makalah kemuhammadiyahan lengkap
TRANSCRIPT
MEMAHAMI LATAR BELAKANG BERDIRINYA MUHAMMADIYAH
A. LATAR BELAKANG
Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di kepulauan
Nusantara, Islam telah berkembang luas di wilayah ini dan bahkan bisa dikatakan sudah
menjadi agama mayoritas masyarakat Nusantara. Sejak abad ke-13 di Pulau Sumatera telah
berdiri kerajaan Islam yaitu kerajaan Samudra Pasai, disusul kerajaan Aceh Darussalam,
sehingga pada awal abad ke-15 Islam telah mampu menguasai wilayah Malaka (pusat
perdagangan Asia Tenggara).
Pada bulan April tahun 1595, empat armada kapal Belanda di bawah komando
Corniles De Houtman berlayar menuju kepulauan Melayu,[1] dan tiba di Jawa Barat
(pelabuhan Banten) pada bulan Juni 1596. Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia
ialah untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang
kemudian akan dijual di negara mereka. Keberhasilan orang Belanda di bawah perintah De
Houtman membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya di
Indonesia, maka pada tahun 1598 angkatan kedua di bawah pimpinan Van Nede Van
Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia.
Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan maritim dari
kesultanan-kesultanan Indonesia yang diakibatkan banyaknya peperangan yang dilakukan
oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia dari perluasan
wilayah imperialis Portugis, menjadikan Belanda lebih mudah menguasai perdagangan di
Indonesia, sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang ke Indonesia di
bawah pimpinan van der Hagen dan pada tahun 1600 di bawah pimpinan van Neck.
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis,
kemudian dikenal dengan KHA Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton
Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam
pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat
mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian
keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
1
2
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya
mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar
kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk
mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini
Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga
memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “Sidratul
Muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam
hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922
dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat
tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian
memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian
berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah
menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
B. PEMBAHASAN
1. Kepribadian, Intelektualitas dan Religiositas KH. Ahmad Dahlan
a. Kepribadian
K.H.Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pembaharu dan pendiri
persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 M/1330 H di Kauman Yogyakarta.
Gerakannya adalah memperbaiki arah kiblat masjid, Melakukan dakwah amar
ma’ruf nahi munkar, memberantas bid’ah, takhayul dan khurafat. Mendirikan
pesantren sebagai tempat mendidik para santri. Cita-cita yang digagas K.H.Ahmad
Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai ulama
intelek atau intelek ulama, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan
ilmu yang luas, kuat jasmani dan ruhani melalui dua tindakan sekaligus, yaitu
memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan
sekolah-sekolah sendiri dimana agama dan pengetahuan umum bersama-sama
diajarkan.
3
Sekolah-sekolah dan madrasah yang didirikan oleh K.H.Ahmad Dahlan dan
persyarikatan Muhammadiyah sampai saat ini telah berjumlah 5701 buah mulai dari
tingkat sekolah dasar/madrasah Ibtidiyah sampai perguruan tinggi. Dilihat dari segi
kepribadiannya, K.H.Ahmad Dahlan termasuk seorang ulama dan da’i yang
memiliki komitmen pada cita-cita kemajuan bangsa (khususnya umat Islam) dan
Negara Republik Indonesia, dengan berdasarkan pada upaya mewujudkan cita-cita
ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. (Nugraha,2009)
K.H.Ahmad Dahlan adalah pribadi yang bertanggung jawab pada keluarga.
Dia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dalam bisnis
batik. Sebagai orang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Ahmad Dahlan juga dengan mudah diterima dan
dihormati di tengah-tengah masyarakat. Hasilnya, dia cepat mendapatkan tempat di
organisasi Jam’iyatul Khair, Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan Comite Pembela
Kanjeng Nabi Muhammad saw.(Suja,1989)
Menurut Suja ,1989 Kyai Ahmad Dahlan merupakan tokoh yang sangat
legendaris karena dia adalah pendiri organisasi Muhammadiyah dan salah satu
tokoh yang mmapu melahirkan generasi produktif dan berdaya kreatif. Kyai Ahmad
Dahlan merupakan aset budaya bangsa, karena kemampuannya mencerdaskan anak
bangsa dan dia juga salah satu ulama yang mampu mengelola sebuah perkumpulan.
berikut ini sisi lain dari kepribadian Kyai Ahmad Dahlan;
1. Kemampuan menyampaikan pesan dari inti surat al-Maun mengelolah
masyarakat agar peduli dengan kemiskinan, kesengsaraan, kesejahteraan dan
kesehatan.
2. Muslim toleran tapi tegas dan santun tapi cerdas
3. Orang sabar dan ikhlas, ini terbukti ketika mushallahnya dirobohkan
4. Kyai Dahlan sangat menghargai perbedaan pendapat
5. Istiqomah melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruh Islam di tanah air
tanpa memaksa orang yang berbeda pendapat untuk mengikutinya.
b. Intelektualitas dan Religiositas
4
Secara formal K.H. Ahmad Dahlan bisa dikatakan tidak pernah memperoleh
pendidikan. Pengetahuannya sebagaimana diperoleh dari otodidaknya. Sementara
kemampuan dasar baca tulis ia peroleh dari ayahnya sendiri, sahabat dan saudara
iparnya. Namun demikian, menjelang dewasa, K.H. Ahmad Dahlan belajar ilmu
Fiqih kepada Kyai Haji Mahmud Saleh, dan ilmu Nahu kepada Kyai Haki Muhsin.
Seorang gurunya yang lain adalah Kyai Haji Abdul Hamid. Pengetahuan Kyai
dalam ilmu Falaq, diperoleh dari gurunyayaitu Kyai Haji Raden Dahlan salah
seorang ptra Kyai Termas. Selanjutnya ilmu Hadist dipelajarinya dari Kyai Mahfud
dan Syech Khyyat. (Mulkhan, 1990)
Disamping pengetahuannya di atas, Kyai Dahlan belajar qiro'atul qur'an pada
Syech Amin dan Sayid Bakri Satock. Selanjutnya Kyai juga belajar ilmu
pengobatan dan racun binatang dari Syech Hasan. Sangatlah banyak orang cerdik
pandai pada masa itu yang dijadikan Kyai sebagai guru. Mereka itu antara lain
adalah R. Ng. Sosro Soegondo, R. Wedana Dwijosewojo dan Syech M Yamin
Jambek dari Bukittinggi.
Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan yang luas dan mencakup berbagai disiplin
ilmu, menjaadikan K.H. Ahmad Dahlan tumbuh sebagai orang yang arif dan tajam
pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan.
Rasa ingin tahu yang besar, mendorong Kyai memamfaatkan setiap
kesempatan untuk belajar. Demikian pula ketika ia naik haji ketika dewasa berusia
22 tahun yaitu pada tahun 1890, waktu yang ada digunakannya untuk belajar pada
Imam Syafi'I Sayyid Bakir Syantha selama sekitar 2 tahun. Demikian pula ketika
beliau sempat naik haji 13 tahun kemudian (1903) bersama putranya Siraj Dahlan
yang berusia 13 tahun. Kyai kemudian selama 1,5 tahun bermukim di Mekkah untuk
memperdalam ilmu Fiqih dan ilmu Hadist.
