laporan akhir pengabdian pada...
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
OPTIMALISASI MUSYAWARAH DESA DALAM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DESA YANG BERKELANJUTAN
KETUA/ANGGOTA TIM:
Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. (NIDN. 0029045802)
Dr. Ali Abdurahman, S.H., M.H. (NIDN. 004125802)
Mei Susanto, S.H., M.H. (NIDN. 0005058506)
Mohammad Safrin (NPM. 110120170010)
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS HUKUM
NOVEMBER 2018
i
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
Judul : Optimalisasi Musyawarah Desa Dalam
Perencanaan Pembangunan Desa Yang
Berkelanjutan Pelaksana
Ketua
Nama Lengkap : Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. a. NIDN : 0029045802
b. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala c. Program
Studi/Fakultas
: Ilmu Hukum/Fakultas Hukum
d. Nomor HP : 08112285840
e. Alamat surel (e-mail) : [email protected] / [email protected]
Anggota (1) Nama Lengkap : Dr. Ali Abdurahman, S.H., M.Hum.
a. NIDN : 004125802 b. Program
Studi/Fakultas
: Ilmu Hukum/Fakultas Hukum
Anggota (2)
Nama Lengkap : Mei Susanto, S.H., M.H. a. NIDN : 0005058506
b. Program
Studi/Fakultas
: Ilmu Hukum/Fakultas Hukum
Anggota (3)
Nama Lengkap : Mohamad Safrin, S.H. a. NPM : 110120170010
b. Program Studi/Fakultas
: Mahasiswa Pascasarjana (S2) /Fakultas Hukum
Institusi Mitra : Pemerintahan Desa
Nama Institusi Mitra : Desa Linggawangi Alamat : Jl. Kancana No. 38, Desa Linggawangi Kecamatan
Leuwi Sari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat Penanggung Jawab : Alam Sungkawa (Kepala Desa Linggawangi)
Tahun Pelaksanaan : Tahun ke-1 dari rencana 1 tahun Biaya Tahun Berjalan : Rp. 15.000.000,-
Biaya Keseluruhan : Rp. 15.000.000,-
Bandung, 13 November 2018 Menyetujui
Dekan,
Prof. Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M NIP 19600113 198601 2 001
Ketua Peneliti,
Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. NIP. 19580429 198601 1 001
ii
KATA PENGANTAR
Dokumen yang ada di hadapan anda merupakan Laporan Akhir Pengabdian Pada
Masyarakat (PPM) dari dana Hibah Internal Unpad yang merupakan satu kesatuan
dengan Riset Kompetensi Dosen dengan judul “Pola Perencanaan Pembangunan Model
GBHN dalam Sistem Pemerintahan Presidensil: Perbandingan Dengan Amerika Serikat,
Brasil, Korea Selatan dan Filipina”. Jika dilihat dari riset tersebut, maka implementasi
PPM yang dilakukan kepada negara sulit untuk dapat dilakukan, karena sedianya bukan
pengabdian pada masyarakat, malah justru pengabdian pada pemerintah. Adapun
pengabdian pada pemerintah tentu merupakan suatu hal yang berbeda konteksnya dengan
maksud dan tujuan kewajiban PPM. Karena itu, untuk menurunkan tema riset tersebut
menjadi dapat dilakukan PPM pada masyarakat, maka tema yang dipergunakan adalah
“Optimalisasi Musyawarah Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan”.
Tema PPM tersebut sengaja dipilih untuk dapat melakukan revitalisasi dan
optimalisasi musyawarah desa yang sebenarnya telah terlembagakan dalam bentuk Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), namun sering tidak optimal karena belum melibatkan
masyarakat secara partisipatif dan deliberatif. Adapun desa yang dipilih adalah Desa
Linggawangi Kecamatan Leuwi Sari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. PPM tersebut
telah terlaksana pada Sabtu, 3 November 2018 dengan langsung bertemu dengan Kepala
Desa, Pengurus Desa, Anggota BPD Desa, Perwakilan Dusun, RT dan RW, bahkan
Camat Leuwi Sari datang. Dalam kegiatan tersebut, banyak masukan dan input yang
secara langsung dirasakan oleh peserta, karena Tim PPM memberikan alternatif
penggunaan design thinking dalam upaya meningkatkan optimalisasi musyawarah desa.
Sehingga, pendekatakan meningkatkan musyawarah, tidak hanya berbasiskan pola yang
biasa, melainkan juga inovasi-inovasi yang dihasilkan dari oleh pikir dalam design
thinking. Juga sebaliknya, Tim PPM mendapatkan masukan yang berharga, berkaitan
dengan persoalan keterlibatan masyarakat yang semakin menurun, khususnya dalam
gotong royong pendanaan kegiatan desa sebagai akibat dari adanya dana desa dari
pemerintah. Hal ini menimbulkan persoalan baru, bahwa dana desa ternyata dapat
menimbulkan ketergantungan, bukan kemandirian yang diharapkan. Karenanya,
diperlukan model pendekatan kebijakan lain, sehingga aspek gotong royong masyarakat
desa masih berjalan dengan baik, namun sekaligus meningkatkan kemandirian dalam
pendanaan desa tersebut.
Semoga PPM yang sedang dan akan dilakukan ini bermanfaat baik sebagai bentuk
implementasi riset yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat.
Bandung, 3 Desember 2018
Tim PPM pada Riset Kompetensi Dosen Unpad
iii
DAFTAR ISI
Table of Contents
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR ...................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB I ................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
BAB II .............................................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 4
A. Perencanaan Pembangunan ................................................................................ 4
B. Musyawarah Dan Demokrasi ............................................................................. 7
C. Derajat Partisipasi .............................................................................................. 9
D. Design Thinking Dalam Pemecahan Masalah ................................................. 12
BAB III ........................................................................................................................... 15
MATERI DAN METODE PELAKSANAAN ............................................................... 15
A. Kerangka Pemecahan Masalah ........................................................................ 15
B. Realisasi Pemecahan Masalah ......................................................................... 15
C. Khalayak Sasaran ............................................................................................. 15
D. Metode yang Digunakan (Tahapan Kegiatan) ................................................. 15
BAB IV ........................................................................................................................... 16
PELAKSANAAN KEGIATAN PPM ............................................................................ 16
A. Penentuan Lokasi PPM .................................................................................... 16
B. Pelaksanaan PPM ............................................................................................. 19
C. Hasil Yang Diperoleh ...................................................................................... 44
D. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan PPM............................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 54
1
BAB I
PENDAHULUAN
Berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendorong
penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Desa. Pemberian
kewenangan tersebut membawa konsekuensi diperlukannya koordinasi dan pengaturan
untuk menyelaraskan pembangunan, baik di tingkat nasional, daerah sampai dengan desa.
Perencanaan pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang
diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Perwakilan Desa (BPD)
dan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber
daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa. Perencanaan pembangunan
desa sebaiknya memperhatikan hakekat dan sifat desa yang tentu berbeda dengan
otonomi daerah, otonomi daerah merupakan perwujudan asas desentralisasi. Sedangkan
kemandirian desa berangkat dari asas rekognisi (pengakuan dan penghormatan) serta asas
subsidiaritas (lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan atau bisa
disebut sebagai penerapan kewenangan berskala lokal desa).
Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa harus berangkat
dari kewenangan desa dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kab/Kota.
Perencanaan desa bukan sekedar membuat usulan yang disampaikan kepada pemerintah
daerah yang lebih penting perencanaan desa adalah keputusan politik yang diambil secara
bersama oleh pemerintah desa dan masyarakat desa.
Tentang kewenangan desa yang menjadi dasar perencanaan desa dipertegas dalam
pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Adapun pendekatan dalam
perencanaan pembangunan harus sejalan dengan pendekatan yang terdapat dalam UU No.
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN), dimana ada dua
pendekatan, yaitu perencanaan pembangunan partisipatif atas-bawah (top-down) dan
bawah-atas (bottom-up) partisipatif. Pendekatan jenis kedua bermaksud untuk melibatkan
semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan, untuk
mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Pendekatan ini dilaksanakan
2
menurut jenjang pemerintahan melalui musyawarah yang dilaksanakan di tingkat
nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.
Pada tingkat desa, musyawarah ini disebut Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Musrenbangdes memberi kesempatan luas bagi
masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan dan membahas
permasalahan yang dihadapi dan alternatif pemecahannya di tingkat desa untuk dibawa
ditingkat Musrenbang kecamatan dan selanjutnya dibawa ke Musrenbang kabupaten
maupun provinsi. Tetapi, dalam realitanya, pelaksanaan konsep ini tidak selamanya
berjalan sesuai dengan arahan, semangat dan tujuan awal diselenggarakan
Musrenbangdes ini.
Mekanisme perencanaan pembangunan dari bawah yang dilaksanakan mulai
Musrenbangdes sampai kecamatan belum melibatkan masyarakat untuk memutuskan
prioritas kegiatan. Ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan dalam Musrenbang
kecamatan merupakan rumusan elite desa/kelurahan, sehingga partisipasi masyarakat
yang sesungguhnya masih jauh dari harapan. Rendahnya sosialisasi dari pemerintah
tentang Musrenbang terutama di tingkat desa/kelurahan serta sikap apatisme masyarakat
yang tinggi, karena usulan yang diberikan masyarakat kurang diperhatikan atau
didengarkan, menyebabkan masyarakat merasa tidak perlu ikut serta dalam proses
Musrenbang.
Berdasarkan data awal yang diperoleh, Desa Linggawangi Kecamatan Leuwisari,
Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat secara umum, belum
menggunakan perangkat musyawarah desa dalam perencanaan pembangunan desa yang
berkelanjutan secara optimal karena berbagai hal. Untuk itu, ada dua permasalahan yang
akan dilakukan dalam kegiatan PPM ini, yaitu:
1. Bagaimana peran musyawarah desa dalam perencanaan pembangunan desa yang
berkelanjutan di Desa Linggawangi?
2. Bagaimana alternatif model peningkatan dan optimalisasi musyawarah desa yang
partisipatif dalam rangka perencanaan pembangunan yang berkelanjutan di Desa
Linggawangi?
Adapun PPM ini bertujuan untuk menggali bagaimana peran musyawarah desa
di Desa Linggawangi dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan serta
memberikan manfaat berupa alternatif model peningkatan dan optimalisasi
3
musyawarah desa yang partisipatif dalam rangka perencanaan pembangunan yang
berkelanjutan di Desa Linggawangi.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perencanaan Pembangunan
Pembangunan merupakan konsep yang teknokratik. Pandangan tersebut sedikit
banyak dipengaruhi cara pandang dalam memahami istilah pembangunan (development).
