makalah ger 2
DESCRIPTION
makalah gerTRANSCRIPT
MODUL GERONTOLOGI MEDIK
“SEORANG ANAK PASIEN YANG IBUNYA TERBARING DI TEMPAT TIDUR”
KELOMPOK X
030.09.154 Michelle Jansye
030.09.155 Mochammad Rifky Maulana
030.09.156 Mochammad Fachri Ibrahim
030.09.191 Rangga Satrio Prawiro
030.09.193 Ratiya Primanita
030.09.194 Raufina Yunica
030.09.231 Shane Sakinah
030.09.232 Shendy Noor Pratiwi
030.09.233 Sherley Meiske Pakasi
030.09.267 Widya Rahayu Arini Putri
030.09.268 Winda Indriati
030.09.269 Winda Setyowulan
030. 09. 282 Yuti Purnamasari
Jakarta
05 Juni 2012
BAB I
1
PENDAHULUAN
Sindrom dekondisi adalah suatu kumpulan gejala yang merupakan akibat dari
penurunan kemampuan dari fungsi-fungsi tubuh disebabkan oleh imobilisasi. Imobilisasi
didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama tiga hari atau lebih,
dengan gerak anatomik menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis.
Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang
geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. Di ruang
rawat inap geriatri RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2000 didapatkan
prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%.
Imobilisasi yang lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada
orang – orang lanjut usia, pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama. Dampak yang
terutama muncul ialah dekubitus mencapai 11% dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu,
perawatan emboli paru berkisar0,9%,dimana tiap 200.000 orang meninggal per tahunnya.
Dampak imobilisasi lama ataupun tirah baring lama bisa berdampak buruk terhadap
sistem organ didalam tubuh, seperti sistem kardiorespirasi, sistem muskuloskeletal,
sistem integumen, sistem susunan saraf, sistem gastrointestinal, maupun sistem
genitourinaria.
Faktor risiko utama imobilisasi antara lain adalah kontraktur, demensia berat,
osteoporosis, ulkus, gangguan penglihatan, dan fraktur. Imobilisasi kebanyakan tidak dapat
dicegah, namun beberapa komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah.1
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Sebagai dokter, Anda diminta datang ke rumah pasien oleh seorang anak pasien yang
ibunya terbaring di tempat tidur, di rumah. Anak pasien ingin ibunya bisa duduk. Dari
anamnesis diketahui bahwa pasien bernama Ny. Sutini, berusia 70 tahun, mengidap tekanan
darah tinggi sejak 3 tahun lalu. Tiga tahun yang lalu, setelah shalat subuh pasien tidak kuat
berdiri dan berjalan. Mulut pasien mencong. Pasien kemudian segera dibawa ke rumah sakit
terdekat oleh anaknya dan dirawat. Menurut dokter yang merawat, pasien menderita stroke
dan tekanan darah tinggi. Saat itu pasien dirawat kurang lebih selama 10 hari. Sejak pulang
rawat, pasien banyak berbaring di tempat tidur, terutama satu tahun belakangan ini. Bila
diposisikan untuk duduk di tempat tidur atau miring ke sebelah kiri, pasien sering mengeluh
nyeri pada lengan dan tungkai kirinya. Pasien lebih banyak berbaring miring ke sisi kanan.
Pasien makan dan minum di tempat tidur dibantu orang lain (disuapi). Kadang-kadang
tersedak saat minum menggunakan sedotan. Pasien suka sekali makan goring-gorengan dan
tidak mau minum obat bila tidak diberi makanan yang disukainya. Saat ini mengkonsumsi
obat amlodipin, simvastatin, dan neurobion.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : pasien sadar, obes, tekanan darah 150/90mmHg,
nadi 92x/m, pernapasan 20x/m, suhu afebris. Paru : vesikuler, rongki basah halus pada paru
kanan, ekspirasi memanjang. Jantung: bunyi jantung I dan II murni, murmur (-), gallop (-).
Konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik. Bising usus (+) normal. Kekuatan lengan dam
tungkai kiri rata-rata memiliki MMT 2. Terlihat cekungan pada bahu kiri antara akromion
dan humerus, saat digerakkan terasa nyeri. Tungkai kiri bisa ekstensi sampai pada posisi
anatomis. Saat ekstensi nyeri. Lutut kanan posisi 90o fleksi, tidak bisa diluruskan. Pasien
dapat berbicara beberapa patah kata, namun setelah itu tertidur. Saat tidur mudah
dibangunkan. Pasien BAB dan BAK menggunakan pampers. BAB tiap 3-4 hari sekali. Akhir-
akhir ini BAB sulit, mengeluarkan darah segar sedikit. Pasien kadang-kadang dapat
memberitahu bila akan BAB dan BAK.
Pasien memiliki 4 orang anak. Saat ini pasien tinggal di rumah bersama dua orang
anaknya yang perempuan (anak pertama dan kedua). Anak pertama sudah menikah dan
memiliki 2 anak. Anak kedua seorang janda. Sehari-hari pasien dirawat oleh kedua anaknya
secara bergantian dibantu oleh seorang pembantu rumah tangga. Pasien berbaring di sebuah
kamar berukuran 3 x 2,5 m. Ventilasi dan cahaya minim karena dinding kamar berdekatan
dengan dinding rumah tetangga.