Disamping itu cintanya akan ilmu ditunjukkan oleh peristiwa yang terjadi
pada tahun 1892. Pada tahun tersebut seseorang memberi uang sebesar 500 gulden
dengan maksud untuk modal berniaga, namun demikian, uang yang mestinya untuk
modal kerja itu beliau belikan buku-buku dan kitab.
Sebagaimana pernah disebut, dalam ilmu Fiqih, beliau berguru kepada Kyai
Mahfud Termas, dan ilmu Hadist kepada Sayyid Baabussijjil dan Mufti Syafi'i,
5
selain Kyai belajar kepada guru-guru tersebut, Kyai juga mempelajari dan
memperdalam ilmu Falaq dan Qiro'ah pada gurunya Kyai asy'ari Baceyan dan
Syech Ali Mishri Makkah.
Pada saat Kyai mukim yang kedua di Mekkah pada tahun 1896 pada saat
menjabat khatib , beliau bertemu dan bertukar pikiran dengan ulama Indonesia yang
bermukim di Mekkah, seperti : Syech Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai
Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, Kyai Faqih Kumambang
dari Gresik.
Buku yang banyak dibaca disamping ketekunannya berguru telah
memperkaya pengetahuan Kyai dalam berrbagai hal. Buku yang Kyai baca antara
lain ilmu kalam dari buku Ahlus Sunnah Wal Jamma'ah yang mengandung
pemikiran filosofis, buku fiqihnya Imam syafi'I, kitab tasaufnya imam Al-Ghazali,
dan kitab-kitab yang ditulis oleh Syech Muhammad Abduh dan Ibnu Tamiyah.
Semboyan pendidikan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan “jadilah
guru sekaligus murid”ternyata mampu menggerakkan pengikut Muhammadiyah
sehingga gerakan ini berkembang cepat dan meluas ke seluruh lapisan
masyarakat.dengan menjadi guru, pengikut Muhammadiyah bertugas menyebarkan
gagasan perbaikan hidup berdasar islam kepada semua orang dan kelompok orang.
Sementara dengan menjadi murid, pengikut Muhammadiyah harus membuka diri
belajar kepada siapa dan dimanapun untuk menambah ilmu.
Dengan semboyan 'jadilah guru sekaligus murid' masyarakat digerakkan untuk
saling belajar dan terbuka terhadap dunia luar. Karena itu semua kegiatannya
disebut “amal-usaha” yang mengandung arti sebagai ikhtiar (usaha) sehingga semua
kegiatan rital islam berfungsi langsung bagi perbaikan hidup warga masyarakat
(Alfian, 1989; Mulkhan, 1990;2000)
Usaha dan Jasa-Jasa Besar K.H. Ahmad Dahlan Di antara jasa-jasa besar
KH. Ahmad Dahlan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut semestinya.
Umumnya Masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap
ke timur dan orang-orang shalat menghadap ke arah barat lurus. Pada hal kiblat
6
yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa miring ke utara kurang lebih
24 derajat dari sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falaq
itu, orang tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus
miring ke utara 24 derajat. Oleh sebab itu K.H. Ahmad Dahlan mengubah
bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju kearah kiblat yang betul.
Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan
keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan (Abuddin Nata,
2004: 106-107).
2. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di
pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai
golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak
muballigh Islam di Jawa Tengah, sebagaimana Syekh M. Jamil Jambek sebagai
bapak muballigh di Sumatera Tengah.
3. Memberantas bid’ah-bid’ah dan khurafat serta adat istiadat yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
4. Mendirikan perkumpulan/persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 M yang
tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang.
Pada permulaan berdirinya, Muhammadiyah mendapat halangan dan
rintangan yang sangat hebatnya, bahkan K.H.Ahmad Dahlan dikatakan telah
keluar dari mazhab, meninggalkan ahli sunnah wal jama’ah. Bermacam-macam
tuduhan dan fitnahan yang dilemparkan kepadanya, tetapi semuanya itu
diterimanya dengan sabar dan tawakal, sehingga Muhammadiyah menjadi satu
perkumpulan yang terbesar di Indonesia serta berjasa kepada rakyat dengan
mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi.
Pada umur 15 tahun, Kyai pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Muhammad Darwisy mulai berinteraksi dengan pemikiran-
pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid
Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia
berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
7
Pada tahun 1903, Kyai bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, Kyai sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga
guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, Kyai mendirikan
Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
K.H.Ahmad Dahlan menggerakkan pengikutnya bersama masyarakat sekitar
untuk membentuk kelompok-kelompok yang disebut gerakan jamaah dan dakwah
jamaah. Kegiatan utama dari jamaah ini ialah melakukan pendidikan bagi dirinya
sendiri sekaligus mencukupi kebutuhan sendri dengan menggerakkan pengelolaan
zakat, zakat fitrah, infak dan sodaqoh melalui apa yang disebut dengan pengajian.
Dimasa kiai haji ahmad dahlan kegiatan inilah yang disebut pendidikan desa dengan
guru keliling.dikemudian hari, kegiatan semacam ini dikenal dengan tabligh atau
pengajian, selanjutnya menjadi tradisi pemeluk islam terutama yang tergolong kaum
santri (Hefner,2008).
Selain hari jum'at dan pengajian rutin, dihari besar-besar islam, seperti
maulid atau kelahiran nabi, isra'-mi'raj, hijrah, puasa ramadhan, bulan haji,
diselenggarakan pengajian dengan peserta yang lebih besar dari kelompok jamaah.
Muhammadiyah menggerakkan seluruh pemeluk islam (pria-wanita) keluar ke
tempat-tempat terbuka di dua hari raya (Fitrah dan Haji) untuk menunaikan shalat
hari raya.tujuannya adalah untuk mengembirakan umat islam sebagai kesatuan
kolektif dalam menjalankan ibadah, selain menganjurkan tidak melakukan
pemborosan dalam berhari raya dengan membeli pakaian baru dan membuat jajanan
yang kurang perlu. Sebaliknya gerakan ini menggerakkan masyarakat untuk
membayar zakat fitrah bagi yang memiliki sisa makanan dan menyembeli korban
(jika perlu secara berjamaah). Zakat fitrah dan daging korban yang dikelola oleh
lembaga amil (panitia) kemudian dibagikan pada fakir-miskin. Seluruh pemeluk
islam tidak penting apakah pengikut Muhammadiyah atau bukan, kini terbiasa
membentuk panitia zakat fitrah dan korban kemudian membagi-bagikannya kepada
fakir-miskin (Mulkhan, 1990).
Beberapa bulan setelah menikah, Ahmad Dahlan berangkat ke Mekah untuk
berhaji karena desakan orang tuanya. Di Mekah Ahmad Dahlan menambah
pengetahuan yang lebih luas dan mendalam, karena Mekah adalah tempat lahirnya
8
agama Islam dan memiliki riwayat perjuangan agama sejak masa Nabi Ibrahim
hingga Nabi Muhammad saw. Ahmad Dahlan memperdalam Qira’at, Fiqih,
Tasawuf, Ilmu Mantik, Ilmu Falaq, Aqidah, dan Tafsir. Kemudian mulai
berinteraksi dengan pemikiran para pembaru Islam seperti Muhammad Abduh,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah (Dody
S.Truna dan Ismatu Ropi, 2002: 254).