Misalnya Gilbert Rist yang mengatakan pembangunan semestinya tidak didasarkan pada
apa yang dipikirkan atau diharapkan, namun pada praktik sosial aktual dan akibat-
akibatnya, yaitu sesuatu yang dapat dikenali oleh setiap orang.1 Hal tersebut didasarkan
pada pandangan Rist yang mendefinisikan esensi pembangunan sebagai transformasi dan
destruksi sosial untuk meningkatkan produksi (barang dan jasa) dalam rangka memenuhi
permintaan melalui mekanisme pasar. Oleh sebab itu, bagi Rist, pembangunan
(development) sebenarnya merupakan sejenis kata yang dipertunjukkan (performative
word), yaitu berkata dengan bertindak (saying by doing).2 Jika dilihat, pandangan Rist
tersebut lebih mengedepankan aspek ekonomi berkaitan dengan pembangunan
dibeberapa belahan dunia seperti pertanian, pembangunan perkotaan dan keadilan
pembagian sumber daya alam. Pandangan tersebut tentunya tidaklah salah. Namun, kata
pembangunan sendiri sebenarnya banyak dipergunakan oleh berbagai pihak, mulai dari
para ekonom, politisi dan banyak pihak lainnya.3 Bahkan dalam Deklarasi PBB tentang
Hak Atas Pembangunan Tahun 1986 disebutkan:4
“development is a comprehensive economic, social,cultural and political process,
which aims at the constant improvement of the well-being of the entire population
and of all individuals on the basis of their active, free and meaningful participation
in development and in the fair distribution of benefits resulting there from”
(pembangunan adalah sebuah kerangka komprehensif baik ekonomi, sosial, budaya
dan proses politik, yang bertujuan untuk terus meningkatkan kesejahteraan seluruh
penduduk dan semua individu berdasarkan partisipasi aktif, bebas dan bermakna
dalam pembangunan serta distribusi secara fair dan adil atas manfaat yang diperoleh
dari pembangunan tersebut).
1 Gilbert Rist, Development as a Buzzword, Development in Practice, Vol. 17 No. 4-5, Agustus 2007, hlm.
490. 2 Ibid., hlm. 486. Pandangan Rist tersebut merupakan sebuah kritik terhadap agenda-agenda pembangunan
yang banyak dilontarkan banyak pihak tanpa adanya tindakan nyata. Karena itulah, Rist mengkritik
penggunaan kata development sebagai racun (toxic). Ibid., hlm. 485. 3 Subir Kumar Roy, The Principle of Sustainable Development, Human Rights, and Good Governance,
Brawijawa Law Journal, Vol. 3 No. 2, hlm. 200. 4 UN Declaration on The Right to Development 1986, dalam http://www.un.org/documents/ga/res/41
/a41r128.htm, diakses 10 Agustus 2017.
5
Dengan demikian, maka pembangunan semestinya tidak hanya diukur dari aspek
ekonomi semata, melainkan juga dalam kerangka sosial, budaya, politik termasuk hukum
dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik. Bahkan Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan bahwa “pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari
pada kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka, karena itu
istilah pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena kita tidak dapat
membangun ‘ekonomi’ suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-segi
kehidupan masyarakat lainnya”.5 Pendapat Mochtar tersebut menjadi semacam penegas,
bahwa aspek-aspek non ekonomi termasuk hukum memiliki peranan dalam
pembangunan. Mengingat esensi pembangunan adalah perubahan, maka Mochtar
berpendapat bahwa peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan teratur.6
Pembangunan dan negara merupakan dua hal yang saling berkaitan. Imam
Subkhan7 dengan mendasarkan pada pendapat dari kaum post strukturalis seperti
Foucault yang menyebut negara sebagai “the mobile effect of a regime of multiple
governmentalities” (efek bergerak dari sebuah rezim pengaturan yang bersifat multi
ganda), mengatakan pembangunan dapat dilihat sebagai efek dari negara yang di
dalamnya mengandung proses benturan dan saling berlawanan di antara berbagai aktor
dalam mewujudkan sebuah kehendak untuk memperbaiki. Negara tidaklah statis dan
homogen, melainkan sebuah proses pembentukan yang terus menerus, dipraktikkan dan
diaktualisasikan melalui pembangunan.8 Karena itu, terjadi proses timbal balik antara
negara dan pembangunan. Negara terbentuk melalui proses pembangunan, sebaliknya
proses pembangunan dikonstruksi oleh aktor-aktor, agen-agen dan institusi yang
merepresentasikan negara.9
Dengan melihat hubungan antara pembangunan dan negara tersebut, maka dapat
dilihat adanya kemungkinan (bahkan keniscayaan) berupa benturan saat melakukan
5 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangungan Nasional, Kumpulan Karya
Tulis, Bandung: Alumni, 2006, hlm. 19. 6 Ibid. Pendapat Mochtar Kusumaatmadja mengenai fungsi dan peran hukum dalam pembangunan
kemudian dipopulerkan menjadi “Teori Hukum Pembangunan” khususnya di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, meskipun Mochtar sendiri tidak pernah secara langsung menyebut gagasannya
sebagai Teori Hukum Pembangunan. Lihat Atip Latipulhayat, Khazanah Mochtar Kusumaatmadja,
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 3 Tahun 2014, hlm. 623. 7 Imam Subkhan, GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jurnal Aspirasi, Vol. 5
No. 2 Desember 2014, hlm. 132. 8 Ibid. 9 Ibid.
6
pembangunan, mengingat aktor-aktor yang merepresentasikan negara cukup banyak.
Benturan tersebut ada yang dapat diselesaikan dengan baik, dan ada pula yang tidak dapat
terselesaikan dengan baik sehingga menimbulkan konflik. Benturan yang menimbulkan
konflik akan dapat menimbulkan ketidakteraturan, bahkan menjadi kontraproduktif dari
tujuan pembangunan itu sendiri yaitu menciptakan kondisi yang lebih baik bagi manusia.
Disinilah hukum memiliki peran dalam pembangunan sebagaimana disebutkan Mochtar
Kusumaatmadja yaitu untuk menjamin bahwa perubahan melalui pembangunan itu
terjadi dengan teratur.10
Dengan peranan hukum (yang dapat bewujud peraturan perundang-undangan
ataupun keputusan badan peradilan) maka perubahan melalui pembangunan dapat
dilakukan dengan cara yang teratur. Hal tersebut tentunya lebih baik dari pada perubahan
yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata.11 Mochtar menegaskan
“baik perubahan maupun ketertiban (keteraturan) merupakan tujuan kembar dari
masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat
diabaikan dalam proses pembangunan”.12 Disinilah hukum berperan sebagai suatu alat
pembaharuan masyarakat, sebagaimana dikenalkan oleh Roscoe Pound dengan istilah law
as a tool of social engineering, melalui peranan putusan-putusan Mahkamah Agung
Amerika Serikat.13
Dalam pembangunan, dibutuhkan juga perencanaan pembangunan sebagai
kegiatan pra pembangunan sehingga pembangunan lebih terarahkan dan dapat dievaluasi
dengan baik. Bahkan Bagir Manan menyebut perencanaan pembangunan yang
berkelanjutan berkaitan erat dengan kedaulatan rakyat. Bagir Manan menjelaskan sebab
mengapa pelaksanaan kedaulatan rakyat perlu bimbingan tidaklah semata-mata
didasarkan atas pertimbangan efektivitas, efisiensi ataupun ketertiban dalam
berdemokrasi, melainkan pula didasarkan pada pertimbangan bahwa rakyat belum
memiliki dasar-dasar dan syarat-syarat untuk menjalankan demokrasi yang kompleks.
Berdemokrasi membutuhkan kematangan (democratic maturity).14
10 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm. 19. 11 Ibid., hlm. 20. 12 Ibid. 13 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm. 13-14. 14 Bagir Manan dalam Susi Dwi Harijanti, Merumuskan Ulang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Jurnal
Majelis, MPR RI, Edisi 4 Tahun 2016, hlm. 19.
7
Sistem perencanaan pembangunan memiliki memiliki banyak manfaat. Misalnya
Bagir Manan mengungkapkan beberapa manfaat dari sistem perencanaan pembangunan,
yaitu: pertama, sebagai cara mewujudkan partisipasi demokratik dalam penyelenggaraan
negara atau pemerintahan, terutama yang bertalian dengan pembangunan nasional; kedua,
sebagai cara menjamin agar penyelenggaraan negara atau pemerintahan terutama
pembangunan nasional dijalankan sesuai dengan kepentingan rakyat banyak; ketiga,
sebagai cara menjaga efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara dan pemerintahan
cq pembangunan nasional, mengingat sumber-sumber (resources) dalam pembangunan
terbatas. 15 (Manan, 2016: 2).
Banyak pihak yang menyebut model perencanaan pembangunan banyak dianut
oleh negara-negara sosialis karena adanya dominasi negara dalam persoalan ekonomi
dibandingkan negara-negara liberal yang lebih menyerahkan persoalan pembangunan ke
mekanisme pasar. Hal tersebut memang menjadi diskursus mengenai hubungan antara
peran negara dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial. Namun demikian, menurut
Bagir Manan, dalam perkembangan perbedaan tersebut tidak bersifat fundamental,
karena di negara-negara baik dengan paham liberal maupun sosialis, perencanaan
(planning) menjadi subsistem pengelolaan negara dan pemerintahan.
Model perencanaan pembangunan tersebut idealnya tidak hanya dilakukan pada
level nasional, melainkan juga pada level provinsi, kabupaten dan kota, bahkan juga desa,
sehingga manfaat perencanaan pembangunan dapat diperoleh dari setiap lapisan
pemerintahan.
B. Musyawarah Dan Demokrasi
Musyawarah dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat erat. Demokrasi yang
mencitakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, membutuhkan
mekanisme dalam menjalankannya. Salah satu mekanisme dalam berdemokrasi adalah
dengan cara musyawarah untuk mufakat. Demokrasi permusyawaratan tersebut lebih
dekat dengan demokrasi konsensus dibandingkan dengan demokrasi liberal yang lebih
mengedepankan mekanisme voting atau pemilu. Dalam demokrasi konsensus, akan
diusahakan seluruh kepentingan ditampung dan diberikan tempat, sehingga tidak ada
15 Bagir Manan, Mewujudkan Masyarakat Madani Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Makalah,
2016, hlm. 2.
8
yang menang secara mutlak, melainkan harus dapat saling memberi dan saling menerima.
Hal berbeda dengan voting dan pemilu yang hanya mengedepankan suara mayoritas
sehingga akan selalu ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Disinilah peranan
musyawarah dalam demokrasi menjadi penting, apalagi dikaitkan dengan konteks
demokrasi Pancasila di Indonesia.
