makalah kebijakan politik luar negeri indonesia

53
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh realitas politik domestik Indonesia. Di lain sisi situasi politik domestik Indonesia juga tidak dapat terlepas dari konstelasi politik global. Politik luar negeri indonesia bebas aktif pada era demokrasi liberal tentulah menjadi situasi politik yang menarik untuk dicermati. Pada masa era itu dimana Indonesia masih berupa bayi yang baru terlahir setelah sekian lama dikandung dalam situasi kolonialisme (penjajahan), harus menentukan sikap politik luar negerinya. Dalam situasi ini tuntutan terhadap sebuah Negara yang baru merdeka seperti Indonesia untuk menentukan sikap dan posisinya dalam kancah politik Global. Sistem pemerintahan di Indonesia yang saat itu dapat kita katakan sebagai masa percobaan demokrasi, yang mana semenjak revolusi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, di tandai dengan polarisasi maupun fragmentasi politik di Indonesia yang di tandai dengan menjamurnya partai politik saat itu yang di bentuk oleh elit politik sebagai sarana pengejahwantahan kepantingan politik masing-masing. Bukti yang cukup kuat untk menegaskan situasi ini adalah situasi politik domestik yang tidak stabil dan sering bergantinya pimpinan pemerintah dalam hal ini perdana menteri beserta kabinetnya yang setiap masa kepemimpinannya selalu mengutamakan kepentingan atas ideologi maupun partainya. Silih bergantinya kabinet ternyata 1

Upload: misfasuri

Post on 04-Dec-2015

510 views

Category:

Documents


88 download

DESCRIPTION

Penjelasan per presiden

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh realitas politik

domestik Indonesia. Di lain sisi situasi politik domestik Indonesia juga tidak dapat terlepas dari

konstelasi politik global. Politik luar negeri indonesia bebas aktif pada era demokrasi liberal

tentulah menjadi situasi politik yang menarik untuk dicermati. Pada masa era itu dimana

Indonesia masih berupa bayi yang baru terlahir setelah sekian lama dikandung dalam situasi

kolonialisme (penjajahan), harus menentukan sikap politik luar negerinya.

Dalam situasi ini tuntutan terhadap sebuah Negara yang baru merdeka seperti Indonesia

untuk menentukan sikap dan posisinya dalam kancah politik Global. Sistem pemerintahan di

Indonesia yang saat itu dapat kita katakan sebagai masa percobaan demokrasi, yang mana

semenjak revolusi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, di tandai dengan polarisasi maupun

fragmentasi politik di Indonesia yang di tandai dengan menjamurnya partai politik saat itu yang

di bentuk oleh elit politik sebagai sarana pengejahwantahan kepantingan politik masing-masing.

Bukti yang cukup kuat untk menegaskan situasi ini adalah situasi politik domestik yang tidak

stabil dan sering bergantinya pimpinan pemerintah dalam hal ini perdana menteri beserta

kabinetnya yang setiap masa kepemimpinannya selalu mengutamakan kepentingan atas ideologi

maupun partainya. Silih bergantinya kabinet ternyata berdampak pada pola kebijakan luar negeri

Indonesia. Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif pun tetap bertendensi sesuai

kepentingan pemimpin pemerintahan saat itu. Hal ini dapat dilihat pada kedekatan cabinet

tertentu dengan salah satu blok baik itu barat maupun timur.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengangkat judul Kebijakan Politik Luar Negeri

Indonesia. Judul tersebut diangkat untuk lebih memahami pengertian politik luar negeri,

memahami sejarah politik luar negeri di Indonesia mulai dari awal sejarah merdeka sampai

dengan sekarang, dan lebih memahami alasan Indonesia mengambil politik luar negeri bebas

aktif,. Dengan demikian diharapkan pembaca bisa lebih memahami tentang Kebijakan Politik

Luar Negeri Indonesia.

1

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri ?

2. Bagaimana Sejarah Politik Luar Negeri di Indonesia ?

3. Mengapa Indonesia mengambil Politik Luar Negeri Bebas Aktif ?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Pengertian Politik Luar Negeri

2. Untuk mengetahui Sejarah Politik Luar Negeri di Indonesia

3. Untuk mengetahui mengapa Indonesia mengambil Politik Luar Negeri Bebas Aktif

BAB 2

PEMBAHASAN

2

2.1 Pengertian Politik Luar Negeri

2.1.1 Politik Luar Negeri

Secara sederhana politik luar negeri diartikan sebagai skema atau pola dari cara dan tujuan

secara terbuka dan tersembunyi dalam aksi negera tertentu berhadapan dengan Negara lain atau

sekelompok Negara lain. Politik luar negeri merupakan perpaduan dari tujuan atau kepentingan

nasional dengan power dan kapabilitas (kemampuan). Dalam arti luas, politik luar negeri adalah

pola perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan Negara-negara lain.

Politik luar negeri berhubungan  dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan

jalan tertentu.

Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (1984-

1988), politik luar negeri diartikan sebagai “suatu kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah

dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk mencapai tujuan

nasional”. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke

dalam masyarakat antar bangsa”. Hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara

lain, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik luar negeri suatu negara termasuk

Indonesia, berikut definisi atau pengertian dari politik luar negeri :

1. Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam

berhubungan dengan negara lain.

2. Politik luar negeri merupakan kumpulan kebijaksanaan atau setiap yang ditetapkan oleh

suatu negara untuk mengatur hubungan dengan negara lain untuk yang ditujukan untuk

kepentingan nasional.

3. Politik luar negeri merupakan penjabaran dari politik nasional, sedangkan politik nasional

merupakan penjabaran untuk dari kepentingan nasional atau tujuan negara yang

bersangkutan.

Jadi, pada dasarnya politik luar negeri merupakan  strategi untuk melaksanakan kepentingan

nasional atau tujuan negara yang ada kaitannya dengan negara lain.

2.1.2 Politik Luar Negeri Bebas Aktif

Politik Luar Negeri yang bebas aktif mengandung dua unsur pokok. Pertama, "bebas"

biasanya diartikan tidak terlibat dalam aliansi militer atau pakta pertahanan dengan kekuatan-

kekuatan luar yang merupakan ciri Perang Dingin. Dalam arti lebih luas Politik Luar Negeri

3

yang bebas menunjukkan tingkat nasionalisme yang tinggi, yang menolak keterlibatan atau

ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia. Kedua, kata

"aktif" menunjukkan bahwa Politik Luar Negeri Indonesia tidaklah pasif dan hanya mengambil

sikap netral dalam menghadapi permasalahan-permasalahan international. Muqadimah UUD 45

secara jelas menuntut Indonesia untuk menentang segala bentuk penjajahan dan ikut memajukan

perdamaian dunia.

Dalam bulan september 1948 sebagai wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan

Menteri Pertahanan,bung Hatta memberi keterangan kepada Badan Pekerja KNIP tentang

kedudukan dan politik Negara Republik Indonesia dewasa itu. RI menghadapi berbagai kesulitan

yang tidak sedikit. Sejak keterangan bung Hatta itu politik luar negeri Republik Indonesia di

sebut ‘politik bebas aktif’. Bebas, artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak

manapun juga, Aktif, artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan seluruh bangsa.

Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif, Sudah merupakan suatu

konsensus nasional bahwa dasar politik luar negeri kita adalah pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 dan GBHN dengan tujuan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sedangkan watak dan sifatnya adalah anti

kolonialisme. Secara eksplisit, istilah politik luar negeri bebas aktif tersebut tidak terdapat dalam

UUD ataupun peraturan-peraturan lainnya. Namun istilah ini mulai banyak dipergunakan oleh 

para politisi dan negarawan kita semasa memuncaknya perang Korea (1950 – 1953). Kabinet RI

ke-12 di bawah Perdana Menteri Dr. Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952) yang untuk

pertama kalinya mencantumkan istilah ini dalam Program Kabinet yang antara lain menyatakan,

menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif menuju perdamaian“.

