latar ggn bgd perilaku diferensial

222
143 Gambar 5.1 Proses Terbentuknya Perilaku Diferensial Kesepuluh bentuk PDf yang berhasil diidentifikasi tersebut hanya merupakan kecenderungan umum saja, sebab dalam kenyataannya berbagai bentuk PDf bisa saja berlangsung secara bersamaan dan saling tumpang tindih (mutually all inclusive). Artinya bahwa suatu perilaku yang muncul memiliki kecenderungan bersamaan dengan perilaku yang lain. Misalnya, ketika seorang birokrat garis-depan berperilaku sebagai calo, bisa saja karena BGD tersebut merespon WM yang datang yang tidak memiliki waktu untuk mengurus SIM sesuai prosedur resmi sehingga memilih untuk mencari gampang dalam memperoleh pelayanan SIM. Jadi dengan demikian, maka dalam interaksi tersebut terjadi dua perilaku yang berlangsung secara bersamaan yakni perilaku sebagai calo dari BGD dan perilaku mencari gampang dari WM. Berikut ini ditampilkan matriks gaya-gaya negosiasi antara BGD dan WM, dan perilaku yang cenderung muncul dari hasil interaksi kedua gaya tersebut. LATAR BGD LATAR WM GGN BGD GGN WM PERILAKU DIFERENSIAL

Upload: others

Post on 17-Nov-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

143

Gambar 5.1 Proses Terbentuknya Perilaku Diferensial

Kesepuluh bentuk PDf yang berhasil diidentifikasi tersebut hanya

merupakan kecenderungan umum saja, sebab dalam kenyataannya berbagai

bentuk PDf bisa saja berlangsung secara bersamaan dan saling tumpang tindih

(mutually all inclusive). Artinya bahwa suatu perilaku yang muncul memiliki

kecenderungan bersamaan dengan perilaku yang lain. Misalnya, ketika seorang

birokrat garis-depan berperilaku sebagai calo, bisa saja karena BGD tersebut

merespon WM yang datang yang tidak memiliki waktu untuk mengurus SIM

sesuai prosedur resmi sehingga memilih untuk mencari gampang dalam

memperoleh pelayanan SIM. Jadi dengan demikian, maka dalam interaksi

tersebut terjadi dua perilaku yang berlangsung secara bersamaan yakni perilaku

sebagai calo dari BGD dan perilaku mencari gampang dari WM.

Berikut ini ditampilkan matriks gaya-gaya negosiasi antara BGD dan WM,

dan perilaku yang cenderung muncul dari hasil interaksi kedua gaya tersebut.

LATAR

BGD

LATAR

WM

GGN

BGD

GGN

WM

PERILAKU

DIFERENSIAL

Page 2: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

144

Tabel 5.1 Matriks Gaya-Gaya Negosiasi BGD dengan Gaya-Gaya Negosiasi WM serta Perilaku Diferensial yang Terjadi Dari Hasil Interaksi Keduanya

BGD

WM

Pelayanan Sebagai Pelaksanaan Aturan

Pelayanan Sbg Tugas dari Atasan

Pelayanan Sebagai Sarana Kepentingan Pribadi

Kerjasama Kompromi Percekcokan Kompromi

Kecurangan Intimidasi Kolusi

Pelayanan Sebagai

Hak Warga

Kompromi

Melayani

Percekcokan

Memperlakukan Khusus Korps tt

Mengabaikan

Menolak membayar

Pelayanan Sebagai

Kewajiban Warga Kota

Kompromi

Melayani Memperlakukan Khusus Korps tt

Sebagai calo Mencari gampang

Kecurangan

Superior Menyogok

Pelayanan Sebagai

Jasa Terbeli

Kecurangan

Superior Mogok

Kompensasi

Memperlakukan KhususKorps tt

Pertukaran

Mempersulit Menyogok

Sebagai Calo Mencari gampang

Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian Lapangan, 2007

Page 3: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

145

Deskripsi dari masing-masing bentuk perilaku diferensial yang telah

diperoleh berdasarkan hasil pengamatan maupun dari hasil wawancara, dapat

dilihat dalam uraian berikut ini.

5.1.1 Perilaku Superior

Perilaku superior terjadi saat birokrat garis-depan menggunakan

kekuasaannya secara negatif untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan

menerapkan aturan dengan ketat, terutama tes praktek mengendarai yang

formatnya dirasakan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk

dilakukan (yang sebenarnya mengada-ada). Bentuk perilaku superior

merupakan tindakan yang tidak resmi dan termasuk perilaku yang melanggar

aturan sehingga dapat mengganggu jalannya interaksi antara birokrat garis-

depan dengan warga kota yang dilayani. Perilaku superior biasanya dilakukan

oleh birokrat garis-depan khususnya terhadap warga kota yang ”kurang

berdaya”. Petugas yang berniat melakukan perilaku superior ini terlebih dahulu

dapat menaksir atau mendefinisikan orang yang dihadapinya. Dengan dalih

untuk menerapkan prosedur pelayanan sebagaimana mestinya, birokrat garis-

depan dapat memperdaya warga kota. Sebagai pemegang wewenang dan

sumberdaya, birokrat garis-depan bisa menolak, menyalahkan, mempersulit, dan

bahkan memaksakan kehendaknya kepada warga yang dilayaninya. Apabila

warga yang dilayani tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam berhadapan

dengan birokrasi pelayanan, maka dengan mudah dapat ”terjebak”, sehingga

dapat berakibat pada konsekuensi biaya tinggi.

Dalam pengamatan di lapangan, kasus perilaku superior seperti ini

seringkali terjadi terhadap warga kota yang mengurus SIMnya sendiri. Warga

Page 4: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

146

kota yang nekad untuk mengikuti tes teori dan praktek dapat dipastikan akan

mengalami perlakuan superior dari petugas. Hasil pengamatan lapangan

terungkap bahwa kasus superior pada umumnya terjadi pada loket 6 yakni pada

ujian praktek. Berikut ini kutipan hasil pengamatan lapangan terhadap seorang

warga masyarakat yang bernama Ridwan:

”Ridwan (nama samaran), seorang warga Jl. Andi Pangerang Pettarani Makassar yang mengurus SIM. Sekarang dia harus mengikuti ujian praktek. Setelah menghubungi ruang loket 6, petugas meminta Ridwan untuk mengambil sepeda motornya yang diparkir di halaman belakang kantor Satlantas Polwiltabes Makassar. Ketika sampai di lapangan tempat diadakannya ujian praktek, petugas menjelaskan beberapa aturan main:

”Saya ingin menjelaskan kepada Saudara bagaimana ujian yang harus anda lalui. Pertama-tama anda harus melalui tiang rintangan ini yang berjumlah 8 buah. Anda harus melewatinya secara ziq-zaq, dimana jarak antara satu tiang ini adalah kurang lebih 2 meter. Anda tidak boleh menurunkan kaki. Kalau anda menurunkan kaki, saya akan membunyikan sempritan, berarti anda harus mengulangi. Jika dua kali anda gagal maka anda tidak punya kesempatan lagi. Apabila anda berhasil melewati rintangan, anda diwajibkan melanjutkan mengendarai motor melalui lingkaran dan sekali lagi tidak boleh menurunkan kaki. Setelah itu anda ke lokasi di sebelahnya untuk menaiki tanjakan. Dan pada tanjakan anda diwajibkan untuk berhenti dan menurunkan kaki.”

Setelah petugas selesai menjelaskan peraturan ujian, petugas kemudian memberi contoh, bagaimana harus mengendarai motor melewati rintangan. Nampak bahwa petugas sangat ahli mengendarai kendaraannya tanpa menurunkan kakinya. ”Sekarang saya persilahkan Anda untuk mengendarai motor anda mengikuti jalur yang saya jelaskan tadi.” kata petugas kepada Ridwan.

”Ridwan mulai menghidupkan motornya, dan perlahan-lahan melewati satu per satu tiang rintangan. Dia nampaknya mahir mengendarai motor melewati rintangan dengan baik tanpa menurunkan kakinya. Tetapi pada rintangan terakhir nampaknya Ridwan kehilangan keseimbangan sehingga harus menurunkan kakinya. Petugas dengan cepat membunyikan sempritan sebagai tanda bahwa Ridwan harus kembali dan memulai dari awal lagi. Setelah mencoba sekali lagi, kejadian yang sama terjadi, yakni pada rintangan terakhir Ridwan kembali menurunkan kakinya. Untuk kedua kalinya petugas meniup peluitnya, kemudian memanggil Ridwan ke posisi semula. Petugas lalu berkata, ”Anda kembali lagi besok, atau kapan-kapan ada waktu untuk mengikuti tes ulang” (hasil pengamatan lapangan tanggal 25 April 2007).

Setelah Ridwan meninggalkan lapangan ujian praktek, pengamat kemudian menghampiri petugas dan mencoba memuji keahlian petugas dalam mengendarai motor ketika memberikan contoh tadi. ”Bapak tadi sangat ahli mengendarai, saya heran Bapak tidak jatuh.” Pengamat

Page 5: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

147

mencoba memancing petugas. ”Sama seperti Ibu Dosen, meskipun tidak melihat buku pasti ibu dapat menjelaskan suatu mata kuliah yang ibu sudah ajarkan bertahun-tahun, begitu juga saya, karena tugas ini sudah saya lakukan sejak lama, maka saya sudah ahli” (hasil wawancara tanggal 25 April 2007).

Kutipan kasus diatas menunjukkan bahwa petugas seakan-akan ingin

menunjukkan kekuasaannya kepada warga yang dilayaninya. Dia tidak segan-

segan menyatakan bahwa pemohon tidak lulus, meskipun secara teknis nampak

bahwa Ridwan tadi mahir. Jika dilihat dari prosedur tes praktek mengendari

terkesan sangat mengada-ada, karena prosedur praktek seperti itu, realitasnya

tidak ditemukan di lapangan (jalan raya), sehingga meskipun Ridwan sudah

mahir mengendarai motor namun tidak lulus dalam tahap ujian praktek.

Jika dianalisis lebih jauh, perilaku superior yang dilakukan oleh birokrat

garis-depan memiliki tujuan akhir agar warga kota yang dilayani tidak mau

mengikuti prosedur yang ada sehingga mereka mencari jalan pintas

menggunakan calo apakah yang berpakaian seragam (petugas) ataukah calo

yang berpakaian sipil (calo yang “dipelihara” oleh petugas). Perilaku superior

semacam ini juga dimaksudkan untuk membangun image dimasyarakat, bahwa

mengurus SIM adalah pekerjaan yang sangat sulit dan memerlukan waktu yang

lama karena bisa saja berkali-kali mengikuti tes baru bisa lulus. Oleh karena itu,

kalau mengurus SIM sebaiknya lewat calo saja atau sebaiknya membayar

petugas sesuai standar yang telah menjadi kesepakatan secara tidak tertulis

yakni Rp 150.000,- untuk SIM C dan Rp 250.000,- untuk SIM A. Image

semacam ini rupanya telah terbentuk dimasyarakat, karena hampir semua

informan yang berhasil diwawancarai telah memaklumi budaya yang ada selama

ini. Sebagaimana hasil wawancara dengan Basyir (nama samaran) berikut ini:

”Saya lebih baik membayar Rp 250.000,- untuk mengurus SIM A, daripada saya harus mengikuti ujian yang sangat sulit. Saya rela

Page 6: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

148

membayar lebih karena nantinya sama saja biayanya kalau saya tidak lulus berkali-kali. Waktu saya juga akan habis hanya untuk bolak-balik, lebih baik saya mengerjakan pekerjaan saya yang lain” (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).

Dari beberapa kasus yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa perilaku

superior yang dilakukan oleh BGD terjadi bersamaan dengan perilaku

menyogok. Ketika seorang WM merasa kesulitan menghadapi BGD yang

berperilaku superior, maka kemudian kecenderungan WM menempuh jalan untuk

menyogok petugas, dan ada juga yang berhenti mengurus SIM (mogok).

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa perilaku superior

kecenderungannya muncul dari hasil interaksi antara BGD yang memaknai

pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi, dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai kewajiban warga. Sementara itu, terdapat pula perilaku

superior yang terjadi dari BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan

aturan, dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli. BGD

dengan dalih ingin menerapkan aturan dengan baik, maka dengan mudah

mempersalahkan dan menyatakan tidak lulus terhadap WM yang ”menurutnya”

tidak memenuhi syarat. Sementara WM yang sudah sering mendengar sulitnya

bentuk ujian praktek, maka WM cenderung tampil sebagai pembeli jasa layanan.

5.1.2 Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant)

Perilaku mengabaikan atau playing ignorant sempat juga terdeteksi di

lapangan. Perilaku mengabaikan yang dilakukan oleh aparat birokrat, bagi WM

ini merupakan taktik penundaan yang dilakukan secara sadar. Dalam

pengamatan lapangan, terungkap pula bahwa perilaku mengabaikan seringkali

Page 7: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

149

terjadi terutama terhadap warga kota yang mengurus sendiri SIM. Berikut hasil

pengamatan terhadap seorang WM yang mengurus SIM A:

”Nurdin (nama samaran), adalah nama seorang warga yang mengurus SIM A. Ia baru saja membeli sebuah kendaraan roda empat. Sebagai seorang warga yang taat, ia merasa harus mengurus SIM, disamping sebagai kewajiban bagi pengedara, juga dimaksudkan agar terhindar dari resiko tilang apabila ada sweeping di jalan raya, yang akhir-akhir ini memang marak dilakukan oleh kepolisian. Sebelumnya ia mengaku telah mengikuti kursus mengemudi pada salah satu lembaga kursus yang ada di kota Makassar yaitu Lembaga Kursus Aliah. Dengan berbekal sertifikat mengemudi, ia memberanikan dirinya untuk mengurus sendiri SIM A tanpa melalui calo. Setelah mengurus surat keterangan sehat pada dokter yang ada di ruangan sebelah, Nurdin kemudian menuju loket 1 (loket Pembayaran PNBP) untuk membayar biaya administrasi. Setelah membayar biaya administrasi kemudian dia mengambil formulir, nampak Nurdin mengisi formulir tersebut. Setelah merasa semua lengkap, kemudian ia mengembalikan ke loket 2. Nurdin kemudian duduk di kursi yang telah disediakan untuk warga kota yang mengurus SIM. Jumlah kursi yang disediakan lumayan banyak sekitar 40 kursi. Pada ruangan tunggu ini juga disediakan air minum mineral dalam bentuk galon, namun jumlah gelas yang disediakan hanya 3 buah. Setelah menunggu sekitar 5 menit, namanya kemudian di panggil. Ia kemudian diminta oleh petugas loket untuk meneruskan berkasnya ke loket 4. Pada loket ini rupanya setelah menunggu sekitar 30 menit, Nurdin belum juga dipanggil namanya. Karena merasa tidak sabar lagi, ia lalu bertanya ke petugas loket. ”Bu, bagaimana punya saya, dari tadi saya menunggu kok belum disebut juga nama saya.” Petugas yang ada di dalam kemudian menjawab: ”Sabar ya pak, ini banyak yang saya tangani.” Jawaban petugas tadi rupanya tidak memuaskan Nurdin, karena sebelumnya beberapa orang warga yang menurutnya di belakang dia, tetapi kenyataannya lebih dahulu dilayani (hasil pengamatan lapangan tanggal 8 Mei 2007). Pengamat yang telah memperhatikan dari tadi, kemudian berdiri

menghampiri Nurdin.

Kenapa pak? Tanya pengamat. ”Ini bu, saya rasanya sudah dari tadi memasukkan berkas saya, tapi belum juga diproses. Malahan ada orang yang baru saya lihat memasukkan berkasnya, tapi sudah dipanggil namanya. Itu kan namanya tidak adil. ”oh begitu pak?” pengamat berusaha mengerti perasaannya. Karena pengamat telah paham betul bagaimana kondisi lapangan, maka pengamat mencoba lagi memancing warga tadi: ”Memangnya tadi Bapak bayar berapa?. ”Tujuh puluh lima ribu bu, sesuai ketentuan yang saya baca di depan ketika mau masuk ruangan ini.” jawab Nurdin. ”Iya sih

Page 8: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

150

memang begitu, tapi disini pak kalau kita mau mengurus sendiri SIM pasti akan lama dan sangat bertele-tele. Saya juga sudah mengalaminya kemarin” Jelas pengamat. ”Sebenarnya saya juga tau dari teman-teman bu, tapi saya ini kan merasa bisa mengemudi, saya juga menyertakan sertifikat mengemudi saya”. Jawab Nurdin kemudian. Sampai disitu, pengamat tidak lagi melanjutkan pertanyaan, tetapi hanya berusaha mengamati kejadian selanjutnya” (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007). Dari hasil wawancara dan pengamatan lapangan tadi menunjukkan

bahwa perilaku mengabaikan terjadi manakala warga yang mengurus SIM tidak

menyertakan uang lebih dari standar yang ditetapkan atau tidak melalui calo.

Seperti halnya yang telah penulis alami sebelumnya, ketika berkas penulis sulit

ditemukan, sehingga proses selanjutnya menjadi terhambat.

”Setelah melewati loket 6 yang melelahkan, penulis kemudian membawa berkas ke loket 7 untuk pengecekan data sebelum dibuat SIM. Berkas penulis masukkan sekitar pukul 11.45. Setelah menunggu kira-kira 20 menit, petugas yang ada di dalam keluar. Menurut keterangan petugas loket yang lain, petugas tersebut pergi menunaikan ibadah sholat dan makan siang. Sekitar pukul 12.35 petugas tersebut kembali. Namun setelah menunggu hampir 2 jam lamanya, berkas penulis belum juga dikembalikan. Untunglah sore itu ada kerabat penulis yang kebetulan memiliki kenalan di Satlantas. Setelah penulis menyampaikan apa yang dialami, kerabat tersebut kemudian mencari temannya yang kebetulan adalah petugas. Petugas tadi masuk ke ruang loket 7. Ia nampaknya mencari-cari berkas penulis, tapi rupanya tidak ditemukan. Petugas tadi kemudian bertanya pada penulis, ”Siapa tadi yang mengambil berkasnya,” ”Saya letakkan di meja itu pak, karena petugas tadi bilang taruh disitu saja bu.” Jawab pengamat. Petugas tadi mencari di meja yang pengamat tunjuk. Berkas tersebut belum juga ditemukan. Tanpa kenal lelah petugas tadi mencari di meja lain, rupanya berkas penulis diletakkan tersendiri. Setelah ditemukan, petugas tadi duduk di komputer dan mencocokkan data penulis dengan data yang telah dientri sebelumnya (meskipun petugas tadi bukan petugas loket, tapi nampaknya dia bisa juga melakukan pengecekan data). Setelah semua cocok, berkas tadi diberikan kepada penulis dan diminta ke loket 8 untuk pengambilan gambar (foto SIM C)” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007).

Dari kasus tadi, jelas bahwa perilaku mengabaikan ini berbeda dengan

ketidakpastian. Kalau ketidakpastian menunjukkan bahwa sesuatu hal memang

tidak jelas apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan. Misalnya saja,

Page 9: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

151

ketidakpastian mengenai biaya, warga sama sekali tidak mengetahui berapa

yang harus dibayar untuk sebuah pelayanan. Ketidakpastian mengenai pelayan,

warga tidak tahu sama sekali mengenai siapa yang melayani. Demikian pula

ketidakpastian tentang prosedur, warga tidak tahu prosedur yang harus dilalui

untuk mendapatkan suatu pelayanan. Dalam hal perilaku mengabaikan ini,

sebenarnya semua prosedur dan biaya telah diketahui dan diikuti. Ia lebih

merupakan sebuah keputusan yang dibuat secara sadar untuk bertindak seakan-

akan seseorang itu tidak mengetahui apa yang keliru.

Berdasarkan hasil penelitian lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku mengabaikan (playing ignorant) muncul dari hasil interaksi antara BGD

yang cenderung memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi,

dengan warga masyarakat yang memaknai pelayanan sebagai hak warga.

Nampak bahwa kedua pelaku interaksi memiliki perbedaan nilai terhadap suatu

pelayanan, dengan mana BGD mengharapkan keuntungan dari pelayanan yang

diberikannya, sementara WM menilai bahwa dirinya berhak mendapatkan

pelayanan yang baik, karena sudah sewajarnya BGD melaksanakan tugasnya

dengan baik yakni melayani warga tanpa pandang bulu. Akibat adanya

perbedaan cara pandang yang demikian, maka kemudian yang muncul adalah

perilaku mengabaikan.

5.1.3 Perilaku Sebagai Calo

Ketika seseorang pertama kali datang ke kantor Satlantas Polwiltabes

Makassar, maka pemandangan yang dilihatnya adalah sebuah bangku panjang

yang sengaja ditempatkan di depan ruang masuk gedung. Bangku panjang

tersebut bukan diperuntukkan untuk warga yang ingin mengurus SIM, karena

Page 10: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

152

tempat duduk bagi warga yang mengurus SIM telah tersedia di dalam gedung

tepatnya di depan loket-loket. Akan tetapi bangku panjang tersebut ditempati

oleh para calo yang menunggu warga yang ingin mengurus SIM. Dari situ

biasanya transaksi dimulai. Para calo ini biasanya berpakaian sipil biasa, karena

memang mereka adalah warga sipil. Tetapi disamping warga sipil tersebut, ada

hal yang menarik yang penulis lihat di lapangan, yakni mereka yang berseragam

petugas juga banyak yang mondar-mandir di sekitar pintu ruang masuk

menunggu warga yang datang mau mengurus SIM. Kita akan mudah

mendengar sapaan dan pertanyaan ”mau ngurus SIM bu? Atau mau ngurus SIM

pak?”.

Berikut ini digambarkan hasil pengamatan yang menunjukkan bagaimana

perilaku sebagai calo yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap seorang

warga yang bernama Ardi:

Ardi, demikian nama anak muda tadi dipanggil, selama ini belum memiliki SIM karena tidak punya banyak waktu. Dari pengakuannya dua hari yang lalu ia sempat di tahan polisi dipersimpangan jalan Abdullah Dg. Sirua Makassar, karena tidak memiliki SIM maka ia pun harus mengeluarkan uangnya untuk menyogok oknum polisi yang menahannya. Daripada urusan lama kalau ditilang, lebih baik saya sogok. Ia menyadari bahwa menyogok polisi adalah perbuatan yang tidak terpuji. Karena tidak ingin terus-terusan begitu, maka ia pun menyempatkan diri untuk mengurus SIM di sela-sela kesibukan yang sangat mendesak. Mahasiswa semester 8 ini mengetahui bahwa Satlantas Polwiltabes mengadakan SIM keliling yang dilaksanakan setiap hari Selasa jam 8 pagi sampai jam 12 siang di Jalan Andi Pangerang Pettarani, namun karena ia tidak punya kesempatan pada waktu itu, maka ia ke Kantor Satlantas untuk mengurus SIM.

Setelah memasuki ruangan Satlantas, seorang petugas mendekatinya. Bisa saya bantu?. Tanya petugas itu.

”Saya ingin mengurus SIM C pak”. Kata Ardi kepada petugas yang berdiri di depan pintu masuk. ”Anda belum pernah punya SIM?. Tanya petugas itu lagi. ”Baru kali ini saya mau ambil SIM.” jawab Ardi singkat. ”Kalau begitu anda harus membayar biaya administrasi pada loket 1 sebesar Rp 75.000,- sesuai ketentuan, dan setelah itu anda mengisi formulir yang disediakan di loket 2.” terang petugas yang menanganinya. ”Baik pak,” jawab Ardi kemudian.

Page 11: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

153

”Apa adik punya banyak waktu untuk mengikuti tes?” tanya petugas. ”Nah itu dia pak, saya sebenarnya buru-buru karena banyak yang harus saya kerjakan”. Jawab Ardi. ”Kalau begitu, biar saya bantu, adik bayar saja Rp 150.000,- nanti tidak perlu ikut tes. Kalau ikut tes jangan-jangan adik tidak bisa lulus. Banyak orang yang berkali-kali ikut tes tapi tidak lulus-lulus juga, akhirnya habis uang dan waktunya saja.” Kata petugas sedikit menjelaskan situasi yang ada selama ini. ”Oh begitu pak, kalau begitu saya bayar saja, lagi pula saya juga butuh SIM secepatnya”. Kata Ardi (hasil pengamatan lapangan tanggal 26 April 2007). Hasil pengamatan lapangan tadi menggambarkan bahwa warga kota

yang tidak memiliki waktu luang untuk mengurus SIM menjadi peluang yang

besar bagi petugas yang berperilaku sebagai calo. Untuk warga yang mengurus

SIM melalui calo biasanya hanya berurusan dengan petugas loket 1, dan proses

selanjutnya dilakukan oleh BGD yang menangani berkasnya.

Gambar 5.2: Foto Loket Pembayaran PNBP

Dalam kasus yang dialami oleh Ardi tadi, terlihat bahwa perilaku sebagai

calo yang dilakukan oleh BGD tidaklah berdiri sendiri, tetapi pada dasarnya WM

juga mencari jalan yang mudah dan cepat untuk memperoleh SIM. Jadi disini

nampak bahwa perilaku sebagai calo ini berlangsung bersamaan dengan

perilaku mencari gampang yang dilakukan oleh WM.

Page 12: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

154

Pernyataan menarik yang dikemukakan oleh Junubi Dg. Ngerang bahwa

petugas sebenarnya juga adalah calo memang benar adanya. Karena dari

pengamatan lapangan, petugas berpakaian berseragam Polisi yang mondar-

mandir tersebut sebenarnya bukanlah petugas loket, namun seringkali terlihat

berada dalam ruang loket. Mereka bukan petugas loket yang sebenarnya, tetapi

seringkali ikut memproses berkas yang masuk. Sehingga dalam loket yang

seharusnya ditempati hanya 4 orang itu (karena loket bagian depan terdiri atas 4

loket), namun kenyataannya seringkali diisi oleh 8 sampai 10 orang petugas yang

berseragam polisi. Mereka yang bukan petugas loket inilah yang dimaksud oleh

informan tadi sebagai calo. Jadi calo tadi juga berada di dalam loket dan

memproses sendiri berkas warga yang diurusnya.

Dari pengamatan lapangan, penulis berhasil menyaksikan perilaku yang

unik dari biasanya, dimana petugas yang nota bene juga calo tadi, menyisipkan

beberapa uang lembaran kedalam berkas warga yang ”dicaloi” tadi, agar

diproses oleh rekannya yang bertugas di loket. Jadi calo ”jenis” ini berbeda

dengan calo yang berpakaian sipil. Kalau calo yang berseragam bisa bebas

masuk ke dalam loket dan memproses berkas warga yang ”dicaloi”, namun tidak

demikian halnya bagi calo yang berpakaian sipil. Dari pengamatan penulis, calo

yang berpakaian sipil ini hanya lewat loket dan melakukan tawar-menawar

dengan petugas loket. Tawar menawar hanya untuk kasus yang langka seperti

pada kasus kehilangan SIM, tetapi untuk kasus lainnya seperti untuk pemohon

SIM yang baru dan penggantian, sepertinya mereka sudah sepakat dengan

harga yang harus dibayar.

Page 13: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

155

Ketika penulis berdiri di dekat loket 4, nampak disamping kiri penulis

seorang calo yang tawar-menawar dengan petugas loket. Berikut hasil

pengamatan yang penulis lihat di lapangan:

”Calo: berapa bu kalau kehilangan SIM? ”Petugas loket: tujuh puluh lima ribu. ”Calo: mahal sekali, bisa kurang? Petugas: ya, begitu itu harganya. Rupanya petugas tidak ingin menurunkan harga yang ditawarkannya, namun calo merasa harga yang diberikan terlalu mahal, tetapi setelah itu, calo berlalu pergi. Rupanya calo tadi menyetujui meskipun merasa agak mahal. Nampak calo tadi menghubungi warga yang kehilangan SIM nya tadi dan berbincang sejenak dengan calo. Setelah mereka sepakat, calo tadi kembali ke petugas loket dan menyerahkan uang yang diminta oleh petugas loket (hasil pengamatan lapangan tanggal 10 Mei 2007). Untuk perilaku petugas sebagai calo, yang berhasil diamati adalah ketika

saat pertama kali seorang warga datang untuk mengurus SIM, seorang petugas

yang berseragam yang biasanya mondar-mandir di luar ruangan menunggu

warga yang akan menjadi “mangsa”, sambil bertanya kepada warga yang

datang, “mau mengurus SIM bu/pak?. Jika warga menjawab “iya pak”, disitu

mulai diadakan transaksi. Setelah petugas yang berperilaku “calo” tadi

menyampaikan jumlah yang akan di bayar oleh warga agar urusannya cepat

(hanya mengisi formulir langsung foto), maka warga tadi diminta untuk duduk di

kursi yang telah disediakan di ruangan tunggu. Warga yang membutuhkan SIM

tidak perlu repot-repot mengurus berkasnya dari satu loket ke loket lainnya.

Petugas “calo” tadi yang masuk ke ruang loket, bahkan petugas tadi yang

mengisi lembaran jawaban untuk ujian teori. Dengan secepat kilat semua soal

dijawab tanpa perlu lagi membaca soalnya, langsung mengisi lembar jawaban.

Setiap loket yang dilalui disogok oleh petugas “calo” tadi. Uang lebih yang

dibayar oleh warga disebarkan ke semua loket yang dilalui,. Kalau warga

membayar misalnya Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu) dari harga stándar Rp

Page 14: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

156

75.000,- (tujuh puluh lima ribu), maka sisanya itulah yang dibagi-bagi ke semua

petugas loket, caranya dengan memasukkan uang ke dalam berkas pemohon.

Petugas loket sudah paham betul bahwa berkas ini perlu diproses cepat. Jadi

semua meja yang dilalui mendapatkan bagian. Jumlah besarnya penulis tidak

dapat mengetahui secara pasti, karena hanya melihat sesaat ketika petugas

loket mengambil uang tersebut dan memasukkan kesakunya. Pada suatu

kesempatan wawancara, pengamat menanyakan perilaku seperti ini kepada GN,

petugas ini mengakui kalau memang mereka meminta bayaran lebih

sebagaimana yang diungkapkannya: “kami memang meminta bayaran lebih dari

stándar bu, yaitu Rp 150.000,- untuk SIM C dan Rp 250.000,- untuk SIM A”

(hasil wawancara tanggal 28 April 2007).

Dalam memproses berkas warga yang membayar lebih ini, seorang

petugas calo bahkan terlihat juga mengentri data ke komputer. Jadi disini

seringkali tidak jelas mana petugas asli mana petugas calo. Untuk pengurusan

SIM melalui calo baik calo berpakaian dinas (polisi) maupun berpakaian sipil,

pada umumnya hanya membutuhkan waktu 1 hari yaitu sekitar 2 atau 3 jam.

Yang membutuhkan waktu paling lama adalah antri foto, disini WM tidak bisa lagi

diwakili karena harus diambil gambarnya. Selebihnya, semua prosedur diurus

oleh calo tadi. Sedangkan warga yang tidak melalui calo, mereka minimal harus

menempuh waktu 2 hari, itupun kalau berhasil lulus tes. Kalau tidak, waktunya

bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu.

Dari uraian di atas, maka penulis dapat berkesimpulan bahwa perilaku

sebagai calo muncul dari hasil interaksi antara BGD yang memaknai pelayanan

sebagai sarana kepentingan pribadi, dengan WM yang memaknai pelayanan

sebagai kewajiban warga. Seorang WM yang memaknai kepemilikan SIM

Page 15: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

157

sebagai kewajiban warga yang memiliki kendaraan baik roda 2 ataupun 4, maka

akan berusaha untuk memperoleh SIM dengan berbagai macam cara. Apabila

tidak mampu memperolehnya sesuai dengan prosedur resmi, maka akan

berusaha mencari calo yang selalu siap membantu warga. Dengan demikian,

maka perilaku sebagai calo cenderung muncul secara bersamaan dengan

perilaku mencari gampang dari warga masyarakat. Sebenarnya dari interaksi

keduanya mengandung nilai “pertukaran”. BGD dimudahkan memperoleh

keuntungan berupa uang, sementara WM dimudahkan untuk memperoleh SIM.

5.1.4 Perilaku Mempersulit

Perilaku mempersulit adalah merupakan salah satu bentuk perilaku yang

berhasil diidentifikasi di lapangan. Perilaku mempersulit ini dirasakan oleh WM

ketika menghadapi ujian praktek. Dalam prakteknya, format ujian praktek yang

diberikan terhadap WM yang ingin memperoleh SIM dibagi atas 3, yakni (1)

mengendarai sepeda motor secara ziq-zaq melewati tiang rintangan yang

berjarak kurang lebih 2 meter, dengan pembatas luar kurang lebih 1,5 meter.

Peraturannya: ketika mengendarai secara ziq-zaq, WM tidak diperbolehkan untuk

menurunkan kaki meskipun dalam kondisi badan yang tidak seimbang. Apabila

WM yang mengikuti tes menurunkan kaki, maka petugas akan membunyikan

sempritan sebagai tanda bahwa WM harus mengulang sekali lagi. Dan apabila

pada kesempatan kedua WM tetap harus menurunkan kaki, maka yang

bersangkutan dinyatakan tidak lulus. (2) mengendarai sepeda motor mengikuti

garis lingkaran yang menyerupai angka delapan. Peraturannya: WM tidak

diperbolehkan untuk menurunkan kaki, apalagi terjatuh. dan (3) menaiki

tanjakan. Pada bentuk tes ketiga ini, peraturannya adalah WM mengendarai

Page 16: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

158

sepeda motor menaiki tanjakan, dan pada posisi kendaraan sedang miring

diharuskan untuk berhenti dan menurunkan kaki. Peraturan yang disebutkan di

atas adalah hasil pengamatan lapangan ketika petugas loket 6 menjelaskan

peraturan praktek kepada salah seorang warga yang akan mengikuti tes praktek

pada tanggal 25 April 2007.

Bentuk ujian praktek seperti di atas sangat sulit dilalui oleh WM, sehingga

kebanyakan dari WM yang mengurus SIM melalui calo karena tidak ingin

terkendal oleh peraturan dan prosedur seperti tes praktek di atas. Fenomena

seperti ini dapat diketahui antara lain dari pernyataan yang dikemukakan oleh

Burhanuddin (nama samaran), seorang warga yang mengurus SIM C:

”Saya tadi melalui calo, karena saya dengar-dengar kalau mengikuti tes akan dipersulit. Seperti yang dialami tetangga saya waktu mengurus SIM C, dia tiga kali mengikuti ujian praktek baru bisa lulus” (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).

Warga yang merasa dipersulit oleh petugas sebenarnya adalah upaya

petugas untuk menerapkan peraturan, akan tetapi dalam pandangan masyarakat

bahwa format tes yang diberikan amatlah berlebih-lebihan. Seperti ketika warga

diminta untuk menaiki tanjakan, dan pada posisi kendaraan sedang menanjak

(miring), kemudian warga diminta untuk menghentikan sepeda motornya lalu

menurunkan kaki. Bentuk tes seperti inilah yang sangat ditakuti oleh warga

sehingga jarang ada yang berani untuk mengurus SIM sesuai prosedur resmi.

Sementara itu, ada pula warga yang merasa dipersulit ketika ingin

memperpanjang SIM. Kasus yang dialami oleh Rahim dapat menggambarkan

hal tersebut. Rahim adalah warga jalan Batua Raya yang ingin memperpanjang

SIM C, namun karena terlambat memperpanjang SIM C maka ia kemudian

diminta untuk mengikuti tes teori dan tes praktek:

Page 17: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

159

“Saya heran kenapa saya harus mengikuti tes teori dan tes praktek lagi. Saya akui memang saya terlambat memperpanjang SIM C saya, tetapi kewajiban mengikuti tes saya rasa adalah akal-akalan petugas saja yang ingin mempersulit saya. Padahal saya ini sudah lama bisa mengendarai motor. Namun kalau saya diminta untuk tes praktek, saya masih sangsi apakah saya bisa, karena kalau saya lihat sangat sulit untuk lulus kalau orang tidak latihan lama” (hasil wawancara tanggal 30 April 2007). Setelah dikonfirmasi dengan GN, petugas yang melayani ujian teori

membenarkan bahwa untuk pemohon yang ingin memperpanjang SIM C akan

menjalani tes teori dan tes praktek kembali. Pernyataan selengkapnya sebagai

berikut:

”Untuk warga yang memperpanjang SIMnya, apabila telah lewat 1 tahun, maka wajib mengikuti ujian teori dan praktek, sedangkan yang belum lewat 1 tahun misalnya hanya sampai 14 hari maka langsung mendapat penggantian. Biaya untuk perpanjangan SIM ini adalah Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) (hasil wawancara tanggal 1 Mei 2007). Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa mereka yang telah habis

masa berlaku SIM C nya lebih dari 1 tahun maka harus mengikuti ujian teori dan

praktek. Dan sesuai aturan yang berlaku, yang memperpanjang SIM akan

dikenakan biaya sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah), dan bukannya

Rp 150.000,- sebagaimana yang dialami oleh beberapa warga yang mengurus

SIM penggantian.

Berkaitan dengan ujian teori dan praktek yang diberlakukan bagi warga

yang memperpanjang atau mengganti SIM-nya, jika tidak disosialisasikan

dengan baik kepada warga maka mendapatkan tanggapan yang negatif terlebih

lagi jika warga merasa bahwa kewajiban tersebut dimanfaatkan oleh oknum

petugas yang tidak bertanggung jawab. Alasan yang disampaikan warga di atas

ada benarnya, dimana warga yang telah habis masa berlaku SIM-nya seperti

Rahim tadi telah berpengalaman dalam mengendarai motor, karena telah

mengendarai motor selama lima tahun. Bukankah dengan jam mengendara

Page 18: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

160

yang demikian berarti orang tersebut secara otomatis akan lebih mahir dalam

berkendara seperti yang dikemukakan oleh Rahim di atas. Terlebih lagi bahwa

keterampilan mengemudi dan mengendarai sepeda motor merupakan

keterampilan yang tidak akan dilupakan. Seperti halnya kemampuan berjalan

bagi setiap manusia, sekali dia dapat berjalan maka dia tidak akan pernah lupa

bagaimana cara berjalan. Dengan demikian maka pernyataan yang dikemukakan

oleh Rahim di atas adalah hal yang masuk akal. Jadi sebenarnya kebijakan untuk

melakukan tes teori dan tes praktek bagi warga yang ingin memperpanjang SIM

dalam pandangan penulis dapat ditinjau kembali, terutama bagi mereka yang

baru lewat beberapa bulan masa perpanjangan. Dari wawancara dan

pengamatan lapangan yang dilakukan terhadap warga kota yang mengurus SIM,

sangat jarang dan hampir tidak ada warga yang berani ingin melalui tes teori dan

praktek. Mereka pada umumnya tidak ingin mengikuti tes karena takut tidak lulus

berkali-kali.

5.1.5 Perilaku Mogok

Perilaku selanjutnya yang berhasil teridentifikasi dalam penelitian

lapangan adalah mogok. Warga yang merasa putus asa ketika tidak dapat

memenuhi prosedur pelayanan dengan baik, terutama tahap tes teori dan tes

praktek mengendarai, seringkali berujung pada perilaku mogok. Dalam kondisi

seperti ini, maka pengurusan SIM menjadi beku.

Berikut ini petikan wawancara dengan petugas loket 6 yang menangani

ujian praktek yang dapat menggambarkan sikap putus asa yang berujung pada

perilaku mogok:

Pengamat : Apakah ada selama ini warga yang tidak lulus tes kemudian tidak datang lagi mengikuti ujian ulang pak?

Page 19: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

161

Petugas loket: Iya bu, Ini ada setumpuk berkas yang mengendap di meja saya, karena orangnya tidak lulus dalam tes praktek (sambil memperlihatkan setumpuk map yang berisi berkas permohonan SIM untuk warga kepada peneliti). Ada beberapa yang sudah berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, dan ada pula yang baru beberapa minggu (hasil wawancara tanggal 29 April 2007).

Dari hasil wawancara tersebut, terungkap bahwa warga masyarakat yang

tidak ingin melanjutkan proses pengurusan SIMnya akibat tidak mampu

mengikuti tes praktek. Akibatnya dia tidak memperoleh SIM yang diperlukannya

sebagai persyaratan yang wajib dimiliki oleh setiap pengendara sepeda motor

sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

Sebagaimana yang disebutkan dalam UU Lalu Lintas tersebut,

kepemilikan SIM adalah sesuatu yang wajib bagi WM yang mengendarai sepeda

motor atau mengemudikan mobil, sehingga ketika seorang WM mogok atau

berhenti dalam proses pengurusan SIM sesuai prosedur resmi, warga tetap

berupaya mendapatkan SIM, tetapi kali ini dengan jalan pintas. Seperti halnya

yang telah dialami oleh warga yang bernama Drs. Ibrahim, berikut petikan hasil

wawancara dengan penulis:

“Saya dulu pernah mengurus SIM C, tapi dua kali saya mengikuti tes tetapi juga tidak lulus. Saya kemudian putus asa, karena saya merasa tidak akan pernah bisa melewati tes praktek yang demikian rumit. Sebenarnya saya masih punya kesempatan untuk tes praktek ketiga kalinya, namun saya tidak berniat lagi. Biarlah uang saya hilang. Saya lebih baik minta bantuan calo saja. Saya sudah stres ikut tes-tesan” (hasil wawancara tanggal 11 Mei 2007). Dari hasil pengamatan lapangan selama proses penelitian, penulis telah

dapat mempelajari pola pelayanan yang ada di lokasi ini, sehingga penulis dapat

berkesimpulan bahwa warga yang putus asa adalah warga yang mengurus

sendiri SIMnya, namun karena tidak lulus berkali-kali maka kemudian warga

Page 20: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

162

mogok. Akan tetapi karena setiap warga yang mengemudi sepeda motor atau

mobil wajib memiliki SIM, maka sekalipun telah putus asa dalam memperoleh

SIM sesuai prosedur resmi, warga biasanya akan mencari jalan pintas dengan

meminta bantuan calo.

5.1.6 Perilaku Menolak Membayar

Jenis perilaku yang ekstrim dari warga kota adalah menolak membayar

biaya pelayanan ketika berhadapan dengan birokrat garis-depan. Dianggap

ekstrim karena perilaku ini berani dilakukan oleh warga yang nota bene adalah

pihak yang berkepentingan dalam pelayanan publik. Perilaku jenis ini dilakukan

oleh mereka yang merasa dirinya mampu mengikuti tes teori dan praktek yang

selama ini menjadi momok dalam pelayanan SIM. Disamping itu, perilaku seperti

ini dilakukan oleh warga masyarakat yang terpelajar dan mengetahui dengan

baik prosedur pengurusan SIM.

Ilustrasi hasil pengamatan lapangan dan wawancara berikut ini

menunjukkan bagaimana perilaku menolak membayar ini dilakukan oleh seorang

warga yang mengurus SIM.

”Ahmad, nama laki-laki itu, yang belakangan pengamat ketahui adalah seorang mahasiswa. Mahasiswa ini baru saja dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya. Ketika ada SIM Kampus beberapa waktu lalu, ia belum sempat untuk mengurus SIM karena saat itu ia lagi pulang kampung.

Dengan berbekal uang seadanya, ia pun memacu sepeda motornya menuju kantor Satlantas Polwiltabes Makassar mengurus SIM C. Sebagai warga negara yang baik yang taat pada peraturan, ia merasa terpanggil untuk memiliki SIM C, karena saat ini ia telah memiliki sepeda motor. Dari perawakan anak muda itu, pengamat dapat memastikan bahwa ia adalah seorang mahasiswa, dan belakangan memang benar bahwa dia adalah salah seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri di kota ini, dan biasanya mahasiswa memiliki sikap ideal. Melihat kedatangan warga yang satu ini, pengamat dengan sopan bertanya:

”Adik mau mengurus SIM ya?. Tanya pengamat, ketika duduk di sebelah mahasiswa tadi. Setelah mengikuti pemeriksaan kesehatan, rupanya mahasiswa tersebut tidak langsung menuju loket 1, akan tetapi duduk sejenak mengamati ruangan loket yang ada di depannya.

Page 21: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

163

”Iya bu, maaf Ibu ini siapa? Jawabnya singkat dan kemudian balik bertanya.

”Saya ini dek kebetulan mengumpulkan data di sini, jadi kalau adik bersedia, saya ingin melihat bagaimana proses yang adik lalui selama mengurus SIM.” Jawab pengamat dengan sedikit menjelaskan.

”Oh begitu, ndak apa-apa bu.” Jawabnya kemudian. ”Saya hanya ingin mengamati apa yang adik lakukan, kemudian

nanti setelah selesai saya harap adik dapat meluangkan waktu sebentar untuk wawancara dengan saya.” kata pengamat lebih lanjut.

”Baik bu.” jawab Ahmad (hasil wawancara tanggal 14 Mei 2007). Ahmad kemudian beranjak dari kursi dan mulai menuju loket 1

seperti petunjuk yang telah ia baca di luar sana. Ia meminta formulir dari petugas, kemudian mengisinya. Setelah kurang lebih 30 menit, ia telah melalui 4 buah loket (yakni mulai dari loket PNBP sampai ke loket pendaftaran). Ia sekarang harus mengikuti tes teori di loket 5. Setelah kurang lebih 10 menit di ruangan itu, Ahmad nampaknya telah mengikuti ujian teori dan telah lulus. Selanjutnya beralih masuk ke ruang loket 6.

”Ini berkas saya pak, saya sudah mengikuti tes teori, sekarang saya mau mengikuti tes praktek.” kata Ahmad.

”Oh ya, sebentar dek ya, duduk dulu. Saya coba cek apa semua sudah lengkap. Jawab petugas.

Ahmad duduk diam di hadapan petugas. Petugas tadi kemudian berkata, ”Baik dek, apa adik membawa motornya untuk digunakan ujian praktek? Tanya petugas.

”Ada pak, saya parkir di halaman depan”. Jawab Ahmad. ”Kalau begitu, coba adik ambil dan bawa ke lapangan praktek di luar

sana (sambil menunjuk ke arah lokasi ujian praktek dimaksud, penulis).” Kata petugas loket.

”Baik pak.” jawab Ahmad singkat. Setelah beberapa saat, petugas loket ke lapangan praktek. Petugas

tadi menjelaskan bagaimana rute dan peraturan yang harus dilalui oleh Ahmad dalam ujian praktek itu. Setelah menjelaskan, petugas tadi kemudian mencontohkan bagaimana cara mengendarai melalui rintangan.

Ahmad kemudian menaiki sepeda motornya, dan mulai melalui satu per satu rintangan yang ada. Pada rintangan ke enam Ahmad kehilangan keseimbangan sehingga kakinya turun ke tanah agar tidak jatuh. Petugas membunyikan peluitnya sebagai tanda bahwa Ahmad harus mengulang. Ahmad kemudian mengulang kembali. Rupanya untuk kali kedua ini Ahmad berhasil melewati semua rintangan yang ada meskipun beberapa kali dia nampak oleng tetapi berhasil kembali menguasai sepeda motornya, sehingga tidak menurunkan kakinya. Setelah itu, ia beralih ke lokasi lain, yakni membuat lingkaran yang menyerupai angka 8. Di sini Ahmad berhasil lolos, dan terakhir menaiki tanjakan dengan syarat pada saat kondisi menanjak motor di hentikan dan kaki harus turun. Rupanya Ahmad benar-benar terampil mengendarai motornya sehingga lulus pada tiga jenis lapangan praktek.”

Setelah dinyatakan lulus, kemudian Ahmad dan petugas loket 6 masuk ke ruangan loket 6 tempat dimana petugas tadi berkantor.

”Adik saya nyatakan telah lulus meskipun tadi agak sedikit kurang sempurna dalam mengendarai. Jadi begini dek, saya minta pengertian

Page 22: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

164

adik untuk membayar biaya material. Terserah berapa ikhlasnya.” Kata petugas tadi.

”Saya tidak punya uang pak, saya ini mahasiswa. Uang makan saja dikirimkan oleh orang tua saya.” Jawab mahasiswa tadi.

”Masak sih ndak ada, dek, saya prihatin sama adik” kata petugas ”Lha memang ndak ada pak!. Jawab Ahmad agak sedikit

mengeraskan suaranya. Rupanya petugas tadi sudah dapat maklum dan memberikan berkasnya untuk ke loket selanjutnya (hasil pengamatan lapangan tanggal 14 Mei 2007).

Menolak membayar sebagai wujud dari perlawanan yang dilakukan oleh

WM yang merasa dirinya mampu untuk memenuhi semua persyaratan baik

administrasi maupun persyaratan tes. Dalam pengamatan lapangan, perilaku

menolak membayar juga sering dilakukan oleh warga yang tahu akan hak-

haknya. Seperti halnya yang dilakukan oleh penulis ketika melakukan kegiatan

pengamatan partisipatif untuk mengungkap bagaimana sebenarnya sikap

seorang BGD ketika WM yang dimintai membayar lebih diluar ketentuan resmi

tetapi hal itu tidak dipenuhi oleh warga. Dalam pengamatan partisipatif itu,

penulis dapat memahami bahwa seorang petugas juga tidak pernah ngotot ketika

warga yang dihadapi juga berkeras untuk tidak memberikan uang sebagaimana

yang dimintanya. Petugas juga menyadari bahwa perilakunya melanggar aturan,

karena warga yang dimintai pada dasarnya telah memenuhi semua persyaratan

dan prosedur yang diperlukan untuk mendapatkan SIM. Sepertinya petugas

hanya sistem coba-coba terhadap warga yang dihadapinya. Kalau warga yang

dimintai dapat memberi sambutan, maka berarti ia berhasil dalam ”memancing”

warga. Tetapi apabila warga menolak, maka ia pun tidak akan memaksa.

Petugas yang meminta uang “lebih” seringkali beralasan untuk biaya material.

Padahal dalam pengetahuan penulis, biaya material yang dimaksud oleh petugas

telah dibayar oleh warga dalam bentuk biaya administrasi yang besarnya Rp

Page 23: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

165

60.000,- (enam puluh ribu rupiah) untuk SIM perpanjangan, dan Rp 75.000,-

(tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk pemohon SIM baru.

5.1.7 Perilaku Mencari Gampang (Short Cut)

Dalam pengamatan lapangan, perilaku mencari gampang juga banyak

ditemukan. Warga yang cenderung berperilaku seperti ini adalah mereka

memiliki kesibukan dalam pekerjaannya sehari-hari sehingga tidak ingin

mengikuti semua prosedur pengurusan SIM. Warga yang ingin cepat selesai

urusannya akan mencari petugas yang mudah diajak untuk berkolusi atau

petugas yang berperilaku sebagai calo. Disamping itu, banyak pula warga kota

yang menggunakan jasa calo sipil yang ”dipelihara” oleh petugas.

Ilustrasi berikut ini dapat menggambarkan bagaimana perilaku mencari

gampang terjadi dalam interaksi BGD dan WM dalam pelayanan SIM.

Salah seorang warga yang bernama Burhanuddin, yang tinggal di Jl

Ratulangi, ia mengurus SIM C setelah membeli sebuah sepeda motor Honda.

Menurut pengakuannya, ia telah mengetahui bahwa kalau mau urusan gampang

maka tinggal membayar sesuai yang diminta oleh petugas. Berikut petikan

wawancara dengan Burhanuddin:

”Tadi membayar berapa pak? Tanya pengamat ”Saya bayar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) bu? jawabnya ”Mengapa Bapak membayar demikian? Tanya pengamat dengan nada selidik. ”Petugas tadi yang minta begitu, katanya biar ndak perlu tes lagi? Jawabnya agak sedikit menjelaskan. ’”jadi Bapak ndak mau ikut tes? Kenapa Pak? Tanya pengamat lebih lanjut (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007). Belum sempat menjawab pertanyaan pengamat, Bapak Burhanuddin

berdiri menuju ke loket karena namanya dipanggil oleh petugas. Pengamat

mencoba bersabar dan menunggu kesempatan yang baik. Setelah kurang lebih

Page 24: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

166

15 menit menunggu, rupanya pengamat mempunyai kesempatan untuk

melanjutkan pertanyaan tadi. Pengamat kemudian mencoba menghampiri Bapak

Burhanuddin tadi.

”Maaf pak, saya mengganggu lagi” Kata pengamat mencoba memulai perbincangan. ”Ndak apa-apa bu, tadi saya harus tinggal sebentar karena dipanggil”. Katanya lagi. ”Mengenai pertanyaan Ibu tadi, mengapa saya membayar sebesar itu dan mengapa saya tidak mau ikut tes”, saya sebenarnya tidak ingin membayar sebesar itu, tapi karena saya tahu dari beberapa teman dan juga tetangga yang pernah mengurus SIM, katanya kalau mau urusan lancar bayar saja petugas daripada berkali-kali harus mengikuti tes dan tidak lulus, akhirnya sama saja Bu biayanya. Malahan kita rugi waktu dan tenaga karena harus berkali-kali datang. Disamping itu, saya membayar petugas yang menawarkan kepada saya untuk mengurus SIM saya dengan cepat. Saya tidak mau repot-repot karena saya tidak punya banyak waktu. Saya hanya meminta izin satu hari dari kantor saya. Kalau saya mengikuti tes, saya takut nanti tidak lulus. Saya sekarang tinggal menunggu untuk difoto.” Mendengar penjelasan seperti itu, pengamat kemudian berpikir bahwa rupanya warga kota tidak ingin berkali-kali ikut tes karena takut tidak lulus, sehingga ia rela membayar diluar ketentuan perundangan yang berlaku. ”Tapi apakah Bapak memang tidak mahir mengendarai sepeda motor? Tanya pengamat kemudian. ”Saya sebenarnya sudah lama bisa mengendarai sepeda motor, bahkan sebelum saya punya motor sendiri Bu. Tapi itu tadi, saya tidak ingin waktu saya habis ikut tes karena saya dengar cerita orang-orang sangat sulit untuk mengikuti tes apalagi tes praktek, katanya ada yang sampai 3 kali ikut tes baru bisa lulus.” Kata Burhanuddin lagi (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).

Dari kutipan wawancara tadi menggambarkan bahwa ada kesan yang

muncul dimasyarakat bahwa mengikuti prosedur yang berlaku seperti mengikuti

tes adalah hal yang sangat sulit dilakukan oleh warga, bahkan bagi mereka yang

mahir berkendara sekali pun. Masyarakat seakan dibuat tak berdaya, bahkan

sengaja dibuat tak berdaya oleh aturan-aturan yang dibuat untuk menjeratnya.