Sri Soemantri merumuskan Demokrasi + Pancasila sebagai kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan yang
mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia dan keadilan sosial.16 Dari sini, Sri Soemantri membedakan
demokrasi + Pancasila dengan demokrasi-demokrasi yang lain, secara fundamentil
perbedaan itu terletak pada predikat Pancasila-nya.17
Sebagai ulasan yang lebih dalam berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, maka
patut melihatnya dari aspek historis yakni demokrasi asli yang telah mengakar kuat dalam
tradisi berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Moh. Hatta18, menulis Demokrasi Asli
Indonesia Dan Kedaulatan Rakyat, tahun 1933, yang dapat menjadi petunjuk demokrasi
asli Indonesia.
Bagi Hatta, nilai-nilai kedaulatan rakyat, termasuk kekuasaan di tangan rakyat,
sudah ada dalam masyarakat tua Indonesia. Jauh sebelum kedatangan kolonialisme,
bangsa Indonesia sudah mengenal satu jenis demokrasi, yakni demokrasi desa. Kenapa
disebut demokrasi desa? Ya, karena demokrasi itu hanya hadir dalam pemerintahan di
desa-desa.19
Ada tiga ciri pokok demokrasi asli alias demokrasi desa itu antara lain:20
Pertama, adanya cita-cita rapat. Cita-cita rapat ini sudah hidup di dalam
sanubari Rakyat Indonesia, dari jaman dahulu hingga sekarang. Rapat berarti
tempat rakyat banyak atau utusan rakyat untuk bermusyawarah atau mupakat
atas berbagai persoalan yang menyangkut orang banyak. Sistem rapat itu
16 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Alumni, 1981
(cetakan pertama 1968), hlm. 5. 17 Ibid. 18 Kusno, Bung Hatta Dan Konsep Demokrasi Asli Indonesia, dalam
http://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dan-konsep-demokrasi-asli-indonesia/#ixzz4Ffd4xBvv
diakses 17 Juli 2018 pkl. 20.00 WIB. 19 Ibid, Hatta juga mengatakan bahwa selain pemerintahan desa yang demokratis, namun ada juga
feodalisme yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan. Karena itu, Hatta mengingatkan, lantaran sistem
demokrasi desa ini dijepit oleh kekuasaan feodal, maka tidak dapat berkembang maju dan bahkan menjadi
semakin pincang. “Jadinya, di dalam pergaulan (sistem sosial) masyarakat Indonesia yang asli, demokrasi
itu hanya di terdapat di bawah. Sedangkan di atasnya semata-mata pemerintahan otokrasi,” kata Bung
Hatta. 20 Ibid.
9
dapat kita temui dalam sistem sosial di desa-desa di Jawa, Bugis,
Minangkabau, dan lain-lain. Bahkan, di jaman dahulu, sistem pemerintahan
desa juga mengenal sistem pengadilan sendiri, yakni pengadilan kolektif.
Kedua, adanya cita-cita massa protes, yaitu hak rakyat untuk membantah
dengan cara umum (terbuka) segala peraturan negeri yang dianggap tidak
adil. Hak menyelenggarakan protes ini sudah hidup di tengah rakyat
Indonesia sejak lama. Di jaman Majapahit, misalnya, ada tradisi pepe atau
berjemur beramai-ramai untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa.
Kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga
secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi protes pun sudah disiapkan
secara khusus. Biasanya tempat aksi protes, yang sering disebut “tapa-
pepe”, sering dilakukan di alun-alun keraton. Di masyarakat Bugis, sistem
penyampaian protes malah sudah diatur resmi: Mannganro ri ade (hak
menyampaikan petisi); Mapputane (hak menyampaikan keberatan dan
melakukan negosiasi dengan raja); Mallimpo-ade’ (hak melakukan aksi
pendudukan); Mabbarata (hak menggelar rapat akbar di alun-alun/Barugae);
Mallekke’ dapureng (hak meminta suaka politik ke negeri lain).
Ketiga, cita-cita tolong-menolong dan kolektivisme. Kata Bung Hatta,
masyarakat Indonesia sangat berpegang teguh pada semangat tolong-
menolong dan gotong-royong. Pekerjaan-pekerjaan besar, seperti
membangun rumah atau turun ke sawah, biasanya dikerjakan secara
bersama-sama (gotong-royong). Tradisi gotong-royong dan tolong-
menolong ini nyaris kita temua dalam semua masyarakat Indonesia.
Menarik mencermati ciri-ciri Demokrasi Desa sebagai akar dari demokrasi asli
Indonesia, yang menunjukkan adanya demokrasi konsensus sebagai alternatif pilihan dari
demokrasi liberal. Baik itu rapat, protes, dan cita-cita tolong menolong merupakan sebuah
tradisi yang semestinya tetap dibudayakan bagi masyarakat desa. Termasuk juga
didalamnya dalam perencanaan pembangunan desa yang berkelanjutan.
C. Derajat Partisipasi
Definisi partisipasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yakni participate. Kata
tersebut memiliki dua pengertian. Pertama, memiliki sejumlah atribut, benda atau kualitas
dari seseorang. Kedua, mengambil bagian dalam suatu kegiatan atau membagi sesuatu
dalam kebersamaan. Partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan maupun
keterlibatan masyarakat dalam segala hal baik dalam pembangunan maupun semacamnya
yang berkaitan dengan tujuan pemerintah dalam mewujudkan tujuan negara. Masyarakat
berperan secara aktif untuk memberikan kontribusi demi perbaikan kualitas pelayanan
pemerintah, terlebih lagi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan tujuan negara
seutuhnya. Canter (dalam Arimbi, 1993:1) mendefinisikan partisipasi publik sebagai
feed-forward information dan feedback information. Definisi partisipasi masyarakat
10
diartikan sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus dapat diartikan bahwa
partisipasi masyarakat merupakan komunikasi antara pihak pemerintah sebagai
pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai pihak yang merasakan
langsung dampak dari kebijakan tersebut.
Untuk dapat mengukur tingkat partisipasi masyarakat, dapat digunakan teori yang
dikemukakan oleh Arnstein yang menyebut teorinya dengan judul The Ladder of Citizen
Participation (Tangga Partisipasi Publik) atau populer dengan The Arnstein’s Ladder
(Tangga Arnstein).21 Ada delapan anak tangga yang mengurut dari bawah ke atas sebagai
bentuk partisipasi, yaitu Manipulation (Memanipulasi), Therapy (Memulihkan),
Informing (Menginformasikan), Consultation (Merundingkan), Placation
(Mendiamkan), Partnership (Bekerjasama), Delegated Power (Pendelegasian
Wewenang) dan Citizen Control (Publik Mengontrol).
21 Sherry R Arnstein, A Ladder of Citizen Participation, Journal of the American Institute of Planners, Vol.
35 No. 4, 1969, hlm. 216-224.
11
Arnstein mengelompokkan delapan anak tangga tadi menjadi tiga bagian. Bagian
kesatu, Nonparticipation (Tidak Ada Partisipasi) berjenjang dari Manipulation dan
Therapy. Pada bagian ini, otoritas yang berkuasa sengaja menghapus segala bentuk
partisipasi publik. Di level Manipulation, mereka memilih dan mendidik sejumlah orang
sebagai wakil dari publik. Fungsinya, ketika mereka mengajukan berbagai program, maka
para wakil publik tadi harus selalu menyetujuinya. Sedangkan publik sama sekali tidak
diberitahu tentang hal tersebut. Pada level Therapy, mereka sedikit memberitahu kepada
publik tentang beberapa programnya yang sudah disetujui oleh wakil publik. Publik
hanya bisa mendengarkan.
Bagian kedua, Tokenism (Delusif) yang memiliki rentang dari Informing,
Consultation dan Placation. Dalam Tokenism, otoritas yang berkuasa menciptakan citra,
tidak lagi menghalangi partisipasi publik. Kenyataannya berbeda. Benar partisipasi
12
publik dibiarkan, namun mereka mengabaikannya. Mereka tetap mengeksekusi
rencananya semula. Ketika berada di level Informing, mereka menginformasikan macam-
macam program yang akan dan sudah dilaksanakan. Namun hanya dikomunikasikan
searah, publik belum dapat melakukan komunikasi umpan-balik secara langsung. Untuk
level Consultation, mereka berdiskusi dengan banyak elemen publik tentang pelbagai
agenda. Semua saran dan kritik didengarkan. Tetapi mereka yang kuasa memutuskan,
apakah saran dan kritik dari publik dipakai atau tidak. Lalu pada level Placation, mereka
berjanji melakukan berbagai saran dan kritik dari publik. Lamun janji tinggal janji,
mereka diam-diam menjalankan rencananya semula.
Partnership, Delegated Power dan Citizen Control merupakan jajaran tingkatan
di bagian ketiga, Citizen Power (Publik Berdaya). Saat partisipasi publik telah mencapai
Citizen Power, maka otoritas yang berkuasa sedang benar-benar mendahulukan peran
serta publik dalam berbagai hal. Saat tiba di level Partnership, mereka memperlakukan
publik selayaknya rekan kerja. Mereka bermitra dalam merancang dan
mengimplementasi aneka kebijakan publik. Naik ke level Delegated Power, mereka
mendelegasikan beberapa kewenangannya kepada publik. Contoh, publik punya hak veto
dalam proses pengambilan keputusan. Level tertinggi yaitu Citizen Control. Publik yang
lebih mendominasi ketimbang mereka. Bahkan sampai dengan mengevaluasi kinerja
mereka. Partisipasi publik yang ideal tercipta di level ini.
D. Design Thinking Dalam Pemecahan Masalah
Design Thinking adalah salah satu metode baru dalam melakukan proses desain.
Design Thinking merupakan metode penyelesaian masalah yang berfokus pada pengguna
atau user. Design Thinking sendiri dipopulerkan oleh David Kelley dan Tim Brown
pendiri IDEO – sebuah konsultan desain yang berlatar belakang desain produk berbasis
inovasi.22
Design thinking memiliki beberapa elemen penting yaitu :
1. People centered: dalam metode ini, perlu ditekankan bahwa setiap tindakan yang
dilakukan berpusat pad apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pengguna.
2. Highly creative: dalam menggunakan metode ini, dapat digunakan kreativitas
sebebasnya, tidak perlu aturan yang terlalu kaku dan baku.
22 Brown, T. (2008). Design Thinking. Havard Business Review,
13
3. Hands on: proses desain memerlukan percobaan langsung oleh tim desain, bukan
hanya pembuatan teori atau sebuah gambaran di kertas
4. Iterative: proses desain merupakan sebuah proses dengan tahapan-tahapan yang
dilakukan berulang-ulang untuk melakukan improvisasi dan menghasilkan sebuah
produk atau aplikasi yang baik
Dalam membuat sebuah produk atau aplikasi dengan metode design thinking,
maka akan dilakukan beberapa tahapan berikut secara berulang sebanyak yg dibutuhkan
untuk menghasilkan produk yang sesuai, diantaranya:
1. Empathize
Ketika sudah mengetahui user atau pengguna yang akan dituju, maka seorang
desainer perlu mengetahui pengalaman, emosi, dan situasi dari si pengguna. Mencoba
menempatkan diri sebagai pengguna sehingga dapat benar-benar memahami kebutuhan
pengguna. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan wawancara, observasi kehidupan
pengguna, dan cara lainnya.
