masalah resistensi pa

Upload: martha-p

Post on 30-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

MASALAH RESISTENSI PADA PENGOBATAN SALMONELLOSIS

MASALAH RESISTENSI PADA PENGOBATAN SALMONELLOSIS

Suharto

Divisi Penyakit Tropik-Infeksi

Laboratorium -SMF Penyakit Dalam

FK Unair RSUD Dr Sutomo

SURABAYA

PENDAHULUAN

Resistensi obat pada mikroorganisme penyebab penyakit menjadi masalah baru dalam ilmu kedokteran. Adanya resistensi obat menimbulkan kekhawatiran penurunan kemampuan kita dalam mengurangi dan mengendalikan penyebaran penyakit infeksi (Tenover dan Hughes,1996). Peningkatan masalah resistensi ini tidak hanya dipengaruhi oleh penggunaan antimikroba pada manusia saja, namun juga dipengaruhi oleh pemakaian obat tersebut di lingkungan veterinary medicine (kedokteran hewan), animal husbandry (peternakan ), agriculture ( pertanian), aquacultur ( perikanan). Masalah resistensi obat menjadi hal yang menonjol di dunia berkembang, karena beberapa faktor sosioekonomi serta perilaku . Termasuk kedalamnya adalah masalah misuse antimikroba oleh tenaga medik, praktisi dan orang awam yang tidak berpengalaman, kondisi lingkungan yang tidak higienis, surveilans yang tak memadai, yang semuanya akan berperan dalam penyebaran bakteri resisten (Enenkel dan Stille, 1988 ; Okee et al, 1999).

Timbulnya resistensi obat juga terjadi pada bakteri Salmonella, penyebab penyakit Salmonellosis yang banyak dijumpai di negara berkembang maupun negeri maju. Salmonella merupakan kuman berbentuk batang, bersifat gram negatif, berflagela, tidak berspora, termasuk dalam family Entero bacteriaceae. Berdasar dari host preferences dan manifestasi penyakit pada manusia, Salmonella dapat dibagi menjadi 2 kategori ( Mandal, 1996 ):

Serotipe S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C. Serotipe tersebut primer host nya manusia, menyebabkan penyakit demam tifoid dan paratifoid dengan gejala : demam lama, bakteremia serta diare ringan yang terjadi pada awal penyakit

Serotipe lain, mereka beradaptasi pada binatang, menimbulkan infeksi pada manusia dengan cara menyerang usus dan menyebabkan diare akut.

Adanya resistensi obat sangat penting diketahui, terutama untuk infeksi S.typhi dimana terapi segera dengan obat yang efektif sangat penting. Juga dengan adanya laporan multiresistent serovar lain selain S.typhi sebagai penyebab beberapa outbreak di rumah sakit (Miller et al, 1996). Seperti diketahui, pada tahun 1948 chloramphenicol di temukan, dan pemakaian obat tersebut untuk demam tifoid dapat menurunkan angka kematian dari 10% menjadi kurang dari 2%.. Sejak 1970, multiresistant Salmonella diketahui menyebabkan outbreak yang luas di beberapa rumah sakit di negara berkembang. Selain yang terjadi pada ruang perawatan neonatal dan anak-anak, outbreak juga dilaporkan di masyarakat di kampung dan kota kecil. Gejala penyakit berat, dengan enteritis dan septicaemia; kematian pernah dilaporkan mencapai 30%. Serovar yang terlibat yang dilaporkan dari daerah Timur Tengah dan India adalah : S typhimurium dan di Eropa Selatan, Afrika Utara dan India adalah S.wien.

Masalah resistensi bakteri yang dihadapi negara berkembang dalam beberapa hal sama dengan yang dihadapi Eropa dan USA pada tahun 1950 - 170, Namun terdapat beberapa perbedaan yang nyata, Di negara berkembang biasanya tak ada fasilitas mikrobiologi yang diperlukan. Resistensi sering disimpulkan bila terdapat kegagalan pengobatan. Bila fasilitas ada, pemeriksaan yang dikerjakan mungkin hanya sederhana saja; dengan akibat masalah resistensi obat tidak terdeteksi.( Enenkel dan Stille, 1988 )

Pada makalah ini akan dibahas masalah resistensi pada pengobatan Salmonelosis, menekankan pembahasan bagaimana resistensi obat terjadi serta peluang untu mengatasinya.

