laporan sken 1 kd
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri Tenggorokan, Pingsan?
Seorang laki-laki umur 20 tahun datang ke praktek dokter umum, dengan
keluhan nyeri tenggorokan sejak 5 hari yang lalu, didiagnosa radang
tenggorokan akut, mendapat terapi antibiotika injeksi, golongan penicilin
yang dilakukan oleh perawat atas perintah dokter yang memeriksa. 10 menit
kemudian penderita mengeluh mual, kemudian muntah, sesak nafas, keringat
dingin, kemudian jatuh pingsan. Dari pemeriksaaan sementara didapatkan :
Kesadaran spoor, sesak nafas, RR: 32-36 x / menit, cepat dan dangkal, suara
nafas ngorok, tekanan darah 60 mmHg palpasi, nadi 140 x / menit. Dokter
segera melakukan tindakan resusitasi dan merujuk pasien ke UGD.
A. Rumusan Masalah
1. Mengapa setelah pemberian penicilin bisa muncul gejala pada
skenario?
2. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario?
3. Bagaimanakah farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,
kontraindikasi, efek samping dari penicilin?
4. Bagaimana etiologi dan patofisiologi gejala klinis?
5. Bagaimana tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang diberikan
kepada pasien di dalam skenario?
6. Apa saja indikasi rujukan ke UGD?
7. Apakah diferensial diagnosis pada kasus dalam skenario?
8. Bagaimana mekanisme, tipe, derajat dari syok anafilatik?
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan pemberian penicilin dengan gejala pada
skenario.
2. Untuk mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario.
3. Untuk mengetahui farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,
kontraindikasi, efek samping dari penicilin.
4. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi masing-masing gejala
klinis yang terjadi pada pasien di skenario.
5. Untuk mengetahui tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang tepat
diberikan kepada pasien di dalam skenario.
6. Untuk mengetahui indikasi rujukan ke UGD?
7. Untuk dapat menjelaskan diferensial diagnosis pada kasus
kegawatdaruratan dalam skenario?
8. Untuk mengetahui mekanisme, tipe, dan derajat dari syok anafilatik
BAB II
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
A. Jump 1: Klarifikasi Istilah
1. Sopor : tidur yang dalam ditandai dengan hilangnya ingatan, orientasi,
dan pertimbangan.
2. Resusitasi : segala usaha medik yang dilakukan pada pasien gawat
darurat untuk mencegah kematian.
3. Tekanan darah 60 mmHg palpasi : pengukuran tekanan darah pada a.
Radialis atau a. Brachialis tanpa menggunakan stetoskop dan hanya
didapati tekanan sistolik.
4. Penicilin : antibiotik golongan beta-laktam dengan kerja menghambat
mukopeptida yang digunakan untuk pembentukan dinding sel.
B. Jump 2: Menetukan dan Mendefinisikan Masalah
1. Mengapa setelah pemberian penicilin bisa muncul gejala pada
skenario?
2. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario?
3. Bagaimanakah farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,
kontraindikasi, efek samping dari penicilin?
4. Bagaimana etiologi dan patofisiologi gejala klinis?
5. Bagaimana tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang diberikan
kepada pasien di dalam skenario?
6. Apa saja indikasi rujukan ke UGD?
7. Apakah diferensial diagnosis pada kasus dalam skenario?
8. Bagaimana mekanisme, tipe, derajat dari syok anafilatik?
C. Jump 3 : Menganalisis Permasalahan dan Membuat Penyataan
Sementara Mengenai Permasalahan (tersebut dalam langkah 2)
1. Penicilin pada umumnya dapat memicu reaksi alergi (tipe I, II, III, atau
IV) dan terkadang bisa menyebabkan syok anafilatik sehingga
membuat badan menjadi lemah dan lesu.
Penicilin juga dapat menyebabkan sesak nafas, takikardi, mual, dan
muntah.
2. Interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario menunjukkan adanya
tanda-tanda syok anafilatik yang berarti dalam kasus ini masuk
kedalam kegawatdaruratan medik non traumatik.