2. Define
14
Setelah desainer mengerti kebutuhan pengguna, maka desainer perlu
menggambarkan sebuah ide atau pandangan user yang akan menjadi dasar dari produk
atau aplikasi yang akan dibuat. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat list kebutuhan
user dan menggunakan pengetahuan mengenai kondisi yang sedang terjadi.
3. Ideate
Dengan kebutuhan yang ada, maka desainer perlu menggambarkan solusi yang
dibuthkan. Hal ini dapat dilakukan melakukan evaluasi bersama tim desain dengan
menggabungkan kreativitas dari masing-masing desainer.
4. Prototype
Ide yang sudah ada sebelumnya maka perlu langsung diimplementasikan dalam
sebuah aplikasi atau produk uji coba. Perlu dihasilkan sebuah produk nyata dan
kemungkinan skenario penggunaan.
5. Test
Dari produk atau aplikasi uji coba yang sudah dibuat, maka akan dilakukan sebuah
percobaan dengan pengguna. Dari pengalaman pengguna dalam menggunakan produk uji
coba, maka akan didapatkan masukkan untuk membuat produk yang lebih baik dan
melakukan perbaikan pada produk yang ada.
15
BAB III
MATERI DAN METODE PELAKSANAAN
A. Kerangka Pemecahan Masalah
Permasalahan kurang optimalnya musyawarah desa dalam perencanaan
pembangunan desa akan dilakukan pemecahan masalah dengan memberikan penyadaran
dan sosialisasi mengenai urgensi optimalisasi musyawarah desa sebagai bentuk
demokrasi konsensus desa yang sebenarnya sudah mengakar dan menjadi ciri demokrasi
asli Indonesia. Selain penyadaran dan sosialisasi dilakukan juga pemberian
model/prototype meningkatkan partisipasi masyarakat dalam musyawarah desa dengan
model design thinking.
B. Realisasi Pemecahan Masalah
Realiasi pemecahan masalah akan dilakukan dalam bentuk kuliah umum
(ceramah) dan focus group disscussion (FGD) membahas permasalahan dan memberikan
model partisipasi masyarakat dalam musyawarah desa.
C. Khalayak Sasaran
Kegiatan PPM dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak dengan total 20 orang
diantaranya:
1) Kepala Desa dan jajaran pengurus Desa Linggawangi.
2) Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Linggawangi.
3) Perwakilan masyarakat yang tidak tergabung sebagai Anggota BPD
Linggawangi.
D. Metode yang Digunakan (Tahapan Kegiatan)
1) kuliah (ceramah umum).
2) penyebaran kuesioner sebelum dan sesudah PPM mengenai kondisi dan harapan
yang diinginkan berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam Musyawarah
Desa untuk Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan.
3) pelatihan penggunaan “Design Thinking” mengenai partisipasi masyarakat dalam
Musyawarah Desa untuk Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan.
16
BAB IV
PELAKSANAAN KEGIATAN PPM
Kegiatan PPM terbagi dalam 3 kelompok besar, yakni penentuan lokasi,
pelaksanaan PPM, hasil yang diperoleh dan evaluasi pelaksanaan PPM.
A. Penentuan Lokasi PPM
Berkaitan dengan penentuan lokasi, desa yang dipilih menjadi tempat lokasi
PPM, yaitu Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Singaparna, Kabupaten
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Alasan dipilihnya Desa Linggawangi adalah karena
desa tersebut merupakan desa yang masih cukup asri dengan lahan pertanian yang cukup
luas dan subur serta hampir tidak pernah mengalami kekeringan, sehingga menjadi salah
satu desa yang menarik untuk didatangi. Bahkan program Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa
(KKNM) yang dilakukan oleh Unpad pada tahun-tahun sebelumnya hampir selalu
menjadikan Desa Linggawangi sebagai desa tujuan. Hal lain yang menjadi alasan
pemilihan Desa Linggawangi adalah adanya faktor mulai berkurangnya minat masyarakat
desa untuk melakukan musyawarah secara mendalam dan partisipatif, khususnya dalam
proses perencanaan pembangunan Desa. Karena itu, Desa Linggawangi merupakan
obyek PPM yang cukup tepat dalam rangka memberikan upaya optimalisasi musyawarah
desa dalam perencanaan pembangunan desa. Selain itu, salah satu anggota PPM, yaitu
Dr. Ali Abdurahman, S.H., M.Hum. berasal dari desa tersebut, sehingga sebagai bentuk
“nya’ah ka lembur”, PPM ini dilakukan di desa tersebut. Sebagai tindak lanjut kegiatan
pemilihan lokasi ini, diperoleh data umum Desa Linggawangi, diantaranya:
17
a. Peta Desa Linggawangi
b. Profil Desa Linggawangi
Desa Linggawangi adalah salah satu desa di kecamatan Leuwisari,
kabupaten Tasikmalaya. Luas wilayah desa Linggawangi adalah 900 Ha,
dengan jumlah penduduk sebanyak 4608 jiwa, terdiri dari laki-laki: 2242
jiwa dan perempuan: 2366 jiwa. Desa Linggawangi terdiri 4 Dusun, yang
terbagi ke dalam 22 RT dan 1247 KK, yang terdiri dari 420 rumah tangga
miskin.
Secara geografis, batas-batas administratif Pemerintah Desa Linggawangi,
kecamatan Leuwisari, kabupaten Tasikmalaya adalah sebagai berikut :
Utara : Kabupaten Garut
Selatan : Desa Selawangi, Kecamatan Sariwangi
Barat : Desa Sariwangi, Kecamatan Sariwangi
18
Timur : Desa Linggamulya
Dilihat dari topografi dan kontur, desa Linggawangi berada di ketinggian
sekitar 500 – 700 m dari permukaan laut. dengan suhu rata-rata 27° C.
Iklim desa Linggawangi termasuk iklim tropis, dengan tingkat curah hujan
dan jumlah bulan hujan yang cukup tinggi.
Tabel 1. Gambaran Iklim Desa Linggawangi
Curah hujan 1500 – 1800 mm
Jumlah bulan hujan 8 – 10 bulan
Suhu rata-rata harian 27 – 29°C
Tinggi tempat dari permukaan
laut 500 – 700 mdl
Jarak dari desa Linggawangi ke ibukota kecamatan sekitar 5 km dengan
estimasi waktu tempuh sekitar 20 menit, sedangkan jarak dari desa ke
ibukota kabupaten Tasikmalaya sekitar 27 km dengan estimasi waktu
tempuh sekitar 60 menit.
c. Tata Pemerintahan Desa Linggawangi
Visi: Berdasarkan kondisi saat ini dan tantangan yang akan dihadapi dalam
5 tahun mendatang serta dengan mempertimbangkan modal dasar yang
dimiliki, maka Visi Pembangunan Desa Linggawangi adalah “SEHAT,
UNGGUL, GEMBIRA DAN MANDIRI”. Visi tersebut dapat diringkas
menjadi “SUGEMA”, yang dapat diartikan Desa yang masyarakatnya
sehat, unggul berprestasi, selalu bergembira dan kemandirian/ tidak
tergantung pada orang lain.
Misi:
Mewujudkan kwalitas manajeman Pemerintahan Desa yang semakin
maju
Mewujudkan kwalitas SDM Masyarakat yang unggul dan berakhlak
mulia dijiwai keimanan dan ketakwaan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa
Mewujudkan perekonomian desa yang tangguh yang bertumpu pada
potensi Sumber Daya Desa scara berkelanjutan
Mewujudkan tata kelola lingkungan yang semakin baik.
Struktur Organisasi Pemerintah Desa Kepala Desa : Alam Sungkawa
Sekretaris Desa : Liah Yulianti
Kaur Pemerintahan : Abdul Hadi
Kaur Umum : Trisna Luthfi Mustakim
Kaur Ekonomi-Pembangunan: Eep Muhamad Lutfi
Kaur Kesejahteraan Rakyat : Ihak AbdulHak
Pamong Tani Desa : E. Muchtarudin
Polisi Desa : Ending Abdul Aziz
Ulu-ulu : Lili
Kadus Bolodog : Ahmad
19
Kadus Kalieung : Lani
Kadus Sindangraja : Abdul Wahid
Kadus Parigi : Usup Obet
Badan Permusyawaratan Desa Ketua : Cucu Rukandana, M.Pd
Wakil Ketua : Sihabudin, S.Pd
Sekretaris : Asep Abdul Majid, S.Pd.I
Bid. Pemerintahan : Nunuh Nurahmat, M.Pd
Bid. Pembangunan : Nurul Huda, S.Pd.I
Bid. Kemasyarakatan : 1. Hari Rahman, A.Ma.Pd
2. Syarif Hidayatulloh
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Ketua : Nunung Suherman
Wakil Ketua : Drs. Ma’mun
Sekretaris : Didin Nasihudin, S.T.
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Ketua : Ny. Ade Papat
Wakil Ketua : Ny. Dede Rosita
Sekretaris : Ny. Liah Yulianti
Bendahara : Ny. Ipah Syaripah
B. Pelaksanaan PPM
Setelah melakukan tahap pertama untuk pemilihan lokasi PPM dengan melakukan
riset terhadap profil umum Desa Linggawangi, selanjutnya pada Hari Sabtu, 3 November
2018, dilaksanakan tahap pelaksanaan PPM. Tahap pelaksanaan PPM ini dilakukan oleh:
1. Dr. Ali Abdurahman, S.H., M.Hum.; dan
2. Mei Susanto, S.H., M.H.
Selain itu, terlibat juga saudara M. Adnan Yazar Zulfikar S.H., selaku peneliti
pada Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Adapun Dr. Indra Perwira, S.H., M.H., berhalangan hadir, dikarenakan pada tanggal 3
November 2018 tersebut, harus memimpin sidang hasil penelitian (SHP) Program S-3
Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran. Sementara, Mohaman Safrin, S.H., juga masih
berhalangan dikarenakan masih berada di Palu, untuk melihat kondisi keluarganya yang
terkena korban Bencana Gempa dan Tsunami Palu pada awal Oktober 2018 lalu.
