majalah online kastrat bem fh unpad ke-v
DESCRIPTION
ÂTRANSCRIPT
MAJALAH ONLINE EDISI KE-V
DEPARTEMEN KAJIAN DAN AKSI STRATEGIS
BEM FH UNPAD KABINET HARMONI
o PENDIDIKAN GRATIS SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA DALAM KONSTITUSI
MEMPERTANYAKAN SIKAP KPI TERHADAP TAYANGAN-TAYANGAN DI TELEVISI MASA KINI
Sudah Adilkah Sistem PPDB Kota Bandung?
GONJANG-GANJING PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DKI JAKARTA
Sistem Lelang Jabatan
Trobosan Baru dalam Birokrasi Indonesia (?)
HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT INDONESIA
Twitter :
@BEMFHUNPAD
@KASRATFHUNPAD
PENDIDIKAN GRATIS SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA
DALAM KONSTITUSI
Cogito Ergo Sum
LATAR BELAKANG
Secara jelas telah dinyatakan bahwa Hak atas pendidikan merupakan salah satu
Hak Asasi Manusia, dan hal tersebut telah tercantum di Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 sebagai jaminan yang diberikan oleh Negara kepada warga Negara. Tentu
dalam pelaksanaan hal tersebut yakni dalam memenuhi Hak Asasi manusia harus dijauhi
dari praktek perbedaan atau kekhususan yang cenderung diskriminasi. Khusus terkait
pendidikan, Hal ini juga perlu dibedakan dengan tindakan Negara yang memberikan
penanganan khusus terhadap orang berkebutuhan tertentu antara lain disabilitas, tuna
rungu, tuna netra atau lainnya yang terkait. Tindakan Negara untuk membedakan bukanlah
atas dasar diskriminasi akan tetapi pemenuhan hak yang sama dengan cara berbeda.
Perbedaan yang terlihat ialah seringkali dinyatakan bahwa pendidikan murah atau
gratis ini hanyalah hak sebagian orang saja, dalam arti orang yang kekurangan, miskin atau
tidak mampu saja . Apakah dapat dikatakan hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap
orang yang tidak mendapat pendidikan murah atau pendidikan gratis. Selain itu
dipungutnya uang pembangunan atau DSP ( Dana Sumbangan Pembangunan ) yang
menjadi tren lembaga pendidikan di Indonesia, tentu sedikit kontraproduktif dengan jiwa
pasal 31 ayat 2 yakni Pemerintah wajib membiayainya. Penjelasan diatas menjadi
landasan penulisan tulisan ini yakni terkait pendidikan gratis bagi setiap warga Negara
bukan saja untuk orang yang tidak mampu akan tetapi untuk semua kalangan di Indonesia
termasuk orang kaya dan perihal praktek pemungutan Uang pembangunan
PEMBAHASAN
I. Instrumen pendidikan dalam Konstitusi
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Negara yang ideal ialah Negara yang
mencantumkan instrumen Hak asasi Manusia dalam Konstitusinya walaupun lebih
lanjut dilihat juga dari jumlah instrumen Hak asasi manusia itu sendiri dalam konstitusi.
Hak atas pendidikan merupakan salah satu dari sekian banyak hak asasi manusia
tersebut. Isi pasal 31 UUD 1945 merupakan Hak asasi terkait pendidikan.
Ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
Indonesia merupakan Negara hukum sehingga dalam praktek bernegara dan berbangsa
yang didalamnya termasuk pemenuhan hak asasi manusia haruslah merujuk kepada
hukum. Supremasi hukum merupakan landasan bagi Negara untuk bertindak sehingga
terdapat batasan-batasan dalam hukum itu sendiri. Jelas pasal 31 ayat 1 mengatakan
bahwa
Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan ( ayat 1 )
Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar ( ayat 2 )
Dalam rangka pemenuhan kedua ayat diatas, diperkuat kembali di lanjutan ayat 2 pasal
31 tersebut yakni Pemerintah wajib membiayainya. Sehingga dalam pemenuhan
pendidikan untuk setiap warga Negara yakni wajib mengikuti pendidikan dasar
merupakan kewajiban pemerintahan untuk membiayainya. Perihal pendidikan gratis,
perlulah diketahui bahwa arti dari gratis ialah tidak membayar sedikitpun biaya/uang
untuk suatu hal..
II. Praktek Pemenuhan Hak atas Pendidikan
Tentu dalam menempuh pendidikan dikenal beberapa hal terkait biaya, 1) SPP
sekolah yang dibayar per bulan 2) Dana pembangunan. Terkait dana pembangunan ini
jika dilihat dari tujuan diadakannya ialah dana yang dimintakan kepada peserta didik
untuk pembangunan infrastruktur sekolah baik bangunan dan peralatan penunjang.
Terkait infrastruktur sekolah tentu jelas merupakan beban bagi pemerintah, sama halnya
dengan infrastruktur umum baik jalan atau jembatan. Maka melihat diadakannya Dana
Pembangunan sebagai salah satu persyaratan yang dibayar peserta didik, tentu hal ini
sangat rancu dengan pendidikan gratis sebagaimana disebut dalam pasal 31 ayat 2
bahwa pemerintah wajib membiayainya. Ditambah kembali setelah uang pembangunan
itu dibayarkan, tidak ada laporan tanggung jawab pemakaian uang tersebut yang
tersebut secara terbuka dan jelas. Padahal sekolah punya kewajiban moral untuk
memberitahukan hal tersebut, karena uang itu diberikan bukan untuk sekolah, namun
diberikan untuk diatur oleh sekolah buat keperluan pembangunan. Tentu jika terdapat
regulasi yang memperbolehkan pengadaan uang pembangunan, hal tersebut sangat
bertentangan dengan prinsip pendidikan yang terdapat dalam konstitsi. Maka perlu
diketahui juga bahwa seharusnya biaya yang dibayar oleh pemerintah itu termasuk juga
dana pembangunan tiap sekolah ( infrastruktur sekolah ) dan SPP per bulan pula, itulah
baru dapat dikatakan pendidikan gratis yang dimaksudkan.
