latar ggn bgd perilaku diferensial
TRANSCRIPT
143
Gambar 5.1 Proses Terbentuknya Perilaku Diferensial
Kesepuluh bentuk PDf yang berhasil diidentifikasi tersebut hanya
merupakan kecenderungan umum saja, sebab dalam kenyataannya berbagai
bentuk PDf bisa saja berlangsung secara bersamaan dan saling tumpang tindih
(mutually all inclusive). Artinya bahwa suatu perilaku yang muncul memiliki
kecenderungan bersamaan dengan perilaku yang lain. Misalnya, ketika seorang
birokrat garis-depan berperilaku sebagai calo, bisa saja karena BGD tersebut
merespon WM yang datang yang tidak memiliki waktu untuk mengurus SIM
sesuai prosedur resmi sehingga memilih untuk mencari gampang dalam
memperoleh pelayanan SIM. Jadi dengan demikian, maka dalam interaksi
tersebut terjadi dua perilaku yang berlangsung secara bersamaan yakni perilaku
sebagai calo dari BGD dan perilaku mencari gampang dari WM.
Berikut ini ditampilkan matriks gaya-gaya negosiasi antara BGD dan WM,
dan perilaku yang cenderung muncul dari hasil interaksi kedua gaya tersebut.
LATAR
BGD
LATAR
WM
GGN
BGD
GGN
WM
PERILAKU
DIFERENSIAL
144
Tabel 5.1 Matriks Gaya-Gaya Negosiasi BGD dengan Gaya-Gaya Negosiasi WM serta Perilaku Diferensial yang Terjadi Dari Hasil Interaksi Keduanya
BGD
WM
Pelayanan Sebagai Pelaksanaan Aturan
Pelayanan Sbg Tugas dari Atasan
Pelayanan Sebagai Sarana Kepentingan Pribadi
Kerjasama Kompromi Percekcokan Kompromi
Kecurangan Intimidasi Kolusi
Pelayanan Sebagai
Hak Warga
Kompromi
Melayani
Percekcokan
Memperlakukan Khusus Korps tt
Mengabaikan
Menolak membayar
Pelayanan Sebagai
Kewajiban Warga Kota
Kompromi
Melayani Memperlakukan Khusus Korps tt
Sebagai calo Mencari gampang
Kecurangan
Superior Menyogok
Pelayanan Sebagai
Jasa Terbeli
Kecurangan
Superior Mogok
Kompensasi
Memperlakukan KhususKorps tt
Pertukaran
Mempersulit Menyogok
Sebagai Calo Mencari gampang
Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian Lapangan, 2007
145
Deskripsi dari masing-masing bentuk perilaku diferensial yang telah
diperoleh berdasarkan hasil pengamatan maupun dari hasil wawancara, dapat
dilihat dalam uraian berikut ini.
5.1.1 Perilaku Superior
Perilaku superior terjadi saat birokrat garis-depan menggunakan
kekuasaannya secara negatif untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan
menerapkan aturan dengan ketat, terutama tes praktek mengendarai yang
formatnya dirasakan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk
dilakukan (yang sebenarnya mengada-ada). Bentuk perilaku superior
merupakan tindakan yang tidak resmi dan termasuk perilaku yang melanggar
aturan sehingga dapat mengganggu jalannya interaksi antara birokrat garis-
depan dengan warga kota yang dilayani. Perilaku superior biasanya dilakukan
oleh birokrat garis-depan khususnya terhadap warga kota yang ”kurang
berdaya”. Petugas yang berniat melakukan perilaku superior ini terlebih dahulu
dapat menaksir atau mendefinisikan orang yang dihadapinya. Dengan dalih
untuk menerapkan prosedur pelayanan sebagaimana mestinya, birokrat garis-
depan dapat memperdaya warga kota. Sebagai pemegang wewenang dan
sumberdaya, birokrat garis-depan bisa menolak, menyalahkan, mempersulit, dan
bahkan memaksakan kehendaknya kepada warga yang dilayaninya. Apabila
warga yang dilayani tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam berhadapan
dengan birokrasi pelayanan, maka dengan mudah dapat ”terjebak”, sehingga
dapat berakibat pada konsekuensi biaya tinggi.
Dalam pengamatan di lapangan, kasus perilaku superior seperti ini
seringkali terjadi terhadap warga kota yang mengurus SIMnya sendiri. Warga
146
kota yang nekad untuk mengikuti tes teori dan praktek dapat dipastikan akan
mengalami perlakuan superior dari petugas. Hasil pengamatan lapangan
terungkap bahwa kasus superior pada umumnya terjadi pada loket 6 yakni pada
ujian praktek. Berikut ini kutipan hasil pengamatan lapangan terhadap seorang
warga masyarakat yang bernama Ridwan:
”Ridwan (nama samaran), seorang warga Jl. Andi Pangerang Pettarani Makassar yang mengurus SIM. Sekarang dia harus mengikuti ujian praktek. Setelah menghubungi ruang loket 6, petugas meminta Ridwan untuk mengambil sepeda motornya yang diparkir di halaman belakang kantor Satlantas Polwiltabes Makassar. Ketika sampai di lapangan tempat diadakannya ujian praktek, petugas menjelaskan beberapa aturan main:
”Saya ingin menjelaskan kepada Saudara bagaimana ujian yang harus anda lalui. Pertama-tama anda harus melalui tiang rintangan ini yang berjumlah 8 buah. Anda harus melewatinya secara ziq-zaq, dimana jarak antara satu tiang ini adalah kurang lebih 2 meter. Anda tidak boleh menurunkan kaki. Kalau anda menurunkan kaki, saya akan membunyikan sempritan, berarti anda harus mengulangi. Jika dua kali anda gagal maka anda tidak punya kesempatan lagi. Apabila anda berhasil melewati rintangan, anda diwajibkan melanjutkan mengendarai motor melalui lingkaran dan sekali lagi tidak boleh menurunkan kaki. Setelah itu anda ke lokasi di sebelahnya untuk menaiki tanjakan. Dan pada tanjakan anda diwajibkan untuk berhenti dan menurunkan kaki.”
Setelah petugas selesai menjelaskan peraturan ujian, petugas kemudian memberi contoh, bagaimana harus mengendarai motor melewati rintangan. Nampak bahwa petugas sangat ahli mengendarai kendaraannya tanpa menurunkan kakinya. ”Sekarang saya persilahkan Anda untuk mengendarai motor anda mengikuti jalur yang saya jelaskan tadi.” kata petugas kepada Ridwan.
”Ridwan mulai menghidupkan motornya, dan perlahan-lahan melewati satu per satu tiang rintangan. Dia nampaknya mahir mengendarai motor melewati rintangan dengan baik tanpa menurunkan kakinya. Tetapi pada rintangan terakhir nampaknya Ridwan kehilangan keseimbangan sehingga harus menurunkan kakinya. Petugas dengan cepat membunyikan sempritan sebagai tanda bahwa Ridwan harus kembali dan memulai dari awal lagi. Setelah mencoba sekali lagi, kejadian yang sama terjadi, yakni pada rintangan terakhir Ridwan kembali menurunkan kakinya. Untuk kedua kalinya petugas meniup peluitnya, kemudian memanggil Ridwan ke posisi semula. Petugas lalu berkata, ”Anda kembali lagi besok, atau kapan-kapan ada waktu untuk mengikuti tes ulang” (hasil pengamatan lapangan tanggal 25 April 2007).
Setelah Ridwan meninggalkan lapangan ujian praktek, pengamat kemudian menghampiri petugas dan mencoba memuji keahlian petugas dalam mengendarai motor ketika memberikan contoh tadi. ”Bapak tadi sangat ahli mengendarai, saya heran Bapak tidak jatuh.” Pengamat
147
mencoba memancing petugas. ”Sama seperti Ibu Dosen, meskipun tidak melihat buku pasti ibu dapat menjelaskan suatu mata kuliah yang ibu sudah ajarkan bertahun-tahun, begitu juga saya, karena tugas ini sudah saya lakukan sejak lama, maka saya sudah ahli” (hasil wawancara tanggal 25 April 2007).
Kutipan kasus diatas menunjukkan bahwa petugas seakan-akan ingin
menunjukkan kekuasaannya kepada warga yang dilayaninya. Dia tidak segan-
segan menyatakan bahwa pemohon tidak lulus, meskipun secara teknis nampak
bahwa Ridwan tadi mahir. Jika dilihat dari prosedur tes praktek mengendari
terkesan sangat mengada-ada, karena prosedur praktek seperti itu, realitasnya
tidak ditemukan di lapangan (jalan raya), sehingga meskipun Ridwan sudah
mahir mengendarai motor namun tidak lulus dalam tahap ujian praktek.
Jika dianalisis lebih jauh, perilaku superior yang dilakukan oleh birokrat
garis-depan memiliki tujuan akhir agar warga kota yang dilayani tidak mau
mengikuti prosedur yang ada sehingga mereka mencari jalan pintas
menggunakan calo apakah yang berpakaian seragam (petugas) ataukah calo
yang berpakaian sipil (calo yang “dipelihara” oleh petugas). Perilaku superior
semacam ini juga dimaksudkan untuk membangun image dimasyarakat, bahwa
mengurus SIM adalah pekerjaan yang sangat sulit dan memerlukan waktu yang
lama karena bisa saja berkali-kali mengikuti tes baru bisa lulus. Oleh karena itu,
kalau mengurus SIM sebaiknya lewat calo saja atau sebaiknya membayar
petugas sesuai standar yang telah menjadi kesepakatan secara tidak tertulis
yakni Rp 150.000,- untuk SIM C dan Rp 250.000,- untuk SIM A. Image
semacam ini rupanya telah terbentuk dimasyarakat, karena hampir semua
informan yang berhasil diwawancarai telah memaklumi budaya yang ada selama
ini. Sebagaimana hasil wawancara dengan Basyir (nama samaran) berikut ini:
”Saya lebih baik membayar Rp 250.000,- untuk mengurus SIM A, daripada saya harus mengikuti ujian yang sangat sulit. Saya rela
148
membayar lebih karena nantinya sama saja biayanya kalau saya tidak lulus berkali-kali. Waktu saya juga akan habis hanya untuk bolak-balik, lebih baik saya mengerjakan pekerjaan saya yang lain” (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).
Dari beberapa kasus yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa perilaku
superior yang dilakukan oleh BGD terjadi bersamaan dengan perilaku
menyogok. Ketika seorang WM merasa kesulitan menghadapi BGD yang
berperilaku superior, maka kemudian kecenderungan WM menempuh jalan untuk
menyogok petugas, dan ada juga yang berhenti mengurus SIM (mogok).
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa perilaku superior
kecenderungannya muncul dari hasil interaksi antara BGD yang memaknai
pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi, dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai kewajiban warga. Sementara itu, terdapat pula perilaku
superior yang terjadi dari BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan
aturan, dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli. BGD
dengan dalih ingin menerapkan aturan dengan baik, maka dengan mudah
mempersalahkan dan menyatakan tidak lulus terhadap WM yang ”menurutnya”
tidak memenuhi syarat. Sementara WM yang sudah sering mendengar sulitnya
bentuk ujian praktek, maka WM cenderung tampil sebagai pembeli jasa layanan.
5.1.2 Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant)
Perilaku mengabaikan atau playing ignorant sempat juga terdeteksi di
lapangan. Perilaku mengabaikan yang dilakukan oleh aparat birokrat, bagi WM
ini merupakan taktik penundaan yang dilakukan secara sadar. Dalam
pengamatan lapangan, terungkap pula bahwa perilaku mengabaikan seringkali
149
terjadi terutama terhadap warga kota yang mengurus sendiri SIM. Berikut hasil
pengamatan terhadap seorang WM yang mengurus SIM A:
”Nurdin (nama samaran), adalah nama seorang warga yang mengurus SIM A. Ia baru saja membeli sebuah kendaraan roda empat. Sebagai seorang warga yang taat, ia merasa harus mengurus SIM, disamping sebagai kewajiban bagi pengedara, juga dimaksudkan agar terhindar dari resiko tilang apabila ada sweeping di jalan raya, yang akhir-akhir ini memang marak dilakukan oleh kepolisian. Sebelumnya ia mengaku telah mengikuti kursus mengemudi pada salah satu lembaga kursus yang ada di kota Makassar yaitu Lembaga Kursus Aliah. Dengan berbekal sertifikat mengemudi, ia memberanikan dirinya untuk mengurus sendiri SIM A tanpa melalui calo. Setelah mengurus surat keterangan sehat pada dokter yang ada di ruangan sebelah, Nurdin kemudian menuju loket 1 (loket Pembayaran PNBP) untuk membayar biaya administrasi. Setelah membayar biaya administrasi kemudian dia mengambil formulir, nampak Nurdin mengisi formulir tersebut. Setelah merasa semua lengkap, kemudian ia mengembalikan ke loket 2. Nurdin kemudian duduk di kursi yang telah disediakan untuk warga kota yang mengurus SIM. Jumlah kursi yang disediakan lumayan banyak sekitar 40 kursi. Pada ruangan tunggu ini juga disediakan air minum mineral dalam bentuk galon, namun jumlah gelas yang disediakan hanya 3 buah. Setelah menunggu sekitar 5 menit, namanya kemudian di panggil. Ia kemudian diminta oleh petugas loket untuk meneruskan berkasnya ke loket 4. Pada loket ini rupanya setelah menunggu sekitar 30 menit, Nurdin belum juga dipanggil namanya. Karena merasa tidak sabar lagi, ia lalu bertanya ke petugas loket. ”Bu, bagaimana punya saya, dari tadi saya menunggu kok belum disebut juga nama saya.” Petugas yang ada di dalam kemudian menjawab: ”Sabar ya pak, ini banyak yang saya tangani.” Jawaban petugas tadi rupanya tidak memuaskan Nurdin, karena sebelumnya beberapa orang warga yang menurutnya di belakang dia, tetapi kenyataannya lebih dahulu dilayani (hasil pengamatan lapangan tanggal 8 Mei 2007). Pengamat yang telah memperhatikan dari tadi, kemudian berdiri
menghampiri Nurdin.
Kenapa pak? Tanya pengamat. ”Ini bu, saya rasanya sudah dari tadi memasukkan berkas saya, tapi belum juga diproses. Malahan ada orang yang baru saya lihat memasukkan berkasnya, tapi sudah dipanggil namanya. Itu kan namanya tidak adil. ”oh begitu pak?” pengamat berusaha mengerti perasaannya. Karena pengamat telah paham betul bagaimana kondisi lapangan, maka pengamat mencoba lagi memancing warga tadi: ”Memangnya tadi Bapak bayar berapa?. ”Tujuh puluh lima ribu bu, sesuai ketentuan yang saya baca di depan ketika mau masuk ruangan ini.” jawab Nurdin. ”Iya sih
150
memang begitu, tapi disini pak kalau kita mau mengurus sendiri SIM pasti akan lama dan sangat bertele-tele. Saya juga sudah mengalaminya kemarin” Jelas pengamat. ”Sebenarnya saya juga tau dari teman-teman bu, tapi saya ini kan merasa bisa mengemudi, saya juga menyertakan sertifikat mengemudi saya”. Jawab Nurdin kemudian. Sampai disitu, pengamat tidak lagi melanjutkan pertanyaan, tetapi hanya berusaha mengamati kejadian selanjutnya” (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007). Dari hasil wawancara dan pengamatan lapangan tadi menunjukkan
bahwa perilaku mengabaikan terjadi manakala warga yang mengurus SIM tidak
menyertakan uang lebih dari standar yang ditetapkan atau tidak melalui calo.
Seperti halnya yang telah penulis alami sebelumnya, ketika berkas penulis sulit
ditemukan, sehingga proses selanjutnya menjadi terhambat.
”Setelah melewati loket 6 yang melelahkan, penulis kemudian membawa berkas ke loket 7 untuk pengecekan data sebelum dibuat SIM. Berkas penulis masukkan sekitar pukul 11.45. Setelah menunggu kira-kira 20 menit, petugas yang ada di dalam keluar. Menurut keterangan petugas loket yang lain, petugas tersebut pergi menunaikan ibadah sholat dan makan siang. Sekitar pukul 12.35 petugas tersebut kembali. Namun setelah menunggu hampir 2 jam lamanya, berkas penulis belum juga dikembalikan. Untunglah sore itu ada kerabat penulis yang kebetulan memiliki kenalan di Satlantas. Setelah penulis menyampaikan apa yang dialami, kerabat tersebut kemudian mencari temannya yang kebetulan adalah petugas. Petugas tadi masuk ke ruang loket 7. Ia nampaknya mencari-cari berkas penulis, tapi rupanya tidak ditemukan. Petugas tadi kemudian bertanya pada penulis, ”Siapa tadi yang mengambil berkasnya,” ”Saya letakkan di meja itu pak, karena petugas tadi bilang taruh disitu saja bu.” Jawab pengamat. Petugas tadi mencari di meja yang pengamat tunjuk. Berkas tersebut belum juga ditemukan. Tanpa kenal lelah petugas tadi mencari di meja lain, rupanya berkas penulis diletakkan tersendiri. Setelah ditemukan, petugas tadi duduk di komputer dan mencocokkan data penulis dengan data yang telah dientri sebelumnya (meskipun petugas tadi bukan petugas loket, tapi nampaknya dia bisa juga melakukan pengecekan data). Setelah semua cocok, berkas tadi diberikan kepada penulis dan diminta ke loket 8 untuk pengambilan gambar (foto SIM C)” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007).
Dari kasus tadi, jelas bahwa perilaku mengabaikan ini berbeda dengan
ketidakpastian. Kalau ketidakpastian menunjukkan bahwa sesuatu hal memang
tidak jelas apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan. Misalnya saja,
151
ketidakpastian mengenai biaya, warga sama sekali tidak mengetahui berapa
yang harus dibayar untuk sebuah pelayanan. Ketidakpastian mengenai pelayan,
warga tidak tahu sama sekali mengenai siapa yang melayani. Demikian pula
ketidakpastian tentang prosedur, warga tidak tahu prosedur yang harus dilalui
untuk mendapatkan suatu pelayanan. Dalam hal perilaku mengabaikan ini,
sebenarnya semua prosedur dan biaya telah diketahui dan diikuti. Ia lebih
merupakan sebuah keputusan yang dibuat secara sadar untuk bertindak seakan-
akan seseorang itu tidak mengetahui apa yang keliru.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku mengabaikan (playing ignorant) muncul dari hasil interaksi antara BGD
yang cenderung memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi,
dengan warga masyarakat yang memaknai pelayanan sebagai hak warga.
Nampak bahwa kedua pelaku interaksi memiliki perbedaan nilai terhadap suatu
pelayanan, dengan mana BGD mengharapkan keuntungan dari pelayanan yang
diberikannya, sementara WM menilai bahwa dirinya berhak mendapatkan
pelayanan yang baik, karena sudah sewajarnya BGD melaksanakan tugasnya
dengan baik yakni melayani warga tanpa pandang bulu. Akibat adanya
perbedaan cara pandang yang demikian, maka kemudian yang muncul adalah
perilaku mengabaikan.
5.1.3 Perilaku Sebagai Calo
Ketika seseorang pertama kali datang ke kantor Satlantas Polwiltabes
Makassar, maka pemandangan yang dilihatnya adalah sebuah bangku panjang
yang sengaja ditempatkan di depan ruang masuk gedung. Bangku panjang
tersebut bukan diperuntukkan untuk warga yang ingin mengurus SIM, karena
152
tempat duduk bagi warga yang mengurus SIM telah tersedia di dalam gedung
tepatnya di depan loket-loket. Akan tetapi bangku panjang tersebut ditempati
oleh para calo yang menunggu warga yang ingin mengurus SIM. Dari situ
biasanya transaksi dimulai. Para calo ini biasanya berpakaian sipil biasa, karena
memang mereka adalah warga sipil. Tetapi disamping warga sipil tersebut, ada
hal yang menarik yang penulis lihat di lapangan, yakni mereka yang berseragam
petugas juga banyak yang mondar-mandir di sekitar pintu ruang masuk
menunggu warga yang datang mau mengurus SIM. Kita akan mudah
mendengar sapaan dan pertanyaan ”mau ngurus SIM bu? Atau mau ngurus SIM
pak?”.
Berikut ini digambarkan hasil pengamatan yang menunjukkan bagaimana
perilaku sebagai calo yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap seorang
warga yang bernama Ardi:
Ardi, demikian nama anak muda tadi dipanggil, selama ini belum memiliki SIM karena tidak punya banyak waktu. Dari pengakuannya dua hari yang lalu ia sempat di tahan polisi dipersimpangan jalan Abdullah Dg. Sirua Makassar, karena tidak memiliki SIM maka ia pun harus mengeluarkan uangnya untuk menyogok oknum polisi yang menahannya. Daripada urusan lama kalau ditilang, lebih baik saya sogok. Ia menyadari bahwa menyogok polisi adalah perbuatan yang tidak terpuji. Karena tidak ingin terus-terusan begitu, maka ia pun menyempatkan diri untuk mengurus SIM di sela-sela kesibukan yang sangat mendesak. Mahasiswa semester 8 ini mengetahui bahwa Satlantas Polwiltabes mengadakan SIM keliling yang dilaksanakan setiap hari Selasa jam 8 pagi sampai jam 12 siang di Jalan Andi Pangerang Pettarani, namun karena ia tidak punya kesempatan pada waktu itu, maka ia ke Kantor Satlantas untuk mengurus SIM.
Setelah memasuki ruangan Satlantas, seorang petugas mendekatinya. Bisa saya bantu?. Tanya petugas itu.
”Saya ingin mengurus SIM C pak”. Kata Ardi kepada petugas yang berdiri di depan pintu masuk. ”Anda belum pernah punya SIM?. Tanya petugas itu lagi. ”Baru kali ini saya mau ambil SIM.” jawab Ardi singkat. ”Kalau begitu anda harus membayar biaya administrasi pada loket 1 sebesar Rp 75.000,- sesuai ketentuan, dan setelah itu anda mengisi formulir yang disediakan di loket 2.” terang petugas yang menanganinya. ”Baik pak,” jawab Ardi kemudian.
153
”Apa adik punya banyak waktu untuk mengikuti tes?” tanya petugas. ”Nah itu dia pak, saya sebenarnya buru-buru karena banyak yang harus saya kerjakan”. Jawab Ardi. ”Kalau begitu, biar saya bantu, adik bayar saja Rp 150.000,- nanti tidak perlu ikut tes. Kalau ikut tes jangan-jangan adik tidak bisa lulus. Banyak orang yang berkali-kali ikut tes tapi tidak lulus-lulus juga, akhirnya habis uang dan waktunya saja.” Kata petugas sedikit menjelaskan situasi yang ada selama ini. ”Oh begitu pak, kalau begitu saya bayar saja, lagi pula saya juga butuh SIM secepatnya”. Kata Ardi (hasil pengamatan lapangan tanggal 26 April 2007). Hasil pengamatan lapangan tadi menggambarkan bahwa warga kota
yang tidak memiliki waktu luang untuk mengurus SIM menjadi peluang yang
besar bagi petugas yang berperilaku sebagai calo. Untuk warga yang mengurus
SIM melalui calo biasanya hanya berurusan dengan petugas loket 1, dan proses
selanjutnya dilakukan oleh BGD yang menangani berkasnya.
Gambar 5.2: Foto Loket Pembayaran PNBP
Dalam kasus yang dialami oleh Ardi tadi, terlihat bahwa perilaku sebagai
calo yang dilakukan oleh BGD tidaklah berdiri sendiri, tetapi pada dasarnya WM
juga mencari jalan yang mudah dan cepat untuk memperoleh SIM. Jadi disini
nampak bahwa perilaku sebagai calo ini berlangsung bersamaan dengan
perilaku mencari gampang yang dilakukan oleh WM.
154
Pernyataan menarik yang dikemukakan oleh Junubi Dg. Ngerang bahwa
petugas sebenarnya juga adalah calo memang benar adanya. Karena dari
pengamatan lapangan, petugas berpakaian berseragam Polisi yang mondar-
mandir tersebut sebenarnya bukanlah petugas loket, namun seringkali terlihat
berada dalam ruang loket. Mereka bukan petugas loket yang sebenarnya, tetapi
seringkali ikut memproses berkas yang masuk. Sehingga dalam loket yang
seharusnya ditempati hanya 4 orang itu (karena loket bagian depan terdiri atas 4
loket), namun kenyataannya seringkali diisi oleh 8 sampai 10 orang petugas yang
berseragam polisi. Mereka yang bukan petugas loket inilah yang dimaksud oleh
informan tadi sebagai calo. Jadi calo tadi juga berada di dalam loket dan
memproses sendiri berkas warga yang diurusnya.
Dari pengamatan lapangan, penulis berhasil menyaksikan perilaku yang
unik dari biasanya, dimana petugas yang nota bene juga calo tadi, menyisipkan
beberapa uang lembaran kedalam berkas warga yang ”dicaloi” tadi, agar
diproses oleh rekannya yang bertugas di loket. Jadi calo ”jenis” ini berbeda
dengan calo yang berpakaian sipil. Kalau calo yang berseragam bisa bebas
masuk ke dalam loket dan memproses berkas warga yang ”dicaloi”, namun tidak
demikian halnya bagi calo yang berpakaian sipil. Dari pengamatan penulis, calo
yang berpakaian sipil ini hanya lewat loket dan melakukan tawar-menawar
dengan petugas loket. Tawar menawar hanya untuk kasus yang langka seperti
pada kasus kehilangan SIM, tetapi untuk kasus lainnya seperti untuk pemohon
SIM yang baru dan penggantian, sepertinya mereka sudah sepakat dengan
harga yang harus dibayar.
155
Ketika penulis berdiri di dekat loket 4, nampak disamping kiri penulis
seorang calo yang tawar-menawar dengan petugas loket. Berikut hasil
pengamatan yang penulis lihat di lapangan:
”Calo: berapa bu kalau kehilangan SIM? ”Petugas loket: tujuh puluh lima ribu. ”Calo: mahal sekali, bisa kurang? Petugas: ya, begitu itu harganya. Rupanya petugas tidak ingin menurunkan harga yang ditawarkannya, namun calo merasa harga yang diberikan terlalu mahal, tetapi setelah itu, calo berlalu pergi. Rupanya calo tadi menyetujui meskipun merasa agak mahal. Nampak calo tadi menghubungi warga yang kehilangan SIM nya tadi dan berbincang sejenak dengan calo. Setelah mereka sepakat, calo tadi kembali ke petugas loket dan menyerahkan uang yang diminta oleh petugas loket (hasil pengamatan lapangan tanggal 10 Mei 2007). Untuk perilaku petugas sebagai calo, yang berhasil diamati adalah ketika
saat pertama kali seorang warga datang untuk mengurus SIM, seorang petugas
yang berseragam yang biasanya mondar-mandir di luar ruangan menunggu
warga yang akan menjadi “mangsa”, sambil bertanya kepada warga yang
datang, “mau mengurus SIM bu/pak?. Jika warga menjawab “iya pak”, disitu
mulai diadakan transaksi. Setelah petugas yang berperilaku “calo” tadi
menyampaikan jumlah yang akan di bayar oleh warga agar urusannya cepat
(hanya mengisi formulir langsung foto), maka warga tadi diminta untuk duduk di
kursi yang telah disediakan di ruangan tunggu. Warga yang membutuhkan SIM
tidak perlu repot-repot mengurus berkasnya dari satu loket ke loket lainnya.
Petugas “calo” tadi yang masuk ke ruang loket, bahkan petugas tadi yang
mengisi lembaran jawaban untuk ujian teori. Dengan secepat kilat semua soal
dijawab tanpa perlu lagi membaca soalnya, langsung mengisi lembar jawaban.
Setiap loket yang dilalui disogok oleh petugas “calo” tadi. Uang lebih yang
dibayar oleh warga disebarkan ke semua loket yang dilalui,. Kalau warga
membayar misalnya Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu) dari harga stándar Rp
156
75.000,- (tujuh puluh lima ribu), maka sisanya itulah yang dibagi-bagi ke semua
petugas loket, caranya dengan memasukkan uang ke dalam berkas pemohon.
Petugas loket sudah paham betul bahwa berkas ini perlu diproses cepat. Jadi
semua meja yang dilalui mendapatkan bagian. Jumlah besarnya penulis tidak
dapat mengetahui secara pasti, karena hanya melihat sesaat ketika petugas
loket mengambil uang tersebut dan memasukkan kesakunya. Pada suatu
kesempatan wawancara, pengamat menanyakan perilaku seperti ini kepada GN,
petugas ini mengakui kalau memang mereka meminta bayaran lebih
sebagaimana yang diungkapkannya: “kami memang meminta bayaran lebih dari
stándar bu, yaitu Rp 150.000,- untuk SIM C dan Rp 250.000,- untuk SIM A”
(hasil wawancara tanggal 28 April 2007).
Dalam memproses berkas warga yang membayar lebih ini, seorang
petugas calo bahkan terlihat juga mengentri data ke komputer. Jadi disini
seringkali tidak jelas mana petugas asli mana petugas calo. Untuk pengurusan
SIM melalui calo baik calo berpakaian dinas (polisi) maupun berpakaian sipil,
pada umumnya hanya membutuhkan waktu 1 hari yaitu sekitar 2 atau 3 jam.
Yang membutuhkan waktu paling lama adalah antri foto, disini WM tidak bisa lagi
diwakili karena harus diambil gambarnya. Selebihnya, semua prosedur diurus
oleh calo tadi. Sedangkan warga yang tidak melalui calo, mereka minimal harus
menempuh waktu 2 hari, itupun kalau berhasil lulus tes. Kalau tidak, waktunya
bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Dari uraian di atas, maka penulis dapat berkesimpulan bahwa perilaku
sebagai calo muncul dari hasil interaksi antara BGD yang memaknai pelayanan
sebagai sarana kepentingan pribadi, dengan WM yang memaknai pelayanan
sebagai kewajiban warga. Seorang WM yang memaknai kepemilikan SIM
157
sebagai kewajiban warga yang memiliki kendaraan baik roda 2 ataupun 4, maka
akan berusaha untuk memperoleh SIM dengan berbagai macam cara. Apabila
tidak mampu memperolehnya sesuai dengan prosedur resmi, maka akan
berusaha mencari calo yang selalu siap membantu warga. Dengan demikian,
maka perilaku sebagai calo cenderung muncul secara bersamaan dengan
perilaku mencari gampang dari warga masyarakat. Sebenarnya dari interaksi
keduanya mengandung nilai “pertukaran”. BGD dimudahkan memperoleh
keuntungan berupa uang, sementara WM dimudahkan untuk memperoleh SIM.
5.1.4 Perilaku Mempersulit
Perilaku mempersulit adalah merupakan salah satu bentuk perilaku yang
berhasil diidentifikasi di lapangan. Perilaku mempersulit ini dirasakan oleh WM
ketika menghadapi ujian praktek. Dalam prakteknya, format ujian praktek yang
diberikan terhadap WM yang ingin memperoleh SIM dibagi atas 3, yakni (1)
mengendarai sepeda motor secara ziq-zaq melewati tiang rintangan yang
berjarak kurang lebih 2 meter, dengan pembatas luar kurang lebih 1,5 meter.
Peraturannya: ketika mengendarai secara ziq-zaq, WM tidak diperbolehkan untuk
menurunkan kaki meskipun dalam kondisi badan yang tidak seimbang. Apabila
WM yang mengikuti tes menurunkan kaki, maka petugas akan membunyikan
sempritan sebagai tanda bahwa WM harus mengulang sekali lagi. Dan apabila
pada kesempatan kedua WM tetap harus menurunkan kaki, maka yang
bersangkutan dinyatakan tidak lulus. (2) mengendarai sepeda motor mengikuti
garis lingkaran yang menyerupai angka delapan. Peraturannya: WM tidak
diperbolehkan untuk menurunkan kaki, apalagi terjatuh. dan (3) menaiki
tanjakan. Pada bentuk tes ketiga ini, peraturannya adalah WM mengendarai
158
sepeda motor menaiki tanjakan, dan pada posisi kendaraan sedang miring
diharuskan untuk berhenti dan menurunkan kaki. Peraturan yang disebutkan di
atas adalah hasil pengamatan lapangan ketika petugas loket 6 menjelaskan
peraturan praktek kepada salah seorang warga yang akan mengikuti tes praktek
pada tanggal 25 April 2007.
Bentuk ujian praktek seperti di atas sangat sulit dilalui oleh WM, sehingga
kebanyakan dari WM yang mengurus SIM melalui calo karena tidak ingin
terkendal oleh peraturan dan prosedur seperti tes praktek di atas. Fenomena
seperti ini dapat diketahui antara lain dari pernyataan yang dikemukakan oleh
Burhanuddin (nama samaran), seorang warga yang mengurus SIM C:
”Saya tadi melalui calo, karena saya dengar-dengar kalau mengikuti tes akan dipersulit. Seperti yang dialami tetangga saya waktu mengurus SIM C, dia tiga kali mengikuti ujian praktek baru bisa lulus” (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).
Warga yang merasa dipersulit oleh petugas sebenarnya adalah upaya
petugas untuk menerapkan peraturan, akan tetapi dalam pandangan masyarakat
bahwa format tes yang diberikan amatlah berlebih-lebihan. Seperti ketika warga
diminta untuk menaiki tanjakan, dan pada posisi kendaraan sedang menanjak
(miring), kemudian warga diminta untuk menghentikan sepeda motornya lalu
menurunkan kaki. Bentuk tes seperti inilah yang sangat ditakuti oleh warga
sehingga jarang ada yang berani untuk mengurus SIM sesuai prosedur resmi.
Sementara itu, ada pula warga yang merasa dipersulit ketika ingin
memperpanjang SIM. Kasus yang dialami oleh Rahim dapat menggambarkan
hal tersebut. Rahim adalah warga jalan Batua Raya yang ingin memperpanjang
SIM C, namun karena terlambat memperpanjang SIM C maka ia kemudian
diminta untuk mengikuti tes teori dan tes praktek:
159
“Saya heran kenapa saya harus mengikuti tes teori dan tes praktek lagi. Saya akui memang saya terlambat memperpanjang SIM C saya, tetapi kewajiban mengikuti tes saya rasa adalah akal-akalan petugas saja yang ingin mempersulit saya. Padahal saya ini sudah lama bisa mengendarai motor. Namun kalau saya diminta untuk tes praktek, saya masih sangsi apakah saya bisa, karena kalau saya lihat sangat sulit untuk lulus kalau orang tidak latihan lama” (hasil wawancara tanggal 30 April 2007). Setelah dikonfirmasi dengan GN, petugas yang melayani ujian teori
membenarkan bahwa untuk pemohon yang ingin memperpanjang SIM C akan
menjalani tes teori dan tes praktek kembali. Pernyataan selengkapnya sebagai
berikut:
”Untuk warga yang memperpanjang SIMnya, apabila telah lewat 1 tahun, maka wajib mengikuti ujian teori dan praktek, sedangkan yang belum lewat 1 tahun misalnya hanya sampai 14 hari maka langsung mendapat penggantian. Biaya untuk perpanjangan SIM ini adalah Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) (hasil wawancara tanggal 1 Mei 2007). Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa mereka yang telah habis
masa berlaku SIM C nya lebih dari 1 tahun maka harus mengikuti ujian teori dan
praktek. Dan sesuai aturan yang berlaku, yang memperpanjang SIM akan
dikenakan biaya sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah), dan bukannya
Rp 150.000,- sebagaimana yang dialami oleh beberapa warga yang mengurus
SIM penggantian.
Berkaitan dengan ujian teori dan praktek yang diberlakukan bagi warga
yang memperpanjang atau mengganti SIM-nya, jika tidak disosialisasikan
dengan baik kepada warga maka mendapatkan tanggapan yang negatif terlebih
lagi jika warga merasa bahwa kewajiban tersebut dimanfaatkan oleh oknum
petugas yang tidak bertanggung jawab. Alasan yang disampaikan warga di atas
ada benarnya, dimana warga yang telah habis masa berlaku SIM-nya seperti
Rahim tadi telah berpengalaman dalam mengendarai motor, karena telah
mengendarai motor selama lima tahun. Bukankah dengan jam mengendara
160
yang demikian berarti orang tersebut secara otomatis akan lebih mahir dalam
berkendara seperti yang dikemukakan oleh Rahim di atas. Terlebih lagi bahwa
keterampilan mengemudi dan mengendarai sepeda motor merupakan
keterampilan yang tidak akan dilupakan. Seperti halnya kemampuan berjalan
bagi setiap manusia, sekali dia dapat berjalan maka dia tidak akan pernah lupa
bagaimana cara berjalan. Dengan demikian maka pernyataan yang dikemukakan
oleh Rahim di atas adalah hal yang masuk akal. Jadi sebenarnya kebijakan untuk
melakukan tes teori dan tes praktek bagi warga yang ingin memperpanjang SIM
dalam pandangan penulis dapat ditinjau kembali, terutama bagi mereka yang
baru lewat beberapa bulan masa perpanjangan. Dari wawancara dan
pengamatan lapangan yang dilakukan terhadap warga kota yang mengurus SIM,
sangat jarang dan hampir tidak ada warga yang berani ingin melalui tes teori dan
praktek. Mereka pada umumnya tidak ingin mengikuti tes karena takut tidak lulus
berkali-kali.
5.1.5 Perilaku Mogok
Perilaku selanjutnya yang berhasil teridentifikasi dalam penelitian
lapangan adalah mogok. Warga yang merasa putus asa ketika tidak dapat
memenuhi prosedur pelayanan dengan baik, terutama tahap tes teori dan tes
praktek mengendarai, seringkali berujung pada perilaku mogok. Dalam kondisi
seperti ini, maka pengurusan SIM menjadi beku.
Berikut ini petikan wawancara dengan petugas loket 6 yang menangani
ujian praktek yang dapat menggambarkan sikap putus asa yang berujung pada
perilaku mogok:
Pengamat : Apakah ada selama ini warga yang tidak lulus tes kemudian tidak datang lagi mengikuti ujian ulang pak?
161
Petugas loket: Iya bu, Ini ada setumpuk berkas yang mengendap di meja saya, karena orangnya tidak lulus dalam tes praktek (sambil memperlihatkan setumpuk map yang berisi berkas permohonan SIM untuk warga kepada peneliti). Ada beberapa yang sudah berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, dan ada pula yang baru beberapa minggu (hasil wawancara tanggal 29 April 2007).
Dari hasil wawancara tersebut, terungkap bahwa warga masyarakat yang
tidak ingin melanjutkan proses pengurusan SIMnya akibat tidak mampu
mengikuti tes praktek. Akibatnya dia tidak memperoleh SIM yang diperlukannya
sebagai persyaratan yang wajib dimiliki oleh setiap pengendara sepeda motor
sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam UU Lalu Lintas tersebut,
kepemilikan SIM adalah sesuatu yang wajib bagi WM yang mengendarai sepeda
motor atau mengemudikan mobil, sehingga ketika seorang WM mogok atau
berhenti dalam proses pengurusan SIM sesuai prosedur resmi, warga tetap
berupaya mendapatkan SIM, tetapi kali ini dengan jalan pintas. Seperti halnya
yang telah dialami oleh warga yang bernama Drs. Ibrahim, berikut petikan hasil
wawancara dengan penulis:
“Saya dulu pernah mengurus SIM C, tapi dua kali saya mengikuti tes tetapi juga tidak lulus. Saya kemudian putus asa, karena saya merasa tidak akan pernah bisa melewati tes praktek yang demikian rumit. Sebenarnya saya masih punya kesempatan untuk tes praktek ketiga kalinya, namun saya tidak berniat lagi. Biarlah uang saya hilang. Saya lebih baik minta bantuan calo saja. Saya sudah stres ikut tes-tesan” (hasil wawancara tanggal 11 Mei 2007). Dari hasil pengamatan lapangan selama proses penelitian, penulis telah
dapat mempelajari pola pelayanan yang ada di lokasi ini, sehingga penulis dapat
berkesimpulan bahwa warga yang putus asa adalah warga yang mengurus
sendiri SIMnya, namun karena tidak lulus berkali-kali maka kemudian warga
162
mogok. Akan tetapi karena setiap warga yang mengemudi sepeda motor atau
mobil wajib memiliki SIM, maka sekalipun telah putus asa dalam memperoleh
SIM sesuai prosedur resmi, warga biasanya akan mencari jalan pintas dengan
meminta bantuan calo.
5.1.6 Perilaku Menolak Membayar
Jenis perilaku yang ekstrim dari warga kota adalah menolak membayar
biaya pelayanan ketika berhadapan dengan birokrat garis-depan. Dianggap
ekstrim karena perilaku ini berani dilakukan oleh warga yang nota bene adalah
pihak yang berkepentingan dalam pelayanan publik. Perilaku jenis ini dilakukan
oleh mereka yang merasa dirinya mampu mengikuti tes teori dan praktek yang
selama ini menjadi momok dalam pelayanan SIM. Disamping itu, perilaku seperti
ini dilakukan oleh warga masyarakat yang terpelajar dan mengetahui dengan
baik prosedur pengurusan SIM.
Ilustrasi hasil pengamatan lapangan dan wawancara berikut ini
menunjukkan bagaimana perilaku menolak membayar ini dilakukan oleh seorang
warga yang mengurus SIM.
”Ahmad, nama laki-laki itu, yang belakangan pengamat ketahui adalah seorang mahasiswa. Mahasiswa ini baru saja dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya. Ketika ada SIM Kampus beberapa waktu lalu, ia belum sempat untuk mengurus SIM karena saat itu ia lagi pulang kampung.
Dengan berbekal uang seadanya, ia pun memacu sepeda motornya menuju kantor Satlantas Polwiltabes Makassar mengurus SIM C. Sebagai warga negara yang baik yang taat pada peraturan, ia merasa terpanggil untuk memiliki SIM C, karena saat ini ia telah memiliki sepeda motor. Dari perawakan anak muda itu, pengamat dapat memastikan bahwa ia adalah seorang mahasiswa, dan belakangan memang benar bahwa dia adalah salah seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri di kota ini, dan biasanya mahasiswa memiliki sikap ideal. Melihat kedatangan warga yang satu ini, pengamat dengan sopan bertanya:
”Adik mau mengurus SIM ya?. Tanya pengamat, ketika duduk di sebelah mahasiswa tadi. Setelah mengikuti pemeriksaan kesehatan, rupanya mahasiswa tersebut tidak langsung menuju loket 1, akan tetapi duduk sejenak mengamati ruangan loket yang ada di depannya.
163
”Iya bu, maaf Ibu ini siapa? Jawabnya singkat dan kemudian balik bertanya.
”Saya ini dek kebetulan mengumpulkan data di sini, jadi kalau adik bersedia, saya ingin melihat bagaimana proses yang adik lalui selama mengurus SIM.” Jawab pengamat dengan sedikit menjelaskan.
”Oh begitu, ndak apa-apa bu.” Jawabnya kemudian. ”Saya hanya ingin mengamati apa yang adik lakukan, kemudian
nanti setelah selesai saya harap adik dapat meluangkan waktu sebentar untuk wawancara dengan saya.” kata pengamat lebih lanjut.
”Baik bu.” jawab Ahmad (hasil wawancara tanggal 14 Mei 2007). Ahmad kemudian beranjak dari kursi dan mulai menuju loket 1
seperti petunjuk yang telah ia baca di luar sana. Ia meminta formulir dari petugas, kemudian mengisinya. Setelah kurang lebih 30 menit, ia telah melalui 4 buah loket (yakni mulai dari loket PNBP sampai ke loket pendaftaran). Ia sekarang harus mengikuti tes teori di loket 5. Setelah kurang lebih 10 menit di ruangan itu, Ahmad nampaknya telah mengikuti ujian teori dan telah lulus. Selanjutnya beralih masuk ke ruang loket 6.
”Ini berkas saya pak, saya sudah mengikuti tes teori, sekarang saya mau mengikuti tes praktek.” kata Ahmad.
”Oh ya, sebentar dek ya, duduk dulu. Saya coba cek apa semua sudah lengkap. Jawab petugas.
Ahmad duduk diam di hadapan petugas. Petugas tadi kemudian berkata, ”Baik dek, apa adik membawa motornya untuk digunakan ujian praktek? Tanya petugas.
”Ada pak, saya parkir di halaman depan”. Jawab Ahmad. ”Kalau begitu, coba adik ambil dan bawa ke lapangan praktek di luar
sana (sambil menunjuk ke arah lokasi ujian praktek dimaksud, penulis).” Kata petugas loket.
”Baik pak.” jawab Ahmad singkat. Setelah beberapa saat, petugas loket ke lapangan praktek. Petugas
tadi menjelaskan bagaimana rute dan peraturan yang harus dilalui oleh Ahmad dalam ujian praktek itu. Setelah menjelaskan, petugas tadi kemudian mencontohkan bagaimana cara mengendarai melalui rintangan.
Ahmad kemudian menaiki sepeda motornya, dan mulai melalui satu per satu rintangan yang ada. Pada rintangan ke enam Ahmad kehilangan keseimbangan sehingga kakinya turun ke tanah agar tidak jatuh. Petugas membunyikan peluitnya sebagai tanda bahwa Ahmad harus mengulang. Ahmad kemudian mengulang kembali. Rupanya untuk kali kedua ini Ahmad berhasil melewati semua rintangan yang ada meskipun beberapa kali dia nampak oleng tetapi berhasil kembali menguasai sepeda motornya, sehingga tidak menurunkan kakinya. Setelah itu, ia beralih ke lokasi lain, yakni membuat lingkaran yang menyerupai angka 8. Di sini Ahmad berhasil lolos, dan terakhir menaiki tanjakan dengan syarat pada saat kondisi menanjak motor di hentikan dan kaki harus turun. Rupanya Ahmad benar-benar terampil mengendarai motornya sehingga lulus pada tiga jenis lapangan praktek.”
Setelah dinyatakan lulus, kemudian Ahmad dan petugas loket 6 masuk ke ruangan loket 6 tempat dimana petugas tadi berkantor.
”Adik saya nyatakan telah lulus meskipun tadi agak sedikit kurang sempurna dalam mengendarai. Jadi begini dek, saya minta pengertian
164
adik untuk membayar biaya material. Terserah berapa ikhlasnya.” Kata petugas tadi.
”Saya tidak punya uang pak, saya ini mahasiswa. Uang makan saja dikirimkan oleh orang tua saya.” Jawab mahasiswa tadi.
”Masak sih ndak ada, dek, saya prihatin sama adik” kata petugas ”Lha memang ndak ada pak!. Jawab Ahmad agak sedikit
mengeraskan suaranya. Rupanya petugas tadi sudah dapat maklum dan memberikan berkasnya untuk ke loket selanjutnya (hasil pengamatan lapangan tanggal 14 Mei 2007).
Menolak membayar sebagai wujud dari perlawanan yang dilakukan oleh
WM yang merasa dirinya mampu untuk memenuhi semua persyaratan baik
administrasi maupun persyaratan tes. Dalam pengamatan lapangan, perilaku
menolak membayar juga sering dilakukan oleh warga yang tahu akan hak-
haknya. Seperti halnya yang dilakukan oleh penulis ketika melakukan kegiatan
pengamatan partisipatif untuk mengungkap bagaimana sebenarnya sikap
seorang BGD ketika WM yang dimintai membayar lebih diluar ketentuan resmi
tetapi hal itu tidak dipenuhi oleh warga. Dalam pengamatan partisipatif itu,
penulis dapat memahami bahwa seorang petugas juga tidak pernah ngotot ketika
warga yang dihadapi juga berkeras untuk tidak memberikan uang sebagaimana
yang dimintanya. Petugas juga menyadari bahwa perilakunya melanggar aturan,
karena warga yang dimintai pada dasarnya telah memenuhi semua persyaratan
dan prosedur yang diperlukan untuk mendapatkan SIM. Sepertinya petugas
hanya sistem coba-coba terhadap warga yang dihadapinya. Kalau warga yang
dimintai dapat memberi sambutan, maka berarti ia berhasil dalam ”memancing”
warga. Tetapi apabila warga menolak, maka ia pun tidak akan memaksa.
Petugas yang meminta uang “lebih” seringkali beralasan untuk biaya material.
Padahal dalam pengetahuan penulis, biaya material yang dimaksud oleh petugas
telah dibayar oleh warga dalam bentuk biaya administrasi yang besarnya Rp
165
60.000,- (enam puluh ribu rupiah) untuk SIM perpanjangan, dan Rp 75.000,-
(tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk pemohon SIM baru.
5.1.7 Perilaku Mencari Gampang (Short Cut)
Dalam pengamatan lapangan, perilaku mencari gampang juga banyak
ditemukan. Warga yang cenderung berperilaku seperti ini adalah mereka
memiliki kesibukan dalam pekerjaannya sehari-hari sehingga tidak ingin
mengikuti semua prosedur pengurusan SIM. Warga yang ingin cepat selesai
urusannya akan mencari petugas yang mudah diajak untuk berkolusi atau
petugas yang berperilaku sebagai calo. Disamping itu, banyak pula warga kota
yang menggunakan jasa calo sipil yang ”dipelihara” oleh petugas.
Ilustrasi berikut ini dapat menggambarkan bagaimana perilaku mencari
gampang terjadi dalam interaksi BGD dan WM dalam pelayanan SIM.
Salah seorang warga yang bernama Burhanuddin, yang tinggal di Jl
Ratulangi, ia mengurus SIM C setelah membeli sebuah sepeda motor Honda.
Menurut pengakuannya, ia telah mengetahui bahwa kalau mau urusan gampang
maka tinggal membayar sesuai yang diminta oleh petugas. Berikut petikan
wawancara dengan Burhanuddin:
”Tadi membayar berapa pak? Tanya pengamat ”Saya bayar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) bu? jawabnya ”Mengapa Bapak membayar demikian? Tanya pengamat dengan nada selidik. ”Petugas tadi yang minta begitu, katanya biar ndak perlu tes lagi? Jawabnya agak sedikit menjelaskan. ’”jadi Bapak ndak mau ikut tes? Kenapa Pak? Tanya pengamat lebih lanjut (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007). Belum sempat menjawab pertanyaan pengamat, Bapak Burhanuddin
berdiri menuju ke loket karena namanya dipanggil oleh petugas. Pengamat
mencoba bersabar dan menunggu kesempatan yang baik. Setelah kurang lebih
166
15 menit menunggu, rupanya pengamat mempunyai kesempatan untuk
melanjutkan pertanyaan tadi. Pengamat kemudian mencoba menghampiri Bapak
Burhanuddin tadi.
”Maaf pak, saya mengganggu lagi” Kata pengamat mencoba memulai perbincangan. ”Ndak apa-apa bu, tadi saya harus tinggal sebentar karena dipanggil”. Katanya lagi. ”Mengenai pertanyaan Ibu tadi, mengapa saya membayar sebesar itu dan mengapa saya tidak mau ikut tes”, saya sebenarnya tidak ingin membayar sebesar itu, tapi karena saya tahu dari beberapa teman dan juga tetangga yang pernah mengurus SIM, katanya kalau mau urusan lancar bayar saja petugas daripada berkali-kali harus mengikuti tes dan tidak lulus, akhirnya sama saja Bu biayanya. Malahan kita rugi waktu dan tenaga karena harus berkali-kali datang. Disamping itu, saya membayar petugas yang menawarkan kepada saya untuk mengurus SIM saya dengan cepat. Saya tidak mau repot-repot karena saya tidak punya banyak waktu. Saya hanya meminta izin satu hari dari kantor saya. Kalau saya mengikuti tes, saya takut nanti tidak lulus. Saya sekarang tinggal menunggu untuk difoto.” Mendengar penjelasan seperti itu, pengamat kemudian berpikir bahwa rupanya warga kota tidak ingin berkali-kali ikut tes karena takut tidak lulus, sehingga ia rela membayar diluar ketentuan perundangan yang berlaku. ”Tapi apakah Bapak memang tidak mahir mengendarai sepeda motor? Tanya pengamat kemudian. ”Saya sebenarnya sudah lama bisa mengendarai sepeda motor, bahkan sebelum saya punya motor sendiri Bu. Tapi itu tadi, saya tidak ingin waktu saya habis ikut tes karena saya dengar cerita orang-orang sangat sulit untuk mengikuti tes apalagi tes praktek, katanya ada yang sampai 3 kali ikut tes baru bisa lulus.” Kata Burhanuddin lagi (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).
Dari kutipan wawancara tadi menggambarkan bahwa ada kesan yang
muncul dimasyarakat bahwa mengikuti prosedur yang berlaku seperti mengikuti
tes adalah hal yang sangat sulit dilakukan oleh warga, bahkan bagi mereka yang
mahir berkendara sekali pun. Masyarakat seakan dibuat tak berdaya, bahkan
sengaja dibuat tak berdaya oleh aturan-aturan yang dibuat untuk menjeratnya.
Ketika mereka tidak berdaya, maka dengan mudah mereka diperdaya.
Hal senada dikemukakan oleh Basyir, warga Perumnas Antang yang
mengurus SIM A:
167
”Lebih baik saya membayar petugas daripada saya harus menunggu antrian yang lama. Apalagi kalau harus mengikuti tes teori dan praktek yang menurut teman saya sangat susah untuk diikuti, sekalipun kita sudah biasa mengendarai mobil. Saya hanya mencari gampangnya saja Bu, karena urusan saya banyak” (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).
