makalah kgd ami
DESCRIPTION
infark miokard akutTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia
sekaligus penyebab signifikan jumlah perawatan di rumah sakit dengan
menghabiskan biaya yang tinggi. Meningkatnya harapan hidup disertai semakin
tingginya angka keselamatan (survival) setelah serangan infark miokard akut
akibat kemajuan pengobatan dan penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin
banyak pasien yang hidup dengan disfungsi ventrikel kiri yang selanjutnya masuk
ke dalam gagal jantung kronis. Akibatnya angka perawatan di rumah sakit karena
gagal jantung dekompensasi juga ikut meningkat. Prevalensi gagal jantung di
Amerika dan Eropa sekitar 1 – 2%. Diperkirakan bahwa 5,3 juta warga Amerika
saat ini memiliki gagal jantung kronik dan setidaknya ada 550.000 kasus gagal
jantung baru didiagnosis setiap tahunnya. Pasien dengan gagal jantung akut kira-
kira mencapai 20% dari seluruh kasus gagal jantung. Prevalensi gagal jantung
meningkat seiring dengan usia, dan mempengaruhi 6-10% individu lebih dari 65
tahun.
Di Indonesia belum ada data epidemiologi untuk gagal jantung, namun
pada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil
Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan
ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit
di Indonesia.
Penyakit jantung koroner diketahui sebagai penyebab kematian nomor satu
di Indonesia. Peningkatan insiden penyakit jantung koroner berkaitan dengan
perubahan gaya hidup masyarakat yang turut berperan dalam meningkatkan faktor
risiko penyakit ini seperti kadar kolesterol lebih dari 200 mg%, HDL kurang dari
35mg%, perokok aktif dan hipertensi. Penyakit jantung koroner juga merupakan
penyebab tersering terjadinya gagal jantung di Negara Barat yaitu sekitar 70%
kasus. Mayoritas pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut memiliki
penyakit jantung koroner, yang secara independen memiliki prognosis buruk.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Infark miokard akut adalah nekrosis sebagian otot jantung akibat
berkurangnya suplai darah ke bagian otot tersebut karena oklusi atau
trombosis arteria koronaria atau dapat juga akibat keadaan syok/anemia akut
(Krisanty dkk 2009, h. 49).
Infark Miokard Akut adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran
darah ke otot jantung (Mansjoer A 2002).
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung
akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner
berkurang (Smetzler Suzanne C & Brenda G. Bare 2002, h.768).
Dari ketiga pengertian AMI di atas dapat disimpulkan bahwa infark
miokard akut adalah proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah
yang tidak adekuat karena oklusi atau trombosis arteria koronaria atau dapat
juga akibat keadaan syok/anemia akut.
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan morfologiknya
Secara morfologik, infark miokard akut dapat terjadi transmural
atau subendokardial. Yang membedakan kedua jenis infark miokard akut
ini adalah patogenesis dan perjalanan klinis keduanya. Berikut adalah
penjelasan dari masing-masing jenis infark miokard akut.
a. Infark Miokard Akut Subendokardial
Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang sangat
peka terhadap iskemia dan infark. Infark miokard akut subendokardial
terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam
waktu yang lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri
koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi,
perdarahan dan hipoksia.
Pada infark miokard akut subendokardial, nekrosis hanya
terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berupa
bercak-bercak. Derajat nekrosis dapat bertambah bila disertai
peningkatan kebutuhan oksigen miokard, misalnya akibat takikardia
atau hipertropi ventrikel.
b. Infark Miokard Akut Transmural
Pada 90 % kasus infark miokard akut transmural berkaitan
dengan trombosis koroner. Trombosis sering terjadi di daerah yang
mengalami penyempitan arteriosklerotik. Penyebab lain jarang
ditemukan. Infark miokard akut transmural mengenai seluruh dinding
otot jantung dan terjadi pada daerah distribusi suatu arteri koroner
dengan gambaran konfluens.
