makalah ushul fiqih
TRANSCRIPT
MAKALAH
AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen pembimbing : Busriyanti, M.Ag
Oleh:
Nova Saha Fasadena : (082 111 009)
Dakwah/KPI
A1
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk
problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan
bawah sampai pada kalangan atas. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali
sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya
"rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua problem di atas.
Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian
hukumnya–seperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat memberatkan?
Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu dibenarkan? Ataukah keraguan
tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan karena kurang memahami prinsip hukum
Islam?
Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun
bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak
selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh
karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.1[1]
B. Rumusan Masalah
Hal- hal yang dapat dijadikan rumusan masalah adalah:
1. Apakah pengertian Maslahah Al Mursalah?
2. Bagaimanakah pendapat golongan yang menolak dan menerima Maslahah Al Mursalah?
3. Bagaimanakah syarat- syarat Maslahah Al Mursalah?
4. Ada berapakah macam- macam Maslahah Al Mursalah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mashlahah Al-Mursalah Pengertian Maslahah al Mursalah
Maslahah secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik,
kebaikan, guna atau kegunaan, Sedangkan menurut istilah atau epistemology, maslahah diartikan
1
oleh para ulama Islam dengan rumusan yang hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi (w.
997 H.) menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala maqsudi-
syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak
bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluq). Sedangkan ulama telah
berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan
keturunan atau kehormatan.
Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali merumuskan maslahah
sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan
hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang
mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal
yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah.
Sedangkan menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang
paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah mengatakan bahwa
maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau
membatalkan) sejalan dengan tindakan syara’. 2[2]
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di
dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.3[3]
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahah al
mursalah adalah suatu metode ijtihad dalam menggali sumber hukum yang tidak ada dalil
nassnya dengan berdasarkan pada pendekatan memelihara hukum syara’ (maqosid asysyari’ah)
B. Pendapat Golongan Yang Menolak Dan Menerima Maslahah Al Mursalah
Masalah al Mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas
penganut mazhab asy-Syafi’iah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada
beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu;
Pertama, masalahat itu ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolak oleh syara’
dan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang
dibenarkan dan yang ditolak oleh syara’) tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam.
2
3
Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat
kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori
ketiga diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian
yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang
menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian menurut kelompok umat
Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam
berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti
mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan.
Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum
Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass tertentu, tetapi hanya
mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat
dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan hawa
nafsu.
Ketiga, Bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan
menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak
mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum
lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.
Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya
perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi
dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas
hukum Islam
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima
maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum Islam di atas, dapat disanggah
dengan beberapa alasan.
Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan
penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan
lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan zann yang kuat (sesuatu
yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilah yakfi al-‘amal biz-zann, beramal
berdasarkan kepada zann dianggap cukup karena semua fiqih adalah zann. Dengan demikian
tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti memilih
dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syara’
dengan maslahat yang ditolak oleh syara’, maka maslahat yang dibenarkan oleh syara’ jauh
lebih banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara’. Dengan demikian jika ada
suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka
maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak.
Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau maslahah-
mursalah berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat
dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
Ketiga, Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan
lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak
berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-lasalah baru yang
belum disinggung hukumnya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali
melalui ijtihad.
Keempat, tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan
menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang
terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah dalam menetapkan
hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan.
Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan oleh sekelompok
umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam, sama sekali tidak logis dan tidak realistis.4[4]
C. Syarat- Syarat Maslahah Al Mursalah
Agar maslahah al mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali, asy-Syatibi fan at-Tufi
membuat persyaratan dan ruang lingkup operasional maslahah al mursalah. Persyaratan yang
mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya mereka mempunyai
pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini.
4
Al-Ghazali membuat batasan operasional maslalah al mursalah untuk dapat diterima
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam adalah sebagai berikut :
Pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.
Kedua, maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan
ijma’.
Ketiga, maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder)
yang setingkat dengan daruriyah.
Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zann yang mendekati qat’i.
Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qat’iyah,
daruriyah,dan kulliyah
Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat
bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri,
terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah
hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/ penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau
sumber hukum Islam.
Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak disebutkan oleh Imam
al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Munif
Suratmaputra terhadap contoh-contoh kasus maslahahmursalah yang dikemukakan oleh Imam
al-Ghazali dalam buku-bukunya (al- Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat
disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah
yaitu hanya di bidang muamalah saja.
Agak berbeda dengan Imam al-Ghazali, asy-Syatibi hanya membuat dua kriteria agar
maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam yaitu:
Pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara’, karena itu
maslahat yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau yang berlawanan dengan dalil
syara’ (al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’) tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan
hukum Islam.
Kedua, maslahat seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus.
Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut asy-Syatibi termasuk dalam kajian
qiyas.5[5]
D. Macam- Macam Maslahah Al Mursalah
Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari
beberapa segi.
• Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya
kepada tiga macam, yaitu:
1. Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu 1. memelihara agama,
2. memelihara jiwa, 3. memelihara akal, 4. memelihara keturunan, dan 5. memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
2. Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan
pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan
memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan
meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang
dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.
• Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1. Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah
umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan
yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang
(maqfud).
• Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru
besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1. Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman.
Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
5
2. Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan
tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan
mu’amalah dan adapt kebiasaan.
• Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada:
1. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil
khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2. Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan
ketentuan syara’.
3. Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak
pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.6[6]
6
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari berbagai macam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Maslahah Al Mursalah
merupakan suatu metode ijtihad dalam menggali sumber hukum yang tidak ada dalil nassnya
dengan berdasarkan pada pendekatan memelihara hukum syara’ (maqosid asysyari’ah). Ternyata
ada golongan yang menolak Maslahah Al Mursalah sebagai hujjah dengan berbagai maca
argumen.
Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya
tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’, harus mengandung kemaslahatan,
dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka
memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup
operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah.
Para ulama juga telah membagi maslahah dari beberapa segi diantaranya: dari segi
kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dari segi kandungan maslahah, dari segi berubah atau
tidaknya maslahah, dan dari segi keberadaan maslahah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani, Cet 1, 2003Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997Racmhmat syafe’I, Ilmu Us{hul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, cet 1, 1999Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Usul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Cet 8, 2002Mahmuzar , maslahah-mursalah; suatu methode istinbath hukum, artikel pdf http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg01473.htmlhttp://muchad.info/muchad/dalil-syar’i-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.htmlMahmuzar , maslahah-mursalah; suatu methode istinbath hukum, artikel pdf hal 8- 11Ibid hal.12- 14
http://muchad.info/muchad/dalil-syar’i-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.html
makalah ushul fiqih
Klasifikasi Lafadz dari Segi Jelas Tidaknya Kandungan
Makna
Makalah
ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum
dosen Pengampu
D.r H. Mashudi, M.Ag.
Disusun Oleh :
1. Lailatul Khasanah
2. Arif Makruf
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (INISNU) JEPARA Tahun
2012/2013
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahhirabbil’alamin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Atas segala rahmat dan hidayah-
Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu
kita nantikan syafa’atnya di Akhir kelak nanti. Amien..
Penulis berucap Syukur kepada Allah atas limpahan Nikmat sehat-Nya, baik fisik maupun akal
pikiran, sehingga penulis berhasil menyelesaikan pembuatan makalah, sebagai tugas dari mata kuliah
Ilmu ushul fiqh dengan judul “klasikasi lafadz dari segi jelas tidaknya kandungan makna”
Tentunya makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu, penulis
mengharapkan kritik-kritik dan saran dari pembaca untuk lebih baiknya makalah ini. Demikian, dan jika
terdapat banyak kesalahan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Akhirul kalam......
Wassalamua’laikum Wr.Wb
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
KLASIFIKASI LAFADZ DARI JELAS TIDAKNYA KANDUNGAN MAKNA
A. AZ ZHAHIR.........................................................................................
B. NASH.................................................................................................
C. MUFASSAR.........................................................................................
D. MUHKAM..........................................................................................
E. KHAFI................................................................................................
F. MUSYKIL............................................................................................
G. MUJMAL........................................................................
H. MUTASYABBIH
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................
