makalah pizka

45
BAB I PENDAHULUAN Airway management is fundamental to safe anaesthetic practice and in most circumstances is uncomplicated, but it has been recognized for many years that complications of airway management occur with serious consequences. Good-quality information on the frequency and nature of major adverse events related to anaesthetic airway management is incomplete. Litigation-based analyses add some insight into the severity of such events and have driven changes in practice. These indicate that airway and respiratory complications leading to litigation are a small proportion of all claims against anaesthetists but are associated with notably high rates of death and brain damage, high rates of 'less than appropriate care', and high costs. Owing to the complexity of the relationship between complications and litigation, and the lack of denominators, they do not add information about prevalence or incidence of complications. [7 8] Analyses of critical incident reports in the UK have also added useful information, but these reports largely focus on minor incidents and are likely to miss a considerable proportion of major events. [9] Knowledge of the incidence of such complications should be an important component of clinical decision-making, risk management, and the consent processes. Information on serious and common complications should guide the specialty into appropriate areas for research by demonstrating areas in which our current practice or performance can improve.

Upload: antonius-asmaranto

Post on 27-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

zzzzzz

TRANSCRIPT

Page 1: makalah pizka

BAB I

PENDAHULUAN

Airway management is fundamental to safe anaesthetic practice and in most circumstances is

uncomplicated, but it has been recognized for many years that complications of airway

management occur with serious consequences. Good-quality information on the frequency and

nature of major adverse events related to anaesthetic airway management is incomplete.

Litigation-based analyses add some insight into the severity of such events and have driven

changes in practice. These indicate that airway and respiratory complications leading to litigation

are a small proportion of all claims against anaesthetists but are associated with notably high

rates of death and brain damage, high rates of 'less than appropriate care', and high costs. Owing

to the complexity of the relationship between complications and litigation, and the lack of

denominators, they do not add information about prevalence or incidence of complications. [7 8]

Analyses of critical incident reports in the UK have also added useful information, but these

reports largely focus on minor incidents and are likely to miss a considerable proportion of major

events.[9]

Knowledge of the incidence of such complications should be an important component of clinical decision-making, risk management, and the consent processes. Information on serious and common complications should guide the specialty into appropriate areas for research by demonstrating areas in which our current practice or performance can improve.

BAB II

ISI

Anatomi

Hidung

Hidung bagian luar

Berbentuk piramid; pangkalnya berkesinambungan dengan dahi dan ujung bebasnya disebut

puncak hidung. Kearah inferior hidung memiliki dua pintu masuk berbentuk bulat panjang, yakni

“nostril” atau nares, yang terpisah oleh septum nasi. Rangka bagian tulang terdiri atas os nasale,

processus frontalis maxillae dan bagian nasal ossis frontalis. Rangka tulang rawannya terdiri atas

Page 2: makalah pizka

cartilago septi nasi, cartilago nasi lateralis dan cartilago ala nasi major dan minor, yang bersama-

sama dengan tulang di dekatnya saling dihubungkan.

Otot hidung tersusun dari Muskulus nasalis dan Muskulus depressor septi nasi. Pendarahan

hidung bagian luar disuplai oleh cabang-cabang arteri facialis, arteri dorsalis nasi cabang arteri

ophthalmica dan arteri infraorbitalis cabang arteri maxillaris interna. Pembuluh baliknya menuju

vena facialis dan vena ophthalmica. Persarafan otot-otot hidung oleh N. facialis; kulit sisi medial

punggung hidung sampai ujung hidung dipersarafi oleh cabang-cabang dipersarafi oleh cabang

infraorbitalis N. maxillaris/N. V 2.

Rongga Hidung

Secara sagital rongga hidung dibagi oleh sekat hidung. Kedua belah rongga ini terbuka ke

arah wajah melalui nares dan ke arah posterior berkesinambungan dengan nasopharynx melalui

apertura nasi posterior (choana). Masing-masing belahan rongga hidung mempunyai dasar, atap,

dinding lateral dan dinding medial (sekat hidung).

Rongga hidung terdiri atas tiga regio, yakni vestibulum, penghidu dan pernapasan.

Vestibulum hidung merupakan sebuah pelebaran yang letaknya tepat di sebelah dalam nares.

Vestibulum ini dilapisi kulit yang mengandung bulu hidung, berguna untuk menahan aliran

partikel yang terkandung di dalam udara yang dihisap. Ke arah atas dan dorsal vestibulum

dibatasi oleh limen nasi, yang sesuai dengan tepi atas cartilago ala nasi major. Dimulai sepanjang

limen nasi ini kulit yang melapisi vestibulum dilanjutkan dengan mukosa hidung. Regio

penghidu berada di sebelah cranial; dimulai dari atap rongga hidung daerah ini meluas sampai

setinggi concha nasalis superior dan bagian septum nasi yang ada dihadapan concha tersebut.

Regio pernapasan adalah bagian rongga hidung selebihnya.

Dinding lateral hidung memperlihatkan tiga elevasi, yakni concha nasalis superior, medius

dan inferior. Inferolateral terhadap masing-masing concha nasalis ini terdapat meatus nasi yang

sesuai. Meatus nasi superior yang letak inferior terhadap concha nasalis superior memperlihatkan

sebuah lubang sebagai muara sinus ethmoidalis posterior. Meatus nasi medius berada

inferolateral terhadap concha nasalis medius dan ke arah anterior berkesinambungan dengan

fossa dangkal di sebelah cranial vestibulum dan limen nasi, yakni atrium meatus nasi medius.

Dinding medial atau septum nasi dibentuk oleh lamina perpendicularis ossis ethmoidalis, os

vomer dan cartilage septi nasi.

Page 3: makalah pizka

Dasar rongga hidung dibentuk oleh processus palatinus ossis maxilla dan lamina horizontalis

ossis palatini. Dasar ini memisahkan rongga hidung dari rongga mulut, namun mempunyai

hubungan dengan rongga mulut lewat canalis incisivus.

Faring (Tekak)

Faring adalah sebuah pipa musculomembranosa, panjang 12-14 cm membentang dari basis

cranii sampai setinggi vertebrata cervical 6 atau tepi bawah cartilago crinoidea. Paling lebar di

bagian superior, berukuran 3,5 cm. Di sebelah caudal dilanjutkan dengan oesophagus

(kerongkongan). Pada batas faring dengan oesofagus lebarnya menjadi sekitar 1,5 cm; tempat ini

merupakan bagian tersempit saluran pencernaan, selain appendix vermiformis.

Di sebelah ventral, pharynx terbuka ke dalam rongga hidung, mulut dan larynx; dengan

demikian dinding anteriornya tidak sempurna.