2. Berdasarkan letaknya pada dinding miokard ventrikel.
a. Infark Miokard Akut ventrikel inferior
Arteri koroner yang terlibat arteri koronaria dekstra dengan
perubahan resiprokal (hantaran EKG) II, III, aVF.
b. Infark Miokard Akut ventrikel lateral
Arteri yang terlibat arteri koronaria sirkumfleksa sinistra
dengan perubahan resiprokal (hantaran EKG) I, aVL.
c. Infark Miokard Akut ventrikel anterior
Arteri yang terlibat arteri desendens anterior sinistra dengan
perubahan resiprokal (hantaran EKG) V2 – V4 .
d. Infark Miokard Akut septal
Arteri koroner yang terlibat arteri desendens anterior sinistra
dengan perubahan resiprokal (hantaran EKG) V1 – V2.
e. Infark Miokard Akut apikal
Arteri koroner yang terlibat arteri desendens anterior sinistra
dengan perubahan resiprokal (hantaran EKG) V5 – V6.
f. Infark Miokard Akut posterior
Arteri koroner yang terlibat arteri sirkumfleksa sinistra dengan
perubahan resiprokal (hantaran EKG) V1 – V2.
3. Berdasarkan lokasinya.
Infark miokard luas yang melibatkan bagian besar dari ventrikel
dinyatakan sesuai dengan lokasinya yaitu :
a. Infark anteroseptal.
b. Infark anterolateral.
c. Infark inferolateral.
d. Infark biventrikuler / infark posterior ventrikel kanan.
C. Etiologi
Penyebab dari infark miokard akut terbagi atas faktor yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang masih bisa dimodifikasi, yaitu :
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.
a. Usia
Berhubungan dengan proses degenerasi/penurunan kemampuan
otot jantung serta meningkatnya kerentanan terhadap penyakit
aterosklerosis koroner.
b. Seks / jenis kelamin.
Banyak penelitian menunjukkan pasien dengan Infark Miokard
Akut biasanya pria, berumur diatas 40 tahun dan mengalami
aterosklerosis pada pembuluh darah koronernya. Sedangkan pada
wanita, efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan
adanya imunitas pada usia sebelum menopause.
c. Keturunan dan Sejarah keluarga.
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung
koroner (saudara atau orang tua) meningkatkan resiko terhadap
penyakit ini.
2. Faktor resiko yang masih dapat dimodifikasi, yaitu :
a. Peningkatan kadar lemak serum.
b. Hypertensi.
c. Merokok.
d. Gangguan toleransi glukose.
e. Diet banyak mengandung lemak jenuh, kolesterol dan kalori.
D. Patofisiologi
Dua jenis kelainan yang terjadi pada IMA adalah komplikasi
hemodinamik dan aritmia. Segera setelah terjadi IMA daerah miokard
setempat akan memperlihatkan penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat
penurunan ejection fraction, isi sekuncup (stroke volume) dan peningkatan
volume akhir distolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik
dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri
di atas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudasi cairan ke jaringan
interstisium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja
disebakan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik di sekitarnya.
Miokard yang masih relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya
dengan bantuan rangsangan adrenergeik, untuk mempertahankan curah
jantung, tetapi dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
Kompensasi ini jelas tidak akan memadai bila daerah yang bersangkutan juga
mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard
yang harus berkompensasi masih normal, pemburukan hemodinamik akan
minimal. Sebaliknya bila infark luas dan miokard yang harus berkompensasi
sudah buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik ventrikel
kiri akan naik dan gagal jantung terjadi. Sebagai akibat IMA sering terjadi
perubahan bentuk serta ukuran ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik
yang terkena infark maupun yang non infark. Perubahan tersebut
menyebabkan remodeling ventrikel yang nantinya akan mempengaruhi fungsi
ventrikel dan timbulnya aritmia.
Perubahan-perubahan hemodinamik IMA ini tidak statis. Bila IMA
makin tenang fungsi jantung akan membaik walaupun tidak diobati. Hal ini
disebabkan karena daerah-daerah yang tadinya iskemik mengalami perbaikan.
Daerah-daerah diskinetik akibat IMA akan menjadi akinetik, karena terbentuk
jaringan parut yang kaku. Miokard sehat dapat pula mengalami hipertropi.
