laporan gt2

Upload: novya-kusuma-dewi

Post on 15-Jul-2015

90 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangSebelumnya telah dilakukan tahap 1 perancangan tata letak pabrik dengan menggunakan filosofi GT sehingga dihasilkan output berupa waktu proses, jumlah mesin, penentuan sel, tata letak mesin dalam sel, serta luas lantai produksi, GBBU, GBBP, Warehouse. Pada tahap kedua ini akan dilakukan penyusunan bagian perakitan yang merupakan bagian akhir dari suatu proses produksi. Pada bagian perakitan, terdapat serangkaian proses yang membutuhkan mesin-mesin sesuai urutannya. Urutan ini dapat terlihat pada assembly chart yang pernah dibuat. Setelah menentukan urutan yang tepat dapat terbentuk suatu precedence diagram. Proses perakitan memiliki sifat kegiatan yang sekuensial atau berurutan sehingga dibutuhkan line balancing untuk bagian assembly agar permintaan yang ada dapat terpenuhi. Tidak berbeda dengan modul tradisional, pada tahap ini dilakukan perhitungan OMH yang menjadi salah satu kriteria performasi dalam perancangan tata letak pabrik. OMH penting untuk diperhitungkan karena 20%-70% biaya produksi berasal dari biaya penanganan material. Minimasi dari OMH ini akan sangat berpengaruh terhadap biaya produksi keseluruhan. Dalam perancangan layout, kami menggunakan bantuan software VIP-PlanOpt sehingga akan didapatkan tata letak sel yang memiliki biaya minimum. Hasil layout tersebut akan menjadi dasar pembentukan OMH perbaikan yang akan menjadi input untuk modul selanjutnya. Pentingnya penentuan OMH serta lintasan perakitan dalam suatu perancangan tata letak pabrik mengharuskan kami menjalankan tahap 2 ini dengan tepat. Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan perhitungan OMH dan line balancing untuk assembly.

1.2 TujuanTujuan dari tahap 2 GT ini adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perhitungan OMH Pembuatan alternatif layout Pemilihan layout Perhitungan OMH Perbaikan Pembuatan Precedence diagram untuk pabrik III (berdasarkan AC) Penentuan Pengelompokan pekerjaan dalam lini perakitan.

BAB II LANDASAN TEORI DAN FLOW CHART2.1 Landasan Teori2.1.1 Pembuatan Precedence diagram

Precedence diagram dibuat sebagai dasar penentuan jumlah stasiun kerja yang dibutuhkan pada Sel Assembly. Precedence dibuat dengan memperhatikan urutan proses yang ada pada routing sheet Assembly. Pada pembuatan precedence diagram, proses dibagi menjadi 4 tahap yaitu pre-painting (spray booth dan oven), pengecatan (painting), setelah pengecatan (post-painting), dan packing. Precedence dibuat berdasarkan AC masing-masing kelompok untuk produk EGBC pada modul tradisional tahap 2.2.1.2 Line Balancing Sel Assembly

Pada penyusunan stasiun kerja Assembly, dilakukan line balancing pada lini produksinya. Line balancing dilakukan menggunakan salah satu dari 3 metode, yaitu Region Approach, Largest Candidate Rule, dan Helgeson-Birnie. Hasil line balancing akan menunjukkan jumlah stasiun kerja yang dibutuhkan. Largest Candidate Rule Largest Candidate Rule merupakan metode heuristik yang paling sederhana. Pengelompokan elemen kerja pada stasiun kerja hanya berdasarkan waktu elemen. Langkah-langkah yang dilakukan pada metode ini : 1. Urutkan seluruh elemen pekerjaan berdasarkan waktu elemen mulai dari waktu elemen terbesar. 2. Untuk menempatkan elemen kerja pada stasiun kerja 1 dimulai dari elemen dengan waktu terbesar (elemen teratas pada daftar). Kemudian masukkan elemen kerja yang berada pada urutan di bawahnya. Elemen kerja yang dimasukkan tidak boleh melanggar precedence constraint dan jumlah waktu elemen-elemen tersebut tidak boleh melebihi cycle time (CT).