Terdapat juga praktek yang dikenal dengan istilah Cross subsidi atau subsidi silang,
termasuk dalam dunia pendidikan.
Subsidi silang atau cross subsidi adalah subsidi yang diberikan oleh yang mampu
secara finansial kepada yang tidak mampu secara finansial, dalam menanggung suatu
biaya.
Khusus terkait dalam pendidikan saja, praktek subsidi silang ini dirasa adil oleh sebagian
masyarakat, namun tentu bicara keadilan sangatlah relatif dan subjektif. Terdapat seorang
filsuf yunani yang terkenal akan teori keadilan yakni Aristoteles, antara lain :
1. Keadilan Legal
Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan
hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada
hukum yang ada secara tanpa pandang bulu. Keadilan legal menyangkut hubungan
antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua
orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara dihadapan
dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan
perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Keadilan komutatif
Keadilan secara komutatif adalah perlakuan terhadap seseorang dengan tidak
melihat jasa-jasa yang dilakukannya.
3. Keadilan distributif
Keadilan distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa
yang telah dilakukannya.
Jika melihat konstitusi Indonesia pasal 31 ayat 2 yang menyatakan bahwa Pemerintah
wajib membiayainya terkait pendidikan dasar. Maka hal tersebut secara jelas merupakan
keadilan legal, bahwa Negara memperlakuan sama terhadap semua orang sesuai dengan
hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum
yang ada secara tanpa pandang bulu. Tentu dapat dikatakan bahwa praktek subsidi silang
yang diberlakukan hanyalah suatu cara agar tanggung jawab yang Negara punyai
disebarkan kepada orang yang kaya atau mampu untuk melakukan tanggung jawab
tersebut. Namun Negara secara hukum menjamin pendidikan dalam konstitusi untuk
membiayainya, maka dapat dikatakan bahwa praktek subsidi silang di berbagai dunia
pendidikan di Indonesia ini bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945. Hal tersebut
menjadi pemicu atau sangat berpotensi untuk hanya membuat perbedaan yang terlihat
secara finansial dalam pendidikan bahwa orang miskin bisa sekolah karena subsidi silang
yang bukan diberikan Negara namun orang mampu atau orang kaya.
Maka untuk menjawab persoalan tersebut dapat dilihat dari awal, yakni prinsip
dasar Hak asasi manusia. Teringat bahwa hak asasi manusia tidak boleh dilepas dengan
kewajiban asasi itu sendiri. Dapat dikatakan segala instrumen hak asasi yang terdapat di
Konstitusi merupakan hak, yakni hak jika menjadi warga Negara. Namun hal tersebut
tidak boleh terlepas dari kewajiban menjadi warga Negara khususnya di Indonesia.
Salah satu kewajibannya ialah membayar pajak, sudah sepatutnya bahwa pajak menjadi
devisa / pendapatan Negara yang digunakan untuk penyelenggaraan Negara. Tentu
terdapat hubungan yang kuat terkait kewajiban membayar pajak terkait hak asasi
manusia khususnya pendidikan. 1) orang kaya tentu mampu membayar kewajibannya
yakni pajak ( diluar segala kewajiban asasi lainnya ), dan atas dasar tersebut seseorang
berhak mendapatkan haknya untuk dibiayai oleh pemerintah termasuk pendidikan. 2)
orang yang kurang mampu atau miskin sangat sulit bahkan tidak membayar pajak ( tidak
melakukan salah satu kewajiban asasi ), namun apakah hal tersebut membuat mereka
tidak mendapatkan hak asasinya khususnya pendidikan. Tentu bukan itu yang
diharapkan, dalam hal ini Negara memberikan ketentuan khusus kepada mereka yang
tidak mampu. Apakah perbuatan Negara yang khusus tersebut untuk tetap membiayai
pendidikan bagi orang yang tidak mampu, yang tidak membayar pajak merupakan
tindakan diskriminasi kepada orang kaya ? bahwa bagi orang yang bayar dan tidak bayar
pajak pun tetap mendapat hak atas pendidikan dalam pasal 31 ayat 2. Secara teori dapat
dikatakan bahwa Negara bertindak atas prinsip non-diskriminatif. Prinsip tersebut
terbagi menjadi dua hal.
1. Prinsip non diskriminatif positif : yakni Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadapat suatu masyarakat, orang atau kelompok
2. Prinsip non diskriminatif negative : yakni Negara mengambil langkah khusus
yang diperlukan kelompok, individu atau masyarakat. Langkah khusus tersebut
diambil bukan atas dasar diskriminatif namun keperluan penanganan khusus
terhadap kelompok khusus
Melihat penjelasan diatas dapat dikatakan, bahwa tindakan Negara untuk tetap
membiayai masyarakat yang tidak mampu membayar pajak bukanlah diskriminatif
kepada yang telah membayar pajak, namun Negara bertindak secara non-diskriminatif
negative kepada kelompok khusus yakni masyarakat kurang mampu atau miskin.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
Nyatalah sekarang terdapat beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan
di akhir penulisan ini.
