makalah tukang gig

16
HUKUM PRAKTIK TUKANG GIGI KASUS: TUKANG GIGI ILEGAL DI INDONESIA LAWAN LARANGAN PRAKTIK HUKUM PERAKTIK TUKANG GIGI KASUS: TUKANG GIGI ILEGAL DI INDONESIA LAWAN LARANGAN PRAKTIK Novira Zahara 140600100 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Jl. Alumni No. 2 Kampus USU Medan 20155 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masih adanya masyarakat yang lebih memilih datang ke tukang gigi dari pada ke dokter gigi untuk mengatasi masalah gigi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang membuat masyarakat lebih me milih tukang gigi, diantaranya faktor harga, kualitas gigi tiruan yang sama (kendati nilai resikonya tidak diketahui), keprofesionalan kerja, pendekatan masyarakat dan ketakutan lain yang dirasakan oleh masyarakat . Selama ini rata-rata yang datang ke dokter gigi adalah masyarakat menengah ke atas, karena seperti kita ketahui ekonomi masyarakat Indonesia masih banyak yang di bawah rata-rata (menengah kebawah). Maka untuk masyarakat yang bertaraf ekonomi menengah ke bawah, solusi yang dapat diandalkan adalah ahli gigi atau tukang gigi karena untuk pergi ke dokter gigi mereka tidak punya uan g . Menurut versi dokter gigi, masyarakat 1

Upload: novira-zahara-banurea

Post on 06-Nov-2015

134 views

Category:

Documents


23 download

DESCRIPTION

tkg

TRANSCRIPT

HUKUM PRAKTIK TUKANG GIGIKASUS: TUKANG GIGI ILEGAL DI INDONESIA LAWAN LARANGAN PRAKTIK

HUKUM PERAKTIK TUKANG GIGIKASUS: TUKANG GIGI ILEGAL DI INDONESIA LAWAN LARANGAN PRAKTIKNovira Zahara140600100Mahasiswa Fakultas Kedokteran GigiUniversitas Sumatera UtaraJl. Alumni No. 2 Kampus USU Medan 20155

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangMasih adanya masyarakat yang lebih memilih datang ke tukang gigi dari pada ke dokter gigi untuk mengatasi masalah gigi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang membuat masyarakat lebih memilih tukang gigi, diantaranya faktor harga, kualitas gigi tiruan yang sama (kendati nilai resikonya tidak diketahui), keprofesionalan kerja, pendekatan masyarakat dan ketakutan lain yang dirasakan oleh masyarakat. Selama ini rata-rata yang datang ke dokter gigi adalah masyarakat menengah ke atas, karena seperti kita ketahui ekonomi masyarakat Indonesia masih banyak yang di bawah rata-rata (menengah kebawah). Maka untuk masyarakat yang bertaraf ekonomi menengah ke bawah, solusi yang dapat diandalkan adalah ahli gigi atau tukang gigi karena untuk pergi ke dokter gigi mereka tidak punya uang. Menurut versi dokter gigi, masyarakat telah di tipu oleh Ahli gigi karena ahli gigi tidak memiliki keilmuan yang dapat dibuktikan dengan ijazah maupun seritfikat. Akan tetapi lebih banyak masyarakat yang mengaku puas dan tidak mengeluh apapun setelah datang dan mendapat pelayanan dari ahli gigi. Indonesia sudah terkenal akan mahalnya biaya dalam urusan kesehatan, walaupun ada puskesmas dan rumahsakit umum yang memberikan pelayanan untuk masyarakat miskin namun pada kenyataannya pelayanan yang diterima oleh masyarakat masih belum cukup.1

1.2 Permasalahan 1. Apayang di maksud dengan tukang gigi?2. Bagaimana hukum yang berlaku tentang praktik tukang gigi?3. Mengapa Menteri Kesehatan tidak setuju dengan praktik tukang gigi?4. Mengapa masih banyak masyarakat Indonesia yang mempercayai kesehatan mulutnya untuk di rawat oleh tukang gigi?BAB IIPEMBAHASAN

