laporan ii dsy

27
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA 1A EMULSI Nama asisten : Fenti, S. Si Disusun oleh: 1. Reza Ardiansyah (10060308064) 2. Edi Retno Susanto (10060308065) 3. Iis Solihat (10060308067) 4. Hernawati (10060308068) 5. Zara Syafitri Solihat (10060308070) 6. Nyak Anesia Riani (10060308071) Tanggal praktikum : Selasa, 29 Maret 2011 Tanggal pengumpulan laporan : Selasa, April 2011

Upload: caksony

Post on 13-Aug-2015

60 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan II Dsy

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA 1A

EMULSI

Nama asisten : Fenti, S. Si

Disusun oleh:

1. Reza Ardiansyah (10060308064)

2. Edi Retno Susanto (10060308065)

3. Iis Solihat (10060308067)

4. Hernawati (10060308068)

5. Zara Syafitri Solihat (10060308070)

6. Nyak Anesia Riani (10060308071)

Tanggal praktikum : Selasa, 29 Maret 2011

Tanggal pengumpulan laporan : Selasa, April 2011

LABORATORIUM FARMASETIKA

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2011

Page 2: Laporan II Dsy

I. Data Preformulasi Zat Aktif

Paraffin Cair

Warna : Tidak berwarna/transparan

Rasa : Tidak mempunyai rasa

Bau : Tidak berbau

Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berflouresensi

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol

(95%) p, larut dalam kloroform dan dalam eter

Titik lebur : 500 sampai 570 C

Bobot jenis : 0,870 g – 0,890 g

Stabilitas : Mudah terurai dengan adanya cahaya dan udara

dari luar. Disimpan pada temperature kering dan

dalam suhu dingin, kohesif.

Inkompatibilitas : Ketidakcampuran terurai dengan zat pengoksidasi

kuat, dermatological medicament.

(sumber: FI III hal:475)

II. Data Preformulasi Bahan Tambahan

CMC-Na (Carboxy Methyl Cellulosum Natrium)

Warna : putih sampai krem

Rasa : Tidak berasa

Bau : Tidak berbau

Pemerian : Serbuk/granul

Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air (dalam berbagai

suhu), praktis tidak larut dalam aseton, etanol, eter

dan toluen

Titik lebur : 2270 dalam keadaan terbakar 2520 C

Pka/Pkb : 430

Bobot jenis : 0,78 g /cm3

pH larutan : 7 sampai 9

Page 3: Laporan II Dsy

Stabilitas : Bersifat stabil meskipun bahan yang tidak

higroskopik dalam bentuk larutan stabil pada pH 2 –

10, secara umum stabilitas dalam larutan berkisar

pada pH 7-9

Inkompatibilitas : Tidak bercampur dengan asam kuat, logam seperti

Alumunium presipitas terjadi pada pH<2 dan ketka

tercampur dengan etanol (95%) P Na-CMC dapat

membentuk kompleks dengan gelatin dan pectin

Fungsi : Emulgator alam

(sumber: FI IV hal:175 & Handbook of Pharmaceutical Excpients IV

hal 581)

Tween 80 (Polioksitilen Sorbitan Monooleat 80 / Polysarbatum 80)

Warna : Kuning

Rasa : Hangat

Bau : Khas dan hangat

Pemerian : Cairan kental

Kelarutan : Larut dalam air dan etanol, praktis tidak larut

dalam minyak mineral dan minyak sayur

Bobot jenis : 1,065 – 1,095

pH larutan : 6 - 8

Stabilitas : Stabil terhadap elektrolit dan dan dalam asam serta

basa lemah perlahan-lahan akan terbentuk

saponifikasi dengan asam kuat dan basa kuat

Inkompatibilitas : Dapat terjadi pengendapan dan pelunturan warna

dengan beberapa zat khususnya fenol, tannin, tar

seperti metanial, aktivitas anti mikroba oleh bahan

pengawet paraben dengan menurunkan konsentrasi

polysorbat

Fungsi : Emulgator sintetik

Page 4: Laporan II Dsy

(sumber: Handbook of Pharmaceutical Excpients IV hal 479)