1. Orang kaya atau orang yang mampu berpikir bahwa mereka pun berhak atas
pendidikan gratis.
2. Orang miskin atau orang yang tidak mampu berpikir bahwa bukan kelompok
mereka saja yang sepatutnya mendapat pendidikan gratis namun setiap lapisan
masyarakat termasuk orang kaya berhak atas hal tersebut.
3. Cerminan orang kaya atau orang tidak miskin tidak muncul untuk hak atas
pendidikan ini, bahwa setiap orang baik kaya dan miskin berhak atas hal
tersebut. Namun cerminan orang yang mampu dan orang tidak mampu hanya
tercermin dalam membayar pajak saja.
4. Subsidi silang hanyalah cara Negara untuk mendistribusikan tanggung jawab
yang seharusnya dipegang olehnya namun dipencar kepada orang yang kaya atau
orang yang mampu
5. Terkait pembiayaan yang dilakukan pemerintah dalam pasal 31 ayat 2 bukanlah
hanya terkait uang sekolah perbulan akan tetapi dana pembangunan yang
seringkali ditanggungkan kepada peserta didik merupakan bagian dari tanggung
jawab pemerintah pula. Sehingga masyarakat tidak perlu takut akan dana
pembangunan yang seringkali menjadi alasan tidak bersekolah. Maka terkait
pemenuhan hal tersebut, perlu anggaran besar dalam APBN dalam hal
pendidikan yang bukan saja ditujukan untuk kesejahteraan guru saja akan tetapi
memasukan pula bagian infrastruktur sekolah.
6. Regulasi yang memperbolehkan pengadaan pemungutan dana pembangunan
tersebut merupakan regulasi yang bertentangan dengan konsep dasar yang
terdapat dalam konstitusi
SARAN
1. Jika ingin tetap diadakannya Dana pembangunan, hal tersebut dapat diberlakukan
atas dasar Sukarela saja dan tidak menjadi salah satu tolak ukur untuk diterimanya
calon peserta didik.
2. APBN dalam hal pendidikan perlu ditambah kembali yang bukan saja ditujukan
untuk kesejahteraan guru namun infrastruktur sekolah.
Kornelius BillHiemer Sianturi
Staff Biro Pengembangan Ilmu dan Penalaran
BEM FH UNPAD
Kabinet Harmoni
Sudah Adilkah Sistem PPDB Kota Bandung?
Proses Penerimaan Peserta Didik Baru atau biasa disebut dengan PPDB merupakan
proses yang setiap tahunnya terjadi di setiap kota-kota di Indonesia. Hampir setiap kota di
Indonesia memiliki sistem PPDB yang berbeda-beda, begitu pula halnya Kota Bandung.
Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota Bandung tahun 2014 dilaksanakan
hampir seluruhnya dengan sistem online, mulai dari proses pendaftaran, seleksi, hingga
bagi hasil. Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) tahun ajaran 2014-2015 di Kota
Bandung untuk tingkat SD, SMP dan SMA telah berakhir. Namun ada sedikit perubahan
yang terjadi dengan PPDB tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Walikota Bandung ini.
Dalam PPDB tahun ini, pemerintah Kota Bandung tidak lagi menggunakan sistem cluster
namun telah mengacu pada Peraturan Wali Kota (Perwal) No 666 Tahun 2014 tentang
perubahan ketiga atas peraturan Walikota Bandung nomor 177 tahun 2010 tentang tata
cara penerimaan peserta didik baru pada taman kanak-kanak/raudhatul athfal dan
sekolah/madrasah. Perbedaan mendasar pada sistem PPDB tahun 2014 ini ialah dimana
tahun lalu menggunakan sistem cluster murni tetapi sekarang menggunakan sistem
rayonisasi. Sistem cluster merupakan sistem yang mengklasifikasikan sekolah-sekolah
yang ada berdasarkan passing grade nilai para siswa yang mendaftar, sementara sistem
rayonisasi berbasiskan pada daerah atau wilayah dimana siswa itu berada.
Mungkin memang tak banyak para peserta didik maupun para orang tua yang
mengetahui konsep rayonisasi itu sendiri. Konsep rayonisasi memang terlihat cukup
membingungkan untuk bisa dijalankan mengingat banyaknya hal yang harus dimengerti.
Namun menurut pemerintah Kota Bandung kebijakan ini dinilai sudah tepat untuk
mengatasi berbagai persoalan yang ada misalnya mengenai kasus jual beli kursi,
memberikan ruang gerak lebih pada para peserta didik untuk lebih leluasa mendaftar ke
sekolah manapun tanpa berdasarkan cluster juga mendukung gerakan pemerintah kota
Bandung untuk mengurangi kemacetan lalu lintas dengan adanya program bike to school
dimana siswa siswi pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda.
Apabila kita tilik lebih lanjut bahwa sebenarnya terlalu banyak ketentuan yang
dinilai tidak merata pada setiap calon peserta didik baru, misalnya pada tingkat SMA/MA,
SMK/MAK untuk jalur akademik. Dalam Peraturan Walikota tersebut tertulis beberapa
hal, diantaranya:
1) seleksi calon peserta didik SMA/MA, SMK/MAK dilakukan secara otomatis
dengan sistem PPDB Online.
2) Sistem seleksi Calon Peserta Didik SMA/MA,SMK/MAK dalam PPDB Online
akan memperhitungkan kriteria utama yaitu nilai UN.
3) Seleksi pada intinya didasarkan pada besarnya nilai UN.