Perilaku mencari gampang dari warga kota yang mengurus SIM
sebenarnya merupakan dampak dari perilaku superior yang dilakukan oleh
birokrat garis-depan didukung oleh prosedur yang terlalu berbelit-belit. Sekiranya
prosedur yang dilalui dapat berlangsung secara wajar dalam artian bentuk tes
praktek yang sesuai dengan kondisi normal berkendara serta jumlah loket yang
harus dilalui tidak begitu banyak, maka penulis yakin bahwa warga akan senang
hati mengikuti semua prosedur yang telah ditetapkan. Disamping untuk
mengetahui kemampuan dirinya dalam memahami rambu-rambu lalu lintas, juga
bertujuan sebagai upaya mencegah dirinya dalam kecelakaan lalu lintas yang
mungkin timbul jika kurang mahir dalam berkendara. Dia bisa saja mengikuti les
mengemudi jika ternyata hasil tes menunjukkan bahwa ia tidak mampu. Hal ini
bisa terjadi sekiranya tes teori dan praktek yang dibuat bertujuan untuk
membantu para pengendara agar lebih mahir lagi. Tetapi apa yang terkesan dari
hasil pengamatan penulis, bahwa tes-tes itu hanya sebagai sebuah jebakan agar
warga dapat membayar lebih mahal. Karena buktinya mereka yang mau
membayar tidak perlu lagi mengikuti tes, yang sebenarnya untuk kepentingan
dirinya sendiri. Jadi mereka tidak lagi dapat dideteksi mana yang mahir mana
yang tidak. Fenomena seperti inilah yang mungkin menjadi pemicu banyaknya
kecelakaan lalu lintas di jalan raya, sekalipun semua warga kota mengantongi
SIM yang nota bene sebagai persyaratan seseorang boleh berkendara sepeda
motor. Akan tetapi tidak semua SIM yang dimiliki oleh WM diperoleh secara
resmi melalui prosedur.
168
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perilaku
mencari gampang yang dilakukan oleh warga bukan semata-mata karena warga
tersebut benar-benar ingin mencari gampangnya saja, akan tetapi lebih
disebabkan karena mereka takut untuk mengikuti tes yang didesain sedemikian
rupa sehingga membuat mereka takut untuk mengikuti tes, lalu kemudian warga
tersebut mencari gampangnya saja, yakni bayar, dan semuanya akan lebih
mudah, tanpa antri, tanpa tes. Tetapi apa yang terjadi kemudian, adalah bahwa
tingkat kecelakaan semakin hari semakin tinggi, perilaku ugal-ugalan di jalan
raya semakin tidak terkendali, sopir angkot atau pete-pete seenaknya parkir dan
menaikkan muatan di tengah jalan atau bahkan di tikungan jalan. Perilaku-
perilaku semacam itu merupakan dampak dari sistem pemberian SIM yang
berlangsung tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
5.1.8 Perilaku Melayani (Serving)
Perilaku melayani adalah merupakan bentuk perilaku pelayanan yang
fungsional. Artinya, bahwa BGD yang berperilaku demikian memiliki komitmen
untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat
sesuai dengan tufoksinya (tugas pokok dan fungsinya). BGD yang berperilaku
seperti ini cenderung memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan,
meskipun demikian, terdapat pula BGD yang berperilaku melayani karena
memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan. BGD yang memaknai
pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dalam prakteknya mengutamakan
kerjasama dengan WM yang dilayaninya. Sepanjang WM dapat memenuhi
semua persyaratan sebagaimana yang diperlukan, maka ia akan memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya. BGD yang berperilaku seperti ini memiliki
169
orientasi memuaskan masyarakat. Demikian pula halnya dengan BGD yang
memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan juga memiliki kecenderungan
bekerjasama dengan WM yang dilayani, sekalipun ada persyaratan yang tidak
dapat dipenuhi, namun karena ingin memuaskan atasan, dalam istilah yang
umum kita kenal yaitu ABS (Asal Bapak Senang), maka BGD seperti ini
berusaha melayani WM dengan baik. Seperti misalnya perilaku melayani yang
diberikan kepada seorang wartawan yang kenal baik dengan pimpinan.
Wartawan tersebut diperlakukan khusus karena atas perintah dari pimpinan,
sekalipun tidak dapat memenuhi semua persyaratan. Dalam kasus demikian,
meskipun ada kesibukan yang luar biasa dalam pelayanan melalui prosedur
normal, seringkali BGD tersebut harus menomorduakan peraturan, dan
mendahulukan perintah atasan. Bahkan, tidak jarang mereka harus berkorban
dengan membebaskan pihak yang bersangkutan dari kewajiban membayar
sejumlah biaya tertentu, sebagaimana pengakuan wartawan.
Hasil pengamatan lapangan, perilaku melayani ditemui pada beberapa
loket seperti loket 1, 2, 8, dan 9. Dari hasil pengamatan penulis, petugas pada
loket 2, nampak menunjukkan perllaku melayani masyarakat dengan baik.
Dimulai dengan menyapa pemohon dengan ramah, dan memberikan pelayanan
yang sepantasnya kepada para pemohon. Begitu pula pada loket 8 (loket
pengambilan gambar atau foto), disini para pemohon telah memperoleh
pelayanan yang sebenarnya. Pengambilan gambar atau foto dilaksanakan
sesuai dengan nomor urut atau antrian berkas yang masuk. Setiap pemohon
dilayani dengan baik dan cepat. Dalam pengamatan partisipatif yang penulis
lakukan, pada pelayanan yang satu ini penulis benar-benar merasa terlayani
170
dengan baik dan tidak perlu menunggu lama karena semuanya dilakukan sesuai
antrian.
Perilaku melayani juga dapat penulis temui pada loket 5, yaitu loket ujian
teori. Ketika penulis melakukan pengamatan partisipatif, petugas loket 5
memberikan pelayanan dengan baik. Pertama-tama, petugas menyapa dengan
ramah pengamat, sambil mempersilahkan duduk pada sebuah kursi yang berada
di depan meja petugas, nampak petugas telah tahu bahwa pengamat akan
mengikuti ujian teori. Tanpa bertanya panjang lebar, petugas memberikan
beberapa lembar kertas yang berisi soal ujian teori dan sebuah pensil 2 B.
Setelah itu, petugas menjelaskan tata cara mengikuti ujian, dan standar
kelulusan yang dipersyaratkan. Setelah menjelaskan bagaimana cara menjawab
soal, penulis kemudian diminta untuk menempati kursi tempat ujian. Pada ruang
tersebut, terdapat sekitar 20 orang yang sedang mengikuti ujian teori, termasuk
11 orang di antaranya adalah anggota TNI. Setelah penulis mengikuti ujian,
ternyata penulis mampu menjawab dengan baik sehingga dinyatakan lulus tes
teori. Selanjutnya petugas memberikan rekomendasi bahwa telah lulus
mengikuti ujian teori, untuk selanjutnya dijadikan dasar untuk mengikuti tes
praktek.
Pengalaman yang penulis alami pada loket 5 menggambarkan bahwa
petugas loket tersebut menjalankan tugasnya dengan baik. Ketika seseorang
mampu mengikuti tes teori dengan baik, maka dia diberikan haknya berupa surat
rekomendasi, tanpa meminta suatu imbalan apapun, semata-mata menjalankan
tugasnya.
Sama hal dengan loket 9 (pengambilan hasil atau output dalam bentuk
SIM), pada loket ini juga pelayanan diberikan dengan baik. Warga masyarakat
171
dilayani sesuai antrian yang memasukkan kuitansi pembayaran PNBP (yang
berjumlah Rp 75.000,-). Namun ada kendala yang seringkali dihadapi pada loket
ini, seperti kendala teknis yakni kerusakan pada mesin cetak SIM atau kendala
kehabisan material karena keterlambatan pengiriman dari Jakarta (POLRI).
Tetapi secara umum, pelayanan pada loket ini sudah sangat memuaskan.
Warga kota yang ingin mengambil SIM nya cukup memperlihatkan bukti
pembayaran pada petugas, petugas dengan cekatan mencari SIM yang
bersangkutan, dan biasanya hanya membutuhkan waktu rata-rata satu menit.
Nampak bahwa petugas yang ada pada loket ini berperilaku melayani. Untuk
memperkuat hasil pengamatan ini, penulis berhasil mewawancara beberapa
orang yang telah mengambil SIM nya. Pada umumnya warga kota yang berhasil
diwawancarai menyatakan bahwa mereka puas pada pelayanan birokrat garis-
depan yang bertugas pada loket 9. Seperti pada petikan wawancara dengan
Arfan dibawah ini:
”Saya tidak merasa dipersulit oleh petugas ketika meminta SIM A saya. Cuma saya sempat menunggu tiga hari karena menurut petugas material untuk membuat SIM habis, dan harus menunggu kiriman dari Jakarta. Sebelumnya saya diminta untuk menelpon dulu untuk mengecek apakah SIM saya sudah jadi. Tadi pagi saya sebelum ke sini, saya telpon dulu, nanti setelah saya dapat jawaban sudah selesai SIM saya, saya baru ke sini” (hasil wawancara tanggal 27 April 2007). Hal senada juga diungkapkan oleh informan lain yang berhasil penulis
wawancarai setelah memperoleh SIM:
”Petugas loket 9 cepat melayani saya, dalam waktu singkat saya telah memperoleh SIM saya setelah saya beri bukti pembayaran saya sebagai persyaratan mengambil SIM” (hasil wawancara 27 April 2007). Kendati demikian, pelayanan pada loket ini masih tetap juga menyisakan
kendala yang kadang kala sangat sulit diatasi. Kehabisan material (kertas SIM)
172
dan kerusakan mesin cetak rupanya menjadi hambatan dalam proses
penyelesaian SIM. Jika hal ini terjadi maka warga kota yang mengurus SIM akan
menunggu beberapa hari sampai ada kiriman dari Jakarta. Demikian pula halnya
apabila terjadi kerusakan mesin cetak, warga pun harus menunggu lama sampai
mesin tersebut selesai diperbaiki.
Ketika penulis mengadakan penelitian, kehabisan material sempat terjadi
dan sempat menunggu selama kurang lebih satu minggu hingga ada kiriman dari
Pusat (Mabes Polri Jakarta). Kendala seperti ini sangat dikeluhkan oleh Yanto
yang mengurus SIM yang sempat penulis wawancarai:
”Saya sudah 3 hari bolak-balik kemari tapi SIM C saya belum juga selesai. Saya telah difoto 4 hari yang lalu, tapi sampai sekarang SIM saya belum selesai. Biasanya sih satu hari setelah difoto, SIM sudah bisa diambil, tapi ini belum juga selesai. Menurut petugas, keterlambatan ini disebabkan karena material untuk mencetak SIM habis sehingga menunggu kiriman dari Jakarta. Saya tiap hari ke sini karena petugas tidak memberikan kepastian kapan SIM saya selesai. Saya malas menghubungi petugas lewat telpon jadi saya langsung saja ke sini, untungnya jarak rumah saya tidak jauh dari sini” (hasil wawancara tanggal 25 April 2008).
Ketika dikonfirmasi pada petugas yang melayani pada loket 9 diperoleh
keterangan bahwa:
”Apabila material SIM habis kami harus menunggu kiriman dari Jakarta dan biasanya memakan waktu sampai satu minggu. Apabila terjadi kehabisan material seperti ini, maka akan memperlambat proses penyelesaian SIM para pemohon, karena kertasnya tidak sembarangan. Kadangkala juga mesin cetak SIM rusak. Kalau terjadi begini, ini juga sangat menghambat karena mengingat banyaknya warga yang mengurus SIM setiap harinya, jadi seringkali mesin macet. SIM yang seharusnya telah selesai terpaksa harus tertunda menunggu perbaikan. Tapi kalau kejadian seperti ini, kami meminta warga untuk menunggu informasi dari kami kapan boleh datang mengambil SIM, agar masyarakat tidak bolak-balik ke mari. Warga dapat menghubungi lewat telepon seperti yang kami pasang didepan loket (hasil wawancara tanggal 25 April 2007).
Hambatan lain sebagaimana yang dikemukakan oleh petugas loket 9
adalah jika mesin cetak rusak. Warga juga harus rela menunggu lama sampai
173
mesin cetak selesai diperbaiki. Pernyataan petugas tadi nampaknya sering
terjadi pada proses pengurusan SIM pada Satlantas Makassar, karena pada
dinding loket terdapat pengumuman yang berbunyi: ”Pemohon SIM yang sudah
foto SIM-nya dapat diambil besok berhubung alat cetak SIM ada gangguan”
Tertanda Petugas SIM. Salah seorang warga yang berhasil penulis tanyai
mengatakan bahwa:
”pengumuman seperti itu selalu ada tertempel di depan loket 9. Sejak dulu kalau saya kesini tulisan itu selalu ada. Saya tidak tau kapan mesin cetak baik kapan rusak karena selalu ada pengumuman itu.” (pengakuan seorang warga yang tidak sempat penulis tanyai namanya yang kebetulan duduk di sebelah penulis ketika melakukan pengamatan lapangan tanggal 25 April 2007). Nampaknya keterbatasan sumberdaya adalah merupakan kendala yang
seringkali dihadapi oleh para birokrat garis-depan bukan saja dalam pelayanan
SIM, tetapi pada semua jenis pelayanan publik yang ada.
5.1.9 Perilaku Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu
Memperlakukan khusus (customization) korps tertentu seperti anggota
tentara, anggota DPRD, dan wartawan merupakan perilaku yang juga sempat
diamati dalam penyelenggaraan pelayanan SIM ini. Perilaku seperti ini
diwujudkan dengan tidak mewajibkan para anggota korps tertentu seperti
disebutkan di atas untuk mengikuti semua prosedur yang ditentukan terutama tes
praktek. Sebagai contoh ketika serombongan anggota TNI yang mengurus SIM,
meskipun mereka diberikan tes teori, namun nampaknya hanya sekedar
formalitas saja, sekedar untuk memenuhi syarat administrasi. Karena dari 11
orang yang mengikuti tes hanya 4 orang yang lulus, namun dalam kenyataannya,
mereka semua diberi rekomendasi untuk prosedur selanjutnya. Sedangkan pada
174
tes praktek, mereka tidak lagi diwajibkan untuk ujian praktek, dan langsung diberi
rekomendasi lulus ujian praktek oleh petugas loket 6.
Berikut ini akan diberikan contoh kasus yang didasarkan pada hasil
pengamatan lapangan.
Siang itu, pengamat mengikuti tes teori bersama rombongan tentara yang berjumlah 11 orang. Namun setelah diumumkan, hanya 4 orang yang lulus. Tujuh orang diantaranya dinyatakan tidak lulus karena tidak mampu menjawab dengan benar minimal 18 soal dari 30 soal. Sesuai ketentuan yang berlaku, mereka yang tidak lulus maka diwajibkan mengulang lagi paling lambat 14 hari setelah ujian pertama. Apabila tidak lulus lagi pada ujian kedua, maka dapat mengikuti ujian ketiga dengan rentang waktu paling lama 60 hari setelah ujian kedua. Batas maksimal ujian adalah tiga kali dan tidak dikenakan biaya lagi. Apabila telah mengikuti ujian tiga kali, dan tetap tidak lulus maka harus mengulang lagi seperti semula. Mulai lagi mengurus berkas seperti pertama kali dan harus membayar kembali.
Anggota tentara yang dinyatakan lulus tadi mengambil berkasnya pada petugas kemudian meninggalkan ruang menuju loket selanjutnya yakni loket 6 untuk ujian praktek. Sedangkan anggota tentara lainnya yang tidak lulus masih duduk di bangkunya. Salah seorang anggota tentara tadi kemudian berdiri dan berkata kepada petugas, kami tidak bisa lagi ikut ujian besok pak, soalnya jarak kantor kami sangat jauh dari sini (kebetulan tentara tersebut dari kesatuan Kariango, yang jaraknya kurang lebih 100 km dari Kota Makassar). Petugas kemudian menjawab: ”Bapak-bapak ini belum memenuhi syarat untuk lulus karena jawabanya masih jauh dari standar kelulusan.” Tapi saya tidak mungkin lagi ikut tes ulang pak, motor saja saya tidak punya, hanya karena kami diperintah oleh atasan sehingga kami ke sini”. Jawab salah seorang petugas lagi. “Pokoknya, kami tidak mau ikut tes lagi” lanjut anggota TNI lagi. Tidak lama kemudian, pengamat dipanggil dan dinyatakan lulus. Pengamat kemudian ke ruang loket 6 untuk proses selanjutnya. Loket 6 ini adalah loket untuk ujian praktek. Setelah beberapa lama di ruang loket 6, anggota tentara yang dinyatakan tidak lulus tadi, ternyata juga sudah menuju loket 6. Ini berarti bahwa mereka sudah dinyatakan lulus. Pengamat heran, tadi di loket ujian teori mereka dinyatakan tidak lulus, kenapa sekarang sudah ke loket 6. Berarti petugas sudah melanggar aturan yang sebenarnya yakni harus mengikuti ujian ulang hari berikutnya, kata pengamat dalam hati.
Karena merasa penasaran, pengamat kemudian bertanya kepada salah seorang anggota tentara yang tadinya dinyatakan tidak lulus dan ternyata kemudian telah dinyatakan lulus. Buktinya karena telah berada di loket yang sama dengan pengamat. ”Bagaimana Pak, sudah lulus?. Tanya pengamat. ”Iya bu!. Jawabnya singkat. Kok bisa pak, tadi kan tidak lulus?. Pengamat mencoba memancing pembicaraan. ”Bagaimana juga kami ini mau dipersulit, kami ini motor saja tidak punya, saya sendiri tidak bisa naik motor bu, tetapi karena perintah atasan sehingga kami
175
terpaksa harus mengurus SIM. Sebenarnya beberapa bulan yang lalu telah diadakan tes di kesatuan kami, tetapi waktu itu saya lagi mengikuti pendidikan di Bandung sehingga tidak sempat ikut tes untuk mendapatkan SIM. Jadi baru sekarang kami mengurus, karena semua tentara diwajibkan punya SIM meskipun tidak punya motor sendiri.” jawabnya menjelaskan. Pengamat mencoba mengorek keterangan lebih jauh, ”Apa Bapak membayar sehingga diluluskan di sebelah?”. Tidak bu, jawabnya singkat.
Karena ingin tahu lebih jauh bagaimana proses selanjutnya mereka lalui, maka pengamat masih tinggal berdiri di ruangan itu. Ruang itu luasnya kira-kiranya 3 x 5 m, didalamnya terdapat tiga buah meja dan kursi untuk petugas. Dua buah kursi untuk pemohon SIM. Hal menarik yang pengamat lihat selanjutnya adalah bahwa semua anggota tentara itu tidak diwajibkan mengikuti tes praktek. Setelah berkasnya diparaf oleh petugas loket 6 dan diberi surat keterangan lulus tes praktek, mereka langsung ke loket selanjutnya (loket 7). Melihat kejadian itu, pengamat sempat protes ke petugas loket 6, ”kenapa pak para tentara itu tidak dites praktek, sedangkan saya diwajibkan untuk tes praktek.” Pengamat mencoba untuk memancing kejujuran dan keadilan dari petugas. ”Sebenarnya mereka semua sudah ikut tes bu, kami sudah pernah ke instansinya beberapa waktu yang lalu, tetapi baru sekarang mereka mengurus SIM nya.” Rupanya jawaban petugas tersebut tidak rasional, bukankah kalau seseorang sudah tes dan dinyatakan lulus berarti tinggal menunggu keluarnya SIM C. Mengapa pula baru sekarang mereka ikut tes teori di sebelah tadi bersama pengamat. Jawaban petugas tersebut hanya mengada-ada, terlebih lagi sebelumnya pengamat telah berbincang dengan salah seorang dari anggota tentara yang menyatakan bahwa dirinya tidak berada di tempat waktu para petugas SIM datang ke instansinya. Jadi jelas bahwa mereka belum mengikuti tes baik tes teori maupun praktek. Pengamat tidak ingin memperpanjang masalah tersebut, karena secara akal sehat apa yang dikatakan itu sudah tidak benar, jadi ketahuan bahwa petugas tersebut hanya berbohong, dan buat apa dipermasalahkan. Cukup pengamat telah mendapat pemahaman bahwa mereka hanya ingin melindungi diri dari perilaku diskriminatif yang mereka lakukan” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007).
Dari kutipan kasus tersebut di atas, perlakuan tersebut sebenarnya
membuat warga lainnya merasa diperlakukan tidak adil. Sebagaimana halnya
dialami oleh penulis, memperlakukan khusus anggota korps tertentu ini dapat
menimbulkan kecemburuan dari warga yang merasa diperlakukan diskriminatif.
Untuk menutupi perilakunya agar warga lainnya tidak merasa diperlakukan
diskriminatif, maka BGD seringkali berupaya untuk melindungi diri dari perilaku
tidak adil yang diperbuatnya, dengan memberi alasan yang mengada-ada dan
176
cenderung tidak jujur. Seperti alasan yang dikemukakan oleh BGD tadi, yang
kenyataannya berbohong untuk menutupi perlakuannya yang tidak adil. Namun
demikian, tidak semua BGD yang berperilaku diskriminatif berusaha menutupi
perlakuannya. Seperti pada petugas loket tes teori. Petugas ini secara terang-
terangan mengakui kepada pengamat pada kesempatan wawancara yang
dilakukan:
”Kami sebenarnya disini tidak ingin mempersulit mereka yang datang untuk mengurus SIM, sepanjang kami melihat bahwa orang tersebut tidak mempunyai banyak waktu untuk mengikuti tes. Seperti kalau ada anggota dewan yang datang mengurus SIM, kami tidak mewajibkan mereka untuk ikut tes, karena kami tahu bahwa mereka itu sangat sibuk (hasil wawancara tanggal 28 April 2007). Dalam contoh kasus TNI di atas, sebenarnya perlakuan khusus seperti ini
bisa berdampak buruk. Mereka diberi SIM, tanpa melalui prosedur yang
sebenarnya. Ternyata ada anggota TNI yang diberi rekomendasi untuk
mendapatkan SIM mengaku tidak bisa naik motor. Ini berarti bahwa dia
memperoleh SIM tetapi tidak mampu memenuhi persyaratan utama, yakni
terampil mengendarai sepeda motor. Kasus seperti ini sebenarnya yang dapat
menimbulkan kerawanan lalu lintas, karena dengan memiliki SIM otomatis
anggota TNI tersebut akan berani mengendarai sepeda motor meskipun tidak
memiliki keahlian.
Dengan demikian, maka fenomena memperlakukan khusus korps tertentu
terutama terhadap kasus TNI tadi, disamping menunjukkan adanya perlakuan
tidak adil terhadap sesama pengguna jasa layanan, juga dapat menimbulkan
kerawanan lalu lintas.
Rupanya bukan saja terhadap anggota TNI dan anggota dewan (DPRD)
yang diperlakukan khusus dalam pengurusan SIM ini. Ini terbukti dari pengakuan
177
seorang anggota wartawan yang sering meliput kegiatan Kasatlantas Polwiltabes
Kota Makassar.
”Bd, adalah nama seorang wartawan harian Berita Kota Makassar, yang sering meliput kegiatan yang dilakukan oleh Kasatlantas. ”Saya hampir setiap hari ke kantor Satlantas ini, saya kenal baik dengan Kasatlantas, jadi kalau mau mengurus SIM saya tidak dikenakan biaya apa-apa. Saya tinggal foto langsung jadi” (hasil wawancara tanggal 24 April 2007). Dari bentuk perlakuan khusus terakhir ini, wartawan tersebut diperlakukan
khusus karena kenal baik dengan pimpinan. Atas memo dari pimpinan, maka
prosedur tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus dipenuhi, bahkan biaya
administrasi sebagai salah satu pendapatan negara bukan pajak (PNBP) pun
dapat diabaikan.
5.1.10 Perilaku Menyogok
Pada dasarnya, perilaku menyogok adalah berkaitan erat dengan perilaku
mencari gampang. Seorang warga yang ingin cepat memperoleh SIM biasanya
berani menyogok petugas yang melayaninya. Meskipun perilaku menyogok dan
mencari gampang merupakan dua perilaku yang tidak dapat dipisahkan, namun
kedua perilaku ini memiliki perbedaan. Perbedaannya adalah perilaku mencari
gampang biasanya dilakukan oleh warga pada awal proses pengurusan SIM,
yakni ketika pertama kali berhadapan dengan petugas, sedangkan perilaku
menyogok biasanya dilakukan oleh warga pada saat proses pengurusan SIM
berlangsung.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa perilaku menyogok
termasuk salah satu bentuk perilaku yang dapat menyebabkan cacatnya
prosedur pelayanan. Upaya menyogok petugas dilakukan oleh WM karena
merasa tidak mampu mengikuti semua prosedur dengan baik, terutama tes
178
praktek, bahkan terdapat pula dari mereka yang tidak mampu lulus mengikuti
ujian tes teori.
Kasus yang dialami oleh Asma, seorang warga kota yang mengurus SIM
C mengungkapkan pengalamannya berhadapan dengan birokrat garis-depan:
”Sebenarnya saya tidak ingin menyogok petugas, tetapi setelah saya mengikuti tes praktek, saya dinyatakan tidak lulus oleh petugas. Ketika masuk ke ruangan petugas yang menguji tadi, saya mencoba untuk membujuk petugas agar saya diluluskan saja, karena saya rasa ujian praktek sangat sulit saya lalui. Saya hanya bisa melewati empat tiang rintangan, kaki saya sudah turun karena keseimbangan saya hilang. Rasanya sangat sulit untuk mengikuti ujian praktek karena jarak tiang terlalu sempit apalagi laju kendaraan sangat pelan sehingga saya sangat sulit mengatur keseimbangan. Sebenarnya saya bisa mengendarai sepeda motor dengan baik di jalan raya, tapi kenapa saya sangat sulit untuk mengikuti rute dalam tes praktek itu. Sangat susah rasanya bagi saya untuk tidak menurunkan kaki karena laju kendaraan sangat lamban (hasil wawancara tanggal 11 Mei 2007).
Dari kutipan di atas nampak bahwa perilaku menyogok dilakukan ketika
warga menghadapi kesulitan dalam proses yang harus dilaluinya, sehingga rela
menyogok petugas yang melayaninya. Meskipun demikian, warga kota yang
menyogok ini sebenarnya tidak ingin berlaku curang, tetapi karena merasa tidak
akan mampu untuk mengikuti ujian praktek, maka warga tersebut berinisitif untuk
menyogok petugas.
Satu contoh kasus lagi yang dapat menggambarkan bagaimana perilaku
menyogok berlangsung dalam pelayanan SIM di Kota Makassar. Sebagaimana
yang dilakukan oleh seorang WM yang bernama Ani, warga Jalan Kubis
Makassar. Berikut hasil wawancara dengan penulis:
”Saya terpaksa menyogok petugas loket 6 karena saya tidak dapat lulus dalam ujian praktek. Terus terang memang saya belum terlalu lancar bawa motor, tapi saat sekarang ini biaya transport kalau naik pete-pete sangat mahal, maka saya berusaha menyicil motor. Saya baru belajar naik motor”. Ketika ditanya oleh pengamat mengapa berani mengurus SIM: Ani selanjutnya menjelaskan bahwa akhir-akhir ini sering diadakan sweeping di jalan, kalau saya tidak punya SIM saya nanti ditilang, dan
179
saya dengar biayanya mahal kalau ditilang” (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007).
Perilaku menyogok seperti yang dilakukan oleh Ani di atas, dapat
mengakibatkan kerawanan lalu lintas. Seperti pengakuannya, ia sebenarnya
masih belum terampil mengendai sepeda motor, akan tetapi diluluskan karena
menyogok petugas. Warga seperti ini sebenarnya yang membuat pelayanan
menjadi tidak berkualitas, dan bahkan dapat merugikan orang lain. Dalam
kondisi belum terlalu mahir mengendarai sepeda motor, tetapi karena berusaha
menyogok petugas akhirnya memperoleh SIM sebagai persyaratan untuk
berkendara sepeda motor.
Berbeda dengan kasus yang dialami oleh Ani, yang menyogok petugas
karena memang merasa tidak mampu, banyak warga yang menyogok petugas
sebenarnya mampu untuk mengendarai sepeda motor, namun karena sering
mendengar cerita orang-orang bahwa mengurus SIM melalui prosedur resmi
sangat sulit, sehingga mereka rela kehilangan banyak uang agar urusannya
menjadi lancar. Perilaku menyogok nampaknya dikondisikan oleh BGD. BGD
sengaja membangun image di masyarakat bahwa mengurus SIM adalah sesuatu
hal yang sangat sulit. Seperti pengakuan dari beberapa warga yang berhasil
diwawancarai yang mengatakan bahwa mereka rela menyogok petugas karena
takut tidak lulus mengikuti tes teori maupun praktek. Pengakuan warga seperti
itu juga diperkuat oleh petugas loket 6 yang mengatakan kepada penulis bahwa:
”Banyak warga yang mengurus SIM tidak dapat lulus mengikuti tes praktek. Bahkan ada yang beberapa kali baru bisa lulus. Daripada berkali-kali tidak lulus kebanyakan dari mereka minta dimudahkan dengan memberi uang material” (hasil wawancara tanggal 24 April 2007).
Dalam pengalaman lapangan ketika penulis menggunakan teknik
pengumpulan data secara pengamatan partisipatif yakni dengan mengurus SIM
180
C, perilaku menyogok nyaris penulis alami ketika berhadapan dengan petugas
ujian praktek (loket 6). Berikut petikan kasus yang dialami:
Setelah memberi salam dan dipersilahkan duduk oleh petugas loket 6, pengamat kemudian menyerahkan berkas permohonan SIM untuk proses selanjutnya. Nampak bahwa petugas tersebut ramah, dan berusaha mengenal lebih jauh pengamat. Setelah membaca formulir yang ada pada berkas tersebut, petugas loket telah tau bahwa pekerjaan pengamat adalah dosen Unhas. Dan dengan ramah berbincang-bincang kepada pengamat, tentang dosen-dosen Unhas yang sebelumnya telah mengurus SIM sampai kepada sebuah pertanyaan yang pengamat anggap sudah agak jauh. Petugas bertanya ”apa rumah ibu sudah dipugar?” Pertanyaan ini pengamat anggap sebagai sesuatu yang ingin menyelidiki sejauh mana kemampuan finansial pengamat. Bukankah dengan rumah yang sudah dipugar berarti seseorang itu sudah mapan?. Tetapi pengamat menjawab sesuai kenyataan yang ada. ”Belum pak.” Pada loket ini pengamat sempat mengalami berbagai hambatan, Rupanya di loket ini petugas menyatakan bahwa tidak ada sepeda motor yang disediakan untuk digunakan tes praktek. Pengamat lalu berkata: ”Bagaimana bisa pak, saya juga tidak punya motor, saya sebenarnya mengurus SIM C untuk berjaga-jaga, karena pengalaman saya beberapa waktu lalu pernah ditahan pada saat sweeping motor, saat itu saya hanya dapat menunjukkan SIM A (untuk kendaraan roda 4) yang saya miliki. Tetapi petugas lapangan tidak mau mengerti, katanya SIM A hanya untuk pengendara mobil, sedangkan anda ini mengendarai sepeda motor. Dari pengalaman itu pak maka sekarang saya mengurus SIM C untuk berjaga-jaga suatu saat saya kebetulan naik motor.” Mendapat penjelasan seperti itu, petugas loket 6 rupanya belum mau mengerti dan tetap memaksa kepada pengamat untuk membawa sepeda motor. Pengamat kemudian berkata: ”Kenapa tidak disediakan sepeda motor pak, ini kan salah satu tes yang harus dilalui, dan mestinya lembaga ini menyediakan perangkat tes itu”. Petugas lalu menjawab, ”dulu memang pernah kita sediakan bu, tetapi sudah rusak, karena terlalu banyak yang pakai. Sekarang kita buat kebijakan supaya masing-masing yang bersangkutan saja yang bawa sendiri motornya, maksudnya juga agar mereka yang ingin mengikuti tes lebih mudah karena sudah terbiasa dengan sepeda motornya. Rupanya alasan petugas tersebut ada benarnya. Karena belum diperoleh penyelesaian, beberapa kali petugas loket 6 berkata: ”jadi bagaimana bu?”, kalimat tersebut diulang sampai tiga kali, rupanya petugas tersebut sudah berinisiatif untuk mengajak bekerjasama untuk memudahkan urusan penulis, namun pengamat tidak memperhatikan kata-kata petugas tersebut. Pengamat kemudian berkata, ”kalau begitu nanti saya coba pinjam motor pada tetangga, dan saya akan bawa besok untuk mengikuti tes pak” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007).
181
Dari kutipan tersebut tampak bahwa petugas yang melayani telah
berusaha untuk mempengaruhi pengamat untuk ”bekerjasama” dengan beberapa
kali berkata ”jadi bagaimana bu?”. Seandainya petugas ingin tegas menerapkan
aturan, maka sejak mengetahui bahwa pengamat tidak membawa sepeda motor,
maka petugas tersebut bisa saja langsung mengatakan ”kalau begitu, ditunda
saja besok ujiannya setelah ibu membawa sepeda motor.” Namun yang
dilakukan oleh petugas adalah tidak tegas mengatakan seperti itu, dan malahan
berusaha mengajak kompromi terhadap pengamat. Meskipun demikian, usaha
untuk mengajak berkolusi tidak mendapat tanggapan dari pengamat. Akhirnya
disepakati akan ditunda besok.
WM yang mengurus SIM sendiri tanpa perantara calo atau cara non-
prosedural lainnya dapat dipastikan mengalami hambatan pada tahap ini.
Akan tetapi apabila warga kota mengikuti ajakan dari petugas, maka urusannya
akan cepat selesai.
Kasus lain yang dapat menjelaskan perilaku seperti ini adalah yang
dialami oleh Nurdin ketika mengurus SIM A.
”Nurdin, adalah seorang warga kota yang berusaha untuk mengurus SIM A sendiri tanpa melalui calo. Setelah mengikuti beberapa tahap yang harus dilalui, selanjutnya Nurdin memasuki ruangan loket 6 yakni loket ruang ujian praktek. Silahkan duduk pak,” petugas loket mempersilahkan Nurdin untuk duduk pada kursi yang ada di depan mejanya. Setelah memperhatikan berkas yang diserahkan oleh Nurdin, petugas tersebut kemudian berkata: ”Bapak mau ikut ujian?. Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak perlu dikemukakan oleh petugas, karena seorang warga kota yang telah melalui tes teori otomatis harus mengikuti tes praktek sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh SIM. Dengan singkat dijawab oleh Nurdin: ”Iya pak”. Petugas tadi kemudian bertanya lagi: Apa Bapak membawa mobil?. ”Iya pak” kembali Nurdin menjawab dengan singkat. ”Tapi begini pak, apa tidak sebaiknya Bapak ndak perlu ikut ujian praktek, saya sebenarnya hanya ingin membantu Bapak, ndak perlu repot-repot untuk ikut ujian. Saya hanya minta pengertiannya.” Kata petugas lebih lanjut.
182
Meskipun pada awalnya Nurdin tidak ingin mengeluarkan uang tambahan dengan jalan mengurus langsung tanpa perantaraan calo, namun akhirnya dia harus menambah biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan SIM A. Mendengar ajakan kolusi dari petugas itu, Nurdin kemudian menjawab: ”Iya deh pak, ndak apa-apa. Berapa pak yang harus saya bayar?. Terserah Bapak berapa ikhlasnya, ini juga untuk biaya material. Jawab petugas loket (hasil pengamatan lapangan tanggal 8 Mei 2007)
Dari kutipan kasus di atas, nampak bahwa perilaku menyogok cenderung
diprakarsai oleh petugas. Kasus menyogok nampaknya terjadi terutama jika
petugas menganggap bahwa warga kota yang ingin mengurus SIM akan
menghadapi kesulitan dalam menghadapi tes. Jika perilaku sebagai calo terjadi
pada awal proses pelayanan, maka perilaku menyogok ini terjadi ketika proses
pelayanan itu telah berlangsung. Warga yang diajak berkolusi yang pada
akhirnya berujung kepada menyogok adalah yang mengurus SIM-nya sendiri.
Sedangkan warga kota yang menggunakan jasa calo tidak sampai pada tahap
ini, karena banyak prosedur yang dipotong. Dengan demikian, maka hampir
semua warga yang mengurus SIM membayar harga lebih dari standar,
kendatipun mereka tidak melalui calo. Pada pertengahan proses yang dilalui,
warga yang mengurus SIM akan menghadapi ajakan kolusi untuk menyogok,
yang kadangkala sangat sulit untuk dihindari. Satu contoh kasus lagi yang
berhasil diamati di lapangan yang dapat menggambarkan perilaku menyogok.
Berikut ini petikan hasil wawancara dengan seorang Ibu bernama Erna:
”Saya sudah dengar sebelumnya bahwa mengurus SIM itu gampang-gampang susah. Gampang kalau mau menyogok, dan susah kalau ngotot ngurus sendiri. Saya ini kan baru beli kendaraan sepeda motor, jadi baru pertama kali ini mengurus SIM. Saya sebenarnya mau saja ikut tes, tapi Bapak petugas di dalam bilang, kasian kalau ibu mau tes, lebih baik saya bantu saja. Saya hanya minta pengertian dari ibu, ya sama-sama saling membatulah”, begitu katanya. Ya .... maksudnya saya kasih uang supaya saya tidak perlu lagi ikut tes. Daripada susah, saya kasih saja sesuai kemampuan saya”.
183
Setelah pengamat menanyakan berapa besar jumlah yang diberikan, Ibu tadi kemudian menjawab: Saya kasih lima puluh ribu. Terus petugas tadi masukkan kedalam map saya. Dia tidak berkomentar apa-apa, langsung saja diambil dan dimasukkan kedalam map tempat berkas saya. Setelah itu berkas saya diberikan ke petugas lain yang ada di ruangan itu. Saya tidak tau siapa yang ambil uang tersebut” (hasil wawancara tanggal 17 Mei 2007). Dalam kasus menyogok pada pengurusan SIM ini, petugas tidak
menentukan harga yang harus dibayar. Jumlah besarannya diserahkan kepada
warga yang dilayani, dan biasanya mengatakan bahwa uang tersebut untuk
biaya material, sebagaimana yang dialami oleh Erna. Petugas dengan terang-
terangan meminta uang kepada WM yang telah lulus mengikuti tes praktek
dengan alasan untuk biaya material. Hal ini dialami juga penulis ketika
melakukan pengamatan partisipatif (saat mengurus SIM C). Meskipun demikian,
tidak semua WM dapat memenuhi permintaan petugas ketika merasa mampu
mengikuti semua persyaratan dan prosedur dengan baik.
5.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan dari Masing-masing Perilaku Diferensial
Untuk mengetahui pihak mana yang diuntungkan dan pihak mana yang
dirugikan dari masing-masing perilaku diferensial dilakukan dengan melalui
analisis titik berat perilaku diferensial. Apabila suatu bentuk perilaku diferensial
titik beratnya mengarah kepada birokrat garis depan (BGD) maka perilaku
diferensial tersebut didefenisikan sebagai perilaku diferensial yang
menguntungkan birokrat garis-depan. Sebaliknnya, bila suatu bentuk perilaku
diferensial titik beratnya mengarah kepada warga masyarakat (WM) maka
184
perilaku diferensial tersebut didefensikan sebagai perilaku diferensial yang
menguntungkan warga masyarakat.
Dengan demikian muncul beberapa pertanyaan analitik: Kemana arah
titikberat setiap perilaku diferensial yang diperolah dalam penelitian ini? Siapa
yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan akibat perilaku diferensial tersebut?
Mengapa perilaku diferensial tersebut dianggap menguntungkan oleh BGD atau
WM?.
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan analisis titik
berat perilaku diferensial menggunakan 3 (tiga) kriteria penilaian, yakni
berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh pelayanan, berdasarkan
jumlah biaya yang harus dikeluarkan, dan berdasarkan ketertekanan secara
psikologis. Didalam prakteknya di lapangan, analisis tentang titik berat perilaku
diferensial ini dilakukan secara langsung pada saat pengumpulan data lapangan.
Oleh karena itu analisis tentang titik berat perilaku diferensial dilakukan hampir
bersaman dengan pengamatan gaya negosiasi apa yang digunakan oleh BGD
dan gaya negosiasi apa yang digunakan oleh WM dan perilaku diferensial apa
yang terjadi dari interaksi kedua gaya negosiasi tersebut.
Pertama, dari segi waktu pelayanan. Keuntungan dan kerugian dari sisi
waktu untuk masing-masing perilaku diferensial yang muncul di lapangan dilihat
dari pemanfaatan waktu yang tersedia. Kendala yang dihadapi oleh peneliti
dalam melakukan analisis berdasarkan waktu pelayanan ini adalah tidak adanya
standar waktu pelayanan yang ditetapkan dari setiap tahapan yang harus dilalui
maupun waktu keseluruhan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan proses
penerbitan SIM. Oleh karena itu, maka peneliti mencoba membuat perkiraan
waktu pelayanan SIM berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap
185
prosedur pengurusan SIM yang berlaku. Berdasarkan itu, peneliti dapat
menetapkan waktu pelayanan sebagai berikut:
Dalam keadaan normal, proses pengurusan SIM dapat dilaksanakan
paling lambat 2 (dua) hari kerja (mulai Jam 07.00 pagi sampai jam 16.00 sore).
Hari pertama, digunakan untuk: pemeriksaan kesehatan (dilakukan di gedung
terpisah dari gedung tempat pengurusan administrasi SIM, letaknya kurang lebih
40 meter dari tempat pengurusan administrasi SIM), pengurusan administrasi
SIM seperti pengambilan formulir, pembayaran biaya administrasi SIM, dan
registrasi), tes teori, tes praktek dan pengambilan gambar. Sedangkan hari
kedua, pengambilan SIM. Berdasarkan prosedur tersebut, maka penulis
mencoba untuk membuat perkiraan waktu untuk penyelesaian masing-masing
tahapan yang harus dilalui (lihat tabel 5.2).
Tabel 5.2 Perkiraan Waktu Pelayanan untuk Masing-masing Tahapan Pelayanan Dalam Pengurusan SIM
Jenis Pelayanan Petugas Perkiraan Waktu Pelayanan
Pemeriksaan Kesehatan Dokter 10 menit
Pembayaran biaya administrasi SIM
Loket 1 (PNBP) 1 menit
Pengambilan Formulir Loket 2 2 menit
Registrasi Loket 3 1 menit
Ujian Teori Loket 5 5 menit
Ujian Praktek Loket 6 30 menit
Edit Data Loket 7 15 menit
Pengambilan gambar (Foto) dan cap jempol
Loket 8 2 menit
Pengambilan SIM Loket 9 3 menit
Sumber: Hasil Olahan Berdasarkan Pengamatan Lapangan, 2007.
Jika dilihat dari rata-rata jumlah warga masyarakat yang mengurus SIM
setiap harinya mencapai 250 orang, dan khusus untuk SIM bisa mencapai sekitar
sekitar 150 orang per hari (lihat lampiran 1), maka alokasi waktu yang digunakan
untuk antri dari setiap tahap proses pengurusan SIM dapat memakan waktu
186
kurang lebih 60 menit. Namun dalam kenyataannya, bahwa warga kota yang
mengurus SIM tidak semuanya mengikuti semua prosedur yang ditetapkan. Ada
yang melalui calo, ada yang menyogok petugas, dan lain sebagainya.
Disamping itu, warga yang datang mengurus SIM tidak bersamaan waktunya.
Sehingga proses itu mengalir bagaikan air, saling bergantian. Sehingga antrian
yang ada di lapangan tidak seperti yang diperkirakan tadi. Oleh karena itu,
kendati banyak warga yang mengurus SIM, alokasi waktu yang rasional
digunakan adalah 2 (dua) hari kerja sebagaimana disebutkan di atas, yaitu hari
pertama untuk pengurusan administrasi sampai kepada pengambilan gambar,
dan hari kedua pengambilan kartu SIM.
Meskipun warga telah difoto pada hari pertama, namun pengambilan
kartu SIM belum dapat dilakukan hari itu, dan biasanya dilakukan keesokan
harinya. Hal ini terkendala oleh peralatan mesin cetak kartu SIM yang sangat
terbatas, sementara jumlah warga yang mengurus SIM cukup banyak.
Dalam menilai pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan dari segi
waktu ini, maka dapat digunakan alokasi waktu 2 (dua) hari tersebut sebagai
patokan. Jika melebihi dari 2 (dua) hari kerja, maka dikatakan merugikan warga
masyarakat. Dikatakan merugikan, karena warga masyarakat kehilangan waktu
untuk mengerjakan tugas-tugas lainnya, hanya untuk satu urusan saja yakni SIM.
Terjadinya penundaan waktu pelayanan juga berdampak pada pelayanan biaya
tinggi. Seperti biaya transportasi bertambah, urusan lain terbengkalai dll.
Kedua, dari segi biaya yang harus dikeluarkan oleh WM dalam
pengurusan SIM. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1993
tentang PNBP, maka besarnya biaya yang harus dibayar oleh warga masyarakat
yang mengurus SIM Baru adalah sebesar Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu
187
rupiah), dan biaya untuk pengurusan SIM Penggantian atau Perpanjangan
adalah sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah). Ketetapan mengenai biaya
tersebut berlaku untuk semua jenis SIM, seperti SIM A (untuk mobil pribadi), SIM
B (untuk mobil angkutan umum), SIM C (untuk sepeda motor). Jika warga
masyarakat membayar lebih dari harga yang ditetapkan tadi, maka dapat
dikatakan bahwa WM dirugikan, namun di pihak lain menguntungkan BGD,
karena memperoleh uang ekstra diluar gaji pokok dan tunjangan umum yang
diterimanya setiap bulan. Sebaliknya jika warga masyarakat dapat memperoleh
SIM dengan biaya sesuai ketentuan, maka dianggap menguntungkan warga dari
segi biaya, karena tidak terjadi pembengkakan biaya.
Ketiga, dari segi ketertekanan prikologis. Keuntungan dan kerugian
secara psikologis dari perilaku diferensial dilihat dari ekspresi wajah, mimik,
gerakan anggota badan, dan kata-kata yang diucapkan oleh para aktor pada
saat berinteraksi atau pada saat menunggu giliran untuk dilayani. Ekspresi
wajah para aktor diamati secara langsung apakah ekspresi wajah menunjukkan
rasa puas dengan wajah yang berseri-seri, rasa kecewa dengan wajah memerah
dan masam, menggerutu, dll. Tingkah laku yang dilakukan para aktor yang
diamati dari gerakan anggota badan yang dilakukan. Dari gerakan anggota
badan tersebut dilihat apakah aktor merasa puas atau merasa kecewa dengan
perilaku diferensial. Terakhir, diamati dari kata-kata yang diucapkan oleh para
aktor, apakah menyakitkan hati atau membuat aktor puas.
Berdasarkan hasil analisis titik berat perilaku diferensial dengan
menggunakan ketiga kriteria tersebut, maka diperoleh 3 (tiga) pengelompokan
perilaku diferensial. Ketika kelompok perilaku tersebut adalah sebagai berikut:
(1) perilaku diferensial yang titik beratnya cenderung mengarah kepada BGD
188
dapat dikatakan sebagai perilaku yang menguntungkan BGD. Kelompok perilaku
ini setidaknya mencakup 5 bentuk perilaku diferensial, yakni: perilaku superior,
mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, dan mogok; (2) Perilaku diferensial
yang titik beratnya cenderung mengarah kepada WM dapat dikatakan sebagai
perilaku yang menguntungkan WM. Kelompok perilaku ini setidaknya mencakup
2 bentuk perilaku diferensial, yakni menolak membayar dan mencari gampang,
dan (3) Perilaku diferensial yang sifatnya mengarah kepada BGD dan WM dapat
dikatakan sebagai perilaku yang menguntungkan pelaku interaksi (mutual
benefi). Kelompok perilaku ini setidaknya mencakup 3 bentuk perilaku diferensial
yakni: perilaku melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan perilaku
menyogok.
Berikut ini akan diuraikan secara rinci hasil analisis terhadap masing-
masing kelompok perilaku diferensial.
5.2.1 Perilaku Diferensial yang Cenderung Menguntungkan BGD
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perilaku diferensial yang titik
beratnya mengarah kepada BGD dapat disimpulkan bahwa perilaku tersebut
kecenderungannya menguntungkan BGD dan merugikan WM. Berdasarkan
hasil analisis titik berat perilaku diferensial, setidaknya diperoleh 5 (lima) bentuk
perilaku diferensial yang titik beratnya mengarah kepada BGD. Perilaku
diferensial tersebut adalah sebagai berikut: perilaku superior, mengabaikan,
sebagai calo, mempersulit, dan mogok. Pembahasan dari masing-masing
perilaku tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini.
5.2.1.1 Perilaku Superior
189
Perilaku superior terjadi saat birokrat garis-depan menggunakan
kekuasaannya secara negatif untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan
menerapkan aturan dengan sangat ketat (yang sebenarnya mengada-ada).
Perilaku superior biasanya dilakukan oleh GBD khususnya terhadap WM yang
”kurang berdaya”. Dengan dalih untuk menerapkan prosedur pelayanan
sebagaimana mestinya, BGD dapat memperdaya WM. Sebagai pemegang
wewenang dan sumberdaya, birokrat garis-depan bisa menolak, menyalahkan,
mempersulit, dan bahkan memaksakan kehendaknya kepada warga yang
dilayaninya. Apabila warga yang dilayani tidak memiliki pengalaman yang cukup
dalam berhadapan dengan birokrasi pelayanan, maka dengan mudah dapat
”terjebak”, sehingga dapat berakibat pada konsekuensi biaya tinggi atau waktu
yang lama untuk memperoloh SIM.
Dari hasil pengamatan lapangan terhadap BGD yang berperilaku superior
ini, penulis mendapatkan fakta yang menarik, bahwa jika ada WM yang dengan
”gagahnya” ingin mengurus sendiri SIMnya maka ia akan berhadapan dengan
BGD yang berperilaku superior. Jadi memang, warga akan sangat sulit untuk
mendapatkan pelayanan yang elegan. Sebagai contoh misalnya ketika Ridwan
telah lulus dalam tes teori. Ia kemudian menghadapi tes praktek. Dalam tes
praktek ini, meskipun dari segi teknis ia nampak piawai dalam mengendarai
sepeda motor, akan tetapi ia tidak berhasil melewati rintangan tiang yang
jaraknya memang tidak masuk akal untuk dapat dilalui tanpa menurunkan kaki,
terkecuali mereka yang telah berlatih beberapa kali atau terbiasa dalam medan
yang sama. Sementara warga yang mengurus SIM, pada umumnya belum
terbiasa dengan medan seperti itu, sehingga dapat dipastikan bahwa kendatipun
warga masyarakat sangat mahir dalam berkendara pada kondisi normal
190
sebagaimana layaknya di jalan raya, warga masyarakat kecil kemungkinannya
untuk bisa lolos dalam ”jaring jebakan” ini. Pada saat yang bersamaan, petugas
tampil dengan menunjukkan perilaku superiornya. Ketika memberi contoh
kepada warga masyarakat yang akan mengikuti tes praktek, nampak BGD
sangat mahir melewati rintangan tanpa harus menurunkan kaki. Rupanya hal
tersebut menurut pengakuan petugas ”karena memang pekerjaan itu yang
sehari-hari ia lakukan, sehingga mahir seperti itu” (hasil wawancara dengan
petugas loket 6, tanggal 24 April 2007).
Apa yang menjadi pernyataan BGD tadi sebenarnya dapat dijadikan
alasan oleh warga untuk melakukan komplain terhadap format ter praktek.
Tetapi nampaknya warga tidak ada yang berani melakukan protes, ketika mereka
dipersalahkan dan dinyatakan tidak lulus. Hampir semuanya hanya pasrah dan
pulang dengan muka lesu. Seperti yang sempat penulis amati ketika Ridwan
harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya dinyatakan tidak lulus hanya karena
menurukan kaki kirinya ketika berada pada rintangan terakhir akibat kondisi
badannya yang kurang keseimbangan. Disitulah BGD menunjukkan
kekuasaannya atau superiornya, dengan mudah petugas membunyikan peluitnya
manakala WM menurunkan kaki apabila keseimbangannya hilang. Dari segi
logika berkendara, memang sangat mustahil seseorang dapat mengendarai
sepeda motor dengan keseimbangan penuh, pada kondisi medan yang harus
zig-zag dengan jarak pendek dalam laju kendaraan yang sangat lambat, hanya
sekitar 20 atau bahkan 10 Km per jam.
191
Gambar 5.3: Foto Lapangan ujian praktek secara ziq-zaq.
Gambar 5.4: Foto Lapangan ujian praktek lingkaran dan tanjakan.
Gambar 5.3 dan 5.4 di atas adalah foto lapangan tempat ujian praktek.
Gambar 5.3 adalah tempat dimana warga yang mengikuti ujian praktek
diharuskan mengendarai secara ziq-zaq, dengan jarak tiang kurang dari 2 meter.
Disamping itu, terdapat pembatas luar yang tidak boleh dilewati oleh warga.
Sedangkan gambar 5.4 adalah lapangan ujian praktek mengendarai berbentuk
lingkaran menyerupai angka 8, serta di sebelahnya adalah lapangan untuk ujian
menaiki tanjakan. Sebagaimana penjelasan SB (petugas loket 6), setiap warga
yang mengikuti tes tidak boleh menurunkan kaki ketika mengendarai ziq-zaq dan
membuat lingkaran. Lain halnya dengan ujian menaiki tanjakan, disini justru
warga diminta untuk berhenti pada saat menaiki tanjakan dan wajib menurunkan
192
kaki (hasil pengamatan partisipatif tanggal 25 April 2007). Dari peraturan yang
dikemukakan oleh petugas ujain praktek tersebut, nampak bahwa aturan ujian
praktek sangat sulit untuk dilalui warga, dan nampak sangat tidak masuk akal
untuk bisa dilewati oleh warga.