3
I. Laboratorium
Hemoglobin : 10.6 g/dl
Hematokrit : 32 %
Leukosit : 8800/uL
Trombosit : 311.000/uL
LED : 18 mm/jam
SGOT : 32U/L
SGPT : 43U/L
Ureum : 41 mg/dl
Kreatinin : 0.90 mg/dl
Kolesterol total : 225mg/dl
Kolesterol LDL : 139 mg/dl
Kolesterol HDL : 42 mg/dl
TG : 172 mg/dl
GDS : 154 mg/dl
Natrium : 135 meq/L
Kalium : 3,6 meq/L
II. Urinalisa
Berat Jenis : 1.031
pH : 5
Nitrit : -
Albumin : -
Glukosa : -
Keton : -
III. Sedimen Urin
Eritrosit : 5/LPB
Leukosit : 65/LPB
Silinder : -
Epitel : 5-7/LPK
Bakteri : +
Kristal : -
Warna : kuning tua, agak keruh
4
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
I. Identitas
Nama : Ny. Sutini
Usia : 70 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : -
Pekerjaan : -
Alamat : -
II. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Anak pasien meminta dokter untuk datang ke rumahnya karena ia menginginkan
ibunya yang sedang terbaring di kamar di rumahnya agar bisa beraktivitas lagi.
2. Riwayat Gangguan Sekarang
Pasien banyak berbaring di tempat tidur, terutama satu bulan belakangan ini
Pasien sering mengeluh nyeri pada lengan dan tungkai kirinya terutama bila
diposisikan untuk duduk di tempat tidur atau miring ke sebelah kiri
Pasien makan dan minum di tempat tidur dibantu orang lain (disuapi)
Kadang-kadang tersedak saat minum menggunakan sedotan
3. Riwayat Gangguan Sebelumnya
Menderita stroke dan tekanan darah tinggi sejak 3 tahun yang lalu
4. Riwayat Keluarga
Saat ini pasien tinggal di rumah bersama dua orang anaknya yang perempuan
Sehari-hari pasien dirawat oleh kedua anaknya secara bergantian dibantu oleh
seorang pembantu rumah tangga
5
5. Riwayat Lingkungan
Pasien berbaring di sebuah kamar berukuran 3 x 2.5 m
Ventilasi dan cahaya minim karena dinding kamar berdekatan dengan dinding
rumah tetangga
6. Riwayat Pengobatan
Saat ini mengkonsumsi obat amlodipin, simvastatin, dan neurobion
Anamnesis Tambahan
Riwayat gangguan sekarang
o Apakah ada keluhan batuk atau sesak?
o Apakah pasien tetap melakukan aktivitas ringan di tempat tidur?
o Bagaimana frekuensi dan kuantitas berkemih pasien?
o Apakah ada nyeri saat berkemih?
o Bagaimana fungsi kognitif pasien? Apakah ada penurunan daya ingat, kemampuan
berbahasa?
o Bagaimana keadaan emosi dan perasaan pasien?
Riwayat penyakit dahulu
o Apakah pasien mempunyai riwayat penyakit lain, seperti diabetes, alergi?
o Apakah pasien pernah mengalami trauma?
Riwayat pengobatan
o Apakah pasien menjalani pengobatan secara teratur?
Riwayat sosial
o Bagaiman hubungan pasien dengan keluarganya?
6
III. Pemeriksaan Fisik
Hasil Pemeriksaan Normal Interpretasi
Status Generalis
Kesadaran:
Somnolen
Compos mentis Pasca stroke, ditandai dengan saat
bicara beberapa kata, pasien
tertidur, namun mudah untuk
dibangunkan
Kesan sakit: - - -
Tanda Vital
Suhu :
afebris
(Tidak demam)
36,5 C- 37,2 C : normal Hal ini tidak dapat
menyingkirkan kemugkinan
infeksi, karena gejala pada
pasien geriatric dapat bersifat
atipikal karena menurunnya
system imun pasien geriatric
TD : 150/90 mmHg JNC VII 1 Tekanan darah pasien termasuk
hipertesi derajat I. Hal ini dapat
dipengaruhi faktor keturunan,
kebiasaan pasien yang gemar
memakan gorengan, maupun
faktor usia pasien.
Nadi: 92x/menit 60-100x/menit, regular Normal
RR : 20x/menit, regular 12-20x/menit, regular Normal
Organ vital
Inspeksi
Mata:
- Konjungtiva anemis
-/-
- Sklera ikterik -/-
Normal Tidak terdapat tanda anemis,
maupun tanda adanya
hepatitis atau kelainan hati
lainnya.
Ekstremitas:
Lengan kiri: Terdapat cekungan pada
7
terdapat cekungan
pada bahu antara
akromion dan
humerus
Tungkai kanan:
lutut 900 fleksi,
tidak bias
diluruskan
bahu bias dikarenakan
adanya atrofi otot,
dislokasi bahu atau
terjadi kontraktur pada
lengan kirinya.
Palpasi
Ekstremitas:
Lengan kiri: saat
digerakan terasa
nyeri, MMT 2
Tungkai kiri: dapat
ekstensi sampai pada
posisi anatomis, saat
ekstensi nyeri, MMT
2.
Tungkai kanan: lutut
900 fleksi, tidak bias
diluruskan
Manual Muscle Testing:
5 = Normal
4 = masih mampudapat bergerak
melawan gravitasi
3 = pergerakan yang aktif melawan
gravitasi
2 = dapat digerakan namun tidak
dapat melawan gravitasi
1 = adanya tanda-tanda kontraksi
0 = tidak ada kontraksi
Lutut kanan tidak dapat
diluruskan dikarenakan
adanya kontraktur
akibat imobilisasi yang
lama, karena rasa nyeri
jika pada pasien pada
posisi ke arah kiri.
Auskultasi
Paru:
Vesikuler
Rongki basah halus
pada paru kanan
Ekspirasi
memanjang
Kemungkinan ronkhi basah
halus merupakan tanda dari
pneumonia aspirasi, dilihat
dari resiko sering tersedak
yang dialami pasien.
Ekspirasi yang memanjang
dapat dikarenakan elastisitas
paru yang berkurang (buiasa
terjadi pada lasia), maupun
kemungkinana merupakan
8
suatu tanda dari penyakit
pada parunya.
Jantung:
Bunyi jantung I dan II
murni, murmur (-), gallop
(-).
