laporan kasus internsip 1
DESCRIPTION
laporan kasus dokter internship PaluTRANSCRIPT
Laporan Kasus
Suspek Septik Artritis Ankle dan
TBC
Disusun Oleh:
dr. Billy Salvatore Soedirman
Pembimbing:
dr. Judi Dermawan, M. MKes
dr. Ni Ketut Tini Utami
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA PALU
SULAWESI TENGAH
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat-Nya saya
dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul “SUSPEK SEPTIK
ARTITIS ANKLE DAN TBC’ ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas sebagai dokter internship di
Rumah Sakit Bhayangkara Kota Palu Sulawesi Tengah.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing saya
di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Palu, khususnya dr. Judi Dermawan, M. MKes dan dr. Ni
Ketut Tini Utami , atas bimbingannya selama berlangsungnya program Internsip ini sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan semaksimal kemampuan saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini serta untuk
melatih kemampuan penulis dalam menulis makalah berikutnya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.
Palu, 5 Januari 2015
Penyusun
2
BAB I
STATUS PASIEN
1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Imat
Jenis Kelamin : Laki – laki
Usia : 46 tahun
Agama : Islam
Alamat : -
Suku bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Petani
Status Menikah : Menikah
1.2 ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Bhayangkara Kota Palu pada tanggal
13 Desember 2014. Autoanamnesis pada tanggal 13 Desember 2014 di
IGD.
a.Keluhan Utama
Terdapat luka yang bernanah pada pergelangan kaki kanan sejak 2
minggu SMRS
b.Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Bhayangkara dengan keluhan
utama terdapat luka bernanah pada mata kaki sebelah kanan sejak 2
minggu SMRS. Luka awalnya hanya berbentuk bisul pada mata kaki dan
hanya sebesar kelereng berwarna merah dan terasa nyeri, tetapi bisul
makin lama – makin membesar berwarna merah dan terdapat nanah di
tengahnya. Os juga mengeluh kakinya susah digerakkan sehingga
membuat dia sulit untuk berjalan. Os juga mengaku bahwa dia
mengalami demam ringan selama beberapa hari. Os juga merasa
pergelangan kakinya sangat nyeri.
3
Sejak 3 bulan SMRS os jatuh ke sebuah parit, lalu kaki os terkilir
namun tidak ada luka dan akhirnya os memutuskan untuk
membawanya pada seorang tukang urut. Os masih bisa berjalan
dengan baik dan kaki os masih bisa digerakkan. Os menyangkal sering
mengalami sakit – sakit sendi, sendi bengkak. Sejak 4 bulan SMRS os
juga mengalami batuk – batuk yang tidak sembuh – sembuh, sering
juga pada malam hari berkeringat saat tidur malam, serta badan os
cenderung semakin turun. Os menyangkal pernah minum obat 6 bulan.
Os tidak pernah mengalami kencing manis maupun darah tinggi.
BAK 3 – 4 kali/ hari, warna kuning, jernih, tidak ada darah.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Tidak ada riwayat
alergi, tidak ada kencing manis, tidak ada darah tinggi.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak pernah ada memgalami hal yang sama. Tidak ada riwayat
hipertensi, DM, penyakit jantung, ataupun alergi.
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok, tidak minum alkohol.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di IGD Rumah Sakit Bhayangkara kota Palu pada
tanggal 13 Desember 2014
A. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4M6V5 = 15
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual
Pernapasan : 16x/menit, reguler
Suhu : 37,50C
Berat badan : ... kg
Tinggi badan : ... cm
BMI : ... kg/m2
B. Pemeriksaan Fisik
4
Pembuluh Darah Perifer : Capillary refiil time < 2 detik
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran KGB submandibula, parotis
dan submental
Columna Vertebralis : Lurus di tengah, skoliosis (-), kifosis (-)
Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)
Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis -/-,sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor ɸ 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+
Sinus : Hematom (-), nyeri tekan (-)
Telinga : Normotia +/+, serumen -/-, membran timpani intak
Hidung : Deviasi septum (-), sekret -/-
Mulut : Sianosis (-)
Lidah : Kotor (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba
KGB dan kelenjar tiroid.
Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V2 linea midclavikula sinistra
Perkusi : Batas kanan kanan ICS IV linea sternalis dextra, batas kiri
ICS V 2 jari lateral linea midklavikula sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Pergerakan naik-turun dada simetris kanan kiri
Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada benjolan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Ronki basah kasar +/+, Wheezing
-/-
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut tidak buncit
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
5
Pemeriksaan Ekstremitas
Proksimal : akral hangat +/+, edema -/-
Distal : akral hangat +/+, edema +/-
C.Status Lokalis Ankle Dekstra
Look : terdapat luka pada malleolus medial ankle dekstra. Pada sekelilingnya terdapat
bengkak dan kemerahan dengan diameter 4 cm.
Feel : pada perabaan luka lebih hangat dibanding kulit sekelilingnya. Terasa nyeri bila
ditekan, bengkak (+)
Move :
a. Aktif : terbatas pada gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi, dan eversi
b. Pasif : terasa nyeri pada gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi, dan eversi
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.4.1 Laboratorium 04/09/2014
A. Darah (04/09/2014)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
6
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
13,8
41,2
10,2
249
5,05
g/dL
%
ribu/ul
ribu/ul
juta/uL
12-14
37-43
5-10
150-500
4,0-5,0
MORFOLOGI HB
MCV
MCH
MCHC
81,6
27,3
33,5
Um3
pg
g/dL
80 - 97
26,5 – 33,5
31,5 – 35,0
DIABETES
Glukosa Garah Sewaktu 63 mg/dl <200
FAAL GINJAL
UREA22 mg/dL 10 – 50
1.4.2 Radiologi
1. Foto Ankle Dekstra proyeksi AP
Kesan :
Terlihat gambaran Radiologi os tibia dan fibula
Terlihat adanya soft tissue swelling pada sendi pergelangan
kaki pada bagian distal
Penebalan struktur rawan sendi
Pelebaran ruang sendi
7
Diagnosis : Suspek Arthritis Septic Ankle Dekstra
2. Foto Radiologi Thorax AP :Kesan :
Bronkopneumonia proses spesifik Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paruDiagnosis : TB paru
1.5 RESUME
Anamnesis :
- Os mengaku terdapat terdapat luka bernanah pada pergelangan
kaki sebelah kanan sejak 2 minggu SMRS.