Oleh karenanya, medan yang harus dilalui seyogyanya mengikuti
keadaan dan situasi jalan raya yang sebenarnya. Dalam kondisi ril di jalan raya,
warga masyarakat tidak pernah menemui medan dimana mereka harus
melakukan ziq-zaq dalam jarak yang sangat pendek. Yang ada bahkan larangan
untuk mengendara sepeda motor atau mobil dengan jalan ziq-zaq. Tetapi
mengapa dalam tes praktek sebagai salah satu syarat untuk memperoleh SIM
ini, justru warga masyarakat diharuskan melalui rintangan ziq-zaq dengan jarak
yang sangat sempit, tanpa menurunkan kaki. Meskipun kondisi badan kurang
keseimbangan, warga tidak boleh menurunkan sekedar berusaha untuk tidak
jatuh dari kendaraan sepeda motornya. Jika hal itu terjadi, maka petugas akan
dengan mudah menyatakan bahwa warga tidak lulus. Format tes seperti ini,
dalam hemat penulis adalah sesuatu hal yang mengada-ada yang sengaja
dirancang untuk mempersulit warga masyarakat yang ingin mengurus SIM,
sampai pada akhirnya mereka akan mencari jalan lain yang lebih mudah bagi
mereka, kendati harus merogoh kocek lebih dalam lagi.
Dengan demikian, maka perilaku superior ini memberi peluang yang
besar terhadap adanya keinginan masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” untuk
memperoleh pelayanan SIM. Apakah melalui jasa calo sipil yang dipelihara oleh
petugas, Menyogok petugas, bahkan membeli jasa layanan SIM kepada petugas.
Dari hasil analisis pengamatan lapangan, penulis beranggapan bahwa
perilaku superior ini sebenarnya dipengaruhi oleh adanya prosedur tes yang
193
sangat sulit, sehingga BGD akan merasa bahwa dirinya memegang peranan
penting dalam meluluskan warga masyarakat. Padahal, jika format tes dapat
disesuaikan dengan kondisi riil di jalan raya, maka warga masyarakat akan
antusias untuk mengurus sendiri SIMnya.
Jika ditinjau dari unsur kualitas pelayanan publik, perilaku semacam ini
tidak dapat memenuhi kriteria responsiveness, karena BGD yang sepatutnya
menjadi pelayan masyarakat hendaknya menampilkan perilaku bersedia
melayani dengan sopan santun (courtesy).
Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa titik berat perilaku
superior adalah pada BGD, karena warga masyarakat dibuat tidak berdaya
menghadapi prosedur yang harus dilalui untuk memperoleh SIM, serta tidak
berdaya menghadapi perilaku superior dari BGD. Warga tidak mempunyai daya
tawar terhadap BGD. Mereka hanya bisa berlaku pasrah dan biasanya langsung
pulang ketika dinyatakan tidak lulus dalam melewati rintangan. Sementara di
satu sisi, kepemilikan kartu SIM merupakan kewajiban bagi setiap WM yang
mengendarai sepeda motor di jalan raya (UU No. 14/1992). Oleh karena itu,
maka semua WM berusaha sedemikian rupa untuk memiliki kartu SIM, meskipun
dengan jalan di luar prosedur yang sepantasnya.
5.2.1.2 Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant)
Perilaku mengabaikan atau playing ignorant sempat juga terdeteksi di
lapangan, meskipun kuantitasnya tidak sebanyak perilaku lainnya. Perilaku
mengabaikan oleh BGD, dimata WM adalah merupakan upaya untuk menunda-
nunda pelayanan yang dilakukan secara sadar. Petugas yang seharusnya
melayani berkas WM yang diabaikan, sibuk mengerjakan berkas warga lainnya,
194
yang sebenarnya harus dikerjakan belakangan, mengingat berkas warga yang
diabaikan tadi lebih dahulu masuk. Apabila warga masyarakat yang menghadapi
perilaku mengabaikan diam saja, dan tidak berusaha mendesak petugas atau
mencari kendalan yang bisa membantu, maka perilaku mengabaikan ini akan
berlangsung lama.
Dalam pengamatan lapangan, perilaku mengabaikan ini dilakukan oleh
BGD terhadap berkas WM yang tidak disertai oleh uang lebih atau tidak melalui
calo. Contoh perilaku seperti ini dialami sendiri oleh penulis ketika melakukan
pengamatan partisipatif. Ketika itu, penulis telah melakukan tes praktek, dan
berkas selanjutnya diteruskan ke loket 7 untuk pengecekan data guna
memastikan apakah data-data yang telah di-entry sebelumnya benar. Dalam
loket ini, penulis mengalami perilaku mengabaikan dari BGD. Selama hampir 3
jam berkas penulis tidak diproses, boleh jadi karena penulis menolak permintaan
petugas pada loket 6 sebelumnya. Setelah pengamat mengikuti ujian praktek
yang sangat sulit (seandainya tidak dibantu oleh kenalan yang juga anggota
Polantas, maka pengamat pasti tidak lulus), BGD yang bertugas pada loket 6 (tes
praktek) dengan terang-terangan meminta uang kepada pengamat, namun
karena pengamat ingin memperoleh informasi yang lebih jauh lagi jika tidak
membayar, maka pengamat menolak membayar dengan alasan tidak cukup
uang. BGD yang meminta uang tadi berkata, ”bahwa uang tersebut adalah untuk
material, dan akan dimasukkan kedalam map berkas pengamat, untuk diteruskan
ke loket-loket selanjutnya” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 25 April 2007).
Pada loket pengecekan data, setelah menunggu berjam-jam di ruang
tunggu, nama penulis tidak juga dipanggil, penulis mulai gusar karena beberapa
berkas warga yang belakangan masuk sudah diproses dan namanya sudah
195
dipanggil untuk membenarkan data-data yang dikomputer sesuai dengan data
yang sebenarnya. Dalam keadaan gusar seperti ini, penulis bertemu dengan
seorang kerabat yang kebetulan adalah wartawan yang sering meliput kegiatan
Kasatlantas. Wartawan tersebut kemudian mencari petugas kepolisian yang
dikenalnya dengan baik. Nampak oleh pengamat, petugas kepolisian tadi masuk
ke loket 7 dan mencari-cari berkas penulis. Setelah sekian lama mencari,
rupanya berkas pengamat tidak ada di kumpulan berkas warga lainnya, tetapi
diletakkan tersendiri, dan belum diproses. Melihat kenyataan itu, pengamat
dapat berkesimpulan bahwa perilaku mengabaikan ini adalah akibat karena tidak
ada uang yang disertakan didalam map/berkas pengamat, sebagaimana yang
diminta oleh petugas loket 6.
Perilaku mengabaikan ini sangat merugikan warga masyarakat baik dari
segi waktu maupun dari segi psikologi. Perilaku mengabaikan menimbulkan
ketidakpastian waktu pelayanan yang harus ditempuh oleh warga masyarakat.
Namun disisi lain warga masyarakat tidak berdaya menghadapi perilaku birokrat
garis-depan seperti ini. Dalam kenyataan pada hampir semua pelayanan publik,
birokrat yang berperilaku mengabaikan biasanya memiliki berbagai macam
alasan sehingga dia tidak memproses berkas warga masyarakat. Terkadang
birokrat beralasan sibuk karena banyaknya berkas yang harus diproses sehingga
warga harus bersabar menunggu giliran.
Dari pengalaman tersebut dan beberapa kasus yang sempat teramati di
lapangan, maka penulis berkesimpulan bahwa titik berat perilaku mengabaikan
ada pada BGD. BGD berusaha menunda-nunda bahkan ’membiarkan’ berkas
warga yang tidak memenuhi permintaan petugas. Ada kesan bahwa ”tak ada
uang lebih, maka tak ada pelayanan”. Ini sudah sangat jauh dari harapan
196
pelayanan yang akuntabel dan adil. Hanya orang-orang yang mampu membayar
saja yang dapat ’dilayani’ dengan baik. Sementara mereka yang tidak
mempunyai uang atau tidak ingin menyogok petugas maka akan mengalami
kesulitan. Dan jika tidak memiliki kenalan untuk membantunya, maka warga
tidak akan pernah bisa mendapatkan pelayanan yang baik.
Hasil analisis penulis menunjukkan bahwa perilaku pengabaian muncul
sebagai akibat dari perilaku-perilaku disfungsional lainnya, seperti perilaku
sebagai calo. WM yang tidak ingin ”berkompromi” dengan BGM maka akan
mengalami perilaku pengabaian dari BGD.
Perilaku mengabaikan ini dikatakan sebagai akibat dari perilaku
disfungsional lainnya sebagaimana disebutkan di atas, oleh karena BGD yang
berperilaku sebagai calo misalnya, cenderung melayani/menyelesaikan berkas
WM yang di ”tanganinya.” Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah berkas yang
”ditangani” khusus seperti ini jumlahnya sangat banyak, sehingga otomatis BGD
tidak memiliki banyak waktu untuk mengerjakan berkas WM yang tidak disertai
uang lebih. Warga yang tidak memiliki cukup uang untuk membayar petugas,
harus rela menunggu lama sampai semua berkas yang ”ditangani” oleh BGD
selesai dikerjakan.
Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa perilaku mengabaikan
pada dasarnya sangat merugikan WM, karena tidak dapat memperoleh
pelayanan dengan baik sehingga WM harus kehilangan banyak waktu untuk
mendapatkan SIM yang dibutuhkannya. WM juga tertekan secara psikologis,
menunggu dalam ketidakpastian. Jadi ada semacam perasaan mendongkol.
Ingin bertanya namun takut mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan dari
petugas. Akhirnya WM umumnya memilih untuk diam dalam menghadapi
197
perlakuan seperti ini, hingga menunggu suatu waktu yang tepat untuk bertanya
kepada petugas atau mencari kenalan yang dapat menolongnya.
Sedangkan dari pihak BGD, sebenarnya dia merasa diuntungkan oleh
perilaku seperti ini. BGD memiliki banyak waktu untuk mengerjakan tugas-tugas
lain yang dinilainya dapat memberi keuntungan bagi dirinya, misalnya berkas
warga masyarakat yang menyogok, dll. Di pihak lembaga penyedia layanan,
perilaku semacam ini dapat merugikan lembaga, karena citra lembaga akan jelek
di mata masyarakat. Lembaga atau institusi akan dinilai sebagai lembaga yang
tidak dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Lembaga
yang seharusnya menjadi pelindung dan pelayanan masyarakat justru
memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan bagi warga.
5.2.1.3 Perilaku Sebagai Calo
Perilaku sebagai calo adalah pemandangan yang sangat mudah kita
saksikan dalam pelayanan SIM di Kota Makassar. Terdapat dua jenis calo yang
dapat ditemui oleh WM ketika akan mengurus SIM, yakni (1) calo sipil yang
nampaknya sengaja “dipelihara” oleh petugas dan (2) petugas itu sendiri yang
berperilaku sebagai calo. Kedua jenis calo ini berkeliaran di luar gedung utama
pengurusan SIM, dan biasanya duduk-duduk dibangku panjang yang diletakkan
persis di depan pintu masuk ruangan pengurusan SIM. Ada juga yang sengaja
berdiri dekat pintu masuk, dan selalu siap menyapa setiap warga yang datang,
sekedar untuk mengetahui apakah warga tersebut bermaksud untuk mengurus
SIM
198
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, salah satu contoh perilaku
sebagai calo dialami oleh Burhanuddin. Ketika baru datang di lokasi
pengurusan SIM, seorang calo yang berseragam polisi mendekati dirinya:
”Ada yang bisa dibantu pak? Tanya petugas calo ”Saya mau mengambil SIM C pak” Jawabnya singkat. ”Apa mau ikut tes atau diuruskan” kata petugas ”Saya mau diuruskan saja pak” jawab Burhanuddin (hasil pengamatan lapangan tanggal 10 Mei 2007). Berdasarkan hasil wawancara dengan Burhanuddin, penulis memperoleh
informasi bahwa sebenarnya ingin mencari gampang dalam memperoleh SIM
tanpa melalui SIM. Menurut pengakuannya, dia rela membayar dua kali lipat
karena takut tidak lulus dalam tes teori maupun tes praktek. Ketakutan ini
didasarkan pada informasi yang ia peroleh dari teman-temanya yang pernah
mengurus SIM, bahwa kalau mau urusan lancar maka sebaiknya mencari saja
petugas yang berperilaku sebagai calo.
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap fenomena yang
muncul di lapangan, adanya BGD yang berperilaku sebagai calo terutama
disebabkan karena banyaknya warga yang mengurus SIM setiap harinya,
sementara BGD yang mempunyai tugas tetap di loket tidak mampu untuk
melayani semua warga yang datang, sehingga keberadaan BGD yang
berperilaku sebagai calo ini sangat membantu BGD yang bertugas di loket.
Mengapa penulis mengatakan bahwa BGD seperti ini adalah sebagai calo?
Karena dalam pengamatan lapangan, BGD ini berfungsi sebagai perantara
antara WM dengan BGD yang sebenarnya bertugas di loket, bahkan dia juga
terjun langsung memproses berkas WM di dalam ruangan loket. Sehingga
memang nampak bahwa WM masyarakat yang ingin mengurus sendiri SIM akan
199
bingung siapa sebenarnya petugas asli karena di dalam loket terdapat petugas
lain.
Jumlah biaya yang harus dibayar oleh warga untuk memperoleh sebuah
SIM pada dasarnya adalah sama. Jadi sepertinya telah ada kesepakatan secara
tidak tertulis akan ”harga” sebuah pelayanan. Namun hal yang menarik berhasil
penulis amati adalah tentang perilaku dari masing-masing calo ini. Seorang calo
sipil misalnya, akan langsung berhubungan dengan BGD yang bertugas di loket
dan berkas diselesaikan oleh BGD, sementara BGD yang berperilaku sebagai
calo biasanya menyelesaikan sendiri berkas WM, sampai kepada ujian teori yang
harus dilalui. BGD yang berperilaku sebagai calo akan mengisi lembar jawaban
yang tentunya telah disepakati oleh rekan mereka yang bertugas di loket
tersebut. Nampak dia sangat lancar dalam menjawab, tanpa harus membaca
soal tes teori. Dia seakan sudah hafal semua jawaban mulai dari nomor 1
sampai nomor 30. Dalam waktu hanya kurang lebih 1 menit, maka semua kolom
jawaban telah terisi, sehingga dari segi waktu, maka proses akan lebih cepat
selesai jika menggunakan jasa calo BGD. Sedangkan untuk tes praktek, tidak
diwajib dilalui oleh BGD calo, dia cukup meminta bantuan temannya pada loket
tes praktek untuk mendapatkan surat keterangan lulus tes praktek untuk WM
yang dicaloinya, tentunya dengan imbalan uang. Dari hasil pengamatan penulis,
nampak bahwa ada kerjasama diantara petugas loket dengan BGD yang
berperilaku sebagai calo, tentunya dengan pembagian uang secara merata
diantara mereka. Semua berlangsung dengan sangat rapih dan lancar.
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
perilaku sebagai calo pada dasarnya cenderung menguntungkan BGD. Dalam
perilaku sebagai calo ini, meskipun warga masyarakat yang menggunakan calo
200
untuk memperoleh SIM diuntungkan dari segi waktu, namun warga masyarakat
harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk memperoleh SIM. Disamping
itu, latar belakang sehingga warga mencari calo adalah disebabkan karena
kondisi pelayanan yang ada kurang memuaskan warga masyarakat. Jadi
mengurus SIM melalui calo adalah sesuatu keterpaksaan saja. Dengan
demikian, maka penulis menilai bahwa hal ini lebih menguntungkan BGD
dibanding WM. Boleh jadi warga masyarakat yang kebetulan ”kena” dengan
calo, memiliki waktu luang untuk mengurus SIM sesuai prosedur yang berlaku,
tetapi karena tidak kuasa untuk menolak ajakan calo BGD maka ia tidak lagi
dapat berbuat apa-apa. Apalagi jika calo BGD tersebut ”menakut-nakuti” warga
bahwa mereka juga nantinya harus berulang kali mengikuti tes karena tidak lulus
apabila mengurus sendiri SIM. Akhirnya biaya yang harus dikeluarkan akan
sama saja.
Di sisi lain, perilaku sebagai calo ini akan merugikan pengguna jasa
lainnya. Ketika seorang warga mengurus SIM melalui calo, otomatis maka
berkasnya akan terlebih dahulu dilayani oleh BGD, sedangkan berkas warga
yang tidak melalui calo atau mengurus SIM sendiri akan terhambat karena
cenderung diabaikan. Akibatnya warga lainnya akan dirugikan dari segi waktu
pelayanan.
5.2.1.4 Perilaku Mempersulit
Perilaku mempersulit juga menunjukkan ketidakberdayaan warga terhadap
birokrat garis-depan. Perilaku mempersulit dilakukan oleh BGD terhadap warga
yang mengikuti tes praktek dan juga bagi WM yang ingin memperpanjang SIM
akan tetapi lewat dari batas waktu bebas tes teori dan tes praktek yakni lebih dari
201
1 tahun ke atas. Bahkan terhadap warga yang mampu memenuhi persyaratan
sekalipun bisa saja dipersulit oleh BGD yang berorientasi mencari keuntungan.
BGD biasanya mencari-cari alasan untuk mempersulit warga yang ingin
mengurus SIM dengan harapan agar WM dapat memberikan uang lebih
kepadanya.
Sebagai contoh perilaku mempersulit yang dilakukan oleh BGD kepada
Rahim. Sekalipun Rahim dapat menunjukkan persyaratan untuk memperpanjang
SIM yang telah habis masa berlakunya, ia mendapat perlakuan dipersulit oleh
BGD, dengan dalih bahwa masa berlaku SIM telah melewati batas untuk bebas
tes praktek.
Sebagaimana aturan yang berlaku, bahwa mereka yang telah habis masa
berlakunya lebih dari 1 tahun maka diwajibkan untuk mengikuti tes teori dan tes
praktek. Dengan berpegang pada aturan tersebut, BGD bersikukuh untuk
mewajibkan Rahim mengikuti tes. Meskipun Rahim telah berupaya untuk
memberi alasan yang menurutnya adalah hal yang masuk akal, namun BGD
tidak menerima alasan tersebut, dan tetap pada pendiriannya yang dianggap
sebagai upaya untuk menerapkan peraturan dengan baik.
“Kenapa saya harus ikut tes lagi pak? Saya kan sudah mahir mengendarai
sepeda motor” (kutipan hasil pengamatan tanggal 30 April 2007). Apa yang
dikemukakan Rahim bahwa pada dasarnya ia tidak perlu mengikuti tes praktek
karena telah merasa dirinya terampil, bukankah dengan masa berakhir SIM
berarti dia telah lama bisa mengendarai sepeda motor. Dengan alasan demikian,
maka Rahim berusaha meminta kebijaksanaan dari petugas. Tetapi nampaknya
petugas tidak ingin menyetujui keinginan Rahim dengan alasan karena hal
tersebut melanggar aturan yang ada.
202
Upaya yang dilakukan untuk mempersulit warga rupanya mendapat respon
dari Rahim. Setelah Rahim setuju dengan permintaan petugas, maka iapun
dimudahkan dalam mengurus SIM. Tes yang sebelumnya dianggap sebagai
suatu keharusan nampaknya telah dilupakan oleh BGD. Jelas sudah bahwa
upaya mempersulit warga semata-mata dilakukan untuk menekan warga
sehingga mudah dimintai uang. Warga yang merasa wajib untuk memiliki SIM,
sebagaimana diwajibkan bagi semua pengendara sepeda motor, maka tidak
punya pilihan lain lagi, kecuali mengikuti permintaan petugas manakala ia tidak
mampu untuk mengikuti semua peraturan yang berlaku.
Sebenarnya alasan yang dikemukakan oleh Rahim tadi adalah masuk akal.
Karena memang keterampilan mengemudi adalah keterampilan yang tidak dapat
dilupakan oleh seseorang. Sekali ia dapat mengendarai sepeda motor, maka ia
tidak akan pernah lupa. Seperti halnya keterampilan naik sepeda, sekali ia
dapat naik sepeda, maka ia akan sulit untuk melupakan keterampilan tersebut.
Terlebih lagi bahwa masa berlaku SIMnya telah berakhir, berarti Rahim telah 5
tahun memiliki SIM, dengan jangka waktu yang demikian lama, berarti Rahim
semakin mahir dalam mengendarai.
Jika dirujuk kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mewajibkan
memiliki SIM dan memperpanjangnya setelah lewat 5 (lima) tahun, kebijakan
tersebut sebenarnya adalah upaya pemerintah untuk mendapatkan sumber
pendapatan negara di luar pajak (PNBP). Hal ini terbukti dari hasil pengamatan
lapangan, bahwa setiap pemohon SIM wajib membayar biaya administrasi SIM
sebesar Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) bagi pemohon baru, dan Rp
60.000,- (enam puluh ribu rupiah) untuk perpanjangan SIM yang telah mati atau
habis masa berlakunya, seperti yang dialami oleh Rahim di atas.
203
Sebenarnya petugas tidak boleh mempersulit warga dengan mewajibkan
lagi mengikuti tes praktek. Karena bukankah mereka sebagai warga yang baik
yang telah berusaha memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Dengan
mengurus SIM berarti ia turut menyumbang kepada negara, yang toh nantinya
juga akan diterima oleh BGD setiap bulannya dalam bentuk gaji pokok atau
tunjangan umum bagi anggota Polri.
Adanya peraturan yang mewajibkan WM yang memperpanjang untuk
mengikuti tes teori dan tes praktek, terutama bagi WM yang lewat masa berlaku
SIM lebih dari 1 tahun ke atas, sebenarnya dipersepsi oleh WM sebagai suatu
aturan yang buruk dan perlu dipertimbangkan kembali. Beberapa warga yang
berhasil diwawancarai mengatakan bahwa kewajiban seperti itu sangat
mempersulit WM yang ingin memperpanjang SIM.
Dari uraian di atas, baik dilihat dari segi waktu, biaya dan ketertekanan
psikologi, perilaku mempersulit adalah menguntungkan BGD dan merugikan WM.
Sehingga dengan demikian, maka titik berat dari perilaku mempersulit ini adalah
pada BGD.
5.2.1.5 Perilaku Mogok
Perilaku mogok terjadi ketika warga masyarakat yang mengurus SIM
tidak dapat memenuhi prosedur pelayanan dengan baik, terutama tahap tes teori
dan tes praktek mengendarai. Disamping itu, tes praktek sangat terkesan
mengada-ada dengan penerapan aturan yang sangat ketat terhadap warga
masyarakat. Beberapa warga yang telah mengikuti tes praktek namun tidak
berhasil lulus cenderung berperilaku mogok, dan memilih untuk tidak
204
meneruskan mengurus SIM melalui prosedur resmi. Akibatnya banyak berkas
yang tertumpuk dan kadaluarsa, karena tidak diproses lebih lanjut. Hal semacam
ini penulis saksikan di bawah meja petugas loket 6. Petugas yang berinisial SB
ini menunjukkan kepada penulis
”Sambil menunjuk tumpukan berkas dibawah meja petugas lokat 6 berkata: ini bu banyak berkas yang bertumpuk di meja saya, tidak datang lagi orangnya. Mereka tidak lulus praktek ada yang sudah 2 kali. Berkas ini ada yang sudah bertahun-tahun, ada pula yang baru beberapa bulan” (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007).
Dalam kondisi seperti ini, maka pengurusan SIM menjadi beku. Jadi
setelah putus asa warga kemudian exit. Tetapi sayangnya, karena warga yang
exit seperti ini tidak dapat memperoleh pilihan (choice) pelayanan yang sama di
tempat lain, karena pelayanan SIM ini hanya dilakukan oleh lembaga kepolisian
(monopoli pelayanan) sebagai satu satu fungsi penyelenggara pemerintahan.
Pada dasarnya sikap putus asa menunjukkan bahwa WM tidak
mempunyai kekuatan untuk menolak atau melakukan bargaining terhadap bentuk
dan prosedur pengurusan SIM. Warga yang putus asa tidak lagi berkeinginan
untuk melanjutkan mengurus SIMnya ketika mengalami perlakuan tidak adil, atau
mengalami hambatan dalam menempuh semua prosedur pengurusan SIM.
Karena kepemilikan SIM adalah merupakan sesuatu yang hukumnya
wajib bagi setiap warga masyarakat yang mengendarai sepeda motor, maka
ketika WM mengalami hambatan dalam pengurusan SIM sesuai prosedur,
mereka terpaksa kembali mengurus SIM, meskipun tidak lagi melalui prosedur
resmi. Kebanyakan dari mereka mencari jalan pintas dengan meminta bantuan
teman untuk menguruskan SIM atau datang langsung ke lokasi dengan mencari
calo yang telah siap membantu.
205
Salah seorang WM yang bernama Drs. Ibrahim pernah mengurus SIM
melalui prosedur resmi tetapi kemudian ia malah putus asa, menuturkan kepada
penulis:
”Saya dulu pernah mengurus SIM C, tapi dua kali saya mengikuti tes tetap juga tidak lulus. Saya kemudian putus asa, karena saya merasa tidak akan pernah bisa melewati tes praktek yang demikian rumit. Sebenarnya saya masih punya kesempatan untuk tes praktek ketiga kalinya, namun saya tidak berniat lagi. Biarlah uang saya hilang. Saya lebih baik minta bantuan calo saja. Saya sudah stres ikut tes-tesan” (hasil wawancara tanggal 11 Mei 2007).
Dari pengakuan selanjutnya kepada penulis, keterpaksaan mengurus SIM
C karena merupakan kewajiban yang harus ia penuhi sebagai warga negara
yang taat terhadap peraturan. Meskipun ia merasa kecewa terhadap pelayanan
yang ia peroleh, namun ia tetap berupaya memperoleh SIM karena akan
mendapatkan masalah yang lebih besar ketika tidak dapat menunjukkan SIM
kepada petugas dikemudian hari.
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari segi waktu, biaya dan
ketertekanan psikologis, jelas bahwa perilaku mogok ini sangat merugikan warga
masyarakat. Dari segi waktu, ia hanya membuang-buang waktu percuma tanpa
hasil. Ia juga membuang-buang biaya untuk membayar biaya administrasi,
namun akhirnya ia tidak memperoleh SIM. Secara psikologis, ia juga trauma
untuk mengurus SIM, dan kalau dia ingin mengurus SIM, maka mereka akan
mencari gampangnya saja yakni dengan melalui calo yang telah siap membantu
setiap warga yang ingin memperoleh SIM dengan jalan pintas.
5.2.2 Perilaku Diferensial yang Cenderung Menguntungkan WM
Perilaku diferensial yang titik beratnya mengarah kepada WM
disimpulkan mengutungkan WM. Adapun perilaku diferensial yang dianalisis
206
menguntungkan warga masyarakat adalah perilaku menolak membayar dan
perilaku mencari gampang.
5.2.2.1 Perilaku Menolak Membayar
Perilaku menolak membayar adalah merupakan jenis perilaku yang ekstrim
dari warga kota. Perilaku ini diwujudkan dari adanya penolakan terhadap
permintaan BGD untuk membayar biaya yang tidak jelas aturannya. Perilaku ini
penulis beri nama perilaku menolak membayar, meskipun sebenarnya bukan
dalam bentuk menolak membayar fisik tetapi hanya dalam bentuk penolakan
untuk membayar biaya di luar ketentuan resmi. Perilaku ini dianggap ekstrim
karena berani dilakukan oleh warga padahal warga tersebut berada dalam posisi
yang membutuhkan pelayanan SIM. Perilaku jenis ini dilakukan oleh mereka
yang merasa dirinya mampu mengikuti tes teori dan praktek yang selama ini
menjadi momok dalam pelayanan SIM. Disamping itu, perilaku seperti ini
dilakukan oleh warga masyarakat yang terpelajar dan tidak ingin menyogok
petugas. Ketika menghadapi BGD yang mencoba memerasnya, maka WM yang
berperilaku seperti ini akan melakukan penolakan atau menolak membayar.
Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa yang mengurus SIM C, setelah
mengikuti tes praktek dan ternyata bisa lulus, petugas yang melayani berusaha
meminta uang material, dengan tegas mahasiswa tadi menolak permintaan
petugas tersebut dengan alasan ia mampu mengikuti semua persyaratan.
Setelah mendapatkan penolakan dari mahasiswa tersebut, petugas tadi tidak lagi
memaksakan keinginannya. Boleh jadi petugas tersebut juga banyak
mengetahui bagaimana perilaku mahasiswa terhadap birokrasi pemerintah yang
seringkali mengecewakan masyarakat, sehingga petugas tersebut tidak ingin
207
memaksa. Kutipan hasil wawancara dengan mahasiswa yang bernama Ahmad,
dapat menggambarkan alasan mengapa ia menolak membayar:
”Kita ini WM yang berhak mendapatkan pelayanan yang baik dari petugas. Mereka sudah digaji kok. Masak setiap yang kita urus harus dibayar lagi, padahal kita sudah membayar biaya administrasi. Kalau dipikir-pikir sebenarnya SIM ini tidak terlalu penting bagi kita, tetapi karena ada Undang-undangnya sehingga kita perlu memilikinya. Apa ruginya kalau kita tidak punya SIM. Seandainya tidak ada aturan yang mewajibkan kita, maka saya tidak akan mengurus SIM. Disamping itu, saya ini juga bisa mengendarai sepeda motor, semua persyaratan saya penuhi termasuk persyaratan kesehatan. Apanya lagi yang saya kurang?. Coba Ibu bayangkan, kalau semua petugas pelayanan publik berperilaku seperti ini, mau memeras warga, kasian dong warga masyarakat. Kita tidak pernah bisa menikmati pelayanan publik dengan baik. Membayangkan saja akan berurusan dengan birokrat pemerintah, rasanya badan kita sudah lemas”. (hasil wawancara tanggal 14 Mei 2007).
Kutipan hasil wawancara di atas dapat menggambarkan bahwa perilaku
menolak membayar ini terjadi manakala warga yang berinteraksi memaknai
bahwa pelayanan yang baik adalah merupakan hak warga. Ketika ia merasa
diperlakukan tidak adil oleh birokrat yang ingin mencari keuntungan dari
pelayanan yang diberikannya, maka ia akan berani melakukan menolak
membayar dalam hal ini adalah menolak keinginan BGD. Sepanjang ia merasa
bahwa dirinya mampu untuk memenuhi semua persyaratan untuk memperoleh
pelayanan, maka warga seperti ini akan menuntut hak-haknya dari birokrat
pemerintah. Ia merasa telah membayar biaya administrasi yang disetorkan
kepada pemerintah melalui loket PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang
selanjutnya disetor ke kas negara. Dan dari biaya yang dibayarkan tersebut,
digunakan untuk menggaji birokrat yang melayaninya, sehingga ia merasa tidak
perlu lagi untuk memberi uang tambahan, karena birokrat tersebut telah ia gaji
secara tidak langsung. Sebenarnya hal ini kurang disadari oleh para birokrat
kita. Apabila mereka melayani masyarakat, ia merasa bahwa ia belum diberi
208
uang oleh warga tersebut, sehingga yang dipikirannya adalah bagaimana
memperoleh uang dari pelayanan yang diberikannya. Sehingga muncullah
birokrat yang berorientasi kepada kepentingan pribadi, dengan memanfaatkan
orang-orang yang lugu, dan sebagainya.
Dari segi waktu, biaya dan ketertekanan psikologis, perilaku ini
menguntungkan warga masyarakat. Warga dapat menyelesaikan pengurusan
SIM sesuai dengan wajar, dan dengan biaya yang sesuai dengan standar.
Sementara secara psikologis, perilaku semacam ini akan merugikan BGD.
Adanya tekanan atau menolak membayar dari warga masyarakat yang
dihadapinya, membuat dia akan mengurungkan niatnya untuk memperoleh
keuntungan pribadi, dan akan menjadi peringantan bagi dirinya untuk bersikap
hati-hati terhadap warga yang dihadapinya. Karena tidak semua warga dapat
diperlakukan tidak adil. Tidak semua warga bisa pasrah terdapat petugas.
Mereka yang merasa benar dan mengetahui bahwa pelayanan publik merupakan
haknya, maka ia akan melakukan menolak membayar jika menghadapi petugas
yang ”nakal”.
5.2.2.2 Perilaku Mencari Gampang (Short Cut)
Dalam pengamatan lapangan, perilaku mencari gampang juga banyak
ditemukan. Warga yang cenderung berperilaku seperti ini adalah mereka
memiliki kesibukan dalam pekerjaannya sehari-hari sehingga tidak ingin
mengikuti semua prosedur pengurusan SIM. Ada pula beberapa warga yang
telah mengurus SIM sesuai prosedur, namun karena tidak lulus berkali-kali lalu
kemudian mogok, dan lanjut mengurus SIM melalui calo. Disamping itu, ada
pula warga yang mau gampangnya saja, kendati dia tidak memiliki kesibukan
209
namun tetap mencari calo untuk membantu menguruskan SIM. Mereka yang
berperilaku seperti ini biasanya dari keluarga yang mampu dari segi ekonomi.
Warga yang berperilaku mencari gampang seperti yang disebutkan di
atas, akan mencari petugas yang berperilaku sebagai calo dan ada pula melalui
calo sipil yang ”dipelihara” oleh petugas. Sepanjang WM yang cenderung
berperilaku mencari gampang dimudahkan untuk memperoleh SIM, mereka tidak
mempersoalkan mengenai besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Perilaku mencari gampang sebenarnya dari segi normatif melanggar
aturan yang ada, sehingga terjadi maladministrasi. WM yang berperilaku
mencari gampang adalah mereka yang memaknai pelayanan sebagai ’jasa
terbeli’, sehingga dengan membayar petugas maka ia akan memperoleh SIM
yang dibutuhkannya tanpa melalui prosedur baku yang ditetapkan.
Jika dianalisis lebih lanjut, perilaku mencari gampang dari WM ini akan
merugikan warga lainnya yang mencoba mengikuti prosedur pelayanan sesuai
standar. WM yang ingin mengurus sendiri SIMnya akan terhambat dan
terabaikan, karena BGD lebih sibuk mengurus berkas WM yang berperilaku
mencari gampang, yang nota bene memberikan imbalan jasa pelayan yang lebih
besar. Dari situ pula akan muncul ketidakadilan dalam pelayanan, sehingga
mereka yang punya uang akan lebih cepat dilayani. Sementara itu, jika dilihat
dari kondisi kerawanan lalu lintas, boleh jadi penyebab kecelakaan di jalan raya
disebabkan oleh WM yang berperilaku mencari gampang untuk memperoleh
SIM, boleh jadi tidak memiliki keterampilan berkendara namun tetap mendapat
SIM. Sahroni (Humas Polda Jateng) dalam acara Aspirasi Merah Putih pada
acara interaktif PRO 3 RRI Jawa Tengah tanggal 27 September 2007 yang
mengambil topik: kesiapan Polda Jateng menghadapi mudik lebaran 1428 H
210
mengatakan bahwa 75% kecelakaan di Indonesia adalah kecelakaan lalu lintas.
Semuanya ini merupakan efek domino dari pelayanan yang menyimpang dan
tidak prosedural.
Meskipun demikian, jika dilihat dari segi warga yang dilayani, maka
perilaku mencari gampang ini menguntungkan warga masyarakat tersebut. Ia
dapat memperoleh layanan SIM dengan mudah, tanpa harus meninggalkan
pekerjaannya yang lain. Kalkulasi untung rugi dari segi ekonomi, warga yang
berperilaku seperti ini lebih merasa untung jika membayar petugas dibandingkan
harus mengikuti prosedur yang ada. Ia akan kehilangan uang yang lebih besar
jika harus mengikuti prosedur baku, sehingga pilihan untuk membeli jasa adalah
yang terbaik menurutnya. Demikian pula dari aspek yang lain, waktu dan
psikologis. Ia merasa sangat diuntungkan dari segi waktu, begitu pula dari segi
psikologis. Ia tidak merasa terbebani sedikitpun dengan membeli jasa
pelayanan. Sehingga dengan demikian, maka perilaku mencari gampang titik
beratnya ada pada WM atau lebih menguntungkan WM.
5.2.3 Perilaku Diferensial yang Cenderung Menguntungkan Pelaku Interaksi (Mutual Benefit)
Disamping terdapat perilaku diferensial yang titik beratnya mengarah
kepada BGD dan WM, terdapat pula perilaku diferensial yang bersitaf interaktif.
Dikatakan interaktif, karena dari hasil analisis perilaku ini berada di tengah-
tengah, artinya kedua aktor pelaku perilaku diferensial merasa diuntungkan.
Meskipun menguntungkan kedua belah pihak, perilaku ini tidak semuanya positif.
Artinya ada perilaku yang sifatnya disfungsional, karena mengakibatkan cacat
prosedural (malprocedural) atau proses penerbitan SIM tidak sesuai dengan
211
prosedur baku. Dari ketiga bentuk perilaku diferensial yang dikelompokkan
sebagai perilaku interaktif, hanya satu diantaranya yang dianggap sebagai
perilaku yang fungsional, yakni perilaku melayani, sedangkan dua bentuk
perilaku lainnya yakni memperlakukan khusus anggota korps tertentu dan
menyogok dinilai sebagai perilaku yang dapat menyebabkan malprocedural dan
bahkan dapat merusak citra lembaga. Berikut ini pembahasan dari masing-
masing perilaku tersebut:
5.2.3.1 Perilaku Melayani (Serving)
Melayani berarti memperlakukan seseorang sebagaimana apa adanya,
tulus, ikhlas, dan tanpa pamrih. Melayani dapat juga berarti bahwa tidak
membeda-bedakan antara satu orang dengan yang lainnya. Siapa pun
orangnya, mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama atau adil.
Perilaku melayani muncul ketika seorang BGD memaknai pelayanan
sebagai pelaksanaan aturan dan memiliki orientasi kepada masyarakat. Artinya
dari segi etika profesi, BGD semacam ini ingin berupaya menerapkan aturan
secara baik dan melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab untuk
memberikan kepuasan kepada masyarakat. Sementara warga masyarakat yang
datang juga melihat bahwa pelayanan yang akan diperolehnya adalah
merupakan haknya sebagai warga negara, sehingga dia merasa pantas untuk
diperlakukan dan dilayani dengan baik.
Oleh karena itu, memang dari kedua pihak yang berinteraksi ini tidak ada
yang lain dipikirannya kecuali bagaimana melaksanakan kewajibannya dengan
baik. WM berusaha untuk memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan
sesuai dengan aturan, dan dapat menempuh prosedur dengan baik. Sementara
BGD juga berusaha untuk memberikan pelayanan yang baik ketika WM
212
memenuhi semua ketentuan yang berlaku. Jadi pelaku interaksi masing-masing
ingin menerapkan peraturan dengan baik. Kendati demikian, ada saat-saat
tertentu WM tidak dapat memenuhi persyaratan tertentu, namun tetap dicarikan
jalan keluarnya oleh BGD. Disini peran BGD dalam mengambil diskresi sangat
penting terutama agar warga tidak terkendala dalam memperoleh layanan.
Misalnya, ketika suatu waktu ada seorang WM yang ingin mengambil kartu SIM-
nya yang telah jadi, namun WM tersebut tidak membawa bukti pembayaran biaya
administrasi sebagai persyaratan yang harus diperlihatkan ketika ingin
mengambil kartu SIM. BGD mengambil diskresi dengan meminta kartu identitas
lain seperti KTP dari WM, sekedar untuk membuktikan bahwa dirinya tidak salah
memberi SIM.
Dalam prakteknya, perilaku melayani ini kelihatan semua berlangsung
sangat wajar. Ketika warga harus antri, maka dia ikut antri dengan sabar. Begitu
pula dari pihak BGD, dia berusaha bersikap jujur dan adil terhadap semua warga
yang dilayani. Dia melayani sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.
Perilaku melayani seperti ini dapat ditemukan pada loket 2, 8, dan 9. Dari hasil
pengamatan penulis, petugas pada loket 2, nampak menunjukkan perllaku
melayani masyarakat dengan baik. Dimulai dengan menyapa pemohon dengan
ramah, dan memberikan pelayanan yang sepantasnya kepada para pemohon.
Begitu pula pada loket 8 (loket pengambilan gambar atau foto), disini para
pemohon telah memperoleh pelayanan yang sebenarnya. Pengambilan gambar
atau foto dilaksanakan sesuai dengan nomor urut atau antrian berkas yang
masuk. Setiap pemohon antri didepan pintu masuk untuk dilayani dengan baik
dan cepat. Dalam pengamatan partisipatif yang penulis lakukan, pada pelayanan
yang satu ini penulis benar-benar merasa terlayani dengan baik dan tidak perlu
213
menunggu lama karena semuanya dilakukan sesuai antrian. Pemandangan
disini sangat berbeda dengan pengalaman penulis pada loket-loket sebelumnya
yang sangat red-tape.
5.2.3.2 Perilaku Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu
Peilaku memperlakukan khusus korps tertentu, seperti tentara, anggota
DPRD, dan wartawan merupakan perilaku yang sempat diamati dalam
penyelenggaraan pelayanan SIM ini, meskipun frekuensinya sangat sedikit.
Perilaku seperti ini diwujudkan dengan tidak mewajibkan para anggota korps
tertentu seperti disebutkan di atas untuk mengikuti tes terutama tes praktek
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh SIM.
Dampak dari perilaku memperlakukan khusus korps tertentu ini, dapat
menimbulkan rasa ketidakadilan bagi warga lainnya, karena ternyata prosedur
yang ada bisa dieliminasi manakala yang datang itu adalah orang-orang
”khusus”. Memperlakukan khusus seperti ini dinilai sebagai bentuk perilaku yang
bersifat diskriminasi dalam pelayanan publik, sehingga tidak dapat memenuhi
kriteria sebagai pelayanan yang berkualitas, dimana salah satu unsurnya adalah
keadilan (equity) atau fairness, yakni sejauhmana pelayanan yang diterima oleh
warga masyarakat dianggap adil bagi semua.
Sebagai contoh, dalam pengamatan partisipatif yang dilakukan oleh
penulis, saat itu penulis sedang mengikuti ujian tes teori bersama serombongan
anggota Tentara yang berjumlah 11 orang dari Kostrad Kariango yang mengurus
SIM C, namun dari hasil tes teori ternyata hanya 3 orang yang memenuhi
standar kelulusan yaitu minimal jumlah jawaban yang benar adalah 18 dari 30
soal. Setelah salah seorang dari anggota yang tidak lulus meminta untuk
214
diluluskan karena alasan jarak antara kantornya dengan Satlantas yang sangat
jauh, petugas loket tes teori akhirnya menerima permintaan tentara tersebut dan
memberikan keterangan lulus teori sebagai persyaratan untuk prosedur
selanjutnya yaitu tes praktek. Namun pada loket tes praktek, rupanya
rombongan tentara tersebut tidak diwajibkan mengikuti tes praktek. Mereka
langsung diberi keterangan lulus tes praktek oleh petugas. Sementara penulis
diperlakukan lain, yaitu harus mengikuti tes praktek. Mendapat perlakuan tidak
adil seperti itu, penulis sempat protes. Alasan yang dikemukakan petugas adalah
bahwa tentara tadi telah mengikuti praktek di Kostrad Kariango, namun waktu itu
mereka belum diberikan SIM. Rupanya alasan yang dikemukakan oleh petugas
loket praktek berbohong, untuk menutupi perlakuan tidak adil yang baru saja
dilakukannya terhadap penulis. Terbukti setelah penulis sempat mewawancara
salah seorang anggota tentara untuk mengecek kebenaran pernyataan petugas
tadi, yang memang nampak tidak masuk akal, karena kalau sudah tes kenapa
belum diberikan SIMnya. Ternyata dari pengakuan tentara tadi mengatakan
bahwa memang benar pernah diadakan tes SIM di kesatuannya, namun waktu
itu, dia bersama temannya sedang mengikuti pendidikan di Bandung sehingga
belum sempat mengurus SIM. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pengurusan
SIM C sebenarnya merupakan hal yang tidak perlu mereka lakukan, karena
sepeda motor saja dia tidak punya, dan bahkan menurut pengakuannya dia juga
tidak bisa mengendarai sepeda motor. Tetapi karena pimpinannya mewajibkan
semua anggota tentara wajib memiliki SIM maka ia pun terpaksa ke Satlantas
Polwiltabes Makassar untuk mengurus SIM C.
Perlakuan khusus yang lain yang ditemukan di lapangan adalah ketika
seorang anggota wartawan yang bernama Bd (inisial) yang nota bene memiliki
215
hubungan baik dengan Kasatlantas karena sering meliput kegiatan Kasatlantas.
Dari pengakuan wartawan tersebut, ia tidak dikenakan biaya apapun untuk
mengurus SIM. Ia tinggal difoto dan dapat SIM.
Jika dianalisis lebih jauh, perlakuan khusus yang diberikan BGD dalam
pelayanan SIM adalah semata-mata karena BGD merasa bahwa warga yang
datang itu memiliki kelebihan khusus dari yang lain, misalnya terhadap anggota
tentara, dia diperlakukan khusus oleh BGD karena ada keeratan hubungan
antara lembaga kepolisian dan tentara yang sebelumnya memang pernah
menyatu yaitu ABRI. Namun belakangan kedua lembaga ini dipisahkan karena
dianggap memiliki tugas yang berbeda dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden Nomor 89 Tahun 2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000
tentang Peran TNI dan Polri. Fungsi TNI lebih kepada pertahanan keamanan
sedangkan fungsi Polri sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, dan pemberian perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.
Atau boleh jadi justru sebaliknya, dalam realitas sehari-hari kedua
lembaga ini seringkali menjadi sparring partner dalam adu kekuatan, sekalipun
pemicunya hanya hal-hal yang sebenarnya sepele. Dengan demikian, perlakuan
khusus yang diberikan kepada anggota TNI dalam pelayanan SIM ini adalah
sebagai upaya untuk memperbaiki dan menjaga hubungan kedua lembaga
keamanan ini. Hasil interpretasi penulis mengatakan bahwa ada kesan BGD
yang melayani oknum angota TNI yang mengurus SIM berusaha memberikan
pelayanan yang “sebaik-baiknya” meskipun harus melanggar prosedur yang ada,
demi menjaga hubungan keduanya.
216
Sedangkan terhadap anggota wartawan lebih kepada keinginan BGD
untuk membelenggu jemari wartawan agar tidak menuliskan sisi negatif dalam
pelayanan SIM, sehingga praktek-praktek yang berlangsung dalam pengurusan
SIM selama ini dapat terus berlanjut. Demikian pula halnya terhadap anggota
dewan, mereka diperlakukan khusus boleh jadi karena anggota dewan adalah
lembaga wakil rakyat yang seharusnya mengkritisi praktek-praktek yang
merugikan masyarakat yang diwakilinya. Dengan perlakuan khusus seperti itu,
maka setidaknya dia merasa berutang budi terhadap BGD, sehingga terkesan
menutup mata atas kejadian yang telah berlangsung dalam pelayanan SIM
selama ini. Dengan demikian, maka perlakuan khusus ini dapat menguntungkan
kedua belah pihak. Dipihak korps tertentu (anggota TNI, Wartawan, anggota
DPRD), mereka mendapatkan kemudahan dalam memperoleh SIM, di pihak
BGD mereka dapat tetap memperoleh keuntungan pribadi dari praktek-praktek
pelayanan yang telah membudaya dalam pelayanan SIM. Jadi ada semacam
pertukaran di kedua belah pihak yang berinteraksi. Dalam teori pertukaran,
kedua pihak yang berinteraksi masing-masing memperoleh keuntungan.
5.2.3.3 Perilaku Menyogok
Perilaku menyogok adalah merupakan salah satu bentuk perilaku negatif
yang dapat mengaburkan peraturan dan prosedur pelayanan. Perilaku
menyogok berkaitan erat dengan perilaku mencari gampang. Seorang warga
yang ingin cepat memperoleh SIM biasanya berani menyogok petugas yang
melayaninya. Meskipun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang khas.
Perilaku mencari gampang biasanya dilakukan oleh warga pada awal proses
pengurusan SIM, yakni ketika pertama kali berhadapan dengan petugas. Dan
217
biasanya perilaku mencari gampang diprakarsai oleh warga masyarakat yang
langsung mencari petugas yang dapat diajak bekerjasama. Jadi pada dasarnya
warga masyarakat yang berperilaku mencari gampang tidak pernah berusaha
untuk mengurus SIM sendiri. Sedangkan perilaku menyogok biasanya dilakukan
oleh warga pada saat proses pengurusan SIM berlangsung. Artinya, sebenarnya
ada usaha untuk mengurus SIM namun karena terkendala oleh prosedur yang
berbelit-belit dan sangat sulit, hingga akhirnya warga masyarakat mencari
gampang dengan menyogok petugas. Sementara petugas sebenarnya juga
menunggu untuk disogok.
Berdasarkan analisis penulis perilaku menyogok ini juga merupakan
dampak dari budaya yang berusaha dibangun dalam pengurusan SIM ini. Lagi-
lagi ujian praktek yang menjadi kendala. Kendatipun warga kota telah merasa
sangat mahir mengendari sepeda motor, namun apabila berhadapan dengan tes
praktek mereka sangat sulit melaluinya. Tes praktek seakan-akan di desain
sedemikian rupa agar warga sulit untuk lulus. Dari pengamatan penulis, tes yang
dilalui harus melalui beberapa rintangan dengan jarak kurang lebih dari dua
meter (hampir sama dengan panjang sepeda motor). Ini nampaknya mustahil
dilalui oleh orang yang tidak terbiasa dengan kondisi semacam itu. Padahal jika
di jalan raya, kondisi jalan yang harus dilalui tidak seperti itu. Dan anehnya,
mengapa tes dibuat sedemikian rupa, bukankah hal tersebut adalah hal yang
tidak masuk akal. Dalam kenyataannya, warga yang mengendarai sepeda motor
di jalan raya tidak pernah di larang untuk menurunkan kakinya jika
keseimbangannya kurang terjaga agar tidak terjatuh dari sepeda motornya. Dan
mengapa hal tersebut di larang pada tes praktek, dengan kondisi jarak rintangan
yang sangat sempit, mereka kemudian di larang untuk menurunkan kaki ke
218
tanah. Bukankah hal yang demikian adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan
sekali lagi penulis menganggapnya sebagai ’jebakan’?.
Dalam prakteknya, besarnya uang yang diberikan oleh WM untuk
menyogok BGD biasanya ditentukan sendiri oleh warga sesuai dengan
kemampuannya. Berbeda dengan uang yang harus dikeluarkan oleh warga
ketika berhadap dengan BGD yang berperilaku sebagai calo. Pada bentuk
perilaku sebagai calo tersebut, uang yang harus dikeluarkan oleh warga telah
menjadi kesepakatan tidak tertulis dari para BGD yakni sebesar Rp 150.000,-
untuk SIM C dan Rp 250.000,- untuk SIM A.
Dari segi waktu, sebenarnya warga diuntungkan dengan perilaku
menyogok ini. Dengan menyogok petugas, maka warga yang mengalami
kendala dalam prosedur pelayanan akan mendapatkan pelayanan yang cepat.
Uang sogokan diberikan pada saat warga menghadapi kesulitan dalam
menempuh prosedur pelayanan. Akan tetapi jika dilihat dari segi biaya, maka
wargalah yang dirugikan. Meskipun demikian, kerugian dari segi biaya masih
lebih sedikit jika warga menyogok petugas dibandingkan dengan warga yang
mengurus SIM melalui calo.
Dengan demikian, maka penulis berkesimpulan bahwa sekalipun warga
dirugikan dari segi biaya namun warga diuntungkan dari segi waktu dan
psikologis. Dari segi waktu, WM dapat segera memperoleh ”pelayanan” yang
baik ketika telah menyogok BGD. Dari segi psikologis, dengan menyogok BGD,
maka WM dapat keluar dari masalah yang dihadapinya, itu berarti bahwa dia
tidak perlu antri terlalu lama dan bisa segera memperolah SIM yang
dibutuhkannya.
219
Meskipun perilaku ini cenderung menguntungkan kedua aktor yang
berinteraksi (mutual benefit), namun dari segi kelembagaan maka perilaku ini
dapat merusak citra lembaga. Dimata masyarakat, kredibilitasnya akan turun.
Masyarakat akan dengan mudah menilai bahwa birokrat yang ada pada lembaga
tersebut adalah birokrat yang mudah disogok, tidak memiliki integritas, dan
berbagai stigma negatif lainnya.
220
Tabel 5.3 Karakteristik dari Masing-masing Perilaku Diferensial
No
BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL
KARAKTERISTIK
NILAI POSITIF DAN NEGATIF DI LIHAT DARI SISI
BGD WM LEMBAGA
1. Superior BGD menerapkan aturan dan prosedur secara ketat.
Ketika WM berani menyogok, maka aturan yang
tadinya ketat menjadi longgar bahkan dieliminasi.
Besarnya sogokan tergantung WM.
Terjadi pada saat pelayanan berlangsung
Biasanya terjadi pada tes praktek mengendarai
Positif:
Peluang dapat uang
Negatif:
Tidak mampu menjadi
pelayan yang baik.
Positif:
Biasanya tidak perlu
mengeluarkan biaya lebih untuk
pelayanan.
Negaitif:
Warga Tertekan,
urusan terhambat
Biaya untuk transport bisa
menjadi tinggi.
Negatif:
karena tidak mampu
memberikan pelayanan yang
baik.
Peraturan/prosedur
dijalankan dengan sangat
kaku.
Dari segi courtacy rendah.
2. Mengabaikan BGD sibuk melayani atau mengerjakan berkas warga
yang dinilainya memberi keuntungan peribadi.