Tukang gigi adalah mereka yang melakukan pekerjaan di bidang penyembuhan dan pemulihan kesehatan gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran gigi. Adapun kemampuan dari tukang gigi ini hanya berdasarkan pada pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun.4Pada 15 januari 2013 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan putusannya mengenai permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diajukan oleh tukang gigi. Dalam putusan MK tersebut perlu dipahami dan ditafsirkan secara benar agar tidak menyimpang dari apa yang ditetapkan. Sedangkan Kementerian Kesehatan menyampaikan kekecewaannya terhadap putusan MK tersebut.5MK menegaskan bahwa Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai,"Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah".Selanjutnya, Pasal 78 UU Praktik Kedokteran juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai,"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) adalah tukang gigi ".5Berdasarkan putusan yang di buat MK, pasal-pasal tersebut dinyatakan konstitusional bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang norma dalam Pasal tersebut tidak termasuk tukang gigi yang mendapat ijin dari Pemerintah. Dalam pertimbangannya MK mengemukakan, penyimpangan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh tukang gigi ataupun juga karena terbatasnya kemampuan yang dimiliki oleh tukang gigi dalam menjalankan pekerjaannya dapat diselesaikan melalui pembinaan, perizinan, dan pengawasan oleh Pemerintah. Pembinaan dimaksudkan agar tukang gigi mempunyai pengetahuan dasar ilmu kedokteran gigi sehingga dapat menjalankan pekerjaan sesuai ketentuan yang berlaku, pengawasan dimaksudkan untuk mengontrol pekerjaan tukang gigi agar menjalankan pekerjaan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Pemerintah dan memberikan sanksi kepada tukang gigi yang melanggar atau menyalahgunakan pekerjaannya, sedangkan perizinan dimaksudkan sebagai legalisasi tukang gigi untuk menjalankan pekerjaan sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki tukang gigi. Menurut MK, profesi tukang gigi dapat dimasukkan/dikategorikan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia yang harus dilindungi oleh Negara dalam suatu peraturan tersendiri. MK berpendapat, seharusnya berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan antara dokter gigi dan tukang gigi saling bersinergi dan mendukung satu sama lain dalam upaya meningkatkan kesehatan khususnya kesehatan gigi masyarakat.5Kementerian kesehatan kecewa terhadap keputusan MK, karena pengawasan praktik tukang gigi dibuat pemerintah untuk melindungi keamanan kesehatan masyarakat. Hal ini di sebabkan karna sering di temukan komplikasi atau efek samping dapi pekerjaan tukang gigi. Dan juga beberapa hal yang seharusnya tidak di lakukan tukang gigi sering kali di langgar. Seperti membuat gigi palsu di atas akar gigi yang belum di cabut. Padahal persyaratan pemasangan gigi palsu lepasan seharusnya di atas gigi yang tidak ada bagian giginya lagi, jika tidak maka akan menimbulkan suatu infeksi. Bila semua isi putusan telah dipahami seutuhnya, hal itu bakal dijadikan landasan baru bagi Kemenkes untuk menyusun peraturan baru yang sifatnya dapat melindungi keamanan kesehatan masyarakat, sekaligus pula yangdapat membina tukang gigi agar bisa berpraktik dengan benar. Untuk sementara ini yang bisa dilakukan pemerintah dari praktik tukang gigi yang tidak benar adalah dengan menginstruksikan parapetugas Dinas Kesehatan setempat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pada tukang gigi.5,6Keputusan MK ditetapkan untuk mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, sehingga harus ditaati. Namun terhadap keputusan MK tersebut perlu ditelaah secara seksama agar tidak menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang menyimpang.Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik menyebutkan: Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau izin praktik. Kemudian Pasal 78 Undang-Undang tersebut menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).5Keputusan MK menetapkan pasal-pasal UU Praktik Kedokteran tersebut bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Ada pun syaratnya adalah: tukang gigi yang mendapat izin dari Pemerintah. Bila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi. Sebaliknya, pasal-pasal tersebut sesuai dengan konstitusi sepanjang norma dalam pasal-pasal tersebut tidak termasuk tukang gigi yang mendapat ijin dari Pemerintah. Secara sederhana dapat dikatakan, bila syarat tersebut terpenuhi maka larangan serta sanksi pasal-pasal tersebut tidak diberlakukan. Dalam konteks tukang gigi berarti, bila tukang gigi memiliki izin dari pemerintah maka tidak dapat dikenakan larangan serta sanksi yang tercantum pada pasal-pasal tersebut.Namun selanjutnya berdasarkan ketentuan yang ada perlu ditelaah mengenai syarat: tukang gigi yang mendapat izin dari pemerintah. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, tukang gigi yang diakui oleh Pemerintah adalah mereka yang telah mendapatkan izin berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/1969 dan diperpanjang berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/Menkes/Per/1989. Kalau ada yang di luar ketentuan tersebut, namun menyebut dirinya tukang gigi, maka tukang gigi tersebut adalah tukang gigi yang tidak memiliki izin dari pemerintah.5Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/1969 menetapkan bahwa sejak tahun 1969 tidak dikeluarkan izin baru, sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/Menkes/Per/1989 hanya mengatur untuk meneruskan izin yang sudah ada. Diperkirakan saat ini sudah tidak ada lagi tukang gigi yang memiliki izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kenyataan juga menunjukkan, dapat dikatakan tukang gigi yang ada sekarang tidak memiliki izin berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/Menkes/Per/1989.5Praktik tukang gigi yang melebihi kewenangan membuat Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Provinsi Jawa Tengah menjadi resah. Karena dampak kesehatan yang ditimbulkan lebih mahal dari biaya yang dikeluarkan untuk merawat gigi di tukang gigi. Sesuai Permenkes No 339/1998 kewenangannya membuat gigi tiruan lepasan dari akrilik sebagian atau penuh dan memasang gigi tiruan lepasan. Namun pada praktiknya banyak dijumpai tukang gigi ikut menata gigi melalui pemasangan kawat gigi atau behel. Padahal tukang gigi tidak mempunyai kompetensi dan standar profesi memasang kawat gigi.Pemasangan kawat gigi merupakan bidang spesialis, sehingga dokter gigi umum sekalipun belum tentu dapat melakukan.6 Tren behel membuat peran tukang gigi melampaui batas. Namun masyarakat yang membutuhkan juga banyak untuk pasang kawat gigi dengan harga terjangkau, sehingga terjadi pertemuan konsumen dan produsen. Kawat gigi adalah contoh sederhana praktik yang dilakukan tukang gigi dan diminati masyarakat karena biaya murah. Biaya yang dikeluarkan di bawah Rp 1 juta, lebih kecil dari biaya di dokter gigi spesialis yang mencapai Rp 6-8 juta. Namun dampak yang ditimbulkan justru lebih mahal dari biaya yang dibayar ketika memasang kawat gigi pada ahlinya. Hal itu akan berdampaknya infeksi pada gigi, karena kurangnya perawatan dan steril. Minat yang besar di masyarakat selain karena persoalan biaya, juga karena terbawa oleh tren kesehatan yang menipu. Penataan gigi agar rapi dan teratur dengan kawat gigi dipandang sebagian kalangan muda sebagai tren busana. Sudut pandang keliru, karena justru menimbulkan penyakit yang sulit ditangani. Bahaya lain adalah abses (nanah) pada gigi yang ditimbulkan akibat pemasangan gigi tiruan lepasan tanpa dilakukan pencabutan sisa akar terlebih dahulu. Seharunya pemasangan gigi tiruan didahului dengan persiapan pra pemasangan, sehingga tidak berdampak negatif.6Hasil suatu penelitian di Minahasa Utara menyatakan Pandangan masyarakat terbesar (67,31%) menunjuk-kan bahwa tukang gigi memiliki kemampuan dalam pembuatan gigi tiruan. Pandangan ini mungkin terbentuk berdasarkan pengalaman masyarakat yang diperoleh dari keluarga atau kerabat dekat atau pengalaman yang dialami sendiri oleh masyarakat yang