B. Saran.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ulama ushul fiqh memagi petujuk yang jelas itu menjadi empat bagian :
Zhahir,nash,mufassar,dan muhakkam
Dalalah (petujuk) yang j elas dari nash adalah makna yang di tunjukan dari bentuk
itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar. Jika nash itu mungkin untuk di takwil,
tetapi yang di maksud bukan tujuan asal dari susunan katanya maska disebut
dzahir,jika mungkin untuk ditakwil,sedangkan yang di maksud adalah tujuan asal
dari susunan katanya maka di sebut nash, jika nash itu tidak mungkin untuk di
takwil tetapi hkumnya dapat di nasakh mska di sebut mufassar, dan jika tidak
mungkin untuk di takwil danhukumnya tidak dapat di nasakh maka di sebut
muhakkam.
Nash yang tidak jelas petunjuknya yaitu nash yang bentuknya sendiri tidak
dapat menunjukan makna yang di maksud tetapi dalam pemahamannnya
membutuhkan unsur dari luar .jika kesamarannya dapat di hilangkan dengan
penelitian dan ijtihad maka disebut khafiy atau musykil .jika kesamarannya tidak
dapat di hilangkan kecuali dari penjelasan dari syari maka disebut mujmal .dan jika
tidak ada kemungkinan sama sekali untuk menghilangkan kesamaran itu maka di
sebut mutasyabih .
Bahwa tingkatan dalalah yang jelas itu berada dalam kejelasannya . dalam
kaidah ini kami akan jelaskan tentang dalalah yang tidak jelas .tingkat
ketidakjelasannya dan hal yang di gunakan menghilangkan kesamaran .para ulama
ushul fiqh membagi dalalah yang tidak jelas menjadi empat bagian :
al khafi, al musykil,al mujmal, dan al mutasyabih
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana penjelasan nash yang benar dsan yang jelas dalalahnya.?
2. Bagaimana penjelasan nash yang tidak jelas dalalahnya.?
BAB II
PEMBAHASAN
KLASIFIKASI LAFADZ DARI JELAS TIDAKNYA KANDUNGAN MAKNA
Ulama ushul fiqh membagi nash yang jelas dalalahnya kepada empat macam, yaitu :
1. Zhahir2. Nash3. Mufassar4. Muhkam
Sedangkan di tinjau dari segi kejelasan dalalahnya nash diurutkan sebagai berikut :
1. Muhkam adalah yang paling jelas dalalahnya2. Mufassar3. Nash4. Mufassar
Efek perbedaan tingkatan ini akan kelihatan ketika terjadi pertentangan
a. ZhahirZhahir adalah istilah ulama ushul fiqh ialah: sesuatu yang menunjukan terhadap maksudnya
dengan shinggatnya itu sendiri ,tanpa ketergantungan pemahaman maksudnya itu kepada suatu hal yang bersifat khariji (eksternal),akan tetapi maksudnya itu bukanlah yang dikehendaki yang sebenarnya dari susunan kalimatnya,dan ia mengandung kemungkinan takwil.7[1]
Misalnya adalah firman Allah SWT :
)ا َب َم) الِّر* 3َع) َو)َح)ِّر/ )ْي 3َب 8ُه6 ال )َح)َّل/ الّل (٢٧٥﴿َو)َأ
Artinya :“ padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ”.(QS. 2/Al-Baqarah : 275).
Firman Allah tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala macam jual beli dan mengharamkan segala macam riba ,karena ini adalah makna yang segera dapat di pahami dari kedua lafadz(menghalakan dan mengharamkan ) tanpa membutuhkan suatu qarinah.
b. Nash
7
Nash menurut istilah ulama ushul fiqh ialah : suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukan makna asal yang di maksud dari susunan katanya dan mungkin untuk di takwil.jika makna itu langsung di pahami dari lafal,pemahamannya tidak butuh faktor luar dan ia adalah makna asal yang di maksud dari susunan kata itu,maka di anggap nash.