Normal Normal
BAB 3-4 kali sehari dan
akhir-akhir ini
mengeluarkan sedikit darah
segar
kemungkinan adanya haemoroid,
atau karena konstipasi, perlu
pemeriksaan lebih lanjut.
Pasien kadang-kadang dapat
memberitahu akan BAB dan
BAK
saraf sensorik masih berfungsi
Pemeriksaan untuk menilai ketergantungan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari:
Activity Daily Living
Penilaian fungsi sehari-hari penting untuk memahami tingkat kecacatan pasen dan
ketergantungan pada pengasuh. Dasar kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL), seperti makan
dan pergi ke toilet, dapat dinilai dengan wawancara atau dengan menggunakan alat seperti
ADL skala.
Berdasarkan pada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diketahui bahwa Ny. Sutini
BAB dan BAK menggunakan pampers namun kadang-kadang pasien dapat memberitahu bila
akan BAB atau BAK sehingga nilai ADL untuk mengontrol BAB dan BAK masing-masing
diberi nilai 1. Selain itu untuk makan pasien makan dan minum di tempat tidur dan dibantu
orang (disuapi) shingga nilai ADL untuk makan dapat diberi nilai 1. Ny. Wati mengalami
stroke yang mengakibatkan dirinya banyak berbaring dan kelumpuhan maka untuk
membersihkan diri, toiletting, berpakaian dan mandi membutuhkan bantuan dari orang lain
sehingga niali ADLnya masing-masing 0. Kemudian karena lutut Ny. Wati mengalami nyeri
disebelah kiri dan yang kanan posisi 900 tidak bisa fleksi maka Ny. Wati tidak mampu
berpindah dari kursi ke tempat tidur, tidak mampu berjalan dan tidak mampu naik turun
tangga sehingga masing-masing diberi nilai ADL sebesar 0. Maka dari penjumlahan seluruh
9
nilai ADL didapatkan total nilai 3 (mengontrol BAB dan BAK serta makan), hal ini berarti
Ny. Wati mengalami ketergantungan total.
IV. Pemeriksaan Penunjang2
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil pasien Nilai normal Interpretasi
Hemoglobin 10,6 g/dl 12-16 g/dl Menurun
Kemungkinan terjadi anemia,
yang bisa disebabkan oleh
malnutrisi pada pasien
Hematokrit 32% 37-43% Menurun
Kemungkinan terjadi karena
kehilangan darah akut, anemia
Lekosit 8800/uL 4.000-10.000 /uL Normal
Trombosit 311.000/uL 200.000-400.000 /uL Normal
LED 18 mm/jam 0-15 mm/jam Meningkat sedikit
Kemungkinan ada penyakit
kronis, tapi pada pasien ini
lebih cenderung karena factor
usia
SGOT 32 U/L 31 U/L Meningkat sedikit
SGPT 43 U/L s/d 32 U/L Meningkat
10
Kemungkinan terjadinya
trauma atau kerusakan pada
hati
Ureum 41 mg/dl 10-50 mg/dl Normal
Kreatinin 0.90 mg/dl 0.6-1.3 mg/dl Normal
Kolesterol Total 225 mg/dl < 200 mg/dl Meningkat
Bisa menyebabkan resiko
aterosklerosis atau penyakit
jantung
Kolesterol LDL 139 mg/dl < 130 mg/dl Meningkat
Bisa menyebabkan resiko
aterosklerosis atau penyakit
jantung
Kolesterol HDL 42 mg/dl > 65 mg/dl Menurun
Bisa menyebabkan resiko
aterosklerosis atau penyakit
jantung
Trigliserida 172 mg/dl s/d 190 mg/dl Normal
Gula Darah
Sewaktu
154 mg/dl < 200 mg/dl Normal
Natrium 135 meq/L 135-145 meq/L Normal
11
Kalium 3.6 meq/L 3.5-5 meq/L Normal
Dari hasil pemeriksaan laboratoriun darah, didapatkan terjadinya anemia yang kemungkinan
kelompok kami duga karena asupan makanan yang kurang pada pasien ini , bisa karena
kekurangan asam folat atau b12 atau bisa juga karena sudah terjadi penurunan fungsi dari
system gastrointestinalnya dalam mengabsorbsi makanan, kemudian juga dilihat dari hasil
kolesterol pasien ini yang meningkat menyebabkan resiko terjadinya aterosklerosis pada
pasien ini semakin meningkat, dalam kasusadahal diketahui pasien sudah mengkonsumsi obat
penurun kolesterol tetapi kolesterol nya masih tinggi mungkin dikarenakan ketidakpatuhan
minum obat atau karena dosis yang kurang optimal. Pada pasien tidak terjadi peningkatan
dari ureum dan kreatinin kelompok kami menduga belum terjadi kelainan ada faal ginjal.
2. Urinalisis
Pemeriksaan Hasil pasien Nilai normal interpretasi
Berat Jenis 1.031 1.001-1.035 Normal tetapi batas atas, yang
berarti urin nya pekat
pH 5 4.6-8 Normal
Nitrit - - Normal
Albumin - - Normal
Glukosa - - Normal
Keton - - Normal
3. Sedimen Urin
Pemeriksaan Hasil pasien Nilai normal Interpretasi
Eritrosit 5/LPB < 5 /LPB Normal tetapi batas atas,
Kemungkinan adanya trauma ada
12
saluran kencing, atau ada infeksi di
traktus urinarius
Lekosit 65/LBP < 5 /LPB Tidak normal, menandakan adanya
suatu infeksi pada traktus urinarius
Silinder - - Normal
Epitel 5-7/LPK - Tidak normal, menandakan adanya
suatu infeksi pada traktus urinarius
Bakteri + - Tidak normal, menandakan adanya
suatu infeksi pada traktus urinarius
Kristal - - Normal
Warna Kuning tua, agak
keruh
Urin pekat, krena imobilisasi sehingga
terjadi endaan
Dilihat dari hasil urinalisa dan sedimen urin menunjukan bahwa kelainan bisa terjadi pada
traktus urinarius nya, yaitu terjadi infeksi, dikarenan terdapatnya epitel, leukosit yang banyak,
eritrosit, dan bakteri positif satu, yang bisa disebabkan karena imobilisasi pada asien ini
sehingga urin jadi pekat, aliran yang melambat terjadi pengendapan dan menjadi sarang
bakteri untuk berkembang biak sehingga terjadi infeksi.
