masjid dan vihara: simbol kerukunan hubungan …
TRANSCRIPT
MASJID DAN VIHARA: SIMBOL KERUKUNAN HUBUNGAN
ANTARA ISLAM DAN BUDDHA (STUDI KASUS DI KELURAHAN
BANTEN KECAMATAN KASEMEN KOTA SERANG
PROVINSI BANTEN)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Dita Sopia Sari
NIM: 1112032100005
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
Masjid dan Vihara: Simbol Kerukunan Hubungan Antara Islam dan
Buddha (Studi Kasus di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota
Serang Provinsi Banten)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Dita Sopia Sari
NIM: 1112032100005
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ii
iii
iv
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan transliterasi ini mengikuti buku Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Center for Quality
Development and Assurance (CeQDa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j „je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ` ء
y Ye ي
vi
ABSTRAK
Dita Sopia Sari
Masjid dan Vihara: Simbol Kerukunan Hubungan Antara Islam Dan
Buddha (Studi Kasus di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota
Serang Provinsi Banten)
Kelurahan Banten merupakan sebuah desa yang di dalamnya terdapat dua
buah rumah ibadah bersejarah yang berbeda, yaitu Masjid Agung Banten dan
Vihara Avalokitesvara. Berdirinya sebuah vihara di tengah-tengah masyarakat
mayoritas beragama Islam juga kawasan bersejarah kerajaan Islam Banten tidak
menjadikan pemeluk agama mayoritas bersifat sombong atau bahkan melakukan
hal-hal diskriminasi terhadap mereka, keduanya saling menghormati dan
menghargai. Ini terjadi sejak jaman dahulu hingga sekarang. Adanya
kemajemukan ini, menunjukkan bahwa dialog antar umat beragama di Kelurahan
Banten terjalin sangat baik.
Bangunan Vihara Avalokitesvara Banten dibangun sekitar tahun 1652,
berdiri lebih dulu daripada Masjid Agung Banten. Latar belakang
pembangunannya menurut warga setempat ada kaitannya dengan salah satu wali
Allah, Sunan Gunung Jati yang menjunjung tinggi nilai toleransi antar umat
beragama. Vihara ini mengalami perpindahan tempat ke ke Kampung Pamarican
Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Provinsi Banten pada tahun 1774, dahulu
sebelumnya berada di Desa Dermayon, sekitar 500 M arah selatan Masjid Agung
Banten.
Bangunan Masjid Agung Banten didirikan pada abad ke-17 beserta
bangunan komponen lainnya (komplek Masjid Agung Banten) yang didirikan
secara tidak bersamaan, berangsur. Ada satu komponen bangunan yang menarik
perhatian para pengunjung, baik di masa lampau hingga sekarang, yaitu “menara”.
Menara terletak di sebelah timur masjid itu berfungsi sebagai tempat untuk
mengumandangkan adzan serta tempat untuk memantau keadaan di Teluk Banten
tersebut, dibangun oleh arsitek asal Cina yaitu Tjek Ban Cut, bangunannya terbuat
dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian
bawahnya kurang lebih 10 meter. Menara ini memiliki makna fungsional simbolik
terhadap pembangunan Banten setelah berdiri sebagai sebuah provinsi pada tahun
2000 dan resmi dijadikan simbol atau ikon lembaga pemerintahan Provinsi
Banten.
Kata Kunci: Masjid, Vihara, Simbol, Kerukunan, Beragama
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabb al-alamin, Segala puji bagi Allah, yang awal tanpa
yang awal sebelum-Nya, yang akhir tanpa yang akhir sesudah-Nya. Maha suci
AsmaNya, maha tampak anugrahNya. Ya Allah sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW dan keluarganya, shalawat yang awalnya tidak terbatas, yang
batasnya tidak berujung, dan akhirnya tidak berhingga.
Sesungguhnya, tidaklah mudah bagi penulis menyusun skripsi ini, tetapi
meskipun demikian, penulis bertekad menyelesaikan skripsi ini agar dapat
mengajukan salah satu syarat kelulusan dalam jenjang perkuliahan Strata I
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sudah sepatutnya penulis menyampaikan ucapan “terima kasih” dan
penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka, sedikit banyaknya telah meringankan
beban penulis selama menyusun skripsi ini. Meskipun tidak semua pihak dapat
penulis sebutkan satu persatu, setidaknya penulis merasa perlu menyebutkan
sejumlah nama, yaitu:
1. Keluarga tercinta, mamah, bapak, teteh, kakak dan adik. Terutama kepada
orang tua yang penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, dengan rasa cinta
dan kasih sayang mereka secara tulus telah mengurus, membesarkan dan
mendidik penulis hingga hari ini. Munajat doanya di setiap waktu telah
memberikan kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi bahtera kehidupan.
2. Ibu Dr. Sri Mulyati, MA selaku pembimbing Skripsi yang telah memberikan
beberapa masukan yang sangat bermakna yang sejak semula dengan
viii
ketulusan hati dan tidak bosan-bosan memberikan perhatian dan dorongan
yang luas untuk menyelesaikan tugas akhir ini dan semoga Allah segera
mengangkat segala penyakit yang beliau alami juga senantiasa dalam
lindungan-Nya Amiin Yaa Rabbal „alamin.
3. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi Agama-Agama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Halimah Mahmudy M.A, selaku Sekretaris Jurusan Studi Agama-Agama,
yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik dan
sabar.
5. Kepala Desa, Para pengurus, baik humas Vihara Avalokitesvara juga Masjid
Agung Banten dan masyarakat Kelurahan Banten yang telah memberikan
banyak sumber utama dan informasi terutama yang berkaitan dengan judul
skripsi ini.
6. Bapak Dr. Ahmad Ridho, DESA selaku Penasihat Akademik yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses penulisan.
7. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.
8. Seluruh Staf Akademik Fakultas Ushuluddin.
9. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin
Perpustakaan pusat Universitas Indonesia Depok, Perpustakaan daerah Kota
Serang yang banyak membantu dalam menyediakan referensi yang
dibutuhkan penulis.
10. Bagian Kemahasiswaan UIN Jakarta yang telah bersusah payah dalam
memperjuangkan hak-hak mahasiswa khususnya mahasiswa penerima
ix
beasiswa di UIN Jakarta. Semangat kak Amelia Hidayat sangat
menginspirasi dan penulis ucapkan banyak terimakasih karena telah sangat
sabar mengurus semua hal yang terkait dengan beasiswa, semoga Allah
membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada Penulis. Semoga
Allah selalu memberikan kesehatan, kebahagiaan dan kelancaran dalam
mencapai segala aktivitas dan cita-cita untuk kakak dan ibu-bapak semua.
11. Untuk kalian teman kostan sekaligus teman SMP dan SMA penulis, Ade
Khairunnisa dan Hilyati Fijriah yang bersedia membantu dan menemani
penulis dalam keadaan susah. Semoga kalian selalu diberi kekuatan dan
semangat dalam menghadapi kehidupan ini.
12. Teman-teman mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama angkatan 2012.
13. Sahabat KKN AKRAB yang sudah memberikan semangat.
14. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan.
Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak, begitu bunyi pepatah, tidak
ada manusia sempurna, penulis adalah manusia biasa yang jauh dari
kesempurnaan, dengan kerendahan hati dengan pikiran yang terbuka penulis
mohon kepada pembaca untuk dapat menyampaikan kritik dan saran guna
perbaikan selanjutnya.