Isitilah ini dipertegas lagi oleh Presiden Soekarno pada HUT RI tgl. 17 Agustus 1952 bahwa

„politik bebas dan aktif menuju perdamaian dunia“. Sejak itulah, istilah politik luar negeri bebas

dan aktif merupakan suatu istilah melekat dan istilah pelengkap pada watak dan sifat haluan

politik luar negeri yang berjiwa anti kolonialisme dan pro-perdamaian dan tidak mengikatkan

diri kepada salah satu blok kekuatan militer serta dapat bekerjasama atas dasar hidup

berdampingan secara damai. Kebijakan politik luar negeri bebas aktif ini bukan merupakan suatu

dogma yang mati, melainkan hanya sebagai suatu pedoman dalam bertindak di antara kedua

kekuatan blok dunia pada saat itu yaitu Amerika Serikat dan sekutunya vs Uni Soviet dan

4

sekutunya, demi kepentingan nasional dan perdamaian internasional. Dalam suasana perang

dingin yang tidak menentu, Gerakan Non Blok tahun 1961 muncul sebagai suatu gerakan moral

dari negara-negara dunia ketiga yang berupaya untuk menjembati perang dingin dua kekuatan

raksasa tersebut guna mencegah jangan sampai terjadi konfrontnasi terbuka apalagi perang nuklir

yang dapat memusnahkan peradaban manusia. Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan

aktif itu sebenarnya dapat bersifat kenyal artinya dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi

pada saat itu walaupun prinsipnya tetap tetapi nuansanya dapat berubah.

Pedoman pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif Indonesia dewasa ini adalah Ketetapan

MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang antara lain

menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan berorientasi pada

kepentingan nasional dengan menitik-beratkan pada solidaritas antara negara berkembang,

mendukung kemerdekaan bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk serta meningkatkan

kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

Di samping itu, dengan telah disyahkannya Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri tanggal 14 September 1999 maka Pemerintah Indonesia dalam

melaksanakan politik luar negeri selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-

Undang tersebut.

2.1.3 Tujuan Politik Luar Negeri

Tujuan politik luar negeri setiap negara adalah mengabdi kepada tujuan nasional negara itu

sendiri. Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea

keempat yang menyatakan ”… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Menurut Drs. Moh. Hatta, mengatakan, bahwa tujuan politik luar negeri Indonesia adalah

sebagai berikut:

a. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan Negara

b. Memperoleh barang-barang dari luar untuk memperbesar kemakmuran rakyat,

apabila   barang-barang itu tidak atau belum dapat dihasilkan sendiri

5

c. Meningkatkan perdamaian internasional, karena hanya dalam keadaan damai

Indonesia dapat membangun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperbesar

kemakmuran rakyat

d. Meningkatkan persaudaraan segala bangsa sebagai cita-cita yang tersimpul dalam

Pancasila, dasar dan falsafah negara Indonesia.

2.1.4 Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri

Dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, bangsa Indonseia menjalankan

prinsip-prinsip berikut:

a. Negara Indonesia menjalankan politik damai, dalam arti bangsa Indonesia bersama-sama

dengan masyarakat bangsa-bangsa lain di dunia ingin menegakkan perdamaian dunia;

b. Negara Indonesia ingin bersahabat dengan negara-negara lain atas dasar saling

menghargai dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Indonesia

menjalankan politik bertetangga baik dengan semua negara di dunia.

c. Negara Indonesia menjunjung tinggi sendi-sendi hukum internasional.

d. Indonesia membantu pelaksanaan keadilan sosial internasional dengan berpedoman

kepada Piagam PBB.

2.1.5 Landasan Hukum Politik Luar Negeri Indonesia

Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif memilki landasan yang kuat dan

kokoh. Landasan tersebut tercantum pada alinea pertama dan keempat Pembukaan UUD Negara

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 serta pasal 11 UUD 1945. Dalam alinea pertama

disebutkan, " penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan

perikeadilan." Sedangkan dalam alinea keempat dinyatakan, " ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial " Pasal 11 ayat 1

UUD 1945 berbunyi, "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan

perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Selain landasan tersebut,

pelaksanaan politik luar negeri Indonesia bebas aktif juga berdasar pada Keterangan Pemerintah

di depan sidang BP-KNIP tanggal 2 September 1948. Politik luar negeri Indonesia yang bebas

dan aktif tetap diabdikan untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional bangsa Indonesia

sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

6

2.2 Sejarah Kebijakan Luar Negeri di Indonesia

2.2.1 Kebijakan Luar Negeri Era Soekarno

Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Soekarno

17 Agustus 1945 merupakan peristiwa monumental bagi Indonesia karena sejak itu Indonesia

resmi memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka. PowerIndonesia sebagai sebuah negara

masih lemah karena belum adanya pondasi yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Politik luar negeri merupakan pondasi dasar yang menentukan sikap Indonesia dalam kancah

internasional. Pada awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia difokuskan pada bagaimana

memperoleh pengakuan dari negara lain atas kemerdekaannnya. Untuk mencapai kedaulatan

penuh Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara lain. Indonesia bisa berperan dalam dunia

internasional jika keberadaannya telah diakui oleh negara lain. Kemerdekaan yang telah

diproklamirkan tidak lantas membuat Belanda melepaskan Indonesia, serangkaian intervensi

masih dilakukan Belanda. Stigma bahwa kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Belanda ingin

dihapuskan. Oleh karena itu, dukungan dari negara lain sangat diperlukan untuk membantu

Indonesia melawan intervensi Belanda.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahkan. Pembukaan UUD

1945 alinea ke empat berbunyi “....melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dari sini tersirat bahwa arah politik luar negeri Indonesia

menentang adanya kolonialisme. Di tengah usahanya untuk mendapat pengakuan dari negara

lain, Indonesia diterpa dampak Perang Dingin. Pasca Perang Dunia II muncul kekuatan bipolar

di dunia, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Masing-masing blok berusaha untuk

menggalang dukungan dari negara lain. Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka

kemudian dihadapkan pada permasalahan memihak pada pihak mana. Hingga akhirnya pidato

Muhammad Hatta pada tanggal 2 September 1948 di depan Komite Nasional Indonesia Pusat

menjadi penentu sikap Indonesia. Berikut adalah kutipan dari pernyataan Hatta  “Pemerintah

berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek

dalam pertarungan internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak

menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu merdeka

seluruhnya”. Inilah yang kemudian mencetuskan politik bebas aktif. Bebas yang berarti bahwa

7

Indonesia bebas untuk bertindak menurut dirinya sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pihak

manapun dan aktif dimana Indonesia aktif menjaga perdamaian dunia.Dengan demikian

Indonesia memilih jalan tengah untuk menyikapi adanya dua blok dalam Perang Dingin.

Di tahun 1960-an, kendali politik luar negeri Indonesia berada di bawah Pemerintahan

Demokrasi Terpimpin yang dipimpin Soekarno. Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno

telah mencapai prestasi yang berarti yakni menyerukan negara- negara di dunia terutama Asia

Afrika untuk tidak berpihak pada salah satu blok yang sedang berseteru pada Perang Dingin saat

itu yakni Blok Barat dan Blok Timur serta mendukung adanya kemerdekaan bagi negara-negara

di Asia Afrika melalui Konferensi Asia Afrika maupun Gerakan Non Blok yang diinisiasi dari

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada tahun 1955. Banyaknya inisiatif

yang muncul dari kebijakan luar negeri Indonesia pada masa itu menunjukkan bahwa Soekarno

secara serius mengagendakan pengakuan eksistensi Indonesia di mata internasional dan

pembentukan aliansi anti kolonialisme serta imperialisme Barat dalam setiap kebijakan luar

negeri Indonesia.

Pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno ini bersifat konfrontatif. Politik luar negeri

Indonesia juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat itu Indonesia menentang keras adanya

nekolim, yakni imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme (Bunnell, 1966:37). Dalam

masa pemerintahannya, Soekarno sebagai sosok yang kharismatik memiliki peran yang sangat

signifikan terhadap kebijakan terkait politik luar negeri Indonesia. Kebijakan Soekarno dalam

politik luar negeri yang cenderung konfrontatif ini didasarkan pada dua faktor utama, yakni

ideologi dan psikologi. Dari segi ideologi, Soekarno menganut paham neo-Marxis Leninis yang

melihat pada sejarah kontemporer yang berisikan pertentangan antara negara kapitalis lama

(Barat) dengan negara-negara yang baru muncul serta negara-negara sosialis baru (Bunnell,

1966:38). Sedangkan dalam segi psikologi, trauma akibat praktek imperialism dan kolonialisme

oleh negara-negara Barat yang begitu lama membuat Soekarno perlu untuk mencantumkan

politik konfrontasi sebagai arah kebijakan politik luar negerinya.