Sebaliknya perburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia
berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya penyulit mekanis seperti ruptur
septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel akan
memperburuk faal hemodinamik jantung.
Aritmia merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada
menit-menit atau jam-jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh
perubahan-perubahan masa refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaaan
terhadap rangsangan. Sistem saraf otonom juga berperan besar terhadap
terjadinya aritmia. Pasien IMA inferior umumnya mengalami peningkatan
tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat,
sedangkan peningkatan tonus simpatis pada IMA inferior akan mempertinggi
kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark.
E. Manifestasi Klinis
a. Nyeri dada yang menetap > 30 menit. Nyeri bisa berupa seperti diremas-
remas, ditekan, ditusuk, panas atau seperti ditindih benda berat.
b. Nyeri yang tidak hilang dengan istirahat ataupun dengan pemberian
nitroglyserin dan dapat menjalar ke lengan, bahu, leher, rahang bahkan ke
punggung dan epigastrium.
c. Disertai mual, berkeringat,muka pucat. Disebabkan oleh vasokonstriksi
sistemik akibat penurunan curah jantung.
d. Tachikardi.
e. Bunyi jantung III dan IV ( S3 dan S4 ) menunjukkan adanya komplikasi
gagal jantung kongestif juga merupakan tanda awal gagal ventrikel kiri.
f. Distensi vena jugularis, menunjukkan adanya tahanan aliran darah juga
menunjukkan gagal ventrikel kiri.
g. Kelainan pada pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik dan dapat normal.
Dapat ditemui BJ yakni S2 yang pecah, paradoksal dan irama gallop.
Adanya krepitasi basal menunjukkan adanya bendungan paru-paru.
Takikardia, kulit yang pucat, dingin dan hipotensi ditemukan pada kasus
yang relatif lebih berat, kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang
tampak atau berada di dinding dada pada IMA inferior.
F. Komplikasi
1. Aritmia.
2. Bradikardia sinus.
3. Irama nodal.
4. Gangguan hantaran atrioventrikular.
5. Gangguan hantaran intraventrikel.
6. Asistolik.
7. Takikardia sinus.
8. Kontraksi atrium prematur.
9. Takikardia supraventrikel.
10. Flutter atrium.
11. Fibrilasi atrium.
12. Takikardia atrium multifocal.
13. Kontraksi prematur ventrikel.
14. Takikardia ventrikel.
15. Takikardia idioventrikel.
16. Flutter dan Fibrilasi ventrikel.
17. Renjatan kardiogenik.
18. Tromboembolisme.
19. Perikarditis.
20. Aneurisme ventrikel.
21. Regurgitasi mitral akut.
22. Ruptur jantung dan septum.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah :
a. Leukositosis ringan
b. Peninggian LED
c. Hiperglikemi ringan
2. Pemeriksaan Enzim jantung :
a. CPK-MB/CPK
Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6
jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam.
b. LDH/HBDH
Meningkat dalam 12-24 jam dam memakan waktu lama untuk
kembali normal
c. AST/SGOT
Meningkat ( kurang nyata/khusus ) terjadi dalam 6-12 jam, memuncak
dalam 24 jam, kembali normal dalam 3 atau 4 hari
3. EKG
EKG terdapat gelombang Q yang patologik dengan amplitude melebihi ¼
amplitude R serta saat permulaan Q sampai puncak R lebih dari 0,02 detik.
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan GADAR
Prinsip : Menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dan meningkatkan
persediaan oksigen
a. Pertolongan dasar (Basic Life Support) :
A : Airway control (jalan udara).
Tujuan
Agar jalan nafas bebas dan bersih serta udara bisa mengalir ke
paru.
Intervensi
Dengan melakukan look, listen and feel apakah ada nafas atau
tidak.
Fleksikan leher klien agar jalan nafas paten.
Jika ada sumbatan benda keras, lidah atau cairan, maka miringkan
klien atau dengan menggunakan tekhnik jaw trust, finger swap.
B : Breathing support (pernafasan).
Tujuan
Memberikan bantuan pernafasan ventilasi buatan dan pemberian
oksigenisasi.