Spatium peripharyngeale terdiri atas dua bagian, yakni:

1. spatium parapharyngeale (pharyngeale laterale)

Spatium parapharyngeale mempunyai batas-batas sebagai berikut:

Ventrolateral : ramus mandibulae dan M. pterygoideus medialis/internus;

Posterolateral : glandula parotis dan pembungkusnya;

Medial : dinding lateral pharynx;

Caudal : sampai setinggi os hyoideum, dibatasi oleh glandula submandibularis dan

pembungkusnya serta M. Stylohyoideus.

Dorsal : fascia bersama yang membungkus A. carotis interna, V. jugularis interna dan N.

vagus, yang dikenal sebagai sarung pembungkus buluh dan saraf (“carotid sheath”).

2. spatium retropharyngeale.

Pharynx dibagi menjadi tiga bagian, yakni:

1. Nasophrynx

2. Oropharynx (Mesopharynx)

3. Laryngopharynx (Hypopharynx).

Nasofaring (Epifaring)

Nasofaring berada di sebelah dorsal hidung dan sebelah cranial palatum molle. Berdinding

statik, kecuali palatum molle. Rongga nasofaring tidak pernah tertutup, berbeda dari orofaring

Page 4: makalah pizka

dan laringofaring. Nasofaring dan orofaring berhubungan melalui isthmus faringeum yang

dibatasi oleh tepi palatum molle dan dinding posterior faring.

Tonsilla faringea (Gearlach) = ADENOID merupakan jaringan limfoid pada submukosa

recessus faringeus di sekitar bursa faringea.

Orofaring (Mesofaring)

Orofaring terbentang mulai dari palatum molle sampai tepi atas epiglottis atau setinggi

corpus vertrebra cervical 2 dan 3 bagian atas.

Tonsila palatina merupakan masa jaringan limfoid pada kedua dinding lateral orofaring,

masing-masing terletak pada sinus tonsillaris.

Laringofaring (Hipofaring)

Laringofaring membentang dari tepi cranial epiglottis sampai tepi inferior cartilago cricoidea

atau mulai setinggi bagian bawah corpus vertebra cervical 3 sampai bagian atas vertebra cervical

Laring (Pangkal Tenggorokan)

Laring merupakan saluran udara yang bersifat sphincter dan juga organ pembentuk suara,

membentang antara lidah sampai trachea atau pada laki-laki dewasa setinggi vertebra cervical 3

sampai 6, tetapi sedikit lebih tinggi dari pada anak dan perempuan dewasa.

Tulang-tulang rawan larynx

Terdiri atas cartilago thyreoidea, cartilago cricoidea dan cartilago epiglottis yang masing-

masing sebuah serta cartilago arytaenoidea, cartilago cuneiforme, dan cartilago corniculastum

yang masing-masing sepasang.

Epiglotis

Epiglotis terdiri dari tulang rawan hialin dan mempunyai 2 permukaan, yaitu :

1. Permukaan lingual yang menghadap ke lidah

Merupakan bagian anterior yang paling sering berkontak dengan akar lidah, pada waktu

proses menelan. Dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Lamina propria di

Page 5: makalah pizka

bawahnya langsung melekat pada perikondrium. Permukaan lingual mempunyai kelenjar

campur dan jaringan limfoid.

2. Permukaan laringeal yang menghadap ke laring

Merupakan bagian posterior yang sering berkontak dengan makanan. Dilapisi oleh epitel

berlapis gepeng yang tipis dari permukaan lingual menjadi epitel bertingkat torak bersilia

bersel goblet, yang akan melanjutkan ke trakea dan bronkus. Lamina propria dibawahnya

mempunyai kelenjar campur ( lebih banyak daripada permukaan lingual )

Dibawah epiglotis terdapat 2 lipatan mukosa yang menonjol ke lumen laring

• Bagian atas disebut pita suara palsu / plika ventrikularis

Dilapisi oleh epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Lamina propria tipis, terdiri dari

jaringan penyambung jarang.. Plika ventrikularis terdapat kelenjar campur dan mempunyai

kelompok jaringan limfoid. Sebagian lamina propria melekat pada perikondrium dan tulang

rawan tiroidea. Diantara 2 plika ventrikularis terdapat daerah yang disebut rima vestibuli

• Bagian bawah disebut pita suara sejati / plika vokalis

Dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Diantara 2 plika vokalis terdapat

daerah yang disebut rima vokalis / rima glotidis. Pada lamina propria terdapat serat-serat

elastin tersusun sejajar membentuk ligamentum vokalis. Sejajar dengan ligamentum vokalis

terdapat otot skelet yang disebut Muskulus vokalis.

Fungsi Muskulus vokalis adalah mengatur ketegangan pita suara dan ligamentum, sehingga

udara yang melalui pita suara dapat menimbulkan suara dengan nada yang berbeda-beda.

Glotis adalah gabungan dari rima glotidis dan 2 plika vokalis. Lipatan ini meluas ke lateral

disebut sinus / ventrikulus laring Morgagni

Trakea (Tenggorokan)

Merupakan sebuah pipa udara yang terbentuk dari tulang rawan dan selaput fibro-muskular,

panjangnya sekitar10-11 cm, sebagai lanjutan dari laring, membentang mulai setinggi cervical 6

sampai tepi atas vertebra thoracal 5.

Struktur Trachea dan Bronchus Utama

Page 6: makalah pizka

Trachea dan bronchus utama yang letaknya ekstrapulmonal (di luar paru) memiliki rangka

cincin tulang rawan yang hialin yang tidak sempurna, dipersatukan oleh jaringan fibrosa dan otot

polos.

Cincin trachea berjumlah 16-20, masing-masing sebagai cincin yang membentuk gambaran

huruf U, yang membatasi dinding 2/3 bagian anterior; di sebelah dorsal pipa trakea ini datar,

karena dinding dorsal cincin tulang rawan trachea tersebut disempurnakan oleh jaringan fibro-

elastik dan otot polos. Tulang rawan bronchi ekstrapulmonal lebih pendek, lebih sempit dan

kurang beraturan, tetapi umumnya serupa bentuk dan susunannya.

Anatomi permukaan. Lebar trachea kira-kira 2 cm dan proyeksinya membentang hampir

vertikal pada garis tengah dari cartilago cricoidea menuju anguius sterni, sedikit mengarah ke

kanan. Bronchus principalis dexter melintas dari trachea menuju hilus di kanan bawah, sejauh

2,5 cm; proyeksi hilus ini berada di belakang ujung sternal cartilago costae ketiga. Bronchus

principalis sinister melintas 5 cm serong menuju kiri bawah ke arah hilus, yang berproyeksi di

sebelah dorsal cartilago costae ketiga kiri, 3,5 cm dari garis tengah.

