lp isos baru

Upload: fitriah-waw-odhe

Post on 29-Feb-2016

40 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

LP Isos

TRANSCRIPT

Laporan PendahuluanIsolasi SosialA. DEFINISISuatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain. (Balitbang, dalam Fitria, 2010, hlm. 29)Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. (Keliat dan Akemat, 2009, hlm. 93)Selain itu isolasi sosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman. (Yosep, 2009, hlm. 229)B. FAKTOR PREDISPOSISIMenurut Fitria (2009, hlm. 33-35) ada empat faktor predisposisi yang menyebabkan Isolasi Sosial, diantaranya:1. Faktor Tumbuhan KembangPada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah sosial.

Dibawah ini akan dijelaskan tahap perkembangan serta tugas perkembangan, lihat tabel 2.1 dibawah ini:Tahap PerkembanganTugas

Masa BayiMenetapkan rasa percaya.

Masa BermainMengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri

Masa PrasekolahBelajar menunjukan inisiatif, rasa tanggung jawab, dan hati nurani

Masa SekolahBelajar berkompetisi, bekerja sama, dan berkompromi

Masa PraremajaMenjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis kelamin

Masa Dewasa MudaMenjadi saling bergantung antara orang tua dan teman, mencari pasangan, menikah, dan mempunyai anak

Masa Tengah BayaBelajar menerima hasilkehidupan yang sudah dilalui

Masa Dewasa TuaBerduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan keterkaitan dengan budaya

Tabel 2.1 Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal (Erik Erikson dalam Stuart, 2007, hlm. 346)2. Faktor Sosial BudayaIsolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga di mana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, penyakit kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.3. Faktor BiologisFaktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel sel dalam limbik dan daerah kortikal.4. Faktor Komunikasi dan KeluargaGangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk dalam masalah berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersama atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.C. FAKTOR PRESIPITASIMenurut Stuart (2007, hlm. 280) faktor presipitasi atau stresor pencetus pada umumnya mencakup peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres seperti kehilangan, yang memenuhi kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. Faktor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu sebagai berikut: Stresor Sosiokultural. Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti. Stresor Psikologi. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan.

D. POHON MASALAHPohon masalah pada klien dengan Isolasi sosial : menarik diri, yaitu:

Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri

Akibat

Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutikGangguan pemeliharaan kesehatanGangguan sensori/persepsi: halusinasi pendengaran Penyebab

Defisit perawatan diri: Mandi dan berhiasIsolasi sosial: menarik diriMasalah utama

Gangguan konsep diri:Harga diri rendah kronisKetidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah Penyebab

Gambar 2. Pohon masalah isolasi sosial : menarik diri (Keliat, B. A., 2005)

E. FAKTOR LAIN YANG DAPAT MENYEBABKAN ISOLASI SOSIAL1. Penilaian Terhadap StresorRasa sedih karena suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat besar sehingga individu tidak tidak mau menghadapi kehilangan dimasa depan, bukan mengambil resiko mengalami lebih banyak kesedihan. Respon ini lebih mungkin terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan yang berkaitan dengan hubungan. (Stuart, 2007, hlm. 280).2. Mekanisme KopingMenurut Stuart (2007, hlm. 281) individu yang mengalami respon sosial maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas.Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik yaitu sebagai berikut:a. Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial Proyeksi merupakan keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri. (Rasmun, 2004, hlm. 35) Splitingatau memisah merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk. (Rasmun, 2004, hlm. 36)b. Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang Splitting Formasi reaksi Proyeksi Isolasi merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain. (Rasmun, 2004, hlm. 32) Idealisasi orang lain Merendahkan orang lain Identifikasi proyeksi3. Sumber KopingMenurut Stuart (2007, hlm. 280) sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial maladaptif adalah sebagai berikut :a. Keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman.b. Hubungan dengan hewan peliharaan yaitu dengan mencurahkan perhatian pada hewan peliharaan.c. Penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal (misalnya: kesenian, musik, atau tulisan)Menurut Stuart & Laraia (2005, hlm. 432) terkadang ada beberapa orang yang ketika ada masalah mereka mendapat dukungan dari keluarga dan teman yang membantunya dalam mencari jalan keluar, tetapi ada juga sebagian orang yang memiliki masalah, tetapi menghadapinya dengan menyendiri dan tidak mau menceritakan kepada siapapun, termasuk keluarga dan temannya.4. Rentan ResponBagan rentang respon pada pasien dengan isolasi sosial dapat dilihat pada skema 2.2 dibawah ini:a. Respon AdaptifRespon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Menurut Fitria (2009, hlm. 32) yang termasuk respon adaptif adalah sebagai berikut: Menyendiri, merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah terjadi dilingkungan sosialnya. Otonomi, merupakan kemampuan individu untuk menentukan dab menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial Bekerja sama, merupakan kemampuan individu yang saling membutuhkan orang lain. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.b. Respon MaladaptifRespon yang diberikan individu menyimpang dari norma sosial. Yang termasuk kedalam rentang respon maladaptif adalah sebagai berikut: Menarik DiriSeseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. KetergantunganSeseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung dengan orang lain. ManipulasiSeseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu sehingga tidak dapat menerima hubungan sosial secara mendalam. CurigaSeseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.