EPIDEMIOLOGI SALMONELLOSIS DAN RESISTENSI OBAT

Demam tifoid dan demam paratifoid serta salmonelosis non-tifoid mempunyai masalah berbeda antara negara berkembang dan negara maju. Demam tifoid banyak dijumpai di negara berkembang, terutama di India, Amerika Tengah dan Amerika Latin serta Afrika. Demam tifoid hanya sedikit di negara maju. Di Inggris hanya 200 - 300 kasus per tahun, dan sebagian besar infeksi terjadi pada mereka yang baru kembali dari daerah endemik demam tifoid (Mandal,1996 ). Di negara maju, termasuk Inggris, sebagian besar Eropa Barat, dan USA, infeksi Salmonella, diluar S. typhi dan S. paratyphi, merupakan penyakit zoonosis. Apabila ditemukan masalah resistensi Salmonella pada manusia, biasanya dijumpai adanya reservoir primer pada hewan. Hal ini diduga sebagai akibat pemakaian antibiotika di peternakan hewan. Serovar yang penting di Inggris adalah S. enteriditis, S. typhimurium dan S. virchow dan penularannya adalah melalui rantai makanan. Penularan serovar ini dari satu orang ke orang tidak lazim. Pada kebanyakan kasus, manifestasi klinis adalah berupa enteritis, yang biasanya adalah self limiting, dan antibiotik jarang diperlukan. Sebaliknya di negara berkembang terutama di India, Asia Tenggara, Amerika Tengah dan Selatan, serovar Samonella misalnya S. typhimurium, S. wien, S. johanesbug dan S. oranienburg telah mengalami perubahan epidemiologi dan manifestasi klinis. Mikroba tersebut memiliki plasmid-mediated multiple resistant, yang seringkali resisten terhadap 7 atau lebih antimikroba. Suatu gambaran yng terlihat adalah tidak ditemukannya reservoir binatang. Penularan terjadi pada kontak orang ke orang, dan resistensi antibiotik timbul pada penggunaan antibiotik untuk pengobatan manusia; terutama di negara dimana kontrol pemakaian antibiotik sulit dilakukan..

Serovar yang dilaporkan resisten sampai terhadap 10 macam antimikroba, adalah strain S. typhimurium yang mempunyai resistensi derajat tinggi terhadap nalidixic acid (MIC >100 mg/l) dan suseptibilitas yang berkurang terhadap 4-quinolon misalnya ciprofloxacin ( MIC 0.1 mg/l dibanding dengan 0.0075 mg/l untuk nalidixic acid sensitive strain).

Terdapat perbedaan angka kejadian resistensi di berbagai daerah / negara. Adanya strain resisten terhadap chroramphenicol pernah dilaporkan di suatu daerah di Indonesia, namun tidak dijumpai di daerah lain ( Pratiwi Sudarmono dan Maksum Radji, 1992 ). Hendrowahjono dkk melaporkan dari Semarang, isolate dari 204 pasien hanya 62,5% sensitif terhadap chroramhenicol, 35% intermediate sensitive, dan 3,5% resisten . Sedangkan Injomanato dkk melaporkan dari Padang semua 81 isolate dari pasien demam tifoid sensitif terhadap choramphenicol. Penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Zulkarnain ( 2000 ) pada Januari-Desember 1999 mengenai identifikasi dan kepekaan jenis Salmonella dan kepekaan terhadap beberapa jenis anti mikroba (ampisilin, amoksilin, kloramfenicol, peflokasin, norfloksasin, ofloksasin, siprofloksasin, sulfametoksasol-trimetoprim, seftriakson, fleroksasin ) menunjukkan bahwa kepekaan ampisilin, amoksilin dan sulfamethoxazole-trimethoprim adalah 95,12%, sedangkan sisanya (kloramfenicol, peflokasin, norfloksasin, ofloksasin, siprofloksasin, seftriakson, fleroksasin ) masih 100%.

Di Malaysia, Cheong dkk ( 1992 ) menyatakan bahwa jumlah strain yang resisten chloramphenicol rendah, dan dijumpai secara sporadis. Selama 10 tahun, dari 1980-1989, dari 7.736 isolat, umumnya sensitif terhadap antibiotik. 10% resisten terhadap streptomysin, 0,5% terhadap cotrimoksasol, 0.4% terhadap tetrasiklin, 0.3 % terhadap ampisilin, 0,2% terhadap kanamisin dan 0,1% terhadap chloramphenicol. Hal ini mungkin karena pemakaian chloramphenicol yang tak gegabah, namun karena resistensi tersebut plasmid mediated, dan disangkutkan dengan antibiotik yang lain, maka masalah resistensi harus tetap diwaspai.