Politik luar negeri Indonesia pada masa ini juga bersifat revolusioner. Soekarno dalam era ini

berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan

revolusi nasionalnya yakni nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen ini

diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan nekolim (Bunnell, 1966:39). Dari sini dapat

8

dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri indonesia yakni condong ke komunis, baik

secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara

Indonesia dengan China dan bagaimana Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis

Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah

agar para komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap

sebagai kelompok luar (Bunnell, 1966:41). Selain itu, tujuan Soekarno dengan kemurahan

hatinya terhadap PKI adalah untuk mengurangi kekuatan tentara / TNI yang dianggapnya

menjadi batu sandungan terhadap implementasi nasakom.  

Ketidaksukaan Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya terhadap

keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil alih kembali Irian

Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan

Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik

konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara

Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia

pro terhadap imperialisme Barat.

Irian Barat, sebagai salah satu wilayah Indonesia yang seharusnya telah merdeka dari penjajahan

Belanda tidak dapat merasakan kemerdekaan dari penjajahan tersebut. hal ini disebabkan oleh

Belanda yang masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda menduduki wilayah

Irian Barat sebagai bentuk penolakan kemerdekaan Indonesia tersebut. Demi kembalinya Irian

Barat ke pangkuan Indonesia, pemerintah melakukan berbagai cara untuk melemahkan kekuatan

Belanda di Indonesia. Soekarno sebagai Presiden Indonesia saat itu menerapkan berbagai

kebijakan demi lepasnya Irian Barat dari Belanda. Perjuangan pembebasan Irian Barat tersebut,

dilakukan diantaranya melalui jalan perundingan. Puncak dari berbagai perundingan yang

dilakukan Indonesia dengan Belanda adalah Konferensi Meja Bundar. Konferensi Meja Bundar

tersebut diadakan di Den Haag, Belanda pada tahun 1949. Hingga akhirnya Belanda melanggar

hasil Konferensi Meja Bundar tersebut, yakni ketika Belanda enggan menyerahkan Irian Barat

pada Indonesia bahkan setelah satu tahun disepakatinya hasil perundingan tersebut. Sedangkan

dalam perundingan tersebut dituliskan bahwa Belanda harus menyerahkan Irian Barat Kepada

Indonesia setahun setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. Sehingga akhirnya Soekarno

menempuh jalan keras. Dalam rapat raksasa di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 19

9

Desember 1961, Soekarno mengeluarkan perintah yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat

atau Trikora. Trikora tersebut berisi :

1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan

tanah air dan bangsa (crayonpedia.org).

Selain itu, Soekarno juga melakukan jalan lain yakni melalui cara aksi massa, pengerahan

sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat. Dalam pengerahan sukarelawan dan

penerjunan darurat di wilayah Irian Barat tersebut, Indonesia dibantu oleh Uni Soviet yang saat

itu terlibat Perang Dingin dengan Amerika Serikat sekaligus sebagai taktik dalam menarik

perhatian Amerika Serikat. Tindakan tersebut dilatar belakangi oleh penolakan Amerika Serikat

terhadap pemberian bantuan bersenjata ke Indonesia. Menghadapi hal tersebut, Amerika Serikat

mendesak Belanda yang saat itu sebagai sekutunya agar segera berunding dengan Indonesia

dengan syarat – syarat perundingan yang diajukan Amerika Serikat terhadap Belanda sangat

menguntungkan Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga khawatir akan terjadinya konflik

bersenjata di tanah Irian Barat. Sehingga 15 Agustus 1962 menjadi hari yang bersejarah bagi

Indonesia. Dimana ditandanginya Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda yang

bertempat di Markas Besar PBB di New York. Isi perjanjian New York tersebut adalah :

Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara

PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962.

Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan

dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk

digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB.

Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan

kepada pihak Indonesia.

Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei 1963.

10

Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap

dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)

(crayonpedia.org).

Demikian juga ketika Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dalam PEPERA yang

diadakan di akhir tahun 1969 tersebut, rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia.

Sehingga Belanda harus secepatnya keluar dari bumi Irian Barat, mengingat kedua belah pihak

baik Indonesia maupun Belanda telah berjanji untuk menghormati hasil PEPERA tersebut.

kemudian, hasil dari PEPERA tersebut dilaporkan ke New York melalui utusan Sekjen PBB

Ortisz Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke 24 pada November 1969

(crayonpedia.org).

Disamping permasalahan pembebasan Irian Barat, Indonesia juga mengalami konfrontasi

dengan Malaysia. Konfrontasi tersebut terjadi pada tahun 1963 hingga 1966. Hal tersebut dilatar

belakangi oleh pernyataan Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri Malaya yang

mengemukakan gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura,

Serawak, dan Sabah. Sehingga muncullah bentuk penolakan Indonesia atas pembentukan negara

federasi tersebut dengan melahirkan konsep “Ganyang Malaysia”. Konsep tersebut merupakan

bukti bahwa Indonesia menolak dan melawan adanya neokolonialisme yang terjadi di Malaysia.

Soekarno beranggapan bahwa dengan adanya Negara Federasi Malaysia akan membuka jalan

kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara. Disamping itu, konsep Negara Federasi

Malaysia sangat bertolak belakang dengan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia.

Selain itu, Indonesia beranggapan bahwa Negara Federasi Malaysia merupakan gagasan Inggris,

bukan gagasan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Selain itu, jika Negara Federasi

Malaysia tersebut terbentuk Indonesia khawatir akan dikepung di sebelah utara oleh Inggris yang

berujung pada proyek neokolonialisme yang membahayakan revolusi Indonesia. Tidak hanya

Indonesia, Filipina juga menentang pembentukan Negar Federasi Malaysia. Hal ini didasari oleh

keinginan Filipina untuk memiliki wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina beranggapan

bahwa secara historis wilayah Sabah merupakan milik Sultan Sulu (klikbelajar.com).

Pada bulan April 1963 dilakukan beberapa pertemuan para menteri luar negeri Indonesia –

Malaysia – Filipina sebagai upaya meredakan ketegangan antara ketiga tersebut sehingga

tercapai kesepakatan bersamadengan dihadiri tiga kepala negara maupun kepala pemerintahan

11

yakni PM Malaya Tengku Abdul Rachman, Presiden Indonesia Ir. Soekarno, dan Presiden

Filipina Diosdado Macapagal diadakanlah KTT Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia)

di Manila (Filipina) pada 31 Juli – 5 Agustus 1963 (klikbelajar.com). Deklarasi Manila,

Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama merupakan hasil KTT Maphilindo yang berisi

Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia seandainya rakyat

Kalimantan Utara mendukungnya (klikbelajar.com). Sehingga  PBB membentuk suatu tim

penyelidik dengan ditunjuknya delapan orang sekretariat di bawah pimpinan Lawrence

Michelmore yang mulai bertugas pada 14 September 1963. Namun, sebelum tugas penyelidikan

PBB tersebut selesai, Malaysia telah memproklamirkan berdirinya Negara Federasi Malaysia

pada 16 September 1963. Tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan tersebut mengejutkan Indonesia

dan Filipina. Sehingga Indonesia beranggapan bahwa Malaysia telah menodai martabat PBB dan

menyulut permusuhan dengan Indonesia. Sebagai bentuk penolakan, dicetuskanlah Dwi

Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964 di Jakarta yang berisi :

1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.

2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei

untuk menggagalkan negara boneka Malaysia (klikbelajar.com).

Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan

Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September

1965 Indonesia mundur dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada blok

barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan

modernisasidi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.

Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi

penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi

dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old EstablishedForces) dan “Nefos” (New Emerging Forces).

Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari

pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru

bangkit atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme

merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat. Dalam

upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politk Mercusuar bahwa

Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia.

12

Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari

pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara-

negara sosialis dan komunis seperti China. Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama,

karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan

logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus

mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya

adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam

masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Namun

sayangnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan- kebijakan luar negeri yang

diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik

Politik luar negeri pasa era Orde Lama juga ditandai dengan usaha keras Soekarno membuat

Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang

diadakan maupun diikuti Indonesia (Bunnell, 1966:42). Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia

adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan

Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan prestige menjadi faktor-faktor

pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini. Efek

samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah

domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada

fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau beranggapan

bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun

budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi

domestik (Bunnell, 1966:43). Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif

namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya

morat- marit akibat inflasi yang terjadi secara terus- menerus, penghasilan negara merosot

sedangkan pengeluaran untuk proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of

The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus

membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab kebobrokan dan krisis

Indonesia pada masa Orde Lama.