Spaan 80 (Sorbitan Monooleat 80)

Warna : Kuning

Rasa : Pahit

Bau : Khas

Pemerian : Cairan kental

Kelarutan : Pada umumnya larut/terdispersi dalam minyak,

larut dalam pelarut organic, praktis tidak larut dalam

air

Bobot jenis : 346

pH larutan : ≤ 8

Stabilitas : Perlahan-lahan akan membentuk busa dengan

adanya asam kuat dan basa stabil terhadap asam

lemah dan basa lemah. Dapat di simpan dalam

wadah tertutup baik di tempat kering dan dingin

HLB : 4,3

Fungsi : Emulgator sintetik

(sumber: Handbook of Pharmaceutical Excpients IV hal 591)

Cetyl Alkohol

Warna : Putih

Rasa : Lemah

Bau : Khas

Pemerian : Granul

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam etanol (95%)p dan eter

larut dengan adanya peningkatan temperature,

praktis tidak larut dalam air

Titik lebur : 45,520 C

Bobot jenis : 42,44 (untuk material asli)

Page 5: Laporan II Dsy

Stabilitas : Stabil dengan adanya asa, alkali , cahaya dan air

Inkompatibilitas : Ketidakcampuran dengan bahan pengoksidasi

yang kuat

Fungsi : Penstabil

(sumber: FI IV hal:72 & Handbook of Pharmaceutical Excpients IV hal

130)

III. Alat dan Bahan

Alat Bahan

Kertas perkamen

Timbangan

Spatula

Mortir

Gelas ukur

Batang pengaduk

Erlenmeyer

Cawan penguap

Tabung sedimentasi

Stirer

Viskometer

Piknometer

Paraffin cair

CMC-Na

Tween 80

Span 80

Cetyl alkohol

aquadest

IV. Perhitungan dan Penimbangan

Perhitungan

Paraffin cair

Paraffin cair 30%=

Emulgator alam

minyak : air : emulgator 4 : 2 :1

Page 6: Laporan II Dsy

- Emulsi Basah :

Paraffin cair 30% = 30 g

CMC-Na 1 % =

Air untuk mengembangkan CMC-Na = 20 x 1 g = 20 ml

- Emulsi kering

Paraffin cair 30% = 30 g

CMC-Na 1 % =

Air =

Emulgator sintetik

Paraffin cair 30% = 30 g

Tween 80 6% = (x.15) + (6 - x) . 4,3x= 6 . 12

15x + 25,8 – 4,3x = 72

10,7x = 46,2

x =4,32 g

Span 80 6% = 6 – x = 6 – 4,32 = 1,68

Cetyl alkohol

Setil alcohol 5%=

Penimbangan

- Emulsi basah

Paraffin cair 30 g

CMC 1 g

Page 7: Laporan II Dsy

Aqua destillata 20 ml

Aqua destillata Ad 100 ml

- Emulsi kering

Paraffin cair 30 g

CMC 1 g

Aqua destillata 15 ml

Aqua destillata Ad 100 ml

- Menggunakan pengemulsi sintesis

Paraffinum liquidum 30 g

Polyoxyyethylene Sorbitan Monooleate 80

(Tween 80)

4,32 g

Sorbitan Monooleate 80 (Span 80) 1,68 g

Alcoholum cetylicum 5% 5 g

Aqua destillata Ad 100 ml

V. Prosedur Percobaan

- EMULSI BASAH

1 g CMC-Na

Kembangkan dalam 20 mL aquadest

panas

Mortir

(+) 30 g paraffin cair

Aduk dengan stirrer 2 menit

Korpus

(+) aquadest sisa

Kocok kuat

Page 8: Laporan II Dsy

ad 100 mL

masukan tabung sedimentasi

- EMULSI KERING

Campurkan 30 g parafin, 1 g CMC Na tanpa proses pengembangan

(+) air 15 ml

Kocok dengan stirrer selama 2 menit

Masukkan dalam botol

(+) air hingga volume 100ml, kocok

homogen

Masukkan kedalam tabung sedimentasi

- EMULSI SINTETIS

Cawan penguap

(+) campuran 30g parafin, span 80,

cetyl alcohol

Panaskan

Campurkan tween 80 dan air

Panaskan diatas penangas air ±70˚C

Kocok dengan stirrer selama 2 menit

Masukkan dalam botol

Ad air hingga volume 100ml , kocok

homogen

Masukkan dalam tabung sedimentasi

Dari setiap sediaan yang dibuat, dilakukan pengamatan terhadap :