Pulmo (Paru)

Sewaktu lahir paru-paru berwarna merah muda; pada orang dewasa tampak bercak dan

berwarna kelabu. Semakin berusia lanjut, bercak ini menjadi hitam, karena granul dengan

kandungan bahan karbon yang dihirup, tersimpan pada jaringan penyambung dekat permukaan.

Biasanya, apex pulmolis dan tepi belakang paru, yang kurang dapat bergerak, berwarna lebih

gelap.

Paru memiliki apex (puncak), basis, tiga tepi, dan dua permukaan. Bentuk paru menyerupai

separuh kerucut. Normal paru kanan sedikit lebih besar daripada paru kiri, karena mediastinum

yang berisi jantung, menonjol lebih ke arah kiri daripada kanan.

Lobus/Baga Paru

Paru kiri dibagi menjadi lobus-lobus superior dan inferior oleh fissura obliqua. Dimulai pada

bagian posterosuperior hilus, fissura ini naik serong ke belakang, melintasi tepi posterior paru

kira-kira 6 cm di bawah apex. Kemudian turun ke muka, menyebrangi permukaan costal,

mencapai tepi bawah hampir pada ujung anteriornya. Akhirnya, naik pada permukaan medial

menuju bagian bawah hilus. Lobus superior berada di sebelah anterosuperior terhadap fissura ini.

Page 7: makalah pizka

Dekat ujung bawah tepi anterior lobus superior ini terdapat incisura cardiaca, karena dari arah

mediastinummedius jantung berproyeksi ke dalam cavum pleura kiri. Biasanya ujung bawah

incisura cardiaca lobus superior ini memiliki sebuah taju kecil, yakni lingula. Lobus inferior

yang lebih besar, berada postero-inferior terhadap fissura obliqua tersebut.

Paru kanan terbagi menjadi lobus superior, medius, dan inferior oleh dua fissura. Fissura

obliqua memisahkan lobus inferior dari lobus medius dan lobus superior.

Paru kanan :

Lobus superior : (1) apicalis, (2) posterior, (3) anterior

Lobus medius : (4) lateralis, (5) medialis

Lobus inferior : (6) superior, (7) mediobasalis, (8) anterobasal, (9) laterobasal, (10)

posterobasal.

Paru kiri :

Lobus superior : (1) apicoposterior, (2) anterior, (3) lingula superior, (4) lingula inferior

Lobus inferior : (5) superior, (6) anteromediobasal, (7) laterobasal, (8) posterobasal

Bronkus

Bronkus terdiri dari 2, yaitu :

1. Bronkus ekstrapulmonal

Sama dengan trakea hanya diameternya lebih kecil

2. Bronkus intrapulmonal

Mukosa pada bronkus intrapulmonal membentuk lipatan longitudinal dan dilapisi oleh epitel

bertingkat torak bersilia bersel goblet. Tulang rawan pada bronkus intrapulmonal jarang,

namun membrana basalis jelas. Pada lamina propria terdapat jaringan ikat jarang, serat elatis

dan muskulus polos spiral, noduli limfatisi, dan kelenjar Bronkialis (kelenjar campur) yang

sudah jarang.

Bronkiolus

Bronkiolus memiliki diameter kira-kira 1mm. Pada bronkiolus sudah tidak ada tulang rawan,

kelenjar, dan noduli limfatisi. Namun otot polos relative banyak daripada jaringan ikat.

Bronkiolus dilapisi oleh epitel selapis torak bersilia, sel goblet yang jarang.

Page 8: makalah pizka

Bronkiolus dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Bronkiolus terminalis

Mempunyai diameter 0,2 mm yang dilapisi oleh epitel selapis kubis bersilia, tidak bersel

goblet. Di antara deretan sel ini ada sel clara yang terdapat mikrovili dan granula kasar.

Lamina propria bronkiolus terminalis sangat tipis yang terdapat serat elastin, dan sedikit otot

polos. Lapisan luarnya terdapat serat kolagen, serat elastin, pembuluh darah, dan saraf

2. Bronkiolus respiratorius

Merupakan bagian antara bagian konduksi dan bagian respirasi. Panjang Bronkiolus

respiratorius hanya 1 – 4 mm, berdiameter 0,5 mm dan dilapisi oleh epitel selapis kubis

dengan sedikit silia. Di antara sel kubis terdapat sel clara. Pada lamina propria terdapat serat

kolagen, serat elastin, dan otot polos terputus-putus. Alveoli pada bronkiolus respiratorius

makin ke distal makin banyak namun silia tidak ditemukan. Antara alveoli terdapat epitel

selapis kubis

Duktus alveolaris

Merupakan dinding tipis yang sebagian besar terdiri dari alveoli. Duktus alveolaris dikelilingi

oleh sakus alveolaris. Di mulut alveolus epitel selapis gepeng (sel alveolar tipe 1). Jaringan ikat

fibroelastis otot polos sangat sedikit hanya terlihat seperti titik titik kecil. Duktus alveolaris

terbuka ke atrium, atrium adalah ruang yang menghubungkan beberapa sakus alveolaris.

Sakus alveolaris

Merupakan kantong yang dibentuk oleh beberapa alveoli yang terdapat serat elastin dan serat

retikulin yang melingkari muara sakus alveoli. Sakus alveolaris sudah tidak mempunya otot

polos.

Alveoli

Merupakan kantong kantong kecil terdiri dari selapis sel seperti sarang tawon tempat

pertukaran gas ( O2 dan CO 2) antara udara dan darah. Di sekitar alveoli terdapat serat elastin

(pada saat inspirasi akan melebar dan pada saat ekspirasi akan menciut) dan serat kolagen yang

mencegah regangan yang berlebihan sehingga kapiler dan septum interalveolaris tidak rusak.

Alveoli berjumlah 300 -500 juta alveoli.

Page 9: makalah pizka

Alveolus

Alveolus dilapisi oleh epitel selapis gepeng. Pada dinding alveolus terdapat lubang lubang

kecil berbentuk bulat / lonjong disebut poros / stigma alveolaris. Stigma ini penting apabila

terjadi sumbatan di salah satu cabang bronkus / bronkiolus karena udara dapat mengalir dari

alveolus satu ke alveolus lain Stigma alveoli adalah lubang-lubang kecil bulat / lonjong dan

berdiameter 10 – 15 um. Stigma alveolaris berfungsi untuk menghubungkan alveoli yang

berdekatan (sirkulasi udara kolateral), namun dengan adanya stigma ini juga bakteri mudah

menyebar.