- Os juga mengeluh pergelangan kakinya susah digerakkan sehingga
membuat dia sulit untuk berjalan.
- Os juga mengaku bahwa dia mengalami demam ringan selama
beberapa hari.
- Os juga merasa pergelangan kakinya sangat nyeri.
- Sejak 4 bulan SMRS os juga mengalami batuk – batuk yang tidak
sembuh – sembuh, sering juga pada malam hari berkeringat saat
tidur malam, serta badan os cenderung semakin turun.
memperlihatkan adanya kecenderungan infeksi tuberculosis
- Pasien mempunyai kebiasaan merokok
Pemeriksaan Fisik :
- Pemeriksaan paru : Auskultasi : Ronki Basah Kasar kedua lapangan
paru adanya infeksi jaringan paru yag kemungkinan diakibatkan
oleh bakteri spesifik
- Status Lokalis pergelangan kaki kanan : Terdapat pembengkakan
pada pergelangan kaki kanan, adanya nyeri tekan, teraba panas,
dan keterbatasan gerakan pasif dan aktif pada pergelangan kaki
kanan adanya proses peradangan pada pergelangan kaki kanan
Laboratorium :
- Leukosit : 10.200 yang menandakan adanya infeksi
Radiologi :
8
- Terdapat soft tissue swelling dan penebalan pada struktur rawan
sendi adanya suatu proses infeksi pada sendi pergelangan kaki,
namun kurang terlihat jelas, dikarenakan hasil foto yang kurang
baik karena tidak memperlihatkan tulang kaki
- Terdapat bronkopneumonia dengan proses spesifik suspek infeksi
TB paru
1.6 PEMERIKSAAN ANJURAN
USG sendi pergelangan kaki
Aspirasi cairan sendi
Kultur bakteri cairan sendi dan uji resistensi antibiotik
Pemeriksaan BTA dan biakan sputum
1.7 DIAGNOSIS KERJA
Suspek Artritis Septik
Suspek TBC paru
DIAGNOSIS BANDING
Artitis reaktif Artritis traumatic Pneumonia bacterial
1.8 TATALAKSANA
Terapi Non – Farmakologi :
Tirah baring
Rehabilitasi untuk mengurangi kehilangan fungsi ketika sudah
sembuh dari fase akut
Asupan makanan yang bergizi konsul ahli gizi
Drainase cairan sendi
Debridemen luka
Terapi Farmakologi :
9
IVFD RL 11 tpm
Ceftriaxone 2 x 1 gram sampai dibuktikan melalui hasil kultur
cairan sendi
Paracetamol tablet 3 x 500 mg (bila demam)
Untuk TBC selama 6 bulan :
Dalam 2 bulan pertama :
Rifampicin 1x600 mg PO/ hari
INH 1x300mg PO/ hari
Pirazinamid 3x500mg PO/ hari
Etambutol 3x500 PO/ hari
Dalam 4 bulan kedua :
Rifampicin 1 x 450 mg/ 3x seminggu Isoniazid 1 x 600 mg/ 3x seminggu
1.9 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
10
TINJAUAN PUSTAKA
ARTRITIS SEPTIK
2.1 Definisi
Artritis Septik adalah infeksi dari satu atau lebih sendi-sendi oleh mikroorganisme-
mikroorganisme. Secara normal, sendi dilumasi dengan jumlah kecil dari cairan yang dirujuk
sebagai cairan sinovial (synovial fluid) atau cairan sendi. Cairan sendi yang normal adalah
steril dan, jika dikeluarkan dan dipelihara (dikulturkan) dalam laboratorium, tidak ada
mikroba-mikroba yang akan ditemukan. Dengan septic arthritis, mikroba-mikroba dapat
diidentifikasi dalam suatu cairan sendi yang terpengaruh. Paling umum, septic arthritis
mempengaruhi suatu sendi tunggal, namun adakalanya lebih banyak sendi-sendi yang
dilibatkan. Sendi-sendi yang terpengaruh sedikit banyak bervariasi tergantung pada mikroba
yang menyebabkan infeksi dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi orang yang
terpengaruh.1
2.2 Insidensi
Insiden septik artritis pada populasi umum sangat bervariasi. Ditemukan 2-10 kasus
per 100.000 orang per tahun. Namun demikian, insiden ini dapat meningkat pada penderita
11
yang diketahui memiliki risiko. Pada penderita artritis rheumatoid didapatkan insidensi
meningkat hingga 28-38 kasus per 100.000 orang per tahun. Sedangkan pada penderita
dengan prostesis sendi didapatkan 40-68 kasus per 100.000 orang per tahun.1
Puncak insiden pada kelompok umur adalah pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun,
yaitu 5 kasus per 100.000 orang per tahun. Pada dewasa usia lebih dari 64 tahun insiden
berkisar 8,4 kasus per 100.000 orang per tahun. 1
Kebanyakan artritis septik terjadi pada satu sendi. Keterlibatan poliartikular terjadi pada 10-
15% kasus. Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena (48-56%), diikuti oleh
sendi panggul (16-21%), dan pergelangan kaki (8%).1
2.3 Etiologi
Bakterial atau supuratif artritis dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu, gonokokal dan
non-gonokokal. Neisseria gonorrhoeae merupakan patogen tersering ( 75%) pada pasien
dengan aktifitas seksual yang aktif.1
Kuman penyebab yang paling banyak adalah Staphylococcus aureus disusul oleh
Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes yang merupakan kuman yang sering
ditemukan pada penderita penyakit autoimun, infeksi kulit sistemik, dan trauma. 1
Pasien dengan riwayat intra venous drug abuse (IVDA), usia ekstrim, dan
imunokompromis sering terinfeksi oleh Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli yang
merupakan basil gram negatif. Selain itu, kuman anaerob dapat juga sebagai penyebab hanya
dalam jumlah kecil yang biasanya didapatkan pada pasien DM dan pasien yang memakai
prostesis sendi. 1
Pada pasien yang menggunakan sendi buatan / prosthetic joint dapat juga terjadi
septic arthritis, yang berdasarkan waktunya dibagi menjadi tiga jenis infeksi yaitu:
1. Early, infeksi terjadi pada awal, 3 bulan sejak implantasi, biasanya disebabkan
oleh S aureus.
2. Delayed, terjadi 3-24 bulan sejak implantasi, kuman tersering coagulase-
negative Staphylococcus aureus dan gram negatif. Kedua jenis ini didapat dari
kuman di kamar operasi.
