manajemen pengelolaan kekuasaan di daerah dalam memproduksi kebijakan inklusif
DESCRIPTION
ABSTRAK Studi ini merupakan bagian dari disertasi penulis yang membahas tindakan kepala daerah di Kota Solo menghadapi tantangan struktural (rules maupun resources) guna mengupayakan kebijakan inklusif populis pada kasus penataan PKL dan pemindahan penduduk bantaran Sungai Bengawan Solo. Dengan pendekatan kualitatif strategi studi kasus, individu dan institusi dipilih sebagai unit analisis, termasuk seluruh aktifitas yang dihasilkan dari keduanya. Konsep utama yang digunakan: agen, struktur, tindakan, relasi; dengan teori strukturasi Giddens (1984) dan the polity model (tilly, 1978) sebagai pisau analisis. Hasil penelitian menunjukkan empat bentuk tindakan reform aktor kepala daerah, adanya relasi khusus kepala daerah dengan aktifis masyarakat sipil, dan pengaruh sejumlah faktor eksternal dalam upaya agen mempengaruhi struktur (social production dan social reproduction).TRANSCRIPT
MANAJEMEN PENGELOLAAN MANAJEMEN PENGELOLAAN KEKUASAAN DI DAERAH DALAM KEKUASAAN DI DAERAH DALAM MEMPRODUKSI KEBIJAKAN MEMPRODUKSI KEBIJAKAN INKLUSIF:INKLUSIF:
Studi Kasus Local Reform di Solo Pada Era Joko Widodo (2005-2012)
By Dr. Wahidah R BulanUniversitas Pembanguan Nasional (UPN)
JAKARTA
SIGNIFIKANSI STUDISIGNIFIKANSI STUDI
SIGNIFIKANSI STUDISIGNIFIKANSI STUDI
TEORI STRUKTURASI (Giddens, TEORI STRUKTURASI (Giddens, 1984): 1984):
Model Stratifikasi Agen, Giddens (1984)
Siapa Agen?Siapa Agen?
Apa itu STRUKTUR?Apa itu STRUKTUR?
TINDAKAN AGEN MEMPENGARUHI STRUKTUR TINDAKAN AGEN MEMPENGARUHI STRUKTUR
(RULES & RESOURCES)(RULES & RESOURCES)GIDDENS, 1984GIDDENS, 1984
Tilly (1978): the Polity ModelTilly (1978): the Polity Model Menggambarkan interaksi antar grup dengan sebuah group
collective action, yang terdiri dari komponen-komponen berikut: populasi, a government, satu atau lebih contender dimana di dalamnya terdapat member atau pendukung dan challenger atau oposan. Polity (merupakan collective action yang terjadi antara member dengan government), dan satu atau lebih koalisi.
Dinamika hubungan antar aktor di dalam the polity model terjadi karena upaya member dan challlenger memperebutkan posisi dalam polity, yaitu untuk melakukan kontrol atas resources. Tujuan akhirnya tidak lain agar dapat meningkatkan kepemilikannya atas resources. Dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki, challenger senantiasa mencari cara agar dapat “merangsek” masuk ke dalam polity, sementara member mencoba melakukan sejumlah cara agar posisinya dalam polity tetap aman. Hal itu dengan tujuan agar kontrol yang dimilikinya atas resources tetap dapat dipertahankan. Dengan terjadinya kontestasi antara challenger dengan member dalam memperebutkan sumber daya, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan posisi antara member dengan challenger. Mereka yang pada awalnya menjadi pihak oposan/pihak yang berseberangan dengan government dapat berubah menjadi member dan demikia pula sebaliknya. Member dapat terlempar dari posisinya dan menjadi challenger. Atau kalaupun tidak otomatis terlempar keluar dari polity, hubungan tersebut dapat “merenggang” atau “menjauh” (misal dari ring satu menjadi ring dua, dst).