Evaluasi organoleptis

Viskositas sediaan

Page 9: Laporan II Dsy

Bobot jenis

Volume sedimentasi

VI. Hasil Pengamatan

EMULGATOR ALAM

Cara Organoleptis Viskositas Bobot

jenis

VOLUME SEDIMENTASI

Warna Rasa Bau 10’ 20’ 30’ 60’ Hari 1

I Putih,

terdapat

2 fasa

- Tidak

berbau

16,5 0,87 0,48 0,48 0,45 0,43 0,42

II Putih,

terdapat

2 fasa

- Tidak

berbau

21,9 21,9 0,33 0,32 0,32 0,32 0,34

Keterangan:

Cara I= Emulsi basah

Cara II= Emulsi kering

EMULGATOR SINTETIK

Cara Organoleptis Viskositas Bobot

jenis

Volume sedimentasi

Warna Rasa Bau 10’ 20’ 30’ 60’ Hari 1

I Putih - Tidak

berbau

148,8 0,82 1 1 1 1 1

Keterangan :

Perhitungan berat jenis dan volume sedimentasi ada pada lampiran di halaman

belakang.

Page 10: Laporan II Dsy

Sediaan Gambar

Hari ke 1 Hari ke 3

Emulsi basah

Emulsi kering

Sintetik

VII. Pembahasan

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau

larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat

pengemulsi atau surfaktan yang cocok. Emulsi merupakan sediaan yang

mengandung dua zat yang tidak tercampr, biasanya air dan minyak,

dimana cairan yang satu terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan

yang lain. Dispersi ini tidak stabil, butir-butir ini bergabung (koalesen) dan

membentuk dua lapisan air dan minyak yang terpisah. (Moh. Anief, 2000)

Dalam percobaan ini dibuat sediaan berupa emulsi dengan

menggunakan emulgator alam dan emulgator sintetik. Emulgator

merupakan komponen yang paling penting agar memperoleh emulsi yang

stabil. Semua emulgator bekerja dengan membentuk film (lapisan) di

sekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi untuk

mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase

terpisah. Terbentuk dua tipe macam emulsi yaitu emulsi tipe M/A dimana

tetes minyak terdispersi dalam fase air dan tipe A/M dimana fase intern

adalah air dan fase extern adalah minyak. (Moh. Anief, 2000)

Page 11: Laporan II Dsy

Emulgator alam yang digunakan adalah CMC-Na 1 %.

Pembuatannya menggunakan dua metoda yang berbeda, yaitu metode

korpus emulsi basah dan metoda korpus emulsi kering. Pada metode

korpus emulsi basah, emulgator dikembangkan terlebih dulu didalam air

panas, baru kemudian dicampurkan dengan minyak paraffin dan

ditambahkan sisa air. Sedangkan metode korpus emulsi kering, tidak

terjadi pengembangan emulgator terlebih dahulu, namun emulgator,

minyak dan air langsung dicampurkan secara bersamaan. Dari kedua

metode, didapat perbandingan volume sedimentasi dari grafik dibawah :

Dari grafik diatas, dapat dijelaskan bahwa pada metode korpus

emulsi basah terjadi kestabilan dari menit ke 10 sampai menit ke 20, tetapi

dari menit ke 30 sampai pengamatan hari ke 1, terlihat penurunan volume

sedimentasi tetapi tidak terlalu signifikan. Namun harga volume

sedimentasi yang didapat jauh dari harga 1, dimana suatu emulsi yang

stabil nilai perbandingan antara tinggi lapisan seperti susu dengan tinggi

lapisan seluruh sediaannya mendekati 1. Begitupun dengan metode korpus

emulsi kering, walaupun pada menit ke 20 sampai ke 60 terlihat volume

sedimentasi berada pada rentang yang stabil, tetapi harga volume yang

Page 12: Laporan II Dsy

didapat masih jauh dari harga 1. Seharusnya dilakukan pengamatan sampai

hari ketiga, namun karena beberapa hal pengamatan hari ketiga tidak dapat

dilakukan.