3. Late, terjadi sekunder dari penyebaran hematogen dari berbagai jenis kuman1
12
2.4 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi seseorang terkena artritis septik adalah faktor sistemik seperti usia
ekstrim, artritis rheumatoid, diabetes melitus, pemakaian obat imunosupresi, penyakit hati,
alkoholisme, penyakit hati kronik, malignansi, penyakit ginjal kronik, pemakai obat suntik,
pasien hemodialisis, transplantasi organ dan faktor lokal seperti sendi prostetik, infeksi kulit,
operasi sendi, trauma sendi,osteoartritis.1
2.5 Sumber Infeksi
Sinovium merupakan struktur yang kaya dengan vaskular yang kurang dibatasi oleh
membran basal sehingga memungkinkan masuknya bakteri secara hematogen dengan lebih
mudah. Lingkungan di dalam ruang sendi yang sangat avaskular (karena banyaknya fraksi
kartilago hyalin), aliran cairan sendi yang lambat, menciptakan suasana yang nyaman dan
baik bagi bakteri untuk berdiam dan berproliferasi.1
Sumber infeksi pada artritis septik dapat melalui beberapa cara yaitu sebagai berikut.1
a. Secara hematogen
Penyebaran secara hematogen ini terjadi pada 55% kasus dewasa dan 90% kasus anak-anak.
Sumber bakterimia dapat berasal dari infeksi atau tindakan invasif pada kulit, saluran nafas,
saluran kencing, rongga mulut. Selain itu, pemasangan kateter intravaskular termasuk
pemasangan vena sentral, kateterisasi arteri femoral perkutaneus serta injeksi obat intravenus
dapat menjadi sumber bakteremia.1
b. Inokulasi langsung bakteri ke ruang sendi
Inokulasi langsung bakteri ke dalam ruang sendi terjadi sebesar 22%-37% pada sendi tanpa
prostetik dan sebesar 62% terjadi pada sendi dengan prostetik. Pada sendi dengan prostetik,
inokulasi bakteri biasanya terjadi pada saat prosedur operasi dilakukan. Pada sendi yang
intak, inokulasi bakteri terjadi selama tindakan operasi sendi atau sekunder dari trauma
penetrasi, gigitan binatang, atau tusukan benda asing ke dalam ruang sendi.1
c. Infeksi pada jaringan muskuloskeletal sekitar sendi.
Kebanyakan kasus artritis bakterial terjadi akibatpenyebaran kuman secara hematogen ke
sinovium baik pada kondisi bakteremia transien maupun menetap. Penyebaran infeksi dari
jaringan sekitarnya terjadi pada kasus osteomyelitis yang sering terjadi pada anak-anak. Pada
anak yang berusia kurang dari 1 tahun, pembuluh darah memperforasi diskus pertumbuhan
epifisal yang menimbulkan lanjutan infeksi dari tulang ke ruang sendi. Pada anak yang lebih
13
lanjut, infeksi pada tulang dapat merusak bagian korteks dan menyebabkan artritis septik
sekunder jika tulang berada di dalam kapsul sendi, seperti pada sendi koksae dan bahu. Pada
orang dewasa penyakit dasar infeksi kulit dan penyakit kaki diabetik sering sebagai sumber
infeksi yang berlanjut ke ruang sendi. 1
Berikut ini dapat dilihat gambaran sumber infeksi dari Septik Arthritis
Gambar 1. Gambar Sumber infeksi artritis septik2
2.6 Patogenesis
Proses yang terjadi pada sepsis artrithis sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
bergantung pada interaksi patogen bakteri dan respon imun hospes. Proses yang terjadi pada
sendi alami dapat dibagi pada tiga tahap, yaitu : kolonisasi bakteri, terjadinya infeksi, dan
induksi respon inflamasi hospes.1
a. Kolonisasi bakteri
Sifat tropism jaringan dari bakteri merupakan hal yang sangat penting untuk terjadinya
infeksi sendi. S.aureus memiliki reseptor bervariasi (adhesin) yang memediasi perlengkatan
efektif pada jaringan sendi yang bervariasi. Adhesin ini diatur secara ketat oleh faktor
genetik, termasuk regulator gen asesori (agr), regulator asesori stafilokokus (sar), dan sortase
A.1,7 Faktor virulensi bakteri. Selain adhesin, bahan lain dari dinding sel bakteri adalah
peptidoglikan dan mikrokapsul polisakarida yang berperan mengatur virulensi S. aureus
melalui pengaruh terhadap opsonisasi dan fagositosis. Mikrokapsul (kapsul tipis) penting
pada awal kolonisasi bakteri pada ruang sendi yang memungkinkan faktor adhesin
14
staphylococcus berikatan dengan protein hospes dan selanjutnya produksi kapsul akan
ditingkatkan membentuk kapsul yang lebih tebal yang lebih resisten terhadap pembersihan
imun hospes. Jadi, peran mikrokapsul disini adalah resisten terhadap fagositosis dan
opsonisasi serta memungkinkan bakteri bertahan hidup intraseluler. 1
b. Respon imun hospes
Sekali kolonisasi dalam ruang sendi, bakteri secara cepat berproliferasi dan mengaktifkan
respon inflamasi akut. Awalnya sel sinovial melepaskan sitokin proinflamasi termasuk
interleukin-1b (IL-1b), dan IL-6. Sitokin ini mengaktifkan pelepasan protein fase akut dari
hepar dan juga mengaktifkan sistem komplemen. Selain itu, sel polymorphonuclear (PMN)
juga masuk ke dalam ruang sendi. Tumor necrosis factor-a (TNF-a) dan sitokin inflamasi
lainnya penting dalam mengaktifkan PMN agar terjadi fogistosis bakteri yang efektif.