V. Pemeriksaan Anjuran
1. Pemeriksaan MMSE
Menurut kelompok kami, pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk mendeteksi
adanya gangguan kognitif, mengevaluasi perjalanan penyakit dan memonitor
pengobatan, pada kasus ini pemeriksaan MMSE berguna untuk mendeteksi adanya
gangguan kognitif.
2. Rontgen Thorax
Pemeriksaan ini perlu dilakukan dilakukan untuk menunjang diagnosis
kelompok kami yang mencurigai Ny. Sutini terkena pneumonia. Kami menduga
bahwa pneumonia ini terjadi akibat aspirasi (pneumonia aspirasi) dari minuman atau
13
makanan, hal ini terjadi karena imobilisasi lama Ny. Sutini. Keluhan pneumonia pada
lansia biasanya tidak khas yaitu: onset insidius, sedikit batuk dan demam yang ringan
dan sering disertai dengan gangguan status mental atau bingung dan kelainan fisik
paru yang ringan. Keluhan yang tidak khas membuat diagnosisnya secara pasti
menjadi sulit sehingga dibutuhkan pemeriksaan rontgen thorax.3
3. Nilai Eritrosit Rata-Rata
Nilai eritrosit rata-rata terdiri dari pemeriksaan MCV (Mean Corpuscular
Volume) yaitu untuk mengukur besar eritrosit, MCH
(Mean Corpuscular Hemoglobin) yaitu untuk mengukur jumlah Hb rata-rata dalam
eritrosit dan MCHC (Mean Corpuscular Haemoglobin Consentration) yaitu untuk
mengukur kadar rata-rata Hb dalam eritrosit.
Ketiga pemeriksaan ini penting untuk menilai ukuran dan kadar rata-rata
eritrosit, dari pemeriksaan ini dapat mengarahkan kita kepada etiologi dari anemia
yang dialami oleh pasien. Misalnya saja apabila didapatkan eritrosit yang hipokrom
mikrositer, hal ini dapat mengarahkan kepada anemia defisiensi besi sebagai
penyebab, ataupun karena adanya perdarahan yang kronis.4
4. EKG
Pemeriksaan EKG perlu dilakukan untuk mengetahui bila sudah terjadi
kelainan pada fungsi dan kinerja dari jantung Ny. Sutini. Hal yang perlu diperhatikan
pada EKG adalah untuk memastikan adanya kardiomegali atau hipertrofi otot jantung.
5. Kultur Sputum dan Uji Resistensi
Kelompok kami menganjurkan untuk dilakukannya kultur sputum dan uji
resistensi dikarenakan adanya kemungkinan pasien menderita pneumonia. Dan uji
resistensi dilakukan untuk menunjang pemberian terapi antibiotik yang adekuat untuk
pasien.
6. Rectal Toucher
Berdasarkan hasil anamnesis, kelompok kami mencurigai bahwa hal ini merupakan
suatu perdarahan saluran cerna bagian bawah. Salah satu penyakit yang dapat
menyebabkan saluran cerna bagian bawah adalah hemoroid, pemeriksaan rectal
14
toucher dilakukan untuk memastikan apakah benar etiologi dari perdarahan saluran
cerna bagian bawah tersebut benar hemoroid.5
VI. Hipotesis
Deconditioning Syndrome
Merupakan penurunan kapasitas fungsional dari sistem tubuh multiple yang disebabkan oleh
imobilitas atau bed rest yang berkepanjangan. Pada kasus ini, pasien mengalami imobilisasi
disebabkan oleh stroke yang dialami oleh pasien. Imobilisasi berkepanjangan ini
menyebabkan timbulnya berbagai kelainan pada sistem tubuh pasien yang berlainan. Antara
lain, kelainan pada traktus urinarius, pada sistem musculoskeletal, sistem pernapasan dan lain
sebagainya. Hal ini bermanifestasi dalam bermacam-macam keluhan, entah itu terlihatnya
cekungan di antara acromion dan humerus, adanya sendi yang kaku dan nyeri ketika
digerakkan dan lain sebagainya. Stroke yang disebabkan oleh hipertensi pada pasien ini,
menyebabkan pasien mengalami pembatasan pergerakan.
Hilangnya kemandirian dalam ADL (Activities Daily Living)
Hal ini dapat merupakan komplikasi daripada sindrom dekondisi. Kehilangan yang mungkin
dialami antara lain fisik dan mental, sosial dan emosi. Gangguan fisik dan mental yang
dialami oleh pasien dapat menyebabkan gangguan sosial dengan lingkungan sekitar maupun
partisipasi pasien dalam kegiatan sosial. Hal-hal yang berkaitan satu sama lain ini dapat
menyebabkan gangguan emosional, yaitu misalnya frustasi, perasaan tidak berguna dan
kesedihan. Gangguan fisik yang dialami oleh pasien, seperti hilangnya energy, hilangnya
kemampuan untuk bergerak dan fleksibilitas.
VII. Daftar Masalah
Dari data yang ada, kelompok kami memperkirakan beberapa masalah yang ada pada pasien:
Daftar Masalah Interpretasi
Sindrom dekondisi Pasien termasuk pada pasien geriatri
15
dikarenakan usianya telah >65 tahun. Pasien
juga mengalami imobilisasi dikarenakan
stroke yang dideritanya. Imobilisasi yang
lama tersebut menyebabkan penurunan
kapasitas fungsional dan struktural seluruh
tubuh yang dikenal sebagai sindrom
dekondisi.