T : Waktu produksi yang tersedia (menit/jam) d : demand produk (unit/jam) 3. Lanjutkan proses pengelompokan seperti pada langkah ke 2. 4. Ulangi langkah 2 dan 3 untuk stasiun kerja lainnya hingga seluruh elemen dikelompokkan. Region Approach Region Approach merupakan metode heuristik yang menempatkan elemen pekerjaan pada stasiun kerja berdasarkan posisi pada Precedence diagram. Elemen yang terletak lebih awal pada diagram ditempatkan lebih dulu pada stasiun kerja pertama. Hal ini mengatasi kelemahan pada metode Largest Candidate Rule dimana elemen yang terletak di ujung precedence diagram dapat menjadi kandidat pada stasiun pertama akibat nilai waktu elemen yang besar. Langkah-langkah yang dilakukan pada metode ini :

1. Membuat kolom-kolom atau region pada precedence diagram. Kolom 1 memuat elemenelemen pekerjaan yang tidak memiliki predecessor. Kolom 2 memuat elemen pekerjaan dengan predecessor kolom 1, dan seterusnya. Untuk elemen kerja yang memiliki precedence yang identik ditempatkan dalam 1 kolom. Elemen yang dapat diletakkan pada beberapa kolom digambarkan pada precedence diagram menggunakan node bergaris putus-putus tanpa melanggar precedence constraint. 2. Membuat daftar elemen sesuai dengan kolom atau region yang telah dibuat. Apabila sebuah elemen dapat ditempatkan pada lebih dari 1 region. 3. Untuk mengelompokkan elemen pada stasiun kerja dimulai dengan elemen pada region 1. Kemudian jumlahkan waktu elemen-elemen tersebut. Apabila jumlah waktu tersebut masih lebih kecil dari cycle time, lihat waktu elemen-elemen kerja pada region 2. Masukkan elemen kerja pada region 2 yang waktu elemennya memungkinkan untuk ditambahkan pada stasiun kerja (station time lebih kecil dari cycle time ). 4. Lakukan evaluasi dan pertukaran elemen kerja antar stasiun kerja bila perlu. Berbeda dengan metode Largest Candidate Rule, pada metode ini kita tidak perlu mengelompokkan elemen kerja dengan mempertimbangkan precedence diagram karena telah diatur dengan adanya pembagian region. Metoda Helgeson Birnie / Ranked Positional Weight ( RPW ) Metode ini lebih menitikberatkan pada pembatasan daerah berdasarkan precedence diagram. Setiap stasiun kerja dikelompokkan masing-masing sesuai dengan ada tidaknya predecesor dan kesamaan urutan. Setiap proses iterasi dilakukan berdasarkan precedence diagram dimana hanya setiap workstation yang berdekatan dan yang visibel dari segi urutan dan CT yang akan digabungkan. Jadi titik beratnya adalah kedekatan dan jangkauan daerah antar stasiun kerja. Langkah-langkah untuk menyusun lintas perakitan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut: 1. Urutkan data elemen pekerjaan berdasarkan waktu, mulai dari yang paling atas adalah elemen pekerjaan yang paling lama sampai yang paling cepat. 2. Dari data urutan elemen kerja tersebut alokasikan elemen pekerjaan mulai pada stasiun kerja yang pertama. Elemen pekerjaan yang diprioritaskan untuk dialokasikan terlebih dahulu adalah elemen kerja yang fisibel (berdasarkan precedence constraints) dan memiliki waktu paling lama (urutan paling atas). 3. Alokasikan elemen-elemen pekerjaan dengan menggunakan prioritas tersebut untuk setiap stasiun sampai waktu total stasiun kurang dari atau sama dengan cycle time. Adapun untuk ketiga metode tersebut langkah yang dilakukan dapat hampir sama yaitu terbagi atas 4 bagian yaitu pre-paint, painting, post-paint, dan packing. Kriteria performansi perancangan stasiun kerja : o Minimum waktu menganggur Waktu menganggur yang besar pada suatu lintas perakitan menunjukkan bahwa pembagian elemen pekerjaan dalam tiap stasiun di lintas perakitan tersebut tidak merata. Semakin kecil waktu menganggur, semakin baik lintasan produksinya. o Balance delay (Minimum keseimbangan waktu senggang)