Kelebihan sitokin seperti TNF-a, IL-1b, IL-6, dan IL-8 dan macrophage colony-stimulating
factor dalam ruang sendi menyebabkan kerusakan rawan sendi dan tulang yang cepat. Sel-sel
fagosit mononoklear seperti monosit dan makrofag migrasi ke ruang sendi segera setelah
PMN, tetapi perannya belum jelas. Komponen lain yang penting pada imun inat pada infeksi
staphylococcus adalah sel natural killer (NK), dan nitric oxide (NO). Sedangkan peran dari
limfosit T dan B dan respon imun didapat pada septik artrithis tidak jelas.1
2.7 Gambaran Klinis
Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri lokal pada
sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi, dan penurunan kemampuan ruang lingkup gerak
sendi. Sejumlah pasien hanya mengeluh demam ringan saja. Demam dilaporkan 60-80%
kasus, biasanya demam ringan, dan demam tinggi terjadi pada 30-40% kasus sampai lebih
dari 390C. Ciri khas nyeri pada sepsis artrithis adalah nyeri berat yang terjadi saat istirahat
maupun saat melakukan gerakan aktif maupun pasif.1
Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena pada dewasa maupun anak-
anak berkisar 45%-56%, diikuti oleh sendi panggul 16-38%. Artritis septik poliartikular, yang
khasnya melibatkan dua atau tiga sendi terjadi pada 10%-20% kasus dan sering dihubungkan
dengan artritis reumatoid. Bila terjadi demam dan flare pada artritis reumatoid maka perlu
dipikirkan kemungkinan artritis septik.1
15
Sendi paling sering terkena adalah sendi lutut (50%), hip (20%), shoulder (8%) ankle
(7%), and wrists (7%). Elbow, interphalangeal, sternoclavicular, dan sacroiliac masing-
masing kurang lebih 1- 4 %.1
Gejala-gejala dari infeksi bisa tidak muncul pada orang-orang yang mengalami
gangguan imunitas khususnya pada pasien rheumatoid arthritis dan pengguna obat suntikan
terlarang. Pada non-gonokokal arthritis, 85-90% monoartikuler, bila mengenai lebih dari 1
sendi biasanya ada keterlibatan S aureus. Bila mengenai poliartikuler biasanya disebabkan
oleh gonokokal , virus, lyme disease, reactif arthritis. Group B streptokokus biasanya
menyerang sacroiliac dan sternoclavicular joints.1
Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tanda tanda eritema, pembengkakan (90%
kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda penting untuk mendiaganosis infeksi.
Efusi biasanya sangat jelas/banyak, dan berhubungan dengan keterbatasan ruang lingkup
gerak sendi baik aktif maupun pasif. Tetapi tanda ini menjadi kurang jelas bila infeksi
mengenai sendi tulang belakang, panggul, dan sendi bahu.1
Pada infeksi non gonokokal gejala timbul mendadak dengan terjadinya
pembengkakan sendi, teraba hangat dan sangat nyeri, paling sering terjadi pada sendi lutut
( 50% kasus ), sedangkan pada anak-anak paling sering terjadi pada sendi pinggul, sendi
pinggul biasanya dalam posisi fleksi dan eksternal rotasi dan sangat nyeri bila digerakkan.
Kurang lebih 10-20 % terjadi infeksi poliartikular, biasanya 2 atau 3 sendi. Poliartikular
septik arthtritis biasanya terjadi pada pasien dengan reumatoid arthritis, pasien dengan infeksi
jaringan lunak atau pada pasien dengan sepsis berat.1
Pada infeksi oleh karena gonokokal Disseminated GonococcalI Infection (DGI)
gejala yang muncul berupa migratory polyarthralgia, tenosynovitis, dermatitis dan demam.
Kurang dari separuhnya mengalami efusi sendi purulenta.
Berikut ini adalah perbedaan antara arthritis gonococcal dan non-gonococcal:
Tabel 1. Perbedaan bakterial arthtritis pada Gonokokal dan Non Gonokokal3
16
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah tepi
Terjadi peningkatan lekosit dengan predominan neutrofil segmental, peningkatan laju endap
darah dan C-reactive Protein (CRP). Tes ini tidak spesifik tapi sering digunakan sebagai
petanda tambahan dalam diagnosis khususnya pada kecurigaan artritis septik pada sendi.
Kultur darah memberikan hasil yang positif pada 50-70% kasus.1
b. Pemeriksaan cairan sendi
Aspirasi cairan sendi harus dilakukan segera bila kecurigaan terhadap artritis septik. Bila sulit
dijangkau seperti pada sendi panggul dan bahu maka gunakan alat pemandu radiologi. Cairan
sendi tampak keruh, atau purulen, leukosit cairan sendi lebih dari 50.000 sel/mm3
predominan PMN, sering mencapai 75%-80%. Pada penderita dengan malignansi,
mendapatkan terapi kortikosteroid, dan pemakai obat suntik sering dengan leukosit kurang
dari 30.000 sel/mm3. Leukosit cairan sendi yang lebih dari 50.000 sel/mm3 juga terjadi pada
inflamasi akibat penumpukan kristal atau inflamasi lainnya seperti artritis rheumatoid. Untuk
itu perlu dilakukan pemeriksaan cairan sendi dengan menggunakan mikroskop cahaya
terpolarisasi untuk mencari adanya kristal. Ditemukannya kristal pada cairan sendi juga tidak
menyingkirkan adanya artritis septik yang terjadi bersamaan. 1
Pengecatan gram cairan sinovial harus dilakukan,dan menunjukkan hasil positif pada
75% kasus artritis positif kultur stafilokokus dan 50% pada artritis positif ultur basil gram
17
negatif. Pengecatan gram ini dapat menuntun dalam terapi antibiotika awal sambil menunggu
hasil kultur dan tes sensitivitas. Kultur cairan sendi dilakukan terhadap kuman aerobik,
anaerobik, dan bila ada indikasi untuk jamur dan mikobakterium. Kultur cairan sinovial
positif pada 90% pada artritis septik nongonokokal.1
c. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)
Bakteri dapat mendeteksi adanya asam nukleat bakteri dalam jumlah kecil dengan sensitifitas
dan spesifisitas hampir 100%. Beberapa keuntungan menggunakan PCR dalam mendeteksi
adanya infeksi antara lain : 1
mendeteksi bakteri dengan cepat
mendeteksi bakteri yang mengalami pertumbuhan lambat
mendeteksi bakteri yang tidak dapat dikultur
mendeteksi bakteri pada pasien yang sedang mendapatkan terapi
mengidentifikasi bakteri baru sebagai penyebab.
Tapi PCR juga mengalami kelemahan yaitu hasil positif palsu bila bahan maupun reagen
yang mengalami kontaminasi selama proses pemeriksaan.1
d. Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi pada hari pertama biasanya menunjukkan gambaran normal atau
adanya kelainan sendi yang mendasari. Penemuan awal berupa pembengkakan kapsul sendi
dan jaringan lunak sendi yang terkena, pergeseran bantalan lemak, dan pelebaran ruang sendi.