Selain itu, hadir juga 6 mahasiswa yang terlibat dalam program Kuliah Kerja
Nyata (KKN) Integratif, diantaranya:
No Nama Program Studi
1. Nabilla Salsa Amalya Agroteknologi
2. Dhia Rhasadjati Agroteknologi
20
3. Hotnauli Odelia Agribisnis
4. Firman Nurzaman Antropologi
5. Yusi Rinika Kurnia Nur Administrasi Bisnis
6. Amanda Rizkia Noorfaidah Manajemen Komunikasi
Pada tahap pelaksanaan PPM ini, dilakukan 3 kegiatan utama, yaitu pemberian
kuesioner, pemberian ceramah/kuliah umum, dan pemberian alternatif model penggunaan
“design thinking” dalam optimalisasi musyawarah desa. Adapun susunan acara dalam
kegiatan PPM ini adalah:
Waktu Acara Penanggungjawab
09.00 – 09.10 Pengisian Kuesioner Sebelum
Kegiatan
Tim Dosen dan
Mahasiswa
09.10 – 09.13 Pembukaan MC (Yusi)
09.13 – 09.17 Menyanyikan Lagu Indonesia Raya MC (Yusi)
09.17 – 09.20 Pembacaan Ayat Suci Al Quran MUI Desa Linggawangi
09.20 – 09.25 Sambutan Dari Ketua Rombongan
PPM
Dr. Ali Abdurahman
09.25 – 09.35 Sambutan Dari Kepala Desa
Linggawangi
Alam Sungkawa
09.35 – 09.50 Sambutan Dari Camat Kecamatan
Leuwisari
Nuraedin
09.50 – 10.10 Materi “Optimalisasi Musyawarah
Desa Dalam Perencanaan
Pembangunan Desa Berkelanjutan”
Dr. Ali Abdurahman
10.10 – 10.45 Tanya Jawab Dr. Ali Abdurahman
10.45 – 10.55 Pengantar FGD “Model Design
Thinking Untuk Optimalisasi
Musyawarah Desa”
Mei Susanto, S.H.,
M.H.
10.55 – 11.50 Focus Group Discussion (FGD)
Penerapan Model Design Thinking
Untuk Optimalisasi Musyawarah
Desa
Mei Susanto, S.H.,
M.H., M. Adnan Yazar
Zulfikar S.H., dan Tim
Mahasiswa
11.50 – 12.00 Pengisian Kuesioner Setelah
Kegiatan
Tim Dosen dan
Mahasiswa
12.00 – 12.10 Penutupan, Ucapan Terimakasih dan
Foto Bersama
MC (Yusi)
21
Foto-Foto Kegiatan
1. Pembukaan.
2. Menyanyikan Lagu Indonesia Raya.
22
3. Pembacaan Ayat Suci Alquran, oleh MUI Desa Linggawangi
4. Sambutan Ketua Rombongan PPM, Dr. Ali Abdurahman, S.H., M.Hum.
23
5. Sambutan Kepala Desa Linggawangi, Alam Sungkawa.
6. Sambutan Camat, Kecamatan Leuwisari, Nuraedin.
24
7. Materi “Optimalisasi Musyawarah Desa Dalam Perencanaan Pembangunan
Desa Berkelanjutan”, oleh Dr. Ali Abdurahman.
8. Pengantar FGD “Model Design Thinking Untuk Optimalisasi Musyawarah
Desa”, oleh Mei Susanto.
25
9. Focus Group Discussion (FGD) Penerapan Model Design Thinking Untuk
Optimalisasi Musyawarah Desa, dipandu oleh Mei Susanto dan M. Adnan Yazar
Z.
26
10. Penutupan dan Foto Bersama
27
Materi Yang Disampaikan Oleh Dr. Ali Abdurahaman
28
29
30
31
32
Materi Pengantar FGD Yang Disampaikan Mei Susanto, S.H., M.H.
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
C. Hasil Yang Diperoleh
Selama proses pelaksanaan PPM, ada beberapa hasil yang diperoleh, diantaranya:
1. Masyarakat sebenarnya cukup antusias berkaitan dengan topik yang
dibahas, mengingat cukup jarang kegiatan PPM maupun KKN yang
dilakukan oleh mahasiswa yang fokus pada persoalan mendasar yakni
berkaitan dengan partisipasi masyarakat khususnya dalam musyawarah
desa untuk pembangunan berkelanjutan. Namun demikian, peserta merasa
kegiatan tersebut masih terlalu singkat, sehingga belum mampu diserap
secara lebih optimal. Jika dibandingkan dengan PPM maupun KKN lain
umumnya bertemakan persoalan yang lebih kongkret misalnya
perekonomian, UMKM, pertanian, kesehatan dan lain-lain. Ada beberapa
persoalan sosial yang mengemuka, diantaranya:
a. Desa melalui Pemerintahan Desa saat ini dapat menjalankan
aktivitas pelayanan masyarakat secara lebih baik dengan adanya
Dana Desa dari Pemerintah yang berjumlah tiap tahunnya Rp. 1
Milyar. Namun demikian, hal tersebut mengakibatkan karakter
masyarakat desa yang sebenarnya bercirikan gotong royong mulai
45
tergerus diakibatkan dana desa tersebut. Dalam beberapa kegiatan
mendadak yang tidak direncanakan, masyarakat enggan
melakukan iuran karena menganggap semua sudah dicukupi
dengan dana desa. Dengan demikian, dana desa disatu sisi
meningkatkan profesionalitas pelayanan namun disisi lain
menggerus nilai gotong royong masyarakat. Data ini menunjukkan
desa sangat mungkin memiliki ketergantungan terhadap Dana
Desa tersebut. Akibatnya, suatu saat ketergantungan yang akan
terjadi, bukan kemandirian yang diharapkan dapat dilakukan oleh
desa, sebagaiman desa semenjak sebelum kemerdekaan ada
sebagai entitas pemerintahan asli Indonesia. Hal tersebut harus
mulai diselesaikan khususnya dengan pengintegrasian Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai ujung tombak pencarian
pendanaan bagi desa sehingga desa dapat lebih mandiri, bukan
menjadi bergantung.
b. Peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa cukup sering berubah, sehingga aparat
pemerintahan desa belum mampu secara optimal menjalankan
tugas dan fungsinya karena perubahan regulasi tersebut. Belum
lagi proses pendidikan dan pelatihan masih kurang, sementara
regulasi tersebut sudah harus dilaksanakan. Pendamping desa
sebenarnya ada, namun juga masih terbatas dan belum optimal.
Akibatnya, SDM pemerintahan desa kurang mampu melaksanakan
tugas pelayanan secara optimal. Hal ini menunjukkan seharusnya
ada konsistensi regulasi dan pentingnya pendidikan dan pelatihan
bagi aparat desa. Termasuk didalamnya proses pengembangan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dijadikan ujung tombak
pencarian pendanaan bagi desa.
2. Berkaitan dengan konteks optimalisasi musyawarah desa sesuai dengan
topik PPM yang dipilih, maka terdapat data yang dapat diperoleh sebagai
berikut:
46
Adapun tolak ukur “partisipasi masyarakat” yang akan dilakukan yaitu dengan
menggunakan pendekatan derajat partisipasi ( Arstein, 1969), diantaranya:
Indikator Partisipiasi Setuju Tidak
Setuju Lainnya Keterangan
Dalam pelaksanaan program dan pengambilan
keputusan, tidak ada musyawarah dan dialog
dengan masyarakat
6,67% 80% 13,33% Manipulasi
Pemerintah sudah menentukan program,
keputusan, dan rancangan kegiatan dan hanya
sedikit yang disampaikan kepada masyarakat serta
tidak ada dialog untuk menanggapi
20% 80% - Terapi
Pemerintah menginformasikan macam-macam
program yang akan dan sudah dilaksanakan, tetapi
masyarakat belum dapat melakukan dialog untuk
menanggapi
13,33% 73,34% 13,33% Informasi
Masyarakat diperbolehkan memberikan usulan
dan kritik, walaupun tidak dijamin untuk diterima
karena yang memutuskan tetap pemerintah
33,33% 66,67% - Konsultasi
Semua usulan dan kritik dari masyarakat diterima,
namun usulan tersebut tetap dinilai kelayakannya
oleh pemerintah yang akhirnya pemerintah diam-
diam menjalankan rencananya yang semula
20% 66,67% 13,33% Penentraman
Masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama
merancang dan melaksanakan kegiatan dalam
pembangunan desa
100% - - Kemitraan
Pemerintah memberikan tanggung jawab penuh
kepada masyarakat yaitu memberikan kewenangan
dalam merancang, melaksanakan, monitoring dan
evaluasi kegiatan pembangunan desa
93,34% 6,66% - Pendelegasian
kekuasaan
Masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai
kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang
disepakati bersama. Peran masyarakat lebih besar
dibandingkan peran pemerintah
66,67% 33,33% - Kendali Warga
Sumber data : Data primer
Teknik Pengumpulan data : Survey melalui penyebaran kuesioner
Teknik analisis data : Uji Non parametrik, chi square
Hasil dan Pembahasan
Faktor Internal dan
Eksternal Chi Square X2
47
Usia 0,1384 9,48
Tingkat Pendidikan 0,5088 9,48
Pekerjaan 2,9788 18,307
Penghasilan 3,2489 15,507
Lama tinggal 1,2893 9,48
Komunikasi 2,4902 9,48
Kepemimpinan 0,0961 9,48
a. Usia
Ho : Tidak ada hubungan variabel usia dengan keaktifan berpartisipasi masyarakat di Desa Linggawangi
Ha : Ada ada hubungan variabel usia dengan keaktifan berpartisipasi masyarakat di Desa Linggawangi
Pengujian :
Ha ditolak karena X2hitung > X2tabel
Ini berarti Tidak ada hubungan variabel usia dengan keaktifan berpartisipasi masyarakat di Desa
Linggawangi
0
5
10
Rendah Sedang Tinggi
Keaktifan Berpartisipasi Masyarkat Menurut Usia
<40 40-50 >50
Usia
Tingkat Partisipasi Total
Responden Rendah Sedang Tinggi
Fo Fe Fo Fe Fo Fe Fo Fe
<40 2 2,3 5 4,7 0 0 7 7
40-50 1 1 2 2 0 0 3 3
>50 2 1,7 3 3,3 0 0 5 5
Total 5 5 10 10 0 0 15 15
48
b. Tingkat Pendidikan
Ha ditolak. Tidak ada hubungan variabel pendidikan dengan keaktifan berpartisipasi masyarakat di Desa
Linggawangi
Tingkat
Pendidikan
Terkahir
Tingkat Partisipasi Total
Responden Rendah Sedang Tinggi
Fo Fe Fo Fe Fo Fe Fo Fe
Tidak
Sekolah 0 0,3 1 0,7 0 0 1 1
Tamat
SLTA 2 1,7 3 3,3 0 0 5 5
Tamat
SLTA
keatas 3 3 6 6 0 0 9 9
Total 5 5 10 10 0 0 15 15
c. Pekerjaan
0
5
10
Rendah Sedang Tinggi
Keaktifan Berpartisipasi Masyarkat Menurut Pendidkan
Terakhir
Tidak Sekolah Tamat SLTA Tamat SLTA keatas
49
Pekerjaan
Tingkat Partisipasi Total responden
Rendah Sedang Tinggi
Fo Fe Fo Fe Fo Fe Fo Fe
PNS 0 0 0 0 0 0 0 0
Pegawai
Swasta 3 2,7 5 5,3 0 0 8 8
Buruh 2 1 1 2 0 0 3 3
Polri 0 0 0 0 0 0 0 0
Petani 0 0,3 1 0,7 0 0 1 1