Bila dilihat dari perbandingan harga volume sedimentasi yang

didapat antara korpus emulsi basah dengan korpus emulsi kering, yang

lebih stabil adalah korpus emulsi basah. Ini dapat diterima karena pada

metode korpus emulsi basah, emulgator (CMC-Na) dikembangkan terlebih

dahulu yang bertujuan untuk menstabilkan emulsi sehingga tidak terjadi

creaming.

Selain dengan menggunakan emulgator alam, dalam praktikum kali

ini juga dilakukan pembuatan emulsi menggunakan emulgator sintetik

yaitu Tween dan Span 80 6% dengan penambahan setil alcohol sebesar

5%. Data yang didapat akan kami bandingkan dengan emulsi kelompok

lain yang menggunakan Tween dan Span 3% dengan penambahan setil

alcohol 5% dan menggunakan Tween dan Span 3% dengan penambahan

setil alcohol 15% pada grafik berikut:

Page 13: Laporan II Dsy

Dari data diatas dapat dilihat bahwa emulsi yang diberi Tween dan

Span 6% + setil alkohol 5% dengan Tween dan Span 3% + setil alkohol

15% menunjukan data yang stabil dari awal pembuatan sampai hari ke-1.

Sedangkan emulsi yang diberi Tween dan Span 6% + setil alkohol 15%

menunjukan adanya penurunan volume sedimentasi namun pada akhirnya

tetap menunjukkan data yang stabil. dari ketiga data diatas dapat

disimpulkan bahwa emulsi yang menggunakan setil alkohol akan

menunjukan data yang stabil. Dilihat dari pengamatan organoleptis pun

emulsi Tween dan Span yang ditambahkan setil alkohol terlihat seperti

lapisan susu yang putih, dengan kekentalan paling besar adalah emulsi

yang ditambahkan setil alkohol 15%. Hal ini disebabkan karena, setil

alkohol merupakan penstabil. Setil alcohol akan membentuk suatu film

yang tidak larut di atas lapisan bawah yang sama dan cetil alcohol juga

dapat meningkatkan viskositas sehingga dapat menstabilkan emulsi.

HOPE, hal 130

Dari hasil pengamatan Tween dan Span 80 dan penambahan cetil

alcohol yang dapat dilihat dalam grafik pada data pengamatan. Untuk

Tween dan Span 80 sama saja dimana kestabilannya terjadi pada

konsentrasi 1-15%, untuk cetil alcohol kestabilannya pada konsentrasi 2-5

%. (HOPE hal 591 dan 479 ). Hasil pengamatan yang didapat rata-rata

stabil dengan menggunakan cetil alcohol, mungkin yang membedakannya

adalah kekentalan dan kepekatannya pada tiap konsentrasi.

Dari sediaan emulsi yang dibuat dalam praktikum kali ini, yang

paling menunjukkan kestabilan adalah emulsi dengan emulgator Tween

dan Span yang ditambahkan setil alcohol.

Umumnya suatu emulsi dianggap tidak stabil secara fisik jika :

Fase dalam atau fase terdispersi pada pendiaman cenderung untuk

membentuk agregat dari bulatan-bulatan, jika bulatan-bulatan atau agregat

dari bulatan naik ke permukaan atau turun ke dasar emulsi tersebut akan

membentuk suatu lapisan pekat dari fase dalam, dan jika semua atau

sebagian dari cairan fase dalam tidak teremulsikan dan membentuk suatu

Page 14: Laporan II Dsy

lapisan yang berbeda pada permukaan atau pada dasar emulsi yang

merupakan hasil dari bergabungnya bulatan-bulatan fase dalam.