Semakin besar keseimbangan waktu senggang suatu lintas perakitan menunjukkan semakin banyak waktu senggang yang tersedia bagi operator.

o Efisiensi lintasan Semakin besar persentase efisiensi suatu lintas perakitan, maka semakin baik lintas perakitan tersebut.

Ws : waktu stasiun maksimum Wi : waktu stasiun ke-i n : jumlah stasiun dalam lini perakitan Tingkat efisiensi dapat mengindikasikan adanya waktu menganggur ataupun beban kerja yang tidak merata pada tiap stasiun. Semakin rendah efisiensi, maka waktu menganggur semakin tinggi. Diharapkan dengan adanya penyeimbangan lintasan, maka waktu menganggur tiap stasiun dapat diminimasi dan distribusi beban kerja (elemen kerja) juga merata, dimana hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya tingkat efisiensi lini perakitan. o Smoothness index Smoothness index adalah indeks yang menggambarkan kelancaran lintas perakitan. Smoothness index = 0 menunjukkan lintas perakitan yang sempurna.

K : jumlah stasiun kerja STmax : waktu stasiun terbesar STi : waktu sebenarnya dalam setiap stasiun

2.1.3 Perhitungan Luas Sel Assembly

Tata letak lantai Sel Assembly secara umum mengikuti di atas. Proses pada Sel Assembly dilakukan pada lini perakitan yang menggunakan conveyor berjalan. Lini perakitan tersebut dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu: 1. Lini perakitan sebelum proses pengecatan (pre-painting) Lini perakitan pre-painting terdiri dari empat jenis conveyor, yaitu conveyor subassembly Engine (E1), Gondola (G1), Boxcar (B1), dan Caboose (C1). Keempat jenis conveyor tersebut masing-masing terdiri dari bench I, rack, dan disc sand. 2. Proses pengecatan (painting) Proses pengecatan terdiri dari spray booth dan oven. Area ini tidak menggunakan conveyor. 3. Lini perakitan setelah proses pengecatan (post-painting) Lini perakitan post-painting terdiri dari lima jenis conveyor, yaitu conveyor subassembly Engine (E2), Gondola (G2), Boxcar (B2), dan Caboose (C2). Conveyor E2, G2, B2, dan C2, masing-masing terdiri bench II. Sedangkan 4. Lini perakitan untuk proses packing. Conveyor E2, G2, B2, dan C2 akan menyatu dan bergabung di Conveyor P. Conveyor P terdiri dari bench III. Perpindahan material dengan lift truck, walking pallet, atau manusia, terjadi pada: - conveyor sebelum proses pengecatan ke spray booth - spray booth ke oven, dan sebaliknya