Atrofi Pada bahu kiri pasien terlihat cekungan
antara akromion dan humerus. Kelompok
kami memikirkan kemungkinan terjadinya
atrofi pada otot deltoid pasien. Atrofi tersebut
mengakibatkan massa otot yang menurun,
sehingga ditemukan cekungan pada
pemeriksaan fisik pasien.
Kontraktur pada lutut kanan Kontraktur dapat timbul pada pasien yang
mengalami tirah baring lama karena sendi-
sendi tidak digerakkan. Akibatnya dapat
timbul rasa nyeri. Pada pasien kemungkinan
terdapat kontraktur di lutut kanannya karena
tidak dapat diluruskan.
Pneumonia Pasien mengalami imobilisasi yang lama
sehingga kemungkinan untuk terjadinya
pneumonia sangat besar. Hal ini diperkuat
dengan hasil pemeriksaan fisik yang
menunjukkan suara nafas vesikuler, ronchi
basah halus pada paru kanan, serta ekspirasi
memanjang.
Infeksi Traktus Urinarius Dari pemeriksaan sedimen urin didapatkan
leukouria, epitel, serta bakteri +. Hal tersebut
mengarahkan kelompok kami pada infeksi
traktus urinarius (UTI). Selain itu didapatkan
16
urin yang memekat ditandai dengan
warnanya yang kuning tua agak keruh serta
BJ urin yang cukup tinggi. Pemekatan urin
tersebut kemungkinan terjadi karena
imobilisasi pasien yang menyebabkan
terjadinya residu urin. Jika residu urin
tersebut tidak dibuang, maka akan menjadi
media yang baik untuk perkembangan
bakteri.
Anemia Pada pasien didapatkan anemia. Hal ini
diperjelas dengan keterangan bahwa pasien
mengalami BAB berdarah dan pada hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb
10,6 mg/dL yang menunjukkan anemia
ringan.
Hemorrhoid Dari data yang ada diketahui bahwa pasien
akhir-akhir ini BAB sulit dan mengeluarkan
darah segar. Kemungkinan terjadi perdarahan
pada saluran pencernaan bagian bawah,
dalam hal ini rectum. Tetapi diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui
apakah tejadi keganasan pada saluran
pencernaan pasien seperti Ca Colon.
Resiko sangat tinggi penyakit jantung
coroner
Pasien diketahui memiliki kebiasaan
mengkonsumsi gorengan yang banyak. Selain
itu, pemberian obat penurun kolesterol
golongan HMG CoA reduktase (Simvastatin)
tidak dapat menurunkan kolesterolnya hingga
batas normal yakni <200 mg/dL. Sehingga
kelompok kami menyimpulkan bahwa pasien
berada pada resiko sangat tinggi untuk
terjadinya penyakit jantung koroner
17
VIII. Diagnosis
Berdasarkan daftar masalah dan hasil pemeriksaan yang kelompok kami dapatkan,
diagnosis kerja pada pasien ini adalah ISK suspect pneumonia et causa sindrom
dekondisi dengan anemia, hipertensi dan dislipidemia. Namun, untuk diagnosis pasti
pada pasien ini belum dapat dipastikan sehingga dibutuhkan pemeriksaan penunjang
lanjutan untuk menegakkan diagnosis tersebut.
IX. Patofisiologi
18
Tua ( penurunan fungsi organ secara fisiologis), Post stroke, Imobilisasi lama
aktivitas ↓ dan menurunnya sintesis hormone tiroid dan esterogen saat usia tua secara fisiologis
aktivitas ↓ dan makan goreng – gorengan
motilitas usus ↓ dan kurang serat
wanita memiliki urethra yang pendek + miksi yang tidak lancar
Residu urin ISK bagian bawah
metabolisme sel ↓ degradasi kolestrol ↓ dan sintesis kolestrol endogen normal / ↑
kolestrol total ↑ , LDL ↑, HDL ↓, trigliserid ↑
konstipasi
defekasi tidak lancar
suspect hemoroid dan suspect fissure ani
BAB berdarah
Hb ↓ anemia
urinalisa eritrosit, epitel, leukosit, bakteri +
sintesis nitrit oleh bakteri PH urine ↓
kolestrol total ↑ , LDL ↑, HDL ↓, trigliserid ↑
rig
19
atherosclerosis hipertensi
sirkulasi darah tidak optimal
oksigenisasi jaringan ↓ supply oksigen ke otak ↓
PH = 5 (batas -bawah)
fungsi otak ↓
napsu makan ↓
suspect anemia defisiensi besi dan B12
asupan kalori tidak over
gula darah normal
kerja formation retikularis ↓
mudah mengantuk saat bicara
somnolen
imunitas ↓
factor resiko pneumonia
napas memanjang dan ronkhi basah halus pada paru kanan
suspect pneumonia
tidak ada pelatihan otot yang hemiplegic
bahu kiri tampak cekungan ( antara akromion dan humerus )dan MMT = 2
atrofi dan kelemahan otot
statis di salah satu posisi ( kanan )
pergerakan sendi ↓
degenerasi sendi lutut ↑ dan cepat
kontraktur sendi
tungkai bawah kanan tidak dapat diluruskan
X. Penatalaksanaan6
Penatalaksanaan pada sindroma dekonditioning
Pasien yang menderita sindroma dekonditioning dapat melakukan rawat jalan, dengan
indikasi bahwa di lingkungannya pasien bisa untuk bersosialisasi dengan keluarganya, dan
juga keluarganya bisa memberikan support bagi pasien. Tentu saja, dengan di berikan edukasi
pada keluarganya bahwa pasien harus di rawat di rumah, dan di pastikan agar
penatalaksanaan dapat berjalan dengan baik.