Ciputat, 05 Januari 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN ................................. ....................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................. ........ iv
LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................... ..... v
ABSTRAK ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................... 9
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 9
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 9
E. Tinjauan Pustaka ......................................................... ....... 10
F. Landasan Teori ................................................................... 11
G. Metodologi Penelitian ........................................................ 13
H. Sistematika Penulisan …….. ............................................... 19
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN BANTEN
A. Profil Kelurahan Banten ...................................................... 21
1. Sejarah Singkat Kelurahan Banten ............................ ... 21
2. Kondisi Geografis ............... .......................................... 23
3. Kondisi Keagamaan ...................................................... 23
xi
4. Kondisi Sosial ........................................................ ....... 24
B. Masuknya Buddha di Kelurahan Banten ............................. 26
C. Masuknya Islam di Kelurahan Banten ... ............................ 34
BAB III SEJARAH KEBERADAAN MASJID DAN
VIHARA BERSEJARAH DI KELURAHAN BANTEN
A. Masjid-Masjid Bersejarah .................................................. 37
1. Masjid Agung Banten ................................................ .... 39
2. Menara Banten ........................................................ ....... 44
B. Vihara Bersejarah ............................................................... 48
1. Vihara Avalokitesvara .............................................. ..... 48
2. Respon Masyarakat Kelurahan Banten Mengenai
Keberadaan Vihara .................................................. ...... 54
BAB IV GAMBARAN KEHIDUPAN HARMONI ANTARA UMAT ISLAM
DAN BUDDHA DI KELURAHAN BANTEN KECAMATAN KASEMEN
KOTA SERANG PROVINSI BANTEN
A. Bentuk Kehidupan Harmoni di Kelurahan Banten ............. 57
B. Simbol Kerukunan .............................................................. 62
C. Relevansi Kehidupan Harmoni Antara Islam Dan Buddha Di
Kelurahan Banten Dengan Konsep Kerukunan Umat Beragama
Di Indonesia ........................................................................ 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 79
B. Saran ................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia ialah suatu negara yang majemuk dan kultural dengan
berbagai macam suku, agama, dan kebudayaan. Negara ini memiliki tidak kurang
dari 500 suku bangsa yang mencakup lebih dari 300 macam budaya, lebih dari
700 bahasa dan juga keragaman agama maupun kepercayaan.1 Di samping
keberanekaragaman suku bangsa dan tidak meratanya persebaran penduduk,
bangsa Indonesia juga menganut agama dengan Islam sebagai mayoritas.2
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila:
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 yang menjamin kebebasan beragama
dan beribadah. Di samping kebebasan beragama, keputusan (Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia) yang fundamental ini juga merupakan
jaminan tidak akan ada diskriminasi agama di Indonesia.3
Bagi bangsa Indonesia, berbagai keragaman dan ke-Bhineka-an yang ada
merupakan anugerah yang sangat luar biasa dari Yang Maha Kuasa. Dan harus
diwaspadai, karena tak jarang agama justru sebagai pemicu dan sumber konflik.
Namun, dengan adanya nilai-nilai filosofis Pancasila yang tertuang dalam
1Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Pusat Kerukunan
Umat Beragama,t.t.), h. 4. 2Sudjangi,dkk., Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat
Beragama (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 1. 3Alef Theria Wasim, dkk., (ed.), “Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik dan
Pendidikan”, Procedding Konferensi Regional – International Association for the History of
Religions (Yogyakarta dan Semarang: 27 Septemer-03 Oktober 2004), h. 10.
2
Konstitusi Negara, Undang-Undang Tahun 1945 (UUD 1945), bangsa Indonesia
setidaknya telah memiliki ikatan yang kuat, memiliki pandangan hidup yang
sama, aturan yang sama dan tujuan yang sama, yakni Negara yang adil, makmur,
bahagia dan sejahtera.4
Begitulah seharusnya yang manusia lakukan demi terciptanya kehidupan
antar umat beragama yang harmonis, yaitu memiliki rasa toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengalaman
agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.
Toleransi merupakan masalah yang aktual sepanjang masa, terlebih lagi
toleransi beragama. Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap perlunya
toleransi beragama sejak awal perkembangan Islam, baik tersurat dalam Al-Quran
maupun tersirat dalam berbagai perilaku Nabi. Aktualisasi toleransi beragama di
Indonesia dipandang masih jauh ideal karena itu sosialisasi dan pembinaan umat
beragama di Indonesia perlu terus ditingkatkan.
Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat
jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya
adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan Umat Islam dan umat Budha yang
terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Pada jumat malam tanggal 29 hingga 30
Juli 2016, sejumlah rumah ibadah yaitu 2 vihara, 8 kelenteng, 1 yayasan sosial
dan mobil yang terparkir di halamannya hangus terbakar dalam amuk massa.
Tidak ada korban jiwa akibat kejadian tersebut, namun kerugian ditaksir mencapai
sedikitnya ratusan juta rupiah.
4Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama, h. 6-7.
3
Kerusuhan dipicu oleh seorang warga yang menginginkan suara azan dari
pengeras suara Masjid Al-Makshum yang terletak di Jalan Karya, Kota
Tanjungbalai, diperkecil, lantaran mengganggu aktivitas keluarga di rumahnya.
Pihak pengurus masjid sempat mendatangi rumah warga tersebut seusai Shalat
isya, namun karena situasi yang mulai tidak kondusif, kedua belah pihak
dipisahkan dan diamankan oleh kepolisian setempat. Situasi sempat mereda
setelah dilakukan mediasi, namun menjelang tengah malam, sedikitnya ratusan
warga berkumpul bersiap melakukan penyerangan kepada rumah warga yang
memprotes suara adzan masjid tersebut. Diduga massa kembali berkumpul setelah
sebuah tulisan di Facebook yang memuat isu SARA terkait protes pengeras suara
masjid. Massa sempat mencoba membakar rumah pemrotes, namun dicegah
warga setempat. Massa kemudian beralih merusak, membakar, dan menjarah
barang-barang di wihara dan kelenteng setempat. Menjelang pagi hari pada
tanggal 30 Juli 2016, Polres Tanjung Balai bersama satuan Brimob serta TNI AL
membubarkan massa yang melakukan kerusuhan. Tujuh orang yang diduga
sebagai provokator ditangkap akibat perusakan vihara.5 Hal ini berbeda dengan
suasana di Kelurahan Banten, di mana umat Islam dan umat Buddha hidup rukun
dan harmonis.
Dalam pembukaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.” Oleh karena itu, sebagai warga Negara sudah sepatutnya menjunjung tinggi
5lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Tanjungbalai_2016
4
sikap saling toleransi antar umat beragama dan saling menghormati antar hak dan
kewajiban yang ada diantara sesama manusia demi keutuhan Negara.
Dalam memahami agama, seharusnya tidak hanya sebatas pada
pemahaman agama secara eksoterik saja, melainkan harus dipahami sebagai
sebuah kepercayaan sehingga ketika orang tersebut memahaminya, maka ia akan
toleran terhadap agama lain tersebut. Dan jangan sampai suatu kaum atau
seseorang merasa agama yang dianutnya paling benar dan sempurna dibanding
agama lain. Sikap ini memunculkan hegemoni agama formal sedemikian rupa
sehingga agama lokal, agama suku, ataupun aliran kepercayaan terpinggirkan oleh
agama formal.6 Kedangkalan pemahaman seperti inilah yang pada urutannya akan
menyebabkan kurangnya rasa toleransi dan akan berujung konflik.
Tidak halnya dengan suasana di wilayah situs bersejarah Kelurahan
Banten Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten ini walaupun
mayoritas penduduknya Muslim namun kehidupan antara Islam dan Buddha ini
tetap hidup rukun dan harmoni. Sampai-sampai antara kedua belah pihak ini tidak
terlihat adanya perbedaan pendapat atau pikiran.
Salah satu bentuk keharmonisannya yaitu dengan selalu diadakannya
gotong-royong membersihkan kampung tempat tinggal mereka tiap minggunya.