- oven ke conveyor setelah proses pengecatan (bench II) Sel Assembly terdiri dari lini perakitan (conveyor), spraybooth dan oven Bentuk lintasan conveyor keseluruhan (dapat berbentuk lurus, S, U, Z, atau bentuk lainnya) dibebaskan kepada kelompok masing-masing, namun harap diperhatikan bahwa bentuk lintasan conveyor dalam pabrik akan mempengaruhi bentuk dan luas pabrik sehingga bentuk yang salah/tidak logis bisa membuat pemborosan lahan atau menghambat proses produksi Stasiun kerja (Bench 1, Rack, DiscSand, Bench 2, dan Bench 3) berada di samping conveyor. Posisi tersebut harus selalu berada disisi yang sama pada tiap-tiap conveyor. Setiap bench diasumsikan menempel pada conveyor, bagian yang menempel pada conveyor adalah bagian lebar meja (1m) Ukuran bench = (2 x 1) m2 Ukuran operator = (1x 1) m2 Lebar conveyor = 0,5 m Jarak minimum antar bench = 1,0 m Spraybooth dan oven berada diantara lini perakitan E1,G1,B1,C1 dan lini perakitan E2,G2,B2,C2 dan tidak dilalui oleh conveyor Terdapat pada area penerimaan (area WorkInProcess) terhadap output lini perakitan bench E1,G1,B1,C1, letak area penerimaan berada di ujung conveyor lini perakitan tersebut. Perhitungan luas Sel Assembly ini kemudian akan dimasukkan sebagai salah satu sel yang diperhitungkan apabila diputuskan untuk menggabungkan sel-sel Prefabrikasi dan Fabrikasi dengan sel Assembly di dalam satu gedung (Skenario A).

2.1.4 Perhitungan OMH

Pada prinsipnya, perhitungan OMH berdasarkan skenario yang dipilih. Pada modul ini dilakukan perhitungan OMH pada prefabrikasi dan fabrikasi serta OMH assembly, sedangkan OMH antar gedung (jika menggunakan Skenario B) dilakukan pada modul GT3.

2.1.5 Pembuatan Matriks Ongkos dan Matriks Aliran

Sama halnya dengan modul tradisional, setelah didapatkan tabel OMH maka dilakukan pembuatan matriks ongkos dan matriks aliran serta matriks prioritas untuk mendapatkan dasar penyusunan sel dalam pabrik.2.1.6 Pemilihan Alternatif Tata Letak Sel

Dari matriks prioritas yang didapatkan, dilakukan pembuatan alternatif tata letak sel. Alternatif dibuat dengan menggunakan software VIP Plant OPT. Pemilihan berdasarkan feasibilitas dan OMH terkecil.

2.1.7 Perbaikan Tata Letak Sel dan perhitungan OMH Perbaikan

Lakukan perbaikan tata letak sel yang telah dihasilkan oleh software agar menjadi sempurna. Setiap sel boleh digeser dan/atau diubah luasnya. Namun, setelah itu tetap harus menghitung OMH perbaikan dari perubahan tersebut.

2.2 Flow Chart

BAB III PENGOLAHAN DATA3.5 Ongkos Material Handling3.5.1 OMH Prefabrikasi dan Fabrikasi Berikut adalah contoh Tabel OMH prefabrikasi dan fabrikasi dari Receiving ke gudang:

Perhitungan demand yang digunakan pada perhitungan OMH receiving kegudang adalah demand/minggu. Contoh perhitungan yang akan dilakukan untuk material rough lumber 1/4 yang mengalir dari receiving ke gudang bahan baku. Demand, spesifikasi ukuran dari tahap sebelumnya: Demand/leadtime Spesifikasi (inch) Berat Jenis (kg/m3) Setelah itu dapat dihitung:Volume komponen (m3) Volume/leadtime (m3) = 146 in x 2 in x 1.25 in x (0.0254)3 = 0.05941 m3 (balok) = volume komponen x demand/leadtime = 0.05941 x 709 = 4,2407 m3 = volume/leadtime x berat jenis = 4,2407 x 600 = 2544,44 kg

material, serta berat jenis sudah didapatkan sebagai data awal = 709 (routing sheet GBBU pada tahap I) = 146 x 2 x 1.25 (tabel kebutuhan RL tahap tradisional) = 600 (data berat jenis material kayu)

Berat Total (kg)

Begitu selanjutnya untuk perhitungan-perhitungan selanjutnya. Setelah melakukan perhitungan OMH awal, dilakukan pula perhitungan OMH perbaikan untuk prefabrikasi dan fabrikasi. Berikut contoh tabel perhitungannya:

Perhitungan dalam tabel tersebut didapat dengan tahap berikut: y y y y y Kolom jarak : Dihitung dengan menggunakan jarak sebenarnya dari AAD yang didapat dari VIP-PLANOPT. Jumlah perpindahan : Diambil dari matriks aliran yang dihitung sebelumnya Jenis transportasi : Didapat dari perhitungan OMH sebelumnya Kolom Rp/m : Didapat dari OMH sebelumnya Kolom OPM : perkalian dari jarak, jumlah perpindahan, dan kolom Rp/m.

OPM cumulative : penjumlahan dari tiap biaya dari atas ke bawah Dari pembuatan tabel tersebut, maka didapatkan nilai keseluruhan dari ongkos pemindahan material perbaikan adalah 3.5.2 OMH Assembly Berikut contoh tabel perhitungan OMH assembly:

Contoh yang kami tampilkan adalah perpindahan dari Conveyor E.1 ke Spray Booth untuk material bernomor 110.

Demand, spesifikasi ukuran dari tahap sebelumnya: Demand/leadtime Spesifikasi (inch) Berat Jenis (kg/m3) Setelah itu dapat dihitung: Volume komponen (m3)Volume/leadtime (m3)

material, serta berat jenis sudah didapatkan sebagai data awal = 100 = 0,75 x 9,5 x 2 (tabel kebutuhan RL tahap tradisional) = 600 (data berat jenis material kayu)

= 0,75 x 9,5 x 2 x (0.0254)3 = 0.0002335 m3 (balok)= volume komponen x demand/leadtime = 0.0002335 x 100 = 0,02335 m3 = volume/leadtime x berat jenis

Berat Total (kg)

= 0,02335 x 600 = 14,01 kg Begitu selanjutnya untuk perhitungan OMH Assembly ini. OMH Assembly ini juga akan dilakukan perbaikan dengan menghitung jarak aliran sebenarnya. y y y y y Kolom jarak : Dihitung dengan menggunakan jarak sebenarnya dari AAD yang didapat dari tata letak di visio. Jumlah perpindahan : Diambil dari matriks aliran yang dihitung sebelumnya Jenis transportasi : Didapat dari perhitungan OMH sebelumnya Kolom Rp/m : Didapat dari OMH sebelumnya Kolom OPM : perkalian dari jarak, jumlah perpindahan, dan kolom Rp/m.

3.6 Perhitungan Matriks Berat, Inflow, Outflow3.6.1 Matriks Berat Matriks ini memperlihatkan berat material yang mengalir dari suatu unit ke unit lain.

Berikut contoh tabel dari receiving ke GBU:

3.6.2 Matrik Aliran

a. Matrik Inflow Matriks inflow merupakan matriks yang menghitung perbandingan berat material yang masuk ke suatu stasiun dengan total berat material yang masuk ke stasiun tersebut.

Berikut contoh perhitungan untuk matriks aliran:

Untuk perpindahan berat material dari receiving ke GBU: Data diketahui (dari weight matrix) : y Jumlah material yang berpindah y Total Jumlah Berat yang masuk ke GBU

= 20556,416 kg = 28891,3kg

Inflow dari Receiving ke GBU = 20556,416/28891,3 = 0,712 b. Matriks Outflow Matriks inflow merupakan matriks yang menunjukkan nilai perbandingan antara jumlah berat material yang berpindah ke suatu stasiun dedngan jumlah berat material yang keluar dari stasiun tujuan tersebut.