Sel sel yang berada pada dinding alveolus / septum interalveolaris dengan mikroskop

elektron adalah :

1) Sel alveolar tipe I / sel epitel alveoli / sel alveolar kecil / pneumonosit tipe I

Memiliki inti gepeng dan sitoplasma tipis mengelilingi seluruh dinding alveol, dan memiliki

tebal kira-kira 0,2 mikron.

Mempunyai membrana basalis yang memisahkan sel ini dengan sel endotel kapiler.

2) Sel alveolar tipe II / sel septal / sel alveolar besar / Pneumonosit II

Memiliki inti kubis dan sering menonjol ke lumen. Sel ini menyekresi surfaktan yang

berfungsi untuk menjaga agar permukaan alveoli tidak kolaps pada akhir ekspirasi (dengan

menurunkan tegangan permukaan).

3) Sel alveolar fagosit

Selain pada dinding alveoli terdapat juga dalam lumen alveoli. Berasal dari sirkulasi darah /

monosit darah disebut juga Dust cell / sel debu. Sel ini bekerja membersihkan permukaan

epitel alveoli dari debu / mikroorganisme dan benda asing yang terdapat dalam alveoli

4) Sel endotel kapiler

Sel yang dilapisi oleh epitel selapis gepeng yang melapisi kapiler darah.

Blood air barrier

Udara dalam alveol dipisahkan dari udara di dalam kapiler oleh Blood air barrier. Blood air

barrier terdiri atas :

a. Sitoplasma pneumonosit

b. Lamina basaalis pneumonosit

Page 10: makalah pizka

c. Lamina basalis sel endotel

d. Sitoplasma sel endotel (kapiler tipe kontinyu)

Pertukaran gas antara darah dan udara disebut difusi pasif.

Mekanisme Pernafasan

Inspirasi dan ekspirasi

Ventilasi atau bernafas adalah proses pergerakan udara masuk-keluar paru secara berkala

sehingga udara alveolus yang lama dan telah ikut serta dalam pertukaran O2 dan CO2 dengan

darah kapiler paru diganti oleh udara atmosfer segar. Ventilasi secara mekanis dilaksanakan

dengan mengubah-ubah secara berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara

atmosfer dan alveolus melalui ekspansi dan peciutan berkala paru.

Mekanisme pernafasan dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Proses Inspirasi adalah proses Aktif (Kontraksi otot-otot inspirasi). Proses inspirasi

dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Inspirasi tenang

Yang berkontraksi adalah diafragma dan Muskulus Interkostal Eksternus (Otot Inspirasi

utama)

b. Inspirasi kuat

Diikuti dengan otot-otot inspirasi tambahan yaitu muskulus sternokleidomastideus,

muskulus pektoralis mayor, dll.

Keadaan Istirahat, diafragma berbentuk kubah dan memiliki luas permukaan +/- 250 cm².

Perangsangan N. Fremikus menimbulkan kontraksi diafragma. Diafragma turun / mendatar

1.5 – 7 cm, pembesaran rongga dada dalam dimensi vertikal. Pembesaran rongga dada kira-

kira 75% oleh diafragma. Kontraksi muskulus Interkostal Eksternus menyebabkan iga-iga

terangkat keatas lateral, sternum bergerak ke anterior atas, dan volume dada meningkat 25%.

2. Proses Ekspirasi

Ekspirasi dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Ekspirasi tenang : proses pasif

Merupakan proses relaksasi dari otot-otot inspirasi dan jaringan paru kembali

kekedudukan semula sesudah teregang (daya recoil)

b. Ekspirasi Kuat

Page 11: makalah pizka

Kontraksi otot-otot ekspirasi pada saat ekspirasi kuat adalah otot dinding perut dan otot

Interkostal Internis

Kelarutan gas berhubungan dengan konsentrasi

Kelarutan gas/liquid dibedakan menjadi :

• Kelarutan secara fisika

Gas terlarut tanpa bereaksi dengan pelarutnya. Kelarutan gas secara fisika kecil, karena

perbedaan kepolaran antara gas dan pelarutnya juga kecil.

• Kelarutan secara kimia

Gas terlarut bereaksi dengan pelarutnya, sehingga kelarutan gas menjadi lebih besar.

Kelarutan secara kimia selalu lebih besar dari kelarutan secara fisik.

Faktor yang mempengaruhi kelarutan gas dalam cair adalah :

1. Temperatur

Semakin tinggi temperatur maka kelarutan gas dalam cair semakin rendah. Energi kinetik gas

yang semakin tinggi, molekul gas bergerak semakin cepat, sehingg mudah meninggalkan

pelarutnya.

2. Tekanan

Semakin besar tekanan yang diberikan maka kelarutan gas dalam larutan semakin besar juga.

3. Adanya zat terlarut lain

Suatu zat dapat menaikkan atau menurunkan kelarutan gas dalam larutan. Apabila zat terlarut

lain dapat bereaksi dengan gas terlarut, kelarutan gas naik. Apabila zat terlarut lain tidak

bereaksi dengan gas terlarut, kelarutan gas berkurang.

Hukum Henry mengatakan bahwa jika tekanan naik maka kelarutan gas meningkat, sampai

tekanan tidak lagi menaikkan kelarutan gas karena sudah maksimum. Bila dalam air larut

berbagai gas, setiap gas akan bertindak individual dengan tekanan gasnya adalah tekanan parsial

gas tersebut.

Hukum Dalton mengatakan bahwa tekanan total gas adalah jumlah tekanan masing-masing

komponen.

Darah mengangkut O2 dan CO2

Page 12: makalah pizka

Butir darah merah mengandung hemoglobin yang dapat bereaksi dengan O2. Kelarutan O2 dalam

eritrosit lebih besar daripada dalam plasma (+ 90 % air). Plasma darah mengandung garam yang

besifat higroskopis sehingga molekul air semakin sedikit. Sedangkan kelarutan CO2 dlm plasma

lebih besar daripada dalam air.

Transport Oksigen dalam darah

Transport Oksigen dalam darah dilakukan melalui dua cara :

- Secara fisika : kelarutan O2 secara fisik dalam plasma darah (1.5 %).

- Secara kimiawi : O2 berdifusi dalam sel darah merah dan terikat secara kimiawi pada

Hemoglobin (98.5 %).

Transport CO2 dalam darah

CO2 merupakan hasil respirasi selular. Karenanya di sel jaringan P CO2 tinggi yang

menyebabkan difusi CO2 ke pembuluh darah kapiler dan diangkut melalui tiga cara:

1) secara fisika : kelarutan CO2 dalam plasma darah (7%). Kelarutan CO2 24 kali lebih besar

daripada kelarutan O2.