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah : lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir
dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna
yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana
dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga
makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash
lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qorinah
yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,
)ا َب 3َّل6 الِّر* 3َع6 ِمAْث )ْي 3َب /َم)ا ال Aَّن 3 ِإ 6وا /ُه6ْم3 َق)ال َّن( Aَأ َذ)لAك َب
’’ sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’’
Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayatالَبْيَع َوَحِّرَم الّلُه َواَحَّل
adalah الِّرَبا menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara
keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut.
Ayat ini yaitu َواَحَّل الّلُه الَبْيَع َوَحِّرَم الِّرَبا secara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman riba dan
nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang juga datang setelah kalam
sebagai mana yang ada dalam Al Quran,
Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang
langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil takhsis dan naskh.
Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah qot’i
atau yakin.
c. MufassarAbdul Wahab Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi
petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna
lain dari lafadz tersebut.Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya
dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkanya.
Dari definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat lafadz mufassar itu:
o Penunjukannya terhadap makna jelas sekali.
o Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar.
o Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.
Contohnya firman Allah tentang had zina
3َد)ة )َة) َج)ّل 3ُه6َم)ا ِمAَئ 6َّل/ َو)اَحAَدS ِم*ْن Aَد6َوا ُك Aي َف)اَج3ّل اَّن )َة6 َو)الَّز/ Aْي اَّن الَّز/
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. Annur 2)
X3َد)ة Aْيَن) َج)ّل )َم)اَّن Aَد6َوُه6ْم3 َث ُه)َد)اء َف)اَج3ّل )َع)َةA ُش6 َب ْر3( Aَأ 6وا َب ُت
3 )َأ )ْم3 َي 6ْم/ ل )اِتA َث 3َم6ْح3َص)ْن ِم6وَن) ال )ِّر3 /ِذAَيَن) َي ﴾٤﴿َو)ال
004. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
Masing-masing lafadz yaitu : ((ِمَئَة dan َثَماَّنْيَن)) mufassar karena ia adalah bilangan tertentu. Lafadz
tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan.
Dan firman Allah SWT,
/ِقAْيَن) 3َم6َّت 8ُه) ِم)َع) ال َن/ الّل( 3 َأ )َم6وا )آَف/َةX َو)اْع3ّل 6ْم3 ُك )ُك 6وَّن Aّل 6ِق)اُت )َم)ا َي )آَف/َةX ُك Aْيَن) ُك ِّرAُك 3َم6ْش3 3 ال 6وا Aّل ﴾٣٦﴿ َو)َق)اُت
“dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS.at taubah:36)
karena kata kaaffah (semuanya) meniadakan adanya perkecualian. Banyak sekali materi hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu.juga materi undang-undang perdata yang membatasi bermacam-macam tindakan ,seperti hutang ,hak,atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidk mungkin untuk di takwil.
Demikain juga setiap kata yang mujmal(global)dalam alquran yang di jelaskan oleh hadist dengan penjelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar(jelas/rinci).sedangkan perincian itu sendiri adalah bagian dari jumlah sebagai penyempurnaan selama ia berupa dalil qathi (pasti).
Hukum mufassar harus di amalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya ,ia tidak mempunyai kemungkinan untuk di palingkan dari makna lahirnya
d. Muhkam
Muhkam dalam ulama ushul fiqh ialah :sesuatu yang menunjukan terhadap maknanya yang tidak
menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya,dengan suatu dalalah yang jelas .
Nash muhkam tidak tidak mengandung kemungkinan takwil,artinya memaksudkan makna lain yang
tidak dzahir dari padanya,karena nash tersebut telah di perinci dan di tafsirksn dengan suatu penafsiran
yang tidak memberikan lagi peluang bagi pentakwilan.
Hukum yang di ambil dari muhkam merupakan hukum yang asasi dari kaidah agama yang tidak
menerima pertukaran, seperti menyembah Allah semata-mata ,mengimani kitab dan rasulnya.