MEKANISME TIMBULNYA RESISTENSI OBAT

Chamber dan Sande ( 1996 ) menulis dalam bukunya bahwa agar antimikroba efektif, maka obat tersebut harus mencapai target/sasaran dan berikatan dengannya. Bakteri menjadii resisten obat adalah karena :

1 Obat gagal mencapai sasaran

2 Obat diinaktifasi

3 Target mengalami perubahan.

Resistensi bakteri terhadap antibiotik sering ditemukan pada isolate dari orang sehat maupun pada pasien community-acquired infection di negera berkembang, dimana kebutuhan antibiotik untuk mengatasi infeksi sangat tinggi. Diantara isolat, yang paling sering dijumpai adalah resistensi isolat patogen penyakit diare, saluran pernafasan dan kuman usus komensal. Resistensi yang dijumpai umumnya terhadap obat first line , yang tidak mahal, serta yang mempunyai anribiotik spektrum luas. Terbukti juga, dengan diluncurkannya obat obat baru, ternyata disusul dengan juga dengan timbulnya dan meluasnya strain yang resisten. Seleksi dan meluasnya penyebaran strain resisten di negara berkembang, sering merupakan masalah yang kompleks, menyangkut faktor sosio-ekonomi dan perilaku. Okeke et al (1999) menyatakan banyak faktor berperan atas timbulnya resistensi obat dan penyebarannya, yang meliputi :

1 misuse antibiotik oleh kalangan pemakai: dokter di tempat praktek, tenaga

kesehatan / praktisi lain yang kurang berpengalaman, serta misuse antibiotik

oleh masarakat

2 Tidak baiknya mutu produksi obat dan monitoring : antibiotik mengalami kerusakan, misalnya karena penyimpanan, pengangkutan yang tidak baik, antibiotik kedaluarsa, kandungan kadar obat yang tidak benar, obat tradisional yang mengandung antibiotik, bioavailabilitas obat dan interaksi obat

3 Penyebaran organisme yang resisten : keadaan crowding dan tidak higienis,

praktek pengendalian infeksi RS yang tidak sempurna

3 Tidak baiknya sistem surveillans : tidak adanya test suseptibilitas dan

surveilans, defective antibiotics susceptibiliyty assay

5. Faktor ekonomi dan politis.

Terdapat beberapa mekanisme dasar timbulnya resistensi ( Iskandar Zulkarnain, 2000 ), yaitu mutasi, tranduksi, transformasi dan konyugasi. Transduksi terjadi akibat keterlibatan bakteriofag ( virus yang menginfeksi bakteri) yang berisi DNA bakteri. Apabila materi genetik berisi gen yang resisten terhadap antibiotik tertentu, maka bakteri yang terinfeksi bakteriofag tersebut juga akan menjadi resisten. Tranduksi penting peranannya dalam timbulnya resistensi pada strain St aureus dimana bakteriofag membawa plasmid ( DNA ektra kromosom yang dapat bereplikasi secara otonom ) mengkode penisilinase, dan juga dapat membawa gen yang mengkode resistensi terhadap eritromisin, tetrasiklin atau kloramfenicol. Transformasi bertanggung jawab terhadap timbulnya Neisseria dan Pneumococci resistant peniccillin, melalui perubahan pada penicillin binding proteins (PBP). Konyugasi, yaitu proses yang timbul akibat kontak dua sel bakteri melalui sex pilus atau bridge, apabila salah satu bakteri resisten terhadap obat tertentu, maka sel lain juga dapat resisten pula. Proses ini dapat mengakibatkan timbulnya multi resisten antibiotika.