2) Secara kimia: CO2 berdifusi ke sel darah merah dan diubah menjadi:

a) Carbamino haemoglobin : terikat pada Hemoglobin (23%) terikat pada gugus amino pada

tiap ujung terminal dari ke4 rantai polipeptida.

b) Ion Bikarbonat (70%)

H2O + CO2 H2CO3 → H+ + HCO3-.

Di eritrosit terjadi 10.000x lebih cepat daripada di plasma karena adanya enzim

carbonate anhidrase. ion HCO3- kemudian masuk ke plasma. Ion

H+ dinetralisir oleh Hb. Untuk menjaga kenetralan listrik dalam sel darah merah, ion

HCO3- yang ke luar menuju plasma digantikan oleh Cl-.

Dalam plasma, ion HCO3- dapat bertindak sebagai buffer dalam mengontrol pH darah.

Hemoglobin

Setiap sel darah merah mengandung 250 juta molekul Hemoglobin.

Karakteristik Hemoglobin:

Page 13: makalah pizka

1. Globin: terdiri dari 4 rantai polipeptida dengan konformasi : 2 rantai α (masing-masing 141

residu) dan 2 rantai β (masing-masing 146 residu).

2. Gugus Heme: mengandung Ion Fe(II). Heme menempel prostetik pd rantai polipeptida.

Setiap Globin mengandung 4 Heme. Gugus Heme berikatan dengan polipeptida melalui

Fe(II)yang terikat dengan residu Histidin dari polipeptida. Fe(II) berikatan koordinasi dengan 6

buah ligan. Satu tempat kosong pada Fe(II) diisi oleh molekul O2 dan berat jenis Hb = 64500.

Setiap molekul Hb mengikat 4 molekul oksigen, sebab setiap atom Fe mengikat 1 molekul O 2 .

Oksihemoglobin terikat secara reversible.

Hb + O2 Hb.4O2

Dalam keadaan dimana 4 O2 terikat pada Hb disebut saturasi 100%. Saturasi Hb mengikuti

hukum aksi massa. Hb dapat juga mengikat CO2, H+, dan CO. Pengikatan oksigen bersifat

reversibel :

Hb + O2 Hb.4O2

Hb mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan. Hb mengangkut CO2 dan H+ (produk akhir

respirasi) dari jaringan ke paru-paru dan ginjal. H+ terikat pada residu histidin (buffer Hb) pada

rantai β-globin dan pada 2 residu lain di rantai α. CO2 terikat pada gugus amino pada tiap ujung

terminal dari ke4 rantai polipeptida.

Transport CO2

Sel jaringan menggunakan bahan bakar organik dioksidasi oleh mitokondria dengan

menggunakan O2 yang dibawa dalam Hb. Hasil pembakarannya adalah CO2. Diangkut ke paru-

paru dalam bentuk ion HCO3-, Carbamino-Hb, dan gas terlarut dalam plasma. Di paru-paru, P

Page 14: makalah pizka

CO2 darah lebih kecil daripada P CO2 alveoli sehingga CO2 yang terlarut secara fisik dalam

plasma keluar ke alveoli. Kesetimbangan reaksi berikut bergeser ke kiri:

H2O + CO2 H2CO3 H+ + HCO3-

HCO3- dalam plasma masuk ke sel darah merah, Cl- keluar menuju plasma (pergeseran

klorida). HCO3- bergabung dengan H+ yg berasal dari HHb membentuk H2CO3. H2CO3 terpecah

menjadi H2O + CO2

Pada proses pertukaran gas di paru-paru O2 larut secara fisik dalam plasma, namun sebagian

besar berdifusi dalam sel darah merah bereaksi dengan deoksiHb membentuk oksiHb sambil

melepaskan H+. Pada saat Hb jenuh dengan O2, afinitas terhadap CO2 ↓ shg CO2 yang terikat

pada Hb akan terdisosiasi dan berdifusi keluar dari sel darah merah melalui plasma menuju

alveoli. Ion H+ yang dilepaskan Hemoglobin berikatan dengan ion HCO3- yang berdifusi ke

dalam sel darah merah dari plasma dan saling bertukar tempat dengan Cl-. Reaksi antara H+ dan

HCO3- mnghasilkan H2CO3. Asam Karbonat pecah menjadi H2O dan CO2 dengan bantuan enzim

karbonat anhidrase. CO2 berdifusi keluar dari sel darah merah menuju plasma lalu ke alveoli.

Pertukaran gas di jaringan

CO2 terlarut dalam jumlah kecil dalam plasma namun sebagian besar berdifusi ke dalam sel

darah merah bereaksi dengan air membentuk H2CO3 atau berikatan dengan Hb membentuk

carbamino Hb. Reaksi dikatalisis oleh carbonate anhidrase. Terdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-.

Selama pergeseran klorida, ion HCO3- berdifusi keluar dari sel darah merah digantikan oleh Cl-.

Selanjutnya HCO3- bertindak sebagai buffer mengontrol pH darah. Dalam sel darah merah, ion

H+ dibuffer oleh Hb. Pada keadaan dimana Hb berikatan dengan H+ Hb mempunya afinitas yang

rendah terhadap O2. Sejumlah kecil O2 diangkut dalam keadaan terlarut secara fisik berdifusi

keluar dari plasma masuk ke dalam sel jaringan.

Fungsi Pernafasan

Faktor-faktor pernafasan

Internal

Faktor internal yang mempengaruhi proses pernafasan adalah otot-otot inspirasi dan ekspirasi.

a. Inspirasi

Inspirasi tenang

Page 15: makalah pizka

Yang berkontraksi adalah diafragma dan Muskulus Interkostal Eksternus (Otot Inspirasi

utama)

Inspirasi kuat

Diikuti dengan otot-otot inspirasi tambahan yaitu muskulus sternokleidomastideus, muskulus

pektoralis mayor, dll.

b. Ekspirasi

Ekspirasi tenang : proses pasif

Merupakan proses relaksasi dari otot-otot inspirasi dan jaringan paru kembali kekedudukan

semula sesudah teregang (daya recoil)

Ekspirasi Kuat

Kontraksi otot-otot ekspirasi pada saat ekspirasi kuat adalah otot dinding perut dan otot

Interkostal Internis

Eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi proses pernafasan adalah tekanan. Tekanan penting pada

proses ventilasi adalah tekanan atmosfir, tekanan intrapulmo, dan tekanan intrapleura.

Tekanan Transmural adalah :

1. Perbedaan tekanan intra alveol dengan tekanan intra pleura. Resultante kearah dinding dada,

paru teregang ke arah luar.