WM yang diperlakukan seperti ini biasanya yang tidak
ingin memberi uang lebih.
Semua prosedur harus dilewati oleh WM.
Aturan diterapkan dengan ketat
Terjadi ketika pelayanan sedang berlangsung
Jika WM tidak berusaha mendesak atau mencari
kenalan untuk membantu maka berkasnya tidak akan
diproses.
Positif:
Dpt melakukan tugas
lain yg bernilai uang.
Negatif:
Bukan pelayan yang
baik.
Positif:
Warga mengikuti prosedur
yang ada.
Biaya sesuai standar
Negatif:
Pelayanan tertunda
Tertekan secara psikologis,
mendongkol.
Biaya lain-lain bisa
membengkak.
Tidak dapat mengerjakan
pekerjaan lain.
Negatif:
karena dianggap tidak dapat
memberikan pelayanan
secara adil.
Jaminan akan kepastian
waktu tidak ada.
Citra jelek
3.
Sebagai Calo
Memanfaatkan warga yang ingin memperoleh SIM
dengan cara gampang
Besarnya uang yang diminta telah menjadi standar
yang tidak tertulis dan ditentukan oleh BGD
WM memperoleh SIM tanpa prosedur resmi.
BGD yang memproses berkas warga termasuk yang
menjawab soal ujian teori
Ujian praktek tidak dilakukan
BGD calo ini mondar-mandir di luar ruangan.
Negosiasi harga terjadi pada awal pelayanan
Positif:
Mendapatkan uang
ekstra.
Negatif:
Integritas rendah
Positif:
Urusan lancar
Tidak tertekan
Negatif:
Biaya tinggi.
Memiliki andil memperburuk
pelayanan
Negatif:
citra lembaga menjadi jelek.
Warga akan menilai pela-
yanan cepat jika lewat calo”
Kepercayaan masyarakat
menjadi rendah.
Tidak ada jaminan keaman-
an dan kenyamanan dlm
pelayanan
Prosedur dilanggar
221
No
BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL
KARAKTERISTIK
NILAI POSITIF DAN NEGATIF DI LIHAT DARI SISI
BGD WM LEMBAGA
4. Mempersulit Biasanya dilakukan terhadap warga yang
memperpanjang SIM, dan lewat dari batas untuk tidak
ikut tes, meskipun hanya 2 hari.
Dengan dalih menerapkan aturan dengan baik, BGD
mempersulit WM untuk mendapatkan keuntungan.
Ketika disogok oleh WM, maka aturan kemudian
dilupakan.
Besarnya uang sogokan tergantung WM.
Terjadi ketika pelayanan berlangsung, dan terutama
pada tes praktek.
Positif:
Peluang mendapatkan
uang.
Negatif:
Bukan pelayan yang
baik.
Negatif:
Rugi waktu
Tertekan scr psikologis,
mendongkol.
Kemungkinan biaya tinggi.
Negatif:
karena menerapkan
peraturan secara tidak
rasional.
Tidak mampu memberikan
pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhan
masyarakat.
5 Mogok WM ingin memperoleh SIM melalui prosedur resmi
Terkendala oleh prosedur yang sangat ketat dan kaku,
yang sebenarnya tidak sesuai dengan kondiri ril di jalan
raya.
WM putus asa menghadapi perilaku superior dari
petugas
Pelayanan menjadi beku, karena WM tidak lagi ingin
mengurus SIM melalui prosedur. Ketika datang
mengurus kedua kalinya, warga melalui calo.
Positif:
Merasa diri hebat, telah
menerapkan aturan
meskipun dengan
sangat kaku.
Negatif:
Warga kehilangan uang
percuma
Tidak memperoleh SIM.
Waktu terbuang habis.
Secara psikologis warga
trauma untuk mengikuti tes
praktek.
Negatif:
tidak mampu memberikan
pelayanan dengan baik.
Pelayanan menjadi beku, shg
kewenangan sebagai penyedia
layanan SIM tidak dpt
dilaksanakan dengan baik.
6 Menolak
Membayar
BGD berusaha meminta uang dari WM yang telah
memenuhi persyaratan dan telah lulus tes.
Dilakukan oleh WM yang merasa dirinya mampu
mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan dengan
baik.
BGD yang meminta uang biasanya juga tidak memaksa
apabila warga menolak.
Terjadi pada saat pelayanan berlangsung.
Negatif:
Tertekan
kemungkinan kena
sanksi.
Takut untuk
melakukan hal
serupa.
.
Positif:
Memperoleh SIM dengan
biaya standar,
prosedur sesuai standar.
Turut memberi andil untuk
perbaikan pelayanan publik.
Positif:
Pelayanan bisa lebih baik jika
banyak warga berperilaku
seperti ini.
7. Mencari
Gampang
WM ingin memperoleh pelayanan dengan jalan pintas
dengan mencari calo
Besarnya biaya yang dibayar ditentukan oleh BGD.
WM memperoleh SIM tanpa melalui prosedur resmi.
BGD hanya membayar petugas, lalu menunggu antrian
untuk foto SIM.
Biasanya dilakukan oleh WM yang sibuk
Transaksi dilakukan diawal pelayanan
Positif:
Mudah memperoleh
uang.
Tidak perlu repot
mencari WM yang ingin
berkolusi.
Positif: Urusan lancar
Negatif:
Biaya tinggi
Memiliki andil memperburuk
pelayanan, krn akan
menghambat urusan WM
yang tdk melalui calo
Negatif:
Merugikan lembaga karena
prosedur tidak dilaksanakan
dengan baik, merusak citra
lembaga, pemicu munculnya
calo-calo dalam pelayanan
Publik.
222
No
BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL
KARAKTERISTIK
NILAI POSITIF DAN NEGATIF DI LIHAT DARI SISI
BGD WM LEMBAGA 8. Melayani BGD cenderung memaknai pelayanan sebagai
pelaksanaan aturan
Berorientasi kepada masyarakat
WM dilayani dengan baik
Kalaupun ada yang tidak memenuhi persyaratan, tetapi
dianggap tidak prinsip maka BGD membuat diskresi
yang dapat memudahkan WM.
Persyaratan dan prosedur cenderung ditaati
Terjadi pada saat pelayanan berlangsung
Positif:
Ada kepuasan batin
karena dapat melayani
dengan baik.
Positif:
Memperoleh pelayan tanpa
harus mengeluarkan uang lebih.
Positif:
Mengutungkan lembaga, karena
citra lembaga akan baik dimata
masyarakat. Prosedur dan
persyaratan dapat diterapkan
dengan baik.
Ada unsur pendidikan dalam
masyarakat.
9. Memperlakukan
Khusus Korps
Tertentu
BGD melayani dengan baik WM yang berasal dari
korps tertentu seperti TNI, Wartawan dan Anggota
Dewan.
Prosedur dan persyaratan dinomorduakan.
Ada nilai pertukaran dari pelayanan.
Terjadi pada saat pelayanan berlangsung.
Positif:
Menanam budi baik
pada korps tertentu
Dapat
melanggengkan
praktek-praktek
negatif yang ada
selama ini
Positif:
Urusan lancar.
Biaya rendah
Negatifnya:
Tidak bisa lagi kritis terhadap
pelayanan yang dianggap jelek.
Integritas rendah.
Negatif:
Merugikan lembaga karena
dinilai tidak dapat berlaku
adil.
Masyarakat merasa
diperlakukan diskriminatif.
Peraturan dan Prosedur
cenderung dinomorduakan,
Negara cenderung dirugikan
karena hilangnya
pendapatan (PNBP).
10.. Menyogok WM yang menyogok karena berusaha mengikuti
prosedur, namun ketika menghadapi kendala dia
kemudian menyogok petugas.
Aturan dan prosedur tetap dilaksanakan namun tidak
terlaku ketat. Misalnya tetap mengikuti tes praktek, jika
tidak lulus, WM tetap diberi rekomendasi bahwa telah
lulus.
Besarnya uang sogokan tergantung WM.
Terjadi pada saat pelayanan berlangsung
Positif:
Memperoleh uang
ekstra.
Negatifnya:
Integritas rendah
Positif:
Urusan lancar
Negatifnya:
Biaya tinggi, turut memiliki andil
merusak sistem.
Negatif:
Merugikan lembaga dan
juga warga yang lainnya.
Perilaku menyogok untuk
mendapatkan pelayanan
dapat berakibat pada
kerawanan lalu-lintas, jika
WM yang menyogok tidak
memiliki keterampilan.
Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan, 2007.
223
5.3 Aktor Dominan Penentu Perilaku Pelayanan
Upaya untuk menentukan siapa aktor dominan penentu perilaku pelayanan,
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: terlebih dahulu menentukan aktor
dominan penentu dari setiap bentuk perilaku diferensial, dan kemudian
menjumlahkan berapa bentuk perilaku diferensial yang didominasi oleh masing-
masing aktor, hasil penjumlahan tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dalam
menentukan siapa aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan.
Berikut ini akan diuraikan satu per satu PDf untuk menentukan siapa aktor
dominan dari masing-masing bentuk PDf tersebut.
5.3.1 Perilaku Superior
Perilaku superior merupakan perwujudan dari adanya perbedaan power
(kekuasaan) antara BGD dan WM. Dalam pengamatan lapangan, BGD yang
cenderung berperilaku superior adalah mereka yang merasa dirinya memiliki
kewenangan dalam memberikan rekomendasi apakah seorang WM berhak
memperoleh SIM atau tidak. Dari sepuluh loket dalam pelayanan SIM, BGD yang
cenderung berperilaku superior adalah loket 6 yakni petugas loket ujian praktek.
Menurut interpretasi penulis, kecenderungan perilaku superior yang diambil oleh
petugas loket ujian praktek dipicu oleh beberapa faktor, antara lain adalah pertama,
adanya aturan untuk mengikuti tes praktek namun tidak dijelaskan secara rinci
bagaimana ujian praktek tersebut dilaksanakan di lapangan. Dalam kondisi seperti
ini, BGD memiliki kewenangan untuk mengambil diskresi dalam menentukan tata
cara secara detail dari setiap WM yang akan mengikuti ujian praktek. Kedua, BGD
merasa dirinya sebagai pemegang otoritas untuk menentukan apakah seseorang
lulus atau tidak dalam mengikuti ujian praktek. Tanpa ada rekomendasi lulus dari
224
petugas ujian praktek ini, seorang WM tidak dapat meneruskan proses untuk
memperoleh SIM yang dibutuhkannya.
Berikut ini diuraikan dipaparkan hasil pengamatan lapangan yang dapat
menggambarkan bagaimana perilaku superior yang dilakukan oleh BGD terhadap
seorang WM yang mengikuti ujian praktek:
”Saya ingin menjelaskan kepada Saudara bagaimana ujian yang harus anda lalui. Pertama-tama anda harus melalui semua tiang rintangan ini (sambil menunjuk deretan tiang rintangan yang berjumlah 8 buah, penulis). Anda harus melewatinya secara ziq-zaq, dimana jarak antara satu tiang ini adalah kurang lebih 2 meter. Anda tidak boleh menurunkan kaki. Kalau anda menurunkan kaki, saya akan membunyikan sempritan, berarti anda harus mengulangi dari tiang pertama. Jika dua kali anda gagal maka anda tidak punya kesempatan lagi. Apabila anda berhasil melewati rintangan, anda diwajibkan melanjutkan mengendarai motor melalui lingkaran yang berbentuk angka delapan, dan sekali lagi Anda tidak boleh menurunkan kaki. Setelah itu anda ke lokasi di sebelahnya untuk menaiki tanjakan. Dan pada tanjakan anda diwajibkan untuk berhenti dan menurunkan kaki.” (hasil pengamatan lapangan tanggal 25 April 2007).
Setelah petugas selesai menjelaskan peraturan ujian, petugas kemudian
memberi contoh, bagaimana harus mengendarai motor melewati rintangan.
Nampak bahwa petugas sangat ahli mengendarai kendaraannya tanpa menurunkan
kakinya. ”Sekarang saya persilahkan Anda untuk mengendarai motor anda
mengikuti jalur yang saya jelaskan tadi.” kata petugas kepada Ridwan:
”Ridwan mulai menghidupkan motornya, dan perlahan-lahan menjalankan sepeda motornya mendekati tiang rintangan. Kecepatan sepeda motor berkisar 10 – 20 km per jam. Ridwan mulai melewati satu per satu tiang rintangan. Dia nampaknya mahir mengendarai motor melewati rintangan dengan baik tanpa menurunkan kakinya. Tetapi pada rintangan terakhir nampaknya Ridwan kehilangan keseimbangan sehingga harus menurunkan kakinya. Petugas dengan cepat membunyikan sempritan sebagai tanda bahwa Ridwan harus kembali dan memulai dari awal lagi. Setelah mencoba sekali lagi, kejadian yang sama terjadi, yakni pada rintangan terakhir Ridwan kembali menurunkan kakinya. Untuk kedua kalinya petugas meniup peluitnya, kemudian memanggil Ridwan ke posisi semula. Petugas lalu berkata, ”Anda kembali lagi besok, atau kapan-kapan ada waktu untuk mengikuti tes ulang”. (hasil pengamatan lapangan tanggal 25 April 2007).
225
Hasil pengamatan lapangan di atas menunjukkan bagaimana perilaku
superior itu berlangsung, dan nampak dengan jelas bahwa BGD sangat
mendominasi PDf superior. Kenapa dikatakan mendominasi? Karena WM tidak
mampu berbuat apa-apa kecuali hanya pasrah dan pulang tanpa berkomentar
sedikit pun. Padahal dari pengamatan penulis, WM yang mengikuti tes praktek
tersebut mahir mengendarai, hanya saja karena tidak terbiasa dengan medan
seperti itu sehingga sepeda motornya agak oleng dan terpaksa harus menurunkan
satu kakinya. Terlebih lagi karena kecepatan sepeda motornya yang sangat
lamban, sehingga memang sangat sulit untuk dikuasai. Untuk jenis sepeda motor
merek Honda, kecepatan dengan gigi dua, kondisinya akan lompat-lompat, sehingga
amat sulit untuk berada dalam kondisi seimbang ketika akan membuat ziq-zaq. Dan
hal ini juga diakui oleh petugas ujian praktek, bahwa dalam kecepatan seperti ini
akan sulit bagi WM untuk mengikuti ujian ziq-zaq.
Pada saat WM tidak mampu melalui ujian yang sangat berat tersebut, pada
saat yang bersamaan BGD tampil dengan perilaku superiornya, dan seakan-akan
ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang berkuasa disini, sementara WM harus
menuruti apa yang diperintahkannya. Hal ini dapat terlihat dari perilaku BGD yang
secepat kilat meniup peluitnya ketika WM menurunkan kaki untuk menjaga
keseimbangan, yang berarti bahwa WM tersebut dinyatakan tidak lulus.
5.3.2 Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant)
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perilaku mengabaikan
merupakan salah bentuk perilaku yang dapat merugikan WM dalam pelayanan
publik. Seorang BGD yang cenderung memaknai pelayanan sebagai sarana untuk
226
mencari keuntungan pribadi memiliki kecenderungan untuk mengabaikan WM yang
tidak memberikan uang lebih terhadap petugas.
Berikut ini akan dipaparkan hasil pengamatan lapangan dan hasil wawancara
dengan seorang WM yang mengurus SIM yang mengalami perilaku mengabaikan
ketika berada pada loket 4:
”Nurdin, adalah nama WM yang mengalami perilaku mengabaikan petugas loket 4. Setelah Nurdin membayar biaya PNBP dan mengisi formulir, ia lalu menyerahkan berkas ke petugas loket 3 untuk didaftar, setelah mendaftar ia kemudian diminta untuk menyerahkan berkasnya ke petugas loket 4 untuk input data. Pada loket ini rupanya setelah menunggu sekitar 30 menit, Nurdin belum juga dipanggil namanya. Karena merasa tidak sabar lagi, ia lalu bertanya ke petugas loket. ”Bu, bagaimana punya saya, dari tadi saya menunggu kok belum disebut juga nama saya.” Petugas yang ada di dalam kemudian menjawab: ”Sabar ya pak, ini banyak yang saya tangani.” Jawaban petugas tadi rupanya tidak memuaskan Nurdin, karena sebelumnya beberapa orang warga yang menurutnya di belakang dia, tetapi kenyataannya lebih dahulu dilayani (hasil pengamatan lapangan tanggal 8 Mei 2007). Setelah Nurdin kembali duduk dan mencoba bersabar, pengamat yang telah memperhatikan dari tadi, kemudian berdiri menghampiri Nurdin. Kenapa pak? Tanya pengamat. ”Ini bu, saya rasanya sudah dari tadi memasukkan berkas saya, tapi belum juga diproses. Malahan ada orang yang baru saya lihat memasukkan berkasnya, tapi sudah dipanggil namanya. Itu kan namanya tidak adil. ”oh begitu pak?” pengamat berusaha mengerti perasaannya. (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007). Kutipan hasil pengamatan lapangan dan wawancara di atas menunjukkan
bagaimana perilaku mengabaikan dilakukan oleh BGD terhadap WM yang mengurus
SIM. Kutipan hasil wawancara berikut ini dapat menjelaskan mengapa Nurdin tadi
memperoleh perillaku mengabaikan:
”Apakah Bapak tidak memiliki kenalan di sini?”tanya pengamat ”Tidak bu,”jawabnya singkat ”Seandainya Bapak memiliki kenalan mungkin dapat membantu Bapak, saya beberapa waktu yang lalu juga mengurus SIM dan mendapatkan perlakuan yang sama, tetapi karena saya meminta bantuan keluarga yang kebetulan kenal baik dengan salah satu petugas di sini, maka petugas tersebut membantu mencarikan berkas saya dan kemudian diselesaikan oleh petugas tersebut. Waktu itu sebenarnya tinggal cek data.” pengamat mencoba
227
menjelaskan kepada Nurdin bagaimana upaya pengamat untuk menyelesaikan masalah ketika menghadapi perlakuan yang sama. ”Saya ini tidak tahu mau dibantu oleh siapa, satu pun petugas di sini tidak saya kenal. Jawabnya lagi. ”Kalau begitu caranya, kasian mereka yang tidak punya kenalan atau keluarga, saya ini sudah hampir 2 jam menunggu, apa ya bisa berkas saya selesai hari ini kalau tidak dibantu?, lanjutnya lagi. ”Coba cek lagi kepada petugas pak”, usul pengamat. Nurdin kemudian berdiri dari tempat duduknya, kemudian mencoba bertanya kepada petugas: “Bagaimana bu, apa sudah selesai berkas saya?” tanya Nurdin kepada petugas loket 4. (hasil pengamatan lapangan tanggal 8 Mei 2007) “Maaf pak, ini masih banyak yang saya kerjakan”, jawab petugas dengan nada sedikit agak keras. “Nurdin kemudian diam, lalu menghampiri pengamat, dia kemudian pamit pulang. Nanti saya datang besok bu. (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007). Hasil wawancara di atas, menunjukkan ketidakberdayaan seorang WM
yang mengurus SIM. Hasil pengamatan lapangan memberikan fakta bahwa ketika
seorang WM mengurus SIM dengan biaya standar sesuai aturan, dan tidak memiliki
kenalan yang dapat membantunya, maka kemungkinan besar WM tersebut akan
mengalami perilaku mengabaikan. Dalam kasus seperti ini, BGD yang melayani
WM terlihat sangat mendominasi jalannya interaksi.
5.3.3 Perilaku Sebagai Calo
Fenomena adanya petugas sebagai calo dapat memberikan informasi bahwa
pelayanan publik yang ada pada pelayanan SIM tidak memuaskan. Secara logika
dapat dibenarkan bahwa seorang mencari calo untuk mendapatkan produk
pelayanan yang dibutuhkannya apabila WM melihat bahwa pelayanan yang ada
tidak memuaskan. Apakah karena WM pernah mengalami sebelumnya, ataukah
karena berdasarkan informasi dari WM yang telah mengalami hambatan dalam
pengurusan SIM.
228
Ketika seorang WM datang ke Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar,
pada halaman gedung telah menunggu beberapa calo, ada yang berpakaian sipil
dan ada pula yang berpakaian seragam polisi. Biasanya calo-calo ini dengan cepat
menyapa setiap WM yang baru datang, seperti kutipan hasil pengamatan partisipatif
di bawah ini:
Dari hasil pengamatan partisipatif yang penulis lakukan, ketika pertama kali datang, pengamat langsung didatangi oleh seorang calo sipil, dan setelah mengetahui bahwa pengamat ingin mengurus SIM C, calo tadi menjelaskan bahwa pengamat terlebih dahulu harus memeriksakan kesehatan pada loket yang terletak di gedung sebelah yang jaraknya tidak jauh dari gedung pengurusan SIM. Mendapat penjelasan seperti itu, pengamat kemudian mengikuti saran calo tadi. Setelah pengamat memperoleh surat keterangan dokter sebagai salah satu persyaratan untuk mengurus SIM C, maka pengamat kemudian kembali ke lokasi semula untuk memulai pengurusan SIM. Beberapa calo yang mencoba membujuk pengamat, namun pengamat berkata bahwa ingin mengurus sendiri, pengamat kemudian lalu masuk ke ruangan untuk mengurus SIM (hasil pengamatan partisipatif tanggal 24 April 2007). Meskipun pengamat tidak mengurus SIM melalui calo, namun terdapat
beberapa kasus yang berhasil teramati di lapangan yang menunjukkan adanya
perilaku petugas sebagai calo, yang dapat penulis tuangkan dalam laporan ini.
Berikut ini akan dipaparkan hasil pengamatan lapangan bagaimana interaksi
antara BGD yang berperilaku sebagai calo dengan seorang WM yang ingin
mengurus SIM.
”Ada yang bisa dibantu pak? Tanya petugas calo ”Saya mau mengambil SIM C pak” Jawabnya singkat. ”Apa mau ikut tes atau diuruskan” kata petugas ”Saya mau diuruskan saja pak” jawab Burhanuddin (Hasil pengamatan lapangan tanggal 10 Mei 2007)
Setelah Burhanuddin melakukan transaksi dengan petugas yang berperilaku
sebagai calo, Burhanuddin kemudian mengambil sebuah kursi untuk menunggu
proses yang dilalui oleh petugas untuk menguruskan berkasnya. Pada kesempatan
229
yang baik ini, penulis manfaatkan untuk mendekati warga tadi dan berusaha
mengorek keterangan dari yang bersangkutan:
Setelah berkenalan, dan berbincang-bincang seadanya, pengamat mencoba
mulai untuk mengorek keterangan dari WM yang mengurus SIM melalui calo:
“Mengapa Bapak mengurus SIM melalui calo petugas tadi?” tanya pengamat “Saya ini sangat sibuk Bu, saya tidak punya banyak waktu untuk mengurus
SIM, apalagi kalau mau ikut tes. Kata teman-teman saya yang mencoba mengurus sendiri justru urusannya jadi lama.” Jawab Burhanuddin.
“Berapa harga yang Bapak bayar tadi?” tanya pengamat ”Saya ini mau mengurus SIM C, kata petugas tadi biayanya seratus lima
puluh ribu rupiah”, jawab Burhanuddin ”Apakah ini pertama kali Bapak mengurus SIM C?, tanya pengamat ”Iya bu, sebenarnya sudah punya SIM A, waktu itu saya juga lewat calo, tapi
sekarang karena kondisi jalan raya yang sangat padat, saya membeli sepeda motor untuk memudahkan saya kalau mau kemana-mana,”jawabnya sedikit menjelaskan.
”Kalau begitu Bapak sudah terbiasa dengan calo?” tanya pengamat ”Iya bu biar urusan lancar, kalau tidak akan lebih rumit lagi”. Jawab
Burhanuddin lagi. ”Tapi apakah dengan melalui calo berarti Bapak harus membayar lebih
banyak? Tanya pengamat lebih lanjut ”Daripada sallo (makassar, lama) bu, bajikanggang kubayarami (lebih baik
saya bayar saja) petugas”. Jawab Burhanuddin.
Kutipan hasil wawancara di atas dapat menggambarkan bahwa WM yang
mengurus SIM melalui calo karena tidak ingin terhambart urusannya. Menurut WM
daripada urusan lama, lebih baik mengeluarkan uang lebih besar supaya urusannya
bisa cepat selesai.
Apa yang dikemukakan oleh warga tadi sebenarnya tidak perlu terjadi,
seandainya pelayanan yang ada dibuat sebaik dan semudah mungkin, sehingga
WM tidak perlu mengurus SIM melalui calo. Sekalipun WM merasa dimudahkan
memperoleh pelayanan yang dibutuhkannya, namun perilaku sebagai calo seperti ini
tidaklah dapat dibenarkan. Yang perlu diperhatikan oleh institusi adalah bagaimana
membuat pelayanan senyaman (comfort) mungkin sehingga WM antusias untuk
mengurus SIM sendiri tanpa melalui calo. Dengan demikian, maka dapat
230
disimpulkan bahwa perilaku sebagai calo lebih didominasi oleh BGD, karena WM
sebenarnya hanya karena terpaksa sehingga mengambil jasa calo untuk mengurus
SIM.
5.3.4 Perilaku Mempersulit
Dalam kasus yang muncul dalam pelayanan SIM, perilaku mempersulit
sebenarnya lebih dipengaruhi oleh aturan yang sebenarnya dipersepsi oleh WM
sebagai sesuatu hal yang buruk. Sebagaimana dalam PP No. 44/1999 tentang SIM,
dengan mana WM yang ingin memperpanjang SIM tetapi telah lewat dari 2 (dua)
minggu maka wajib mengikuti ujian teori dan ujian praktek.
Namun kenyataannya, dalam hasil peneltian lapangan, bahkan ada juga WM
yang masa berlaku SIM nya belum lewat dari 2 (dua) minggu, tetapi juga tetap
diharuskan untuk mengikuti ujian teori dan ujian praktek. Berikut ini pengakuan
seorang WM yang mengurus perpanjangan SIM:
“Sekarang bu, semua orang yang ingin memperpanjang SIM harus mengikuti ujian teori dan ujian praktek. Padahal yang saya tahu bahwa memperpanjang SIM itu tidak perlu ikut tes, kecuali mereka yang lewat masa berlaku SIM lebih dari 2 (dua) minggu” (hasil wawancara dengan Rahman, tanggal 28 April 2007)
Fakta diatas menggambarkan bahwa adanya peraturan yang mewajibkan
setiap warga yang memperpanjang untuk mengikuti ujian teori dan ujian praktek
cenderung disalahgunakan oleh BGD. Meskipun dalam aturan hanya
mempersyaratkan mengikuti ujian bagi yang lewat dari 2 (dua) minggu, tetapi
kemudian aturan tersebut dimanfaatkan oleh BGD sebagai peluang untuk
memperoleh keuntungan pribadi.
231
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan BGD mengambil kebijakan
(diskresi) yang merugikan masyarakat seperti ini adalah karena kebijakan
sebagaimana yang diatur dalam PP No. 44/1999 tersebut tidak disosialisasikan
kepada WM, sehingga mereka yang tidak memahami dengan baik aturan dapat
diperlakukan ”seenaknya” oleh petugas. Dalam standar pelayanan SIM yang telah
dibuat, baik melalui leaflet maupun pada pengumuman yang dapat diakses oleh
WM, tak satu pun yang menyebutkan aturan tersebut, sehingga WM yang ingin
memperpanjang SIM tidak mengetahui dengan baik bagaimana prosedur yang harus
dilalui.
Dengan demikian, maka dalam contoh kasus mempersulit di atas, penulis
dapat berkesimpulan bahwa perilaku diferensial mempersulit ini didominasi oleh
BGD, posisi WM hanya pasrah terhadap apa yang dikatakan oleh BGD.
5.3.5 Perilaku Mogok
Tidak melanjutkan proses pengurusan SM (mogok) adalah merupakan
cerminan dari perilaku WM yang tidak berdaya. Tidak ada pilihan dan tidak ada
kemampuan untuk melakukan komplain, apa yang dikatakan oleh BGD tidak dapat
dibantah oleh WM. Perilaku mogok dalam prakteknya terjadi manakala WM tidak
mampu mengikuti prosedur dengan baik, artinya WM tidak dapat melulusi tes yang
dipersyaratkan kepadanya, yang menurut sebagian WM sangat terkesan mengada-
ada sehingga sangat sulit untuk dilulusi. Karena tidak mampu untuk melakukan
alternatif lain, seperti misalnya melakukan bargaining, maka WM cenderung
mengambil sikap putus asa, lantas tidak datang lagi untuk melanjutkan proses
pengurusan SIM-nya alias mogok.
232
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh fakta bahwa banyak WM yang tidak
lagi melanjutkan mengurus SIM ketika terkendala oleh ujian praktek yang tidak
mampu dilaluinya. Sebagaimana penuturan petugas loket 6 berikut ini:
”Di bawah meja saya ini bu banyak berkas warga yang tidak lulus (sambil menunjuk tumpukan map di bawah meja, yang tingginya kira-kira 20 cm), berkas ini ada yang sudah bertahun-tahun, ada yang sudah berbulan-bulan, tetapi orangnya tidak datang-datang. Ada juga 2 orang dari Unhas, kalau tidak salah dosen fakultas teknik, tapi sampai sekarang saya tunggu-tunggu belum juga datang” (hasil wawancara tanggal 24 April 2007). Cuplikan hasil wawancara di atas memberi informasi bahwa warga
masyarakat yang tidak mampu mengikuti ujian praktek tidak lagi berkeinginan untuk
melanjutkan mengurus SIM alias putus asa. Boleh jadi, kasus yang dialami seperti
yang dialami oleh Ridwan di atas (dalam contoh kasus perilaku superior). Meskipun
dalam kasat mata warga mampu mengendarai dengan baik sepeda motor, namun
karena hanya sedikit oleh dan menurunkan kaki, warga kemudian dinyatakan tidak
lulus. Dan ada hal yang menarik dari temuan ini, bahwa WM yang putus asa dalam
mengurus sendiri SIM, telah memperoleh SIM melalui jalan pintas (melalui calo).
Hal ini dilakukan karena WM yang memiliki sepeda motor wajib memiliki SIM. Jadi
sekali pun telah mogok, namun kemudian mereka tetap berupaya memperoleh SIM
dengan jalan pintas.
Sayangnya dalam penelitian ini, karena keterbatasan waktu penulis untuk
berada di lokasi penelitian, sehingga tidak dapat mengamati secara langsung proses
terjadinya perilaku mogok ini. Meskipun demikian, dari hasil wawancara dengan
petugas, penulis telah dapat membuat interpretasi terhadap apa yang terjadi
selanjutnya dari WM yang tidak mengurus lagi berkasnya untuk mendapatkan SIM.
Inilah salah satu kelemahan dalam penelitian ini, karena hanya yang melakukan
interaksi langsung yang berhasil diamati dan diwawancarai.
233
Fakta diatas menunjukkan bahwa perilaku mogok, sekali pun dilakukan oleh
WM, namun sebenarnya yang mendominasi PDf ini adalah BGD. Karena adanya
perilaku superior misalnya, atau perilaku mempersulit dari BGD sehingga WM
kemudian mogok untuk mengurus SIM-nya. Jadi WM sangat dirugikan baik dari segi
waktu, biaya dan prikologis. Warga menghabiskan waktu, biaya, dan juga trauma
secara psikologis, namun akhirnya tidak memperoleh SIM yang dibutuhkannya.
5.3.6 Perilaku Menolak Membayar
Perilaku menolak membayar adalah termasuk perilaku yang dapat memberi
kontribusi bagi perbaikan terhadap kualitas pelayanan publik. Mengapa dikatakan
demikian? Karena hakekat dari perilaku menolak membayar ini adalah menolak
adanya kolusi atau permintaan dari BGD yang dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu
yang tidak sesuai dengan aturan. Meskipun dalam penamaannya agak sedikit
kurang elegan, namun pada dasarnya perilaku ini memiliki nilai positif, baik terhadap
WM pengguna jasa layanan maupun terhadap institusi penyedia layanan.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, perilaku menolak membayar ini
cenderung didominasi oleh WM. Mereka yang merasa dirinya mampu untuk
mengikuti semua prosedur dan dapat memenuhi persyaratan dengan baik untuk
memperoleh SIM, maka WM tidak merasa takut untuk menolak permintaan BGD
yang dinilainya diluar etika pelayanan yang sesungguhnya. Kutipan hasil
pengamatan lapangan berikut ini dapat menggambarkan bagaimana perilaku
menolak membayar dilakukan oleh WM terhadap BGD:
Setelah melewati semua prosedur yang telah ditetapkan, termasuk telah dinyatakan lulus ujian praktek, Ahmad dan petugas loket 6 masuk ke ruangan loket 6 tempat dimana petugas tadi berkantor.
”Adik saya nyatakan telah lulus meskipun tadi agak sedikit kurang sempurna dalam mengendarai. Jadi begini dek, saya minta pengertian adik
234
untuk membayar biaya material. Terserah berapa ikhlasnya.” Kata petugas tadi.
”Saya tidak punya uang pak, saya ini mahasiswa. Uang makan saja dikirimkan oleh orang tua saya.” Jawab mahasiswa tadi.
”Masak sih ndak ada, dek, saya prihatin sama adik” kata petugas ”Lha memang ndak ada pak!. Jawab Ahmad agak sedikit mengeraskan
suaranya. Rupanya petugas tadi sudah dapat maklum dan memberikan berkasnya untuk ke loket selanjutnya. (hasil pengamatan lapangan pada tanggal 14 Mei 2007).
Ahmad adalah salah satu contoh WM yang tidak ingin menyerah begitu saja
terhadap perilaku BGD yang ingin memeras WM, dan nampak bahwa Ahmad dapat
menolak permintaan petugas, selain karena ia termasuk warga terpelajar, ia juga
merasa bahwa dirinya mampu memenuhi kewajibannya dengan baik. Apabila
mayoritas WM yang mengurus SIM dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh
Ahmad tadi, maka boleh jadi perilaku-perilaku yang menyimpang dalam pelayanan
publik bisa hilang dengan sendirinya, karena BGD juga akan berpikir dua kali untuk
melakukan perilaku semacam itu apabila banyak WM yang cerdas. Jadi ada
semacam perilaku sistem coba-coba saja dalam pelayanan publik. Apabila warga
diam saja atau menurut jika diperlakukan seenaknya atau tidak sesuai aturan, maka
kemungkinan BGD akan meneruskan perilaku seperti itu.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku menolak
membayar titik beratnya mengarah kepada WM dalam arti bahwa cenderung
menguntungkan WM.
5.3.7 Perilaku Mencari Gampang (Short Cut)
Perilaku mencari gampang muncul bukan tanpa sebab. Berdasarkan hasil
pengamatan lapangan, perilaku mencari gampang yang dilakukan oleh WM untuk
memperoleh SIM disebabkan oleh banyak hal. Dalam beberapa hasil wawancara
yang dilakukan diperoleh fakta bahwa mereka menempuh jalan pintas (short cut)
235
yang tidak prosedural karena tidak memiliki waktu yang luang untuk mengurus SIM.
Namun menurut penulis, bukan itu sebenarnya yang menjadi faktor utama sehingga
WM berperilaku mencari gampang. Tetapi yang membuat warga merasa tidak
memiliki waktu luang adalah karena memang dalam pelayanan SIM prosedurnya
begitu berbelit-belit, ditambah lagi dengan aturan ujian praktek yang sangat
mengada-ada. Sehingga dengan demikian, secara psikis, sebelum seseorang
berhadapan dengan BGD, akan merasa ”frustrasi” terlebih dahulu. WM akan
membayangkan bagaimana harus mengikuti tes yang telah menjadi momok dalam
pelayanan SIM. Alasan yang mudah dikeluarkan oleh WM adalah masalah waktu.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa ada memang
beberapa WM karena kesibukannya yang luar biasa, sehingga tidak bisa mengurus
SIM sendiri. Dan kalau pun prosedurnya sederhana dan mudah, mungkin yang
bersangkutan juga tidak akan sempat untuk mengurus sendiri SIM.
Berikut ini salah satu contoh hasil wawancara dengan Basyir warga
Perumnas Antang yang mengurus SIM A.
”Lebih baik saya membayar petugas daripada saya harus menunggu antrian yang lama. Apalagi kalau harus mengikuti tes teori dan praktek yang menurut teman saya sangat susah untuk diikuti, sekalipun kita sudah biasa mengendarai mobil. Saya hanya mencari gampangnya saja Bu, karena urusan saya banyak.” (hasil wawancara tanggal 10 Mei 2007).
Hasil wawancara di atas menggambarkan contoh perilaku mencari gampang
yang dilakukan oleh WM. Kata-kata ”saya hanya mencari gampangnya saja bu,
karena urusan saya banyak” menunjukkan sikap masa bodoh dari WM. Tidak ada
upaya yang lain yang dilakukan yang bisa membuat pelayanan lebih baik. Yang
penting dimata WM adalah bagaimana supaya urusan bisa lancar. Nampak bahwa
perilaku ini sangat didominasi oleh WM, karena ketika WM sudah berniat untuk
236
memperoleh SIM dengan jalan pintas, maka dengan begitu mudah dia akan
memperoleh keinginannya.
5.3.8 Perilaku Melayani (Serving)
Idealnya dalam setiap pelayanan publik, perilaku yang dominan adalah
perilaku melayani. Namun dalam kenyataan lapangan, perilaku melayani
merupakan perilaku yang sangat langka kita temukan. BGD masih terbiasa dengan
perilaku yang ingin ”dilayani” oleh WM, dan bukan perilaku melayani. Meskipun
demikian, berdasarkan hasil penelitian lapangan, penulis juga berhasil mengamati
adanya perilaku melayani dalam pengurusan SIM, meskipun frekuensinya lebih
sedikit dibandingkan dengan perilaku menyimpang (malprosedur).
Salah satu contoh perilaku melayani yang dilakukan oleh petugas loket 8,
ketika penulis melakukan pengamatan partisipatif, penulis merasakan kepuasan
dalam pelayanan pada loket yang satu ini.
Setelah menungu giliran untuk difoto, salah seorang petugas yang ada di loket 8 memanggil pengamat untuk masuk ruangan foto. ”Silahkan duduk bu”, kata petugas dengan ramah. Sambil mengarahkan pengamat untuk duduk pada posisi yang baik untuk diambil gambarnya, setelah itu meminta pengamat untuk tanda tangan di atas sebuah alat elektronik yang nantinya akan dimasukkan kedalam SIM. ”Selesai bu”. Kata petugas kemudian. Dan mempersilahkan pengamat untuk keluar.” (Hasil pengamatan partisipatif tanggal 25 April 2007) Perilaku melayani juga dapat ditemui pada loket 9. Pada umumnya warga
kota yang berhasil diwawancarai menyatakan bahwa mereka puas pada pelayanan
birokrat garis-depan yang bertugas pada loket 9. Seperti pada petikan wawancara
dibawah ini:
”Saya tidak merasa dipersulit oleh petugas ketika meminta SIM A saya. Cuma saya sempat menunggu tiga hari karena menurut petugas material untuk membuat SIM habis, dan harus menunggu kiriman dari Jakarta. Sebelumnya saya diminta untuk menelpon dulu untuk mengecek apakah SIM
237
saya sudah jadi. Tadi pagi saya sebelum ke sini, saya telpon dulu, nanti setelah saya dapat jawaban sudah selesai SIM saya, saya baru ke sini” (hasil wawancara dengan Arfan tangal 27 April 2007). Hal senada juga diungkapkan oleh informan lain yang berhasil penulis
wawancarai setelah memperoleh SIM:
”Petugas loket 9 cepat melayani saya, dalam waktu singkat saya telah memperoleh SIM saya setelah saya beri bukti pembayaran saya sebagai persyaratan mengambil SIM” (hasil wawancara tanggal 27 April 2007).
Hasil wawancara diatas menggambarkan bahwa pada tahap akhir
pelayanan, WM cenderung mendapat perlakuan yang baik dari petugas.
Berdasarkan hasil analisis penulis, perilaku melayani adalah merupakan perilaku
yang sifatnya interaktif, artinya tidak didominasi oleh salah satu pihak yang
berinteraksi. Ketika WM memenuhi semua persyaratan yang diperlukan, maka BGD
juga akan berusaha memberikan pelayanan yang sebaik mungkin.
5.3.9 Perilaku Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, customization dilakukan terhadap
korps tertentu, yakni terhadap anggota TNI, Wartawan, dan anggota Dewan. Status
sosial tertentu yang melekat pada WM dapat membawa pengaruh yang besar ketika
yang bersangkutan ingin memperoleh suatu pelayanan publik. Sebagaimana halnya
dalam pelayanan SIM di Kota Makassar, seseorang yang berlabel ”anggota dewan”
misalnya akan mendapat perlakuan khusus dari BGD yang melayani SIM.
Sebagaimana yang dituturkan oleh petugas loket 5:
”Kami sebenarnya disini tidak ingin mempersulit mereka yang datang untuk mengurus SIM, sepanjang kami melihat bahwa orang tersebut tidak mempunyai banyak waktu untuk mengikuti tes. Seperti kalau ada anggota dewan yang datang mengurus SIM, kami tidak mewajibkan mereka untuk ikut
238
tes, karena kami tau bahwa mereka itu sangat sibuk (hasil wawancara tanggal 28 April 2007).
Hasil wawancara di atas menggambarkan bahwa aturan untuk mengikuti tes
bukan sebuah harga mati dalam pelayanan SIM. Ketika seseorang misalnya tidak
memiliki waktu luang dan apabila dalam pandangan BGD warga tersebut memiliki
kesibukan yang luar biasa untuk mengurus warga, maka mereka akan diperlakukan
dengan baik. Sehingga dalam perlakuan khusus ini penulis kelompokkan sebagai
perilaku diferensial yang sifatnya interaktif. Disatu sisi BGD ingin memudahkan WM,
disisi lain, karena WM juga tidak memiliki waktu yang luang.
5.3.10 Perilaku Menyogok
Perilaku terakhir ini penulis kelompokkan juga sebagai perilaku yang sifatnya
interaktif (tidak didominasi oleh salah satu pihak yang berinteraksi). Mengapa?
Karena kata menyogok sebenarnya telah mencerminkan makna bahwa kedua
pelaku interaksi sama-sama mencapai kesepakatan untuk memudahkan. Di pihak
BGD dimudahkan untuk memperoleh keuntungan pribadi, di pihak WM dimudahkan
untuk memperoleh SIM ketika terkendala oleh aturan yang tidak mampu
dipenuhinya.
Berikut ini akan dipaparkan satu contoh kasus lagi yang dapat
menggambarkan bagaimana perilaku menyogok berlangsung dalam pelayanan SIM
di Kota Makassar. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang WM yang bernama
Ani, warga Jalan Kubis Makassar. Berikut hasil wawancara dengan penulis (hasil
wawancara ini telah dipaparkan sebelumnya pada uraian 5.1.11)
”Saya terpaksa menyogok petugas loket 6 karena saya tidak dapat lulus dalam ujian praktek. Terus terang memang saya belum terlalu lancar mengendarai motor, tapi saat sekarang ini biaya transport kalau naik pete-pete sangat mahal, maka saya berusaha menyicil motor. Saya baru belajar
239
naik motor”. Ketika ditanya oleh pengamat mengapa berani mengurus SIM: Ani selanjutnya menjelaskan bahwa akhir-akhir ini sering diadakan sweeping
di jalan, kalau saya tidak punya SIM saya nanti ditilang, dan saya dengar biayanya mahal kalau ditilang” (hasil wawancara tanggal 8 Mei 2007).
Dengan demikian, maka nampak bahwa perilaku menyogok adalah
merupakan perilaku yang saling menguntungkan kedua pihak yang berinteraksi.
Namun secara institusi, perilaku ini sangat merugikan intitusi karena akan
menurunkan citra pelayanan yang diberikannya dimata masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas mulai dari point 5.3.1 sampai point 5.3.10, maka
dapat dibuat sebuah tabel simpulan sebagai berikut:
Tabel 5.4 Aktor Dominan Penentu dari Masing-masing Bentuk Perilaku Diferensial
NO. BENTUK-BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL
Aktor Dominan Penentu Perilaku Diferensial
1. Superior BGD
2. Mengabaikan (Playing Ignorant) BGD
3. Sebagai Calo BGD
4. Mempersulit BGD
5. Mogok BGD
6. Menolak Membayar WM
7. Mencari Gampang (Short Cut) WM
8. Melayani (Serving) Interaktif (BGD dan WM)
9. Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu
Interaktif (BGD dan WM)
10. Menyogok Interaktif (BGD dan WM)
Sumber : Diolah dari hasil penelitian lapangan, 2007.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 10 bentuk PDf yang teridentifikasi di
lapangan, sebanyak 5 (lima) diantaranya yang didominasi oleh BGD, 2 (dua) bentuk
PDf yang didominasi oleh WM, dan 3 (tiga) bentuk PDf yang sifatnya interaktif.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aktor dominan yang
menjadi penentu PDf adalah BGD.
240
Penggunaan tabel dan diagram dalam analisis ini sekedar dimaksudkan
untuk memudahkan pembaca dalam melihat dan memahami bagaimana proses
yang dilakukan untuk menentukan siapa aktor dominan mempengaruhi perilaku
pelayanan SIM. Sekalipun ditampilkan dalam bentuk tabel namun bukan berarti
bahwa data-data tersebut diperoleh melalui kuantifikasi, karena dalam prakteknya
keseluruhan data-data tersebut diperoleh melalui hasil wawancara dan kemudian
dianalisis siapa yang mendominasi dari setiap PDf tersebut.
Scanned by CamScanner
240
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1 Bentuk-bentuk Perilaku Diferensial
Pada bab V telah diuraikan bentuk-bentuk perilaku diferensial yang
menjadi temuan dalam penelitian ini. Bentuk-bentuk perilaku diferensial yang
menjadi temuan dalam penelitian ini pada dasarnya tidaklah berdiri sendiri.
Artinya, kesepuluh perilaku yang berhasil diidentifikasi tersebut hanya merupakan
kecenderungan umum saja, sebab dalam kenyataannya berbagai bentuk perilaku
diferensial berlangsung secara bersamaan dan saling tumpang tindih (mutually all
inclusive).
Adanya fenomena semacam ini sejalan dengan teori perilaku yang
mengatakan bahwa perilaku individu sebenarnya adalah merupakan suatu akibat,
artinya seseorang berperilaku tertentu karena dipicu oleh faktor lingkungannya.
Sebagaimana pendapat Gibson, 1996, Thoha, 1991, dan Suprihanto, 2003 bahwa
perilaku pada dasarnya adalah merupakan suatu fungsi dari interaksi antara
seorang individu dengan lingkungannya. Atau dengan kata lain, ketika ada aksi
tentu ada reaksi.
Sebagaimana menjadi temuan penelitian ini bahwa perilaku sebagai calo
kecenderungannya muncul bersamaan dengan perilaku mencari gampang.
Contoh kasus yang dapat menggambarkan fenomena seperti ini adalah ketika
seorang WM yang bernama Ardi mengurus SIM C, dia terkendala masalah waktu
karena kesibukannya sebagai mahasiswa yang akan menyelesaikan tugas akhir.
Ketika mendapat tawaran dari petugas yang berperilaku sebagai calo, maka ia
241
segera mengiyakan, tentu saja dengan kompensasi berupa uang lebih dari
standar resmi. Jadi apa yang dilakukan oleh Ardi tadi sebenarnya adalah sebuah
upaya mencari gampang dalam memperoleh SIM. Dia rela mengeluarkan uang
lebih besar karena tidak mempunyai waktu, sementara kebutuhan akan
kepemilikan SIM juga merupakan hal yang mendesak. Dengan demikian, maka
dalam kasus tersebut, terjadi dua perilaku secara bersamaan dan saling tumpang
tindih satu sama lain (mutually all inclusive) yakni perilaku sebagai calo dari BGD
dengan perilaku mencari gampang dari WM.
Demikian pula halnya dengan perilaku superior dan perilaku menyogok,
keduanya juga memiliki kecenderungan untuk muncul bersamaan dalam interaksi
antara BGD dan WM. Sebagai contoh kasus adalah ketika WM yang bernama
Asma mengurus SIM C, dia merasa lebih baik menyogok petugas setelah
dinyatakan tidak lulus dalam tes praktek. Meskipun dalam pengakuannya dia bisa
mengendarai sepeda motor, tetapi karena tidak terbiasa melewati rintangan
seperti dalam tes praktek sehingga dia tidak dapat mengatur keseimbangan
badan ketika mengendarai secara ziq-zaq. Karena tidak mampu mengatur
keseimbangan seperti itu, maka petugas menyatakan dirinya tidak lulus. Disini
nampak bahwa BGD menunjukkan superioritasnya terhadap WM. Dengan mudah
BGD mempersalahkan WM dan menyatakan tidak lulus, padahal apabila dilihat
dari bentuk tes yang diberikan kepada WM, jelas bahwa format tes semacam itu
tingkat relevansinya dengan kondisi ril jalan raya sangatlah rendah, sehingga tidak
dapat dijadikan sebagai patokan utama dalam menentukan lulus tidaknya
seseorang untuk memperoleh SIM. Kenapa dikatakan relevansinya rendah?
Karena dalam realitas di lapangan (jalan raya), seorang pengendara sepeda
motor tidak pernah dilarang untuk menurunkan kakinya ketika terpaksa harus
242
mengendarai secara ziq-zaq. Inilah hal yang menurut hemat penulis sebagai
sesuatu hal yang mengada-ada dan sengaja dilakukan oleh BGD agar WM tidak
berani untuk mengikuti tes dan mencari jalan pintas untuk memperoleh SIM. Dari
kasus tersebut, nampak bahwa perilaku menyogok adalah merupakan akibat dari
perilaku superior yang dilakukan oleh petugas. Jadi dengan demikian, maka
kedua perilaku ini kecenderungannya muncul secara bersamaan dan saling
tumpang tindih.
Perilaku superior yang dilakukan oleh birokrat garis-depan sangat
dipengaruhi oleh persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga untuk memperoleh
SIM, yang sebenarnya dipersepsi oleh warga sebagai sesuatu hal yang sangat
mengada-ada, terutama bentuk tes praktek yang diterapkan dalam pelayanan
SIM. Dalam PP Nomor 44 tahun 1999, disebutkan bahwa setiap warga
masyarakat yang ingin memperoleh SIM diwajibkan untuk mengikuti ujian teori
dan ujian praktek (Pasal 219 ayat 2 dan 3). Namun sayangnya karena dalam PP
tersebut tidak dijelaskan secara rinci bagaimana bentuk tes praktek yang harus
dilalui oleh Warga, sehingga kemudian BGD membuat diskresi dalam
pelaksanaannya di lapangan. Nampaknya diskresi tersebut justru lebih banyak
merugikan warga masyarakat. Bentuk tes praktek yang sangat sulit dilalui
masyarakat menjadikan petugas memanfaatkan kondisi ini untuk memperoleh
keuntungan pribadi. Terlebih lagi karena masyarakat tidak mempunyai daya
tawar (bargaining) dalam menentukan format tes praktek yang ideal sesuai kondisi
lapangan (jalan raya). Nampak terkesan bahwa tes praktek tersebut dibuat
sebagai jebakan terhadap warga yang ingin mengurus SIM.
Dalam banyak kasus, terbukti bahwa perilaku mencari gampang yang
dilakukan oleh WM memiliki kecenderungan muncul secara bersamaan dengan
243
perilaku sebagai calo. Seorang WM yang ingin memperoleh SIM secara mudah
tanpa melalui prosedur resmi, apakah karena kesibukan sehingga tidak memiliki
waktu yang cukup untuk mengikuti semua prosedur ataukah karena WM tersebut
memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli, maka dengan mencari calo, maka
keinginan untuk mendapatkan SIM dengan mudah dapat terpenuhi. Sementara
itu, ada pula warga masyarakat yang berperilaku mencari gampang dalam
memperoleh SIM, bukan semata-mata disebabkan karena tidak adanya waktu
luang untuk mengurus SIM, akan tetapi juga dipicu oleh prosedur pengurusan SIM
yang sangat berbelit-belit, dengan mana setiap WM yang ingin mengurus SIM
sesuai prosedur, maka harus melewati 9 loket ditambah lagi dengan satu loket
pemeriksaan kesehatan yang tempatnya terpisah dari loket pengurusan SIM.
Sementara itu, persyaratan harus lulus tes teori dan tes praktek yang sangat sulit
untuk diikuti oleh warga, membuat banyak WM enggan untuk mengikuti prosedur
resmi untuk memperoleh SIM yang dibutuhkannya. Banyaknya loket yang harus
dilalui untuk memperoleh SIM ditambah lagi dengan ujian teori dan praktek,
membuat WM memilih untuk memperoleh SIM melalui jalan pintas, baik lewat calo
atau petugas yang siap membantunya. Jadi persoalan sebenarnya adalah
prosedur pelayanan SIM yang dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu yang sangat
buruk dan berbelit-belit. Image yang terbangun di masyarakat bahwa mengurus
SIM tanpa melalui calo atau cara lain adalah sesuatu yang sangat sulit,
nampaknya juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sehingga
masyarakat banyak yang menempuh jalan pintas dalam memperoleh SIM.
Pemeo terhadap pelayanan publik ”kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”
nampaknya juga terjadi dalam pelayanan SIM.