3. Macam-macam syok:
a. Syok hipovolemik : kehilangan cairan dalam waktu singkat.
b. Syok kardiogenik : gagal pompa jantung, curah jantung kecil,
perfusi jaringan turun.
c. Syok septik : akibat septikemia, terjadi kolaps jantung
kare bakteri gram (-) mengeluarkan endotoksin permeabilitas
kapiler meningkat kapasitas vaskuker meningkat jatuh dalam
keadaan syok.
d. Syok neurogenik : reflek vasovagal berlebih vasodilatasi
menyeluruh perdarahan otak.
e. Syok anafilatik : reaksi imun berlebih karena hiper
sensivitas tipe I; juga terjadi vasodilatasi menyeluruh
hipovolemik relatif; permeabilitas kapiler meningkat udem.
4. Fase syok anafilatik
a. Sensitasi : IgE menempel pada basofil atau mastofit
b. Vasoaktivasi : antigen yang sama masuk berikatan dengan
imunoglobulin memicu keluarnya histamin, sitokin bradikin
(performance mediatos)
c. Vasoreseptor : respon kompleks yang merupakan efek dari
lepasnya mediator- mediator.
Histamin :permeabilitas meningkat, bronkokonstriksi
Serotonin : permeabilitas meningkat
Bradikinin : konstruksi otot polos
PAF (Platelette Activating Factor) : bronkospasme, aktivasi
dan agregasi trombosit, permeabilitas meningkat.
Prostaglandin dan leukotrien : bronkokonstriksi
5. Tipe syok anafilatik
a. Tipe cepat : reaksi kurang dari 1 jam
b. Tipe moderat : reaksi antara 1-24 jam
c. Tipe lambat : reaksi lebih dari 24 jam
6. Derajat syok anafilatik
a. Ringan : memiliki gejala sensasi hangat, sesak, kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus
b. Sedang : gejala derajat ringan ditambah dengan adanya
bronkospasme, batuk, wajah kemerahan,ansietas, dan gatal-gatal.
c. Berat : terjadi mendadak,terjadi bronkospasme, edema jalan
napas,kontraksi otot polos abdomen, disfagia, muntah, diare,
kejang.
7. Patpfisiologi gejala klinis pada skenario
a. Mediator inflamasi permeabilitas kapiler naik vasodilatasi
venous return menurung volume sekuncup jantung turun
cardiac output menurun tekanan darah turun hipotensi
kompensasi dengan heart rate naik takikardi
b. Sesak napas : hipereaktif bronkus bronkokonstriksi
hipersekresi mukus menyumbat jalan napas
c. Mata merah bengkak : adanya vasodilatasi pembuluh darah di
orbital.
d. Pruritus : adanya vasodilatasi mendesak saraf memicu nyeri
ringan (gatal)
8. Tindakan awal yang diberikan pada pasien.
a. Posisi tredenburg, kaki lebih tinggi dari kepala
b. Airway : triple manuver chin lift, head tilt, jaw thrust
Breathing : terapi O2, intubasi endotrakeal
Circulation : terapi cairan RL atau NaCl 0,9%, dextrose 5%
c. Drugs of choice :
Adrenalin jika tekanan darah kurang dari 90 mmHg.
Pemberian secara subkutan, IM, ataupun IV
Dosis : 0,3 – 0,5 mg
0,3 – 0,5 ml dalam larutan 1 : 1000
Pada anak 0,01 mg/kgBB
Diulang tiap 5 menit dengan monitoring A,B,C
Ditambah aminofilin jika terjadi bronkospasme, dosis 5
mg/kgBB diencerkan dengan NaCl 0,9% berikan 20 menit
Kortikosteroid, antihistamin
d. Observasi tiap 6 jam
9. Indikasi rujukan ke UGD
a. Penurunan kesadaran
b. Perdarahan hebat
c. Serangan jantung
d. Panas tinggi diatas 39oC
e. Muntaber disertai dehidrasi
f. Sesak napas
g. Keadaan gelisah pada gangguan jiwa
D. Jump 4: Menginventarisasi Permasalahan – Permasalahan pada
Langkah 3
1. Mengapa setelah pemberian penicilin bisa muncul gejala pada
skenario?
2. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario?
3. Bagaimanakah farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,
kontraindikasi, efek samping dari penicilin?
4. Bagaimana etiologi dan patofisiologi gejala klinis?
5. Bagaimana tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang diberikan
kepada pasien di dalam skenario?
6. Apa saja indikasi rujukan ke UGD?
7. Apakah diferensial diagnosis pada kasus dalam skenario?
8. Bagaimana mekanisme, tipe, derajat dari syok anafilatik?
E. Jump 5: Merumuskan Tujuan Pembelajaran
1. Untuk mengetahui hubungan pemberian penicilin dengan gejala pada
skenario.
2. Untuk mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario.
3. Untuk mengetahui farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,
kontraindikasi, efek samping dari penicilin.
4. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi masing-masing gejala
klinis yang terjadi pada pasien di skenario.
5. Untuk mengetahui tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang tepat
diberikan kepada pasien di dalam skenario.
6. Untuk mengetahui indikasi rujukan ke UGD?
7. Untuk dapat menjelaskan diferensial diagnosis pada kasus
kegawatdaruratan dalam skenario?
8. Untuk mengetahui mekanisme, tipe, dan derajat dari syok anafilatik
F. Jump 6 : Mengumpulkan Informasi Baru
Mahasiswa secara aktif dan mandiri mepelajari tujuan pembelajaran
dan pertanyaan yang belum sempat terjawab di pertemuan pertama.
G. Jump 7 : Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi Baru
yang Diperoleh
1. Penicilin
Penicilin sama seperti sefalosporin, monobaktam dan karbanepem
memiliki cinicin betalaktam daam strukutur kimianya sehingga
digolongkan sebagai antibiotika betalaktam. Karenanya, semua
antibiotika tersebut bekerja dengan cara yang hampir mirip yaitu
dengan menghambat sintesis mukopeptida yang dibutuhkan dalam
pembentukan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja penicilin adalah
sebagai berikut (Yani, 2008):
a. Obat bergabung dengan penicilin binding protein
b. Hambatan sintesis dinding sel bakteri melalui gangguan proses
transpeptidase rantai peptidoglikan
c. Aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.
Farmako kinetik
a. Absorbsi
Peniillin G mudah rusak oleh suasana asam (pH 2), tidak
terlalu dirusak oleh keasaman lambung (pH 4). Sehingga untuk
penicilin G, jika dibandingkan dosis oral dengan dosis IM, maka
untuk dosis oral dibutuhkan 4-5x lipat lebih banyak dibanding
dosis IM. Untuk penicilin tahan asam maka dapat menghasilkan
kadar dalam plasma dengan penyesuaian dosis oral yang tidak
terlalu bervariasi. Adanya makanan dapat menghambat absorbsi
walaupun tidak secara bermakna. Penicilin V termasuk tahan asam,
namun 30% mengalami emecahan dalam saluran pencernaan atas
sehingga tidak sempat diabsorbsi.
b. Distribusi
Penicilin G didistribusikan secara luas dalam tubuh. Kadar
yang memadai dapat mencapai hati, empedu, ginjal, usus, limfe
dan semen, tetapi sukar mencapai CSS. Distribusi fenoksimetil
penicilin, penicilin isosakzolil dan metisillin sama dengan penicilin
G, hanya saja terdapat perbedaan dalam hal pengikatan oleh
proptein plasma.
c. Biotransformasi
Biotransformasi penicilin umumnya dilakukan oleh
mikroba berdasarkan ada tidaknya enzim penisilinase dan amidase.
Proses biotransformasi hospes tidak terlalu berpengaruh terhadap
penisillin. Diantara semua penicilin, penicilin isosakzolil dan
metisilin tahan terhadap penisilinase, sementara semua jenis
penicilin terpengaruh oleh amidase.
d. Ekskresi
Ekskresi penicilin pada umumnya melalui sekresi tubulus
ginjal yang dapat dihambat oleh probenesid. Beberapa obat lain
juga dapat menghambat sekresi tubulus ginjal sehingga
memperpanjang masa paruh daam plasma. Namun akumulasi
jarang terjadi karena peningkatan biotransformasi oleh hepar.