2. Perbedaan tekanan intrapleura dengan tekanan luar pada dinding dada. Dinding dada tertekan

kearah paru.

Bila tekanan subatmosferik rongga pleura hilang tekanan trnasmural pada dinding dada dan

jaringan paru hilang akibatnya dinding dada dan jaringan paru terpisah disebut pneumothorax,

yang menyebabkan paru kolaps (atelectasis) dan dinding dada lebih mengembang (Barrel Chest).

Kualitas dan kuantitas pernafasan

Kualitas Pernafasan

Kualitas pernafasan seseorang dalam keadaan normal berbeda dengan dalam keadaan

berolahraga. Olahraga sangat meningkatkan ventilasi, tetapi mekanisme yang berperan masih

belum jelas. Peningkatan ventilasi sampai dua puluh kali lipat selama olahraga berat bertujuan

Page 16: makalah pizka

untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan penyerapan O2 dan pengeluaran CO2. Penyebab

peningkatan ventilasi selama olahraga masih bersifat spekulatif.

Walaupun terjadi peningkatan mencolok pemakaian O2 selama olahraga, PO2 arteri tidak

menurun tetapi tetap normal atau bahkan sedikit meningkat. Hal ini disebabkan karena

peningkatan ventilasi alveolus mengimbangi atau bahkan sedikit melebihi peningkatan kecepatan

konsumsi O2. Demikian juga, walaupun terjadi peningkatan mencolok produksi CO2 selama

olahraga, PCO2 arteri tidak meningkat tetapi tetap normal atau sedikit berkurang. Hal ini terjadi

karena CO2 tambahan itu dikeluarkan sama cepatnya atau bahkan lebih cepat daripada tingkat

pembentukkannya akibat peningkatan ventilasi. Selama olahraga ringan atau sedang, konsentrasi

H+ tidak meningkat karena CO2 penghasil H+ ditahan dalam kadar konstan. Selama olahraga

berat, konsentrasi H+ memang agak meningkat karena pembebasan asam laktat penghasil H+ ke

dalam darah akibat metabolisme anaerob di otot. Walaupun demikian, peningkatan konsentrasi

H+ yang terjadi akibat pembentukkan asam laktat tidak cukup besar untuk menimbulkan

peningkatan ventilasi yang menyertai olahraga.

Para peneliti berpendapat bahwa faktor-faktor yang berperan dalam respons ventilasi

terhadap olahraga adalah :

1. Refleks yang berasal dari gerakan tubuh. Reseptor-reseptor di sendi dan otot yang tereksitasi

selama kontraksi otot akan secara refleks merangsang pusat pernafasan dan dengan cepat

meningkatkan ventilasi. Bahkan gerakan pasif anggota badan dapat meningkatkan ventilasi

beberapa kali lipat melalui pengaktifan reseptor-reseptor tersebut, walaupun sebenarnya tidak

terjadi olahraga.

1. Peningkatan suhu tubuh. Banyak energi yang dihasilkan selama kontraksi otot diubah

menjadi panas dan bukan menjadi kerja mekanis. Mekanisme pengeluaran panas, sering tidak

mampu mengimbangi peningkatan produksi panas yang menyertai aktivitas fisik tersebut,

sehingga suhu tubuh sering sedikit meningkat selama olahraga. Karena peningkatan suhu

tubuh merangsang ventilasi, pembentukan panas terkait olahraga ini jelas berperan

menentukan respons pernafasan terhadap olahraga.

2. Pengeluaran epinefrin. Hormon medula adrenal epinefrin juga merangsang ventilasi. Kadar

epinefrin dalam sirkulasi meningkat selama olahraga sebagai respons terhadap pembentukan

potensial aksi di sistem saraf simpatis yang menyertai peningkatan aktivitas fisik.

Page 17: makalah pizka

3. Impuls dari korteks serebrum. Terutama pada permulaan olahraga, daerah-daerah motorik

korteks serebrum diperkirakan secara simultan merangsang neuron pernafasan medula dan

mengaktifkan neuron-neuron motorik otot. Dengan cara ini, daerah motorik otak

meningkatkan aktivitas ventilasi dan sirkulasi untuk menunjang aktivitas fisik yang segera

dimulai.

Kuantitas Pernapasan

Volume dan kapasitas Paru dapat diukur dengan Spirometer

Pencatatannya disebut Spirogram. Yang dapat dihitung dalam spirogram adalah :

1. Tidal Volume ( T.V )

Volume alun nafas, udara yang keluar masuk paru pada pernafasan tenang

2. Volume cadangan inspirasi ( I.R.V )

Volume udara maksimal yang dapat masuk paru sesudah inspirasi biasa

3. Volume cadangan ekspirasi ( E.R.V )

Jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa

4. Volume residu ( R.V )

Udara yang masih tersisa dalam paru sesudah ekspirasi maksimal, terdiri dari:

- volume kolaps

- volume minimal

Volume Kolaps adalah udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi

maksimal bila paru kolaps.

Volume Minimal adalah Udara yang masih tinggal dalam paru sesduah paru kolaps. Digunakan

di ilmu kedokteran kehakiman untuk membuktikan apakah bayi lahir meninggal atau mati

sesudah lahir).

1. Kapasitas inspirasi ( I.C )

I.C = TV + IRV

2. Kapasitas Residu Fungsional ( F.R.C )

FRC = ERV + RV

3. Kapasitas Vital ( V.C )

VC = IRV + TV + ERV

Page 18: makalah pizka

(Menggabarkan kemampuan pengembangan paru)

4. Kapasitas Paru Total ( T.L.C )

TLC = VC+ RV

  Tidak normal Normal Atlet

Frekeunsi Nafas / Menit 40 12 5

T . V 150 500 1200

Ruang Rugi 150 150 150

Ventilasi Pulmonal 6000 6000 6000

Ventilasi Alveol 0 4200 5250

Intubasi

Inadequate ventilation, whether due to sedation and neuromuscular paralysis in the operating

room, an obstructed or compromised airway, altered mentation, loss of consciousness, or

Page 19: makalah pizka

respiratory failure can lead to brain injury or death within minutes.  It is, thus, of great

importance to know how to evaluate and address a patient who may require ventilatory support. 

