makalah mahmudah harald motzki otentifikasi hadist dan sanggahan atas skeptisisme para orentalis...
DESCRIPTION
hadisTRANSCRIPT
HARALD MOTZKI: OTENTIFIKASI HADIST DAN SANGGAHAN ATAS
SKEPTISISME PARA ORENTALIS HADIS
A. PENDAHULUAN
Al-Qur'an dan Hadis dalam tradisi Islam dikenal sebagai dua teks yang
fundamental. Hadis sendiri merupakan teks fundamental kedua atau fondasi,
tradisi profetik (al-sunnah), dan sabda-sabda Nabi dalam perannya sebagai
pembimbing bagi orang-orang yang beriman dan bukan sebagai instrumen
kehendak Ilahi. Hadis yang salah satu fungsinya sebagai penjelas terhadap ayat-
ayat al-Qur'an, sebagai sumber hujjah kedua dalam Islam jelas merupakan sesuatu
yang sangat penting. Sebab, di dalamnya terungkap berbagai tradisi yang
berkembang pada masa Nabi Muhammad saw.
Tradisi-tradisi yang hidup pada masa kenabian itu merujuk pada diri
pribadi Rasulullah saw. yang di dalamnya sarat akan beragam ajaran Islam,
karenanya keberlanjutannya terus berjalan dan berkembang hingga sekarang
seiring dengan kebutuhan umat manusia. Adanya keberlanjutan tradisi itulah
sehingga umat Islam dalam konteks kekinian dapat memahami, merekam dan
melaksanakan tuntunan ajaran Islam sesuai dengan apa yang telah diteladankan
Nabi Muhammad saw.
Mengingat pentingnya fungsi hadis, maka kajian atas hadis semakin
meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara historis
telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif dan hati-hati demi
menjaga keotentikan dan keaslian hadis itu sendiri.
Menurut Kamaruddin Amin, wacana mengenai otentisitas, validitas dan
reliabilitas metodologi otentifikasi hadis adalah hal yang paling fundamental
dalam kajian hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai
sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan
resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas
keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis.
1
Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil
yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan-kemungkinan
verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi
collapse(Roboh).1
Keraguan juga datang dari kalangan orientalis mengenai otentisitas hadis.
Epistemologi kaum orientalis dengan ciri skeptis atau keragu-raguan
(kesangsian)-nya mencoba menanyakan ulang apakah sesungguhnya hadis itu?
Benarkah hadis itu adalah ucapan verbal nabi, tingkah laku nabi atau persepsi
masyarakat Islam tentang nabi? Apakah buku hadis yang kita warisi dari abad
ketiga seperti Sahih Bukhari dan Muslim, merupakan refleksi sunnah nabi?
Mazhab skeptis ini diwakili oleh Joseph Schacht (Austria) dan Ignaz Goldziher
(Honggaria).
Meskipun demikian, pada dekade terahir mazhab skeptis yang telah mapan
di Barat tidak lagi menjadi satunya-satunya trend yang mendominasi diskursus
studi Islam di Barat. Mazhab non-skeptis yang dikomandani oleh sejumlah
Orientalis sekaliber Harald Motzki, Fuec, Scheoler, dan lain-lain turut
meramaikan diskursus masa awal Islam.
B. BIOGRAFI HARALD MOTZKI
Berbagai upaya penulis tempuh untuk menggali lebih dalam sosok Harald
Motzki, mulai dari referensi literer yang berupa majalah, buku bahkan dunia
maya, namun tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Beberapa sumber yang
bisa dicapai penulis adalah sebagai berikut: Dia dikenal sebagai sosok sarjana
studi Islam yang concern terhadap materi hadist dan berbagai keilmuan
penyangganya, dan berupaya untuk mengkritisinya dengan objektif. Dan ia adalah
seorang orientalis yang menjadi Guru Besar sekaligus Profesor di Institut Bahasa
dan Budaya dari Timur Tengah, Universitas Nijmegen, Belanda. Motzki adalah
sosok yang dikenal para pemerhati orientalisme sebagai sosok yang banyak
mengkaji hadits sejarah yang berhubungan dengan sīrah, metode pencermatan
1 Kamaruddin Amin, “Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical School”, dalam Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), hlm. 23.
2
Motzki terhadap hadits lebih didominasi penelitiannya terhadap sisi sejarah hadits
itu sendiri.2
C. KRONOLOGIS KAJIAN ORIENTALIS SEPUTAR HADITS
Gugatan orientalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke- 19
M., yaitu pada tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam
cengkeraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Pertanyaan tentang autentisitas,
originalitas, authorship, asal muasal, keakuratan serta kebenaran hadis muncul,
dan menjadi isu pokok dalam studi Islam, khususnya yang menyangkut hukum
Islam. Pertanyaan ini muncul dari sarjana Barat dan juga sarjana Muslim. Abu
Rayyah, misalnya berpendapat bahwa hadis Nabi telah rusak atau dengan kata lain
hadis Nabi telah telah hilang karena riwayah bi al-ma’na (periwayatan secara
makna, bukan lafal).3
Syamsuddin Arif menjelaskan bahwa orang yang pertama kali
mempersoalkan status hadits dalam Islam adalah Alois Sprenger. Hal tersebut
didasarkan kepada ungkapan beliau dalam pendahuluan bukunya yang berjudul
“Die Sunna’ Das Leben und die Lehre des Mohammad” ia telah mengklaim bahwa
hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Ia juga
menyatakan keragu-raguannya terhadap keakuratan hadis sebagai sumber sejarah.
Klaimnya terebut juga diikuti oleh rekan satu misinya William Muir, orientalis
asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad saw. dan sejarah
perkembangan Islam. 4
Menurut Muir sebagaimana dalam kutipan Syamsuddin Arif, dalam
literatur hadits, nama Nabi Muhammad saw. sengaja dicatat untuk menutupi
bermacam-macam kebohongan dan keganjilan, atau dengan kata lain bahwa para
periwayat hadis telah menyalah gunakan nama Nabi Muhammad untuk
mendukung semua kebohongan yang memungkinkan dan kemustahilan, Oleh
sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam 2 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 175. 3 Mahmud Abu Rayyah, Adhwa ‘ala As-Sunnah Al-Muhammadyyah, (Kairo, t.tp., 1958).
hlm, 55.4 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008),
hlm. 28.