Lainnya 0 1 3 2 0 0 3 3
Total 5 5 10 10 0 0 15 15
d. Penghasilan
Ha ditolak, Tidak ada hubungan variabel penghasilan dengan keaktifan berpartisipasi masyarakat di Desa
Linggawangi
0
2
4
6
8
10
Rendah Sedang Tinggi
Keaktifan Berpartisipasi Masyarkat Menurut Pekerjaan
Pegawai Swasta Buruh Polri Petani Lainnya
50
Penghasila
n
Tingkat Partisipasi Total responden
Rendah Sedang Tinggi
Fo Fe Fo Fe Fo Fe Fo Fe
< Rp
1.000.000 3 2,7 5 5,3 0 0 8 8
Rp
1.000.000 -
Rp
1.500.000 1 1,7 4 3,3 0 0 5 5
Rp
1.500.001 -
Rp
2.500.000 0 0,3 1 0,7 0 0 1 1
Rp
2.500.001 -
Rp
5.000.000 1 0,3 0 0,7 0 0 1 1
> Rp
5.000.000 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 5 5 10 10 0 0 15 15
e. Lama tinggal
Ha ditolak, Tidak ada hubungan variabel lama tinggal dengan keaktifan berpartisipasi masyarakat di Desa
Linggawangi
0
5
10
Rendah Sedang Tinggi
Keaktifan Berpartisipasi Masyarkat Menurut
Penghasilan
< Rp 1.000.000 Rp 1.000.000 - Rp 1.500.000
Rp 1.500.001 - Rp 2.500.000 Rp 2.500.001 - Rp 5.000.000
> Rp 5.000.000
51
Lama
Tinggal
Tingkat Partisipasi Total Responden
Rendah Sedang Tinggi
Fo Fe Fo Fe Fo Fe Fo Fe
<20 Tahun 1 1,3 3 2,7 0 0 4 4
21 - 40
tahun 3 2 3 4 0 0 6 6
> 40 tahun 1 1,7 4 3,3 0 0 5 5
Total 5 5 10 10 0 0 15 15
f. Komunikasi
Ha ditolak, Tidak ada hubungan variabel komunikasi dengan keaktifan berpartisipasi masyarakat di Desa
Linggawangi
0
2
4
6
8
10
Rendah Sedang Tinggi
Keaktifan Berpartisipasi Masyarakat Menurut Lama Tinggal
<20 Tahun 21 - 40 tahun > 40 tahun
0
2
4
6
8
10
Rendah Sedang Tinggi
Keaktifan Berpartisipasi Masyarakat Menurut Tingkat Komunikasi
Tidak Pernah Jarang Sering
52
Tingkat
Komunikasi
Tingkat Partisipasi Total Responden
Rendah Sedang Tinggi
Fo Fe Fo Fe Fo Fe Fo Fe
Tidak
Pernah 1 0,3 0 0,7 0 0 1 1
Jarang 0 0 0 0 0 0 0 0
Sering 4 4,7 10 9,3 0 0 14 14
Total 5 5 10 10 0 0 15 15
g. Kepemimpinan
Ha ditolak, Tidak ada hubungan variabel kepemimpinan dengan keaktifan berpartisipasi masyarakat di
Desa Linggawangi
Tingkat
Kepemimpinan
Tingkat Partisipasi Total Responden
Rendah Sedang Tinggi
Fo Fe Fo Fe Fo Fe Fo Fe
Tertutup 0 0 0 0 0 0 0 0
Terbuka 5 5,2 8 7,8 0 0 13 13
Tidak Tahu 1 0,8 1 1,2 0 0 2 2
Total 6 6 9 9 0 0 15 15
0
2
4
6
8
10
Rendah Sedang Tinggi
Keaktifan Berpartisipasi Masyarakat Menurut Tingkat Kepemimpinan
Tertutup Terbuka Tidak Tahu
53
D. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan PPM.
Pelaksanaan PPM ini dapat dikatakan cukup berhasil dengan tolak ukur:
1. Pelaksanaan PPM dilaksanakan sesuai dengan jadwal pelaksanaan dari
Unpad.
2. Pelaksanaan PPM tidak hanya oleh dosen melainkan juga melibatkan
mahasiswa yang sedang KKN sehingga terdapat integrasi dan kolaborasi
kegiatan, apalagi ada aspek pendekatan kuantitatif dalam proses
pengukuran tingkat partisipasi masyarakat yang dibantu oleh mahasiswa.
3. Sesuai dengan tema berkaitan dengan optimalisasi musyawarah desa,
maka peserta yang hadir tidak hanya berasal dari Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) melainkan juga perwakilan masyarakat lain seperti Dusun,
RT, RW dan lain-lain. Tidak hanya Kepala Desa Linggawangi yang hadir,
melainkan Camat Kecamatan Leuwisari juga hadir, termasuk pendamping
desa dan perwakilan TNI.
4. Materi yang disampaikan berkaitan dengan musyawarah desa sebenarnya
sudah banyak diterapkan oleh masyarakat, mengingat karakter khas desa
adalah gotong royong dan musyawarah, namun demikian masyarakat
antusias karena mendapatkan perspektif baru berkaitan dengan tingkat
partisipasi sesuai dengan tangga partisipasi serta alternatif model design
thinking sebagai alternatif mengoptimalkan musyawarah desa yang
partisipatif tersebut.
Selain itu, beberapa hal yang perlu dievaluasi dan ditingkatkan diantaranya:
1. Ketidakhadiran 2 anggota PPM, karena alasan rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan, namun demikian kedepan diperlukan pencarian
waktu yang lebih tepat sehingga seluruh anggota dapat hadir.
2. Pemilihan Mahasiswa yang KKN yang random dan acak membuat tidak
sinkronnya tema PPM dengan latar program studi mahasiswa tersebut.
Bahkan tidak ada mahasiswa Fakultas Hukum yang memang memiliki
basis keilmuan sesuai dengan tema PPM yang dilakukan. Walaupun
beberapa diantaranya dapat memberikan bantuan yang diperlukan
khususnya dalam mengukur derajat partisipasi masyarakat. Karena itu,
54
seharusnya ada proses sinkronisasi mahasiswa yang KKN secara tepat,
tidak berdasarkan random dan acak tersebut.
3. Kegiatan pelaksanaan PPM masih terlalu singkat yaitu setengah hari,
sehingga dirasa ilmu yang diberikan belum dapat diterima secara optimal.
Kedepan mungkin diperlukan waktu yang lebih lama, bila perlu semacam
bimbingan teknis dalam memberikan alternatif optimalisasi musyawarah
desa.
DAFTAR PUSTAKA
Atip Latipulhayat, Khazanah Mochtar Kusumaatmadja, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 1 No. 3 Tahun 2014.
Brown, T. (2008). Design Thinking. Havard Business Review.
Bagir Manan, Mewujudkan Masyarakat Madani Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Makalah, 2016.
Gilbert Rist, Development as a Buzzword, Development in Practice, Vol. 17 No. 4-5,
Agustus 2007.
Imam Subkhan, GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jurnal
Aspirasi, Vol. 5 No. 2 Desember 2014.
Kusno, Bung Hatta Dan Konsep Demokrasi Asli Indonesia, dalam
http://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dan-konsep-demokrasi-asli-
indonesia/#ixzz4Ffd4xBvv diakses 17 Juli 2018 pkl. 20.00 WIB.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangungan Nasional,
Kumpulan Karya Tulis, Bandung: Alumni, 2006.
Sherry R Arnstein, A Ladder of Citizen Participation, Journal of the American Institute
of Planners, Vol. 35 No. 4, 1969, hlm. 216-224.
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung:
Alumni, 1981.
Subir Kumar Roy, The Principle of Sustainable Development, Human Rights, and Good
Governance, Brawijawa Law Journal, Vol. 3 No. 2.
Susi Dwi Harijanti, Merumuskan Ulang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Jurnal
Majelis, MPR RI, Edisi 4 Tahun 2016.
UN Declaration on The Right to Development 1986, dalam
http://www.un.org/documents/ga/res/41 /a41r128.htm, diakses 10 Agustus 2018.
55
LAMPIRAN
1. BUKTI SUBMIT JURNAL PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
UNPAD
2. NASKAH ARTIKEL JURNAL
OPTIMALISASI MUSYAWARAH DESA LINGGAWANGI
KABUPATEN TASIKMALAYA DALAM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DESA YANG BERKELANJUTAN
Ali Abdurahman, Indra Perwira, Mei Susanto, M. Adnan Yazar, dan Muhamad Syafrin
Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Village deliberation is one of the main characteristics of village original democracy which shows
the side of mutual cooperation or collectivism of the village community. Linggawangi Village,
Tasikmalaya Regency is one example of a village where participation is quite good (at the level
of consultation and partnership). However, deliberation in village development planning for
sustainable village development began to be disrupted along with the existence of village funds
from the government, so that village community contributions as a form of mutual cooperation
began to be questioned and even disappeared, as well as the transition of community activities
56
from agricultural communities to the home industry. Through community service, counseling was
carried out through lectures on the urgency to optimize the Linggawangi Village deliberation and
focus group discussion to find alternative models for optimizing village deliberation through the
design thinking approach. As a result, representatives of the Linggawangi Village community who
were present felt helped to be able to optimize village deliberation.
Keywords: village deliberation, participation, mutual cooperation, village development planning,
sustainable.
ABSTRAK
Musyawarah desa merupakan salah satu ciri pokok demokrasi asli desa yang menunjukkan sisi gotong
royong atau kolektivisme masyarakat desa. Desa Linggawangi Kabupaten Tasikmalaya adalah salah satu
contoh desa yang tingkat partisipasinya cukup baik (berada pada level konsultasi dan kemitraan). Namun,
musyawarah dalam perencanaan pembangunan desa guna pembangunan desa yang berkelanjutan mulai
terganggu seiring dengan adanya dana desa dari pemerintah, sehingga iuran masyarakat desa sebagai wujud
gotong royong mulai dipertanyakan bahkan menghilang, serta adanya peralihan kegiatan masyarakat dari
masyarakat agraris ke industri perumahan. Melalui pengabdian pada masyarakat, dilakukan penyuluhan
melalui ceramah mengenai urgensi melakukan optimalisasi musyawarah Desa Linggawangi serta focus
group discussion untuk mencari alternatif model optimalisasi musyawarah desa melalui pendekatan design
thinking. Hasilnya, perwakilan masyarakat Desa Linggawangi yang hadir merasa terbantu untuk dapat
mengoptimalkan musyawarah desa.