Berikut contoh perhitungan untuk matriks aliran:

Untuk perpindahan berat material dari receiving ke GBU: Data diketahui (dari weight matrix) : y y Jumlah material yang berpindah Total Jumlah Berat yang masuk ke GBU = 20556,416 kg = 11,214

Inflow dari Receiving ke GBU = 20556,416/28891,3/80(Lead Time) = 1,086

BAB IV ANALISIS4.1 Analisis Hubungan Precedence diagram dengan Assembly ChartDalam perakitan produk, dibutuhkan informasi akan komponen penyusun beserta urutan perakitannya. Informasi ini didapatkan dari AC yang pernah dibuat sebelumnya. AC dapat menggambarkan part-part yang harus dirakit menjadi satu serta urutannya. Precedence diagram dengan menggunakan informasi dari AC dapat menunjukkan hubungan antar aktivitas perakitan. Pada precedence diagram dapat dilihat komponen mana yang harus dirakit terlebih dahulu, dirakit setelahnya, ataupun yang dapat dikerjakan secara paralel. Informasi akan urutan tersebut sangat penting sehingga diperlukan AC untuk memberikan informasi tersebut. Precedence diagram juga mencantumkan aktivitas-aktivitas yang sebelumnya tidak tergambarkan di AC, seperti aktivitas mengecat. Hubungan antara precendence diagram sangatlah dekat, PD harus dibuat berdasarkan AC untuk mengetahui hubungan penyatuan partpart. Akan tetapi, pembuatan AC tidak membutuhkan PD karena dapat dibuat dengan melihat gambar teknik ataupun routing sheet. Precedence diagram juga mempertimbangkan beberapa penyesuaian dalam urutan aktivitasnya. Hal ini dimaksudakan untuk pengerjaan line balancing. Pertimbanganpertimbangan ini yang belum terlihat di Assembly Chart.

4.4

Analisis Hasil OMH Prefabrikasi, fabrikasi, dan Assemmbly

Pertama, kami melakukan perhitungan OMH untuk prefabrikasi dan fabrikasi. OMH awal ini hanya untuk menujukkan jenis transportasi apa yang akan digunakan dalam pemindahan material dan biaya untuk satu kali pemindahannya. Pemindahan itu dilakukan apa per lead time nya. Pemindahan material yang dilakukan diidentifikasi dari material yang tiba di receiving. Lalu dikirimkan ke bagian gudang bahan baku dengan lead time seminggu sekali. Bahan yang disimpan di gudang akan dikirimkan ke sel-sel fabrikasi, prefabrikasi, dan assembly tergantung kebutuhan tiap sel. Sel-sel yang di dalamnya memproduksi part-part untuk TT1 akan mengirimkan hasilnya langsung ke sel assembly dan diteruskan ke warehouse. Sedangkan, sel-sel fabrikasi yang memproduksi part-part untuk TT2 dan TT3 akan dikirim langsung ke warehouse. Setelah itu, barang-barang dari warehouse akan dikirimkan ke bagian shipping untuk didistribusikan. Pemindahan material ini menggunakan 3 jenis alat transportasi tergantung berat dari material yang dipindahkan. Jumlah berat material yang kurang dari 20 kg akan dipindahkan menggunakan tenaga manusia. Jumlah berat material dari 20kg-60kg akan dipindahkan menggunakan walking pallet, sedangkan beban material yang lebih dari 60 kg akan dipindahkan menggunakan lift truck. Biaya yang diperlukan untuk menggunakan tenaga manusia, walking pallet, dan lift truck masingmasing adalah Rp 150,00 , Rp 2000, dan Rp 5000 untuk satu kali pemindahan. Dalam pemindahan material secara keseluruhan, digunakan sistem batch. Untuk pemindahan produk dari sel ke warehouse dilakukan setiap jam dan dari warehouse ke shipping dilakukan tiap minggunya. Oleh karena itu, kami memerhatikan bahwa harus ada tindak lanjut dari sistem lead time yang jauh berbeda dan dapat meningkatkan inventory di warehouse.