2. Realitas Sosio Agama di Indonesia ketika itu
1. Realitas Keberadaan Umat Muslim di Indonesia
Islam adalah agama yang di turunkan Allah SWT untuk umat manusia yang
mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat islam memuat
ketetapan ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya baik berupa larangan maupun
suruhan meliputi seluruh aspek hidup manusia (Ali, 2000 : 41)
Realitas yang di maksud di sini adalah segala yang ada di sekitar kehidupan
manusia dan mempunyai pengaruh baik positif maupun negative (al-Qaradhawi,
1997 : 292 ). Pergeseran zaman yang cepat di barengi dengan bergesernya pula anak
zamannya, sehingga hal hal yang berlaku pada zaman terdahulu cendurung berubah
dan di tinggalkan dan di anggap sudah kadaluarsa. Dengan demikian hukum hukum
islam yang bersandarkan pada realitasa masalalu juga mengalami pergeseran
sehingga hal itu menuntut ada nya hukum baru yang bergerak seiring perjalanan
sejarah kehidupan.
Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai komponen pembangunan
bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini
berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini dapat
dilihat praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam melalui
lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis taklim. Forum pengajian,
surau, masjid dan pesantren-pesantren yang berkembang subur dan eksis hingga
sekarang. Bahkan setelah kemerdekaan penyelenggaraan pendidikan Islam semakin
memperoleh pengakuan dan payung yuridisnya dengan adanya berbagai produk
perundang-undangan tentang pendidikan nasional.
9
Di Indonesia hidup dan berkembang agama-agama besar dunia. Agama
Islam berkembang dengan merata di Nusantara sebagai panutan mayoritas rakyat
Indonesia. Agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, datang secara lebih
terorganisasi yang sekaligus memperkenalkan sistem organisasi modern kepada
masyarakat Indonesia. Agama Hindu yang pertama kali datang memperkenalkan
kehidupan berpemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas
lokal. Agama Budha meninggalkan berbagai warisan monumental antara lain candi
Borobudur dan lainnya. Kedatangan orang-orang Cina juga membawa agama Kong
Hu Cu, yang dianut oleh masyarakat Tionghoa maupun penduduk lokal. Tidak
sebatas agama-agama besar yang berasal dari luar saja, masih ada juga agama-
agama asli/suku yang berkembang seiring dengan perkembangan agama-agama
besar, walaupun tidak sehebat perkembangan agama-agama besar.
Semua hal yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa betapa pluralisme
merupakan tantangan bersama.
Oleh karena pluralisme merupakan sebuah fakta, dengan demikian tantangan
yang dihadapi oleh masyarakat harus dihadapi secara bersama pula. Dan untuk
menghadapi tantangan bersama itu, maka yang dibutuhkan adalah prinsip untuk
saling menghargai, bahkan prinsip untuk selalu membangun hubungan (dialog)
dengan orang lain. Dengan demikian, jika pluralisme adalah adanya hubungan
saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda, maka dalam pluralisme
mengharuskan adanya dialog antar berbagai komponen masyarakat, entah itu
agama, budaya dan sebagainya. Di dalamnya, keutuhan dan kebersamaan dijadikan
sebagai acuan dalam membangun sebuah hubungan yang saling bergantung itu.
Ketergantungan itu adalah prinsip hidup saling menghargai, tanpa harus melihat
latar belakang apapun; saling menghargai perbedaan dan bukannya saling
menyerang.
Tanggung Jawab Sosial Umat Islam
Bentuk tanggung jawab sosial ummat islam meliputi berbagai aspek
kehidupan di antaranya adalah:
1. Menjalin silaturahmi dengan tetangga.
2. Memberi bantuan kepada masyarakat bila ada yang memerlukan bantuan,
10
Sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, Amar ma’ruf dan nahi mungkar
artinya memerintahkan orang lain untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan
jahat. Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang bersistem diantaranya adalah:
Mendirikkan mesjid, Menyelenggarkan pengajian, dll
2. Realitas Umat Non Muslim Di Indonesia
Hubungan antar umat berbeda agama merupakan hal yang paling peka di
antara segala hubungan sosial antar kelompok manusia di dalam masyarakat.
Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat.
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.
1. Islam. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia,
dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas
Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera.
Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
2. Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama
Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian
menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan
Majapahit.
3. Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar
abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan
sejarah Hindu.
4. Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada
bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15
telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat
kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang
berdagang rempah-rempah.
5. Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa
kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang
mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut
11
paham Protestan di Indonesia.Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad
ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa
wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan
Sunda.
6. Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh
para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi,
orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain,
Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.
Melihat realita ganda agama-agama dalam masyarakat , yang menjadi
objek pengamatan dalam tulisan ini adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di
Jalan Baru.Dalam kehidupan masyarakat ini , ada beberapa agama yang dianut
yakni Kristen Katolik , Kristen Protestan , Islam , dan Hindu.Melihat kenyataan
kehidupan dalam berbagai agama yang dianut , masyarakat ini kurang menunjukkan
kekompakan dalam kehidupan kebersamaannya.
Masyarakat ini terkesan hidup secara individual. Kecuali ada beberapa
saja yang masih memperlihatkan kebersamaannya. Sebagai umat yang beragama ,
seharusnya kita dengan keragaman agama harus saling menunjukkan kekompakkan
dan keharmonisan dalam kehidupan ini karena kita semua adalah sama di mata
Tuhan.
3. Realitas Sosio Kultural dan Pendidikan Masyarakat
Sebelum Islam datang, terlebih dahulu di Indonesia sudah bercorak Agama
Hindu dan Budha yang cukup berpengaruh dalam mewarnai keruhanian penduduk
Indonesia. Kehidupan keagamaan yang tampak ketika itu ialah sinkretisme, yaitu
campuran antara kepercayaan tradisional yang telah menjelma menjdi adat kebiasaan
yang yang bersifat agamis dengan bentuk mistik yang dijiwai oleh Agama Hindu atau
Budha.
12
Kemudian Islam datang pada abad VII atau VIII Masehi, maka sinkretisme itu
bertambah dengan unsur Islam. Inilah faktor internal yang melatar belakangi berdirinya
Muhammadiyah.
Sebelum Muhammadiyah berdiri, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi
dua yaitu pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran agama dan
pendidikan Barat. Kondisi ini menjadi jurang pemisah antara golongan yang mendapat
pendidikan agama dengan golongan yang mendapatkan pendidikan sekuler.
Kesenjangan ini termanifestasi dalam bentuk berbusana, berbicara, hidup dan berpikir.
Ahmad Dahlan mengkaji secara mendalam dua sistem pendidikan yang sangat kontras
ini.