Ketika mereka tidak berdaya, maka dengan mudah mereka diperdaya.

Hal senada dikemukakan oleh Basyir, warga Perumnas Antang yang

mengurus SIM A:

Page 25: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

167

”Lebih baik saya membayar petugas daripada saya harus menunggu antrian yang lama. Apalagi kalau harus mengikuti tes teori dan praktek yang menurut teman saya sangat susah untuk diikuti, sekalipun kita sudah biasa mengendarai mobil. Saya hanya mencari gampangnya saja Bu, karena urusan saya banyak” (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).

Perilaku mencari gampang dari warga kota yang mengurus SIM

sebenarnya merupakan dampak dari perilaku superior yang dilakukan oleh

birokrat garis-depan didukung oleh prosedur yang terlalu berbelit-belit. Sekiranya

prosedur yang dilalui dapat berlangsung secara wajar dalam artian bentuk tes

praktek yang sesuai dengan kondisi normal berkendara serta jumlah loket yang

harus dilalui tidak begitu banyak, maka penulis yakin bahwa warga akan senang

hati mengikuti semua prosedur yang telah ditetapkan. Disamping untuk

mengetahui kemampuan dirinya dalam memahami rambu-rambu lalu lintas, juga

bertujuan sebagai upaya mencegah dirinya dalam kecelakaan lalu lintas yang

mungkin timbul jika kurang mahir dalam berkendara. Dia bisa saja mengikuti les

mengemudi jika ternyata hasil tes menunjukkan bahwa ia tidak mampu. Hal ini

bisa terjadi sekiranya tes teori dan praktek yang dibuat bertujuan untuk

membantu para pengendara agar lebih mahir lagi. Tetapi apa yang terkesan dari

hasil pengamatan penulis, bahwa tes-tes itu hanya sebagai sebuah jebakan agar

warga dapat membayar lebih mahal. Karena buktinya mereka yang mau

membayar tidak perlu lagi mengikuti tes, yang sebenarnya untuk kepentingan

dirinya sendiri. Jadi mereka tidak lagi dapat dideteksi mana yang mahir mana

yang tidak. Fenomena seperti inilah yang mungkin menjadi pemicu banyaknya

kecelakaan lalu lintas di jalan raya, sekalipun semua warga kota mengantongi

SIM yang nota bene sebagai persyaratan seseorang boleh berkendara sepeda

motor. Akan tetapi tidak semua SIM yang dimiliki oleh WM diperoleh secara

resmi melalui prosedur.

Page 26: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

168

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perilaku

mencari gampang yang dilakukan oleh warga bukan semata-mata karena warga

tersebut benar-benar ingin mencari gampangnya saja, akan tetapi lebih

disebabkan karena mereka takut untuk mengikuti tes yang didesain sedemikian

rupa sehingga membuat mereka takut untuk mengikuti tes, lalu kemudian warga

tersebut mencari gampangnya saja, yakni bayar, dan semuanya akan lebih

mudah, tanpa antri, tanpa tes. Tetapi apa yang terjadi kemudian, adalah bahwa

tingkat kecelakaan semakin hari semakin tinggi, perilaku ugal-ugalan di jalan

raya semakin tidak terkendali, sopir angkot atau pete-pete seenaknya parkir dan

menaikkan muatan di tengah jalan atau bahkan di tikungan jalan. Perilaku-

perilaku semacam itu merupakan dampak dari sistem pemberian SIM yang

berlangsung tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.

5.1.8 Perilaku Melayani (Serving)

Perilaku melayani adalah merupakan bentuk perilaku pelayanan yang

fungsional. Artinya, bahwa BGD yang berperilaku demikian memiliki komitmen

untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat

sesuai dengan tufoksinya (tugas pokok dan fungsinya). BGD yang berperilaku

seperti ini cenderung memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan,

meskipun demikian, terdapat pula BGD yang berperilaku melayani karena

memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan. BGD yang memaknai

pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dalam prakteknya mengutamakan

kerjasama dengan WM yang dilayaninya. Sepanjang WM dapat memenuhi

semua persyaratan sebagaimana yang diperlukan, maka ia akan memberikan

pelayanan yang sebaik-baiknya. BGD yang berperilaku seperti ini memiliki

Page 27: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

169

orientasi memuaskan masyarakat. Demikian pula halnya dengan BGD yang

memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan juga memiliki kecenderungan

bekerjasama dengan WM yang dilayani, sekalipun ada persyaratan yang tidak

dapat dipenuhi, namun karena ingin memuaskan atasan, dalam istilah yang

umum kita kenal yaitu ABS (Asal Bapak Senang), maka BGD seperti ini

berusaha melayani WM dengan baik. Seperti misalnya perilaku melayani yang

diberikan kepada seorang wartawan yang kenal baik dengan pimpinan.

Wartawan tersebut diperlakukan khusus karena atas perintah dari pimpinan,

sekalipun tidak dapat memenuhi semua persyaratan. Dalam kasus demikian,

meskipun ada kesibukan yang luar biasa dalam pelayanan melalui prosedur

normal, seringkali BGD tersebut harus menomorduakan peraturan, dan

mendahulukan perintah atasan. Bahkan, tidak jarang mereka harus berkorban

dengan membebaskan pihak yang bersangkutan dari kewajiban membayar

sejumlah biaya tertentu, sebagaimana pengakuan wartawan.

Hasil pengamatan lapangan, perilaku melayani ditemui pada beberapa

loket seperti loket 1, 2, 8, dan 9. Dari hasil pengamatan penulis, petugas pada

loket 2, nampak menunjukkan perllaku melayani masyarakat dengan baik.

Dimulai dengan menyapa pemohon dengan ramah, dan memberikan pelayanan

yang sepantasnya kepada para pemohon. Begitu pula pada loket 8 (loket

pengambilan gambar atau foto), disini para pemohon telah memperoleh

pelayanan yang sebenarnya. Pengambilan gambar atau foto dilaksanakan

sesuai dengan nomor urut atau antrian berkas yang masuk. Setiap pemohon

dilayani dengan baik dan cepat. Dalam pengamatan partisipatif yang penulis

lakukan, pada pelayanan yang satu ini penulis benar-benar merasa terlayani

Page 28: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

170

dengan baik dan tidak perlu menunggu lama karena semuanya dilakukan sesuai

antrian.

Perilaku melayani juga dapat penulis temui pada loket 5, yaitu loket ujian

teori. Ketika penulis melakukan pengamatan partisipatif, petugas loket 5

memberikan pelayanan dengan baik. Pertama-tama, petugas menyapa dengan

ramah pengamat, sambil mempersilahkan duduk pada sebuah kursi yang berada

di depan meja petugas, nampak petugas telah tahu bahwa pengamat akan

mengikuti ujian teori. Tanpa bertanya panjang lebar, petugas memberikan

beberapa lembar kertas yang berisi soal ujian teori dan sebuah pensil 2 B.

Setelah itu, petugas menjelaskan tata cara mengikuti ujian, dan standar

kelulusan yang dipersyaratkan. Setelah menjelaskan bagaimana cara menjawab

soal, penulis kemudian diminta untuk menempati kursi tempat ujian. Pada ruang

tersebut, terdapat sekitar 20 orang yang sedang mengikuti ujian teori, termasuk

11 orang di antaranya adalah anggota TNI. Setelah penulis mengikuti ujian,

ternyata penulis mampu menjawab dengan baik sehingga dinyatakan lulus tes

teori. Selanjutnya petugas memberikan rekomendasi bahwa telah lulus

mengikuti ujian teori, untuk selanjutnya dijadikan dasar untuk mengikuti tes

praktek.

Pengalaman yang penulis alami pada loket 5 menggambarkan bahwa

petugas loket tersebut menjalankan tugasnya dengan baik. Ketika seseorang

mampu mengikuti tes teori dengan baik, maka dia diberikan haknya berupa surat

rekomendasi, tanpa meminta suatu imbalan apapun, semata-mata menjalankan

tugasnya.

Sama hal dengan loket 9 (pengambilan hasil atau output dalam bentuk

SIM), pada loket ini juga pelayanan diberikan dengan baik. Warga masyarakat

Page 29: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

171

dilayani sesuai antrian yang memasukkan kuitansi pembayaran PNBP (yang

berjumlah Rp 75.000,-). Namun ada kendala yang seringkali dihadapi pada loket

ini, seperti kendala teknis yakni kerusakan pada mesin cetak SIM atau kendala

kehabisan material karena keterlambatan pengiriman dari Jakarta (POLRI).

Tetapi secara umum, pelayanan pada loket ini sudah sangat memuaskan.

Warga kota yang ingin mengambil SIM nya cukup memperlihatkan bukti

pembayaran pada petugas, petugas dengan cekatan mencari SIM yang

bersangkutan, dan biasanya hanya membutuhkan waktu rata-rata satu menit.

Nampak bahwa petugas yang ada pada loket ini berperilaku melayani. Untuk

memperkuat hasil pengamatan ini, penulis berhasil mewawancara beberapa

orang yang telah mengambil SIM nya. Pada umumnya warga kota yang berhasil

diwawancarai menyatakan bahwa mereka puas pada pelayanan birokrat garis-

depan yang bertugas pada loket 9. Seperti pada petikan wawancara dengan

Arfan dibawah ini:

”Saya tidak merasa dipersulit oleh petugas ketika meminta SIM A saya. Cuma saya sempat menunggu tiga hari karena menurut petugas material untuk membuat SIM habis, dan harus menunggu kiriman dari Jakarta. Sebelumnya saya diminta untuk menelpon dulu untuk mengecek apakah SIM saya sudah jadi. Tadi pagi saya sebelum ke sini, saya telpon dulu, nanti setelah saya dapat jawaban sudah selesai SIM saya, saya baru ke sini” (hasil wawancara tanggal 27 April 2007). Hal senada juga diungkapkan oleh informan lain yang berhasil penulis

wawancarai setelah memperoleh SIM:

”Petugas loket 9 cepat melayani saya, dalam waktu singkat saya telah memperoleh SIM saya setelah saya beri bukti pembayaran saya sebagai persyaratan mengambil SIM” (hasil wawancara 27 April 2007). Kendati demikian, pelayanan pada loket ini masih tetap juga menyisakan

kendala yang kadang kala sangat sulit diatasi. Kehabisan material (kertas SIM)

Page 30: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

172

dan kerusakan mesin cetak rupanya menjadi hambatan dalam proses

penyelesaian SIM. Jika hal ini terjadi maka warga kota yang mengurus SIM akan

menunggu beberapa hari sampai ada kiriman dari Jakarta. Demikian pula halnya

apabila terjadi kerusakan mesin cetak, warga pun harus menunggu lama sampai

mesin tersebut selesai diperbaiki.

Ketika penulis mengadakan penelitian, kehabisan material sempat terjadi

dan sempat menunggu selama kurang lebih satu minggu hingga ada kiriman dari

Pusat (Mabes Polri Jakarta). Kendala seperti ini sangat dikeluhkan oleh Yanto

yang mengurus SIM yang sempat penulis wawancarai:

”Saya sudah 3 hari bolak-balik kemari tapi SIM C saya belum juga selesai. Saya telah difoto 4 hari yang lalu, tapi sampai sekarang SIM saya belum selesai. Biasanya sih satu hari setelah difoto, SIM sudah bisa diambil, tapi ini belum juga selesai. Menurut petugas, keterlambatan ini disebabkan karena material untuk mencetak SIM habis sehingga menunggu kiriman dari Jakarta. Saya tiap hari ke sini karena petugas tidak memberikan kepastian kapan SIM saya selesai. Saya malas menghubungi petugas lewat telpon jadi saya langsung saja ke sini, untungnya jarak rumah saya tidak jauh dari sini” (hasil wawancara tanggal 25 April 2008).

Ketika dikonfirmasi pada petugas yang melayani pada loket 9 diperoleh

keterangan bahwa:

”Apabila material SIM habis kami harus menunggu kiriman dari Jakarta dan biasanya memakan waktu sampai satu minggu. Apabila terjadi kehabisan material seperti ini, maka akan memperlambat proses penyelesaian SIM para pemohon, karena kertasnya tidak sembarangan. Kadangkala juga mesin cetak SIM rusak. Kalau terjadi begini, ini juga sangat menghambat karena mengingat banyaknya warga yang mengurus SIM setiap harinya, jadi seringkali mesin macet. SIM yang seharusnya telah selesai terpaksa harus tertunda menunggu perbaikan. Tapi kalau kejadian seperti ini, kami meminta warga untuk menunggu informasi dari kami kapan boleh datang mengambil SIM, agar masyarakat tidak bolak-balik ke mari. Warga dapat menghubungi lewat telepon seperti yang kami pasang didepan loket (hasil wawancara tanggal 25 April 2007).

Hambatan lain sebagaimana yang dikemukakan oleh petugas loket 9

adalah jika mesin cetak rusak. Warga juga harus rela menunggu lama sampai

Page 31: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

173

mesin cetak selesai diperbaiki. Pernyataan petugas tadi nampaknya sering

terjadi pada proses pengurusan SIM pada Satlantas Makassar, karena pada

dinding loket terdapat pengumuman yang berbunyi: ”Pemohon SIM yang sudah

foto SIM-nya dapat diambil besok berhubung alat cetak SIM ada gangguan”

Tertanda Petugas SIM. Salah seorang warga yang berhasil penulis tanyai

mengatakan bahwa:

”pengumuman seperti itu selalu ada tertempel di depan loket 9. Sejak dulu kalau saya kesini tulisan itu selalu ada. Saya tidak tau kapan mesin cetak baik kapan rusak karena selalu ada pengumuman itu.” (pengakuan seorang warga yang tidak sempat penulis tanyai namanya yang kebetulan duduk di sebelah penulis ketika melakukan pengamatan lapangan tanggal 25 April 2007). Nampaknya keterbatasan sumberdaya adalah merupakan kendala yang

seringkali dihadapi oleh para birokrat garis-depan bukan saja dalam pelayanan

SIM, tetapi pada semua jenis pelayanan publik yang ada.

5.1.9 Perilaku Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu

Memperlakukan khusus (customization) korps tertentu seperti anggota

tentara, anggota DPRD, dan wartawan merupakan perilaku yang juga sempat

diamati dalam penyelenggaraan pelayanan SIM ini. Perilaku seperti ini

diwujudkan dengan tidak mewajibkan para anggota korps tertentu seperti

disebutkan di atas untuk mengikuti semua prosedur yang ditentukan terutama tes

praktek. Sebagai contoh ketika serombongan anggota TNI yang mengurus SIM,

meskipun mereka diberikan tes teori, namun nampaknya hanya sekedar

formalitas saja, sekedar untuk memenuhi syarat administrasi. Karena dari 11

orang yang mengikuti tes hanya 4 orang yang lulus, namun dalam kenyataannya,

mereka semua diberi rekomendasi untuk prosedur selanjutnya. Sedangkan pada

Page 32: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

174

tes praktek, mereka tidak lagi diwajibkan untuk ujian praktek, dan langsung diberi

rekomendasi lulus ujian praktek oleh petugas loket 6.

Berikut ini akan diberikan contoh kasus yang didasarkan pada hasil

pengamatan lapangan.

Siang itu, pengamat mengikuti tes teori bersama rombongan tentara yang berjumlah 11 orang. Namun setelah diumumkan, hanya 4 orang yang lulus. Tujuh orang diantaranya dinyatakan tidak lulus karena tidak mampu menjawab dengan benar minimal 18 soal dari 30 soal. Sesuai ketentuan yang berlaku, mereka yang tidak lulus maka diwajibkan mengulang lagi paling lambat 14 hari setelah ujian pertama. Apabila tidak lulus lagi pada ujian kedua, maka dapat mengikuti ujian ketiga dengan rentang waktu paling lama 60 hari setelah ujian kedua. Batas maksimal ujian adalah tiga kali dan tidak dikenakan biaya lagi. Apabila telah mengikuti ujian tiga kali, dan tetap tidak lulus maka harus mengulang lagi seperti semula. Mulai lagi mengurus berkas seperti pertama kali dan harus membayar kembali.

Anggota tentara yang dinyatakan lulus tadi mengambil berkasnya pada petugas kemudian meninggalkan ruang menuju loket selanjutnya yakni loket 6 untuk ujian praktek. Sedangkan anggota tentara lainnya yang tidak lulus masih duduk di bangkunya. Salah seorang anggota tentara tadi kemudian berdiri dan berkata kepada petugas, kami tidak bisa lagi ikut ujian besok pak, soalnya jarak kantor kami sangat jauh dari sini (kebetulan tentara tersebut dari kesatuan Kariango, yang jaraknya kurang lebih 100 km dari Kota Makassar). Petugas kemudian menjawab: ”Bapak-bapak ini belum memenuhi syarat untuk lulus karena jawabanya masih jauh dari standar kelulusan.” Tapi saya tidak mungkin lagi ikut tes ulang pak, motor saja saya tidak punya, hanya karena kami diperintah oleh atasan sehingga kami ke sini”. Jawab salah seorang petugas lagi. “Pokoknya, kami tidak mau ikut tes lagi” lanjut anggota TNI lagi. Tidak lama kemudian, pengamat dipanggil dan dinyatakan lulus. Pengamat kemudian ke ruang loket 6 untuk proses selanjutnya. Loket 6 ini adalah loket untuk ujian praktek. Setelah beberapa lama di ruang loket 6, anggota tentara yang dinyatakan tidak lulus tadi, ternyata juga sudah menuju loket 6. Ini berarti bahwa mereka sudah dinyatakan lulus. Pengamat heran, tadi di loket ujian teori mereka dinyatakan tidak lulus, kenapa sekarang sudah ke loket 6. Berarti petugas sudah melanggar aturan yang sebenarnya yakni harus mengikuti ujian ulang hari berikutnya, kata pengamat dalam hati.

Karena merasa penasaran, pengamat kemudian bertanya kepada salah seorang anggota tentara yang tadinya dinyatakan tidak lulus dan ternyata kemudian telah dinyatakan lulus. Buktinya karena telah berada di loket yang sama dengan pengamat. ”Bagaimana Pak, sudah lulus?. Tanya pengamat. ”Iya bu!. Jawabnya singkat. Kok bisa pak, tadi kan tidak lulus?. Pengamat mencoba memancing pembicaraan. ”Bagaimana juga kami ini mau dipersulit, kami ini motor saja tidak punya, saya sendiri tidak bisa naik motor bu, tetapi karena perintah atasan sehingga kami

Page 33: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

175

terpaksa harus mengurus SIM. Sebenarnya beberapa bulan yang lalu telah diadakan tes di kesatuan kami, tetapi waktu itu saya lagi mengikuti pendidikan di Bandung sehingga tidak sempat ikut tes untuk mendapatkan SIM. Jadi baru sekarang kami mengurus, karena semua tentara diwajibkan punya SIM meskipun tidak punya motor sendiri.” jawabnya menjelaskan. Pengamat mencoba mengorek keterangan lebih jauh, ”Apa Bapak membayar sehingga diluluskan di sebelah?”. Tidak bu, jawabnya singkat.

Karena ingin tahu lebih jauh bagaimana proses selanjutnya mereka lalui, maka pengamat masih tinggal berdiri di ruangan itu. Ruang itu luasnya kira-kiranya 3 x 5 m, didalamnya terdapat tiga buah meja dan kursi untuk petugas. Dua buah kursi untuk pemohon SIM. Hal menarik yang pengamat lihat selanjutnya adalah bahwa semua anggota tentara itu tidak diwajibkan mengikuti tes praktek. Setelah berkasnya diparaf oleh petugas loket 6 dan diberi surat keterangan lulus tes praktek, mereka langsung ke loket selanjutnya (loket 7). Melihat kejadian itu, pengamat sempat protes ke petugas loket 6, ”kenapa pak para tentara itu tidak dites praktek, sedangkan saya diwajibkan untuk tes praktek.” Pengamat mencoba untuk memancing kejujuran dan keadilan dari petugas. ”Sebenarnya mereka semua sudah ikut tes bu, kami sudah pernah ke instansinya beberapa waktu yang lalu, tetapi baru sekarang mereka mengurus SIM nya.” Rupanya jawaban petugas tersebut tidak rasional, bukankah kalau seseorang sudah tes dan dinyatakan lulus berarti tinggal menunggu keluarnya SIM C. Mengapa pula baru sekarang mereka ikut tes teori di sebelah tadi bersama pengamat. Jawaban petugas tersebut hanya mengada-ada, terlebih lagi sebelumnya pengamat telah berbincang dengan salah seorang dari anggota tentara yang menyatakan bahwa dirinya tidak berada di tempat waktu para petugas SIM datang ke instansinya. Jadi jelas bahwa mereka belum mengikuti tes baik tes teori maupun praktek. Pengamat tidak ingin memperpanjang masalah tersebut, karena secara akal sehat apa yang dikatakan itu sudah tidak benar, jadi ketahuan bahwa petugas tersebut hanya berbohong, dan buat apa dipermasalahkan. Cukup pengamat telah mendapat pemahaman bahwa mereka hanya ingin melindungi diri dari perilaku diskriminatif yang mereka lakukan” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007).

Dari kutipan kasus tersebut di atas, perlakuan tersebut sebenarnya

membuat warga lainnya merasa diperlakukan tidak adil. Sebagaimana halnya

dialami oleh penulis, memperlakukan khusus anggota korps tertentu ini dapat

menimbulkan kecemburuan dari warga yang merasa diperlakukan diskriminatif.

Untuk menutupi perilakunya agar warga lainnya tidak merasa diperlakukan

diskriminatif, maka BGD seringkali berupaya untuk melindungi diri dari perilaku

tidak adil yang diperbuatnya, dengan memberi alasan yang mengada-ada dan

Page 34: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

176

cenderung tidak jujur. Seperti alasan yang dikemukakan oleh BGD tadi, yang

kenyataannya berbohong untuk menutupi perlakuannya yang tidak adil. Namun

demikian, tidak semua BGD yang berperilaku diskriminatif berusaha menutupi

perlakuannya. Seperti pada petugas loket tes teori. Petugas ini secara terang-

terangan mengakui kepada pengamat pada kesempatan wawancara yang

dilakukan:

”Kami sebenarnya disini tidak ingin mempersulit mereka yang datang untuk mengurus SIM, sepanjang kami melihat bahwa orang tersebut tidak mempunyai banyak waktu untuk mengikuti tes. Seperti kalau ada anggota dewan yang datang mengurus SIM, kami tidak mewajibkan mereka untuk ikut tes, karena kami tahu bahwa mereka itu sangat sibuk (hasil wawancara tanggal 28 April 2007). Dalam contoh kasus TNI di atas, sebenarnya perlakuan khusus seperti ini

bisa berdampak buruk. Mereka diberi SIM, tanpa melalui prosedur yang

sebenarnya. Ternyata ada anggota TNI yang diberi rekomendasi untuk

mendapatkan SIM mengaku tidak bisa naik motor. Ini berarti bahwa dia

memperoleh SIM tetapi tidak mampu memenuhi persyaratan utama, yakni

terampil mengendarai sepeda motor. Kasus seperti ini sebenarnya yang dapat

menimbulkan kerawanan lalu lintas, karena dengan memiliki SIM otomatis

anggota TNI tersebut akan berani mengendarai sepeda motor meskipun tidak

memiliki keahlian.

Dengan demikian, maka fenomena memperlakukan khusus korps tertentu

terutama terhadap kasus TNI tadi, disamping menunjukkan adanya perlakuan

tidak adil terhadap sesama pengguna jasa layanan, juga dapat menimbulkan

kerawanan lalu lintas.

Rupanya bukan saja terhadap anggota TNI dan anggota dewan (DPRD)

yang diperlakukan khusus dalam pengurusan SIM ini. Ini terbukti dari pengakuan

Page 35: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

177

seorang anggota wartawan yang sering meliput kegiatan Kasatlantas Polwiltabes

Kota Makassar.

”Bd, adalah nama seorang wartawan harian Berita Kota Makassar, yang sering meliput kegiatan yang dilakukan oleh Kasatlantas. ”Saya hampir setiap hari ke kantor Satlantas ini, saya kenal baik dengan Kasatlantas, jadi kalau mau mengurus SIM saya tidak dikenakan biaya apa-apa. Saya tinggal foto langsung jadi” (hasil wawancara tanggal 24 April 2007). Dari bentuk perlakuan khusus terakhir ini, wartawan tersebut diperlakukan

khusus karena kenal baik dengan pimpinan. Atas memo dari pimpinan, maka

prosedur tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus dipenuhi, bahkan biaya

administrasi sebagai salah satu pendapatan negara bukan pajak (PNBP) pun

dapat diabaikan.

5.1.10 Perilaku Menyogok

Pada dasarnya, perilaku menyogok adalah berkaitan erat dengan perilaku

mencari gampang. Seorang warga yang ingin cepat memperoleh SIM biasanya

berani menyogok petugas yang melayaninya. Meskipun perilaku menyogok dan

mencari gampang merupakan dua perilaku yang tidak dapat dipisahkan, namun

kedua perilaku ini memiliki perbedaan. Perbedaannya adalah perilaku mencari

gampang biasanya dilakukan oleh warga pada awal proses pengurusan SIM,

yakni ketika pertama kali berhadapan dengan petugas, sedangkan perilaku

menyogok biasanya dilakukan oleh warga pada saat proses pengurusan SIM

berlangsung.

Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa perilaku menyogok

termasuk salah satu bentuk perilaku yang dapat menyebabkan cacatnya

prosedur pelayanan. Upaya menyogok petugas dilakukan oleh WM karena

merasa tidak mampu mengikuti semua prosedur dengan baik, terutama tes

Page 36: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

178

praktek, bahkan terdapat pula dari mereka yang tidak mampu lulus mengikuti

ujian tes teori.

Kasus yang dialami oleh Asma, seorang warga kota yang mengurus SIM

C mengungkapkan pengalamannya berhadapan dengan birokrat garis-depan:

”Sebenarnya saya tidak ingin menyogok petugas, tetapi setelah saya mengikuti tes praktek, saya dinyatakan tidak lulus oleh petugas. Ketika masuk ke ruangan petugas yang menguji tadi, saya mencoba untuk membujuk petugas agar saya diluluskan saja, karena saya rasa ujian praktek sangat sulit saya lalui. Saya hanya bisa melewati empat tiang rintangan, kaki saya sudah turun karena keseimbangan saya hilang. Rasanya sangat sulit untuk mengikuti ujian praktek karena jarak tiang terlalu sempit apalagi laju kendaraan sangat pelan sehingga saya sangat sulit mengatur keseimbangan. Sebenarnya saya bisa mengendarai sepeda motor dengan baik di jalan raya, tapi kenapa saya sangat sulit untuk mengikuti rute dalam tes praktek itu. Sangat susah rasanya bagi saya untuk tidak menurunkan kaki karena laju kendaraan sangat lamban (hasil wawancara tanggal 11 Mei 2007).

Dari kutipan di atas nampak bahwa perilaku menyogok dilakukan ketika

warga menghadapi kesulitan dalam proses yang harus dilaluinya, sehingga rela

menyogok petugas yang melayaninya. Meskipun demikian, warga kota yang

menyogok ini sebenarnya tidak ingin berlaku curang, tetapi karena merasa tidak

akan mampu untuk mengikuti ujian praktek, maka warga tersebut berinisitif untuk

menyogok petugas.

Satu contoh kasus lagi yang dapat menggambarkan bagaimana perilaku

menyogok berlangsung dalam pelayanan SIM di Kota Makassar. Sebagaimana

yang dilakukan oleh seorang WM yang bernama Ani, warga Jalan Kubis

Makassar. Berikut hasil wawancara dengan penulis:

”Saya terpaksa menyogok petugas loket 6 karena saya tidak dapat lulus dalam ujian praktek. Terus terang memang saya belum terlalu lancar bawa motor, tapi saat sekarang ini biaya transport kalau naik pete-pete sangat mahal, maka saya berusaha menyicil motor. Saya baru belajar naik motor”. Ketika ditanya oleh pengamat mengapa berani mengurus SIM: Ani selanjutnya menjelaskan bahwa akhir-akhir ini sering diadakan sweeping di jalan, kalau saya tidak punya SIM saya nanti ditilang, dan

Page 37: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

179

saya dengar biayanya mahal kalau ditilang” (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007).

Perilaku menyogok seperti yang dilakukan oleh Ani di atas, dapat

mengakibatkan kerawanan lalu lintas. Seperti pengakuannya, ia sebenarnya

masih belum terampil mengendai sepeda motor, akan tetapi diluluskan karena

menyogok petugas. Warga seperti ini sebenarnya yang membuat pelayanan

menjadi tidak berkualitas, dan bahkan dapat merugikan orang lain. Dalam

kondisi belum terlalu mahir mengendarai sepeda motor, tetapi karena berusaha

menyogok petugas akhirnya memperoleh SIM sebagai persyaratan untuk

berkendara sepeda motor.

Berbeda dengan kasus yang dialami oleh Ani, yang menyogok petugas

karena memang merasa tidak mampu, banyak warga yang menyogok petugas

sebenarnya mampu untuk mengendarai sepeda motor, namun karena sering

mendengar cerita orang-orang bahwa mengurus SIM melalui prosedur resmi

sangat sulit, sehingga mereka rela kehilangan banyak uang agar urusannya

menjadi lancar. Perilaku menyogok nampaknya dikondisikan oleh BGD. BGD

sengaja membangun image di masyarakat bahwa mengurus SIM adalah sesuatu

hal yang sangat sulit. Seperti pengakuan dari beberapa warga yang berhasil

diwawancarai yang mengatakan bahwa mereka rela menyogok petugas karena

takut tidak lulus mengikuti tes teori maupun praktek. Pengakuan warga seperti

itu juga diperkuat oleh petugas loket 6 yang mengatakan kepada penulis bahwa:

”Banyak warga yang mengurus SIM tidak dapat lulus mengikuti tes praktek. Bahkan ada yang beberapa kali baru bisa lulus. Daripada berkali-kali tidak lulus kebanyakan dari mereka minta dimudahkan dengan memberi uang material” (hasil wawancara tanggal 24 April 2007).

Dalam pengalaman lapangan ketika penulis menggunakan teknik

pengumpulan data secara pengamatan partisipatif yakni dengan mengurus SIM

Page 38: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

180

C, perilaku menyogok nyaris penulis alami ketika berhadapan dengan petugas

ujian praktek (loket 6). Berikut petikan kasus yang dialami:

Setelah memberi salam dan dipersilahkan duduk oleh petugas loket 6, pengamat kemudian menyerahkan berkas permohonan SIM untuk proses selanjutnya. Nampak bahwa petugas tersebut ramah, dan berusaha mengenal lebih jauh pengamat. Setelah membaca formulir yang ada pada berkas tersebut, petugas loket telah tau bahwa pekerjaan pengamat adalah dosen Unhas. Dan dengan ramah berbincang-bincang kepada pengamat, tentang dosen-dosen Unhas yang sebelumnya telah mengurus SIM sampai kepada sebuah pertanyaan yang pengamat anggap sudah agak jauh. Petugas bertanya ”apa rumah ibu sudah dipugar?” Pertanyaan ini pengamat anggap sebagai sesuatu yang ingin menyelidiki sejauh mana kemampuan finansial pengamat. Bukankah dengan rumah yang sudah dipugar berarti seseorang itu sudah mapan?. Tetapi pengamat menjawab sesuai kenyataan yang ada. ”Belum pak.” Pada loket ini pengamat sempat mengalami berbagai hambatan, Rupanya di loket ini petugas menyatakan bahwa tidak ada sepeda motor yang disediakan untuk digunakan tes praktek. Pengamat lalu berkata: ”Bagaimana bisa pak, saya juga tidak punya motor, saya sebenarnya mengurus SIM C untuk berjaga-jaga, karena pengalaman saya beberapa waktu lalu pernah ditahan pada saat sweeping motor, saat itu saya hanya dapat menunjukkan SIM A (untuk kendaraan roda 4) yang saya miliki. Tetapi petugas lapangan tidak mau mengerti, katanya SIM A hanya untuk pengendara mobil, sedangkan anda ini mengendarai sepeda motor. Dari pengalaman itu pak maka sekarang saya mengurus SIM C untuk berjaga-jaga suatu saat saya kebetulan naik motor.” Mendapat penjelasan seperti itu, petugas loket 6 rupanya belum mau mengerti dan tetap memaksa kepada pengamat untuk membawa sepeda motor. Pengamat kemudian berkata: ”Kenapa tidak disediakan sepeda motor pak, ini kan salah satu tes yang harus dilalui, dan mestinya lembaga ini menyediakan perangkat tes itu”. Petugas lalu menjawab, ”dulu memang pernah kita sediakan bu, tetapi sudah rusak, karena terlalu banyak yang pakai. Sekarang kita buat kebijakan supaya masing-masing yang bersangkutan saja yang bawa sendiri motornya, maksudnya juga agar mereka yang ingin mengikuti tes lebih mudah karena sudah terbiasa dengan sepeda motornya. Rupanya alasan petugas tersebut ada benarnya. Karena belum diperoleh penyelesaian, beberapa kali petugas loket 6 berkata: ”jadi bagaimana bu?”, kalimat tersebut diulang sampai tiga kali, rupanya petugas tersebut sudah berinisiatif untuk mengajak bekerjasama untuk memudahkan urusan penulis, namun pengamat tidak memperhatikan kata-kata petugas tersebut. Pengamat kemudian berkata, ”kalau begitu nanti saya coba pinjam motor pada tetangga, dan saya akan bawa besok untuk mengikuti tes pak” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007).

Page 39: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

181

Dari kutipan tersebut tampak bahwa petugas yang melayani telah

berusaha untuk mempengaruhi pengamat untuk ”bekerjasama” dengan beberapa

kali berkata ”jadi bagaimana bu?”. Seandainya petugas ingin tegas menerapkan

aturan, maka sejak mengetahui bahwa pengamat tidak membawa sepeda motor,

maka petugas tersebut bisa saja langsung mengatakan ”kalau begitu, ditunda

saja besok ujiannya setelah ibu membawa sepeda motor.” Namun yang

dilakukan oleh petugas adalah tidak tegas mengatakan seperti itu, dan malahan

berusaha mengajak kompromi terhadap pengamat. Meskipun demikian, usaha

untuk mengajak berkolusi tidak mendapat tanggapan dari pengamat. Akhirnya

disepakati akan ditunda besok.

WM yang mengurus SIM sendiri tanpa perantara calo atau cara non-

prosedural lainnya dapat dipastikan mengalami hambatan pada tahap ini.

Akan tetapi apabila warga kota mengikuti ajakan dari petugas, maka urusannya

akan cepat selesai.

Kasus lain yang dapat menjelaskan perilaku seperti ini adalah yang

dialami oleh Nurdin ketika mengurus SIM A.

”Nurdin, adalah seorang warga kota yang berusaha untuk mengurus SIM A sendiri tanpa melalui calo. Setelah mengikuti beberapa tahap yang harus dilalui, selanjutnya Nurdin memasuki ruangan loket 6 yakni loket ruang ujian praktek. Silahkan duduk pak,” petugas loket mempersilahkan Nurdin untuk duduk pada kursi yang ada di depan mejanya. Setelah memperhatikan berkas yang diserahkan oleh Nurdin, petugas tersebut kemudian berkata: ”Bapak mau ikut ujian?. Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak perlu dikemukakan oleh petugas, karena seorang warga kota yang telah melalui tes teori otomatis harus mengikuti tes praktek sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh SIM. Dengan singkat dijawab oleh Nurdin: ”Iya pak”. Petugas tadi kemudian bertanya lagi: Apa Bapak membawa mobil?. ”Iya pak” kembali Nurdin menjawab dengan singkat. ”Tapi begini pak, apa tidak sebaiknya Bapak ndak perlu ikut ujian praktek, saya sebenarnya hanya ingin membantu Bapak, ndak perlu repot-repot untuk ikut ujian. Saya hanya minta pengertiannya.” Kata petugas lebih lanjut.

Page 40: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

182

Meskipun pada awalnya Nurdin tidak ingin mengeluarkan uang tambahan dengan jalan mengurus langsung tanpa perantaraan calo, namun akhirnya dia harus menambah biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan SIM A. Mendengar ajakan kolusi dari petugas itu, Nurdin kemudian menjawab: ”Iya deh pak, ndak apa-apa. Berapa pak yang harus saya bayar?. Terserah Bapak berapa ikhlasnya, ini juga untuk biaya material. Jawab petugas loket (hasil pengamatan lapangan tanggal 8 Mei 2007)

Dari kutipan kasus di atas, nampak bahwa perilaku menyogok cenderung

diprakarsai oleh petugas. Kasus menyogok nampaknya terjadi terutama jika

petugas menganggap bahwa warga kota yang ingin mengurus SIM akan

menghadapi kesulitan dalam menghadapi tes. Jika perilaku sebagai calo terjadi

pada awal proses pelayanan, maka perilaku menyogok ini terjadi ketika proses

pelayanan itu telah berlangsung. Warga yang diajak berkolusi yang pada

akhirnya berujung kepada menyogok adalah yang mengurus SIM-nya sendiri.

Sedangkan warga kota yang menggunakan jasa calo tidak sampai pada tahap

ini, karena banyak prosedur yang dipotong. Dengan demikian, maka hampir

semua warga yang mengurus SIM membayar harga lebih dari standar,

kendatipun mereka tidak melalui calo. Pada pertengahan proses yang dilalui,

warga yang mengurus SIM akan menghadapi ajakan kolusi untuk menyogok,

yang kadangkala sangat sulit untuk dihindari. Satu contoh kasus lagi yang

berhasil diamati di lapangan yang dapat menggambarkan perilaku menyogok.

Berikut ini petikan hasil wawancara dengan seorang Ibu bernama Erna:

”Saya sudah dengar sebelumnya bahwa mengurus SIM itu gampang-gampang susah. Gampang kalau mau menyogok, dan susah kalau ngotot ngurus sendiri. Saya ini kan baru beli kendaraan sepeda motor, jadi baru pertama kali ini mengurus SIM. Saya sebenarnya mau saja ikut tes, tapi Bapak petugas di dalam bilang, kasian kalau ibu mau tes, lebih baik saya bantu saja. Saya hanya minta pengertian dari ibu, ya sama-sama saling membatulah”, begitu katanya. Ya .... maksudnya saya kasih uang supaya saya tidak perlu lagi ikut tes. Daripada susah, saya kasih saja sesuai kemampuan saya”.

Page 41: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

183

Setelah pengamat menanyakan berapa besar jumlah yang diberikan, Ibu tadi kemudian menjawab: Saya kasih lima puluh ribu. Terus petugas tadi masukkan kedalam map saya. Dia tidak berkomentar apa-apa, langsung saja diambil dan dimasukkan kedalam map tempat berkas saya. Setelah itu berkas saya diberikan ke petugas lain yang ada di ruangan itu. Saya tidak tau siapa yang ambil uang tersebut” (hasil wawancara tanggal 17 Mei 2007). Dalam kasus menyogok pada pengurusan SIM ini, petugas tidak

menentukan harga yang harus dibayar. Jumlah besarannya diserahkan kepada

warga yang dilayani, dan biasanya mengatakan bahwa uang tersebut untuk

biaya material, sebagaimana yang dialami oleh Erna. Petugas dengan terang-

terangan meminta uang kepada WM yang telah lulus mengikuti tes praktek

dengan alasan untuk biaya material. Hal ini dialami juga penulis ketika

melakukan pengamatan partisipatif (saat mengurus SIM C). Meskipun demikian,

tidak semua WM dapat memenuhi permintaan petugas ketika merasa mampu

mengikuti semua persyaratan dan prosedur dengan baik.

5.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan dari Masing-masing Perilaku Diferensial

Untuk mengetahui pihak mana yang diuntungkan dan pihak mana yang

dirugikan dari masing-masing perilaku diferensial dilakukan dengan melalui

analisis titik berat perilaku diferensial. Apabila suatu bentuk perilaku diferensial

titik beratnya mengarah kepada birokrat garis depan (BGD) maka perilaku

diferensial tersebut didefenisikan sebagai perilaku diferensial yang

menguntungkan birokrat garis-depan. Sebaliknnya, bila suatu bentuk perilaku

diferensial titik beratnya mengarah kepada warga masyarakat (WM) maka

Page 42: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

184

perilaku diferensial tersebut didefensikan sebagai perilaku diferensial yang

menguntungkan warga masyarakat.

Dengan demikian muncul beberapa pertanyaan analitik: Kemana arah

titikberat setiap perilaku diferensial yang diperolah dalam penelitian ini? Siapa

yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan akibat perilaku diferensial tersebut?

Mengapa perilaku diferensial tersebut dianggap menguntungkan oleh BGD atau

WM?.

Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan analisis titik

berat perilaku diferensial menggunakan 3 (tiga) kriteria penilaian, yakni

berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh pelayanan, berdasarkan

jumlah biaya yang harus dikeluarkan, dan berdasarkan ketertekanan secara

psikologis. Didalam prakteknya di lapangan, analisis tentang titik berat perilaku

diferensial ini dilakukan secara langsung pada saat pengumpulan data lapangan.

Oleh karena itu analisis tentang titik berat perilaku diferensial dilakukan hampir

bersaman dengan pengamatan gaya negosiasi apa yang digunakan oleh BGD

dan gaya negosiasi apa yang digunakan oleh WM dan perilaku diferensial apa

yang terjadi dari interaksi kedua gaya negosiasi tersebut.

Pertama, dari segi waktu pelayanan. Keuntungan dan kerugian dari sisi

waktu untuk masing-masing perilaku diferensial yang muncul di lapangan dilihat

dari pemanfaatan waktu yang tersedia. Kendala yang dihadapi oleh peneliti

dalam melakukan analisis berdasarkan waktu pelayanan ini adalah tidak adanya

standar waktu pelayanan yang ditetapkan dari setiap tahapan yang harus dilalui

maupun waktu keseluruhan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan proses

penerbitan SIM. Oleh karena itu, maka peneliti mencoba membuat perkiraan

waktu pelayanan SIM berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap

Page 43: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

185

prosedur pengurusan SIM yang berlaku. Berdasarkan itu, peneliti dapat

menetapkan waktu pelayanan sebagai berikut:

Dalam keadaan normal, proses pengurusan SIM dapat dilaksanakan

paling lambat 2 (dua) hari kerja (mulai Jam 07.00 pagi sampai jam 16.00 sore).

Hari pertama, digunakan untuk: pemeriksaan kesehatan (dilakukan di gedung

terpisah dari gedung tempat pengurusan administrasi SIM, letaknya kurang lebih

40 meter dari tempat pengurusan administrasi SIM), pengurusan administrasi

SIM seperti pengambilan formulir, pembayaran biaya administrasi SIM, dan

registrasi), tes teori, tes praktek dan pengambilan gambar. Sedangkan hari

kedua, pengambilan SIM. Berdasarkan prosedur tersebut, maka penulis

mencoba untuk membuat perkiraan waktu untuk penyelesaian masing-masing

tahapan yang harus dilalui (lihat tabel 5.2).

Tabel 5.2 Perkiraan Waktu Pelayanan untuk Masing-masing Tahapan Pelayanan Dalam Pengurusan SIM

Jenis Pelayanan Petugas Perkiraan Waktu Pelayanan

Pemeriksaan Kesehatan Dokter 10 menit

Pembayaran biaya administrasi SIM

Loket 1 (PNBP) 1 menit

Pengambilan Formulir Loket 2 2 menit

Registrasi Loket 3 1 menit

Ujian Teori Loket 5 5 menit

Ujian Praktek Loket 6 30 menit

Edit Data Loket 7 15 menit

Pengambilan gambar (Foto) dan cap jempol

Loket 8 2 menit

Pengambilan SIM Loket 9 3 menit

Sumber: Hasil Olahan Berdasarkan Pengamatan Lapangan, 2007.

Jika dilihat dari rata-rata jumlah warga masyarakat yang mengurus SIM

setiap harinya mencapai 250 orang, dan khusus untuk SIM bisa mencapai sekitar

sekitar 150 orang per hari (lihat lampiran 1), maka alokasi waktu yang digunakan

untuk antri dari setiap tahap proses pengurusan SIM dapat memakan waktu

Page 44: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

186

kurang lebih 60 menit. Namun dalam kenyataannya, bahwa warga kota yang

mengurus SIM tidak semuanya mengikuti semua prosedur yang ditetapkan. Ada

yang melalui calo, ada yang menyogok petugas, dan lain sebagainya.

Disamping itu, warga yang datang mengurus SIM tidak bersamaan waktunya.

Sehingga proses itu mengalir bagaikan air, saling bergantian. Sehingga antrian

yang ada di lapangan tidak seperti yang diperkirakan tadi. Oleh karena itu,

kendati banyak warga yang mengurus SIM, alokasi waktu yang rasional

digunakan adalah 2 (dua) hari kerja sebagaimana disebutkan di atas, yaitu hari

pertama untuk pengurusan administrasi sampai kepada pengambilan gambar,

dan hari kedua pengambilan kartu SIM.

Meskipun warga telah difoto pada hari pertama, namun pengambilan

kartu SIM belum dapat dilakukan hari itu, dan biasanya dilakukan keesokan

harinya. Hal ini terkendala oleh peralatan mesin cetak kartu SIM yang sangat

terbatas, sementara jumlah warga yang mengurus SIM cukup banyak.

Dalam menilai pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan dari segi

waktu ini, maka dapat digunakan alokasi waktu 2 (dua) hari tersebut sebagai

patokan. Jika melebihi dari 2 (dua) hari kerja, maka dikatakan merugikan warga

masyarakat. Dikatakan merugikan, karena warga masyarakat kehilangan waktu

untuk mengerjakan tugas-tugas lainnya, hanya untuk satu urusan saja yakni SIM.

Terjadinya penundaan waktu pelayanan juga berdampak pada pelayanan biaya

tinggi. Seperti biaya transportasi bertambah, urusan lain terbengkalai dll.

Kedua, dari segi biaya yang harus dikeluarkan oleh WM dalam

pengurusan SIM. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1993

tentang PNBP, maka besarnya biaya yang harus dibayar oleh warga masyarakat

yang mengurus SIM Baru adalah sebesar Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu

Page 45: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

187

rupiah), dan biaya untuk pengurusan SIM Penggantian atau Perpanjangan

adalah sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah). Ketetapan mengenai biaya

tersebut berlaku untuk semua jenis SIM, seperti SIM A (untuk mobil pribadi), SIM

B (untuk mobil angkutan umum), SIM C (untuk sepeda motor). Jika warga

masyarakat membayar lebih dari harga yang ditetapkan tadi, maka dapat

dikatakan bahwa WM dirugikan, namun di pihak lain menguntungkan BGD,

karena memperoleh uang ekstra diluar gaji pokok dan tunjangan umum yang

diterimanya setiap bulan. Sebaliknya jika warga masyarakat dapat memperoleh

SIM dengan biaya sesuai ketentuan, maka dianggap menguntungkan warga dari

segi biaya, karena tidak terjadi pembengkakan biaya.

Ketiga, dari segi ketertekanan prikologis. Keuntungan dan kerugian

secara psikologis dari perilaku diferensial dilihat dari ekspresi wajah, mimik,

gerakan anggota badan, dan kata-kata yang diucapkan oleh para aktor pada

saat berinteraksi atau pada saat menunggu giliran untuk dilayani. Ekspresi

wajah para aktor diamati secara langsung apakah ekspresi wajah menunjukkan

rasa puas dengan wajah yang berseri-seri, rasa kecewa dengan wajah memerah

dan masam, menggerutu, dll. Tingkah laku yang dilakukan para aktor yang

diamati dari gerakan anggota badan yang dilakukan. Dari gerakan anggota

badan tersebut dilihat apakah aktor merasa puas atau merasa kecewa dengan

perilaku diferensial. Terakhir, diamati dari kata-kata yang diucapkan oleh para

aktor, apakah menyakitkan hati atau membuat aktor puas.

Berdasarkan hasil analisis titik berat perilaku diferensial dengan

menggunakan ketiga kriteria tersebut, maka diperoleh 3 (tiga) pengelompokan

perilaku diferensial. Ketika kelompok perilaku tersebut adalah sebagai berikut:

(1) perilaku diferensial yang titik beratnya cenderung mengarah kepada BGD

Page 46: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

188

dapat dikatakan sebagai perilaku yang menguntungkan BGD. Kelompok perilaku

ini setidaknya mencakup 5 bentuk perilaku diferensial, yakni: perilaku superior,

mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, dan mogok; (2) Perilaku diferensial

yang titik beratnya cenderung mengarah kepada WM dapat dikatakan sebagai

perilaku yang menguntungkan WM. Kelompok perilaku ini setidaknya mencakup

2 bentuk perilaku diferensial, yakni menolak membayar dan mencari gampang,

dan (3) Perilaku diferensial yang sifatnya mengarah kepada BGD dan WM dapat

dikatakan sebagai perilaku yang menguntungkan pelaku interaksi (mutual

benefi). Kelompok perilaku ini setidaknya mencakup 3 bentuk perilaku diferensial

yakni: perilaku melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan perilaku

menyogok.

Berikut ini akan diuraikan secara rinci hasil analisis terhadap masing-

masing kelompok perilaku diferensial.

5.2.1 Perilaku Diferensial yang Cenderung Menguntungkan BGD

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perilaku diferensial yang titik

beratnya mengarah kepada BGD dapat disimpulkan bahwa perilaku tersebut

kecenderungannya menguntungkan BGD dan merugikan WM. Berdasarkan

hasil analisis titik berat perilaku diferensial, setidaknya diperoleh 5 (lima) bentuk

perilaku diferensial yang titik beratnya mengarah kepada BGD. Perilaku

diferensial tersebut adalah sebagai berikut: perilaku superior, mengabaikan,

sebagai calo, mempersulit, dan mogok. Pembahasan dari masing-masing

perilaku tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini.

5.2.1.1 Perilaku Superior

Page 47: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

189

Perilaku superior terjadi saat birokrat garis-depan menggunakan

kekuasaannya secara negatif untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan

menerapkan aturan dengan sangat ketat (yang sebenarnya mengada-ada).

Perilaku superior biasanya dilakukan oleh GBD khususnya terhadap WM yang

”kurang berdaya”. Dengan dalih untuk menerapkan prosedur pelayanan

sebagaimana mestinya, BGD dapat memperdaya WM. Sebagai pemegang

wewenang dan sumberdaya, birokrat garis-depan bisa menolak, menyalahkan,

mempersulit, dan bahkan memaksakan kehendaknya kepada warga yang

dilayaninya. Apabila warga yang dilayani tidak memiliki pengalaman yang cukup

dalam berhadapan dengan birokrasi pelayanan, maka dengan mudah dapat

”terjebak”, sehingga dapat berakibat pada konsekuensi biaya tinggi atau waktu

yang lama untuk memperoloh SIM.

Dari hasil pengamatan lapangan terhadap BGD yang berperilaku superior

ini, penulis mendapatkan fakta yang menarik, bahwa jika ada WM yang dengan

”gagahnya” ingin mengurus sendiri SIMnya maka ia akan berhadapan dengan

BGD yang berperilaku superior. Jadi memang, warga akan sangat sulit untuk

mendapatkan pelayanan yang elegan. Sebagai contoh misalnya ketika Ridwan

telah lulus dalam tes teori. Ia kemudian menghadapi tes praktek. Dalam tes

praktek ini, meskipun dari segi teknis ia nampak piawai dalam mengendarai

sepeda motor, akan tetapi ia tidak berhasil melewati rintangan tiang yang

jaraknya memang tidak masuk akal untuk dapat dilalui tanpa menurunkan kaki,

terkecuali mereka yang telah berlatih beberapa kali atau terbiasa dalam medan

yang sama. Sementara warga yang mengurus SIM, pada umumnya belum

terbiasa dengan medan seperti itu, sehingga dapat dipastikan bahwa kendatipun

warga masyarakat sangat mahir dalam berkendara pada kondisi normal

Page 48: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

190

sebagaimana layaknya di jalan raya, warga masyarakat kecil kemungkinannya

untuk bisa lolos dalam ”jaring jebakan” ini. Pada saat yang bersamaan, petugas

tampil dengan menunjukkan perilaku superiornya. Ketika memberi contoh

kepada warga masyarakat yang akan mengikuti tes praktek, nampak BGD

sangat mahir melewati rintangan tanpa harus menurunkan kaki. Rupanya hal

tersebut menurut pengakuan petugas ”karena memang pekerjaan itu yang

sehari-hari ia lakukan, sehingga mahir seperti itu” (hasil wawancara dengan

petugas loket 6, tanggal 24 April 2007).

Apa yang menjadi pernyataan BGD tadi sebenarnya dapat dijadikan

alasan oleh warga untuk melakukan komplain terhadap format ter praktek.

Tetapi nampaknya warga tidak ada yang berani melakukan protes, ketika mereka

dipersalahkan dan dinyatakan tidak lulus. Hampir semuanya hanya pasrah dan

pulang dengan muka lesu. Seperti yang sempat penulis amati ketika Ridwan

harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya dinyatakan tidak lulus hanya karena

menurukan kaki kirinya ketika berada pada rintangan terakhir akibat kondisi

badannya yang kurang keseimbangan. Disitulah BGD menunjukkan

kekuasaannya atau superiornya, dengan mudah petugas membunyikan peluitnya

manakala WM menurunkan kaki apabila keseimbangannya hilang. Dari segi

logika berkendara, memang sangat mustahil seseorang dapat mengendarai

sepeda motor dengan keseimbangan penuh, pada kondisi medan yang harus

zig-zag dengan jarak pendek dalam laju kendaraan yang sangat lambat, hanya

sekitar 20 atau bahkan 10 Km per jam.

Page 49: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

191

Gambar 5.3: Foto Lapangan ujian praktek secara ziq-zaq.

Gambar 5.4: Foto Lapangan ujian praktek lingkaran dan tanjakan.

Gambar 5.3 dan 5.4 di atas adalah foto lapangan tempat ujian praktek.

Gambar 5.3 adalah tempat dimana warga yang mengikuti ujian praktek

diharuskan mengendarai secara ziq-zaq, dengan jarak tiang kurang dari 2 meter.

Disamping itu, terdapat pembatas luar yang tidak boleh dilewati oleh warga.