Efek Samping Obat
Efek samping dapat terjadi melalui semua cara pemberian, dapat
melibatkan berbagai organ secara terpisah maupun bersama-sama dan
dapat muncul dalam bentuk ringan hingga berat. Pemberian secara
parenteral lebih sering muncul.
a. Reaksi Alergi
Merupakan bentuk efek samping yang paling sering
terjadi.sebagian besar terjadi pada pasien yang sebelumnya telah
tersensitisasi oleh penicilli, namun yang belum pernah
tersensitisasi juga dapat mengalami reaksi alergi. Manifestasi
terberat alergi adalah dalam bentuk reaksi anafilaksis.
b. Nefropati penicilin
Nefropati oleh penicilin biasanya karena penicilin G atau
meticillin berupa nefritis interstisium diprkirakan berdasarkan
reaksi imun terapi yang tidak bergantung pada dosis dan lama
terapi atau efek nefrotoksik penicilin.
c. Anemia hemolitik
Berdasarkan mekanisme reaksi imun dengan zat anti IgM
atau IgG.
d. Gangguan fungsi hati
(Yani, 2008)
Penggunaan Klinik
Penggunaan klinik dari penisilin adalah untuk mengatasi infeksi
baik oleh koman gram positif maupun negatif.
a. kokus gram positif
infeksi pneumokokus (pneumonia, meningitis, endokarditis,
dan lain-lain)
infeksi streptokokus (faringitis, demam reamatik, meningitis,
pneumonia, OMA, mastoiditis, endokarditis)
infeksi Stafilokokus
b. kokus gram negatif
Infeksi meningokokus
Infeksi gonokokus
Sifilis
c. batang gram positif
difteria
klostridia
antraks
listeria
erisipeloid
d. batang gram negatif
salmonella dan shigella
haemophilus influenzae
fusospirochaeta
pasteurela
Rat-bite fever
(Yani, 2008)
2. Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.
Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam
sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari
anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh
darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat
menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus
kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis
secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa
adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama
obstruksi saluran napas (Rehata, 2000).
Mekanisme anafilaksis
a. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas
atau saluran makan ditangkap oleh makrofag.
Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13)
yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma
(plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE)
spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan basofil.
b. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen
yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada
kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif
lain dari granula yang disebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan
prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
c. Fase Efektor
Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas
farmakologik pada organ-organ tertentu. Histamin memberikan
efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang
nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet Activating Factor
(PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan
leukotrien.
(Rehata, 2000)
Derajat Berat Reaksi Anafilaksis
a. Derajat Ringan (hanya kulit dan jaringan submukosa)
Gambaran klinik antara lain: eritema luas, edema periorbita, atau
angioedema.Reaksi ringan dapat dibagi lagi, disertai atau tidak ada
angioedema.
b. Derajat Sedang (keterlibatab pernapasan, kardiovaskuler, atau
gastrointestinal.
Gambaran klinik antara lain: sesak, stridor, mengi, mual, muntah,
pusing, presinkop diaforesis, rasa tertekan di dada atau tenggorok
atau sakit perut.
c. Derajat Berat (hipoksia, hipotensi, atau defisit neurologik)
Sianosis, atau SpO2 < 92% pada tiap tingkat, hipotensi (tekanan
sistolik < 90 mmHg pada dewasa), bingung kolaps, hilang
kesadaran, atau inkontinensia.
(Rengganis, 2012)
Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik
sistematik yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien
terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul
dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas
atau syok anafilaktik yang mematikan. Tanda-tanda ini harus segera
dikenali agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-
kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal
napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran
dikelompokkan sebagai berikut (Rengganis., 2012):
Sistem Gejala dan Tanda
Umum
Prodromal
Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada
dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Hidung gatal, bersin, dan tersumbat.
Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor,
edema, spasme.
Edema
Batuk, sesak, mengi, spasme
Kardiovaskuler Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi
sampai syok, aritmia. Kelainan EKG: gelombang
T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard.
Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang
disertai darah, peristaltik usus meninggi.
Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka, atau
ekstremitas.