4) Nilai UN Calon Peserta Didik yang dientry pada Sekolah pilihan ke-1 yang
tidak sesuai wilayah tempat tinggal dikalikan 1 (satu), pilihan ke-1 yang
memilih sekolahnya berada pada radius paling jauh 2 KM dengan
kelurahannya, mendapat tambahan skor sebesar 1,15 sedangkan yang dientry
pada pilihan ke-2 dikalikan 1 (satu).
5) Ketentuan pada angka 4 tidak berlaku bagi SMK/MAK.
6) Nilai UN Calon Peserta Didik selanjutnya diperingkat. Urutan teratas Calon
Peserta Didik sampai dengan jumlah sesuai kuota penerimaan Peserta Didik
masing-masing sekolah ditetapkan melalui sidang pleno Dinas Pendidikan
bersama Dewan Pembina dan diumumkan pada tanggal 10 Juli 2014 sebagai
Calon Peserta Didik SMA/MA,SMK/MAK yang diterima pada tahun pelajaran
2014/2015. Selanjutnya Kepala Sekolah menerbitkan surat keterangan diterima
dan melaporkan Peserta Didik yang diterima ke Dinas Pendidikan.
7) Bagi Calon Peserta Didik yang tidak dapat diterima di sekolah pilihan ke-1,
akan dilimpahkan secara otomatis oleh sistem online ke sekolah pilihan ke-2
untuk selanjutnya diperingkat di sekolah pilihan ke-2 sampai dengan jumlah
daya tampung di sekolah pilihan ke-2 tersebut.
Berbagai respon mulai bermunculan pasca diberlakukannya peraturan walikota ini.
Peserta didik dan para orang tua banyak yang mengapresiasi penerapan aturan ini. Namun
tak sedikit juga yang mengaku kecewa atas penerapan aturan yang mengedepankan konsep
rayonisasi ini. Konstitusi juga menyatakan bahwa hak pendidikan yang bermutu dan
memberi kesempatan untuk maju itu merupakan hak untuk semua anak sesuai dengan
amanat UUD 1945 dalam Pasal 28C ayat 1 dan 2 juga dalam pasal 31. Pasal-pasal tersebut
mengandung pengertian bahwa negara menjamin hak-hak tiap warga negara untuk
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya juga untuk mendapat
pendidikan. Selain itu, UU No. 20 Tahun 2003 dalam pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.” Selanjutnya dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan pula bahwa “Setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
Dalam pasal 5 ayat 1 ini menjelaskan bahwa setiap warga negara, setiap siswa siswi yang
ingin melanjutkan pendidikan berhak untuk mendapatkan pendidikan yang menurut
mereka memiliki kualitas yang baik.
Namun apabila peraturan Walikota Bandung ini dilihat lebih jauh, tentu tidak
semua dari mereka bisa memperoleh pendidikan yang bermutu mengingat ada batasan-
batasan dalam memilih sekolah. Yaitu setiap calon peserta didik hanya boleh memilih dua
sekolah, dimana pilihan pertama bebas ditujukan ke sekolah mana yang ia inginkan,
namun di pilihan kedua siswa tersebut harus memilih satu sekolah yang masuk ke dalam
wilayah tempat tinggalnya atau dengan kata lain pilihan kedua siswa tersebut didasari dari
jarak rumah mereka ke sekolah. Bila ada salah satu calon peserta didik yang rumahnya
dekat dengan sekolah-sekolah yang terdaftar dalam kelompok yang telah ditentukan
berdasarkan kecamatan dan memiliki akreditasi bagus tentunya tidak perlu berpikir untuk
menyusun strategi mendapatkan sekolah yang diinginkan, selain telah mendapat nilai
intensif juga sudah masuk ke dalam piihan sekolah-sekolah yang sesuai dalam daftar yang
terlampir. Lain halnya jika ada calon peserta didik yang ingin masuk sekolah namun lokasi
rumahnya tidak terdaftar dalam lokasi sekolah yang mendapat tambahan intensif tentu
menjadi suatu kerugian bagi mereka. Selain itu semua sistem yang dipakai ialah sistem
online sehingga jika para calon peserta didik tidak lolos pada pilihan pertamanya akan
serta merta dilimpahkan berkasnya ke pilihan kedua. Hal selanjutnya yang perlu ditinjau
kembali ialah jika para calon peserta didik tidak lolos di pilihan pertama maupun pilihan
kedua maka bagaimana kelanjutan dari nasib mereka?? Mungkin ini yang perlu
dipertimbangkan lagi dalam Peraturan Walikota tersebut.
Jika memang kebijakan baru ini bertujuan untuk menjalankan amanah UUD dan
UU Pendidikan agar anak-anak mendapatkan pelayanan sosial yang adil tanpa membeda-
bedakan kelas sosial dan ekonomi namun faktanya masih ditemui beberapa siswa yang
kecewa karena tidak bisa masuk ke sekolah yang mereka inginkan dengan adanya sistem
rayonisasi sekolah di Kota Bandung ini. Salah satu yang menjadi alasan kiranya perlu
dikaji kembali sistem PPDB di Kota Bandung ini ialah salah satu tujuan rayonisasi sekolah
di Kota Bandung yaitu memberikan ruang gerak lebih pada para peserta didik untuk lebih
leluasa mendaftar ke sekolah manapun tanpa berdasarkan cluster. Menurut Ridwan Kamil
selaku walikota Bandung, mengatakan bahwa penghapusan sistem cluster dilakukan untuk
menghilangkan kesan diskriminasi berbasis akademis yang kerap muncul di masyarakat.
