5.6. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan beberapa capaian indikator pendukung tingkat kesejahteraan sosial
dan hasil analisis capaian indikator spesifik dan menonjol dalam upaya peningkatan
kesejahteraan sosial, diajukan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
Penanggulangan Kemiskinan:
1. Upaya penanggulangan kemiskinan, hendaknya ditempuh secara simultan melalui
beragam aktivitas lintas sektoral dalam satu rentang kendali dan koordinasi,
dilaksanakan secara tepat waktu dan tepat sasaran secara berkelanjutan;
2. Penanggulangan kemiskinan berbasis asset di Sulawesi Tengah diperlukan
pendekatan lokal yang spesifik sesuai dengan karakteristik asset, kemampuan
absorbsi, dan permasalahan spesifik pada kelompok masyarakat miskin itu sendiri;
3. Mengintensifkan dan mengefektifkan penerapan sistem perlindungan sosial bagi
warga miskin;
4. Penguatan kelembagaan pelayanan social untuk mempercepat penyelesaian
berbagai masalah sosial;
5. Memberdayakan potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang terdapat dalam
masyarakat, kondisi alam, dan tatanan sosial masyarakat setempat; dan
6. Meningkatkan kepedulian masyarakat dengan berpartisipasi aktif dalam kerja-kerja
kemanusian yang terkait dengan penyelesaian berbagai masalah sosial.
Pengangguran Terbuka:
1. Memacu pertumbuhan ekonomi daerah melalui upaya penguatan kapasitas
individual dan kelompok sasaran yang potensial untuk berwirausaha;
2. Memacu investasi yang mampu menyerap tenaga kerja lebih tinggi.
3. Memperkuat kapasitas pekerja dan pelaku ekonomi sektor UMKM melalui program
pengembangan soft competencies, dan fasilitasi kredit UMKM.
Pelayanan Kesejahteraan Sosial:
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
95
1. Mengintensifkan dan mengefektifkan penerapan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.
2. Penguatan kelembagaan pelayanan social dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial.
3. Sebagai penunjang keberhasilan Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial adalah menggali dan memberdayakan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang terdapat dalam unsur masyarakat, kondisi alam, dan tatanan sosial masyarakat setempat.
4. Diperlukan peningkatan kepedulian masyarakat dengan berpartisipasi aktif dalam kerja-kerja kemanusian yang terkait dengan penyelesaian berbagai masalah sosial.
BAB III P E N U T U P
3.1 K E S I M P U L A N
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja pembangunan daerah Sulawesi
Tengah selama periode 2004-2008, yang meliputi analisis terhadap beberapa indikator
outcome: tingkat layanan publik dan demokrasi; tingkat kualitas sumberdaya manusia;
tingkat pembangunan ekonomi; tingkat pengelolaan sumberdaya alam; dan indikator
outcome tingkat kesejahteraan sosial, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kualitas kehidupan demokrasi di daerah Provinsi Sulawesi Tengah semakin
meningkat dan berkembang. Pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif, Pemilihan
Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah disambut dengan semarak oleh
masyarakat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya partisipasi rakyat dalam pesta
demokrasi tersebut. Namun harus dicermati agar jangan sampai muncul kebosanan
dan hilangnya kepercayaan dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pesta
demokrasi tersebut;
2. Berbagai tuntutan masyarakat terhadap layanan publik yang semakin mudah,
terjangkau, efisien, efektif dan dengan berbagai kenyamanan disahuti oleh
Pemerintah Daerah melalui berbagai regulasi yang memiliki keberpihakan kepada
masyarakat. Peranserta perempuan dalam berbagai bidang khususnya di bidang
pemerintahan dan politik semakin meningkat seiring dengan pengejawantahan
konsep kesetaraan jender;
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
96
3. Kondisi infrastruktur (khususnya infrastruktur jalan dan jembatan) di Sulawesi Tengah
pada umumnya mengalami kerusakan. Kerusakan ini akibat perubahan iklim yang
ekstrim, dan ulah para pelaku illegal logging yang menyebabkan banjir bandang di
beberapa tempat hingga merusak beberapa badan jalan dan jembatan;
4. Keterbatasaan energi listrik akibat kekurangan daya menyebabkan aktivitas