Mereka melakukan ini dengan bekerja sama satu sama lain dengan hati senang
tanpa adanya keterpaksaan. Karena menurut mereka, perbedaan ini tidak dijadikan
sebagai kekurangan tetapi sebagai penguat ikatan tali persaudaraan seperti
masyarakat pada umumnya.7
6Mohammad Sabri, Keberagaman yang Saling Menyapa (Yogyakarta: Ittaqa Press,
1999), h. 137. 7Wawancara Pribadi dengan Aam, Kelurahan Banten, 07 Januari 2016.
5
Toleransi beragama dan keharmonisan hubungan antara umat Islam dan
umat Buddha di Kelurahan Banten juga dapat terpancar dari arsitektur bangunan
Masjid Agung Banten yang terletak tak jauh dari kawasan Vihara Avalokitesvara.
Menurut data sejarah, Kelurahan Banten yang terletak di pesisir utara
Jawa Barat didirikan pada tanggal 08 Oktober 1526, merupakan salah satu pusat
kegiatan kerajaan Islam yang berkembang dari abad ke-16 sampai dengan abad
ke-19 M.8 Posisi geografis Provinsi Banten terletak di antara 5° 50’ LS - 6° 3’ LS
dan 106° 9’ BT - 106° 11’ BT dan luas keseluruhan wilayah Banten yaitu 8.651,2
KM. Selain menjadi kota dan pusat pemerintahan Provinsi Banten, Kota Serang
juga memiliki tempat-tempat peribadatan umat beragama yang menyimpan nilai
sejarah tinggi. Seperti Masjid Agung Banten dan Vihara Avalokitesvara (masih
satu komplek dengan Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Benteng Speelwijk
dan bangunan-bangunan sejarah lainnya) yang berada di Kelurahan Banten.
Masjid Agung Banten dibangun pada abad ke-16 M oleh Sultan Maulana
Hasanuddin, ia adalah putra pertama dari Syarif Hidayatullah; Sunan Gunung Jati.
Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang penuh dengan
nilai sejarah. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang
datang tidak hanya dari Provinsi Banten, tapi juga dari berbagai daerah luar
Provinsi Banten.
Komplek Masjid Agung Banten dirancang oleh tiga arsitek dengan latar
belakang berbeda. Raden Sepat (arsitek asal Majapahit), Tjek Ban Tjut (arsitek
asal Cina) memberikan ciri khas pada bagian atap bangunan utama yang
bertumpuk lima yang mirip dengan pagoda Cina juga meru pada pura dan
8Ambary, dkk., “Laporan Penelitian Arkeologi Banten”, dalam Halwany Michrob,
Catatan Sejarah Dan Arkeologi: Eksport Import Di Zaman Kesultanan Banten (Serang: Kadinda,
1993), h. 6.
6
Hendrick Lucasz Cardeel. Arsitek sekaligus muallaf Belanda ini berperan
membangun paviliun (tiamah) tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti
masjid dan menara mercusuar.
Ciri khas Masjid Banten dan ikon yang menarik perhatian para
pengunjungnya adalah Menara yang letaknya di sebelah timur masjid. Bentuknya
menyerupai sebuah mercusuar. Menara ini terbuat dari batu bata dengan
ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian bawahnya kurang lebih 10
meter. Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus
ditapaki dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang.
Pemandangan sekitar masjid dan parairan lepas pantai dapat terlihat di atas
menara, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 meter. Dahulu
selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, juga digunakan
sebagai tempat menyimpan senjata.
Lalu asal-usul Umat Buddha yang ada di Kelurahan Banten berawal dari
para pengikut Putri Ong Tien Nio yang berkembang biak dan kemudian dari
sinilah awal mula berdirinya sebuah vihara di tengah-tengah masyarakat
masyoritas Islam. Latar belakang pembangunan vihara selalu dihubungkan dengan
cerita masyarakat setempat.
Konon dahulu kala pada masa penguasa Banten Syarif Hidayatullah,
datang sekelompok etnis Cina dengan Putri Ong Tien Nio (putri dari kaisar
Dinasti Ming China) sebagai putrinya yang bertujuan hendak pergi ke Surabaya.
Maksud kedatangan mereka untuk mencari dan mengisi kembali perbekalan
mereka yang sudah habis. Mereka datang dengan menggunakan kapal dan
mendarat di Pelabuhan Banten. Singkat cerita, Putri Ong Tien Nio menikah
7
dengan Raja Banten yang sedang menjabat saat itu, yaitu Sultan Syarif
Hidayatullah (sebelum diangkat menjadi Walisongo) dan menjadi seorang
Muslim. Kemudian Putri Ong Tien Nio merasa iba melihat para pengikutnya
beribadah di mana-mana (di jalanan dan lain sebagainya) maka akhirnya atas
seijin Sultan Syarif Hidayatullah (suaminya) dibuatkanlah rumah ibadah oleh
Putri Ong Tien Nio untuk para pengikutnya yang terbagi menjadi dua tersebut,
masjid Pecinan Tinggi untuk yang berpindah ke agama Islam dan Vihara
Avalokitesvara bagi yang tetap teguh memeluk agama Buddha.9
Vihara Avalokitesvara didirikan sejak abad ke-16 yaitu pada tahun 1652.
Bangunan ini terletak di Kampung Pamarican Kelurahan Banten, Kecamatan
Kasemen arah ke sebelah utara dari pusat Kota Serang.10
Sejak masa kerajaan
dulu, posisi Vihara ini berada di tengah komunitas muslim yang taat. Semula
lokasinya di Desa Dermayon, (sekitar 500 m arah selatan belakang Masjid Agung
Banten Lama) lalu berpindah ke Kampung Pamarican pada tahun 1774.
Vihara ini merupakan salah satu vihara tertua di Indonesia. Keberadaan
vihara ini diyakini sebagai bukti bahwa pada saat itu para penganut beda
agama dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa konflik yang berarti.
Vihara ini mempunyai klinik yang terbuka bagi siapa saja, baik non Buddha,
kalangan apapun dan dari manapun. Klinik ini dibuka setiap hari jumat mulai dari
13.00 – 15.00 WIB melayani penyakit umum yang ditangani oleh dua dokter
umum. Hanya dengan membayar sebesar Rp10.000 maka seseorang sudah dapat
memeriksakan diri dan berobat.
9Wawancara Pribadi dengan Asaji Humas Vihara Avalokitesvara, Kelurahan Banten, 07
Januari 2016. 10
Bangunan Kuno Di Banten, (Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, 2008),
h. 45.
8
Dibukanya klinik ini semata-mata hanya untuk mempraktikkan ajaran
yang sudah dipelajari yaitu salah satunya menebarkan cinta kasih yang luas
dengan menolong siapapun. Karena setiap vihara pasti memiliki satu ajaran
sebagai ciri khas yang wajib dipelajari lebih dalam lalu diamalkan atau
dipraktikkan pada kehidupan sehari-hari.11
Menerima Dharma dengan cara
mempelajarinya disebut pariyati dan mempraktikkannya disebut patipatti. Praktik
tanpa belajar, walaupun seringkali disertai dengan keyakinan yang mendalam
tetapi buta, mudah terbawa ke jalan yang salah, dan kedua hal ini merupakan
aspek yang saling melengkapi dan jika salah satunya tidak ada, maka tidak
mungkin seseorang akan mampu merealisasi Dharma atau mencapai penembusan
(pativedha).12
Menurut penuturan Asaji, pihak vihara pun selalu siap sedia memberi
bantuan ketika Masjid Agung Banten mengalami kerusakan bangunan. Contoh
salah satunya ketika atap luar Masjid Agung rusak terkena sambaran petir. Tanpa
berpikir lama atas adanya perbedaan keyakinan, pihak vihara pun segera
memberikan bantuan materil demi kelancaran umat Islam yang beribadah.