Sedangkan gambar 5.4 adalah lapangan ujian praktek mengendarai berbentuk

lingkaran menyerupai angka 8, serta di sebelahnya adalah lapangan untuk ujian

menaiki tanjakan. Sebagaimana penjelasan SB (petugas loket 6), setiap warga

yang mengikuti tes tidak boleh menurunkan kaki ketika mengendarai ziq-zaq dan

membuat lingkaran. Lain halnya dengan ujian menaiki tanjakan, disini justru

warga diminta untuk berhenti pada saat menaiki tanjakan dan wajib menurunkan

Page 50: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

192

kaki (hasil pengamatan partisipatif tanggal 25 April 2007). Dari peraturan yang

dikemukakan oleh petugas ujain praktek tersebut, nampak bahwa aturan ujian

praktek sangat sulit untuk dilalui warga, dan nampak sangat tidak masuk akal

untuk bisa dilewati oleh warga.

Oleh karenanya, medan yang harus dilalui seyogyanya mengikuti

keadaan dan situasi jalan raya yang sebenarnya. Dalam kondisi ril di jalan raya,

warga masyarakat tidak pernah menemui medan dimana mereka harus

melakukan ziq-zaq dalam jarak yang sangat pendek. Yang ada bahkan larangan

untuk mengendara sepeda motor atau mobil dengan jalan ziq-zaq. Tetapi

mengapa dalam tes praktek sebagai salah satu syarat untuk memperoleh SIM

ini, justru warga masyarakat diharuskan melalui rintangan ziq-zaq dengan jarak

yang sangat sempit, tanpa menurunkan kaki. Meskipun kondisi badan kurang

keseimbangan, warga tidak boleh menurunkan sekedar berusaha untuk tidak

jatuh dari kendaraan sepeda motornya. Jika hal itu terjadi, maka petugas akan

dengan mudah menyatakan bahwa warga tidak lulus. Format tes seperti ini,

dalam hemat penulis adalah sesuatu hal yang mengada-ada yang sengaja

dirancang untuk mempersulit warga masyarakat yang ingin mengurus SIM,

sampai pada akhirnya mereka akan mencari jalan lain yang lebih mudah bagi

mereka, kendati harus merogoh kocek lebih dalam lagi.

Dengan demikian, maka perilaku superior ini memberi peluang yang

besar terhadap adanya keinginan masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” untuk

memperoleh pelayanan SIM. Apakah melalui jasa calo sipil yang dipelihara oleh

petugas, Menyogok petugas, bahkan membeli jasa layanan SIM kepada petugas.

Dari hasil analisis pengamatan lapangan, penulis beranggapan bahwa

perilaku superior ini sebenarnya dipengaruhi oleh adanya prosedur tes yang

Page 51: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

193

sangat sulit, sehingga BGD akan merasa bahwa dirinya memegang peranan

penting dalam meluluskan warga masyarakat. Padahal, jika format tes dapat

disesuaikan dengan kondisi riil di jalan raya, maka warga masyarakat akan

antusias untuk mengurus sendiri SIMnya.

Jika ditinjau dari unsur kualitas pelayanan publik, perilaku semacam ini

tidak dapat memenuhi kriteria responsiveness, karena BGD yang sepatutnya

menjadi pelayan masyarakat hendaknya menampilkan perilaku bersedia

melayani dengan sopan santun (courtesy).

Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa titik berat perilaku

superior adalah pada BGD, karena warga masyarakat dibuat tidak berdaya

menghadapi prosedur yang harus dilalui untuk memperoleh SIM, serta tidak

berdaya menghadapi perilaku superior dari BGD. Warga tidak mempunyai daya

tawar terhadap BGD. Mereka hanya bisa berlaku pasrah dan biasanya langsung

pulang ketika dinyatakan tidak lulus dalam melewati rintangan. Sementara di

satu sisi, kepemilikan kartu SIM merupakan kewajiban bagi setiap WM yang

mengendarai sepeda motor di jalan raya (UU No. 14/1992). Oleh karena itu,

maka semua WM berusaha sedemikian rupa untuk memiliki kartu SIM, meskipun

dengan jalan di luar prosedur yang sepantasnya.

5.2.1.2 Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant)

Perilaku mengabaikan atau playing ignorant sempat juga terdeteksi di

lapangan, meskipun kuantitasnya tidak sebanyak perilaku lainnya. Perilaku

mengabaikan oleh BGD, dimata WM adalah merupakan upaya untuk menunda-

nunda pelayanan yang dilakukan secara sadar. Petugas yang seharusnya

melayani berkas WM yang diabaikan, sibuk mengerjakan berkas warga lainnya,

Page 52: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

194

yang sebenarnya harus dikerjakan belakangan, mengingat berkas warga yang

diabaikan tadi lebih dahulu masuk. Apabila warga masyarakat yang menghadapi

perilaku mengabaikan diam saja, dan tidak berusaha mendesak petugas atau

mencari kendalan yang bisa membantu, maka perilaku mengabaikan ini akan

berlangsung lama.

Dalam pengamatan lapangan, perilaku mengabaikan ini dilakukan oleh

BGD terhadap berkas WM yang tidak disertai oleh uang lebih atau tidak melalui

calo. Contoh perilaku seperti ini dialami sendiri oleh penulis ketika melakukan

pengamatan partisipatif. Ketika itu, penulis telah melakukan tes praktek, dan

berkas selanjutnya diteruskan ke loket 7 untuk pengecekan data guna

memastikan apakah data-data yang telah di-entry sebelumnya benar. Dalam

loket ini, penulis mengalami perilaku mengabaikan dari BGD. Selama hampir 3

jam berkas penulis tidak diproses, boleh jadi karena penulis menolak permintaan

petugas pada loket 6 sebelumnya. Setelah pengamat mengikuti ujian praktek

yang sangat sulit (seandainya tidak dibantu oleh kenalan yang juga anggota

Polantas, maka pengamat pasti tidak lulus), BGD yang bertugas pada loket 6 (tes

praktek) dengan terang-terangan meminta uang kepada pengamat, namun

karena pengamat ingin memperoleh informasi yang lebih jauh lagi jika tidak

membayar, maka pengamat menolak membayar dengan alasan tidak cukup

uang. BGD yang meminta uang tadi berkata, ”bahwa uang tersebut adalah untuk

material, dan akan dimasukkan kedalam map berkas pengamat, untuk diteruskan

ke loket-loket selanjutnya” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 25 April 2007).

Pada loket pengecekan data, setelah menunggu berjam-jam di ruang

tunggu, nama penulis tidak juga dipanggil, penulis mulai gusar karena beberapa

berkas warga yang belakangan masuk sudah diproses dan namanya sudah

Page 53: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

195

dipanggil untuk membenarkan data-data yang dikomputer sesuai dengan data

yang sebenarnya. Dalam keadaan gusar seperti ini, penulis bertemu dengan

seorang kerabat yang kebetulan adalah wartawan yang sering meliput kegiatan

Kasatlantas. Wartawan tersebut kemudian mencari petugas kepolisian yang

dikenalnya dengan baik. Nampak oleh pengamat, petugas kepolisian tadi masuk

ke loket 7 dan mencari-cari berkas penulis. Setelah sekian lama mencari,

rupanya berkas pengamat tidak ada di kumpulan berkas warga lainnya, tetapi

diletakkan tersendiri, dan belum diproses. Melihat kenyataan itu, pengamat

dapat berkesimpulan bahwa perilaku mengabaikan ini adalah akibat karena tidak

ada uang yang disertakan didalam map/berkas pengamat, sebagaimana yang

diminta oleh petugas loket 6.

Perilaku mengabaikan ini sangat merugikan warga masyarakat baik dari

segi waktu maupun dari segi psikologi. Perilaku mengabaikan menimbulkan

ketidakpastian waktu pelayanan yang harus ditempuh oleh warga masyarakat.

Namun disisi lain warga masyarakat tidak berdaya menghadapi perilaku birokrat

garis-depan seperti ini. Dalam kenyataan pada hampir semua pelayanan publik,

birokrat yang berperilaku mengabaikan biasanya memiliki berbagai macam

alasan sehingga dia tidak memproses berkas warga masyarakat. Terkadang

birokrat beralasan sibuk karena banyaknya berkas yang harus diproses sehingga

warga harus bersabar menunggu giliran.

Dari pengalaman tersebut dan beberapa kasus yang sempat teramati di

lapangan, maka penulis berkesimpulan bahwa titik berat perilaku mengabaikan

ada pada BGD. BGD berusaha menunda-nunda bahkan ’membiarkan’ berkas

warga yang tidak memenuhi permintaan petugas. Ada kesan bahwa ”tak ada

uang lebih, maka tak ada pelayanan”. Ini sudah sangat jauh dari harapan

Page 54: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

196

pelayanan yang akuntabel dan adil. Hanya orang-orang yang mampu membayar

saja yang dapat ’dilayani’ dengan baik. Sementara mereka yang tidak

mempunyai uang atau tidak ingin menyogok petugas maka akan mengalami

kesulitan. Dan jika tidak memiliki kenalan untuk membantunya, maka warga

tidak akan pernah bisa mendapatkan pelayanan yang baik.

Hasil analisis penulis menunjukkan bahwa perilaku pengabaian muncul

sebagai akibat dari perilaku-perilaku disfungsional lainnya, seperti perilaku

sebagai calo. WM yang tidak ingin ”berkompromi” dengan BGM maka akan

mengalami perilaku pengabaian dari BGD.

Perilaku mengabaikan ini dikatakan sebagai akibat dari perilaku

disfungsional lainnya sebagaimana disebutkan di atas, oleh karena BGD yang

berperilaku sebagai calo misalnya, cenderung melayani/menyelesaikan berkas

WM yang di ”tanganinya.” Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah berkas yang

”ditangani” khusus seperti ini jumlahnya sangat banyak, sehingga otomatis BGD

tidak memiliki banyak waktu untuk mengerjakan berkas WM yang tidak disertai

uang lebih. Warga yang tidak memiliki cukup uang untuk membayar petugas,

harus rela menunggu lama sampai semua berkas yang ”ditangani” oleh BGD

selesai dikerjakan.

Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa perilaku mengabaikan

pada dasarnya sangat merugikan WM, karena tidak dapat memperoleh

pelayanan dengan baik sehingga WM harus kehilangan banyak waktu untuk

mendapatkan SIM yang dibutuhkannya. WM juga tertekan secara psikologis,

menunggu dalam ketidakpastian. Jadi ada semacam perasaan mendongkol.

Ingin bertanya namun takut mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan dari

petugas. Akhirnya WM umumnya memilih untuk diam dalam menghadapi

Page 55: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

197

perlakuan seperti ini, hingga menunggu suatu waktu yang tepat untuk bertanya

kepada petugas atau mencari kenalan yang dapat menolongnya.

Sedangkan dari pihak BGD, sebenarnya dia merasa diuntungkan oleh

perilaku seperti ini. BGD memiliki banyak waktu untuk mengerjakan tugas-tugas

lain yang dinilainya dapat memberi keuntungan bagi dirinya, misalnya berkas

warga masyarakat yang menyogok, dll. Di pihak lembaga penyedia layanan,

perilaku semacam ini dapat merugikan lembaga, karena citra lembaga akan jelek

di mata masyarakat. Lembaga atau institusi akan dinilai sebagai lembaga yang

tidak dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Lembaga

yang seharusnya menjadi pelindung dan pelayanan masyarakat justru

memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan bagi warga.

5.2.1.3 Perilaku Sebagai Calo

Perilaku sebagai calo adalah pemandangan yang sangat mudah kita

saksikan dalam pelayanan SIM di Kota Makassar. Terdapat dua jenis calo yang

dapat ditemui oleh WM ketika akan mengurus SIM, yakni (1) calo sipil yang

nampaknya sengaja “dipelihara” oleh petugas dan (2) petugas itu sendiri yang

berperilaku sebagai calo. Kedua jenis calo ini berkeliaran di luar gedung utama

pengurusan SIM, dan biasanya duduk-duduk dibangku panjang yang diletakkan

persis di depan pintu masuk ruangan pengurusan SIM. Ada juga yang sengaja

berdiri dekat pintu masuk, dan selalu siap menyapa setiap warga yang datang,

sekedar untuk mengetahui apakah warga tersebut bermaksud untuk mengurus

SIM

Page 56: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

198

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, salah satu contoh perilaku

sebagai calo dialami oleh Burhanuddin. Ketika baru datang di lokasi

pengurusan SIM, seorang calo yang berseragam polisi mendekati dirinya:

”Ada yang bisa dibantu pak? Tanya petugas calo ”Saya mau mengambil SIM C pak” Jawabnya singkat. ”Apa mau ikut tes atau diuruskan” kata petugas ”Saya mau diuruskan saja pak” jawab Burhanuddin (hasil pengamatan lapangan tanggal 10 Mei 2007). Berdasarkan hasil wawancara dengan Burhanuddin, penulis memperoleh

informasi bahwa sebenarnya ingin mencari gampang dalam memperoleh SIM

tanpa melalui SIM. Menurut pengakuannya, dia rela membayar dua kali lipat

karena takut tidak lulus dalam tes teori maupun tes praktek. Ketakutan ini

didasarkan pada informasi yang ia peroleh dari teman-temanya yang pernah

mengurus SIM, bahwa kalau mau urusan lancar maka sebaiknya mencari saja

petugas yang berperilaku sebagai calo.

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap fenomena yang

muncul di lapangan, adanya BGD yang berperilaku sebagai calo terutama

disebabkan karena banyaknya warga yang mengurus SIM setiap harinya,

sementara BGD yang mempunyai tugas tetap di loket tidak mampu untuk

melayani semua warga yang datang, sehingga keberadaan BGD yang

berperilaku sebagai calo ini sangat membantu BGD yang bertugas di loket.

Mengapa penulis mengatakan bahwa BGD seperti ini adalah sebagai calo?

Karena dalam pengamatan lapangan, BGD ini berfungsi sebagai perantara

antara WM dengan BGD yang sebenarnya bertugas di loket, bahkan dia juga

terjun langsung memproses berkas WM di dalam ruangan loket. Sehingga

memang nampak bahwa WM masyarakat yang ingin mengurus sendiri SIM akan

Page 57: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

199

bingung siapa sebenarnya petugas asli karena di dalam loket terdapat petugas

lain.

Jumlah biaya yang harus dibayar oleh warga untuk memperoleh sebuah

SIM pada dasarnya adalah sama. Jadi sepertinya telah ada kesepakatan secara

tidak tertulis akan ”harga” sebuah pelayanan. Namun hal yang menarik berhasil

penulis amati adalah tentang perilaku dari masing-masing calo ini. Seorang calo

sipil misalnya, akan langsung berhubungan dengan BGD yang bertugas di loket

dan berkas diselesaikan oleh BGD, sementara BGD yang berperilaku sebagai

calo biasanya menyelesaikan sendiri berkas WM, sampai kepada ujian teori yang

harus dilalui. BGD yang berperilaku sebagai calo akan mengisi lembar jawaban

yang tentunya telah disepakati oleh rekan mereka yang bertugas di loket

tersebut. Nampak dia sangat lancar dalam menjawab, tanpa harus membaca

soal tes teori. Dia seakan sudah hafal semua jawaban mulai dari nomor 1

sampai nomor 30. Dalam waktu hanya kurang lebih 1 menit, maka semua kolom

jawaban telah terisi, sehingga dari segi waktu, maka proses akan lebih cepat

selesai jika menggunakan jasa calo BGD. Sedangkan untuk tes praktek, tidak

diwajib dilalui oleh BGD calo, dia cukup meminta bantuan temannya pada loket

tes praktek untuk mendapatkan surat keterangan lulus tes praktek untuk WM

yang dicaloinya, tentunya dengan imbalan uang. Dari hasil pengamatan penulis,

nampak bahwa ada kerjasama diantara petugas loket dengan BGD yang

berperilaku sebagai calo, tentunya dengan pembagian uang secara merata

diantara mereka. Semua berlangsung dengan sangat rapih dan lancar.

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa

perilaku sebagai calo pada dasarnya cenderung menguntungkan BGD. Dalam

perilaku sebagai calo ini, meskipun warga masyarakat yang menggunakan calo

Page 58: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

200

untuk memperoleh SIM diuntungkan dari segi waktu, namun warga masyarakat

harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk memperoleh SIM. Disamping

itu, latar belakang sehingga warga mencari calo adalah disebabkan karena

kondisi pelayanan yang ada kurang memuaskan warga masyarakat. Jadi

mengurus SIM melalui calo adalah sesuatu keterpaksaan saja. Dengan

demikian, maka penulis menilai bahwa hal ini lebih menguntungkan BGD

dibanding WM. Boleh jadi warga masyarakat yang kebetulan ”kena” dengan

calo, memiliki waktu luang untuk mengurus SIM sesuai prosedur yang berlaku,

tetapi karena tidak kuasa untuk menolak ajakan calo BGD maka ia tidak lagi

dapat berbuat apa-apa. Apalagi jika calo BGD tersebut ”menakut-nakuti” warga

bahwa mereka juga nantinya harus berulang kali mengikuti tes karena tidak lulus

apabila mengurus sendiri SIM. Akhirnya biaya yang harus dikeluarkan akan

sama saja.

Di sisi lain, perilaku sebagai calo ini akan merugikan pengguna jasa

lainnya. Ketika seorang warga mengurus SIM melalui calo, otomatis maka

berkasnya akan terlebih dahulu dilayani oleh BGD, sedangkan berkas warga

yang tidak melalui calo atau mengurus SIM sendiri akan terhambat karena

cenderung diabaikan. Akibatnya warga lainnya akan dirugikan dari segi waktu

pelayanan.

5.2.1.4 Perilaku Mempersulit

Perilaku mempersulit juga menunjukkan ketidakberdayaan warga terhadap

birokrat garis-depan. Perilaku mempersulit dilakukan oleh BGD terhadap warga

yang mengikuti tes praktek dan juga bagi WM yang ingin memperpanjang SIM

akan tetapi lewat dari batas waktu bebas tes teori dan tes praktek yakni lebih dari

Page 59: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

201

1 tahun ke atas. Bahkan terhadap warga yang mampu memenuhi persyaratan

sekalipun bisa saja dipersulit oleh BGD yang berorientasi mencari keuntungan.

BGD biasanya mencari-cari alasan untuk mempersulit warga yang ingin

mengurus SIM dengan harapan agar WM dapat memberikan uang lebih

kepadanya.

Sebagai contoh perilaku mempersulit yang dilakukan oleh BGD kepada

Rahim. Sekalipun Rahim dapat menunjukkan persyaratan untuk memperpanjang

SIM yang telah habis masa berlakunya, ia mendapat perlakuan dipersulit oleh

BGD, dengan dalih bahwa masa berlaku SIM telah melewati batas untuk bebas

tes praktek.

Sebagaimana aturan yang berlaku, bahwa mereka yang telah habis masa

berlakunya lebih dari 1 tahun maka diwajibkan untuk mengikuti tes teori dan tes

praktek. Dengan berpegang pada aturan tersebut, BGD bersikukuh untuk

mewajibkan Rahim mengikuti tes. Meskipun Rahim telah berupaya untuk

memberi alasan yang menurutnya adalah hal yang masuk akal, namun BGD

tidak menerima alasan tersebut, dan tetap pada pendiriannya yang dianggap

sebagai upaya untuk menerapkan peraturan dengan baik.

“Kenapa saya harus ikut tes lagi pak? Saya kan sudah mahir mengendarai

sepeda motor” (kutipan hasil pengamatan tanggal 30 April 2007). Apa yang

dikemukakan Rahim bahwa pada dasarnya ia tidak perlu mengikuti tes praktek

karena telah merasa dirinya terampil, bukankah dengan masa berakhir SIM

berarti dia telah lama bisa mengendarai sepeda motor. Dengan alasan demikian,

maka Rahim berusaha meminta kebijaksanaan dari petugas. Tetapi nampaknya

petugas tidak ingin menyetujui keinginan Rahim dengan alasan karena hal

tersebut melanggar aturan yang ada.

Page 60: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

202

Upaya yang dilakukan untuk mempersulit warga rupanya mendapat respon

dari Rahim. Setelah Rahim setuju dengan permintaan petugas, maka iapun

dimudahkan dalam mengurus SIM. Tes yang sebelumnya dianggap sebagai

suatu keharusan nampaknya telah dilupakan oleh BGD. Jelas sudah bahwa

upaya mempersulit warga semata-mata dilakukan untuk menekan warga

sehingga mudah dimintai uang. Warga yang merasa wajib untuk memiliki SIM,

sebagaimana diwajibkan bagi semua pengendara sepeda motor, maka tidak

punya pilihan lain lagi, kecuali mengikuti permintaan petugas manakala ia tidak

mampu untuk mengikuti semua peraturan yang berlaku.

Sebenarnya alasan yang dikemukakan oleh Rahim tadi adalah masuk akal.

Karena memang keterampilan mengemudi adalah keterampilan yang tidak dapat

dilupakan oleh seseorang. Sekali ia dapat mengendarai sepeda motor, maka ia

tidak akan pernah lupa. Seperti halnya keterampilan naik sepeda, sekali ia

dapat naik sepeda, maka ia akan sulit untuk melupakan keterampilan tersebut.

Terlebih lagi bahwa masa berlaku SIMnya telah berakhir, berarti Rahim telah 5

tahun memiliki SIM, dengan jangka waktu yang demikian lama, berarti Rahim

semakin mahir dalam mengendarai.

Jika dirujuk kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mewajibkan

memiliki SIM dan memperpanjangnya setelah lewat 5 (lima) tahun, kebijakan

tersebut sebenarnya adalah upaya pemerintah untuk mendapatkan sumber

pendapatan negara di luar pajak (PNBP). Hal ini terbukti dari hasil pengamatan

lapangan, bahwa setiap pemohon SIM wajib membayar biaya administrasi SIM

sebesar Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) bagi pemohon baru, dan Rp

60.000,- (enam puluh ribu rupiah) untuk perpanjangan SIM yang telah mati atau

habis masa berlakunya, seperti yang dialami oleh Rahim di atas.

Page 61: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

203

Sebenarnya petugas tidak boleh mempersulit warga dengan mewajibkan

lagi mengikuti tes praktek. Karena bukankah mereka sebagai warga yang baik

yang telah berusaha memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Dengan

mengurus SIM berarti ia turut menyumbang kepada negara, yang toh nantinya

juga akan diterima oleh BGD setiap bulannya dalam bentuk gaji pokok atau

tunjangan umum bagi anggota Polri.

Adanya peraturan yang mewajibkan WM yang memperpanjang untuk

mengikuti tes teori dan tes praktek, terutama bagi WM yang lewat masa berlaku

SIM lebih dari 1 tahun ke atas, sebenarnya dipersepsi oleh WM sebagai suatu

aturan yang buruk dan perlu dipertimbangkan kembali. Beberapa warga yang

berhasil diwawancarai mengatakan bahwa kewajiban seperti itu sangat

mempersulit WM yang ingin memperpanjang SIM.

Dari uraian di atas, baik dilihat dari segi waktu, biaya dan ketertekanan

psikologi, perilaku mempersulit adalah menguntungkan BGD dan merugikan WM.

Sehingga dengan demikian, maka titik berat dari perilaku mempersulit ini adalah

pada BGD.

5.2.1.5 Perilaku Mogok

Perilaku mogok terjadi ketika warga masyarakat yang mengurus SIM

tidak dapat memenuhi prosedur pelayanan dengan baik, terutama tahap tes teori

dan tes praktek mengendarai. Disamping itu, tes praktek sangat terkesan

mengada-ada dengan penerapan aturan yang sangat ketat terhadap warga

masyarakat. Beberapa warga yang telah mengikuti tes praktek namun tidak

berhasil lulus cenderung berperilaku mogok, dan memilih untuk tidak

Page 62: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

204

meneruskan mengurus SIM melalui prosedur resmi. Akibatnya banyak berkas

yang tertumpuk dan kadaluarsa, karena tidak diproses lebih lanjut. Hal semacam

ini penulis saksikan di bawah meja petugas loket 6. Petugas yang berinisial SB

ini menunjukkan kepada penulis

”Sambil menunjuk tumpukan berkas dibawah meja petugas lokat 6 berkata: ini bu banyak berkas yang bertumpuk di meja saya, tidak datang lagi orangnya. Mereka tidak lulus praktek ada yang sudah 2 kali. Berkas ini ada yang sudah bertahun-tahun, ada pula yang baru beberapa bulan” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007).

Dalam kondisi seperti ini, maka pengurusan SIM menjadi beku. Jadi

setelah putus asa warga kemudian exit. Tetapi sayangnya, karena warga yang

exit seperti ini tidak dapat memperoleh pilihan (choice) pelayanan yang sama di

tempat lain, karena pelayanan SIM ini hanya dilakukan oleh lembaga kepolisian

(monopoli pelayanan) sebagai satu satu fungsi penyelenggara pemerintahan.

Pada dasarnya sikap putus asa menunjukkan bahwa WM tidak

mempunyai kekuatan untuk menolak atau melakukan bargaining terhadap bentuk

dan prosedur pengurusan SIM. Warga yang putus asa tidak lagi berkeinginan

untuk melanjutkan mengurus SIMnya ketika mengalami perlakuan tidak adil, atau

mengalami hambatan dalam menempuh semua prosedur pengurusan SIM.

Karena kepemilikan SIM adalah merupakan sesuatu yang hukumnya

wajib bagi setiap warga masyarakat yang mengendarai sepeda motor, maka

ketika WM mengalami hambatan dalam pengurusan SIM sesuai prosedur,

mereka terpaksa kembali mengurus SIM, meskipun tidak lagi melalui prosedur

resmi. Kebanyakan dari mereka mencari jalan pintas dengan meminta bantuan

teman untuk menguruskan SIM atau datang langsung ke lokasi dengan mencari

calo yang telah siap membantu.

Page 63: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

205

Salah seorang WM yang bernama Drs. Ibrahim pernah mengurus SIM

melalui prosedur resmi tetapi kemudian ia malah putus asa, menuturkan kepada

penulis:

”Saya dulu pernah mengurus SIM C, tapi dua kali saya mengikuti tes tetap juga tidak lulus. Saya kemudian putus asa, karena saya merasa tidak akan pernah bisa melewati tes praktek yang demikian rumit. Sebenarnya saya masih punya kesempatan untuk tes praktek ketiga kalinya, namun saya tidak berniat lagi. Biarlah uang saya hilang. Saya lebih baik minta bantuan calo saja. Saya sudah stres ikut tes-tesan” (hasil wawancara tanggal 11 Mei 2007).

Dari pengakuan selanjutnya kepada penulis, keterpaksaan mengurus SIM

C karena merupakan kewajiban yang harus ia penuhi sebagai warga negara

yang taat terhadap peraturan. Meskipun ia merasa kecewa terhadap pelayanan

yang ia peroleh, namun ia tetap berupaya memperoleh SIM karena akan

mendapatkan masalah yang lebih besar ketika tidak dapat menunjukkan SIM

kepada petugas dikemudian hari.

Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari segi waktu, biaya dan

ketertekanan psikologis, jelas bahwa perilaku mogok ini sangat merugikan warga

masyarakat. Dari segi waktu, ia hanya membuang-buang waktu percuma tanpa

hasil. Ia juga membuang-buang biaya untuk membayar biaya administrasi,

namun akhirnya ia tidak memperoleh SIM. Secara psikologis, ia juga trauma

untuk mengurus SIM, dan kalau dia ingin mengurus SIM, maka mereka akan

mencari gampangnya saja yakni dengan melalui calo yang telah siap membantu

setiap warga yang ingin memperoleh SIM dengan jalan pintas.

5.2.2 Perilaku Diferensial yang Cenderung Menguntungkan WM

Perilaku diferensial yang titik beratnya mengarah kepada WM

disimpulkan mengutungkan WM. Adapun perilaku diferensial yang dianalisis

Page 64: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

206

menguntungkan warga masyarakat adalah perilaku menolak membayar dan

perilaku mencari gampang.

5.2.2.1 Perilaku Menolak Membayar

Perilaku menolak membayar adalah merupakan jenis perilaku yang ekstrim

dari warga kota. Perilaku ini diwujudkan dari adanya penolakan terhadap

permintaan BGD untuk membayar biaya yang tidak jelas aturannya. Perilaku ini

penulis beri nama perilaku menolak membayar, meskipun sebenarnya bukan

dalam bentuk menolak membayar fisik tetapi hanya dalam bentuk penolakan

untuk membayar biaya di luar ketentuan resmi. Perilaku ini dianggap ekstrim

karena berani dilakukan oleh warga padahal warga tersebut berada dalam posisi

yang membutuhkan pelayanan SIM. Perilaku jenis ini dilakukan oleh mereka

yang merasa dirinya mampu mengikuti tes teori dan praktek yang selama ini

menjadi momok dalam pelayanan SIM. Disamping itu, perilaku seperti ini

dilakukan oleh warga masyarakat yang terpelajar dan tidak ingin menyogok

petugas. Ketika menghadapi BGD yang mencoba memerasnya, maka WM yang

berperilaku seperti ini akan melakukan penolakan atau menolak membayar.

Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa yang mengurus SIM C, setelah

mengikuti tes praktek dan ternyata bisa lulus, petugas yang melayani berusaha

meminta uang material, dengan tegas mahasiswa tadi menolak permintaan

petugas tersebut dengan alasan ia mampu mengikuti semua persyaratan.

Setelah mendapatkan penolakan dari mahasiswa tersebut, petugas tadi tidak lagi

memaksakan keinginannya. Boleh jadi petugas tersebut juga banyak

mengetahui bagaimana perilaku mahasiswa terhadap birokrasi pemerintah yang

seringkali mengecewakan masyarakat, sehingga petugas tersebut tidak ingin

Page 65: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

207

memaksa. Kutipan hasil wawancara dengan mahasiswa yang bernama Ahmad,

dapat menggambarkan alasan mengapa ia menolak membayar:

”Kita ini WM yang berhak mendapatkan pelayanan yang baik dari petugas. Mereka sudah digaji kok. Masak setiap yang kita urus harus dibayar lagi, padahal kita sudah membayar biaya administrasi. Kalau dipikir-pikir sebenarnya SIM ini tidak terlalu penting bagi kita, tetapi karena ada Undang-undangnya sehingga kita perlu memilikinya. Apa ruginya kalau kita tidak punya SIM. Seandainya tidak ada aturan yang mewajibkan kita, maka saya tidak akan mengurus SIM. Disamping itu, saya ini juga bisa mengendarai sepeda motor, semua persyaratan saya penuhi termasuk persyaratan kesehatan. Apanya lagi yang saya kurang?. Coba Ibu bayangkan, kalau semua petugas pelayanan publik berperilaku seperti ini, mau memeras warga, kasian dong warga masyarakat. Kita tidak pernah bisa menikmati pelayanan publik dengan baik. Membayangkan saja akan berurusan dengan birokrat pemerintah, rasanya badan kita sudah lemas”. (hasil wawancara tanggal 14 Mei 2007).

Kutipan hasil wawancara di atas dapat menggambarkan bahwa perilaku

menolak membayar ini terjadi manakala warga yang berinteraksi memaknai

bahwa pelayanan yang baik adalah merupakan hak warga. Ketika ia merasa

diperlakukan tidak adil oleh birokrat yang ingin mencari keuntungan dari

pelayanan yang diberikannya, maka ia akan berani melakukan menolak

membayar dalam hal ini adalah menolak keinginan BGD. Sepanjang ia merasa

bahwa dirinya mampu untuk memenuhi semua persyaratan untuk memperoleh

pelayanan, maka warga seperti ini akan menuntut hak-haknya dari birokrat

pemerintah. Ia merasa telah membayar biaya administrasi yang disetorkan

kepada pemerintah melalui loket PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang

selanjutnya disetor ke kas negara. Dan dari biaya yang dibayarkan tersebut,

digunakan untuk menggaji birokrat yang melayaninya, sehingga ia merasa tidak

perlu lagi untuk memberi uang tambahan, karena birokrat tersebut telah ia gaji

secara tidak langsung. Sebenarnya hal ini kurang disadari oleh para birokrat

kita. Apabila mereka melayani masyarakat, ia merasa bahwa ia belum diberi

Page 66: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

208

uang oleh warga tersebut, sehingga yang dipikirannya adalah bagaimana

memperoleh uang dari pelayanan yang diberikannya. Sehingga muncullah

birokrat yang berorientasi kepada kepentingan pribadi, dengan memanfaatkan

orang-orang yang lugu, dan sebagainya.

Dari segi waktu, biaya dan ketertekanan psikologis, perilaku ini

menguntungkan warga masyarakat. Warga dapat menyelesaikan pengurusan

SIM sesuai dengan wajar, dan dengan biaya yang sesuai dengan standar.

Sementara secara psikologis, perilaku semacam ini akan merugikan BGD.

Adanya tekanan atau menolak membayar dari warga masyarakat yang

dihadapinya, membuat dia akan mengurungkan niatnya untuk memperoleh

keuntungan pribadi, dan akan menjadi peringantan bagi dirinya untuk bersikap

hati-hati terhadap warga yang dihadapinya. Karena tidak semua warga dapat

diperlakukan tidak adil. Tidak semua warga bisa pasrah terdapat petugas.

Mereka yang merasa benar dan mengetahui bahwa pelayanan publik merupakan

haknya, maka ia akan melakukan menolak membayar jika menghadapi petugas

yang ”nakal”.

5.2.2.2 Perilaku Mencari Gampang (Short Cut)

Dalam pengamatan lapangan, perilaku mencari gampang juga banyak

ditemukan. Warga yang cenderung berperilaku seperti ini adalah mereka

memiliki kesibukan dalam pekerjaannya sehari-hari sehingga tidak ingin

mengikuti semua prosedur pengurusan SIM. Ada pula beberapa warga yang

telah mengurus SIM sesuai prosedur, namun karena tidak lulus berkali-kali lalu

kemudian mogok, dan lanjut mengurus SIM melalui calo. Disamping itu, ada

pula warga yang mau gampangnya saja, kendati dia tidak memiliki kesibukan

Page 67: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

209

namun tetap mencari calo untuk membantu menguruskan SIM. Mereka yang

berperilaku seperti ini biasanya dari keluarga yang mampu dari segi ekonomi.

Warga yang berperilaku mencari gampang seperti yang disebutkan di

atas, akan mencari petugas yang berperilaku sebagai calo dan ada pula melalui

calo sipil yang ”dipelihara” oleh petugas. Sepanjang WM yang cenderung

berperilaku mencari gampang dimudahkan untuk memperoleh SIM, mereka tidak

mempersoalkan mengenai besarnya biaya yang harus dikeluarkan.

Perilaku mencari gampang sebenarnya dari segi normatif melanggar

aturan yang ada, sehingga terjadi maladministrasi. WM yang berperilaku

mencari gampang adalah mereka yang memaknai pelayanan sebagai ’jasa

terbeli’, sehingga dengan membayar petugas maka ia akan memperoleh SIM

yang dibutuhkannya tanpa melalui prosedur baku yang ditetapkan.

Jika dianalisis lebih lanjut, perilaku mencari gampang dari WM ini akan

merugikan warga lainnya yang mencoba mengikuti prosedur pelayanan sesuai

standar. WM yang ingin mengurus sendiri SIMnya akan terhambat dan

terabaikan, karena BGD lebih sibuk mengurus berkas WM yang berperilaku

mencari gampang, yang nota bene memberikan imbalan jasa pelayan yang lebih

besar. Dari situ pula akan muncul ketidakadilan dalam pelayanan, sehingga

mereka yang punya uang akan lebih cepat dilayani. Sementara itu, jika dilihat

dari kondisi kerawanan lalu lintas, boleh jadi penyebab kecelakaan di jalan raya

disebabkan oleh WM yang berperilaku mencari gampang untuk memperoleh

SIM, boleh jadi tidak memiliki keterampilan berkendara namun tetap mendapat

SIM. Sahroni (Humas Polda Jateng) dalam acara Aspirasi Merah Putih pada

acara interaktif PRO 3 RRI Jawa Tengah tanggal 27 September 2007 yang

mengambil topik: kesiapan Polda Jateng menghadapi mudik lebaran 1428 H

Page 68: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

210

mengatakan bahwa 75% kecelakaan di Indonesia adalah kecelakaan lalu lintas.

Semuanya ini merupakan efek domino dari pelayanan yang menyimpang dan

tidak prosedural.

Meskipun demikian, jika dilihat dari segi warga yang dilayani, maka

perilaku mencari gampang ini menguntungkan warga masyarakat tersebut. Ia

dapat memperoleh layanan SIM dengan mudah, tanpa harus meninggalkan

pekerjaannya yang lain. Kalkulasi untung rugi dari segi ekonomi, warga yang

berperilaku seperti ini lebih merasa untung jika membayar petugas dibandingkan

harus mengikuti prosedur yang ada. Ia akan kehilangan uang yang lebih besar

jika harus mengikuti prosedur baku, sehingga pilihan untuk membeli jasa adalah

yang terbaik menurutnya. Demikian pula dari aspek yang lain, waktu dan

psikologis. Ia merasa sangat diuntungkan dari segi waktu, begitu pula dari segi

psikologis. Ia tidak merasa terbebani sedikitpun dengan membeli jasa

pelayanan. Sehingga dengan demikian, maka perilaku mencari gampang titik

beratnya ada pada WM atau lebih menguntungkan WM.

5.2.3 Perilaku Diferensial yang Cenderung Menguntungkan Pelaku Interaksi (Mutual Benefit)

Disamping terdapat perilaku diferensial yang titik beratnya mengarah

kepada BGD dan WM, terdapat pula perilaku diferensial yang bersitaf interaktif.

Dikatakan interaktif, karena dari hasil analisis perilaku ini berada di tengah-

tengah, artinya kedua aktor pelaku perilaku diferensial merasa diuntungkan.

Meskipun menguntungkan kedua belah pihak, perilaku ini tidak semuanya positif.

Artinya ada perilaku yang sifatnya disfungsional, karena mengakibatkan cacat

prosedural (malprocedural) atau proses penerbitan SIM tidak sesuai dengan

Page 69: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

211

prosedur baku. Dari ketiga bentuk perilaku diferensial yang dikelompokkan

sebagai perilaku interaktif, hanya satu diantaranya yang dianggap sebagai

perilaku yang fungsional, yakni perilaku melayani, sedangkan dua bentuk

perilaku lainnya yakni memperlakukan khusus anggota korps tertentu dan

menyogok dinilai sebagai perilaku yang dapat menyebabkan malprocedural dan

bahkan dapat merusak citra lembaga. Berikut ini pembahasan dari masing-

masing perilaku tersebut:

5.2.3.1 Perilaku Melayani (Serving)

Melayani berarti memperlakukan seseorang sebagaimana apa adanya,

tulus, ikhlas, dan tanpa pamrih. Melayani dapat juga berarti bahwa tidak

membeda-bedakan antara satu orang dengan yang lainnya. Siapa pun

orangnya, mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama atau adil.

Perilaku melayani muncul ketika seorang BGD memaknai pelayanan

sebagai pelaksanaan aturan dan memiliki orientasi kepada masyarakat. Artinya

dari segi etika profesi, BGD semacam ini ingin berupaya menerapkan aturan

secara baik dan melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab untuk

memberikan kepuasan kepada masyarakat. Sementara warga masyarakat yang

datang juga melihat bahwa pelayanan yang akan diperolehnya adalah

merupakan haknya sebagai warga negara, sehingga dia merasa pantas untuk

diperlakukan dan dilayani dengan baik.

Oleh karena itu, memang dari kedua pihak yang berinteraksi ini tidak ada

yang lain dipikirannya kecuali bagaimana melaksanakan kewajibannya dengan

baik. WM berusaha untuk memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan

sesuai dengan aturan, dan dapat menempuh prosedur dengan baik. Sementara

BGD juga berusaha untuk memberikan pelayanan yang baik ketika WM

Page 70: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

212

memenuhi semua ketentuan yang berlaku. Jadi pelaku interaksi masing-masing

ingin menerapkan peraturan dengan baik. Kendati demikian, ada saat-saat

tertentu WM tidak dapat memenuhi persyaratan tertentu, namun tetap dicarikan

jalan keluarnya oleh BGD. Disini peran BGD dalam mengambil diskresi sangat

penting terutama agar warga tidak terkendala dalam memperoleh layanan.

Misalnya, ketika suatu waktu ada seorang WM yang ingin mengambil kartu SIM-

nya yang telah jadi, namun WM tersebut tidak membawa bukti pembayaran biaya

administrasi sebagai persyaratan yang harus diperlihatkan ketika ingin

mengambil kartu SIM. BGD mengambil diskresi dengan meminta kartu identitas

lain seperti KTP dari WM, sekedar untuk membuktikan bahwa dirinya tidak salah

memberi SIM.

Dalam prakteknya, perilaku melayani ini kelihatan semua berlangsung

sangat wajar. Ketika warga harus antri, maka dia ikut antri dengan sabar. Begitu

pula dari pihak BGD, dia berusaha bersikap jujur dan adil terhadap semua warga

yang dilayani. Dia melayani sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.

Perilaku melayani seperti ini dapat ditemukan pada loket 2, 8, dan 9. Dari hasil

pengamatan penulis, petugas pada loket 2, nampak menunjukkan perllaku

melayani masyarakat dengan baik. Dimulai dengan menyapa pemohon dengan

ramah, dan memberikan pelayanan yang sepantasnya kepada para pemohon.

Begitu pula pada loket 8 (loket pengambilan gambar atau foto), disini para

pemohon telah memperoleh pelayanan yang sebenarnya. Pengambilan gambar

atau foto dilaksanakan sesuai dengan nomor urut atau antrian berkas yang

masuk. Setiap pemohon antri didepan pintu masuk untuk dilayani dengan baik

dan cepat. Dalam pengamatan partisipatif yang penulis lakukan, pada pelayanan

yang satu ini penulis benar-benar merasa terlayani dengan baik dan tidak perlu

Page 71: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

213

menunggu lama karena semuanya dilakukan sesuai antrian. Pemandangan

disini sangat berbeda dengan pengalaman penulis pada loket-loket sebelumnya

yang sangat red-tape.

5.2.3.2 Perilaku Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu

Peilaku memperlakukan khusus korps tertentu, seperti tentara, anggota

DPRD, dan wartawan merupakan perilaku yang sempat diamati dalam

penyelenggaraan pelayanan SIM ini, meskipun frekuensinya sangat sedikit.

Perilaku seperti ini diwujudkan dengan tidak mewajibkan para anggota korps

tertentu seperti disebutkan di atas untuk mengikuti tes terutama tes praktek

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh SIM.

Dampak dari perilaku memperlakukan khusus korps tertentu ini, dapat

menimbulkan rasa ketidakadilan bagi warga lainnya, karena ternyata prosedur

yang ada bisa dieliminasi manakala yang datang itu adalah orang-orang

”khusus”. Memperlakukan khusus seperti ini dinilai sebagai bentuk perilaku yang

bersifat diskriminasi dalam pelayanan publik, sehingga tidak dapat memenuhi

kriteria sebagai pelayanan yang berkualitas, dimana salah satu unsurnya adalah

keadilan (equity) atau fairness, yakni sejauhmana pelayanan yang diterima oleh

warga masyarakat dianggap adil bagi semua.

Sebagai contoh, dalam pengamatan partisipatif yang dilakukan oleh

penulis, saat itu penulis sedang mengikuti ujian tes teori bersama serombongan

anggota Tentara yang berjumlah 11 orang dari Kostrad Kariango yang mengurus

SIM C, namun dari hasil tes teori ternyata hanya 3 orang yang memenuhi

standar kelulusan yaitu minimal jumlah jawaban yang benar adalah 18 dari 30

soal. Setelah salah seorang dari anggota yang tidak lulus meminta untuk

Page 72: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

214

diluluskan karena alasan jarak antara kantornya dengan Satlantas yang sangat

jauh, petugas loket tes teori akhirnya menerima permintaan tentara tersebut dan

memberikan keterangan lulus teori sebagai persyaratan untuk prosedur

selanjutnya yaitu tes praktek. Namun pada loket tes praktek, rupanya

rombongan tentara tersebut tidak diwajibkan mengikuti tes praktek. Mereka

langsung diberi keterangan lulus tes praktek oleh petugas. Sementara penulis

diperlakukan lain, yaitu harus mengikuti tes praktek. Mendapat perlakuan tidak

adil seperti itu, penulis sempat protes. Alasan yang dikemukakan petugas adalah

bahwa tentara tadi telah mengikuti praktek di Kostrad Kariango, namun waktu itu

mereka belum diberikan SIM. Rupanya alasan yang dikemukakan oleh petugas

loket praktek berbohong, untuk menutupi perlakuan tidak adil yang baru saja

dilakukannya terhadap penulis. Terbukti setelah penulis sempat mewawancara

salah seorang anggota tentara untuk mengecek kebenaran pernyataan petugas

tadi, yang memang nampak tidak masuk akal, karena kalau sudah tes kenapa

belum diberikan SIMnya. Ternyata dari pengakuan tentara tadi mengatakan

bahwa memang benar pernah diadakan tes SIM di kesatuannya, namun waktu

itu, dia bersama temannya sedang mengikuti pendidikan di Bandung sehingga

belum sempat mengurus SIM. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pengurusan

SIM C sebenarnya merupakan hal yang tidak perlu mereka lakukan, karena

sepeda motor saja dia tidak punya, dan bahkan menurut pengakuannya dia juga

tidak bisa mengendarai sepeda motor. Tetapi karena pimpinannya mewajibkan

semua anggota tentara wajib memiliki SIM maka ia pun terpaksa ke Satlantas

Polwiltabes Makassar untuk mengurus SIM C.

Perlakuan khusus yang lain yang ditemukan di lapangan adalah ketika

seorang anggota wartawan yang bernama Bd (inisial) yang nota bene memiliki

Page 73: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

215

hubungan baik dengan Kasatlantas karena sering meliput kegiatan Kasatlantas.

Dari pengakuan wartawan tersebut, ia tidak dikenakan biaya apapun untuk

mengurus SIM. Ia tinggal difoto dan dapat SIM.

Jika dianalisis lebih jauh, perlakuan khusus yang diberikan BGD dalam

pelayanan SIM adalah semata-mata karena BGD merasa bahwa warga yang

datang itu memiliki kelebihan khusus dari yang lain, misalnya terhadap anggota

tentara, dia diperlakukan khusus oleh BGD karena ada keeratan hubungan

antara lembaga kepolisian dan tentara yang sebelumnya memang pernah

menyatu yaitu ABRI. Namun belakangan kedua lembaga ini dipisahkan karena

dianggap memiliki tugas yang berbeda dengan dikeluarkannya Peraturan

Presiden Nomor 89 Tahun 2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000

tentang Peran TNI dan Polri. Fungsi TNI lebih kepada pertahanan keamanan

sedangkan fungsi Polri sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, dan pemberian perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat.

Atau boleh jadi justru sebaliknya, dalam realitas sehari-hari kedua

lembaga ini seringkali menjadi sparring partner dalam adu kekuatan, sekalipun

pemicunya hanya hal-hal yang sebenarnya sepele. Dengan demikian, perlakuan

khusus yang diberikan kepada anggota TNI dalam pelayanan SIM ini adalah

sebagai upaya untuk memperbaiki dan menjaga hubungan kedua lembaga

keamanan ini. Hasil interpretasi penulis mengatakan bahwa ada kesan BGD

yang melayani oknum angota TNI yang mengurus SIM berusaha memberikan

pelayanan yang “sebaik-baiknya” meskipun harus melanggar prosedur yang ada,

demi menjaga hubungan keduanya.

Page 74: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

216

Sedangkan terhadap anggota wartawan lebih kepada keinginan BGD

untuk membelenggu jemari wartawan agar tidak menuliskan sisi negatif dalam

pelayanan SIM, sehingga praktek-praktek yang berlangsung dalam pengurusan

SIM selama ini dapat terus berlanjut. Demikian pula halnya terhadap anggota

dewan, mereka diperlakukan khusus boleh jadi karena anggota dewan adalah

lembaga wakil rakyat yang seharusnya mengkritisi praktek-praktek yang

merugikan masyarakat yang diwakilinya. Dengan perlakuan khusus seperti itu,

maka setidaknya dia merasa berutang budi terhadap BGD, sehingga terkesan

menutup mata atas kejadian yang telah berlangsung dalam pelayanan SIM

selama ini. Dengan demikian, maka perlakuan khusus ini dapat menguntungkan

kedua belah pihak. Dipihak korps tertentu (anggota TNI, Wartawan, anggota

DPRD), mereka mendapatkan kemudahan dalam memperoleh SIM, di pihak

BGD mereka dapat tetap memperoleh keuntungan pribadi dari praktek-praktek

pelayanan yang telah membudaya dalam pelayanan SIM. Jadi ada semacam

pertukaran di kedua belah pihak yang berinteraksi. Dalam teori pertukaran,

kedua pihak yang berinteraksi masing-masing memperoleh keuntungan.

5.2.3.3 Perilaku Menyogok

Perilaku menyogok adalah merupakan salah satu bentuk perilaku negatif

yang dapat mengaburkan peraturan dan prosedur pelayanan. Perilaku

menyogok berkaitan erat dengan perilaku mencari gampang. Seorang warga

yang ingin cepat memperoleh SIM biasanya berani menyogok petugas yang

melayaninya. Meskipun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang khas.

Perilaku mencari gampang biasanya dilakukan oleh warga pada awal proses

pengurusan SIM, yakni ketika pertama kali berhadapan dengan petugas. Dan

Page 75: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

217

biasanya perilaku mencari gampang diprakarsai oleh warga masyarakat yang

langsung mencari petugas yang dapat diajak bekerjasama. Jadi pada dasarnya

warga masyarakat yang berperilaku mencari gampang tidak pernah berusaha

untuk mengurus SIM sendiri. Sedangkan perilaku menyogok biasanya dilakukan

oleh warga pada saat proses pengurusan SIM berlangsung. Artinya, sebenarnya

ada usaha untuk mengurus SIM namun karena terkendala oleh prosedur yang

berbelit-belit dan sangat sulit, hingga akhirnya warga masyarakat mencari

gampang dengan menyogok petugas. Sementara petugas sebenarnya juga

menunggu untuk disogok.

Berdasarkan analisis penulis perilaku menyogok ini juga merupakan

dampak dari budaya yang berusaha dibangun dalam pengurusan SIM ini. Lagi-

lagi ujian praktek yang menjadi kendala. Kendatipun warga kota telah merasa

sangat mahir mengendari sepeda motor, namun apabila berhadapan dengan tes

praktek mereka sangat sulit melaluinya. Tes praktek seakan-akan di desain

sedemikian rupa agar warga sulit untuk lulus. Dari pengamatan penulis, tes yang

dilalui harus melalui beberapa rintangan dengan jarak kurang lebih dari dua

meter (hampir sama dengan panjang sepeda motor). Ini nampaknya mustahil

dilalui oleh orang yang tidak terbiasa dengan kondisi semacam itu. Padahal jika

di jalan raya, kondisi jalan yang harus dilalui tidak seperti itu. Dan anehnya,

mengapa tes dibuat sedemikian rupa, bukankah hal tersebut adalah hal yang

tidak masuk akal. Dalam kenyataannya, warga yang mengendarai sepeda motor

di jalan raya tidak pernah di larang untuk menurunkan kakinya jika

keseimbangannya kurang terjaga agar tidak terjatuh dari sepeda motornya. Dan

mengapa hal tersebut di larang pada tes praktek, dengan kondisi jarak rintangan

yang sangat sempit, mereka kemudian di larang untuk menurunkan kaki ke

Page 76: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

218

tanah. Bukankah hal yang demikian adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan

sekali lagi penulis menganggapnya sebagai ’jebakan’?.

Dalam prakteknya, besarnya uang yang diberikan oleh WM untuk

menyogok BGD biasanya ditentukan sendiri oleh warga sesuai dengan

kemampuannya. Berbeda dengan uang yang harus dikeluarkan oleh warga

ketika berhadap dengan BGD yang berperilaku sebagai calo. Pada bentuk

perilaku sebagai calo tersebut, uang yang harus dikeluarkan oleh warga telah

menjadi kesepakatan tidak tertulis dari para BGD yakni sebesar Rp 150.000,-

untuk SIM C dan Rp 250.000,- untuk SIM A.

Dari segi waktu, sebenarnya warga diuntungkan dengan perilaku

menyogok ini. Dengan menyogok petugas, maka warga yang mengalami

kendala dalam prosedur pelayanan akan mendapatkan pelayanan yang cepat.

Uang sogokan diberikan pada saat warga menghadapi kesulitan dalam

menempuh prosedur pelayanan. Akan tetapi jika dilihat dari segi biaya, maka

wargalah yang dirugikan. Meskipun demikian, kerugian dari segi biaya masih

lebih sedikit jika warga menyogok petugas dibandingkan dengan warga yang

mengurus SIM melalui calo.

Dengan demikian, maka penulis berkesimpulan bahwa sekalipun warga

dirugikan dari segi biaya namun warga diuntungkan dari segi waktu dan

psikologis. Dari segi waktu, WM dapat segera memperoleh ”pelayanan” yang

baik ketika telah menyogok BGD. Dari segi psikologis, dengan menyogok BGD,

maka WM dapat keluar dari masalah yang dihadapinya, itu berarti bahwa dia

tidak perlu antri terlalu lama dan bisa segera memperolah SIM yang

dibutuhkannya.

Page 77: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

219

Meskipun perilaku ini cenderung menguntungkan kedua aktor yang

berinteraksi (mutual benefit), namun dari segi kelembagaan maka perilaku ini

dapat merusak citra lembaga. Dimata masyarakat, kredibilitasnya akan turun.

Masyarakat akan dengan mudah menilai bahwa birokrat yang ada pada lembaga

tersebut adalah birokrat yang mudah disogok, tidak memiliki integritas, dan

berbagai stigma negatif lainnya.

Page 78: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

220

Tabel 5.3 Karakteristik dari Masing-masing Perilaku Diferensial

No

BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL

KARAKTERISTIK

NILAI POSITIF DAN NEGATIF DI LIHAT DARI SISI

BGD WM LEMBAGA

1. Superior BGD menerapkan aturan dan prosedur secara ketat.

Ketika WM berani menyogok, maka aturan yang

tadinya ketat menjadi longgar bahkan dieliminasi.

Besarnya sogokan tergantung WM.