Namun mengajak para peserta didik untuk menerima sistem baru ini tidaklah mudah. Hal
tersebut harus dibarengi dengan pemerataan kualitas pendidikan dan fasilitasnya sehingga
semua sekolah di kota Bandung memiliki standar kualitas dan fasilitas yang sama,
sehingga tidak ada lagi kecenderungan para peserta didik untuk masuk hanya di sekolah-
sekolah tertentu. Namun pada kenyataannya belum semua sekolah di Kota Bandung
memiliki fasilitas yang sama sehingga jika dikatakan bahwa tujuannya pemerataan maka
yang harus dilakukan lebih dulu yaitu pemerataan fasilitas di semua sekolah di Kota
Bandung sehingga semua siswa akan bisa menentukan sekolah dimana saja dan tidak
terpaku pada beberapa sekolah yang dinilai memang memiliki standar-standar tertentu.
Tak hanya fasilitas suatu sekolah yang termasuk sarana dan prasarana pendukung
pembelajaran namun sumber daya manusia dalam hal ini tenaga pengajar yang berkualitas
pun menjadi faktor dalam pemerataan kualitas suatu sekolah. Melihat masih banyaknya
permasalahan yang terjadi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2014,
maka perlu kiranya peraturan ini untuk dikaji ulang bersama agar tidak ada lagi pihak-
pihak yang merasa dirugikan dan dapat sama-sama mencari solusi untuk sebuah sistem
Penerimaan Peserta Didik Baru yang lebih baik lagi ke depannya.
MEMPERTANYAKAN SIKAP KPI TERHADAP TAYANGAN-
TAYANGAN DI TELEVISI MASA KINI
Cogito Ergo Sum
ISU
Dalam 10 tahun terakhir, sudah terjadi globalisasi. Dalam proses tersebut, banyak sekali
budaya-budaya luar yang masuk ke Indonesia, yang mana sebagian besar dipengaruhi oleh
budaya barat. Hingga saat ini, terjadi pergeseran budaya yang meengakibatkan terkikisnya
budaya asli Indonesia oleh budaya-budaya asing. Inilah yang merupakan titik awal dari
banyaknya siaran-siaran yang lebih mementingkan keuntungan dari suatu program siaran,
bukan kualitas program siaran tersebut. Pengaruh kapitalisme sangat besar, dan kita harus
tetap menjaga budaya asli Indonesia yang luhur, berbudi pekerti, menjunjung tinggi
toleransi dan kesopanan.
Dalam dunia penyiaran di Indonesia, masih sering ditemukan konten-konten siaran yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai moral masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya
tayangan-tayangan yang ditegur oleh KPI namun masih marak ditayangkan di layar
televisi.
Ruang lingkup kewenangan KPI saat ini harus dipertanyakan, karena pada kenyataannya
saat ini masih banyak pihak televisi swasta yang melanggar ketentuan-ketentuan KPI
dalam menyiarkan suatu tayangan. Kewenangan KPI harus diperjelas dan diperkuat
sehingga tidak ada lagi pihak-pihak penyiar yang melakukan pelanggaran.
Dengan diperjelas artinya tidak hanya memberikan teguran dalam bentuk tertulis saja,
karena dalam beberapa kasus, hanya disampaikan teguran tertulis saja tanpa ada tindak
lanjut yang lebih spesifik seperti penggunaan. Maksud diperkuat disini adalah dengan
penegasan wewenang KPI dalam bentuk mengikat dengan tegas pada pihak yang terkait.
KPI harus dapat membuat jera pelanggar yang menyalahi aturan, dengan lebih berani
untuk memberikan sanksi selain hanya teguran. Hal tersebut diatur dalam Pasal 74
Peraturan KPI No. 3 tahun 2007 tentang Standar Program Siaran, yang merupakan
peraturan pelaksana dari dari UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam beberapa
kasus pula, ada siaran yang dihentikan karena telah ditegur oleh KPI, namun selanjutnya
muncul lagi tayangan dengan platform yang hampir sama, tapi berubah nama. Akibatnya
tidak adanya efektifitas dari teguran dan sanksi dari KPI hanya karena perubahan nama,
siaran tersebut secara hukum diperbolehkan. KPI seharusnya berani untuk membekukan
sementara ataupun permanen hak siar dari pihak penyiar yang melakukan hal tersebut.
Dengan begitu, kewenangan KPI akan terjalankan dengan jelas dan kuat, dan diharapkan
tidak ada lagi pelanggaran sejenis terjadi kembali.
Para pihak yang melanggar perlu diberikan sanksi yang tegas secara materil, yaitu dengan
cara membayar denda yang ditentukan oleh pihak KPI atau dengan dan immateril, agar
efek jera yang diharapkan dari sanksi bagi para pelanggar dapat terjadi dengan efektif.
Secara materiil, seharusnya dibuat mengenai aturan baru yang dikhususkan untuk
memberikan sanksi materiil berupa denda administratif yang besar, agar mendapatkan
selain bertujuan untuk untuk memberikan efek jera, juga fungsi preventif guna mengurangi
pelanggaran tentang penyiaran. Secara immateril, apabila terjadi pelanggaran, maka pihak
pelanggar haruslah meminta maaf yang sebesar-besarnya melalui permohonan maaf
tertulis dan digital kepada masyarakat, sebagai bentuk kesadaran moral dari pelanggar.
REGULASI
a. Tentang konten penyiaran
Dalam pasal 36 ayat 1 UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, “Isi siaran wajib
mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan
intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan,
serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.”
i. “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat
untuk pembentukan intelektual, watak moral….”