DINAMIKA RELASI ANTAR AKTOR (Tilly, 1978)DINAMIKA RELASI ANTAR AKTOR (Tilly, 1978)
HASIL HASIL PENELITIANPENELITIAN
PROPOSISI 1PROPOSISI 1
Faktor-faktor yang Faktor-faktor yang mempengaruhimempengaruhi
KeberanianInisiatifInovasi
Keberpihakan
INKLUSI
SOSIALEMPATI
EGALITER PROFESIONAL
NON FORMAL
PROPOSISI 2PROPOSISI 2
PROPOSISI 3PROPOSISI 3
TINDAKAN REFORM JOKOWITINDAKAN REFORM JOKOWI Enabling: keberanian (inovasi) dalam kebijakan
penganggaran dan keberpihakan kepada kelompok miskin (inklusif populis atau pro poor)◦ Penggunaan APBD sebagai sumber pendanaan utama
reform, diantaranya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin (PKMS, BPMKS, Penataan dan Pemberdayaan PKL: relokasi, gerobakisasi, tendaisasi, zonasi, Resetlemen penduduk ilegal di bantaran Sungai Bengawan Solo efisiensi anggaran, maksimalisasi penyerapan anggaran (rata-rata di atas 90%), belanja langsung lebih dari 40%.
◦ Menggalang dana dari swasta, pusat, dan lembaga bantuan internasional Pelibatan swasta dalam pembiayaan program reform (non profit) seperti diskon pembelian kebutuhan anak usia 0-18 tahun seperti seragam, buku, makanan, pakaian (KIA), yang terlaksana berkat kerjasama dengan 31 pengusaha (dana CSR) sejak tahun 2010.
◦ Universal coverage yang berkeadilan (pemberian subsidi pendanaan kesehatan untuk seluruh masyarakat Solo secara proporsional): pemberian subsidi berbasiskan pemenuhan hak warga
◦ Bukan hanya peningkatan ketrampilan (capacity building) akan tetapi juga berupa upaya peningkatan status kelompok miskin; dari pedagang ilegal menjadi legal (PKL), dari pemukim dilahan ilegal menjadi pemilik (pemukim liar dibantaran sungai Bengawan Solo), pemberian fasilitas secara cuma-cuma (kios, rumah) kepada masyarakat miskin (kebijakan inklusif).
TINDAKAN REFORM JOKOWITINDAKAN REFORM JOKOWIConstraining: keberanian untuk
melakukan tafsir atas regulasi (mencari lob hole, tidak menjadikan regulasi sebagai pembatas tindakan).◦Mendahulukan penyelesaian masalah dari
penyusunan peraturan dengan cara menggunakan SK Walikota sebagai payung hukum pelaksanaan sejumlah kebijakan reform (tahap awal), Tujuan agar program dapat segera dilaksanakan.
◦Mengemudiankan penegakan hukum dan mendahulukan pemenuhan kewajiban.
◦Konsistensi kebijakan: untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya usaha rakyat (UMKMK) selain melakukan penataan PKL juga ditopang dengan kebijakan revitalisasi 38 pasar tradisional, dari 41 pasar tradisional yang ada, pembatasan jumlah mall dan super-market (skala mega, midi, mini), peningkatan skill pedagang kecil, dll.
Faktor-faktor yang Faktor-faktor yang mempengaruhi Keberhasilan mempengaruhi Keberhasilan Tindakan Reform JokowiTindakan Reform JokowiKeberpihakan yang kuat kepada
kepentingan kelompok miskin (sikap inklusif populis agen)
kharisma personal dukungan multi aktorOptimalisasi official power dan penggunaan
soft power (personal approach, cultural approach, keteladanan, dll) oleh agen dalam melakukan tindakan reform.
Karakter personal agen (keberanian): kebijakan penganggaran, terobosan hukum (political inovation) dalam melakukan tindakan reform.
pengalihan dana hibah banjir, sayembara, dll.
Kompetensi agen : gagasan inovatifKesediaan berbagi kekuasaan.
Jokowi dan RudyJokowi dan RudyTerdapat pembagian tugas yang jelas
diantara keduanya (Rudy pembinaan dan pengawasan birokrasi, Jokowi lebih kepada inovasi program reform).
“Kepahaman” masing-masing pihak akan “keberadaan” (kelebihan dan keterbatasan) pihak lain: Rudy pada aspek penguasaan politik (basis massa PDIP dan DPRD), Jokowi pada inisiatif reform dan pendekatan kerakyatan.