3
Bukhori, paling tidak separuhnya harus ditolak, dan seorang kritikus Eropa wajib
dengan tanpa ragu-ragu untuk menolak hadis minimal satu setengah dari hadis
tersebut karena isnadnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan dari
sudut isi matannya, maka hadits turun pada manfaat sendiri.5
Kemudian selang beberapa lama setelah itu muncul Ignaz Goldziher, yakni
Yahudi kelahiran Hungaria yang sempat "nyantri" di Universitas al-Azhar Kairo,
Mesir, selama kurang lebih setahun (1 873- 1874). Setelah kembali ke Eropa, oleh
rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti
tentang lslam, meskipun dan justru karena tulisan- tulisannya mengenai Islam
sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan lebih menyesatkan dibandingkan
dengan para pendahulunya.6
Adapun komentar Ignaz Goldziher terhadap hadis adalah bahwa beliau
menyatakan dari sekian banyak hadits yang ada, sebagian besarnya tidak dapat
dijamin keasliannya alias palsu dan karena itu, hadis tersebut tidak dapat dijadikan
sumber informasi mengenai sejarah awal Islam. Menurut Goldziher, hadits lebih
merupakan refleksi interaksi dan konflik berbagai aliran dan kecenderungan yang
muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya,
ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Lebih tegasnya
lagi menurut belua hadits-hadis yang dibukukan pada abad ke-2 adalah produk
buatan masyarakat Islam pada beberapa abad setelah Nabi Muhammad saw.
wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau. Namun pendapat ini kemudian
telah disanggah oleh sejumlah ilmuwan hadis seperti Syaikh Musthafi As-Sibi'i,
Muhammad Abi shuhbah dan 'Abd al-Ghani 'Abd al-Khaliq. 7
Sementara para rekan-rekan Ignaz Goldziher dari kalangan misionaris
sepakat dengan pendapat Goldziher tersebut. Misalnya Dalam kutipan
Syamsuddin Arif, David Samuel Margoliouth telah turut meragukan otentisitas
hadis. Alasannya adalah karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hadits
telah dicatat sejak zaman Nabi saw. dan terbukti lemahnya ingatan para perawi
5 Ibid., hlm. 29.6 Ibid., hm. 30.7 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 30
4
hadis. Masalah ini kemudian disetujui dan dijelaskan oleh Muhammad 'Ajjaj al-
Khathib. Sementara Henri Lammens (misionaris Belgia) dan Leone Caetani
(misionaris Italia) menganggap isnad muncul jauh setelah matan hadits ada dan
merupakan fenomena internal dalam sejarah perkembangan Islam, dan Josef
Horovitz sendiri berspekulasi bahwa sistem periwayatan hadits secara berantai
(isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama Hijriyah.
Disamping itu, orientalis Jerman berdarah Yahudi ini mengatakan bahwa besar
kemungkinan praktik isnad berasal dari tradisi oral atau dipengaruhi oleh tradisi
oral sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi. Spekulasi Horovitz ini
belakangan digaungkan kembali oleh Gregor Schoeler.8
Gugatan orientalis yang mempersoalkan ketiadaan data historis dan bukti
tercatat yang dapat memastikan otentisitas hadits itu kemudian memicu sejumlah
pakar hadis untuk melakukan penelitian intensif perihal sejarah literatur hadis
guna mematahkan argumen orientalis yang mengatakan bahwa hadis baru dicatat
pada abad kedua dan ketiga hijriyah. Antara lain profesor Muhammad Hamdullah,
Fuat Sezgin, Nabia Abbot, dan Muhammad Mustafa Al-A’zami, dalam karyanya
masing-masing telah berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti-bukti kongkrit
yang menunjukkan bahwa pencatatan dan penulisan hadis sudah dimulai semenjak
kurun pertama hijriyah sejak Nabi saw. masih hidup. Namun walaupun demikian,
bukti-bukti ini tetap saja diabaikan oleh para orientalis dan bahkan ada yang
menolaknya mentah-mentah.9
Spekulasi Goldziher dan rekan-rekannya tersebut kemudian dikembangkan
lagi oleh Joseph Schacht, yakni seorang orientalis Jerman yang juga keturunan
Yahudi. Dalam bukunya yang cukup kontroversial, Schacht menyatakan bahwa
tidak ada hadits yang benar-benar asli dari Nabi saw., dan kalaupun ada dan bisa
dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit. Sefakat dengan pernyataan
Goldziher, ia mengklaim bahwa hadits baru muncul pada abad kedua hijriyah dan
baru beredar luas setelah zaman Imam Syafi’i (w. 204 H/820 M), yakni pada abad
8 Ibid., hlm. 31-32.9 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 31.
5
ketiga hijriyah10. Lebih jauh Schacht juga mengungkapkan bahwa hadits-hadits
yang terdapat dalam al-kutub as-sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya.
Sebab menurut beliau, sistem periwayatan berantai, yakni isnad hanyalah
merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru mulai dipraktikkan pada abad
kedua hijriyah.11
Semua pernyataan Schacht ini telah dibantah oleh prof. Muhammad Abu
Zahrah dalam bukunya berjudul “An analytical Study of Dr. Schacht’s Illusions”,
Profesor Zafar Ishaq Ansari dalam bukunya berjudul”The Authenticity of
Traditions – A Critique of Joseph Schacht’s Argument e Silentio”, dan Profdesor
Muhammad Mustafa al-A’zami dalam bukunya yang berjudul ”On Schacht’s
Origins of Muhammadan Jurisprudence”. Sementara di kalangan orientalis
sendiri, teori-teori Schacht menimbulkan reaksi pro dan kontra. Adapun golongan
yang pro atau mendukung teori Schacht adalah Brunschvig, Crone, Powers dan
Calder. Sedangkan para orientalis yang kontra ataupun memberikan kritik atas
asumsi dan kesimpulan-kesimpulannya adalah Coulson, Cook, Motzki, dan
Rubin.12
Sebagaimana telah disinggung di atas, gugatan Schacht terhadap hadis
berkisar pada masalah isnad dan persoalan umur atau penanggalannya. Di
samping sepakat dengan Schacht bahwa hampir tidak ada hadits yang otentik,
Patricia Crone menambahkan bahwa penanggalan atau penentuan kapan persisnya
suatu hadits muncul bukanlah perkara yang mudah. Artinya, bukan hanya
kebanyakan hadits adalah palsu, bahkan asal-usulnya pun nyaris mustahil untuk
diketahui, jika mengandalkan sumber-sumber sejarah Islam itu sendiri.
Karena itu, setelah mempertanyakan dan mengkritik validitas metodologi
Schacht dan Joseph van Ess dalam mengukur usia suatu hadits,13 Michael Cook
menyimpulkan bahwa ”the traditions have to be dated on external criteria, above
all from termini derived from the documents”. Di sisi lain yang sangat
10 Ibid.11 Ibid., hlm. 32.12 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran..., hlm. 3113 Ibid.,hlm. 30
6
mengherankan adalah bahwa Cook enggan menerima data-data historis yang telah
ditemukan, dikumpulkan, dan dikemukakan oleh Hamidullah, Abbot, dan Sezgin
sebagaimana tersebut di atas.
