makalah forklin kdrt ny.vwt by chandra
DESCRIPTION
forensikTRANSCRIPT
MAKALAH UJIAN KASUS
FORENSIK KLINIK
Disusun Oleh:
Fitria Chandra Nugraheni
0906487783
Rombongan C
Penguji:
dr. Djaja Surya Atmadja, SpF. PhD. SH.
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTOMANGUNKUSUMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
MARET 2013
DAFTAR ISI
Halaman depan................................................................................................................................1
Daftar Isi..........................................................................................................................................2
BAB I. Ilustrasi Kasus.....................................................................................................................3
Visum et Repertum..........................................................................................................................6
BAB II. Pembahasan Umum...........................................................................................................8
BAB III. Pembahasan Khusus.......................................................................................................15
Daftar Pustaka................................................................................................................................17
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS
No. Registrasi Forensik : 112/TUFK/III/2013.
No. Registrasi RSCM : 384-14-11.
Waktu Pemeriksaan : Senin, 11 Maret 2013, pukul 13.30 WIB.
Tempat Pemeriksaan : Pusat Krisis Terpadu (PKT) IGD RSCM
I. Identitas Korban
Nama : Ny. VWT.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Usia : 45 tahun.
Tempat / Tanggal Lahir : Delhi / 5 September 1977.
Agama : Hindu.
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.
Kewarganegaraan : Indonesia.
Alamat : Jl. Gunung Sahari Raya 42J Rt.06/05 Kecamatan Sawah Besar,
Jakarta Pusat.
II. Riwayat Medis
a. Anamnesis
Pada hari Senin tanggal 11 Maret 2013 kurang lebih pukul 13.30 WIB, Ny.VWT usia 45
tahun, datang ke Pusat Krisis Terpadu IGD RSCM diantar oleh seorang laki-laki yang
mengaku saudaranya. Korban datang ke RSCM dengan membawa Surat Permintaan Visum
(SPV) bernomor 142/VER/III/2013/POLRESJP. Pada SPV tertera bahwa institusi pengirim
dari Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat. Surat permintaan tersebut ditujukan kepada
Kepala RS Cipto Mangunkusumo untuk keperluan pembuatan visum et repertum.
Korban diduga telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh
suami korban, yang terjadi pada tanggal 10 Maret 2013 pukul 21.00 WIB, bertempat di
rumah korban Jl. Gunung Sahari Raya 42J Rt.06/05 Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Berdasarkan anamnesis, satu hari sebelum pemeriksaan tepatnya pada tanggal 10 Maret
2013 pukul 21.00 WIB, korban bertengkar dengan suami (pelaku). Pada malam itu, suami
3
korban baru saja sampai di rumah setelah 4 hari tidak pulang karena pekerjaan. Suami korban
bekerja sebagai seorang pilot penerbangan domestik pada sebuah maskapai penerbangan
swasta. Mertua korban yang rumahnya bersebelahan dengan korban, mencurigai korban
berselingkuh selama ditinggal suami pergi. Ketika suami dan mertua akan berbicara, korban
memaksa untuk ikut andil dalam pembicaraan tersebut. Namun, suami mengusir korban
untuk keluar ruangan namun korban tidak mau. Akhirnya, rambut korban dijambak dan
kedua tangannya dicengekeram lalu tubuh korban ditarik secara paksa ke luar ruangan oleh
suami. Akibatnya leher korban sempat terbentur pintu. Setelah kejadian tersebut, korban
mengalami nyeri di lokasi yang mengalami kekerasan dan juga pegal dibagian bahu karena
tangannya ditarik oleh suami.
Menurut penuturan korban, orang tua suami (mertua) yang melihat perlakuan suami
terhadap korban, sama sekali tidak membantu atau berusaha mencegah.
Kejadian seperti ini (kekerasan fisik) sering dialami oleh korban sekitar 2 kali setiap
bulan. Korban sudah 13 tahun menikah dengan pelaku dan dikaruniai 2 orang anak, usia 9
tahun (perempuan) dan 7 tahun (laki-laki). Suami korban memang memiliki sifat yang
emosional. Selama 13 tahun menikah, korban sering mengalami kekerasan fisik. Suami
korban juga sering berkata kasar dan memarahi korban. Kekerasan seksual tidak pernah
dialami korban. Suami juga sering marah kepada anaknya sehingga anak-anak sering merasa
takut kepada ayahnya sendiri. Untuk kekerasan fisik, pelaku belum pernah melakukannya
kepada anak.