ekonomi masyarakat terganggu dan rusaknya berbagai perabot rumah tangga
masyarakat dan rumahtangga pemerintah, sehingga terjadi lonjakan biaya
operasional yang cukup tinggi;
5. Dalam hal layanan publik di sektor pendidikan dan kesehatan, permasalahan akses,
pemerataan, dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan masih
sangat dominan dihadapi oleh sebagian besar warga masyarakat;
3.2 REKOMENDASI
Berdasarkan beberapa kesimpulan dari hasil evaluasi terhadap kinerja
pembangunan daerah Sulawesi Tengah selama periode 2004-2008, diajukan beberapa
rekomendasi sebagai berikut:
3.2.1 Peningkatan Pelayanan Publik dan Demokrasi
Mencermati perkembangan dan trend pelayanan publik dan demokrasi yang
diukur dari indikator penanganan kasus korupsi, aparat yang berijasah minimal S-1,
pelayanan satu atap, GDI, GEM, Partisipasi Politik masyarakat dalam Pemilu Legislatis,
Pilkada dan Pilpres, maka direkomendasikan kebijakan sebagai berikut:
5. Penanganan kasus-kasus Korupsi yang dilaporkan perlu terobosan berupa
peningkatan peran dari institusi penegak hukum dalam hal koordinasi antara KPK,
Kepolisian dan Kejaksaan disatu pihak dan aparat auditor dengan pihak penyidik
dalam hal ini Bawasda, Inspektorat, BPKP dan BPK agar terjadi satu sinergisitas
dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Yang tidak kalah pentingnya
adalah diperlukannya semacam perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi pada
tingkat daerah;
6. Dalam rangka meningkatkan tingkat pendidikan Aparatur Pemerintah Daerah,
maka kerjasama dengan lembaga penyelenggara pendidikan perlu terus
ditingkatkan, dan pemerintah daerah pada tingkat propinsi dan kabupaten perlu
menyediakan dukungan pembiayaan dalam bentuk beasiswa bagi aparat yang
akan melanjutkan jenjang pendidikannya;
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
97
7. Upaya pelayanan satu atap agar pemerintah Provinsi diharapkan melakukan
terobosan melalui regulasi sistem pelayanan yang cepat dan murah dengan
menerbitkan Keputusan/instruksi Gubernur tentang pelayanan satu atap kepada
pemerintah daerah sambil mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota bersama
DPRD menerbitkan Peraturan Daerah tentang pelayanan satu atap;
8. Capaian dalam bidang pembangunan demokrasi yang positif perlu terus menerus
ditingkatkan terutama yang terkait dengan GDI dan GEM yang masih berada di
bawah rata-rata tren nasional melalui kebijakan sebagai berikut:
4) Mengoptimalkan program pendidikan keluarga dan pelayanan kesehatan
yang dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat;
5) Pendidikan politik bagi perempuan disinergikan melalui program pemberdayaan
perempuan dan keluarga;
6) Peningkatan partisipasi politik yang semakin membaik harus terus menerus
dioptimalkan melalui pendidikan politik yang melibatkan multi stakeholders.
3.2.2 Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Berdasarkan beberapa capaian nilai indikator pendukung tingkat kualitas sumberdaya manusia dan hasil analisis capaian indikator spesifik dan menonjol terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, diajukan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
9. Dalam kurun waktu tersisa, RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Tahun 2006-2011, diharapkan adanya penguatan sinergitas antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dengan seluruh stakeholders pendidikan dan kesehatan untuk mempercepat perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan yang lebih partisipatif, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, mengelola sumber dana secara efisien dan memberikan pelayanan publik bidang pendidikan dan kesehatan secara lebih efektif dengan menerapkan standar pelayanan minimal, sehingga dapat diukur kinerja pemerintah daerah dalam meningkatkan akses dan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
10. Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan penyelenggaraan pendidikan, mutu tenaga pendidik/guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, tata usaha, laboran, pustakawan, pengawas) serta peningkatan ketersediaan, kualitas dan kesejahteraan pendidik. hendaknya lebih diperhatikan lagi agar penuntasan wajar DIKDAS sembilan tahun dan pembangunan pendidikan dapat dipercepat di Provinsi Sulawesi Tengah.
11. Untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan, meningkatkan jumlah dan mutu tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, asisten
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
98
apoteker, sarjana kesehatan masyarakat (SKM), bidan, penunjang kesehatan, perawat, perawat gigi dan sanitarian serta peningkatan ketersediaan, kualitas dan kesejahteraan tenaga kesehatan hendaknya lebih diprioritaskan agar visi menuju Indonesia Sehat Tahun 2015 dapat dipercepat di Provinsi Sulawesi Tengah.
12. Peningkatan akses, pemerataan pelayanan dan relevansi pendidikan menengah dan tinggi yang berkualitas, serta peningkatan pendidikan luar sekolah.
13. Peningkatan akses, pemerataan, keterjangkauan dan kualitas layanan kesehatan terutama bagi masyarakat di perdesaan perlu diprioritaskan.
14. Upaya peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan, terutama untuk layanan kesehatan dasar di daerah terpencil dan tertinggal perlu diprioritaskan.
15. Penanganan masalah gizi kurang/buruk pada ibu hamil, bayi dan anak balita harus secara terus menerus mendapat penanganan secara serius.
16. Perlunya penguatan dan penajaman program KB yang sudah berjalan dan secara langsung menyentuh pada sasaran program.
3.2.3 Pembangunan Ekonomi Berdasarkan beberapa capaian nilai indikator pendukung tingkat pembangunan
ekonomi dan hasil analisis capaian indikator spesifik dan menonjol terkait dengan upaya
percepatan pembangunan ekonomi, diajukan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai
berikut:
7. Sangat perlu dan segera dilakukan peningkatan investasi pemerintah dalam upaya
perbaikan kualitas berbagai infrastruktur jalan sebagai penunjang perkembangan
aktivitas ekonomi, disamping itu diperlukan pula peningkatan aksesibilitas pelayanan
transportasi yang terjangkau bagi masyarakat banyak;
8. Dalam upaya perbaikan kualitas berbagai infrastruktur jalan tersebut hendaknya
disertai dengan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dengan pihak instansi teknis
terkait di daerah Provinsi dan Kabupaten agar dicapai suatu perbaikan dan
peningkatan kualitas berbagai infrastruktur jalan tersebut secara simultan sehingga
dapat menghubungkan daerah-daerah kantong produksi dengan pasar secara lebih
mudah, murah dan efisien;
9. Untuk dapat menarik investor menanamkan modalnya di Sulawesi Tengah, sangat
mendesak untuk segera menyelesaikan penyediaan energi listrik, sembari
menemukenali energi terbarukan dan diperlukan intervensi kebijakan dalam
peningkatan pemerataan pelayanan listrik bagi masyarakat, terutama di wilayah
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
99
perdesaan, disamping itu diperlukan pula tambahan regulasi yang terkait dengan
layanan satu atap untuk kepentingan perizinan dunia usaha;
10. Agar pertumbuhan ekonomi dapat memiliki efek multiplier yang tinggi, pemerataan, dan
keberlanjutan, pengembangan ekonomi perlu diarahkan pada peningkatan aktivitas
sektor riil;
11. Untuk dapat meningkatkan daya saing daerah dan peningkatan ekspor (non migas),
diperlukan kebijakan pembangunan ekonomi yang disesuaikan dengan karakteristik
dan potensi sumberdaya serta keunggulan masing-masing wilayah, disamping itu
pengembangan ekonomi harus diarahkan pada keterkaitan aktivitas rantai industri;
12. Diperlukan intervensi kebijakan dalam menciptakan pemerataan pendapatan
antarwilayah yang dapat dilakukan antara lain dengan peningkatan peran sektor riil
yang berbasis kepada potensi unggulan wilayah sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat wilayah tersebut.