Osteoporosis periartikular terjadi pada minggu pertama artritis septik. Dalam 7 sampai 14
hari, penyempitan ruang sendi difus dan erosi karena destruksi. kartilago. Pada stadium lanjut
yang tidak mendapatkan terapi adekuat, gambaran radiologi nampak destruksi sendi,
osteomyelitis, ankilosis, kalsifikasi jaringan periartikular, atau hilangnya tulang subkondral
diikuti dengan sklerosis reaktif.1
CT Scan dan MRI lebih sensitive untuk membedakan antara osteomielitis, periartikular abses
dan infeksi sendi. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk infeksi sendi di sacroiliac atau
sternoclavicular untuk menyingkirkan penyebaran infeksi ke mediastinum atau ke pelvis.
e. Pemeriksaan USG dapat memperlihatkan adanya
Kelainan baik intra maupun ekstra artikular yang tidak terlihat pada pemeriksaan radiografi.
Sangat sensitif untuk mendeteksi adanya efusi sendi minimal (1-2 mL), termasuk sendi-sendi
18
yang dalam seperti pada sendi panggul. Cairan sinovial yang hiperekoik dan penebalan
kapsul sendi merupakan gambaran karakteristik artritis septik.1
Pemeriksaan lain yang digunakan pada artritis septik dimana sendi sulit dievaluasi secara
klinik atau untuk menentukan luasnya tulang dan jaringan mengalami infeksi yaitu
mengunakan CT, MRI , atau radio nuklead. 1
Gambar 2. Algoritma untuk mengevaluasi pembengkakan sendi3
2.9 Diagnosis
Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup faktor predisposisi, mencari
sumber bakterimia yang transien atau menetap (infeksi kulit, pneumonia, infeksi saluran
kemih, adanya tindakan tindakan invasif, pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi adanya
penyakit sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma sendi.1
Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tanda tanda eritema, pembengkakan (90%
kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda penting untuk mendiaganosis infeksi.
Efusi biasanya sangat jelas/banyak, dan berhubungan dengan keterbatasan ruang lingkup
gerak sendi baik aktif maupun pasif. Tetapi tanda ini menjadi kurang jelas bila infeksi
mengenai sendi tulang belakang, panggul, dan sendi bahu.1
Diagnosis klinis artritis septik bila ditemukan adanya sendi yang mengalami nyeri,
pembengkakan, hangat disertai demam yang terjadi secara akut disertai dengan pemeriksaan
19
cairan sendi dengan jumlah lekosit > 50.000 sel/mm3 dan dipastikan dengan ditemukannya
kuman patogen dalam cairan sendi.1
2.10 Diagnosis Banding
Sejumlah kelainan sendi yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding arthitis
septik adalah : infeksi pada sendi yang sebelumnya mengalami kelainan, artritis terinduksi-
kristal, artrhitis reaktif, artritis traumatik, dan artritis viral.1
Artritis terinduksi-kristal, Gout dan pseudogout menyerupai gejala dan tanda artritis
septik. Sehingga cairan sendi harus diperiksa menggunakan mikroskop cahaya polarisasi
untuk melihat adanya kristal birefringen negatif (asam urat) atau birefringen positif (kalsium
pirofosfat dihidrat) untuk menyingkirkan adanya penyakit kristal pada sendi. Tapi harus
diingat bahwa adanya laporan tentang adanya kejadian yang bersamaan artritis septik dengan
penyakit sendi karena kristal.1
a. Artrithis Reaktif
Artritis reaktif. Adanya respon inflamasi sendi terhadap adanya proses infeksi bakteri di luar
sendi dikenal dengan artritis reaktif. Sering riwayat penderita adanya infeksi di bagian distal
seperti pada saluran gastrointestinal (contoh : Shigella spp.,Salmonella spp.,Campilobacter
spp., atau Yersinia spp.), saluran genitourinaria (contoh: chlamydia danmycoplasma), dan
saluran respirasi (contoh Streptococcus pyogenes). Sendi dalam keadaan inflamasi tetapi
steril. Pada pemeriksaan PCR terdeteksi antigen mikroba di dalam sendi. Adanya antigen
mikroba ini mencerminkan respon penyaringan alami dari sinovium dan dengan makin
banyaknya antigen bakteri ini akan menstimulasi inflamasi. Penderita juga sering mengalami
entesopati atau uveitis, lesi kulit atau membran mukosa.1
b. Preexisting joint infection
Penderita dengan penyakit sendi kronik yang mendasari seperti artritis rheumatoid,
osteoartritis, dan penyakit jaringan ikat lainnya mengalami flare dan memberikan gambaran
yang menyerupai artritis septik atau mengalami infeksi sehingga memberikan prognosis yang
buruk karena sering terjadi keterlambatan diagnosis artritis septik. Sering pasien tidak
mengalami demam dan gambaran klinis yang indolen. Sehingga diagnosis artritis septik harus
selalu dipikirkan bila terjadi inflamasi mendadak pada satu atau dua sendi pada pasien ini.1
c. Artritis traumatik
20
Artritis traumatik merupakan artritis yang disebabkan oleh adanya trauma baik trauma
tumpul, penetrasi, maupun trauma berulang atau trauma dari pergerakan yang tidak sesuai
dari sendi yang selanjutnya menimbulkan nekrosis avaskular. Nekrosis avaskular terjadi
karena terhentinya aliran darah ke bagian kaput femoral dan selanjutnya tulang menjadi
rapuh. Kartilago yang mengelilingi menjadi rusak dan menimbulkan keluhan dan gejala
berupa pembengkakan, nyeri, instabilitas sendi, dan perdarahan internal. Analisa cairan sendi
ditemukan banyak se-sel darah merah.1
d. Artritis viral
Penderita dengan artritis viral biasanya dengan manifestasi poliartritis umumnya mengenai
sendi-sendi kecil yang simetris, demam, limfadenopati dan adanya karakteristik rash. Pada
pemeriksaan cairan sendi tampak banyak sel-sel mononuklear dan kadar glukosa yang
normal.1
2.11 Tatalaksana
Tujuan utama penanganan artritis septik adalah dekompresi sendi, sterilisasi sendi, dan
mengembalikan fungsi sendi. Terapi atrhritis septik meliputi terapi nonfarmakologi,
farmakologi, dan drainase cairan sendi.1
a. Terapi non-farmakologi
Pada fase akut, pasien disarankan untuk mengistirahatkan sendi yang terkena. Rehabilitasi
merupakan hal yang penting untuk menjaga fungsi sendi dan mengurangi morbiditas artritis
septik. Rehabilitasi seharusnya sudah dilakukan saat munculnya artritis untuk mengurangi
kehilangan fungsi. Pada fase akut, fase supuratif, pasien harus mempertahankan posisi fleksi
ringan sampai sedang yang biasanya cenderung membuat kontraktur. Pemasangan bidai
kadang perlu untuk mempertahankan posisi dengan fungsi optimal; sendi lutut dengan posisi
ekstensi, sendi panggul seimbang posisi ekstensi dan rotasi netral, siku fleksi 900, dan
pergelangan tangan posisi netral sampai sedikit ekstensi. Walaupun pada fase akut, latihan
isotonik harus segera dilakukan untuk mencegah otot atropi. Pergerakan sendi baik aktif
maupun pasif harus segera dilakukan tidak lebih dari 24 jam setelah keluhan membaik.1
b. Terapi farmakologi
Sekali artritis septik diduga maka segera dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan
serta pemberian terapi antibiotika yang sesuai dan segera dilakukan drainase cairan sendi.