13

2.2.2 Kebijakan Luar Negeri Era Soeharto

Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Soeharto

Berakhirnya pemerintahan Soekarno yang diwarnai hal-hal kontroversial seperti Supersemar

(Surat Perintah Sebelas Maret) pada akhirnya tetap membawa Soeharto ke kursi pemimpin

tertinggi pemerintahan dan negara Indonesia. Pergantian kepemimpinan ini turut pula

memberikan dinamika baru pada struktur dan sistem politik maupun proses pengambilan

keputusan pada masa itu. Perbedaan keyakinan, interpretasi dan gaya kepemimpinan seorang

pemimpin akan berpengaruh pada arah dan tujuan politik suatu negara, baik itu dalam negeri

maupun luar negeri. Soeharto tidak dapat dipungkiri telah menjadi tokoh dan aktor politik yang

sepak terjangnya dalam pemerintahan telah memberikan sejarah bagi tumbuh dan kembangnya

Indonesia.

Sebagai tokoh atau aktor utama pada era Orde Baru yang menghadirkan perubahan dan

perbedaan pada jalannya pemerintahan, latar belakang Soeharto merupakan hal yang perlu

diketahui. Soeharto yang merupakan anak dari pegawai rendahan di Jawa tengah dan beristrikan

seorang wanita yang merupakan anak dari seorang pejabat Mangkunegaraan membuat Soeharto

hidup dengan jenis budaya abanganatau priyayi (Suryadinata, 1998: 46). Dapat dipahami bahwa

pola pikir Soeharto dalam mengambil keputusan lebih dominan bersumber dari adat-istiadat

klasik Jawa dan bahkan kebatinan Jawa dibandingkan dengan sumber-sumber Islam.

Kepercayaannya adalah suatu persenyawaan antara ide-ide pra-Islam dan Islam, namun unsur

pra-Islam lebih dominan (Suryadinata, 1998: 48). Latar belakang Jawanisme yang kuat ini

berpengaruh pada sikapnya pada politik luar negeri Indonesia. Banyak hal yang menunjukkan

bahwa kebudayaan Jawa tercermin dalam gaya kepemimpinan Soeharto. Selain keputusan dan

kebijakan yang tidak terlalu didasari oleh pertimbangan-pertimbangan Islami, Jawanisme

Soeharto membawanya pada suatu nasionalisme Jawa atau nasionalisme pribumi dimana Jawa

dan Indonesia merupakan pusat dunia dan dapat berperan dominan dalam dunia internasional.

Atas dasar Jawanisme itu pula akhirnya pemerintahan Soeharto tidak terlalu membuka celah

14

yang lebar bagi rakyat yang berada di bawahnya untuk menyuarakan pendapat (Koentjaraningrat

dalam Suryadinata, 1998: 48).

Pada awal kepemimpinannya, Soeharto bersikap pasif terhadap masalah politik luar negeri

Indonesia. Soeharto mempunyai dewan penasihatnya sendiri untuk membantunya dalam

pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak terlibat secara penuh pada

perumusan kebijakan terutama berkaitan dengan politik luar negeri Indonesia. Menurut Roeder

(dalam Suryadinata, 1998: 48), alasan keterlibatan Soeharto yang tidak penuh dalam perumusan

politik luar negeri adalah karena Soeharto tidak memiliki banyak pengalaman terkait dengan

masalah-masalah internasional sehingga Soeharto tidak terlalu tertarik pada politik luar negeri.

Pada awal Orde Baru ini terdapat sedikitnya dua pembantu perumus politik luar negeri Indonesia

yakni militer (Departemen Pertahanan dan Keamanan, Lembaga Pertahanan Nasional dan Badan

Koordinasi Intelijen Negara) dan Departemen Luar Negeri. Dalam pemerintahan Soeharto ini

terdapat pembagian kerja yakni Deplu menangani politik luar negeri pada bidang politik, militer

berurusan dengan politik luar negeri kaitannya dengan masalah keamanan dan Bappenas

berhubungan dengan masalah ekonomi (Suryadinata, 1998: 55). Walaupun pada kenyataannya,

militer, apalagi setelah kudeta 1965, lebih sering mengintervensi urusan politik luar negeri ini di

berbagai bidang.      

Perbedaan arah politik luar negeri Indonesia dari orde Lama ke Orde Baru dapat dilihat dari

orientasi kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak lagi berdikari atau berorientasi ke dalam dan

menutup diri dari bantuan asing, namun juga berorientasi ke luar yakni berusaha membangun

hubungan persahabatan dengan pihak asing terutama negara-negara Barat. Orientasi ke dalam

berupa pembangunan didukung oleh adanya hubungan dengan pihak asing bertujuan untuk

melancarkan pembangunan itu sendiri. Kebijakan yang digunakan pun kebijakan pintu terbuka,

dengan meningkatkan investasi asing dan mencari bantuan dana untuk merehabilitasi ekonomi

Indonesia (Suryadinata, 1998: 44). Soeharto mengupayakan agar Indonesia mampu berperan

dominan dalam permasalahan baik regional maupun internasional. Konfrontasi yang ada pun

dikesampingkan terlebih dahulu dan mengedepankan perdamaian, karena menurutnya stabilitas

regional diperlukan untuk menjamin keberhasilan rencana pembangunan (Suryadinata, 1998:

45). Fokus dan perhatian Indonesia pada faktor stabilitas keamanan ini menunjukkan  bahwa

Soeharto mulai tertarik dengan politik luar negeri. Hal ini diimplementasikan dalam Deklarasi

15

Bangkok dimana Indonesia meminta pangkalan militer asing di kawasan Asia Tenggara harus

bersifat sementara dan juga masalah intervensi Indonesia di Timor Timur. Pemerintahan Orde

Baru ini juga menunjukkan penyimpangan dari arah politik luar negeri Indonesia yang bebas

aktif. Pada era ini terlihat bahwa Indonesia memiliki kecenderungan untuk mendekati negara-

negara Barat dan menjauhi negara-negara komunis (Suryadinata, 1998: 46). Sikap ini dapat

dilihat dari hubungan beku antara Indonesia dengan RRC.

Presiden Soeharto mulai menampakkan ketertarikannya pada urusan politik luar negeri pada

tahun 1980-an, khususnya setelah pemilu tahun 1982. Soeharto menjadi lebih aktif dalam

perumusan politik luar negeri Indonesia dengan menjalankan politik luar negeri tingkat tinggi

bagi Indonesia (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto menjadi semakin percaya diri dengan

kemenangan mutlak yang diraihnya dan partainya dalam pemilu 1982. Politik luar negeri

Indonesia pun semakin berorientasi keluar. Indonesia semakin berkeinginan untuk memainkan

peran dominan dalam masalah regional maupun ekstra-regional (Suryadinata, 1998: 46). Hal ini

dapat dilihat dengan upayanya memunculkan citra Non-Blok dan menjadi pemimpin Gerakan

Non-Blok.

Meningkatnya peran aktif Soeharto dalam politik dalam maupun luar negeri dapat dilihat dari

masalah Timor Timur. Pada tahun 1980-an, Timor Timur telah berada di bawah kendali

Indonesia dan Soeharto merasa bahwa saat itu adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk

berperan aktif dalam masalah-masalah internasional (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto mulai

mengemukakan inisiatif-inisiatifnya berkaitan dengan masalah internasional dan politik luar

negeri Indonesia diantaranya tanggapannya terhadap peristiwa Dili dimana ia berada dalam

kendali penuh, proses normalisasi hubungan dengan RRC walaupun ditentang oleh pihak militer

dan masalah pengambilalihan Timor Timur. Indonesia mulai aktif menunjukkan peran

kepemimpinannya kepada kawasan regional maupun dunia internasional. Indonesia mulai

antusias mendukung APEC, terlibat sebagai Ketua Gerakan Non Blok, menjadi penengah antara

Singapura dan Malaysia dan berupaya membantu memecahkan masalah Kamboja dimana hal ini

dinilai oleh banyak pengamat sebagai cara Indonesia menunjukkan kepemimpinan regional

(Suryadinata, 1998: 65-66).   