Diantara banyak faktor yang berperan dalam timbul dan meluasnya multiple -resistent organisme, terdapat beberapa faktor kritis yang harus diperhatikan : mutasi pada common resistent genes yang meluaskan spektrum resistensi, tukar menukar informasi genetik diantara mikroorganisme, transfer gene pada host baru; serta meningkatnya selective pressure di rumah sakit serta institusi lain serta di masarakat sehingga organisme akan mampu berproliferasi (Tenover dan Hughes, 1996). Konsep selective pressure adalah berkaitan dengan kondisi lingkungan yang memungkinkan penguatan dan proliferasi strain bakteri yang mengembangkan resistensi melalui mutasi spontan atau menerima DNA baru. Hipotesisnya adalah : organisme dengan mutasi atau gene baru tidak akan survival bila ia tidak survival terhadap seleksi alamiah.

Cunha ( 2000 ) menyebutkan konsep mengenai masalah resistensi menyangkut beberapa determinan berikut:

1 Volume pemakaian. Terdapat kesalah pengertian bahwa lebih banyak obat dipakai, akan terjadi resistensi yang lebih sering. Meskipun hal ini memang benar untuk obat yang telah ada masalah resistensi, namun tidak benar untuk obat yang tak ada masalah. Terbukti bahwa antibiotik yang tak ada masalah resistensi obat (misalnya nitrofurantoin, doxycilin, minocyclin, meropenem, cefepim, cefotaxim, ceftriaxon, levofloxacin, amikacin, pipera- cilin.) tak dilaporkan masalah resistensi meskipun telah dipakai luas.

2 Lama pemakaian . Lamanya pemakaian obat bukan resiko resistensi. Secara historis memang dinyatakan bahwa obat yang telah dipakai dalam waktu panjang, akan mempunyai masalah yang menyangkut resistensi obat lebih sering dibanding obat yang baru dikenal. Obat nitrofurantoin telah dikenal selama puluhan tahun, namun tak ada masalah

3 Klas resistensi antibiotik. Antibiotik tertentu dilaporkan mempunyai masalah resistensi. Untuk kelompok sefalosporin generasi 2, sefomandole yang mempunyai masalah resistensi terhadap H influenzae dan Enterobacter. Untuk kelompok generasi 3, hanya seftazidim yang dilaporkan ada masalah resistensi menyangkut : K pneumonia, Enterobacter dan P. aeroginosa.. Diantara golongan aminoglikosida, maka hanya gentamycin yang disertai dengan masalah luas rersistensi. Diantara fluoroquinolon, maka ciprofloxazin yang mempunyai problema resistensi terhadap Pseudomonas.

Tampaknya, suatu kelas antibiotik mempunyai satu atau lebih obat yang mempunyai masalah resstensi. Resistensi antibiotika adalah agent specific, bukan duration atau volume use specific

4 Kill ratio dan Inhibitory indexes merupakan prediktor unutk efficacy, bukan resistensi.

5 Antibiotic-supplementaed animal feed. Antibiotik, seperti halnya steroid, sering ditambahkan pada makanan agar hewan bisa menjadi lebih gemuk saat disembelih. Ayam potong dan sapi diberi makanan tambahan antibiotik untuk mencegah infeksi (biasanya yang dipakai : tetrasiklin dan siprofloksasin) Tak terdapat bukti bahwa penambahan antibiotik mengurangi infeksi secara bermakna, namun telah terbukti meningkatkan resistensi antimikroba. Resistensi antibiotik yang ada pada binatang, dapat menulari manusia, yang akan menambah problema resistensi obat

6 Antibiotic tisue concentration. Mikroorganisme cenderung akan menjadi resisten setelah terpapar antimikrobia dengan potensi resistensi tinggi. Dokter hendaknya memakai dosis yang dianjurkan. Dengan memperhatikan faktor farmakodinamik Dosis rendah cenderung menyebabkan resistensi., Antibiotik adalah agent dependent, concentration dependent. Kegagalan antibiotik dan masalah resistensi menjadi penting pada bagian tubuh dimana konsentrasi antibiotik ditempat tersebut tidak optimal.

MASALAH RESISTENSI PADA PENGOBATAN SALMONELOSIS

Pada infeksi karena kuman salmonella, anti mikroba biasanya diberikan pada kasus-kasus demam tifoid, non typhodal salmonelosis gastroenteritis atas indikasi tertentu serta bakteremia.

A. Demam tifoid

Sejumlah obat telah dipakai dalam pengobatan demam tifoid meliputi quinolon, chloramphenicol, trimethoprim sulfamethoxazole dan beta-lactam.