Pada penderita dekonditioning, terjadi penurunan fungsi dari berbagai sistem yang ada di
tubuh, pada pasien ini, yang terjadi penurunan fungsi adalah :
1. Sistem muskuloskeletal :
Terjadi penurunan fungsi yang di tandai dengan atrofi dan juga adanya kontraktur pada
persendian pasien. Penatalaksanaan yang di lakukan adalah dengan rehabilitasi medik /
fisioterapi, di mulai dari aktivitas fisik yang paling ringan kemudian bertahap hingga
maksimal yang bisa di capai oleh individu tersebut, misanya :
a. Aktivitas di tempat tidur : positioning, alih baring, latihan aktif dan pasif lingkup
gerak sendi
b. Mobilisasi : latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke kursi, berdiri,
jalan. Dan juga melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara sendiri, seperti
makan, minum. Sedangkan untuk mandi, dan berpakaian masih harus di bantu.
20
Sedangkan untuk program ortotik-prostetik, dimana di perlukan alat bantu dalam mendukung
aktivitas lansia, maka di butuhkan alat penopang seperti kursi roda agar pasien bisa
memobilisasi dirinya sendiri.
2. Sistem paru
Pada sistem paru, yang terjadi adalah adanya pneumonia yang terjadi karena adanya
immobilisasi yang terjadi akibat pasien stroke. Penatalaksanaan yang di lakukan adalah
dengan pemberian antibiotik berupa golongan makrolid atau doksasiklin.
3. Sistem genitourinaria
Pada sistem genitourinaria, yang terjadi pada pasien ini adalah terjadi urinary tract infection.
Penatalaksanaan yang di lakukan adalah dengan memberikan antibiotik berupa terapi dosis
tunggal oral dengan pilihan antara lain adalah : amoksisilin dengan dosis 3 gr, kotrimoksazol
320mg / hari, atau sefaleksin dengan dosis 3 gr/hari. Selain dengan pemberian antibiotika,
pasien di edukasi agar banyak minum air agar diuresis meningkat
4. Sistem kardiovaskular
Pada sistem kardiovaskular, yang terjadi pada pasien ini adalah resiko yang tinggi untuk
terkena penyakit sindrom koroner akut, di karenakan adanya riwayat kolesterol yang tinggi
pada pasin yang di buktikan dengan adanya peningkatan kolesterol. Selain itu, ada hipertensi
juga pada pasien ini. Penatalaksanaan yang di lakukan untuk pasien ini adalah dengan
meneruskan pengobatannya berupa anglodipin, simvastatin dan juga neurobion, di tambah
dengan pemberian diet rendah garam dan diuretika untuk mengurangi tekanan darahnya, dan
juga memberikan edukasi pada pasien agar mengurangi kebiasaannya berupa makan
gorengan karena mengandung banyak kolesterol.
5. Sistem gastrointestinal
Pada sistem gastrointestinal, yang terjadi pada pasien ini adalah terjadinya malabsorbsi yang
terjadi karena adanya atrofi pada mukosa usus. Setelah itu, manifestasi yang keluar pada
pasien karena gangguan ini adalah terjadinya anemia. Penatalaksanaan yang di lakukan untuk
anemia pada pasie adalah dengan pemberian suplementasi besi dan vitamin B12 untuk
meningkatkan kadar hemoglobin dalam darahnya.
21
XI. Komplikasi
1. Sindrom Delirium Akut
Ini dapat terjadi karena pasien merupakan pasien pasca stroke,dan mengalami
immobilisasi yang cukup lama
2.Sepsis
XII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Dikarenakan usia pasien sudah lanjut dan sudah banyak komplikasi pada pasien, selain
menderita stroke, pada pasien juga terdapat pneumonia, dan pada pemeriksaan lab juga
pasien mengalami hiperkolestrolemia dan juga anemia sedangkan pada urinalisa
ditemukan bakteri yang diduga infeksi traktus urinarius, yang semua itu merupakan
komplikasi atau dampak dari imobilisasi pasien.
Ad Fungsionam : dubia ad malam
Dikarenakan fungsi fisiologis akan mengalami penurunan sejalan umur, dan pasien
merupakan lanjut usia, dan juga pasien telah imobilisasi selama satu tahun, jika dilakukan
rehabilitas untuk fisiologisnyapun tidak akan seperti orang normal.
Ad Sanationam : dubia ad malam
Dikarenakan apabila pasien tidak menjalani rehabilitas untuk meningkatkan fungsi
fisiologisnya dan tidak menghindari berbagai faktor risiko yang dapat menyebabkan
berbagai komplikasi maka keadaan pasien akan lebih buruk.
\
22
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom dekondisi adalah suatu kumpulan gejala yang merupakan akibat daripenurunan
kemampuan dari fungsi-fungsi tubuh disebabkan oleh imobilisasi. Imobilisasiadalah
ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atauimpairment
(gangguan pada alat/ organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental.Imobilisasi yang lama bisa
terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi padaorang.
orang lanjut usia, pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama. Dampak imobilisasi
lama ataupun tirah baring lama bisa berdampak buruk terhadap sistem organ didalam tubuh,
seperti sistem kardiorespirasi, sistem muskuloskeletal, sistem integumen, sistemsusunan
saraf, sistem gastrointestinal, maupun sistem genitourinaria.
Epidemiologi
Efek dari sindrom dekondisi pada pasien dengan imobilisasi yang lama bisa terjadipada
semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang– orang lanjut usia, atau pascaoperasi yang
membutuhkan tirah baring lama. Dampak yang terutama muncul ialah dekubitusmencapai
11% dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, perawatan emboli paru berkisar0,9%,dimana
tiap 200.000 orang meninggal per tahunnya.