Konflik terbuka tidak terjadi, meski terdapat perbedaan sikap dalam beberapa aspek: ◦ penempatan personal dibirokrasi: orang-orang
Wawali di OPD dan Kelurahan, ◦ project pemkot, ◦ perbedaan cara pendekatan, dll).
Jokowi dan BirokrasiJokowi dan BirokrasiTidak ingin terlibat dalam pekerjaan yang dapat
menyita energinya untuk mengupayakan reform (fokus dan penetapan prioritas). menyerahkan urusan penanganan birokrasi diserahkan
kepada Wakil Walikotakontrak politik tak tertulis bahwa urusan birokrasi menjadi kewenangan Rudy (politisasi birokrasi).
Tidak “menunggu” tetapi “memaksa” berlari: menjadi contoh: dalam berkomunikasi dengan
masyarakat, spirit melayani, bebas KKN. memimpin langsung upaya perubahan. menciptakan alternatif untuk mengatasi “kelembaman
birokrasi” Menggunakan pendekatan non formal mengisi
kekurangan pendekatan formal: diantaranya dengan menempatkan personal tertentu (Mr X, Y, Z, dan Sekda) untuk mengamankan agenda dan mendorong percepatan reform.
Jokowi dengan DPRDJokowi dengan DPRDPeran utama membangun hubungan
dengan DPRD dimainkan oleh Rudy (PDIP)
Sikap kritis (penolakan anggaran) datang bukan hanya dari partai diluar PDIP tapi juga dari PDIP
Mengambil inisiatif membangun hubungan dengan seluruh kekuatan politik di DPRD (fraksi) hubungan profesional, bukan hubungan antara anggota koalisi (Jokowi menolak usulan partai pendukung untuk membentuk forum koalisi).
Lebih memfokuskan tindakan pada bagaimana memperoleh dukungan masyarakat atas kebijakan reform yang dilakukan.
Orang “Jokowi” di Internal Orang “Jokowi” di Internal BirokrasiBirokrasi
Mr. X ◦Hubungan Langsung◦Peran: mengamankan agenda reform
(penataan kawasan)Mr Y
◦Tidak ada hubungan, namun aktor bekerja mendukung program reform Jokowi (mengamankan project) karena ingin mendukung perubahan.
Mr. Z◦Hubungan tidak langsung (melalui CSA)◦Peran: mendorong “percepatan kerja”
birokrasi guna mewujudkan agenda local reform Jokowi
Jokowi dan para pengusahaJokowi dan para pengusahaDisegani para pengusaha mengingat latar-
belakang profesinya sebelum menjabat (pernah menjadi ketua APINDO Kota Solo, Ketua APINDO Kota Solo saat Jokowi menjabat sebagai walikota adalah teman baiknya).
Memahami logika para pengusaha sehingga dapat dengan mudah memperoleh dukungan dari para pengusaha:◦ merubah citra solo dari Kota Tidak Layak Investasi
menjadi Kota Layak Investasi memenuhi kebutuhan pengusaha.
◦ Kerjasama dengan sejumlah perusahaan dalam program KIA (Kartu Identitas Anak).
◦ Pemasangan billboard◦ Pengelolaan taman
Tidak menjadikan bantuan pendanaan pembangunan dari pengusaha (logika pengusaha untung rugi, pelit): bantuan dari pengusaha hanya sebagai pelengkap.
Hubungan langsung namun non formal (tidak ada ikatan) dan tanpa konsesi apapun
Relasi setara Alasan kesedian membangun hubungan karena faktor nilai (kesamaan idealisme)
CSA (ES dan PG) juga mempunyai hubungan (kenal baik) dengan Wawali, namun tidak ada hubungan spesial terkait reform dengan Wawali.
Jokowi dengan Jokowi dengan CSACSA
PERAN CSA DALAM HUBUNGAN DENGAN PERAN CSA DALAM HUBUNGAN DENGAN ANTAR AKTOR (KEPALA DAERAHANTAR AKTOR (KEPALA DAERAH
CSA berperan sebagai mediator bagi kepala daerah dalam berkomunikasi dengan CSO dan masyarakat (PKL dan warga bantaran sungai bengawan solo):◦ membantu kepala daerah memahami agenda
reform (menerjemahkan keinginan masyarakat dalam hal ini PKL dan penduduk bantaran sungai Bengawan Solo).