Indikasi Endotracheal Intubation

Indications for ENDOTRACHEAL INTUBATION in the operating room include:

the need to deliver positive pressure ventilation

protection of the respiratory tract from aspiration of gastric contents

surgical procedures involving the head and neck or in non-supine positions that preclude

manual airway support

almost all situations involving neuromuscular paralysis

surgical procedures involving the cranium, thorax, or abdomen

procedures that may involve intracranial hypertension

Some non-operative indications are:

profound disturbance in consciousness with the inability to protect the airway

tracheobronchial toilet

severe pulmonary or multisystem injury associated with respiratory failure, such as sepsis,

airway obstruction, hypoxemia, and hypercarbia

Objective measures may also be used to help determine the need for intubation:

respiratory rate > 35 breaths per minute

vital capacity < 15 ml/kg in adults and 10 ml/kg in children

inability to generate a negative inspiratory force of 20 mm Hg

PaO2 (arterial partial pressure of oxygen) < 70n mm Hg

A-a gradient (Alveolar-arterial)  > 350 mm Hg on 100% oxygen

PaCO2 (arterial partial pressure of carbon dioxide) > 55 m Hg (except in chronic retainers)

dead space > 0.6 L

Syarat Intubasi

To avoid catastrophes secondary to difficult intubations, any patient that may require

intubation should first undergo a historical and physical airway exam if the situation allows.

Page 20: makalah pizka

Riwayat Jalan Nafas: If possible, attain and review prior anesthesia records.  Ask the patient:

about problems with prior anesthesia such as jaw pain, hoarse voice, dental injury – any thing

that may suggest the anesthesiologist had difficulty intubating or providing positive pressure

ventilation or that the patient has an anatomic abnormality. 

if they have ever been informed by an anesthesiologist that they were difficult to intubate or

ventilate. 

if they have dentures, sleep apnea, TMJ problems or history of prior airway surgery or

trauma (including burns). 

if they have a history of head and neck tumors or infection.

Pemeriksaan Fisik : Your physical exam will be your most reliable tool for anticipating

difficulties in airway management.  Start by reviewing vital signs, particularly oxygen

saturation.  Then, commence your exam with a general assessment:

is the patient obese or morbidly obese?

do they appear to have a short chin or an over-bite?

are there any signs of previous head, neck or thorax surgery?

is the patient pale or cyanotic?

is the patient able to sit up?

is the patient breathing comfortably?

does the patient require supplemental oxygen? 

is the patient appropriate and able to follow commands? 

does the patient have full range of motion of the neck?

In addition to a cardiovascular and pulmonary exam, a focused airway exam should be

conducted.    Detailed evaluation and documentation of pre-procedure abnormalities is

imperative:

examine the mouth and oral cavity (the best combination for east airway management is a

large oral cavity with a small mobile tongue)  

evaluate the extent and symmetry of mouth opening (three finger breadths is optimal) 

check for loose, missing or cracked teeth

Page 21: makalah pizka

note any prominent buck teeth or particularly large incisors that may interfere with

laryngoscopy (dental and oral injuries are common complications of laryngoscopy) 

note the size of the tongue (large tongues may interfere with use of the laryngoscope) 

note the arch of the palate (high arched palates have been known to hamper visualization of

the larynx) 

examine the chin: the two important features of the chin include mandibular space and tissue

compliance.   Predicted airway risk is low if the thyromental space (distance from the

mandible to the thyroid) is three finger breadths or greater and tissue compliance is high.

examine the pharynx.  The appearance of the posterior PHARYNX may predict ease of

laryngoscopy and visualization of the LARYNX.  Malampatti has classified patients in

classes I-IV based on visualization of structures during pre-operative evaluation.  The patient

is asked to open the mouth wide, stick out the tongue, and extend the neck to allow for

maximal visualization of the PHARYNX.

o If the whole of the tonsillar pillars are visualized, the airway is rated Class I and

intubation is likely to be uncomplicated. 

o If the uvula, but not the tonsillar pillars can be visualized, the airway is rated as Class II. 

o Class III is characterized by visualization of part of the uvula and soft palate.  

o An airway is characterized as Class IV if the tongue obstructs view of any structures

beyond the hard palate.  Class IV is associated with increased risk of difficult intubation.

Various scoring systems have been created using orofacial measurements to predict difficult

intubation. The most widely used is the Mallampati score, which identifies patients in whom the

pharynx is not well visualized through the open mouth.

The Mallampati assessment is ideally performed when the patient is seated with the mouth

open and the tongue protruding without phonating. In many patients intubated for emergent

indications, this type of assessment is not possible. A crude assessment can be performed with

the patient in the supine position to gain an appreciation of the size of the mouth opening and the

likelihood that the tongue and oropharynx may be factors in successful intubation (see image

below).

Page 22: makalah pizka

Gambar . Mallampati classification.

High Mallampati scores have been shown to be predictive of difficult intubations.[6] However,

no one scoring system is near 100% sensitive or 100% specific. As a result, practitioners rely on

several criteria and their experience to assess the airway.

In addition to intubation during surgery, some patients may require unanticipated early

postoperative intubation. A large-scale study of 109,636 adult patients undergoing nonemergent,

noncardiac surgery identified risk factors for postoperative intubation. Independent predictors

include patient comorbidities such as chronic obstructive pulmonary disease, insulin-dependent

diabetes, active congestive heart failure, and hypertension. Severity of surgery is also an

identified risk factor. Half of unanticipated tracheal intubations occurred within the first 3 days

after surgery and were independently associated with a 9-fold increase in mortality.[7]

When suspicion of an adverse event is high but a similar anesthetic technique must be used

again, obtaining records and previous anesthetic records from previous operations or from other

institutions may be necessary.

UNDERSTANDING EQUIPMENT

Face Mask: Delivery of positive pressure ventilation by means of a face mask (or bag-valve-

mask device) is an essential skill to develop.  The rim of the mask is soft and form-fitting and by

pressing it firmly against the face an airtight seal is made.  The mask is attached to a breathing

Page 23: makalah pizka

circuit including an oxygen bag.  When pressure in the mask increases by squeezing the inflated

oxygen bag, air flows through the upper airway into the lungs.  When the bag is empty or you

stop squeezing it, air will flow out the lungs through the nose and mouth into the mask. 

Successful ventilation requires both an air-tight mask fit and a patent airway.  Without an airtight

seal between the skin of the patient’s face and the mask, sufficient pressure to inflate the lungs

(or for that matter the ventilation bag) will not develop.   Leak is the most common problem in

delivering face mask ventilation and can be avoided or resolved by proper technique.

If you have an assistant who can squeeze the ventilation bag for you, use two hands to secure an

air-tight seal.  The thumbs hold the mask down while the fingertips or knuckles displace the jaw

forward and upward (lift and protrude the jaw to prevent or alleviate airway obstruction by the

tongue).  The one handed technique is achieved by using the right hand to generate positive

pressure by squeezing the bag using the left thumb and index finger to secure the mask (by

pushing downward).  The middle and ring finger grasp the mandible (and not the soft tissue of

the chin) to extend the atlanto-occipital joint (the neck). The little finger is positioned under the

angle of the jaw and thrusts it anteriorly.