1. Chloramphenicol

Chloramphenicol telah dipakai sebagai obat pilihan semenjak diperkenalkan pada tahun 1948. Semua obat baru perlu dibandingkan dengan chloramphenicol. Chloramphenicol menurunkan angka kematian dari 20% menjadi kurang dari 1% dan lama demam dari 14-28 hari menjadi 3-5 hari. Chloramphenicol merupakan obat yang murah dan sangat efektif pada pemberian per oral. Namun terdapatnya angka kekambuhan yang tinggi, adanya carrier, gangguan terhadap sumsum tulang, ditambah adanya laporan resistensi obat, beberapa ahli menyatakan chloramphenicol bukan merupakan obat pilihan lagi. Pada tahun 1970an terdapat laporan adanya plasmid mediated resistance terhadap chloramphenicol, yang disusul terjadinya outbreak di Amerika Latin. Pada saat ini di Vietnam Selatan 80% strain resisten terhadap chloramphenicol. Outbreak tersebut menunjukkan efektifitas amoksilin dan co-trimoksasol sebagai terapi alternatif demam tifoid. Ampicillin meskipun lebih inferior dibanding Chloramphenicol, terbukti efektif secara oral dan mengurangi angka relaps.

Bioavailabilitas chloramphenicol terbaik bila diberikan secara oral. Bila cara pemberian alternatif diperlukan, dianjurkan memakai obat lain, karena dosis biasa chloramphenicol 50 mg/kgBB, akan menghasilkan kadar obat yang lebih rendah dengan dosis oral yang ekivalen, karena preparat injeksi : chloramphenicol succinate, akan dikeluarkan dalam urine sebelum dikonversi menjadi chloramphenicol. Meskipun diberikan selama 2 minggu, angka kekambuhan masih tinggi (10-25%). Angka kekambuhan ini diduga karena tidak dipunyainya efek bakterisidal. Chloramphenicol terbukti bersifat bakteristatik terhadap S. typhi didalam cultural human macrophage, sedangkan ceftriaxon, ampisilin, dan quinolon bersifat bakterisidal terhadap S. typhi intraseluler.

2. Generasi-3 Cephalosporin

Obat ini efektif pada pemberian parenteral untuk pengobatan demam tifoid. Sefalosporin generasi-3, ceftriaxon dan cefoperazone pada pemberian intravena maupun intramuskuler, terbukti sama efektifnya dengan chloramphenicol. Kebanyakan penelitian memakai obat tersebut selama 10-14 hari. Pada beberapa penelitian ceftriaxon juga efektif pada pemberian selama 5-7 hari, namun angka relaps tidak dievaluasi. Biasanya setelah penyakit dapat dikendalikan dengan cephalosporin parenteral, klinisi mengubah terapi dengan pemberian obat oral.

Obat cephalosporin generasi 1 dan 2 serta aminoglikosida tidak dapat dipakai dipakai untuk pengobatan demam tifoid atau non-typhoidal salmonelosis. Generasi 2 cephalosporin secara klinis tak efektif. Aminoglikosida juga tak efektif mungkin karena ia tak mempunyai daya/aktifitas terhadap Salmonella intraseluler.

3. Quinolon

Quinolon menjadi pilihan pengobatan demam tifoid orang dewasa saat ini , dan sebaiknya dipakai untuk pasien yang berasal dari India atau Timur Tengah, dimana strain yang resisten chloramphenicol, ampicillin dan co-trimoksazole telah dilaporkan.

Obat untuk pengobatan demam tifoid termasuk kelompok quinolon yang pernah dicoba adalah : Ciprofloksasin, pefloksasin, ofloxacin, norffloxacin, fleroxacin. Ciprofloxacin efektif pada dosis 500 mg 2 kali sehari selama 10-14 hari .Di daerah dengan nalidixic acid resistent dengan MIC quinolon lebih tinggi, diperlukan dosis penuh 10 mg/hari untuk menghindari kemungkinan resisten obat relatif. Obat ofloxacin dipergunakan dengan dosis 200 - 400 mg 2 kali per hari selama 10 - 14 hari.

Quinolon dilaporkan dapat masuk kedalam makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus dan sempedu. Dengan demikian akan dapat menurunkan angka karier kronik dan kekambuhan. Quinolon tidak dapat dipakai secara rutin untuk anak-anak dan orang hamil; karena ada laporan pada binatang percobaan terjadi kerusakan tulang rawan. Untuk pengobatan empiris atau kasus multiresisten, dipakai cephalosporin generasi 3 sebagai pengobatan awal pada anak anak.