Terjadi pada saat pelayanan berlangsung

Biasanya terjadi pada tes praktek mengendarai

Positif:

Peluang dapat uang

Negatif:

Tidak mampu menjadi

pelayan yang baik.

Positif:

Biasanya tidak perlu

mengeluarkan biaya lebih untuk

pelayanan.

Negaitif:

Warga Tertekan,

urusan terhambat

Biaya untuk transport bisa

menjadi tinggi.

Negatif:

karena tidak mampu

memberikan pelayanan yang

baik.

Peraturan/prosedur

dijalankan dengan sangat

kaku.

Dari segi courtacy rendah.

2. Mengabaikan BGD sibuk melayani atau mengerjakan berkas warga

yang dinilainya memberi keuntungan peribadi.

WM yang diperlakukan seperti ini biasanya yang tidak

ingin memberi uang lebih.

Semua prosedur harus dilewati oleh WM.

Aturan diterapkan dengan ketat

Terjadi ketika pelayanan sedang berlangsung

Jika WM tidak berusaha mendesak atau mencari

kenalan untuk membantu maka berkasnya tidak akan

diproses.

Positif:

Dpt melakukan tugas

lain yg bernilai uang.

Negatif:

Bukan pelayan yang

baik.

Positif:

Warga mengikuti prosedur

yang ada.

Biaya sesuai standar

Negatif:

Pelayanan tertunda

Tertekan secara psikologis,

mendongkol.

Biaya lain-lain bisa

membengkak.

Tidak dapat mengerjakan

pekerjaan lain.

Negatif:

karena dianggap tidak dapat

memberikan pelayanan

secara adil.

Jaminan akan kepastian

waktu tidak ada.

Citra jelek

3.

Sebagai Calo

Memanfaatkan warga yang ingin memperoleh SIM

dengan cara gampang

Besarnya uang yang diminta telah menjadi standar

yang tidak tertulis dan ditentukan oleh BGD

WM memperoleh SIM tanpa prosedur resmi.

BGD yang memproses berkas warga termasuk yang

menjawab soal ujian teori

Ujian praktek tidak dilakukan

BGD calo ini mondar-mandir di luar ruangan.

Negosiasi harga terjadi pada awal pelayanan

Positif:

Mendapatkan uang

ekstra.

Negatif:

Integritas rendah

Positif:

Urusan lancar

Tidak tertekan

Negatif:

Biaya tinggi.

Memiliki andil memperburuk

pelayanan

Negatif:

citra lembaga menjadi jelek.

Warga akan menilai pela-

yanan cepat jika lewat calo”

Kepercayaan masyarakat

menjadi rendah.

Tidak ada jaminan keaman-

an dan kenyamanan dlm

pelayanan

Prosedur dilanggar

Page 79: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

221

No

BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL

KARAKTERISTIK

NILAI POSITIF DAN NEGATIF DI LIHAT DARI SISI

BGD WM LEMBAGA

4. Mempersulit Biasanya dilakukan terhadap warga yang

memperpanjang SIM, dan lewat dari batas untuk tidak

ikut tes, meskipun hanya 2 hari.

Dengan dalih menerapkan aturan dengan baik, BGD

mempersulit WM untuk mendapatkan keuntungan.

Ketika disogok oleh WM, maka aturan kemudian

dilupakan.

Besarnya uang sogokan tergantung WM.

Terjadi ketika pelayanan berlangsung, dan terutama

pada tes praktek.

Positif:

Peluang mendapatkan

uang.

Negatif:

Bukan pelayan yang

baik.

Negatif:

Rugi waktu

Tertekan scr psikologis,

mendongkol.

Kemungkinan biaya tinggi.

Negatif:

karena menerapkan

peraturan secara tidak

rasional.

Tidak mampu memberikan

pelayanan yang sesuai

dengan kebutuhan

masyarakat.

5 Mogok WM ingin memperoleh SIM melalui prosedur resmi

Terkendala oleh prosedur yang sangat ketat dan kaku,

yang sebenarnya tidak sesuai dengan kondiri ril di jalan

raya.

WM putus asa menghadapi perilaku superior dari

petugas

Pelayanan menjadi beku, karena WM tidak lagi ingin

mengurus SIM melalui prosedur. Ketika datang

mengurus kedua kalinya, warga melalui calo.

Positif:

Merasa diri hebat, telah

menerapkan aturan

meskipun dengan

sangat kaku.

Negatif:

Warga kehilangan uang

percuma

Tidak memperoleh SIM.

Waktu terbuang habis.

Secara psikologis warga

trauma untuk mengikuti tes

praktek.

Negatif:

tidak mampu memberikan

pelayanan dengan baik.

Pelayanan menjadi beku, shg

kewenangan sebagai penyedia

layanan SIM tidak dpt

dilaksanakan dengan baik.

6 Menolak

Membayar

BGD berusaha meminta uang dari WM yang telah

memenuhi persyaratan dan telah lulus tes.

Dilakukan oleh WM yang merasa dirinya mampu

mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan dengan

baik.

BGD yang meminta uang biasanya juga tidak memaksa

apabila warga menolak.

Terjadi pada saat pelayanan berlangsung.

Negatif:

Tertekan

kemungkinan kena

sanksi.

Takut untuk

melakukan hal

serupa.

.

Positif:

Memperoleh SIM dengan

biaya standar,

prosedur sesuai standar.

Turut memberi andil untuk

perbaikan pelayanan publik.

Positif:

Pelayanan bisa lebih baik jika

banyak warga berperilaku

seperti ini.

7. Mencari

Gampang

WM ingin memperoleh pelayanan dengan jalan pintas

dengan mencari calo

Besarnya biaya yang dibayar ditentukan oleh BGD.

WM memperoleh SIM tanpa melalui prosedur resmi.

BGD hanya membayar petugas, lalu menunggu antrian

untuk foto SIM.

Biasanya dilakukan oleh WM yang sibuk

Transaksi dilakukan diawal pelayanan

Positif:

Mudah memperoleh

uang.

Tidak perlu repot

mencari WM yang ingin

berkolusi.

Positif: Urusan lancar

Negatif:

Biaya tinggi

Memiliki andil memperburuk

pelayanan, krn akan

menghambat urusan WM

yang tdk melalui calo

Negatif:

Merugikan lembaga karena

prosedur tidak dilaksanakan

dengan baik, merusak citra

lembaga, pemicu munculnya

calo-calo dalam pelayanan

Publik.

Page 80: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

222

No

BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL

KARAKTERISTIK

NILAI POSITIF DAN NEGATIF DI LIHAT DARI SISI

BGD WM LEMBAGA 8. Melayani BGD cenderung memaknai pelayanan sebagai

pelaksanaan aturan

Berorientasi kepada masyarakat

WM dilayani dengan baik

Kalaupun ada yang tidak memenuhi persyaratan, tetapi

dianggap tidak prinsip maka BGD membuat diskresi

yang dapat memudahkan WM.

Persyaratan dan prosedur cenderung ditaati

Terjadi pada saat pelayanan berlangsung

Positif:

Ada kepuasan batin

karena dapat melayani

dengan baik.

Positif:

Memperoleh pelayan tanpa

harus mengeluarkan uang lebih.

Positif:

Mengutungkan lembaga, karena

citra lembaga akan baik dimata

masyarakat. Prosedur dan

persyaratan dapat diterapkan

dengan baik.

Ada unsur pendidikan dalam

masyarakat.

9. Memperlakukan

Khusus Korps

Tertentu

BGD melayani dengan baik WM yang berasal dari

korps tertentu seperti TNI, Wartawan dan Anggota

Dewan.

Prosedur dan persyaratan dinomorduakan.

Ada nilai pertukaran dari pelayanan.

Terjadi pada saat pelayanan berlangsung.

Positif:

Menanam budi baik

pada korps tertentu

Dapat

melanggengkan

praktek-praktek

negatif yang ada

selama ini

Positif:

Urusan lancar.

Biaya rendah

Negatifnya:

Tidak bisa lagi kritis terhadap

pelayanan yang dianggap jelek.

Integritas rendah.

Negatif:

Merugikan lembaga karena

dinilai tidak dapat berlaku

adil.

Masyarakat merasa

diperlakukan diskriminatif.

Peraturan dan Prosedur

cenderung dinomorduakan,

Negara cenderung dirugikan

karena hilangnya

pendapatan (PNBP).

10.. Menyogok WM yang menyogok karena berusaha mengikuti

prosedur, namun ketika menghadapi kendala dia

kemudian menyogok petugas.

Aturan dan prosedur tetap dilaksanakan namun tidak

terlaku ketat. Misalnya tetap mengikuti tes praktek, jika

tidak lulus, WM tetap diberi rekomendasi bahwa telah

lulus.

Besarnya uang sogokan tergantung WM.

Terjadi pada saat pelayanan berlangsung

Positif:

Memperoleh uang

ekstra.

Negatifnya:

Integritas rendah

Positif:

Urusan lancar

Negatifnya:

Biaya tinggi, turut memiliki andil

merusak sistem.

Negatif:

Merugikan lembaga dan

juga warga yang lainnya.

Perilaku menyogok untuk

mendapatkan pelayanan

dapat berakibat pada

kerawanan lalu-lintas, jika

WM yang menyogok tidak

memiliki keterampilan.

Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan, 2007.

Page 81: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

223

5.3 Aktor Dominan Penentu Perilaku Pelayanan

Upaya untuk menentukan siapa aktor dominan penentu perilaku pelayanan,

dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: terlebih dahulu menentukan aktor

dominan penentu dari setiap bentuk perilaku diferensial, dan kemudian

menjumlahkan berapa bentuk perilaku diferensial yang didominasi oleh masing-

masing aktor, hasil penjumlahan tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dalam

menentukan siapa aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan.

Berikut ini akan diuraikan satu per satu PDf untuk menentukan siapa aktor

dominan dari masing-masing bentuk PDf tersebut.

5.3.1 Perilaku Superior

Perilaku superior merupakan perwujudan dari adanya perbedaan power

(kekuasaan) antara BGD dan WM. Dalam pengamatan lapangan, BGD yang

cenderung berperilaku superior adalah mereka yang merasa dirinya memiliki

kewenangan dalam memberikan rekomendasi apakah seorang WM berhak

memperoleh SIM atau tidak. Dari sepuluh loket dalam pelayanan SIM, BGD yang

cenderung berperilaku superior adalah loket 6 yakni petugas loket ujian praktek.

Menurut interpretasi penulis, kecenderungan perilaku superior yang diambil oleh

petugas loket ujian praktek dipicu oleh beberapa faktor, antara lain adalah pertama,

adanya aturan untuk mengikuti tes praktek namun tidak dijelaskan secara rinci

bagaimana ujian praktek tersebut dilaksanakan di lapangan. Dalam kondisi seperti

ini, BGD memiliki kewenangan untuk mengambil diskresi dalam menentukan tata

cara secara detail dari setiap WM yang akan mengikuti ujian praktek. Kedua, BGD

merasa dirinya sebagai pemegang otoritas untuk menentukan apakah seseorang

lulus atau tidak dalam mengikuti ujian praktek. Tanpa ada rekomendasi lulus dari

Page 82: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

224

petugas ujian praktek ini, seorang WM tidak dapat meneruskan proses untuk

memperoleh SIM yang dibutuhkannya.

Berikut ini diuraikan dipaparkan hasil pengamatan lapangan yang dapat

menggambarkan bagaimana perilaku superior yang dilakukan oleh BGD terhadap

seorang WM yang mengikuti ujian praktek:

”Saya ingin menjelaskan kepada Saudara bagaimana ujian yang harus anda lalui. Pertama-tama anda harus melalui semua tiang rintangan ini (sambil menunjuk deretan tiang rintangan yang berjumlah 8 buah, penulis). Anda harus melewatinya secara ziq-zaq, dimana jarak antara satu tiang ini adalah kurang lebih 2 meter. Anda tidak boleh menurunkan kaki. Kalau anda menurunkan kaki, saya akan membunyikan sempritan, berarti anda harus mengulangi dari tiang pertama. Jika dua kali anda gagal maka anda tidak punya kesempatan lagi. Apabila anda berhasil melewati rintangan, anda diwajibkan melanjutkan mengendarai motor melalui lingkaran yang berbentuk angka delapan, dan sekali lagi Anda tidak boleh menurunkan kaki. Setelah itu anda ke lokasi di sebelahnya untuk menaiki tanjakan. Dan pada tanjakan anda diwajibkan untuk berhenti dan menurunkan kaki.” (hasil pengamatan lapangan tanggal 25 April 2007).

Setelah petugas selesai menjelaskan peraturan ujian, petugas kemudian

memberi contoh, bagaimana harus mengendarai motor melewati rintangan.

Nampak bahwa petugas sangat ahli mengendarai kendaraannya tanpa menurunkan

kakinya. ”Sekarang saya persilahkan Anda untuk mengendarai motor anda

mengikuti jalur yang saya jelaskan tadi.” kata petugas kepada Ridwan:

”Ridwan mulai menghidupkan motornya, dan perlahan-lahan menjalankan sepeda motornya mendekati tiang rintangan. Kecepatan sepeda motor berkisar 10 – 20 km per jam. Ridwan mulai melewati satu per satu tiang rintangan. Dia nampaknya mahir mengendarai motor melewati rintangan dengan baik tanpa menurunkan kakinya. Tetapi pada rintangan terakhir nampaknya Ridwan kehilangan keseimbangan sehingga harus menurunkan kakinya. Petugas dengan cepat membunyikan sempritan sebagai tanda bahwa Ridwan harus kembali dan memulai dari awal lagi. Setelah mencoba sekali lagi, kejadian yang sama terjadi, yakni pada rintangan terakhir Ridwan kembali menurunkan kakinya. Untuk kedua kalinya petugas meniup peluitnya, kemudian memanggil Ridwan ke posisi semula. Petugas lalu berkata, ”Anda kembali lagi besok, atau kapan-kapan ada waktu untuk mengikuti tes ulang”. (hasil pengamatan lapangan tanggal 25 April 2007).

Page 83: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

225

Hasil pengamatan lapangan di atas menunjukkan bagaimana perilaku

superior itu berlangsung, dan nampak dengan jelas bahwa BGD sangat

mendominasi PDf superior. Kenapa dikatakan mendominasi? Karena WM tidak

mampu berbuat apa-apa kecuali hanya pasrah dan pulang tanpa berkomentar

sedikit pun. Padahal dari pengamatan penulis, WM yang mengikuti tes praktek

tersebut mahir mengendarai, hanya saja karena tidak terbiasa dengan medan

seperti itu sehingga sepeda motornya agak oleng dan terpaksa harus menurunkan

satu kakinya. Terlebih lagi karena kecepatan sepeda motornya yang sangat

lamban, sehingga memang sangat sulit untuk dikuasai. Untuk jenis sepeda motor

merek Honda, kecepatan dengan gigi dua, kondisinya akan lompat-lompat, sehingga

amat sulit untuk berada dalam kondisi seimbang ketika akan membuat ziq-zaq. Dan

hal ini juga diakui oleh petugas ujian praktek, bahwa dalam kecepatan seperti ini

akan sulit bagi WM untuk mengikuti ujian ziq-zaq.

Pada saat WM tidak mampu melalui ujian yang sangat berat tersebut, pada

saat yang bersamaan BGD tampil dengan perilaku superiornya, dan seakan-akan

ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang berkuasa disini, sementara WM harus

menuruti apa yang diperintahkannya. Hal ini dapat terlihat dari perilaku BGD yang

secepat kilat meniup peluitnya ketika WM menurunkan kaki untuk menjaga

keseimbangan, yang berarti bahwa WM tersebut dinyatakan tidak lulus.

5.3.2 Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant)

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perilaku mengabaikan

merupakan salah bentuk perilaku yang dapat merugikan WM dalam pelayanan

publik. Seorang BGD yang cenderung memaknai pelayanan sebagai sarana untuk

Page 84: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

226

mencari keuntungan pribadi memiliki kecenderungan untuk mengabaikan WM yang

tidak memberikan uang lebih terhadap petugas.

Berikut ini akan dipaparkan hasil pengamatan lapangan dan hasil wawancara

dengan seorang WM yang mengurus SIM yang mengalami perilaku mengabaikan

ketika berada pada loket 4:

”Nurdin, adalah nama WM yang mengalami perilaku mengabaikan petugas loket 4. Setelah Nurdin membayar biaya PNBP dan mengisi formulir, ia lalu menyerahkan berkas ke petugas loket 3 untuk didaftar, setelah mendaftar ia kemudian diminta untuk menyerahkan berkasnya ke petugas loket 4 untuk input data. Pada loket ini rupanya setelah menunggu sekitar 30 menit, Nurdin belum juga dipanggil namanya. Karena merasa tidak sabar lagi, ia lalu bertanya ke petugas loket. ”Bu, bagaimana punya saya, dari tadi saya menunggu kok belum disebut juga nama saya.” Petugas yang ada di dalam kemudian menjawab: ”Sabar ya pak, ini banyak yang saya tangani.” Jawaban petugas tadi rupanya tidak memuaskan Nurdin, karena sebelumnya beberapa orang warga yang menurutnya di belakang dia, tetapi kenyataannya lebih dahulu dilayani (hasil pengamatan lapangan tanggal 8 Mei 2007). Setelah Nurdin kembali duduk dan mencoba bersabar, pengamat yang telah memperhatikan dari tadi, kemudian berdiri menghampiri Nurdin. Kenapa pak? Tanya pengamat. ”Ini bu, saya rasanya sudah dari tadi memasukkan berkas saya, tapi belum juga diproses. Malahan ada orang yang baru saya lihat memasukkan berkasnya, tapi sudah dipanggil namanya. Itu kan namanya tidak adil. ”oh begitu pak?” pengamat berusaha mengerti perasaannya. (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007). Kutipan hasil pengamatan lapangan dan wawancara di atas menunjukkan

bagaimana perilaku mengabaikan dilakukan oleh BGD terhadap WM yang mengurus

SIM. Kutipan hasil wawancara berikut ini dapat menjelaskan mengapa Nurdin tadi

memperoleh perillaku mengabaikan:

”Apakah Bapak tidak memiliki kenalan di sini?”tanya pengamat ”Tidak bu,”jawabnya singkat ”Seandainya Bapak memiliki kenalan mungkin dapat membantu Bapak, saya beberapa waktu yang lalu juga mengurus SIM dan mendapatkan perlakuan yang sama, tetapi karena saya meminta bantuan keluarga yang kebetulan kenal baik dengan salah satu petugas di sini, maka petugas tersebut membantu mencarikan berkas saya dan kemudian diselesaikan oleh petugas tersebut. Waktu itu sebenarnya tinggal cek data.” pengamat mencoba

Page 85: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

227

menjelaskan kepada Nurdin bagaimana upaya pengamat untuk menyelesaikan masalah ketika menghadapi perlakuan yang sama. ”Saya ini tidak tahu mau dibantu oleh siapa, satu pun petugas di sini tidak saya kenal. Jawabnya lagi. ”Kalau begitu caranya, kasian mereka yang tidak punya kenalan atau keluarga, saya ini sudah hampir 2 jam menunggu, apa ya bisa berkas saya selesai hari ini kalau tidak dibantu?, lanjutnya lagi. ”Coba cek lagi kepada petugas pak”, usul pengamat. Nurdin kemudian berdiri dari tempat duduknya, kemudian mencoba bertanya kepada petugas: “Bagaimana bu, apa sudah selesai berkas saya?” tanya Nurdin kepada petugas loket 4. (hasil pengamatan lapangan tanggal 8 Mei 2007) “Maaf pak, ini masih banyak yang saya kerjakan”, jawab petugas dengan nada sedikit agak keras. “Nurdin kemudian diam, lalu menghampiri pengamat, dia kemudian pamit pulang. Nanti saya datang besok bu. (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007). Hasil wawancara di atas, menunjukkan ketidakberdayaan seorang WM

yang mengurus SIM. Hasil pengamatan lapangan memberikan fakta bahwa ketika

seorang WM mengurus SIM dengan biaya standar sesuai aturan, dan tidak memiliki

kenalan yang dapat membantunya, maka kemungkinan besar WM tersebut akan

mengalami perilaku mengabaikan. Dalam kasus seperti ini, BGD yang melayani

WM terlihat sangat mendominasi jalannya interaksi.

5.3.3 Perilaku Sebagai Calo

Fenomena adanya petugas sebagai calo dapat memberikan informasi bahwa

pelayanan publik yang ada pada pelayanan SIM tidak memuaskan. Secara logika

dapat dibenarkan bahwa seorang mencari calo untuk mendapatkan produk

pelayanan yang dibutuhkannya apabila WM melihat bahwa pelayanan yang ada

tidak memuaskan. Apakah karena WM pernah mengalami sebelumnya, ataukah

karena berdasarkan informasi dari WM yang telah mengalami hambatan dalam

pengurusan SIM.

Page 86: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

228

Ketika seorang WM datang ke Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar,

pada halaman gedung telah menunggu beberapa calo, ada yang berpakaian sipil

dan ada pula yang berpakaian seragam polisi. Biasanya calo-calo ini dengan cepat

menyapa setiap WM yang baru datang, seperti kutipan hasil pengamatan partisipatif

di bawah ini:

Dari hasil pengamatan partisipatif yang penulis lakukan, ketika pertama kali datang, pengamat langsung didatangi oleh seorang calo sipil, dan setelah mengetahui bahwa pengamat ingin mengurus SIM C, calo tadi menjelaskan bahwa pengamat terlebih dahulu harus memeriksakan kesehatan pada loket yang terletak di gedung sebelah yang jaraknya tidak jauh dari gedung pengurusan SIM. Mendapat penjelasan seperti itu, pengamat kemudian mengikuti saran calo tadi. Setelah pengamat memperoleh surat keterangan dokter sebagai salah satu persyaratan untuk mengurus SIM C, maka pengamat kemudian kembali ke lokasi semula untuk memulai pengurusan SIM. Beberapa calo yang mencoba membujuk pengamat, namun pengamat berkata bahwa ingin mengurus sendiri, pengamat kemudian lalu masuk ke ruangan untuk mengurus SIM (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007). Meskipun pengamat tidak mengurus SIM melalui calo, namun terdapat

beberapa kasus yang berhasil teramati di lapangan yang menunjukkan adanya

perilaku petugas sebagai calo, yang dapat penulis tuangkan dalam laporan ini.

Berikut ini akan dipaparkan hasil pengamatan lapangan bagaimana interaksi

antara BGD yang berperilaku sebagai calo dengan seorang WM yang ingin

mengurus SIM.

”Ada yang bisa dibantu pak? Tanya petugas calo ”Saya mau mengambil SIM C pak” Jawabnya singkat. ”Apa mau ikut tes atau diuruskan” kata petugas ”Saya mau diuruskan saja pak” jawab Burhanuddin (Hasil pengamatan lapangan tanggal 10 Mei 2007)

Setelah Burhanuddin melakukan transaksi dengan petugas yang berperilaku

sebagai calo, Burhanuddin kemudian mengambil sebuah kursi untuk menunggu

proses yang dilalui oleh petugas untuk menguruskan berkasnya. Pada kesempatan

Page 87: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

229

yang baik ini, penulis manfaatkan untuk mendekati warga tadi dan berusaha

mengorek keterangan dari yang bersangkutan:

Setelah berkenalan, dan berbincang-bincang seadanya, pengamat mencoba

mulai untuk mengorek keterangan dari WM yang mengurus SIM melalui calo:

“Mengapa Bapak mengurus SIM melalui calo petugas tadi?” tanya pengamat “Saya ini sangat sibuk Bu, saya tidak punya banyak waktu untuk mengurus

SIM, apalagi kalau mau ikut tes. Kata teman-teman saya yang mencoba mengurus sendiri justru urusannya jadi lama.” Jawab Burhanuddin.

“Berapa harga yang Bapak bayar tadi?” tanya pengamat ”Saya ini mau mengurus SIM C, kata petugas tadi biayanya seratus lima

puluh ribu rupiah”, jawab Burhanuddin ”Apakah ini pertama kali Bapak mengurus SIM C?, tanya pengamat ”Iya bu, sebenarnya sudah punya SIM A, waktu itu saya juga lewat calo, tapi

sekarang karena kondisi jalan raya yang sangat padat, saya membeli sepeda motor untuk memudahkan saya kalau mau kemana-mana,”jawabnya sedikit menjelaskan.

”Kalau begitu Bapak sudah terbiasa dengan calo?” tanya pengamat ”Iya bu biar urusan lancar, kalau tidak akan lebih rumit lagi”. Jawab

Burhanuddin lagi. ”Tapi apakah dengan melalui calo berarti Bapak harus membayar lebih

banyak? Tanya pengamat lebih lanjut ”Daripada sallo (makassar, lama) bu, bajikanggang kubayarami (lebih baik

saya bayar saja) petugas”. Jawab Burhanuddin.

Kutipan hasil wawancara di atas dapat menggambarkan bahwa WM yang

mengurus SIM melalui calo karena tidak ingin terhambart urusannya. Menurut WM

daripada urusan lama, lebih baik mengeluarkan uang lebih besar supaya urusannya

bisa cepat selesai.

Apa yang dikemukakan oleh warga tadi sebenarnya tidak perlu terjadi,

seandainya pelayanan yang ada dibuat sebaik dan semudah mungkin, sehingga

WM tidak perlu mengurus SIM melalui calo. Sekalipun WM merasa dimudahkan

memperoleh pelayanan yang dibutuhkannya, namun perilaku sebagai calo seperti ini

tidaklah dapat dibenarkan. Yang perlu diperhatikan oleh institusi adalah bagaimana

membuat pelayanan senyaman (comfort) mungkin sehingga WM antusias untuk

mengurus SIM sendiri tanpa melalui calo. Dengan demikian, maka dapat

Page 88: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

230

disimpulkan bahwa perilaku sebagai calo lebih didominasi oleh BGD, karena WM

sebenarnya hanya karena terpaksa sehingga mengambil jasa calo untuk mengurus

SIM.

5.3.4 Perilaku Mempersulit

Dalam kasus yang muncul dalam pelayanan SIM, perilaku mempersulit

sebenarnya lebih dipengaruhi oleh aturan yang sebenarnya dipersepsi oleh WM

sebagai sesuatu hal yang buruk. Sebagaimana dalam PP No. 44/1999 tentang SIM,

dengan mana WM yang ingin memperpanjang SIM tetapi telah lewat dari 2 (dua)

minggu maka wajib mengikuti ujian teori dan ujian praktek.

Namun kenyataannya, dalam hasil peneltian lapangan, bahkan ada juga WM

yang masa berlaku SIM nya belum lewat dari 2 (dua) minggu, tetapi juga tetap

diharuskan untuk mengikuti ujian teori dan ujian praktek. Berikut ini pengakuan

seorang WM yang mengurus perpanjangan SIM:

“Sekarang bu, semua orang yang ingin memperpanjang SIM harus mengikuti ujian teori dan ujian praktek. Padahal yang saya tahu bahwa memperpanjang SIM itu tidak perlu ikut tes, kecuali mereka yang lewat masa berlaku SIM lebih dari 2 (dua) minggu” (hasil wawancara dengan Rahman, tanggal 28 April 2007)

Fakta diatas menggambarkan bahwa adanya peraturan yang mewajibkan

setiap warga yang memperpanjang untuk mengikuti ujian teori dan ujian praktek

cenderung disalahgunakan oleh BGD. Meskipun dalam aturan hanya

mempersyaratkan mengikuti ujian bagi yang lewat dari 2 (dua) minggu, tetapi

kemudian aturan tersebut dimanfaatkan oleh BGD sebagai peluang untuk

memperoleh keuntungan pribadi.

Page 89: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

231

Salah satu faktor yang dapat menyebabkan BGD mengambil kebijakan

(diskresi) yang merugikan masyarakat seperti ini adalah karena kebijakan

sebagaimana yang diatur dalam PP No. 44/1999 tersebut tidak disosialisasikan

kepada WM, sehingga mereka yang tidak memahami dengan baik aturan dapat

diperlakukan ”seenaknya” oleh petugas. Dalam standar pelayanan SIM yang telah

dibuat, baik melalui leaflet maupun pada pengumuman yang dapat diakses oleh

WM, tak satu pun yang menyebutkan aturan tersebut, sehingga WM yang ingin

memperpanjang SIM tidak mengetahui dengan baik bagaimana prosedur yang harus

dilalui.

Dengan demikian, maka dalam contoh kasus mempersulit di atas, penulis

dapat berkesimpulan bahwa perilaku diferensial mempersulit ini didominasi oleh

BGD, posisi WM hanya pasrah terhadap apa yang dikatakan oleh BGD.

5.3.5 Perilaku Mogok

Tidak melanjutkan proses pengurusan SM (mogok) adalah merupakan

cerminan dari perilaku WM yang tidak berdaya. Tidak ada pilihan dan tidak ada

kemampuan untuk melakukan komplain, apa yang dikatakan oleh BGD tidak dapat

dibantah oleh WM. Perilaku mogok dalam prakteknya terjadi manakala WM tidak

mampu mengikuti prosedur dengan baik, artinya WM tidak dapat melulusi tes yang

dipersyaratkan kepadanya, yang menurut sebagian WM sangat terkesan mengada-

ada sehingga sangat sulit untuk dilulusi. Karena tidak mampu untuk melakukan

alternatif lain, seperti misalnya melakukan bargaining, maka WM cenderung

mengambil sikap putus asa, lantas tidak datang lagi untuk melanjutkan proses

pengurusan SIM-nya alias mogok.

Page 90: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

232

Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh fakta bahwa banyak WM yang tidak

lagi melanjutkan mengurus SIM ketika terkendala oleh ujian praktek yang tidak

mampu dilaluinya. Sebagaimana penuturan petugas loket 6 berikut ini:

”Di bawah meja saya ini bu banyak berkas warga yang tidak lulus (sambil menunjuk tumpukan map di bawah meja, yang tingginya kira-kira 20 cm), berkas ini ada yang sudah bertahun-tahun, ada yang sudah berbulan-bulan, tetapi orangnya tidak datang-datang. Ada juga 2 orang dari Unhas, kalau tidak salah dosen fakultas teknik, tapi sampai sekarang saya tunggu-tunggu belum juga datang” (hasil wawancara tanggal 24 April 2007). Cuplikan hasil wawancara di atas memberi informasi bahwa warga

masyarakat yang tidak mampu mengikuti ujian praktek tidak lagi berkeinginan untuk

melanjutkan mengurus SIM alias putus asa. Boleh jadi, kasus yang dialami seperti

yang dialami oleh Ridwan di atas (dalam contoh kasus perilaku superior). Meskipun

dalam kasat mata warga mampu mengendarai dengan baik sepeda motor, namun

karena hanya sedikit oleh dan menurunkan kaki, warga kemudian dinyatakan tidak

lulus. Dan ada hal yang menarik dari temuan ini, bahwa WM yang putus asa dalam

mengurus sendiri SIM, telah memperoleh SIM melalui jalan pintas (melalui calo).

Hal ini dilakukan karena WM yang memiliki sepeda motor wajib memiliki SIM. Jadi

sekali pun telah mogok, namun kemudian mereka tetap berupaya memperoleh SIM

dengan jalan pintas.

Sayangnya dalam penelitian ini, karena keterbatasan waktu penulis untuk

berada di lokasi penelitian, sehingga tidak dapat mengamati secara langsung proses

terjadinya perilaku mogok ini. Meskipun demikian, dari hasil wawancara dengan

petugas, penulis telah dapat membuat interpretasi terhadap apa yang terjadi

selanjutnya dari WM yang tidak mengurus lagi berkasnya untuk mendapatkan SIM.

Inilah salah satu kelemahan dalam penelitian ini, karena hanya yang melakukan

interaksi langsung yang berhasil diamati dan diwawancarai.

Page 91: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

233

Fakta diatas menunjukkan bahwa perilaku mogok, sekali pun dilakukan oleh

WM, namun sebenarnya yang mendominasi PDf ini adalah BGD. Karena adanya

perilaku superior misalnya, atau perilaku mempersulit dari BGD sehingga WM

kemudian mogok untuk mengurus SIM-nya. Jadi WM sangat dirugikan baik dari segi

waktu, biaya dan prikologis. Warga menghabiskan waktu, biaya, dan juga trauma

secara psikologis, namun akhirnya tidak memperoleh SIM yang dibutuhkannya.

5.3.6 Perilaku Menolak Membayar

Perilaku menolak membayar adalah termasuk perilaku yang dapat memberi

kontribusi bagi perbaikan terhadap kualitas pelayanan publik. Mengapa dikatakan

demikian? Karena hakekat dari perilaku menolak membayar ini adalah menolak

adanya kolusi atau permintaan dari BGD yang dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu

yang tidak sesuai dengan aturan. Meskipun dalam penamaannya agak sedikit

kurang elegan, namun pada dasarnya perilaku ini memiliki nilai positif, baik terhadap

WM pengguna jasa layanan maupun terhadap institusi penyedia layanan.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, perilaku menolak membayar ini

cenderung didominasi oleh WM. Mereka yang merasa dirinya mampu untuk

mengikuti semua prosedur dan dapat memenuhi persyaratan dengan baik untuk

memperoleh SIM, maka WM tidak merasa takut untuk menolak permintaan BGD

yang dinilainya diluar etika pelayanan yang sesungguhnya. Kutipan hasil

pengamatan lapangan berikut ini dapat menggambarkan bagaimana perilaku

menolak membayar dilakukan oleh WM terhadap BGD:

Setelah melewati semua prosedur yang telah ditetapkan, termasuk telah dinyatakan lulus ujian praktek, Ahmad dan petugas loket 6 masuk ke ruangan loket 6 tempat dimana petugas tadi berkantor.

”Adik saya nyatakan telah lulus meskipun tadi agak sedikit kurang sempurna dalam mengendarai. Jadi begini dek, saya minta pengertian adik

Page 92: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

234

untuk membayar biaya material. Terserah berapa ikhlasnya.” Kata petugas tadi.

”Saya tidak punya uang pak, saya ini mahasiswa. Uang makan saja dikirimkan oleh orang tua saya.” Jawab mahasiswa tadi.

”Masak sih ndak ada, dek, saya prihatin sama adik” kata petugas ”Lha memang ndak ada pak!. Jawab Ahmad agak sedikit mengeraskan

suaranya. Rupanya petugas tadi sudah dapat maklum dan memberikan berkasnya untuk ke loket selanjutnya. (hasil pengamatan lapangan pada tanggal 14 Mei 2007).

Ahmad adalah salah satu contoh WM yang tidak ingin menyerah begitu saja

terhadap perilaku BGD yang ingin memeras WM, dan nampak bahwa Ahmad dapat

menolak permintaan petugas, selain karena ia termasuk warga terpelajar, ia juga

merasa bahwa dirinya mampu memenuhi kewajibannya dengan baik. Apabila

mayoritas WM yang mengurus SIM dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh

Ahmad tadi, maka boleh jadi perilaku-perilaku yang menyimpang dalam pelayanan

publik bisa hilang dengan sendirinya, karena BGD juga akan berpikir dua kali untuk

melakukan perilaku semacam itu apabila banyak WM yang cerdas. Jadi ada

semacam perilaku sistem coba-coba saja dalam pelayanan publik. Apabila warga

diam saja atau menurut jika diperlakukan seenaknya atau tidak sesuai aturan, maka

kemungkinan BGD akan meneruskan perilaku seperti itu.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku menolak

membayar titik beratnya mengarah kepada WM dalam arti bahwa cenderung

menguntungkan WM.

5.3.7 Perilaku Mencari Gampang (Short Cut)

Perilaku mencari gampang muncul bukan tanpa sebab. Berdasarkan hasil

pengamatan lapangan, perilaku mencari gampang yang dilakukan oleh WM untuk

memperoleh SIM disebabkan oleh banyak hal. Dalam beberapa hasil wawancara

yang dilakukan diperoleh fakta bahwa mereka menempuh jalan pintas (short cut)

Page 93: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

235

yang tidak prosedural karena tidak memiliki waktu yang luang untuk mengurus SIM.

Namun menurut penulis, bukan itu sebenarnya yang menjadi faktor utama sehingga

WM berperilaku mencari gampang. Tetapi yang membuat warga merasa tidak

memiliki waktu luang adalah karena memang dalam pelayanan SIM prosedurnya

begitu berbelit-belit, ditambah lagi dengan aturan ujian praktek yang sangat

mengada-ada. Sehingga dengan demikian, secara psikis, sebelum seseorang

berhadapan dengan BGD, akan merasa ”frustrasi” terlebih dahulu. WM akan

membayangkan bagaimana harus mengikuti tes yang telah menjadi momok dalam

pelayanan SIM. Alasan yang mudah dikeluarkan oleh WM adalah masalah waktu.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa ada memang

beberapa WM karena kesibukannya yang luar biasa, sehingga tidak bisa mengurus

SIM sendiri. Dan kalau pun prosedurnya sederhana dan mudah, mungkin yang

bersangkutan juga tidak akan sempat untuk mengurus sendiri SIM.

Berikut ini salah satu contoh hasil wawancara dengan Basyir warga

Perumnas Antang yang mengurus SIM A.

”Lebih baik saya membayar petugas daripada saya harus menunggu antrian yang lama. Apalagi kalau harus mengikuti tes teori dan praktek yang menurut teman saya sangat susah untuk diikuti, sekalipun kita sudah biasa mengendarai mobil. Saya hanya mencari gampangnya saja Bu, karena urusan saya banyak.” (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).

Hasil wawancara di atas menggambarkan contoh perilaku mencari gampang

yang dilakukan oleh WM. Kata-kata ”saya hanya mencari gampangnya saja bu,

karena urusan saya banyak” menunjukkan sikap masa bodoh dari WM. Tidak ada

upaya yang lain yang dilakukan yang bisa membuat pelayanan lebih baik. Yang

penting dimata WM adalah bagaimana supaya urusan bisa lancar. Nampak bahwa

perilaku ini sangat didominasi oleh WM, karena ketika WM sudah berniat untuk

Page 94: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

236

memperoleh SIM dengan jalan pintas, maka dengan begitu mudah dia akan

memperoleh keinginannya.

5.3.8 Perilaku Melayani (Serving)

Idealnya dalam setiap pelayanan publik, perilaku yang dominan adalah

perilaku melayani. Namun dalam kenyataan lapangan, perilaku melayani

merupakan perilaku yang sangat langka kita temukan. BGD masih terbiasa dengan

perilaku yang ingin ”dilayani” oleh WM, dan bukan perilaku melayani. Meskipun

demikian, berdasarkan hasil penelitian lapangan, penulis juga berhasil mengamati

adanya perilaku melayani dalam pengurusan SIM, meskipun frekuensinya lebih

sedikit dibandingkan dengan perilaku menyimpang (malprosedur).

Salah satu contoh perilaku melayani yang dilakukan oleh petugas loket 8,

ketika penulis melakukan pengamatan partisipatif, penulis merasakan kepuasan

dalam pelayanan pada loket yang satu ini.

Setelah menungu giliran untuk difoto, salah seorang petugas yang ada di loket 8 memanggil pengamat untuk masuk ruangan foto. ”Silahkan duduk bu”, kata petugas dengan ramah. Sambil mengarahkan pengamat untuk duduk pada posisi yang baik untuk diambil gambarnya, setelah itu meminta pengamat untuk tanda tangan di atas sebuah alat elektronik yang nantinya akan dimasukkan kedalam SIM. ”Selesai bu”. Kata petugas kemudian. Dan mempersilahkan pengamat untuk keluar.” (Hasil pengamatan partisipatif tanggal 25 April 2007) Perilaku melayani juga dapat ditemui pada loket 9. Pada umumnya warga

kota yang berhasil diwawancarai menyatakan bahwa mereka puas pada pelayanan

birokrat garis-depan yang bertugas pada loket 9. Seperti pada petikan wawancara

dibawah ini:

”Saya tidak merasa dipersulit oleh petugas ketika meminta SIM A saya. Cuma saya sempat menunggu tiga hari karena menurut petugas material untuk membuat SIM habis, dan harus menunggu kiriman dari Jakarta. Sebelumnya saya diminta untuk menelpon dulu untuk mengecek apakah SIM

Page 95: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

237

saya sudah jadi. Tadi pagi saya sebelum ke sini, saya telpon dulu, nanti setelah saya dapat jawaban sudah selesai SIM saya, saya baru ke sini” (hasil wawancara dengan Arfan tangal 27 April 2007). Hal senada juga diungkapkan oleh informan lain yang berhasil penulis

wawancarai setelah memperoleh SIM:

”Petugas loket 9 cepat melayani saya, dalam waktu singkat saya telah memperoleh SIM saya setelah saya beri bukti pembayaran saya sebagai persyaratan mengambil SIM” (hasil wawancara tanggal 27 April 2007).

Hasil wawancara diatas menggambarkan bahwa pada tahap akhir

pelayanan, WM cenderung mendapat perlakuan yang baik dari petugas.

Berdasarkan hasil analisis penulis, perilaku melayani adalah merupakan perilaku

yang sifatnya interaktif, artinya tidak didominasi oleh salah satu pihak yang

berinteraksi. Ketika WM memenuhi semua persyaratan yang diperlukan, maka BGD

juga akan berusaha memberikan pelayanan yang sebaik mungkin.

5.3.9 Perilaku Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, customization dilakukan terhadap

korps tertentu, yakni terhadap anggota TNI, Wartawan, dan anggota Dewan. Status

sosial tertentu yang melekat pada WM dapat membawa pengaruh yang besar ketika

yang bersangkutan ingin memperoleh suatu pelayanan publik. Sebagaimana halnya

dalam pelayanan SIM di Kota Makassar, seseorang yang berlabel ”anggota dewan”

misalnya akan mendapat perlakuan khusus dari BGD yang melayani SIM.

Sebagaimana yang dituturkan oleh petugas loket 5:

”Kami sebenarnya disini tidak ingin mempersulit mereka yang datang untuk mengurus SIM, sepanjang kami melihat bahwa orang tersebut tidak mempunyai banyak waktu untuk mengikuti tes. Seperti kalau ada anggota dewan yang datang mengurus SIM, kami tidak mewajibkan mereka untuk ikut

Page 96: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

238

tes, karena kami tau bahwa mereka itu sangat sibuk (hasil wawancara tanggal 28 April 2007).

Hasil wawancara di atas menggambarkan bahwa aturan untuk mengikuti tes

bukan sebuah harga mati dalam pelayanan SIM. Ketika seseorang misalnya tidak

memiliki waktu luang dan apabila dalam pandangan BGD warga tersebut memiliki

kesibukan yang luar biasa untuk mengurus warga, maka mereka akan diperlakukan

dengan baik. Sehingga dalam perlakuan khusus ini penulis kelompokkan sebagai

perilaku diferensial yang sifatnya interaktif. Disatu sisi BGD ingin memudahkan WM,

disisi lain, karena WM juga tidak memiliki waktu yang luang.

5.3.10 Perilaku Menyogok

Perilaku terakhir ini penulis kelompokkan juga sebagai perilaku yang sifatnya

interaktif (tidak didominasi oleh salah satu pihak yang berinteraksi). Mengapa?

Karena kata menyogok sebenarnya telah mencerminkan makna bahwa kedua

pelaku interaksi sama-sama mencapai kesepakatan untuk memudahkan. Di pihak

BGD dimudahkan untuk memperoleh keuntungan pribadi, di pihak WM dimudahkan

untuk memperoleh SIM ketika terkendala oleh aturan yang tidak mampu

dipenuhinya.

Berikut ini akan dipaparkan satu contoh kasus lagi yang dapat

menggambarkan bagaimana perilaku menyogok berlangsung dalam pelayanan SIM

di Kota Makassar. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang WM yang bernama

Ani, warga Jalan Kubis Makassar. Berikut hasil wawancara dengan penulis (hasil

wawancara ini telah dipaparkan sebelumnya pada uraian 5.1.11)

”Saya terpaksa menyogok petugas loket 6 karena saya tidak dapat lulus dalam ujian praktek. Terus terang memang saya belum terlalu lancar mengendarai motor, tapi saat sekarang ini biaya transport kalau naik pete-pete sangat mahal, maka saya berusaha menyicil motor. Saya baru belajar

Page 97: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

239

naik motor”. Ketika ditanya oleh pengamat mengapa berani mengurus SIM: Ani selanjutnya menjelaskan bahwa akhir-akhir ini sering diadakan sweeping

di jalan, kalau saya tidak punya SIM saya nanti ditilang, dan saya dengar biayanya mahal kalau ditilang” (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007).

Dengan demikian, maka nampak bahwa perilaku menyogok adalah

merupakan perilaku yang saling menguntungkan kedua pihak yang berinteraksi.

Namun secara institusi, perilaku ini sangat merugikan intitusi karena akan

menurunkan citra pelayanan yang diberikannya dimata masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas mulai dari point 5.3.1 sampai point 5.3.10, maka

dapat dibuat sebuah tabel simpulan sebagai berikut:

Tabel 5.4 Aktor Dominan Penentu dari Masing-masing Bentuk Perilaku Diferensial

NO. BENTUK-BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL

Aktor Dominan Penentu Perilaku Diferensial

1. Superior BGD

2. Mengabaikan (Playing Ignorant) BGD

3. Sebagai Calo BGD

4. Mempersulit BGD

5. Mogok BGD

6. Menolak Membayar WM

7. Mencari Gampang (Short Cut) WM

8. Melayani (Serving) Interaktif (BGD dan WM)

9. Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu

Interaktif (BGD dan WM)

10. Menyogok Interaktif (BGD dan WM)

Sumber : Diolah dari hasil penelitian lapangan, 2007.

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 10 bentuk PDf yang teridentifikasi di

lapangan, sebanyak 5 (lima) diantaranya yang didominasi oleh BGD, 2 (dua) bentuk

PDf yang didominasi oleh WM, dan 3 (tiga) bentuk PDf yang sifatnya interaktif.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aktor dominan yang

menjadi penentu PDf adalah BGD.

Page 98: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

240

Penggunaan tabel dan diagram dalam analisis ini sekedar dimaksudkan

untuk memudahkan pembaca dalam melihat dan memahami bagaimana proses

yang dilakukan untuk menentukan siapa aktor dominan mempengaruhi perilaku

pelayanan SIM. Sekalipun ditampilkan dalam bentuk tabel namun bukan berarti

bahwa data-data tersebut diperoleh melalui kuantifikasi, karena dalam prakteknya

keseluruhan data-data tersebut diperoleh melalui hasil wawancara dan kemudian

dianalisis siapa yang mendominasi dari setiap PDf tersebut.

Page 99: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

Scanned by CamScanner

Page 100: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

240

BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

6.1 Bentuk-bentuk Perilaku Diferensial

Pada bab V telah diuraikan bentuk-bentuk perilaku diferensial yang

menjadi temuan dalam penelitian ini. Bentuk-bentuk perilaku diferensial yang

menjadi temuan dalam penelitian ini pada dasarnya tidaklah berdiri sendiri.

Artinya, kesepuluh perilaku yang berhasil diidentifikasi tersebut hanya merupakan

kecenderungan umum saja, sebab dalam kenyataannya berbagai bentuk perilaku

diferensial berlangsung secara bersamaan dan saling tumpang tindih (mutually all

inclusive).

Adanya fenomena semacam ini sejalan dengan teori perilaku yang

mengatakan bahwa perilaku individu sebenarnya adalah merupakan suatu akibat,

artinya seseorang berperilaku tertentu karena dipicu oleh faktor lingkungannya.

Sebagaimana pendapat Gibson, 1996, Thoha, 1991, dan Suprihanto, 2003 bahwa

perilaku pada dasarnya adalah merupakan suatu fungsi dari interaksi antara

seorang individu dengan lingkungannya. Atau dengan kata lain, ketika ada aksi

tentu ada reaksi.

Sebagaimana menjadi temuan penelitian ini bahwa perilaku sebagai calo

kecenderungannya muncul bersamaan dengan perilaku mencari gampang.

Contoh kasus yang dapat menggambarkan fenomena seperti ini adalah ketika

seorang WM yang bernama Ardi mengurus SIM C, dia terkendala masalah waktu

karena kesibukannya sebagai mahasiswa yang akan menyelesaikan tugas akhir.

Ketika mendapat tawaran dari petugas yang berperilaku sebagai calo, maka ia

Page 101: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

241

segera mengiyakan, tentu saja dengan kompensasi berupa uang lebih dari

standar resmi. Jadi apa yang dilakukan oleh Ardi tadi sebenarnya adalah sebuah

upaya mencari gampang dalam memperoleh SIM. Dia rela mengeluarkan uang

lebih besar karena tidak mempunyai waktu, sementara kebutuhan akan

kepemilikan SIM juga merupakan hal yang mendesak. Dengan demikian, maka

dalam kasus tersebut, terjadi dua perilaku secara bersamaan dan saling tumpang

tindih satu sama lain (mutually all inclusive) yakni perilaku sebagai calo dari BGD

dengan perilaku mencari gampang dari WM.

Demikian pula halnya dengan perilaku superior dan perilaku menyogok,

keduanya juga memiliki kecenderungan untuk muncul bersamaan dalam interaksi

antara BGD dan WM. Sebagai contoh kasus adalah ketika WM yang bernama

Asma mengurus SIM C, dia merasa lebih baik menyogok petugas setelah

dinyatakan tidak lulus dalam tes praktek. Meskipun dalam pengakuannya dia bisa

mengendarai sepeda motor, tetapi karena tidak terbiasa melewati rintangan

seperti dalam tes praktek sehingga dia tidak dapat mengatur keseimbangan

badan ketika mengendarai secara ziq-zaq. Karena tidak mampu mengatur

keseimbangan seperti itu, maka petugas menyatakan dirinya tidak lulus. Disini

nampak bahwa BGD menunjukkan superioritasnya terhadap WM. Dengan mudah

BGD mempersalahkan WM dan menyatakan tidak lulus, padahal apabila dilihat

dari bentuk tes yang diberikan kepada WM, jelas bahwa format tes semacam itu

tingkat relevansinya dengan kondisi ril jalan raya sangatlah rendah, sehingga tidak

dapat dijadikan sebagai patokan utama dalam menentukan lulus tidaknya

seseorang untuk memperoleh SIM. Kenapa dikatakan relevansinya rendah?

Karena dalam realitas di lapangan (jalan raya), seorang pengendara sepeda

motor tidak pernah dilarang untuk menurunkan kakinya ketika terpaksa harus

Page 102: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

242

mengendarai secara ziq-zaq. Inilah hal yang menurut hemat penulis sebagai

sesuatu hal yang mengada-ada dan sengaja dilakukan oleh BGD agar WM tidak

berani untuk mengikuti tes dan mencari jalan pintas untuk memperoleh SIM. Dari

kasus tersebut, nampak bahwa perilaku menyogok adalah merupakan akibat dari

perilaku superior yang dilakukan oleh petugas. Jadi dengan demikian, maka

kedua perilaku ini kecenderungannya muncul secara bersamaan dan saling

tumpang tindih.

Perilaku superior yang dilakukan oleh birokrat garis-depan sangat

dipengaruhi oleh persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga untuk memperoleh

SIM, yang sebenarnya dipersepsi oleh warga sebagai sesuatu hal yang sangat

mengada-ada, terutama bentuk tes praktek yang diterapkan dalam pelayanan

SIM. Dalam PP Nomor 44 tahun 1999, disebutkan bahwa setiap warga

masyarakat yang ingin memperoleh SIM diwajibkan untuk mengikuti ujian teori

dan ujian praktek (Pasal 219 ayat 2 dan 3). Namun sayangnya karena dalam PP

tersebut tidak dijelaskan secara rinci bagaimana bentuk tes praktek yang harus

dilalui oleh Warga, sehingga kemudian BGD membuat diskresi dalam

pelaksanaannya di lapangan. Nampaknya diskresi tersebut justru lebih banyak

merugikan warga masyarakat. Bentuk tes praktek yang sangat sulit dilalui

masyarakat menjadikan petugas memanfaatkan kondisi ini untuk memperoleh

keuntungan pribadi. Terlebih lagi karena masyarakat tidak mempunyai daya

tawar (bargaining) dalam menentukan format tes praktek yang ideal sesuai kondisi

lapangan (jalan raya). Nampak terkesan bahwa tes praktek tersebut dibuat

sebagai jebakan terhadap warga yang ingin mengurus SIM.

Dalam banyak kasus, terbukti bahwa perilaku mencari gampang yang

dilakukan oleh WM memiliki kecenderungan muncul secara bersamaan dengan

Page 103: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

243

perilaku sebagai calo. Seorang WM yang ingin memperoleh SIM secara mudah

tanpa melalui prosedur resmi, apakah karena kesibukan sehingga tidak memiliki

waktu yang cukup untuk mengikuti semua prosedur ataukah karena WM tersebut

memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli, maka dengan mencari calo, maka

keinginan untuk mendapatkan SIM dengan mudah dapat terpenuhi. Sementara

itu, ada pula warga masyarakat yang berperilaku mencari gampang dalam

memperoleh SIM, bukan semata-mata disebabkan karena tidak adanya waktu

luang untuk mengurus SIM, akan tetapi juga dipicu oleh prosedur pengurusan SIM

yang sangat berbelit-belit, dengan mana setiap WM yang ingin mengurus SIM

sesuai prosedur, maka harus melewati 9 loket ditambah lagi dengan satu loket

pemeriksaan kesehatan yang tempatnya terpisah dari loket pengurusan SIM.

Sementara itu, persyaratan harus lulus tes teori dan tes praktek yang sangat sulit

untuk diikuti oleh warga, membuat banyak WM enggan untuk mengikuti prosedur

resmi untuk memperoleh SIM yang dibutuhkannya. Banyaknya loket yang harus

dilalui untuk memperoleh SIM ditambah lagi dengan ujian teori dan praktek,

membuat WM memilih untuk memperoleh SIM melalui jalan pintas, baik lewat calo

atau petugas yang siap membantunya. Jadi persoalan sebenarnya adalah

prosedur pelayanan SIM yang dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu yang sangat

buruk dan berbelit-belit. Image yang terbangun di masyarakat bahwa mengurus

SIM tanpa melalui calo atau cara lain adalah sesuatu yang sangat sulit,

nampaknya juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sehingga

masyarakat banyak yang menempuh jalan pintas dalam memperoleh SIM.

Pemeo terhadap pelayanan publik ”kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”

nampaknya juga terjadi dalam pelayanan SIM.