Isi siaran harus memberikan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral dan
kemajuan bagi masyarakat. Siaran seperti berita yang bermanfaat, acara pendidikan, dan
acara hiburan yang dengan konten positif, bukan seperti yang saat ini terjadi yakni hiburan
dengan mengandung konten-konten negatif. Program-program siaran yang mendidik
seharusnya lebih dikedepankan dalam penyiaran di Indonesia. Indonesia merupakan
negara berbudaya luhur, menjunjung tinggi budi pekerti, toleransi, dan kesopanan. Atas
dasar itulah seharusnya pihak penyiar memperhatikan hal-hal tersebut dalam membuat
siaran
Tak hanya dari tayangan acara, terkadang permasalahan juga muncul dari pembawa acara
tersebut yang mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dikatakan di depan khalayak
ramai, bahkan tak jarang menyinggung pihak tertentu.
ii. Menjaga persatuan dan kesatuan dengan informasi politik, hukum, dan
ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.
Saat masa kampanye dan pemilu berlangsung, ada televisi swasta yang dimiliki oleh orang
partai politik, sehingga tayangan yang ditampilkan terutama pada bagian iklan,
menampilkan tayangan-tayangan iklan yang kontennya adalah bagian dari kampanye
politik. Dan kadang kala, tidak dapat dipungkiri ada tayangan yang kontennya
menjelekkan kandidat atau partai politik lain, yang akibatnya dapat memancing
perpecahan dalam masyarakat.
Hal ini adalah pelanggaran pada pasal 36 UU No. 32 tahun 2002, yang mana dicantumkan
bahwa isi siaran wajib mengandung informasi yang dapat menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa.
b. Tentang Penegakan Hukum
Ketika KPI hanya memberikan teguran kepada pihak televisi, tanpa memberikan tindakan
lebih lanjut, pihak televisi umumnya sering mengabaikan teguran dari KPI hingga teguran
terakhir. Kami mempertanyakan kewenangan KPI yang menurut kami dihalangi oleh
prosedur-prosedur yang menyulitkan KPI dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, kami
juga mempertanyakan mengenai kualifikasi tayangan berdasarkan Pedoman Perilaku.
Berdasarkan pengamatan kami, hanya sedikit stasiun televisi yang menampilkan kriteria
umur dalam penayangan siarannya.
Hal tersebut adalah sangat fatal, karena jika suatu tayangan yang ditujukan untuk orang
dewasa, tetapi ditonton oleh anak-anak, mereka akan mendapatkan pendidikan mengenai
orang dewasa yang seharusnya mengetahui hal tersebut. Akibat daripada hal ini adalah
banyaknya anak-anak yang saat ini sudah berlaku selayaknya orang dewasa, yang mana
mereka sebenarnya masih anak-anak. Banyak pula anak-anak yang berbahasa tidak sopan
karena mereka mempelajarinya melalui tayangan yang ada dalam televisi.
Pasal 36 ayat (3) UU No. 32/2002 menyebutkan bahwa:
“Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus,
yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan
lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak
sesuai dengan isi siaran.”
Ketika KPI memberikan teguran bagi suatu tayangan, tidak dapat dipungkiri ada pula
tayangan yang sejenis tapi tidak dilarang. Kami mempertanyakan kembali dimana
ketegasan KPI terhadap tayangan yang serupa namun berbeda nama, dan isi kontennya pun
sama namun tetap disiarkan.
KPI sudah mempunyai aturan yang jelas mengenai pedoman penyiaran1. Tapi yang kami
pertanyakan adalah, penerapan dari aturan tersebut masih terkesan longgar. Jika KPI
menegakkan aturan yang mereka buat dengan sebenar-benarnya, kami meyakini bahwa
KPI akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan masyarakat akan mendapatkan
suguhan tayangan yang bermanfaat.
Selain kesalahan pihak televisi swasta yang acapkali membuat tayangan-tayangan baru
namun sama substansinya dengan tayangan lain yaitu tidak ada manfaatnya kecuali bagi
hiburan semata yang tidak mengandung unsur kemanfaatan seperti nilai pendidikan dan
nilai moral, kami melihat ada kesalahan juga daripada masyarakat itu sendiri.
Seharusnya masyarakat, dalam hal ini orangtua dapat menyaring tayangan bagi anak-
anaknya. Harus ada sinergitas antara kehendak KPI yang ingin memberikan tayangan
bermutu kepada masyarakat, dengan orang tua yang dapat menyaring lagi tayangan yang
1 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, Bab XXX, Pasal 75 ayat (2)
ditonton oleh anak-anaknya. Hal ini juga sudah diakomodir dalam Pasal 522 Undang-
Undang no. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan bahwa setiap orang mempunyai
hak, kewajiban, dan tanggung jawab serta berperan dalam mengembangkan
penyelenggaraan penyiaran nasional.
KESIMPULAN
KPI perlu menguatkan kembali perannya sebagai penyelenggara ijin dalam penyiaran di
Indonesia. Teguran-teguran yang sudah diberikan seyogyanya terus diikuti dengan
kepastian bahwa pelanggaran yang terjadi tidak akan terulang kembali. Hal ini harus
sangat diperhatikan dengan terang dan jelas demi kebaikan bagi masyarakat Indonesia.
Harus ada hubungan timbal balik yang erat dalam mengatasi masalah ini, baik dari sisi
penyiar dan dari mereka yang menikmati tayangan-tayangan tersebut. Ini adalah tugas kita
bersama untuk memastikan tujuan KPI yang sebenar-benarnya tercapai, dan memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya dalam dunia penyiaran Indonesia.