B. Non-typhoidal salmonelosis.

Pemakaian luas antibiotik untuk binatang yang merupakan reservoir nontyphoidal Salmonela menimbulkan peningkatan masalah resisten non -typhoidal Salmonellosis. Peneliti CDC menemukan kenaikan bermakna resistensi antibiotik kuman non-typhoidal Salmonella yang diisolasi dari manusia. Diantara 12 antimikroba yang dites, 32 % organisme resisten terhadap 1 atau lebih antimikrobial, dibandingkan dengan 16% resisten pada tahun 1979-1980 dan 24% dalam tahun 1984-1985. 24 % resisten terhadap tetrasiklin, 15% terhadap sulfamethoxazol, , 13 % terhadap ampisilin, dan 4% terhadap chloramphenicol. Pasien dengan organisme yang resisten adalah yang terinfeksi oleh S. typhimurium atau S. hadar.

Resistensi antimikrobial derajat tinggi ditemukan di seluruh dunia, dan ada kaitannya dengan serotypes non typhoidal Salmonela. Sensitivitas antimikroba tak dapat menjadi pegangan pada pengobatan salmonellosis yang berat sebelum dilakukan test kepekaan. Pada pasien sakit berat, pilihan yang dapat dipercaya adalah cephalosporin generasi-3 dan quinolon dalam dosis penuh 10 mg/kgBB. Namun ada laporan bayi yang terinfeksi oleh salmonelosis yang mengandung CTX-2, suatu bahan cefotaximase , enzime tersebut mempunyai resistensi terhadapp sekelompok luas cephalosporine generasi-3.

Resistensi quinolon juga dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapat dosis rendah, dan abses yang tak didrainase, karena penetrasi obat yang jelek. Antibiotik tak dipakai secara rutin pada gastroenteritis salmonela secara rutin. Namun, pada orang tertentu, terapi perlu dinberikan, untuk mencegah terjadinya bakteremia dan perluasan metastatik. Mereka adalah : bayi baru lahir, terutama apabila ibu menderita gastroenteritis pada periode pre atau peripartum untuk mencegah terjadinya meningitis yang sering terjadi menyusul adanya bakteremia non-typhodal Salmonela. Pada orang tua lebih dari 50 tahun, dengan atherosklerosis, dan dengan abnormalitas kardiovaskuler atau prothese ada indikasi profilaksis untuk mencegah infeksi vaskuler. Pada pasien imunosupresi, misalnya cangkok organ atau AIDS, profilaksis perlu diberikan untuk mencegah bakteremia. Pasien dengan prothese tulang, chronic arthridites, sickle cell disease, hemoglobinopati lain, terapi pencegahan infeksi tulang. Pasien dengan chronic inflammatory bowel disease atau ada defek usus yang lain perlu pencegahan bakteremia dan eksaserbasi penyakit dasar. Profilaksis terdiri dari pengobatan oral atau intravena 48-72 jam atau sampai pasien afebrile. Terapi jangka lama menyebabkan chronic carrer.

Pengobatan carrier tergantung ada tidaknya penyakit batu empedu / batu ginjal. Batu empedu memberi kegagalan terapi yang tinggi. Siprofloksasin menjadi pilihan bila ada batu empedu, dosis 500 mg 2 kali perhari selama 4 minggu, Amoksilin diberikan dengan dosis 6 gram/hari selama 6 minggu.

Pasien gagal antimikroba perlu pembedahan atau koreksi kelainan anatomis lain.

PENCEGAHAN RESISTENSI OBAT ANTIMIKROBA

Berbagai usaha telah ditempuh untuk mencegah timbulnya resistensi obat dan mencegah penyebarannya. Antara lain adalah : di USA telah didapatkan konsensus antara Federal Agency, the Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization, dan industri farmasi. Terdapat kesepakatan untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya dan penyebaran mikroorganisme resisten antimikroba di rumah sakit. Strategi yang dianjurkan adalah 10 strategi yang berkaitan dengan proses dan keluarannya: terdiri dari 5 strategi mengoptimalkan pemakaian antimikroba dan 5 strategi untuk mendeteksi, melaporkan dan mencegah transmisi mikroba dengan resistensi antimikroba (Goldman et, 1996).