Apabila dzahir dan nash bertentangan ,maka nash di menangkan ,karena nash lebih jelas dari
dzahirnya ,dari segi makna nash di kehendaki secara asli dari susunan kalimatnya ,sedangkan dzahir
tidaksecara asli dari susunan kalimatnya.oleh karena inilah ,maka dalalah nash lebih jelas dari pada
dalalah dzahir ,karena lafadz yang khas (khusus) di menangkan terhadap lafadz yang a’mm (umum)
ketika terjadi pertentangan.
Misalnya adalah firman Allah SWT tentang wanita-wanita yang di haramkan. Dalam QS.An-nisa’ :24 :
)24َواَحَّل لُكْم ِما َوْراء َذ لُكْم (الْنساء :
Artinya :
“.........dan di halakan selain kamu yang demikian”.
Dengan firman Allah SWT dalam surat an;nisa :3 .
)3َفا َّنُكْحوا ِما طا ب لُكْم ِمَن الْنساءء (الْنساء :
artinya : “maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat”.
Ayat yang pertama merupakan makna yang dzahir berkenaan dengan diantara yang selain demikian
itu .sedangkan ayat yang kedua merupakan nasah dari pembatasan kebolehan menika empat orang
istri.karena ayat tersebut bertentangan maka nash di menangkan karena kuatnya dalam kejelasan
dhalalahnya ,dan di haramkan mengawini lebih dari empat orang istri.
Apabila nash danmufassar bertentangan .maka mufassar dimenangkan .karena mufassar lebih jelas
dalalahnya dari pada nash.
e. Khafi
Khafi dalam istilah ulama ushul fiqh ialah:lafadz yang menunjukan ,terkadang dari lafadz penerapan
maknanya dalam sebagian satuannya terdapat kesamaran dan untuk menghilangkannya di perlukan
analisis dan pemikiran.
Sebab munculnya kesamaran ini ialah satuan trtentu di dalamnya ada suatu sifat yang melebihi
terhadap satuan-satuan lainnya, atau satu sifat berkurang atau mempunyai suatu nama khusus . lafadz
ini samar dalam konteksnnya dengan satuanya ,karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak dapat
dipahami dari lafadz itu sendiri.
Contohnya lafadz ق) ْر (السا As-Sariq, artinya yaitu pengambil harta berharga milik orang lain
secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya.Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian
dari beberapa satuan adalah macam yang samar seperti pencopet, dia adalah juga pengambil harta
secara terang –terangan dengan menggunakan macam-macam keterampilan atau kelihaian memainkan
tangan dan keahlian menghindari pandangan mata orang di sekitarnya.
f. Musykil
Dalam istilah ulama ushul fiqh ialah fadz yang shiggatnya tidak menunjukan kepada yang di
kehendaki dari lafadz itu ,bahkan untuk memprjelas maksudnya haruslah ada qarinah eksternal yang
menjelaskan maksudnya
Kemusrikan muncul dalam nash ,terkadang dari lafadz yang musytarak.karena lafadz musytarak di
tetapkan menurut bahasa lebih dari satu makna .sedangkan dalam shiggatnya tidak terdapat suatu
penunjukan kepada makna tertentu yang ditetapkan. Oleh karena itu, maka harus ada qarinah yang
eksternal yang menentukan seperti lafadz al-quru’ dalam firman allah dalam ayat Al-baqarah ; 228
)224َوالَمطّلِقاِت َيَّتِّر َبَصَن َباءَّنفسَئُهَن َثال َثَة َقِّرَوء ( الَبِقِّرة:
artinya : “dan wanita-wanita yang di talak ,hendaklah menahan diri tiga kali quru”.
Lafadz tersebut di tetapkan dalam bahasa untuk makna suci dan haidh.manakah dari dua makna itu
yang di kehendaki dalam ayat itu ? apaka iddah dari wanita yang di talak bearakhir dari tiga kali haidh
atau dengan tiga kali suci.