Pekerjaan korban adalah sebagai ibu rumah tangga. Selama ini, korban selalu diberi
nafkah oleh suami.
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sadar penuh
Keadaan umum : baik
Sikap : kooperatif
Tanda vital
o Tekanan darah : 120/80 mmHg
o Frekuensi nadi : 95 kali/menit
o Frekuensi napas : 20 kali/menit
o Suhu : 36,50C
Keadaan gizi : Baik
4
c. Status Lokalis Luka/Cedera
1. Pada bibir bagian dalam sisi kanan, 1,5 cm dari GPD, terdapat memar berwarna
merah ukuran 2 cm x 1 cm.
2. Pada pipi kiri, tepat di depan lubang telinga kiri terdapat memar warna merah ukuran
2,5 cm x 0,3 cm.
3. Pada leher sisi kanan, 7 cm dari GPD, 6 cm di bawah lubang telinga, terdapat memar
warna merah ukuran 6 cm x 1,3 cm.
4. Pada dada sisi kanan, 7 cm dari GPD, 11 cm di bawah puncak bahu terdapat memar
warna merah keunguan ukuran 2 cm x 1 cm.
5. Pada lengan atas kanan sisi dalam, 7 cm di atas lipat siku, terdapat beberapa memar
warna merah keunguan, dengan ukuran terbesar 7,5 cm x 2 cm dan terkecil berukuran
0,5 cm x 0,5 cm meliputi area seluas 12 cm x 5 cm.
6. Pada lengan atas kanan sisi luar, 2 cm di atas lipat siku terdapat memar warna merah
keunguan, berukuran 1 cm x 1 cm.
7. Pada lengan bawah kanan sisi depan dan dalam, 9 cm di bawah lipat siku terdapat dua
buah memar warna biru keunguan, berukuran 2 cm x 1 cm dan 2 cm x 0,4 cm.
8. Pada lengan atas kiri sisi luar, 9 cm di atas lipat siku terdapat memar warna merah
keunguan, berukuran 2 cm x 1,5 cm.
d. Pemeriksaan Penunjang : tidak ada
III. Diagnosis Utama
Assault by bodily force.
IV. Tindakan / Pengobatan Selama di Rumah Sakit
Pembuatan visum et repertum.
V. Kesimpulan
Pada korban perempuan berusia 45 tahun ini ditemukan memar pada bibir, pipi, leher,
dada, lengan atas dan bawah akibat kekerasan tumpul. Luka-luka ini tidak menimbulkan
penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
Adapun hasil pemeriksaan terhadap Ny.VWT dituangkan dalam visum et repertum
sebagai berikut.
5
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGALRUMAH SAKIT DR CIPTO MANGUNKUSUMO
Jalan Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat 10430, Kotak Pos 1086Telp. 3918301, 31930808 (Hunting), Fax 3148991
Nomor :112/3841411/III/2013 Jakarta, 12 Maret 2013Perihal :Hasil pemeriksaan terhadap Ny.VWTLampiran :-
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
Yang bertanda tangan di bawah ini, Fitria Chandra, dokter pada Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo di Jakarta, menerangkan bahwa atas permintaan tertulis dari Kepolisian Resort Metro Jakarta Pusat tertanggal sebelas bulan Maret tahun dua ribu tiga belas, Nomor Surat: 142/VER/III/2013/POLRESJP, maka pada tanggal sebelas bulan Maret tahun dua ribu tiga belas, pukul tiga belas lebih tiga puluh menit Waktu Indonesia Barat, bertempat di Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo, telah melakukan pemeriksaan korban dengan nomor registrasi 384-14-11, yang menurut surat tersebut adalah:----------------------------Nama : Ny.VWT.-----------------------------------------Umur : 45 tahun.---------------------------------------Jenis kelamin : Perempuan.--------------------------------------Warganegara : Indonesia.--------------------------------------Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.-------------------------------Alamat : Jl. Gunung Sahari Raya 42J Rt.06/05 Kecamatan
Sawah Besar, Jakarta Pusat.---------------------
----------------------------HASIL PEMERIKSAAN-----------------------------1. Korban datang dalam keadaan sadar penuh dengan keadaan umum tampak baik.