Intervensi
Meskipun khasiatnya belum diakui untuk infark miokardium tanpa
komplikasi, oksigen sebaiknya diberikan dengan kecepatan 2 – 4 L
/ menit lewat kanula hidung.
C : Circulation support (sirkulasi).
Tujuan
Untuk memmbantu sirkulasi kompresi jantung luar.
Intervensi
Dengan cara melihat ada tidaknya dednyut nadi, bila tridak ada
bisa dilakukan RJP (resusitasi jantung paru).
b. Pertolongan Lanjut (Advanced Life Support) :
D : Drug and fluid (pemberian cairan dan obat-obatan).
Tujuan
Untuk mengurangi rasa nyeri dada, vasodilator untuk
meningkatkan aliran darah koroner.
Intervensi
Sedative seperti diazepam 3-4x 2-5 mg peroral pada insomnia
dapat ditambah flurazepam 15-30 mg. analgesic seperti morfin 2,5-
5 mg IV atau petidin 25-50 mg IM, lain-lain seperti nitrat,
antagonis kalsium dan beta bloker. Nitrogliserin 0,4-1,2 mg
(sublingual) atau 1 – 2 mg (pasta topikal). Antikoagulan seperti
heparin 20000-40000 U/24 jam IV tiap 4-6 jam atau drip IV
dilakukan atas indikasi, diteruskan dengan asetakumarol atau
warfarin. Infuse dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
E : Electrocardiography (EKG).
Tujuan
Untuk mengantisipasi timbulnya aritmia.
Intervensi
Monitor EKG secara serial.
F : Fibrillation treatmen
Tujuan
Menentukan kerusakan otak dan resusitasi serebral.
Intervensi
Untuk mengobati fibrilasi ventrikel dilakukan DC – shock.
Defibrilasi dilakukan 3 Joule / kg BB. Dosis ulangan tertinggi
adalah 5 Joule / kg BB dengan maksimal 400 Joule (Wsec).
Gelombang fibrilasi dapat halus (fine) atau kasar (coarse).
Gelombang yang halus biasanya kurang berespons dengan DC –
shock. Pemberian epinefrin dapat meningkatkan amplitude
gelombang fibilasi dan membuat jantung lebih peka terhadap DC –
shock. Epinefrin diberikan Intravena sebanyak 0,5 – 1 ml
(konsentrasi 1 : 1000). Pijat Jantung Luar (PJL) dan ventilasi tetap
diberikan selama 1 – 2 menit, agar epinefrin dapat dialirkan dari
jantung. Kalsium – klorid 10 ml yang diberikan Intravena
mempunyai efek yang sama dengan epinefrin.
Bila setelah DC – shock 400 Joule diulangi fibrilasi ventrikel tetap
ada , dapat diberi lagi epinefrin Intravena , yang dapat diulangi
setiap 3 – 5 menit. Selama itu PJL dan ventilasi tetap dilakukan.
Dapat pula diberikan lidokain bolus Intravena 75 mg; ini akan
meningkatkan respons jantung terhadap DC – shock. Pemberian
lidokain dapat diulangi setiap 5 menit, tetapi dosis maksimal tidak
boleh melebihi 200 – 300 mg. Bila DC – shock dan lidoakain
belum berhasil mengembalikan irama sinus, dapat diberikan
propranolol 1 mg Intravena, kemudian diikuti dengan DC – shock
berikutnya.
Biasanya pasien sudah memberi respos dengan 2 – 3 kali DC –
shock, tetapi kadang-kadang diperlukan 9 kali atau lebih. Bila
dengan DC – shock ketiga belum ada respons, dianjurkan untuk
memakai defiblirator lain.
c. Pertolongan Jangka Panjang (Prolonged Life Support) :
G : Gauging (penilaian)
Tujuan
Memonitor dan mengevaluasi RJP (resusitasi jantung paru)
pemeriksaan dan penentuan penyebab dasar serta penilaian dapat
tidaknya pasien diselamatkan dan diteruskan pengobatan.
Intervensi
Memeriksa TTV.
Membaca hasil EKG.
Mengkaji Nyeri dada klien.
Memeriksa GCS klien.