Biro Kajian dan Advokasi Mahasiswa
BEM FH Unpad Kabinet Harmoni
2 Pasal 52 ayat (1) “Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam
berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional”
GONJANG-GANJING PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DKI
JAKARTA
Cogito Ergo Sum
Pengunduran diri Joko Widodo dari jabatan Gubernur DKI Jakarta menyusul
penetapan dirinya menjadi Presiden terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
2014 meninggalkan polemik mengenai siapa yang akan menduduki tampuk pemerintahan
di DKI Jakarta. Pergantian undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah
dan pemilihan kepala daerah ditambah dengan berbagai penafsiran yang dilakukan oleh
berbagai pihak turut memperumit situasi perpolitikan di DKI Jakarta.
Seiring dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota memunculkan perdebatan dikalangan
masyarakat mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta. Ditambah lagi
dengan keberadaan DKI Jakarta yang dipayungi oleh Undang-undang Nomor 29 Tahun
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Situasi ini semakin “panas” setelah Wakil Ketua
DPRD DKI Jakarta, M Taufik, menyatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
Wakil Gubernur DKI Jakarta yang sekarang menjabat sebagai Plt. Gubernur DKI Jakarta,
tidak secara otomatis menjadi gubernur menggantikan Joko Widodo.3 M. Taufik
mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 174 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2014, apabila
masa jabatan Kepala Daerah yang mengundurkan diri masih lebih dari 18 bulan, maka
penggantinya dipilih oleh DPRD.
Apabila dicermati, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 yang merupakan
payung hukum kekhususan Provinsi DKI Jakarta pada dasarnya hanya mengatur mengenai
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa mengatur tentang mekanisme pemilihan
Gubernur atau Wakil Gubernur yang berhenti atau diberhentikan. Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1), (2) dan (3). Sehingga, dalam
3 ) KOMPAS, “Berebut” Kursi Panas Di DKI Jakarta,
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/28/14000011/.Berebut.Kursi.Panas.di.DKI.Jakarta
kondisi seperti ini berlaku Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah jo. Perppu Nomor 2 Tahun 2014 sebagai lex generalis (undang-undang yang
umum). Namun, berdasarkan Pasal 62 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 jo. Perppu
Nomor 2 Tahun 2014, ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-
undang, dalam hal ini Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang dikeluarkan oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono,
menyusul penolakan masyarakat terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Berdasarkan Pasal 174 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota, apabila sisa masa jabatan Gubernur berhenti atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan, maka dilakukan Pemilihan Gubernur
melalui DPRD Provinsi. Namun, ketentuan ini tidak berlaku apabila terjadi kekosongan
jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 203 ayat (1), dalam hal terjadi kekosongan
Gubernur, Bupati dan Walikota yang diangkat berdasarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil
Walikota menggantikan Gubernur, Bupati dan Walikota sampai dengan berakhir masa
jabatannya. Oleh karena Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama diangkat sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta berdasarkan UU No. 29 Tahun 2007 sebagai
lex specialis (undang-undang yang khusus) dari UU No. 32 Tahun 2004 yang pada saat itu
berlaku dan masa jabatannya masih tersisa kurang lebih 3 tahun lagi, maka seiring dengan
pengunduran diri Joko Widodo dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, sesuai dengan Pasal
203 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2014 maka Wakil Gubernur DKI yang dijabat oleh
Basuki Tjahaja Purnama secara otomatis akan menggantikan Joko Widodo sebagai
Gubernur DKI Jakarta sampai dengan berkhirnya masa jabatannya.
Jadi, pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Joko Widodo
sebenarnya tidak perlu untuk diperdebatkan karena pada dasarnya peraturan perundang-
undangan telah mengatur secara jelas mengenai mekanisme pengisisan jabatan Gubernur
yang berhenti atau diberhentikan yang diangkat berdasarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 maupun berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 jo. Perppu
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga, pengangkatan Wakil
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama untuk menggantikan Joko Widodo
sebagai Gubernur DKI Jakarta juga tidak perlu untuk dipemasalahkan karena hal tersebut
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan bahwa Gubernur
yang berhenti atau diberhentikan yang diangkat berdasarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 secara otomatis digantikan oleh Wakil Gubernur sampai dengan berakhirnya
masa jabatannya.
Radius Emerson Sitanggang
Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM FH Unpad Kabinet Harmoni
Sistem Lelang Jabatan
Trobosan Baru dalam Birokrasi Indonesia (?)
Cogito Ergo Sum
Pendahuluan
Lelang Jabatan, istilah yang sering didengungkan dalam dinamika birokrasi di
Indonesia. Istilah ini mulai terdengar pada tahun 2013, di Jakarta dibawah pemerintahan
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakilnya Basuki Tjahtja Purnama, dimana posisi
Camat, Kepala Dinas, Kepala Sekolah, Kepala Puskesmas dan beberapa jabatan lain diisi
dengan metode lelang jabatan. Metode lelang jabatan tersebut dilakukan dengan
serangkaian tes tulis dan wawancara sehingga dapat diketahui kinerja dari calon pejabat
tersebut.