Meskipun teori dan metode Schacht telah banyak mendapatkan kritikan
dan sanggahan, namun teori tersebut tetap diadopsi dan dikembangkan oleh
Gauthier Juynboll. Menurut Juynbll, hadits-hadis yang dimuat dalam kitab Shahih
Bukhori atau Sahih Muslim sekalipun belum tentu berarti hadits itu otentik dan
punya landasan sejarah yang pasti, karena metode kritik hadis yang digunakan sarjana
Muslim memiliki banyak kelemahan dan belum mampu untuk membuktikan kemurnian
dan keaslian sebuah hadis. Atas dasar itu, Juynboll menawarkan metode kritik hadis
common link sebagai ganti dari metode kritik hadits para sarjana Muslim. Metode
common link ternyata tidak hanya bermaksud untuk merevisi metode kritik konvensional
para ahli hadis, tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang menjadi pijakan bagi
metode itu. Sebagaimana diketahui metode kritik hadits konvensional berpijak pada
kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya berpijak pada kualitas
periwayat namun berpijak pula pada kuantitas periwayatnya.14
D. METODE SARJANA NON-MUSLIM DALAM MENGANALISIS
KEASLIAN DAN KEMURNIAN HADIS
Untuk menilai historisitas sebuah hadis, sarjana non-Muslim menggunakan
metode ‘’penanggalan’’ (dating) yang mereka kembangkan sendiri. Setidaknya
terdapat empat metode penanggalan yang telah digunakan dalam kesarjanaan
hadis non–Muslim, yaitu sebagai berikut:
1. Penanagalam atas dasar analisis matan oleh Ignaz Goldziher dan Marston
Speight
2. Penanggalan atas dasar analisis sanad, secara khusus dikembangkan oleh
Joseph Schacht dan G.H.A.Juynboll
3. Penanggalan atas dasar kitab-kitab koleksi hadis, dipraktekkan oleh
Schacht dan Juynboll
14 Ali masrur, Teori common link, (Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2007), hlm. 112-113.
7
4. Penanggalan atas dasar analisis sanad dan matan, yang ditawarkan Harald
Motzki dan G.Schoeler.15
Dari beberapa bentuk penanggalan tersebut, pemakalah memahami bahwa
penanggalan atas dasar analisis sanad dan matn lebih mendekati sifat objektif,
karena dengan bentuk penanggalan tersebut maka seorang peneliti akan dituntut
untuk melakukan penelusuran dan pengkajian lebih mendalam terhadap berbagai
aspek sejarah periwayatan hadis tersebut. Dengan demikian, maka kekeliruan
dalam mengambil keputusan dapat ditepis atau diminimalisir.
E. TEORI-TEORI HARALD MOTZKI DALAM MENGANALISIS
HADIS
Teori-teori Harald Motzki berangkat dari sanggahan beliau terhadap
interpretasi Juynboll yang menilai Common Link (CL) sebagai pemalsu hadis.
Karena menurut Motzki tidak selalu Common Link tersebut dapat dikatakan
sebagai pemalsu hadis selama belum ditemukan data sejarah yang yang
menunjukkan beliau sebagai pemalsu hadis. Oleh karena itu menurut Motzi
Common Link tersebut lebih relevan dikatakan sebagai penghimpun hadis yang
pertama, yang berperan sebagai perekam dan meriwayatkannya ke dalam kelas-
kelas reguler, dan dari kelas-kelas itulah sebuah sistem belajar yang terlembaga
dan berkembang.16
Menurut Juynboll, ketika Common Link mengutip satu jalur riwayat hadis
saja maka itu berarti bahwa beliau hanya meriwayatkan versi hadis yang mereka
terima saja, dan tidak menutup kemungkinan mereka mengetahui adanya versi
riwayat yang lain. sementara alasan yang kedua adalah bahwa Common Link
hanya mungkin saja hanya meriwayatkan satu versi jalur yang dianggapnya paling
terpercaya. Selanjutnya alasan ketiga ialah bahwa mungkin Common Link
menambah informan yang paling cocok apabila mereka lua informan yang
sebenarnya.17
15 Kamarudin Amin, Metode Kritik hadis, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), hlm. 85.16 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176.17 Ibid.
8
Berangkat dari beberapa argumentasi tersebut, maka muncullah teori-teori
Harald Motzki tentang jalur tunggal (Singgle Strand), yaitu sebagai berikut:
1. Jalur tunggal tidak mesti berarti hanya satu jalur periwayatan
2. Jalur tunggal berarti bahwa Common Link ketika meriwayatkan hadis dari
koleksinya hanya menyebutkan satu jalur riwayat, yakni versi yang aling
diketahui dan dinilai paling otoritatif.
3. Mungkin ada versi lain yang tidak sempat terkumpul atau menghilang
karena Common Link tidak sempat menerima atau menyampaikannya, atau
karena versi tersebut tidak diketahui di masa dan tempat Common Link.18
Teori-teori Motzki di atas kemudian mendapat tanggapan dan respon yang
beragam, baik yang menolak maupun mendukung. Adapun diantara orang yang
menolak teori Motzki tersebut adalah Irene Schneider, karena menurutnya
mustahil pesan nabi yang orisinal telah diriwayatkan oleh Common Link sejak
awal, sebab praktik semacam itu tidak ditemukan pada masa awal-awal Islam.
Oleh karena itu, Irene Schneider berpendapat bahwa Motzki telah gagal mengakui
bahwa Common Link telah memalsukan hadis bersama satu atau beberapa jalur
riwayat.19
Sedangkan tokoh yang mendukung teori Harald Motzki adalah Gregor
Schoeler. Menurut Gregor Schoeler Common Link tidak harus dipahami sebagai
pemalsu hadis. Hal tersebut dapat dibuktikan pada hadis tentang al-ifk, yang
memiliki Common link al-Zuhri (w.124) dan benar-benar informannya (gurunya)
adalah ‘Urwah ibn al-Zubair (w.94) dan dia tidak memalsukan hadis.
Hadis tersebut adalah sebagai berikut:
�ا �ن و ح�د�ث �ب �يع� أ ب �م�ان الر� �ي ل �ن س ف�ه�م�ن�ي د�اود� ب� �ع�ض�ه و�أ �ح�م�د ب �ا أ �ن �ح ح�د�ث �ي فل
�ن �م�ان� ب �ي ل �ن� ع�ن� س ه�اب" اب ه�ر�ي% ش� و�ة� ع�ن� الز) �ن� عر� �ر� ب �ي ب ع�يد� الز) �ن� و�س� ب
�ب� ي �مس� �ق�م�ة� ال �ن� و�ع�ل �ي% و�ق�اص" ب �ث �ي �د� الل �ي �ه� و�عب �ن� الل �د� ب �ه� ع�ب �ن� الل �ة� ب �ب عت
ة� ع�ن� �ش� ض�ي� ع�ائ �ه ر� �ه�ا الل و�ج� ع�ن �ي% ز� �ب �ه ص�ل�ى الن �ه� الل �ي �م� ع�ل ل ح�ين� و�س�
18 Ibid.19 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176-177.
9
�ه�ا ق�ال� �ه�ل ل �ف�ك� أ وا م�ا اإل� �ه�ا ق�ال أ �ر� �ه ف�ب �ه الل ه�ر�ي) ق�ال� م�ن )هم� الز) ل و�ك
�ن�ي �ف�ةC ح�د�ث �ه�ا م�ن� ط�ائ �ع�ضهم� ح�د�يث و�ع�ى و�ب� �ع�ض" م�ن� أ �ت ب �ب �ث �ه و�أ ل
�ص�اصCا �ت و�ق�د� اق�ت ل% ع�ن� و�ع�ي �هم� و�اح�د" ك �ح�د�يث� م�ن �ذ�ي ال �ن�ي ال ع�ن� ح�د�ث
ة� �ش� �ع�ض ع�ائ �ه�م� و�ب ص�د%ق ح�د�يث �ع�ضCا ي ع�موا ب �ن� ز� ة� أ �ش� �ت� ع�ائ �ان� ق�ال ك
ول س �ه� ر� �ه ص�ل�ى الل �ه� الل �ي �م� ع�ل ل �ذ�ا و�س� اد� إ ر�� �ن� أ ج� أ �خ�ر ا ي Cف�ر ع� س� �ق�ر� �ن� أ �ي ب
و�اج�ه� �ز� هن� أ �ت ي� ج� ف�أ ه�مه�ا خ�ر� ج� س� �ه�ا خ�ر� ع� م�ع�ه ب �ق�ر� �ا ف�أ �ن �ن �ي اة" ف�ي ب غ�ز�
اه�ا ... غ�ز�
Berdasarkan aplikasi Mausu’ah al-hadits as-syarif maka dapat diketahi
jalur periwayatannya adalah sebagai berikut:
F. METODE PENELITIAN HARALD MOTZKI
Harald Motzki tidak secara eksplisit menyebutkan langkah-langkah
penelitian yang sistematis ketika melakukan penelitian kitab Musannaf Abd ar-
Razaq. Meskipun demikian, dari data yang ada, penyusun mencoba
menggambarkan metode, pendekatan, dan langkah-langkah sistematis yang
ditempuh Harald Motzki sebagai berikut:
10
1. Meletakkan dating, yakni menentukan asal-muasal dan umur terhadap
sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian sejarah.
Jika dating yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah sumber
sejarah terbukti tidak valid di kemudian hari, maka seluruh premis teori
dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi
colleps (roboh). Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam
merekonstruksi sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic
Jurisprudence.
2. Tidak melakukan penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat
dalam sumber primernya Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia
menggunakan metode sampling, yakni mengambil beberapa bagian yang
diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Tujuan dari penentuan
sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan generalisasi dari sampel
ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis dari keseluruhan
kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis. Dengan
demikian ia meneliti sekitar 21% hadis.
3. Setelah data terkumpul, kemudian Motzki menganalisis sanad dan matn
dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan
traditional-historical, yakni sebuah metode yang cara kerjanya menarik
sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara
sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi
para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada
topik tertentu.
Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan
menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur
periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-
materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya
adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.
11
4. Terkait dengan materi periwayatan (matn) hadis, Motzki mengajukan teori
external criteria dan formal criteria of authenticity sebagai alat analisa
periwayatan.
5. Penyusunan atau dsebut sebagai tahap aplikasi. Yakni berangkat dari
metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap
riwayat yang terdapat dalam kitab Musannaf.
Penggunaan Moztki terhadap teori dating (menentukan umur dan asal
muasal terhadap sumber sejarah) yang di dasarkan atas sumber orisinil berupa
kitab Musannaf karya Abd ar-Razzaq ditambah dengan metode isnad cum analisis
dengan pendekatan traditional-historical merupakan penelitian yang dapat
dipertangungjawabkan secara akademisi. Hal ini berbeda jauh dengan analisis
historisnya Schacht yang didasarkan atas keragu-raguan dalam menginterpretasi
terhadap fenomena semata sebagaimana tampak dalam projecting back
(penyandaran ide kepada tokoh yang memiliki otoritas-nya). Meskipun demikian,
jika dicermati lebih mendalam teori yang dibangun oleh Motzki sebenarnya sudah
ada dalam kajian ilmu hadis dalam Islam. Misal teorinya tentang traditional-
historical dapat disejajarkan dengan ilmu al-rijal al-hadis dan teorinya tentang
external criteria dan argument internal formal criteria of authenticity dalam
periwayatan hadis dapat disejajarkan dengan teori al-tahammul wa al-‘ada al-
hadis.
Dalam memahami sebuah teks, menarik bila kita menelaah pemikiran
Julia Kristeva, seorang pemikir post-strukturalis Perancis. Dalam kedua bukunya:
Revolution in Poetic Language (Kristeva: 1974) dan Desire in Language: A
Semiotic Approach to Literature and Art (Kristeva: 1979). Ia memperkenalkan
istilah ‘intertekstualitas’ sebagai kunci untuk menganalisis sebuah teks.
Menurutnya, relasi dalam sebuah teks tidaklah sesederhana relasi-relasi antara
‘bentuk’ dan ‘makna’ atau ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified)
sebagaimana dipertahankan oleh semiotika konvensional. 20
20 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1,.... hlm. 12.
12
Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu.
Sebuah teks dibuat di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu mesti ada
relasi-relasi antara satu teks dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara
satu teks dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu. Hal inilah yang
terlupakan dari kajian Motzki, di mana ia terlalu “asyik” dengan kajian teks dalam
Mus}annaf dan jarang sekali ia melakukan interpretasi sejarah di luar teks.
Pemberian porsi yang sebanding antara keduanya dengan mensintesakan secara
kreatif antara teori Schacht dengan teori Motzki dapat dijadikan sebagai salah satu
solusi untuk mengatasi kelemahan ini, agar pemahaman terhadap teks (al-Qur'an
dan hadis) tidak tercerabut dari konteks kesejarahannya.
G. HASIL PENELITIAN HARALD MOTZKI TERHADAP KITAB AL-
MUSANNAF KARYA ABDURRAZZAQ AS-SAN’ANI
Motzki dalam penelitiannya menemukan tiga sumber dominan yang sering
dirujuk oleh Abd ar-Razaq, yang memberikan kontribusi ribuan hadis, mereka
adalah Ma’mar, Ibn Jurayj, dan Sufyan As-Sauri. Guna membuktikan masalah ini,
Motzki meneliti empat tokoh sebagai sumber otoritas utama dari Abd ar-Razzaq,
yakni Ma’mar di mana ar-Razzaq meriwayatkan materinya sekitar 32%, Ibnu
Jurayj 29%, As-Sauri 22%, dan Ibn Uyainah 4%. Sisanya adalah sekitar 13%
yang berasal dari 90% tokoh yang berbeda dan kurang dari 1% tokoh yang berasal
dari abad ke-2 H seperti Abu Hanifah 0,7%, dan Imam Malik sebesar 0,6%. 21
Dari pemilahan tersebut, menurut Motzki setiap koleksi memiliki
karakteristik tersendiri, dan hampir mustahil seorang pemalsu dapat memberikan
sumber yang begitu bervariasi, apalagi jika penelitian ini difokuskan pada asal
perawi dan karakter teks yang diriwayatkan. Guna mendukung pandangannya
bahwa ar-Razzaq bukan seorang pemalsu, maka Motzki mengutip biografinya
khususnya terkait dengan guru-gurunya ar-Razzaq. Lebih lanjut, Motzki
mengklasifikasikan riwayat yang terdapat dalam Musannaf Abd ar-Razzaq
sebagai berikut:
21 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1 di download dari http://www.scribd.co m , pada tanggal 2 Nopember 2011.