Penampilan umum korban tampak sesuai dengan usia dan sikapnya kooperatif. Pakaian korban tampak rapi.---------------------------------
2. Korban mengaku satu hari sebelum pemeriksaan tepatnya pada tanggal sepuluh bulan Maret tahun dua ribu tiga belas pukul dua puluh satu Waktu Indonesia Barat, rambut korban dijambak dan kedua tangannya dicengekeram lalu ditarik oleh pelaku (suami korban) sehingga leher korban terbentur pintu. Kejadian seperti ini sering dialami oleh korban sekitar dua kali setiap bulan. Suami korban juga sering berkata kasar dan memarahi
korban. Kekerasan seksual tidak pernah dialami korban. Selama ini korban diberi nafkah oleh suami. Setelah kejadian tersebut, korban mengalami nyeri di lokasi luka dan juga pegal dibagian bahu.----------------------
3. Pemeriksaan fisik umum: tekanan darah seratus dua puluh per delapan puluh millimeter air raksa; frekuensi nadi sembilan puluh lima kali per menit; frekuensi napas dua puluh kali per menit; suhu tiga puluh enam koma lima derajat celcius.----------------------------------------------
4. Pada korban didapatkan:-------------------------------------------------a. Pada bibir bagian dalam sisi kanan, satu koma lima sentimeter dari
garis pertengahan depan terdapat memar berwarna merah ukuran dua sentimeter kali satu sentimeter.-------------------------------------
6
----------------------------Berlanjut ke halaman dua dari dua halaman-----------------------------------------------b. Pada pipi kiri.....
---------------------------Lanjutan Visum Nomor: 112/3841411/III/2013-------------------------------------Halaman ke dua dari dua halaman.
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGALRUMAH SAKIT DR CIPTO MANGUNKUSUMO
Jalan Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat 10430, Kotak Pos 1086Telp. 3918301, 31930808 (Hunting), Fax 3148991
b. Pada pipi kiri, tepat di depan lubang telinga kiri terdapat memar warna merah ukuran dua koma lima sentimeter kali nol koma tiga sentimeter.—---------------------------------------------------------
c. Pada leher sisi kanan, tujuh sentimeter dari garis pertengahan depan, enam sentimeter di bawah lubang telinga,terdapat memar warna merah ukuran enam sentimeter kali satu koma tiga sentimeter.---------------
d. Pada dada sisi kanan, tujuh sentimeter dari garis pertengahan depan, sebelas sentimeter di bawah puncak bahu terdapat memar warna merah keunguan ukuran dua sentimeter kali satu sentimeter.-----------------
e. Pada lengan atas kanan sisi dalam, tujuh sentimeter di atas lipat siku, terdapat beberapa memar warna merah keunguan, dengan ukuran terbesar tujuh koma lima sentimeter kali dua sentimeter dan terkecil berukuran nol koma lima sentimeter kali nol koma lima sentimeter meliputi area seluas dua belas sentimeter kali lima sentimeter.------
f. Pada lengan atas kanan sisi luar, dua sentimeter di atas lipat siku terdapat memar warna merah keunguan, berukuran satu sentimeter kali satu sentimeter.-----------------------------------------------------
g. Pada lengan bawah kanan sisi depan dan dalam, sembilan sentimeter di bawah lipat siku terdapat dua buah memar warna biru keunguan, berukuran dua sentimeter kali satu sentimeter dan dua sentimeter kali nol koma empat sentimeter.-------------------------------------------
h. Pada lengan atas kiri sisi luar, sembilan sentimeter di atas lipat siku terdapat memar warna merah keunguan, berukuran dua sentimeter kali satu koma lima sentimeter.--------------------------------------
5. Terhadap korban tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.------------------6. Korban dipulangkan.-----------------------------------------------------
KESIMPULAN:----------------------------------------------------------------Pada korban perempuan berusia empat puluh lima tahun ini ditemukan memar pada bibir kanan, pipi kiri, leher kanan, dada kanan, serta lengan kanan dan kiri akibat kekerasan tumpul.------------------------------------------Luka-luka ini tidak menimbulkan penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.----------------------------------------Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).----------------------------
Dokter tersebut di atas,
dr. Fitria Chandra NIP 0906487783
7
BAB II
PEMBAHASAN UMUM
I. Prosedur Medikolegal
Ilmu kedokteran forensik (Legal Medicine), merupakan salah satu cabang dari ilmu
kedokteran. Ilmu kedokteran forensik didefinisikan sebagai pemanfaatan/penerapan ilmu
kedokteran untuk peradilan/penegakan hukum dan keadilan.