Etiologi Imobilisasi
23
Biasanya sindrom dekondisi terjadi akibat penyakit yang diderita oleh pasien– pasienyang
memerlukan tirah baring jangka lama, seperti pasien koma/tidak sadarkan diri, patahtulang
belakang atau kaki. Sindrom ini dapat disebabkan oleh karena:
1. Kelainan atau lesi neuromuskular , seperti paralisis
2. Keperluan ortopedik
3. Sakit parah yang memerlukan bed rest
4. Berada di tempat dengan gravitasi kecil dalam waktu yang lama seperti di luarangkasa
5. Berada di tempat dengan gravitasi yang lebih rendah dalam waktu yang lama, seperti
duduk atau berbaring dengan lama. Selain itu, berbagai faktor fisik, psikologis, dan
lingkungan dapat menyebabkanimobilisasi terutama pada usia lanjut.
Berikut merupakan penyebab umum imobilisasi pada usia lanjut yang menimbulkan sindrom
dekondisi:
1. Dekonditioning sistem muskuloskeletal
a. Kontraktur.
b. Kelemahan otot dan atrofi.
c. Osteoporosis.
d. Ancylosis.
2. Dekonditioning sistem kardiovaskular
a. Hipotensi ortostatik
b. Penurunan venous returnpenurunan cardiac outputpeningkatan denyut
jantungkerja otot jantung meningkat.
c. Tromboemboli vena
3. Dekonditioning sistem respirasi
a. Terjadi retriksi mekanik pernafasan karena penurunan gerakan sendi
kostovertebral dan kostokondralpernafasan cepat dan dangkalkapasitas
paru menurunasupan O2 menurun.
b. Dapat mengakibatkan terjadinya Pneumonia ortostatik.
4. Dekonditioning kulit
a. Karena adanya penekanan jangka lama pada kulit, maka terjadi ulcus
decubitus, edema, bursitis.
5. Dekonditioning sistem gastrointestinal
24
a. Penurunan nafsu makan, penurunan sekresi lambung, atrofi mucosa intestinal
dan glandula, penurunan absorbsi.
b. Gangguan kontraktilitas sistem pencernaankonstipasi.
6. Dekonditioning sistem genitourinaria
a. Meningkatnya ekskresi mineral dari tulang.
b. Meningkatnya diuresis.
c. Terbentuknya formasi batu traktus urinarius.
7. Dekonsitioning sistem metabolisme dan nutrisi
a. Penurunan indeks masa tubuh
b. Gangguan balance nitrogen
c. Meningkatnyaekskresi mineral dan elektrolit
8. Dekonditioning sistem endokrin
a. Penurunan respon hormon dan enzim.
9. Sistem Kardiopulmonal
Pada system kardiopulmonal dapat terjadi penurunan FRC, volume residual dan FEV.
Hal ini bisa menyebabkan penurunan transport oksigen dari paru-paru ke seluruh
jaringantubuh. Selain itu, imobilisasi yang disertai penurunan aktivitas dapat
menyababkan sekresilendir yang berasal dari paru-paru ikut terganggu sehingga dapat
mempengaruhi distribusi udara di paru-paru. Di samping itu, dapat pula terjadi hal-hal
seperti berikut:
1. Penurunan volume tidal
2. Penurunan kemampuan untuk mengontraksikan otot pernafasan untuk
mencapaiinspirasi penuh.
3. Penurunan kekuatan otot pernafasan
4. Meningkatnya respiratory rate untuk mengompensasi penurunan
kapasitasrespirasi
5. Penurunan venstilasi dan peningkatan perfusi yang menyebabkan AV
shuntingdan menurunkan oksigenas
Prinsip Tatalaksana
1. Program Rehabilitasi Medik
25
a. Program Terapi Fisik : Progam ini berguna untuk mengembalikan flexibilitas
sendi, mencegah kontraktur,dan persiapan sebelum dilakukan terapi latihan
(remedial exercise), dapatdiberikan Terapi panas Kering (dry heat) dengan
lampu infra red, lampu biasa,botol air panas dan bantal pemanas listrik.
b. Memberikan Terapi Latihan (remedial exercise) pasif, yang meliputi
LatihanLingkup Gerak Sendi (ROM exercise), Latihan Penguatan Otot
(strengtheningexercise) dan Latihan pernafasan (breathing exercise).
c. Kalau keadaan pasien sudah memungkinkan, dapat diberikan terapi latihan
aktif,yakni melatih mobilisasi bertahap dengan latihan miring kanan– kiri
(rolling),dilanjutkan dengan latihan duduk (sitting balance), dan latihan jalan
(ambulasi)diberikan jiak sudah memungkinkan.
2. Program Psikologi
a. Mengadakan evaluasi dan memperbaiki keadaan psikologis pasien
yangberhubungan dengan penyakit atau keadaan yang diderita pasien,
disesuaikandengan kapasitas intelektual pasien.
b. Evaluasi demensia, depresi, dan gangguan fungsi kognitif jikalau ada.
Komplikasi Imobilisasi
1. Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang
penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat
tiga faktor yang meningkatkan resiko trombosis vena dalam yaitu adanya luka di vena
dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena
dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah. Gejala
yang timbul bervariasi, tergantung pada ukuran dan okasi trombosis vena dalam,
dapat berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai; sebagian
besar trombosis vena dalam timbul hanya pada satu kaki.
2. Emboli Paru
Dapat diakibatkan oleh banyak faktor seperti emboli air ketuban, emboli udara, dan
sebagainya. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis
vena dalam. Gejala emboli paru dapat berupasesak nafas, nyeri dada, dan peningkatan
denyut nadi.
3. Kelemahan Otot
26
Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan
kekuatan otot. Terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan atrofi otot yaitu
perubahan biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut dan kronik,
serta malnutrisi. Perubahan otot selama imobilisasi lama menyebabkan degenerasi
serat otot, peningkatan jaringan lemak, serta fibrosis.