H : Human mentation
Tujuan
Menentukan fungsi otak apakah normal / dapat pulih kembali.
Intervensi
Melakukan pemeriksaan fisik 12 saraf kranial.
Memeriksa GCS klien.
I : Intensive care
Tujuan
Untuk perawatan intensive jangka panjang. Mempertahankan
homeostatis ekstra – kranial dan homeostatis intra – kranial, antara
lain dengan mengusahakan agar fungsi pernafasan, kardiovaskuler,
metabolik, fungsi ginjal dan fungsi hati menjkadi maksimal.
Memastikan apakah pasien dapat sembuh kembali atau adanya
kematian serebral.
I. Penanganan awal kecurigaan Infark Miokardium
Nyeri dada yang berlangsung lama
Peningkatan ST Perubahan
pada rekaman EKG EKG nonspesifik
Berikan nitrogliserin sublingual
Peningkatan ST Peningkatan ST yang terus berlanjut ST membaik
Nitrogliserin IV Angiografi koroner
Berlangsung < 6 jam Berlangsung > 6 jam
Trombolisis Kontra indikasi Pengurangan nyeri terhadap trombolisis Pengurangan nyeri,
Pemantauan O2
Heparin
Angiografi koroner Infark gelombang Q Infark gelombang non-Q
Tanpa komplikasi Dengan komplikasi Diltiazem
Stratifikasi risiko Evaluasi dan terapi yang tepat
Angiografi koroner
(Sumber : Stein Jay H, 43 : 2001)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Aktivitas
Gejala : Kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur. Pola hidup menetap,
jadwal olahraga tidak teratur.
Tanda : Takikardi, dipsnea pada istirahat / aktivitas.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat infark miokard sebelumnya, penyakit arteri koroner,
gagal ginjal kronik, masalah tekanan darah, diabetes militus.
Tanda : Tekanan darah dapat normal atau naik turun (perubahan postural
dicatat dari tidur sampai duduk / berdiri). Nadi dapat normal (penuh / tak
kuat, atau lemah / kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat), tidak
teratur (disritmia) mungkin terjadi. Bunyi jantung ekstra S 3 / S 4
mungkin menunjukkan gagal jantung / penurunan kontraktilitas atau
komplain ventrikel. Murmur bila menunjukkan gagal katup atau disfungsi
otot papilar. Friksi dicurigai perikarditis. Irama jantung dapat teratur / tak
teratur. Edema karena distensi vena jugular, edema dependen / perifer,
edema umum, krekles mungkin ada dengan gagal jantung / ventrikel.
Warna pucat atau cyanosis, kuku datar, pada membrane mukosa dan bibir.
3. Integritas Ego
Gejala : Menyangkal gejala penting / adanya kondisi. Takut mati,
perasaan ajal sudah dekat. Marah pada penyakit / perawatan yang “tidak
perlu”. Kuatir tentang keluarga, kerja, keuangan.
Tanda : Menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata. Gelisah,
marah, prilaku menyerang. Fokus pada diri sendiri / nyeri.
4. Eliminasi
Tanda : Normal atau bunyi usus menurun.
5. Makanan/ Cairan
Gejala : Mual, kehilangan nafsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati /
terbakar.
Tanda : Penurunan turgor kulit (kulit kering / berkeringat). Muntah.
Perubahan berat badan.
6. Hygiene
Gejala / Tanda : Kesulitan melakukan tugas perawatan.
7. Neurosensori
Gejala : Pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau
istirahat).
Tanda : Perubahan mental. Kelemahan.
8. Nyeri / Ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri dada timbul mendadak (dapat / tak berhubungan dengan
aktivitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin. Lokasi tipikal
pada dada anterior, substernal, prekordia (dapat menyebar ketangan,
ranhang, wajah). Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium, siku,
rahang, abdomen, punggung, leher. Kualitas chrusing, menyempit, berat,
menetap, tertekan, seperti dapat dilihat. Intensitas biasanya 10 pada skala
1 – 10 (pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami. Nyeri
mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, dengan diabetes militus atau
hipertensi atau lansia.