Keberhasilan yang diyakini pemerintah mengenai lelang jabatan di DKI Jakarta,
maka isu mengenai pengisian pejabat mulai berhembus kepada pemerintah pusat, yaitu
kementrian-kementrian. Diawali dengan lelang jabatan eselon 1 di tubuh Kementrian
Keuangan Republik Indonesia dengan metode lelang jabatan mulai terhembus kencang,
yaitu pengisian jabatan untuk 4 jabatan, yaitu :Dirjen Pajak, Kepala Badan Kebijakan
Fiskal, Staf Ahli Bidang Organisasi, Birokrasi dan Teknologi Informasi serta Staf Ahli
Bidang Penerimaan Negara. Kabar yang sedang menghangat juga lelang jabatan ini akan
melibatkan KPK dan PPATK dalam hal pemeriksaan harta kekayaan calon pejabat yang
mengikuti lelang jabatan tersebut.
Dasar Hukum
Untuk dasar hukum prosedur lelang jabatan, hal ini diatur dalam Undang Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana terdapat ketentuan perihal
wewenang kepala daerah untuk menentukan struktur Organisasi Pemerintahan Daerah
(OPD) dan pengisian jabatannya. Adapun dalam Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999
Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok
Kepegawaian juga mengatur tentang persyaratan pengisian jabatan bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS), yaitu pada pasal 17 ayat (2) disebutkan bahwa “Pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan. berdasarkan prinsip profesionalisme
sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk
jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama,
ras atau golongan.”
Prosedur Lelang Jabatan
Proses promosi jabatan dilakukan dengan tahapan:
Pertama; pengumuman secara terbuka kepada instansi lain dalam bentuk surat
edaran melalui papan pengumuman,dan/atau media cetak, media elektronik
(termasuk media on-line/internet) sesuai dengan anggaran yang tersedia. Setiap
pegawai yang telah memenuhi syarat administratif berupa tingkat kepangkatan dan
golongan, diperbolehkan mendaftarkan diri untuk mengisi lowongan yang tersedia
Kedua, mekanisme seleksi/ penilaian kompetensi manejerial dan kompetensi
bidang (substansi tugas) Penilaian kompetensi manejerial dilakukan dengan
menggunakan metodologi psikometri, wawancara kompetensi dan analisa kasus
danpresentasi. Sedangkan penilaian kompetensi bidang dilakukan dengan metode
tertulis dan wawancara (Standar kompetensi Bidang disusun dan ditetapkan oleh
masing-masing instansi sesuai kebutuhan jabatan dan dapat dibantu oleh assessor.
Ketiga, Panitia Seleksi mengumumkan hasil dari setiap tahap seleksi secara terbuka
melalui papan pengumuman, dan/atau media cetak, media elektronik (termasuk
media online/internet).
Hal positif sistem lelang jabatan
Pengaruh positif dengan adanya sistem lelang jabatan adalah :
1. Dengan sistem lelang jabatan, yaitu adanya fit and proper test, maka diharapkan
akan menciptakan persaingan positif dalam kinerja, sehingga nantinya akan tercipta
pejabat yang berkompeten pada saat mengemban amanah jabatan.
2. Pada saat dilakukan lelang jabatan, maka akan dilihat bagaimana track record
kinerja pejabat tersebut. Oleh karena itu pula, pengaruh positif dengan adanya
lelang jabatan tersebut adalah penempatan pejabat yang bersih dan berkompeten
pada saat menduduki suatu jabatan.
3. Menghindari dari pengisian jabatan yang merupakan “pesenan” dari pihak lain
yang memiliki kepentingan dalam hal tugas dan wewenang dari jabatan tersebut.
4. Memberikan peluang yang sama bagi PNS yang ingin berkarier berdasarkan
kinerja dan prestasi kerjanya.
5. Merupakan bentuk keterbukaan birokrasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat
akan lebih percaya kepada pemerintahan, sehingga gol “good governance” akan
tercipta.
Dampak adanya lelang jabatan
Pada awal diberlakukannya sistem lelang jabatan, dengan contoh tempat di DKI
Jakarta, terjadi polemik yang menjadi “rahasia umum” di kalangan PNS, terutama PNS
yang sudah golongan tinggi, karena tesnya yang begitu susah, banyak dari mereka yang
sudah tidak hafal materi ujian, walau sudah diisi dengan pengalaman. Kemudian dalam
jangka waktu tertentu, ditemukan bahwa terjadi kecurangan pada pelaksanaan lelang
jabatan, terutama untuk posisi Kepala Sekolah (dalam berita kompas.com, tanggal 21
Desember 2013), dimana Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menindak tegas pelaku
tersebut.
Kemudian terlihatlah dampak positif atas pemberlakuan sistem lelang jabatan. Para
PNS berusia relatif muda menduduki posisi penting dalam pemerintahan dengan
kompetensi yang mumpuni. Tercatat di DKI Jakarta, 3 camat mendapatkan penghargaan
sebagai camat berprestasi secara nasional. Politik kasta yang selama ini menggerogoti
birokrasi mulai terkikis karena penilaian pemilihan pejabat dilakukan berdasarkan prestasi
dan kompetensi yang dimiliki.
Kesimpulan
Dengan metode baru lelang jabatan tersebut, akan menjadi trobosan baru dalam
birokrasi Indonesia yang oleh berbagai kalangan dinilai bermasalah, apalagi jika
menggunakan sistem promosi “politik kasta”, yaitu penunjukan pejabat untuk menduduki
suatu jabatan oleh pejabat yang lebih tinggi –yang rawan KKN-, sehingga nantinya akan
tercipta pejabat yang betul-betul kompeten dalam menjalankan jabatannya, bersih dari
KKN, berprestasi dalam proses pelayanan masyarakat.
Ghifari Auliya Sani
Staff Biro Kajian dan Advokasi Mahasiswa
BEM FH Unpad Kabinet Harmoni