◦ membantu memberi pemahaman yang lebih komprehensif mengenai keterbatasan daya dukung reform yang tersedia kepada masyarakat (menghilangkan kecurigaan/menghilangkan resistensi/menciptakan suasana kondusif untuk bekerjasama) dengan bahasa yang lebih mudah dipahami dan pendekatan yang lebih dapat diterima Dimungkinkan terjadi karena organisasi bentukan CSA (ES
dengan KOMPIP serta PG sebagai pendiri Konsorsium Solo) dan CSAmemiliki pengaruh yang cukup kuat (aktifis senior, penasehat, dll) terhadap CSO (contoh: ES dengan Konsorsium Solo). CSO merupakan NGO pendamping masyarakat (PKL dan warga bantaran sungai).
LANJUTANLANJUTANCSA menjadi “teman diskusi” bagi kepala
daerah dalam perumusan kebijakan dan atau evaluasi berbagai kebijakan/program: ◦Konsultasi: Konsep LARAP, bentuk kios,
pendekatan kepada masyarakat (pendekatan kelompok, pendekatan komunitas, manajemen terfokus), pendekatan kepada media massa, kesediaan untuk membuka ruang publik, mengembangkan partisipasi.
◦penguat/peneguh kesimpulan atau sikap kepala daerah atas isu
CSA menjadi “mata dan telinga” kepala daerah dalam memahami kondisi lapangan
menghimpun informasi dan data real kondisi lapangan.
Hubungan antar CSAHubungan antar CSATerdapat kesamaan alasan kesediaan
membangun hubungan dengan kepala daerah, yaitu karena menganggap kepala daerah dapat diandalkan untuk mewujudkan agenda local reform.
Tidak terjadi konflik antar CSA dalam memperebutkan resources (anggaran maupun pengaruh) karena tujuan CSA membangun relasi dengan kepala daerah tidak terkait dengan penguasaan resources.
Masing-masing CSA memiliki peran spesifik dalam relasinya dengan kepala daerah
Jokowi dengan NGO (CSO)Jokowi dengan NGO (CSO)Membangun hubungan tidak
langsung dengan NGO, yaitu melalui tokoh-tokoh utamanya (CSA: PG dan ES) selain hubungan langsung.
Hubungan bukan dalam konteks penaklukan, tapi kemitraan untuk mewujudkan tujuan reform.
Bentuk hubungan: ◦member◦member kritis (Konsorsium Solo), ◦Challenger (PATTIRO).◦challenger koperatif (KOMPIP).
Hubungan antar NGOHubungan antar NGOKonsorsium Solo sebagai forum NGO
Solo (rumah besar) lebih berfungsi sebagai forum kordinasi dan tidak
Adanya independensi sikap anggota forum NGO (memilih menjadi challenger atau menjadi member) yang disebabkan karena independensi dalam pendanaan kegiatan.
Tidak terjadi konflik terbuka karena perbedaan sikap dan kebijakan meski ditingkat internal NGO kritik atas sikap institusi lain menjadi pembahasan.
PROPOSISI 4PROPOSISI 4
Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor dalam Local Reform di Solodalam Local Reform di Solo
Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor pada Kasus PKL (tahap awal)pada Kasus PKL (tahap awal)
Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor pada Kasus PKL (tahap akhir)pada Kasus PKL (tahap akhir)
Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor pada Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor pada Kasus Resettlement (tahap awal)Kasus Resettlement (tahap awal)
Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor pada Relasi Kepala Daerah dengan Multi Aktor pada Kasus Resettlement (tahap akhir)Kasus Resettlement (tahap akhir)
Model Hubungan Kepala Daerah dengan Multi Aktor: Model Hubungan Kepala Daerah dengan Multi Aktor: Kasus SoloKasus Solo
Gambar 8.7 Model Hubungan antar Aktor dalam Local Reform
Terima KasihTerima Kasih