kemudian membentuk persepsi masyarakat. Persepsi juga bisa terbentuk dari imej masyarakat bahwa dokter gigi hanya bertugas untuk menyembuhkan penyakit atau keluhan sakit.Tidak dipungkiri bahwa keberadaan tukang gigi sejak jaman dahulu kala bekerja untuk melayani pembuatan gigi tiruan ikut memengaruhi persepsi masyarakat.2 Faktor pelayanan masyarat juga mempengaruhi seperti keberadaan tenaga dokter gigi yang sangat minim sangat dirasakan di daerah. Saat ini jumlah dokter gigi Indonesia berdasarkan data Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) kira - kira 25.218 dokter gigi dan persentase terbesar berada di kota - kota besar di pulau Jawa, yakni 5.609 dokter gigi. Ratio dokter gigi dengan jumlah penduduk 1: 25.000. Jumlah ini masih jauh dari ratio ideal menurut WHO, yaitu 1 : 10.000. Kurangnya tenaga dokter gigi serta penyebarannya yang tidak merata antara lain menjadi salah satu kendala pemerintah dalam menangani berbagai permasalahan di bidang kesehatan gigi, termasuk dalam pembuatan gigi tiruan. Kondisi ini memberikan peluang kepada para tukang gigi untuk melakukan praktek pembuatan gigi tiruan.Hal ini dibuktikan dengan adanya ijin yang diberikan oleh pemerintah untuk tukang gigi melakukan praktek. Ketiadaan atau minimnya dokter gigi di suatu daerah dimanfaatkan oleh para tukang gigi dengan baik, bahkan saat ini banyak ditemukan praktek tukang gigi door to door atau praktek keliling menggunakan kendaraan. Di Minahasa Utara saat ini jumlah dokter gigi yang bertugas hanya 4 (empat) dokter gigi dan di kecamatan Kauditan terdapat 1 (satu) dokter gigi yang bertugas di puskesmas namun praktek pribadinya bukan di desa Treman. Hal ini juga antara lain menjadi alasan sehingga masyarakat lebih memilih perawatan di tukang gigi.2 Responden sebagian besar 86,54% amat sangat setuju bahwa faktor pembiayaan yang terjangkau sebagai faktor penentu dalam pemanfaatan jasa tukang gigi. Perawatan gigi tiruan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apabila berobat ke dokter gigi akan dikenakan biaya untuk jasa pelayanan di samping biaya pembuatan gigi tiruannya, sedangkan apabila ke tukang gigi hanya dikenankan biaya pembuatan gigi tiruan. Biaya dokter gigi wajar lebih mahal dibandingkan dengan tukang gigi karena waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk menempuh pendidikan agar memperoleh kompetensi sebagai dokter gigi tidak sedikit dan lain halnya dengan tukang gigi yang terkadang ketrampilannya hanya diperoleh secara turun temurun atau pendidikan ketrampilan sebagai tekniker gigi yang seharusnya digunakan dalam laboratorium dan bukan untuk berhadapan langsung dengan masyarakat. Data kondisi sosial ekonomi masya-rakat Treman Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa Utara menunjukkan bahwa sebagian besar bermatapencarian atau bekerja sebagai petani, pedagang kecil-kecilan. Oleh karena itu bisa dimaklumi apabila masyarakat mencari pelayanan kesehatan yang lebih murah.2Penelitian yang dilakukan oleh TeoFilo dan Leles menyatakan bahwa 88,8% dari sampel yang diteliti memiliki kendala keuangan yang paling banyak untuk tidak melakukan perawatan gigi tiruan. Hasil yang sama juga didapatkan oleh McGrath dan Bedi yang menyatakan bahwa status ekonomi merupakan prediktor yang paling penting bagi seseorang dalam mengambil keputusan untuk melakukan perawatan. Keadaan sosial-ekonomi suatu keluarga dapat diukur berdasarkan pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Sarnizia pada tahun 2008 di Medan menemukan bahwa sebanyak 92,5% menyatakan biaya yang relatif lebih murah pada tukang gigi menjadi alasan utama dalam memanfaatkan jasa tukang gigi dibandingkan dengan pelayanan kesehatan gigi lainnya dan mengenai biaya pasang gigi palsu yang berlaku menurut tukang gigi umumnya berkisar Rp. 80.000,- sampai Rp. 100.000,- tergantung gigi tiruan yang akan dibuatkan bahkan khusus untuk pembuatan gigi tiruan bisa dilakukan cicilan 3 kali sedangkan pada dokter gigi harga yang ditawarkan jauh lebih mahal sesuai dengan kondisi gigi yang akan dibuatkan gigi tiruan dan pasien tidak dapat mencicil.2,3