21
Pemilihan antibiotika harus berdasarkan beberapa pertimbangan termasuk kondisi klinis,
usia, pola dan resisitensi kuman setempat, dan hasil pengecatan gram cairan sendi.1
Pemilihan jenis antibiotika secara empiris seperti pada tabel 1 yang dikutip dari
panduan The British Society for Rheumatology tahun 2006.7,15,24 Modifikasi antibiotika
dilakukan bila sudah ada hasil kultur dan sensitivitas bakteri. Perlu diingat bahwa vankomisin
tidak dilanjutkan pada pasien dengan infeksi stafilokokus atau streptokokus yang sensitif
dengan Betalaktam. Perjalanan klinik pasien juga perlu sebagai bahan pertimbangan karena
korelasi pemeriksaan sensitivitas dan resistensi bakteri in vitro dengan in vivo tidak absolut
sesuai.1
Secara umum rekomendasi pemberian antibiotika intravenus paling sedikit selama 2
minggu, diikuti dengan pemberian antibiotika oral selama 1-4 minggu. Pemberian antibiotika
intravena yang lebih lama diindikasikan pada infeksi bakteri yang sulit dieradikasi seperti
P.aerogenosa atau Enterobacter spp. Pada kasus bakterimia S aureus dan arthtritis sekunder
S aureus diberikan antibiotika parenteral 4 minggu untuk mencegah infeksi rekuren.
Pemberian antibiotika intra artikular tidak efektif dan justru dapat menimbulkan sinovitis
kemikal.1
c. Drainase cairan sendi
Drainase yang tepat dan adequat dapat dilakukan dengan berbagai metode. Teknik yang bisa
dilakukan antara lain aspirasi dengan jarum, irigasi tidal, arthroskopi dan arthrotomi. Aspirasi
jarum sebagai prosedur awal drainase sendi yang mudah diakses seperti sendi lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan sendi-sendi kecil. Drainase dilakukan sesering
yang diperlukan pada kasus efusi berulang. Jika dalam waktu 7 hari terapi jumlah cairan,
jumlah sel dan persentase PMN menurun setiap aspirasi maka tindakan dengan aspirasi jarum
tertutup dapat diteruskan sesuai kebutuhan. Tapi bila efusinya persisten selama 7 hari yang
menunjukkan indeks perburukan efusi sendi atau cairan purulen tidak dapat dievakuasi maka
harus dilakukan arthroskopi atau drainase terbuka harus segera dilakukan. Beberapa indikator
prognostik buruk pada artritis septik sehingga memerlukan tindakan yang invasif. Indikator
ini termasuk lamanya penundaan terapi dari onset penyakit, usia ekstrim, adanya penyakit
sendi yang mendasari, pemakaian obat imunosupresan, serta adanya osteomyelitis ekstra
artikular.1
22
Tabel 2. Ringkasan rekomendasi pemberian antibiotika awal secara empirik pada
kasus dugaan artritis septik4
KELOMPOK PASIEN PILIHAN ANTIBIOTIKA
Tidak ada faktor risiko terhadap organisme
Atipikal
Risiko tinggi terhadap sepsis gram negatif
(usia tua, ISK berulang, baru selesai operasi
abdomen)
Risiko MRSA (sedang dalam perawatan di
rumah sakit, tingaal di panti jompo, ulkus
pada kaki atau pemakaian kateter, atau faktor
risiko lainnya yang ditentukan secara lokal)
Diduga gonokokus atau meningokokus
Flukloksasilin 4 x 2gram i.v. Kebijakan
lokal mungkin menambahkan
gentamisin i.v.
Jika alergi terhadap penisilin, maka
diberikan klindamisin 4 x 450-600 mg
i.v. atau generasi kedua atau ketiga
sefalosporin
Generasi kedua atau ketiga sefalosporin
seperti seforoksim 3 x 1,5 gram i.v.
Kebijakan lokal mungkin
menambahkan fluklosaksilin terhadap
generasi ketiga sefalosporin.
Bila alergi maka diskusikan dengan ahli
mikrobiologi.
Vankomisin i.v. ditambah generasi
kedua atau ketiga sefalosporin i.v
Seftriakson i.v. atau sesuai dengan
pilihan lokal atau pola resistensi
23
IVDA
Sedang perawatan di ruang intensif
Diskusikan dengan ahli mikrobiologi
Diskusikan dengan ahli mikrobiologi
Irigasi tidal merupakan metode irigasi tertutup non-operatif yang dapat dilakukan di tempat
perawatan pasien. Ini merupakan prosedur alternatif pada pasienpasien yang memiliki risiko
tinggi melaksanakan tindakan operasi atau mereka yang gagal dilakukan aspirasi jarum
tertutup. Irigasi tidal juga dapat dikerjakan pada efusi yang terlokulasi.1
Karena kemajuan arthroskopi, tindakan ini digunakan lebih sering pada terapi artritis
septik. Dengan arthroskopi memungkinkan ahli bedah untuk inspeksi secara adequat sendi
untuk diagnostik dan biopsi sendi yang terinfeksi melalui pengamatan langsung. Untuk
kepentingan terapeutik, arthroskopi dapat melakukan debridemen lebih komplit melalui
irigasi semua ruangan sendi termasuk ruang posterior sendi lutut. Arthroskopi juga
memperbaiki mobilitas karena menimbulkan sayatan yang lebih kecil. Arthroskopi juga
efektif digunakan pada sendi besar lainnya seperti sendi bahu, dan pergelangan kaki.1
Arthrotomi direkomendasikan untuk drainase cairan sendi panggul karena peka sekali
menimbulkan peningkatan tekanan intra artikular dan kesulitan melakukan dekompresi
komplit. Selain sendi panggul, drainase operasi terbuka sering dilakukan juga pada sendi
bahu dan pergelangan tangan dimana sering kesulitan melakukan drainase karena anatomi
yang kompleks. Arthrotomi juga diindikasi pada artritis septik yang disebabkan oleh P.