Page 104: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

244

Hal ini terbukti dari hasil pengamatan lapangan dan dikuatkan dengan hasil

wawancara dengan beberapa warga masyarakat yang mengurus SIM,

kecenderungan menjawab mereka memilih untuk mencari jalan pintas untuk

mengurus SIM, karena terkendala oleh masalah waktu dan prosedur yang

berbelit-bellit dan sangat sulit untuk dilalui. Hal ini sebagai pertanda bahwa

masyarakat pada umumnya menilai bahwa pelayanan SIM dapat diperoleh

dengan membayar petugas. Dalam bahasa Soedarmo (1998) sebagai jasa

terbeli. Sementara di pihak birokrat garis-depan, nampaknya sengaja mencari

peluang untuk mendapatkan keuntungan berupa uang dari warga masyarakat

yang mengurus SIM, dengan menampilkan perilaku superior, mengabaikan,

sebagai calo, dan mempersulit. Dengan demikian, maka kedua pelaku interaksi

kecenderungannya berpeluang untuk merusak sistem yang ada dalam pelayanan

SIM.

Meskipun perilaku mencari gampang pada dasarnya mengabaikan

prosedur yang ada, namun tidak semua perilaku seperti ini dapat disalahkan.

Karena ada sebagian WM dengan kesibukan yang luar biasa sehingga tidak

memiliki waktu untuk mengurus SIM, sehingga jalan yang ditempuh untuk

memperoleh SIM dengan menmencari gampangnya saja tidak dapat disalahkan

sepenuhnya. Terlebih lagi jika kesibukannya itu adalah untuk kepentingan rakyat

banyak. Kerugian lebih besar akan diperoleh bukan saja untuk dirinya tetapi juga

untuk orang lain, apabila dia harus mengikuti semua prosedur dalam pelayanan

SIM. Waktunya akan habis sia-sia dan banyak pekerjaan yang terbengkalai jika

mengikuti tes untuk memperoleh SIM. Artinya seorang publik pigur atau pejabat

birokrat dapat menjadi perkecualian dalam pengurusan SIM sesuai prosedur

Page 105: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

245

resmi, sepanjang yang bersangkutan memiliki keterampilan untuk mengemudikan

kendaraan.

Hal seperti ini nampaknya juga menjadi alasan bagi BGD sehingga

memberikan perlakuan khusus terhadap anggota dewan yang ingin mengurus

SIM. Sebagaimana pengakuan petugas loket 5, bahwa ketika seorang anggota

dewan (DPRD) datang ingin memperoleh SIM, maka BGD tidak mewajibakan

anggota dewan tersebut untuk mengikuti prosedur resmi seperti mengikuti tes

teori dan praktek. Dalam kasus sepert itui, mengabaikan prosedur dalam

pelayanan SIM dapat ditolerir, karena mengingat kesibukan dari seorang anggota

dewan sehingga memperlakukan khusus semacam ini dapat dimaklumi oleh

semua pihak. Yang disayangkan jika BGD yang memperlakukan khusus seperti

ini memiliki tujuan lain, misalnya saja karena ingin memuaskan anggota dewan

sehingga tidak mampu menjalankan fungsi kontrolnya dengan baik terhadap

pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh lembaga tersebut. Jadi

ada semacam “pertukaran”, dewan telah dipuaskan sehingga dapat menutup

mata dan seolah-olah tidak tahu terhadap praktek-praktek pelayanan yang

berlangsung selama ini.

Berbeda halnya dengan perilaku memperlakukan khusus anggota TNI

dan wartawan. BGD yang memperlakukan khusus seperti ini cenderung

memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan tugas dari atasan, sehingga seringkali

peraturan dan prosedur dinomorduakan, dan bahkan diabaikan. Contohnya,

ketika seorang wartawan yang ingin memperpanjang SIM, ia tidak dikenakan

biaya administrasi dan juga tidak perlu melalui prosedur pengurusan SIM.

Dengan berbekal rekomendasi dari pimpinan, maka wartawan tersebut

mendapatkan pelayanan yang khusus.

Page 106: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

246

Tumpang tindih perilaku diferensial yang muncul dalam pelayanan SIM

tidak hanya pada salah satu dari sebelas perilaku diferensial yang menjadi

perilaku dominan sebagai temuan dalam penelitian ini. Akan tetapi, ada juga

perilaku lain di luar dari sebelas perilaku diferensial sebagaimana yang telah

dijelaskan dalam penelitian ini. Seperti misalnya ketika terjadi perilaku

mengabaikan terhadap WM, warga yang bersangkutan juga berusaha untuk

mencari jalan supaya proses penerbitan SIMnya bisa berjalan, antara lain adalah

dengan mencari kerabat yang dapat membantunya.

Apabila dirujuk dari awal, perilaku mengabaikan ini muncul dari interaksi

antara BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dan

WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga. Setelah WM berusaha

memenuhi semua persyaratan normal untuk memperoleh SIM, ia kemudian

berharap agar BGD yang melayaninya dapat memberikan pelayanan yang

memuaskan, karena dalam pandangan WM, sudah menjadi kewajiban BGD untuk

memberikan pelayanan yang baik, karena telah memperoleh gaji dari pemerintah,

dengan mana uang yang digunakan menggaji tersebut berasal dari rakyat baik

berupa pajak atau penerimaan negara lainnya di luar pajak. Dengan pandangan

seperti itu, maka WM tidak lagi berupaya memberikan uang imbal jasa atau uang

lebih terhadap BGD yang melayani. Sementara di satu sisi, BGD yang

dihadapinya justru berharap lain. Pelayanan yang diberikannya cenderung

dimaknai sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dari

pemaknaan yang demikian dari masing-masing pelaku interaksi, sehingga yang

kemudian muncul adalah perilaku mengabaikan dari BGD. Menghadapi BGD

yang berperilaku seperti itu, WM juga berupaya untuk memperoleh haknya untuk

mendapatkan SIM dengan berbagai cara, baik melalui upaya menanyakan

Page 107: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

247

langsung kepada BGD maupun mencari kenalan yang dapat menolong untuk

memperlancar proses penerbitan SIM-nya.

Akibat dari perilaku mengabaikan ini, maka WM yang mengurus sendiri

SIM merasa diperlakukan secara tidak adil dalam pelayanan SIM. Bukan hanya

itu, bahkan unsur kualitas pelayanan publik yang lain juga tidak bisa terpenuhi.

Carlson & Schwarz (1995) sebagaimana dikutip oleh Denhardt & Denhardt (2003)

mengemukakan bahwa kualitas pelayanan sektor publik dapat dilihat dari 8 hal,

sebagai berikut: (1) convenience, yakni sejauh mana pelayanan publik dapat

diperoleh dengan cara yang menyenangkan, (2) security, yakni adanya jaminan

keamanan bagi warga masyarakat yang ingin memperoleh layanan, (3) reliability,

yakni sejauhmana pelayanan publik dapat dipercaya oleh masyarakat, (4)

personal attention, yakni sejauhmana BGD dapat memberi perhatian terhadap

WM yang dilayani, (5) problem-solving approach, yakni sejauhmana BGD dapat

menjadi solusi bagi warga yang membutuhkan pelayanan, bukannya menjadi

masalah bagi warga, (6) fairness, yakni sejauhmana pelayanan yang diterima oleh

warga dianggap adil bagi semua, (7) fiscal responsibility, artinya sejauhmana BGD

dapat mempertanggungjawabkan segala biaya dalam pelayanan publik, dan (8)

citizen influence, yakni sejauhmana WM merasa bahwa dirinya dapat

mempengaruhi kualitas pelayanan publik yang mereka peroleh dari pemerintah.

Khusus untuk perilaku menolak membayar, pada dasarnya memiliki nilai

positif terutama untuk perbaikan pelayanan publik. WM yang merasa telah

memenuhi semua kewajibannya dengan baik, seperti telah memenuhi semua

persyaratan administrasi untuk memperoleh SIM, dan juga telah mengikuti

prosedur dengan baik termasuk telah lulus dalam tes, baik teori maupun praktek,

maka ia akan berusaha menolak permintaan petugas yang mencoba untuk

Page 108: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

248

memeras dirinya ketika telah memenuhi semua kewajiban di atas. Dengan

demikian, semakin banyak WM yang berani melakukan penolakan terhadap

permintaan BGD yang dinilai diluar ketentuan resmi (menyimpang), maka sedikit

demi sedikit kondisi pelayanan publik akan menjadi lebih baik. Karena dengan

adanya perilaku penolakan seperti ini dari WM, maka BGD juga akan berpikir dua

kali ketika akan memperlakukan WM diluar ketentuan resmi.

Perilaku menolak membayar ini menunjukkan adanya keberanian dari

warga masyarakat untuk melakukan protes terhadap perilaku aparat yang

dinilainya tidak sesuai aturan. Sekiranya warga masyarakat memiliki keberanian

seperti ini, maka lambat laun perilaku-perilaku disfungsional dari BGD dapat

berkurang dengan sendirinya. BGD juga akan merasa terdesak jika orang-orang

yang datang dapat berlaku kritis. Nampaknya hal ini sesuai pepatah ”jauh

panggang dari api”. Hal yang masih sangat sulit untuk dicapai, karena masih

banyak warga masyarakat yang mau gampangnya saja, asal ada uang, ia ingin

memperoleh layanan dengan cepat tanpa memikirkan bahwa tindakannya itu akan

merugikan warga lainnya yang ingin mengikuti prosedur.

Ketika warga masyarakat tidak mampu untuk melakukan penolakan atau

perlawanan terhadap BGD, perilaku yang kemudian muncul adalah perilaku

mogok (menghentikan proses pengurusan SIM). Dari hasil penelitian telah

diperoleh fakta bahwa terdapat banyak WM yang tidak melanjutkan pengurusan

SIM. Hal ini terbukti dari banyaknya berkas-berkas WM yang mengendap dimeja

petugas loket 6. Namun salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah penulis

tidak dapat mengamati langsung bagaimana proses terjadinya perilaku seperti ini.

Meskipun demikian, penulis dapat melakukan wawancara dengan warga

masyarakat yang pernah putus asa kemudian mogok mengurus SIM, yang

Page 109: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

249

kemudian datang lagi mengurus SIM tetapi kali ini melalui calo. Dari hasil

wawancara dengan warga yang berperilaku seperti ini, diperoleh keterangan

bahwa dirinya tidak melanjutkan proses pengurusan SIM (mogok) karena tidak

lulus dalam ujian praktek sebanyak 2 kali, meskipun masih memiliki kesempatan

satu kali tes lagi, tetapi yang bersangkutan tidak berniat lagi melanjutkannya.

Ketika datang mengurus SIM untuk kedua kalinya, dia tidak ingin lagi mengurus

SIM sendiri, tetapi meminta bantuan calo.

Sementara itu, informasi yang diperoleh penulis dari petugas loket 6

diperoleh keterangan bahwa berkas-berkas dari WM yang tidak melanjutkan

proses pengurusan SIM (WM yang mogok), ada yang sudah berbulan-bulan

bahkan sudah bertahun-tahun tidak diurus lagi oleh pemiliknya. Akibatnya WM

yang mengurus SIM dirugikan dari segi uang dan waktu, tanpa memperoleh SIM.

Hal yang menarik dari perilaku seperti ini bahwa kebanyakan dari mereka telah

memperoleh SIM tetapi melalui prosedur yang tidak resmi. Artinya ketika ia putus

asa mengurus SIM melalui prosedur resmi, dengan tes teori dan praktek, maka

kemudian ia mencari jalan pintas dengan mengurus ulang SIM dengan melalui

calo, baik calo sipil ataupun calo birokrat.

Disamping beberapa perilaku diferensial yang telah penulis bahas di atas,

terdapat satu perilaku diferensial yang dianggap memenuhi kriteria kualitas

pelayanan publik yakni perilaku melayani. Idealnya memang dalam sebuah

interaksi dalam pelayanan publik, perilaku yang diharapkan dominan muncul

adalah perilaku melayani seperti ini. Dalam perilaku melayani, para pelaku

interaksi berusaha memenuhi semua hak dan kewajibannya dengan baik,

sehingga dengan demikian, maka aturan dan prosedur dapat dijalankan dengan

baik pula. Perilaku melayani adalah merupakan manifestasi dari potensi yang

Page 110: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

250

dimiliki oleh setiap manusia untuk melakukan hal yang baik. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Gramscie dalam bukutnya ”Politik dan Hegemoni” sedikit

menyinggung tentang potensi manusia. Bahwa dalam diri manusia terdapat

potensi bawaan untuk melakukan hal baik. Tidak ada manusia yang memiliki sifat

jahat kecuali memang secara kejiwaan ditemukan ada kelainan (Gramscie, 1970).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya

perilaku diferensial yang muncul dalam interaksi antara BGD dan WM adalah

perilaku menyimpang atau tidak melalui prosedur, dengan kata lain merusak

sistem yang ada. Beberapa perilaku menyimpang yang dilakukan oleh BGD yang

cenderung mengaburkan aturan adalah perilaku sebagai calo dan memperlakukan

khusus korps tertentu. Khusus untuk perilaku mempersulit, meskipun tidak

melanggar aturan resmi, namun perilaku ini tidak dapat memenuhi kriteria kualitas

pelayanan publik yang baik, karena WM yang dilayani tidak dapat menikmati

pelayanan yang baik. Sedangkan perilaku melayani adalah merupakan satu-

satunya perilaku yang dapat dikategorikan sebagai perilaku pelayanan prima.

Sementara itu, beberapa perilaku yang sifatnya negatif yang dilakukan oleh

warga masyarakat, seperti perilaku mencari gampang dan menyogok, juga

memiliki andil dalam memperburuk kualitas pelayanan publik. Bentuk perilaku

diferensial tersebut, jika dianalisis termasuk kedalam upaya mencari jalan pintas

untuk memperoleh pelayanan. Dengan jalan pintas, berarti banyak prosedur yang

tidak ditaati oleh WM, yang justru dapat merugikan warga masyarakat lainnya

yang ingin memperoleh pelayanan SIM sesuai standar prosedur yang telah

ditetapkan. Warga masyarakat yang ingin mengurus SIM sesuai prosedur

seringkali merasa diperlakukan diskriminatif atau tidak adil oleh BGD dalam

Page 111: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

251

pelayanan publik, karena lebih mendahulukan melayani WM yang memilih jalan

pintas tadi.

Perilaku menyimpang yang menjadi temuan penelitian ini sebenarnya

termasuk kedalam perilaku yang melanggar Kode Etik Profesi Polri, sesuai Surat

Keputusan Kapolri No. 32/2003 tanggal 1 Juli 2003 tentang Kode Etik Profesi

Polri. Didalam Kode Etik Profesi Polri mengandung tiga etika yang tercermin

dalam perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan

penyalahgunaan wewenang. Ketiga etika dimaksud adalah etika pengabdian,

etika kelembagaan, dan etika kenegaraan. Perilaku diferensial yang dianggap

melanggar kode etik profesi Polri dan etika kelembagaan antara lain adalah

perilaku superior, sebagai calo, mengabaikan, dan mempersulit. Perilaku ini

melanggar etika kelembagaan dan etika pengabdian. Seorang anggota Polri

dituntut untuk senantiasa mematuhi aturan kelembagaan, seperti mematuhi aturan

yang berlaku didalam pelayanan SIM. Demikian pula dalam hal etika pengabdian,

seorang anggota Polri seyogyanya menampilkan perilaku-perilaku pengabdian

yang tulus kepada negara dan bangsa, termasuk dalam hal pengabdiannya

kepada masyarakat didalam memberikan pelayanan SIM.

Meskipun demikian, nampaknya bahwa perilaku-perilaku diferensial yang

sifatnya menyimpang yang terjadi didalam birokrasi pelayanan publik, sebenarnya

tidaklah berdiri sendiri. Dalam arti bahwa perilaku tersebut hanya merupakan

sebagai suatu sebab dari perilaku lainnya. Untuk mengharapkan agar birokrasi

kita bersih dari perilaku-perilaku menyimpang, maka semua pihak harus bisa

memulai dari diri masing-masing untuk senantiasa berperilaku sesuai aturan,

karena pada prinsipnya peraturan dibuat untuk mengarahkan perilaku setiap

individu yang berinteraksi dalam pelayanan publik.

Page 112: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

252

Manusia Indonesia pada dasarnya taat hukum, hanya keadaanya yang

sebenarnya yang membawa meraka untuk melanggar hukum. Bekerja dengan

jujur dan tidak bergaya hidup mewah. Sikap hedonis dan konsumtif juga

seringkali menjadi pemicu seseorang berlaku korup atau menyimpang. Sekiranya

semua orang dapat hidup sederhana, mensyukuri rezeki Allah SWT yang

diberikan kepadanya maka niscaya pelayanan publik akan baik di negara kita.

BGD tidak lagi akan berusaha memanfaatkan warga masyarakat, karena gaji yang

diterimanya dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang memang

sepantasnya. Fenomena yang terjadi bahwa banyak orang korup dan tidak jujur

dalam pelayan, hanya sekedar untuk berpoya-poya. Uang yang dikorupsinya

digunakan untuk hal-hal yang justru dapat merusak dirinya, dan bahkan terhadap

keluarganya. Celakanya lagi, bahwa perilakunya itu juga menyebabkan orang lain

menjadi senggara.

Berdasarkan hasil analisis penulis, dapat menyimpulkan bahwa beberapa

hal yang menyebabkan perilaku ini bisa terjadi antara lain sebagai berikut:

1. Tidak adanya standar pelayanan SIM yang tegas.

2. Pengawasan yang kurang, baik internal maupun eksternal,

3. Sistem rekrutmen anggota kepolisian yang masih buruk.

4. Gaji birokrat kepolisian yang masih kurang.

5. Faktor situasional maupun potensial.

6. Ketakutan ”mencari masalah” dengan atasan

7. Penerapan sanksi yang tidak tegas bagi BGD yang melanggar kode etik.

8. Pelayanan SIM yang monopoli dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini

adalah lembaga kepolisian.

Page 113: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

253

Pertama, tentang standar pelayanan publik. Dalam pelayanan SIM di Kota

Makassar, standar pelayanan publik yang telah ditetapkan belum menenuhi

semua kriteria sebagaimana yang disebutkan dalam Kepmenpan Nomor 63/2003

tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Standar pelayanan

publik sebagaimana yang disebutkan dalam Kepmenpan tersebut memuat

sekurang-kurangnya:

a. Prosedur pelayanan, yakni prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi

dan penerima pelayanan termasuk pengaduan;

b. Waktu penyelesaian, yakni waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat

pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk

pengaduan;

c. Biaya pelayanan, yakni biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang

ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan;

d. Produk pelayanan, yakni hasil pelayanan yang diterima sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan;

e. Sarana dan prasarana; penyediaan sarana dan prasarana yang memadai oleh

penyelenggara pelayanan publik, dan

f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan, yakni kompetensi petugas pemberi

pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian,

keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

Dari keenam standar yang harus ditentukan oleh setiap penyelenggara

pelayanan publik tersebut di atas, nampak bahwa masih terdapat beberapa

standar ketentuan yang belum bisa dipenuhi oleh Satlantas Polwiltabes Kota

Makassar dalam penyelenggaraan pelayanan SIM. Ketentuan tentang prosedur

pelayanan, meskipun telah dibuat dan dipampang di luar gedung pelayanan SIM,

Page 114: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

254

namun dalam kenyataannya prosedur tersebut belum bisa dipenuhi oleh petugas

maupun warga masyarakat. Dari beberapa PDf yang teridentifikasi, terbukti

bahwa pada umumnya memiliki kecenderungan untuk menyalahi ketentuan

prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Termasuk pula ketentuan tentang

prosedur pengaduan. Dalam pelayanan SIM, tidak terdapat ketentuan tentang

prosedur komplain yang dapat dilakukan oleh WM ketika menghadapi suatu

kesulitan atau ketidakpuasan dalam pelayanan SIM.

Berkaitan dengan ketentuan standar waktu penyelesaian pelayanan.

Dalam penyelenggaraan pelayanan SIM, belum ditetapkan ketentuan tentang

standar waktu penyelesaian pelayanan SIM. Padahal ketentuan tentang waktu

penyelesaian pelayanan ini adalah merupakan hal yang sangat penting untuk

diketahui oleh WM, agar WM yang mengurus SIM bisa memperoleh kepastian

waktu. Tujuannya adalah agar WM dapat merencanakan waktunya dengan baik,

dan dapat dijadikan sebagai dasar komplain ketika WM mengalami keterlambatan

dalam memperoleh pelayanan SIM.

Sedangkan menyangkut biaya/tarif pelayanan, meskipun telah ditetapkan

dan ditulis dalam papan pengumuman yang telah dipasang di depan gedung

pelayanan SIM, serta dalam leaflet yang dapat diperoleh oleh WM ketika akan

mengurus SIM, namun dalam prakteknya, biaya/tarif yang dibayar oleh WM untuk

mendapatkan sebuah SIM pada umumnya tidak sesuai dengan standar yang

ditetapkan, yakni Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk pemohon baru,

dan Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) untuk perpanjangan. Yang ada di

lapangan adalah Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) untuk SIM C dan

Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk SIM A. Padahal dalam

aturannya, baik untuk SIM C maupun SIM A besarnya biaya yang harus dibayar

Page 115: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

255

oleh WM adalah sama, yang membedakan adalah apakah bermohon baru atau

perpanjangan.

Sedangkan berkaitan dengan produk pelayanan, pada umumnya warga

masyarakat telah merasa puas dengan kondisi SIM yang diperolehnya, dengan

mana telah memenuhi standar kualitas SIM yang baik. Kertas yang digunakan

memiliki kualitas yang baik sehingga dapat bertahan sampai lima tahun.

Sarana dan prasarana pelayanan SIM, nampaknya masih sering

dikeluhkan oleh masyarakat, terutama berkaitan dengan sepeda motor untuk

digunakan dalam ujian praktek tidak disediakan, material SIM (dalam hal ini

adalah kertas untuk mencetak SIM) yang sering habis dan mesin cetak yang

sering rusak. Tidak tersedianya sepeda motor untuk tes praktek mengendarai

seringkali menjadi hambatan dalam proses pengurusan SIM. Dalam

kenyataannya, tidak semua WM yang mengurus SIM C memiliki sepeda motor.

Beberapa dari WM yang mengurus SIM C sebenarnya tidak memiliki sepeda

motor, akan tetapi dia sering mengendarai sepeda motor yang dipinjam dari

teman atau sanak keluarganya. Demikian pula halnya dengan material berupa

bahan untuk mencetak SIM seringkali kehabisan, dan harus menunggu kiriman

dari pusat. Kondisi seperti ini acapkali dijadikan alasan oleh BGD, ketika meminta

sejumlah uang dari WM yang mengurus SIM. Seperti yang dialami oleh penulis

ketika melakukan pengamatan partisipatif. Saat itu, petugas dengan terang-

terangan meminta sejumlah uang kepada penulis dengan alasan untuk biaya

material. Padahal sebenarnya biaya material yang dimaksud sudah termasuk

dalam biaya administrasi yang telah dibayar oleh WM, yaitu sebesar Rp 75.000,-

untuk pemohon baru dan Rp 60.000,- untuk perpanjangan. Begitu pula dengan

mesin cetak SIM. Hanya terdapat satu buah mesin cetak SIM yang ada di lokasi

Page 116: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

256

penelitian. Sementara jumlah WM yang mengurus SIM setiap harinya rata-rata

mencapai 250 orang. Kondisi seperti ini menyebabkan sehingga mesin cetak

seringkali macet atau tidak berfungsi. Karena seringnya mengalami macet, maka

pada dinding loket 9 terdapat sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa

”bagi WM yang sudah di foto SIM hari ini, dapat mengambil SIMnya besok, karena

mesin cetak lagi rusak”. Seorang WM yang berhasil penulis wawancarai

mengatakan bahwa pengumuman seperti itu sudah ada sejak dulu, jadi warga

tidak tahu kapan mesin baik, kapan rusak. Fenomena Ini juga berdampak pada

ketidakpastian mengenai waktu pelayanan.

Berkaitan dengan kompetensi petugas pemberi pelayanan, dalam hal

pengetahuan, keahlian dan keterampilan nampak telah memenuhi kriteria atau

standar, namun dalam hal sikap dan perilaku yang dibutuhkan dalam pelayanan,

nampaknya masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya

perilaku-perilaku menyimpang yang dilakukan oleh BGD ketika melayani WM.

Jadi dengan demikian, apabila dilihat dari keseluruhan standar pelayanan

publik yang seharusnya dipenuhi dalam pelayanan SIM, dapat disimpulkan bahwa

pelayanan SIM yang ada di Kota Makassar belum memenuhi kritieria

sebagaimana yang ditetapkan dalam Kepmenpan No. 63 Tahun 2003

sebagaimana disebutkan di atas.

Kedua, dari segi kontrol. Banyaknya perilaku-perilaku menyimpang dari

BGD maupun WM, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kontrol yang kurang, baik

internal maupun eksternal. Kontrol internal dapat dilakukan oleh pimpinan

organisasi penyedia layanan, dalam hal ini adalah oleh Kasatlantas. Kontrol

semacam ini dikenal dengan waskat (pengawasan melekat). Jika kontrol

semacam ini dapat berjalan dengan baik, maka bisa efektif dalam mengarahkan

Page 117: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

257

perilaku BGD. Kontrol eksternal dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang ada di

luar sistem pelayanan SIM. Seperti oleh warga masyarakat, media massa dalam

hal ini oleh wartawan, lembaga Ombudsman, LSM, oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, dan lain-lain. Warga masyarakat dapat melakukan komplain

langsung kepada penyedia layanan jika memperoleh layanan yang tidak

memuaskan, atau dapat melalui lembaga Ombudsman ataupun melalui DPRD.

Khusus untuk lembaga Ombudsman, dewasa ini hanya baru ada pada tingkat

pusat dan itupun belum menampakkan “taringnya” untuk dapat mempengaruhi

lembaga penyedia layanan publik yang ada di daerah agar dapat memberikan

pelayanan yang memuaskan. Oleh karena itu, diharapkan agar setiap daerah

dapat membentuk lembaga Ombudsman masing-masing agar dapat berfungsi

lebih efektif dan efisien. Karena dengan kedudukannya di daerah, diharapkan

akan lebih memahami bagaimana kondisi pelayanan publik yang ada, sehingga

fungsinya dapat lebih optimal.

Ketiga, dari segi rekrutmen anggota kepolisian. Rekrutmen anggota

kepolisian dewasa ini masih dinilai sangat buruk. Ada fenomena yang muncul di

lapangan, dalam rekrutmen anggota kepolisian, ternyata para calon polisi harus

merogoh kantongnya dengan dalam untuk membayar setiap prosedur yang

dilaluinya. Bahkan terdapat sinyalemen yang mengatakan bahwa setiap anggota

Polri minimal harus mengeluarkan uang sebesar empat puluh juta untuk bisa lulus

sebagai anggota kepolisian, sehingga ketika mereka diterima akan berusaha

untuk mendapatkan uangnya kembali. Nampaknya pernyataan tersebut ada

benarnya, karena dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PERC (Political

and Economic Risk Concultancy), nama sebuah lembaga riset di Hongkong

menilai citra polisi Indonesia sangat buruk dibanding polisi di negara lain (Khoidin

Page 118: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

258

dan Sadjijono, 2006: 9). Hal tersebut diperkuat oleh hasil survei TII (Transparansi

Internasional Indonesia) bahwa Polri merupakan salah satu lembaga terkorup di

Indonesia, selain DPR, Partai Politik dan Lembaga Peradilan (Kompas, 6 Januari

2007).

Keempat, dari segi gaji. Gaji yang masih rendah dari para birokrat

kepolisian khususnya setingkat dengan BGD yang melayani SIM. Gaji yang

rendah ini boleh jadi menjadi pemicu sehingga BGD yang bertugas melayani WM

yang mengurus SIM cenderung ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari

pelayanan yang diberikannya. Gaji yang rendah, dengan kondisi harga kebutuhan

pokok yang terus melambung akhir-akhir ini, membuat kehidupan setiap birokrat

pemerintah termasuk birokrat kepolisian menjadi sulit. Mereka yang memiliki

peluang untuk mendapatkan uang tambahan diluar gaji cenderung memanfaatkan

peluang tersebut, kendati diluar batas norma dan etika yang ada. Seperti

misalnya dalam perilaku sebagai calo yang ditampilkan oleh BGD. Meskipun

perilaku tersebut tidak sesuai norma dan etika, serta melanggar aturan yang ada,

namun dalam kenyataannya telah membudaya dalam pelayanan SIM. Budaya

seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya permisif, yakni suatu budaya yang

sebenarnya tidak dibenarkan dari segi etika dan norma agama, namun ternyata

dapat diterima dan disepakati oleh komunitas yang ada dalam masyarakat

tersebut, dan dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa karena seringnya

didengar atau dilakukan.

Meskipun demikian, tidak selamanya gaji merupakan hal yang

mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam teori kebutuhan yang dikemukakan

oleh McClelland, yang membagi tiga kebutuhan (1) nAch, need for achievemen,

(2) nPow, need for power, dan (3) nAff, need for affiliation. Dalam kaitan dengan

Page 119: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

259

pelayanan publik, teori nAch dan nAff ini sangat erat kaitannya. Seseorang akan

melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien adalah karena kebutuhan

akan prestasi. Demikian pula halnya dengan nAff, seorang BGD yang memiliki

kebutuhan nAff yang kuat cenderung akan menjalin hubungan antarpribadi yang

ramah dan akrab, yang nampak dari perilakunya yang sopan dan santun terhadap

siapa saja yang dilayaninya.

Kelima, dari faktor situasional maupun potensial. Ada hal menarik

berdasarkan hasil analisis penulis, bahwa perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh

pihak birokrat kepolisian juga disebabkan karena faktor situasional maupun

potensial. Berkaitan dengan faktor situasional, berbagai perilaku muncul karena

faktor situasional ini. Contoh paling kuat adalah perilaku sebagai calo. Karena

warga yang mengurus SIM tidak memiliki waktu luang dan juga awam terhadap

pelayanan SIM, maka birokrat garis-depan memanfaatkan situasi seperti ini

sebagai peluang yang besar untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sedangkan

dari faktor potensial, dapat dilihat dari bentuk tes praktek yang diberikan. Tes

praktek mengendarai pada dasarnya memang sangat berpotensi untuk dijadikan

sebagai peluang meraup keuntungan yang besar dari warga masyarakat yang

mengurus SIM. Sebagaimana telah dijelaskan berkali-kali pada bab-bab

sebelumnya bahwa tes praktek mengendarai terkesan sangat mengada-ada dan

dijadikan sebagai “jebakan” bagi warga yang mengurus SIM, sehingga warga

masyarakat yang punya waktu sekali pun, tetap juga memilih jalan pintas ini untuk

mengurus SIM.

Apa yang terjadi kemudian? Dalam realitas lapangan, data yang

diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata jumlah warga masyarakat yang mengurus

SIM C setiap hari kerja mencapai lebih dari 150 orang (lihat tabel 3.1 halaman

Page 120: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

260

104), namun yang nampak mengikuti tes praktek hanya beberapa orang saja. Hal

ini dapat penulis ketahui berdasarkan pengamatan di lapangan tempat praktek,

sangat jarang ada warga yang terlihat mengikuti tes praktek. Fenomena seperti

ini memberikan informasi kepada setiap orang bahwa bukankah dengan tidak

mengikuti tes praktek berarti warga tersebut mencari jalan pintas, apakah karena

“terpaksa” ataukah karena kondisi yang bersangkutan tidak memungkinkan. Dari

prosedur yang sebenarnya ujian praktek merupakan salah satu persyaratan

memperoleh SIM.

Banyak hal yang dapat dijelaskan dari karena “terpaksa” di sini. Pertama,

“terpaksa” dalam arti bahwa masyarakat membayar petugas dengan terpaksa.

Sebagai contoh, dalam perilaku “menyogok”. Warga masyarakat sebenarnya

ingin mengurus SIM, tetapi karena terhambat oleh tes praktek yang sangat sulit

baginya, maka masyarakat menyogok petugas. Meskipun dalam pandangan

masyarakat tersebut bahwa bentuk tes praktek terlalu sulit dan tidak sesuai

realitas jalan raya, namun warga tidak berdaya untuk memprotes hal itu. Disini

juga menunjukkan posisi warga yang lemah dalam memperoleh pelayanan SIM.

Kedua, “terpaksa” dalam arti kalau dia tidak mengikuti permintaan birokrat

garis-depan yang melayaninya, maka dia akan terkendala. Contohnya dalam

perilaku “mempersulit”. Warga masyarakat tidak memiliki pilihan lain kecuali

tunduk dan patuh terhadap apa yang diminta oleh birokrat garis-depan yang

melayaninya. Kasus seperti terjadi dari hasil interaksi antara BGD yang bergaya

negosiasi intimidasi dengan warga masyarakat yang bergaya negosiasi

kerjasama.

Sedangkan untuk kondisi yang tidak memungkinkan bagi warga sehingga

mencari jalan pintas dapat kita lihat dalam perilaku sebagai calo. Karena warga

Page 121: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

261

masyarakat tidak memiliki waktu yang cukup disebabkan oleh karena

kesibukannya yang lain sehingga dia tidak ingin mengurus sendiri SIM, maka dia

mencari petugas yang berperilaku sebagai calo untuk menguruskan semua

proses untuk mendapatkan SIM.

Kecenderungan perilaku seperti ini sebenarnya dapat mengaburkan

peraturan dan prosedur pelayanan SIM yang sebenarnya. Terlebih lagi karena

perilaku semacam ini sepertinya telah menjadi “budaya permisif”. Dalam arti

bahwa sebenarnya hal tersebut tidak dibenarkan dari segi etika dan moral, namun

karena telah menjadi kebiasaan dalam pelayanan SIM, maka seakan-akan telah

dibenarkan oleh kedua belah pihak yang berinteraksi. Sehingga lambat laun hal

tersebut telah menjadi “budaya” dalam pelayanan SIM.

Keenam, ketakutan ”mencari masalah” dengan atasan. Adanya perilaku

memperlakukan khusus korps tertentu, terutama terhadap wartawan adalah

merupakan salah satu bukti adanya ketakutan BGD mencari masalah dengan

atasan. Ketika seorang wartawan yang nota bene memiliki hubungan erat dengan

atasan mereka ingin mengurus SIM, maka BGD memperlakukan khusus

wartawan tersebut, yang sebenarnya melanggar prosedur dan aturan yang ada.

Sebagaimana pengakuan dari wartawan, bahwa dirinya bahkan tidak diwajibkan

membayar biaya administrasi untuk mendapatkan SIM yang dibutuhkannya,

terlebih lagi mengenai tes teori dan tes praktek. Ketika atasan memerintahkan

untuk memberikan pelayanan khusus, maka peraturan menjadi nomor dua, yang

penting bagi BGD adalah bagaimana memberikan kepuasan kepada atasan dan

juga pihak yang direkomendasikan dalam hal ini adalah wartawan.

Ketujuh, penerapan sanksi yang tidak tegas. Birokrat yang melakukan

diskresi yang menyimpang dari standar aturan yang telah ditetapkan, rupanya

Page 122: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

262

tidak memperoleh sanksi dari atasan. BGD selaku pelaksana kebijakan

cenderung menerjemahkan aturan sesuai dengan keinginannya. Misalnya dalam

menjalankan aturan sebagaimana yang diatur dalam PP No. 44/1993 tentang

SIM, khusus mengenai tes praktek, karena tidak ada secara tegas mengenai

bagaimana tes itu dilakukan, maka BGD cenderung membuat kebijakan sendiri,

yang nampaknya sangat menyulitkan warga masyarakat. Hasil pengamatan

lapangan menunjukkan bahwa perilaku semacam ini terus berlanjut tanpa adanya

sanksi yang tegas dari pimpinan atau pihak terkait.

Kedelapan, pelayanan SIM yang monopoli dilakukan oleh pemerintah.

Monopoli pelayanan seperti ini membuat pelayanan publik tidak bisa diharapkan

dapat berkualitas. Apabila terjadi sikap putus asa lantas exit seperti ini, warga

masyarakat tidak memiliki choice untuk mendapatkan pelayanan yang sama.

Kondisi seperti ini nampaknya dimanfaatkan oleh para petugas birokrat garis-

depan, karena menanggap bahwa warga masyarakat tidak memiliki pilihan

(choice) yang lain untuk memperoleh pelayanan, sehingga masyarakat sangat

bergantung kepadanya, lantas kemudian mereka dapat berperilaku sekehendak

hatinya. Akhirnya banyak kita jumpai BGD yang berperilaku pangreh praja dan

bukannya pamong praja. Terlebih lagi jika tidak didukung oleh moral yang baik

serta pengawasan yang ketat baik pengawasan internal maupun eksternal, maka

dapat dipastikan bahwa hampir semua pelayanan publik yang ada akan ditemui

perilaku yang tidak akuntabel dan berkeadilan.

Dari aneka ragam bentuk perilaku diferensial yang muncul dari hasil

interaksi antara gaya-gaya negosiasi BGD dengan gaya-gaya negosiasi WM,

kecenderungannya mengaburkan aturan dan prosedur, sehingga prosedur

Page 123: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

263

pelayanan SIM berlangsung sesuai dengan pemaknaan dari masing-masing

individu yang berinteraksi.

6.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan Dari Perilaku Diferensial

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, perilaku-perilaku diferensial

seperti sebagai calo, mencari gampang, memperlakukan khusus korps tertentu,

dan perilaku menyogok, kesemuanya adalah termasuk perilaku yang

menyebabkan kaburnya persyaratan dan prosedur pelayanan SIM. Disamping

menimbulkan cacat prosedur (malprosedur), perilaku-perilaku tersebut juga

berdampak buruk terhadap WM lainnya. WM yang ingin mengurus SIM melalui

prosedur resmi merasa dirugikan karena cenderung mendapat perlakuan

mengabaikan, atau dinomorduakan dalam pelayanan. Adanya perilaku seperti ini

juga dapat menimbulkan kesan diskriminatif bagi pengguna jasa layanan, karena

hanya mereka yang menyogok petugas, membayar lebih, atau yang memiliki

kenalan yang dilayani dengan baik, sedangkan mereka yang berasal dari WM

biasa tidak dapat memperoleh pelayanan yang baik dalam arti normal.

Temuan tentang perilaku yang bersifat interaktif tidak dapat dikatakan

sebagai perilaku yang dapat mendukung kualitas pelayan publik, sekalipun kedua

belah pihak (BGD dan WM) merasa diuntungkan dari perilaku tersebut. Beberapa

perilaku yang meskipun menguntungkan kedua belah pihak (BGD dan WM)

namun merugikan pihak lain termasuk institusi pelayanan yang bersangkutan.

Misalnya perilaku menyogok, jika dilihat dari untung rugi maka menguntungkan

keduanya, disatu sisi masyarakat mendapatkan pelayanan yang cepat,

sementara di sisi lain BGD mendapatkan imbalan berupa uang ekstra atas

pelayanan yang diberikan. Akan tetapi perilaku seperti ini tidak dibenarkan karena

Page 124: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

264

dapat mengakibatkan malprocedural. Artinya bahwa warga yang mencoba untuk

menyogok BGD dalam pelayanan publik, dapat mengabaikan persyaratan

administrasi ataupun prosedur pelayanan yang seharusnya dilalui. Sehingga dari

segi prosedural, hal tersebut melanggar aturan, dan dianggap tidak mampu untuk

memenuhi persyaratan untuk memperoleh SIM.

Demikian pula halnya dengan perilaku memperlakukan khusus korps

tertentu, seperti wartawan, anggota Dewan dan anggota tentara. Pola hubungan

ini didasarkan pada status tertentu dari publik yang dilayani yang akhirnya

melahirkan diskriminasi pelayanan. Perilaku ini pada prinsipnya dapat

menguntungkan kedua belah pihak (petugas dan WM). Warga yang berasal dari

korps tersebut di atas mendapatkan kemudahan dalam pelayanan SIM tanpa

harus melalui prosedur formal dan bahkan terdapat kasus dimana anggota korps

tersebut tidak dikenakan biaya administrasi pengurusan SIM. Seperti pengakuan

wartawan, bahwa dirinya tidak dikenakan biaya administrasi untuk memperoleh

SIM penggantian. Kasus seperti ini dapat merugikan negara karena

berkurangnya pendapatan negara bukan pajak (PNPB). Perilaku ini dapat

menguntungkan BGD karena anggota korps yang dibantu tersebut tidak lagi

menjadi kritis terhadap praktek-praktek yang terjadi dalam pelayanan SIM.

Mereka seakan menutup mata dan telinga atas kejadian yang ada, karena merasa

berhutang budi pada BGD yang telah memberikan pelayanan yang mudah.

Sehingga dengan demikian, perilaku-perilaku negatif yang telah berkembang

menjadi sebuah budaya yang dapat tetap berlangsung tanpa campur tangan dari

pihak yang dianggap memiliki power untuk menghilangkannya. Di lain pihak,

perilaku customization terhadap korps tertentu menimbulkan sikap tidak adil atau

diskriminatif terhadap warga lain yang bukan berasal dari korps tersebut.

Page 125: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

265

Perilaku diskriminasi dalam pelayanan bukan saja terjadi dalam pelayanan

SIM di Kota Makassar, akan tetapi juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Seperti hasil survey yang dilakukan oleh Tim Pelembagaan Citizens’ Charter

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM di tiga kota: Blitar (Jawa

Timur), Ambara (Jawa Tengah) dan Kota Jogjakarta (DIJ), hasilnya menunjukkan

bahwa di Jogjakarta misalnya, terjadi diskriminasi pelayanan dalam pembuatan

akte kelahiran terjadi pada WNI keturunan (China). Pada formulir pendaftaran

ada pembedaan kode (C) untuk keturunan China. Meskipun pengajuan akte

bersamaan dengan pemohon yang lain, namun karena yang bersangkutan WNI

keturunan, maka diperlakukan secara disktriminatif (Jawa Pos, 2004). Dengan

demikian, maka perlakuan diskriminatif ini tidak dapat memenuhi prinsip keadilan

dan persamaan hak dalam pelayanan publik.

Jika ditinjau dari segi normatif, sesungguhnya telah diatur dalam UU No.

43/1999 pasal 3 ayat 2 dan 3, yakni ”pegawai negeri harus netral dari pengaruh

semua golongan dan partai politik, serta tidak diskriminatif dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas pegawai negeri

dilarang menjadi anggota/atau pengurus Partai Politik. Dengan demikian, apabila

setiap pegawai negeri sipil termasuk birokrat kepolisian dapat menghayati dengan

baik makna UU tersebut, maka akan tercipat perlakuan dan persamaan hak dalam

pelayanan publik.

Sementara itu, munculnya perilaku mencari gampang dari WM sebenarnya

lebih dipicu oleh adanya prosedur yang berbelit-belit yang sangat sulit dipenuhi

oleh WM untuk memperoleh SIM. Adanya bentuk tes praktek yang sulit untuk

dilalui, sehingga kemudian WM berupaya mencari jalan pintas untuk memperoleh

SIM. Di satu sisi, BGD telah siap dengan perilaku sebagai calo. Dan bahkan, dari

Page 126: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

266

pihak sipil juga banyak menangkap fenomena ini sebagai peluang untuk

memperoleh keuntungan, dengan bertindak sebagai calo dalam pelayanan SIM.

Sehingga kemudian muncul banyak calo dalam pelayanan SIM.

Fenomena banyaknya calo dan banyaknya WM yang menggunakan calo

untuk memperoleh suatu layanan sebenarnya telah menjadi indikasi yang kuat

bahwa pelayanan publik yang ada dalam pelayanan SIM sangat tidak memuaskan

oleh WM. Mengapa dikatakan tidak memuaskan? Karena apabila suatu

pelayanan publik memuaskan WM, maka WM akan antusias untuk memperoleh

layanan yang dibutuhkan tanpa melalui perantara atau tanpa menyogok petugas.

Namun apa yang terjadi di lapangan, bahwa pada umumnya WM yang mengurus

SIM menempuh jalan pintas atau berperilaku sebagai pembeli jasa layanan.

Hal ini diperkuat oleh data sekunder yang diperoleh tentang jumlah warga

yang mengurus SIM C setiap harinya untuk tiga tahun terakhir sangatlah banyak.

Apabila dirata-ratakan, maka dalam sehari dapat mencapai 150 orang (lihat

lampiran 1). Namun dari hasil pengamatan lapangan, terdapat temuan yang

menarik, bahwa hanya sekitar 5 orang saja setiap hari, itu pun kalau ada, warga

yang mengikuti tes praktek di lapangan. Selama dalam melakukan penelitian,

kondisi ini tidak pernah berubah. Fenomena semacam ini lalu kemudian

memunculkan pertanyaan analitik. Kemana yang lainnya? bukankah salah satu

persyaratan untuk memperoleh SIM adalah terampil mengemudi sepeda motor

yang dapat diketahui lewat tes teori dan tes praktek.

Fenomena ini dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pada umumnya

masyarakat memperoleh SIM dengan cara tidak prosedural. Kenapa dikatakan

tidak prosedural? Karena terbukti hanya sedikit warga masyarakat yang

mengikuti tes teori dan tes praktek di lapangan. Seandainya mereka mengurus

Page 127: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

267

SIM sesuai prosedur yang berlaku berarti harus melewati tes teori dan tes praktek

tadi. Seharusnya yang terjadi adalah lapangan yang dipersiapkan untuk tes

praktek selalu ramai digunakan oleh WM yang mengikuti tes praktek. Karena data

yang ada menunjukkan bahwa rata-rata jumlah warga yang mengurus SIM C

setiap harinya lebih dari 150 orang. Data tiga tahun terakhir sebagai berikut:

tahun 2004 jumlah warga yang mengurus SIM C adalah 54467 (baru = 39279,

perpanjangan = 15188), tahun 2005 adalah 49091 orang (baru = 32287,

perpanjangan = 16804), dan tahun 2006 adalah 57837 orang (baru = 35229,

perpanjangan 22608). Jika dirata-rata setiap hari, maka untuk tahun 2004 jumlah

warga kota yang mengurus SIM C adalah 54467 orang / 365 hari = 149,2 orang

per hari. Untuk tahun 2005 adalah 49091 orang / 365 hari = 134,5 orang per hari.

Sedangkan untuk tahun 2006 rata-rata jumlah warga kota yang mengurus SIM C

setiap harinya adalah sebanyak 57837 orang / 365 hari = 158,5 orang per hari.

Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1. Meskipun untuk WM yang

memperpanjang SIM C tidak perlu lagi mengikuti tes teori dan tes praktek (apabila

masa berlaku SIM tidak lewat dari 1 tahun), namun dari data di atas terlihat bahwa

jumlah WM yang memperpanjang kurang dari separuh dari jumlah WM yang

bermohon baru. Ini berarti bahwa lebih banyak WM yang bermohon baru

dibandingkan dengan WM yang memperpanjang SIM. Oleh karenanya, maka

seharusnya banyak pula WM yang mengikuti tes praktek di lapangan. Bukankah

kalau mengurus baru diwajibkan untuk ikut tes teori dan praktek?

Perilaku-perilaku yang muncul dengan ”memanfaatkan” peraturan yang

ada sebenarnya dapat mengakibatkan berbagai kerugian terutama terhadap

pengguna jasa layanan. Peraturan dengan mengikut tes yang dirancang

sedemikian rupa di satu sisi bisa positif dan di sisi lain bisa negatif. Sisi positifnya

Page 128: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

268

adalah bahwa hanya mereka yang memiliki keterampilan tinggi yang dapat lulus

sehingga memenuhi persyaratan untuk mengantongi SIM. Dampaknya adalah

bahwa kondisi jalan raya akan aman dan lancar, karena orang-orang yang

berkendara adalah orang yang ahli dan mahir. Sisi negatifnya adalah warga akan

merasa takut untuk mengikuti tes karena takut tidak lulus. Kondisi ini

dimanfaatkan oleh petugas untuk meraup keuntungan dari warga kota yang takut

tes, sehingga meskipun seseorang tidak terampil mengendarai sepeda motor,

mereka juga dapat memperoleh SIM apabila mau membayar petugas.

Dampaknya adalah kondisi jalan raya akan rawan kecelakaan karena mereka

yang berkendara tidak ahli sekalipun mempunyai SIM. Ini berarti akan merugikan

warga kota itu sendiri.

Jika hal tersebut dibiarkan terus berlanjut, maka kondisi jalan raya akan

semakin rawan kecelakaan. Karena warga kota yang memiliki SIM sebenarnya

tidak mempunyai keterampilan mengendara dan tidak memahami rambu-rambu

lalu lintas dengan baik. Jadi dampak dari perilaku sebagai calo pada pengurusan

SIM ini sangat besar bagi masyarakat pengguna jalan. Meskipun semua warga

kota yang memiliki kendaraan telah mempunyai SIM, tetapi kenyataannya mereka

belumlah ahli dalam berkendara sehingga kecelakaan lalulintas di jalan raya

hampir tiap hari terjadi. Sopir ”pete-pete” berhenti di sembarang tempat, apakah

itu dipersimpangan jalan menaikkan dan menurunkan penumpang, atau

memotong kendaraan yang ada di depannya apabila melihat calon penumpang

berdiri di pinggir jalan. Pemandangan seperti ini sangat sering kita lihat di Kota

Makassar. Sopir yang demikian sebenarnya belumlah pantas untuk memperoleh

SIM, karena tidak dapat mematuhi peraturan berlalulintas dengan baik. Mereka

ugal-ugalan di jalan raya, sehingga mengganggu pengguna jalan lainnya. Inilah

Page 129: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

269

antara lain dampak yang ditimbulkan dari perilaku sebagai calo dari birokrat garis-

depan, yang barangkali tidak disadari oleh pelakunya. Dari hasil keuntungan yang

diperolehnya, menanti kerugian yang lebih besar dikemudian hari. Ini merupakan

salah satu contoh kecil dari perilaku sebagai calo para pejabat birokrat, yang

dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Dengan demikian, maka yang diharapkan sebenarnya adalah petugas

yang melayani pemberian SIM dapat menerapkan aturan secara tegas dengan

format tes praktek mengendarai sesuai dengan kondisi riil jalan raya, sehingga

WM yang telah mahir mengendarai sepeda motor di jalan raya tidak lagi merasa

takut untuk mengikuti tes teori dan praktek. Ketika WM ramai-ramai mengurus

SIM sesuai prosedur resmi, maka tidak akan lagi calo sipil yang berkeliaran di

sekitar gedung pelayanan SIM, tidak ada lagi BGD yang berperilaku sebagai calo,

tidak ada lagi WM yang berperilaku mencari gampang, tidak akan ada lagi WM

yang berusaha untuk menyogok petugas, dan perilaku-perilaku menyimpang

lainnya akan tereliminir dengan sendirinya.

Jadi kuncinya sebenarnya adalah bagaimana membuat prosedur

pelayanan SIM menjadi singkat dan tes yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan

WM. Kebutuhan WM yang dimaksud disini adalah bahwa tes tersebut didesain

sesuai dengan kondisi riil jalan raya. Seperti WM tidak pernah dilarang untuk

menurunkan kakinya ketika mengalami ketidakseimbangan dalam mengendarai

sepeda motor. WM tidak pernah diminta untuk melakukan ziq-zaq di jalan raya,

bahkan yang ada adalah larangan untuk melakukan ziq-zaq. Boleh ada format tes

ziq-zaq, tapi tidak seperti yang dilakukan dalam tes praktek yang ada selama ini,

dengan mana WM diminta untuk melakukan ziq-zaq sebanyak kurang lebih 8 kali

dengan jarak tiang kurang dari dua meter, sementara diberi batas luar yang

Page 130: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

270

sangat sempit. Siapa pun orangnya tidak akan pernah bisa melewati tes

semacam itu, kecuali mereka yang benar-benar telah berlatih sebelumnya untuk

tes seperti itu. Sebenarnya tes ziq-zaq ada benarnya, jika dilakukan secara

normal dan masuk akal seperti yang disarankan tadi. Karena memang ketika

seorang mengendarai sepeda motor, ada saat-saat dimana WM harus membuat

ziq-zaq untuk melewati pengendara lainnya yang dianggap lamban sehingga

menghambat perjalanannya. Namun kondisinya tidaklah seperti yang ada dalam

tes praktek dalam pengurusan SIM selama ini.

Dengan demikian, maka sebenarnya tujuan untuk memberikan tes ziq-zaq,

membuat lingkaran, dan tanjakan sebagai persyaratan lulus untuk memperoleh

SIM ada benarnya, karena hal tersebut seringkali harus dilakukan oleh WM ketika

mengendarai sepeda motor. Namun dalam pelaksanaannya kemudian, BGD

yang bertugas memberikan tes praktek ini cenderung menerapkan aturan dengan

sangat ketat dan bahkan di luar batas kewajaran, sehingga warga masyarakat

yang mengikuti tes sangat jarang yang lulus dalam tes praktek. Fenomena

semacam ini sebenarnya menunjukkan bahwa peraturan harus mengikuti tes teori

dan praktek bertujuan untuk meminimalkan kecelakaan di jalan raya, karena

hanya mereka yang terampil mengendarai yang bisa lulus tes. Namun kemudian

aturan tersebut disalahgunakan oleh BGD, dengan menerapkan peraturan

dengan sangat ketat dan tidak sesuai dengan kondisi riil jalan raya. Tetapi yang

terjadi kemudian adalah ketika WM membayar petugas, maka tes semacam ini

justru dihilangkan dan tidak lagi menjadi sebagai sebuah persyaratan yang harus

dipenuhi oleh WM. Disinilah sebenarnya ketidakadilan dan ketidakkonsistenan

dari BGD dalam memberikan pelayanan SIM.

Page 131: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

271

Akibat dari semua itu, fenomena yang kemudian muncul adalah banyak

calo dalam pelayanan SIM. Ketika WM melalui calo untuk memperoleh SIM,

maka WM tidak lagi mengikuti tes teori dan tes praktek. BGD yang berperilaku

sebagai calolah yang menjawab soal-soal tes teori. Fenomena semacam ini

sebenarnya merupakan hal yang sangat menggelikan, karena seharusnya BGD

yang bertugas mengawasi peserta ujian, malah dia yang harus menjawab soal-

soal. Ada semacam perilaku menipu dan membodohi diri sendiri, bahkan

terhadap warga masyarakat. Seharusnya warga masyarakat mengikuti tes teori

agar mereka dapat memahami secara teori bagaimana sebaiknya berperilaku di

jalan raya, namun hal ini tereliminasi hanya karena sesuatu yang bernama ”uang”.