3.2.4 Pengelolaan Sumberdaya Alam
Berdasarkan beberapa capaian nilai indikator pendukung tingkat pengelolaan
sumberdaya alam dan hasil analisis capaian indikator spesifik dan menonjol terkait dengan
upaya pengelolaan sumberdaya alam, diajukan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai
berikut:
10. Program pelibatan masyarkat dalam konteks konservasi dan rehabilitasi lahan kritis
perlu terus menerus ditingkatkan.
11. Pengembangan kawasan konservasi hutan, tanah dan air yang berbasis pada
masyarakat perlu terus dikembangkan;
12. Penyelesaian kasus perambahan kawasan lindung dan taman nasional perlu segera
diselesaikan agar ada kepastian hukum dengan pelibatan multi stakeholder seperti
Pemerintah, Perguruan Tinggi, LSM, Tokoh masyarakat dan agama;
13. Penegakan atas kasus-kasus yang melibatkan pengusaha dan masyarakat agar
dilakukan dengan tegas, tepat dan elegan.
3.2.5 Kesejahteraan Sosial
Penanggulangan Kemiskinan:
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
100
7. Upaya penanggulangan kemiskinan, hendaknya ditempuh secara simultan melalui
beragam aktivitas lintas sektoral dalam satu rentang kendali dan koordinasi,
dilaksanakan secara tepat waktu dan sasaran serta berkelanjutan.
8. Penanggulangan kemiskinan berbasis asset di Sulawesi Tengah diperlukan
pendekatan lokal yang spesifik sesuai dengan karakteristik asset, kemampuan
absorbsi, dan permasalahan spesifik pada kelompok masyarakat miskin itu sendiri;
9. Meingkatkan dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi warga miskin;
10. Penguatan kelembagaan pelayanan social;
11. Diperlukan program/kegiatan yang lebih tajam dalam menyelesaikan berbagai
masalah social;
12. Sebagai penunjang keberhasilan Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam
Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial adalah menggali dan
memberdayakan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang terdapat dalam
unsur masyarakat, kondisi alam, dan tatanan sosial masyarakat setempat; dan
13. Diperlukan peningkatan kepedulian masyarakat dengan berpartisipasi aktif dalam
kerja-kerja kemanusian yang terkait dengan penyelesaian berbagai masalah sosial.
Pengangguran Terbuka:
4. Diperlukan kebijakan agar pertumbuhan ekonomi dapat mendorong penurunan
tingkat pengangguran terbuka;
5. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mengandalkan investasi
pemerintah dan swasta yang mampu menyerap tenaga kerja lebih tinggi.
6. Menciptakan lapangan dengan mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan yang
berproduktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi dengan
meningkatkan kualitas dan kompetensi pekerja, serta mendorong sektor informal
melalui fasilitas kredit UMKM.
7. Perlu upaya yang lebih intensif dalam meningkatkan keterampilan tenaga kerja .
Pelayanan Kesejahteraan Sosial:
5. Meingkatkan dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat
miskin.
6. Penguatan kelembagaan pelayanan sosial
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH TAHUN 2009 |
101
7. Diperlukan program/kegiatan yang lebih tajam dalam menyelesaikan berbagai
masalah sosial.
8. Sebagai penunjang keberhasilan Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam
Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial adalah menggali dan
memberdayakan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang terdapat dalam
unsur masyarakat, kondisi alam, dan tatanan sosial masyarakat setempat.
9. Diperlukan peningkatan kepedulian masyarakat dengan berpartisipasi aktif dalam
kerja-kerja kemanusian yang terkait dengan penyelesaian berbagai masalah sosial.