aeroginosa atau bakteri gram negatif lainnya yang memerlukan terapi
aminoglikosida,membantu mengatasi rendahnya tekanan oksigen dan pH pada sendi yang
terinfeksi.1
2.12 Profilaksis Antibiotika
Karena akibat lanjutan dari artritis septik yang berat (mortalitas, morbiditas, dan
kehilangan fungsi sendi), artritis septik yang menyebar via hematogen merupakan masalah
24
besar pada pasien-pasien dengan penyakit sendi. Penggunaan profilaksis antibiotika untuk
pencegahan artritis bakterial secara hematogen melalui penyebaran hematogen transien asih
kontroversial.1
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Krijnen dkk, profilaksis antibiotika pada kasus
infeksi kulit merupakan efektif-biaya pada pasien dengan penyakit sendi yang kepekaannya
tinggi. Pada pasien dengan risiko tinggi seperti artritis rheumatoid dan penggunaan prostesis
pada sendi besar, profilaksis tidak hanya efektif tetapi juga mengurangi biaya secara
keseluruhan. Sedangkan infeksi saluran kencing dan saluran nafas merupakan risiko rendah
terjadinya septik artritis.1
Profilaksis efektif pada kasus ini bila penderita sangat berisiko mangalami arhtritis
bakterial seperti pemakaian prostesis pada sendi panggul atau lutut, adanya penyakit
komorbid, artritis rheumatoid, dan usia 80 tahun atau lebih.1
Berdasarkan panduan dari Belanda, profilaksis yang digunakan adalah
Amoksisilin/asam klavulanat untuk mengatasi artritis bakterial untuk berbagai sumber
infeksi. Pilihan lain adalah golongan sefalosporin. Tidak diketahui antibiotika mana sebagai
profilaksis yang lebih baik. Dosis amoksisilin/asam klavulanat sebagai profilaksis adalah
2000/200 mg intravenus sebelum tindakan invasif, 3x500/125 mg sehari selama 10 hari pada
kasus infeksi, dan 3000/750 mg per oral sekali sebelum tindakan di bidang dental. Efikasi
profilaksis ini adalah 90%, dengan kejadian efek samping 0.01% mengalami reaksi non fatal
dan 0,002% mengalami reaksi fatal.1
2.13 Prognosis
Walaupun dengan terapi yang cepat dan tepat pada artritis septik tetapi prognosisnya masih
buruk. Pada studi yang dilakukan oleh Kaandorp dkk pada 154 pasien (dewasa dan anak-
anak), 33% kasus dengan keluaran sendi yang buruk yaitu dengan amputasi,
arthrodesis,bedah prostetik, atau perburukan fungsional yang berat, mortalitas berkisar 2-
14%.1
25
TUBERKULOSIS
3.1 DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.5
3.2 MIKROBIOLOGI
A. Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4
mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-
waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asam–alkohol.5
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
26
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan
spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
protein MTP 40 dan lain lain.5
3.3 PATOGENESIS
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet yang terhirup, dapat mencapai alveolus.
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan
sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.5,6
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).5,6
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. 5,6
27
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma.
Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.5,6
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.5,6
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.5,6
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
28
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.5,6
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1) sarang yang sudah
sembuh. Tidak perlu pengobatan; 2) sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu perlu
pengobatan yang lengkap dan sempurna; 3) sarang yang berada antara aktif dan sembuh.
Sarang ini dapat sembuh spontan, tapi mengingat masih ada kemungkinan untuk terjadinya
eksaebasi akut, sebaiknya diberikan pengobatan yang sempurna juga.6
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.5,6
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus
potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.5,6
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.5,6
29
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah
infeksi primer.5,6
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya5
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis5
3.4 KLASIFIKASI
30
Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif.5,6
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif.5,6
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh5,6
c. Kasus defaulted atau drop out
31
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.5
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.5
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang
kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan /
pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.5
3.5 DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
A. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
32
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila
bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.5,6
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.5,6
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.5,6
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior
(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.5,6
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.5,6
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”5,6
33
C. Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)5,6
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-
turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam
pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.5
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium.5
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.5
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
34
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif5
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO).
Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).5
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode
konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).
Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.5
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).5,6
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).5,6
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
35
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.5,6
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal. 5,6
3.6 Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis
secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji
kepekaan.5
2. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA
M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
36
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya.5
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.5
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal
dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.5
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa
proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.5
b. ICTUji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk
mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB
yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1
garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan
antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.5
c. MycodotUji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan
antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir
plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum
tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan
aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan
mudah.5,6
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
e. Uji serologi yang baru / IgG TB5
37
F. Pemeriksaan Lain
1. Analisis Cairan Pleura5
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien
efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan5
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam
larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang
kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah5
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi,
bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi
HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.5,6
38
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru5
3.7 PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)5,7
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
39
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase
lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke
ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
b. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan
(bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan
40
fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE /
5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari
perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).
c. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT
(minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan
obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan
sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih
lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang
dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.
e. TB Paru kasus kronik
41
1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal
terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998.5
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi.