Mata Gatal, lakrimasi
Susunan saraf
pusat
Gelisah, kejang
Pasien pada skenario setelah mendapat suntikan penicillin
mengeluh mual, kemudian muntah, sesak nafas, keringat dingin,
kemudian jatuh pingsan. Dari pemeriksaan sementara didapatkan :
kesadaran sopor, sesak nafas, RR : 32-36x/menit, cepat dan dangkal,
suara nafas ngorok, tekanan darah 60 mmHg palpasi, nadi 140x/menit.
Gejala klinis yang dialami pasien terjadi karena reaksi anafilaksis
yaitu perlekatan IgE sebagai reaksi antigen-antibody pada mast sel
yang mengakibatkan degranulasi jaringan sehingga mediator-mediator
seperti histamin, PAF, Pg, serotonin, leukotrien dan lain-lain
dilepaskan. Pelepasan mediator-mediator ini mengakibatkan
vasodilatasi pembuluh darah, permeabilitas pembuluh darah meningkat
dan bronchokontriksi.
Permeabilitas pembuluh darah yang meningkat mengakibatkan
volume interstitial keluar ke ekstrasel sehingga jumlah oksigen yang
dibutuhkan jaringan berkurang sehingga otak kekurangan oksigen dan
terjadilah penurunan kesadaran, di skenario kesadaran pasien sopor.
Bronchokontriksi akibat reaksi anfilaksis akan menimbulkan gejala
sesak nafas pada pasien. Nadi takikardi adalah sebagai mekanisme
kompensasi kekurangan volume interstitial. Mual dan muntah yang
dialami pasien akibat hiperperistaltik usus (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).
Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa
menit setelah terpajan oleh alergen tetapi adakalanya muncul beberapa
jam kemudian. Bentuk anafilaksis dapat unifasik seperti yang biasa
ditemukan, bifasik yang gejalanya muncul 1-8 jam kemudian dan
protrated yaitu suatu bentuk anafilaksis berat yang dapat berlangsung
5-32 jam meskipun dengan pengobatan yang intensif (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).
Terapi
Apabila diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak
boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan
lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian.
Epinefrin 1 : 1000 yang diberikan adala 0,01 ml/kgBB sampai
mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap
15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah
buruk atau dari awal kondisis penyakitnya sudah berat, suntikan dapat
diberikan secara intramuskuler (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis
epinefrin dapat dinaikkan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak
mengidap penyakit jantung (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2007).
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi,
penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi
epinefrin 1 : 1000 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk
mengurangi absorpsi alergen tadi. Bila mungkin pasang torniket
proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit.
Torniket dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).
Epinefrin mempunyai efek pada α-adrenergik dan β-adrenergik
yang mengakibatkan vasokonstriksi, relaksasi otot polos bronkus, dan
mengurangi peningkatan permeabilitas venula. Ketika epinefrin gagal
dalam mengontrol reaksi anafilaksis, harus dipikirkan hipoksia karena
obstruksi pernapasan atau dihubungkan dengan aritmia jantung, atau
keduanya (Fauci,2008).
Dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan
terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem
pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem
kardiovaskular juga harus berfungsi dengan baik sehingga perfusi
jaringan memadai (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2007).
Sistem Pernapasan
a. Memelihara saluran pernapasan tetap memadai. Penyebab tersering
kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya salauran napas baik
karena edema larings atau spasme bronkus. Kadang diperlukan
tindakan trakeostomi. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh
dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat
dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran
krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke
Rumah Sakit.
b. Pemberian oksigen sangat penting baik pada gangguan pernapasan
maupun kardiovaskular.
c. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas
bagian bawah seperti pada asma atau status asmatikus.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007)
Sistem Kardiovaskular
a. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan
intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara
cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid
(plasma, dextran).
b. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi
asidosis metabolik.
c. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure).
d. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan,
para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan
infus intravena.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan
anafilaktsis yang berat, American Heart Association, menganjurkan
pemberian epinefrin secara endotrakeal, kemudian diikuti pernapasan
hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat. Pernah
dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan tadi terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan:
a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat
penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi
dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulan
reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian
inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan memberikan
manfaat disamping pemberian aminofilin dan kortikosteroid
intravena.
b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 denganAH2 bekerja
secara sinergistik teradap reseptor yang ada di pembuluh darah.
c. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang
mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007)
Steroid sering diberikan sebagai usaha perlindungan untuk
melawan “late” reaction yang dapat terjadi beberapa jam setelah
reaksi alergi. Pada beberapa pasien, terutama pasien dengan asma,
“late” reaction ini dapat terjadi lebih berat daripada initial reaction
(American Academy of Allergy, Asthma & Immunology, 2012).