Bagi masyarakat Kelurahan Banten sendiri, bangunan vihara ini tidak
hanya menjadi bangunan bersejarah ataupun tempat peribadatan semata tetapi
menjadi simbol bagaimana masyarakat lampau mampu mewariskan keharmonisan
dalam menghadapi setiap perbedaan yang ada. Masyarakat Banten juga dikenal
masyarakat komunitas Muslim tapi nyatanya keharmonisan antar agama di
kawasan Banten lama ini terjalin sangat baik, hidup berdampingan dengan damai
11
Wawancara Pribadi dengan Asaji Humas Vihara Avalokitesvara, Kelurahan Banten, 17
Febuari 2016. 12
Biksu Buddhadasa, Mengajarkan Dharma Melalui Gambar (T.tp.: Karaniya, 2008), h.
56.
9
tanpa konflik yang berarti. Berangkat dari paparan di atas, penulis tertarik untuk
menulis penelitian ini, dengan judul “Masjid dan Vihara: Simbol Kerukunan
Hubungan Antara Islam dan Buddha (Studi Kasus Di Kelurahan Banten
Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini tersusun dengan baik dan ada korelasi antara latar
belakang masalah dengan judul atau tema yang dibuat, maka penulis membatasi
pembahasannya hanya pada simbol pemersatu hubungan antara Islam dan Buddha
di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah Masjid
dan Vihara menjadi simbol kerukunan hubungan antara Islam dan Buddha di
Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masjid dan vihara dapat
menjadi simbol kerukunan hubungan antara Islam dan Buddha di Kelurahan
Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah:
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran
terutama mengenai hubungan antara umat Muslim dan Buddha di
Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi
Banten di masa lampau dan saat ini.
10
b. Penelitian ini untuk memenuhi persyaratan akhir perkuliahan untuk
gelar kesarjanaan Strata I (SI) Agama dalam Jurusan Studi Agama-
Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat di (UIN) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini untuk menambah ilmu pengetahuan tentang simbol
pemersatu antara umat Muslim dan Buddha di Kelurahan Banten Kecamatan
Kasemen Kota Serang Provinsi Banten di masa lampau dan saat ini.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk melengkapi penelitian ini, peneliti juga mencantumkan penelitian
yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Yang berkaitan dengan tema peneliti
agar dapat menjadi referensi, namun peneliti belum menemukan penelitian yang
serupa yang pernah dilakukan sebelumnya. Adapun penelitian yang berkaitan
dengan tema penelitian yang akan dilakukan, sebagai berikut:
1. Buku karya Juliadi yang berjudul, Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah Dan
Budaya, menjelaskan tentang Masjid Agung Banten mulai dari latar
belakang didirikan, waktu pendirian bangunan, siapa pendirinya, siapa
arsitekturnya, deskripsi dari setiap bangunan komplek Masjid Agung
Banten, khususnya bangunan menara yang sengaja dibuat Bab tersendiri
agar fokus pembahasannya.
2. Skripsi Anton Herrystiadi yang berjudul, Mesjid Agung Banten: Sebuah
Tinjauan Arkeologi, memaparkan gaya bangunan (arsitektural) dan seni
hias (ornamental) yang terdapat pada setiap bangunan komplek Masjid
Agung Banten. selain itu juga memberi gambaran mengenai arti serta fungsi
11
bangunan-bangunan kuno bersejarah yang ada di Situs Banten Lama
(termasuk yang ada di Kelurahan Banten).
3. Buku karya Tubagus Hafidz Rafiudin yang berjudul, Riwayat Kesultanan
Banten, menjelaskan tentang asal usul nasab Syarif Hidayatullah, kerajaan
serta kondisi sebelum kerajaan Banten berdiri, awal mula kesultanan Banten
berdiri, serta riwayat dan perjalanan satu persatu raja Banten selama
memerintah.
4. Dan buku karya Mubarok yang berjudul, Kompendium Regulasi Kerukunan
Umat Beragama, menjabarkan tentang anjuran dan peraturan perundang-
undangan pemerintah tentang kerukunan umat beragama di Indonesia, guna
sebagai salah satu pedoman.
F. Landasan Teori
1. Pengertian Agama Dan Keberagamaan
Agama dan keberagamaan adalah dua kata yang maknanya berbeda satu
dengan lainnya. Secara morfologis, masing-masing ungkapan tentu punya
artinya sendiri. Sesuai dengan kaidah kebahasaan, perubahan bentuk dari kata
dasar agama menjadi keberagamaan semestinya sudah cukup untuk
mengingatkan bahwa keduanya harus dipakai dan diberi makna yang berbeda.
Agama merupakan kata benda dan keberagamaan adalah kata sifat atau
keadaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama memiliki arti ajaran,
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Sedangkan dalam
12
bahasa Arab agama berasal dari kata Ad-din, kata ini mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, dan kebiasaan.
Secara sosiologis, agama didefinisikan menjadi dua perihal. Yang
pertama, di bawah pengaruh Emile Durkheim13
yang disebut fungsional
agama, menurutnya agama didefinisikan dalam pengertian peranannya dalam
masyarakat, agama merupakan suatu sistem interpretasi terhadap dunia yang
mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarakat itu
pada alam semesta.14
Jadi penafsiran agama bisa saja berubah, seperti halnya
masyarakat, namun eksistensi agama itu sendiri tidak akan pernah hilang.
Definisi yang kedua, yaitu substantif agama yang diperkenalkan oleh kaum
sosiolog agama. sebenarnya mereka mengakui definisi fungsional, tetapi bagi
mereka esensial agama itu berhubungan dengan dunia yang tidak tampak (the
invisible world), mengarahkan orang pada pandangan yang bersifat eksteral
terhadap agama (cukup dengan penjelasan murni faktual saja).
Secara bahasa kata “keberagamaan” berasal dari kata “beragama”
yang mendapat awalan “ke-“. Awalan “ke-“ di sini lebih bermakna “keadaan”
atau “kondisi”. Kata “beragama” sendiri diartikan menganut (memeluk)
agama, beribadat, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama). maka
kata “keberagamaan” dapat diartikan suatu keadaan beragama atau keadaan
menganut agama, keadaan beribadat, dan keadaan taat kepada agama.
Menurut Jalaludin, sikap atau perilaku keberagamaan adalah suatu tingkah
13
David Emile Durkheim atau yang lebih dikenal dengan Emile Durkheim adalah salah
satu pencetus sosiologi modern. 14
A. A. Yewangoe, Agama Dan Kerukunan, 10th
ed. (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia,
2011), h. 3.
13
laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap
agama yang dianutnya.15
2. Pengertian Kerukunan
“Rukun” berasal dari bahasa Arab ruknun, artinya asas-asas atau
dasar, seperti rukun Islam. Rukun dalam arti kata sifatnya adalah baik atau
damai. Kerukunan hidup umat beragama artinya dalam suasana damai, tidak
bertengkar walaupun berbeda agama.16
Bila kata kerukunan ini dipergunakan dalam konteks yang lebih luas,
seperti antar golongan atau antar bangsa, pengertian rukun atau damai
ditafsirkan menurut tujuan, kepentingan dan kebutuhan masingmasing,
sehingga dapat disebut kerukunan sementara, kerukunan politis dan
kerukunan hakiki. Kerukunan hakiki adalah kerukunan yang didorong oleh
kesadaran dan hasrat bersama demi kepentingan bersama. Jadi kerukunan
hakiki adalah kerukunan murni, mempunyai nilai dan harga yang tinggi dan
bebas dari segla pengaruh dan hipokrisi.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif
atau studi kasus dengan tema Masjid Dan Vihara: Simbol Kerukunan
Hubungan Antara Islam Dan Buddha (Studi Kasus Di Kelurahan Banten
15
Ita Jumaroh, Perkembangan Keberagamaan Narapidana (Studi Kasus Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Cipinang Jakarta Timur) (Skripsi SI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016), h. 15.
16Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2013), h. 1.
14
Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi). Dan studi pustaka, yang
dimaksud studi pustaka adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan
atau sedang diteliti. Informasi tersebut diperoleh dari buku-buku ilmiah,
laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, ensiklopdia
dan sumber-sumber lainnya dalam bentuk tertulis baik tercetak maupun
elektronik lain. dan studi pustaka merupakan suatu elemen yang tidak dapat
dipisahkan dari suatu penelitian.
2. Jenis Data
Data diperoleh melalui sumber primer dan sekunder dengan tujuan
melengkapi data kajian dalam mengetahui dan memahami sikap toleransi
umat beragama antara Islam dan Buddha di Kelurahan Banten.
a. Data primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri atau
seorang atau suatu organisasi langsung dari obyeknya.17
Data primer
diambil dengan melakukan wawancara dengan bagian Humas atau
pengurus Masjid Agung Banten juga Vihara Avalokitesvara Banten,
tokoh masyarakat dan warga setempat.
b. Data sekunder yaitu data sejarah yang bersumber dari hasil
rekontruksi orang lain, seperti buku dan artikel yang ditulis orang-
orang yang tidak sezaman dengan peristiwa tersebut.18
Menurut
sugiyono, data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain
17
Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian (Jakarta: STIA Lembaga Administrasi
Negara, 1999), h. 65. 18
Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.
21.
15
atau dokumen.19
Data sekunder penulis ambil dari penelitian lapangan
yang dilakukan di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota
Serang Provinsi Banten dengan melihat kerukunan antar umat
beragama masyarakatnya dan buku-buku yang berkaitan dengan
Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara Banten, sejarah Banten
Lama, sejarah masuknya agama Buddha dan Islam ke Banten Lama
(sekarang Kelurahan Banten), tentang kerukunan dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan data,
diantaranya yaitu:
a. Teknik Wawancara
Yaitu penelitian yang diajukan secara lisan (pengumpul data
bertatap muka dengan responden).20
Dan bertujuan mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta
pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari
metode observasi.21
Pada tahap wawancara ini, penulis mewawancarai
humas Masjid Agung Banten Lama dan Vihara Avalokitesvara Banten
Lama, tokoh masyarakat, aparatur desa dan sejarawan Banten. Untuk
mempermudah penulis dalam mengumpulkan data, penulis mencatat dan
merekam jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
19
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: ALFABETA,
2010), h. 225. 20
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 52. 21
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta:PT Gramedia, 1977),
h. 129.
16
b. Teknik Observasi (pengamatan/peninjauan secara cermat)
Teknik observasi yaitu mengamati dan mendengar dalam rangka
memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial-
keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-
simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena
yang di observasi, dengan mencatat, merekam, memotret fenomena untuk
penemuan data analisis.22 Pada tahap ini penulis mendatangi tempat yang
menjadi pusat penelitian untuk melihat secara langsung terhadap suatu
benda, kondisi, situasi, proses atau sikap yang merupakan bahan-bahan
informasi penulis terhadap Masjid Agung Banten Lama dan Vihara
Avalokitesvara sebagai bukti kerukunan umat beragama antara Islam dan
Budha di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen.
4. Langkah-Langkah Pengumpulan Data
a. Tempat Penelitian
Kelurahan Banten atau Situs Banten lama memiliki beberapa
ciri yang secara umum ditemukan pula pada kota-kota Islam yang sejaman
di bagian-bagian lain di dunia.23
Kelurahan Banten adalah situs yang
merupakan sisa kejayaan Kerajaan Banten. Letaknya relatif tidak jauh dari
Kota Jakarta, dapat ditempuh sekitar dua jam dari Jakarta. Di tempat ini
terdapat banyak situs peninggalan dari Kerajaan Banten, diantaranya,
Istana Surosowan, Masjid Agung Banten, Situs Istana Kaibon, Benteng
Speelwijk, Danau Tasikardi, Meriam Ki Amuk, Pelabuhan
22
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 167. 23
Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Eksport – Import di Zaman
Kesultanan Banten (Serang: Kadinda, 1993), h. 5.
17
Karangantu, dan Vihara Avalokitesvara.24
Namun dari sekian banyak
peninggalan bersejarah Kerajaan Banten, hanya beberapa yang masih
berdiri tegak dan terawat.
Penulis memilih dua situs peninggalan bersejarah dari kerajaan
Banten yang akan diteliti lebih dalam mengenai keberagamaannya, yaitu
Masjid Agung Banten dan Vihara Avalokitesvara yang terletak di
Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan antara bulan Januari 2016 sampai
dengan bulan September 2016.
c. Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Sejarah atau Historis
Pendekatan historis yaitu untuk menelusuri asal-usul dan
pertumbuhannya serta institusi-institusi keagamaan yang bersangkutan
melalui periode-periode perkembangannya untuk mendapatkan gambaran
yang jelas, yang dengannya konsep-konsep tentang pengalaman
keagamaan dapat dihargai dan dipahami maka gambaran utuh mengenai
suatu agama akan dapat dicapai.25
Menurut Frederick J. Streng,
interpretasi historis telah dibenarkan dengan daya tarik dokumentasi dan
dengan klaim bahwa peristiwa-peristiwa historis diinterpretasikan sebagai
hasil peristiwa-peristiwa historis lain atau sebagai hasil kekuatan-kekuatan
24
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Kuno_Banten, Jumat, 04-03-2016. Pkl. 08.43 WIB. 25
Mujahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994), h.28.
18
manusia.26
Demikian pendekatan ini digunakan penulis karena berdasarkan
penelitian yang dikaji yaitu mengenai sejarah Kelurahan Banten, sejarah
masuknya Budha dan Islam ke Kelurahan Banten, segala sejarah yang
menyangkut Masjid Agung Banten dan Vihara Avalokitesvara.
2) Sosiologis
Sedangkan pendekatan sosiologis Pendekatan Sosiologis yaitu
pendekatan yang diangkat dari ekspresiensi atau pengalaman konkrit
sekitar agama yang dikumpulkan dari sana-sini, baik sejarah (masa
lampau) maupun dari kejadian-kejadian sekarang.27
Auguste Comte dan
Henri Saint Simon adalah pendiri sosiologi. Bagi Comte, sosiologi
mengikuti jejak ilmu alam, observasi empiris terhadap masyarakat
manusia akan memunculkan kajian rasional dan positivistik mengenai
kehidupan sosial yang akan memberikan prinsip-prinsip
pengorganisasian bagi ilmu kemasyarakatan.28
Demikian pendekatan ini
digunakan penulis karena berdasarkan penelitian yang dikaji yaitu
berhubungan langsung atau berinteraksi sosial dengan penduduk
Kelurahan Banten serta meneliti interaksi sosial antar penduduknya.
5. Teknik Analisa Data
Faktor terpenting dari sebuah penelitian adalah penggunaan metode
yang tepat. Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif
analisis, deskriptif yaitu bersifat menggambarkan atau menguraikan
26
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),
h. 15-16. 27
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama: Pengantar Awal Metodologi Studi
Agama-agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 49-50. 28
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama. penerjemah Imam Khoiri
(Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 274.
19
sesuatu hal menurut apa adanya.29
Dan analisis yaitu penyelidikan
terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya.30
Jadi metode ini yaitu metode yang
dilakukan dengan cara menguraikan sekaligus menganalisa data-data yang
menjadi hasil pengkajian dan pendalaman atas bahan-bahan penelitian.