F. TANDA DAN GEJALAMenurut Townsend, M.C (1998:152-153) & Carpenito,L.J (1998: 382) isolasi sosial menarik diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala sebagai berikut :1. Data Subyektif :Tanda dan gejala pada klien dengan isolasi sosial sebagai berikut:a. Mengungkapkan perasaan tidak berguna, penolakan oleh lingkunganb. Mengungkapkan keraguan tentang kemampuan yang dimiliki

2. Data ObyektifTanda dan gejala pada klien dengan isolasi sosial sebagai berikut:a. Tampak menyendiri dalam ruanganb. Tidak berkomunikasi, menarik diric. Tidak melakukan kontak matad. Tampak sedih, afek datare. Posisi meringkuk di tempat tidur dengang punggung menghadap ke pintuf. Adanya perhatian dan tindakan yang tidak sesuai atau imatur dengan perkembangan usianyag. Kegagalan untuk berinterakasi dengan orang lain didekatnyah. Kurang aktivitas fisik dan verbali. Tidak mampu membuat keputusan dan berkonsentrasij. Mengekspresikan perasaan kesepian dan penolakan di wajahnya

G. AKIBAT YANG DITIMBULKANPerilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya perubahan persepsi sensori halusinasi (Townsend, M.C, 1998 : 156). Perubahan persepsi sensori halusinasi adalah persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai dengan realita/kenyataan seperti melihat bayangan atau mendengarkan suara-suara yang sebenarnya tidak ada (Johnson, B.S, 1995:421). Menurut Maramis (1998:119) Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari panca indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun yang dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau histerik.Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang terjadi tanpa adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi lima perasaan (pengelihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan tetapi yang paling umum adalah halusinasi pendengaran dan halusinasi pendengaran (Boyd, M.A & Nihart, M.A, 1998: 303; Rawlins, R.P & Heacock, P.E, 1988 : 198). Menurut Carpenito, L.J (1998: 363) perubahan persepsi sensori halusinasi merupakan keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami suatu perubahan dalam jumlah, pola atau intepretasi stimulus yang datang.Sedangkan menurut pendapat lain halusinasi merupakan persepsi sensori yang palsu yang terjadi tanpa adanya stimulus eksternal, yang dibedakan dari distorsi dan ilusi yang merupakan kekeliruan persepsi terhadap stimulus yang nyata dan pasien mengganggap halusinasi sebagai suatu yang nyata (Kusuma, W, 1997 : 284).Menurut Carpenito, L.J (1998: 363) ; Townsend, M.C (1998: 156); dan Stuart, G.W & Sundeen, S.J (1998: 328-329) perubahan persepsi sensori halusinasi sering ditandai dengan adanya:Data subjektif :1. Tidak mampu mengenal waktu, orang dan tempat2. Tidak mampu memecahkan masalah3. Mengungkapkan adanya halusinasi (misalnya mendengar suara-suara atau melihat bayangan)4. Mengeluh cemas dan khawatirData objektif:1. Apatis dan cenderung menarik diri2. Tampak gelisah, perubahan perilaku dan pola komunikasi, kadang berhenti berbicara seolah-olah mendengarkan sesuatu3. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara4. Menyeringai dan tertawa yang tidak sesuai5. Gerakan mata yang cepat6. Fikiran yang berubah-rubah dan konsentrasi rendah7. Respons-respons yang tidak sesuai (tidak mampu berespons terhadap petunjuk yang kompleks.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS1. Metode BiologikMetode biologik yang digunakan pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:a. Terapi PsikofarmakaTerapi psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau dengan kata lain skizofrenia dapat diobati (Hawari,2006, hlm. 96). Obat antipsikotik terpilih untuk skizofrenia terbagi dalam dua golongan (Hawari, 2006, hlm. 97-99) yaitu antipsikotik tipikal (Klorpromazim, Trifluferazin, Haloperidol) dan antipsikotik atipikal (Klozapin, Risperidon). Antipsikotik golongan tipikal tersebut bekerja dengan memblokir reseptor dopamin terpilih, baik diarea striatal maupun limbik di otak dan antipsikoti atipikal menghasilkan reseptor dopamin dan serotonin selektif yang menghambat sistem limbik. Memberikan efek antipsikotik (gejala positif) dan mengurangi gejala negatif.Menurut Doenges (2007, hlm.253) prosedur diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fungsi otak pada penderita gangguan jiwa adalah sebagai berikut: Coputerized Tomografi(CT Scan)Induvidu dengan gejala negatif seringkali menunjukkan abnormalitas struktur otak dalam sebuah hasil CT scan. (Townsend, 2003, hlm. 318) Magnetik Resonance Imaging(MRI)Mengukur anatomi dan status biokimia dari berbagai segmen otak. Positron Emission TomographyMengukur fungsi otak secara spesifik seperti metabolisme glukosa, aliran darah terutama yang terkait dengan psikiatri. Elektroconvulsif Therapy(ECT)Digunakan untuk pasien yang mengalami depresi. Pengobatan dengan ECT dilakukan 2 sampai 3 kali per minggu dengan total 6 sampai 12 kali pengobatan. (Townsend, 2003, hlm.316)b. Metode PsikososialMenurut Hawari (2006, hlm. 105-111) ada beberapa terapi untuk pasien skizofrenia, diantaranya adalah sebagai berikut: PsikoterapiPsikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. (Hawari, 2006, hlm. 105) Terapi Psikososial Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak bergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. (Hawari, 2006, hlm. 108-109)c. Terapi PsikoreligiusTerapi keagamaan terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat. Diantaranya yaitu gejala-gejala klinis gangguan jiwa lebih cepat hilang, lamanya perawatan lebih pendek, hendaya lebih cepat teratasi, dan lebih cepat dalam beradaptasi dengan lingkungan. Terapi keagamaan yang dimaksud adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, shalat, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan lain sebagainya. (Hawari, 2006, hlm. 110-111)