Dualisme sistem pendidikan diatas membuat prihatin Ahmad Dahlan, oleh
karena itu cita-cita pendidikan Ahmad Dahlan ialah melahirkan manusia yang
berpandangan luas dan memiliki pengetahuan umum, sekaligus yang bersedia untuk
kemajuan masyarakatnya. Cita-cita ini dilakukan dengan mendirikan lembaga
pendidikan dengan kurikulum yang menggabungkan antara Imtak dan Iptek.
Pendidikan pesantren mengajarkan studi islam tradisional seperti ilmu kalam,
ilmu fikih, tasawuf, bahasa arab, ilmu hadist, ilmu tafsir. Menurut Ahmad Dahlan ada
masalah yang mendasar yang berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat
islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Masalah itu berkaitan dengan proses
belajar mengajar, kurikulum dan materi pendidikan. Pada sistem belajar mengajar,
guru dianggap sebagai sumber kebenaran yang tidak boleh dikritisi. Dengan keadaan
seperti ini membuat sistem belajar mengajar tidak demokratis. Ahmad Dahlan
mempunyai pandangan bahwa tidak hanya ilmu – ilmu islam klasik saja yang harus
dipelajari, ilmu modern juga perlu dipelajari meskipun tidak wajib.
Disebut pendidikan Barat karena hanya mengajarkan ilmu – ilmu yang
diajarkan di dunia Barat. Metode pengajarannya sudah menggunakan metode yang
modern. Pendidikan Barat ini tidak mengajarkan ilmu – ilmu yang diajarkan di
pesantren. Pendidikan Belanda dikelola pemerintah kolonial di Jawa. Pemerintah
kolonial Belanda mendirikan pendidikan sekolah umum pertama di Batavia tahun 1617
namun khusus untuk anak – anak Belanda. Sedangkan untuk anak – anak orang Jawa
1849. Orang jawa yang ingin masuk ke sekolah tersebut diberi persyaratan antara lain :
13
1. Latar belakang keluarga calon murid
2. Status sosial orang tua murid dalam masyarakat
3. Keadaan lingkungan keluarga calon murid
4. Keadaan lingkungan keluarga calon murid
5. Uang sekolah dan penguasaan bahasa Belanda
Sekolah – sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda diselenggarakan sangat
sekuler dalam arti pelajaran agama atau semangat agama tidak diberikan. Sekolah –
sekolah ini melahirkan golongan baru yang disebut golongan intelek. Golongan ini
uumumnya berpandangan negatif terhadap islam, dan alam pikirannya tercabut dari
bangsanya sendiri.
Pada awal abad ke 20 M dikalangan muslim Indonesia terpelajar mulai muncul
kesadaran baru untuk mengatasi kondisi pendidikan islam di Indonesia yang
mengalami keterbelakangan akibat tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang mencetak tenaga kerja
terampil tetapi mengabaikan pendidikan moral peserta didik. Oleh karena itu, mereka
mengupayakan mendirikan lembaga pendidikan islam yang bercorak modern.
Salah satu lembaga pendidikan islam yang bercorak modern adalah lembaga
islam Muhammadiyah. Lembaga ini didirikan oleh Ahmad Dahlan dengan tujuan
mencerdaskan umat islam melalui pendidikan. Karena Ahmad Dahlan termasuk
anggota organisasi Budi Utomo maka sebelum mendirikan lembaga pendidikan islam
Muhammadiyah, beliau meminta restu kepada Budi Utomo. Setelah itu, beliau
membuka sekolah agama di rumahnya dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah
Islamiah.
Awal lembaga pendidikan islam ini berdiri hanya memiliki delapan orang
murid. Karena penyampaian materi dari Ahmad Dahlan yang menarik, setiap bulan
muridnya bertambah tiga orang. Melihat kemajuan pendidikan lembaga tersebut maka
Budi Utomo memberikan bantuan berupa pengajar dan mulai saat itu ridak hanya ilmu
agama tetapi ilmu pengetahuan pun diajarkan. Lembaga ini diresmikan pada tanggal 1
Desember 1991.
Melihat perkembangan lembaga pendidikan islam Muhammadiyah yang sangat
baik, banyak yang menyarankan agar Ahmad Dahlan mendirikan suatu organisasi yang
14
kelak akan menjadi penerus setelah Ahmad Dahlan tiada. Setelah direnungkan dan
mendapatkan orang-orang yang siap membantu, maka pada tanggal 18 Dzulhijah 1331
H atau 18 Desember 1912 M didirikanlah oraganisasi yang bernama Muhammadiyah
oleh Ahmad Dahlan.
Dalam usaha mendapatkan pengakuan kepala pemerintah sebagai badan
hukum, pada tanggal 20 Desember 1912, Muhammadiyah dibantu oleh Budi Utomo
mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar
Muhammadiyah diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Untuk itu
Gubernur Jenderal mengirimkan surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van
Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan
Hamengku Buwono VI.
Setelah melalui proses yang cukup lama, akhirnya pemerintah Hindia Belanda
mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum yang tertua dalam Gouvernement
Besluit tanggal 22 Agustus 1914, Nomor 81, beserta lampiran statutennya dan berlaku
mulai 22/23 Januari 1915.
4. Realitas Polotik dan Sosial Muslim Hindia Belanda
a. Kondisi Politik
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan puncak abad imperealisme
yang ditandai dengan masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang bernafsu membentuk
kekaisaran. Pada masa itu kekuasaan Prancis dan Inggris sudah mulai mengancam
wilayah Afrika dan Asia. Mereka menguasai daerah tersebut untuk dijadikan sebuah
wilayah kekuasaan Eropa. Belanda di Indonesia sudah memulai politik ekspansinya
jauh sebelum itu.
Memasuki abad ke-19, VOC dibubarkan dan Indonesia berada di bawah
pemerintahan Kerajaan Belanda. Meskipun gagal dalam perdangan, perusahaan dagang
Belanda ini berhasil dalam bidang politik. Semua Negara kesultanan, kecuali Aceh,
telah jatuh dalam pengaruh kolonial Belanda. Berbeda dengan pendahulunya, VOC
yang telah menguasai berbagai sumber dan pusat perdagangan telah mendorong
pemerintah Belanda untuk menguasai secara politis, menjajah wilayah yang telah
15
dikuasainya secara ekononomis untuk dijadikan sebagai bagian wilayah Belanda, Pax
Neerlandica.
Di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk
yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam. Belanda pada
waktu itu belum mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai Islam, sehingga mula-
mula tidak berani mencampuri masalah agama ini secara langsung. Belanda khawatir
akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatic, sementara di pihak lain
Belanda yakin bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua
persoalan. Pemerintah Belanda belum berani mencampuri masalah Islam dan juga
belum mempunyai kebijakan yang jelas mengenai masalah ini. Keengganan
mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda ayat
119 RR (Regeerig Reglemet / Peraturan Pemerintah) yang berisi mengenai kebebasan
dalam menganut agama dan perlindungan terhadap masyarakat.
Kebijakan untuk tidak mencampuri agama ini tampak tidak konsisten sebab
tidak ada peraturan yang jelas mengenai persoalaan ini. Dalam masalah haji,
pemerintah kolonial ikut campur tangan, para haji sering dicurigai dan dianggap fanatic
serta sering memberontak terhadap pemerintah Belanda.