Dengan menguraikan (deskriptif) dan menganalisa, penulis
berharap dapat memberikan gambaran secara maksimal atas objek
penelitian (permasalahan) yang dikaji dan didalami di penelitian ini.
Terakhir, hasil kajian dan pendalaman atas permasalahan dalam skripsi ini
disajikan dengan menggunakan metode informal. Metode informal
merupakan penyajian hasil analisis data dalam bentuk narasi.
6. Panduan Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini menggunakan standar yang
ditetapkan dalam buku, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
dan Disertasi), yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development
and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini penulis membagi dalam lima bab dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab I, merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
batasan dan rumusan malasah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metodelogi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, penulis menjelaskan
29
Darwin Winata, Kamus Saku Ilmiah Populer (T.tp.: Gamapress, t.t.), h. 115. 30
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2012), h. 58.
20
mengenai gambaran umum masyarakat Kelurahan Banten dan masuknya Islam
dan Budha di Kelurahan Banten. Bab III, penulis menjelaskan tentang sejarah
keberadaan masjid dan vihara bersejarah di Kelurahan Banten. Bab IV, penulis
memaparkan relevansi kehidupan harmoni antara Islam dan Budha di Kelurahan
Banten dengan konsep kerukunan umat beragama di Indonesia. Bab V,
kesimpulan dan saran. Kesimpulan ini berisikan jawaban dari rumusan masalah
dalam penelitian ini. Sedangkan saran berisi saran bagi pembaca dan penelitian
selanjutnya.
21
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN BANTEN
A. Gambaran Umum Masyarakat Kelurahan Banten
1. Sejarah Kelurahan Banten
Kata Banten berasal dari Wahanten atau Cibanten, yaitu nama sungai
yang berada di dekat Banten 13 km ke arah selatan situs “Banten Lama”. Tetapi
orang kemudian sering memberi julukan Katiban Inten (kejatuhan intan), yang
diibaratkan dengan masuknya agama Islam ke Banten. Diawali dengan adanya
kekuasaan Prabu Pucuk Umun dari kerajaan Padjajaran dan Banten Girang
sebagai ibukotanya. Dan setelah Maulana Hasanuddin berhasil merebut daerah
kekuasaan, maka ibukotanya dipindahkan ke Surosowan.1
Pada pertengahan abad 16 sampai awal abad 19, Kelurahan Banten atau
yang sering disebut “Banten Lama” dahulu merupakan pusat kerajaan yang
bercorak Islam sejak tahun 1526 dan juga pusat perdagangan penting di kawasan
Asia Tenggara. Menurut Tome Pires,2 saat kerajaan Sunda berkuasa, Banten
menjadi salah satu pelabuhan penting. Karena berdasarkan letak geografisnya
yang terletak di pesisir utara Jawa Barat, Selat Sunda. Banten lama sangat
strategis bagi para pedagang dalam maupun luar negeri untuk rempah-rempah
yang merupakan hasil daerahnya.
1Lihat lebih jelasnya gambar no. 22 dan 23 Halwany Michrob dalam Sejarah
Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten: Suatu Kajian Arsitektural Kota Lama Banten
Menjelang XVI – XX, h. 53. 2Seorang penjelajah yang berasal dari Portugis sekaligus inspektur pajak di Malaka yang
ikut dalam ekspedisi ke Jawa dan menuliskan kesaksiannya ke dalam buku yang diberi judul
“Summa Oriental” (1513-1515).
22
Di kota ini (Surosowan) didirikan keraton, Masjid Agung, pasar,
pelabuhan, perkampungan dan sebagainya. Kota ini ramai, karena merupakan
pusat perdagangan yang pengunjung dan para pedagangnya datang dari berbagai
negeri asing. Bahkan sampai didirikan perkampungan khusus untuk mereka,
perkampungan orang India, Pegu, Persi, Arab dan lain-lain. Namun ada pula
disediakan perkampungan bagi pedagang dalam negeri yang berasal dari berbagai
daerah, seperti perkampungan orang Melayu, Ternate, Banda dan lain-lain.
Kini kawasan kerajaan itu menjadi situs kepurbakalaan Banten Lama
yang merupakan salah satu obyek wisata budaya unggulan di Kota Serang. Dan
masa lalu kerajaan Banten tersebut hanya menyisakan bukti-buktinya. Bukti
peninggalan tersebut merupakan saksi bisu kejayaan masyarakat dan budaya
Banten di masa lalu, antara lain berupa bekas komplek Keraton Surosowan yang
dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, komplek Masjid Agung
Banten, komplek makam raja-raja Banten dan keluarganya, Masjid Pecinan
Tinggi, komplek Keraton Kaibon, Masjid Koja, Benteng Speelwijk, Vihara, Watu
Gilang, Danau Tasikardi, Masjid dan makam Sultan Kenari, Jembatan Rante, dan
masih banyak lagi. Dan dalam Peraturan Daerah Kota Serang Bab IV tentang
“Pembangunan DPD (Destinasi Pariwisata Daerah)” bagian Ketiga ayat (16)
huruf a pun tertulis, yaitu: Banten Lama dan sekitarnya sebagai tempat wisata
purbakala, budaya, minat khusus, pendidikan dan wisata kuliner.3
Setelah Provinsi Banten terbentuk pada tahun 2000, maka tak lama
kemudian Serang pun menjadi sebuah kota. Kota ini diresmikan pada tanggal 2
November 2007 berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan
3Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015-2025.
23
Kota Serang.4 Maka khusus desa-desa yang masuk dalam kawasan Kota Serang
diubah namanya menjadi kelurahan. Dan Kelurahan Banten berada di kawasan
Kota Serang dengan Kecamatan Kasemen. Namun masyarakat Serang sering
menyebutnya dengan “Banten Lama”.
2. Kondisi Geografis
Kelurahan Banten merupakan salah satu Desa dari 10 Desa yang berada
di Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Secara geografis Kelurahan Banten terletak
pada 5° 50‟ LS - 6° 3‟ LS dan 106° 9‟ BT - 106° 11‟ BT, dan secara administratif
memiliki batasan-batasan sebagai berikut:5
Sebelah Utara : Berbatasan dengan laut Jawa
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Kasunyatan Kec. Kasemen
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Margaluyu Kec. Kasemen
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Pamengkang Kec. Kramatwatu
3. Kondisi Keagamaan
Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri
dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata
sosial. Negara Indonesia mempunyai moto semboyan “Bhineka Tunggal Ika”
yang artinya walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Sebagaimana terlihat pada
kondisi keagamaan di Kelurahan Banten, meski agama Islam menempati tingkat
terbanyak dalam jumlah penganutnya atau bisa dikatakan mayoritas, mereka tetap
saling menghormati dan mempunyai rasa toleransi yang tinggi. Untuk lebih
jelasnya persentase keagamaan masyarakat di Kelurahan Banten dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
4http://bantenprov.go.id/read/kota-serang.html diakses pada 14 Desember, 10:30 WIB
5Format Laporan Profil Desa dan Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Provinsi
Banten tahun 2015.
24
Tabel 2.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut
No Agama Jumlah Persentase
1 Islam 17.885 99,56%
2 Protestan 20 0,11%
3 Khatolik 15 0,08%
4 Hindu 0 0%
5 Budha 43 0,23%
Jumlah 17.963 100,00%
Sumber: Data kependudukan Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang
Provinsi Banten tahun 2017.
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa memang umat Islam sebagai
masyarakat mayoritas. Karena masa lalu Banten dikenal sebagai pusat penyebaran
dan kekuasaan Islam di Jawa bagian barat, maka banyak terdapat para kyai dan
ulama. Dan Banten juga terkenal dengan kota pesantren, banyak para kyai, ustad
dan ulama tersebut yang mendirikan pesantren di setiap daerahnya, baik pesantren
modern maupun salafi. Dan sampai saat ini keberadaan pesantren terus
bertambah.