Kita ketahui sendiri, bahwa peristiwa yang melanggar hukum banyak terjadi di
masyarakat. Hal ini sangat merugikan dan membuat resah masyarakat yang lain karena
pelanggaran hukum ini sering sekali menyangkut tubuh dan nyawa manusia, sehingga korban
yang ditimbulkannya ada yang masih hidup, namun ada pula yang sudah meninggal. Untuk
menyelesaikan masalah hukum ini, diperlukan penyidikan dan pengusutan dengan bantuan
berbagai ahli sesuai bidang yang terkait dengan peristiwa tersebut. Oleh karena seorang
dokter merupakan seorang yang dianggap ahli atas tubuh manusia, diharapkan dokter dapat
membantu mengungkapkan kasus pelanggaran hukum yang berhubungan dengan manusia
dengan memanfaatkan ilmu kedokteran yang dimilikinya seoptimal mungkin dan dengan
sejujur-jujurnya karena hal ini telah diatur dalam undang-undang. Oleh karena ketentuan ini
diatur oleh undang-undang, sehingga apabila seorang dokter lalai memberikan bantuan, maka
ia dapat diancam dengan pidana penjara.
Bantuan yang diberikan oleh dokter dapat berupa pemeriksaan pada korban hidup, mati,
atau bagian tubuh/benda yang diduga berasal dari tubuh manusia untuk dapat menemukan
kelainan. Jika kelainan ditemukan, misalnya pada korban hidup, lalu dicari kemungkinan
penyebabnya dan dampak kelainan tersebut terhadap kesehatan korban. Jika korban mati,
menentukan perkiraan saat kematian, cara, sebab, dan mekanisme kematian. Selain itu,
kewajiban dokter juga membuat keterangan ahli yang telah diatur dalam pasal 133 KUHAP.
Peranan dokter maupun ahli kedokteran kehakiman tertuang dalam pasal 133 ayat (1)
KUHAP, yang berbunyi: “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada
ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.
Pengertian keterangan ahli tertuang dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang berbunyi;
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
8
kepentingan pemeriksaan”. Surat keterangan ahli dinyatakan dalam surat yang disebut visum
et repertum dan berfungsi sebagai alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 184 KUHAP.
Visum et repertum merupakan keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup
atau mati, ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan
di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Visum et repertum terdiri atas lima komponen yaitu Pro Justitia, Pendahuluan,
Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup. Visum et repertum hanya dapat dibuat oleh seorang
dokter yang telah mengucapkan sumpah jabatan, sebagaimana diterangkan dalam Statsblad
350 tahun 1937.
Dalam pelaksanaannya, sebuah keterangan ahli dikeluarkan atas permintaan langsung
penyidik guna kepentingan penegakan hukum. Adapun bunyi pasal 133 ayat (2) KUHAP,
yaitu: “Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat”. Permintaan tertulis yang tertuang
dalam pasal tersebut dikenal sebagai Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983, SPV haruslah terdiri atas kop surat,
pihak yang meminta visum, pihak yang dituju, identitas korban, dugaan penyebab kematian,
permintaan jenis pemeriksaan, serta jabatan dan tanda tangan peminta visum. Pihak yang
berwenang mengajukan SPV hanyalah penyidik dengan syarat berpangkat minimal Pembantu
Letnan Dua, sedangkan penyidik pembantu berpangkat minimal Sersan Dua.
Dalam membuat visum et repertum, seorang dokter dituntut untuk dapat membantu pihak
penyidik dalam pembuatan keterangan ahli dengan sebenar-benarnya karena dokter
memegang peranan sangat penting dalam penjatuhan hukuman pada pelaku. Dalam visum et
repertum yang dibuat oleh dokter tercantum jenis luka/cedera/penyakit yang ditemukan, jenis
benda penyebab, lengkap dengan derajat perlukaannya. Hal inilah yang akan dijadikan dasar
oleh hakim dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku pelanggaran hukum.
II. Traumatologi
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan/rudapaksa. Luka didefinisikan sebagai
ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
9
Kekerasan itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
kekerasan mekanik : benda tajam, benda tumpul, tembakan senjata api
kekerasan fisika : suhu, listrik, petir, perubahan tekanan udara, akustik, radiasi
kekerasan kimia : asam ataupun basa kuat.
Dalam kaitannya dengan ilustrasi kasus pada BAB I, dimana pada korban terjadi
kekerasan tumpul, maka pembahasan selanjutnya hanya akan dibahas mengenai luka akibat
kekerasan tumpul.