Timbulnya aneka perlawanan terhadap pemerintah Belanda seperti Perang
Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903)
tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama Islam. Perlawanan ini dipelopori oleh para
ulama yang telah kembali dari Makkah atau setidaknya dari mereka yang telah
mendapat pengaruh dari para haji. Tahun 1859, Gubernur Jendral dibenarkan
mencampuri masalah agam Islam bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para
ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.
Para ulama merencanakan pemberontakan karena mereka memandang bahwa
penguasa Belanda sebagai kafir dan penguasa pribumi yang bekerja sama dengan
Belanda juga telah kafir. Oleh karena itu, beberapa pegawai pribumi yang ditangkap
tidak dibunuh setelah disuruh membaca dua kalimat syahadat sebagai pertanda telah
diislamkan kembali. Para ulama ini juga menggunakan symbol-simbol keagamaan
untuk mobilisasi kekuatan.
16
Meskipun demikian, elite agama pada abad ke-19 ini belum menggunakan
Islam sebagai suatu ideology politik untuk mencapai tujuan dan menata kekuasaan
politik. Mereka masih memandang pemerintah penjajah dengan pendekatan syariah
atau fiqih, sehingga mereka memandang pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang
kafir.
Situasi ini erat kaitannya dengan sikap curiga dan kekhawatiran pemerintah
Belanda yang berlebihan terhadap perhajian di Indonesia. Masalah Islam yang semakin
kuat dan mendominasi setiap aspek, merupakan konsekuensi bagi Belanda. Kondisi
inilah yang menyebabkan pemerintah Belanda mengirimkan konsulnya di Jeddah
untuk mengatur dan mengawasi warga jajahannya di tanah suci.
Sejak kedatangan Snouck Hurgonje pada tahun 1889, pemerintah Belanda
mempunyai beberapa kebijakan yang jelas mengenai Islam. Menurutnya, di dalam
Islam tidak mengenal lapisan kependetaan seperti dalam agama Kristen. Kyai tidak
apriori fanatic dan penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi. Ulama
indepeden bukanlah komplotan pemberontak, sebab mereka hanya menginginkan
ibadah saja. Pergi menunaikan ibadah haji bukanlah berarti fanatic dan berjiwa
pemberontak.
Snouck menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu
penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam.
Bagi Snouck, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam
sebagai doktrin politik.
Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan unsure animism dan
Hindu namun Snouck mengetahui bahwa muslim di negeri ini memandang bahwa
agamanya merupakan pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain. Dalam
hal ini Snouck membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai
“kekuatan sosial politik”. Ia membagi Islam dalam tiga kategori, yakni:
1. Bidang agama murni atau ibadah;
2. Bidang sosial kemasyarakatan;
3. Bidang politik.
Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya
memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya,
17
asalkan tidak mengganggu kekuasaan kolonial Belanda. Mengenai bidang ini
pemerintah tidak boleh menyinggung dogma atau ibadah murni. Dogma ini tidak
berbahaya bagi pemerintah kolonial, menurut Snouck di kalangan umat Islam akan
segera terjadi perubahan secara perlahan untuk meninggalkan ajaran agama Islam.
Setiap campur tangan dari pemerintah dalam bidang ini justru akan memperlambat
evolusi tersebut, lagi pula campur tangan pemerintah dalam hal ini sangat berlawanan
dengan asas kemerdekaan beragama.
Snouck melihat bahwa ketaatan sepenuhnya dalam melaksanakan rukun
Islam, mengerjakan shalat lima waktu dan melakukan ibadah puasa, merupakan beban
berat bagi orang Islam pada abad ini. Beban berat tersebut dinilainya akan
menyebabkan mereka semakin menjauhi ikatan yang dinilainya sempit dan kolot.
Dalam pemikiran Snouck, melarang sesuatu yang akan hilang dengan sendirinya itu
hanya akan berakibat membangkitkan minat dan perhatian orang terhadap sesuatu yang
dilarang tersebut. Hal ini berarti akan meningkatkan harganya, dan akan menghambat
proses evolusinya.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan
yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat agar mendekati pemerintah Belanda.
Pemerintah mempunyai tujuan untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan
negara penjajah melalui kebudayaan dan bidang pendidikan merupakan sorotan utama
dalam hal ini. Dengan adanya asosiasi ini maka Indonesia bisa memanfaatkan
kebudayaan Belanda tanpa harus menghilangkan kebudayaannya sendiri.
Dalam mengabulkan berbagai keingininan penduduk Indonesia memperoleh
pendidikan, menurut Snouck mampu menjamin kekalnya loyalitas mereka terhadap
pemerintah kolonial. Mendekatkan masyarakat dengan kebudayaan akan berdampak
menghilangkan cita-cita Pan Islam dari segala kekuatannya. Secara tidak langsung juga
akan bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah
berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan missi.
Mengenai perkawinan dan waris yang dalam pandangan Eropa termasuk
bidang hukum, ditegaskan oleh Snouck bahwa hal itu mempunyai hak yang sama
seperti halnya bidang agama. Pemeritah harus menghormati hukum Islam yang
mengatur perkawinan, keluarga, keturunan, dan status pribadi karena termasuk bagian
18
dari ajaran agama. Hukum Islam seperti itu sesuai dengan hak asasi sehingga diberikan
kebebasan kepada umat Islam untuk menaati agamanya.
Kodifikasi hukum Islam tidak diperlukan karena hanya akan menghalangi
perkembangan hukum yang pasti akan terjadi. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah
administrasi pengadilan agama agar ditata dengan baik sehingga meningkatkan
pelayanan dan mencegah korupsi oleh aparatnya.
Dalam bidang politik, pemerintah Belanda dengan tegas menolak setiap usaha
yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islamisme. Unsur politik dalam
Islam harus diwaspadai dan kalau perlu ditindak tegas. Akan tetapi, khalifah adalah
kepala negara, bukan kepala agama untuk seluruh umat Islam. Islam tidak mengenal
sistem kepausan ataupun konsili. Berbagai pengaruh asing yang menjurus ke politik
harus diwaspadai. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah menghindari
segala tindakan yang berkesan menentang kebebasan beragama.
Pemerintah kolonial selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat
membahayakan kekuasaannya. Dalam hal ini para haji menduduki posisi sangat
penting sebagai faktor pembawa pengaruh Pan Islam dari luar, sehingga mereka pun
sering dicurigai dan selalu diawasi oleh pemerintah.
b. Kondisi Sosial
Kondisi sosial masyarakat Indonesia pada masa kolonial Hindia Belanda
masih terbelakang, dikarenakan sistem kolonialisme yang diterapkan bagi bangsa
Indonesia terlalu ketat, dominasi dalam bidang politik, eksploitasi ekonomi,
diskriminasi sosial, westernisasi kebudayaan, dan kristenisasi penduduk maka bangsa
Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya mengalami kemerosotan
dalam segala aspek kehidupannya, material maupun spiritual.