Seperti yang disebutkan sebelumnya, kasus Timor Timur juga menjadi isu paling penting

dalam politik luar negeri Soeharto yang pada saat itu menaruh perhatian pada isu keamanan.

16

Salah satu alasan yang dianggap mempengaruhi kebijakan utnuk mengintegrasikan Timor Timur

dengan Indonesia adalah adanya keyakinan bahwa masyarakat Timor Timur adalah saudara

bangsa Indonesia. Walaupun terdapat kritik atas tindakan Indonesia yang dianggap berambisi

kewilayahan, namun hal ini dianggap sebagai hal yang sangat nasionalistik. Isu Timor Timur ini

penting karena isu ini memunculkan dinamika baru politik dan hubungan luar negeri Indonesia

diantaranya merasakan rasanya dikecam dunia internasional atas tindakan intervensinya di Timor

Timur hingga berujung pada ditariknya bantuan dari negara-negara Barat. Selain itu, faktor

penting berkaitan dengan isu Timor Timur, khususnya dalam Tragedi Dili, adalah peran aktif

yang dimainkan Presiden Soeharto dimana ia dapat melakukan inisiatif untuk menentramkan

kritik internasional dan memperlihatkan kepiawaian luar biasa dalam menangani masalah politik

dalam negeri maupun luar negeri (Suryadinata, 1998: 82). Soeharto memang menjadi figur

utama dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga setiap kebijakan

yang penting membutuhkan persetujuannya (Suryadinata, 1998: 58).

Dalam masa kepemimpinan Soeharto, sangat terlihat dengan jelas bahwa pengaruh militer

sangat besar dalam pengambilan keputusannya. Hal tersebut tercermin melalui ABRI atau

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang anggotanya memegang posisi-posisi penting

dalam pemerintahan. Dimana anggota-anggota ABRI tersebut berasal dari Angkatan Darat (AD),

Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) (Namira 2009). Bahkan, pada saat itu Jenderal

A.H. Nasution mengungkapkan bahwa militer tidak akan mengambil alih pemerinthan, namun

juga tidak akan nonaktif secara politik. Ungkapan A.H. Nasution tersebut tercermin melalui

jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dikuasai oleh militer, seperti yang telah dijelaskan

di atas.

Pada masa Soeharto, pengaruh militer dalam keputusan politik luar negeri dibagi menjadi

dua periode. Pertama adalah Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan

BAKIN yang merupakan beberapa kelompok perumus kebijakan luar negeri Indonesia. Pengaruh

Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN tersebut terjadi pada awal

Orde Baru. Kedua, yakni Departemen Luar Negeri (Deplu) dan Bappenas (Suryadinata 1998).

Namun sayangnya, Adam Malik, yang merupakan tokoh penting dalam Departemen Luar Negeri

secara perlahan disingkirkan oleh kelompok militer. Sehingga peran Departemen Luar Negeri

semakin berkurang dalam perumusan politik luar negeri Indonesia pada zaman Soeharto.

17

BAPPENASpun mengalami hal yang sama dengan Departemen Luar Negeri. Dalam perumusan

kebijakan, ABRI selalu melangkahi BAPPENAS. Tidak hanya melangkahi BAPPENAS, ABRI

juga sering mengintervensi BAPPENAS. Intervensi ABRI pada BAPPENAS tersebut tercermin

ketika BAPPENAS mengluarkan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 yang dibuat

sebagai upaya penarikan dana asing ke dalam negeri. Namun, UU Penanaman Modal Asing

tersebut ditolak oleh beberapa kelompok ABRI seperti Ali Murtopo dan Ibnu Sutowo.

Latar belakang dari adanya intervensi ABRI pada posisi – posisi penting negara adalah

kurangnya pengalaman Soeharto akan isu – isu internasional (Suryadinata 1998: 48). Namun,

sebagai Presiden Indonesia, Soeharto harus terlibat dalam perumusan politik luar negeri

Indonesia. Sehingga terdapat dua kelompok yang merumuskan politik luar negeri Indonesia di

awal orde baru yakni Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN serta

Departemen Luar Negeri (Deplu) dan BAPPENAS. Dimana Departemen Pertahanan dan

Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN mengurusi masalah keamanan serta  Departemen Luar

Negeri (Deplu) dan BAPPENAS yang menangani masalah politik. Namun, pemisahan urusan

tersebut dirasa tidak dapat dilaksanakan. Sehingga sering ditemui jalan buntu dalam menangani

permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, militer sering melakukan intervensi dan menjadi sangat

dominan dalam seluruh aspek pemerintahan. Namun, intervensi ABRI tehadap perumusan

kebijakan luar negeri Soeharto tidak selalu mulus. Contohnya pada kasus perbaikan hubungan

diplomatik antara Jakarta dan Beijing (Suryadinata 1998b: 66). Pada Februari 1989 Soeharto

membuat pernyataan mengejutkan yang menyebutkan bahwa Indonesia akan memulai proses

normalisasi hubungan dengan RRC. Militer terkesan tidak antusias terhadap normalisasi dini

tersebut (Suryadinata 1998b: 66)

Orde Lama meninggalkan permasalahan ekonomi yang serius terhadap pemerintahan Orde

Baru. Orde Lama mewariskan kebrobrokan ekonomi yang serius bagi pemerintah Orde Baru

yang ditandai oleh pinjaman negara sebesar 785,6 juta dolar AS, pendapatan negara yang hanya

sekitar 485 juta dolar AS, dan inflasi yang mencapai 65% (Pudjiastuti, 2008:143). Keboborokan

ekonomi yang luar biasa ini kemudian mengharuskan Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru

untuk melakukan tindakan perbaikan. Sektor ekonomi merupakan pondasi suatu negara dalam

menjalankan pemerintahannya, tanpa adanya kondisi ekonomi yang stabil maka pemerintahan

juga akan tersendat. Hal ini disadari betul oleh Soeharto. Sebelumnya dalam Orde Lama

18

Soekarno bersikap sangat agresif dan kurang memberi perhatian pada kondisi domestik.

Sementara itu, Soeharto lebih lunak karena pemerintahannya lebih tertarik dalam membangun

ekonomi Indonesia (Suryadinata,1998:67). Rehabiltasi ekonomi kemudian menjadi tujuan utama

Soeharto pada waktu itu.

Pembangunan suatu negara melibatkan berbagai sektor dan setiap sektor saling berkaitan satu

sama lain. Pembanguan sektor ekonomi tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan

dari sektor keamanan dan sektor politik. Langkah utama Soeharto dalam melakukan rehabilitasi

ekonomi adalah dengan menjalin hubungan baik dengan negara lain, baik dalam lingkup regional

maupun internasional. Interaksi Indonesia dengan negara lain semakin intens dan hubungan yang

sudah terjalin dibina dengan baik. Hubungan baik yang dijalin dengan negara lain berimplikasi

besar pada batuan yang diterima Indonesia. Terdapat beberapa tindakan nyata yang dilakukan

Soeharto untuk menjalin hubungan baik dengan negara lain.

Pertama, normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Ganyang Malaysia merupakan salah

satu peninggalan Soekarno yang kemudian berujung pada konfrontasi antar dua negara. Menurut

pandangan Soeharto konfrontasi semacam ini tidak diperlukan karena Malaysia adalah negara

yang sangat dekat dengan Indonesia dan oleh karena itu justru perlu digalakkan hubungan baik

antar dua negara. Soeharto melihat amat penting jika konfrontasi dihilangkan agar  Indonesia

dapat berhasil dalam negosiasi bantuan finansial dengan negara-negara barat (Elson, 2001).

Kedua, kembalinya Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 28

September 1966 setelah sebelumnya pada 31 Desember 1964 Soekarno menyatakan RI keluar

dari  PBB  (www.beritasore.com,diakses pada 22 Oktober 2013). Keikutsetaaan Indonesia dalam

PBB sangat penting karena PBB merupakan wadah poternsial untuk menjalin kerja sama dengan

banyak negara dan sebagai media bagi Indonesia untuk memperkenalkan diri dalam dunia

internasional.