BAB IIIDiskusi

Sudah lama tukang gigi memperbaiki gigi warga dengan mengiklankan jasanya lewat poster besar bergambarkan barisan gigi cemerlang dan gusi merah darah. Namun banyak dari mereka yang tidak berizin berbiaya murah, dengan toko-toko kecil yang dapat ditemukan di gang-gang sempit dihimpit rumah-rumah di ibukota. Setelah periode tahunan penuh kisah seram mengenai orang-orang yang menderita kerusakan gigi yang parah akibat praktik yang tidak higienis atau tidak terlatih, pemerintah telah melarang mereka beroperasi pada 2011. Tapi tukang gigi tak berlisensi itu mengabaikan larangan tersebut. Mereka mengajukan gugatan atas larangan tersebut ke Mahkamah Konstitusi dan sekarang menuntut hak berpraktik. Bagi mereka larangan tersebut akan menghancurkan mata pencariannya dan mencegahnya menjalankan usaha yang diwariskan padanya dan saudara-saudaranya oleh ayah mereka. Menurut para tukang gigi ini, mereka hanyalah pilihan realistis bagi warga miskin yang ingin merawat giginya. Herman menarik biaya Rp 50.000 untuk membersihkan gigi, dan Rp 1.5 juta untuk memasang kawat gigi empat sampai lima kali lebih murah dibandingkan dokter gigi berlisensi dan profesional. Tukang gigi juga mudah ditemukan, dengan data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan ada sekitar 75.000 tukang gigi di Indonesia, dibandingkan dengan 35.000 dokter gigi. Banyak keluhan dari pasien yang membuat Kementerian memberlakukan larangan. Pejabat senior Kementerian Kesehatan Untung Suseno Sutarjo menuduh tukang gigi tak berizin ini membuat warga menghadapi risiko untuk kepentingan sendiri. Mereka tidak memiliki kualifikasi. Alat-alat yang dipakai belum dibersihkan atau disterilkan secara benar. Pada akhir 1980an, pemerintah membatasi pekerjaan mereka hanya untuk membuat gigi palsu. Namun aturan itu diabaikan dan mereka terus melakukan prosedur lain, sehingga pemerintah memberlakukan larangan penuh pada 2011. Awal tahun 2013, para tukang gigi mengajukan gugatan atas larangan tersebut ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian memutuskan bahwa aturan itu melanggar konstitusi dan bahwa setiap warga Indonesia berhak bekerja. Asosiasi Tukang Gigi Mandiri berpendapat meski mereka tidak memiliki pelatihan yang cukup, tapi tukang gigi mengalami pengalaman pengalaman tahunan dan keahlian yang diteruskan dari generasi ke generasi. Generasi lebih awal mempelajari keahlian mereka dari orang China pada 1800an. Sekolah dokter gigi pertama baru ada pada 1928. Asosiasi ini sekarang ingin para tukang gigi diberikan hak melakukan prosedur-prosedur seperti memasang mahkota atau menambal gigi, hal-hal yang memang sudah mereka lakukan. Ada harapan bahwa setidaknya beberapa dari mereka dapat mencapai hal itu. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memerintahkan Kementerian Kesehatan untuk memberikan tukang gigi lisensi bila berhasil lulus dari kursus pelatihan. Namun Untung dari Kementerian Kesehatan memperkirakan hanya ada sedikit yang dapat mengambil kursus tersebut. Beberapa buta huruf dan banyak yang bahkan tidak lulus sekolah menengah. Hanya mereka yang memenuhi kriteria pendidikan tertentu yang diperbolehkan mengikuti kursus dan bahwa proses seleksi pada akhirnya akan menghapus mereka. Kementrian Kesehatan berencana untuk menjamin semua warga Indonesia memiliki akses perawatan kesehatan, yang akan mulai digulirkan tahun 2014, akan membantu memenuhi biaya dokter gigi profesional bagi mereka yang berpendapatan rendah. Namun rencana itu baru akan berjalan secara penuh dalam beberapa tahun, yang berarti bahwa praktik tukang gigi sepertinya masih akan marak.