I. ASUHAN KEPERAWATANPemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.1. Pengkajiana. Identitas klien1) Perawat yang merawat melakukan kontak dengan klien tentang : nama klien, nama panggilan klien, nama perawat, panggilan perawat, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik pembicaraan.2) Usia 3) Nomor rekam medik4) Perawat menuliskan sumber data yang didapatb. Keluhan utama/alasan masukMenanyakan pada klien atau keluarga penyebab klien datang ke rumah sakit saat ini dan bagaimana koping keluarga yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya.c. Faktor predisposisiTanyakan pada klien / keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu, pernah melakukan, mengalami, menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal, baik itu yang dilakukan, dialami , disaksikan oleh orang lain, apakah ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, pengalaman yang tidak menyenangkan. d. Aspek fisikMeliputi pengukuran tanda vital, tinggi badan, berat badan dan adanya keluhan fisik, misalnya tampak lemah, letih dan sebagainya.e. Aspek psikososial1).Membuat genogram yang memuat minimal 3 generasi yang menggambarkan hubungan klien dengan keluarganya yang terkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan, pola asuh, pertumbuhan individu dan keluarga.2).Konsep diri, meliputi :Kaji lebih dalam secara bertahap dengan komunikasi yang sering dan singkat, meliputi :a). Citra tubuhTanyakan dan observasi persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.b). Identitas diriTanyakan dan observasi tentang status dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasanklien terhadap status dan posisinya (sekolah, tempat kerja, kelompok), kepuasan klien sebagai perempuan atau laki-laki.c). PeranTanyakan tentang tugas / peran yang diemban dalam keluarga/kelompok, kemampuan klien dalam melaksanakan tugas / peran. d). Ideal diriTanyakan tentang harapan terhadap tubuh; posisi, status, tugas/peran dan harapan klien terhadap lingkungan (keluarga, sekolah, tempat kerja, masyarakat). e). Harga diri.Tanyakan dan nilai melalui observasi lingkungan hubungan klien dengan orang lain sesuai dengan kondisi no. 2). (a), (b), (c) dan penilaian/penghargaan orang lain terhadap diri dan kehidupannya.3).Hubungan sosial (di rumah dan di rumah sakit)a). Tanyakan pada klien / keluarga siapa orang yang paling berarti dalam kehidupannya, tempat mengadu, tempat bicara, minta bantuan atau sokongan.b). Tanyakan pada klien / keluarga, kelompok apa saja yang diikuti dalam masyarakat.c). Tanyakan pada klien / keluarga pada klien sejauh mana klien terlibat dalam kelompok di masyarakat.4).Spiritual, meliputi pandangan, nilai dan keyakinan klien terhadap gangguan jiwa sesuai dengan agama yang dianut, kegiatan ibadah yang biasa dilakukan di rumah. f. Status mentalNilai aspek-aspek meliputi :1). Penampilan (rapi / tidak) , penggunaan dan cara berpakaian.2). Pembicaraan; cepat, keras, gagap, membisu, apatis, lambat, inkoheren, atau tidak dapat memulai pembicaraan.3). Aktifitas motorik; tampak adanya kelesuan, ketegangan, kegelisahan, agitasi, tik (gerakan involunter pada otot), grimasen (gerakan otot muka yang berubah-ubah yang tidak dapat dikontrol klien), tremor atau kompulsif.4). Alam perasaan; sedih, gembira, putus asa, ketakutan, atau khawatir.5). Afek; datar, tumpul, labil, tidak sesuai.6). Interaksi selama wawancara; bermusuhan, tidak kooperatif, kontak mata kurang, defensif, curiga atau mudah tersinggung.7). Persepsi; menentukan adanya halusinasi dan jenisnya.8). Proses pikir; sirkumstansial (pembicaraan berbelit-belit, tapi sampai pada tujuan pembicaraan), tangensial (pembicaraan berbelit-belit tidak sampai pada tujuan pembicaraan), kehilangan asosiasi (pembicaraan yang tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya), flight of ideas (pembicaraan yang meloncat-loncat), blocking (pembicaraan terhenti sejenak tanpa gangguan eksternal, kemudian dilanjutkan kembali), perseverasi (pembicaraan yang diulang berkali-kali).9). Isi pikir; obsesi (pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha menghilangkannya), phobia (ketakutan patologis pada objek / situasi tertentu), hipokondria (keyakinan terhadap adanya gangguan organ di dalam tubuh yang sebenarnya tidak ada), depersonalisasi (merasa asing terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan), ide yang terkait (keyakinan klien terhadap kejadian yang banyak di lingkungan yang bermakna dan terkait pada dirinya), pikiran magis dan waham.10). Tingkat kesadaran; bingung, sedasi, stupor, orientasi waktu, tempat dan orang.11). Memori; adanya gangguan daya ingat jangka panjang, gangguan daya ingat jangka pendek, gangguan daya ingat saat ini, konfabulasi.12). Tingkat konsentrasi dan berhitung; perhatian klien yang mudah dialihkan, tidak mampu memperbaiki, tidak mampu berhitung.13). Kemampuan penilaian; gangguan penilaian ringan dan gangguan kemampuan penilaian bermakna.14). Daya tilik diri; pengingkaran terhadap penyakit yang diderita, menyalahkan hal-hal di luar dirinya.g. Kebutuhan persiapan pulangObservasi kemampuan klien akan; makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian, istirahat dan tidur, penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, aktifitas di dalam dan di luar rumahh. Mekanisme kopingKaji koping adaptif ataupun maladaptif yang biasa digunakan klien dengan menarik diri, seperti regresi (kemunduran ke tingkat perkembangan yang lebih rendah dengan respon yang kurang matang), represi (koping yang menekan keadaan yang tidak menyenangkan ke alam bawah sadar), isolasi (respon memisahkan diri dari lingkungan sosial).