3. Diagnosis Banding
Penyebab yok
Jenis Syok Penyebab
Hipovolemik Perdarahan
Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)
Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah,
obstruksi usus dan lain-lain
Kardiogenik Out flow : stenosis atrium
Inflow : stenosis mitral, miksoma atrium
kiri/thrombus
Obstruktif Tension Pneumothorax
Tamponade jantung
Emboli Paru
Septik Infeksi bakteri gram negative, misalnya: eschericia
coli, klibselia pneumonia, enterobacter,
serratia,proteus,danprovidential.
Kokus gram positif, misal : stafilokokus,
enterokokus, dan streptokokus
Neurogenik Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma
tulang belakang dan spinal syok (trauma medulla
spinalis dengan quadriflegia atau para flegia)
Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan, misal
nyeri hebat
Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya
penggunaan obat anestesi
Rangsangan parasimpatis pada jantung yang
menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Hal ini
terjadi pada orang yang pingan mendadak akibat
gangguan emosional
Anafilaksis Antibiotik : Penisilin, sofalosporin, kloramfenikol,
polimixin, ampoterisin B
Biologis : Serum, antitoksin, peptide, toksoid tetanus,
dan gamma globulin
Makanan : Telur, susu, dan udang/kepiting
Lain-lain
Gigitan binatang, anestesi local
Bagaimana mengenali berbagai macam jenis dari syok (Azis, 2008;
Guyton 2006)
Diagnostic Hipovolemik Kardiogenik Neurogenik Septik
Gejala dan
tanda
Pucat; kulit
dingin,
Basah;
takikardi;
Oliguri,
hipotensi;
peningkatan
Kulit basah,
dingin; taki-
dan
bradiaritmia
; oliguri;
hipotensi;
peningkatan
Kulit
hangat,
denyut
jantung
normal/ren
dah,
normo/olig
Demam,
kulit teraba
hangat,
takikardi,
oliguri,
hipotensi,
penurunan
resistensi
perifer
resistensi
perifer
uri,
hipotensi,
penurunan
resistensi
perifer
resistensi
perifer.
Data
laboratori
um
Hematokrit
rendah ( fase
akhir)
Enzim
jantung,
EKG
Normal Hitung
neutrofil,
pengecatan
gram,
kultur
4. UGD
Kriteria Emergensi sesuai indikasi medis:
a. Kecelakaan/Ruda Paksa yang bukan kecelakaan kerja, contoh
kasus: Trauma kepala, patah tulang terbuka/tertutup, luka
robekan/sayatan pada kulit/otot
b. Serangan jantung, contoh kasus: henti irama jantung, irama jantung
yang abnormal, nyeri dada akibat penyempitan/penutupan
pembuluh darah jantung
c. Panas tinggi diatas 39 derajat Celsius atau disertai kejang
demam, contoh kasus: kejang demam
d. Perdarahan hebat, contoh diagnosis: Trauma dengan perdarahan
hebat, muntah/berak darah, abortus (keguguran) , Demam Berdarah
Dengue Grade dengan komplikasi perdarahan
e. Muntaber disertai Dehidrasi sedang s/d berat, contoh kasus:
Kholera, Gastroenteritis akut dengan dehidrasi sedang/berat, mual
dan muntah pada ibu hamil disertai dehidrasi sedang/berat
f. Sesak Napas, contoh kasus: Asma sedang/berat dalam serangan,
infeksi paru berat
g. Kehilangan kesadaran, contoh kasus: Ayan/epilepsy, Syok/pingsan
akibat kekurangan cairan, gangguan fungsi jantung, alergi berat,
infeksi berat
h. Nyeri kolik, contoh kasus: kolik abdomen, kolik renal, kolik ureter,
kolik uretra
i. Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa
Pasien dengan kriteria emergensi, harus segera dibawa ke IGD
untuk diberi pertolongan lebih lanjut setelah diberi pertolongan
pertama.