Tanda : Wajah meringis, perubahan postur tubuh. Menangis, merintih,
meregang, menggeliat. Menarik diri, kehilangan kontak mata. Respon
otomatik pada perubahan frekuensi / irama jantung, tekanan darah,
pernafasan darah, warna kulit / kelembaban, kesadaran.
9. Pernafasan
Gejala : Dispnea dengan atau tanpa kerja, dispnea nuktural. Batuk
dengan / tanpa produksi sputum. Riwayat merokok, penyalit pernafasan
kronik.
Tanda : Peningkatan frekuensi pernafasan, nagas sesak / kuat. Pucat /
cyanosis. Bunyi nafas bersih atau krekles / mengi. Sputum bersih, merah
muda kental.
10. Interaksi Sosial
Gejala : Stres saai ini seperti kerja, keluarga. Kesulitan koping dengan
stressor yang ada, contoh penyakit, perawatan di rumah sakit.
Tanda : Kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi (marah
terus menerus, takut). Menarik diri dari keluarga.
11. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga penyakit jantung / infark miokard, diabetes,
stroke, hipertensi, penyakit vaskuler perifer. Penggunaan tembakau.
B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Gangguan rasa tidak nyaman dan nyeri akut berhubungan dengan
kurangnya suplai oksigen ke otot sekunder karena oklusi arteri koronaria
yang ditandai dengan rasa nyeri dada hebat yang menjalar ke lengan kiri,
leher, punggung belakang dan epigastrium.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan rasa nyaman klien meningkat
dengan kriteria hasil : nyeri berkurang hingga menghilang.
Intervensi :
a. Monitor dan catat karakteristik nyeri (lokasi nyeri, intensitas nyeri,
durasi atau lamanya nyeri, kwalitas dan penyebaran nyeri)
b. Kaji apakah pernah ada riwayat nyeri dada sebelumnya.
c. Atur lingkungan tenang dan nyaman, jelaskan bahwa klien harus
istirahat.
d. Ajarkan tehnik relaksasi seperti nafas dalam atau tehnik menejemen
nyari lainnya.
e. Ukur atau periksa TTV sebelum dan sesudah pengobatan analgetik.
f. Kolaborasi :
1) Pemberian tambahan oksigen dengan nasal kanul atau masker
2) Pemberian obat – obatan sesuai indikasi seperti anti angina
(nitrogliserin), beta blokers, propanolol (indera), pindolol (vitlen),
atenolol (tenormin), analgesik (morphine/mepheridine/demoral),
Ca-antagonis (nifedipine/adalat).
2. Keterbatasan / ketidakmampuan aktivitas fisik berhubungan dengan suplai
oksigen dan keburukan oksigen yang tidak seimbang, iskemik / kematian
otot jantung yang ditandai dengan kelelahan, perubahan nadi dan tekanan
darah saat aktivitas, perubahan warna kulit, disritmia.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu beraktivitas
secara mandiri dengan kriteria hasil klien tidak mengalami
kelelahan,perubahan nadi, perubahan tekanan darah dan perubahan warna
kulit saat beraktivitas dan setelah beraktivitas.
Intervensi :
a. Catat nadi, irama dan tekanan darah sebelum, saat dan setelah
beraktivitas.
b. Anjurkan dan jelaskan bahwa pasien harus istirahat (bed rest) sampai
keadaan stabil.
c. Jelaskan / anjurkan klien supaya tidak mengedan jika buang air besar.
d. Hindarkan pasien kelelahan ditempat duduk.
e. Rencanakan aktivitas bertahap jika telah bebas nyeri; duduk ditempat
tidur, berdiri, duduk dikursi satu jam sebelum makan.
f. Ukur TTV sebelum dan sesudah aktivitas.
g. Kolaborasi : merujuk ke ASAS untuk program tindak lanjut dan
rehabilitasi.
3. Rasa cemas berhubungan dengan perubahan status menjadi sakit, ancaman
kematian yang ditandai dengan tekanan darah meningkat, wajah tyampak
cemas, perhatian hanya pada diri sendiri.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan rasa cemas klien
berkurang bahkan hilang dengan kriteria hasil : klien nampak rileks dan
TTV normal.