244
Hal ini terbukti dari hasil pengamatan lapangan dan dikuatkan dengan hasil
wawancara dengan beberapa warga masyarakat yang mengurus SIM,
kecenderungan menjawab mereka memilih untuk mencari jalan pintas untuk
mengurus SIM, karena terkendala oleh masalah waktu dan prosedur yang
berbelit-bellit dan sangat sulit untuk dilalui. Hal ini sebagai pertanda bahwa
masyarakat pada umumnya menilai bahwa pelayanan SIM dapat diperoleh
dengan membayar petugas. Dalam bahasa Soedarmo (1998) sebagai jasa
terbeli. Sementara di pihak birokrat garis-depan, nampaknya sengaja mencari
peluang untuk mendapatkan keuntungan berupa uang dari warga masyarakat
yang mengurus SIM, dengan menampilkan perilaku superior, mengabaikan,
sebagai calo, dan mempersulit. Dengan demikian, maka kedua pelaku interaksi
kecenderungannya berpeluang untuk merusak sistem yang ada dalam pelayanan
SIM.
Meskipun perilaku mencari gampang pada dasarnya mengabaikan
prosedur yang ada, namun tidak semua perilaku seperti ini dapat disalahkan.
Karena ada sebagian WM dengan kesibukan yang luar biasa sehingga tidak
memiliki waktu untuk mengurus SIM, sehingga jalan yang ditempuh untuk
memperoleh SIM dengan menmencari gampangnya saja tidak dapat disalahkan
sepenuhnya. Terlebih lagi jika kesibukannya itu adalah untuk kepentingan rakyat
banyak. Kerugian lebih besar akan diperoleh bukan saja untuk dirinya tetapi juga
untuk orang lain, apabila dia harus mengikuti semua prosedur dalam pelayanan
SIM. Waktunya akan habis sia-sia dan banyak pekerjaan yang terbengkalai jika
mengikuti tes untuk memperoleh SIM. Artinya seorang publik pigur atau pejabat
birokrat dapat menjadi perkecualian dalam pengurusan SIM sesuai prosedur
245
resmi, sepanjang yang bersangkutan memiliki keterampilan untuk mengemudikan
kendaraan.
Hal seperti ini nampaknya juga menjadi alasan bagi BGD sehingga
memberikan perlakuan khusus terhadap anggota dewan yang ingin mengurus
SIM. Sebagaimana pengakuan petugas loket 5, bahwa ketika seorang anggota
dewan (DPRD) datang ingin memperoleh SIM, maka BGD tidak mewajibakan
anggota dewan tersebut untuk mengikuti prosedur resmi seperti mengikuti tes
teori dan praktek. Dalam kasus sepert itui, mengabaikan prosedur dalam
pelayanan SIM dapat ditolerir, karena mengingat kesibukan dari seorang anggota
dewan sehingga memperlakukan khusus semacam ini dapat dimaklumi oleh
semua pihak. Yang disayangkan jika BGD yang memperlakukan khusus seperti
ini memiliki tujuan lain, misalnya saja karena ingin memuaskan anggota dewan
sehingga tidak mampu menjalankan fungsi kontrolnya dengan baik terhadap
pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh lembaga tersebut. Jadi
ada semacam “pertukaran”, dewan telah dipuaskan sehingga dapat menutup
mata dan seolah-olah tidak tahu terhadap praktek-praktek pelayanan yang
berlangsung selama ini.
Berbeda halnya dengan perilaku memperlakukan khusus anggota TNI
dan wartawan. BGD yang memperlakukan khusus seperti ini cenderung
memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan tugas dari atasan, sehingga seringkali
peraturan dan prosedur dinomorduakan, dan bahkan diabaikan. Contohnya,
ketika seorang wartawan yang ingin memperpanjang SIM, ia tidak dikenakan
biaya administrasi dan juga tidak perlu melalui prosedur pengurusan SIM.
Dengan berbekal rekomendasi dari pimpinan, maka wartawan tersebut
mendapatkan pelayanan yang khusus.
246
Tumpang tindih perilaku diferensial yang muncul dalam pelayanan SIM
tidak hanya pada salah satu dari sebelas perilaku diferensial yang menjadi
perilaku dominan sebagai temuan dalam penelitian ini. Akan tetapi, ada juga
perilaku lain di luar dari sebelas perilaku diferensial sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam penelitian ini. Seperti misalnya ketika terjadi perilaku
mengabaikan terhadap WM, warga yang bersangkutan juga berusaha untuk
mencari jalan supaya proses penerbitan SIMnya bisa berjalan, antara lain adalah
dengan mencari kerabat yang dapat membantunya.
Apabila dirujuk dari awal, perilaku mengabaikan ini muncul dari interaksi
antara BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dan
WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga. Setelah WM berusaha
memenuhi semua persyaratan normal untuk memperoleh SIM, ia kemudian
berharap agar BGD yang melayaninya dapat memberikan pelayanan yang
memuaskan, karena dalam pandangan WM, sudah menjadi kewajiban BGD untuk
memberikan pelayanan yang baik, karena telah memperoleh gaji dari pemerintah,
dengan mana uang yang digunakan menggaji tersebut berasal dari rakyat baik
berupa pajak atau penerimaan negara lainnya di luar pajak. Dengan pandangan
seperti itu, maka WM tidak lagi berupaya memberikan uang imbal jasa atau uang
lebih terhadap BGD yang melayani. Sementara di satu sisi, BGD yang
dihadapinya justru berharap lain. Pelayanan yang diberikannya cenderung
dimaknai sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dari
pemaknaan yang demikian dari masing-masing pelaku interaksi, sehingga yang
kemudian muncul adalah perilaku mengabaikan dari BGD. Menghadapi BGD
yang berperilaku seperti itu, WM juga berupaya untuk memperoleh haknya untuk
mendapatkan SIM dengan berbagai cara, baik melalui upaya menanyakan
247
langsung kepada BGD maupun mencari kenalan yang dapat menolong untuk
memperlancar proses penerbitan SIM-nya.
Akibat dari perilaku mengabaikan ini, maka WM yang mengurus sendiri
SIM merasa diperlakukan secara tidak adil dalam pelayanan SIM. Bukan hanya
itu, bahkan unsur kualitas pelayanan publik yang lain juga tidak bisa terpenuhi.
Carlson & Schwarz (1995) sebagaimana dikutip oleh Denhardt & Denhardt (2003)
mengemukakan bahwa kualitas pelayanan sektor publik dapat dilihat dari 8 hal,
sebagai berikut: (1) convenience, yakni sejauh mana pelayanan publik dapat
diperoleh dengan cara yang menyenangkan, (2) security, yakni adanya jaminan
keamanan bagi warga masyarakat yang ingin memperoleh layanan, (3) reliability,
yakni sejauhmana pelayanan publik dapat dipercaya oleh masyarakat, (4)
personal attention, yakni sejauhmana BGD dapat memberi perhatian terhadap
WM yang dilayani, (5) problem-solving approach, yakni sejauhmana BGD dapat
menjadi solusi bagi warga yang membutuhkan pelayanan, bukannya menjadi
masalah bagi warga, (6) fairness, yakni sejauhmana pelayanan yang diterima oleh
warga dianggap adil bagi semua, (7) fiscal responsibility, artinya sejauhmana BGD
dapat mempertanggungjawabkan segala biaya dalam pelayanan publik, dan (8)
citizen influence, yakni sejauhmana WM merasa bahwa dirinya dapat
mempengaruhi kualitas pelayanan publik yang mereka peroleh dari pemerintah.
Khusus untuk perilaku menolak membayar, pada dasarnya memiliki nilai
positif terutama untuk perbaikan pelayanan publik. WM yang merasa telah
memenuhi semua kewajibannya dengan baik, seperti telah memenuhi semua
persyaratan administrasi untuk memperoleh SIM, dan juga telah mengikuti
prosedur dengan baik termasuk telah lulus dalam tes, baik teori maupun praktek,
maka ia akan berusaha menolak permintaan petugas yang mencoba untuk
248
memeras dirinya ketika telah memenuhi semua kewajiban di atas. Dengan
demikian, semakin banyak WM yang berani melakukan penolakan terhadap
permintaan BGD yang dinilai diluar ketentuan resmi (menyimpang), maka sedikit
demi sedikit kondisi pelayanan publik akan menjadi lebih baik. Karena dengan
adanya perilaku penolakan seperti ini dari WM, maka BGD juga akan berpikir dua
kali ketika akan memperlakukan WM diluar ketentuan resmi.
Perilaku menolak membayar ini menunjukkan adanya keberanian dari
warga masyarakat untuk melakukan protes terhadap perilaku aparat yang
dinilainya tidak sesuai aturan. Sekiranya warga masyarakat memiliki keberanian
seperti ini, maka lambat laun perilaku-perilaku disfungsional dari BGD dapat
berkurang dengan sendirinya. BGD juga akan merasa terdesak jika orang-orang
yang datang dapat berlaku kritis. Nampaknya hal ini sesuai pepatah ”jauh
panggang dari api”. Hal yang masih sangat sulit untuk dicapai, karena masih
banyak warga masyarakat yang mau gampangnya saja, asal ada uang, ia ingin
memperoleh layanan dengan cepat tanpa memikirkan bahwa tindakannya itu akan
merugikan warga lainnya yang ingin mengikuti prosedur.
Ketika warga masyarakat tidak mampu untuk melakukan penolakan atau
perlawanan terhadap BGD, perilaku yang kemudian muncul adalah perilaku
mogok (menghentikan proses pengurusan SIM). Dari hasil penelitian telah
diperoleh fakta bahwa terdapat banyak WM yang tidak melanjutkan pengurusan
SIM. Hal ini terbukti dari banyaknya berkas-berkas WM yang mengendap dimeja
petugas loket 6. Namun salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah penulis
tidak dapat mengamati langsung bagaimana proses terjadinya perilaku seperti ini.
Meskipun demikian, penulis dapat melakukan wawancara dengan warga
masyarakat yang pernah putus asa kemudian mogok mengurus SIM, yang
249
kemudian datang lagi mengurus SIM tetapi kali ini melalui calo. Dari hasil
wawancara dengan warga yang berperilaku seperti ini, diperoleh keterangan
bahwa dirinya tidak melanjutkan proses pengurusan SIM (mogok) karena tidak
lulus dalam ujian praktek sebanyak 2 kali, meskipun masih memiliki kesempatan
satu kali tes lagi, tetapi yang bersangkutan tidak berniat lagi melanjutkannya.
Ketika datang mengurus SIM untuk kedua kalinya, dia tidak ingin lagi mengurus
SIM sendiri, tetapi meminta bantuan calo.
Sementara itu, informasi yang diperoleh penulis dari petugas loket 6
diperoleh keterangan bahwa berkas-berkas dari WM yang tidak melanjutkan
proses pengurusan SIM (WM yang mogok), ada yang sudah berbulan-bulan
bahkan sudah bertahun-tahun tidak diurus lagi oleh pemiliknya. Akibatnya WM
yang mengurus SIM dirugikan dari segi uang dan waktu, tanpa memperoleh SIM.
Hal yang menarik dari perilaku seperti ini bahwa kebanyakan dari mereka telah
memperoleh SIM tetapi melalui prosedur yang tidak resmi. Artinya ketika ia putus
asa mengurus SIM melalui prosedur resmi, dengan tes teori dan praktek, maka
kemudian ia mencari jalan pintas dengan mengurus ulang SIM dengan melalui
calo, baik calo sipil ataupun calo birokrat.
Disamping beberapa perilaku diferensial yang telah penulis bahas di atas,
terdapat satu perilaku diferensial yang dianggap memenuhi kriteria kualitas
pelayanan publik yakni perilaku melayani. Idealnya memang dalam sebuah
interaksi dalam pelayanan publik, perilaku yang diharapkan dominan muncul
adalah perilaku melayani seperti ini. Dalam perilaku melayani, para pelaku
interaksi berusaha memenuhi semua hak dan kewajibannya dengan baik,
sehingga dengan demikian, maka aturan dan prosedur dapat dijalankan dengan
baik pula. Perilaku melayani adalah merupakan manifestasi dari potensi yang
250
dimiliki oleh setiap manusia untuk melakukan hal yang baik. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Gramscie dalam bukutnya ”Politik dan Hegemoni” sedikit
menyinggung tentang potensi manusia. Bahwa dalam diri manusia terdapat
potensi bawaan untuk melakukan hal baik. Tidak ada manusia yang memiliki sifat
jahat kecuali memang secara kejiwaan ditemukan ada kelainan (Gramscie, 1970).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya
perilaku diferensial yang muncul dalam interaksi antara BGD dan WM adalah
perilaku menyimpang atau tidak melalui prosedur, dengan kata lain merusak
sistem yang ada. Beberapa perilaku menyimpang yang dilakukan oleh BGD yang
cenderung mengaburkan aturan adalah perilaku sebagai calo dan memperlakukan
khusus korps tertentu. Khusus untuk perilaku mempersulit, meskipun tidak
melanggar aturan resmi, namun perilaku ini tidak dapat memenuhi kriteria kualitas
pelayanan publik yang baik, karena WM yang dilayani tidak dapat menikmati
pelayanan yang baik. Sedangkan perilaku melayani adalah merupakan satu-
satunya perilaku yang dapat dikategorikan sebagai perilaku pelayanan prima.
Sementara itu, beberapa perilaku yang sifatnya negatif yang dilakukan oleh
warga masyarakat, seperti perilaku mencari gampang dan menyogok, juga
memiliki andil dalam memperburuk kualitas pelayanan publik. Bentuk perilaku
diferensial tersebut, jika dianalisis termasuk kedalam upaya mencari jalan pintas
untuk memperoleh pelayanan. Dengan jalan pintas, berarti banyak prosedur yang
tidak ditaati oleh WM, yang justru dapat merugikan warga masyarakat lainnya
yang ingin memperoleh pelayanan SIM sesuai standar prosedur yang telah
ditetapkan. Warga masyarakat yang ingin mengurus SIM sesuai prosedur
seringkali merasa diperlakukan diskriminatif atau tidak adil oleh BGD dalam
251
pelayanan publik, karena lebih mendahulukan melayani WM yang memilih jalan
pintas tadi.
Perilaku menyimpang yang menjadi temuan penelitian ini sebenarnya
termasuk kedalam perilaku yang melanggar Kode Etik Profesi Polri, sesuai Surat
Keputusan Kapolri No. 32/2003 tanggal 1 Juli 2003 tentang Kode Etik Profesi
Polri. Didalam Kode Etik Profesi Polri mengandung tiga etika yang tercermin
dalam perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan
penyalahgunaan wewenang. Ketiga etika dimaksud adalah etika pengabdian,
etika kelembagaan, dan etika kenegaraan. Perilaku diferensial yang dianggap
melanggar kode etik profesi Polri dan etika kelembagaan antara lain adalah
perilaku superior, sebagai calo, mengabaikan, dan mempersulit. Perilaku ini
melanggar etika kelembagaan dan etika pengabdian. Seorang anggota Polri
dituntut untuk senantiasa mematuhi aturan kelembagaan, seperti mematuhi aturan
yang berlaku didalam pelayanan SIM. Demikian pula dalam hal etika pengabdian,
seorang anggota Polri seyogyanya menampilkan perilaku-perilaku pengabdian
yang tulus kepada negara dan bangsa, termasuk dalam hal pengabdiannya
kepada masyarakat didalam memberikan pelayanan SIM.
Meskipun demikian, nampaknya bahwa perilaku-perilaku diferensial yang
sifatnya menyimpang yang terjadi didalam birokrasi pelayanan publik, sebenarnya
tidaklah berdiri sendiri. Dalam arti bahwa perilaku tersebut hanya merupakan
sebagai suatu sebab dari perilaku lainnya. Untuk mengharapkan agar birokrasi
kita bersih dari perilaku-perilaku menyimpang, maka semua pihak harus bisa
memulai dari diri masing-masing untuk senantiasa berperilaku sesuai aturan,
karena pada prinsipnya peraturan dibuat untuk mengarahkan perilaku setiap
individu yang berinteraksi dalam pelayanan publik.
252
Manusia Indonesia pada dasarnya taat hukum, hanya keadaanya yang
sebenarnya yang membawa meraka untuk melanggar hukum. Bekerja dengan
jujur dan tidak bergaya hidup mewah. Sikap hedonis dan konsumtif juga
seringkali menjadi pemicu seseorang berlaku korup atau menyimpang. Sekiranya
semua orang dapat hidup sederhana, mensyukuri rezeki Allah SWT yang
diberikan kepadanya maka niscaya pelayanan publik akan baik di negara kita.
BGD tidak lagi akan berusaha memanfaatkan warga masyarakat, karena gaji yang
diterimanya dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang memang
sepantasnya. Fenomena yang terjadi bahwa banyak orang korup dan tidak jujur
dalam pelayan, hanya sekedar untuk berpoya-poya. Uang yang dikorupsinya
digunakan untuk hal-hal yang justru dapat merusak dirinya, dan bahkan terhadap
keluarganya. Celakanya lagi, bahwa perilakunya itu juga menyebabkan orang lain
menjadi senggara.
Berdasarkan hasil analisis penulis, dapat menyimpulkan bahwa beberapa
hal yang menyebabkan perilaku ini bisa terjadi antara lain sebagai berikut:
1. Tidak adanya standar pelayanan SIM yang tegas.
2. Pengawasan yang kurang, baik internal maupun eksternal,
3. Sistem rekrutmen anggota kepolisian yang masih buruk.
4. Gaji birokrat kepolisian yang masih kurang.
5. Faktor situasional maupun potensial.
6. Ketakutan ”mencari masalah” dengan atasan
7. Penerapan sanksi yang tidak tegas bagi BGD yang melanggar kode etik.
8. Pelayanan SIM yang monopoli dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
adalah lembaga kepolisian.
253
Pertama, tentang standar pelayanan publik. Dalam pelayanan SIM di Kota
Makassar, standar pelayanan publik yang telah ditetapkan belum menenuhi
semua kriteria sebagaimana yang disebutkan dalam Kepmenpan Nomor 63/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Standar pelayanan
publik sebagaimana yang disebutkan dalam Kepmenpan tersebut memuat
sekurang-kurangnya:
a. Prosedur pelayanan, yakni prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi
dan penerima pelayanan termasuk pengaduan;
b. Waktu penyelesaian, yakni waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat
pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk
pengaduan;
c. Biaya pelayanan, yakni biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang
ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan;
d. Produk pelayanan, yakni hasil pelayanan yang diterima sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan;
e. Sarana dan prasarana; penyediaan sarana dan prasarana yang memadai oleh
penyelenggara pelayanan publik, dan
f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan, yakni kompetensi petugas pemberi
pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian,
keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.
Dari keenam standar yang harus ditentukan oleh setiap penyelenggara
pelayanan publik tersebut di atas, nampak bahwa masih terdapat beberapa
standar ketentuan yang belum bisa dipenuhi oleh Satlantas Polwiltabes Kota
Makassar dalam penyelenggaraan pelayanan SIM. Ketentuan tentang prosedur
pelayanan, meskipun telah dibuat dan dipampang di luar gedung pelayanan SIM,
254
namun dalam kenyataannya prosedur tersebut belum bisa dipenuhi oleh petugas
maupun warga masyarakat. Dari beberapa PDf yang teridentifikasi, terbukti
bahwa pada umumnya memiliki kecenderungan untuk menyalahi ketentuan
prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Termasuk pula ketentuan tentang
prosedur pengaduan. Dalam pelayanan SIM, tidak terdapat ketentuan tentang
prosedur komplain yang dapat dilakukan oleh WM ketika menghadapi suatu
kesulitan atau ketidakpuasan dalam pelayanan SIM.
Berkaitan dengan ketentuan standar waktu penyelesaian pelayanan.
Dalam penyelenggaraan pelayanan SIM, belum ditetapkan ketentuan tentang
standar waktu penyelesaian pelayanan SIM. Padahal ketentuan tentang waktu
penyelesaian pelayanan ini adalah merupakan hal yang sangat penting untuk
diketahui oleh WM, agar WM yang mengurus SIM bisa memperoleh kepastian
waktu. Tujuannya adalah agar WM dapat merencanakan waktunya dengan baik,
dan dapat dijadikan sebagai dasar komplain ketika WM mengalami keterlambatan
dalam memperoleh pelayanan SIM.
Sedangkan menyangkut biaya/tarif pelayanan, meskipun telah ditetapkan
dan ditulis dalam papan pengumuman yang telah dipasang di depan gedung
pelayanan SIM, serta dalam leaflet yang dapat diperoleh oleh WM ketika akan
mengurus SIM, namun dalam prakteknya, biaya/tarif yang dibayar oleh WM untuk
mendapatkan sebuah SIM pada umumnya tidak sesuai dengan standar yang
ditetapkan, yakni Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk pemohon baru,
dan Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) untuk perpanjangan. Yang ada di
lapangan adalah Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) untuk SIM C dan
Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk SIM A. Padahal dalam
aturannya, baik untuk SIM C maupun SIM A besarnya biaya yang harus dibayar
255
oleh WM adalah sama, yang membedakan adalah apakah bermohon baru atau
perpanjangan.
Sedangkan berkaitan dengan produk pelayanan, pada umumnya warga
masyarakat telah merasa puas dengan kondisi SIM yang diperolehnya, dengan
mana telah memenuhi standar kualitas SIM yang baik. Kertas yang digunakan
memiliki kualitas yang baik sehingga dapat bertahan sampai lima tahun.
Sarana dan prasarana pelayanan SIM, nampaknya masih sering
dikeluhkan oleh masyarakat, terutama berkaitan dengan sepeda motor untuk
digunakan dalam ujian praktek tidak disediakan, material SIM (dalam hal ini
adalah kertas untuk mencetak SIM) yang sering habis dan mesin cetak yang
sering rusak. Tidak tersedianya sepeda motor untuk tes praktek mengendarai
seringkali menjadi hambatan dalam proses pengurusan SIM. Dalam
kenyataannya, tidak semua WM yang mengurus SIM C memiliki sepeda motor.
Beberapa dari WM yang mengurus SIM C sebenarnya tidak memiliki sepeda
motor, akan tetapi dia sering mengendarai sepeda motor yang dipinjam dari
teman atau sanak keluarganya. Demikian pula halnya dengan material berupa
bahan untuk mencetak SIM seringkali kehabisan, dan harus menunggu kiriman
dari pusat. Kondisi seperti ini acapkali dijadikan alasan oleh BGD, ketika meminta
sejumlah uang dari WM yang mengurus SIM. Seperti yang dialami oleh penulis
ketika melakukan pengamatan partisipatif. Saat itu, petugas dengan terang-
terangan meminta sejumlah uang kepada penulis dengan alasan untuk biaya
material. Padahal sebenarnya biaya material yang dimaksud sudah termasuk
dalam biaya administrasi yang telah dibayar oleh WM, yaitu sebesar Rp 75.000,-
untuk pemohon baru dan Rp 60.000,- untuk perpanjangan. Begitu pula dengan
mesin cetak SIM. Hanya terdapat satu buah mesin cetak SIM yang ada di lokasi
256
penelitian. Sementara jumlah WM yang mengurus SIM setiap harinya rata-rata
mencapai 250 orang. Kondisi seperti ini menyebabkan sehingga mesin cetak
seringkali macet atau tidak berfungsi. Karena seringnya mengalami macet, maka
pada dinding loket 9 terdapat sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa
”bagi WM yang sudah di foto SIM hari ini, dapat mengambil SIMnya besok, karena
mesin cetak lagi rusak”. Seorang WM yang berhasil penulis wawancarai
mengatakan bahwa pengumuman seperti itu sudah ada sejak dulu, jadi warga
tidak tahu kapan mesin baik, kapan rusak. Fenomena Ini juga berdampak pada
ketidakpastian mengenai waktu pelayanan.
Berkaitan dengan kompetensi petugas pemberi pelayanan, dalam hal
pengetahuan, keahlian dan keterampilan nampak telah memenuhi kriteria atau
standar, namun dalam hal sikap dan perilaku yang dibutuhkan dalam pelayanan,
nampaknya masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya
perilaku-perilaku menyimpang yang dilakukan oleh BGD ketika melayani WM.
Jadi dengan demikian, apabila dilihat dari keseluruhan standar pelayanan
publik yang seharusnya dipenuhi dalam pelayanan SIM, dapat disimpulkan bahwa
pelayanan SIM yang ada di Kota Makassar belum memenuhi kritieria
sebagaimana yang ditetapkan dalam Kepmenpan No. 63 Tahun 2003
sebagaimana disebutkan di atas.
Kedua, dari segi kontrol. Banyaknya perilaku-perilaku menyimpang dari
BGD maupun WM, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kontrol yang kurang, baik
internal maupun eksternal. Kontrol internal dapat dilakukan oleh pimpinan
organisasi penyedia layanan, dalam hal ini adalah oleh Kasatlantas. Kontrol
semacam ini dikenal dengan waskat (pengawasan melekat). Jika kontrol
semacam ini dapat berjalan dengan baik, maka bisa efektif dalam mengarahkan
257
perilaku BGD. Kontrol eksternal dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang ada di
luar sistem pelayanan SIM. Seperti oleh warga masyarakat, media massa dalam
hal ini oleh wartawan, lembaga Ombudsman, LSM, oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan lain-lain. Warga masyarakat dapat melakukan komplain
langsung kepada penyedia layanan jika memperoleh layanan yang tidak
memuaskan, atau dapat melalui lembaga Ombudsman ataupun melalui DPRD.
Khusus untuk lembaga Ombudsman, dewasa ini hanya baru ada pada tingkat
pusat dan itupun belum menampakkan “taringnya” untuk dapat mempengaruhi
lembaga penyedia layanan publik yang ada di daerah agar dapat memberikan
pelayanan yang memuaskan. Oleh karena itu, diharapkan agar setiap daerah
dapat membentuk lembaga Ombudsman masing-masing agar dapat berfungsi
lebih efektif dan efisien. Karena dengan kedudukannya di daerah, diharapkan
akan lebih memahami bagaimana kondisi pelayanan publik yang ada, sehingga
fungsinya dapat lebih optimal.
Ketiga, dari segi rekrutmen anggota kepolisian. Rekrutmen anggota
kepolisian dewasa ini masih dinilai sangat buruk. Ada fenomena yang muncul di
lapangan, dalam rekrutmen anggota kepolisian, ternyata para calon polisi harus
merogoh kantongnya dengan dalam untuk membayar setiap prosedur yang
dilaluinya. Bahkan terdapat sinyalemen yang mengatakan bahwa setiap anggota
Polri minimal harus mengeluarkan uang sebesar empat puluh juta untuk bisa lulus
sebagai anggota kepolisian, sehingga ketika mereka diterima akan berusaha
untuk mendapatkan uangnya kembali. Nampaknya pernyataan tersebut ada
benarnya, karena dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PERC (Political
and Economic Risk Concultancy), nama sebuah lembaga riset di Hongkong
menilai citra polisi Indonesia sangat buruk dibanding polisi di negara lain (Khoidin
258
dan Sadjijono, 2006: 9). Hal tersebut diperkuat oleh hasil survei TII (Transparansi
Internasional Indonesia) bahwa Polri merupakan salah satu lembaga terkorup di
Indonesia, selain DPR, Partai Politik dan Lembaga Peradilan (Kompas, 6 Januari
2007).
Keempat, dari segi gaji. Gaji yang masih rendah dari para birokrat
kepolisian khususnya setingkat dengan BGD yang melayani SIM. Gaji yang
rendah ini boleh jadi menjadi pemicu sehingga BGD yang bertugas melayani WM
yang mengurus SIM cenderung ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari
pelayanan yang diberikannya. Gaji yang rendah, dengan kondisi harga kebutuhan
pokok yang terus melambung akhir-akhir ini, membuat kehidupan setiap birokrat
pemerintah termasuk birokrat kepolisian menjadi sulit. Mereka yang memiliki
peluang untuk mendapatkan uang tambahan diluar gaji cenderung memanfaatkan
peluang tersebut, kendati diluar batas norma dan etika yang ada. Seperti
misalnya dalam perilaku sebagai calo yang ditampilkan oleh BGD. Meskipun
perilaku tersebut tidak sesuai norma dan etika, serta melanggar aturan yang ada,
namun dalam kenyataannya telah membudaya dalam pelayanan SIM. Budaya
seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya permisif, yakni suatu budaya yang
sebenarnya tidak dibenarkan dari segi etika dan norma agama, namun ternyata
dapat diterima dan disepakati oleh komunitas yang ada dalam masyarakat
tersebut, dan dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa karena seringnya
didengar atau dilakukan.
Meskipun demikian, tidak selamanya gaji merupakan hal yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam teori kebutuhan yang dikemukakan
oleh McClelland, yang membagi tiga kebutuhan (1) nAch, need for achievemen,
(2) nPow, need for power, dan (3) nAff, need for affiliation. Dalam kaitan dengan
259
pelayanan publik, teori nAch dan nAff ini sangat erat kaitannya. Seseorang akan
melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien adalah karena kebutuhan
akan prestasi. Demikian pula halnya dengan nAff, seorang BGD yang memiliki
kebutuhan nAff yang kuat cenderung akan menjalin hubungan antarpribadi yang
ramah dan akrab, yang nampak dari perilakunya yang sopan dan santun terhadap
siapa saja yang dilayaninya.
Kelima, dari faktor situasional maupun potensial. Ada hal menarik
berdasarkan hasil analisis penulis, bahwa perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh
pihak birokrat kepolisian juga disebabkan karena faktor situasional maupun
potensial. Berkaitan dengan faktor situasional, berbagai perilaku muncul karena
faktor situasional ini. Contoh paling kuat adalah perilaku sebagai calo. Karena
warga yang mengurus SIM tidak memiliki waktu luang dan juga awam terhadap
pelayanan SIM, maka birokrat garis-depan memanfaatkan situasi seperti ini
sebagai peluang yang besar untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sedangkan
dari faktor potensial, dapat dilihat dari bentuk tes praktek yang diberikan. Tes
praktek mengendarai pada dasarnya memang sangat berpotensi untuk dijadikan
sebagai peluang meraup keuntungan yang besar dari warga masyarakat yang
mengurus SIM. Sebagaimana telah dijelaskan berkali-kali pada bab-bab
sebelumnya bahwa tes praktek mengendarai terkesan sangat mengada-ada dan
dijadikan sebagai “jebakan” bagi warga yang mengurus SIM, sehingga warga
masyarakat yang punya waktu sekali pun, tetap juga memilih jalan pintas ini untuk
mengurus SIM.
Apa yang terjadi kemudian? Dalam realitas lapangan, data yang
diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata jumlah warga masyarakat yang mengurus
SIM C setiap hari kerja mencapai lebih dari 150 orang (lihat tabel 3.1 halaman
260
104), namun yang nampak mengikuti tes praktek hanya beberapa orang saja. Hal
ini dapat penulis ketahui berdasarkan pengamatan di lapangan tempat praktek,
sangat jarang ada warga yang terlihat mengikuti tes praktek. Fenomena seperti
ini memberikan informasi kepada setiap orang bahwa bukankah dengan tidak
mengikuti tes praktek berarti warga tersebut mencari jalan pintas, apakah karena
“terpaksa” ataukah karena kondisi yang bersangkutan tidak memungkinkan. Dari
prosedur yang sebenarnya ujian praktek merupakan salah satu persyaratan
memperoleh SIM.
Banyak hal yang dapat dijelaskan dari karena “terpaksa” di sini. Pertama,
“terpaksa” dalam arti bahwa masyarakat membayar petugas dengan terpaksa.
Sebagai contoh, dalam perilaku “menyogok”. Warga masyarakat sebenarnya
ingin mengurus SIM, tetapi karena terhambat oleh tes praktek yang sangat sulit
baginya, maka masyarakat menyogok petugas. Meskipun dalam pandangan
masyarakat tersebut bahwa bentuk tes praktek terlalu sulit dan tidak sesuai
realitas jalan raya, namun warga tidak berdaya untuk memprotes hal itu. Disini
juga menunjukkan posisi warga yang lemah dalam memperoleh pelayanan SIM.
Kedua, “terpaksa” dalam arti kalau dia tidak mengikuti permintaan birokrat
garis-depan yang melayaninya, maka dia akan terkendala. Contohnya dalam
perilaku “mempersulit”. Warga masyarakat tidak memiliki pilihan lain kecuali
tunduk dan patuh terhadap apa yang diminta oleh birokrat garis-depan yang
melayaninya. Kasus seperti terjadi dari hasil interaksi antara BGD yang bergaya
negosiasi intimidasi dengan warga masyarakat yang bergaya negosiasi
kerjasama.
Sedangkan untuk kondisi yang tidak memungkinkan bagi warga sehingga
mencari jalan pintas dapat kita lihat dalam perilaku sebagai calo. Karena warga
261
masyarakat tidak memiliki waktu yang cukup disebabkan oleh karena
kesibukannya yang lain sehingga dia tidak ingin mengurus sendiri SIM, maka dia
mencari petugas yang berperilaku sebagai calo untuk menguruskan semua
proses untuk mendapatkan SIM.
Kecenderungan perilaku seperti ini sebenarnya dapat mengaburkan
peraturan dan prosedur pelayanan SIM yang sebenarnya. Terlebih lagi karena
perilaku semacam ini sepertinya telah menjadi “budaya permisif”. Dalam arti
bahwa sebenarnya hal tersebut tidak dibenarkan dari segi etika dan moral, namun
karena telah menjadi kebiasaan dalam pelayanan SIM, maka seakan-akan telah
dibenarkan oleh kedua belah pihak yang berinteraksi. Sehingga lambat laun hal
tersebut telah menjadi “budaya” dalam pelayanan SIM.
Keenam, ketakutan ”mencari masalah” dengan atasan. Adanya perilaku
memperlakukan khusus korps tertentu, terutama terhadap wartawan adalah
merupakan salah satu bukti adanya ketakutan BGD mencari masalah dengan
atasan. Ketika seorang wartawan yang nota bene memiliki hubungan erat dengan
atasan mereka ingin mengurus SIM, maka BGD memperlakukan khusus
wartawan tersebut, yang sebenarnya melanggar prosedur dan aturan yang ada.
Sebagaimana pengakuan dari wartawan, bahwa dirinya bahkan tidak diwajibkan
membayar biaya administrasi untuk mendapatkan SIM yang dibutuhkannya,
terlebih lagi mengenai tes teori dan tes praktek. Ketika atasan memerintahkan
untuk memberikan pelayanan khusus, maka peraturan menjadi nomor dua, yang
penting bagi BGD adalah bagaimana memberikan kepuasan kepada atasan dan
juga pihak yang direkomendasikan dalam hal ini adalah wartawan.
Ketujuh, penerapan sanksi yang tidak tegas. Birokrat yang melakukan
diskresi yang menyimpang dari standar aturan yang telah ditetapkan, rupanya
262
tidak memperoleh sanksi dari atasan. BGD selaku pelaksana kebijakan
cenderung menerjemahkan aturan sesuai dengan keinginannya. Misalnya dalam
menjalankan aturan sebagaimana yang diatur dalam PP No. 44/1993 tentang
SIM, khusus mengenai tes praktek, karena tidak ada secara tegas mengenai
bagaimana tes itu dilakukan, maka BGD cenderung membuat kebijakan sendiri,
yang nampaknya sangat menyulitkan warga masyarakat. Hasil pengamatan
lapangan menunjukkan bahwa perilaku semacam ini terus berlanjut tanpa adanya
sanksi yang tegas dari pimpinan atau pihak terkait.
Kedelapan, pelayanan SIM yang monopoli dilakukan oleh pemerintah.
Monopoli pelayanan seperti ini membuat pelayanan publik tidak bisa diharapkan
dapat berkualitas. Apabila terjadi sikap putus asa lantas exit seperti ini, warga
masyarakat tidak memiliki choice untuk mendapatkan pelayanan yang sama.
Kondisi seperti ini nampaknya dimanfaatkan oleh para petugas birokrat garis-
depan, karena menanggap bahwa warga masyarakat tidak memiliki pilihan
(choice) yang lain untuk memperoleh pelayanan, sehingga masyarakat sangat
bergantung kepadanya, lantas kemudian mereka dapat berperilaku sekehendak
hatinya. Akhirnya banyak kita jumpai BGD yang berperilaku pangreh praja dan
bukannya pamong praja. Terlebih lagi jika tidak didukung oleh moral yang baik
serta pengawasan yang ketat baik pengawasan internal maupun eksternal, maka
dapat dipastikan bahwa hampir semua pelayanan publik yang ada akan ditemui
perilaku yang tidak akuntabel dan berkeadilan.
Dari aneka ragam bentuk perilaku diferensial yang muncul dari hasil
interaksi antara gaya-gaya negosiasi BGD dengan gaya-gaya negosiasi WM,
kecenderungannya mengaburkan aturan dan prosedur, sehingga prosedur
263
pelayanan SIM berlangsung sesuai dengan pemaknaan dari masing-masing
individu yang berinteraksi.
6.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan Dari Perilaku Diferensial
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, perilaku-perilaku diferensial
seperti sebagai calo, mencari gampang, memperlakukan khusus korps tertentu,
dan perilaku menyogok, kesemuanya adalah termasuk perilaku yang
menyebabkan kaburnya persyaratan dan prosedur pelayanan SIM. Disamping
menimbulkan cacat prosedur (malprosedur), perilaku-perilaku tersebut juga
berdampak buruk terhadap WM lainnya. WM yang ingin mengurus SIM melalui
prosedur resmi merasa dirugikan karena cenderung mendapat perlakuan
mengabaikan, atau dinomorduakan dalam pelayanan. Adanya perilaku seperti ini
juga dapat menimbulkan kesan diskriminatif bagi pengguna jasa layanan, karena
hanya mereka yang menyogok petugas, membayar lebih, atau yang memiliki
kenalan yang dilayani dengan baik, sedangkan mereka yang berasal dari WM
biasa tidak dapat memperoleh pelayanan yang baik dalam arti normal.
Temuan tentang perilaku yang bersifat interaktif tidak dapat dikatakan
sebagai perilaku yang dapat mendukung kualitas pelayan publik, sekalipun kedua
belah pihak (BGD dan WM) merasa diuntungkan dari perilaku tersebut. Beberapa
perilaku yang meskipun menguntungkan kedua belah pihak (BGD dan WM)
namun merugikan pihak lain termasuk institusi pelayanan yang bersangkutan.
Misalnya perilaku menyogok, jika dilihat dari untung rugi maka menguntungkan
keduanya, disatu sisi masyarakat mendapatkan pelayanan yang cepat,
sementara di sisi lain BGD mendapatkan imbalan berupa uang ekstra atas
pelayanan yang diberikan. Akan tetapi perilaku seperti ini tidak dibenarkan karena
264
dapat mengakibatkan malprocedural. Artinya bahwa warga yang mencoba untuk
menyogok BGD dalam pelayanan publik, dapat mengabaikan persyaratan
administrasi ataupun prosedur pelayanan yang seharusnya dilalui. Sehingga dari
segi prosedural, hal tersebut melanggar aturan, dan dianggap tidak mampu untuk
memenuhi persyaratan untuk memperoleh SIM.
Demikian pula halnya dengan perilaku memperlakukan khusus korps
tertentu, seperti wartawan, anggota Dewan dan anggota tentara. Pola hubungan
ini didasarkan pada status tertentu dari publik yang dilayani yang akhirnya
melahirkan diskriminasi pelayanan. Perilaku ini pada prinsipnya dapat
menguntungkan kedua belah pihak (petugas dan WM). Warga yang berasal dari
korps tersebut di atas mendapatkan kemudahan dalam pelayanan SIM tanpa
harus melalui prosedur formal dan bahkan terdapat kasus dimana anggota korps
tersebut tidak dikenakan biaya administrasi pengurusan SIM. Seperti pengakuan
wartawan, bahwa dirinya tidak dikenakan biaya administrasi untuk memperoleh
SIM penggantian. Kasus seperti ini dapat merugikan negara karena
berkurangnya pendapatan negara bukan pajak (PNPB). Perilaku ini dapat
menguntungkan BGD karena anggota korps yang dibantu tersebut tidak lagi
menjadi kritis terhadap praktek-praktek yang terjadi dalam pelayanan SIM.
Mereka seakan menutup mata dan telinga atas kejadian yang ada, karena merasa
berhutang budi pada BGD yang telah memberikan pelayanan yang mudah.
Sehingga dengan demikian, perilaku-perilaku negatif yang telah berkembang
menjadi sebuah budaya yang dapat tetap berlangsung tanpa campur tangan dari
pihak yang dianggap memiliki power untuk menghilangkannya. Di lain pihak,
perilaku customization terhadap korps tertentu menimbulkan sikap tidak adil atau
diskriminatif terhadap warga lain yang bukan berasal dari korps tersebut.
265
Perilaku diskriminasi dalam pelayanan bukan saja terjadi dalam pelayanan
SIM di Kota Makassar, akan tetapi juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Seperti hasil survey yang dilakukan oleh Tim Pelembagaan Citizens’ Charter
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM di tiga kota: Blitar (Jawa
Timur), Ambara (Jawa Tengah) dan Kota Jogjakarta (DIJ), hasilnya menunjukkan
bahwa di Jogjakarta misalnya, terjadi diskriminasi pelayanan dalam pembuatan
akte kelahiran terjadi pada WNI keturunan (China). Pada formulir pendaftaran
ada pembedaan kode (C) untuk keturunan China. Meskipun pengajuan akte
bersamaan dengan pemohon yang lain, namun karena yang bersangkutan WNI
keturunan, maka diperlakukan secara disktriminatif (Jawa Pos, 2004). Dengan
demikian, maka perlakuan diskriminatif ini tidak dapat memenuhi prinsip keadilan
dan persamaan hak dalam pelayanan publik.
Jika ditinjau dari segi normatif, sesungguhnya telah diatur dalam UU No.
43/1999 pasal 3 ayat 2 dan 3, yakni ”pegawai negeri harus netral dari pengaruh
semua golongan dan partai politik, serta tidak diskriminatif dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas pegawai negeri
dilarang menjadi anggota/atau pengurus Partai Politik. Dengan demikian, apabila
setiap pegawai negeri sipil termasuk birokrat kepolisian dapat menghayati dengan
baik makna UU tersebut, maka akan tercipat perlakuan dan persamaan hak dalam
pelayanan publik.
Sementara itu, munculnya perilaku mencari gampang dari WM sebenarnya
lebih dipicu oleh adanya prosedur yang berbelit-belit yang sangat sulit dipenuhi
oleh WM untuk memperoleh SIM. Adanya bentuk tes praktek yang sulit untuk
dilalui, sehingga kemudian WM berupaya mencari jalan pintas untuk memperoleh
SIM. Di satu sisi, BGD telah siap dengan perilaku sebagai calo. Dan bahkan, dari
266
pihak sipil juga banyak menangkap fenomena ini sebagai peluang untuk
memperoleh keuntungan, dengan bertindak sebagai calo dalam pelayanan SIM.
Sehingga kemudian muncul banyak calo dalam pelayanan SIM.
Fenomena banyaknya calo dan banyaknya WM yang menggunakan calo
untuk memperoleh suatu layanan sebenarnya telah menjadi indikasi yang kuat
bahwa pelayanan publik yang ada dalam pelayanan SIM sangat tidak memuaskan
oleh WM. Mengapa dikatakan tidak memuaskan? Karena apabila suatu
pelayanan publik memuaskan WM, maka WM akan antusias untuk memperoleh
layanan yang dibutuhkan tanpa melalui perantara atau tanpa menyogok petugas.
Namun apa yang terjadi di lapangan, bahwa pada umumnya WM yang mengurus
SIM menempuh jalan pintas atau berperilaku sebagai pembeli jasa layanan.
Hal ini diperkuat oleh data sekunder yang diperoleh tentang jumlah warga
yang mengurus SIM C setiap harinya untuk tiga tahun terakhir sangatlah banyak.
Apabila dirata-ratakan, maka dalam sehari dapat mencapai 150 orang (lihat
lampiran 1). Namun dari hasil pengamatan lapangan, terdapat temuan yang
menarik, bahwa hanya sekitar 5 orang saja setiap hari, itu pun kalau ada, warga
yang mengikuti tes praktek di lapangan. Selama dalam melakukan penelitian,
kondisi ini tidak pernah berubah. Fenomena semacam ini lalu kemudian
memunculkan pertanyaan analitik. Kemana yang lainnya? bukankah salah satu
persyaratan untuk memperoleh SIM adalah terampil mengemudi sepeda motor
yang dapat diketahui lewat tes teori dan tes praktek.
Fenomena ini dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pada umumnya
masyarakat memperoleh SIM dengan cara tidak prosedural. Kenapa dikatakan
tidak prosedural? Karena terbukti hanya sedikit warga masyarakat yang
mengikuti tes teori dan tes praktek di lapangan. Seandainya mereka mengurus
267
SIM sesuai prosedur yang berlaku berarti harus melewati tes teori dan tes praktek
tadi. Seharusnya yang terjadi adalah lapangan yang dipersiapkan untuk tes
praktek selalu ramai digunakan oleh WM yang mengikuti tes praktek. Karena data
yang ada menunjukkan bahwa rata-rata jumlah warga yang mengurus SIM C
setiap harinya lebih dari 150 orang. Data tiga tahun terakhir sebagai berikut:
tahun 2004 jumlah warga yang mengurus SIM C adalah 54467 (baru = 39279,
perpanjangan = 15188), tahun 2005 adalah 49091 orang (baru = 32287,
perpanjangan = 16804), dan tahun 2006 adalah 57837 orang (baru = 35229,
perpanjangan 22608). Jika dirata-rata setiap hari, maka untuk tahun 2004 jumlah
warga kota yang mengurus SIM C adalah 54467 orang / 365 hari = 149,2 orang
per hari. Untuk tahun 2005 adalah 49091 orang / 365 hari = 134,5 orang per hari.
Sedangkan untuk tahun 2006 rata-rata jumlah warga kota yang mengurus SIM C
setiap harinya adalah sebanyak 57837 orang / 365 hari = 158,5 orang per hari.
Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1. Meskipun untuk WM yang
memperpanjang SIM C tidak perlu lagi mengikuti tes teori dan tes praktek (apabila
masa berlaku SIM tidak lewat dari 1 tahun), namun dari data di atas terlihat bahwa
jumlah WM yang memperpanjang kurang dari separuh dari jumlah WM yang
bermohon baru. Ini berarti bahwa lebih banyak WM yang bermohon baru
dibandingkan dengan WM yang memperpanjang SIM. Oleh karenanya, maka
seharusnya banyak pula WM yang mengikuti tes praktek di lapangan. Bukankah
kalau mengurus baru diwajibkan untuk ikut tes teori dan praktek?
Perilaku-perilaku yang muncul dengan ”memanfaatkan” peraturan yang
ada sebenarnya dapat mengakibatkan berbagai kerugian terutama terhadap
pengguna jasa layanan. Peraturan dengan mengikut tes yang dirancang
sedemikian rupa di satu sisi bisa positif dan di sisi lain bisa negatif. Sisi positifnya
268
adalah bahwa hanya mereka yang memiliki keterampilan tinggi yang dapat lulus
sehingga memenuhi persyaratan untuk mengantongi SIM. Dampaknya adalah
bahwa kondisi jalan raya akan aman dan lancar, karena orang-orang yang
berkendara adalah orang yang ahli dan mahir. Sisi negatifnya adalah warga akan
merasa takut untuk mengikuti tes karena takut tidak lulus. Kondisi ini
dimanfaatkan oleh petugas untuk meraup keuntungan dari warga kota yang takut
tes, sehingga meskipun seseorang tidak terampil mengendarai sepeda motor,
mereka juga dapat memperoleh SIM apabila mau membayar petugas.
Dampaknya adalah kondisi jalan raya akan rawan kecelakaan karena mereka
yang berkendara tidak ahli sekalipun mempunyai SIM. Ini berarti akan merugikan
warga kota itu sendiri.
Jika hal tersebut dibiarkan terus berlanjut, maka kondisi jalan raya akan
semakin rawan kecelakaan. Karena warga kota yang memiliki SIM sebenarnya
tidak mempunyai keterampilan mengendara dan tidak memahami rambu-rambu
lalu lintas dengan baik. Jadi dampak dari perilaku sebagai calo pada pengurusan
SIM ini sangat besar bagi masyarakat pengguna jalan. Meskipun semua warga
kota yang memiliki kendaraan telah mempunyai SIM, tetapi kenyataannya mereka
belumlah ahli dalam berkendara sehingga kecelakaan lalulintas di jalan raya
hampir tiap hari terjadi. Sopir ”pete-pete” berhenti di sembarang tempat, apakah
itu dipersimpangan jalan menaikkan dan menurunkan penumpang, atau
memotong kendaraan yang ada di depannya apabila melihat calon penumpang
berdiri di pinggir jalan. Pemandangan seperti ini sangat sering kita lihat di Kota
Makassar. Sopir yang demikian sebenarnya belumlah pantas untuk memperoleh
SIM, karena tidak dapat mematuhi peraturan berlalulintas dengan baik. Mereka
ugal-ugalan di jalan raya, sehingga mengganggu pengguna jalan lainnya. Inilah
269
antara lain dampak yang ditimbulkan dari perilaku sebagai calo dari birokrat garis-
depan, yang barangkali tidak disadari oleh pelakunya. Dari hasil keuntungan yang
diperolehnya, menanti kerugian yang lebih besar dikemudian hari. Ini merupakan
salah satu contoh kecil dari perilaku sebagai calo para pejabat birokrat, yang
dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Dengan demikian, maka yang diharapkan sebenarnya adalah petugas
yang melayani pemberian SIM dapat menerapkan aturan secara tegas dengan
format tes praktek mengendarai sesuai dengan kondisi riil jalan raya, sehingga
WM yang telah mahir mengendarai sepeda motor di jalan raya tidak lagi merasa
takut untuk mengikuti tes teori dan praktek. Ketika WM ramai-ramai mengurus
SIM sesuai prosedur resmi, maka tidak akan lagi calo sipil yang berkeliaran di
sekitar gedung pelayanan SIM, tidak ada lagi BGD yang berperilaku sebagai calo,
tidak ada lagi WM yang berperilaku mencari gampang, tidak akan ada lagi WM
yang berusaha untuk menyogok petugas, dan perilaku-perilaku menyimpang
lainnya akan tereliminir dengan sendirinya.
Jadi kuncinya sebenarnya adalah bagaimana membuat prosedur
pelayanan SIM menjadi singkat dan tes yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan
WM. Kebutuhan WM yang dimaksud disini adalah bahwa tes tersebut didesain
sesuai dengan kondisi riil jalan raya. Seperti WM tidak pernah dilarang untuk
menurunkan kakinya ketika mengalami ketidakseimbangan dalam mengendarai
sepeda motor. WM tidak pernah diminta untuk melakukan ziq-zaq di jalan raya,
bahkan yang ada adalah larangan untuk melakukan ziq-zaq. Boleh ada format tes
ziq-zaq, tapi tidak seperti yang dilakukan dalam tes praktek yang ada selama ini,
dengan mana WM diminta untuk melakukan ziq-zaq sebanyak kurang lebih 8 kali
dengan jarak tiang kurang dari dua meter, sementara diberi batas luar yang
270
sangat sempit. Siapa pun orangnya tidak akan pernah bisa melewati tes
semacam itu, kecuali mereka yang benar-benar telah berlatih sebelumnya untuk
tes seperti itu. Sebenarnya tes ziq-zaq ada benarnya, jika dilakukan secara
normal dan masuk akal seperti yang disarankan tadi. Karena memang ketika
seorang mengendarai sepeda motor, ada saat-saat dimana WM harus membuat
ziq-zaq untuk melewati pengendara lainnya yang dianggap lamban sehingga
menghambat perjalanannya. Namun kondisinya tidaklah seperti yang ada dalam
tes praktek dalam pengurusan SIM selama ini.
Dengan demikian, maka sebenarnya tujuan untuk memberikan tes ziq-zaq,
membuat lingkaran, dan tanjakan sebagai persyaratan lulus untuk memperoleh
SIM ada benarnya, karena hal tersebut seringkali harus dilakukan oleh WM ketika
mengendarai sepeda motor. Namun dalam pelaksanaannya kemudian, BGD
yang bertugas memberikan tes praktek ini cenderung menerapkan aturan dengan
sangat ketat dan bahkan di luar batas kewajaran, sehingga warga masyarakat
yang mengikuti tes sangat jarang yang lulus dalam tes praktek. Fenomena
semacam ini sebenarnya menunjukkan bahwa peraturan harus mengikuti tes teori
dan praktek bertujuan untuk meminimalkan kecelakaan di jalan raya, karena
hanya mereka yang terampil mengendarai yang bisa lulus tes. Namun kemudian
aturan tersebut disalahgunakan oleh BGD, dengan menerapkan peraturan
dengan sangat ketat dan tidak sesuai dengan kondisi riil jalan raya. Tetapi yang
terjadi kemudian adalah ketika WM membayar petugas, maka tes semacam ini
justru dihilangkan dan tidak lagi menjadi sebagai sebuah persyaratan yang harus
dipenuhi oleh WM. Disinilah sebenarnya ketidakadilan dan ketidakkonsistenan
dari BGD dalam memberikan pelayanan SIM.
271
Akibat dari semua itu, fenomena yang kemudian muncul adalah banyak
calo dalam pelayanan SIM. Ketika WM melalui calo untuk memperoleh SIM,
maka WM tidak lagi mengikuti tes teori dan tes praktek. BGD yang berperilaku
sebagai calolah yang menjawab soal-soal tes teori. Fenomena semacam ini
sebenarnya merupakan hal yang sangat menggelikan, karena seharusnya BGD
yang bertugas mengawasi peserta ujian, malah dia yang harus menjawab soal-
soal. Ada semacam perilaku menipu dan membodohi diri sendiri, bahkan
terhadap warga masyarakat. Seharusnya warga masyarakat mengikuti tes teori
agar mereka dapat memahami secara teori bagaimana sebaiknya berperilaku di
jalan raya, namun hal ini tereliminasi hanya karena sesuatu yang bernama ”uang”.