13
1. Ma’mar (w. 153 H) 32% dengan konfigurasi materi yang berasal darinya
adalah Ibn Syihab az-Zuhri 28%, Qatadah bin Diama 25%, Ayyub bin Abi
Tamima 11%, orang tanpa nama (anynamous) 6%, Ibn Tawus 5%,
Ma’mar 1%, 77 orang 24% jumlah total 100%.
2. Ibn Jurayj (w. 150 H) 29% dengan konfigurasi materi yang berasal darinya
adalah ‘Ata’ ibn Rabah 39%, orang tanpa nama (anynamous) 8%, Amr bin
Dinar 7%, Ibn Syihab az-Zuhri 6%, Ibn Tawus 5%, Ibn Jurayj 1%, 103
orang 34%, jumlah total 100%.
3. Sufyan as-Sauri (w. 161 H) 22%. Profil teks yang yang berasal darinya
mencakup pendapat hukum as-Sauri sendiri yang lebih dominan, yakni
Sufyan as-Sauri 19%, Mansur bin al-Mu’tamir 7%, Jabir bin Yazid 6%,
orang tanpa nama (anynamous) 3%, 161 informan 65%, jumlah total
100%.
4. Ibn ‘Uyayna 4% sumber hadis riwayatnya adalah Amr bin Dinar 23%, Ibn
Abi Najih 9%, yahya bin Said al-anshari 8%, Ismail bin Abi Khalid 6%,
orang tanpa nama (anynamous) 4%, 37 orang 50%, jumlah total 100%.
5. 90 orang 13% jumlah keseluruhan dari poin a hingga point e adalah
100%.22
Berdasarkan data ini Moztki menyatakan “bahwa profil masing-masing
periwayat hadis tersebut menunjukkan bahwa keempat koleksi teks tersebut
memiliki karakteristik tersendiri. Kekhasan masing-masing struktur
mengindikasikan tidak mungkin seseorang melakukan pemalsuan (forge) dalam
menyusun materi, karena jika demikin tentu dalam teks hadis tersebut akan
ditemukan perbedaan-perbedaan yang signifikan. Di samping itu, semakin detail
dan mendalam penelusuran terhadap teks-teks tersebut mengenai kekhasan teks
dan asal muasal sumber informasi, maka akan semakin signifkan perbedaan-
perbedaan yang dijumpai.23
22 ? Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1, hlm. 5.
23 Ibid.
14
Selanjutnya, Motzki berkesimpulan bahwa materi-materi hadis yang
disandarkan kepada Abd ar-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah
otentik (murni). Gaya penyajian materi ar-Razzaq yang kerap kali
mengekspresikan keraguanya atas sumber yang pasti terhadap sebuah hadis
menunjukan sikapnya yang terbuka dan jujur. Hal ini menjadi ta’kid
keotentikannya. Sebab, tidak mungkin seorang pemalsu akan menunjukkan sikap
seperti itu yang hanya akan melemahkan riwayat yang disampaikannya.
Motzki kemudian menganalisa lebih jauh mengenai hubungan guru antara
Ar-Razzaq dengan perawi di atasnya yakni Ibn Jurayj. Distribusi otoritas yang
tidak seimbang dan keinginan Jurayj menyampaikan pendapatnya sendiri merujuk
otoritas yang lebih awal, menunjukkan bahwa ia bukan pemalsu. Hal ini didukung
oleh pengujian sumber Jurayj meliputi: perbedaan isi (misal, pengunaan ra’yu
didistribusikan secara tidak seimbang); perbedan pengunaan riwayat guru-murid,
anak-bapak, maula-patron, perbedaan proporsi hadis dari nabi, sahabat, dan
tabi’in; perbedaan penggunaan isnad dan perbedaan terminologi periwayatan
(misal, penggunaan istilah ‘an atau sami’tu). 24
Lebih lanjut, Motzki memfokuskan dari sumber yang sering diikuti Jurayj,
yakni ‘Ata’. Dalam hal ini ia menggunakan teori External Criteria dan argument
internal formal criteria of Authenticity yang merupakan dua alat analisa yang
dihasilkan ketika Motzki meneliti penyandaran (transformasi ilmu) yang
dilakukan Jurayj kepada ‘Ata’. Sementara External Criteria dibagi menjadi dua,
yakni pertama, Magnitude (banyak sanad dan penyebarannya).
Dalam konteks ini, proporsi sumber Jurayj pada klasifikasi Motzki di atas
betentangan dengan asumsi bahwa ia adalah pemalsu. Sebab ia memilih cara yang
sangat complicated dengan menyandarkan materi hukumnya kepada sumber yang
ia sebutkan. Jika ia pemalsu, tentunya ia akan memilih satu atau beberapa
informan saja dari fuqaha’ atau perawi terkenal.25
24 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies......, hlm. 5.25 ? Ibid.
15
Dilihat dari frekwensi gaya pertanyaan (direct, indirect, anonymous, and
not- anonymous), menunjukkan jika Jurayj tidak melakukan projection back atau
telah mengatribusikan pendapatnya kepada generasi sebelumnya. Dengan bahasa
sederhana, analisis Motzki atas gaya penyajian materi ‘Ata’ oleh Jurayj
menunjukkan implausibility asumsi bahwa ia telah melakukan pemalsuan.
Sementara dilihat dari kualitas dan kuantitas responsa ‘Ata’ atas pertanyaan Jurayj
menunjukkan keduanya terdapat korelasi historis yang panjang. 26
Motzki juga menggunakan teori argument internal formal criteria of
authenticity yang menunjukkan keotentikan materi Jurayj dengan ‘Ata’. Ia
kemudian menginventarisir enam hal yang ia kategorikan sebagai internal formal
criteria of authenticity. Yaitu sebagai berikut:27
1. Jurayj tidak hanya menyajikan pendapat hukum dari generasi sebelumnya,
namun juga menyajikan pendapat hukumnya sendiri.
2. Jurayj tidak hanya menyajikan materi dari ‘Ata’, melainkan juga
memberikan tafsir, komentar, dan bahkan kritik terhadap materi tersebut.
Motzki membayangkan tidak rasional Jurayj membuat teks sendiri,
kemudian menyandarkannya secara palsu kepada ‘Ata’, dan pada saat
bersamaan ia memberi komentar dan kritik.
3. Jurayj terkadang mengekspresikan ketidakyakinannya atas maksud dan
perkataan ‘Ata’. Keraguan Jurayj dinilai Motzki sebagai sesuatu yang
positif, yakni sebagai bukti kejujurannya dalam memproduksi ajaran dari
gurunya.
4. Jurayj terkadang meriwayatkan materi ‘Ata’ dari orang lain.
5. Jurayj menyajikan materi secara tepat dan verbatim.
6. Jurayj terkadang menunjukan kelemahan sumber informasinya. 28
26 Ibid.27 ? Ibid.
28 Harald Motzki, The Musannaf of ar-Razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, ....., hlm. 6.
16
Berangkat dari dua External Criteria dan enam point argument internal
formal criteria of Authenticity di atas, Motzki kemudian membuat kesimpulan
berikut:
1. Materi Ibn Jurayj dari ‘Ata’ yang diabadikan dalam Musannaf Abd ar-
Razzaq adalah benar-benar sumber otentik.