OMH ini belum memperhitungkan scrap yang cukup besar dalam produksi. Pada dasarnya scrap yang dihasilkan juga membutuhkan alat transportasi untuk memindahkannya ke bagian pembuangan, tetapi hal tersebut belum diperhitungkan pada OMH sehingga nilainya belum terlalu menggambarkan keadaan sebenarnya. Selain itu, asumsi perhitungan volum secara seragam juga mengurangi kevalidan dari perhitungan OMH. Sesuai dengan aturan batas berat yang ditentukan didapatkanlah jenis transportasi dan biaya yang dibutuhkan dalam pemindahan material sesuai dengan tabel yanga akan terlampir pada laporan ini. Akan tetapi, OMH yang dihitung ini hanya merupakan inisiasi dan masih tidak memperhitungkan jarak tempuh sebenarnya. Oleh karena itu, kami melakukan perhitungan OMH perbaikan dengan menghitung jarak sebenarnya sehingga didapat OMH total sebesar 136. 294.460

4.5

Analisis Pemilihan Skenario Peletakan Sel Assembly

Pada awal tahap ini, kami memiliki 2 alternatif skenario untuk peletakan sel assembly yaitu sel assembly digabungkan dengan sel prefabrikasi dan fabrikasi atau dipisahkan. Pada kasus ini, kami memilih untuk menggabungkan sel assembly ke sel fabrikasi dan fabrikasi dengan mempertimbangkan berbagai hal. Alasan pertama kami menggunakan skenario tersebut adalah perkiraan ongkos penanganan material yang akan jatuh lebih tinggi. OMH akan lebih besar disebabkan jarak bagian fabrikasi dan prefabrikasi yang tentunya akan lebih besar pula jika dipisahkan. Seperti yang telah diketahui, biaya pemindahan material berbanding lurus dengan jarak perpindahannya. Alasan kedua, kami bertujuan untuk meminimasi waktu transportasi. Apabila sel assembly kami letakkan terpisah, jarak tempuh perpindahan akan lebih besar sehingga berdampak pula pada waktu pemindahan yang lebih lama. Untuk meminimasi waktu pemindahan material tetapi dengan jarak yang jauh, dibutuhkan peningkatan kecepatan pemindahan material tetapi dapat berdampak buruk pada kualitas produk, misalnya saja terjadi kerusakan. Untuk mencegah hal tersebut, kami memilih untuk menggabungkan sel assembly ini. Alasan ketiga, dengan menggabungkan sel assembly dan prefabrikasi-fabrikasi, proses pengawasan dan kontrol dapat dilakukan lebih mudah. Alasan keempat kami adalah untuk meminimasi lahan yang dibutuhkan untuk investasi. Jika sel assembly dipisahkan dari sel fabrikasi-prefabrikasi, kemungkinan besar lahan yang dibutuhkan juga akan jauh lebih besar. Dengan mempertimbangkan keempat alasan tersebut, kami pun menentukan untuk menyatukan sel assembly dengan sel fabrikasiprefabrikasi menjadi satu gedung.

4.7 Analisis Keterkaitan Antar ModulPada tahap 1 GT telah didapatkan hasil berupa waktu proses, penyusunan sel, penentuan tata letak sel , serta perhitungan luas lantai. Hasil dari tahap pertama ini digunakan pula pada tahap kedua. Routing Sheet serta luas lantai yang didapat dari tahap pertama digunakan untuk menghitung OMH pada tahap ini. Selain itu, penyusunan formasi sel pada tahap 1 digunakan untuk membuat layout pabrik pada tahap kedua ini. Selain itu, AC yang ebrasal dari modul tradisional digunakan pada tahap ini untuk membuat precedence diagram. Output dari tahap kedua ini adalah dihasilkannya OMH serta layout pabrik. Dengan didapatkannya layout pabrik, dapat pula ditentukan luas plant untuk digunakan pada tahap ketiga dalam perhitungan AKI dan pembuatan template. Berikut diagram yang menggambarkan keterkaitan antar modul:

Routing Sheet, Data Luas Lantai, Formasi Sel (Modul 1)

Modul 2

Layout, OMH, Precedence diagram (input untuk modul 3)