Ketiga, langkah Indonesia menuju pentas politik internasional diawali dengan pembentukan

asosiasi negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN yang mulai dirintis pada awal 1967

(www.beritasore.com,diakses pada 22 Oktober 2013). Berikut ini adalah salah satu kutipan dari

pernyataan Soeharto mengenai ASEAN, “Salah satu bentuk yang paling bermakna dari tugas-

tugas yang kita  emban dalam kesejahteraan dunia adalah lahirnya ASEAN yang kita bangun

bersama-sama dengan negara anggota lainnya, itu mencerminkan tekad bangsa yang menjadi

19

anggotanya untuk menciptakan kemajuan bersama bagi warga di kawasan itu”. Hubungan baik

antar anggota ASEAN mampu menciptakan kondisi stabilitas regional yang pada akhirnya

berimplikasi terhadap stabilitas keamanan Indonesia dan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, Indonesia mulai memperbaiki hubungan dengan negara-negara barat. Berbeda

dengan Soekarno yang lebih condong ke negara komunis, Soeharto justru lebih dekat dengan

Barat karena hanya pihak Barat yang bisa memenuhi ekonomi Indonesia pada saat itu

(Pudjiastuti, 2008: 118).

2.2.3 Kebijakan Luar Negeri Era Bacharuddin Jusuf Habibie

Era pemerintahan B J Habibie dimulai dengan tuntutan rakyat Indonesia akan adanya

reformasi pemerintahan dari sistem otokrasi ke sistem demokrasi. Semangat demokratisasi pun

digalakkan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap pemerintahannya. Namun, rakyat

Indonesia pada masa itu hanya melihat era pemerintahan Habibie sebagai era transisioal

pemerintahan Orde Baru dengan era reformasi yang dianggap masih membawa carut marut Orde

Baru. Di sisi lain, Habibie menghadapi sisa kebobrokan Orde Baru yang meninggalkan krisis

moneter di Indonesia. Fokus politik luar negeri Indonesia kemudian ditata untuk membangun

kembali ekonomi Indonesia dan memperbaiki stabilitas keamanan di Indonesia. Instrumen yang

digunakan Hbibie untuk dapat memenuhi kepentingan nasional Indonesia dalam masa transisi

antara lain pengelolaan investasi swasta, diplomasi terhadap bantuan asing, perdagangan bebas,

kekuatan militer dan sistem politik yang demokratis (Widhiasih, 2013).

Sementara itu, Indonesia juga harus menyelesaikan berbegai persoalan yang menjadi warisan

Orde Baru yang menyebabkan munculnya krisis legitimasi yang cukup parah. Untuk mengatasi

hal tersebut, Habibie mencoba melakukan berbagai aksi untuk mendapatkan dukungan

internasional (Mashad, 2008:185). Diwarnai dengan isu penegakkan Hak Asasi Manusia,

Habibie merealisasikan kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat dalam perundang-

undangan. Cara yang ditempuh oleh Habibie adalah mendorong ratifikasi empat konvensi

internasional dalam masalah hak pekerja dan pembentukan Komisi Nasional (Komnas)

Perempuan. Pada dasarnya, tindakan Habibie telah menuai keberhasilan mengingat adanya

ketertarikan internasional yang diperlihatkan dengan terjalinnya hubungan Habibie dengan IMF

dab Bank Dunia yang bersedia mencairkan bantuannya untuk mengatasi krisis ekonomi. Namun,

20

tak semulus aksinya mendapat dukungan internasional, tindakan Habibie dalam menghadapi

persoalan Timor Timur ternyata mengantarkan Indonesia pada mimpi buruk. Pasalnya, sebagai

reslolusi konflik, Habibie menawarkan dua opsi kepada masayarakat Timor Timur untuk

mendapat otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri, yang pada akhirnya berujung pada

lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1998 seiring dengan

hasil jejak pendapat yang lebih tinggi untuk menentukan nasib sendiri. Mashad (2008:187)

menyebutkan bahwa akibat kebijakan tersebut, Habibie harus rela kehilangan legitimasi di mata

domestik maupun internasional. Hal ini dikarenakan tindakan Habibie telah berkebalikan dengan

upaya Indonesia yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan Timor Timur sebagai bagian

dari wilayah Indonesia pada era Soeharto yang menunjukkan inkonsistensi Indonesia terhadap

kasus Timor Timur. Walaupun kebijaksanaan Habibie untuk memberikan opsi kepada

masyarakat Timor Timur telah berbuah dukungan internasional, implikasi aksi TNI pasca

referendum sebagai bentuk aksi pro-integrasi yang berdampak pada terjadinya pelanggaran Hak

Asasi Manusia di Timor Timur dan lepasnya Timor Timur ternyata telah membawa Habibie ke

akhir masa pemerintahannya.

2.2.4 Kebijakan Luar Negeri Era Abdurrahman Wahid

Abdurrahmad Wahid (1999-2000)

Dinamika domestik yang dihadapi Presiden Abdurrahman Wahid, atau acap kali disapa Gus

Dur, juga merupakan kelanjutan dari era Habibie. Realitas implikasi Timor Timur mengantarkan

tugas pertama Gus Dur untuk mereformasi TNI yang telah dianggap mencoreng HAM

sebelumnya. Langkah yang diambil Gus Dur pada saat itu adalah keputusan pemberhentian

Wiranto (Mashad, 2008:188). Di sisi lain, fokus demokratisasi Indonesia dan pemulihan

ekonomi masih diutamakan. Reposisi angkatan militer untuk kembali kepada tugasnya sendiri

menjadi kunci penting untuk merealisasikan demokrasi di Indonesia. Dalam tatanan

internasional, penggalangan dukungan internasional untuk mengembalikan kredibilitas Indonesia

juga terus dilakukan oleh Gus Dur. Hal itu ditunjukkan dengan intensitas kunjungan luar negeri

Gus Dur yang tinggi selama dua puluh bulan ia menjabat, yang juga dianggap sebagai aksi

pemborosan, walaupun langkah tersebut dilakukan untuk membuka pintu investasi asing di

Indonesia (Widhiasih, 2013). Diplomasi yang demikian disebut sebagai ‘diplomasi persatuan’

yang juga ditujukan untuk mendapatkan dukungan internasional terhadap permasalahan

21

disintegrasi bangsa yang dihadapi Indonesia yang menjadi isu yang diprioritaskan, hal itu

berdasarkan gerakan separatisme yang muncul di Aceh, Papua, dan lain-lain yang membuahkan

hasil dukungan dari Australia dan Selandia Baru. Namun, kunjungan luar negeri Gus Dur ke

setidaknya 80 negara tidak diikuti dengan kebijakan yang komprehensif untuk memajukan

Indonesia. Di sisi lain, Gus Dur kurang memperlihatkan sensitivitas domestik, hal ini

diperlihatkannya dengan mengambil kebijakan yang dinilai kontroversial seperti idenya untuk

membuka hubungan kerjasama perdagangan dengan Israel yang kemudian dibatalkan karena

menuai kecaman dalam negeri.

Pada dasarnya, tujuan politik luar negeri Indonesia pada era Gus Dur masih terfokus pada

usaha stabilitas ekonomi dan keamanan melalui diplomasi yang direalisasikan melalui investasi

swasta, diplomasi bantuan luar negeri, perdagangan bebas, otonomi regional, dan sistem politik

demokratis (Widhiasih, 2013). Keberhasilan Gus Dur di era pemerintahannya yang singkat

ditunjukkan dengan meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata internasional yang

diperlihatkan dengan mengalirnya bantuan internasional untuk membantu perekonomian dalam

negeri. Tak hanya itu, keberhasilan pengelolaan masalah ancaman integrasi bangsa juga menjadi

salah satu prestasi Gus Dur. Namun, keputusan Gus Dur yang dianggap menyimpang dan

sosoknya yang konfrontatif serta emosional, membuatnya harus menyerah pada

keputusan impeachment (Mashad, 2008:189)

2.2.5 Kebijakan Luar Negeri Era Megawati Soekarnoputri

Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Megawati mengawali karirnya sebagai Presiden Indonesia sebagai pengganti Gus Dur yang

telah diturunkan sebelumnya. Masalah domestik yang dihadapi pun masih berupa ancaman

disintegrasi bangsa yang ditunjukkan dengan adanya eksistensi Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

dan berbagai gerakan separatis di daerah lain (Mashad, 2008:190). Megawati juga menghadapi

permasalahan internasional berupa minimnya kredibilitas internasional terhadap Indonesia yang

diakali dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara di dunia. Berbeda dengan pemerintahan

sebelumnya yang lebih terlihat pro-Barat, Megawati mencoba mereduksi hubungan internasional

dengan Barat dengan memutus hubungan dengan IMF dan melakukan perdagangan dengan

Rusia dengan adanya pembelian pesawat Sukhoi (Widhiasih, 2013). Dari hal tersebut, terlihat

22

bahwa kepentingan nasional Indonesia masih berupa realisasi stabilitas ekonomi, politik,

pertahanan, dan keamanan yang kesemuanya diwujudkan dengan adanya investasi sektor swasta,

perdagangan bebas, dan kekuatan otonomi regional yang lebih diutamakan. Streategi Megawati

antara lain juga memberikan peran utama polugri pada MenLu, Hasan Wirayuda.