Intervensi :
a. Lakukan komunikasi terapeutik dengan cara membina hubungan saling
percaya dan dengarkan keluhan pasien dengan sabar.
b. Dampingi pasien, cegah tindakan destruktif dan konfrontatif.
c. Jelaskan tindakan – tindakan keperawatan yang dilakukan.
d. Bantu dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari.
e. Kolaborasi pemberian sedative misalnya diazepam, flurozepam
hidrochloride, lorazepam.
4. Perubahan volume cairan berhubungan dengan penurunan perfusi organ
renal, peningkatan retensi sodium dan air, serta peningkatan tekanan
hidrostatik atau penurunan protein plasma.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan keseimbangan volume
cairan klien dapat dipertahankan.
Intervensi :
a. Kaji JVD (distensi vena jugularis) dan oedem ada atau tidak.
b. Pantau input dan output cairan klien
c. Timbang berat badan setiap hari
d. Kolaborasi pemberian garamn atau minum dan diuretik misalnya
furosemide
e. Gizi : berikan makanan cair atau lunak 1300 kalori rendah garam dan
rendah lemak setelah puasa 8 jam kemudian diulang setelah 24 jam.
5. Potensial penurunan kardiak output berhubungan dengan perubahan nadi,
aliran konduksi, dan penurunan preload atau peningkatan SVR.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan penurunan cardiak output
pada klien tidak terjadi dengan kriteria hasil TTV klien normal.
Intervensi :
a. Ukur tekanan darah, evaluasi kualitas nadi.
b. Kaji adanya murmur S3 dan S4.
c. Hindarkan aktivitas dan anjurkan klien untuk istirahat.
d. Siapkan alat – alat atau obat – obatan imergensi.
e. Kolaborasi : pemberian oksigen tambahan, pemasangan infus, rekam
EKG, pemeriksaan rontgen thorak ulang.
6. Potensial penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan vasokontriksi
hipovolemia.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi penurunan
perfusi jaringan dengan kriteria hasil : tidak terjadi sianosis, kesadaran
composmentis
Intervensi :
a. Awasi perubahan emosi secara mendadak misalnya bingung, cemas,
lemah/letargi, dan penurunan kesadaran (stupor).
b. Awasi adanya sianosis dan kulit dingin.
c. Kaji adanya tanda – tanda Homan’s (Homan’s sign) ; nyeri pada
pergerakan lutut, eritema dan edema.
d. Monitor pernafasan.
e. Kaji fungsi pencernaan (ada tidaknya mual, penurunan bising usus,
muntah, distensi abdomen dan konstipasi)
f. Monitor pemasukan cairan (ada tidaknya perubahan dalam produksi
urine)
g. Kolaborasi : pemeriksaan laboratorium (astrup, creatinin, dan
elektrolit).
Pengobatan : heparin, cemitidine, panitidine, dan antasida.
Daftar Pustaka
Krisanti, Manurung, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta
Timur : CV Trans Info Media
Price Sylvia Andersen & Lorraine M. Wilson. (2002). Pathofisiologi : Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Alih bahas : Peter Anugerah. Editor : Caroline
Wijaya. Buku 1. Cetakan I. Edisi 4. EGC. Jakarta.
Smetzler Suzanne C & Brenda G. Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medikal – Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agus Waluyo dkk. Editor :
Monica Ester dkk. Cetakan I. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Stein Jay H. (2001). Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Alih bahasa : Edi
Nugroho. Editor : Sugiarto Komala, Alexander H. Santoso. Cetakan I. Edisi 3.
EGC. Jakarta.
Mansjoer Arif dkk. (2002). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Media
Aesculapius. Jakarta.
Zain.2010.Laporan Pendahuluan Infark Miokard akut. Dilihat pada 13 februari
2012 http://nerszain08.blogspot.com/2010/01/laporan-pendahuluan-infrak-
miokard-akut.html
Eni indrawati 2009, Hubungan Antara Penyakit Jantung Koroner Dwengan
Angka Mortalitas Pasien Gagal Jantung Dirumah Sakit, Universitas Indonesia,
Jakarta. <Sudah dipublikasikan>