2. Sumber tersebut dapat dikatakan sebagai historically reliable source untuk
fase perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H.29
Kemudian setelah Motzki melanjutkan penelitian dan analisanya mengenai
sejauh mana ‘Ata’ menerima materinya. Motzki pun mengambil kesimpulan
bahwa hirarki sumber otoritas ‘Ata’ adalah Sahabat nabi 15%, al-Qur'an 10%,
anynamous traditions 3%, dan okoh yang semasa dengannya 1,5%. Hassil
penelitian Motzki tersebut juga menunjukkan bahwa Ibn ‘Abas adalah di antara
sahabat yang sering dirujuk oleh ‘Ata’.30
Adapun hasil analisa Motzki terhadap periwayatan ‘Ata’ adalah sebagai
berikut:
1. Responsa, rujukan ‘Ata’ kepada ibn ‘Abbas hanya bersifat supplementary
dan Confirmative untuk mendukung pendapat ‘Ata’. Artinya, rujukan
‘Ata’ kepada ‘Abbas atau sahabat lain tidak dimaksudkan untuk
memberikan “muatan otentisitas” pada pendapat hukumnya. Realita ini
Motzki pahami sebagai indikasi kredibilitas ‘Ata’.
2. Secara umum, ‘Ata’ mengutip Ibn ‘abbas secara langsung (direct
references), meskipun tidak menutup kemungkinan ia mengutip secara
tidak langsung (indirect references).
3. Dalam beberapa kasus, ‘Ata’ merujuk Ibn ‘Abbas bukan untuk
mengkonfirmasikan pendapatnya, melainkan untuk berbeda pendapat
dengannya.
29 ? Ibid.30 ? Ibid., hlm. 7.
17
4. Di samping sebagian besar riwayat ‘Ata’ dari Ibn ‘Abbas menurut legal
dicta, terdapat pula sejumlah teks yang memuat qisas. Dalam qisas ini
‘Ata’ mempresentasikan dirinya sebagai murid Ibn ‘Abbas. Hal ini
menurut Motzki “kriteria isi” tersebut menunjukkan otentisitasnya.
5. Mengingat jumlah hadis Nabi yang allegedy diriwayatkan oleh Ibn ‘Abas
dalam literatur hadis yang sangat besar (sekitar 1.660 hadis), maka ‘Ata’
tidak mengutip dalam materi hukumnya. Dengan kata lain, materi ‘Ata’
dari Ibn ‘Abbas yang terekam dalam Musannaf , status Ibn ‘Abbas bukan
sebagai perawi hadis Nabi. Melainkan materi tersebut otentik dari
pendapatnya Ibn ‘Abbas sendiri. 31
Dari kelima hal ini, Motzki berpendapat bahwa ada indikasi otentisitas
riwayat ‘Ata’ dari Ibn ‘Abas. Selain dari materi ‘Ata’ yang didapat dari Ibn
‘Abbas, Motzki juga menganalisa dari materi ‘Ata’ yang lain, yakni ‘Umar, abu
Hurairah, Jabir dan lain-lain. Motzki melihat ada indikasi kuat kejujuran ‘Ata’
dalam penyebutan sumber otoritasnya. Sampai di sini, maka Motzki
berkesimpulan bahwa Musanaf karya Abd ar-Razzaq adalah dokumen hadis
otentik abad pertama Hijriyah.32
H. SANGGAHAN-SANGGAHAN HARALD MOTZKI ATAS
SKEPTISISME PARA ORIENTALIS TERHADAP HADIST
Harald Motzki selaku Dosen Universitas Nijmegen Belanda ini tidak
setuju dengan kesimpulan Schacht mengenai awal munculnya hadits. Sebab
berdasarkan hasil analisis beliau terhadap sanad maupun matan hadis beliau
menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Mushannaf
karya Abdurrazzaq as-Shan’ani (w. 211 H/826 M) adalah kecil sekali
kemungkinan adanya keberagaman data periwayatan hadis adalah suatu hasil
pemalsuan yang terencana. Dengan demikian beliau menyatakan bahwa suatu
matan hadis dan isnadnya dalam kitab-kitab hadis tersebut layak dipercaya.33 31 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of
the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1, hlm. 7.32 Ibid.33 Sohibul Adib, Pemikiran Harald Motzki Tentang Hadis, http://islamuna-adib.com
dikutip pada tanggal 22 desember 2011.
18
Dengan demikian kesimpulan Motzki berbeda dengan orientalis
skeptisisme seperti Schacht dan Ignaz Golzher yang menganggap semua hadits
adalah palsu. Karena Motzki telah membantah teori Schacht yang
mengungkapkan bahwa isnad cenderung membengkak jumlahnya makin ke
belakang, dan teorinya bahwa isnad yang paling lengkap adalah yang paling
belakangan munculnya. 34
Berkenaan dengan sejarah munculnya hukum Islam Motzki juga tidak
sependapat dengan Schacht. Menurut Motzki, Alquran dan hadits sudah dipelajari
semenjak abad kedua hijriyah atau bahkan sejak Nabi Muhammad saw masih
hidup, karena para fuqaha di Hijaz sudah menggunakan hadis sejak abad pertama
hijriyah. Oleh karena itu, Motzki pun sepakat dengan Coulson, yang mengusulkan
agar para orientalis membalik tesis Schacht, dari via negativ menjadi via positiv.
yakni jika Schacht berkata semua hadits harus dianggap tidak otentik hingga
terbukti keotentikannya, maka harus dilbalik menjadi menjadi pernyataan “semua
hadits harus dianggap otentik kecuali jika terbukti ketidak otentikannya.35
Berbeda dengan pendapat Schacht dan Juynboll yang menganggap
common link sebagai pemalsu atau pemula bagi sebuah hadis, maka Motzki pun
menafsirkan common link sebagai penghimpun hadis yang sistematis pertama,
yang berperan merekam dan meriwayatkannya dalam kelas-kelas murid regular,
dan dari kelas-kelas itulah sebuah sistem belajar berkembang.36
Selanjutnya adapun pemahaman beliau terhadap suatu fakta bahwa para kolektor awal ini (common link) mengutip hanya satu otoritas untuk riwayat mereka adalah mereka hanya menyampaikan versi hadis yang telah mereka terima atau mereka menganggapnya sebagai jalur yang paling tepercaya dan bahwa kebutuhan untuk mengutip otoritas dan informan yang lebih banyak,dan juga berarti versi matan yang berbeda, namun demikian mungkin para penghimpun (common link) menambah informan yang paling cocok apabila mereka lupa informan yang sesungguhnya.37 Adapun yang dimaksud dengan jalur tunggal tersebut adalah bahwa periwayatan hadis tersebut memiliki karakter
34 Ibid.35 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 175.36 Kamaruddin amin, Metode kritik hadis..., hlm. 167.37 Ibid.
19
sebagai berikut: Nabi-----Satu Sahabat------satu Tabiin----satu fulan- satu fulan------sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector) Lihat diagram berikut.