Penulis teringat ungkapan yang dilontarkan oleh seorang penyair yang bernama

Gothe bahwa: ”tiada yang lebih mengerikan didunia ini dibanding dengan

kebodohan yang sedang beraksi”. Nampaknya apa yang disebut oleh Gothe

tersebut telah banyak terjadi di dalam birokrasi kita. Banyak orang tidak lagi

memikirkan apa dampak dari perilakunya ketika ia dihadapkan pada pilihan antara

integritas dan uang. Uang seringkali membuat orang tidak lagi berpikir rasional.

Misalnya seorang BGD rela berperilaku sebagai calo untuk mendapatkan

keuntungan berupa uang.

6.3 Aktor Dominan yang Menjadi Penentu Perilaku Pelayanan

Sebagaimana temuan penelitian dalam bab 5 sub-bab 5.3 tentang aktor

dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan, menunjukkan adanya

dominasi BGD dalam menentukan perilaku pelayanan. Dominasi seperti ini

menyebabkan posisi WM berada dalam kondisi yang sangat lemah, dalam arti

bahwa WM tidak memiliki posisi tawar dalam pelayanan publik, terutama dalam

Page 132: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

272

hal bentuk format tes yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini mengindikasikan

bahwa pelayanan SIM yang diselenggarakan oleh lembaga kepolisian dalam hal

ini adalah Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar tidaklah memuaskan WM.

Temuan penelitian tentang ketidakberdayaan WM dalam pelayanan SIM

boleh jadi disebabkan karena adanya monopoli dalam pelayanan SIM. Dengan

demikian, maka temuan ini sesuai dengan pandangan Stahl (1984: 35) yang

mengatakan bahwa ketidakberdayaan masyarakat terhadap pelayanan publik

selama ini disebabkan karena pada umumnya pelayanan publik bersifat monopoli

dilakukan oleh birokrasi pemerintah. Sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan

lain (choice) terhadap pelayanan publik. Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh

BGD yang memiliki orientasi keuntungan. Dari temuan ini terbukti bahwa

beberapa perilaku diferensial yang muncul dari hasil interaksi GGN BGD dan WM

kebanyakan merugikan pihak WM selaku penerima layanan. Akan tetapi,

masyarakat tidak dapat merespons pelayanan yang tidak sesuai dengan

harapannya melalui exit (Hirschman, 1970).

Respons exit (menghindar) tidak dapat dilakukan ketika WM tidak puas

dengan pelayanan SIM yang diperolehnya dengan jalan mencari alternatif

(choice) pelayanan SIM di tempat yang lain. Respons exit semacam ini tidak

akan mungkin dilakukan karena tidak ada pilihan lain dari warga untuk

memperoleh pelayanan SIM seperti ini. Karena dari segi makro struktural,

pelayanan SIM memang telah ditetapkan sebagai pelayanan yang monopoli

dilakukan oleh Lembaga Kepolisian, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002, Pasal 15 ayat (2) point c berbunyi “Kepolisian Negara Republik

Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang

memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor”.

Page 133: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

273

Namun demikian, warga masyarakat dapat menggunakan bentuk respons

kedua yakni voice ketika merasa bahwa pelayanan yang diterimanya tidak sesuai

dengan harapannya. Respons voice (bersuara) dapat dilakukan melalui keluhan-

keluhan atau komplain terhadap birokrasi pelayanan apakah langsung kepada

birokrasi pelayanan atau saluran-saluran bersuara lainnya seperti Lembaga

Konsumen Indonesia, Komisi Ambudsman, dan lain-lainnya. Menurut Hirschman,

bersuara bagi warga masyarakat atau konsumen ini adalah bertujuan untuk

mengubah praktek, kebijakan dan output dari perusahaan yang produk atau

jasanya mereka beli, atau mengubah organisasi tempat mereka berada

(Hirschman dalam Parsons, 2001).

Dari segi prinsip-prinsip pokok dalam pelayanan publik, meskipun

pelayanan SIM dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah (monopoli) dalam hal ini

adalah birokrasi kepolisian, namun tentunya tidak dapat mengabaikan prinsip-

prinsip pokok dalam pelayanan publik agar dapat berkualitas, terutama prinsip

profitabilitas dan akuntabilitas. Dalam pandangan Islamy (2000: 25) prinsip

profitabilitas, bahwa proses pelayanan seharusnya dapat dilaksanakan secara

efektif dan efisien serta memberikan keuntungan ekonomi bagi pemerintah dan

birokrat garis-depan tetapi juga bagi masyarakat luas. Keuntungan ekonomi bagi

pemerintah di sini telah dapat terpenuhi melalui biaya administrasi SIM sebesar

Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk SIM baru dan Rp 60.000,- (enam

puluh ribu rupiah) untuk SIM perpanjangan. Biaya administrasi tersebut disetor

kepada negara dan merupakan salah satu bentuk Penerimaan Negara Bukan

Pajak (PNBP). Dengan demikian, maka sudah selayaknya pemerintah dalam hal

ini adalah birokrat kepolisian yang memberikan pelayanan SIM dapat melayani

dengan baik warga masyarakat yang mengurus, karena mereka telah digaji oleh

Page 134: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

274

warga masyarakat untuk melakukan tugasnya. Mereka tidak sepantasnya lagi

memeras warga untuk memperoleh keuntungan pribadi. Sebagaimana dalam

pandangan Islamy (2000: 25) bahwa aparat birokrat garis-depan selayaknya

menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pelayanan publik, yakni bahwa proses,

produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah pada

hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya

kepada masyarakat.

Temuan ini juga mendukung temuan Soedarmo (1998) yang mengatakan

bahwa aneka ragam gaya negosiasi sebagian besar justru mengaburkan

kedudukan dan pengaruh peraturan dalam interaksi pelayanan birokrasi garis-

depan dengan warga masyarakat. Dari sepuluh bentuk perilaku diferensial yang

berhasil diidentifikasi, setidaknya terdapat lima (5) bentuk perilaku diferensial yang

melanggar aturan prosedural dalam pelayanan SIM yakni perilaku sebagai calo,

mempersulit, menyogok, mencari gampang, dan memperlakukan khusus korps

tertentu. Sementara terdapat empat bentuk perilaku diferensial yang dianggap

dapat memenuhi aturan prosedural yakni superior, mengabaikan, menghentikan

proses pengurusan SIM, dan menolak membayar, namun perilaku diferensial

tersebut tidak memenuhi prinsip pelayan publik yang baik, karena tidak dapat

memberikan kepuasan kepada masyarakat yang dilayani. Sedangkan hanya

terdapat satu bentuk perilaku diferensial yang memenuhi aturan prosedural dan

memenuhi prinsip pelayanan publik yang baik yakni perilaku melayani.

Jika dilihat dari aspek budaya organisasi, temuan penelitian ini mendukung

pandangan U.S. Department of Justice (1993) yang dikutip oleh Muhammad

(1999: 33), bahwa setiap lembaga kepolisian memiliki suatu kultur; namun

Page 135: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

275

persoalannya kemudian adalah apakah kultur tersebut dikembangkan secara

terarah atau hanya sekedar berkembang tanpa pertimbangan dan bimbingan.

Karena prilaku yang muncul di lokasi penelitian nampaknya telah menjadi

kebiasaan, dan celakanya bahkan di “benar” kan oleh birokrat kepolisian, maka

perilaku tersebut dipandang sebagai subkultural kepolisian.

Berdasarkan pengamatan lapangan juga ditemukan bahwa justru perilaku

sebagai calo, mempersulit, dan mencari gampang ini yang banyak terjadi dalam

interaksi antara birokrat garis-depan dan warga masyarakat. Setelah dilakukan

verifikasi untuk keabsahan data terhadap warga dan juga birokrat garis-depan

melalui wawancara, kecenderungan jawaban yang diperoleh mendukung hasil

pengamatan lapangan yang telah dilakukan. Hasil temuan ini juga menunjukkan

posisi WM yang resesif (lemah) dalam menentukan bentuk pelayanan publik.

Posisi resesif seperti ini dapat memberi informasi bagi kita bahwa selama ini

warga masyarakat tidak mempunyai posisi bargaining yang kuat terhadap

pelayanan publik. Padahal sebuah pelayanan publik bisa berkualitas jika

masyarakat memiliki daya tawar yang kuat, dalam arti bahwa masyarakat memiliki

ruang untuk berpartisipasi dalam menentukan berbagai aspek dalam pelayanan

publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt (2003)

bahwa karena pemilik kepentingan publik adalah masyarakat maka administrator

publik (birokrasi garis-depan) seharusnya memusatkan perhatiannya pada

tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga masyarakat dalam

pengelolaan pelayanan publik. Upaya memberdayakan warga masyarakat dapat

dilakukan jika warga masyarakat memiliki kualitas yang tinggi. Artinya bahwa

masyarakat harus juga cerdas. Kalau masyarakat tidak cerdas maka tidak akan

Page 136: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

276

memberikan sumbangan yang berarti, karena bisa saja justru masyarakat yang

dirugikan dalam proses bargaining.

Dengan demikian, maka hasil temuan penelitian ini juga mendukung

pandangan bahwa sudah saatnya kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah

memberikan perhatian penuh terhadap warga masyarakat, bukan saja dari segi

ekonomi, tetapi dari segala aspek kehidupan masyarakat termasuk sosial dan

budaya. Dengan demikian maka masyarakat diharapkan dapat menjadi sejahtera,

cerdas dan kritis, yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada perbaikan

pelayanan publik di negara kita tercinta ini.

Dari keseluruhan uraian di atas, penulis dapat berkesimpulan bahwa

pelayanan SIM yang ada di Kota Makassar pada dasarnya belum mampu

memenuhi beberapa kriteria kualitas pelayanan publik yang baik, seperti (1)

tangible, kondisi fisik sebagai penunjang/pendukung pelayanan, yakni tidak

tersedianya sepeda motor untuk ujian praktek bagi warga yang mengurus SIM C

(2) Reliable, kemampuan menyediakan layanan yang tepat dan dapat diandalkan;

(3) Responsiveness, tanggung jawab aparat penyedia pelayanan terhadap

kualitas pelayanannya; (4) Competence, kemampuan aparat sesuai dengan

pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan keterampilannya. Meskipun dari segi

kompetensi, BGD memenuhi syarat akan tetapi dari segi courtesy, nampaknya

BGD tidak dapat memenuhinya dengan baik, seperti munculnya perilaku superior;

(5) Courtesy, daya tangkap dan sikap aparat yang baik sehingga memenuhi

kepuasan pelanggan; (6) Credibility, sikap jujur dan dapat dipercaya; (7) Security,

jaminan rasa aman dan bebas dari resiko pelayanan; (8) Accessibility, kemudahan

untuk memperoleh layanan dengan adil, dan tidak memihak; (9) Communication,

kemampuan memahami, mendengarkan dan menyampaikan pesan/informasi

Page 137: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

277

tentang pelayanan yang baik; (10) Understanding the customer, berusaha untuk

memahami kebutuhan konsumen atau masyarakat yang dilayani (Zeithaml, 1990).

Mari kita tinjau satu per satu kriteria tersebut berdasarkan temuan yang

ada di lapangan.

Pertama, berkaitan dengan tangible, kondisi fisik sebagai

penunjang/pendukung pelayanan,. Hasil penelitian lapangan menemukan bahwa

tidak tersedia sepeda motor dan juga mobil untuk sarana yang digunakan

pemohon SIM dalam mengikuti tes praktek. Dengan demikian, maka unsur yang

pertama ini dianggap tidak terpenuhi.

Kedua, berkaitan dengan kriteria reliable, kemampuan menyediakan

layanan yang tepat dan dapat diandalkan. Pada prinsipnya kriteria ini telah

mampu dipenuhi oleh penyedia layanan yakni berupa produk kartu SIM. Dari segi

bentuk fisik dan kualitas kertas dapat tahan lama.

Ketiga, responsiveness, tanggung jawab aparat penyedia pelayanan

terhadap kualitas pelayanannya. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, untuk

kriteria yang satu ini rupanya belum dapat dipenuhi oleh para BGD. Hal ini

nampak dari perilaku-perilaku negatif ditampilkan oleh BGD ketika berinteraksi

dengan WM, sehingga tidak mendukung terciptanya pelayanan yang berkualitas.

Seperti misalnya perilaku mempersulit, superior, dan mengabaikan.

Keempat, competence, kemampuan aparat sesuai dengan pengetahuan,

pengalaman, keahlian, dan keterampilannya. Untuk kriteria kompetensi, nampak

dari hasil pengamatan lapangan bahwa para BGD betul-betul ahli dalam

bidangnya masing-masing, misalnya saja petugas loket tes praktek mengendari

sangat mahir dalam melewati rintangan ketika memberikan contoh kepada

Page 138: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

278

pemohon SIM, petugas loket pengambilan gambar sangat ahli dalam mengambil

foto peserta, begitu pula petugas loket lainnya.

Kelima, courtecy, daya tanggap dan sikap aparat yang baik sehingga

memenuhi kepuasan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

umumnya sikap aparat yang bertugas dalam melayani SIM belum mampu

menunjukkan sikap yang dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Hal ini terbukti

dari bentuk-bentuk perilaku yang muncul di lapangan, kebanyakan berorientasi

kepada keuntungan pribadi. BGD umumnya memaknai pelayanan yang

diberikannya sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga

dengan mudah memanfaatkan warga masyarakat yang datang untuk mengurus

SIM.

Keenam, credibility, sikap jujur dan dapat dipercaya. Kriteria ini juga

masih belum mampu dipenuhi oleh BGD dalam pelayanan SIM, dimana terdapat

perilaku yang dinilai tidak mencerminkan sikap jujur, misalnya saja terdapat BGD

yang memanfaatkan warga yang lugu dan awal untuk mendapatkan keuntungan

pribadi. Tanpa menjelaskan dengan baik besarnya biaya pelayanan SIM yang

sebenarnya, kemudian langsung menentukan jumlah sesuai dengan

keinginannya. Yang terjadi kemudian di masyarakat adalah bahwa pada

umumnya masyarakat tidak mengetahui dengan baik besarnya biaya yang harus

dibayar untuk mendapatkan SIM. Rata-rata WM yang diwawancarai mengatakan

bahwa biaya yang dibayar untuk mengurus SIM adalah Rp 150.000,- untuk SIM C,

dan Rp 250.000,- untuk SIM A. Mereka memahami bahwa harga seperti itulah

yang menjadi ketentuan dalam pelayanan SIM, sekali pun dalam pengumuman di

depan gedung tercantum besaran harga yang sebenarnya, namun tidak banyak

WM yang memahaminya.

Page 139: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

279

Ketujuh, security, jaminan rasa aman dan bebas dari resiko pelayanan.

Nampaknya hal ini juga belum dapat dipenuhi dalam pelayanan SIM, dimana

masyarakat pengguna jasa layanan umumnya menghadapi resiko biaya tinggi

dalam pelayanan SIM akibat perilaku yang ditampilkan oleh BGD yang

melayaninya. Resiko untuk mendapatkan perlakuan superior dan perilaku

dipersulit apabila mengurus SIM sendiri adalah sangat besar, sehingga harapan

untuk mendapatkan pelayanan yang tenang jika mengurus SIM sangat sulit untuk

dirasakan oleh WM.

Kedelapan, accessibility, kemudahan untuk memperoleh layanan dengan

adil, dan tidak memihak. Terdapat beberapa bentuk perilaku yang ditampilkan

oleh BGD yang tidak dapat memenuhi kriteria ini. Seperti perilaku mengabaikan

dan memperlakukan khusus korps tertentu. Untuk perilaku seperti ini masyarakat

pengguna jasa lainnya merasa diperlakukan tidak adil atau diskriminatif. Dalam

perilaku mengabaikan, WM harus antri atau menunggu lama untuk mendapatkan

gilirannya. Begitu pula perilaku memperlakukan khusus anggota korps tertentu

seperti anggota TNI, wartawan, dan anggota dewan (DPRD). Pola hubungan

dalam perlakuan khusus ini lebih bersifat ekslusif. Pola hubungan yang

didasarkan pada status tertentu dari publik (WM) yang dilayani yang akhirnya

melahirkan diskriminasi pelayanan, sehingga WM yang bukan berasal dari status

tertentu tersebut merasa diperlakukan tidak adil. Terhadap orang-orang yang

yang berasal dari korps tertentu, peraturan diperlakukan sangat longgar

sedangkan terhadap WM umum diperlakukan sangat ketat dan bahkan berlebih-

lebihan.

Kesembilan, communication, kemampuan memahami, mendengarkan dan

menyampaikan pesan atau informasi tentang pelayanan yang baik. Dari

Page 140: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

280

pengamatan lapangan, dalam hal kemampuan memahami dan mendengarkan

belum dapat dipenuhi. BGD masing-masing sibuk dengan urusannya, tidak

tersedia kotak saran yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan

keluhan bagi warga yang tidak puas terhadap pelayanan yang diterimanya.

Sedangkan dari segi informasi tentang pelayanan, nampak telah dapat terpenuhi

meskipun hanya berupa papan pengumuman tentang persyaratan dan prosedur

pengurusan SIM yang ditempatkan di luar ruangan dekat pintu masuk ruangan

pelayanan SIM.

Kesepuluh, understanding the customer, berusaha memahami kebutuhan

konsumen atau masyarakat yang dilayani. Kriteria ini juga masih belum dapat

dipenuhi oleh BGD dengan baik. Dalam kenyataannya, bentuk atau format tes

praktek yang diberikan tidak memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat.

Kondisi riil lapangan sangat berbeda dengan bentuk tes yang dilalui sehingga

masyarakat yang mengikuti tes praktek pada umumnya tidak mampu melewatinya

dengan baik.

Dari kesepuluh kriteria yang dikemukakan oleh Zeithaml di atas, hanya 2

(dua) diantaranya yang mampu dipenuhi dalam pelayanan SIM di Kota Makassar.

Dengan demikian maka menguatkan simpulan tadi bahwa kualitas pelayanan

publik yang ada dalam pelayanan SIM sangat rendah.

Sebuah pelayanan publik dapat dikatakan ideal jika semua pihak yang

terlibat dalam pelayanan publik tidak merasa dirugikan akibat dari pelayanan

tersebut. Pihak yang dimaksud disini adalah pengguna dan calon pengguna jasa

layanan, BGD, maupun institusi penyedia layanan.

Page 141: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

Scanned by CamScanner

Page 142: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

281

BAB VII

TEMUAN, MODEL, DAN PROPOSISI HASIL PENELITIAN

Suatu kajian ilmiah terutama kajian disertasi diharapkan dapat

memberikan suatu sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya yang berkaitan dengan subyek kajian, baik berupa model atau

proposisi sebagai hasil kajian yang telah dilakukan berdasarkan penelitian

lapangan. Dalam kajian disertasi ini, model yang disumbangkan tentunya

berkaitan dengan perilaku pelayanan publik. Proses penyusunan model ini

mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh Makmur (2007) yakni dimulai dari

penentuan masalah penelitian, pendalaman, analisis masalah, penentuan

metode pemecahan, dan diakhiri dengan penetapan model yang definitif.

Oleh karenanya, sebelum sampai kepada model yang direkomendasikan

(recommended model), terlebih dahulu akan diuraikan secara singkat temuan

penelitian sebagai dasar pembuatan model baik model yang ada sekarang ini

(existing model). Dari pembahasan secara teoritis dan pertimbangan atas

kelemahan dari existing model ini, maka akan diajukan sebuah model sebagai

model yang direkomendasikan (recommended model) dari hasil penelitian ini.

Nantinya dari model tersebut selanjutnya dibuat proposisi hasil penelitian.

7.1 Temuan Penelitian 7.1.1 Bentuk-Bentuk Perilaku Diferensial

Berdasarkan hasil penelitian lapangan, setidaknya terdapat 10 (sepuluh)

bentuk perilaku diferensial yang teridentifikasi di lapangan. Perlu dijelaskan disini

bahwa pada prinsipnya bentuk-bentuk perilaku diferensial yang teridentifikasi

Page 143: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

282

tersebut hanya merupakan kecenderungan umum saja, karena dalam

kenyatannya berbagai bentuk perilaku diferensial bisa saja berlangsung secara

bersamaan dan saling tumpang tindih (mutually all inclusive).

Kesepuluh bentuk perilaku diferensial tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, perilaku superior. Perilaku superior terjadi saat birokrat garis-

depan menggunakan kekuasaannya secara negatif untuk memperoleh

keuntungan pribadi dengan menerapkan aturan secara ketat (yang sebenarnya

justru sangat mengada-ada). Bentuk perilaku superior merupakan tindakan yang

tidak mencerminkan sikap seorang pelayan dan termasuk perilaku yang

melanggar aturan sehingga dapat mengganggu jalannya interaksi antara birokrat

garis-depan dengan warga kota yang dilayani. Perilaku superior biasanya

dilakukan oleh birokrat garis-depan khususnya terhadap warga kota yang

”kurang berdaya”. Petugas yang berniat melakukan perilaku superior ini terlebih

dahulu dapat menaksir atau mendefinisikan orang yang dihadapinya. Dengan

dalih untuk menerapkan prosedur pelayanan sebagaimana mestinya, birokrat

garis-depan dapat memperdaya warga kota. Sebagai pemegang wewenang dan

sumberdaya, birokrat garis-depan bisa menolak, menyalahkan, mempersulit, dan

bahkan memaksakan kehendaknya kepada warga yang dilayaninya. Apabila

warga yang dilayani tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam berhadapan

dengan birokrasi pelayanan, maka dengan mudah dapat ”terjebak”, sehingga

dapat berakibat pada konsekuensi biaya tinggi.

Kedua, perilaku mengabaikan atau playing ignorant. Perilaku

mengabaikan oleh aparat birokrat, bagi warga masyarakat, ini merupakan taktik

penundaan yang dilakukan secara sadar oleh BGD. Dalam pengamatan

lapangan, terungkap pula bahwa perilaku mengabaikan seringkali terjadi

Page 144: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

283

terutama terhadap warga kota yang mengurus sendiri SIM atau tanpa uang

”lebih”. BGD selalu menganggap aksi seperti ini sebagai sebuah balon

percobaan sehingga disebut sebagai playing ignorant. BGD seakan-akan

“bermain–main” atau sistem coba-coba mengabaikan WM. Jika WM yang

mendapat perlakuan mengabaikan tidak berusaha mendesak petugas atau

mencari kerabat yang dapat membantunya, maka perilaku mengabaikan ini akan

terus berlangsung sehingga urusannya akan semakin lama.

Ketiga, perilaku sebagai calo. Perilaku sebagai calo adalah

pemandangan yang sangat mudah kita saksikan dalam pelayanan SIM di Kota

Makassar. Disamping calo sipil yang banyak berkeliaran, juga terdapat BGD

yang berperilaku sebagai calo. BGD yang berperilaku sebagai calo mondar-

mandir di luar loket yaitu sekitar pintu masuk ruang pelayanan. BGD menunggu

“mangsa” yang datang ingin mengurus SIM. Disebut sebagai BGD (pelayan)

karena sesekali dia juga masuk ke dalam loket untuk memproses berkas yang

’dicaloi’, dan BGD seperti ini juga berpakaian seragam polisi layaknya petugas

loket, karena memang sebenarnya mereka adalah petugas Satlantas Polwiltabes

Makassar. Setelah urusan selesai maka iapun ke luar dari ruangan loket. Disini

warga masyarakat biasanya bingung membedakan mana sebenarnya petugas

loket dan mana BGD yang berperilaku sebagai calo. Karena kedua-duanya

berpakaian seragam, dan sering juga berada di dalam loket.

Keempat, perilaku mempersulit. Perilaku mempersulit juga menunjukkan

ketidakberdayaan WM terhadap BGD. Perilaku mempersulit terutama dirasakan

oleh WM ketika mengikuti tes praktek. Ada 3 format tes praktek yang sangat sulit

dilalui oleh WM ketika mengikuti tes praktek. Format tes seperti mengendarai

secara ziq-zaq dan tidak boleh menurunkan kaki meskipun kondisi tidak

Page 145: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

284

seimbang, adalah hal yang dianggap oleh WM sebagai sesuatu yang sangat

mengada-ada dan tidak sesuai dengan realitas di jalan raya. Dengan mana di

jalan raya WM tidak pernah dilarang kakiknya untuk menurunkan kaki ketika

harus terpaksa mengendarai secara ziq-zaq untuk melewati jalan yang sempit.

Ada pula WM yang merasa dipersulit ketika akan memperpanjang SIM. Sesuai

aturan yang ada, jika lewat dari 1 tahun maka wajib mengikuti ujian teori dan

praktek. Namun apabila hanya lewat beberapa hari saja, maka langsung

memperoleh SIM pengganti dengan syarat harus memperlihatkan SIM lama,

menyertakan surat keterangan dokter serta membayar biaya administrasi

sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah).

Kewajiban untuk mengikuti tes bagi WM yang memperpanjang SIM yang

lewat meski 1 hari dari ketentuan di atas, maka tidak ada kompromi bagi mereka.

Dalam perilaku mempersulit ini, BGD seakan tidak mau tau apakah hanya lewat

1 hari, yang jelas bagi mereka adalah menerapkan aturan secara tegas. Kondisi

seperti ini dinilai oleh masyarakat sebagai suatu aturan yang buruk. Karena

dalam pandangan masyarakat, mereka yang telah habis masa berlaku SIM-nya

tentunya telah mahir dalam mengendarai sepeda motor. Hal ini mengingat masa

berlaku SIM adalah selama 5 tahun. Dengan demikian, maka WM yang habis

masa berlaku SIM-nya berarti telah mengendarai sepeda motor kurang lebih 5

tahun. Bukankah dengan jam mengendarai selama itu, berarti yang

bersangkutan telah sangat mahir, dan mengapa perlu harus ikut tes lagi. Jadi

persoalannya disini adalah aturan yang ada dalam perpanjangan SIM ini

dipersepsi oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sangat buruk.

Kelima, perilaku mogok. Perilaku ini menunjukkan sikap putus asa WM,

terjadi ketika warga masyarakat yang mengurus SIM tidak dapat memenuhi

Page 146: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

285

prosedur pelayanan dengan baik, terutama tahap tes teori dan tes praktek

mengendarai. Disamping itu, tes praktek sangat terkesan mengada-ada dengan

penerapan aturan yang sangat ketat terhadap warga masyarakat. Namun

ironisnya, ketika WM mengurus SIM melalui calo, maka tes teori dan tes praktek

menjadi tidak wajib lagi, padahal kalau seorang WM yang mengurus SIM melalui

prosedur aturan untuk tes terutama tes praktek sangat ketat. Sedikit saja

kesalahan yang dibuat oleh WM yang mengikuti tes praktek, maka WM tersebut

langsung dinyatakan tidak lulus. Disini letak ketidakadilan dan

ketidakkonsistenan BGD dalam menerapkan aturan. Yang ada uang

dipermudah, sedangkan yang berusaha menjalankan aturan dipersulit.

Beberapa WM yang mogok, kemudian berlanjut mengurus SIM, akan tetapi

kali ini lebih memilih mencari cara yang gampang misalnya melalui calo. Hal ini

dilakukan karena WM terpaksa harus mengurus SIM mengingat kepemilikan SIM

adalah sesuatu hal yang mutlak bagi mereka yang mengendarai sepeda motor.

Sanksinya jika tidak dapat menunjukkan SIM ketika ditangkap adalah dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya

Rp 2.000.000,- (2 juta rupiah). Dan bagi mereka yang ternyata tidak memiliki

SIM dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda

setinggi-tingginya Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah), hal ini sesuai dengan UU

No. 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 59 ayat (1) dan (2).

Keenam, perilaku menolak membayar. Jenis perilaku yang ekstrim dari

warga kota adalah menolak membayar biaya diluar ketentuan resmi ketika

berhadapan dengan birokrat garis-depan. Dianggap ekstrim karena perilaku ini

berani dilakukan oleh warga padahal warga tersebut berada dalam posisi yang

membutuhkan pelayanan SIM. Perilaku jenis ini dilakukan oleh mereka yang

Page 147: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

286

merasa dirinya mampu mengikuti tes teori dan praktek yang selama ini menjadi

momok dalam pelayanan SIM. Hal yang menarik adalah perilaku seperti ini

dilakukan oleh warga masyarakat yang terpelajar dan tidak ingin berkolusi

dengan petugas. Ketika menghadapi BGD yang mencoba memerasnya, maka

WM yang berperilaku seperti ini akan melakukan penolakan. Perilaku seperti ini

memiliki nilai positif, karena dapat bersifat mengendala atau constraining

terhadap perilaku BGD yang menyimpang dari aturan, yang pada akhirnya dapat

berpengaruh terhadap kualitas pelayanan. Jadi bukan saja struktur (terutama

dalam kaitan dengan peraturan) yang dapat menjadi constraining terhadap

perilaku BGD (Giddens, 1995), akan tetapi WM juga bisa berfungsi seperti ini.

Ketujuh, perilaku mencari gampang. Warga yang cenderung berperilaku

seperti ini adalah bukan saja mereka memiliki kesibukan dalam pekerjaannya

sehari-hari sehingga tidak ingin mengikuti semua prosedur pengurusan SIM,

akan tetapi juga dilakukan oleh sebagian WM yang memiliki kemampuan dalam

finansial. Untuk WM yang tergolong dalam kategori kedua ini, meskipun memiliki

banyak waktu luang, tetapi yang bersangkutan tidak ingin bersusah payah, jadi

semacam mau enaknya saja. Mereka yang berperilaku seperti ini cenderung

berprinsip ”tidak ada yang tidak bisa dibeli di dunia ini” termasuk pelayanan

publik. Warga yang ingin cepat selesai urusannya akan mencari petugas yang

mudah diajak untuk berkolusi atau petugas yang berperilaku sebagai calo

Disamping itu, banyak pula warga kota yang menggunakan jasa calo sipil yang

”dipelihara” oleh petugas. Perilaku mencari gampang sebenarnya dari segi

normatif melanggar aturan yang ada, sehingga terjadi malprosedur. WM yang

berperilaku mencari gampang adalah mereka yang memaknai pelayanan

sebagai ’jasa terbeli’, sehingga dengan membayar petugas maka ia akan

Page 148: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

287

memperoleh SIM yang dibutuhkannya tanpa melalui prosedur baku yang

ditetapkan. Perilaku seperti ini turut memberi andil dalam memperburuk kinerja

pelayanan publik, karena prosedur dan aturan pelayanan publik cenderung

menjadi kabur.

Meskipun demikian, tidak semua WM yang berperilaku mencari gampang

dapat dipersalahkan karena turut memperburuk pelayanan publik. Ada beberapa

WM yang karena kesibukan luar biasa sehingga tidak memiliki waktu yang luang

untuk mengurus SIM sesuai prosedur. WM seperti ini sebenarnya bisa

dimaklumi, terlebih lagi jika kesibukannya itu adalah untuk kepentingan orang

banyak, seperti memperlakukan khusus anggota dewan yang mengurus SIM,

dan juga terhadap profesional lainnya. Jika mereka mengurus SIM sesuai

prosedur, maka akan lebih banyak kerugian yang diperoleh, apakah itu terhadap

WM ataupun juga terhadap dirinya sendiri.

Kedelapan, perilaku melayani. Perilaku melayani adalah merupakan

bentuk perilaku diferensial yang fungsional. Artinya, bahwa BGD yang

berperilaku demikian memiliki komitmen untuk memberikan pelayanan yang

sebaik-baiknya kepada masyarakat sesuai dengan tufoksinya (tugas pokok dan

fungsinya) berdasarkan peraturan dan prosedur yang telah ditetapkan. BGD

yang berperilaku seperti ini cenderung memaknai pelayanan sebagai

pelaksanaan aturan, Melayani berarti memperlakukan seseorang sebagaimana

apa adanya, tulus, ikhlas, dan tanpa pamrih. Melayani dapat juga berarti bahwa

tidak membeda-bedakan antara satu orang dengan yang lainnya. Siapa pun

orangnya, mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama atau adil. Perilaku

melayani muncul ketika seorang BGD memaknai pelayanan sebagai

pelaksanaan aturan dan memiliki orientasi kepada masyarakat. Artinya dari segi

Page 149: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

288

etika profesi, BGD semacam ini ingin berupaya menerapkan aturan secara baik

dan melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab untuk memberikan

kepuasan kepada masyarakat. Sementara warga masyarakat yang datang juga

melihat bahwa pelayanan yang akan diperolehnya adalah merupakan haknya

sebagai warga negara, sehingga dia merasa pantas untuk diperlakukan dan

dilayani dengan baik. Tetapi masyarakat juga sadar bahwa untuk diperlakukan

dengan baik maka perlu memenuhi semua persyaratan dan prosedur dengan

baik pula.

Kesembilan, perilaku memperlakukan khusus (customization) anggota

korps tertentu, seperti terhadap anggota TNI, anggota wartawan dan anggota

Dewan (DPRD). BGD yang berperilaku seperti ini cenderung memaknai

pelayanan sebagai tugas dari atasan, sekalipun ada persyaratan yang tidak

dapat dipenuhi, namun karena ingin memuaskan atasan, dalam istilah yang

umum kita kenal yaitu ABS (Asal Bapak Senang), maka BGD seperti ini

berusaha melayani WM dengan baik. Seperti misalnya perlakuan khusus yang

diberikan kepada seorang wartawan yang kenal baik dengan pimpinan.

Wartawan tersebut diperlakukan khusus karena atas perintah dari pimpinan,

sekalipun tidak dapat memenuhi semua persyaratan. Dalam kasus demikian,

meskipun ada kesibukan yang luar biasa dalam pelayanan melalui prosedur

normal, seringkali BGD tersebut harus menomorduakan peraturan, dan

mendahulukan perintah atasan. Bahkan, tidak jarang mereka harus berkorban

dengan membebaskan pihak yang bersangkutan dari kewajiban membayar

sejumlah biaya tertentu, sebagaimana pengakuan wartawan. Disamping itu,

terdapat pula perlakuan khusus bukan karena perintah atasan, tetapi atas

kemauan sendiri dari BGD. BGD yang berperilaku seperti ini cenderung

Page 150: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

289

memaknai pelayanan yang diberikannya sebagai bentuk ”pertukaran”, artinya

BGD melayani dengan baik orang-orang yang ”khusus” ini karena orang tersebut

dinilai dapat melanggengkan praktek-praktek negatif dalam pelayanan yang

selama ini berlangsung. Dengan melayani secara baik kepada orang ”khusus”

ini, BGD berharap agar mereka tidak lagi kritis terhadap perilaku pelayanan yang

ada. Sementara pihak yang dilayani khusus, akan merasa telah berutang budi

sehingga tidak perlu lagi mengungkap kebobrokan yang ada dalam pelayanan

publik. Kondisi ”pertukaran” semacam ini banyak yang terjadi dalam pelayanan

publik di negara kita, sehingga praktek-praktek yang jelek dalam pelayanan

publik sulit untuk dihilangkan, karena mereka yang seharusnya berfungsi

melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pelayanan publik tidak lagi dapat

berfungsi dengan baik, karena terlebih dahulu diperlakukan khusus.

Kesepuluh, perilaku menyogok. Jika ada yang menyogok tentu ada yang

disogok. Sehingga makna perilaku menyogok adalah berpasangan, ada yang

disogok dan ada yang menyogok. Kedua belah pihak bersepakat atau berkolusi

untuk mendapatkan keuntungan dari pelayanan yang dilakukan. Warga yang

menyogok berharap agar urusannya diperlancar, dan kalau perlu prosedur resmi

dieliminasi. Sedang BGD yang disogok mendapatkan keuntungan pribadi berupa

uang ekstra. Agar warga yang ingin memperoleh SIM mau menyogok BGD,

maka BGD berusaha mengkondisikan prosedur pelayanan menjadi sedemikian

rumit dan berbelit-belit, dalam pandangan penulis hal tersebut sengaja dibuat

sebagai ”jebakan” terhadap WM, sehingga WM yang bermental ”pembeli”

pelayanan dapat dengan mudah masuk kedalam jebakan ini. Jadi pada

dasarnya perilaku menyogok berkaitan erat dengan perilaku mencari gampang,

perilaku superior, perilaku mempersulit. Seorang warga yang ingin cepat

Page 151: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

290

memperoleh SIM biasanya berani menyogok petugas yang melayaninya.

Meskipun perilaku menyogok dan mencari gampang merupakan dua bentuk

perilaku yang tidak dapat dipisahkan, namun kedua perilaku ini memiliki

perbedaan. Perbedaannya adalah perilaku mencari gampang biasanya

dilakukan oleh warga pada awal proses pengurusan SIM, yakni ketika pertama

kali berhadapan dengan BGD, sedangkan perilaku menyogok biasanya dilakukan

oleh warga pada saat proses pengurusan SIM berlangsung. Dalam prakteknya,

besarnya uang yang diberikan oleh WM untuk menyogok BGD yang berperilaku

mempersulit atau superior, biasanya ditentukan sendiri oleh warga sesuai

dengan kemampuannya. Berbeda dengan uang yang harus dikeluarkan oleh

warga ketika berhadapan dengan BGD yang berperilaku sebagai calo. Untuk

perilaku sebagai calo ini besarnya uang yang harus dibayarkan telah ditentukan

oleh BGD. Uang yang harus dikeluarkan oleh warga telah menjadi kesepakatan

tidak tertulis dari para BGD yakni sebesar Rp 150.000,- untuk SIM C dan Rp

250.000,- untuk SIM A. Perilaku menyogok ini juga termasuk salah satu perilaku

yang dapat mengaburkan persyaratan dan prosedur dalam pelayanan SIM,

karena dengan menyogok petugas, maka meskipun WM tidak dapat memenuhi

persyaratan, mrereka akan diberi rekomendasi untuk memperoleh SIM. Oleh

karenanya, perilaku menyogok ini juga termasuk kedalam perilaku yang dapat

menyebabkan malprosedur serta merugikan lembaga penyedia layanan.

Sekali lagi ditekankan disini bahwa kesepuluh bentuk PDf yang telah

diuraikan di atas memiliki kecenderungan untuk muncul secara bersamaan satu

sama lain (mutually all inclusive). Sebagai contoh, perilaku mencari gampang

dan perilaku sebagai calo. Ketika seorang WM yang ingin memperoleh SIM

dengan mudah, cenderung menampilkan perilaku sebagai ”pembeli jasa”

Page 152: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

291

layanan. WM yang berperilaku seperti ini akan mencari BGD yang memaknai

pelayanan sebagai sarana untuk mencari keuntungan pribadi, seperti BGD yang

berperilaku sebagai calo. Pola interaksi dalam kasus semacam ini dapat

menguntungkan kedua belah pihak (BGD dan WM). BGD memperoleh uang

ekstra, sementara WM memperoleh SIM dengan mudah tanpa perlu mengikuti

prosedur yang berlaku. Namun kemudian yang terjadi adalah institusi yang

dirugikan karena kedua perilaku ini mengeliminir protap (prosedur tetap),

sehingga dengan demikian dapat mengkibatkan malprosedur (cacat prosedur).

Jika kecenderungan perilaku seperti ini yang terjadi, maka citra lembaga yang

jelek di mata masyarakat.

Fenomena semacam ini justru mendominasi perilaku dalam pelayanan

SIM di Kota Makassar, sehingga yang kemudian muncul di lapangan adalah

banyaknya calo-calo yang berkeliaran dalam pelayanan SIM. WM yang ingin

memperoleh SIM juga cenderung mencari calo. Akibat PDf semacam ini, banyak

WM yang memperoleh SIM tanpa melalui tes teori dan tes praktek. Lapangan

yang sedianya digunakan untuk tes praktek, jarang sekali digunakan, dan

kalaupun ada maksimal hanya 5 orang dalam sehari, padahal dalam data yang

diperoleh oleh penulis selama mengikuti penelitian, rata-rata jumlah WM yang

mengurus SIM C setiap harinya adalah berkisar 150 orang per hari. Data

tersebut dapat dilihat pada lampiran 1.

Dari kesepuluh bentuk PDf yang menjadi temuan penelitian ini, maka

dapat disimpulkan bahwa pelayanan SIM yang ada berlangsung seperti

“transaksi” antara penjual (BGD) dan pembeli (WM). Dengan demikian jauh dari

harapan pelayanan yang memuaskan. Ketika transaksi yang terjadi dalam suatu

pelayanan publik, maka ada tawar-menawar “harga” pelayanan. Padahal dalam

Page 153: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

292

sebuah pelayanan publik, baik BGD maupun WM hendaknya berpedoman pada

aturan yang berlaku. Misalnya dalam standar pelayanan publik telah ditetapkan

harga dari suatu pelayanan, maka keduanya tidak perlu lagi tawar menawar,

karena semuanya telah jelas dicantumkan dalam standar pelayanan publik

tersebut. Apa yang tertera dalam standar pelayanan, itulah yang menjadi harga

mati dari sebuah pelayanan.

7.1.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan dari Masing-masing Perilaku Diferensial

Sebagaimana layaknya dalam sebuah transaksi, maka dalam perilaku

pelayanan birokrat garis-depan dengan warga masyarakat dalam pelayanan

publik, biasanya ada pihak yang diuntungkan dan apa pihak yang dirugikan,

tergantung bagaimana tarik-menarik gaya negosiasi yang dilakukan oleh pelaku

interaksi. Dalam penelitian ini, juga mengkaji tentang siapa yang diuntungkan

dan siapa yang dirugikan dalam interaksi GGN BGD dengan WM. Upaya untuk

mengetahui pihak yang diuntungkan dan yang dirugika, telah dilakukan dengan

menggunakan 3 (tiga) kriteria yakni waktu yang dibutuhkan oleh WM untuk

memperoleh pelayanan SIM, jumlah biaya yang harus dikeluarkan, dan

ketertekanan secara psikologis dalam proses interaksi. Dengan menggunakan

ketiga kriteria tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa (1) Setidaknya

terdapat 5 (lima) PDf yang cenderung menguntungkan BGD, yakni: perilaku

superior, mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, dan mogok. (2) Setidaknya

terdapat 2 (dua) PDf yang cenderung menguntungkan WM, yakni perilaku

menolak membayar dan mencari gampang. (3) Setidaknya terdapat 3 (tiga) PDf

yang cenderung menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi (mutual

Page 154: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

293

benefit), yakni perilaku melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan

perilaku menyogok.

Bentuk-bentuk PDf yang dikelompokkan cenderung menguntungkan BGD

seperti yang dikemukakan di atas, adalah perilaku yang pada dasarnya berupaya

untuk mencari keuntungan pribadi dari pelayanan yang diberikan. Sedangkan

WM yang dilayani tidak memiliki pilihan lain kecuali harus tunduk dan patuh

terhadap apa yang dilakukan oleh BGD terhadap dirinya, sepanjang WM

”dimudahkan” untuk memperoleh pelayanan yang dibutuhkannya. Akan tetapi,

perilaku seperti ini pada dasarnya sangat merugikan lembaga penyedia layanan,

karena beberapa dari perilaku tersebut cenderung berpotensi mengaburkan

persyaratan dan prosedur pelayanan yang ada, sehingga jaminan keamanan dan

keadilan dari pelayanan yang diterima oleh masyarakat menjadi kurang. Kondisi

seperti ini lambat laun akan memperburuk citra lembaga dimata masyarakat.

Masyarakat lalu menilai bahwa ”tidak ada uang tidak ada pelayanan”.

Demikian pula halnya dengan perilaku yang cenderung menguntungkan

warga masyarakat, yakni perilaku menolak membayar dan mencari gampang,

juga tidak semuanya dapat menguntungkan lembaga. Perilaku mencari

gampang misalnya, perilaku ini juga berpotensi untuk merusak sistem yang ada.

Meskipun dari segi waktu pelayanan warga merasa diuntungkan dengan

membayar petugas, namun akibat dari perilaku ini maka aturan atau prosedur

tidak lagi menjadi suatu keharusan yang perlu ditaati. Berbeda dengan perilaku

menolak membayar, perilaku ini meskipun kedengarannya sedikit kurang elegan,

namun memiliki nilai positif. Ketika WM yang sanggup untuk memenuhi semua

persyaratan dan prosedur pelayanan dengan baik berani menolak permintaan

petugas yang ingin memerasnya, BGD akan berhati-hati untuk melakukan

Page 155: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

294

pemerasan terhadap warga lainnya. Sehingga dengan demikian, semakin

banyak warga yang berani melakukan penolakan seperti ini, maka perilaku

pemerasan akan terkoreksi dengan sendirinya. Dampaknya lebih jauh adalah

dapat menguntungkan organisasi, karena baik warga maupun petugas tidak lagi

mempermainkan peraturan yang ada. Perilaku menolak membayar dapat

berfungsi sebagai constraining bagi perilaku-perilaku BGD yang negatif. Jadi

bukan saja struktur (terutama yang berkaitan dengan aturan) yang dapat

berfungsi sebagai constraining bagi perilaku BGD sebagaimana yang

dikemukakan oleh Giddens (1984), akan tetapi perilaku menolak membayar dari

WM juga dapat berfungsi constraining dan dapat mengarahkan perilaku negatif

BGD menjadi perilaku positif.

Sedangkan untuk perilaku yang cenderung bersifat menguntungkan

pelaku interaksi, meskipun kelihatan terlihat interaktif, dan sedikit elegan, namun

pada dasarnya perilaku yang ada dalam kelompok ini tidak semuanya

menguntungkan organisasi. Contoh misalnya perilaku menyogok. Seorang WM

yang berani menyogok petugas, maka dapat dipastikan bahwa prosedur

pelayanan tidak lagi dipenuhi dengan baik, yang dipentingkan oleh pelaku

interaksi adalah bagaimana supaya keduanya bisa dipermudah untuk

mendapatkan keinginannya masing-masing. BGD dipermudah untuk

mendapatkan uang tambahan sedangkan WM dipermudah untuk memperoleh

SIM. Jadi dengan demikian, kendati bentuk-bentuk PDf menguntungkan kedua

belah pihak yang berinteraksi (mutual benefit) namun bukan berarti bahwa

perilaku tersebut menguntungkan organisasi. Oleh karena itu, yang diharapkan

kemudian adalah bagaimana supaya perilaku yang muncul dalam interaksi BGD

dan WM dalam pelayanan publik bisa bersifat interaktif tetapi juga

Page 156: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

295

kecenderungannya menguntungkan semua pihak yang berkepentingan dalam

pelayanan SIM.

7.1.3 Aktor Dominan Penentu Perilaku Pelayanan

Berdasarkan hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa dari 10 PDf

(perilaku diferensial) yang berhasil ditemukan, ternyata 5 (lima) diantaranya

didominasi oleh BGD yakni perilaku superior, mengabaikan, sebagai calo,

mempersulit, mogok. Perilaku-perilaku PDf seperti ini adalah merupakan

dampak dari adanya BGD memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan

sendiri (self serving). 2 (dua) PDf didominasi oleh WM, yakni perilaku menolak

membayar dan mencari gampang, sedangkan 3 (tiga) PDf yang sifatnya interaktif

atau cenderung menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi yakni BGD

& WM (mutual benefit), yakni perilaku melayani, memperlakukan khusus korps

tertentu, dan perilaku menyogok. Dengan demikian maka dapat diperoleh

kesimpulan bahwa aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan

adalah BGD, sedangkan WM resesif (lihat gambar 7.1). Gambar 7.1 jelas

menunjukkan adanya dominasi BGD dalam pelayanan SIM, sedangkan WM

berada dalam posisi yang lemah atau resesif. WM tidak berdaya menghadapi

perilaku-perilaku BGD.

Temuan di atas mendukung pandangan Giddens (1984) bahwa adanya

dominasi dalam suatu interaksi merupakan manifestasi dari perbedaan power

(kekuasaan) antara BGD dan WM. BGD sebagai pemberi pelayanan cenderung

menempatkan dirinya sebagai pangreh praja (pengatur, pembina dan

pengendali) WM, dan bukannya sebagai pamong praja yang seharusnya

Page 157: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

296

menjalankan fungsi dan perannya menjadi pelayan, pemberdaya, dan penyedia

fasilitas bagi WM.

Beberapa hal yang menjadi penyebab sehingga posisi masyarakat

menjadi resesif sedangkan BGD dominan, antara lain dapat dikemukakan

sebagai berikut:

Pertama, adanya monopoli pelayanan SIM yang dilakukan oleh birokrasi

pemerintah yakni kepolisian. Sifat monopoli dari suatu pelayanan menyebabkan

WM tidak dapat memerankan dengan baik hak-haknya untuk merespon

pelayanan yang tidak sesuai dengan harapannya melalui exit, karena warga

masyarakat tidak memiliki pilihan lain (choice) untuk memperoleh pelayanan

selain yang diberikan oleh birokrasi pemerintah, (Hirschman, 1970). Kondisi

seperti yang memicu para BGD yang bertugas melayani masyarakat dalam

pelayanan SIM cenderung berperilaku seenaknya, tidak mementingkan

kepentingan masyarakat, tetapi yang dipentingkan adalah dirinya sendiri,

sejauhmana dia dapat memperoleh keuntungan pribadi dari pelayanan yang

diberikannya. Ada kesan bahwa BGD berada dalam posisi yang dibutuhkan

sehingga apapun yang diminta dari WM akan dipenuhi oleh warga, ketika warga

tidak memenuhi keinginannya, disitulah biasanya BGD berperilaku superior,

sekedar ingin menunjukkan bahwa kalau bukan saya, anda tidak memperoleh

apa yang diinginkannya.

Kedua, prosedur dan peraturan dalam pelayanan publik seringkali tidak

disertai dengan penjelasan secara terinci bagaimana aturan tersebut diterapkan

di lapangan, sehingga peraturan tersebut memiliki ruang untuk disalahtafsirkan

dan bahkan dijadikan sebagai ”jebakan” terhadap WM. Hasil analisis penulis

terhadap temuan lapangan menunjukkan bahwa peraturan untuk mengikuti ujian

Page 158: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

297

praktek mengendarai sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh SIM

cenderung dimanfaatkan oleh BGD untuk menjebak WM yang ingin mengurus

SIM. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1999 yang mewajibkan ujian

praktek bagi pemohon SIM tidak dijabarkan secara terinci bagaimana peraturan

tersebut diterapkan di lapangan, sehingga BGD yang bertugas memberikan ujian

praktek mengendarai cenderung membuat diskresi yang merugikan masyarakat.

Warga masyarakat tidak mampu untuk melakukan koreksi atau komplain

terhadap bentuk tes yang diberikan, terutama bentuk tes praktek yang sangat

mengada-ada karena tidak sesuai dengan kondisi ril di jalan raya. Bentuk tes

dengan keharusan melakukan ziq-zaq beberapa kali pada jarak pendek adalah

hal yang jarang ditemui di jalan raya, apalagi tidak boleh menurunkan kaki.

Begitu pula keharusan untuk mengendarai membuat lingkaran menyerupai angka

8 dengan tidak boleh menurunkan kaki. Hal yang kemudian lebih aneh menurut

pandangan penulis adalah ketika warga diminta untuk menaiki sebuah tanjakan,

dan pada posisi kendaraan sedang menanjak WM yang mengikuti tes diwajibkan

untuk berhenti dan kaki diturunkan. Inilah semua bentuk tes praktek yang sangat

ditakuti oleh warga, namun warga tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan

protes. Ketika warga dipersalahkan dan dinyatakan tidak lulus, warga hanya bisa

pasrah dan seringkali berujung pada putus asa yang akhirnya muncul perilaku

mogok (tidak melanjutkan proses pengurusan SIM). Hal ini terbukti dari

banyaknya berkas WM yang tidak lagi disentuh oleh pemiliknya dan dibiarkan

bertumpuk dibawa meja petugas loket 6 (ujian praktek). WM tidak lagi

berkeinginan untuk melanjutkan proses pengurusan SIM sesuai prosedur, karena

trauma dengan tes praktek yang teramat sulit untuk dilulusi oleh WM.

Page 159: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

298

Sumber: Diolah dari hasil penelitian, 2007. Gambar 7.1 Bagan Gaya-gaya Negosiasi BGD & WM, Bentuk-Bentuk Perilaku Diferensial, Dominasi Perilaku Diferensial, dan

Aktor Dominan Penentu Perilaku Pelayanan

AKTOR DOMINAN PENENTU

PERILAKU PELAYANAN

BENTUK-BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL

Kerjasama

Pertukaran

Kompromi

Percekcokan

Kecurangan

Kolusi

Kompensasi

Intimidasi

Superior

Mengabaikan

Sebagai Calo

Mempersulit

Mogok

Menolak Membayar

Mencari Gampang

Melayani

Memperlakukan Khusus Korps Tertentu

Menyogok

PADA BIROKRAT GARIS-DEPAN :

Superior

Mengabaikan

Sebagai Calo

Mempersulit

Mogok

PADA WARGA MASYARAKAT: Menolak Membayar

Mencari Gampang

DOMINASI PERILAKU DIFERENSIAL

INTERAKTIF (BGD & WM) Melayani

Memperlakukan Khusus Korps Tertentu

Menyogok

BGD DOMINAN

WM RESESIF

GAYA-GAYA NEGOSIASI BGD & WM

Page 160: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

299

7.2 Model Perilaku Diferensial

Model arah perilaku diferensial adalah merupakan suatu model yang

menggambarkan adanya tarik-menarik gaya negosiasi BGD dan gaya negosiasi

WM.

7.2.1 Existing Model

Dari hasil penelitian diperoleh adanya perilaku diferensial yang

didominasi oleh BGD, dan juga ada perilaku diferensial yang didominasi oleh

WM (lihat gambar 7.1), dengan demikian maka dapat dibuat 2 (dua) model arah

perilaku diferensial, yakni sebagai berikut:

Pertama, model arah perilaku diferensial yang didominasi BGD.

Gambar 7.2. Model Arah Perilaku Diferensial dengan FBGD Dominan (Existing

Model) Keterangan Gambar: PDf = Perilaku Diferensial F BGD = Gaya Negosiasi Birokrat Garis-Depan (BGD) F WM = Gaya Negosiasi Warga Masyarakat (WM) Fr1 (FBGD > FWM) = Gaya resultan 1 (Gaya negosiasi BGD lebih besar dibanding

dengan gaya negosiasi WM) KP Rendah = Kepuasan Pelayanan Rendah = Arah pergerakan titik berat perilaku diferensial

= gaya negosiasi tarikannya lebih besar kepada BGD.