Resimen Pengobatan TB dengan menggunakan metode DOTS6
1. Kategori 1- Pasien TB paru dengan sputum BTA (+) dan kasus baru
- TBP lainnya dalam keadaan berat, misalnya meningitis, miliaris, spondylitis,
peritonitis
- Sputum BTA (-) tetapi kelainan paru luas
42
- Fase inisial 2 bulan dan dilanjutkan dengan Fase lanjutan 4 – 6 bulan
- Sputum BTA (+) bila pengobatan selama 2 bulan akan menjadi BTA (-), bila dalam 2
bulan masih negatef maka ditambahkan 4 minggu lagi
Resimen : 2 RHZE (s) + 6 HE atau 4 HR atau 4 H3R3
2. Kategori 2
- Pasien kasus kambuh atau gagal dengan BTA (+)
- Kasus default
- Fase inisial 2 bulan + 1 bulan dilanjutkan dengan Fase lanjutan 5 bulan
Resimen : 2 RHZES + 1 RHZE + 5 RHE atau 5 R3H3E3
Catatan : Apabila BTA masih positif pada minggu ke -12 maka fase inisial dengan 4
obat ditambahkan 1 bulan lagi. Bila BTA masih positif semua obat harus dihentikan
selama 2 – 3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan
3. Kategori 3
- Pasien TB paru dengan sputum BTA (-) tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB
ekstra pulmonal (tidak termasuk kaegori 1)
Resimen : 2 RHZ atau 2 R3H3Z3 + 6 HE atau 2 HR/4H atau 2 H3R3/4H
4. Kategori 4
- Tuberkulosis kronik
Resimen : tidak terdapat diaplikasikan (pertimbangan menggunakan obat – obatan lini
ke-2)
Tabel 3. Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia6
Nama ObatDosis Harian Dosis Berkala 3 x
SemingguBB < 50 kg BB > 50 kg
Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg
Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg
Pirazinamid 1000 mg 2000 mg 2 – 3 g
Streptomisin 750 mg 1000 mg 1000 mg
Etambutol 750 mg 1000 mg 1 – 1,5 g
Etionamid 500 mg 750 mg
PAS 99 mg 10 mg
43
Tabel 4. Jenis dan Dosis OAT5,7
Obat Dosis (mg/kgBB/Hari)
Dosis yang dianjurkan Dosis Maksimum
Dosis (mg) / BB (kg)
Harian (mg/kgBB/Hari)
Intermitten (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600H 4-6 5 10 300 150 300 450Z 20-30 25 35 750 1000 1500E 15-20 15 30 750 1000 1500S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 15,7
Berat Badan Tahap Intensiftiap hari selama 56 hariRHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 6. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 15,7
Tahap Pengobata
n
Lama Pengobatan
Dosis per hari / kali Jumlah hari/kali menelan
obat
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
Kaplet Rifampisin@ 450 mg
Tablet Pirazinamid@ 500 mg
Tablet Etambutol@ 250 mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Tabel 7. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 25,7
Berat Badan
Tahap IntensifTiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan3 kali seminggu
RH (150/150) + E (400)Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT+ 500 mg Streptomisin inj.
2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT+ 750 mg Streptomisin inj.
3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT+ 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.
4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT+ 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT+ 5 tablet Etambutol
44
Tabel 8. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 25
Tahap Pengobata
n
Lama Pengobatan
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
Kaplet Rifampisin@ 450 mg
Tablet Pirazinamid@ 500 mg
Etambutol Streptomisin Injeksi
Jumlah/kali menelan
obatTablet
@ 250 mgTablet
@ 400 mgTahap Intenif (dosis harian
2 bulan1 bulan
11
11
33
33
--
0,75 gr-
5628
Tahap Lanjutan (dosis 3x
seminggu)
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).5
Tabel 9. Dosis KDT untuk Sisipan5
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hariRHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT38-54 kg 3 tablet 4KDT55-70 kg 4 tablet 4KDT≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 10. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan5
Tahap Pengobatan
Lamanya Pengobata
n
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
Kaplet Rifampisin@ 450 mg
Tablet Pirazinamid@ 500 mg
Tablet Etambutol@ 250 mg
Jumlah hari/kali
menelan obatTahap
Intensif (dosis harian)
1 bulan 1 1 3 3 28
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti
yang mampu menanganinya.5
45
B. Efek Samping OATSebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.5,7
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan
dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan
dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih
0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan
sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus5,7
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah:
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna
merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.5,7
3. Pirazinamid
46
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya
ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan
dan reaksi kulit yang lain.5,7
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta
warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.5,7
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan saraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan
dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan
dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging
(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gr Streptomisin
dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab
dapat merusak syaraf pendengaran janin.5,7
Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya5,7
Efek samping Kemungkinan Penyebab TatalaksanaMinor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, sakit perut
Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinolKesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
47
Warna kemerahan pada air seni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa
Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya5,7
Efek samping Kemungkinan Penyebab TatalaksanaMayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan pada kulit
Semua jenis OAT Beri antihistamin dan dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan, ganti etambutol
Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)
Streptomisin Streptomisisn dihentikan, ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor
Muntah dan bingung (suspect drug-induced pre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan EtambutolKelainan sistemik, termasuk syok dan purpura
Rifampisin Hentikan Rifampisin
Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:
1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan
oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan
desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan
pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal
ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll
karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.5,7
D. Pengobatan Suportif / Simptomatik
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik
dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
48
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.5,7
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat5,7
E. Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
49
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.5,7
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif5,7
F. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1
bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.5,7
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi Evaluasi
radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)5,7
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan
50
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan5,7
Evaluasi efek samping secara klinik
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila
ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman5,7
Evalusi keteraturan berobat
1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.5,7
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi
adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.5,7
DAFTAR PUSTAKA
51
1. Darya I W; Putra R. Diagnosis Penatalaksanaan Artritis Septik. Bagian/ SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar. Majalah Interna. 2009.
Available from: URL: www.ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewfile/3880/2875.
2. Kherani R, Shojania K. Case-based review: Septic Arthritis in Patients With Pre-
existing Inflammatory Arthritis. Canadian Medical Association of its licensors. 2007.
p. 1605-8.
3. Goldenberg D. Septic Arhtitis. The LANCET. 1998;351. p.197-202
4. Coalkley G, Mathews C, Field M, Jones A, Kingsley G,Walker D, Phillips M, etc.
BSR & BHPR, BOA, RCGP and BSAC guidelines for management of the hot swollen
joint in adults. The British Society for Rheumatology. 2006. p. 1039-41
5. Konsensus TB. Pedoman Penatalaksanaan TB. Available from: URL:
www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
6. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. In Sudoyo A,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Edition. Jakarta Pusat:
InternaPublishing, 2009. p. 2230-9
7. Amin Z, Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. In Sudoyo A,Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Edition.
Jakarta Pusat: InternaPublishing, 2009. p. 2240-8
52