i. Aspek medikJenis obat-obatan klien saat ini, baik obat fisik, psikofarmaka dan terapi lainnya.

Data yang didapat dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu data objektif dan subjektif. Data objektif ditemukan secara nyata dan didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan langsung, sedangkan data subjektif merupakan data yang disampaikan oleh klien secara lisan dan keluarga yang didapat melalui wawancara perawat kepada klien dan keluarga.

1. Diagnosa KeperawatanKeliat, B. A. (2005) merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan isolasi sosial : menarik diri, sebagai berikut : a. Isolasi sosialb. Gangguan konsep diri : harga diri rendah c. Perubahan persepsi sensori : halusinasid. Koping individu tidak efektife. Defisit perawatan diri f. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan2. Intervensi KeperawatanMenurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan menggunakan SP, yaitu :a. Diagnosa 1. Isolasi SosialTujuan:Dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap

Intervensi :SP 1 (pasien) :Membina hubungan saling percayaMengidentifikasi penyebab isolasi sosia pasien.Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain.Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.SP 2 (pasien) :Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara berkenalan dengan dua orang.Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.SP 3 (pasien) :Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan dua orang atau lebih.Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.

SP 1 (keluarga) :1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien beserta proses terjadinya.1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosialSP 2 (keluarga) :Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan isolasi sosial.Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien isolasi sosial.SP 3 (keluarga) :Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge planning).Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.

b. Diagnosa 2. Perubahan konsep diri : harga diri rendahTujuan:Pasien mempunyai konsep diri yang positifIntervensi :SP 1 (Pasien)1.1. Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien.1.2. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat digunakan.1.3. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan kemampuan pasien.1.4. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan.1.5. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP 2 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.

Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuanMembimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP 1 (Keluarga)1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami pasien beserta proses terjadinya1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah SP 2 (Keluarga)Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri rendahMelatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga diri rendahSP 3 (Keluarga)Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (Discharge planning)Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

c. Diagnosa 3. Perubahan persepsi sensori : halusinasiTujuan :Pasien dapat mengontrol halusinasinya.Intervensi:SP 1 (Pasien)1.1. Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien1.2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien1.3. Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien1.4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien1.5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi1.6. Mengidentifikasi respons pasien terhadap halusinasi1.7. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan menghardik1.8. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harianSP 2 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan berbincang dengan orang lain

Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harianSP 3 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan kegiatan (yang biasa dilakukan pasien).Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP IV (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Menjelaskan cara kontrol halusinasi dengan teratur minum obat (prinsip 5 benar minum obat)Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP 1 (Keluarga)1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, dan jenis halusinasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien halusinasiSP 2 (Keluarga)Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan halusinasiMelatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien halusinasiSP 3 (Keluarga)Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge planning)Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