Prosedur pelayanan emergensi (darurat)
a. Pasien yang memenuhi kriteria emergensi atas indikasi
medis dapat berkunjung ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS.
b. Dokter UGD akan memeriksa pasien dan memberikan
pertolongan pertama atau melakukan tindakan medis serta
memberikan resep minimal satu hari dan maksismum tiga hari
c. Bila pasien belum sembuh, maka yang bersangkutan harus
kembali ke PPK I yang
ditunjuk/pilihan untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut
atau PPK I akan merujuk ke dokter spesialis sesuai indikasi
medis (bukan atas permintaan pasien sendiri). Pelayanan
lanjutan tersebut harus mengikuti prosedur rawat jalan spesialis
di PPK II/RS
d. Bila pasien memerlukan perawatan setelah observasi di UGD,
maka pihak Rumah Sakit akan mendaftarkan pasien sebagai
pasien rawat inap
e. Selanjutnya berlaku prosedur rawat inap
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
1. Pasien dalam skenario mengalami syok anafilaktik karena pemberian
injeksi penicilin.
2. Gejala dan tanda syok anafilaktik pada pasien mencakup beberapa sistem
tubuh, meliputi sistem kardiovaskuler (takikardi, hipotensi, nadi lemah),
sistem respirasi (takipneu, sesak napas), sistem gastrointestinal (mual,
muntah), dan SSP (penurunan kesadaran).
3. Prinsip penatalaksanaan syok anafilaktik adalah dengan posisi syok,
adrenalin, penilaian ABC (Airway, Breathing, Circulation), dan segera
dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
4. Syok anafilaktik dapat dihindari dan diminimalkan dengan anamnesis
yang lengkap terhadap riwayat alergi, uji sensitivitas, dan edukasi terhadap
pasien.
SARAN
1. Sebaiknya setiap tempat pelayanan kesehatan primer memiliki persediaan
adrenalin sebagai pertolongan pertama terhadap syok anafilaktik.
2. Pengkajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan
yang lebih valid mengenai kedaruratan medik pada umumnya dan syok
anafilaktik pada khususnya.
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL SKENARIO 1
BLOK KEDARURATAN MEDIK
SYOK ANAFILAKTIK
DISUSUN OLEH:
1. FITRIA MARIZKA K G0009086
2. ABDULLAH M AZAM G0009002
3. ANNISA FEBRINA D G0009018
4. ARDININGSIH G0009026
5. CAESARIA SARAH S G0009042
6. FEBRIAN KANTATA G0009080
7. KRISMAWARNI G G0009116
8. NURRINI S. Y G0009160
9. RIYANI DWI HASTUTI G0009182
10. RIZAL TAHTA M G0009186
11. STEFANNY C. N G0009204
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. 2012. Treatment of
Anaphylaxis, Preparedness and Prevention.
http://www.aaaai.org/professionals/treatment_anaphylaxis.pdf.
Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principle of Medicine (17th ed, 2008). New York:
McGraw-Hill Profesional
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Rehata, NM, Syok Anafilaktik Patofisiologi dan penanganan dalam up date on
shock, pertemuan Ilmiah terpadu I FKUA Surabaya, 2000 : 69-75
Rengganis I. 2012. Anafilaksis Karena Obat.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e674d1778222a2880e7b73db
429d4387e1a6b3ab.pdf.
Yani HI, Vincent HSG (2008). Farmakologi dan Terapi: Penicilin, Sephalosporin
dan Antibiotik Betalaktam Lainnya. Jakarta: FKUI.
Azis AL, Dharmawati I, Kushartono. 2008. Renjatan Anafilaksis in: Pedoman
Diagnosa dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Buku 3.
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo. Surabaya. Pp. 8-9.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in: Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.