Disamping itu suatu emulsi mungkin sangat dipengaruhi oleh kontaminasi

dan pertumbuhan mikroba serta perubahan fisika dan kimia lainnya.

(Ansel,2005)

Pada formulasi sediaan emulsi suatu obat, ada usaha yang harus

dilakukan agar obat tersebut dapat diberikan dan diabsorpsi oleh tubuh

dengan baik. Rasa yang tidak enak akan menyulitkan pemberian pada

pasien. Contohnya, minyak jika diminum secara langsung akan

memberikan efek yang tidak enak bagi pasien. Maka untuk mengatasi

permasalahan tersebut dilakukan suatu pencampuran agar rasa minyak

tersebut tidak terasa pada pasien. Cara tersebut adalah dengan membuat

minyak didispersikan dalam fase pendispersi yang berupa air. Sehingga

saat diberikan kepada pasien tidak merasa menelan minyak melainkan air

yang akan dirasakannya.

Ada beberapa ketidakstabilan dalam pembuatan emulsi, yaitu :

1. Creaming yaitu terpisahnya emulsi menjadi 2 lapisan, dimana yang

satu mengandung fase disperse lebih banyak daripada lapisan yang

lain. Creaming bersifat reversible.

2. Koalesen dan cracking (breaking) adalah pecahnya emulsi karena film

yang meliputi partikel rusak dan butir minyak akan koalesen

(menyatu). Sifatnya irreversible, hal ini dapat terjadi karena :

Peristiwa kimia, seperti penambahan alcohol, perubahan pH,

penambahan CaO/CaCl2 exicatus.

Peristiwa fisika, seperti pemanasan, penyaringan, pendinginan,

pengadukan.

3. Inversi adalah peristiwa berubahnya secara tiba-tiba tipe emulsi o/w

menjadi w/o atau sebaliknya. Sifatnya irreversible.

Page 15: Laporan II Dsy

VIII. Usulan Formula

1. Formula Emulsi Parafin

Formula standar (Anonim,1978)

- Komposisi :

Emulsi paraffin dibuat berdasarkan resep standar yang terdapat

dalam Formularium nasional, yaitu:

R/ Paraffinum liquidum 50 ml

Gummi Arabicum 12,5 mg

Sirupus simplex 10 ml

Vanillinum 4 mg

Aethanolum 90% 6 ml

Aqua destillata hingga 100 ml

- Penyimpanan :

Dalam wadah tertutup baik

- Dosis :

Sekali 2 sendok makan

- Catatan :

1. Digunakan Gom arab serbuk sangat halus

2. Jika dimaksudkan untuk persediaan harus ditambahkan zat

pengawet.

Dilihat dari sediaan yang telah ditetapkan dalam formularium

nasional, telah ditetapkan pembuatan emulsi parafin dengan berbagai

Page 16: Laporan II Dsy

bahan tambahan dan menggunakan emulgator alam. Formularium nasional

hanya sebagai acuan pembuatan sediaan.

Dalam praktikum ini setelah mengetahui segala perbandingan yang

telah dibahas dapat dibuat suatu sediaan emulsi dengan menggunakan

paraffin cair, bahan tambahan lain dan emulgator yang dibutuhkan, dan

berhubung kondisi lingkungan lainnya seperti adanya cahaya, udara dan

kontaminasi mikroorganisme, dapat memberikan efek yang mengubah

stabilitas emulsi, formulasi dan tindakan pengemasan yang sesuai harus

dilakukan guna mengurangi kerusakan stabilitas produk menjadi sekecil

mungkin. Seperti penambahan bahan-bahan lain dalam formulasinya,

diantaranya :

R/ Paraffinum liquidum 50 ml

Tween 80 6% 4,31 g

Span 80 6% 1,68 g

Setil Alkohol 3% 3 g

Sirupus simplex 10 ml

Vanillinum 4 mg

Aethanolum 90% 6 ml

Asam sitrat 0,5 % 0,5 g

Aqua destillata hingga 100 ml

Parafin cair yang digunakan disini sebagai bahan utama. Sebagai

emulgator digunakan tween dan span 80 (6%) karena berdasarkan

pengamatan yang telah dilakukan bahwa emulgator sintetik lebih stabil

dibandingkan dengan emulgator alam karena rentang konsentrasi

kestabilannya besar antara 1-15%. Penambahan setil alkohol juga

dimaksudkan untuk meningkatkan viskositas dan kestabilan suatu sediaan.