Collector7 Collector 4 Collector 5 Collector 1Collector 2
Collector 8Collector 6 Collector 3
TransmitterTransmitterTransmitter
Transmitter Transmitter Transmittter Transmitter TransmitterTransmitter
Transmitter
Transmitter
Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter TransmitteTransmitter
TransmitterTransmitter
Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter TransmitterTransmitter
Pcl 1 Pcl 2 Pcl 3 Pcl 4 Pcl 5
Common link
Successor Successor
Diving Successor Single strand
Companion Companion
Prophet
Interpretasi Mozki pada fenomena common link membawanya pada
penafsiran yang berbeda tentang jalur tunggal antara common link dan otoritas
yang lebih awal dan fenomena diving. Menurut Motzki jalur tunggal (single
stand) tidak harus berarti hanya satu jalur periwayatan, melainkan jalur tunggal
adalah berarti bahwa common link ketika meriwayatkan sebuah hadis dari
koleksinya hanya menyebut satu jalur riwayat menurut versinya adalah karena
common link menganggap bahwa riwayat tersebutlah yang paling dia ketahui.
Sementara dikemudian hari, para murid common link atau penghimpun
belakangan mencoba untuk menemukan versi-versi (yang mungkin hilang atau
diabaikan oleh common link) bersama dengan jalur-jalur informasinya. Apabila
20
mereka sukses menemukannya mereka pun kemudian “dive” satu atau lebih
generasi dibawah commom link. Ini juga berarti bahwa strand yang “diving” tidak
harus dipahami sebagai hasil pemalsuan dari penghimpun belakangan,
sebagaimana yang dipahami oleh Juynboll.38
Pada prinsipnya meskipun penafsiran Motzki pada teori common link
berbeda dengan dengan pemahaman Schacht dan Juynboll, di sisi lain beliau juga
cenderung mengakui sistem isnad secara umum dan sistem common link secara
khusus dapat digunakan untuk tujuan-tujuan penanggalan.39
Demikian juga pendapat Motzki tentang argumentum e silentio dalam
bukunya Die Anfange, Motzki membantah aplikasi umum argumentum e silentio
dengan memberikan kesimpulan bahwa e silentio adalah berbahaya. Selanjutnya
setelah mengalisis riwayat Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia juga berkesimpulan bahwa
para ulama pada awal Islam tidak selalu merasa wajib mengutip semua rincian
hadis meskipun mereka mengetahuinya. Demikian pula, kenyataan bahwa seorang
ulama tidak menyebut sebuah hadis tertentu mungkin disebabkan karena mereka
tidak mengetahuinya. Ini tidak berarti hadis tersebut tidak eksis sama sekali.
Akhirnya sumber- sumber yang kita miliki tidak lengkap melainkan terpencar-
pencar. Oleh karena itu, munculnya sebuah hadis dalam koleksi hadis yang lebih
tua tidaklah harus dipahami bahwa hadis-hadis tersebut adalah hasil dari
pemalsuan melainkan adalah sebuah hasil periwayatan sebelum diketahui
berbagai hal yang menyebabkan kecacatan periwayatannya atau kecacatan
matannya.40
I. PENGARUH ORIENTALIS DI BALIK GERAKAN ANTI-HADIS
Gugatan para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen itu telah
menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan
dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran
sebagian kalangan umat Islam. Maka, muncullah gerakan anti-hadits di India,
Pakistan, Mesir, dan Asia Tenggara.
38 Kamaruddin amin, Metode kritik hadis...,, hlm. 16839 Ibid. 40 Ibid, hlm. 169.
21
Pada tahun 1906, sebuah gerakan yang menamakan dirinya Ahlul-Quran
muncul di bagian barat Punjab, Lahore, dan Amritsar. Pimpinannya, Abdullah
Chakrawali dan Khwaja Ahmad Din, menolak hadits secara keseluruhan.41 Dalam
propagandanya, gerakan ini mengklaim bahwa Al-Qur’an saja sudah cukup untuk
menjelaskan semua perkara agama. Akibatnya, mereka menyimpulkan shalat
hanya empat kali sehari, tanpa azan dan iqamah, tanpa takbiratul ihram, tidak ada
shalat ‘ied dan shalat jenazah. Chakrawali bahkan membuat aturan shalat sendiri,
mengurangi jumlah rakaat-rakaatnya, dan membuang apa-apa yang menurut dia
tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an.
Propaganda anti-hadits ini belakangan diteruskan oleh Ghulam Ahmad
Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi mendapat serangan balik dari
para ulama setempat seperti Muhammad Ismail as-Salafi, Abul A’la al-Mawdudi,
dan Muhammad Ayyub Dihlawi. Meskipun cukup gencar pada awalnya, gerakan
ini tidak bertahan lama, pengikutnya kian lama kian berkurang dan pengaruhnya
perlahan-lahan surut dan hilang ditelan zaman.42
Wabah antihadits juga sempat merebak di Mesir, Timur Tengah.
Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq Shidqi yang dimuat dalam majalah
al-Manar nomor 7 dan 12 tahun IX dengan judul “Islam adalah Alquran itu
sendiri. Sambil mengutip beberapa ayat-ayat Alquran , Taufiq Shidqi mengatakan
bahwa umat Islam semestinya berpegang pada dan cukup mengikuti Al-Qur’an
saja. Namun setelah mendapat kritik dan sanggahan dari para tokoh ulama Mesir
dan India (Syaikh Ahmad Mansur al-Baz, Syaikh Thaha al-Bisyri, dan Syaikh
Shalih al-Yafi’i) dan atas saran Muhammad Rasyid Ridho, Shidqi akhirnya sadar
dan mencabut pendapat-pendapatnya.43
Selain Shidqi, cendekiawan liberal Mesir yang juga mempersoalkan status
hadits adalah Ahmad Amin, Muhammad Husayn Haykal, dan Thaha Husayn.
Heboh berikutnya timbul menyusul terbitnya karya-karya Mahmud Abu Rayyah
41 Syamsudin Arif,Orientalis dan Diabolisme pemikiran, hlm. 37.42 Ibid.43 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
hlm. 218.
22
yang intinya menolak otentisitas sekaligus otoritas hadits maupun sunnah,
mempersoalkan integritas (’adalah) para shahabat umumnya dan Abu Hurairah
r.a. khususnya. Tulisan-tulisan Abu Rayyah kontan dihujani kritik tajam dan
dibantah keras oleh para ulama seperti Muhammad Abu Shuhbah, Muhammad as-
Samahi, Musthafa as-Siba’i, Sulayman an-Nadwi, Muhibbuddin al-Khathib,
Abdur-Razzaq Hamzah, ’Abdur-Rahman ibn Yahya al-Yamani, Muhammad Abu
Zahrah, dan Muhammad ’Ajjaj al-Khathib. Meskipun ia menyangkal terpengaruh
orientalis, pandangan Abu Rayyah menggaungkan kritik mereka. Polemik seputar
status dan fungsi hadits terjadi lagi di Mesir tidak lama setelah Muhammad al-
Ghazali menerbitkan bukunya yang berjudul ”Sunnah Nabi antara Ahli Fiqh dan
Ahli Hadits”.