Dalam lingkungan desa di mana kehidupan rakyat terutama masih pada
tingkat substansi serta ekonominya belum sepenuhnya terbuka, hubungan masyarakat
masih bersifat komunal, solidaritasnya terutama berdasarkan perasaan bersifat
emosional. Diferensiasi dan spesialisasi masih rendah, warga desa pada umumnya
adalah petani, maka dalam homogenitas seperti itu berkembanglah sistem tukar-
menukar tenaga dan jasa berdasarkan prinsip timbal balik, suatu sistemsumbangan
19
rewang, tolong menolong, punjungan, atau apa yang lazim secara umum disebut
gotong royong. Berdasarkan ikatan tersebut untuk melakukan banyak kegiatan tidak
memerlukan uang sebagai upah atas pekerjaan, tenaga dapat dikerahkan menurut
prinsip pertukaran. Dengan demikian tenaga sebagai modal belum lepas dari
keterikatan tradisi di desa.
Sejak zaman kuno telah ada hubungan antara desa dengan lingkungan di atas
desa, yaitu secara teritorial negara dan secara sosial para pengusaha termasuk golongan
bangsawan. Sudah menjadi gejala umum bahwa dalam masyarakat agraris penguasaan
dan pemilikan tanah merupakan dasar bagi struktur sosial dan struktur kekuasaannya.
Hubungan tuan tanah dan penggarap tanah menimbulkan saling ketergantungan dan
keterikatan.
Sistem feodal dengan sistem produksi prekapitalis menjamin bahwa
pertukaran antara tuan dan pengikut atau abdi akan menimbulkan aliran hasil bumi,
barang dan jasa kepada tuannya. Dalam struktur sosial feodalistis, raja, keluarga dan
para bangsawan lainnya para elite birokrasi serta pengusaha daerah kesemuanya
berkedudukan sebagai tuan, sedangkan rakyat golongan bawah sebagai abdi. Melalui
jalur feodal ini para bangsawan mempergunakan ikatan desa dan tradisional untuk
mengerahkan rakyat agar mereka memberikan jasa besar kepada tuannya. Tidak dapat
disangsikan lagi bahwa aliran jasa besar dan hasil bumi ke atas jauh lebih besar
daripada aliran jasa dari atas ke bawah. Dapat dibayangkan bahwa sistem ini memberi
beban yang sangat berat bagi rakyat kecil.
Belanda sangat aktif dalam pendirian sekolah-sekolah baru bagi bangsa
Indonesia. Pendidikan Belanda atas bangsa Indonesia bermula sejak awal abad ke-19
ketika kalangan aristokrat Indonesia belajar di rumah-rumah pemukim Belanda.
Sekolah Belanda pertama untuk melatih warga Indonesia untuk beberapa pekerjaan
pamong praja didirikan tahun 1848.
Pada tahun 1900 prestise, kekuasaan dan kepercayaan diri kaum elite
bangsawan Jawa mencapai titik yang rendah. Banyak generasi muda yang
meninggalkan jabatan dalam pemerintahan dan mencari karir di bidang hukum ataupun
kedokteran. Para bangsawan lainnya menciptakan gerakan-gerakan intelektual yang
nyata-nyata bersifat anti Islam dan yang berkaitan erat dengan teosofi.
20
Gerakan-gerakan semacam itu menghubung-hubungkan buruknya keadaan di
Jawa dengan penyebaran agama Islam dan berusaha mengembalikan kebudayaan Jawa
dengan cara menyatukan budaya asli dengan pemikiran Barat (Belanda). Pada saat itu
juga, kalangan-kalangan Islam juga mulai menyimpulkan tentang perlunya kembali
semangat dalam pemurnian Islam.
Pada masa ini sebagian besar bangsawan telah memeluk Islam, namun
meskipun telah memeluk Islam mereka tetap melangsungkan kebudayaan
aristokrasinya sendiri, yang bertentangan dengan kebudayaan para santri. Dalam
kenyataannya Islam di Indonesia berkembang menjadi dua cabang yang kurang lebih
berbeda satu sama lain. Yang pertama yaitu cabang resmi dan administratif, demikian
bisa dikatakan sebagai pembantu pemerintahan sekuler. Mereka berpusat di sekitar
pengadilan agama ataupun masjid. Kedua, yaitu mereka berpusat di sekitar ulama atau
kyai independen yang memperoleh kesuciannya bukan dari pemerintahan sekuler
namun karena pengetahuannya tentang agama Islam. Antara bangsawan dan ulama
sering terjadi permusuhan dan saling curiga, mereka juga bersaing untuk mendapatkan
kesetiaan dari mayoritas rakyat kecil. Di dalam persaingan ini, para ulama hampir
selalu menjadi pihak yang kalah.
5. Proses pendirian Muhammadiyah dan Tujuan Muhammadiyah dari awal berdiri
hingga sekarang
Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh
kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja,
misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi
masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan profesional.
Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat
itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.
Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi
yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat
pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan
identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan
pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.
21
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial,
maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang
identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi
penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal
ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara
tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi
masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling rendah,
sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti:
orang Cina, Jepang, Arab, dan India.
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap
sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling rendah
walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang
beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses
peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan
sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor
pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi
mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan suatu wilayah sebagai
pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan perdagangan telah menarik banyak orang
untuk datang ke tempat tersebut. Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun
sosial yang terjadi di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota
tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk
sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas
ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing maupun perluasan
pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara struktural
sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa
tempat penduduk pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor
dlan mendapat keuntungan yang besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil
terhadap perubahan pasar.
22
Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang
semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan produk
impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang
pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi
perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya
persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi,
melainkan juga telah berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik.
Walaupun dalam bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang
tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat
Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan
pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama
abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi
mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui
pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai
tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk
pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan
kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas.
Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh
kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok
Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat
itu sendiri.
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke
pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan
pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara
memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari
pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun
Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor penting untuk
mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam.
23
Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara
terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang
mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di dalam
masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-
ide baru itu pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi,
akan tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme
dalam sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di
Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan salah
satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa
sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo
sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas,
keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk
baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme
Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan
terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai
beralih terpusat di daerah perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan
dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk
melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara yang penduduknya beragama
Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan
dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa
abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi
krisis internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada
sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan
imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu
sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat
dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan
ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran
umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama
24
sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum
Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan
terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara
itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul
dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang
bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-
ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran
dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani
banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat
Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari
kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha
memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di
kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-
ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan
pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha,
misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan
dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang
dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al
Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga
gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi
besar dan kuat.
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia
pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun
aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di
Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi
telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul
kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
25
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa
karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam
masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi
seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad
XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam
dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat
disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan bahwa
pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah Islalamiyah dan
harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok masyarakat Muslim Indonesia
dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan
memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul
ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia.
Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti
pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap
ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX
juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam
banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-
tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang terpolarisasi
dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum
muda" atau antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "antipembaharuan".
Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain disebabkan oleh
dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan
terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis maupun peran langsung para
ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan
yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro,
Perang Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh
unsur Islam yang sangat kental.
26
Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman
langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan
dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai langkah untuk melawan penguasa.
Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje
pada akhir abad XIX pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik,
akan tetapi Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang
walaupun tetap berada dalam pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial
yang berlebihan terhadap Islam ini membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian
ajaran, pemikiran, maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat secara umum.
Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama
tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah
kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang
berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok
santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas
kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap
penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari
penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti
asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung
utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar dari
pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi
tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah
seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat pribumi
secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan lahir di
Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis.
Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta,
sementara ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di
Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat
dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama
Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
27
Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis
mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti layaknya
anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada pendidikan
informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran
di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan
agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah
lancar dan tamat membaca Quran. Menurut cerita, sejak kecil Muhammad Darwis
sudah menunjukkan beberapa kelebihan dalam penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan
sehari-hari dibandingkan teman-temannya yang sebaya.
Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan.
Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad Darwis juga sangat senang bermain
layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan usia yang semakin
bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar ilmu agama
Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar fiqh dari K.H.
Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di
atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam
lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam
maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi
ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai
Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan
Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah
belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Menurut beberapa
catatan, kemampuan intelektual Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia
menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan setelah
perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia seperti:
Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari
Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun
para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah
kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad
28
Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat
dilihat dari semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan.
Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-
kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu
Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca
kitah-kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad
Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia membeli buku
menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang dari menunaikan
ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk
berdagang. Sementara itu, keinginan untuk memperdalam ilmu agama Islam terus
muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia
menunaikan ibadah haji kedua pada tahun 1903, dan bermukim di Mekah selama
hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama
Islam baik dari para guru ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-
guru yang lain.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa'
id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu
falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan
belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini
Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai
masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para
Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad
Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari
Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan,
sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-
buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan
Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum,
Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan Ibn Taimiyah, Al
Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan
29
Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain
Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha Allah, dan Al-Qashaid al-
Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat
dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai
dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan remaja.
Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam hari, antara maghrib sampai
isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar
agama Islam kepada orang-orang tua. Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan
menggantikan ayahnya memberikan pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan
kyai, sebagai pengakuan terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam
memberikan pelajaran agama Islam.
Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan
agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam
dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga
sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung
menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar
Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada
orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar,
seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak
begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar karena
mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu.
Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah
ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham
di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan
mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan
musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai
kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan.
Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa
30
hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid
besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat
dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat
memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan
itu.
Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan
yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut
ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah
masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan,
Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau
tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada
malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun
kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil
dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan
membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan
Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin
berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin belajar
ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir.
Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga
dari daerah lain di Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui
pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama
berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan
mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-
kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang
berlangsung setiap malam Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat
dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan
alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung
di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad
Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta
31
maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan,
Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan
Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal,
maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama
Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara
langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk
Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan
sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya
interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti :
Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara
organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui
pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di
Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah
seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui
Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin
Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus
yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum
menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan
organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam
pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota
Budi Utomo pada tahun 1909.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi
anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang
komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu, pada
sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam
yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah
orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi
pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan
mengatur organisasi secara modern.
32
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam
Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia
juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan
dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu
saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah
yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model
Barat maupun pembentukan satu organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas
pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering
memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai
tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia
kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian
Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai
pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi
Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering
terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah
agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat
sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan
mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis,
setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin. Pelajaran agama Islam di sekolah
guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya
dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.
Dalam mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun
membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan
dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk
menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am
pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk
mereka yang belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di
Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut
tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.
33
Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo
dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh
perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang mulai menyadari
bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan penduduk
pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi mulai merintis pembentukan
sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum.
Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang
mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah
kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun
penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh,
bahkan ada yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena
dianggap bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-
satu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya,
Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang
menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu
pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di
ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri
sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan
memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku
tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak
kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu suren.
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta
anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan.
Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari
masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar
mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan
masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak
masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang
ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia
terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan
34
juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam
bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus
Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat
dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah : Mas Raji yang menjadi
siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi guru di Kweekschool Jetis
sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi
Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah
sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis.
Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada pemerintah
jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo.
Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar
yang berasal dari luar Kauman serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang
ke rumahnya pada setiap hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan
Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore hari
di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali
dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada
pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa
terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat
yang lebih luas di serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan diberi
nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu
mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62
orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja
terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih
lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad
Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang
sangat penting bagi munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola
35
sekolah tersebut, di samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan
kesadaran akan arti penting suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat
dari para pendukung, termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan
pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya diurus oleh
Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu organisasi supaya sekolah itu
dapat terus berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau
setelah ia meninggal. Ide pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih
lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan
pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo
serta guru dan murid Kweekschool Jetis.
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka
merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan
pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan
R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu.
Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan
juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus
organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan
didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana
pembentukan sebuah organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para
siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak
akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari
inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang yang
sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru
tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah
perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan
yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan
perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan
dengan pemerintah Hindia Belanda.
36
Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk
mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-
pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan organisasi itu
berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara
umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam
bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang dalam penyusunannya mendapat bantuan
dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang
berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu
diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan
Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan
berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani,
Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo
dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam proses permohonan
pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan
setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8
Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu
juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan membantu mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah
diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20
Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada
masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat
pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta
maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara
resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui
Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang diajukan
kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan organisasi yang
bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
37
bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya.
Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua,
Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad,
Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota
hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.
Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia
1. Perkembanngan secara Vertikal.
Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke
seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan
organisasi NU, Muhammadiyah sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah
NU lebih banyak dengan jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari
segi usaha Muhammadiyah dalam mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di
kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui tantangan dari masyarakat.
2. Perkembangan secara Horizontal.
Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak
berkembang, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Perkembangan
Muhamadiyah dalam bidang keagamaan terlihat dalam upaya-upayanya, seperti
terbentukanya Majlis Tarjih (1927), yaitu lembaga yang menghimpun ulama-ulama
dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan permusyawaratan dan
memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan, serta memberi tuntunan mengenai
hukum. Majlis ini banyak telah bayak memberi manfaat bagi jamaah dengan usaha-
usahanya yang telah dilakukan:
a. Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai dengan
contoh yang telah diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya dengan
jalan perhitungan “hisab” atau “astronomi” sesuai dengan jalan
perkembangan ilmu pengetahuan modern.
c. Mendirikan mushalla khusus wanita, dan juga meluruskan arah kiblat yang
ada pada amasjid-masjid dan mushalla-mushalla sesuai dengan arah yang
benar menurut perhitungan garis lintang.
38
d. Melaksanakan dan menyeponsori pengeluaran zakat pertanian, perikanan,
peternakan, dan hasil perkebunan, serta amengatur pengumpulan dan
pembagian zakat fitrah.
e. Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan keluarga
berencana.
f. Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia juga termasuk peran
dari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah.
g. Tersusunnya rumusan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita hidup
Muhammadiyah”, yaitu suatu rumusan pokok-pokok agama Islam secara
sederhana, tetapi menyeluruh.