Lima strategi untuk mengoptimalkan pemakaian antimikroba ( Goldman et, 1996) adalah :

1 mengoptimalkan profilaksis antimikroba untuk prosedur operasi

2 mengoptimalkan pilihan dan lamanya pemberian terapi empirik

3 memperbaiki penulisan resep antimikroba dengan pendidikan dan penertiban administratif

4 monitoring dan memberi umpan balik (feedback) mengenai adanya antibiotic resistance

5 menyusun dan mengimplementasi pedoman pengadaan-pemakaian obat

penting.

Lima strategi dalam mendeteksi, melaporkan, dan mencegah transmisi /penyebaran strain resisten adalah sebagai berikut (Goldman et, 1996) :

1 mengembangkan sistem untuk deteksi/mengenal dan melaporkan kecenderungan terjadinya resistensi obat di dalam institusi

2 mengembangkan sistem yang dapat mendeteksi dan melaporkan kecenderungan adanya resistensi obat pada individu dan memastikan respon segera dari pemberi pelayanan

3 meningkatkan kepatuhan terhadap kebijakan basic infection control dan procedures

4 memasukkan kebijakan deteksi, prevensi, dan pengendalian resistensi antimikroba kedalam tujuan strategis dan membentuk sarana/prasarana yang diperlukan

5 mengembangkan rencana untuk identifikasi, transfer, pengeluaran dan pemasukan pasien yang dikolonisasi dengan patogen spesifik yang resisten.

Dalam praktek usaha yang dapat dilakukan dalam menghadapi masalah resistensi antara lain adalah : tidak menambahkan lagi antibiotik pada makanan hewan. Cara penanganan atau konsumsi produk hewan yang mengandung bakteri resisten erat kaitannya dengan penularan / pemindahan bakteri resisten tersebut dari hewan ke manusia secara oral. Pemakaian antimikroba hendaknya lebih berhati-hati, dan selektif ( Cunha, 2000). Telah kita diketahui antibiotik banyak dipakai untuk pengobatan virus infeksi saluran pernafasan, untuk mengobati demam yang tak disebabkan oleh infeksi, untuk pengobatan infeksi yang antibiotik tak akan efektif (abses, infeksi pada barang asing, alat transplant). Banyak penyakit infeksi yang disertai lekositosis dan demam yang diterapi dengan antibiotik, misalnya SLE. Banyak juga pemberian antibiotik pada pasien ICU yang demam rendah, lekositosis, dan infiltrat paru. pemberian antibiotik pada pesien tanpa infeksi memberi kerugian: potensi terjadinya efek samping obat, interaksi antar obat, dan bila dipakai obat yang high potensial resistent, akan terjadi resistensi obat.( Cunha, 2000).

Okeke et al ( 1999 ) menyatakan bahwa rekomendasi WHO untuk pemakaian obat yang tepat dapat dilaksanakan untuk mencegah perluasan community-acquired resistance di negara berkembang. Untuk menanggulangi : masalah yang timbul akibat: misuse antibiotika oleh health care profesional, praktisi yang tak berpengalaman (unskilled ), dan pasien dapat dilakukan : auditing antibiotik, pembatasan pilihan antibiotik, mengembangkan pedoman pemakaian antibiotik, dan menekankan pentingnya continuing medical education dan public education. Kwalitas antibiotik dapat ditingkatkan dengan menekankan mutu dan monitoring pembuatan antibiotik, penyimpanan dan penjualannya. Penyebaran kuman yang resisten di masarakat dapat dihentikan dengan cara memperbaiki sanitasi publik, dan praktek higienis, serta meningkatkan fungsi hospital infection control. Yang penting strategi tersebut diadopsi dan diimplementasikan dalam keterbatasan biaya - ekonmi dan politis

RINGKASAN

Resistensi mikroorganisme terhadap obat antimikroba telah ditemukan di negara maju maupun negara berkembang, termasuk terhadap obat-obat yang dipakai untuk pengobatan Salmonellosis. Berbagai faktor berperan, antara lain karena misuse obat oleh kalangan medis dan masarakat. Salmonellosis yang masih sering dijumpai dinegara berekembang maupun negara maju, pengobatannya mendapat tantangan dengan adanya masalah resistensi obat. Upaya mengatasi masalah resistensi obat antimikroba adalah dengan cara mengoptimalkan pemakaian antibiotik serta deteksi, pelaporan serta mencegah penyebaran resistensi obat.