Ujian berat yang harus dihadapi oleh politik luar negeri Indonesia adalah ancaman terorisme

yang diperlihatkan dengan adanya serangkaian serangan bom yang dilancarkan di sejumlah

tempat di Indonesia, seperti di Jakarta dan Bali. Isu ancaman terorisme ini merupakan isu berat

yang turut mempengaruhi politik luar negeri Indonesia yang saat itu mengalami dilemma akibat

adanya dorongan dari Amerika Serikat yang baru mengalami teror WTC 9/11, untuk memerangi

terorisme dan menekan Islam (Mashad, 2008:191). Serangan terorisme ini pada dasarnya

mempengaruhi politik luar negeri Indonesia, yang memaksa Indonesia mendeklarasikan diri

sebagai negara Islam yang moderat untuk menggalang kepercayaan internasional. Berbagai

peristiwa teror bom, khususnya Bom Bali, juga membuat Indonesia memutuskan pembentukan

UU Anti Terorisme pada tahun 2003. Sementara itu, dalam kancah internasional, Indonesia

masuk sebagai anggotaRegional Counter Terrorism Center yang didukung oleh Amerika Serikat

dengan melancarkan bantuan ekonomi pada Indonesia. Di sisi lain, sifat konservatif Megawati

ditengah kondisi domestik yang rapuh dan konstelasi internasional yang berubah-ubah,

Megawati kehilangan Sipadan Ligitan dari Indonesia.

2.2.6 Kebijakan Luar Negeri Era Susilo Bambang Yudhoyono

Satu decade sudah masa pemerintahan SBY, pergulatan politik Indonesia di kancah dunia

internasional mulai menunjukan hasil yang baik, terutama terlihat dari semakin membaiknya

hasil yang diperoleh dari diplomasi ekonomi dan diplomasi budaya. Tak berlebihan jika pada

masa pemerintahannya dan pergulatan politik dunia yang dijalankannya SBY mendapat banyak

pujian dari rakyatnya.

Pada masa pemerintahannya selama 2 periode politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif

ini lebih menekankan pada makna “thousand friends, zero enemy” yang menitikberatkan pada

pentingnya kerjasama-kerjasama dengan negara lain baik dalam bentuk bilateral maupun

multilateral. Keaktifannya di forum internasional menjadi prestasi yang baik yang berhasil

23

dicapai oleh bangsa Indonesia terbukti dengan suksesnya beberapa penyelenggaraan dan

keaktifan di berbagai forum-forum internasional seperti:

1. Cho-Chair dalam High Level Panel of Eminent Person of Post-2015 Development Agenda.

2. Ketua ASEAN ditahun 2011.

3. Ketua APEC di tahun 2013.

4. Tuan Rumah KTM WTO 2013

5. Dan secara regular menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum sejak 2008.

Tentunya ini menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Indonesia atas usaha meningkatkan

eksistensinya di percaturan politik dunia. Sebagaimana yang dapat kita amati dari perjalanan

politik pemerintahan di era presiden SBY bahwa upaya-upaya politik santun yang dimainkan

oleh presiden SBY ini adalah untuk meningkatkan kepercayaan negara-negara lain untuk

menjalin hubunan yang erat dan persahabatan yang kokoh dan menguntungkan untuk kedua

belah pihak dengan mengacu pada makna “thousand friends, zero enemy” tadi.

Selain itu pada masa pemerintahannya presiden SBY juga menekankan pada prinsip persatuan

yang kuat dan kerja sama ekonomi dengan berbagai negara lain. Seperti kerjasama ekonomi yang

dijalin dengan negara Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, Jerman dan Rusia. Serta yang

terakhir adalah kerjasama IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle) yang ke-20

yang resmi dijalin sejak September lalu.

Letak geopolitik yang strategis diantara 2 benua (Asia dan Australia) dan 2 Samudera

(Pasifik dan Hindia) juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik luar negeri Indonesia.

Terlihat dari peningkatan kerjasama ekonomi dan dalam keaktifan Indonesia sebagai anggota

organisasi-organisasi Internasional yang berbasis pada kerjasama ekonomi. Dan penguatan

kerjasama ekonomi regional di ASEAN itu sendiri, terlebih ASEAN sebagai prioritas utama

politik luar negeri Indonesia.

Ideosinkretik presiden SBY juga ikut mempengaruhi perjalanan politik luar negeri Indonesia

yang bebas aktif tersebut. SBY sebagai presiden yang mengedepankan nilai-nilai kharisma

membangun politik luar negerinya yang konstruktifis dengan cara-caraSoft Diplomacy.  Hal ini

baik untuk dilakukan mengingat bahwa Indonesia lebih diarahkan pada cara-cara atau prinsip-

prinsip pembangunan ekonomi dan persahabatan dengan negara-negara lain seperti konsep

idealisme yang diusung oleh presiden SBY dalam pelaksanaan politik luar negerinya

24

yaitu “thousand friends zero enemy” dibandingkan dengan penggunaan cara-cara Hard

Diplomacy.

Selang berjalannya politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY, pelaksanaan

bebas aktif yang menjadi acuan dasar perpolitikan luar negeri Indonesia berjalan cukup baik.

Terbukti pelaksaan idealisme bebas aktif yang dilakukan oleh presiden SBY saat itu adalah

dengan melakukan kegiatan-kegiatan dan menguatkan jalinan kerjasama dengan banyak negara

baik di kancah regional maupun skala internasional yang konstruktivis dan tidak berpandang

bulu terhadap satu blok atau satu kekuatan negara hegemon. Sementara kemampuan Indonesia

dalam keikutsertaannya dalam berbagai forum internasional dan ikut memerangi terorisme dunia,

penjajahan dan lain sebagainya merupakan sebuah bentuk keaktifannya sebagai negara yang

berdaulat, dengan memegang teguh makna prinsip bebas dan aktif.

Pelaksanaan politik bebas aktif pada masa pemerintahan presiden SBY yang baik itu pun

masih perlu dilakukan evaluasi terhadap pembenahan beberapa aspek dan seharusnya ada upaya

untuk memahami pendalaman makna akan arti bebas pada prinsip bebas dan aktif. Makna bebas

dalam prinsip bebas dan aktif belum sepenuhnya berjalan dengan baik dan makna bebas ini

bukanlah hanya pengertian bebas dalam arti bebas berteman dengan siapa saja melainkan

memiliki kebebasan untuk menentukan hidup sendiri dengan segala ketegasan-ketegasan yang

turut pula harus dimilki oleh bangsa ini. Karena seperti yang kita bisa lihat dalam perkembangan

perpolitikan luar negeri pada masa ini, presiden SBY hanya sebagai “pemanut” dalam agenda-

agenda internasional, dan terlalu sibuk dengan politik pencitraannya yang kharismatik.

Lalu negara Indonesia pada masa pemerintahan presiden SBY yang mengutamakan nilai-

nilai kesantunan dalam berteman seringkali dilecehkan oleh bangsa lain. Seperti kasus  yang

pada November 2013 lalu ketika Australia melakukan penyadapan kepada pejabat-pejabat

penting di negara ini. Dan kasus klaim pulau dan budaya yang dilakukan oleh Malaysia terhadap

Indonesia pada beberapa tahun yang lalu. Pada saat itu bangsa ini memerlukan sebuah ketegasan

lebih sebagai respons tindak lanjut atas kasus yang merugikan bangsa ini. Dan presiden SBY

yang saat itu menjabat sebagai presiden yang mengedepankan konsep idealisme “thousand

friends, zero enemy” tidak melakukan sebuah langkah tegas dan cenderung lama dalam

menentukan tindakan dan pengambilan keputusan tindakan.sebagai respons kepada Malaysia.