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KesimpulanDengan keputusan MK tersebut, tukang gigi tidak dapat sertamerta langsung menjalankan pekerjaannya. Selanjutnya berdasarkan pertimbangan pada keputusan MK tersebut, Pemerintah perlu melakukan pembinaan, perizinan, dan pengawasan terhadap tukang gigi. Pembinaan dilakukan agar tukang gigi mempunyai kompetensi berdasarkan pendidikan ilmu kedokteran gigi, pengawasan dilakukan agar dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan standar Pemerintah dan memberikan sanksi bagi yang melanggar atau menyalahgunakan pekerjaannya, sedangkan perizinan sebagai legalisasi tukang gigi untuk menjalankan pekerjaan sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki tukang gigi. Dengan demikian Pemerintah harus terlebih dahulu menyusun dan menetapkan ketentuannya, termasuk persyaratan, kriteria dan standarnya, agar dapat kemudian dilaksanakan. Dalam penataan tersebut harus diperhatikan pula keberadaan tukang gigi dalam tatanan pelayanan kesehatan di Indonesia, agar tidak memporak porandakan tatanan yang telah ada. Diharapkan sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh Wamenkes, Pemerintah dalam menyusunperaturan mengenai pembinaan, perizinan, dan pengawasan bagi tukang gigi dijalankan berdasarkan prinsip untuk melindungi keamanan kesehatan masyarakat.53.2 Saran1. Bagi Masyarakat Setelah mengetahui resiko terhadap pelanggaran yang di lakukan oleh tukang gigi tak berizin, seharusnya masyarakat lebih berhati-hati. Dan di harapkan kecermatan masyarakat dalam memilih pelayanan kesehatan yang terbaik demi kesehatan hidup masing masing.

2. Bagi PemerintahDiharapkan agar pemerintah bersama tenaga kesehatan yang ada dapat mengadakan penyuluhan pada masyarakat tentang apa yang boleh di lakukan oleh tukang gigi dan resikonya. Serta dapat mengupayakan untuk memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang lebih terjangkau kepada masyarakat. DAFTAR PUSTAKA1. Kusuma Dalu. Ahli gigi, Tukang Gigi dan Dokter Gigi. http://akumassa.org/kontribusi/dki-jakarta/ahli-gigi-tukang-gigi-dokter-gigi/ (11 Januari 2015).2. Kaunang P.J Wulan. Supit Aurelia. Angraeni Ayu. Persepsi Masyarakat Terhadap Pembuatan Gigi Tiruan oleh Tukang Gigi di Desa Treman Kecamatan Kauditan. 2012; 1(1): 8-9.3. Lomunon OT. Wowor SNV. Soewantoro JS. Gambaran Determinan Perilaku Masyarakat Dalam Pemanfaatan Jasa Tukang Gigi Pada Pembuatan Gigi Tiruan Lepasan Di Desa Treman Kecamatan Kaudit.2013; 6-9.4. E- Jurnal. PERBEDAAN DOKTER GIGI DENGAN TUKANG GIGI (AHLI BEHEL). http://www.e-jurnal.com/2013/12/perbedaan-dokter-gigi-dengan-tukang.html ( 11 Januari 2015).5. Januar P. DENGAN KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: TUKANG GIGI TIDAK MUTLAK BEBAS MENJALANKAN PEKERJAANNYA. http://www.pdgi.or.id/news/detail/dengan-keputusan-mahkamah-konstitusi-tukang-gigi-tidak-mutlak-bebas-menjalankan-pekerjaannya (11 Januari 2015).8