4. Kontraktur Otot dan Sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama beresiko mengalami kontraktur karena sendi
– sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang menyebabkan seseorang
semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut. Kontraktur dapat
terjadi karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi, pada otot, atau pada
jaringan penunjang di sekitar sendi. Kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar akan
mengkerut. Kontraktur akan menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi pasif yang
akan memperburuk kondisi kontraktur.
5. Osteoporosis
Akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi
ternyata meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium serum,
menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang
menyebabkan kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi
tulang.
6. Ulkus Dekubitus
Imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak adanya gerakan
pasif maupun aktif. Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sakral
ketika dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada daerah kulit yang
tertekan dan menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis. Kompresi pembuluh darah
dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra – arteri dan gumpalan fibrin
yang secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan pada
keadaan tersebut mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan pada
akhirnya akan terbentuk luka akibat tekanan.
7. Hipotensi Postural
Komplikasi yang sering timbul akibat imobilisasi lama pada pasien usia lanjut adalah
penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskular postural, dan
penyakit tromboemboli. Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak
20 mmHg dari posisi baring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering
timbul adalah iskemia cerebral, khususnya sinkop. Curah jantung rendah
27
mengakibatkan terjadinya hipotensi postural. Gejala dan tanda hipotensi postural
adalah penurunan tekanan darah sistolik dari tidur ke duduk lebih dari 20 mmHg,
berkeringat, pucat, kebingunan, peningkatan denyut jantung, letih, dan pada keadaan
berat dapat menyebabkan jatuh yang pada akhirnya akan mengakibatkan fraktur,
hematoma jaringan lunak dan perdarahan otak.
8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kemih
Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik
sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit
keluar. Kondisi tersebut akan memudahkan usia lanjut untuk mengalami atelektasis
paru dan pneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian
menyebabkan infeksi saluran kemih lebih mudah terjadi. Inkontinensia urin juga
sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi.
9. Gangguan Nutrisi ( Hipoalbuminemia )
Imobilissi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang akibatnya akan
terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Kadar plasma kortisol lebih tinggi
pada usia lanjut dengan imobilisasi dibandingkan dengan usia lanjut tanpa imobilisasi.
Kadar plasma kortisol yang lebih tinggi mengubah metabolisme menjadi katabolisme
sehingga metabolisme protein akan lebih rendah pada pasien usia lanjut dengan
imobilisasi.
10. Konstipasi dan Skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses
tinggal di usus besar, maka absorbsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan
menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat –
obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi.
Upaya Pencegahan Komplikasi
Pencegahan timbulnya komplikasi dapat dilakukan dengan memberikan
penatalaksanaan yang tepat terhadap imobilisasi. Penatalaksanaan yang tepat terhadap
imobilisasi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologik
dan non farmakologik.
Non Farmakologis
28
Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan
jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi
secara teratur dan latihan di tempat tidur dapat dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya
kelemahan dan kontraktur otot serta kontraktur sendi.
Untuk mencegah terjadinya kontraktur otot dapat dilakukan latihan gerakan pasif
sebanyak satu atau dua kali sehari selama 20 menit.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah
menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat
dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan
bantal berongga.
Latihan kekuatan otot serta kontraksi abdomen dan otot pada kaki akan menyebabkan
aliran darah balik vena lebih efisien. Khusus untuk mencegah terjadinya trombosis dapat
dilakukan tindakan kompresi intermiten pada tungkai bawah.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya konstipasi. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Farmakologis
Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik yang dapat diberikan untuk
mencegah terjadinya trombosis pada pasien geriatri dengan imobilisasi. Low dose heparin
( LDH ) dan low molecular weight heparin ( LMWH ) merupakan profilaksis yang aman dan
efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi dan resiko trombosis non pembedahan
terutama stroke.
29
BAB V
KESIMPULAN
Ny. Sutini merupakan pasien lanjut usia pasca stroke yang berdasarkan pada hasil
anamnesis dan pemeriksaan telah mengalami gangguan fungsi motorik sehingga
menyebabkan keadaan sulit bergerak, kaku, dan imobilisasi pada separuh tubuh Ny. Sutini.
Kurangnya rehabilitasi dan pelatihan pada proses penyembuhan pasca stroke, menyebabkan
Ny. Sutini berada dalam keadaan imobilisasi yang lama di tempat tidur yang pada akhirnya
menyebabkan sindroma deconditioning yang berdampak pada keluhan berbagai system organ
akibat sindroma deconditioning tersebut.
Penyembuhan Ny. Sutini dimulai dari penyembuhan kemungkinan infeksi yang
mungkin terjadi pada Ny. Sutini seperti yang terlihat pada hasi; pemeriksaan laboratorium,
urinalisis dan sedimen urin pasien. Selain itu, perlu segera melakukan terapi fisik untuk dapat
kembali mengoptimalkan fungsi system musculoskeletal Ny. Sutini agar tidak menjadi suatu
proses degenerasi yang ireversibel.
Untuk mempercepat proses penyembuhan, eran serta keluarga, disiplin pasien,
lingkungan social, dan praktisi medis juga perlu diperhatikan untuk tercapainya
penyembuhan dalam mengembalikan kondisi Ny. Sutini seoptimal mungkin.
30
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Kolopaking MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing;2010.
2. Hadisaputro S. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Yogyakarta:Amara books;2007.p.84-8.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th Ed. Jakarta:interna publishing;2009. P.2196
4. Medline Plus. RBC Indices. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003648.htm. Accessed on June 4,
2012.
5. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. 3th Ed. Jakarta:media aesculapius;2009. P.523
6. Martono H, Pranaka K. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 4th ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2009.
31