25

2.2.7 Kebijakan Luar Negeri Era Joko Widodo

Menteri Luar Negeri (menlu), Retno Marsudi, kembali menegaskan kebijakan luar negeri

Indonesia, khususnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Pandangan kepentingan nasional dari Presiden Jokowi sudah jelas, sehingga kita dengan mudah

merumuskan kebijakan luar negeri kita,” ujar Menlu Retno dalam menghadiri acara konferensi

FPCI di Jakarta, Sabtu (13/6/2015).

Menlu Retno menambahkan, pemerintah akan melindungi seluruh wilayah Indonesia dan

menjaga kepentingan WNI di luar negeri adalah prioritas Kementerian Luar Negeri Indonesia

saat ini.

Menlu perempuan pertama Indonesia ini juga mengatakan, selama masa pemerintahan Jokowi

Indonesia telah membantu banyak negara di dunia ini dengan alasan keamanan bukan hanya

politik semata.

“Kita telah membantu Vanuatu dari bencana Topan. Selain itu, kita juga telah membantu Nepal

setelah dihantam bencana Gempa dahsyat, “ tegas Menlu Retno.

Fokus perhatian dunia saat ini adalah masalah imigran Rohingya dan Bangladesh yang terdampar

di Kepulauan Indonesia khususnya di wilayah Aceh dan Sumatera Utara, namun Menlu Retno

memberikan penjelasan terhadap kasus tersebut.

“Indonesia adalah pelopor negara yang menolong imigran Rohingya yang terombang-ambing di

lautan,” tambahnya.

Menlu Retno menjelaskan, Indonesia bukan negara yang menandatangani perjanjian

internasional tentang imigran. Namun, karena alasan kemanusiaan Indonesia menolong para

imigran gelap sehingga menjadi contoh negara-negara di kawasan.

26

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam

hubungannya dengan negara-negara lain. Dalam arti luas, politik luar negeri adalah pola

perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain.

Politik luar negeri berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan

jalan tertentu. Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik

Indonesia (1984-1988),politik luar negeri diartikan sebagai “suatu kebijaksanaan yang diambil

oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk

mencapai tujuan nasional”. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan

nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa”. Dari uraian di muka sesungguhnya dapat

diketahui bahwa tujuan politik luar negeri adalah untuk mewujudkan kepentingan nasional.

Tujuan tersebut memuat gambaran mengenai keadaan negara dimasa mendatang serta kondisi

masa depan yang diinginkan. Pelaksanaan politik luar negeri diawali oleh penetapan

kebijaksanaan dan keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang didasarkan pada faktor-

faktor nasional sebagai faktor internal serta faktor-faktor internasional sebagai faktor eksternal.

Dasar hukum pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tergambarkan secara jelas

di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea I dan alinea IV. Alinea I menyatakan

bahwa .… kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas

dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Selanjutnya pada alinea IV dinyatakan bahwa …. dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….. Dari dua kutipan di atas,

27

jelaslah bahwa politik luar negeri RI mempunyai landasan atau dasar hukum yang sangat kuat,

karena diatur di dalam Pembukaan UUD 1945.

Politik Luar Negeri di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 – 2009,

dalam visi dan misi beliau diantaranya dengan melakukan usaha memantapkan politik luar

negeri. Yaitu dengan cara meningkatkan kerjasama internasional dan meningkatkan kualitas

diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Prestasi Indonesia

sejak 1 Januari 2007 menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dimana Republik

Indonesia dipilih oleh 158 negara anggota PBB. Tugas Republik Indonesia di Dewan Keamanan

PBB adalah :

1). Ketua Komite Sanksi Rwanda

2). Ketua komite kerja untuk pasukan penjaga perdamaian

3). Ketua Komite penjatuhan sanksi untuk Sierra Leone

4). Wakil Ketua Komite penyelesaian konfik Sudan

5) Wakil Ketua Komite penyelesaian konflik Kongo

6). Wakil Kertua Komite penyelesaian konflik Guinea Bissau

28

LAMPIRAN

Daftar Menteri Luar Negeri Indonesia

Berikut adalah daftar orang yang pernah menduduki jabatan sebagai Menteri Luar Negeri di

Indonesia:

No Foto Nama Kabinet Dari Sampai Keterangan

1Achmad

SoebardjoPresidentil

2 September

1945

14

November

1945

Masjumi

2 Sutan Syahrir

Syahrir I

14

November

1945

12 Maret

1946PSI

Syahrir II12 Maret

1946

2 Oktober

1946PSI

Syahrir III2 Oktober

1946

26 Juni

1947PSI

29

8Ide Anak Agung

Gde Agung

Burhanuddin

Harahap

12 Agustus

1955

24 Maret

1956

9Roeslan

Abdulgani

Ali

Sastroamidjojo II

24 Maret

19569 April 1957 PNI

10 Soebandrio Karya 9 April 1957 10 Juli 1959

Kerja I 10 Juli 195918 Februari

1960

Kerja II18 Februari

1960

6 Maret

1962

Kerja III6 Maret

1962

13

November

1963

Kerja IV

13

November

1963

27 Agustus

1964

Dwikora I27 Agustus

1964

24 Februari

1966

Dwikora II 24 Februari

1966

18 Maret

1966

32

Adam Malik

18 Maret

1966

28 Maret

1966ad-interm

11

Dwikora III28 Maret

196625 Juli 1966

Ampera I 25 Juli 196617 Oktober

1967

Ampera II17 Oktober

19676 Juni 1968

Pembangunan I 6 Juni 196828 Maret

1973

Pembangunan II

28 Maret

1973

01 Oktober

1977

—Syarif Thayeb

(ad-interm)

01 Oktober

1977

29 Maret

1978

12Muchtar

Kusumaatmadja

Pembangunan III29 Maret

1978

19 Maret

1983

Pembangunan IV19 Maret

1983

11 Maret

1988

13 Ali AlatasPembangunan V

21 Maret

1988

11 Maret

1993

Pembangunan VI17 Maret

1993

11 Maret

1998

Pembangunan

VII

16 Maret

1998

21 Mei 1998

33

Reformasi

Pembangunan23 Mei 1998

20 Oktober

1999

14 Alwi ShihabPersatuan

Nasional

26 Oktober

1999

9 Agustus

2001PKB

15 Hassan Wirajuda

Gotong Royong9 Agustus

2001

20 Oktober

2004

Indonesia

Bersatu

21 Oktober

2009

20 Oktober

2009

16 Marty NatalegawaIndonesia

Bersatu II

22 Oktober

2009

20 Oktober

2014

17 Retno Marsudi Kerja27 Oktober

2014

masih

menjabat

34

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Luar_Negeri_Republik_Indonesia

file:///E:/SEMESTER%20V/HUBUNGANINTERNASIONAL/

Daftar_Menteri_Luar_Negeri_Indonesia.htm. Diakses tanggal 5 November 2015. Jam 21:28

file:///E:/SEMESTER%20V/HUBUNGANINTERNASIONAL/makalah-politik-luar-negeri-

indonesia_31.html. Diakses tanggal 5 November 2015. Jam 21:47

Mashad, Dhurorudin, 2008. ”Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi”, dalam Ganewati

Wuryandari (ed.), 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik.

Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, hlm. 174-238.

Widhiasih, Anggraeni. [online]. 2013. ”Politik Luar Negeri RI Era Reformasi”, tersedia

di http://sejarah.kompasiana.com diakses pada 10 Oktober 2015

http://www.tempo.co/read/news/2014/10/13/078613808/Empat-Rapor-Merah-Kebijakan-Luar-

Negeri-SBY/1/0

http://www.jakarta.diplo.de/Vertretung/jakarta/id/06_20Wirtschaft/0-Wirtschaft.html

http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-dan-rusia-sepakat-tingkatkan-kerjasama-

ekonomi/1858852.html

http://www.ekon.go.id/berita/view/imt-gt-harus-lebih-baik-less.967.html#.VFhhjj-Szi8

http://www.academia.edu/3725620/Politiki_Luar_Negeri_Indonesia_terhadap_ASEAN

http://www.demokrat.or.id/2014/10/presiden-sby-bawa-indonesia-diakui-dunia/

Artikel kompas “Potret Politik Luar Negeri Kita. Sebuah tulisan dari Muhammad Takdir (kredit

penuh atas lembaran artikel untuk Pak Suhanto)

35

36