Kata kunci:musyawarah desa, partisipasi, gotong royong, perencanaan pembangunan desa, berkelanjutan.
PENDAHULUAN
Desa merupakan pemerintahan asli yang demokrastis dan telah dimiliki Indonesia
semenjak sebelum penjajahan Belanda (Hatta, 1939). Dalam tulisan yang berjudul Demokrasi
Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat, Hatta menyebut ada 3 ciri pokok demokrasi desa, yaitu
cita-cita rapat, cita-cita massa protes, dan cita-cita tolong menolong serta kolektvisme (Hatta,
1993). Ketiga ciri pokok tersebut saling bertalian satu sama lain, dimana dengan adanya rapat
tidak kemudian mengeliminasi protes sebagai bentuk kritik dalam alam demokrasi berdasarkan
konsensus bersama untuk dapat tolong menolong dalam berbagai persoalan yang menyangkut
orang banyak.
Paska kemerdekaan, posisi desa sebagai satuan pemerintahan terkecil dalam
ketatanegaraan Indonesia adalah cukup penting. Namun demikian, ciri demokrasi desa tersebut
mengalami pasang surut sebagai akibat penerapan desa yang sentralistis, khususnya pada Era
Orde Baru melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Akibatnya, terjadi
penyeragaman model pemerintahan desa, sehingga nilai demokratisnya menjadi berkurang. Paska
reformasi dengan tuntutan desentralisasi, mulai ada upaya untuk memberikan otonomi dan ruang
kreativitas lebih kepada Desa baik melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
maupun yang terbaru melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur secara lebih
khusus dan spesifik berkaitan dengan pemerintahan desa.
Salah satu kegiatan pemerintahan desa adalah perencanaan pembangunan desa.
Perencanaan pembangunan desa adalah poses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan unsur masyarakat
secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan desa. Ada beberapa definisi operasional perencanaan
pembangunan desa yang berkaitan dengan ciri pokok demokrasi desa, yaitu pelibatan BPD dan
unsur masyarakat secara partisipatif. Berdasarkan hal tersebut, menarik untuk mencermati
57
bagaimana proses perencanaan pembangunan desa yang harus dilakukan secara bersama antara
Pemerintah Desa dengan BPD serta unsur masyarakat yang berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa dilakukan dalam forum yang bernama Musyawarah Desa. Timbul pertanyaan,
apakah model musyawarah desa tersebut telah mampu mengembalikan ciri demokrasi desa.
Bahkan lebih jauh, apakah dengan adanya musyawarah desa dalam perencanaan pembangunan
desa yang melibatkan seluruh elemen yang ada di desa, mampu menjadikannya menjadi
pembangunan yang berkelanjutan.
Persoalan-persoalan tersebut mengemuka terhadap implementasi dan praktik UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa. Sebagai upaya untuk melihat implementasi tersebut, maka dilakukan
pengabdian pada masyarakat (PKM) dengan mengambil contoh musyawarah desa yang dilakukan
di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Desa tersebut
dipilih, karena selain masih asri berada di daerah kabupaten dengan kegiatan utama penduduk di
bidang pertanian, namun telah mengalami pergeseran kearah industrialisasi dalam bentuk adanya
kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan berbagai macam kegiatan ekonomi rumahan
untuk dikirim ke luar daerah Tasikmalaya. Dengan demikian, desa ini dapat dianggap tepat untuk
melihat konteks musyawarah perencanaan pembangunan desa ditengah-tengah tuntutan
masyarakat desa yang mulai enggan bertani dan bergeser kearah kegiatan lain.
Program pengabdian pada masyarakat yang dilakukan di Desa Linggawangi tersebut
bertujuan untuk menggali kegiatan musyawarah desa dalam perencanaan pembangunan desa,
apakah telah dilakukan secara partisipatif atau belum. Setelah itu, dilakukan penyuluhan dengan
masyarakat Desa Linggawangi untuk dapat meningkatkan pemahaman dan mengoptimalkan
musyawarah desa dalam perencanaan pembangunan desa yang berkelanjutan. Selain itu diberikan
juga model design thinking sebagai salah satu sarana untuk dapat mengoptimalkan musyawarah
desa.
METODE
Metode yang dipergunakan dalam menyelesaikan persoalan “musyawarah desa dalam
perencanaan pembangunan desa yang berkelanjutan” dilakukan dengan dua tahap, pertama,
pengukuran tingkat partisipasi masyarakat Desa Linggawangi melalui pendekatan tangga
partisipasi, dan kedua, metode pendidikan masyarakat dalam bentuk penyuluhan yang bertujuan
meningkatkan pemahaman masyarakat Desa Linggawangi mengenai urgensi mengoptimalkan
musyawarah desa dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dalam bentuk pemberian
materi melalui kuliah, dan pemberian materi melui focus group discussion untuk mencari
alternatif model pengoptimalan musyawarah desa melalui pendekatan design thinking.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Linggawangi Dalam Musyawarah
Desa
Untuk dapat mengukur tingkat partispasi masyarakat Desa Linggawangi dalam
Musyawarah Desa, khususnya perencanaan pembangunan dilakukan pengukuran tangga
58
partisipasi. Arnstein pada tahun 1969 menulis artikel berjudul A Ladder of Citizen Participation
(tangga partisipasi masyarakat) dalam Journal of the American Institute Panners. Arnstein
mengemukakan ada delapan anak tangga yang mengurut dari bawah ke atas sebagai bentuk
partisipasi, yaitu manipulasi (manipulasi), therapy (terapi), informing (pemberian informasi),
consultation (konsultasi), placation (penentraman), partnership (kemitraan), delegated power
(pendelegatian kekuasaan), dan citizen control (kontrol/kendali pulik).
8 Kontrol Publik
7 Pendelagasian Kekuasaan
6 Kemitraan
5 Penentraman
4 Konsultasi
3 Informasi
2 Terapi
1 Manipulasi
Gambar 1. Tangga Partisipasi (Sumber Arnstein, 1969)
Arnstein mengelompokkan delapan anak tangga tersebut menjadi tiga bagian. Bagian
kesatu, nonparticipation (tidak ada partisipasi) yang terdiri dari Manipulation dan Therapy. Pada
bagian ini, penguasa sengaja menghapus segala bentuk partisipasi publik. Di level Manipulation,
penguasa memilih dan mendidik sejumlah orang sebagai wakil dari publik. Fungsinya, ketika
penguasa mengajukan berbagai program dan kegiatan, maka para wakil publik tadi harus selalu
menyetujuinya. Sedangkan publik sama sekali tidak diberitahu tentang hal tersebut. Pada level
Therapy, penguasa sedikit memberitahu kepada publik tentang beberapa programnya yang sudah
disetujui oleh wakil publik. Publik hanya bisa mendengarkan.
Bagian kedua, Tokenism yang terdiri dari Informing, Consultation dan Placation. Dalam
Tokenism, penguasa menciptakan citra, tidak lagi menghalangi partisipasi publik. Kenyataannya
mungkin berbeda. Partisipasi publik ada, namun sering kali penguasa mengabaikannya. Penguasa
tetap mengeksekusi rencananya semula. Ketika berada di level Informing, penguasa
menginformasikan berbagai macam program yang akan dan sudah dilaksanakan. Namun
demikian, hanya dikomunikasikan searah, publik belum dapat melakukan komunikasi umpan-
balik secara langsung. Untuk level Consultation, penguasa berdiskusi dengan banyak elemen
publik tentang berbagai macam persoalan dan agenda. Semua saran dan kritik didengarkan. Tetapi
penguasa memutuskan, apakah saran dan kritik dari publik dipakai atau tidak. Lalu pada level
Placation, penguasa berjanji melakukan berbagai saran dan kritik dari publik sebagai bentuk
penentraman, walaupun yang diputuskan masih merupakan kebijakan pemilik kuasa.
Pada bagian ketiga, ada 3 (tiga bentuk) antara lain Partnership, Delegated Power dan
Citizen Control. Bagian ketiga ini masuk dalam istilah Citizen Power (masyarakat berkuasa). Saat
partisipasi publik telah mencapai Citizen Power, maka penguasa benar-benar mendahulukan
peran serta publik dalam berbagai hal. Saat tiba di level Partnership, mereka memperlakukan
publik selayaknya rekan kerja. Mereka bermitra dalam merancang dan mengimplementasi aneka
kebijakan publik. Naik ke level Delegated Power, mereka mendelegasikan beberapa
kewenangannya kepada publik. Contoh, publik punya hak veto dalam proses pengambilan
keputusan. Level tertinggi yaitu Citizen Control. Publik yang lebih mendominasi ketimbang
mereka. Bahkan sampai dengan mengevaluasi kinerja mereka. Partisipasi publik yang ideal
tercipta di level ini.