Imam syafii dan sebagian mujtahid berpendapat bahwa yang di maksud lafadz alquru dalam ayat
ini adalah suci .qarinahnya ialah pentaknitsan isim adad(nama hitungan ),karena hal ini menunjukan
bahwasanya yang di hitung adalah mudzakkar .yaitu suci bukan haidh.
g. Mujmal
Menurut istilah ialah :lafadz yang tidak dapat menunjukan terhadap maksudnya melalui
shiggatnya ,tidak ada qarinah lafzhiyyah(tekstual) atau qarinah haliyyah(kontekstual) yang
menjelaskannya .jadi sebab kesamaran adalah bersifat lafadz
Di antara mujmal adalah lafadz – lafadz yang di kutip oleh syari dari makna kebahasaanya dan di
tetapkan untuk berbagai makna bersifat syari secara khusus,Bukan secara bahasa seperti lafadz
shalat,zakat,puasa,haji, riba, dan lain sebagainya
Apabila ada lafadz dalam nash syari dari lafdz tersebut ,maka ia mujmal .oleh karena inilah maka
datang sunnah amaliyah dan qauliyyah untuk mengintropesikan shalat,menerangksan rukun-
rukunnya,syarat-syaratnya dan cara pelaksaanaan ,rasullullah bersabda :
صّلوا ُكَما ْراءَيَّتَموَّنى ا صّلى
artinya : ”kukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat’’.
Demikian pula beliau menginterpretasikan zakat,puasa,haji,riba,dan segala sesuatu yang mujmal dalam
nash-nash alquran.
Di antara lafadz yang mudzmal adalah lafadz asing yang di jelaskan oleh nash itu sendiri dengan arti
khusus. Seperti lafadz al qari’ah dalam firman allah Swt:
الِقاْرْعَة- ِما الِقاْرْعَة- َوِما ادْراك ِما الِقا ْرْعَة- َيوَم َيُكوَن الْناس ُكا لفِّرا ش الَمَبْث||وث.
(الِقا ْرْعُه)
Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia
adalah seperti anai-anai yang bertebaran. (QS.. AL Qari’ah; 1-4)
h. Mutasyabih
Mutasyaabih menurut istilah ulama ushul adalah lafadz yang bentuknya itu sendiri tidak
menunjukkan kepada makna yang di maksud, tidak ada qarinah (alasan pendukung) dari luar yang
menjelaskannya dan syari’ dengan ilmunya hanya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan..
Mustasyabih hanyalah di temukan pada tempat-tempat lain dari pafa nash,seperti potongan-
potongan huruf pada permulaan sebagian surat alquran : Alif Lam Min.Qaf ,Shad, Ha’, Mim dan seperti
ayat-ayat yang dzahirnya bahwaanya Allah menyerupai makhluknya dalam hal bahwa mempunyai
tangan,mata dan tempat. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al fath : 10
. )10َيَدا الّلُه َفوق اَيَدَيُهْم . ( ااَفَّتَّتح :
artinya : ’’ Tangan Allah di atas tangan mereka ........’’
Takwilnya adalah :kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka .
Sedangkan menurut pendapat ulama’ khalaf (modren) adalah bahwa ayat-ayat itu lahirnya adalah
mustahil, karena allah tidak memiliki tangan, mata dan bertempat. Dan setiap ayat yang lahirnya
mustahil untuk di beri makna, maka ia harus di takwil dan makna harus di belokkan dari makna lahirnya.
Kemudian dikeluarkan makna yang di kandung oleh lafaz meskipun dengan cara majas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nash yang jelas dallahnya ada empat macam :
Zhahir
Nash
Mufasaar
Muhkam.
Hukum nash yang muhkam ini adalah wajib di amalkan secara pasti dan
bersifat harus untuk di amalkan. Serta tidak mengandung kemungkinan untuk
dipalingkan dari dzahirnya dan permasalahanya. Dan muhkam tidak menerima
penghapusan.
Apabila dzahir dan nash bertentangan maka yang di menangkan adalah nash.
Sedangkan apabila nash dan mufassar bertentangan maka yang dimenangkan
adalah mufassar.
Nash yang tidak jelas dalalahnya ada empat macam :
Khafi
Musykil
Mujmal
Mutasyabih.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak
lepas dari kesalahan-kesalahan, baik itu kesalahan tulisan atau kesalahan materi,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca dan dosen
pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf,prof.Abdul Wahab,Ilmu Ushul fiqh,Semarang:Dina Utama, 1994, Cet. 1