4. Kondisi Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial ekonomi penduduk Kelurahan Banten secara umum
dapat dikatakan masih sederhana, ditinjau dari sikap hidup, keadaan perumahan
dan suasana lingkungannya. Mata pencaharian utama penduduknya adalah
nelayan dan bertani.
25
Tabel 2.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah Persentase
1 Pegawai Negeri 62 2,46%
2 TNI 6 0,23%
3 POLRI 11 0,43%
4 Petani 36 1,43%
5 Pedagang 480 19,08%
6 Nelayan 1.878 74,67%
7 Pengrajin 5 0,19%
8 Peternak 5 0,19%
9 Montir/Tukang 24 0,95%
10 Dokter 3 0,11%
11 Jasa Lainnya 5 0,19%
Jumlah 2.515 100,00%
Sumber: Data kependudukan Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang
Provinsi Banten tahun 2017.
Berdasarkan tabel di atas, mata pencaharian sebagai nelayan menjadi
pilihan utama masyarakat Kelurahan Banten, karena keberadaan wilayah ini
(pemukiman pesisir) sangat strategis untuk menangkap ikan.
26
B. Masuknya Buddha di Kelurahan Banten
Agama Hindu dan Buddha memang menjadi agama tertua di Banten,
khususnya Buddha. Secara umum, masuknya agama Buddha ke Banten dapat
dilihat dari catatan tentang kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddhanya. Pada
130 M, Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak) yang beribukota Rajatapura
yang terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja pertamanya Dewawarman I (130-
168 M) yang bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan).
Dan kemudian berdiri kerajaan Tarumanegara, ini terbukti pada prasasti yang
ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul, Kabupaten Pandeglang yang
diperkirakan dari abad ke-5. Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa
sanksekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di kawasan tersebut adalah
Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara dengan kondisi negara pada saat
itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.
Berita atau sumber-sumber sejarah mengenai Banten dari masa sebelum
abad ke-16 memang sangat sedikit ditemukan. Kemudian Berita tentang Banten
baru muncul kembali pada awal abad XIV dengan diketemukannya prasasti di
Bogor. Prasasti ini menyatakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang
Ratu Dewata, dan Banten sampai awal abad XVI termasuk daerah kekuasaannya.
Kerajaan Pajajaran memang merupakan kerajaan besar, yang daerah kuasanya
meliputi: seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon, ditambah pula
daerah Tegal dan Banyumas sampai batas Kali Pamali dan Kali Serayu. Barulah
27
kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Banten yaitu
kerajaan Sunda, kerajaan Pajajaran.6
Beralih ke masyarakat Buddha yang ada di Banten; khususnya Kelurahan
Banten, mereka berasal dari daratan Tiongkok. Menurut Asaji, Asal mula etnis
Tionghoa yang ada di Banten berawal dari pengikut Ong Tien yang kemudian
berkembang biak.7
Kata etnis berasal dari bahasa Yunani „ethnicos‟ artinya yang lain. Istilah
ini digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah berhala.
Pada perkembangannya kemudian, istilah etnis ini menunjuk kepada kelompok
yang diasumsikan memiliki sikap fanatik terhadap ideologinya. Sementara itu,
dalam konsep ilmu sosial, istilah etnis itu ditujukan untuk menyebut sekelompok
penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sifat kebudayaan, seperti bahasa, adat
istiadat dan kesamaan sejarah.8
Etnisitas yang dipandang sebagai fenomena dari kategori sosio-biologis
dikarakteristikkan oleh gambaran-gambaran kewilayahan, agama, kebudayaan,
bahasa dan organisasi sosial (istilah ini termasuk salah satu pendekatan teoritik
fenomena etnisitas). Etnisitas bersifat primordial dan askriptif, bahwa seseorang
menjadi etnis bukan karena pilihan dirinya.9
6Lihat juga Halwani Michrob, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten
(Jakarta: Yayasan Baluwarti, 1993), h. 30. Menjelang abad ke-16 Banten merupakan Desa nelayan
dengan pelabuhan Banten yang dikuasai kerajaan Pajajaran (Hindu-Buddha). 7Wawancara dengan Asaji, Banten, 10 September 2016. Lebih jelasnya lihat di
pembahasan Bab III. 8Alo Liliweri, “Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya”, dalam Suhaedi, dkk., Etnis Cina
di Banten (Serang: LP2M IAIN SMH Banten, 2014) h. 10. 9Suhaedi, dkk., Etnis Cina di Banten (Serang: LP2M IAIN SMH Banten, 2014) h. 11.
28
Orang Tionghoa datang ke Indonesia dalam beberapa gelombang.
Walaupun kemungkinan dari abad ke-4 pun mereka sudah ada di kepulauan.
Spekulasi-spekulasi mengenai kedatangan mereka telah disusun berdasarkan
peninggalan-peninggalan seperti artefak yang ditemukan di Jawa Barat,
Batanghari dan Kalimantan Barat, dan juga peninggalan-peninggalan lain di
beberapa keraton yang masih tersisa.10
Di Banten Girang misalnya yang dianggap sebagai pusat pemerintahan
daerah Banten sebelum Islam (kerajaan Sunda Padjajaran), dalam sebuah
penggalian yang dilakukan oleh pusat Penelitian Arkeologi Nasional, bekerjasama
dengan Ecole Francais d‟Extreme Orient (1989), ditemukan antara lain pecahan
keramik dari masa Dinasti Han.11
Di berbagai tempat lain, ditemukan juga
keramik Cina dari masa Dinasti Tang, Song dan Ming, yang semuanya dianggap
sejaman dengan masa sebelum Islam Banten.12
Menurut Kong Yuanzhi, kontak antara penduduk Cina dan Kepulauan
Nusantara (Indonesia) sudah terjadi sejak zaman Dinasti Tang,13
Dinasti Ming,14
dan Dinasti Qing.15
Dan menurut Peter Carey, hubungan (terutama dalam hal
10
Ibid, h. 25. 11
Dinasti Han berdiri pada tahun 202 SM sampai 220 M. Dinasti ini termasuk salah satu
dinasti yang peling berpengaruh dari 3 dinasti di Tiongkok dengan 2 kali pergantian pemerintahan,
Kaisar Gaozhou dan Kaisar Ai. 12
Siti Fauziyah, Melacak Sino Javanese Muslim Culture Di Banten (Serang: Lembaga
Penelitian IAIN SMH Banten, 2012), h. 16. 13
Dinasti Tang (618M-907M) adalah salah satu dinasti yang paling berpengaruh di Cina
daerah selatan Cina tersebut merupakan tempat yang sangat strategis untuk perdagangan, dari
tempat tersebut timbul lah keinginan untuk memperluas kolega perdagangan mereka dengan
melakukan pelayaran. 14
Dinasti Ming adalah satu dari dua dinasti yang didirikan oleh pemberontakan petani
sepanjang sejarah Cina dengan dua kali pergantian pemerintahan, yaitu Kaisar Hongwu dan Kaisar
Chongzhen (1368 M – 1644 M). 15
Dinasti Qing (1644 M-1911 M) adalah salah satu dari dua dinasti asing yang memerintah
di Tiongkok. Asing disini berarti dinasti yang di kuasai oleh nonHan. Karena dahulu bangsa Han
dianggap sebagai sebuah entitas Tiongkok. Dan lihat., Kong Yuangzi dalam I Wibowo dan
Syamsul Hadi, Merangkul Cina : Hubungan Cina Indonesia Pasca Soeharto (Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2009), h. 24.