d. Diagnosa 4. Koping individu tidak efektifTujuan :Koping individu kembali efektifIntervensi :SP 1 (Pasien)1.1. Identifikasi koping yang selama ini digunakan.1.2. Membantu menilai koping yang biasa digunakan.1.3. Mengidentifikasi cita-cita atau tujuan yang realistis.1.4. Melatih koping: berbincang / assertif technics (meminta, menolak, dan mengungkapkan / membicarakan masalah secara baik).1.5. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.SP 2 (Pasien)Validasi masalah dan latihan sebelumnya.Melatih koping: beraktivitas.Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.SP 3 (Pasien)Validasi masalah dan latihan sebelumnya.Melatih koping: olah raga.Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.SP 4 (Pasien)Validasi masalah dan latihan sebelumnya.Melatih koping: relaksasi.Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.I. KeluargaSP 1 (Keluarga)1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala koping individu inefektif yang dialami pasien beserta proses terjadinya1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien koping individu inefektifSP 2 (Keluarga)Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien koping individu inefektifMelatih keluarga melakukan cara merawat langsung pasien koping individu inefektifSP 3 (Keluarga)Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obatMendiskusikan sumber rujukan yang bisa dijangkau oleh keluarga

e. Diagnosa 5. Defisit perawatan diriTujuan:Pasien dapat mandiri melakukan perawatan diriIntervensi :SP 1 (Pasien)1.1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri1.2. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri1.3. Melatih pasien cara menjaga kebersihan diri1.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harianSP 2 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Menjelaskan cara makan yang baikMelatih pasien cara makan yang baikMembimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP 3 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Menjelaskan cara eliminasi yang baikMelatih cara eliminasi yang baik.Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP 4 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Menjelaskan cara berdandanMelatih pasien cara berdandanMembimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP 1 (Keluarga)Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasienMenjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri dan jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta proses terjadinyaMenjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diriSP 2 (Keluarga)Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan defisit perawatan diriMelatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien defisit perawatan diriSP 3 (Keluarga)Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (Discharge planning)Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

f. Diagnosa 6. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkunganTujuan:Pasien dapat mengontrol resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

Intervensi :SP 1 (Pasien)1.1. Mengidentifikasi penyebab PK1.2. Mengidentifikasi tanda dan gejala PK1.3. Mengidentifikasi PK yang dilakukan1.4. Mengidentifikasi akibat PK1.5. Mengajarkan cara mengontrol PK1.6. Melatih pasien cara kontrol PK fisik I (nafas dalam).1.7. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP 2 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Melatih pasien cara kontrol PK fisik II (memukul bantal / kasur / konversi energi).Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP 3 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Melatih pasien cara kontrol PK secara verbal (meminta, menolak dan mengungkapkan marah secara baik).Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP 4 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Melatih pasien cara kontrol PK secara spiritual (berdoa, berwudhu, sholat).Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.SP 5 (Pasien)Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.Menjelaskan cara kontrol PK dengan minum obat (prinsip 5 benar minum obat).Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harianSP 1 (Keluarga)1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.1.2. Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses terjadinya PK.1.3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.SP 2 (Keluarga)Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan PK.Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien PK.SP 3 (Keluarga)Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge planning).Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges E, Marylin et. al. 2007.Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri edisi 3.(alih bahasa oleh Laili Mahmudah, dkk, 2006). Jakarta : EGCFitria , Nita. 2009.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba MedikaStuart, Gail W. 2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa(alih bahasa , Ramona P Kapoh, Egi Komara Yudha, 2006). Jakarta: EGCHawari, Dadang. 2001.Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa. Jakarta :FKUIKeliat, Budi Anna dan Akemat. 2006.Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGCKeliat, Budi Anna dan Akemat. 2010.Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGCNANDA. 2011.Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi(alih bahasa, Sumarwati et. al., 2011). Jakarta: EGCPerry & Potter. (2005).Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep Proses dan Praktek Edisi 4.(alih bahasa oleh Yasmin Asih, dkk, 2005). Jakarta: EGCRasmun. (2004).Stress Koping dan Adaptasi. Jakarta :CV.Sagung SetoStuart, Gail W dan Laraia. (2005).Priciple and paraktice of Psychiatric Nursing Edition 8. USA : MosbyTownsend, Mary C (2003). PsychiatricMental Healt Nursing : Concepts of Care.Fourth Edition.Philadelphia : Davis CompanyVidebeck, Sheila L. (2001).Buku Ajar Keperawatan Jiwa.(alih bahasa oleh Komalasari & Hany, 2008). Jakarta: EGCWilkinson, Judith M. (2007).Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC Edisi 7. Jakarta: EGCYosep, Iyus. (2009).Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung : PT Refika Aditama