Dalam formulasi ini hanya digunakan setil alkohol dengan konsentrasi 3%

dimana batas kestabilannya adalah pada konsentrasi 2-5%, kalau

Page 17: Laporan II Dsy

penggunaannya terlalu tinggi maka viskositaspun akan meningkat, dimana

viskositas adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan

emulsi. Disini PGA sebagai emulgator alam memiliki rentang kestabilan

antara 10-15%, bisa juga digunakan tetapi dengan menggunakan

emulgator sintetik seperti Tween dan Span jauh lebih stabil, kalau dengan

veegum itu pada saat pengembangannya sukar dilarutkan tidak seperti

PGA dan CMC, sedangkan CMC hanya memiliki rentang kestabilannya

pada konsentrasi 0,5-1% saja.

Selain itu penambahan sirupus simpleks untuk menutupi rasa yang

tidak enak, sehingga obat dapat diterima baik oleh pasien, begitu juga

untuk menutupi aroma minyak yang tidak disukai oleh pasien dilakukan

penambahan vanili sebagai pewangi. Penambahan etanol sebagai bahan

pengawet terhadap jamur, ragi, bakteri yang dapat menyebabkan

perubahan bahan pengemulsi dalam suatu emulsi, yang pada akhirnya

mengakibatkan kerusakan pada sistem emulsi. (Ansel, 2005)

Ditambahkan antioksidan seperti asam sitrat berguna untuk

menjaga sediaan emulsi agar tidak rusak karena adanya oksidasi, karena

emulsi terdiri dari fase terdispersinya berupa minyak.

Produk emulsi mungkin harus menjalani pengangkutan ke suatu

tempat dan digunakan ditempat yang secara geografis berbeda-beda.

Sehingga selain itu biasanya dilakukan uji evaluasi dibawah kondisi

eksperimen 50C,400C dan 500C untuk menetapkan stabilitas produk.

Stabilitas baik pada 50C dan 400C selama 3 bulan dianggap sebagai

stabilitas minimum yang harus dimiliki oleh suatu emulsi. Waktu yang

lebih singkat pada 500C dapat digunakan sebagai uji alternative.

(Ansel,2005)

IX. Daftar Pustaka

Anief. Moh. 2000. Farmasetika. Yogyakarta : Gajah Mada University

Press. Hal 135, 140

Page 18: Laporan II Dsy

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, edisi III, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia. Jakarta. Hal. 475

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta. Hal. 72, 175

Anonim, Handbook Of Pharmaceutical Excipients IV. Amerika : APHA.

Hal. 130, 479, 581, 591

Ansel, Howard C.2005.Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV.

Jakarta : UI Press. Hal 387, 388

LAMPIRAN

1. Perhitungan berat jenis :

Cara basah =

Cara kering =

Surfaktan =

2. Perhitungan volume sedimentasi :

Hu = tinggi lapisan seperti susu

H0 = tinggi seluruh sediaan

Emulsi tipe basah :

Menit ke 10 : = 0,48

Page 19: Laporan II Dsy

Menit ke 20 : = 0,48

Menit ke 30 : = 0,45

Menit ke 60 : = 0,43

Hari ke 1 : = 0,42

Emulsi tipe kering :

Menit ke 10 : = 0,33

Menit ke 20 : = 0,32

Menit ke 30 : = 0,32

Menit ke 60 : = 0,32

Hari ke 1 : = 0,34

Emulsi menggunakan surfaktan :

Dari menit ke 10 sampai hari ke 1 pengamatan, tidak terjadi perubahan

volume, yaitu :

= 1