Karena isinya dinilai mendiskreditkan ahli hadits dan menimbulkan
kesalah fahaman seputar otoritas sunnah, maka buku ini pun langsung dikritik dan
ditanggapi oleh banyak tokoh dari kalangan ulama seperti Jamal Sulthan, Shalih
ibn ’Abdul-Aziz, Muhammad as-Syaykh, Asyraf ibn ’Abdil Maqshud ibn
’Abdirrahman, Muhammad Jalal Kisyk, Rabi’ ibn Hadi Umayr Madkhali, Ahmad
Hijazi Ahmad Saqa, dan Yusuf Qaradhawi.44
Gerakan anti-hadits di Amerika dipelopori oleh Rasyad Khalifa, insinyur
kimia lulusan Universitas Arizona. Gerakan yang ia namakan ”The Qur’anic
Society” ini secara resmi didirikan pada Juni 1983, menyusul seminar Misionaris
Kristen dan Yahudi Amerika, di mana ia menyampaikan makalahnya yang
berjudul ”Islam: Past, Present, and Future”. Dalam tulisan-tulisannya, Rasyad
Khalifa banyak mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan, seperti ”Hadits-
hadits adalah ciptaan Iblis, mempercayai hadits bermakna mempercayai ajaran
Iblis”. Rasyad Khalifa tewas dibunuh oleh orang tak dikenal, tidak lama setelah
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Mufti Besar Arab Saudi, dalam fatwanya (No. 903,
Syawwal 1403 H/ Agustus 1983) menyatakan bahwa gerakan inkarussunnah
seperti yang diajarkan Rasyad Khalifa adalah sesat.
44 Syamsudin Arif,Orientalis dan Diabolisme pemikiran, hlm. 37-38.
23
Gaung inkarussunnah juga sampai ke Nusantara. Di Indonesia, gerakan ini
telah dilarang secara resmi oleh para ulama dan pemerintah sebagaimana tertera
dalam Fatwa hasil keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat tahun
1983 dan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor 169/J.A/9/1983.
Adapun di Malaysia, gerakan antihadits dipelopori oleh Kassim Ahmad. Orang ini
menulis buku kecil yang intinya meragukan otentisitas hadits dan sekaligus
menolak otoritasnya. Tidak hanya isinya yang membeo dan mereproduksi
argumen orientalis, bahkan judul bukunya pun, ”Hadits – Suatu Penilaian
Semula”, mengingatkan kita pada judul artikel Joseph Schacht beberapa dekade
lalu, ”A Revolution of Islamic Tradition”. Pada 8 Juli 1986, buku ini dilarang
peredarannya oleh Kementrian dalam Negeri Malaysia. Meskipun agak sedikit
terlambat, Pusat Islam Malaysia pun akhirnya mengeluarkan fatwa yang melarang
masyarakat mengikuti gerakan sesat ini (Fatwa Kebangsaan tentang Anti Hadits,
1993).45
J. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
otentifikasi hadis yang dilakukan Harald Moztki adalah berangkat dari analisis
Dating yang dilakukan Motzki terhadap kitab Al-Musannaf Karya Abdurrazzaq
As-Shan’ani, selanjutnya beliau juga menggunakan metode isnad cum analisis
dan pendekatan traditional-historical menunjukan bukti bahwa materi-materi
yang disandarkan Abd ar-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah
otentik. Oleh karea itu maka Moztki menilai bahwa kitab hadis Al-Musannaf
Karya Abdurrazzaq As-Shan’ani adalah dokumen hadis otentik pada abad pertama
Hijriyah, sekaligus sebagai bukti nyata bahwa hukum Islam telah eksis sejak masa
itu. Hasil temuan Motzki tersebut sekaligus menggugurkan teori seniornya G.H.A.
Juynboll J. dan projecting back-nya Schacht yang menyatakan keberadaan sistem
sanad dimulai pada abad ke-2.
Serangan orientalis terhadap hadits dilancarkan secara bertahap, terencana
dan bersama-sama. Ada yang menyerang matannya (Sprenger, Muir, Goldziher),
45 Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme pemikiran, hlm. 38-39.
24
ada yang menyerang isnadnya (Horovitz, Schacht, Juynboll). Serangan mereka
diarahkan ke semua kategori: sebagian menyerang hadits sejarah yang
berhubungan dengan sirah (Kister, Scholler, ), sebagian lagi menggugat hadits
hukum atau fiqh (Schacht, Powers, Calder), sebagian yang lain menohok hadits
tafsir (Wansbrough, Rippin, Gilliot). Adapun secara epistemologis, secara umum
dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya
adalah skeptis.
Mereka mulai dari keraguan dan berakhir dengan keraguan pula.
Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Akibatnya, meskipun bukti-
bukti yang ditemukan menegasikan hipotesanya, tetap saja mereka akan
menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi
pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang dikehendaki itulah yang
dicari dan, jika perlu diada-adakan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar
setiap orang muslim dan muslimat agar selalu melakukan tinjauan kritis terhadap
tulisan-tulisan orientalis mengenai Islam.
BIBLIOGRAFI
25
Adib, Sohibul, Pemikiran Harald Motzki Tentang Hadis, http://islamuna-adib.com dikutip pada
tanggal 22 desember 2011.
Amin, Kamaruddin, “Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the
Classical School”, dalam Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
Amin, Kamarudin, Metode Kritik hadis, Jakarta: PT Mizan Publika, 2009.
Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Masrur, Ali, Teori common link, (Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2007.
Motzki, Harald, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist
Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1 di download dari
http://www.scribd.co m , pada tanggal 2 Nopember 2011.
Rayyah, Mahmud Abu, Adhwa ‘ala As-Sunnah Al-Muhammadyyah, Kairo, t.tp., 1958.
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sumbulah, Umi, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
DAFTAR ISI
26
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................... i
A. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
B. BIOGRAFI HARALD MOTZKI ........................................................ 2
C. KRONOLOGIS KAJIAN ORIENTALIS SEPUTAR HADITS ......... 3
D. METODE SARJANA NON-MUSLIM DALAM MENGANALISIS
KEASLIAN DAN KEMURNIAN HADIS ......................................... 7
E. TEORI-TEORI HARALD MOTZKI DALAM MENGANALISIS
HADIS ................................................................................................. 8
F. METODE PENELITIAN HARALD MOTZKI .................................. 10
G. HASIL PENELITIAN HARALD MOTZKI TERHADAP KITAB
AL-MUSANNAF KARYA ABDURRAZZAQ AS-SAN’ANI .......... 13
H. SANGGAHAN-SANGGAHAN HARALD MOTZKI ATAS
SKEPTISISME PARA ORIENTALIS TERHADAP HADIST .......... 18
I. PENGARUH ORIENTALIS DI BALIK GERAKAN ANTI-HADIS. 21
J. KESIMPULAN .................................................................................... 24
BIBLIOGRAFI
27
i
Disusun Untuk Memenuhi Tugas RevisiMakalah Mata Kuliah Studi Hadis
Disusun Oleh :
MAHMUDAHNIM. 11760011
DOSEN PEMBIMBING
DR. Hj. UMI SUMBULAH, M. Ag
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
KELAS A
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2011
28