Luka akibat Kekerasan tumpul
Luka akibat kekerasan tumpul didefinisikan sebagai luka yang disebabkan oleh benda
yang permukaannya tumpul. Luka yang dapat ditimbulkannya dapat berupa memar
(kontusio/hematom), luka lecet (eskoriasi/abrasi), dan luka terbuka /robek (vulnus laseratum),
pembengkakan, dan fraktur.
a. Memar
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit akibat pecahnya kapiler
dan vena. Memar umumnya terlihat pada kulit, akan tetapi dapat pula muncul pada
jaringan yang lebih dalam. Luka memar dapat memberikan petunjuk mengenai bentuk
benda penyebabnya misalnya suatu perdarahan tepi (marginal haemorrhage) akibat jejas
ban.
Letak, bentuk, dan luas luka memar dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain jenis
benda penyebab, kondisi dan jenis jaringan, besarnya kekerasan, corak dan warna kulit,
jenis kelamin, kerapuhan pembuluh darah, serta penyakit. Selain itu, usia juga
mempengaruhi karakteristik luka memar, sebagai contoh pada bayi dimana kulitnya
masih longgar dan pada usia lanjut dimana lapisan lemak subkutan menipis, lebih mudah
terjadi hematom.
Dengan melihat perubahan warna yang terjadi setelah kekerasan tumpul, umur luka
memar dapat diketahui secara kasar. Awalnya, memar berwarna merah. Lalu berubah
menjadi ungu atau hitam. Setelah 4-5 hari, berubah menjadi warna hijau. Kemudian
dalam 7-10 hari akan menjadi kuning dan akhirnya menghilang dalam 14-15 hari.
10
b. Luka lecet
Pada luka lecet terjadi cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang
memiliki permukaan kasar atau runcing. Berdasarkan mekanisme terjadinya, luka lecet
dapat diklasifikasikan sebagai:
Luka lecet gores (scratch)
Diakibatkan oleh benda runcing, misalnya kuku jari yang menggores kulit. Luka lecet
gores dapat menunjukkan arah kekerasan yang terjadi.
Luka lecet serut (graze)
Luka lecet serut merupakan variasi dari luka lecet gores dengan daerah persentuhan
pada permukaan kulit yang lebih lebar. Dengan melihat letak tumpukan epitel, dapat
ditentukan arah kekerasan.
Luka lecet tekan (impression, impact abrasion)
Disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit. Bentuk luka lecet tekan belum
tentu sama dengan bentuk permukaan benda tumpul karena adanya daya elastistitas
kulit. Namun, pada benda dengan bentuk khas, bentuk luka dapat sama. Gambaran
luka lecet tekan berupa kulit yang kaku dengan warna lebih gelap dari sekitarnya
akibat pemadatan jaringan yang tertekan serta berlangsungnya pengeringan pasca
kematian.
Luka lecet geser (friction abrasion)
Disebabkan oleh tekanan linier pada kulit disertai gerakan bergeser, misalnya pada
kasus gantung atau jerat, serta korban pecut.
c. Luka robek
Luka robek merupakan luka terbuka dengan ciri kulit teregang ke satu arah yang
terjadi akibat kekerasan tumpul dan terjadi bila batas elastisitas kulit telah terlampaui.
Bentuk luka dan dasar luka umumnya tidak beraturan, tepi atau dinding tidak rata, tampak
jembatan jaringan antara kedua tepi luka, sering tampak luka lecet atau luka memar di
bagian tepinya.
III. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
11
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
Masyarakat memiliki keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
Dalam masyarakat, biasanya perempuan tidak diposisikan setara dengan laki-laki. Laki-
laki dianggap superior dan perempuan inferior.
Pada anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada
ibunya atau dirinya, ketika tumbuh dewasa sebagian besar dari mereka akan melakukan
kekerasan seperti apa yang dulu dialaminya.
Sebagian besar orang akan menutupi apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga
karena adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain
serta masyarakat akan menganggap bahwa orang tersebut tidak mampu mengurus rumah
tangga sehingga timbul perasaan malu. Selain itu, ada pula yang tidak berani melapor
karena diancam oleh pelaku.
Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi kesalahan
persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
Banyak perempuan (istri) yang bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan permasalahan dalam rumah
tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang
kekerasan dalam rumah tangga. Banyak kasus dikesampingkan karena dianggap masalah
yang sepele. Masyarakat atau pihak yang tekait dengan KDRT, biasanya mulai bertindak
jika kasus KDRT sudah menimbulkan korban, baik fisik yang parah maupun kematian.
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga tertuang dalam Pasal 5 UU No. 23 Tahun
2004, yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b.
kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.”