Dalam bidang pendidikan, usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi:
a. Mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya ilmu-
ilmu keagamaan, dan
b. Mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-
ilmu pengetahuan umum.
Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan
ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama. Dalam bidang
kemasyarakatan, usaha-usaha yang telah dilakukan Muhammadiyah meliputi:
a. Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan,
membangun balai-balai pengobatan, rumah bersalin, apotek, dan sebagainya.
b. Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim, baik putra maupun putri untuk
menyantuni mereka.
c. Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku yang banyak
memublikasikan majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang sangat
membantu penyebarluasan paham-paham keagamaan, ilmu, dan kebudayaan
Islam.
d. Pengusahaan dana bantuan hari tua, yaitu dana yang diberikan pada saat
seseorang tidak lagi bisa abekerja karena usia telah tua atau cacat jasmani.
e. Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup sepanjang
tuntunan Ilahi.
Dalam bidang politik, usaha-usaha Muhammadiyah meliputi:
39
a. Menentang pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan pajak atas ibadah
kurban. Hal ini berhasil dibebaskan.
b. Pengadilan agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan penjajah yang
tentu saja beragama Kristen. Agar urusan agama di Indonesia, yang sebagian
besar penduduknya beragama Islam, juga dipegang oleh orang Islam,
Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita itu.
c. Ikut memelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1945 termasuk
menjadi pendukung utama berdirinya partai Islam Masyumi dengan gedung
Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya.
d. Ikut menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia di kalangan
umat Islam Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam tabligh-
tablighnya, dalam khotbah ataupun tulisan-tulisannya.
e. Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia, pernah seluruh bangsa Indonesia
diperintahkan untuk menyembah dewa matahari, tuhan bangsa Jepang.
Muhammadiyah pun diperintah untuk melakukan Sei-kerei, membungkuk
sebagai tanda hormat kepada Tenno Heika, tiap-tiap pagi sesaat matahari
sedang terbit. Muhammadiyah menolak perintah itu.
f. Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan
menyokong sepenuhnya tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar
Indonesia mempunyai parlemen di zaman penjajahan. Begitu juga pada
kegiatan-kegiatan Islam Internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika,
Muktamar Masjid se-Dunia, dan sebagainya, Muhammadiyah ikut aktif di
dalamnya.
g. Pada saat partai politik yang bisa amenyalurkan cita-cita perjuangan
Muhammadiyah tidak ada, Muhammadiyah tampil sebagai gerakan dakwah
Islam yang sekaligus mempunyai fungsi politik riil. Pada saat itu, tahun
1966/1967, Muhammadiyah dikenal sebagai ormaspol, yaitu organisasi
kemasyarakatan yang juga berfungsi sebagai partai politik.
Dengan semakin luasnya usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah,
dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang berkedudukan sebagai badan pembantu
pemimpin persyarikatan. Kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan
40
badan-badan. Selain majelis dan lembaga, terdapat organisasi otonom, yaitu organisasi
yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan amasih tetap memiliki kewenangan
untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam persyarikatan Muhammadiyah,
organisasi otonom (Ortom) ini ada beberapa buah, yaitu:
1. ‘Aisyiyah
2. Nasyiatul ‘Aisyiyah
3. Pemuda Muhammadiyah
4. Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)
5. Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM)
6. Tapak Suci Putra Muhamadiyah
7. Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan
Organisasi-organisasi otonom tersebut termasuk kelompok Angkatan Muda
Muhammadiyah (AMM). Keenam organisasi otonom ini berkewajiban mengemban fungsi
sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah.
Sebagaimana organisasi lainya, Muhammadiyah didirikan dengan membawa tujuan
misi tertentu. bila di cermati tujuan persyarikatan Muhammadiyah selalu nmengalami
perubahan. pada awal berdirinya th.1912 misalnya,rumusan tujuan Muhammadiyah
berbeda dengan rumusan tujuan Muhammadiyah pada th.1986
Stauten pertama kali adalah :
Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammadiyah saw kepada
penduduk bumi putera dalam residensi Yogyakarta
Memajukan hal agama kepada anggota-anggota nya
Kemudian pada tahun 1921 berubah menjadi :
Memajukan dan menggembirakan pengajaran pengajaran agama islam di Hindia
Nederland
Memajukan dan menggenbirakan cara kehidupan sepanjang kemauan agama islam
kepada lid-lid nya (segala sekutunya)
Pada tahun 1950 mengalami perubahan lagi yaitu :
” Memajukan dan menjunjung tinggi agama islam,sehingga terwujud masyarakat islam yang
sebenarnya”
41
Perubahan terakhir terjadi di sebabkan oleh lahirnya UU No.8 thy 1985 yang menyesuaikan
nilai pancasila. Rumusan tujuanya di cantumkan dalam pasal.2 ayat 1 pada Muktamar ke-41 di
Solo di bawah judul Nama, identitas dan kedudukan , berbunyi ; adalah gerakan islam dan
dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah islam dan bersumber al-Qur’an dan sunnah.
Sementara itu, Pasal3 tentang maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah merupakan definisi
operasional dari asas pancasila dan dipahami sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa yang berinti
Tauhid : Keimanan kepada Allah swt, Adapun maksud dan tujuan Muhammadiyah hasil
keputusan Muktamar ke-41 Solo adalah : “Menengakkan dan menjunjung tinggi agama islam
sehingga terwujud masyarakat utama,adil dan makmur yang di ridhai Allah Subhanahu Wata ala.
C. KESIMPULAN
1. K.H. Ahmad Dahlan adalah pribadi yang bertanggung jawab dan mampu melahirkan
generasi produktif dan berdaya kreatif.
2. Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan mencakup berbagai disiplin ilmu, menjadikan K.H.
Ahmad Dahlan sebagai orang yang berfikir jauh ke depan.
3. K.H. Ahmad Dahlan mempunyai semboyan pendidikan “Jadilah guru sekaligus murid”
4. Kehidupan yang tampak ketika itu adalah sinkreatisme yaitu campuran antara
kepercayaan tradisional yang telah menjelma menjadi adat kebiasaan yang bersifat
agamis dengan bentuk mistik yang dijiwai oleh agama Hindu atau Budha.
5. Sebelum Muhammadiyah berdiri, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua, yitu
pendidikan pesantren dan pendidikan barat.
42
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam Jilid IV. Jakarta : B ulan Bintang.
Hefner, R.W., Mulyadi Sukidi., Mulkhan, A.M (2008). Api Pembaharuan Kiai Ahmad
Dahlan. Yogyakarta : Multi Pressindo Yogyakarta
Hurgronje, Snouck. 1973. Islam di Hindia Belanda (terjemah oleh S. Gunawan). Jakarta:
Bahratara Karya Aksara.
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Mulkhan, A.M. 1990. K.H.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta : BUMI
AKSARA.
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin. 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Rajawali Press
Nugraha, Adi. 2009. Biografi Singkat K.H.Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Suja, H. 1989. Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: Majelis Pustaka.
Truna, Dody S, dan Ismatu Ropi. 2002. Pranata Islam di Indonesia Pergulatan Sosial,
Politik,