Perilaku Menyimpang

PDf FBGD

FWM

Fr1

(FBGD > FWM)

KP Rendah

Page 161: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

300

Gambar 7.2 diatas sebagai hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa

tarik-menarik gaya negosiasi antara BGD dan WM yang ternyata dimenangkan

oleh BGD. Dimenangkan dalam arti bahwa BGD yang mendominasi PDf.

Sebagaimana pada gambar 7.1, perilaku diferensial yang didominasi oleh BGD

adalah superior, mengabaikan (playing ignorant), sebagai calo, mempersulit, dan

mogok. Untuk perilaku mogok ini, sekalipun nampaknya bahwa perilaku ini

dilakukan oleh WM, namun perilaku tersebut digolongkan kedalam perilaku yang

didominasi oleh BGD, dengan beberapa pertimbangan sebagaimana yang telah

dijelaskan pada Bab V halaman 203-205.

Gambar tersebut juga dapat memberikan informasi kepada kita bahwa

apabila BGD yang dominan, maka ini berarti bahwa WM tidak berdaya

menghadapi perilaku BGD. Dalam realitas di lapangan, ketidakberdayaan

seperti ini terutama dalam hal menghadapi perilaku superior dari BGD yang ingin

menerapkan peraturan ujian praktek yang menurut WM sebagai sesuatu hal

yang mengada-ada, serta sebagai upaya untuk menjerat WM kedalam perilaku-

perilaku menyimpang, seperti menyogok petugas, mencari gampang, dsb.

Fenomena seperti ini adalah merupakan cerminan bahwa kegiatan

pelayanan publik khususnya pelayanan SIM, masih mendahulukan kepentingan

birokrat pelayan, diatas kepentingan warga masyarakat selaku pengguna jasa

layanan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa apabila perilaku

diferensial didominasi oleh BGD, maka dapat dipastikan bahwa pelayanan publik

tidak berkualitas, yang berdampak pada ketidakpuasan WM. Dan celakanya,

bahwa pelayanan seperti ini monopoli dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini

adalah birokrat kepolisian, sehingga meskipun WM tidak puas atas layanan yang

diterimanya, namun WM tidak memiliki pilihan lain untuk exit sebagai bentuk

Page 162: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

301

respon terhadap layanan tersebut. Hal satu-satunya yang dapat dilakukan

adalah dengan voice, melalui beberapa saluran yang ada, apakah dengan cara

melakukan komplain langsung terhadap penyedia jasa layanan, lewat media

massa (baik elektronik maupun cetak), atau lewat lembaga Ombudsman.

Kedua, model arah perilaku diferensial yang didominasi oleh WM.

Gambar 7.3 Model Arah Perilaku Diferensial dengan FWM Dominan (Existing Model)

Keterangan gambar:

PDf = Perilaku Diferensial F BGD = Gaya Negosiasi Birokrat Garis-Depan (BGD) F WM = Gaya Negosiasi Warga Masyarakat (WM) Fr2 (FWM > FBGD) = Gaya resultan 2 (Gaya negosiasi WM lebih besar dibanding

dengan gaya negosiasi BGD) KP Rendah = Kepuasan Pelayanan Rendah = Arah pergerakan titik berat perilaku diferensial = Gaya negosiasi tarikannya lebih besar kepada WM.

Gambar 7.3 diatas menunjukkan bahwa perilaku diferensial didominasi

oleh WM. Perilaku diferensial yang didominasi oleh WM adalah perilaku

menolak membayar dan perilaku mencari gampang.

Per

ilaku

Men

yim

pang

FBGD

FWM

PDf

KP Rendah Fr2

(FWM > FBGD)

Page 163: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

302

Kedua model arah perilaku tersebut di atas, dapat memberikan informasi

kepada kita bahwa apabila perilaku diferensial didominasi oleh salah satu pihak

dari pelaku interaksi, maka kecenderungan yang muncul adalah perilaku

menyimpang. Artinya perilaku diferensial tersebut dapat menyebabkan kaburnya

peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sekali pun demikian, terdapat satu

perilku diferensial yang didominasi oleh WM yang menurut hemat penulis dapat

berdampak pada upaya perbaikan kualitas pelayanan SIM di Kota Makassar.

Perilaku diferensial tersebut adalah perilaku menolak membayar. Dari segi

nomenklatur memang terlihat sedikit kurang elegan, namun “apalah arti sebuah

nama” kata sebuah pepatah, karena pada dasarnya perilaku tersebut dapat

berdampak pada perbaikan perilaku BGD ke depan.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa apabila WM dominan maka

pelayanan publik akan baik, karena ternyata dari perilaku yang didominasi oleh

WM juga ada kecenderungan untuk mencari jalan pintas dalam pelayanan publik.

Jika ini terjadi, maka peraturan dan prosedur dalam pelayanan publik akan

cenderung diabaikan. Mengapa dikatakan dapat diabaikan? Apabila WM

cenderung mencari jalan pintas dengan melalui calo atau menyogok petugas,

maka peraturan dan prosedur tidak lagi ditaati oleh kedua pelaku interaksi.

Sehingga kesimpulan yang dapat diambil adalah apabila perilaku pelayanan

didominasi oleh salah satu pelaku interaksi, maka pelayanan publik berada pada

kategori yang kurang memuaskan semua pihak yang berkepentingan dalam

pelayanan publik. Dengan demikian, maka yang diperlukan adalah perilaku ideal

yang menunjukkan adanya pemberdayaan terhadap WM dalam pelayanan

publik, sehingga tidak ada salah satu pihak yang mendominasi perilaku

pelayanan publik. Tentunya diasumsikan bahwa pemberdayaan disini adalah

Page 164: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

303

dalam arti yang positif. Apabila WM diberdayakan dalam pelayanan publik, maka

lambat laun akan muncul rasa memiliki terhadap pelayanan publik, sehingga

perilaku-perilaku yang diambilnya akan senantiasa diarahkan pada upaya

perbaikan pelayanan publik.

Beberapa penjelasan yang dapat dipaparkan sehubungan dengan

kesimpulan bahwa kualitas pelayanan SIM berada dalam kategori buruk adalah

sebagai berikut:

Pertama, bahwa berdasarkan hasil penelitian lapangan, ternyata

berbagai ragam perilaku yang muncul pada dasarnya bersifat negatif dan

cenderung menimbulkan malprosedur. Banyak bentuk perilaku yang muncul di

lapangan sebagai upaya untuk memanfaatkan situasi yang ada untuk

mendapatkan keuntungan pribadi. Misalnya dengan memanfaatkan kondisi

warga masyarakat yang dilayaninya misalnya tidak mempunyai waktu luang atau

tidak terbiasa dalam pelayanan publik. Atau bahkan juga memanfaatkan

prosedur pelayanan SIM yang ditetapkan untuk mencari keuntungan, terutama

keharusan untuk mengikuti tes praktek yang sangat sulit untuk dilakukan oleh

warga.

Berikut akan digambarkan bagaimana mekanisme atau prosedur

pengurusan SIM yang ada di lokasi penelitian, dan loket-loket yang cenderung

dieliminasi dalam pengurusan SIM.

Page 165: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

304

Gambar 7.4 Mekanisme Pengurusan SIM (Existing Model)

Keterangan: ------------------ : Garis putus-putus menunjukkan loket-loket yang cenderung

tereliminasi sebagai akibat dari perilaku menyimpang.

Berdasarkan gambar 7.4 di atas dapat diketahui betapa panjangnya

prosedur yang harus dilalui oleh seorang WM untuk mendapatkan sebuah SIM.

Dalam prakteknya, mekanisme tersebut di atas masih ditambah satu lagi

tahapan sebelumnya, yakni pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan

dilakukan pada gedung terpisah yang letaknya tidak jauh dari gedung utama

pengurusan SIM. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh Tim Dokter yang telah

P

E

M

O

H

O

N

Loket 1

PNPB

Loket 2

Formulir

Loket 3

Pendaftaran

Loket 9

Penyerah

an SIM

Loket 4

Input

Data

Tes Praktek

Di Lapangan

Loket 7

Cek Data Loket 8

Foto

SIM/

Produksi

SIM

Loket 5

Ruang

Ujian Teori

Loket 6

Ruang Ujian

Praktek

Loket 10

Ruang

Arsip SIM

Page 166: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

305

ditunjuk oleh pihak Polwiltabes Kota Makassar. Besarnya biaya yang harus

dibayar oleh WM untuk mendapatkan surat keterangan dokter adalah sebesar

Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah). Semua WM yang ingin memperoleh

SIM baik perpanjangan maupun baru, diwajibkan untuk memeriksakan

kesehatannya. Dan hanya mereka yang memperoleh surat keterangan sehat

dari dokter yang dapat melanjutkan permohonannya ke tahapan sebagaimana

pada gambar 7.4 di atas.

Panjangnya prosedur yang harus dilalui ditambah lagi dengan sulitnya

bentuk tes yang harus dilaksanakan oleh WM, maka kebanyakan WM yang

mengurus SIM mencari jalan pintas atau mencari gampang untuk memperoleh

SIM. Namun yang terjadi kemudian adalah perilaku-perilaku yang bertujuan

untuk mencari jalan pintas tadi dapat mengakibatkan malprosedur. Dari temuan

lapangan, membuktikan bahwa beberapa PDf dapat mengaburkan peraturan,

dalam arti bahwa prosedur yang telah ditetapkan sebagaimana gambar 7.4 di

atas tidak lagi ditaati. Misalnya dalam perilaku sebagai calo, mencari gampang,

memperlakukan khusus, kesemuanya dapat menyebabkan cacat prosedur

(malprosedur). Garis putus-putus dalam gambar 7.4 di atas adalah loket-loket

yang tidak dilalui oleh seorang WM, ketika ia memperoleh SIM dengan melalui

jalan pintas. Loket-loket yang dilalui oleh WM adalah 1,2, 8, dan 9. Bahkan ada

juga yang langsung pada loket 8 kemudian loket 9, artinya bahwa calo yang

menguruskan semua prosedur, sedangkan WM hanya datang untuk diambil

gambarnya (berfoto) setelah itu, WM menerima SIMnya.

Kedua, meskipun telah ada standar biaya yang ditetapkan yakni Rp

60.000,- (enam puluh ribu rupiah) untuk pemohon SIM baru, dan Rp 75.000,-

(tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk SIM perpanjangan, namun dari hasil

Page 167: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

306

penelitian lapangan menunjukkan bahwa standar biaya tersebut menjadi kabur.

Artinya, pada umumnya warga yang mengurus SIM membayar tidak sesuai

dengan standar yang ada. Ada yang membayar lebih karena memang tidak

mengetahui dengan pasti besarnya biaya yang harus dibayar dan ada karena

akibat perilaku-perilaku menyimpang sehingga mereka membayar lebih dari

standar yang ditentukan. Fenomena semacam ini sejalan dengan pendapat

yang dikemukakan oleh Lipsky (1980) dalam teori Street-Level Bureaucracy-

nya. Lipsky berpendapat bahwa seringkali warga tidak membaca peraturan

dalam sebuah pelayanan, sehingga apa yang disampaikan oleh BGD itulah yang

dipercaya oleh WM sebagai aturan yang harus ditaati. Disini jelas sangat terkait

dengan transparansi, dimana BGD tidak mampu menjelaskan dengan baik dan

transparan kepada WM besarnya biaya yang harus dibayarkan untuk

memperoleh sebuah pelayanan, sehingga WM selaku pengguna jasa layanan

dengan mudah diperdaya oleh BGD yang berperilaku negatif.

Berkaitan dengan biaya administrasi pelayanan SIM, ada fenomena yang

menarik di lapangan, bahwa pada umumnya warga masyarakat tidak mengetahui

bahwa besarnya biaya yang dibayarkan adalah Rp 75.000,- (untuk Pemohon

SIM Baru) dan Rp 60.000,- (untuk SIM Perpanjangan), yang dipahami

masyarakat adalah bahwa untuk SIM C adalah sebesar Rp 150.000,- (seratus

lima puluh ribu rupiah) dan untuk SIM A sebesar Rp 250.000,- (dua ratus lima

puluh ribu rupiah) baik untuk pemohon baru maupun perpanjangan. Nampaknya

bukan saja WM yang berhasil ditemui di lokasi penelitian yang berpendapat

demikian, namun juga WM umum lainnya. Beberapa WM yang pernah

mengurus SIM yang sempat penulis mintai informasi, menyangka bahwa biaya

pengurusan SIM adalah Rp 150.000,- untuk SIM C dan Rp 250.000,- untuk SIM

Page 168: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

307

A. Jadi dengan demikian, maka transparansi dan komunikasi tentang besarnya

biaya pengurusan SIM tidak berjalan dengan baik. Meskipun demikian, BGD

tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya atas fenomena seperti ini, karena

sebenarnya telah ada pengumuman yang berukuran besar dipajang di dekat

pintu masuk gedung utama pengurusan SIM, yang memuat tentang besarnya

biaya yang harus dibayar. Hanya masyarakatlah yang tidak membaca dengan

baik pengumuman tersebut. Boleh jadi ini juga dipengaruhi oleh adanya

persepsi masyarakat sebelumnya bahwa biaya pengurusan SIM adalah sebesar

yang mereka persepsikan tadi, sehingga ketika mereka akan mengurus SIM di

Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar, tidak lagi membaca dengan baik

pengumuman yang ada. Dalam teori perilaku, persepsi seseorang sangat

mempengaruhi perilaku yang dia ambil. Perilaku sebagai proses pengambilan

keputusan sangat dipengaruhi oleh sikap, persepsi, dan pengalaman belajar

seseorang, disamping faktor lainnya (Gibson, dkk. 1996). Nampak bahwa

dalam interaksi antara BGD dan WM dalam pelayanan SIM sangat dipengaruhi

oleh pemaknaan dari masing-masing pelaku interaksi. Persepsi dari masing-

masing pelaku interaksi inilah yang sangat menentukan PDf yang muncul dalam

pelayanan SIM.

Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 44/1993 yang mempersyaratkan

WM yang memperpanjang SIM ketika dari 1 tahun untuk mengikuti tes teori dan

tes praktek, sebenarnya dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu hal yang buruk.

Menurut beberapa WM yang berhasil diwawancarai mengatakan bahwa

peraturan tersebut sebenarnya tidak rasional karena mereka yang telah habis

masa berlaku SIMnya otomatis telah terampil dalam mengendarai sepeda motor,

mengingat masa berlaku SIM adalah 5 tahun jadi mereka setidaknya telah

Page 169: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

308

mengendarai sepeda motor selama 5 tahun. Dan bukankah dengan jam

mengendara seperti itu berarti yang bersangkutan telah memiliki pengalaman

yang cukup banyak di jalan raya, sehingga menurut WM mereka tidak

seharusnya diwajibkan lagi untuk mengikuti tes teori, terlebih lagi tes praktek.

Keempat, berkaitan dengan moral dan etika. Seorang BGD yang nota

bene adalah pelayan, abdi masyarakat seharusnya menampakkan perilaku yang

siap melayani. Tidak sepantasnya mereka memanfaatkan orang-orang yang

lugu dan tidak berdaya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dia seharusnya

tampil sebagai seorang pamong praja, yaitu seorang aparat birokrasi sebagai

pelayan, pemberdaya dan penyedia fasilitas bagi masyarakat yang dilayaninya.

Bukan justru sebaliknya, memperdaya dan memanfaatkan masyarakat yang

dilayaninya. Disatu pihak, WM juga dituntut untuk berperilaku yang etis dan

sesuai dengan norma atau aturan. Jadi apa yang dikemukakan oleh Giddens

(1984) bahwa antara struktur dan interaksi dimediasi oleh moralitas memang

benar. Di dalam struktur meliputi seperangkat aturan (rules) dan sumber-sumber

(resources) yang mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi pemaknaan

(signification), dimensi dominasi (manifestasi dari perbedaan power), dan

dimensi legitimasi (legitimation). Sekalipun struktur telah dibangun dengan

baik, tetapi jika tidak didukung oleh moralitas yang baik diantara pelaku interaksi,

maka tidak akan menghasilkan suatu pelayanan yang berkualitas. Jadi dengan

demikian, maka unsur moralitas adalah merupakan hal yang sangat penting

dalam menentukan baik tidaknya perilaku yang diambil oleh pelaku interaksi,

yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap kualitas dari pelayanan publik.

Kelima, dewasa ini sering kita mendengar pemeo terhadap pelayanan

publik yakni “UUD (Ujung-Ujungnya Duit)”. Nampaknya pemeo ini telah

Page 170: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

309

membudaya dalam birokrasi pelayanan publik di Indonesia, termasuk di lokasi

penelitian. Perilaku mempersulit, superior, menyogok, dan sebagai calo,

kesemunya adalah termasuk perilaku yang UUD tadi. UUD telah menjadi

budaya permisif, yakni sesuatu yang sebenarnya tabu dan tidak dibenarkan baik

secara etika pelayanan maupun moral keagamaan, tetapi nampaknya hal

tersebut telah dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa, sehingga orang

melakukannya tanpa merasa bersalah dan tanpa merasa malu. Padahal setiap

agama mengajarkan untuk selalu berbuat baik kepada sesama, termasuk dalam

hal memberikan pelayanan yang baik. Misalnya saja, dalam agama Islam

mengajarkan bahwa berbuat baiklah kamu kepada orang lain, niscaya Allah akan

melapangkan rezekimu. Artinya, ketika seorang BGD melayani WM dengan

baik, maka akan mendapatkan keuntungan dibelakang hari. Jadi dapat

dikatakan bahwa “bibit uang” adalah pelayanan yang baik. Sehingga prinisp

yang mengatakan “janganlah mempersulit jika dipermudah oleh Allah SWT” perlu

menjadi prinsip dalam pelayanan publik kita. Jika seorang BGD dapat

menginternalisasikan nilai-nilai semacam ini kedalam dirinya yang diwujudkan

dalam perilakunya ketika melayani WM, niscaya kondisi pelayanan publik kita

akan menjadi lebih baik dari sekarang.

Keenam, sikap hidup hedonis dan konsumtif menjadi salah satu faktor

penyebab dari perilaku negatif para aparat birokrasi (BGD). Seperti yang

dikatakan oleh Lubis (2001), bahwa orang Indonesia senang berpakaian mewah,

senang berhura-hura, cenderung boros, akan tetapi dia pada dasarnya tidak

senang bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Gejalanya segera ingin menjadi

“milyuner seketika”. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama,

karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi (Lubis,

Page 171: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

310

2001). Sehingga ada fenomena seseorang ingin menjadi pegawai negeri bukan

karena didorong oleh keinginan hendak mengabdi kepada rakyat banyak, bukan

untuk memajukan masyarakat. Orang Indonesia juga disebut oleh Lubis sebagai

manusia sok, kalau berkuasa mudah mabuk kekuasaan. Mabuk kekuasaan

dapat tergambar dari perilaku superior yang ditampilkan oleh BGD. BGD yang

berperilaku superior lebih menampilkan dirinya sebagai pangreh praja daripada

sebagai pamong praja. Merasa dirinya bahwa dia pemegang kendali, kalau

bukan karena pertolongannya, maka warga akan menghadapi kesulitan untuk

memperoleh pelayanan yang dibutuhkannya. Disatu sisi, posisi warga dibuat

tidak berdaya dengan prosedur yang sangat ketat dan sangat sulit untuk dilalui

untuk mendapatkan sebuah SIM. Pada saat yang sama, BGD tampil dengan

perilaku superiornya sehingga posisi warga semakin “terjepit”. Disitulah dia

akan dengan mudah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, yakni uang.

Sebenarnya, jika setiap kita bersedia hidup dalam kesederhanaan,

mensyukuri nikmat Allah yang kita terima, sedikit tetapi berkah, maka hidup ini

akan menjadi lebih tenang. Tidak perlu susah-susah mencari akal untuk

mendapatkan uang yang tidak sepatutnya. Warga yang dilayani juga akan

berperilaku wajar, artinya dia tidak perlu lagi susah-susah mencari calo atau

menyogok petugas, karena semuanya telah berperilaku sesuai dengan standar

dan prosedur yang ada. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah standar

dan prosedur pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh

karenanya, dalam menentukan standar tersebut WM perlu diberdayakan. Inilah

yang dicita-citakan oleh Denhardt & Denhardt dalam New Public Service-nya,

yang mengharapkan bahwa dalam pelayanan publik nilai-nilai demokrasi perlu

Page 172: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

311

dikedepankan, dengan memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dan

kepentingan masyarakat sebagai pemilik pelayanan publik.

Gramscie dalam bukunya “Politik dan Hegemoni” sedikit menyinggung

tentang potensi manusia. Menurutnya, dalam diri manusia terdapat potensi

bawaan untuk melakukan hal baik. Tidak ada manusia yang memiliki sifat jahat

kecuali memang ada secara kejiwaan ditemukan ada kelainan. Hal tersebut

senada dengan apa yang dikemukakan oleh Socrates, bahwa disetiap hati kecil

manusia terdapat rasa hukum dan keadilan yang sejati, bergemalah detak-detak

kesucian sebab setiap insan itu merupakan sebagian dari Nur Tuhan yang Maha

Pemurah, adil dan penuh kasih sayang meskipun detak-detak kesucian itu dapat

terselubung dan ditutupi oleh kabut tebal kemilikan, ketamakan, kejahatan, dan

aneka ragam kedholiman, namun tetap ada, serta tidak dapat dihilangkan

laksana cahaya abadi. Jadi memang pada dasarnya setiap manusia memiliki sisi

positif dan negatif, tergantung bagaimana mengelola diri sendiri sehingga yang

muncul kecenderungannya adalah yang positif. Karena sebaik-baik manusia

ialah yang dapat bermanfaat bagi manusia lainnya. Bukan justru mempersulit

atau memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun ada standar dan

aturan (meso prosedural) dalam pelayanan SIM yang dipandang sebagai hal

yang dapat mengarahkan perilaku BGD dalam memberikan pelayanan (faktor

ekternal), namun dalam kenyataannya perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh

BGD dan WM lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internalnya, seperti persepsi

(pemaknaan individu terhadap obyek pelayanan, yang dipengaruhi oleh

motivasi), moral dan etika yang dimiliki oleh individu BGD dan WM.

Page 173: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

312

7.2.2 Recommended Model

Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang telah dikemukakan terhadap

existing model, maka berikut ini dibangun sebuah model yang direkomendasikan

untuk memperbaiki perilaku pelayanan publik, sehingga dapat terwujud suatu

pelayanan yang berkualitas (pelayanan ideal).

Gambar 7.5 Model Arah Perilaku Diferensial yang Menunjukkan Perilaku Ideal

(Recommended Model) Keterangan Gambar: PDf = Perilaku Diferensial F BGD = Gaya Negosiasi Birokrat Garis-Depan (BGD) F WM = Gaya Negosiasi Warga Masyarakat (WM). Fr3 (FBGD = FWM) = Gaya resultan 3, menunjukkan perilaku ideal karena terjadi

kesetaraan atau keseimbangan gaya negosiasi BGD dan WM, dengan asumsi bahwa kedua pelaku interaksi berusaha mentaati peraturan dan prosedur yang ada.

KP Tinggi = Kualitas Pelayanan Tinggi KP Rendah = Kualitas Pelayanan Rendah = Arah pergerakan kelompok titik berat PDf = Gaya negosiasi para pelaku keduanya mengarah ke titik ideal

PDf FBGD

FWM

Fr3 ( FWM = FBGD) KP Tinggi

KP Rendah

KP Rendah

Perilaku Menyimpang

Per

ilaku

Men

yim

pang

Perilaku Ideal

Page 174: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

313

Gambar 7.5 mengusulkan sebuah model arah PDf yang berada pada

garis tengah (Fr3) atau mencapai titik ideal sebagai bentuk perilaku yang ideal

dalam pelayanan publik, dengan asumsi bahwa PDf yang muncul dari interaksi

BGD dan WM tidak merugikan salah satu pihak yang berkepentingan dalam

pelayanan publik. Pihak yang dimaksud disini adalah BGD, WM (baik pengguna

langsung maupun calon pengguna) serta institusi penyedia layanan. Jika hanya

menguntungkan BGD dan WM juga tidak dapat dikatakan baik, karena boleh jadi

PDf tersebut merugikan institusi. Dengan demikian diharapkan bahwa perilaku

negatif (perilaku menyimpang) yang diambil baik oleh BGD maupun WM

hendaknya diusahakan dapat berubah menjadi perilaku-perilaku yang positif

(prosedural dan sesuai peraturan). Sehingga dengan demikian, maka yang

muncul kemudian di lapangan adalah umumnya perilaku melayani.

Menurut hemat penulis bahwa pada dasarnya perilaku negatif yang

ditampilkan oleh BGD bisa dirubah menjadi perilaku positif, karena pada

prinsipnya setiap manusia itu adalah baik, hanya keadaanlah yang sering

membuat orang menjadi tidak taat azas atau melanggar aturan yang berlaku.

Oleh karenanya bagaimana membuat keadaan atau lingkungan itu menjadi

kondusif sehingga BGD dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan

bertanggung jawab.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk merubah perilaku negatif menjadi

perilaku positif dari BGD antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, standar pelayanan harus jelas dan mengikat semua pihak yang

berkepentingan. Standar pelayanan harus mencakup: prosedur pelayanan,

waktu pelayanan yang diperlukan, biaya, prosedur, dan tata cara pelayanan.

Jika standar pelayanan menjadi jelas maka akan memberikan kepastian

Page 175: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

314

pelayanan bagi warga masyarakat, sehingga dengan demikian akan

memudahkan pengguna layanan dan stakeholder lainnya untuk mengontrol

praktik penyelenggaraan pelayanan.

Kedua, prosedur pelayanan perlu disederhanakan. Banyaknya jumlah

loket yang harus dilalui oleh WM yang mengurus SIM membuat banyak WM tidak

ingin mengikuti prosedur resmi, tetapi menggunakan jasa calo untuk mengurus

SIM. Demikian pula halnya dengan bentuk format tes praktek mengendarai yang

sangat mengada-ada perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yakni

sesuai dengan kondisi riil jalan raya. Untuk itu, maka loket-loket dalam

pelayanan SIM perlu dikurangi, dan untuk mempercepat pelayanan, petugas

pada loket perlu ditambah sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan untuk tes

praktek, perlu ditetapkan aturan baku yang menjelaskan secara rinci bagaimana

format tes praktek yang harus diikuti oleh WM sebagai salah satu persyaratan

untuk memperoleh SIM. Aturan tersebut selanjutnya disampaikan secara tertulis

baik melalui papan pengumuman, maupun melalui leaflet yang diberikan kepada

setiap WM yang ingin mengurus SIM. Dengan demikian, maka WM mengetahui

dengan baik bagaimana format tes praktek yang harus dilalui, sehingga dapat

dijadikan sebagai alat kontrol terhadap perilaku BGD yang melayaninya. Ketika

terjadi penyimpangan dari standar yang telah ditentukan, maka WM dapat

melakukan complaint jika merasa dirugikan.

Berikut ini adalah gambar bagan prosedur pengurusan SIM bagi

pemohon baru sebagai model yang direkomendasikan dalam penelitian ini.

Page 176: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

315

Pada mekanisme pengurusan SIM bagi pemohon baru yang

direkomendasikan di atas lebih sederhana dari model sebelumnya. Dengan

mana pada model sebelumnya terdiri atas 10 loket, disederhanakan menjadi 6

loket. Beberapa loket yang perlu dihilangkan (digabung dengan loket lainnya)

adalah loket pendaftaran, loket cek data, loket produksi SIM. Tugas pendaftaran

ini dapat dilakukan pada loket formulir. Karena pada existing model, petugas

pada loket formulir hanya menyerahkan formulir kepada WM yang telah

membayar biaya PNBP, tugas ini dapat dirangkap oleh petugas loket 2 (loket

formulir). Namun yang perlu ditambah menjadi 2 orang, satu orang bertugas

memberikan formulir, dan satunya lagi bertugas mengentri data ke komputer.

P

E

M

O

H

O

N

Loket 1

PNPB

Loket 2

Formulir/

Pendaftaran

Loket 3

Ruang

Ujian Teori

Tes Praktek

Di Lapangan

Loket 5

Cek Data/

Foto SIM/Produksi SIM

Loket 4

Ruang

Ujian

Praktek

Loket 6

Penyerahan SIM

Membawa syarat adm:

1. Surat keterangan sehat

dari dokter

2. KTP

3. Sertifikat Lulus

Mengemudi dari lembaga

kursus *)

Gambar 7.6 Mekanisme Pengurusan SIM bagi Pemohon Baru (Recommended Model)

Keterangan: *) Khusus pemohon SIM A, tidak perlu ikut tes teori dan praktek

Page 177: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

316

Setelah itu, WM kemudian langsung menuju loket ujian teori (loket 3), lalu ke

loket ujian praktek (loket 4). Setelah dinyatakan lulus, maka WM tidak perlu lagi

ke loket edit data sebagaimana dalam existing model, tetapi langsung ke loket 5

untuk foto SIM. Pada loket ini, ada 3 tugas yang dapat dilakukan sekaligus, yaitu

mengecek data WM yang akan di foto. Setelah semuanya benar, maka

pengambilan gambar dapat dilakukan. Produksi SIM dapat dilakukan dalam

loket ini pula, karena memang dalam kenyataannya, mesin cetak SIM ada dalam

ruangan ingin, sehingga dengan demikian, WM tidak perlu melalui banyak pintu

untuk memperoleh SIM. Banyaknya pintu yang harus dilalui WM, seringkali

memberi peluang terjadinya perilaku-perilaku menyimpang dari BGD. Namun

sekali lagi perlu ditegaskan bahwa jumlah loket dikurangi tetapi petugas pada

masing-masing loket yang perlu ditambah disesuaikan dengan jumlah WM yang

mengurus SIM setiap harinya, sehingga pelayanan bisa berjalan dengan lancar.

Demikian pula fasilitas pendukung perlu ditambah, terutama komputer yang

digunakan untuk pengambilan gambar. Karena yang selalu menjadi kendala

dalam pelayanan SIM adalah masalah keterbatasan komputer untuk

pengambilan gambar, dengan mana hanya terdapat 1 buah komputer sementara

jumlah warga masyarakat yang mengurus SIM setiap harinya rata-rata 150

orang, sehingga dalam pengamatan lapangan terjadi antrian yang panjang pada

loket pengambilan gambar.

Untuk mekanisme pengurusan SIM untuk perpanjangan seharusnya lebih

singkat lagi. Beberapa loket seharusnya tidak perlu lagi dilalui seperti loket ujian

teori dan ujian praktek. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa masa berlaku

SIM adalah 5 tahun, dengan demikian maka seorang WM yang telah habis masa

berlaku SIM-nya tentunya telah memiliki pengalaman yang cukup dalam

Page 178: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

317

mengendarai sepeda motor. Dengan demikian, ujian teori dan ujian praktek

tidak terlalu relevan lagi untuk dilaksanakan, hal ini mengingat bahwa

keterampilan mengendarai atau mengemudikan sepeda motor atau mobil adalah

sesuatu keterampilan yang tidak akan mudah dilupakan oleh seseorang.

Namun, loket yang tetap harus dilalui adalah pemeriksaan kesehatan.

Dalam prakteknya di lapangan, WM yang ingin memperpanjang SIMnya

akan dikenakan ujian teori dan praktek apabila masa berlaku SIM lewat dari 1

tahun. Kebijakan seperti ini dipersepsi oleh masyarakat sebagai kebijakan yang

sangat buruk dan tidak rasional. Kenapa? Karena menurut beberapa WM yang

berhasil diwawancarai antara lain mengatakan bahwa ”sebenarnya kami tidak

perlu lagi dites karena telah berpengalaman dalam mengendarai sepeda motor”

(Rahman, hasil wawancara tanggal 28 April 2007). Sehingga menurut WM,

bahwa tes seperti itu sangat mengada-ada dan mempersulit WM yang ingin

memperpanjang SIMnya. Dalam kenyataannya beberapa dari WM yang

terlambat mengurus perpanjangan SIM, karena tidak memiliki waktu luang

diakibatkan kesibukannya sehari-hari sehingga seringkali WM tidak dapat

memperpanjang SIM segera setelah masa berlaku sim berakhir. Ada juga WM

yang sama sekali lupa bahwa masa berlaku SIMnya telah habis, dan nanti

setelah ditangkap oleh Petugas Kepolisian dalam suatu sweeping, barulah yang

bersangkutan sadar bahwa SIMnya telah mati. Jadi untuk kasus seperti yang

terakhir ini, hanya semata-mata karena kelalaian yang tidak disengaja oleh WM.

Oleh karenanya memang, kebijakan untuk mewajibkan ujian teori dan ujian

praktek bagi WM yang memperpanjang SIM hendaknya dihapuskan.

Dengan demikian, maka mekanisme pengurusan SIM perpanjangan yang

direkomendasikan dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 179: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

318

Gambar 7.7 Mekanisme Pengurusan SIM Perpanjangan (Recommended Model) . Dalam gambar di atas tetap merekomendasikan tes kesehatan perlu

dilaksanakan. Hal ini sangat berperan penting didalam keselamatan seseorang

dalam mengemudikan kendaraan. Kondisi kesehatan secara umum, sangat

berperan penting dalam kemampuan seseorang dalam mengendarai sepeda.

Terlebih lagi karena salah satu bentuk tes dalam pemeriksaan kesehatan adalah

tes buta warna. Tes ini memang sangat penting untuk seorang pengemudi demi

keselamatan baik bagi dirinya maupun terhadap pengguna jalan lainnya.

Seseorang yang buta warna misalnya, sangat berbahaya di jalan raya terutama

ketika berada dipersimpangan jalan yang memiliki traffic light. Bisa saja warna

merah dianggap warna hijau, jadinya akan sangat berbahaya dan dapat

menimbulkan kecelakaan lalulintas.

Loket 2

Cek Data/

Foto SIM/

Produksi SIM

Loket 3

Penyerahan SIM

Membawa Syarat adm:

1. Surat keterangan sehat

dari dokter

2. SIM lama

Loket 1

PNPB

P

E

M

O

H

O

N

Page 180: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

319

Hal yang menggembirakan dirasakan oleh WM adalah kebijakan yang

dilakukan oleh pihak Saltantas mempermudah WM untuk memperpanjang SIM

yakni mengadakan SIM keliling setiap hari Senin jam 08.00-12.00 di Jalan Andi

Pangerang Pettarani. Namun sayangnya, masih banyak WM yang belum

mengetahui hal tersebut hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi

terhadap WM. Kebijakan mempermudah WM untuk memperpanjang SIM akan

lebih baik apabila ditambah dengan SIM corner, night service, dan atau Sunday

Morning Service (SMS) sebagaimana yang dilakukan oleh Satlantas Polwiltabes

Surabaya (lihat Jawa Pos, Senin 10 Maret 2008).

Ketiga, sistem rekrutmen (penerimaan anggota POLRI) perlu diperbaiki,

terutama menyogok perlu dihilangkan dalam penerimaan anggota kepolisian

agar mereka yang diterima menjadi pegawai publik betul-betul orang yang

kapabel. Jika mereka menyogok lantas diterima, bisa berdampak pada

perilakunya ketika menjadi pelayan. Dia akan berusaha mendapatkan uang

yang tidak halal agar “modalnya” bisa kembali. Ini yang banyak terjadi dalam

sistem rekrutmen di kepolisian dan juga pada pegawai publik lainnya. Kita tidak

dapat menutup mata bahwa fenomena KKN dalam penerimaan pegawai publik

masih subur terjadi bahkan setelah masa reformasi, sebuah masa yang

sebenarnya diharapkan dapat menghapuskan KKN. Beberapa hasil penelitian

telah membuktikan hal tersebut, antara lain hasil penelitian yang telah dilakukan

oleh Dwiyanto, dkk. (2002) bahwa kecenderungan perilaku birokrasi yang masih

tetap korup sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan pada hubungan

personal daripada faktor kapabilitas. Fenomena semacam ini kemudian

memunculkan banyak pandangan miring yang mengatakan bahwa polisi turun ke

jalan untuk mencari uang, bukan untuk memberikan pelayanan kepada

Page 181: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

320

masyarakat. Jadi dapat simpulkan bahwa apabila sistem rekrutmen salah, maka

yang muncul dalam pelayanan nantinya adalah perilaku-perilaku negatif

(disfungsional) karena mereka yang terpilih bukanlah orang yang kapabel, yang

mencintai pekerjaannya, tetapi semata-mata hanya ingin menjadikan pelayanan

sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Keempat, moral dan etika perlu diperbaiki antara lain melalui penerapan

kode etik profesi secara tegas, internalisasi nilai-nilai kejujuran atau melalui

pemberian pelatihan bagaimana memberikan pelayanan yang baik, bagaimana

tersenyum dan menyapa yang menyenangkan warga, dll. Bukan senyum tapi

masam, sehingga mereka yang melihat juga akan merasa tidak enak. Jadi yang

penting disini adalah bagaimana BGD memaknai pelayanan sebagai suatu

ibadah, sehingga pelayanan yang diberikannya dapat tulus, ikhlas tanpa pamrih.

Seseorang yang merasa terlayani dengan baik, niscaya juga akan membalas

dengan ikhlas berupa uang sebagai “tanda terimakasih”. Alangkah indahnya jika

pelayanan dapat seperti ini. Tetapi jika pelayanan dikondisikan sedemikian rupa

sehingga warga terpaksa membayar, maka yang muncul adalah ketidakikhlasan,

dan bahkan juga adalah dosa. Karena dalam agama, menyogok dan disogok

sama saja hukumnya, yakni mendapat dosa.

Kelima, pemberian reward dan punishment. Reward diberikan terhadap

BGD yang dapat berperilaku fungsional atau positif, yang berkomitmen

menjalankan peraturan dengan baik serta dapat mengambil diskresi dengan

baik, dalam arti bahwa kebijakan yang diambilnya dapat menguntungkan semua

pihak, baik itu terhadap lembaga, dirinya selaku pelayan dan juga terhadap

warga masyarakat yang dilayani. Reward dapat berupa kenaikan pangkat dan

atau gratifikasi. Hal ini sejalan dengan teori penguatan (reinforcement theory),

Page 182: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

321

yang mengatakan bahwa penguatanlah yang mengkondisikan perilaku

seseorang. Teori ini memandang bahwa perilaku seseorang disebabkan oleh

lingkungan. Apa yang mengendalikan perilaku adalah pemerkuat

(reinforcement) artinya adalah setiap konsekuensi, bila segera diikuti oleh suatu

respons, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku itu akan diulang. Misalnya

apabila seorang BGD berperilaku positif dalam memberikan pelayanan, dan

segera diberikan reward (positive reinforcement) dalam bentuk kenaikan pangkat

atau gratifikasi maka BGD tersebut akan mengulang perilakunya. Sebaliknya,

apabila seorang BGD yang berperilaku menyimpang atau melanggar aturan dan

prosedur pelayanan segera diberikan punishment (negative reinforcement)

dalam bentuk demosi atau teguran, maka BGD tersebut tidak akan mengulangi

lagi perbuatannya. Jadi punishment tidak semata dimaknai sebagai sebuah

hukuman yang berkonotasi negatif, tetapi punishment lebih dimaknai kepada

pemberian hukuman atau ganjaran sehingga BGD tersebut tidak berani lagi

melakukan perbuatan yang dianggap merugikan warga masyarakat dan institusi.

Dengan demikian maka tujuan punishment lebih diartikan kepada upaya

perbaikan pelayanan publik.

Keenam, meningkatkan pengawasan dalam pelayanan SIM, baik

pengawasan internal maupun eksternal. Pengawasan internal dapat dilakukan

oleh pimpinan organisasi atau badan pengawasan terkait. Sedangkan

pengawasan ekternal dapat dilakukan oleh WM, LSM, wartawan, DPR/DPRD,

lembaga ombudsman. Pada umumnya BGD akan bekerja dengan baik jika

diawasi. Ketika tidak ada pengawas, maka ia dapat berperilaku negatif, tipe

manusia seperti ini oleh McGregor disebut sebagai manusia X. Teori X

berasumsi bahwa karyawan yang tidak menyukai pekerjaan, malas, menghindari

Page 183: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

322

tanggung jawab, dan harus dipaksa untuk bekerja. Tetapi tidak semua BGD

perlu diawasi dalam melakukan pekerjaan. Ada tipe orang yang justru tidak bisa

bekerja dengan baik jika terus diawasi. Tipe seperti ini oleh McGregor disebut

sebagai manusia tipe Y. Teori Y berasumsi bahwa karyawan menyukai

pekerjaan, kreatif, mencari tanggung jawab, dan bisa melatih atau mengarahkan

diri sendiri. Implikasinya adalah setiap pimpinan organisasi harus mampu

memahami bagaimana tipe setiap bawahannya, agar mudah mengarahkan

perilakunya. Apakah BGD tertentu perlu diawasi ataukah justru sebaliknya. Jadi

kepemimpinan juga sangat memegang peranan penting dalam mengarahkan

perilaku bawahan.

Kembali kepada soal pengawasan, pengawasan sebenarnya bertujuan

agar aturan bisa ditegakkan sehingga kepuasan masyarakat bisa tercapai dalam

pelayanan publik. Oleh karena itu, maka setiap pelayanan publik perlu membuat

standar pelayanan publik yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam

melakukan kontrol. Apakah dalam prakteknya sesuai dengan standar pelayanan

yang telah dibuat ataukah BGD membuat diskresi yang merugikan masyarakat.

Standar pelayanan publik harus memuat secara jelas dan tegas tentang:

besarnya biaya pelayanan yang diperlukan, waktu yang dibutuhkan mulai awal

proses sampai diterimanya produk pelayanan, kejelasan personil atau BGD

yang melayani, prosedur yang harus dilalui, bentuk pelayanan harus jelas

(misalnya bagaimana bentuk tes praktek yang harus dilalui oleh WM untuk

mendapatkan SIM), ketersediaan fasilitas pelayanan yang dibutuhkan, misalnya

perlu disediakan sepeda motor atau mobil bagi WM yang akan mengikuti tes,

kualitas produk yang dihasilkan. Agar standar pelayanan bisa efektif, maka

perlu disosialisasikan kepada masyarakat pengguna jasa layanan, sehingga

Page 184: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

323

mereka dapat memahami hak dan kewajibannya dalam memperoleh suatu

layanan publik. Jika warga masyarakat dapat mengetahui dengan baik standar

pelayanan yang memuat tentang hak dan kewajiban warga tersebut, maka fungsi

kontrol dari warga masyarakat dapat berjalan dengan baik. Sehingga pelayanan

publik dapat diharapkan semakin hari semakin baik, dalam arti semakin

profesional dan memuaskan masyarakat. Hal lebih baik lagi jika WM

diberdayakan dalam proses perumusan standar pelayanan tersebut, melalui

format citizens charter. Dengan demikian self of belonging WM terhadap

pelayanan publik menjadi tinggi, sehingga akan bertanggung jawab terhadap

terciptanya kualitas pelayanan publik yang lebih baik.

Ketujuh, menyediakan sarana pengaduan bagi masyarakat sehingga

lembaga atau institusi dapat mengetahui keluhan-keluhan masyarakat sehingga

bentuk pelayanan yang diberikannya dapat sesuai dengan kebutuhan

masyarakat. Jika prosedur komplain bisa efektif, maka BGD akan takut untuk

berperilaku menyimpang, karena akan ketahuan nantinya ketika warga

masyarakat melakukan komplain kepada institusi.

Tidak cukup hanya BGD yang perlu dirubah perilakunya, akan tetapi

dipihak warga juga yang harus diperbaiki. Karena terbukti bahwa perilaku warga

juga banyak yang tidak mencerminkan perilaku positif, yang juga turut memiliki

andil terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik. Misalnya perilaku

menyogok, kolusi, dan mencari gampang, semuanya itu termasuk perilaku-

perilaku yang dapat merusak pelayanan publik. Tetapi intinya adalah apabila

birokrasi pelayanan publik bisa terstandardisasi dengan baik sesuai dengan

kebutuhan dan tuntutan masyarakat, maka otomatis perilaku warga yang

demikian akan tereliminasi dengan sendirinya. Pada dasarnya warga

Page 185: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

324

masyarakat menyogok, mencari gampang atau berkolusi dengan petugas,

karena ada hal yang tidak beres dalam pelayanan publik.

Upaya untuk merubah perilaku negatif dari warga dapat melalui :

Pertama, warga masyarakat perlu diberdayakan dalam pelayanan publik,

antara lain dengan melalui citizens’ charter (CC). Dengan metoda CC, maka

warga merasa memiliki pelayanan, sehingga merasa bertanggung jawab

terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Agar warga bisa berdaya maka

warga perlu ditingkatkan kualitasnya. Artinya peran pemerintah sangat penting

untuk memperbaiki kualitas warga masyarakat. Banyak aspek yang terkait

dengan kualitas warga masyarakat, antara lain adalah pendidikan, gizi, dan

kesejahteraan. Oleh karenanya sudah saatnya birokrasi pemerintah memusatkan

perhatian kepada upaya pemberdayaan masyarakat, bukan saja dari segi

ekonomi, tetapi juga dari segi sosial dan kultural/budaya.

Kedua, warga masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan untuk

memperoleh SIM sesuai standar tes yang ideal, dalam arti sesuai dengan kondisi

layaknya jalan raya, maka tidak boleh diberikan SIM, jika warga yang demikian

diberikan SIM, maka akan berakibat buruk seperti terjadinya kecelakaan

lalulintas. Persyaratan mengenai umur yang dapat memperoleh SIM juga perlu

diperketat, yakni hanya mereka yang berumur 16 tahun ke atas untuk SIM C dan

17 tahun ke atas untuk SIM A (UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalulintas dan

Angkutan Jalan). Mereka yang telah mencapai umur demikian dianggap telah

memiliki tingkat emosi yang cenderung stabil sehingga berpengaruh ketika

mengendarai sepeda motor di jalan raya. Jadi penerapan prosedur dan

persyaratan dengan tegas dapat mengurangi perilaku negatif warga. Data yang

ada di lapangan bahwa 75% kecelakaan lalu lintas adalah disebabkan oleh

Page 186: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

325

kendaraan sepeda motor. Dengan demikian, maka perlu ditinjau kembali

bagaimana prosedur pemberian SIM yang ada selama ini agar dapat sesuai

dengan kondisi riil lapangan dan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, memberikan pembelajaran kepada masyarakat bahwa kualitas

pelayanan publik juga sangat ditentukan oleh WM. Apabila WM cenderung

mencari gampang dalam pelayanan publik, maka BGD yang melayani juga

kecenderungannya berperilaku sesuai dengan keinginannya. Karena otomatis

fungsi kontrol dari WM tidak ada. Disamping itu, perilaku mencari gampang

dalam pelayanan publik dapat berdampak buruk terhadap WM lainnya, baik

pengguna saat sekarang maupun yang akan datang.

7.3 Proposisi Hasil Penelitian 7.3.1 Proposisi Minor

Berdasarkan hasil temuan penelitian ini, maka dapat disusun beberapa

proposisi minor :

Pertama, berkaitan dengan bentuk-bentuk perilaku diferensial yang terjadi

dari hasil interaksi gaya-gaya negosiasi BGD dengan gaya-gaya negosiasi WM,

maka dapat disusun 11 (sebelas) proposisi minor sebagai berikut:

1. Seorang BGD memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan

gaya negosiasi kerjasama, berinteraksi dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung

akan terjadi perilaku diferensial melayani.

2. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan

gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan, cende-

Page 187: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

326

rung akan terjadi perilaku dferensial memperlakukan khusus (customization)

anggota korps tertentu.

3. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi

dengan gaya negosiasi kecurangan, berinteraksi dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan, cen-

derung akan terjadi perilaku diferensial mengabaikan (playing ignorant).

4. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi

dengan gaya negosiasi intimidasi, berinteraksi dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan,

cenderung akan terjadi perilaku diferensial menolak membayar.

5. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan

dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi,

cenderung akan terjadi perilaku diferensial melayani.

6. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan

gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi,

cenderung akan terjadi perilaku diferensial memperlakukan khusus

(customization) anggota korps tertentu.

7. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi

dengan gaya negosiasi kolusi, berinteraksi dengan WM yang memaknai

obyek pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi,

cenderung akan terjadi perilaku diferensial sebagai calo dan mencari

gampang.

Page 188: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

327

8. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi

dengan gaya negosiasi intimidasi, berinteraksi dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kecurangan,

cenderung akan terjadi perilaku diferensial superior dan menyogok.

9. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan

dengan gaya negosiasi percekcokan, berinteraksi dengan WM yang

memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli dengan gaya negosiasi

kecurangan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial superior dan mogok.

10. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan

gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai

pelayanan sebagai jasa terbeli dengan gaya negosiasi kompensasi,

cenderung akan terjadi perilaku diferensial memperlakukan khusus

(customization) korps tertentu.

11. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan

dengan gaya negosiasi percekcokan, berinteraksi dgn WM yang memaknai

pelayanan sbg jasa terbeli dgn gaya negosiasi pertukaran, cenderung akan

terbentuk perilaku diferensial mempersulit dan menyogok.

Kedua, berdasarkan pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan

dari masing-masing bentuk perilaku diferensial, maka dapat disusun 2 (dua)

buah proposisi minor sebagai berikut:

12. Apabila perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara gaya

negosiasi BGD dan gaya negosiasi WM titik beratnya mengarah kepada

BGD, dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut cenderung menguntungkan

BGD.

Page 189: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

328

13. Apabila perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara gaya

negosiasi BGD dan gaya negosiasi WM titik beratnya mengarah kepada WM,

dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut cenderung menguntungkan WM

Ketiga, berdasarkan aktor dominan yang menjadi penentu perilaku

pelayanan diperoleh temuan bahwa aktor yang mendominasi perilaku pelayanan

pada Pelayanan SIM di Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar adalah

birokrat garis-depan (BGD). Berdasarkan temuan tersebut maka dapat dibangun

proposisi minor sebagai berikut:

14. Jika aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan publik adalah

BGD, maka perilaku pelayanan publik cenderung akan menguntungkan BGD

dan merugikan WM. Seba-liknya, jika aktor dominan yang menjadi penentu

perilaku pelayanan publik adalah WM, maka perilaku pelayanan publik

cenderung akan menguntungkan WM dan atau merugikan BGD.

7.3.2 Proposisi Mayor

Dari keempat belas proposisi minor tersebut di atas, maka dapat

dibangun sebuah proposisi mayor sebagai berikut:

“Apabila perilaku diferensial yang muncul dalam interaksi antara BGD

dan WM dapat menguntungkan semua pihak yang berkepentingan

dalam pelayanan publik (institusi penyedia layanan, BGD, WM - baik

warga masyarakat pengguna langsung maupun calon pengguna

pelayanan publik), maka pelayanan publik akan berkualitas. Dengan

asumsi bahwa perilaku tersebut tidak menyimpang dari aturan”.

Page 190: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

329

Tabel 7.1 Matriks Fokus Penelitian, Temuan Penelitian, Proposisi Minor dan Mayor, Rekomendasi Teoritis dan Rekomendasi Praktis

Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis Bagaimana bentuk Perilaku Diferensial (PDf) yang terjadi dalam interaksi antara gaya-gaya negosiasi birokrat garis-depan (GGN-BGD) dengan gaya-gaya negosiasi warga masyarakat (GGN-WM)?

Terdapat 10 bentuk PDf dalam interaksi GGN-BGD dan GGN-WM Kesepuluh perilaku tersebut adalah sbb:, superior, mengabaikan, sebagai calo, memper-sulit, mogok, menolak membayar, mencari gampang, melayani, memperlakukan khusus, dan menyogok. Kesepuluh perilaku tersebut cenderung muncul secara bersa-maan atau tumpang tindih satu sama lain (mutually all inclusive)

Dalam kenyataannya, perilaku yang muncul sangat dipengaruhi oleh norma dan budaya masyarakat, yang tercermin dari pemak-naan masing-masing pelaku interaksi, sehingga cenderung mengeliminasi per-aturan/prosedur pela-yanan.

Proposisi Minor:

1. Seorang BGD memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan gaya negosiasi kerjasama, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung akan terjadi perilaku diferensial melayani.

2. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan, cende-rung akan terjadi perilaku dferensial memperlakukan khusus (customization) anggota korps

tertentu. 3. Seorang BGD yang memaknai

pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dengan gaya negosiasi kecurangan, berin-teraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial mengabaikan.

Hasil temuan tentang bentuk-bentuk perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara BGD dan WM dalam pelayanan publik dianggap dapat mengembangkan teori Lipsky (1980) yang hanya mendasarkan

argumentasi teorinya pada perilaku-perilaku yang umum yang dilihat pada SLB, dan bukan berdasarkan hasil penelitian yang sistematis terhadap interaksi BGD dan WM. Mengembangkan hasil temuan Soedarmo (1998) tentang Gaya-gaya negosiasi. Dalam penelitian Soedarmo tidak mengkaji secara khusus tentang bentuk-bentuk perilaku yang muncul dari hasil interaksi antara gaya-gaya negosiasi BGD dan WM. Pada penelitian ini telah mengkaji secara khusus perilaku-perilaku yang muncul dari hasil interaksi antara GGN dari BGD dan WM.

Karena dalam penelitian menemukan banyak perilaku yang mengakibatkan mal-prosedur dan sifatnya negatif, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk mengubah perilaku negatif BGD melalui berbagai cara: 1. membuat standar pelayanan

yang tegas dan mengikat semua pihak mencakup: prosedur pela-yanan, waktu pelayanan yang diperlukan, biaya, prosedur, dan tata cara pelayanan.

2. prosedur pelayanan perlu disederhanakan dengan me-ngurangi jumlah loket tetapi menambah petugas pada setiap loket sesuai dgn kebutuhan.

3. Tata cara tes praktek perlu jelas agar diskresi yang diambil BGD tidak merugikan WM.

4. Pengawasan perlu diperketat (baik internal maupun eksternal)

5. Penerapan reward and punishment

6. Sistem rekrutmen perlu diperbaiki

7. Penyediaan fasilitas pelayanan yang memadai sesuai dengan kebutuhan.

8. Peningkatan kesejahteraan BGD.

Page 191: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

330

Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis

4. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dengan gaya negosiasi intimidasi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percek-cokan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial menolak membayar.

5. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung akan terjadi gaya negosiasi melayani.

6. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung akan terjadi perlakuan memperlakukan khusus (customization) korps tertentu.

7. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dengan gaya negosiasi kolusi, berinteraksi dengan WM yang memaknai obyek pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung akan terjadi perilaku diferensial sebagai calo dan mencari gampang

Menyempurnakan pandangan Giddens bahwa struktur (dalam hal ini adalah aturan) dapat menjadi contraining bagi

perilaku BGD. Dalam penelitian ini menemukan bahwa WM juga dapat berfungsi sebagai contraining bagi

perilaku BGD. Misalnya ketika seorang WM yang berani melakukan penolakan terhadap permintaan BGD yang dianggap melanggar aturan, misalnya dengan meminta sejumlah uang diluar ketentuan yang ada. WM yang berperilaku seperti ini sebenarnya bernilai positif bagi organisasi dan juga bagi warga yang lainnya, dan dapat berdampak pada perbaikan pelayanan publik secara keseluruhan, sehingga dapat memuaskan warga masyarakat.

Sosialisasi peraturan dan prosedur pelayanan kepada WM, sehingga setiap WM dapat memahami dengan baik peraturan dan prosedur yang ada. Perlunya diterapkan prinsip keadilan atau kesamaan hak dalam pelayanan publik, sehingga tidak ada WM yang merasa diperlakukan diskriminatif dengan warga yang lainnya. Perlu penyadaran kepada WM bahwa perilaku mencari gampang justru akan merugikan dirinya sendiri. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memperbaiki kualitas pelayanan publik sehingga WM antusias untuk mengurus sendiri SIMnya.

Page 192: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

331

Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis

8. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dengan gaya negosiasi intimidasi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kecurangan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial superior dan menyogok.

9. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan gaya negosiasi percekcokan, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli dengan gaya negosiasi kecurangan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial superior dan mogok.

10. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli dengan gaya negosiasi kompensasi, cende-rung akan terjadi perilaku diferensial memperlakukan khusus (customization) korps tertentu.

Mengembangkan teori pelayanan publik bahwa adanya perilaku menyogok dalam pelayanan publik menunjukkan tidak efektifnya sistem pengawasan yang ada dalam pelayanan publik. Mendukung pandangan Islamy (2000) bahwa meskipun pelayanan publik sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah (monopoli) namun tidak dapat mengabaikan prinsip-prinsip pokok dalam pelayanan publik agar dapat berkualitas. Mendukung pandangan Hirschman (1970) tentang exit, voice, dan loyalty.

Perlu diupayakan pemberian punishment baik terhadap BGD dan

juga terhadap WM yang melanggar aturan dan prosedur dalam pelayanan publik. Menghilangkan monopoli dalam pelayanan publik, sehingga WM yang tidak puas dalam pelayanan publik dalam menggunakan hak exit-nya, dengan memilih (choice)

birokrasi pelayanan publik yang lain yang juga menyediakan pelayanan yang sama, sehingga tidak perlu terjadi sikap putus asa yang berujung pada perilaku tidak melanjutkan proses pengurusan SIM. Perlunya diterapkan prinsip keadilan dan kesamaan hak dalam pelayanan publik.

Page 193: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

332

Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis

11. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan gaya negosiasi per-cekcokan, berinteraksi dgn WM yang memaknai pela-yanan sbg jasa terbeli dgn gaya negosiasi pertukaran, cenderung akan terbentuk perilaku diferensial mem-persulit dan menyogok.

Mengembangkan teori pelayanan publik bahwa adanya perilaku mempersulit dan menyogok merupakan cerminan dari rendahnya kualitas pelayanan publik yang ada.

Perlu penerapan standar pelayanan publik yang jelas dan mengikat semua pihak, dengan ketentuan bahwa standar pelayanan tersebut telah memenuhi aspek demokratis, artinya bahwa apa yang dimuat dalam standar pelayanan publik tidak mengabaikan kepentingan dan kebutuhan masya-rakat.

Pihak mana yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan dari setiap bentuk PDf yang muncul dari hasil interaksi antara GGN BGD dan WM.

Dari kesepuluh PDf: 5 bentuk PDf yang cenderung me-nguntungkan BGD (self serving) yaitu, superior, mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, mogok; 2 bentuk PDf yang cenderung menguntungkan WM yakni perilaku mencari gampang dan menolak membayar, dan 3 bentuk PDf yang sifatnya interaktif atau menguntungkan pelaku interaksi yakni BGD dan WM (mutual benefit),

yaitu perilaku melayani, memperlakukan khusus anggota korps tertentu, dan menyogok.

12. Apabila perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara gaya negosiasi BGD dan gaya negosiasi WM titik beratnya mengarah kepada BGD, dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut cenderung menguntungkan BGD.

13. Apabila perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara gaya negosiasi BGD dan gaya negosiasi WM titik beratnya mengarah kepada WM, dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut cenderung menguntungkan WM

Mendukung pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) tentang New Public Service yang mengatakan bahwa perlunya pemberdayaan atau partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik, karena pemilik pelayanan publik yang sebenarnya adalah warga masyarakat.

Perlunya menerapkan Citizens’ Charter (CC) dalam pelayanan SIM. Pemberdayaan WM melalui CC akan meningkatkan sense of belonging WM

terhadap pelayanan publik, sehingga dengan demikian WM akan berupaya agar pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan bersama. Pada akhirnya tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pelayanan publik.

Page 194: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

333

Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis

Siapa aktor dominan yang menjadi penentu PDf dalam pelayanan SIM

Aktor dominan yang menjadi penentu PDf adalah BGD sedang-kan WM adalah resesif (lemah)

14. Jika aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan publik adalah BGD, maka perilaku pelayanan publik cenderung akan menguntungkan BGD dan merugikan WM. Sebaliknya, jika aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan publik adalah WM, maka perilaku pelayanan publik cenderung akan menguntungkan WM dan atau merugikan BGD.

1. Mendukung pandangan Soedarmo (1999) dan Khoidin dan Sadjijono (2006) bahwa kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh aktor pelayan (birokrat garis-depan) dan juga warga masyarakat yang dilayani.

2. Mendukung pandangan Giddens (1984) bhwa adanya dominasi dalam suatu interaksi merupakan manifestasi dari perbedaan power

antara BGD dan WM.

Perlu meningkatkan mutual awareness BGD dan WM untuk menerapkan aturan dan prosedur pelayanan publik dengan baik, melalui penerapan standar pelayanan publik yang telah disepakati bersama berdasarkan Kepmenpan 63/2003. Hal ini penting dilakukan karena dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya PDf yang muncul dari interaksi antara BGD dan WM, kecenderungannya mengaburkan peraturan yang telah ditetapkan

Proposisi Mayor:

Apabila perilaku diferensial yang muncul dalam interaksi antara BGD dan WM dapat menguntungkan semua pihak yang berkepentingan dalam pelayanan publik (institusi penyedia layanan, BGD, WM - baik warga masyarakat pengguna langsung maupun calon pengguna pelayanan publik), maka pelayanan publik akan berkualitas. Dengan asumsi bahwa perilaku tersebut tidak menyimpang dari aturan.

Mengembangkan teori pelayanan publik, dengan mana dalam temuan ini menemukan bahwa: (1) apabila dalam sebuah institusi pelayanan publik terdapat banyak calo (baik calo sipil maupun calo birokrat), maka dapat dipastikan bahwa pelayanan publik yang ada tidak memuaskan warga masyarakat; (2) perilaku mencari gampang dari WM sebenarnya dipicu oleh peraturan dan prosedur yang dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu yang buruk.

Perlu diupayakan agar tidak ada monopoli dalam pelayanan SIM. Oleh karena itu, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk menyelenggarakan pelayanan SIM perlu ditinjau kembali. Karena monopoli dalam pelayanan publik cenderung membuat BGD sebagai pihak yang sangat dibutuhkan. Akibatnya BGD berperilaku seenaknya

Page 195: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

Scanned by CamScanner

Page 196: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

334

BAB VIII

PENUTUP

8.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik tiga buah

kesimpulan:

Pertama, setidaknya ada sepuluh bentuk perilaku diferensial yang

muncul dari interaksi antara gaya-gaya negosiasi BGD dan WM, yaitu perilaku

superior, mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, mogok, menolak membayar,

mencari gampang, melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan

menyogok. Perlu ditekankan disini bahwa kesepuluh bentuk perilaku diferensial

tersebut hanya menunjukkan kecenderungan umum saja, karena pada

dasarnya beberapa bentuk perilaku diferensial muncul secara bersamaan dan

saling tumpang tindih (mutually all inclusive) dengan perilaku diferensial lainnya.

Nampak bahwa perilaku yang muncul dari interaksi tersebut sangat tergantung

dari pemaknaan masing-masing individu pelaku interaksi, misalnya ketika

seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi

dengan menampilkan gaya negosiasi kolusi, berinteraksi dengan WM yang

memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli dengan menampilkan gaya negosiasi

pertukaran, maka cenderung muncul perilaku sebagai calo dan mencari

gampang.

Kedua, berdasarkan pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan

dari masing-masing bentuk perilaku diferensial, maka diperoleh: (1) apabila

perilaku diferensial titik beratnya mengarah kepada BGD, dapat dikatakan bahwa

perilaku tersebut cenderung menguntungkan BGD. Setidaknya terdapat 5 (lima)

Page 197: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

335

bentuk perilaku diferensial yang cenderung menguntungkan BGD yakni superior,

mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, dan mogok. (2) Apabila perilaku

diferensial titik beratnya mengarah kepada WM, dapat dikatakan bahwa perilaku

diferensial tersebut cenderung menguntungkan WM. Setidaknya terdapat 2

(dua) bentuk perilaku diferensial yang cenderung menguntungkan WM, yakni

perilaku menolak membayar dan mencari gampang, dan (3) apabila perilaku

diferensial bersifat interaktif, maka perilaku tersebut dikatakan cenderung

menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi (mutual benefit).

Setidaknya terdapat 3 (tiga) bentuk perilaku diferensial yang cenderung bersifat

mutual benefit, yakni perilaku diferensial melayani, memperlakukan khusus

(special treatment) korps tertentu, dan menyogok. Untuk kelompok perilaku

terakhir, kendati menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi (BGD dan

WM), namun tidak berarti bahwa semua bentuk perilaku diferensial tersebut

adalah bersifat positif. Karena dari ketiga bentuk perilaku diferensial yang

dikelompokkan kedalam perilaku mutual benefit, hanya satu diantaranya yang

termasuk kedalam perilaku fungsional atau positif yakni perilaku diferensial

melayani. Sedangkan 2 (dua) bentuk perilaku diferensial lainnya yakni perilaku

memperlakukan khusus korps tertentu, dan peril;aku menyogok, termasuk

kedalam kategori perilaku disfungsional (menyimpang), karena mengakibatkan

terjadinya maladministrasi atau cenderung mengaburkan prosedur dan

persyaratan dalam pelayanan publik. Artinya, ketika seorang WM yang notabene

berasal dari anggota korps tertentu diperlakukan secara khusus oleh BGD, maka

persyaratan dan prosedur pelayanan dinomorduakan. Dengan demikian, maka

kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh perilaku kedua pelaku interaksi,

dengan mana dalam struktur dan interaksi dimediasi oleh moralitas. Artinya,

Page 198: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

336

aspek moral dan etika sangat berperan penting dalam menentukan perilaku

setiap individu baik itu BGD maupun WM dalam interaksi pelayanan publik. Jadi

struktur (terutama dalam kaitan dengan aturan atau rules) bisa menjadi kabur jika

moral para pelaku interaksi majal (tumpul).

Ketiga, aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan adalah

BGD, sedangkan WM bersifat resesif. Dengan demikian, jelas bahwa perilaku

pelayanan SIM di Kota Makassar jauh lebih banyak menguntungkan BGD

dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh WM, sehingga dapat dikatakan

bahwa pelayanan SIM di Kota Makassar tidak berkualitas, karena masyarakat

banyak dirugikan terutama dari segi biaya pelayanan. Meski demikian, perlu

ditekankan disini bahwa bukan berarti jika warga masyarakat yang dominan

menjadi penentu perilaku pelayanan maka pelayanan dikatakan berkualitas,

tetapi yang diharapkan adalah keseimbangan keduanya, artinya masyarakat

dapat memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam pelayanan publik, terutama

dalam format tes praktek mengendarai yang harus dilalui. Karena nampaknya

bahwa masyarakat yang tidak lulus tes praktek bukan berarti bahwa mereka tidak

memiliki keterampilan dalam mengendarai sepeda motor, akan tetapi format tes

praktek yang dinilai masyarakat sangat mengada-ada dan tidak sesuai dengan

realitas di lapangan (jalan raya). Sehingga masyarakat banyak yang memilih

jalan pintas untuk memperoleh SIM, apakah melalui calo sipil, calo petugas, atau

menyogok petugas agar dapat lulus dalam tes. Apabila dalam suatu pelayanan

publik terdapat banyak calo, dan warga masyarakat senang menggunakan calo

tersebut untuk memperoleh dokumen yang dibutuhkannya, maka fenomena

tersebut dapat memberikan informasi bahwa pelayanan yang ada tidak

berkualitas. Sekiranya berkualitas, maka masyarakat akan antusias untuk

Page 199: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

337

mengurus SIM sendiri tanpa perantaraan calo atau cara-cara lainnya. Tetapi apa

yang terjadi di lokasi penelitian adalah pada umumnya masyarakat mencari jalan

pintas, yang sebenarnya hal tersebut dikondisikan oleh birokrat garis-depan.

Artinya bahwa masyarakat berperilaku seperti itu karena birokrat garis-depan

sebenarnya justru yang menghendaki hal tersebut dilakukan masyarakat, dengan

tujuan akhir untuk mendapatkan keuntungan pribadi (sesuai dengan pemeo

dalam pelayanan publik yang sudah sangat terkenal yakni ”UUD”, Ujung-

Ujungnya Duit) atau money mindedness.

8.2 Rekomendasi Teoretis dan Praktis

8.2.1 Rekomendasi Teoretis

Hasil penelitian studi perilaku diferensial ini memberikan rekomendasi

teoretik dari berbagai perspektif, sebagai berikut:

Pertama, dari perspektif kajian perilaku pelayanan publik, penelitian ini

telah berhasil memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan teori

perilaku pelayanan publik, bahwa kualitas pelayanan publik sangat ditentukan

oleh perilaku birokrat garis-depan dan juga warga masyarakat yang dilayani.

Disamping perilaku BGD, perilaku WM juga dapat menjadi penyebab kualitas

pelayanan menjadi buruk. Hal ini terbukti dari adanya WM yang berperilaku

mencari gampang, artinya WM cenderung menilai bahwa pelayanan bisa

diperoleh dengan cara yang mudah dengan “membeli” pelayanan. Jadi

meskipun berbagai perangkat peraturan telah dibuat oleh pemerintah baik secara

makro struktural berupa etika profesi POLRI melalui Keputusan Kapolri yang

harus ditaati oleh setiap anggota Polri, maupun meso prosedural dalam

Page 200: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

338

pelayanan SIM telah dirancang dengan baik, tetap saja terdapat cela yang dapat

dimanfaatkan oleh BGD dan WM untuk dilanggar. Oleh karena itu, maka penulis

berpendapat bahwa sebaik apapun aturan yang telah ditetapkan, tanpa didukung

oleh moral dan etika yang baik dari kedua pihak yang berinteraksi maka

pelayanan publik tidak dapat diharapkan berkualitas. Dalam arti dapat

menguntungkan dan memuaskan semua pihak yang terlibat, baik itu terhadap

BGD, WM pengguna jasa layanan maupun terhadap institusi.

Kedua, temuan penelitian di atas mendukung pandangan yang

dikemukakan oleh Soedarmo (1999) dan Khoidin dan Sadjijono (2006) bahwa

kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh aktor pelayan (birokrat garis-

depan) dan juga warga masyarakat yang dilayani.

Ketiga, temuan penelitian ini dapat mengembangkan teori Lipsky (1980)

tentang Street-Level Bureuacracy, yang hanya mendasarkan argumentasi

teorinya pada perilaku-perilaku umum yang dilihat pada SLB, dan bukan

berdasarkan hasil kajian yang sistematis dari hasil interaksi antara SLB (BGD)

dengan WM. Sedangkan pada penelitian ini secara khusus mengkaji secara

sistematis tentang perilaku SLM dalam interaksi dengan WM dalam pelayanan

publik.

Keempat, adanya temuan bahwa aktor dominan yang menjadi penentu

perilaku diferensial adalah BGD. Temuan ini mendukung pandangan Giddens

(1984) bahwa adanya dominasi dalam suatu interaksi merupakan manifestasi

dari perbedaan kekuasaan (power) antara BGD dan WM. Perbedaan power ini

boleh jadi disebabkan karena monopoli pelayanan SIM yang diberikan oleh

lembaga kepolisian, sehingga birokrat kepolisian yang melayani merasa dirinya

sebagai pihak yang dibutuhkan oleh WM. Di satu sisi, posisi WM tidak memiliki

Page 201: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

339

pilihan lain untuk memperoleh pelayanan SIM. Kondisi seperti ini kemudian

menjadikan BGD sebagai pemberi pelayanan cenderung menempatkan dirinya

sebagai pangreh praja (pengatur, pembina dan pengendali) WM, dan bukannya

sebagai pamong praja yang seharusnya menjalankan fungsi dan perannya

menjadi pelayan, pemberdaya, dan penyedia fasilitas bagi WM. Ketika birokrat

garis-depan yang mendominasi perilaku pelayanan, maka akan merugikan warga

masyarakat selaku pengguna jasa layanan. Demikian pula sebaliknya, ketika

warga masyarakat yang dominan mempengaruhi perilaku pelayanan, maka akan

merugikan institusi selaku penyedia jasa layanan. Oleh karenanya, maka suatu

pelayanan publik dikatakan ideal, apabila semua unsur yang terlibat dalam

pelayanan publik tidak merasa dirugikan akibat pelayanan yang diberikan.

Kelima, hasil kajian ini juga menemukan bahwa apabila dalam sebuah

institusi pelayanan publik terdapat banyak calo (baik calo sipil maupun calo

birokrat), maka dapat dipastikan bahwa pelayanan publik yang ada tidak

memuaskan warga masyarakat. Mengapa demikian? Karena sebuah intitusi

yang tidak mampu memberikan layanan yang memuaskan kepada warga

masyarakat, maka warga masyarakat cenderung akan mencari calo untuk

mendapatkan output pelayanan yang diperlukannya. Sebaliknya apabila

pelayanan yang ada memuaskan masyarakat, dari segi waktu, biaya dan

kenyamanan (psikologis), maka warga masyarakat akan berusaha mengurus

sendiri output pelayanan yang diperlukannya, sekalipun ia memiliki kepentingan

atau urusan lain. Contoh misalnya dalam pelayanan perbankan, di sana kita

tidak pernah melihat adanya calo yang berkeliaran, karena pelayanan yang ada

di perbankan telah memenuhi semua unsur kualitas pelayanan publik yang baik.

Masyarakat merasa nyaman berhadapan dengan petugas perbankan yang selalu

Page 202: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

340

menyapa dengan ramah dan sopan kepada setiap customer yang datang.

Begitu pula halnya dengan suasana ruangan yang didesain sebaik mungkin,

sehingga memberikan suasana yang nyaman.

Keenam, dari sudut pandang kajian transformasi birokrasi, temuan

penelitian ini mendukung pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) tentang

New Public Service yang mengatakan bahwa perlunya pemberdayaan atau

partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik, karena pemilik kepentingan

publik yang sebenarnya adalah masyarakat. Oleh karena itu, maka birokrasi

garis-depan seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab

melayani dan memberdayakan warga masyarakat dalam pelayanan publik.

Dalam perspektif NPS ini, posisi warga negara harusnya ditempatkan di depan,

karena dalam realitas, kecenderungan birokrasi dan birokratisasi dalam pola

Weberian, Parkinsonian, dan Orwelian justru kurang sesuai dengan tuntutan

masyarakat tetapi justru lebih banyak memperlihatkan praktek-praktek

officialdom, yang mana kepentingan birokrasi yang lebih diutamakan sedangkan

kepentingan warga masyarakat menjadi nomor dua.

Ketujuh, temuan penelitian ini pada dasarnya sejalan dengan temuan

Wantoro (1999) tentang perilaku petugas polantas dalam pelayanan pendaftaran

kendaraan bermotor di Samsat Jakarta, yang menemukan 2 (dua) pola perilaku,

yaitu pola perilaku yang mendasarkan kepada aturan/ketentuan formal,

selanjutnya disebut Perilaku Prosedural, serta pola perilaku yang mendasarkan

pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan interpretasi individual yang

mengarah pada tampilan pola perilaku di luar prosedur resmi. Karena dalam

penelitian ini pada dasarnya membuktikan bahwa bentuk-bentuk perilaku

diferensial yang ditemukan dapat dikelompokkan menjadi 2, yakni pertama,

Page 203: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

341

kelompok perilaku diferensial yang dapat mengikuti aturan atau ketentuan formal

yakni seperti perilaku melayani, mempersulit, superior, pengabaian, berhenti

mengurus SIM, dan perilaku menolak membayar, dan kedua, kelompok perilaku

yang didasarkan pada pemaknaan individu pelaku interaksi yang mengakibatkan

terjadinya cacat prosedur (malprosedur), dalam istilah Wantoro (1999) sebagai

pola perilaku di luar prosedur resmi. Perilaku diferensial yang tergolong

kelompok ini adalah perilaku sebagai calo, mencari gampang, memperlakukan

khusus korps tertentu, dan perilaku menyogok.

8.2.2 Rekomendasi Praktis

Berdasarkan hasil kajian ini, berbagai perilaku yang cenderung

mengaburkan peraturan dan prosedur pelayanan SIM perlu diupayakan

perbaikannya agar tercipta sebuah pelayanan publik yang ideal. Dalam arti

bahwa pelayanan yang diberikan tidak merugikan salah satu pihak yang terkait

dalam pelayanan tersebut, yakni birokrat garis-depan selaku pelayan, warga

masyarakat selaku pengguna layanan, dan institusi sebagai penyedia jasa

layanan.

Untuk itu, maka perlu upaya untuk memperbaiki perilaku negatif menjadi

perilaku positif. Perilaku negatif dari hasil penelitian ini nampaknya telah menjadi

budaya permisif, yaitu suatu budaya yang sebenarnya dari segi agama dan etika

tidak dibenarkan, namun karena sering didengar dan atau telah dilakukan

berkali-kali sehingga sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa. Budaya

seperti ini sebenarnya dapat dirubah, namun perubahan itu tidak bisa diharapkan

terjadi dengan sendirinya. Harus ada bukan hanya contoh, tetapi langkah yang

sistematis untuk menjadikan munculnya kebiasaan yang positif itu. Bahkan,

ketika berkaitan dengan orang banyak harus dipaksakan, dilengkapi dengan

Page 204: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

342

penegakan hukum.

Oleh karena itu, berbagai upaya dapat direkomendasikan sebagai berikut:

Pertama, perlu dipikirkan lebih jauh kemungkinan penerapan citizens’

charter (CC) dalam pelayanan SIM. CC adalah suatu pendekatan dalam

penyelenggaraan pelayanan publik yang menempatkan pengguna jasa layanan

sebagai pusat perhatian. Artinya, kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa

layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses

penyelenggaraan pelayanan publik. Berbeda dengan praktek penyelenggaraan

pelayanan publik yang terjadi sekarang ini, yang menempatkan kepentingan

pemerintah dan penyedia layanan sebagai acuan utama dari praktek

penyelenggaraan pelayanan. Dengan penerapan CC dalam pelayanan SIM,

diharapkan masyarakat memiliki daya tawar (bargaining) terutama dalam format

test praktek yang harus dilalui dalam pelayanan SIM. Meskipun demikian, bukan

berarti bahwa dengan posisi bargaining seperti ini masyarakat dimudahkan

memperoleh SIM sekalipun tidak memiliki keterampilan mengendarai sepeda

motor. Tetapi yang ditekankan disini adalah bagaimana membuat prosedur

pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang didasarkan pada realitas

jalan raya. Untuk mencapai maksud tersebut, CC mendorong penyedia layanan

untuk bersama dengan pengguna layanan dan pihak-pihak yang berkepentingan

(stakeholder) lainnya untuk menyepakati jenis, prosedur, waktu, biaya, serta cara

pelayanan. Kesepakatan tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan hak

dan kewajiban antara penyedia layanan (dalam hal ini adalah Satlantas

Polwiltabes Makassar), pengguna layanan (warga kota Makassar), serta

stakeholder. Kesepakatan ini nantinya akan menjadi dasar praktek

penyelenggaraan pelayanan publik.

Page 205: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

343

Kedua, dengan penerapan CC dalam pelayanan SIM, maka otomatis

akan berdampak pada ditetapkannya standar pelayanan publik yang jelas dan

mengikat hak dan kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan pengguna jasa

terutama terhadap tarif atas pembuatan SIM, waktu pengurusan SIM yang

dilakukan pemohon hingga diterimanya SIM oleh yang bersangkutan, prosedur

yang jelas, dan cara pelayanan. Birokrat yang melayani juga harus jelas

sehingga warga kota yang mengurus SIM dapat menemui langsung petugas.

Sanksi atas pelanggaran dari ketentuan standar yang berlaku bisa dikenakan

kepada birokrat garis-depan maupun pengguna jasa layanan SIM secara

konsisten. Artinya apabila warga kota yang mengurus SIM tidak mampu

mengikuti semua prosedur dengan baik, maka yang bersangkutan tidak dapat

diberikan SIM, sebaliknya, jika birokrat garis-depan tidak melayani dengan baik,

maka warga kota yang bersangkutan dapat menuntut pada lembaga

penyelenggara dalam hal ini adalah Satlantas, dan sebagai konsekuensinya

adalah birokrat garis-depan yang melayani dapat dikenai sanksi berupa denda

atau penalti.

Ketiga, berdasarkan analisis siapa aktor dominan dari masing-masing

bentuk perilaku diferensial, maka diperoleh kesimpulan bahwa BGD

mendominasi terbentuknya perilaku diferensial, sedangkan posisi warga

masyarakat berada dalam kondisi resesif (lemah), dalam arti bahwa masyarakat

sangat lemah di dalam menentukan bentuk pelayanan publik sesuai dengan

kebutuhannya. Adanya dominasi BGD dalam perilaku diferensial jelas

merupakan penyebab rendahnnya kualitas pelayanan publik. Oleh karena itu,

perlu upaya yang sungguh-sungguh dari pihak terkait untuk mengambil langkah-

langkah yang dapat mengubah perilaku baik terhadap perilaku BGD maupun

Page 206: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

344

perilaku warga masyarakat. Pada dasarnya perilaku seseorang dapat dirubah

dengan penerapan beberapa aturan dan sanksi. Sasaran pengubahan perilaku

jelas harus ditujukan pada upaya untuk mengubah perilaku negatif menjadi

perilaku positif, dengan melalui beberapa cara antara lain adalah: (1) penetapan

standar pelayanan publik yang tegas dan mengikat semua pihak, yang sedikitnya

harus memuat tentang: prosedur pelayanan yang jelas, besarnya biaya yang

harus dibayar untuk memperoleh suatu pelayanan, waktu yang diperlukan mulai

dari awal pelayanan sampai diterimanya produk pelayanan yang diinginkan,

kualitas produk pelayanan. (2) sistem rekrutmen perlu diperbaiki, karena dalam

kenyataannya sistem rekrutmen dapat mempengaruhi perilaku BGD setelah

diterima. Misalnya, ketika dalam proses rekrutmen, calon BGD diharuskan

membayar biaya-biaya yang tidak seharusnya, maka ketika nanti melayani

masyarakat, cenderung akan berperilaku mencari keuntungan sebagai pengganti

biaya yang telah ia keluarkan pada saat ingin menjadi PNS; (3) moral dan etika

BGD perlu diperbaiki melalui penerapan etika profesi Polri secara tegas kepada

semua anggota Polisi, internalisasi nilai-nilai kejujuran melalui berbagai pelatihan

dan pembinaan moril, (4) pemberian reward dan punisment yang tegas dan adil,

(5) meningkatkan pengawasan dalam pelayanan publik, baik dari pihak internal

maupun eksternal, (6) perbaikan kesejahteraan BGD, disesuaikan dengan tingkat

kebutuhan hidup saat ini. Memang diakui bahwa setiap individu senang dengan

uang mengingat biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin

melambung. Sementara gaji pokok anggota Polri setingkat dengan BGD yang

melayani SIM sangat rendah yakni sekitar 1,5 juta ditambah tunjangan umum

sebesar Rp 75.000,- per bulan. Dalam kondisi gaji yang demikian rendah maka

BGD akan mudah tergoda untuk mencari-cari peluang mendapatkan tambahan

Page 207: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

345

penghasilan diluar gaji mereka.

Keempat, disamping perilaku negatif BGD, maka perilaku negatif WM

juga perlu dirubah menjadi perilaku positif. Upaya yang dapat dilakukan adalah

(1) dengan memberikan pembelajaran kepada WM, bahwa perilaku negatif

seperti mencari gampang dalam pelayanan publik, dapat merugikan diri WM itu

sendiri dan juga WM lainnya, karena dengan perilaku tersebut, maka BGD akan

terbiasa untuk mendapatkan uang ekstra, sehingga apabila ada WM yang ingin

memperoleh pelayanan sesuai prosedur, maka akan diabaikan oleh BGD yang

sudah terbiasa mendapatkan keuntungan dalam pelayanan yang diberikannya;

(2) pemberdayaan WM dalam pelayanan publik, sehingga sense of belonging

WM terhadap pelayanan publik akan menjadi tinggi. Dengan pemberdayaan

seperti ini akan muncul saling pengertian (mutual understanding) dan kesadaran

bersama (mutual awareness) antara BGD dan WM untuk bersama-sama

mematuhi peraturan dan prosedur (standar pelayanan publik) yang telah

ditetapkan secara demokratis, melalui model CC. Akibatnya perhatian

masyarakat akan besar terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga

akan turut mempengaruhi perilakunya dalam interaksi pelayanan publik. Pada

akhirnya, perilaku WM akan selalu diarahkan kepada upaya perbaikan kualitas

pelayanan, karena nantinya akan dinikmati sendiri oleh WM; (3) agar WM bisa

berdaya, maka tentunya kualitas WM perlu ditingkatkan, baik melalui

peningkatan tingkat pendidikan, sosialisasi kebijakan terutama standar

pelayanan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan jika ternyata

standar pelayanan yang telah dibuat tidak sesuai kebutuhan masyarakat, maka

pemerintah harus menyesuaikan kebijakan tersebut sebagaimana yang

diharapkan oleh masyarakat.

Page 208: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

346

Keempat, perlunya penyederhanaan prosedur pengurusan SIM yang

efektif dan efisien untuk menutup lubang-lubang yang rawan untuk

disalahgunakan oleh BGD. Semakin panjang rantai prosedur yang harus dilalui,

semakin besar kemungkinan dapat disalahgunakan oleh BGD. Oleh karena itu,

jumlah loket dapat dikurangi dari 9 loket menjadi 6 loket saja sehingga warga

kota tidak perlu melewati banyak loket yang memungkinkan warga kota menemui

kendala. Loket tersebut adalah Loket 1, tempat pembayaran (PNBP) dan

sekaligus loket formulir. Jadi petugas loket ini bertugas menerima pembayaran

dan menyerahkan formulir. Loket 2 adalah penerimaan berkas dan entri data,

loket 3 untuk ujian teori, loket 4 untuk ujian praktek, loket 5 pengambilan gambar,

dan loket 6 pengambilan SIM (output). Mengingat banyaknya jumlah WM yang

mengurus SIM setiap harinya, yakni mencapai 250 orang per hari untuk semua

jenis SIM, maka jumlah petugas pada loket perlu ditambah sehingga pelayanan

bisa dilakukan dengan cepat agar tidak terjadi antrian yang panjang. Oleh

karena itu, birokrat kepolisian yang berperilaku sebagai calo yang sering mondar-

mandir di luar ruangan pelayanan dapat ditempatkan sebagai petugas loket.

Kelima, perlunya ditinjau kembali format tes praktek yang dilalui

disesuaikan dengan kondisi yang wajar di jalan raya. Dari hasil penelitian

diperoleh fakta bahwa banyak WM yang tidak berani untuk mengurus SIM sendiri

meskipun terampil mengendarai sepeda motor dalam kondisi normal jalan raya.

Kebanyakan dari WM merasa takut terhadap format tes yang dirasakan sangat

sulit dan bahkan dianggap terkesan mengada-ada, yang sengaja dibuat sebagai

jebakan terhadap WM yang ingin mengurus SIM. Ada hal yang dianggap

mengada-ada dan terlalu sulit untuk dilalui warga yang ingin mengikuti tes

praktek, yaitu tes melewati tiang rintangan yang sangat sempit hanya kurang

Page 209: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

347

lebih 2 meter jaraknya, hampir sama dengan ukuran panjang sepeda motor.

Kondisi itu diperparah lagi dengan pemasangan pembatas luar yang berjarak

kurang lebih satu meter dari rintangan. Dengan jarak yang demikian dekat,

seorang pemohon SIM yang mengikuti ujian praktek tidak diperbolehkan untuk

menurunkan kaki kendati keseimbangan hilang. Sementara laju kendaraan

hanya berkisar 10 – 20 km per jam, karena start awal dimulai dengan langsung

membuat ziq-zaq. Otomatis laju kendaraan sepeda motor harus pelan-pelan.

Dalam kondisi demikian, sangat sulit untuk tetap berada dalam posisi yang

seimbang, sehingga mau tak mau seorang warga harus menurunkan kakinya.

Dalam kondisi demikian, maka warga akan dinyatakan tidak lulus dalam tes

praktek. Apabila dua kali tidak lulus, maka akan sama saja biayanya jika

membayar atau berkolusi dengan petugas. Selain akan rugi waktu, WM juga

rugi biaya, tenaga dan psikis. Alasan seperti inilah yang sering dikemukakan

oleh WM yang mencari gampangnya dalam pengurusan SIM.

Keenam, perlunya menyediakan loket pengaduan yang efektif dan efisien

bagi warga yang merasa tidak puas atas layanan yang diberikan. Loket

pengaduan tersebut dapat menjamin bahwa semua pengaduan yang dilakukan

oleh WM dapat ditindaklanjuti secara cepat dan tepat, sehingga WM antusias

untuk melakukan pengaduan apabila menghadapi perlakuan negatif dari BGD.

Ketujuh, perlunya disediakan sepeda motor bagi warga masyarakat yang

mengurus SIM C untuk digunakan dalam ujian praktek, terutama bagi mereka

yang tidak memiliki sepeda motor. Karena dalam kenyataannya banyak warga

masyarakat mengurus SIM C tetapi tidak mempunyai sepeda motor. Pada

dasarnya mereka tidak mempunyai sepeda motor, namun ada waktu-waktu

tertentu mereka meminjam sepeda motor kerabatnya sehingga seringkali

Page 210: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

348

terjaring dalam sweeping di jalan raya. Jadi mengurus SIM merupakan upaya

untuk berjaga-jaga jika suatu waktu mereka mengendarai sepeda motor.

Kedelapan, untuk memudahkan WM untuk mengurus perpanjangan SIM,

maka disamping pelaksanaan SIM keliling yang telah dilaksanakan setiap hari

Senin Jam 08.00 – 12.00 siang di Jalan Andi Pangerang Pettarani, maka perlu

lagi ditambah dengan SIM corner pada mall-mall, night service dan Sunday

Morning Service (SMS) pada lokasi-lokasi yang dianggap ramai dikunjungi warga

untuk berolah raga pada hari Minggu misalnya di Lapangan Karebosi atau di

Pantai Losari Makassar.

Kesembilan, perlunya membersihkan praktek-praktek percaloan yang

ada di lingkungan Satlantas Polwiltabes Kota Makassar sehingga masyarakat

dapat mengurus SIM secara wajar. Oleh karena itu, pengawasan perlu

diperketat terhadap jalannya pelayanan SIM. Mereka yang terbukti menerima

uang sogokan atau meminta uang lebih dari standar yang ditetapkan perlu

diberikan sanksi atau punishment berupa penurunan pangkat atau material.

Sebaliknya petugas yang menunjukkan perilaku fungsional yang mendukung

pelayanan prima perlu diberikan reward berupa kenaikan pangkat sehingga

menambah semangat para BGD untuk selalu menampilkan perilaku yang

bersedia melayani dengan baik WM.

Akhirnya, hasil penelitian ini dapat mendorong penelitian lebih mendalam

tentang teori perilaku birokrakt garis-depan dalam interaksi dengan WM dalam

pelayanan publik. Sebab sebagaimana disumbangkan oleh hasil penelitian ini,

bahwa setiap perilaku diferensial ternyata berlangsung sangat dinamis dan

sangat ditentukan oleh pelaku interaksi (BGD dan WM). Jadi meskipun dari

segi struktur, peraturan atau prosedur yang ada dapat mempengaruhi dan

Page 211: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

349

mengarahkan perilaku BGD dan WM, namun dalam kenyataannya perilaku

diferensial sangat ditentukan oleh etika, moral dan kesadaran para pelaku

interaksi (mutual awareness).

Berdasarkan uraian di atas, maka konstruk teoritik dari temuan ini dapat

divisualisasikan sebagai berikut:

Gambar 8.1 Konstruk Teoritik Perilaku Pelayanan Publik

Page 212: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

Scanned by CamScanner

Page 213: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

350

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Albrow, Martin, 1989. Birokrasi. Dialihbahasakan oleh M. Rusli Karim dan Totok

Daryanto, Tiara Wacana, Yogyakarta. Azhari, 1995. Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap

Unsur-unsurnya. UI-Press, Jakarta.

Bennis, Warren, 1975. Beyond Bureaucracy, Essays on the Development and

Evolution of Human Organization, McGraw-Hill Book Company, New York.

Blacke, R.R., Mouton, J.S. 1969. Building a Dynamic Corporation Through Grid

Organizational Development, Addison-Wasley, Reading, MA. -------------, 1985. The Managerial Grid III, Gulf Publishing Company, Houston,

TX. Blau, Peter M. Marshal W. Meyer, 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern.

Diterjemahkan oleh: Slamet Rijanto. Penerbit Prestasi Pustakarya. Blumer, Harbart, 1969. Symbolic Interaction: Perspective and Method. Prentice-

Hall, Englewood Cliffs, N.J. Box, Richard, 1998. Citizen Governance. Thousand Oaks, CA: Sage. Castles, Lance dalam Priyo Budi Santoso, 1997. Birokrasi Pemerintah Orde

Baru Perspektif Kulturan dan Struktural. Raja Grafindo Persada. Cet. Ke 3, Jakarta.

Chen, M. 2001. Asian Management Systems. Thomson, London.

Deal, T., and Kennedy, A. 1982. A Corporate Culture. Addison-Wesley,

Reading-MA. Denhardt, Robert B. 1991. Public Administration An Action Orientation.

Brook/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California. Denhardt, Janet V. dan Denhardt, Robert B. 2003. The New Public Service:

Serving,, Not Steering. M.E. Sharpe, Armonk, New York, London, England.

Dwiyanto, A.; Partini, R.; Wicaksono, A., Tamtiari, W., Kusumasari, B., dan

Muhammad Nuh, 2002. Reformasi Birokrasi Publik. Pusat Studi

Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta.

Page 214: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

351

Edwards, George C III, 1980. Implementing Public Policy. Congressional Quarterly Press.

El Kahal, S. 2001. Business in Asia Pasific, Oxford University Press, Oxford. Fiedler, F.E. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness. New York, McGraw-

Hill. Garner, Bryan A. 1999. Black’s Law Dictionary. Seventh Edition, West Group,

ST. Paul, Minn. Gibson, J., Ivancevich, J., dan Donnelly, J., 1996. Organisasi, Perilaku, Struktur

dan Proses, Binarupa Aksara, Jakarta. (penerjemah: Ir. Nunuk Adirni, MM.)

Giddens, Anthony, 1982. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai

Kelompok Kekuasaan dan Politik. Jakarta. ------------------- 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of

Structuration. Cambridge: Polity Press. ------------------, 1991. “Structuration Theory: Past, Preseny, and Future”, dalam

Bryan Christoper GA and David Jarry (ed), Giddens Theory of Stucturation Critical Appreciation, London: Routledge, p. 201-221.

Glaser, Barney G. and Strauss, Anselm L. 1967. The Discovery of Grounded

Theory, Strategies for Qualitative Research. Aldine Publishing

Company, Chicago. Goffee, R. and Jones, G. 1998. The Character of a Corporation. Harper

Business, London. Gramscie, A. 1970. Politik dan Hegemoni. Hirschman, A.O. 1970. Exit, Voice, and Loyalty, Harvard University Press,

Cambridge, Mass. Hofstede, G. 1980. Culture’s Consequences. Newbury, New York. -----------------, 1991. Culture and Organizations: Software of the Mind. McGraw-

Hill, New York, Ny. Islamy, Muh. Irfan, 1998. Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara,

Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Brawijaya, Malang. ----------------, 1999. Profesionalisasi Pelayanan Publik. Universitas Brawijaya,

Malang.

Page 215: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

352

Ivancevich, John M., Andrew D. Szilagyi, Jr. dan Marc J. Wallace, Jr. 1997. Organizational Behavior and Performance, Goodyear Publishing Company, Inc. Santa Monica, California.

Kelana, Momo, 1984. Hukum Kepolisian, Edisi Ketiga, PTIK, Jakarta. Khoidin, M. dan Sadjijono, 2006. Mengenal Figur Polisi Kita. Editor: Drs. Pudi

Rahardi, MH. Penerbit: Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Kilmann, R.H. Saxton, M.J., Serpa, R., & Asosiasi, (ed.), 1985. Gaining Control

of the Corporate Culture. San Fransisco, Jossey Bass.

King, Cheryl Simrell, and Camilla Stivers, 1998. Government Is Us: Public

Administration in an Anti-Government Era. Thousand Oaks, CA: Sage. Kotler, Philip and Eduardo L. Roberto, 1992. Social Marketing: Strategies for

Changing Public Behavior. The Free Press, New York. Lawrence, P.R. and J.W. Lorsch. 1967. Organizational and Environment:

Managing Differentiation and Integration, Harvard University Press,Cambridge.

Lincoln, Y. dan Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry, SAGE Publications, Inc.

California. Lipsky, Michael. 1980. Street-level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in

Public Services. Russell Sage Foundation, New York.

Lubis, Muchtar. 2001. Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban).

Ceramah pada tanggal 6 April 1977, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta..

Makmur, 2007. Filsafat Administrasi. Bumi Aksara, Jakarta. Martin, J. 1992. Cultures in Organization – Three Perspectives. Oxford

University Press, Oxford. Osborne, David and Plastrik, Peter, 1997. Banishing Bureaucracy, The Five

Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing

Company, Inc., Massachusetts. Ouchi, W. 1981. Theory Z: How American Business Can Meet the Japanese

Challenge, Addison Wesley, Reading, MA.

Parsons, Wayne, 2001. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice

of Policy Analysis. Edward Elgar Publishing, Ltd. Peters, T. and Waterman, R. 1982. In Seach of Excellence, Harper and Row,

London.

Page 216: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

353

Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Edisi Kedelapan (Versi Bahasa Indonesia). Penerbit: PT. Prenhallindo, Jakarta.

Sadjijono, 2005. Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance.

Laksbang, edisi kesatu, Yogyakarta. ------------, 2006. Hukum Kepolisian: Perspektif Kedudukan dan Hubungannya

Dalam Hukum Administrasi. LaksBang Pressindo, Yogyakarta. Savas, Emmanuel S. 2000. Privatization and Public-Private Partnership.

Chatham House Publishers, Seven Bridges Press, LLC. New York – London.

Schein, E.H. 1992. Organizational Culture and Leadership. Jassey-Boss, San

Fransisco, C.A. -----------------,1999. The Corporate Culture Survival Guide, Jassey-Bass, San

Fransisco, C.A. Simon, Herbert A. 1957. Administrative Behavior. 2d Ed. New York: Free Press. Strauss, Anselm and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research:

Grounded Theory Procedures and Techniques. Newbury Park: Sage Publications.

Suprihanto, John, Agung M. Harsiwi, dan Prakoso Hadi, 2003. Perilaku

Organisasional. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YPKN bekerjasama dengan Aditya Media, Yogyakarta.

Taylor, Frederick Winslow, 1923. Scientific Management. New York: Harper and

Row. Thoha. Miftah, 1984. Birokrasi dan Politik di Indonesia. PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta. -------------------. 1991. Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-dimensi Prima Ilmu

Administrasi Negara Jilid II), Fisipol Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Cetakan Kedua.

--------------------, 1998. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya.

Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Turner, C.H. 1991. Corporate Culture: How to Generate Organizational Strength

and Lasting Commercial Advantage. London. Piatkus. Vredenbergt, Jacob, 1980. Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-ilmu Empiris, PT.

Gramedia bekerjasama dengan ILDEP, Jakarta.

Page 217: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

354

Wamsley, Gary, and James Wolf, 1996. Refounding Democratic Public Administration. Thousand Oaks, CA: Sage.

Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Managemen Pemerintahan Daerah.

Fokusmedia, Cetakan keempat, Bandung. Weber, Max. 1958. The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalsm,

Dialihbahasakan Talcott Parsons, New York: Charles Srinner’s Sons. White, Leonard D. 1926. Introduction to the Study of Public Administration New

York: Macmillan. Widodo, Joko. 2001. Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi

dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Jakarta. Willoughby, W.F. 1927. Principles of Public Administration. Baltimore: Johns

Hopkins University Press. Zeithaml, Valarie A. A. Parasuraman & Leonard L. Berry, 1990. Delivering

Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations. New York: The Free Press, Macmillan Inc.

JURNAL/PUBLIKASI ILMIAH: Anonim, 2003. Pelayanan PKB dan BBNKB pada Kantor Bersama Samsat di

Jawa Timur Dalam Rangka Peningkatan PAD. Jurnal Litbang Jawa Timur, Vol. 2 No. 2, hal 16-29.

Blumer, Herbart, 1971. Social Problems as Collective Behavior. Social

Problem, 18: 298-306.

Brodkin, Evelyn Z. 2001. Accountability in Street-Level Bureaucracies: Issues in

the Analysis of Organizational Practice. Paper for presentation at The 5th International Research Symposium on Public Management, Centre d’Iniciatives de I’Economia Social. University of Barcelona, Barcelona, Spain, April 9-11.

Gardner, Richard L., 1999. Benchmarking Organizational Culture: Organization

Culture as a Primary Factor in Safety Performance. Professional Safety, Mar; 44, 3. ABI/INFORMS Research pg. 26-32.

Gulick, Luther. 1937. “Notes on the Theory of Organization.” In Papers on the

Science of Administration, ed. L. Gulick and L. Urwick, 1-46. New York: Institute of Government.

Hansen, G. and Wernerfelt, B. 1989. “Determinants of Firm Performance: The

Relative Impact of Economic and Organizational Factors.” Strategic Management Journal . Vol. 10. No. 3. pp. 399-411.

Page 218: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

355

Hassan, Riaz, 1986. Aksessibilitas Pelayanan Publik, Prisma No. 12, LP3ES, Jakarta.

Haugh, H.; McKee, Lorna. 2004. The Cultural Paradigm of the Smaller Firm.

Journal of Small Business Management. October, 42,4; ABI/INFORM Research pg. 377-394.

Islamy, M. Irfan, 2001. Agenda Kebijaksanaan Reformasi Administrasi Negara.

Jurnal Administrasi Negara, FIA Universitas Brawijaya, Malang, Vol. II No. 1, hal 13-30, September.

Ismani, HP. 2001. Etika Birokrasi. Jurnal Administrasi Negara, FIA Universitas

Brawijaya, Malang, Vol. II No. 1, hal 31- 41. Lock, Peter and John Crawford, 2004. The Effect of Organizational Culture and

Leadership Style on Job Satisfaction and Organisational Commitment: A Cross-National Comparison. The Journal of Management Development, 23; 3/4; ABI/INFORM Research pg. 321.

Mallak, L.A. and Kurstedt H.A.Jr. 1994. “Examining the Relationship Between

Culture and Performance Through Culture Gap Analysis,” ASEE Annual Conference.

Morris, R.M.I. 1992. “Effective Organizational Culture is Key to a Company’s

Long-Term Success.” Industrial Management. Vol. 34 No. 2, pg. 28-9. Muhammad, Farouk, 2000. Pengubahan Perilaku dan Kebudayaan Dalam

Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan POLRI. Jurnal Polisi Indonesia, Tahun 2, April 2000 - September 2000.

Park, Heejun, Vincent Ribiere and William D. Schulte Jr. 2004. Critical Attributes

of Organizational Culture that Promote Knowledge Management Technology Implementation Success. Journal of Knowledge Management; 8,3; ABI/INFORM Research pg.106-117.

Rogers, R.W. and Ferketish, B.J. 1993. “Value-driven Change Process.”

Executive Excellence, Vol. 10 No. 3, pg 5-6. Saleh, Choirul, dan Muluk, M.R. Khairul. 2005. New Public Service dan

Pemerintahan Lokal Partisipatif, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol. VI. No.1, hal 230-241..

Saleh, SyafIuddin, 2004. Pelayanan Publik yang Buruk dan Upaya Perbaikan

Pelayanan Serta Moral Pegawai/Pejabat Publik. Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB, November 2004.

Schein, E.H. 1990. “Organizational Culture.” American Psychologist. Vol. 4 No.

2, pg. 109-119.

Page 219: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

356

Setyorini, Th. Dewi. Tanpa tahun. Peran Pemimpin Dalam Pengejawantahan Budaya.

Wallack, E. 1983. “Individuals and Organization: the Cultural Match,” Training

and Developmnet Journal, Vol. 12, pp. 28-36. Wantoro, Agus. 2000. Perilaku Petugas Polantas Dalam Pelayanan Pendaftaran

Kendaraan Bermotor di Samsat Jakarta. Abstrak Tesis S2 yang dimuat dalam Jurnal Polisi Indonesia. September 1999-April 2000.

Weatherley, R, and M. Lipsky, 1977. “Street-Level Bureaucrats and Institutional

Innovation: Implementing Special Education Reform”. Harvard Educational Review, 47: pg.171-97

Westbrook, J.D. 1993. “Organizational Culture and its Relationship to TQM,”

Industrial Management. Vol. 35 No. 1 pg. 1-5. Whalen, Hugh, 1960. “Ideology, democracy, and the foundations of local self-

government,” Canadian Journal of Economics and Political Science,

Vol. 26, No. 3, pg 12-23. August. Winter, Soren C. 2002. Explaining Street-Level Bureaucratic Behavior in Social

and Regulatory Politices. Paper for the XIII Research Conference of the

Nordic Political Science Association held in Aalborg, 15-17 August. LAPORAN PENELITIAN, THESIS DAN DISERTASI: Anonim, 2002. Ringkasan Eksekutif: Governance and Decentralization Survey.

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Budihardjo, Sukadji, 2003. Perilaku Birokrasi dalam Pelayanan Publik (Studi

Kasus Perilaku Birokrasi Pemerintahan Kelurahan Teluk Tiran Kecamatan Banjarmasin Barat Kota Banjarmasin). Thesis Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya, Malang.

Rosidi, Sakban, 1998. Pencemaran Masuk Desa Ladang: Kajian Anatomik

Perbenturan Kepentingan dan Pembentukan Tertib Tersiasati antara Pemilik Pabrik Pupuk Cair, Pelaku Pemerintahan Setempat, dan Warga Sekitar. Tesis Magister Sosiologi, Program Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah, Malang. Sadhana, Kridhawati, 1989. Perilaku Negosiasi Sebagai Upaya Strategi Adaptif

Kepala Desa dalam Struktur Birokrasi Pemerintahan Desa. Disertasi Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga Surabaya.

Page 220: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

357

Soedarmo, 1998. Birokrasi Pelayanan Masyarakat Kota: Studi Pembentukan Tertib Interaksi Birokrasi Garis-depan dengan Warga Kota. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

Teruna, Mada. 2007. Patologi Birokrasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Di Daerah. Disertasi. Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.

Wibisono, M. Yusuf, 2002. Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan

Masyarakat (Kajian Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang), Thesis, Program Pascasarjana Universitas

Brawijaya, Malang. DOKUMEN PEMERINTAH: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan

Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Keputusan Kapolri Nomor 32/VII/2003 tentang Kode Etik Profesi Polri. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81/1993

tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep/M.Pan/2003

tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

Kep/25/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Februari 2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

Kep/26/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1993 tentang Penerimaan Negara

Bukan Pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1999 tentang Surat Izin Mengemudi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota

Polri. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis

Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Polri.

Page 221: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

358

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Peraturan Gaji Anggota

POLRI. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum bagi

Anggota POLRI di Lingkungan POLRI. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Struktural

di Lingkungan POLRI. TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian,

Penerbit, Citra Umbara, Bandung. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2004. Reformasi Sektor Pelayanan

Publik (Laporan Hasil Penelitian) . KAMUS: Anonim, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan bekerjasama dengan Balai Pustaka, Jakarta. Cambell-Black, Henry. 1979. Black’s Law Dictionary with Pronounciation, Fifth

Edition, West Publishing & Co. USA. SURAT KABAR: Jawa Pos, 15 Februari 2004. Hasil Survey Tim Pelembagaan Citizens’ Charter

Pusat Kependudukan dan PSKK) UGM. -----------------, 10 Maret 2008. Usai Joging, Urus SIM. Kompas, 6 Januari 2007. Polri Juga Protes Disebut Korup. Hasil Survei

Transparansi International Indonesia. Lubis, Todung Mulya, dkk. 2006. Barometer Korupsi 2006. Hasil Survei

Tranparancy International Indonesia. Dimuat diharian Kompas tanggal 6 Januari 2007.

Page 222: LATAR GGN BGD PERILAKU DIFERENSIAL

359

Tempo Interaktif, 2005. Pemerintah Segera Buat Standarisasi Pelayanan Publik,

Kamis, 24 Februari 2005. Tribun Timur, 2006. Polwiltabes Permudah Layanan SIM Kolektif. 12 Juni 2006,

Makassar.