Penulis teringat ungkapan yang dilontarkan oleh seorang penyair yang bernama
Gothe bahwa: ”tiada yang lebih mengerikan didunia ini dibanding dengan
kebodohan yang sedang beraksi”. Nampaknya apa yang disebut oleh Gothe
tersebut telah banyak terjadi di dalam birokrasi kita. Banyak orang tidak lagi
memikirkan apa dampak dari perilakunya ketika ia dihadapkan pada pilihan antara
integritas dan uang. Uang seringkali membuat orang tidak lagi berpikir rasional.
Misalnya seorang BGD rela berperilaku sebagai calo untuk mendapatkan
keuntungan berupa uang.
6.3 Aktor Dominan yang Menjadi Penentu Perilaku Pelayanan
Sebagaimana temuan penelitian dalam bab 5 sub-bab 5.3 tentang aktor
dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan, menunjukkan adanya
dominasi BGD dalam menentukan perilaku pelayanan. Dominasi seperti ini
menyebabkan posisi WM berada dalam kondisi yang sangat lemah, dalam arti
bahwa WM tidak memiliki posisi tawar dalam pelayanan publik, terutama dalam
272
hal bentuk format tes yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini mengindikasikan
bahwa pelayanan SIM yang diselenggarakan oleh lembaga kepolisian dalam hal
ini adalah Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar tidaklah memuaskan WM.
Temuan penelitian tentang ketidakberdayaan WM dalam pelayanan SIM
boleh jadi disebabkan karena adanya monopoli dalam pelayanan SIM. Dengan
demikian, maka temuan ini sesuai dengan pandangan Stahl (1984: 35) yang
mengatakan bahwa ketidakberdayaan masyarakat terhadap pelayanan publik
selama ini disebabkan karena pada umumnya pelayanan publik bersifat monopoli
dilakukan oleh birokrasi pemerintah. Sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan
lain (choice) terhadap pelayanan publik. Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh
BGD yang memiliki orientasi keuntungan. Dari temuan ini terbukti bahwa
beberapa perilaku diferensial yang muncul dari hasil interaksi GGN BGD dan WM
kebanyakan merugikan pihak WM selaku penerima layanan. Akan tetapi,
masyarakat tidak dapat merespons pelayanan yang tidak sesuai dengan
harapannya melalui exit (Hirschman, 1970).
Respons exit (menghindar) tidak dapat dilakukan ketika WM tidak puas
dengan pelayanan SIM yang diperolehnya dengan jalan mencari alternatif
(choice) pelayanan SIM di tempat yang lain. Respons exit semacam ini tidak
akan mungkin dilakukan karena tidak ada pilihan lain dari warga untuk
memperoleh pelayanan SIM seperti ini. Karena dari segi makro struktural,
pelayanan SIM memang telah ditetapkan sebagai pelayanan yang monopoli
dilakukan oleh Lembaga Kepolisian, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002, Pasal 15 ayat (2) point c berbunyi “Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang
memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor”.
273
Namun demikian, warga masyarakat dapat menggunakan bentuk respons
kedua yakni voice ketika merasa bahwa pelayanan yang diterimanya tidak sesuai
dengan harapannya. Respons voice (bersuara) dapat dilakukan melalui keluhan-
keluhan atau komplain terhadap birokrasi pelayanan apakah langsung kepada
birokrasi pelayanan atau saluran-saluran bersuara lainnya seperti Lembaga
Konsumen Indonesia, Komisi Ambudsman, dan lain-lainnya. Menurut Hirschman,
bersuara bagi warga masyarakat atau konsumen ini adalah bertujuan untuk
mengubah praktek, kebijakan dan output dari perusahaan yang produk atau
jasanya mereka beli, atau mengubah organisasi tempat mereka berada
(Hirschman dalam Parsons, 2001).
Dari segi prinsip-prinsip pokok dalam pelayanan publik, meskipun
pelayanan SIM dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah (monopoli) dalam hal ini
adalah birokrasi kepolisian, namun tentunya tidak dapat mengabaikan prinsip-
prinsip pokok dalam pelayanan publik agar dapat berkualitas, terutama prinsip
profitabilitas dan akuntabilitas. Dalam pandangan Islamy (2000: 25) prinsip
profitabilitas, bahwa proses pelayanan seharusnya dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien serta memberikan keuntungan ekonomi bagi pemerintah dan
birokrat garis-depan tetapi juga bagi masyarakat luas. Keuntungan ekonomi bagi
pemerintah di sini telah dapat terpenuhi melalui biaya administrasi SIM sebesar
Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk SIM baru dan Rp 60.000,- (enam
puluh ribu rupiah) untuk SIM perpanjangan. Biaya administrasi tersebut disetor
kepada negara dan merupakan salah satu bentuk Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Dengan demikian, maka sudah selayaknya pemerintah dalam hal
ini adalah birokrat kepolisian yang memberikan pelayanan SIM dapat melayani
dengan baik warga masyarakat yang mengurus, karena mereka telah digaji oleh
274
warga masyarakat untuk melakukan tugasnya. Mereka tidak sepantasnya lagi
memeras warga untuk memperoleh keuntungan pribadi. Sebagaimana dalam
pandangan Islamy (2000: 25) bahwa aparat birokrat garis-depan selayaknya
menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pelayanan publik, yakni bahwa proses,
produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah pada
hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
kepada masyarakat.
Temuan ini juga mendukung temuan Soedarmo (1998) yang mengatakan
bahwa aneka ragam gaya negosiasi sebagian besar justru mengaburkan
kedudukan dan pengaruh peraturan dalam interaksi pelayanan birokrasi garis-
depan dengan warga masyarakat. Dari sepuluh bentuk perilaku diferensial yang
berhasil diidentifikasi, setidaknya terdapat lima (5) bentuk perilaku diferensial yang
melanggar aturan prosedural dalam pelayanan SIM yakni perilaku sebagai calo,
mempersulit, menyogok, mencari gampang, dan memperlakukan khusus korps
tertentu. Sementara terdapat empat bentuk perilaku diferensial yang dianggap
dapat memenuhi aturan prosedural yakni superior, mengabaikan, menghentikan
proses pengurusan SIM, dan menolak membayar, namun perilaku diferensial
tersebut tidak memenuhi prinsip pelayan publik yang baik, karena tidak dapat
memberikan kepuasan kepada masyarakat yang dilayani. Sedangkan hanya
terdapat satu bentuk perilaku diferensial yang memenuhi aturan prosedural dan
memenuhi prinsip pelayanan publik yang baik yakni perilaku melayani.
Jika dilihat dari aspek budaya organisasi, temuan penelitian ini mendukung
pandangan U.S. Department of Justice (1993) yang dikutip oleh Muhammad
(1999: 33), bahwa setiap lembaga kepolisian memiliki suatu kultur; namun
275
persoalannya kemudian adalah apakah kultur tersebut dikembangkan secara
terarah atau hanya sekedar berkembang tanpa pertimbangan dan bimbingan.
Karena prilaku yang muncul di lokasi penelitian nampaknya telah menjadi
kebiasaan, dan celakanya bahkan di “benar” kan oleh birokrat kepolisian, maka
perilaku tersebut dipandang sebagai subkultural kepolisian.
Berdasarkan pengamatan lapangan juga ditemukan bahwa justru perilaku
sebagai calo, mempersulit, dan mencari gampang ini yang banyak terjadi dalam
interaksi antara birokrat garis-depan dan warga masyarakat. Setelah dilakukan
verifikasi untuk keabsahan data terhadap warga dan juga birokrat garis-depan
melalui wawancara, kecenderungan jawaban yang diperoleh mendukung hasil
pengamatan lapangan yang telah dilakukan. Hasil temuan ini juga menunjukkan
posisi WM yang resesif (lemah) dalam menentukan bentuk pelayanan publik.
Posisi resesif seperti ini dapat memberi informasi bagi kita bahwa selama ini
warga masyarakat tidak mempunyai posisi bargaining yang kuat terhadap
pelayanan publik. Padahal sebuah pelayanan publik bisa berkualitas jika
masyarakat memiliki daya tawar yang kuat, dalam arti bahwa masyarakat memiliki
ruang untuk berpartisipasi dalam menentukan berbagai aspek dalam pelayanan
publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt (2003)
bahwa karena pemilik kepentingan publik adalah masyarakat maka administrator
publik (birokrasi garis-depan) seharusnya memusatkan perhatiannya pada
tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga masyarakat dalam
pengelolaan pelayanan publik. Upaya memberdayakan warga masyarakat dapat
dilakukan jika warga masyarakat memiliki kualitas yang tinggi. Artinya bahwa
masyarakat harus juga cerdas. Kalau masyarakat tidak cerdas maka tidak akan
276
memberikan sumbangan yang berarti, karena bisa saja justru masyarakat yang
dirugikan dalam proses bargaining.
Dengan demikian, maka hasil temuan penelitian ini juga mendukung
pandangan bahwa sudah saatnya kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah
memberikan perhatian penuh terhadap warga masyarakat, bukan saja dari segi
ekonomi, tetapi dari segala aspek kehidupan masyarakat termasuk sosial dan
budaya. Dengan demikian maka masyarakat diharapkan dapat menjadi sejahtera,
cerdas dan kritis, yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada perbaikan
pelayanan publik di negara kita tercinta ini.
Dari keseluruhan uraian di atas, penulis dapat berkesimpulan bahwa
pelayanan SIM yang ada di Kota Makassar pada dasarnya belum mampu
memenuhi beberapa kriteria kualitas pelayanan publik yang baik, seperti (1)
tangible, kondisi fisik sebagai penunjang/pendukung pelayanan, yakni tidak
tersedianya sepeda motor untuk ujian praktek bagi warga yang mengurus SIM C
(2) Reliable, kemampuan menyediakan layanan yang tepat dan dapat diandalkan;
(3) Responsiveness, tanggung jawab aparat penyedia pelayanan terhadap
kualitas pelayanannya; (4) Competence, kemampuan aparat sesuai dengan
pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan keterampilannya. Meskipun dari segi
kompetensi, BGD memenuhi syarat akan tetapi dari segi courtesy, nampaknya
BGD tidak dapat memenuhinya dengan baik, seperti munculnya perilaku superior;
(5) Courtesy, daya tangkap dan sikap aparat yang baik sehingga memenuhi
kepuasan pelanggan; (6) Credibility, sikap jujur dan dapat dipercaya; (7) Security,
jaminan rasa aman dan bebas dari resiko pelayanan; (8) Accessibility, kemudahan
untuk memperoleh layanan dengan adil, dan tidak memihak; (9) Communication,
kemampuan memahami, mendengarkan dan menyampaikan pesan/informasi
277
tentang pelayanan yang baik; (10) Understanding the customer, berusaha untuk
memahami kebutuhan konsumen atau masyarakat yang dilayani (Zeithaml, 1990).
Mari kita tinjau satu per satu kriteria tersebut berdasarkan temuan yang
ada di lapangan.
Pertama, berkaitan dengan tangible, kondisi fisik sebagai
penunjang/pendukung pelayanan,. Hasil penelitian lapangan menemukan bahwa
tidak tersedia sepeda motor dan juga mobil untuk sarana yang digunakan
pemohon SIM dalam mengikuti tes praktek. Dengan demikian, maka unsur yang
pertama ini dianggap tidak terpenuhi.
Kedua, berkaitan dengan kriteria reliable, kemampuan menyediakan
layanan yang tepat dan dapat diandalkan. Pada prinsipnya kriteria ini telah
mampu dipenuhi oleh penyedia layanan yakni berupa produk kartu SIM. Dari segi
bentuk fisik dan kualitas kertas dapat tahan lama.
Ketiga, responsiveness, tanggung jawab aparat penyedia pelayanan
terhadap kualitas pelayanannya. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, untuk
kriteria yang satu ini rupanya belum dapat dipenuhi oleh para BGD. Hal ini
nampak dari perilaku-perilaku negatif ditampilkan oleh BGD ketika berinteraksi
dengan WM, sehingga tidak mendukung terciptanya pelayanan yang berkualitas.
Seperti misalnya perilaku mempersulit, superior, dan mengabaikan.
Keempat, competence, kemampuan aparat sesuai dengan pengetahuan,
pengalaman, keahlian, dan keterampilannya. Untuk kriteria kompetensi, nampak
dari hasil pengamatan lapangan bahwa para BGD betul-betul ahli dalam
bidangnya masing-masing, misalnya saja petugas loket tes praktek mengendari
sangat mahir dalam melewati rintangan ketika memberikan contoh kepada
278
pemohon SIM, petugas loket pengambilan gambar sangat ahli dalam mengambil
foto peserta, begitu pula petugas loket lainnya.
Kelima, courtecy, daya tanggap dan sikap aparat yang baik sehingga
memenuhi kepuasan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
umumnya sikap aparat yang bertugas dalam melayani SIM belum mampu
menunjukkan sikap yang dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Hal ini terbukti
dari bentuk-bentuk perilaku yang muncul di lapangan, kebanyakan berorientasi
kepada keuntungan pribadi. BGD umumnya memaknai pelayanan yang
diberikannya sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga
dengan mudah memanfaatkan warga masyarakat yang datang untuk mengurus
SIM.
Keenam, credibility, sikap jujur dan dapat dipercaya. Kriteria ini juga
masih belum mampu dipenuhi oleh BGD dalam pelayanan SIM, dimana terdapat
perilaku yang dinilai tidak mencerminkan sikap jujur, misalnya saja terdapat BGD
yang memanfaatkan warga yang lugu dan awal untuk mendapatkan keuntungan
pribadi. Tanpa menjelaskan dengan baik besarnya biaya pelayanan SIM yang
sebenarnya, kemudian langsung menentukan jumlah sesuai dengan
keinginannya. Yang terjadi kemudian di masyarakat adalah bahwa pada
umumnya masyarakat tidak mengetahui dengan baik besarnya biaya yang harus
dibayar untuk mendapatkan SIM. Rata-rata WM yang diwawancarai mengatakan
bahwa biaya yang dibayar untuk mengurus SIM adalah Rp 150.000,- untuk SIM C,
dan Rp 250.000,- untuk SIM A. Mereka memahami bahwa harga seperti itulah
yang menjadi ketentuan dalam pelayanan SIM, sekali pun dalam pengumuman di
depan gedung tercantum besaran harga yang sebenarnya, namun tidak banyak
WM yang memahaminya.
279
Ketujuh, security, jaminan rasa aman dan bebas dari resiko pelayanan.
Nampaknya hal ini juga belum dapat dipenuhi dalam pelayanan SIM, dimana
masyarakat pengguna jasa layanan umumnya menghadapi resiko biaya tinggi
dalam pelayanan SIM akibat perilaku yang ditampilkan oleh BGD yang
melayaninya. Resiko untuk mendapatkan perlakuan superior dan perilaku
dipersulit apabila mengurus SIM sendiri adalah sangat besar, sehingga harapan
untuk mendapatkan pelayanan yang tenang jika mengurus SIM sangat sulit untuk
dirasakan oleh WM.
Kedelapan, accessibility, kemudahan untuk memperoleh layanan dengan
adil, dan tidak memihak. Terdapat beberapa bentuk perilaku yang ditampilkan
oleh BGD yang tidak dapat memenuhi kriteria ini. Seperti perilaku mengabaikan
dan memperlakukan khusus korps tertentu. Untuk perilaku seperti ini masyarakat
pengguna jasa lainnya merasa diperlakukan tidak adil atau diskriminatif. Dalam
perilaku mengabaikan, WM harus antri atau menunggu lama untuk mendapatkan
gilirannya. Begitu pula perilaku memperlakukan khusus anggota korps tertentu
seperti anggota TNI, wartawan, dan anggota dewan (DPRD). Pola hubungan
dalam perlakuan khusus ini lebih bersifat ekslusif. Pola hubungan yang
didasarkan pada status tertentu dari publik (WM) yang dilayani yang akhirnya
melahirkan diskriminasi pelayanan, sehingga WM yang bukan berasal dari status
tertentu tersebut merasa diperlakukan tidak adil. Terhadap orang-orang yang
yang berasal dari korps tertentu, peraturan diperlakukan sangat longgar
sedangkan terhadap WM umum diperlakukan sangat ketat dan bahkan berlebih-
lebihan.
Kesembilan, communication, kemampuan memahami, mendengarkan dan
menyampaikan pesan atau informasi tentang pelayanan yang baik. Dari
280
pengamatan lapangan, dalam hal kemampuan memahami dan mendengarkan
belum dapat dipenuhi. BGD masing-masing sibuk dengan urusannya, tidak
tersedia kotak saran yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan
keluhan bagi warga yang tidak puas terhadap pelayanan yang diterimanya.
Sedangkan dari segi informasi tentang pelayanan, nampak telah dapat terpenuhi
meskipun hanya berupa papan pengumuman tentang persyaratan dan prosedur
pengurusan SIM yang ditempatkan di luar ruangan dekat pintu masuk ruangan
pelayanan SIM.
Kesepuluh, understanding the customer, berusaha memahami kebutuhan
konsumen atau masyarakat yang dilayani. Kriteria ini juga masih belum dapat
dipenuhi oleh BGD dengan baik. Dalam kenyataannya, bentuk atau format tes
praktek yang diberikan tidak memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat.
Kondisi riil lapangan sangat berbeda dengan bentuk tes yang dilalui sehingga
masyarakat yang mengikuti tes praktek pada umumnya tidak mampu melewatinya
dengan baik.
Dari kesepuluh kriteria yang dikemukakan oleh Zeithaml di atas, hanya 2
(dua) diantaranya yang mampu dipenuhi dalam pelayanan SIM di Kota Makassar.
Dengan demikian maka menguatkan simpulan tadi bahwa kualitas pelayanan
publik yang ada dalam pelayanan SIM sangat rendah.
Sebuah pelayanan publik dapat dikatakan ideal jika semua pihak yang
terlibat dalam pelayanan publik tidak merasa dirugikan akibat dari pelayanan
tersebut. Pihak yang dimaksud disini adalah pengguna dan calon pengguna jasa
layanan, BGD, maupun institusi penyedia layanan.
Scanned by CamScanner
281
BAB VII
TEMUAN, MODEL, DAN PROPOSISI HASIL PENELITIAN
Suatu kajian ilmiah terutama kajian disertasi diharapkan dapat
memberikan suatu sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya yang berkaitan dengan subyek kajian, baik berupa model atau
proposisi sebagai hasil kajian yang telah dilakukan berdasarkan penelitian
lapangan. Dalam kajian disertasi ini, model yang disumbangkan tentunya
berkaitan dengan perilaku pelayanan publik. Proses penyusunan model ini
mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh Makmur (2007) yakni dimulai dari
penentuan masalah penelitian, pendalaman, analisis masalah, penentuan
metode pemecahan, dan diakhiri dengan penetapan model yang definitif.
Oleh karenanya, sebelum sampai kepada model yang direkomendasikan
(recommended model), terlebih dahulu akan diuraikan secara singkat temuan
penelitian sebagai dasar pembuatan model baik model yang ada sekarang ini
(existing model). Dari pembahasan secara teoritis dan pertimbangan atas
kelemahan dari existing model ini, maka akan diajukan sebuah model sebagai
model yang direkomendasikan (recommended model) dari hasil penelitian ini.
Nantinya dari model tersebut selanjutnya dibuat proposisi hasil penelitian.
7.1 Temuan Penelitian 7.1.1 Bentuk-Bentuk Perilaku Diferensial
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, setidaknya terdapat 10 (sepuluh)
bentuk perilaku diferensial yang teridentifikasi di lapangan. Perlu dijelaskan disini
bahwa pada prinsipnya bentuk-bentuk perilaku diferensial yang teridentifikasi
282
tersebut hanya merupakan kecenderungan umum saja, karena dalam
kenyatannya berbagai bentuk perilaku diferensial bisa saja berlangsung secara
bersamaan dan saling tumpang tindih (mutually all inclusive).
Kesepuluh bentuk perilaku diferensial tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, perilaku superior. Perilaku superior terjadi saat birokrat garis-
depan menggunakan kekuasaannya secara negatif untuk memperoleh
keuntungan pribadi dengan menerapkan aturan secara ketat (yang sebenarnya
justru sangat mengada-ada). Bentuk perilaku superior merupakan tindakan yang
tidak mencerminkan sikap seorang pelayan dan termasuk perilaku yang
melanggar aturan sehingga dapat mengganggu jalannya interaksi antara birokrat
garis-depan dengan warga kota yang dilayani. Perilaku superior biasanya
dilakukan oleh birokrat garis-depan khususnya terhadap warga kota yang
”kurang berdaya”. Petugas yang berniat melakukan perilaku superior ini terlebih
dahulu dapat menaksir atau mendefinisikan orang yang dihadapinya. Dengan
dalih untuk menerapkan prosedur pelayanan sebagaimana mestinya, birokrat
garis-depan dapat memperdaya warga kota. Sebagai pemegang wewenang dan
sumberdaya, birokrat garis-depan bisa menolak, menyalahkan, mempersulit, dan
bahkan memaksakan kehendaknya kepada warga yang dilayaninya. Apabila
warga yang dilayani tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam berhadapan
dengan birokrasi pelayanan, maka dengan mudah dapat ”terjebak”, sehingga
dapat berakibat pada konsekuensi biaya tinggi.
Kedua, perilaku mengabaikan atau playing ignorant. Perilaku
mengabaikan oleh aparat birokrat, bagi warga masyarakat, ini merupakan taktik
penundaan yang dilakukan secara sadar oleh BGD. Dalam pengamatan
lapangan, terungkap pula bahwa perilaku mengabaikan seringkali terjadi
283
terutama terhadap warga kota yang mengurus sendiri SIM atau tanpa uang
”lebih”. BGD selalu menganggap aksi seperti ini sebagai sebuah balon
percobaan sehingga disebut sebagai playing ignorant. BGD seakan-akan
“bermain–main” atau sistem coba-coba mengabaikan WM. Jika WM yang
mendapat perlakuan mengabaikan tidak berusaha mendesak petugas atau
mencari kerabat yang dapat membantunya, maka perilaku mengabaikan ini akan
terus berlangsung sehingga urusannya akan semakin lama.
Ketiga, perilaku sebagai calo. Perilaku sebagai calo adalah
pemandangan yang sangat mudah kita saksikan dalam pelayanan SIM di Kota
Makassar. Disamping calo sipil yang banyak berkeliaran, juga terdapat BGD
yang berperilaku sebagai calo. BGD yang berperilaku sebagai calo mondar-
mandir di luar loket yaitu sekitar pintu masuk ruang pelayanan. BGD menunggu
“mangsa” yang datang ingin mengurus SIM. Disebut sebagai BGD (pelayan)
karena sesekali dia juga masuk ke dalam loket untuk memproses berkas yang
’dicaloi’, dan BGD seperti ini juga berpakaian seragam polisi layaknya petugas
loket, karena memang sebenarnya mereka adalah petugas Satlantas Polwiltabes
Makassar. Setelah urusan selesai maka iapun ke luar dari ruangan loket. Disini
warga masyarakat biasanya bingung membedakan mana sebenarnya petugas
loket dan mana BGD yang berperilaku sebagai calo. Karena kedua-duanya
berpakaian seragam, dan sering juga berada di dalam loket.
Keempat, perilaku mempersulit. Perilaku mempersulit juga menunjukkan
ketidakberdayaan WM terhadap BGD. Perilaku mempersulit terutama dirasakan
oleh WM ketika mengikuti tes praktek. Ada 3 format tes praktek yang sangat sulit
dilalui oleh WM ketika mengikuti tes praktek. Format tes seperti mengendarai
secara ziq-zaq dan tidak boleh menurunkan kaki meskipun kondisi tidak
284
seimbang, adalah hal yang dianggap oleh WM sebagai sesuatu yang sangat
mengada-ada dan tidak sesuai dengan realitas di jalan raya. Dengan mana di
jalan raya WM tidak pernah dilarang kakiknya untuk menurunkan kaki ketika
harus terpaksa mengendarai secara ziq-zaq untuk melewati jalan yang sempit.
Ada pula WM yang merasa dipersulit ketika akan memperpanjang SIM. Sesuai
aturan yang ada, jika lewat dari 1 tahun maka wajib mengikuti ujian teori dan
praktek. Namun apabila hanya lewat beberapa hari saja, maka langsung
memperoleh SIM pengganti dengan syarat harus memperlihatkan SIM lama,
menyertakan surat keterangan dokter serta membayar biaya administrasi
sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah).
Kewajiban untuk mengikuti tes bagi WM yang memperpanjang SIM yang
lewat meski 1 hari dari ketentuan di atas, maka tidak ada kompromi bagi mereka.
Dalam perilaku mempersulit ini, BGD seakan tidak mau tau apakah hanya lewat
1 hari, yang jelas bagi mereka adalah menerapkan aturan secara tegas. Kondisi
seperti ini dinilai oleh masyarakat sebagai suatu aturan yang buruk. Karena
dalam pandangan masyarakat, mereka yang telah habis masa berlaku SIM-nya
tentunya telah mahir dalam mengendarai sepeda motor. Hal ini mengingat masa
berlaku SIM adalah selama 5 tahun. Dengan demikian, maka WM yang habis
masa berlaku SIM-nya berarti telah mengendarai sepeda motor kurang lebih 5
tahun. Bukankah dengan jam mengendarai selama itu, berarti yang
bersangkutan telah sangat mahir, dan mengapa perlu harus ikut tes lagi. Jadi
persoalannya disini adalah aturan yang ada dalam perpanjangan SIM ini
dipersepsi oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sangat buruk.
Kelima, perilaku mogok. Perilaku ini menunjukkan sikap putus asa WM,
terjadi ketika warga masyarakat yang mengurus SIM tidak dapat memenuhi
285
prosedur pelayanan dengan baik, terutama tahap tes teori dan tes praktek
mengendarai. Disamping itu, tes praktek sangat terkesan mengada-ada dengan
penerapan aturan yang sangat ketat terhadap warga masyarakat. Namun
ironisnya, ketika WM mengurus SIM melalui calo, maka tes teori dan tes praktek
menjadi tidak wajib lagi, padahal kalau seorang WM yang mengurus SIM melalui
prosedur aturan untuk tes terutama tes praktek sangat ketat. Sedikit saja
kesalahan yang dibuat oleh WM yang mengikuti tes praktek, maka WM tersebut
langsung dinyatakan tidak lulus. Disini letak ketidakadilan dan
ketidakkonsistenan BGD dalam menerapkan aturan. Yang ada uang
dipermudah, sedangkan yang berusaha menjalankan aturan dipersulit.
Beberapa WM yang mogok, kemudian berlanjut mengurus SIM, akan tetapi
kali ini lebih memilih mencari cara yang gampang misalnya melalui calo. Hal ini
dilakukan karena WM terpaksa harus mengurus SIM mengingat kepemilikan SIM
adalah sesuatu hal yang mutlak bagi mereka yang mengendarai sepeda motor.
Sanksinya jika tidak dapat menunjukkan SIM ketika ditangkap adalah dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp 2.000.000,- (2 juta rupiah). Dan bagi mereka yang ternyata tidak memiliki
SIM dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah), hal ini sesuai dengan UU
No. 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 59 ayat (1) dan (2).
Keenam, perilaku menolak membayar. Jenis perilaku yang ekstrim dari
warga kota adalah menolak membayar biaya diluar ketentuan resmi ketika
berhadapan dengan birokrat garis-depan. Dianggap ekstrim karena perilaku ini
berani dilakukan oleh warga padahal warga tersebut berada dalam posisi yang
membutuhkan pelayanan SIM. Perilaku jenis ini dilakukan oleh mereka yang
286
merasa dirinya mampu mengikuti tes teori dan praktek yang selama ini menjadi
momok dalam pelayanan SIM. Hal yang menarik adalah perilaku seperti ini
dilakukan oleh warga masyarakat yang terpelajar dan tidak ingin berkolusi
dengan petugas. Ketika menghadapi BGD yang mencoba memerasnya, maka
WM yang berperilaku seperti ini akan melakukan penolakan. Perilaku seperti ini
memiliki nilai positif, karena dapat bersifat mengendala atau constraining
terhadap perilaku BGD yang menyimpang dari aturan, yang pada akhirnya dapat
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan. Jadi bukan saja struktur (terutama
dalam kaitan dengan peraturan) yang dapat menjadi constraining terhadap
perilaku BGD (Giddens, 1995), akan tetapi WM juga bisa berfungsi seperti ini.
Ketujuh, perilaku mencari gampang. Warga yang cenderung berperilaku
seperti ini adalah bukan saja mereka memiliki kesibukan dalam pekerjaannya
sehari-hari sehingga tidak ingin mengikuti semua prosedur pengurusan SIM,
akan tetapi juga dilakukan oleh sebagian WM yang memiliki kemampuan dalam
finansial. Untuk WM yang tergolong dalam kategori kedua ini, meskipun memiliki
banyak waktu luang, tetapi yang bersangkutan tidak ingin bersusah payah, jadi
semacam mau enaknya saja. Mereka yang berperilaku seperti ini cenderung
berprinsip ”tidak ada yang tidak bisa dibeli di dunia ini” termasuk pelayanan
publik. Warga yang ingin cepat selesai urusannya akan mencari petugas yang
mudah diajak untuk berkolusi atau petugas yang berperilaku sebagai calo
Disamping itu, banyak pula warga kota yang menggunakan jasa calo sipil yang
”dipelihara” oleh petugas. Perilaku mencari gampang sebenarnya dari segi
normatif melanggar aturan yang ada, sehingga terjadi malprosedur. WM yang
berperilaku mencari gampang adalah mereka yang memaknai pelayanan
sebagai ’jasa terbeli’, sehingga dengan membayar petugas maka ia akan
287
memperoleh SIM yang dibutuhkannya tanpa melalui prosedur baku yang
ditetapkan. Perilaku seperti ini turut memberi andil dalam memperburuk kinerja
pelayanan publik, karena prosedur dan aturan pelayanan publik cenderung
menjadi kabur.
Meskipun demikian, tidak semua WM yang berperilaku mencari gampang
dapat dipersalahkan karena turut memperburuk pelayanan publik. Ada beberapa
WM yang karena kesibukan luar biasa sehingga tidak memiliki waktu yang luang
untuk mengurus SIM sesuai prosedur. WM seperti ini sebenarnya bisa
dimaklumi, terlebih lagi jika kesibukannya itu adalah untuk kepentingan orang
banyak, seperti memperlakukan khusus anggota dewan yang mengurus SIM,
dan juga terhadap profesional lainnya. Jika mereka mengurus SIM sesuai
prosedur, maka akan lebih banyak kerugian yang diperoleh, apakah itu terhadap
WM ataupun juga terhadap dirinya sendiri.
Kedelapan, perilaku melayani. Perilaku melayani adalah merupakan
bentuk perilaku diferensial yang fungsional. Artinya, bahwa BGD yang
berperilaku demikian memiliki komitmen untuk memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada masyarakat sesuai dengan tufoksinya (tugas pokok dan
fungsinya) berdasarkan peraturan dan prosedur yang telah ditetapkan. BGD
yang berperilaku seperti ini cenderung memaknai pelayanan sebagai
pelaksanaan aturan, Melayani berarti memperlakukan seseorang sebagaimana
apa adanya, tulus, ikhlas, dan tanpa pamrih. Melayani dapat juga berarti bahwa
tidak membeda-bedakan antara satu orang dengan yang lainnya. Siapa pun
orangnya, mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama atau adil. Perilaku
melayani muncul ketika seorang BGD memaknai pelayanan sebagai
pelaksanaan aturan dan memiliki orientasi kepada masyarakat. Artinya dari segi
288
etika profesi, BGD semacam ini ingin berupaya menerapkan aturan secara baik
dan melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab untuk memberikan
kepuasan kepada masyarakat. Sementara warga masyarakat yang datang juga
melihat bahwa pelayanan yang akan diperolehnya adalah merupakan haknya
sebagai warga negara, sehingga dia merasa pantas untuk diperlakukan dan
dilayani dengan baik. Tetapi masyarakat juga sadar bahwa untuk diperlakukan
dengan baik maka perlu memenuhi semua persyaratan dan prosedur dengan
baik pula.
Kesembilan, perilaku memperlakukan khusus (customization) anggota
korps tertentu, seperti terhadap anggota TNI, anggota wartawan dan anggota
Dewan (DPRD). BGD yang berperilaku seperti ini cenderung memaknai
pelayanan sebagai tugas dari atasan, sekalipun ada persyaratan yang tidak
dapat dipenuhi, namun karena ingin memuaskan atasan, dalam istilah yang
umum kita kenal yaitu ABS (Asal Bapak Senang), maka BGD seperti ini
berusaha melayani WM dengan baik. Seperti misalnya perlakuan khusus yang
diberikan kepada seorang wartawan yang kenal baik dengan pimpinan.
Wartawan tersebut diperlakukan khusus karena atas perintah dari pimpinan,
sekalipun tidak dapat memenuhi semua persyaratan. Dalam kasus demikian,
meskipun ada kesibukan yang luar biasa dalam pelayanan melalui prosedur
normal, seringkali BGD tersebut harus menomorduakan peraturan, dan
mendahulukan perintah atasan. Bahkan, tidak jarang mereka harus berkorban
dengan membebaskan pihak yang bersangkutan dari kewajiban membayar
sejumlah biaya tertentu, sebagaimana pengakuan wartawan. Disamping itu,
terdapat pula perlakuan khusus bukan karena perintah atasan, tetapi atas
kemauan sendiri dari BGD. BGD yang berperilaku seperti ini cenderung
289
memaknai pelayanan yang diberikannya sebagai bentuk ”pertukaran”, artinya
BGD melayani dengan baik orang-orang yang ”khusus” ini karena orang tersebut
dinilai dapat melanggengkan praktek-praktek negatif dalam pelayanan yang
selama ini berlangsung. Dengan melayani secara baik kepada orang ”khusus”
ini, BGD berharap agar mereka tidak lagi kritis terhadap perilaku pelayanan yang
ada. Sementara pihak yang dilayani khusus, akan merasa telah berutang budi
sehingga tidak perlu lagi mengungkap kebobrokan yang ada dalam pelayanan
publik. Kondisi ”pertukaran” semacam ini banyak yang terjadi dalam pelayanan
publik di negara kita, sehingga praktek-praktek yang jelek dalam pelayanan
publik sulit untuk dihilangkan, karena mereka yang seharusnya berfungsi
melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pelayanan publik tidak lagi dapat
berfungsi dengan baik, karena terlebih dahulu diperlakukan khusus.
Kesepuluh, perilaku menyogok. Jika ada yang menyogok tentu ada yang
disogok. Sehingga makna perilaku menyogok adalah berpasangan, ada yang
disogok dan ada yang menyogok. Kedua belah pihak bersepakat atau berkolusi
untuk mendapatkan keuntungan dari pelayanan yang dilakukan. Warga yang
menyogok berharap agar urusannya diperlancar, dan kalau perlu prosedur resmi
dieliminasi. Sedang BGD yang disogok mendapatkan keuntungan pribadi berupa
uang ekstra. Agar warga yang ingin memperoleh SIM mau menyogok BGD,
maka BGD berusaha mengkondisikan prosedur pelayanan menjadi sedemikian
rumit dan berbelit-belit, dalam pandangan penulis hal tersebut sengaja dibuat
sebagai ”jebakan” terhadap WM, sehingga WM yang bermental ”pembeli”
pelayanan dapat dengan mudah masuk kedalam jebakan ini. Jadi pada
dasarnya perilaku menyogok berkaitan erat dengan perilaku mencari gampang,
perilaku superior, perilaku mempersulit. Seorang warga yang ingin cepat
290
memperoleh SIM biasanya berani menyogok petugas yang melayaninya.
Meskipun perilaku menyogok dan mencari gampang merupakan dua bentuk
perilaku yang tidak dapat dipisahkan, namun kedua perilaku ini memiliki
perbedaan. Perbedaannya adalah perilaku mencari gampang biasanya
dilakukan oleh warga pada awal proses pengurusan SIM, yakni ketika pertama
kali berhadapan dengan BGD, sedangkan perilaku menyogok biasanya dilakukan
oleh warga pada saat proses pengurusan SIM berlangsung. Dalam prakteknya,
besarnya uang yang diberikan oleh WM untuk menyogok BGD yang berperilaku
mempersulit atau superior, biasanya ditentukan sendiri oleh warga sesuai
dengan kemampuannya. Berbeda dengan uang yang harus dikeluarkan oleh
warga ketika berhadapan dengan BGD yang berperilaku sebagai calo. Untuk
perilaku sebagai calo ini besarnya uang yang harus dibayarkan telah ditentukan
oleh BGD. Uang yang harus dikeluarkan oleh warga telah menjadi kesepakatan
tidak tertulis dari para BGD yakni sebesar Rp 150.000,- untuk SIM C dan Rp
250.000,- untuk SIM A. Perilaku menyogok ini juga termasuk salah satu perilaku
yang dapat mengaburkan persyaratan dan prosedur dalam pelayanan SIM,
karena dengan menyogok petugas, maka meskipun WM tidak dapat memenuhi
persyaratan, mrereka akan diberi rekomendasi untuk memperoleh SIM. Oleh
karenanya, perilaku menyogok ini juga termasuk kedalam perilaku yang dapat
menyebabkan malprosedur serta merugikan lembaga penyedia layanan.
Sekali lagi ditekankan disini bahwa kesepuluh bentuk PDf yang telah
diuraikan di atas memiliki kecenderungan untuk muncul secara bersamaan satu
sama lain (mutually all inclusive). Sebagai contoh, perilaku mencari gampang
dan perilaku sebagai calo. Ketika seorang WM yang ingin memperoleh SIM
dengan mudah, cenderung menampilkan perilaku sebagai ”pembeli jasa”
291
layanan. WM yang berperilaku seperti ini akan mencari BGD yang memaknai
pelayanan sebagai sarana untuk mencari keuntungan pribadi, seperti BGD yang
berperilaku sebagai calo. Pola interaksi dalam kasus semacam ini dapat
menguntungkan kedua belah pihak (BGD dan WM). BGD memperoleh uang
ekstra, sementara WM memperoleh SIM dengan mudah tanpa perlu mengikuti
prosedur yang berlaku. Namun kemudian yang terjadi adalah institusi yang
dirugikan karena kedua perilaku ini mengeliminir protap (prosedur tetap),
sehingga dengan demikian dapat mengkibatkan malprosedur (cacat prosedur).
Jika kecenderungan perilaku seperti ini yang terjadi, maka citra lembaga yang
jelek di mata masyarakat.
Fenomena semacam ini justru mendominasi perilaku dalam pelayanan
SIM di Kota Makassar, sehingga yang kemudian muncul di lapangan adalah
banyaknya calo-calo yang berkeliaran dalam pelayanan SIM. WM yang ingin
memperoleh SIM juga cenderung mencari calo. Akibat PDf semacam ini, banyak
WM yang memperoleh SIM tanpa melalui tes teori dan tes praktek. Lapangan
yang sedianya digunakan untuk tes praktek, jarang sekali digunakan, dan
kalaupun ada maksimal hanya 5 orang dalam sehari, padahal dalam data yang
diperoleh oleh penulis selama mengikuti penelitian, rata-rata jumlah WM yang
mengurus SIM C setiap harinya adalah berkisar 150 orang per hari. Data
tersebut dapat dilihat pada lampiran 1.
Dari kesepuluh bentuk PDf yang menjadi temuan penelitian ini, maka
dapat disimpulkan bahwa pelayanan SIM yang ada berlangsung seperti
“transaksi” antara penjual (BGD) dan pembeli (WM). Dengan demikian jauh dari
harapan pelayanan yang memuaskan. Ketika transaksi yang terjadi dalam suatu
pelayanan publik, maka ada tawar-menawar “harga” pelayanan. Padahal dalam
292
sebuah pelayanan publik, baik BGD maupun WM hendaknya berpedoman pada
aturan yang berlaku. Misalnya dalam standar pelayanan publik telah ditetapkan
harga dari suatu pelayanan, maka keduanya tidak perlu lagi tawar menawar,
karena semuanya telah jelas dicantumkan dalam standar pelayanan publik
tersebut. Apa yang tertera dalam standar pelayanan, itulah yang menjadi harga
mati dari sebuah pelayanan.
7.1.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan dari Masing-masing Perilaku Diferensial
Sebagaimana layaknya dalam sebuah transaksi, maka dalam perilaku
pelayanan birokrat garis-depan dengan warga masyarakat dalam pelayanan
publik, biasanya ada pihak yang diuntungkan dan apa pihak yang dirugikan,
tergantung bagaimana tarik-menarik gaya negosiasi yang dilakukan oleh pelaku
interaksi. Dalam penelitian ini, juga mengkaji tentang siapa yang diuntungkan
dan siapa yang dirugikan dalam interaksi GGN BGD dengan WM. Upaya untuk
mengetahui pihak yang diuntungkan dan yang dirugika, telah dilakukan dengan
menggunakan 3 (tiga) kriteria yakni waktu yang dibutuhkan oleh WM untuk
memperoleh pelayanan SIM, jumlah biaya yang harus dikeluarkan, dan
ketertekanan secara psikologis dalam proses interaksi. Dengan menggunakan
ketiga kriteria tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa (1) Setidaknya
terdapat 5 (lima) PDf yang cenderung menguntungkan BGD, yakni: perilaku
superior, mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, dan mogok. (2) Setidaknya
terdapat 2 (dua) PDf yang cenderung menguntungkan WM, yakni perilaku
menolak membayar dan mencari gampang. (3) Setidaknya terdapat 3 (tiga) PDf
yang cenderung menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi (mutual
293
benefit), yakni perilaku melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan
perilaku menyogok.
Bentuk-bentuk PDf yang dikelompokkan cenderung menguntungkan BGD
seperti yang dikemukakan di atas, adalah perilaku yang pada dasarnya berupaya
untuk mencari keuntungan pribadi dari pelayanan yang diberikan. Sedangkan
WM yang dilayani tidak memiliki pilihan lain kecuali harus tunduk dan patuh
terhadap apa yang dilakukan oleh BGD terhadap dirinya, sepanjang WM
”dimudahkan” untuk memperoleh pelayanan yang dibutuhkannya. Akan tetapi,
perilaku seperti ini pada dasarnya sangat merugikan lembaga penyedia layanan,
karena beberapa dari perilaku tersebut cenderung berpotensi mengaburkan
persyaratan dan prosedur pelayanan yang ada, sehingga jaminan keamanan dan
keadilan dari pelayanan yang diterima oleh masyarakat menjadi kurang. Kondisi
seperti ini lambat laun akan memperburuk citra lembaga dimata masyarakat.
Masyarakat lalu menilai bahwa ”tidak ada uang tidak ada pelayanan”.
Demikian pula halnya dengan perilaku yang cenderung menguntungkan
warga masyarakat, yakni perilaku menolak membayar dan mencari gampang,
juga tidak semuanya dapat menguntungkan lembaga. Perilaku mencari
gampang misalnya, perilaku ini juga berpotensi untuk merusak sistem yang ada.
Meskipun dari segi waktu pelayanan warga merasa diuntungkan dengan
membayar petugas, namun akibat dari perilaku ini maka aturan atau prosedur
tidak lagi menjadi suatu keharusan yang perlu ditaati. Berbeda dengan perilaku
menolak membayar, perilaku ini meskipun kedengarannya sedikit kurang elegan,
namun memiliki nilai positif. Ketika WM yang sanggup untuk memenuhi semua
persyaratan dan prosedur pelayanan dengan baik berani menolak permintaan
petugas yang ingin memerasnya, BGD akan berhati-hati untuk melakukan
294
pemerasan terhadap warga lainnya. Sehingga dengan demikian, semakin
banyak warga yang berani melakukan penolakan seperti ini, maka perilaku
pemerasan akan terkoreksi dengan sendirinya. Dampaknya lebih jauh adalah
dapat menguntungkan organisasi, karena baik warga maupun petugas tidak lagi
mempermainkan peraturan yang ada. Perilaku menolak membayar dapat
berfungsi sebagai constraining bagi perilaku-perilaku BGD yang negatif. Jadi
bukan saja struktur (terutama yang berkaitan dengan aturan) yang dapat
berfungsi sebagai constraining bagi perilaku BGD sebagaimana yang
dikemukakan oleh Giddens (1984), akan tetapi perilaku menolak membayar dari
WM juga dapat berfungsi constraining dan dapat mengarahkan perilaku negatif
BGD menjadi perilaku positif.
Sedangkan untuk perilaku yang cenderung bersifat menguntungkan
pelaku interaksi, meskipun kelihatan terlihat interaktif, dan sedikit elegan, namun
pada dasarnya perilaku yang ada dalam kelompok ini tidak semuanya
menguntungkan organisasi. Contoh misalnya perilaku menyogok. Seorang WM
yang berani menyogok petugas, maka dapat dipastikan bahwa prosedur
pelayanan tidak lagi dipenuhi dengan baik, yang dipentingkan oleh pelaku
interaksi adalah bagaimana supaya keduanya bisa dipermudah untuk
mendapatkan keinginannya masing-masing. BGD dipermudah untuk
mendapatkan uang tambahan sedangkan WM dipermudah untuk memperoleh
SIM. Jadi dengan demikian, kendati bentuk-bentuk PDf menguntungkan kedua
belah pihak yang berinteraksi (mutual benefit) namun bukan berarti bahwa
perilaku tersebut menguntungkan organisasi. Oleh karena itu, yang diharapkan
kemudian adalah bagaimana supaya perilaku yang muncul dalam interaksi BGD
dan WM dalam pelayanan publik bisa bersifat interaktif tetapi juga
295
kecenderungannya menguntungkan semua pihak yang berkepentingan dalam
pelayanan SIM.
7.1.3 Aktor Dominan Penentu Perilaku Pelayanan
Berdasarkan hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa dari 10 PDf
(perilaku diferensial) yang berhasil ditemukan, ternyata 5 (lima) diantaranya
didominasi oleh BGD yakni perilaku superior, mengabaikan, sebagai calo,
mempersulit, mogok. Perilaku-perilaku PDf seperti ini adalah merupakan
dampak dari adanya BGD memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan
sendiri (self serving). 2 (dua) PDf didominasi oleh WM, yakni perilaku menolak
membayar dan mencari gampang, sedangkan 3 (tiga) PDf yang sifatnya interaktif
atau cenderung menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi yakni BGD
& WM (mutual benefit), yakni perilaku melayani, memperlakukan khusus korps
tertentu, dan perilaku menyogok. Dengan demikian maka dapat diperoleh
kesimpulan bahwa aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan
adalah BGD, sedangkan WM resesif (lihat gambar 7.1). Gambar 7.1 jelas
menunjukkan adanya dominasi BGD dalam pelayanan SIM, sedangkan WM
berada dalam posisi yang lemah atau resesif. WM tidak berdaya menghadapi
perilaku-perilaku BGD.
Temuan di atas mendukung pandangan Giddens (1984) bahwa adanya
dominasi dalam suatu interaksi merupakan manifestasi dari perbedaan power
(kekuasaan) antara BGD dan WM. BGD sebagai pemberi pelayanan cenderung
menempatkan dirinya sebagai pangreh praja (pengatur, pembina dan
pengendali) WM, dan bukannya sebagai pamong praja yang seharusnya
296
menjalankan fungsi dan perannya menjadi pelayan, pemberdaya, dan penyedia
fasilitas bagi WM.
Beberapa hal yang menjadi penyebab sehingga posisi masyarakat
menjadi resesif sedangkan BGD dominan, antara lain dapat dikemukakan
sebagai berikut:
Pertama, adanya monopoli pelayanan SIM yang dilakukan oleh birokrasi
pemerintah yakni kepolisian. Sifat monopoli dari suatu pelayanan menyebabkan
WM tidak dapat memerankan dengan baik hak-haknya untuk merespon
pelayanan yang tidak sesuai dengan harapannya melalui exit, karena warga
masyarakat tidak memiliki pilihan lain (choice) untuk memperoleh pelayanan
selain yang diberikan oleh birokrasi pemerintah, (Hirschman, 1970). Kondisi
seperti yang memicu para BGD yang bertugas melayani masyarakat dalam
pelayanan SIM cenderung berperilaku seenaknya, tidak mementingkan
kepentingan masyarakat, tetapi yang dipentingkan adalah dirinya sendiri,
sejauhmana dia dapat memperoleh keuntungan pribadi dari pelayanan yang
diberikannya. Ada kesan bahwa BGD berada dalam posisi yang dibutuhkan
sehingga apapun yang diminta dari WM akan dipenuhi oleh warga, ketika warga
tidak memenuhi keinginannya, disitulah biasanya BGD berperilaku superior,
sekedar ingin menunjukkan bahwa kalau bukan saya, anda tidak memperoleh
apa yang diinginkannya.
Kedua, prosedur dan peraturan dalam pelayanan publik seringkali tidak
disertai dengan penjelasan secara terinci bagaimana aturan tersebut diterapkan
di lapangan, sehingga peraturan tersebut memiliki ruang untuk disalahtafsirkan
dan bahkan dijadikan sebagai ”jebakan” terhadap WM. Hasil analisis penulis
terhadap temuan lapangan menunjukkan bahwa peraturan untuk mengikuti ujian
297
praktek mengendarai sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh SIM
cenderung dimanfaatkan oleh BGD untuk menjebak WM yang ingin mengurus
SIM. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1999 yang mewajibkan ujian
praktek bagi pemohon SIM tidak dijabarkan secara terinci bagaimana peraturan
tersebut diterapkan di lapangan, sehingga BGD yang bertugas memberikan ujian
praktek mengendarai cenderung membuat diskresi yang merugikan masyarakat.
Warga masyarakat tidak mampu untuk melakukan koreksi atau komplain
terhadap bentuk tes yang diberikan, terutama bentuk tes praktek yang sangat
mengada-ada karena tidak sesuai dengan kondisi ril di jalan raya. Bentuk tes
dengan keharusan melakukan ziq-zaq beberapa kali pada jarak pendek adalah
hal yang jarang ditemui di jalan raya, apalagi tidak boleh menurunkan kaki.
Begitu pula keharusan untuk mengendarai membuat lingkaran menyerupai angka
8 dengan tidak boleh menurunkan kaki. Hal yang kemudian lebih aneh menurut
pandangan penulis adalah ketika warga diminta untuk menaiki sebuah tanjakan,
dan pada posisi kendaraan sedang menanjak WM yang mengikuti tes diwajibkan
untuk berhenti dan kaki diturunkan. Inilah semua bentuk tes praktek yang sangat
ditakuti oleh warga, namun warga tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan
protes. Ketika warga dipersalahkan dan dinyatakan tidak lulus, warga hanya bisa
pasrah dan seringkali berujung pada putus asa yang akhirnya muncul perilaku
mogok (tidak melanjutkan proses pengurusan SIM). Hal ini terbukti dari
banyaknya berkas WM yang tidak lagi disentuh oleh pemiliknya dan dibiarkan
bertumpuk dibawa meja petugas loket 6 (ujian praktek). WM tidak lagi
berkeinginan untuk melanjutkan proses pengurusan SIM sesuai prosedur, karena
trauma dengan tes praktek yang teramat sulit untuk dilulusi oleh WM.
298
Sumber: Diolah dari hasil penelitian, 2007. Gambar 7.1 Bagan Gaya-gaya Negosiasi BGD & WM, Bentuk-Bentuk Perilaku Diferensial, Dominasi Perilaku Diferensial, dan
Aktor Dominan Penentu Perilaku Pelayanan
AKTOR DOMINAN PENENTU
PERILAKU PELAYANAN
BENTUK-BENTUK PERILAKU DIFERENSIAL
Kerjasama
Pertukaran
Kompromi
Percekcokan
Kecurangan
Kolusi
Kompensasi
Intimidasi
Superior
Mengabaikan
Sebagai Calo
Mempersulit
Mogok
Menolak Membayar
Mencari Gampang
Melayani
Memperlakukan Khusus Korps Tertentu
Menyogok
PADA BIROKRAT GARIS-DEPAN :
Superior
Mengabaikan
Sebagai Calo
Mempersulit
Mogok
PADA WARGA MASYARAKAT: Menolak Membayar
Mencari Gampang
DOMINASI PERILAKU DIFERENSIAL
INTERAKTIF (BGD & WM) Melayani
Memperlakukan Khusus Korps Tertentu
Menyogok
BGD DOMINAN
WM RESESIF
GAYA-GAYA NEGOSIASI BGD & WM
299
7.2 Model Perilaku Diferensial
Model arah perilaku diferensial adalah merupakan suatu model yang
menggambarkan adanya tarik-menarik gaya negosiasi BGD dan gaya negosiasi
WM.
7.2.1 Existing Model
Dari hasil penelitian diperoleh adanya perilaku diferensial yang
didominasi oleh BGD, dan juga ada perilaku diferensial yang didominasi oleh
WM (lihat gambar 7.1), dengan demikian maka dapat dibuat 2 (dua) model arah
perilaku diferensial, yakni sebagai berikut:
Pertama, model arah perilaku diferensial yang didominasi BGD.
Gambar 7.2. Model Arah Perilaku Diferensial dengan FBGD Dominan (Existing
Model) Keterangan Gambar: PDf = Perilaku Diferensial F BGD = Gaya Negosiasi Birokrat Garis-Depan (BGD) F WM = Gaya Negosiasi Warga Masyarakat (WM) Fr1 (FBGD > FWM) = Gaya resultan 1 (Gaya negosiasi BGD lebih besar dibanding
dengan gaya negosiasi WM) KP Rendah = Kepuasan Pelayanan Rendah = Arah pergerakan titik berat perilaku diferensial
= gaya negosiasi tarikannya lebih besar kepada BGD.