Kekuasaan Masyarakat
Tokenisme
Non Partisipasi
59
Berdasarkan model partisipasi tersebut, dilakukan survei untuk mengukur tingkat
partisipasi masyarakat Desa Linggawangi dalam proses musyawarah desa. Survey tersebut
dilakukan melalui penyebaran kuesioner terhadap 26 orang perwakilan masyarakat Desa
Linggawangi yang merupakan Pengurus Desa, Perwakilan BPD, Perwakilan Dusun, Perwakilan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan beberapa wakil masyarakat umum. Adapun hasil survey
tersebut adalah:
Indikator Partisipasi Setuju Tidak
Setuju Lainnya Keterangan
Dalam pelaksanaan program dan
pengambilan keputusan, tidak ada
musyawarah dan dialog dengan masyarakat 15% 73% 12%
Manipulasi
Pemerintah sudah menentukan program,
keputusan, dan rancangan kegiatan dan
hanya sedikit yang disampaikan kepada
masyarakat serta tidak ada dialog untuk
menanggapi 8% 88% 4%
Terapi
Pemerintah menginformasikan macam-
macam program yang akan dan sudah
dilaksanakan, tetapi masyarakat belum dapat
melakukan dialog untuk menanggapi 15% 62% 23%
Informasi
Masyarakat diperbolehkan memberikan
usulan dan kritik, walaupun tidak dijamin
untuk diterima karena yang memutuskan
tetap pemerintah 46% 46% 8%
Konsultasi
Semua usulan dan kritik dari masyarakat
diterima, namun usulan tersebut tetap dinilai
kelayakannya oleh pemerintah yang akhirnya
pemerintah diam-diam menjalankan
rencananya yang semula 31% 46% 23%
Penentraman
Masyarakat dan pemerintah secara bersama-
sama merancang dan melaksanakan kegiatan
dalam pembangunan desa 46% 12% 42%
Kemitraan
Pemerintah memberikan tanggung jawab
penuh kepada masyarakat yaitu memberikan
kewenangan dalam merancang,
melaksanakan, monitoring dan evaluasi
kegiatan pembangunan desa 38% 31% 31%
Pendelegasian
kekuasaan
Masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai
kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang
disepakati bersama. Peran masyarakat lebih
besar dibandingkan peran pemerintah 35% 35% 31%
Kendali Warga
Tabel 1. Hasil Survey Perwakilan Masyarakat Desa Linggawangi dalam Partisipasi
Musyawarah Desa
(Indikator partisipasi menggunakan pendekatan Hadi Suroso, Abdul Hakim dan Irwan Noor,
2014)
Dari hasil survey tersebut dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat Desa
Linggawangi secara umum berada pada rentang bagian kedua dan ketiga yaitu tokenisme dan
kekuasaan masyarakat. Nilai partisipasi yang paling tinggi berada pada tahap konsultasi dan
kemitraan. Survey tersebut menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Desa
Linggawangi sudah cukup baik karena berada pada level kekuasaan masyarakat. Bahkan ketika
60
dilakukan konfirmasi dalam bentuk wawancara langsung, masyarakat menyetujui adanya proses
partisipasi yang cukup baik tersebut. Termasuk saat sedang dilakukan program pengabdian pada
masyarakat, sedang terjadi demo dari beberapa warga berkaitan dengan permasalahan ari di Desa
Linggawangi. Dengan demikian, tingkat partisipasi tersebut menunjukkan karakter masyarakat
Desa Linggawangi yang masih menunjukkan cita-cita rapat, cita-cita protes dan kolektivisme
sebagaimana disebutkan Hatta.
Namun demikian, dalam wawancara tatap muka, masyarakat mengungkap mulai adanya
proses penipisan kolektivisme dalam bentuk keengganan untuk melakukan iuran guna
kepentingan masyarakat desa dengan alasan adanya Dana Desa dari Pemerintah. Akibatnya,
masyarakat mulai menunjukkan sisi ketidakpedulian sebagai dampak adanya bantuan pendanaan
tersebut. Kondisi demikian ditambah dengan mulai berpindahnya warga dari masyarakat agraris
pertanian ke industri rumahan dalam bentuk usaha pembuatan makanan ringan untuk dikirim ke
kota-kota besar. Berpindahnya kegiatan masyarakat tersebut, juga menambah penipisan sisi
kolektivisme masyarakat karena disibukkan untuk mengejar target industri rumahan tersebut.
B. Optimalisasi Musyawarah Desa Linggawangi
Berdasarkan hasil riset berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat Desa Linggawangi dalam
musyawarah desa yang menyimpulkan tingkat partisipasi masyarakat yang sudah cukup baik, sehingga tiga
ciri utama demokrasi desa yaitu cita-cita rapat, protes dan kolekvisme masih cukup terjaga, walaupun juga
mulai terjadi penipisan kolektivisme sebagai akibat dari bantuan dana desa dan beralihnya sebagian
kegiatan agraris masyarakat, maka dilakukan pendidikan masyarakat dalam bentuk penyuluhan dan focus
group discussion (FGD) dalam rangka Optimalisasi Musyawarah Desa Linggawangi.
Pertama, berkaitan dengan penyuluhan dilakukan dalam bentuk materi kuliah yang menjelaskan
materi: (1) definisi perencanaan pembangunan desa; (2) dasar hukum perencanaan pembangunan desa; (3)
jenis-jenis perencanan pembangunan desa; (4) keterkaitan Rencana Pembangunan Menengah Desa
(RPJMDes) dengan perencanaan daerah (khususnya Kabupaten); (5) siklus perencanaan pembangunan
desa; (6) urgensi musyawarah desa; (7) tangga partisipasi; dan (8) urgensi optimalisasi musyawarah desa
(Kessa, 2015). Dari materi yang dipaparkan oleh tim pengabdian pada masyarakat yang kemudian direspon
oleh dengan cukup baik oleh masyarakat dengan mengatakan, walaupun tingkat partisipasi sudah baik,
namun masyarakat desa sering kali lupa, sehingga materi pengabdian pada masyarakat tersebut cukup tepat
untuk memberikan pemahaman ulang perwakilan warga yang hadir.
Kedua, berkaitan dengan FGD dengan membentuk dua kelompok dari peserta yang hadir. Selanjut
tim pengabdian pada masyarakat melakukan penyampaian pengantar FGD yang berjudul “Model Design
Thinking Untuk Optimalisasi Musawarah Desa”. Model design thinking ini sengaja dipergunakan sebagai
tawaran alternatif agar musaywarah desa lebih optimal. Hal tersebut karena dalam design thinking
masyarakat diajak untuk berinovasi. Dalam design thinking harus didasarkan pada ekseperimen, berpusat
pada manusia, kolaborasi dan sikap optimis dalam menghadapi suatu masalah. Adapun model design
thinking dilakukan dengan 5 (lima) langkah (Brown, 208). Pertama, empathyze dimana masyarakat (atau
wakilnya) harus melakukan observasi masalah dan terlibat langsung dalam masalah sehingga dapat
merasakan bagaimana persoalan itu terjadi. Kedua, define dimana masyarakat (atau wakilnya) harus mulai
mendefinisikan dan menentukan persoalan yang ada secara fous dan spesifik sesuai kebutuhan yang ada.
Ketiga, idea dimana masyarakat (atau wakilnya) mulai memunculkan gagasan-gagasan untuk
menyelesaikan masalah tersebut dapat dengan menggunakan sketsa, mindmap, diagram ikan, dan lain-lain.
Keempat, prototype dimana masyarakat (atau wakilnya) melakukan uji coba untuk menentukan model
penyelesaian masalah. Dan kelima, test dimana masyarakat (atau wakilnya) melakukan penerapan model
penyelesaian masalah.
Dari model design thinking tersebut, selanjutnya dilakukan FGD untuk mencoba mengoptimalisasi
musyawarah desa dalam perencanaan pembangunan desa yang berkelanjutan. Model design thinking yang
sudah ada tersebut dikombinasikan dengan daftar isian yang telah disiapkan oleh tim pengabdian pada
masyarakat, sehingga memudahkan masyarakat untuk dapat terlibat secara partisipatif dalam perencanaan
pembangunan desa. Daftar isian tersebut diantaranya: (1) model sketsa desa; (2) daftar masalah dan potensi
yang ada; (3) contoh kalender musim, daftar masalah dan potensinya; (4) contoh bagan kelembagaan, daftar
masalah dan potensinya; (5) formulir penentuan peringkat masalah dan tindakannya; (6) formulir
perencanaan pembangunan desa yang didanai Dana Desa dan didanai Masyarakat ataau pihak ketiga; (7)
61
formulir rencana pembangunan jangka menengah desa, pemeringkatan masalah, indikasi perencanaan; (8)
berita acara musrenbang (Andusti, 2014; Abdurahman, 2018).
Daftar isian tersebut merupakan sarana yang seharusnya ada dalam musyawarah perencanan
pembangunan desa, sehingga setiap elemen dapat melihat dan mengisinya secara langsung. Dengan
demikian, seluruh pihak akan dapat terlibat secara optimal sehingga musyawarah desa juga akan menjadi
optimal. Selain itu, daftar isian tersebut dapat melengkapi papan informasi yang tersedia di kantor desa
yang masih sangat umum dan general berkaitan dengan geografi dan kondisi masyarakat desa tanpa
menunjukkan persoalan dan potensinya. Bahkan, papan informasi yang berisi data statistik pembangunan
yang terpampang di kantor desa, berisi informasi pendanaan desa tahun 2017, padahal tahun 2018 sudah
berjalan sampai dengan bulan November.
Hasil dari FGD tersebut menunjukkan, peserta cukup antusias dan mengharapkan adanya
pendalaman dan praktik model design thinking serta sosialisasi yang lebih massif terhadap masyarakat
sehingga musyawarah perencanaan pembangunan desa dapat lebih partisipatif sampai pada level kendali
publik.
SIMPULAN
Masyarakat Desa Linggawangi Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya memiliki
tingkat partisipasi yang cukup tinggi dalam pemerintahan desanya yaitu pada tingkat konsultasi
dan kemitraan. Upaya yang dilakukan agar musyawarah desa lebih optimal dilakukan dengan
pendekatan pendidikan yaitu penyuluhan yang berisi kuliah/ceramah mengenai urgensi
musyawarah desa dan FGD untuk mengimplementasikan model design thinking dalam rangka
mengoptimalkan musyawarah desa. Walaupun tingkat partisipasi cukup tinggi, namun model
pendekatan yang baru dalam musyawarah desa dianggap dibutuhkan sebagai alternatif model
mengoptimalkan musyawarah desa, khususnya dalam rangka perencanaan pembangunan
berkelanjutan. Temuan lain yang menarik adalah adanya kecenderungan menipisnya sifat gotong
royong masyarakat desa khususnya dalam bentuk iuran sebagai akibat adanya bantuan Dana Desa.
Tujuan Dana Desa berupa kemandirian desa sangat mungkin tidak tercapai karena desa justru
bergantung terhadap Dana Desa tersebut. Bahkan, lambat laun, dapat saja Dana Desa mendorong
masayrakat desa menjadi lebih individualis dan menjauhi gotong royong. Hal yang perlu diteliti
lebih dalam dalam riset lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, A. (2018). Optimalisasi Musyawarah Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Desa
Yang Berkelanjutan, Bahan Pengabdian Pada Masyarakat.
Andusti, N. (2014). Perencanaan Pembangunan Desa., Bahan Pelatihan Manajemen
Pemerintahan Desa.
Arnstein, S.R. (1969). A Ladder of Citizen Participation, Journal of the American Institute of
Planners, 35 (4) 216-224.
Brown, T. (2008). Design Thinking. Havard Business Review.
Hatta, M. (1939). Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat, dalam Kusno, Bung Hatta
Dan Konsep Demokrasi Asli Indonesia, http://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dan-
konsep-demokrasi-asli-indonesia/#ixzz4Ffd4xBvv diakses 17 November 2018 pkl. 20.00
WIB.
Kessa, W. (2015). Buku 6, Perencanaan Pembangunan Desa. Jakarta: Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Suroso, H., Hakim, A., dan Noor, I. (2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi
Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Di Desa Banjaran Kecamatan Driyorejo
Kabupaten Gresik. Jurnal Wacana, 17 (1) 7-15.