Berikut adalah penjelasan mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri, antara lain:
12
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain)
yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri bahkan bisa sampai menyebabkan
kematian (Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2004). Mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan
dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik, diatur dalam pasal 44 UU No. 23 Tahun
2004 yang berbunyi:
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima jutarupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata
kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut,
hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi
maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah
membuatnya menderita (Pasal 7 UU No. 23 Tahun 2004). Mengenai ketentuan pidana bagi
pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan psikis, diatur dalam pasal 45
UU No. 23 Tahun 2004 yang berbunyi:
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
13
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak
Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk
melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi
kebutuhan seksual istri (Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2004).
Mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk
kekerasan seksual, diatur dalam pasal 46 UU No. 23 Tahun 2004 yang berbunyi: “Setiap
orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
d. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu perbuatan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di
luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-
eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga
tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan
gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang
belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri
untuk meningkatkan karirnya (Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004).
Mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk
kekerasan ekonomi, diatur dalam pasal 49 UU No. 23 Tahun 2004 yang berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain
dalam lingkup rumah tangganya sebagaimanadimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b.
menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).”
BAB III
PEMBAHASAN KHUSUS
14
I. Prosedur Medikolegal
Pada kasus di atas, surat permintaan visum dari pihak penyidik sudah sesuai dengan bunyi
KUHAP pasal 133 ayat (2), dimana surat tersebut memuat:
1. Institusi pengirim : Kepolisian Resort Metro Jakarta Pusat
2. Nomor surat : 142/VER/III/2013/POLRESJP
3. Tujuan surat : Kepala. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
4. Identitas : Nama, tempat, tanggal lahir, agama, pekerjaan, kewarganegaraan,
dan alamat
5. Dugaan luka : Mengalami penganiayaan.
6. Permintaan penyidik : Pemeriksaan dan pembuatan visum et repertum.
7. Jabatan pengirim : Kepala Kepolisian Resort Metro Jakarta Pusat
II. Pemeriksaan Korban
Korban mengaku mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Korban dijambak
rambutnya dan dicengkeram kedua tangannya hingga menimbulkan luka memar pada kedua
lengan. Korban juga sempat terbentu pintu sehingga pipi kiri, leher kanan, dan bibir kanan
korban mengalami luka memar. Setelah peristiwa itu, korban mengeluh nyeri pada bagian
yang terluka dan pegal pada kedua bahu. Korban tidak mengeluh mual, muntah, dan pingsan.
Pada pemeriksaan tanda vital, didapatkan kesadaran penuh dengan keadaan umum
tampak baik. Tekanan darah korban 120/80 mmHg, frekuensi nadi 95 kali/menit, frekuensi
pernapasan 20 kali/menit, serta suhu 36,50C. Keadaan gizi korban baik.
Berdasarkan pemeriksaan pada korban, luka-luka yang didapat dapat digolongkan sebagai
luka ringan (luka derajat satu) karena tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan, jabatan, atau pencaharian. Pada korban hanya dilakukan pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada korban. Selanjutnya, karena luka pada
korban termasuk luka ringan, makan korban dipulangkan.
III. Aspek Medikolegal
15
Pada kasus ini, terdapat bukti kekerasan tumpul berupa memar pada bibir kanan, pipi kiri,
leher kanan, dada kanan, lengan kanan dan kiri. Tindak kekerasan ini dilakukan oleh suami
korban.
Sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, yang berbunyi: “Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” , maka pada kasus ini,
penganiayaan yang dialami korban termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga.
Luka yang dialami korban termasuk luka derajat I (luka ringan) karena tidak memerlukan
perawatan khusus serta tidak mengganggu pekerjaan sehingga pelaku dapat dikenai hukuman
sesuai yang tercantum dalam pasal 44 ayat (4), yang berbunyi: “Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).”
IV. Kesimpulan
Pada korban perempuan, 45 tahun, ditemukan memar pada bibir kanan, pipi kiri, leher
kanan, dada kanan, lengan kanan dan kiri akibat kekerasan tumpul yang dilakukan oleh suami
korban. Luka-luka ini tidak menimbulkan penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencaharian. Pelaku pada kasus ini yaitu suami korban sendiri, dapat dikenai
jerat hukum sesuai dengan pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu hukuman pidana penjara maksimal 4 bulan atau
denda paling banyak Rp 5.000.000,00.
DAFTAR PUSTAKA
16
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A, Sidhi, dkk. Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997. hal.1-14,37-
42.
2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-undangan Bidang
Kedokteran. Cetakan ke dua. Jakarta : FKUI; 1994. hal.37-9.
3. Farouk PU. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga [e-book].
17