Perilaku Menyimpang
PDf FBGD
FWM
Fr1
(FBGD > FWM)
KP Rendah
300
Gambar 7.2 diatas sebagai hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa
tarik-menarik gaya negosiasi antara BGD dan WM yang ternyata dimenangkan
oleh BGD. Dimenangkan dalam arti bahwa BGD yang mendominasi PDf.
Sebagaimana pada gambar 7.1, perilaku diferensial yang didominasi oleh BGD
adalah superior, mengabaikan (playing ignorant), sebagai calo, mempersulit, dan
mogok. Untuk perilaku mogok ini, sekalipun nampaknya bahwa perilaku ini
dilakukan oleh WM, namun perilaku tersebut digolongkan kedalam perilaku yang
didominasi oleh BGD, dengan beberapa pertimbangan sebagaimana yang telah
dijelaskan pada Bab V halaman 203-205.
Gambar tersebut juga dapat memberikan informasi kepada kita bahwa
apabila BGD yang dominan, maka ini berarti bahwa WM tidak berdaya
menghadapi perilaku BGD. Dalam realitas di lapangan, ketidakberdayaan
seperti ini terutama dalam hal menghadapi perilaku superior dari BGD yang ingin
menerapkan peraturan ujian praktek yang menurut WM sebagai sesuatu hal
yang mengada-ada, serta sebagai upaya untuk menjerat WM kedalam perilaku-
perilaku menyimpang, seperti menyogok petugas, mencari gampang, dsb.
Fenomena seperti ini adalah merupakan cerminan bahwa kegiatan
pelayanan publik khususnya pelayanan SIM, masih mendahulukan kepentingan
birokrat pelayan, diatas kepentingan warga masyarakat selaku pengguna jasa
layanan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa apabila perilaku
diferensial didominasi oleh BGD, maka dapat dipastikan bahwa pelayanan publik
tidak berkualitas, yang berdampak pada ketidakpuasan WM. Dan celakanya,
bahwa pelayanan seperti ini monopoli dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini
adalah birokrat kepolisian, sehingga meskipun WM tidak puas atas layanan yang
diterimanya, namun WM tidak memiliki pilihan lain untuk exit sebagai bentuk
301
respon terhadap layanan tersebut. Hal satu-satunya yang dapat dilakukan
adalah dengan voice, melalui beberapa saluran yang ada, apakah dengan cara
melakukan komplain langsung terhadap penyedia jasa layanan, lewat media
massa (baik elektronik maupun cetak), atau lewat lembaga Ombudsman.
Kedua, model arah perilaku diferensial yang didominasi oleh WM.
Gambar 7.3 Model Arah Perilaku Diferensial dengan FWM Dominan (Existing Model)
Keterangan gambar:
PDf = Perilaku Diferensial F BGD = Gaya Negosiasi Birokrat Garis-Depan (BGD) F WM = Gaya Negosiasi Warga Masyarakat (WM) Fr2 (FWM > FBGD) = Gaya resultan 2 (Gaya negosiasi WM lebih besar dibanding
dengan gaya negosiasi BGD) KP Rendah = Kepuasan Pelayanan Rendah = Arah pergerakan titik berat perilaku diferensial = Gaya negosiasi tarikannya lebih besar kepada WM.
Gambar 7.3 diatas menunjukkan bahwa perilaku diferensial didominasi
oleh WM. Perilaku diferensial yang didominasi oleh WM adalah perilaku
menolak membayar dan perilaku mencari gampang.
Per
ilaku
Men
yim
pang
FBGD
FWM
KP Rendah Fr2
(FWM > FBGD)
302
Kedua model arah perilaku tersebut di atas, dapat memberikan informasi
kepada kita bahwa apabila perilaku diferensial didominasi oleh salah satu pihak
dari pelaku interaksi, maka kecenderungan yang muncul adalah perilaku
menyimpang. Artinya perilaku diferensial tersebut dapat menyebabkan kaburnya
peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sekali pun demikian, terdapat satu
perilku diferensial yang didominasi oleh WM yang menurut hemat penulis dapat
berdampak pada upaya perbaikan kualitas pelayanan SIM di Kota Makassar.
Perilaku diferensial tersebut adalah perilaku menolak membayar. Dari segi
nomenklatur memang terlihat sedikit kurang elegan, namun “apalah arti sebuah
nama” kata sebuah pepatah, karena pada dasarnya perilaku tersebut dapat
berdampak pada perbaikan perilaku BGD ke depan.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa apabila WM dominan maka
pelayanan publik akan baik, karena ternyata dari perilaku yang didominasi oleh
WM juga ada kecenderungan untuk mencari jalan pintas dalam pelayanan publik.
Jika ini terjadi, maka peraturan dan prosedur dalam pelayanan publik akan
cenderung diabaikan. Mengapa dikatakan dapat diabaikan? Apabila WM
cenderung mencari jalan pintas dengan melalui calo atau menyogok petugas,
maka peraturan dan prosedur tidak lagi ditaati oleh kedua pelaku interaksi.
Sehingga kesimpulan yang dapat diambil adalah apabila perilaku pelayanan
didominasi oleh salah satu pelaku interaksi, maka pelayanan publik berada pada
kategori yang kurang memuaskan semua pihak yang berkepentingan dalam
pelayanan publik. Dengan demikian, maka yang diperlukan adalah perilaku ideal
yang menunjukkan adanya pemberdayaan terhadap WM dalam pelayanan
publik, sehingga tidak ada salah satu pihak yang mendominasi perilaku
pelayanan publik. Tentunya diasumsikan bahwa pemberdayaan disini adalah
303
dalam arti yang positif. Apabila WM diberdayakan dalam pelayanan publik, maka
lambat laun akan muncul rasa memiliki terhadap pelayanan publik, sehingga
perilaku-perilaku yang diambilnya akan senantiasa diarahkan pada upaya
perbaikan pelayanan publik.
Beberapa penjelasan yang dapat dipaparkan sehubungan dengan
kesimpulan bahwa kualitas pelayanan SIM berada dalam kategori buruk adalah
sebagai berikut:
Pertama, bahwa berdasarkan hasil penelitian lapangan, ternyata
berbagai ragam perilaku yang muncul pada dasarnya bersifat negatif dan
cenderung menimbulkan malprosedur. Banyak bentuk perilaku yang muncul di
lapangan sebagai upaya untuk memanfaatkan situasi yang ada untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Misalnya dengan memanfaatkan kondisi
warga masyarakat yang dilayaninya misalnya tidak mempunyai waktu luang atau
tidak terbiasa dalam pelayanan publik. Atau bahkan juga memanfaatkan
prosedur pelayanan SIM yang ditetapkan untuk mencari keuntungan, terutama
keharusan untuk mengikuti tes praktek yang sangat sulit untuk dilakukan oleh
warga.
Berikut akan digambarkan bagaimana mekanisme atau prosedur
pengurusan SIM yang ada di lokasi penelitian, dan loket-loket yang cenderung
dieliminasi dalam pengurusan SIM.
304
Gambar 7.4 Mekanisme Pengurusan SIM (Existing Model)
Keterangan: ------------------ : Garis putus-putus menunjukkan loket-loket yang cenderung
tereliminasi sebagai akibat dari perilaku menyimpang.
Berdasarkan gambar 7.4 di atas dapat diketahui betapa panjangnya
prosedur yang harus dilalui oleh seorang WM untuk mendapatkan sebuah SIM.
Dalam prakteknya, mekanisme tersebut di atas masih ditambah satu lagi
tahapan sebelumnya, yakni pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan
dilakukan pada gedung terpisah yang letaknya tidak jauh dari gedung utama
pengurusan SIM. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh Tim Dokter yang telah
P
E
M
O
H
O
N
Loket 1
PNPB
Loket 2
Formulir
Loket 3
Pendaftaran
Loket 9
Penyerah
an SIM
Loket 4
Input
Data
Tes Praktek
Di Lapangan
Loket 7
Cek Data Loket 8
Foto
SIM/
Produksi
SIM
Loket 5
Ruang
Ujian Teori
Loket 6
Ruang Ujian
Praktek
Loket 10
Ruang
Arsip SIM
305
ditunjuk oleh pihak Polwiltabes Kota Makassar. Besarnya biaya yang harus
dibayar oleh WM untuk mendapatkan surat keterangan dokter adalah sebesar
Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah). Semua WM yang ingin memperoleh
SIM baik perpanjangan maupun baru, diwajibkan untuk memeriksakan
kesehatannya. Dan hanya mereka yang memperoleh surat keterangan sehat
dari dokter yang dapat melanjutkan permohonannya ke tahapan sebagaimana
pada gambar 7.4 di atas.
Panjangnya prosedur yang harus dilalui ditambah lagi dengan sulitnya
bentuk tes yang harus dilaksanakan oleh WM, maka kebanyakan WM yang
mengurus SIM mencari jalan pintas atau mencari gampang untuk memperoleh
SIM. Namun yang terjadi kemudian adalah perilaku-perilaku yang bertujuan
untuk mencari jalan pintas tadi dapat mengakibatkan malprosedur. Dari temuan
lapangan, membuktikan bahwa beberapa PDf dapat mengaburkan peraturan,
dalam arti bahwa prosedur yang telah ditetapkan sebagaimana gambar 7.4 di
atas tidak lagi ditaati. Misalnya dalam perilaku sebagai calo, mencari gampang,
memperlakukan khusus, kesemuanya dapat menyebabkan cacat prosedur
(malprosedur). Garis putus-putus dalam gambar 7.4 di atas adalah loket-loket
yang tidak dilalui oleh seorang WM, ketika ia memperoleh SIM dengan melalui
jalan pintas. Loket-loket yang dilalui oleh WM adalah 1,2, 8, dan 9. Bahkan ada
juga yang langsung pada loket 8 kemudian loket 9, artinya bahwa calo yang
menguruskan semua prosedur, sedangkan WM hanya datang untuk diambil
gambarnya (berfoto) setelah itu, WM menerima SIMnya.
Kedua, meskipun telah ada standar biaya yang ditetapkan yakni Rp
60.000,- (enam puluh ribu rupiah) untuk pemohon SIM baru, dan Rp 75.000,-
(tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk SIM perpanjangan, namun dari hasil
306
penelitian lapangan menunjukkan bahwa standar biaya tersebut menjadi kabur.
Artinya, pada umumnya warga yang mengurus SIM membayar tidak sesuai
dengan standar yang ada. Ada yang membayar lebih karena memang tidak
mengetahui dengan pasti besarnya biaya yang harus dibayar dan ada karena
akibat perilaku-perilaku menyimpang sehingga mereka membayar lebih dari
standar yang ditentukan. Fenomena semacam ini sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Lipsky (1980) dalam teori Street-Level Bureaucracy-
nya. Lipsky berpendapat bahwa seringkali warga tidak membaca peraturan
dalam sebuah pelayanan, sehingga apa yang disampaikan oleh BGD itulah yang
dipercaya oleh WM sebagai aturan yang harus ditaati. Disini jelas sangat terkait
dengan transparansi, dimana BGD tidak mampu menjelaskan dengan baik dan
transparan kepada WM besarnya biaya yang harus dibayarkan untuk
memperoleh sebuah pelayanan, sehingga WM selaku pengguna jasa layanan
dengan mudah diperdaya oleh BGD yang berperilaku negatif.
Berkaitan dengan biaya administrasi pelayanan SIM, ada fenomena yang
menarik di lapangan, bahwa pada umumnya warga masyarakat tidak mengetahui
bahwa besarnya biaya yang dibayarkan adalah Rp 75.000,- (untuk Pemohon
SIM Baru) dan Rp 60.000,- (untuk SIM Perpanjangan), yang dipahami
masyarakat adalah bahwa untuk SIM C adalah sebesar Rp 150.000,- (seratus
lima puluh ribu rupiah) dan untuk SIM A sebesar Rp 250.000,- (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) baik untuk pemohon baru maupun perpanjangan. Nampaknya
bukan saja WM yang berhasil ditemui di lokasi penelitian yang berpendapat
demikian, namun juga WM umum lainnya. Beberapa WM yang pernah
mengurus SIM yang sempat penulis mintai informasi, menyangka bahwa biaya
pengurusan SIM adalah Rp 150.000,- untuk SIM C dan Rp 250.000,- untuk SIM
307
A. Jadi dengan demikian, maka transparansi dan komunikasi tentang besarnya
biaya pengurusan SIM tidak berjalan dengan baik. Meskipun demikian, BGD
tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya atas fenomena seperti ini, karena
sebenarnya telah ada pengumuman yang berukuran besar dipajang di dekat
pintu masuk gedung utama pengurusan SIM, yang memuat tentang besarnya
biaya yang harus dibayar. Hanya masyarakatlah yang tidak membaca dengan
baik pengumuman tersebut. Boleh jadi ini juga dipengaruhi oleh adanya
persepsi masyarakat sebelumnya bahwa biaya pengurusan SIM adalah sebesar
yang mereka persepsikan tadi, sehingga ketika mereka akan mengurus SIM di
Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar, tidak lagi membaca dengan baik
pengumuman yang ada. Dalam teori perilaku, persepsi seseorang sangat
mempengaruhi perilaku yang dia ambil. Perilaku sebagai proses pengambilan
keputusan sangat dipengaruhi oleh sikap, persepsi, dan pengalaman belajar
seseorang, disamping faktor lainnya (Gibson, dkk. 1996). Nampak bahwa
dalam interaksi antara BGD dan WM dalam pelayanan SIM sangat dipengaruhi
oleh pemaknaan dari masing-masing pelaku interaksi. Persepsi dari masing-
masing pelaku interaksi inilah yang sangat menentukan PDf yang muncul dalam
pelayanan SIM.
Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 44/1993 yang mempersyaratkan
WM yang memperpanjang SIM ketika dari 1 tahun untuk mengikuti tes teori dan
tes praktek, sebenarnya dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu hal yang buruk.
Menurut beberapa WM yang berhasil diwawancarai mengatakan bahwa
peraturan tersebut sebenarnya tidak rasional karena mereka yang telah habis
masa berlaku SIMnya otomatis telah terampil dalam mengendarai sepeda motor,
mengingat masa berlaku SIM adalah 5 tahun jadi mereka setidaknya telah
308
mengendarai sepeda motor selama 5 tahun. Dan bukankah dengan jam
mengendara seperti itu berarti yang bersangkutan telah memiliki pengalaman
yang cukup banyak di jalan raya, sehingga menurut WM mereka tidak
seharusnya diwajibkan lagi untuk mengikuti tes teori, terlebih lagi tes praktek.
Keempat, berkaitan dengan moral dan etika. Seorang BGD yang nota
bene adalah pelayan, abdi masyarakat seharusnya menampakkan perilaku yang
siap melayani. Tidak sepantasnya mereka memanfaatkan orang-orang yang
lugu dan tidak berdaya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dia seharusnya
tampil sebagai seorang pamong praja, yaitu seorang aparat birokrasi sebagai
pelayan, pemberdaya dan penyedia fasilitas bagi masyarakat yang dilayaninya.
Bukan justru sebaliknya, memperdaya dan memanfaatkan masyarakat yang
dilayaninya. Disatu pihak, WM juga dituntut untuk berperilaku yang etis dan
sesuai dengan norma atau aturan. Jadi apa yang dikemukakan oleh Giddens
(1984) bahwa antara struktur dan interaksi dimediasi oleh moralitas memang
benar. Di dalam struktur meliputi seperangkat aturan (rules) dan sumber-sumber
(resources) yang mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi pemaknaan
(signification), dimensi dominasi (manifestasi dari perbedaan power), dan
dimensi legitimasi (legitimation). Sekalipun struktur telah dibangun dengan
baik, tetapi jika tidak didukung oleh moralitas yang baik diantara pelaku interaksi,
maka tidak akan menghasilkan suatu pelayanan yang berkualitas. Jadi dengan
demikian, maka unsur moralitas adalah merupakan hal yang sangat penting
dalam menentukan baik tidaknya perilaku yang diambil oleh pelaku interaksi,
yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap kualitas dari pelayanan publik.
Kelima, dewasa ini sering kita mendengar pemeo terhadap pelayanan
publik yakni “UUD (Ujung-Ujungnya Duit)”. Nampaknya pemeo ini telah
309
membudaya dalam birokrasi pelayanan publik di Indonesia, termasuk di lokasi
penelitian. Perilaku mempersulit, superior, menyogok, dan sebagai calo,
kesemunya adalah termasuk perilaku yang UUD tadi. UUD telah menjadi
budaya permisif, yakni sesuatu yang sebenarnya tabu dan tidak dibenarkan baik
secara etika pelayanan maupun moral keagamaan, tetapi nampaknya hal
tersebut telah dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa, sehingga orang
melakukannya tanpa merasa bersalah dan tanpa merasa malu. Padahal setiap
agama mengajarkan untuk selalu berbuat baik kepada sesama, termasuk dalam
hal memberikan pelayanan yang baik. Misalnya saja, dalam agama Islam
mengajarkan bahwa berbuat baiklah kamu kepada orang lain, niscaya Allah akan
melapangkan rezekimu. Artinya, ketika seorang BGD melayani WM dengan
baik, maka akan mendapatkan keuntungan dibelakang hari. Jadi dapat
dikatakan bahwa “bibit uang” adalah pelayanan yang baik. Sehingga prinisp
yang mengatakan “janganlah mempersulit jika dipermudah oleh Allah SWT” perlu
menjadi prinsip dalam pelayanan publik kita. Jika seorang BGD dapat
menginternalisasikan nilai-nilai semacam ini kedalam dirinya yang diwujudkan
dalam perilakunya ketika melayani WM, niscaya kondisi pelayanan publik kita
akan menjadi lebih baik dari sekarang.
Keenam, sikap hidup hedonis dan konsumtif menjadi salah satu faktor
penyebab dari perilaku negatif para aparat birokrasi (BGD). Seperti yang
dikatakan oleh Lubis (2001), bahwa orang Indonesia senang berpakaian mewah,
senang berhura-hura, cenderung boros, akan tetapi dia pada dasarnya tidak
senang bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Gejalanya segera ingin menjadi
“milyuner seketika”. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama,
karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi (Lubis,
310
2001). Sehingga ada fenomena seseorang ingin menjadi pegawai negeri bukan
karena didorong oleh keinginan hendak mengabdi kepada rakyat banyak, bukan
untuk memajukan masyarakat. Orang Indonesia juga disebut oleh Lubis sebagai
manusia sok, kalau berkuasa mudah mabuk kekuasaan. Mabuk kekuasaan
dapat tergambar dari perilaku superior yang ditampilkan oleh BGD. BGD yang
berperilaku superior lebih menampilkan dirinya sebagai pangreh praja daripada
sebagai pamong praja. Merasa dirinya bahwa dia pemegang kendali, kalau
bukan karena pertolongannya, maka warga akan menghadapi kesulitan untuk
memperoleh pelayanan yang dibutuhkannya. Disatu sisi, posisi warga dibuat
tidak berdaya dengan prosedur yang sangat ketat dan sangat sulit untuk dilalui
untuk mendapatkan sebuah SIM. Pada saat yang sama, BGD tampil dengan
perilaku superiornya sehingga posisi warga semakin “terjepit”. Disitulah dia
akan dengan mudah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, yakni uang.
Sebenarnya, jika setiap kita bersedia hidup dalam kesederhanaan,
mensyukuri nikmat Allah yang kita terima, sedikit tetapi berkah, maka hidup ini
akan menjadi lebih tenang. Tidak perlu susah-susah mencari akal untuk
mendapatkan uang yang tidak sepatutnya. Warga yang dilayani juga akan
berperilaku wajar, artinya dia tidak perlu lagi susah-susah mencari calo atau
menyogok petugas, karena semuanya telah berperilaku sesuai dengan standar
dan prosedur yang ada. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah standar
dan prosedur pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh
karenanya, dalam menentukan standar tersebut WM perlu diberdayakan. Inilah
yang dicita-citakan oleh Denhardt & Denhardt dalam New Public Service-nya,
yang mengharapkan bahwa dalam pelayanan publik nilai-nilai demokrasi perlu
311
dikedepankan, dengan memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dan
kepentingan masyarakat sebagai pemilik pelayanan publik.
Gramscie dalam bukunya “Politik dan Hegemoni” sedikit menyinggung
tentang potensi manusia. Menurutnya, dalam diri manusia terdapat potensi
bawaan untuk melakukan hal baik. Tidak ada manusia yang memiliki sifat jahat
kecuali memang ada secara kejiwaan ditemukan ada kelainan. Hal tersebut
senada dengan apa yang dikemukakan oleh Socrates, bahwa disetiap hati kecil
manusia terdapat rasa hukum dan keadilan yang sejati, bergemalah detak-detak
kesucian sebab setiap insan itu merupakan sebagian dari Nur Tuhan yang Maha
Pemurah, adil dan penuh kasih sayang meskipun detak-detak kesucian itu dapat
terselubung dan ditutupi oleh kabut tebal kemilikan, ketamakan, kejahatan, dan
aneka ragam kedholiman, namun tetap ada, serta tidak dapat dihilangkan
laksana cahaya abadi. Jadi memang pada dasarnya setiap manusia memiliki sisi
positif dan negatif, tergantung bagaimana mengelola diri sendiri sehingga yang
muncul kecenderungannya adalah yang positif. Karena sebaik-baik manusia
ialah yang dapat bermanfaat bagi manusia lainnya. Bukan justru mempersulit
atau memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun ada standar dan
aturan (meso prosedural) dalam pelayanan SIM yang dipandang sebagai hal
yang dapat mengarahkan perilaku BGD dalam memberikan pelayanan (faktor
ekternal), namun dalam kenyataannya perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh
BGD dan WM lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internalnya, seperti persepsi
(pemaknaan individu terhadap obyek pelayanan, yang dipengaruhi oleh
motivasi), moral dan etika yang dimiliki oleh individu BGD dan WM.
312
7.2.2 Recommended Model
Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang telah dikemukakan terhadap
existing model, maka berikut ini dibangun sebuah model yang direkomendasikan
untuk memperbaiki perilaku pelayanan publik, sehingga dapat terwujud suatu
pelayanan yang berkualitas (pelayanan ideal).
Gambar 7.5 Model Arah Perilaku Diferensial yang Menunjukkan Perilaku Ideal
(Recommended Model) Keterangan Gambar: PDf = Perilaku Diferensial F BGD = Gaya Negosiasi Birokrat Garis-Depan (BGD) F WM = Gaya Negosiasi Warga Masyarakat (WM). Fr3 (FBGD = FWM) = Gaya resultan 3, menunjukkan perilaku ideal karena terjadi
kesetaraan atau keseimbangan gaya negosiasi BGD dan WM, dengan asumsi bahwa kedua pelaku interaksi berusaha mentaati peraturan dan prosedur yang ada.
KP Tinggi = Kualitas Pelayanan Tinggi KP Rendah = Kualitas Pelayanan Rendah = Arah pergerakan kelompok titik berat PDf = Gaya negosiasi para pelaku keduanya mengarah ke titik ideal
PDf FBGD
FWM
Fr3 ( FWM = FBGD) KP Tinggi
KP Rendah
KP Rendah
Perilaku Menyimpang
Per
ilaku
Men
yim
pang
Perilaku Ideal
313
Gambar 7.5 mengusulkan sebuah model arah PDf yang berada pada
garis tengah (Fr3) atau mencapai titik ideal sebagai bentuk perilaku yang ideal
dalam pelayanan publik, dengan asumsi bahwa PDf yang muncul dari interaksi
BGD dan WM tidak merugikan salah satu pihak yang berkepentingan dalam
pelayanan publik. Pihak yang dimaksud disini adalah BGD, WM (baik pengguna
langsung maupun calon pengguna) serta institusi penyedia layanan. Jika hanya
menguntungkan BGD dan WM juga tidak dapat dikatakan baik, karena boleh jadi
PDf tersebut merugikan institusi. Dengan demikian diharapkan bahwa perilaku
negatif (perilaku menyimpang) yang diambil baik oleh BGD maupun WM
hendaknya diusahakan dapat berubah menjadi perilaku-perilaku yang positif
(prosedural dan sesuai peraturan). Sehingga dengan demikian, maka yang
muncul kemudian di lapangan adalah umumnya perilaku melayani.
Menurut hemat penulis bahwa pada dasarnya perilaku negatif yang
ditampilkan oleh BGD bisa dirubah menjadi perilaku positif, karena pada
prinsipnya setiap manusia itu adalah baik, hanya keadaanlah yang sering
membuat orang menjadi tidak taat azas atau melanggar aturan yang berlaku.
Oleh karenanya bagaimana membuat keadaan atau lingkungan itu menjadi
kondusif sehingga BGD dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan
bertanggung jawab.
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk merubah perilaku negatif menjadi
perilaku positif dari BGD antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, standar pelayanan harus jelas dan mengikat semua pihak yang
berkepentingan. Standar pelayanan harus mencakup: prosedur pelayanan,
waktu pelayanan yang diperlukan, biaya, prosedur, dan tata cara pelayanan.
Jika standar pelayanan menjadi jelas maka akan memberikan kepastian
314
pelayanan bagi warga masyarakat, sehingga dengan demikian akan
memudahkan pengguna layanan dan stakeholder lainnya untuk mengontrol
praktik penyelenggaraan pelayanan.
Kedua, prosedur pelayanan perlu disederhanakan. Banyaknya jumlah
loket yang harus dilalui oleh WM yang mengurus SIM membuat banyak WM tidak
ingin mengikuti prosedur resmi, tetapi menggunakan jasa calo untuk mengurus
SIM. Demikian pula halnya dengan bentuk format tes praktek mengendarai yang
sangat mengada-ada perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yakni
sesuai dengan kondisi riil jalan raya. Untuk itu, maka loket-loket dalam
pelayanan SIM perlu dikurangi, dan untuk mempercepat pelayanan, petugas
pada loket perlu ditambah sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan untuk tes
praktek, perlu ditetapkan aturan baku yang menjelaskan secara rinci bagaimana
format tes praktek yang harus diikuti oleh WM sebagai salah satu persyaratan
untuk memperoleh SIM. Aturan tersebut selanjutnya disampaikan secara tertulis
baik melalui papan pengumuman, maupun melalui leaflet yang diberikan kepada
setiap WM yang ingin mengurus SIM. Dengan demikian, maka WM mengetahui
dengan baik bagaimana format tes praktek yang harus dilalui, sehingga dapat
dijadikan sebagai alat kontrol terhadap perilaku BGD yang melayaninya. Ketika
terjadi penyimpangan dari standar yang telah ditentukan, maka WM dapat
melakukan complaint jika merasa dirugikan.
Berikut ini adalah gambar bagan prosedur pengurusan SIM bagi
pemohon baru sebagai model yang direkomendasikan dalam penelitian ini.
315
Pada mekanisme pengurusan SIM bagi pemohon baru yang
direkomendasikan di atas lebih sederhana dari model sebelumnya. Dengan
mana pada model sebelumnya terdiri atas 10 loket, disederhanakan menjadi 6
loket. Beberapa loket yang perlu dihilangkan (digabung dengan loket lainnya)
adalah loket pendaftaran, loket cek data, loket produksi SIM. Tugas pendaftaran
ini dapat dilakukan pada loket formulir. Karena pada existing model, petugas
pada loket formulir hanya menyerahkan formulir kepada WM yang telah
membayar biaya PNBP, tugas ini dapat dirangkap oleh petugas loket 2 (loket
formulir). Namun yang perlu ditambah menjadi 2 orang, satu orang bertugas
memberikan formulir, dan satunya lagi bertugas mengentri data ke komputer.
P
E
M
O
H
O
N
Loket 1
PNPB
Loket 2
Formulir/
Pendaftaran
Loket 3
Ruang
Ujian Teori
Tes Praktek
Di Lapangan
Loket 5
Cek Data/
Foto SIM/Produksi SIM
Loket 4
Ruang
Ujian
Praktek
Loket 6
Penyerahan SIM
Membawa syarat adm:
1. Surat keterangan sehat
dari dokter
2. KTP
3. Sertifikat Lulus
Mengemudi dari lembaga
kursus *)
Gambar 7.6 Mekanisme Pengurusan SIM bagi Pemohon Baru (Recommended Model)
Keterangan: *) Khusus pemohon SIM A, tidak perlu ikut tes teori dan praktek
316
Setelah itu, WM kemudian langsung menuju loket ujian teori (loket 3), lalu ke
loket ujian praktek (loket 4). Setelah dinyatakan lulus, maka WM tidak perlu lagi
ke loket edit data sebagaimana dalam existing model, tetapi langsung ke loket 5
untuk foto SIM. Pada loket ini, ada 3 tugas yang dapat dilakukan sekaligus, yaitu
mengecek data WM yang akan di foto. Setelah semuanya benar, maka
pengambilan gambar dapat dilakukan. Produksi SIM dapat dilakukan dalam
loket ini pula, karena memang dalam kenyataannya, mesin cetak SIM ada dalam
ruangan ingin, sehingga dengan demikian, WM tidak perlu melalui banyak pintu
untuk memperoleh SIM. Banyaknya pintu yang harus dilalui WM, seringkali
memberi peluang terjadinya perilaku-perilaku menyimpang dari BGD. Namun
sekali lagi perlu ditegaskan bahwa jumlah loket dikurangi tetapi petugas pada
masing-masing loket yang perlu ditambah disesuaikan dengan jumlah WM yang
mengurus SIM setiap harinya, sehingga pelayanan bisa berjalan dengan lancar.
Demikian pula fasilitas pendukung perlu ditambah, terutama komputer yang
digunakan untuk pengambilan gambar. Karena yang selalu menjadi kendala
dalam pelayanan SIM adalah masalah keterbatasan komputer untuk
pengambilan gambar, dengan mana hanya terdapat 1 buah komputer sementara
jumlah warga masyarakat yang mengurus SIM setiap harinya rata-rata 150
orang, sehingga dalam pengamatan lapangan terjadi antrian yang panjang pada
loket pengambilan gambar.
Untuk mekanisme pengurusan SIM untuk perpanjangan seharusnya lebih
singkat lagi. Beberapa loket seharusnya tidak perlu lagi dilalui seperti loket ujian
teori dan ujian praktek. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa masa berlaku
SIM adalah 5 tahun, dengan demikian maka seorang WM yang telah habis masa
berlaku SIM-nya tentunya telah memiliki pengalaman yang cukup dalam
317
mengendarai sepeda motor. Dengan demikian, ujian teori dan ujian praktek
tidak terlalu relevan lagi untuk dilaksanakan, hal ini mengingat bahwa
keterampilan mengendarai atau mengemudikan sepeda motor atau mobil adalah
sesuatu keterampilan yang tidak akan mudah dilupakan oleh seseorang.
Namun, loket yang tetap harus dilalui adalah pemeriksaan kesehatan.
Dalam prakteknya di lapangan, WM yang ingin memperpanjang SIMnya
akan dikenakan ujian teori dan praktek apabila masa berlaku SIM lewat dari 1
tahun. Kebijakan seperti ini dipersepsi oleh masyarakat sebagai kebijakan yang
sangat buruk dan tidak rasional. Kenapa? Karena menurut beberapa WM yang
berhasil diwawancarai antara lain mengatakan bahwa ”sebenarnya kami tidak
perlu lagi dites karena telah berpengalaman dalam mengendarai sepeda motor”
(Rahman, hasil wawancara tanggal 28 April 2007). Sehingga menurut WM,
bahwa tes seperti itu sangat mengada-ada dan mempersulit WM yang ingin
memperpanjang SIMnya. Dalam kenyataannya beberapa dari WM yang
terlambat mengurus perpanjangan SIM, karena tidak memiliki waktu luang
diakibatkan kesibukannya sehari-hari sehingga seringkali WM tidak dapat
memperpanjang SIM segera setelah masa berlaku sim berakhir. Ada juga WM
yang sama sekali lupa bahwa masa berlaku SIMnya telah habis, dan nanti
setelah ditangkap oleh Petugas Kepolisian dalam suatu sweeping, barulah yang
bersangkutan sadar bahwa SIMnya telah mati. Jadi untuk kasus seperti yang
terakhir ini, hanya semata-mata karena kelalaian yang tidak disengaja oleh WM.
Oleh karenanya memang, kebijakan untuk mewajibkan ujian teori dan ujian
praktek bagi WM yang memperpanjang SIM hendaknya dihapuskan.
Dengan demikian, maka mekanisme pengurusan SIM perpanjangan yang
direkomendasikan dapat digambarkan sebagai berikut:
318
Gambar 7.7 Mekanisme Pengurusan SIM Perpanjangan (Recommended Model) . Dalam gambar di atas tetap merekomendasikan tes kesehatan perlu
dilaksanakan. Hal ini sangat berperan penting didalam keselamatan seseorang
dalam mengemudikan kendaraan. Kondisi kesehatan secara umum, sangat
berperan penting dalam kemampuan seseorang dalam mengendarai sepeda.
Terlebih lagi karena salah satu bentuk tes dalam pemeriksaan kesehatan adalah
tes buta warna. Tes ini memang sangat penting untuk seorang pengemudi demi
keselamatan baik bagi dirinya maupun terhadap pengguna jalan lainnya.
Seseorang yang buta warna misalnya, sangat berbahaya di jalan raya terutama
ketika berada dipersimpangan jalan yang memiliki traffic light. Bisa saja warna
merah dianggap warna hijau, jadinya akan sangat berbahaya dan dapat
menimbulkan kecelakaan lalulintas.
Loket 2
Cek Data/
Foto SIM/
Produksi SIM
Loket 3
Penyerahan SIM
Membawa Syarat adm:
1. Surat keterangan sehat
dari dokter
2. SIM lama
Loket 1
PNPB
P
E
M
O
H
O
N
319
Hal yang menggembirakan dirasakan oleh WM adalah kebijakan yang
dilakukan oleh pihak Saltantas mempermudah WM untuk memperpanjang SIM
yakni mengadakan SIM keliling setiap hari Senin jam 08.00-12.00 di Jalan Andi
Pangerang Pettarani. Namun sayangnya, masih banyak WM yang belum
mengetahui hal tersebut hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi
terhadap WM. Kebijakan mempermudah WM untuk memperpanjang SIM akan
lebih baik apabila ditambah dengan SIM corner, night service, dan atau Sunday
Morning Service (SMS) sebagaimana yang dilakukan oleh Satlantas Polwiltabes
Surabaya (lihat Jawa Pos, Senin 10 Maret 2008).
Ketiga, sistem rekrutmen (penerimaan anggota POLRI) perlu diperbaiki,
terutama menyogok perlu dihilangkan dalam penerimaan anggota kepolisian
agar mereka yang diterima menjadi pegawai publik betul-betul orang yang
kapabel. Jika mereka menyogok lantas diterima, bisa berdampak pada
perilakunya ketika menjadi pelayan. Dia akan berusaha mendapatkan uang
yang tidak halal agar “modalnya” bisa kembali. Ini yang banyak terjadi dalam
sistem rekrutmen di kepolisian dan juga pada pegawai publik lainnya. Kita tidak
dapat menutup mata bahwa fenomena KKN dalam penerimaan pegawai publik
masih subur terjadi bahkan setelah masa reformasi, sebuah masa yang
sebenarnya diharapkan dapat menghapuskan KKN. Beberapa hasil penelitian
telah membuktikan hal tersebut, antara lain hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Dwiyanto, dkk. (2002) bahwa kecenderungan perilaku birokrasi yang masih
tetap korup sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan pada hubungan
personal daripada faktor kapabilitas. Fenomena semacam ini kemudian
memunculkan banyak pandangan miring yang mengatakan bahwa polisi turun ke
jalan untuk mencari uang, bukan untuk memberikan pelayanan kepada
320
masyarakat. Jadi dapat simpulkan bahwa apabila sistem rekrutmen salah, maka
yang muncul dalam pelayanan nantinya adalah perilaku-perilaku negatif
(disfungsional) karena mereka yang terpilih bukanlah orang yang kapabel, yang
mencintai pekerjaannya, tetapi semata-mata hanya ingin menjadikan pelayanan
sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Keempat, moral dan etika perlu diperbaiki antara lain melalui penerapan
kode etik profesi secara tegas, internalisasi nilai-nilai kejujuran atau melalui
pemberian pelatihan bagaimana memberikan pelayanan yang baik, bagaimana
tersenyum dan menyapa yang menyenangkan warga, dll. Bukan senyum tapi
masam, sehingga mereka yang melihat juga akan merasa tidak enak. Jadi yang
penting disini adalah bagaimana BGD memaknai pelayanan sebagai suatu
ibadah, sehingga pelayanan yang diberikannya dapat tulus, ikhlas tanpa pamrih.
Seseorang yang merasa terlayani dengan baik, niscaya juga akan membalas
dengan ikhlas berupa uang sebagai “tanda terimakasih”. Alangkah indahnya jika
pelayanan dapat seperti ini. Tetapi jika pelayanan dikondisikan sedemikian rupa
sehingga warga terpaksa membayar, maka yang muncul adalah ketidakikhlasan,
dan bahkan juga adalah dosa. Karena dalam agama, menyogok dan disogok
sama saja hukumnya, yakni mendapat dosa.
Kelima, pemberian reward dan punishment. Reward diberikan terhadap
BGD yang dapat berperilaku fungsional atau positif, yang berkomitmen
menjalankan peraturan dengan baik serta dapat mengambil diskresi dengan
baik, dalam arti bahwa kebijakan yang diambilnya dapat menguntungkan semua
pihak, baik itu terhadap lembaga, dirinya selaku pelayan dan juga terhadap
warga masyarakat yang dilayani. Reward dapat berupa kenaikan pangkat dan
atau gratifikasi. Hal ini sejalan dengan teori penguatan (reinforcement theory),
321
yang mengatakan bahwa penguatanlah yang mengkondisikan perilaku
seseorang. Teori ini memandang bahwa perilaku seseorang disebabkan oleh
lingkungan. Apa yang mengendalikan perilaku adalah pemerkuat
(reinforcement) artinya adalah setiap konsekuensi, bila segera diikuti oleh suatu
respons, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku itu akan diulang. Misalnya
apabila seorang BGD berperilaku positif dalam memberikan pelayanan, dan
segera diberikan reward (positive reinforcement) dalam bentuk kenaikan pangkat
atau gratifikasi maka BGD tersebut akan mengulang perilakunya. Sebaliknya,
apabila seorang BGD yang berperilaku menyimpang atau melanggar aturan dan
prosedur pelayanan segera diberikan punishment (negative reinforcement)
dalam bentuk demosi atau teguran, maka BGD tersebut tidak akan mengulangi
lagi perbuatannya. Jadi punishment tidak semata dimaknai sebagai sebuah
hukuman yang berkonotasi negatif, tetapi punishment lebih dimaknai kepada
pemberian hukuman atau ganjaran sehingga BGD tersebut tidak berani lagi
melakukan perbuatan yang dianggap merugikan warga masyarakat dan institusi.
Dengan demikian maka tujuan punishment lebih diartikan kepada upaya
perbaikan pelayanan publik.
Keenam, meningkatkan pengawasan dalam pelayanan SIM, baik
pengawasan internal maupun eksternal. Pengawasan internal dapat dilakukan
oleh pimpinan organisasi atau badan pengawasan terkait. Sedangkan
pengawasan ekternal dapat dilakukan oleh WM, LSM, wartawan, DPR/DPRD,
lembaga ombudsman. Pada umumnya BGD akan bekerja dengan baik jika
diawasi. Ketika tidak ada pengawas, maka ia dapat berperilaku negatif, tipe
manusia seperti ini oleh McGregor disebut sebagai manusia X. Teori X
berasumsi bahwa karyawan yang tidak menyukai pekerjaan, malas, menghindari
322
tanggung jawab, dan harus dipaksa untuk bekerja. Tetapi tidak semua BGD
perlu diawasi dalam melakukan pekerjaan. Ada tipe orang yang justru tidak bisa
bekerja dengan baik jika terus diawasi. Tipe seperti ini oleh McGregor disebut
sebagai manusia tipe Y. Teori Y berasumsi bahwa karyawan menyukai
pekerjaan, kreatif, mencari tanggung jawab, dan bisa melatih atau mengarahkan
diri sendiri. Implikasinya adalah setiap pimpinan organisasi harus mampu
memahami bagaimana tipe setiap bawahannya, agar mudah mengarahkan
perilakunya. Apakah BGD tertentu perlu diawasi ataukah justru sebaliknya. Jadi
kepemimpinan juga sangat memegang peranan penting dalam mengarahkan
perilaku bawahan.
Kembali kepada soal pengawasan, pengawasan sebenarnya bertujuan
agar aturan bisa ditegakkan sehingga kepuasan masyarakat bisa tercapai dalam
pelayanan publik. Oleh karena itu, maka setiap pelayanan publik perlu membuat
standar pelayanan publik yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam
melakukan kontrol. Apakah dalam prakteknya sesuai dengan standar pelayanan
yang telah dibuat ataukah BGD membuat diskresi yang merugikan masyarakat.
Standar pelayanan publik harus memuat secara jelas dan tegas tentang:
besarnya biaya pelayanan yang diperlukan, waktu yang dibutuhkan mulai awal
proses sampai diterimanya produk pelayanan, kejelasan personil atau BGD
yang melayani, prosedur yang harus dilalui, bentuk pelayanan harus jelas
(misalnya bagaimana bentuk tes praktek yang harus dilalui oleh WM untuk
mendapatkan SIM), ketersediaan fasilitas pelayanan yang dibutuhkan, misalnya
perlu disediakan sepeda motor atau mobil bagi WM yang akan mengikuti tes,
kualitas produk yang dihasilkan. Agar standar pelayanan bisa efektif, maka
perlu disosialisasikan kepada masyarakat pengguna jasa layanan, sehingga
323
mereka dapat memahami hak dan kewajibannya dalam memperoleh suatu
layanan publik. Jika warga masyarakat dapat mengetahui dengan baik standar
pelayanan yang memuat tentang hak dan kewajiban warga tersebut, maka fungsi
kontrol dari warga masyarakat dapat berjalan dengan baik. Sehingga pelayanan
publik dapat diharapkan semakin hari semakin baik, dalam arti semakin
profesional dan memuaskan masyarakat. Hal lebih baik lagi jika WM
diberdayakan dalam proses perumusan standar pelayanan tersebut, melalui
format citizens charter. Dengan demikian self of belonging WM terhadap
pelayanan publik menjadi tinggi, sehingga akan bertanggung jawab terhadap
terciptanya kualitas pelayanan publik yang lebih baik.
Ketujuh, menyediakan sarana pengaduan bagi masyarakat sehingga
lembaga atau institusi dapat mengetahui keluhan-keluhan masyarakat sehingga
bentuk pelayanan yang diberikannya dapat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Jika prosedur komplain bisa efektif, maka BGD akan takut untuk
berperilaku menyimpang, karena akan ketahuan nantinya ketika warga
masyarakat melakukan komplain kepada institusi.
Tidak cukup hanya BGD yang perlu dirubah perilakunya, akan tetapi
dipihak warga juga yang harus diperbaiki. Karena terbukti bahwa perilaku warga
juga banyak yang tidak mencerminkan perilaku positif, yang juga turut memiliki
andil terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik. Misalnya perilaku
menyogok, kolusi, dan mencari gampang, semuanya itu termasuk perilaku-
perilaku yang dapat merusak pelayanan publik. Tetapi intinya adalah apabila
birokrasi pelayanan publik bisa terstandardisasi dengan baik sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat, maka otomatis perilaku warga yang
demikian akan tereliminasi dengan sendirinya. Pada dasarnya warga
324
masyarakat menyogok, mencari gampang atau berkolusi dengan petugas,
karena ada hal yang tidak beres dalam pelayanan publik.
Upaya untuk merubah perilaku negatif dari warga dapat melalui :
Pertama, warga masyarakat perlu diberdayakan dalam pelayanan publik,
antara lain dengan melalui citizens’ charter (CC). Dengan metoda CC, maka
warga merasa memiliki pelayanan, sehingga merasa bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Agar warga bisa berdaya maka
warga perlu ditingkatkan kualitasnya. Artinya peran pemerintah sangat penting
untuk memperbaiki kualitas warga masyarakat. Banyak aspek yang terkait
dengan kualitas warga masyarakat, antara lain adalah pendidikan, gizi, dan
kesejahteraan. Oleh karenanya sudah saatnya birokrasi pemerintah memusatkan
perhatian kepada upaya pemberdayaan masyarakat, bukan saja dari segi
ekonomi, tetapi juga dari segi sosial dan kultural/budaya.
Kedua, warga masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan untuk
memperoleh SIM sesuai standar tes yang ideal, dalam arti sesuai dengan kondisi
layaknya jalan raya, maka tidak boleh diberikan SIM, jika warga yang demikian
diberikan SIM, maka akan berakibat buruk seperti terjadinya kecelakaan
lalulintas. Persyaratan mengenai umur yang dapat memperoleh SIM juga perlu
diperketat, yakni hanya mereka yang berumur 16 tahun ke atas untuk SIM C dan
17 tahun ke atas untuk SIM A (UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalulintas dan
Angkutan Jalan). Mereka yang telah mencapai umur demikian dianggap telah
memiliki tingkat emosi yang cenderung stabil sehingga berpengaruh ketika
mengendarai sepeda motor di jalan raya. Jadi penerapan prosedur dan
persyaratan dengan tegas dapat mengurangi perilaku negatif warga. Data yang
ada di lapangan bahwa 75% kecelakaan lalu lintas adalah disebabkan oleh
325
kendaraan sepeda motor. Dengan demikian, maka perlu ditinjau kembali
bagaimana prosedur pemberian SIM yang ada selama ini agar dapat sesuai
dengan kondisi riil lapangan dan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, memberikan pembelajaran kepada masyarakat bahwa kualitas
pelayanan publik juga sangat ditentukan oleh WM. Apabila WM cenderung
mencari gampang dalam pelayanan publik, maka BGD yang melayani juga
kecenderungannya berperilaku sesuai dengan keinginannya. Karena otomatis
fungsi kontrol dari WM tidak ada. Disamping itu, perilaku mencari gampang
dalam pelayanan publik dapat berdampak buruk terhadap WM lainnya, baik
pengguna saat sekarang maupun yang akan datang.
7.3 Proposisi Hasil Penelitian 7.3.1 Proposisi Minor
Berdasarkan hasil temuan penelitian ini, maka dapat disusun beberapa
proposisi minor :
Pertama, berkaitan dengan bentuk-bentuk perilaku diferensial yang terjadi
dari hasil interaksi gaya-gaya negosiasi BGD dengan gaya-gaya negosiasi WM,
maka dapat disusun 11 (sebelas) proposisi minor sebagai berikut:
1. Seorang BGD memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan
gaya negosiasi kerjasama, berinteraksi dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung
akan terjadi perilaku diferensial melayani.
2. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan
gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan, cende-
326
rung akan terjadi perilaku dferensial memperlakukan khusus (customization)
anggota korps tertentu.
3. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi
dengan gaya negosiasi kecurangan, berinteraksi dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan, cen-
derung akan terjadi perilaku diferensial mengabaikan (playing ignorant).
4. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi
dengan gaya negosiasi intimidasi, berinteraksi dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan,
cenderung akan terjadi perilaku diferensial menolak membayar.
5. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan
dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi,
cenderung akan terjadi perilaku diferensial melayani.
6. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan
gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi,
cenderung akan terjadi perilaku diferensial memperlakukan khusus
(customization) anggota korps tertentu.
7. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi
dengan gaya negosiasi kolusi, berinteraksi dengan WM yang memaknai
obyek pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi,
cenderung akan terjadi perilaku diferensial sebagai calo dan mencari
gampang.
327
8. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi
dengan gaya negosiasi intimidasi, berinteraksi dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kecurangan,
cenderung akan terjadi perilaku diferensial superior dan menyogok.
9. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan
dengan gaya negosiasi percekcokan, berinteraksi dengan WM yang
memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli dengan gaya negosiasi
kecurangan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial superior dan mogok.
10. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan
gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai
pelayanan sebagai jasa terbeli dengan gaya negosiasi kompensasi,
cenderung akan terjadi perilaku diferensial memperlakukan khusus
(customization) korps tertentu.
11. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan
dengan gaya negosiasi percekcokan, berinteraksi dgn WM yang memaknai
pelayanan sbg jasa terbeli dgn gaya negosiasi pertukaran, cenderung akan
terbentuk perilaku diferensial mempersulit dan menyogok.
Kedua, berdasarkan pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan
dari masing-masing bentuk perilaku diferensial, maka dapat disusun 2 (dua)
buah proposisi minor sebagai berikut:
12. Apabila perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara gaya
negosiasi BGD dan gaya negosiasi WM titik beratnya mengarah kepada
BGD, dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut cenderung menguntungkan
BGD.
328
13. Apabila perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara gaya
negosiasi BGD dan gaya negosiasi WM titik beratnya mengarah kepada WM,
dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut cenderung menguntungkan WM
Ketiga, berdasarkan aktor dominan yang menjadi penentu perilaku
pelayanan diperoleh temuan bahwa aktor yang mendominasi perilaku pelayanan
pada Pelayanan SIM di Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar adalah
birokrat garis-depan (BGD). Berdasarkan temuan tersebut maka dapat dibangun
proposisi minor sebagai berikut:
14. Jika aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan publik adalah
BGD, maka perilaku pelayanan publik cenderung akan menguntungkan BGD
dan merugikan WM. Seba-liknya, jika aktor dominan yang menjadi penentu
perilaku pelayanan publik adalah WM, maka perilaku pelayanan publik
cenderung akan menguntungkan WM dan atau merugikan BGD.
7.3.2 Proposisi Mayor
Dari keempat belas proposisi minor tersebut di atas, maka dapat
dibangun sebuah proposisi mayor sebagai berikut:
“Apabila perilaku diferensial yang muncul dalam interaksi antara BGD
dan WM dapat menguntungkan semua pihak yang berkepentingan
dalam pelayanan publik (institusi penyedia layanan, BGD, WM - baik
warga masyarakat pengguna langsung maupun calon pengguna
pelayanan publik), maka pelayanan publik akan berkualitas. Dengan
asumsi bahwa perilaku tersebut tidak menyimpang dari aturan”.
329
Tabel 7.1 Matriks Fokus Penelitian, Temuan Penelitian, Proposisi Minor dan Mayor, Rekomendasi Teoritis dan Rekomendasi Praktis
Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis Bagaimana bentuk Perilaku Diferensial (PDf) yang terjadi dalam interaksi antara gaya-gaya negosiasi birokrat garis-depan (GGN-BGD) dengan gaya-gaya negosiasi warga masyarakat (GGN-WM)?
Terdapat 10 bentuk PDf dalam interaksi GGN-BGD dan GGN-WM Kesepuluh perilaku tersebut adalah sbb:, superior, mengabaikan, sebagai calo, memper-sulit, mogok, menolak membayar, mencari gampang, melayani, memperlakukan khusus, dan menyogok. Kesepuluh perilaku tersebut cenderung muncul secara bersa-maan atau tumpang tindih satu sama lain (mutually all inclusive)
Dalam kenyataannya, perilaku yang muncul sangat dipengaruhi oleh norma dan budaya masyarakat, yang tercermin dari pemak-naan masing-masing pelaku interaksi, sehingga cenderung mengeliminasi per-aturan/prosedur pela-yanan.
Proposisi Minor:
1. Seorang BGD memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan gaya negosiasi kerjasama, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung akan terjadi perilaku diferensial melayani.
2. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan, cende-rung akan terjadi perilaku dferensial memperlakukan khusus (customization) anggota korps
tertentu. 3. Seorang BGD yang memaknai
pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dengan gaya negosiasi kecurangan, berin-teraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percekcokan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial mengabaikan.
Hasil temuan tentang bentuk-bentuk perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara BGD dan WM dalam pelayanan publik dianggap dapat mengembangkan teori Lipsky (1980) yang hanya mendasarkan
argumentasi teorinya pada perilaku-perilaku yang umum yang dilihat pada SLB, dan bukan berdasarkan hasil penelitian yang sistematis terhadap interaksi BGD dan WM. Mengembangkan hasil temuan Soedarmo (1998) tentang Gaya-gaya negosiasi. Dalam penelitian Soedarmo tidak mengkaji secara khusus tentang bentuk-bentuk perilaku yang muncul dari hasil interaksi antara gaya-gaya negosiasi BGD dan WM. Pada penelitian ini telah mengkaji secara khusus perilaku-perilaku yang muncul dari hasil interaksi antara GGN dari BGD dan WM.
Karena dalam penelitian menemukan banyak perilaku yang mengakibatkan mal-prosedur dan sifatnya negatif, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk mengubah perilaku negatif BGD melalui berbagai cara: 1. membuat standar pelayanan
yang tegas dan mengikat semua pihak mencakup: prosedur pela-yanan, waktu pelayanan yang diperlukan, biaya, prosedur, dan tata cara pelayanan.
2. prosedur pelayanan perlu disederhanakan dengan me-ngurangi jumlah loket tetapi menambah petugas pada setiap loket sesuai dgn kebutuhan.
3. Tata cara tes praktek perlu jelas agar diskresi yang diambil BGD tidak merugikan WM.
4. Pengawasan perlu diperketat (baik internal maupun eksternal)
5. Penerapan reward and punishment
6. Sistem rekrutmen perlu diperbaiki
7. Penyediaan fasilitas pelayanan yang memadai sesuai dengan kebutuhan.
8. Peningkatan kesejahteraan BGD.
330
Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis
4. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dengan gaya negosiasi intimidasi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai hak warga dengan gaya negosiasi percek-cokan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial menolak membayar.
5. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung akan terjadi gaya negosiasi melayani.
6. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung akan terjadi perlakuan memperlakukan khusus (customization) korps tertentu.
7. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dengan gaya negosiasi kolusi, berinteraksi dengan WM yang memaknai obyek pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kompromi, cenderung akan terjadi perilaku diferensial sebagai calo dan mencari gampang
Menyempurnakan pandangan Giddens bahwa struktur (dalam hal ini adalah aturan) dapat menjadi contraining bagi
perilaku BGD. Dalam penelitian ini menemukan bahwa WM juga dapat berfungsi sebagai contraining bagi
perilaku BGD. Misalnya ketika seorang WM yang berani melakukan penolakan terhadap permintaan BGD yang dianggap melanggar aturan, misalnya dengan meminta sejumlah uang diluar ketentuan yang ada. WM yang berperilaku seperti ini sebenarnya bernilai positif bagi organisasi dan juga bagi warga yang lainnya, dan dapat berdampak pada perbaikan pelayanan publik secara keseluruhan, sehingga dapat memuaskan warga masyarakat.
Sosialisasi peraturan dan prosedur pelayanan kepada WM, sehingga setiap WM dapat memahami dengan baik peraturan dan prosedur yang ada. Perlunya diterapkan prinsip keadilan atau kesamaan hak dalam pelayanan publik, sehingga tidak ada WM yang merasa diperlakukan diskriminatif dengan warga yang lainnya. Perlu penyadaran kepada WM bahwa perilaku mencari gampang justru akan merugikan dirinya sendiri. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memperbaiki kualitas pelayanan publik sehingga WM antusias untuk mengurus sendiri SIMnya.
331
Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis
8. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi dengan gaya negosiasi intimidasi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai kewajiban warga dengan gaya negosiasi kecurangan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial superior dan menyogok.
9. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan gaya negosiasi percekcokan, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli dengan gaya negosiasi kecurangan, cenderung akan terjadi perilaku diferensial superior dan mogok.
10. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai tugas dari atasan dengan gaya negosiasi kompromi, berinteraksi dengan WM yang memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli dengan gaya negosiasi kompensasi, cende-rung akan terjadi perilaku diferensial memperlakukan khusus (customization) korps tertentu.
Mengembangkan teori pelayanan publik bahwa adanya perilaku menyogok dalam pelayanan publik menunjukkan tidak efektifnya sistem pengawasan yang ada dalam pelayanan publik. Mendukung pandangan Islamy (2000) bahwa meskipun pelayanan publik sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah (monopoli) namun tidak dapat mengabaikan prinsip-prinsip pokok dalam pelayanan publik agar dapat berkualitas. Mendukung pandangan Hirschman (1970) tentang exit, voice, dan loyalty.
Perlu diupayakan pemberian punishment baik terhadap BGD dan
juga terhadap WM yang melanggar aturan dan prosedur dalam pelayanan publik. Menghilangkan monopoli dalam pelayanan publik, sehingga WM yang tidak puas dalam pelayanan publik dalam menggunakan hak exit-nya, dengan memilih (choice)
birokrasi pelayanan publik yang lain yang juga menyediakan pelayanan yang sama, sehingga tidak perlu terjadi sikap putus asa yang berujung pada perilaku tidak melanjutkan proses pengurusan SIM. Perlunya diterapkan prinsip keadilan dan kesamaan hak dalam pelayanan publik.
332
Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis
11. Seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai pelaksanaan aturan dengan gaya negosiasi per-cekcokan, berinteraksi dgn WM yang memaknai pela-yanan sbg jasa terbeli dgn gaya negosiasi pertukaran, cenderung akan terbentuk perilaku diferensial mem-persulit dan menyogok.
Mengembangkan teori pelayanan publik bahwa adanya perilaku mempersulit dan menyogok merupakan cerminan dari rendahnya kualitas pelayanan publik yang ada.
Perlu penerapan standar pelayanan publik yang jelas dan mengikat semua pihak, dengan ketentuan bahwa standar pelayanan tersebut telah memenuhi aspek demokratis, artinya bahwa apa yang dimuat dalam standar pelayanan publik tidak mengabaikan kepentingan dan kebutuhan masya-rakat.
Pihak mana yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan dari setiap bentuk PDf yang muncul dari hasil interaksi antara GGN BGD dan WM.
Dari kesepuluh PDf: 5 bentuk PDf yang cenderung me-nguntungkan BGD (self serving) yaitu, superior, mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, mogok; 2 bentuk PDf yang cenderung menguntungkan WM yakni perilaku mencari gampang dan menolak membayar, dan 3 bentuk PDf yang sifatnya interaktif atau menguntungkan pelaku interaksi yakni BGD dan WM (mutual benefit),
yaitu perilaku melayani, memperlakukan khusus anggota korps tertentu, dan menyogok.
12. Apabila perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara gaya negosiasi BGD dan gaya negosiasi WM titik beratnya mengarah kepada BGD, dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut cenderung menguntungkan BGD.
13. Apabila perilaku diferensial yang terjadi dari hasil interaksi antara gaya negosiasi BGD dan gaya negosiasi WM titik beratnya mengarah kepada WM, dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut cenderung menguntungkan WM
Mendukung pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) tentang New Public Service yang mengatakan bahwa perlunya pemberdayaan atau partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik, karena pemilik pelayanan publik yang sebenarnya adalah warga masyarakat.
Perlunya menerapkan Citizens’ Charter (CC) dalam pelayanan SIM. Pemberdayaan WM melalui CC akan meningkatkan sense of belonging WM
terhadap pelayanan publik, sehingga dengan demikian WM akan berupaya agar pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan bersama. Pada akhirnya tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pelayanan publik.
333
Fokus Penelitian Temuan Penelitian Proposisi Minor dan Mayor Rekomendasi Teoritis Rekomendasi Praktis
Siapa aktor dominan yang menjadi penentu PDf dalam pelayanan SIM
Aktor dominan yang menjadi penentu PDf adalah BGD sedang-kan WM adalah resesif (lemah)
14. Jika aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan publik adalah BGD, maka perilaku pelayanan publik cenderung akan menguntungkan BGD dan merugikan WM. Sebaliknya, jika aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan publik adalah WM, maka perilaku pelayanan publik cenderung akan menguntungkan WM dan atau merugikan BGD.
1. Mendukung pandangan Soedarmo (1999) dan Khoidin dan Sadjijono (2006) bahwa kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh aktor pelayan (birokrat garis-depan) dan juga warga masyarakat yang dilayani.
2. Mendukung pandangan Giddens (1984) bhwa adanya dominasi dalam suatu interaksi merupakan manifestasi dari perbedaan power
antara BGD dan WM.
Perlu meningkatkan mutual awareness BGD dan WM untuk menerapkan aturan dan prosedur pelayanan publik dengan baik, melalui penerapan standar pelayanan publik yang telah disepakati bersama berdasarkan Kepmenpan 63/2003. Hal ini penting dilakukan karena dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya PDf yang muncul dari interaksi antara BGD dan WM, kecenderungannya mengaburkan peraturan yang telah ditetapkan
Proposisi Mayor:
Apabila perilaku diferensial yang muncul dalam interaksi antara BGD dan WM dapat menguntungkan semua pihak yang berkepentingan dalam pelayanan publik (institusi penyedia layanan, BGD, WM - baik warga masyarakat pengguna langsung maupun calon pengguna pelayanan publik), maka pelayanan publik akan berkualitas. Dengan asumsi bahwa perilaku tersebut tidak menyimpang dari aturan.
Mengembangkan teori pelayanan publik, dengan mana dalam temuan ini menemukan bahwa: (1) apabila dalam sebuah institusi pelayanan publik terdapat banyak calo (baik calo sipil maupun calo birokrat), maka dapat dipastikan bahwa pelayanan publik yang ada tidak memuaskan warga masyarakat; (2) perilaku mencari gampang dari WM sebenarnya dipicu oleh peraturan dan prosedur yang dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu yang buruk.
Perlu diupayakan agar tidak ada monopoli dalam pelayanan SIM. Oleh karena itu, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk menyelenggarakan pelayanan SIM perlu ditinjau kembali. Karena monopoli dalam pelayanan publik cenderung membuat BGD sebagai pihak yang sangat dibutuhkan. Akibatnya BGD berperilaku seenaknya
Scanned by CamScanner
334
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik tiga buah
kesimpulan:
Pertama, setidaknya ada sepuluh bentuk perilaku diferensial yang
muncul dari interaksi antara gaya-gaya negosiasi BGD dan WM, yaitu perilaku
superior, mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, mogok, menolak membayar,
mencari gampang, melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan
menyogok. Perlu ditekankan disini bahwa kesepuluh bentuk perilaku diferensial
tersebut hanya menunjukkan kecenderungan umum saja, karena pada
dasarnya beberapa bentuk perilaku diferensial muncul secara bersamaan dan
saling tumpang tindih (mutually all inclusive) dengan perilaku diferensial lainnya.
Nampak bahwa perilaku yang muncul dari interaksi tersebut sangat tergantung
dari pemaknaan masing-masing individu pelaku interaksi, misalnya ketika
seorang BGD yang memaknai pelayanan sebagai sarana kepentingan pribadi
dengan menampilkan gaya negosiasi kolusi, berinteraksi dengan WM yang
memaknai pelayanan sebagai jasa terbeli dengan menampilkan gaya negosiasi
pertukaran, maka cenderung muncul perilaku sebagai calo dan mencari
gampang.
Kedua, berdasarkan pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan
dari masing-masing bentuk perilaku diferensial, maka diperoleh: (1) apabila
perilaku diferensial titik beratnya mengarah kepada BGD, dapat dikatakan bahwa
perilaku tersebut cenderung menguntungkan BGD. Setidaknya terdapat 5 (lima)
335
bentuk perilaku diferensial yang cenderung menguntungkan BGD yakni superior,
mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, dan mogok. (2) Apabila perilaku
diferensial titik beratnya mengarah kepada WM, dapat dikatakan bahwa perilaku
diferensial tersebut cenderung menguntungkan WM. Setidaknya terdapat 2
(dua) bentuk perilaku diferensial yang cenderung menguntungkan WM, yakni
perilaku menolak membayar dan mencari gampang, dan (3) apabila perilaku
diferensial bersifat interaktif, maka perilaku tersebut dikatakan cenderung
menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi (mutual benefit).
Setidaknya terdapat 3 (tiga) bentuk perilaku diferensial yang cenderung bersifat
mutual benefit, yakni perilaku diferensial melayani, memperlakukan khusus
(special treatment) korps tertentu, dan menyogok. Untuk kelompok perilaku
terakhir, kendati menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi (BGD dan
WM), namun tidak berarti bahwa semua bentuk perilaku diferensial tersebut
adalah bersifat positif. Karena dari ketiga bentuk perilaku diferensial yang
dikelompokkan kedalam perilaku mutual benefit, hanya satu diantaranya yang
termasuk kedalam perilaku fungsional atau positif yakni perilaku diferensial
melayani. Sedangkan 2 (dua) bentuk perilaku diferensial lainnya yakni perilaku
memperlakukan khusus korps tertentu, dan peril;aku menyogok, termasuk
kedalam kategori perilaku disfungsional (menyimpang), karena mengakibatkan
terjadinya maladministrasi atau cenderung mengaburkan prosedur dan
persyaratan dalam pelayanan publik. Artinya, ketika seorang WM yang notabene
berasal dari anggota korps tertentu diperlakukan secara khusus oleh BGD, maka
persyaratan dan prosedur pelayanan dinomorduakan. Dengan demikian, maka
kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh perilaku kedua pelaku interaksi,
dengan mana dalam struktur dan interaksi dimediasi oleh moralitas. Artinya,
336
aspek moral dan etika sangat berperan penting dalam menentukan perilaku
setiap individu baik itu BGD maupun WM dalam interaksi pelayanan publik. Jadi
struktur (terutama dalam kaitan dengan aturan atau rules) bisa menjadi kabur jika
moral para pelaku interaksi majal (tumpul).
Ketiga, aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan adalah
BGD, sedangkan WM bersifat resesif. Dengan demikian, jelas bahwa perilaku
pelayanan SIM di Kota Makassar jauh lebih banyak menguntungkan BGD
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh WM, sehingga dapat dikatakan
bahwa pelayanan SIM di Kota Makassar tidak berkualitas, karena masyarakat
banyak dirugikan terutama dari segi biaya pelayanan. Meski demikian, perlu
ditekankan disini bahwa bukan berarti jika warga masyarakat yang dominan
menjadi penentu perilaku pelayanan maka pelayanan dikatakan berkualitas,
tetapi yang diharapkan adalah keseimbangan keduanya, artinya masyarakat
dapat memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam pelayanan publik, terutama
dalam format tes praktek mengendarai yang harus dilalui. Karena nampaknya
bahwa masyarakat yang tidak lulus tes praktek bukan berarti bahwa mereka tidak
memiliki keterampilan dalam mengendarai sepeda motor, akan tetapi format tes
praktek yang dinilai masyarakat sangat mengada-ada dan tidak sesuai dengan
realitas di lapangan (jalan raya). Sehingga masyarakat banyak yang memilih
jalan pintas untuk memperoleh SIM, apakah melalui calo sipil, calo petugas, atau
menyogok petugas agar dapat lulus dalam tes. Apabila dalam suatu pelayanan
publik terdapat banyak calo, dan warga masyarakat senang menggunakan calo
tersebut untuk memperoleh dokumen yang dibutuhkannya, maka fenomena
tersebut dapat memberikan informasi bahwa pelayanan yang ada tidak
berkualitas. Sekiranya berkualitas, maka masyarakat akan antusias untuk
337
mengurus SIM sendiri tanpa perantaraan calo atau cara-cara lainnya. Tetapi apa
yang terjadi di lokasi penelitian adalah pada umumnya masyarakat mencari jalan
pintas, yang sebenarnya hal tersebut dikondisikan oleh birokrat garis-depan.
Artinya bahwa masyarakat berperilaku seperti itu karena birokrat garis-depan
sebenarnya justru yang menghendaki hal tersebut dilakukan masyarakat, dengan
tujuan akhir untuk mendapatkan keuntungan pribadi (sesuai dengan pemeo
dalam pelayanan publik yang sudah sangat terkenal yakni ”UUD”, Ujung-
Ujungnya Duit) atau money mindedness.
8.2 Rekomendasi Teoretis dan Praktis
8.2.1 Rekomendasi Teoretis
Hasil penelitian studi perilaku diferensial ini memberikan rekomendasi
teoretik dari berbagai perspektif, sebagai berikut:
Pertama, dari perspektif kajian perilaku pelayanan publik, penelitian ini
telah berhasil memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan teori
perilaku pelayanan publik, bahwa kualitas pelayanan publik sangat ditentukan
oleh perilaku birokrat garis-depan dan juga warga masyarakat yang dilayani.
Disamping perilaku BGD, perilaku WM juga dapat menjadi penyebab kualitas
pelayanan menjadi buruk. Hal ini terbukti dari adanya WM yang berperilaku
mencari gampang, artinya WM cenderung menilai bahwa pelayanan bisa
diperoleh dengan cara yang mudah dengan “membeli” pelayanan. Jadi
meskipun berbagai perangkat peraturan telah dibuat oleh pemerintah baik secara
makro struktural berupa etika profesi POLRI melalui Keputusan Kapolri yang
harus ditaati oleh setiap anggota Polri, maupun meso prosedural dalam
338
pelayanan SIM telah dirancang dengan baik, tetap saja terdapat cela yang dapat
dimanfaatkan oleh BGD dan WM untuk dilanggar. Oleh karena itu, maka penulis
berpendapat bahwa sebaik apapun aturan yang telah ditetapkan, tanpa didukung
oleh moral dan etika yang baik dari kedua pihak yang berinteraksi maka
pelayanan publik tidak dapat diharapkan berkualitas. Dalam arti dapat
menguntungkan dan memuaskan semua pihak yang terlibat, baik itu terhadap
BGD, WM pengguna jasa layanan maupun terhadap institusi.
Kedua, temuan penelitian di atas mendukung pandangan yang
dikemukakan oleh Soedarmo (1999) dan Khoidin dan Sadjijono (2006) bahwa
kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh aktor pelayan (birokrat garis-
depan) dan juga warga masyarakat yang dilayani.
Ketiga, temuan penelitian ini dapat mengembangkan teori Lipsky (1980)
tentang Street-Level Bureuacracy, yang hanya mendasarkan argumentasi
teorinya pada perilaku-perilaku umum yang dilihat pada SLB, dan bukan
berdasarkan hasil kajian yang sistematis dari hasil interaksi antara SLB (BGD)
dengan WM. Sedangkan pada penelitian ini secara khusus mengkaji secara
sistematis tentang perilaku SLM dalam interaksi dengan WM dalam pelayanan
publik.
Keempat, adanya temuan bahwa aktor dominan yang menjadi penentu
perilaku diferensial adalah BGD. Temuan ini mendukung pandangan Giddens
(1984) bahwa adanya dominasi dalam suatu interaksi merupakan manifestasi
dari perbedaan kekuasaan (power) antara BGD dan WM. Perbedaan power ini
boleh jadi disebabkan karena monopoli pelayanan SIM yang diberikan oleh
lembaga kepolisian, sehingga birokrat kepolisian yang melayani merasa dirinya
sebagai pihak yang dibutuhkan oleh WM. Di satu sisi, posisi WM tidak memiliki
339
pilihan lain untuk memperoleh pelayanan SIM. Kondisi seperti ini kemudian
menjadikan BGD sebagai pemberi pelayanan cenderung menempatkan dirinya
sebagai pangreh praja (pengatur, pembina dan pengendali) WM, dan bukannya
sebagai pamong praja yang seharusnya menjalankan fungsi dan perannya
menjadi pelayan, pemberdaya, dan penyedia fasilitas bagi WM. Ketika birokrat
garis-depan yang mendominasi perilaku pelayanan, maka akan merugikan warga
masyarakat selaku pengguna jasa layanan. Demikian pula sebaliknya, ketika
warga masyarakat yang dominan mempengaruhi perilaku pelayanan, maka akan
merugikan institusi selaku penyedia jasa layanan. Oleh karenanya, maka suatu
pelayanan publik dikatakan ideal, apabila semua unsur yang terlibat dalam
pelayanan publik tidak merasa dirugikan akibat pelayanan yang diberikan.
Kelima, hasil kajian ini juga menemukan bahwa apabila dalam sebuah
institusi pelayanan publik terdapat banyak calo (baik calo sipil maupun calo
birokrat), maka dapat dipastikan bahwa pelayanan publik yang ada tidak
memuaskan warga masyarakat. Mengapa demikian? Karena sebuah intitusi
yang tidak mampu memberikan layanan yang memuaskan kepada warga
masyarakat, maka warga masyarakat cenderung akan mencari calo untuk
mendapatkan output pelayanan yang diperlukannya. Sebaliknya apabila
pelayanan yang ada memuaskan masyarakat, dari segi waktu, biaya dan
kenyamanan (psikologis), maka warga masyarakat akan berusaha mengurus
sendiri output pelayanan yang diperlukannya, sekalipun ia memiliki kepentingan
atau urusan lain. Contoh misalnya dalam pelayanan perbankan, di sana kita
tidak pernah melihat adanya calo yang berkeliaran, karena pelayanan yang ada
di perbankan telah memenuhi semua unsur kualitas pelayanan publik yang baik.
Masyarakat merasa nyaman berhadapan dengan petugas perbankan yang selalu
340
menyapa dengan ramah dan sopan kepada setiap customer yang datang.
Begitu pula halnya dengan suasana ruangan yang didesain sebaik mungkin,
sehingga memberikan suasana yang nyaman.
Keenam, dari sudut pandang kajian transformasi birokrasi, temuan
penelitian ini mendukung pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) tentang
New Public Service yang mengatakan bahwa perlunya pemberdayaan atau
partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik, karena pemilik kepentingan
publik yang sebenarnya adalah masyarakat. Oleh karena itu, maka birokrasi
garis-depan seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab
melayani dan memberdayakan warga masyarakat dalam pelayanan publik.
Dalam perspektif NPS ini, posisi warga negara harusnya ditempatkan di depan,
karena dalam realitas, kecenderungan birokrasi dan birokratisasi dalam pola
Weberian, Parkinsonian, dan Orwelian justru kurang sesuai dengan tuntutan
masyarakat tetapi justru lebih banyak memperlihatkan praktek-praktek
officialdom, yang mana kepentingan birokrasi yang lebih diutamakan sedangkan
kepentingan warga masyarakat menjadi nomor dua.
Ketujuh, temuan penelitian ini pada dasarnya sejalan dengan temuan
Wantoro (1999) tentang perilaku petugas polantas dalam pelayanan pendaftaran
kendaraan bermotor di Samsat Jakarta, yang menemukan 2 (dua) pola perilaku,
yaitu pola perilaku yang mendasarkan kepada aturan/ketentuan formal,
selanjutnya disebut Perilaku Prosedural, serta pola perilaku yang mendasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan interpretasi individual yang
mengarah pada tampilan pola perilaku di luar prosedur resmi. Karena dalam
penelitian ini pada dasarnya membuktikan bahwa bentuk-bentuk perilaku
diferensial yang ditemukan dapat dikelompokkan menjadi 2, yakni pertama,
341
kelompok perilaku diferensial yang dapat mengikuti aturan atau ketentuan formal
yakni seperti perilaku melayani, mempersulit, superior, pengabaian, berhenti
mengurus SIM, dan perilaku menolak membayar, dan kedua, kelompok perilaku
yang didasarkan pada pemaknaan individu pelaku interaksi yang mengakibatkan
terjadinya cacat prosedur (malprosedur), dalam istilah Wantoro (1999) sebagai
pola perilaku di luar prosedur resmi. Perilaku diferensial yang tergolong
kelompok ini adalah perilaku sebagai calo, mencari gampang, memperlakukan
khusus korps tertentu, dan perilaku menyogok.
8.2.2 Rekomendasi Praktis
Berdasarkan hasil kajian ini, berbagai perilaku yang cenderung
mengaburkan peraturan dan prosedur pelayanan SIM perlu diupayakan
perbaikannya agar tercipta sebuah pelayanan publik yang ideal. Dalam arti
bahwa pelayanan yang diberikan tidak merugikan salah satu pihak yang terkait
dalam pelayanan tersebut, yakni birokrat garis-depan selaku pelayan, warga
masyarakat selaku pengguna layanan, dan institusi sebagai penyedia jasa
layanan.
Untuk itu, maka perlu upaya untuk memperbaiki perilaku negatif menjadi
perilaku positif. Perilaku negatif dari hasil penelitian ini nampaknya telah menjadi
budaya permisif, yaitu suatu budaya yang sebenarnya dari segi agama dan etika
tidak dibenarkan, namun karena sering didengar dan atau telah dilakukan
berkali-kali sehingga sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa. Budaya
seperti ini sebenarnya dapat dirubah, namun perubahan itu tidak bisa diharapkan
terjadi dengan sendirinya. Harus ada bukan hanya contoh, tetapi langkah yang
sistematis untuk menjadikan munculnya kebiasaan yang positif itu. Bahkan,
ketika berkaitan dengan orang banyak harus dipaksakan, dilengkapi dengan
342
penegakan hukum.
Oleh karena itu, berbagai upaya dapat direkomendasikan sebagai berikut:
Pertama, perlu dipikirkan lebih jauh kemungkinan penerapan citizens’
charter (CC) dalam pelayanan SIM. CC adalah suatu pendekatan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang menempatkan pengguna jasa layanan
sebagai pusat perhatian. Artinya, kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa
layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses
penyelenggaraan pelayanan publik. Berbeda dengan praktek penyelenggaraan
pelayanan publik yang terjadi sekarang ini, yang menempatkan kepentingan
pemerintah dan penyedia layanan sebagai acuan utama dari praktek
penyelenggaraan pelayanan. Dengan penerapan CC dalam pelayanan SIM,
diharapkan masyarakat memiliki daya tawar (bargaining) terutama dalam format
test praktek yang harus dilalui dalam pelayanan SIM. Meskipun demikian, bukan
berarti bahwa dengan posisi bargaining seperti ini masyarakat dimudahkan
memperoleh SIM sekalipun tidak memiliki keterampilan mengendarai sepeda
motor. Tetapi yang ditekankan disini adalah bagaimana membuat prosedur
pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang didasarkan pada realitas
jalan raya. Untuk mencapai maksud tersebut, CC mendorong penyedia layanan
untuk bersama dengan pengguna layanan dan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholder) lainnya untuk menyepakati jenis, prosedur, waktu, biaya, serta cara
pelayanan. Kesepakatan tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan hak
dan kewajiban antara penyedia layanan (dalam hal ini adalah Satlantas
Polwiltabes Makassar), pengguna layanan (warga kota Makassar), serta
stakeholder. Kesepakatan ini nantinya akan menjadi dasar praktek
penyelenggaraan pelayanan publik.
343
Kedua, dengan penerapan CC dalam pelayanan SIM, maka otomatis
akan berdampak pada ditetapkannya standar pelayanan publik yang jelas dan
mengikat hak dan kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan pengguna jasa
terutama terhadap tarif atas pembuatan SIM, waktu pengurusan SIM yang
dilakukan pemohon hingga diterimanya SIM oleh yang bersangkutan, prosedur
yang jelas, dan cara pelayanan. Birokrat yang melayani juga harus jelas
sehingga warga kota yang mengurus SIM dapat menemui langsung petugas.
Sanksi atas pelanggaran dari ketentuan standar yang berlaku bisa dikenakan
kepada birokrat garis-depan maupun pengguna jasa layanan SIM secara
konsisten. Artinya apabila warga kota yang mengurus SIM tidak mampu
mengikuti semua prosedur dengan baik, maka yang bersangkutan tidak dapat
diberikan SIM, sebaliknya, jika birokrat garis-depan tidak melayani dengan baik,
maka warga kota yang bersangkutan dapat menuntut pada lembaga
penyelenggara dalam hal ini adalah Satlantas, dan sebagai konsekuensinya
adalah birokrat garis-depan yang melayani dapat dikenai sanksi berupa denda
atau penalti.
Ketiga, berdasarkan analisis siapa aktor dominan dari masing-masing
bentuk perilaku diferensial, maka diperoleh kesimpulan bahwa BGD
mendominasi terbentuknya perilaku diferensial, sedangkan posisi warga
masyarakat berada dalam kondisi resesif (lemah), dalam arti bahwa masyarakat
sangat lemah di dalam menentukan bentuk pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhannya. Adanya dominasi BGD dalam perilaku diferensial jelas
merupakan penyebab rendahnnya kualitas pelayanan publik. Oleh karena itu,
perlu upaya yang sungguh-sungguh dari pihak terkait untuk mengambil langkah-
langkah yang dapat mengubah perilaku baik terhadap perilaku BGD maupun
344
perilaku warga masyarakat. Pada dasarnya perilaku seseorang dapat dirubah
dengan penerapan beberapa aturan dan sanksi. Sasaran pengubahan perilaku
jelas harus ditujukan pada upaya untuk mengubah perilaku negatif menjadi
perilaku positif, dengan melalui beberapa cara antara lain adalah: (1) penetapan
standar pelayanan publik yang tegas dan mengikat semua pihak, yang sedikitnya
harus memuat tentang: prosedur pelayanan yang jelas, besarnya biaya yang
harus dibayar untuk memperoleh suatu pelayanan, waktu yang diperlukan mulai
dari awal pelayanan sampai diterimanya produk pelayanan yang diinginkan,
kualitas produk pelayanan. (2) sistem rekrutmen perlu diperbaiki, karena dalam
kenyataannya sistem rekrutmen dapat mempengaruhi perilaku BGD setelah
diterima. Misalnya, ketika dalam proses rekrutmen, calon BGD diharuskan
membayar biaya-biaya yang tidak seharusnya, maka ketika nanti melayani
masyarakat, cenderung akan berperilaku mencari keuntungan sebagai pengganti
biaya yang telah ia keluarkan pada saat ingin menjadi PNS; (3) moral dan etika
BGD perlu diperbaiki melalui penerapan etika profesi Polri secara tegas kepada
semua anggota Polisi, internalisasi nilai-nilai kejujuran melalui berbagai pelatihan
dan pembinaan moril, (4) pemberian reward dan punisment yang tegas dan adil,
(5) meningkatkan pengawasan dalam pelayanan publik, baik dari pihak internal
maupun eksternal, (6) perbaikan kesejahteraan BGD, disesuaikan dengan tingkat
kebutuhan hidup saat ini. Memang diakui bahwa setiap individu senang dengan
uang mengingat biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin
melambung. Sementara gaji pokok anggota Polri setingkat dengan BGD yang
melayani SIM sangat rendah yakni sekitar 1,5 juta ditambah tunjangan umum
sebesar Rp 75.000,- per bulan. Dalam kondisi gaji yang demikian rendah maka
BGD akan mudah tergoda untuk mencari-cari peluang mendapatkan tambahan
345
penghasilan diluar gaji mereka.
Keempat, disamping perilaku negatif BGD, maka perilaku negatif WM
juga perlu dirubah menjadi perilaku positif. Upaya yang dapat dilakukan adalah
(1) dengan memberikan pembelajaran kepada WM, bahwa perilaku negatif
seperti mencari gampang dalam pelayanan publik, dapat merugikan diri WM itu
sendiri dan juga WM lainnya, karena dengan perilaku tersebut, maka BGD akan
terbiasa untuk mendapatkan uang ekstra, sehingga apabila ada WM yang ingin
memperoleh pelayanan sesuai prosedur, maka akan diabaikan oleh BGD yang
sudah terbiasa mendapatkan keuntungan dalam pelayanan yang diberikannya;
(2) pemberdayaan WM dalam pelayanan publik, sehingga sense of belonging
WM terhadap pelayanan publik akan menjadi tinggi. Dengan pemberdayaan
seperti ini akan muncul saling pengertian (mutual understanding) dan kesadaran
bersama (mutual awareness) antara BGD dan WM untuk bersama-sama
mematuhi peraturan dan prosedur (standar pelayanan publik) yang telah
ditetapkan secara demokratis, melalui model CC. Akibatnya perhatian
masyarakat akan besar terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga
akan turut mempengaruhi perilakunya dalam interaksi pelayanan publik. Pada
akhirnya, perilaku WM akan selalu diarahkan kepada upaya perbaikan kualitas
pelayanan, karena nantinya akan dinikmati sendiri oleh WM; (3) agar WM bisa
berdaya, maka tentunya kualitas WM perlu ditingkatkan, baik melalui
peningkatan tingkat pendidikan, sosialisasi kebijakan terutama standar
pelayanan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan jika ternyata
standar pelayanan yang telah dibuat tidak sesuai kebutuhan masyarakat, maka
pemerintah harus menyesuaikan kebijakan tersebut sebagaimana yang
diharapkan oleh masyarakat.
346
Keempat, perlunya penyederhanaan prosedur pengurusan SIM yang
efektif dan efisien untuk menutup lubang-lubang yang rawan untuk
disalahgunakan oleh BGD. Semakin panjang rantai prosedur yang harus dilalui,
semakin besar kemungkinan dapat disalahgunakan oleh BGD. Oleh karena itu,
jumlah loket dapat dikurangi dari 9 loket menjadi 6 loket saja sehingga warga
kota tidak perlu melewati banyak loket yang memungkinkan warga kota menemui
kendala. Loket tersebut adalah Loket 1, tempat pembayaran (PNBP) dan
sekaligus loket formulir. Jadi petugas loket ini bertugas menerima pembayaran
dan menyerahkan formulir. Loket 2 adalah penerimaan berkas dan entri data,
loket 3 untuk ujian teori, loket 4 untuk ujian praktek, loket 5 pengambilan gambar,
dan loket 6 pengambilan SIM (output). Mengingat banyaknya jumlah WM yang
mengurus SIM setiap harinya, yakni mencapai 250 orang per hari untuk semua
jenis SIM, maka jumlah petugas pada loket perlu ditambah sehingga pelayanan
bisa dilakukan dengan cepat agar tidak terjadi antrian yang panjang. Oleh
karena itu, birokrat kepolisian yang berperilaku sebagai calo yang sering mondar-
mandir di luar ruangan pelayanan dapat ditempatkan sebagai petugas loket.
Kelima, perlunya ditinjau kembali format tes praktek yang dilalui
disesuaikan dengan kondisi yang wajar di jalan raya. Dari hasil penelitian
diperoleh fakta bahwa banyak WM yang tidak berani untuk mengurus SIM sendiri
meskipun terampil mengendarai sepeda motor dalam kondisi normal jalan raya.
Kebanyakan dari WM merasa takut terhadap format tes yang dirasakan sangat
sulit dan bahkan dianggap terkesan mengada-ada, yang sengaja dibuat sebagai
jebakan terhadap WM yang ingin mengurus SIM. Ada hal yang dianggap
mengada-ada dan terlalu sulit untuk dilalui warga yang ingin mengikuti tes
praktek, yaitu tes melewati tiang rintangan yang sangat sempit hanya kurang
347
lebih 2 meter jaraknya, hampir sama dengan ukuran panjang sepeda motor.
Kondisi itu diperparah lagi dengan pemasangan pembatas luar yang berjarak
kurang lebih satu meter dari rintangan. Dengan jarak yang demikian dekat,
seorang pemohon SIM yang mengikuti ujian praktek tidak diperbolehkan untuk
menurunkan kaki kendati keseimbangan hilang. Sementara laju kendaraan
hanya berkisar 10 – 20 km per jam, karena start awal dimulai dengan langsung
membuat ziq-zaq. Otomatis laju kendaraan sepeda motor harus pelan-pelan.
Dalam kondisi demikian, sangat sulit untuk tetap berada dalam posisi yang
seimbang, sehingga mau tak mau seorang warga harus menurunkan kakinya.
Dalam kondisi demikian, maka warga akan dinyatakan tidak lulus dalam tes
praktek. Apabila dua kali tidak lulus, maka akan sama saja biayanya jika
membayar atau berkolusi dengan petugas. Selain akan rugi waktu, WM juga
rugi biaya, tenaga dan psikis. Alasan seperti inilah yang sering dikemukakan
oleh WM yang mencari gampangnya dalam pengurusan SIM.
Keenam, perlunya menyediakan loket pengaduan yang efektif dan efisien
bagi warga yang merasa tidak puas atas layanan yang diberikan. Loket
pengaduan tersebut dapat menjamin bahwa semua pengaduan yang dilakukan
oleh WM dapat ditindaklanjuti secara cepat dan tepat, sehingga WM antusias
untuk melakukan pengaduan apabila menghadapi perlakuan negatif dari BGD.
Ketujuh, perlunya disediakan sepeda motor bagi warga masyarakat yang
mengurus SIM C untuk digunakan dalam ujian praktek, terutama bagi mereka
yang tidak memiliki sepeda motor. Karena dalam kenyataannya banyak warga
masyarakat mengurus SIM C tetapi tidak mempunyai sepeda motor. Pada
dasarnya mereka tidak mempunyai sepeda motor, namun ada waktu-waktu
tertentu mereka meminjam sepeda motor kerabatnya sehingga seringkali
348
terjaring dalam sweeping di jalan raya. Jadi mengurus SIM merupakan upaya
untuk berjaga-jaga jika suatu waktu mereka mengendarai sepeda motor.
Kedelapan, untuk memudahkan WM untuk mengurus perpanjangan SIM,
maka disamping pelaksanaan SIM keliling yang telah dilaksanakan setiap hari
Senin Jam 08.00 – 12.00 siang di Jalan Andi Pangerang Pettarani, maka perlu
lagi ditambah dengan SIM corner pada mall-mall, night service dan Sunday
Morning Service (SMS) pada lokasi-lokasi yang dianggap ramai dikunjungi warga
untuk berolah raga pada hari Minggu misalnya di Lapangan Karebosi atau di
Pantai Losari Makassar.
Kesembilan, perlunya membersihkan praktek-praktek percaloan yang
ada di lingkungan Satlantas Polwiltabes Kota Makassar sehingga masyarakat
dapat mengurus SIM secara wajar. Oleh karena itu, pengawasan perlu
diperketat terhadap jalannya pelayanan SIM. Mereka yang terbukti menerima
uang sogokan atau meminta uang lebih dari standar yang ditetapkan perlu
diberikan sanksi atau punishment berupa penurunan pangkat atau material.
Sebaliknya petugas yang menunjukkan perilaku fungsional yang mendukung
pelayanan prima perlu diberikan reward berupa kenaikan pangkat sehingga
menambah semangat para BGD untuk selalu menampilkan perilaku yang
bersedia melayani dengan baik WM.
Akhirnya, hasil penelitian ini dapat mendorong penelitian lebih mendalam
tentang teori perilaku birokrakt garis-depan dalam interaksi dengan WM dalam
pelayanan publik. Sebab sebagaimana disumbangkan oleh hasil penelitian ini,
bahwa setiap perilaku diferensial ternyata berlangsung sangat dinamis dan
sangat ditentukan oleh pelaku interaksi (BGD dan WM). Jadi meskipun dari
segi struktur, peraturan atau prosedur yang ada dapat mempengaruhi dan
349
mengarahkan perilaku BGD dan WM, namun dalam kenyataannya perilaku
diferensial sangat ditentukan oleh etika, moral dan kesadaran para pelaku
interaksi (mutual awareness).
Berdasarkan uraian di atas, maka konstruk teoritik dari temuan ini dapat
divisualisasikan sebagai berikut:
Gambar 8.1 Konstruk Teoritik Perilaku Pelayanan Publik
Scanned by CamScanner
350
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Albrow, Martin, 1989. Birokrasi. Dialihbahasakan oleh M. Rusli Karim dan Totok
Daryanto, Tiara Wacana, Yogyakarta. Azhari, 1995. Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap
Unsur-unsurnya. UI-Press, Jakarta.
Bennis, Warren, 1975. Beyond Bureaucracy, Essays on the Development and
Evolution of Human Organization, McGraw-Hill Book Company, New York.
Blacke, R.R., Mouton, J.S. 1969. Building a Dynamic Corporation Through Grid
Organizational Development, Addison-Wasley, Reading, MA. -------------, 1985. The Managerial Grid III, Gulf Publishing Company, Houston,
TX. Blau, Peter M. Marshal W. Meyer, 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern.
Diterjemahkan oleh: Slamet Rijanto. Penerbit Prestasi Pustakarya. Blumer, Harbart, 1969. Symbolic Interaction: Perspective and Method. Prentice-
Hall, Englewood Cliffs, N.J. Box, Richard, 1998. Citizen Governance. Thousand Oaks, CA: Sage. Castles, Lance dalam Priyo Budi Santoso, 1997. Birokrasi Pemerintah Orde
Baru Perspektif Kulturan dan Struktural. Raja Grafindo Persada. Cet. Ke 3, Jakarta.
Chen, M. 2001. Asian Management Systems. Thomson, London.
Deal, T., and Kennedy, A. 1982. A Corporate Culture. Addison-Wesley,
Reading-MA. Denhardt, Robert B. 1991. Public Administration An Action Orientation.
Brook/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California. Denhardt, Janet V. dan Denhardt, Robert B. 2003. The New Public Service:
Serving,, Not Steering. M.E. Sharpe, Armonk, New York, London, England.
Dwiyanto, A.; Partini, R.; Wicaksono, A., Tamtiari, W., Kusumasari, B., dan
Muhammad Nuh, 2002. Reformasi Birokrasi Publik. Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta.
351
Edwards, George C III, 1980. Implementing Public Policy. Congressional Quarterly Press.
El Kahal, S. 2001. Business in Asia Pasific, Oxford University Press, Oxford. Fiedler, F.E. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness. New York, McGraw-
Hill. Garner, Bryan A. 1999. Black’s Law Dictionary. Seventh Edition, West Group,
ST. Paul, Minn. Gibson, J., Ivancevich, J., dan Donnelly, J., 1996. Organisasi, Perilaku, Struktur
dan Proses, Binarupa Aksara, Jakarta. (penerjemah: Ir. Nunuk Adirni, MM.)
Giddens, Anthony, 1982. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai
Kelompok Kekuasaan dan Politik. Jakarta. ------------------- 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of
Structuration. Cambridge: Polity Press. ------------------, 1991. “Structuration Theory: Past, Preseny, and Future”, dalam
Bryan Christoper GA and David Jarry (ed), Giddens Theory of Stucturation Critical Appreciation, London: Routledge, p. 201-221.
Glaser, Barney G. and Strauss, Anselm L. 1967. The Discovery of Grounded
Theory, Strategies for Qualitative Research. Aldine Publishing
Company, Chicago. Goffee, R. and Jones, G. 1998. The Character of a Corporation. Harper
Business, London. Gramscie, A. 1970. Politik dan Hegemoni. Hirschman, A.O. 1970. Exit, Voice, and Loyalty, Harvard University Press,
Cambridge, Mass. Hofstede, G. 1980. Culture’s Consequences. Newbury, New York. -----------------, 1991. Culture and Organizations: Software of the Mind. McGraw-
Hill, New York, Ny. Islamy, Muh. Irfan, 1998. Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara,
Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Brawijaya, Malang. ----------------, 1999. Profesionalisasi Pelayanan Publik. Universitas Brawijaya,
Malang.
352
Ivancevich, John M., Andrew D. Szilagyi, Jr. dan Marc J. Wallace, Jr. 1997. Organizational Behavior and Performance, Goodyear Publishing Company, Inc. Santa Monica, California.
Kelana, Momo, 1984. Hukum Kepolisian, Edisi Ketiga, PTIK, Jakarta. Khoidin, M. dan Sadjijono, 2006. Mengenal Figur Polisi Kita. Editor: Drs. Pudi
Rahardi, MH. Penerbit: Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Kilmann, R.H. Saxton, M.J., Serpa, R., & Asosiasi, (ed.), 1985. Gaining Control
of the Corporate Culture. San Fransisco, Jossey Bass.
King, Cheryl Simrell, and Camilla Stivers, 1998. Government Is Us: Public
Administration in an Anti-Government Era. Thousand Oaks, CA: Sage. Kotler, Philip and Eduardo L. Roberto, 1992. Social Marketing: Strategies for
Changing Public Behavior. The Free Press, New York. Lawrence, P.R. and J.W. Lorsch. 1967. Organizational and Environment:
Managing Differentiation and Integration, Harvard University Press,Cambridge.
Lincoln, Y. dan Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry, SAGE Publications, Inc.
California. Lipsky, Michael. 1980. Street-level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in
Public Services. Russell Sage Foundation, New York.
Lubis, Muchtar. 2001. Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban).
Ceramah pada tanggal 6 April 1977, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta..
Makmur, 2007. Filsafat Administrasi. Bumi Aksara, Jakarta. Martin, J. 1992. Cultures in Organization – Three Perspectives. Oxford
University Press, Oxford. Osborne, David and Plastrik, Peter, 1997. Banishing Bureaucracy, The Five
Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing
Company, Inc., Massachusetts. Ouchi, W. 1981. Theory Z: How American Business Can Meet the Japanese
Challenge, Addison Wesley, Reading, MA.
Parsons, Wayne, 2001. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice
of Policy Analysis. Edward Elgar Publishing, Ltd. Peters, T. and Waterman, R. 1982. In Seach of Excellence, Harper and Row,
London.
353
Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Edisi Kedelapan (Versi Bahasa Indonesia). Penerbit: PT. Prenhallindo, Jakarta.
Sadjijono, 2005. Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance.
Laksbang, edisi kesatu, Yogyakarta. ------------, 2006. Hukum Kepolisian: Perspektif Kedudukan dan Hubungannya
Dalam Hukum Administrasi. LaksBang Pressindo, Yogyakarta. Savas, Emmanuel S. 2000. Privatization and Public-Private Partnership.
Chatham House Publishers, Seven Bridges Press, LLC. New York – London.
Schein, E.H. 1992. Organizational Culture and Leadership. Jassey-Boss, San
Fransisco, C.A. -----------------,1999. The Corporate Culture Survival Guide, Jassey-Bass, San
Fransisco, C.A. Simon, Herbert A. 1957. Administrative Behavior. 2d Ed. New York: Free Press. Strauss, Anselm and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research:
Grounded Theory Procedures and Techniques. Newbury Park: Sage Publications.
Suprihanto, John, Agung M. Harsiwi, dan Prakoso Hadi, 2003. Perilaku
Organisasional. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YPKN bekerjasama dengan Aditya Media, Yogyakarta.
Taylor, Frederick Winslow, 1923. Scientific Management. New York: Harper and
Row. Thoha. Miftah, 1984. Birokrasi dan Politik di Indonesia. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta. -------------------. 1991. Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-dimensi Prima Ilmu
Administrasi Negara Jilid II), Fisipol Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Cetakan Kedua.
--------------------, 1998. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya.
Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Turner, C.H. 1991. Corporate Culture: How to Generate Organizational Strength
and Lasting Commercial Advantage. London. Piatkus. Vredenbergt, Jacob, 1980. Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-ilmu Empiris, PT.
Gramedia bekerjasama dengan ILDEP, Jakarta.
354
Wamsley, Gary, and James Wolf, 1996. Refounding Democratic Public Administration. Thousand Oaks, CA: Sage.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Managemen Pemerintahan Daerah.
Fokusmedia, Cetakan keempat, Bandung. Weber, Max. 1958. The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalsm,
Dialihbahasakan Talcott Parsons, New York: Charles Srinner’s Sons. White, Leonard D. 1926. Introduction to the Study of Public Administration New
York: Macmillan. Widodo, Joko. 2001. Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi
dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Jakarta. Willoughby, W.F. 1927. Principles of Public Administration. Baltimore: Johns
Hopkins University Press. Zeithaml, Valarie A. A. Parasuraman & Leonard L. Berry, 1990. Delivering
Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations. New York: The Free Press, Macmillan Inc.
JURNAL/PUBLIKASI ILMIAH: Anonim, 2003. Pelayanan PKB dan BBNKB pada Kantor Bersama Samsat di
Jawa Timur Dalam Rangka Peningkatan PAD. Jurnal Litbang Jawa Timur, Vol. 2 No. 2, hal 16-29.
Blumer, Herbart, 1971. Social Problems as Collective Behavior. Social
Problem, 18: 298-306.
Brodkin, Evelyn Z. 2001. Accountability in Street-Level Bureaucracies: Issues in
the Analysis of Organizational Practice. Paper for presentation at The 5th International Research Symposium on Public Management, Centre d’Iniciatives de I’Economia Social. University of Barcelona, Barcelona, Spain, April 9-11.
Gardner, Richard L., 1999. Benchmarking Organizational Culture: Organization
Culture as a Primary Factor in Safety Performance. Professional Safety, Mar; 44, 3. ABI/INFORMS Research pg. 26-32.
Gulick, Luther. 1937. “Notes on the Theory of Organization.” In Papers on the
Science of Administration, ed. L. Gulick and L. Urwick, 1-46. New York: Institute of Government.
Hansen, G. and Wernerfelt, B. 1989. “Determinants of Firm Performance: The
Relative Impact of Economic and Organizational Factors.” Strategic Management Journal . Vol. 10. No. 3. pp. 399-411.
355
Hassan, Riaz, 1986. Aksessibilitas Pelayanan Publik, Prisma No. 12, LP3ES, Jakarta.
Haugh, H.; McKee, Lorna. 2004. The Cultural Paradigm of the Smaller Firm.
Journal of Small Business Management. October, 42,4; ABI/INFORM Research pg. 377-394.
Islamy, M. Irfan, 2001. Agenda Kebijaksanaan Reformasi Administrasi Negara.
Jurnal Administrasi Negara, FIA Universitas Brawijaya, Malang, Vol. II No. 1, hal 13-30, September.
Ismani, HP. 2001. Etika Birokrasi. Jurnal Administrasi Negara, FIA Universitas
Brawijaya, Malang, Vol. II No. 1, hal 31- 41. Lock, Peter and John Crawford, 2004. The Effect of Organizational Culture and
Leadership Style on Job Satisfaction and Organisational Commitment: A Cross-National Comparison. The Journal of Management Development, 23; 3/4; ABI/INFORM Research pg. 321.
Mallak, L.A. and Kurstedt H.A.Jr. 1994. “Examining the Relationship Between
Culture and Performance Through Culture Gap Analysis,” ASEE Annual Conference.
Morris, R.M.I. 1992. “Effective Organizational Culture is Key to a Company’s
Long-Term Success.” Industrial Management. Vol. 34 No. 2, pg. 28-9. Muhammad, Farouk, 2000. Pengubahan Perilaku dan Kebudayaan Dalam
Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan POLRI. Jurnal Polisi Indonesia, Tahun 2, April 2000 - September 2000.
Park, Heejun, Vincent Ribiere and William D. Schulte Jr. 2004. Critical Attributes
of Organizational Culture that Promote Knowledge Management Technology Implementation Success. Journal of Knowledge Management; 8,3; ABI/INFORM Research pg.106-117.
Rogers, R.W. and Ferketish, B.J. 1993. “Value-driven Change Process.”
Executive Excellence, Vol. 10 No. 3, pg 5-6. Saleh, Choirul, dan Muluk, M.R. Khairul. 2005. New Public Service dan
Pemerintahan Lokal Partisipatif, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol. VI. No.1, hal 230-241..
Saleh, SyafIuddin, 2004. Pelayanan Publik yang Buruk dan Upaya Perbaikan
Pelayanan Serta Moral Pegawai/Pejabat Publik. Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB, November 2004.
Schein, E.H. 1990. “Organizational Culture.” American Psychologist. Vol. 4 No.
2, pg. 109-119.
356
Setyorini, Th. Dewi. Tanpa tahun. Peran Pemimpin Dalam Pengejawantahan Budaya.
Wallack, E. 1983. “Individuals and Organization: the Cultural Match,” Training
and Developmnet Journal, Vol. 12, pp. 28-36. Wantoro, Agus. 2000. Perilaku Petugas Polantas Dalam Pelayanan Pendaftaran
Kendaraan Bermotor di Samsat Jakarta. Abstrak Tesis S2 yang dimuat dalam Jurnal Polisi Indonesia. September 1999-April 2000.
Weatherley, R, and M. Lipsky, 1977. “Street-Level Bureaucrats and Institutional
Innovation: Implementing Special Education Reform”. Harvard Educational Review, 47: pg.171-97
Westbrook, J.D. 1993. “Organizational Culture and its Relationship to TQM,”
Industrial Management. Vol. 35 No. 1 pg. 1-5. Whalen, Hugh, 1960. “Ideology, democracy, and the foundations of local self-
government,” Canadian Journal of Economics and Political Science,
Vol. 26, No. 3, pg 12-23. August. Winter, Soren C. 2002. Explaining Street-Level Bureaucratic Behavior in Social
and Regulatory Politices. Paper for the XIII Research Conference of the
Nordic Political Science Association held in Aalborg, 15-17 August. LAPORAN PENELITIAN, THESIS DAN DISERTASI: Anonim, 2002. Ringkasan Eksekutif: Governance and Decentralization Survey.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
Budihardjo, Sukadji, 2003. Perilaku Birokrasi dalam Pelayanan Publik (Studi
Kasus Perilaku Birokrasi Pemerintahan Kelurahan Teluk Tiran Kecamatan Banjarmasin Barat Kota Banjarmasin). Thesis Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya, Malang.
Rosidi, Sakban, 1998. Pencemaran Masuk Desa Ladang: Kajian Anatomik
Perbenturan Kepentingan dan Pembentukan Tertib Tersiasati antara Pemilik Pabrik Pupuk Cair, Pelaku Pemerintahan Setempat, dan Warga Sekitar. Tesis Magister Sosiologi, Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah, Malang. Sadhana, Kridhawati, 1989. Perilaku Negosiasi Sebagai Upaya Strategi Adaptif
Kepala Desa dalam Struktur Birokrasi Pemerintahan Desa. Disertasi Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga Surabaya.
357
Soedarmo, 1998. Birokrasi Pelayanan Masyarakat Kota: Studi Pembentukan Tertib Interaksi Birokrasi Garis-depan dengan Warga Kota. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Teruna, Mada. 2007. Patologi Birokrasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Di Daerah. Disertasi. Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.
Wibisono, M. Yusuf, 2002. Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan
Masyarakat (Kajian Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang), Thesis, Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya, Malang. DOKUMEN PEMERINTAH: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan
Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Keputusan Kapolri Nomor 32/VII/2003 tentang Kode Etik Profesi Polri. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81/1993
tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep/M.Pan/2003
tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
Kep/25/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Februari 2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
Kep/26/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1993 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1999 tentang Surat Izin Mengemudi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota
Polri. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis
Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Polri.
358
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Peraturan Gaji Anggota
POLRI. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum bagi
Anggota POLRI di Lingkungan POLRI. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Struktural
di Lingkungan POLRI. TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian,
Penerbit, Citra Umbara, Bandung. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2004. Reformasi Sektor Pelayanan
Publik (Laporan Hasil Penelitian) . KAMUS: Anonim, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan bekerjasama dengan Balai Pustaka, Jakarta. Cambell-Black, Henry. 1979. Black’s Law Dictionary with Pronounciation, Fifth
Edition, West Publishing & Co. USA. SURAT KABAR: Jawa Pos, 15 Februari 2004. Hasil Survey Tim Pelembagaan Citizens’ Charter
Pusat Kependudukan dan PSKK) UGM. -----------------, 10 Maret 2008. Usai Joging, Urus SIM. Kompas, 6 Januari 2007. Polri Juga Protes Disebut Korup. Hasil Survei
Transparansi International Indonesia. Lubis, Todung Mulya, dkk. 2006. Barometer Korupsi 2006. Hasil Survei
Tranparancy International Indonesia. Dimuat diharian Kompas tanggal 6 Januari 2007.
359
Tempo Interaktif, 2005. Pemerintah Segera Buat Standarisasi Pelayanan Publik,
Kamis, 24 Februari 2005. Tribun Timur, 2006. Polwiltabes Permudah Layanan SIM Kolektif. 12 Juni 2006,
Makassar.