Signs of successful seal and ventilation include:

a foggy mask

the rising of the chest with delivery of positive pressure

breath sounds on auscultation

a firm/taught/full bag 

return carbon dioxide on exhalation capnography.

Page 24: makalah pizka

Gambar . Face Mask

Oropharyngeal airway (OPA) – A curved piece of plastic inserted over the tongue that creates

an air passage way between the mouth and the posterior pharyngeal wall.  Useful when the

tongue and/or epiglottis fall back against the posterior pharynx in anesthetized or unconscious

patients obstructing the flow of air.   The preferred technique is to use a tongue blade to depress

the tongue and then insert the airway posteriorly.  An alternate technique is to insert the oral

airway upside down until the soft palate is reached.  Rotate the device 180 degrees and slip it

over the tongue.  Be sure not to use the airway to push the tongue backward and block, rather

than clear, the airway.  This device is poorly tolerated in

conscious patients and may induce gagging, vomiting and

aspiration.

Page 25: makalah pizka

Gambar . Orofaringeal

Nasopharyngeal airway – Also known as trumpets, nasopharyngeal airways are inserted

through one nostril to create an air passage between the nose and the nasopharynx.  The NPA is

preferred to the OPA in conscious patients because it is better tolerated and less likely to induce

a gag reflex. 

The length of the nasal airway can be estimated as the distance from the nares to the meatus

of the ears and is usually 2-4 cm longer than the oral airway.  Any tube inserted through the nose

should be well lubricated and advanced at an angle perpendicular to the face (remember: the

floor of the nose is the roof of the mouth!).  Use a nostril that is unobstructed. 

While nasopharyngeal airways are better tolerated than oropharyngeal airways in awake or

lightly anesthetized patients, they are contraindicated in patients who are anticoagulated, patients

with basilar skull fractures, patients with nasal infectios and deformities as well as in children

(because of risk of epistaxis).

If the nasopharyngeal tube is visible in the posterior oropharynx, it may provide safe passage

of an nasogastric tube (NG tube) in a patient with maxillofacial fractures. 

Gambar . NG tube

Laryngeal Mask Airway (LMA) – The LMA is a cuff device that provides sufficient seal to

allow for positive pressure ventilation to be delivered. It is particularly useful in maintaining an

Page 26: makalah pizka

airway in anesthetized patients when endotracheal intubation is not desired or during emergency

situations in which mask ventilation is not possible or intubation and/or ventilation fails.

An LMA is a wide bore tube, with a connector at its proximal end (that can be connected to a

breathing circuit)and with an elliptical cuff at its distal end. When inflated, the elliptical cuff

forms a low pressure seal around the entrance into the larynx.   The LMA comes in a variety of

pediatric and adult sizes and successful insertion requires appropriate size selection. 

Gambar .

Laryngoscope – A laryngoscope is a rigid instrument used to examine the larynx and to

facilitate intubation of the trachea.  It is composed of two separate parts: the handle (which also

contains the battery) and the blade, which is used to move the tongue and soft tissues aside to

reveal a view of the larynx.  To this end, an incandescent bulb can be found on the blade tip - it

turns on when the blade is attached to the handle and locked into the 90 degree position

to illuminate the larynx. 

Page 27: makalah pizka

Gambar .

The two most commonly used blades in the United States are the Macintosh, which is

curved, and the Miller, which is straight.  Both blades come in a variety of sizes.  The choice of

blade depends on personal preference and patient anatomy.  

The laryngoscope is held in your NON-DOMINANT HAND (if you are right handed, resist

the temptation to hold the laryngoscope in your right hand!).  Carefully introduce the blade into

the right side of the mouth.  Regardless of which blade is used, IT MUST NEVER PRESS

AGAINST THE TEETH or dental trauma will result.  The tongue is then swept to the left and up

into the floor of the pharynx by the blade’s flange. 

The curved Macintosh blade is inserted past the tongue into the vallecula (at the base of the

tongue).  Providing sufficient lifting force in parallel with the handle, yet avoiding posterior

rotation that causes the blade to press against the teeth,  pressure is applied deep in the vallecular

space by the tip of the blade immediately anterior to the epiglottis, which flips out of the visual

field to expose the laryngeal opening. 

The straight Miller blade is inserted deep into the oropharynx, PAST the epiglottis.  

Providing  sufficient lifting force in parallel with the handle, yet avoiding posterior rotation that

causes the blade to press against the teeth, under direct vision, the blade is slowly withdrawn.  It

Page 28: makalah pizka

will slip over the anterior larynx and come to a position at which it holds the epiglottis flat

against the tongue and anterior pharynx, exposing a view of the larynx. 

With either blade, the handle is raised up and away from the patient in a plane perpendicular to the patient’s mandible.  Avoid trapping a lip between the teeth and the blade and AVOID using the teeth as leverage.

 

Endotracheal Tube – Endotracheal tubes are most commonly made from polyvinyl chloride, with a radiopaque line from top to bottom, standard size connectors (for anesthesia machines, ventilators, or bag-mask devices, a high pressure/low volume inflatable balloon, and a hole at the beveled, distal end (known as Murphy’s eye).  Tubes come in a number of sizes, usually designated in millimeters of internal diameter.  The choice of ETT size is always a compromise between choosing the largest size to maximize flow and minimize airway resistance and the smallest size to minimize airway trauma.

Once a view of the larynx is obtained via laryngoscopy, the ETT is introduced with the dominant hand through the right side of the mouth.  Directly observe the tip of the tube passing into the larynx, between the abducted cords.  Pass the tube 1 cm through the cords.

Double lumen endotracheal tubes are designed so that one lung may be isolated from the other to facilitate selective ventilation of one lung or surgery within a hemithorax.

Page 29: makalah pizka

 

Stylet – A stylet is a long, bendable rod that can be inserted into an endotracheal tube to facilitate intubation.  It is placed into the tube prior to laryngoscopy and then the tube (with the stylet in it) is bent to resemble a hockey stick.  After insertion of the tube into the trachea, the stylet is removed.

Page 30: makalah pizka

Bougie – The Bougie is a straight, semi-rigid stylette-like device with a bent tip that can be used when intubation is (or is predicted to be) difficult.  During laryngoscopy, the bougie is carefully advanced into the larynx and through the cords until the tip enters a mainstem broncus.  While maintaining the laryngoscope and Bougie in position, an assistant threads an ETT over the end of the bougie, into the larynx.  Once the ETT is in place, the bougie is removed.

Page 31: makalah pizka