29
perdagangan) antara Cina dengan Jawa sudah terjadi berabad-abad yang lalu, dan
diperkirakan pada awal era Kristen. Karena pada saat puncak kejayaan Kerajaan
Majapahit (abad ke-14), masyarakat golongan atasnya sudah terbiasa dengan
barang-barang yang berasal dari negeri itu, seperti porselin, sampang, sutera dan
barang mewah lainnya.
Orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia, mereka pada umunya
berasal dari Propinsi Fujian di bagian Cina selatan yang terdiri dari beberapa suku
bangsa seperti Hokkien,16
Toechiu, Hakka dan Kanton.17
Pada masa Dinasti Tang,
daerah Cina bagian selatan ini merupakan daerah yang ramai dalam bidang
perdagangan. Sehingga mendorong mereka untuk melakukan pelayaran dagang
dan mencari kehidupan yang baru. Pada Dinasti Tang ini orang-orang Tionghoa
mulai berdatangan ke Nusantara (terutama di pelabuhan-pelabuhan Jawa),
puncaknya pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 merupakan migrasi besar-
besaran bagi orang-orang Tionghoa ke seluruh dunia. Selain itu, kekuatan yang
menggerakkan mereka dibalik perpindahan tersebut adalah keadaan yang sulit di
tanah air mereka sendiri, tekanan politik dari Dinasti Qing dan juga kondisi
perekonomian yang memburuk setelah Perang Candu.18
16
Diyakini sebagai imigran pertama Tionghoa yang tiba di Nusantara sekitar tahun 800-900.
Ini terbukti dari batu nisan tertua yang ditemukan di Asia Tenggara (Brunei) menunjukkan tahun
1264 dan secara jelas menunjukkan bahwa orang yang namanya tertera di batu tersebut adalah
orang Hokkien. Inkripsi-inkripsi yang ada di batu nisan juga menempatkan suku Hokkien sebagai
kelompok yang muncul di Jawa Barat sebelum Belanda berkuasa di Batavia. 17
Mulai tiba di Nusantara, terutama di pelabuhan-pelabuhan Jawa pada paruh kedua abad
ke-19 dan awal abad ke-20. 18
Kong Yuan Zhi, “A Study of Chinese Loanwords (from South Fujian dialects) in The
Malay and Indonesian Languages”, dalam Suhaedi, dkk., Etnis Cina di Banten (Serang: LP2M
IAIN SMH Banten, 2014) h. 26. Perang Candu adalah konflik militer yang terjadi di wilayah timur
Cina (yang pada saat itu sedang dikuasai dinasti Qing) pada abad ke-19. Perang ini terjadi karena
adanya perbedaan pendapat antara Dinasti Qing dengan Inggris mengenai perdagangan “candu” di
daratan Cina. Candu adalah sejenis narkotika, yang dahulu digunakan keperluan pengobatan
sebagai obat bius, namun bergeser fungsinya menjadi obat penghilang stres bagi pemakainya
dengan dosis yang tinggi dan memberi efek ketagihan. Lalu penguasa Dinasti melarang
penggunaan dan peredaran candu, kemudian para pedagang Eropa (khususnya Inggris) merasa rugi
30
Secara umum, orang Tionghoa sudah tersebar di Batavia (sekarang
Jakarta) sejak tahun 1619 dan menjadi bagian terpenting dari perekonomiannya.
Dan setiap tahun imigran Tionghoa ilegal yang diturunkan di Pulau Seribu atau
Pantai-pantai yang sepi terus bertambah. Batavia menjadi kota konsentrasi orang
Tionghoa terbanyak. Mereka berhasil menguasai perdagangan ekspor kunci beras
dan kayu jati.19
Dan pada tahun 1855-1900, orang Tionghoa merupakan penduduk
Banten terbesar kedua setelah orang Banten asli. Jumlah orang Tionghoa yang
tinggal di Serang, Pandeglang dan Lebak berjumlah kurang lebih 1500 jiwa.
Jumlah orang Tionghoa terbanyak tinggal di Tangerang, yaitu 27.996 orang pada
tahun 1888. Di ibukota Keresidenan Banten orang Tionghoa pada tahun 1857-
1900, tidak lebih dari 395 jiwa. Sementara di Pandeglang, tidak lebih dari 83
orang, dimana lebih dari 2/3-nya tinggal di Labuan. Lebak sendiri ketika itu
menjadi tempat tinggal bagi orang Tionghoa hanya 29 jiwa.20
Identitas budaya dan kedudukan komunitas Tionghoa di dalam
masyarakat Indonesia sering menimbulkan perdebatan yang sengit. “masalah
Cina” pada masa Orde Baru, contohnya, telah sekian lama diperbincangkan di
dalam masyarakat Indonesia sendiri dan yang pada akhirnya menghasilkan
pertanyaan-pertanyaan, “apakah orang Tionghoa Indonesia seharusnya tetap
mempertahankan identitas budaya berasimilasi ke dalam kebudayaan
Indonesia?”.21
dengan adanya peraturan itu, maka mereka diam-diam menyelundupkan candu ke dalam wilayah
Dinasti Qing (jalur ilegal). 19
Lebih jelasnya lihat Peter Carey dalam Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825),
h. 16. 20
Mufti Ali, Misionarisme Di Banten (Serang: Laboratorium Bantenologi, 2009), h. 16. 21
Suhaedi, dkk., Etnis Cina di Banten (Serang: LP2M IAIN SMH Banten, 2014), h. 22.
31
Hubungan yang tidak harmonis antara etnis Cina dan pribumi sebagai
akibat politik rasialis penjajah menumbuhkan prasangka-prasangka terhadap etnis
Cina yang disertai kurang intensnya interaksi diantara kedua etnis itu turut
memperlebar jarak diantara keduanya. Kedekatan etnis Cina dengan penjajah
menumbuhkan pendapat bahwa mereka juga penjajah. Hal ini dikuatkan dengan
kondisi sosial masyarakat yang terjadi selama itu yaitu bahwa etnis Cina memiliki
kekuasaan dan pengaruh yang besar khususnya dalam kehidupan ekonomi
masyarakat pedesaan. Faktor lain yaitu pada kebijakan pemerintah penjajah saat
itu yang telah diterapkan sejak abad 19 terlihat sangat diskriminatif, menjadikan
etnis Cina menduduki posisi dominan di bidang ekonomi yang berpengaruh besar
dalam kehidupan ekonomi masyarakat pribumi. Ini menimbulkan masyarakat
pribumi mengalami kemiskinan dan penderitaan dan masyarakat pribumi
berpendapat bahwa masyarakat Tionghoalah penyebab semua ini.
Kondisi mereka saat itu sangat tertindas. Masyarakat Tionghoa merasa
seperti diadu domba oleh pihak kolonial. Yang menjadikan mereka tidak disukai
oleh pribumi. Bahkan pada tahun 1740 di bawah pemerintah Gubernur Jendral
Valckenier terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia.
10.000 orang etnis Tionghoa ditumpas habis. Pembantaian yang dilakukan
Belanda secara besar-besaran terhadap orang Tionghoa dimaksudkan agar
kalangan bisnis etnis Tionghoa ini betul-betul tunduk terhadap Belanda. Itu
sebabnya tidak banyak muncul oposisi-oposisi dari kalangan etnis Tionghoa.
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada masa Kolonial
Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde lama dan Orde Baru.
32
Namun pada hakikatnya, baik kompeni Hindia Timur Belanda, maupun
para pengusaha kerajaan-kerajaan Jawa membutuhkan orang-orang Cina itu
dengan segala kegiatan yang mereka lakukan di bidang perdagangan dan
kebutuhan akan peranan mereka ini dicerminkan dalam kedudukan administratif
dan hukum yang istimewa yang diberikan kepada mereka (masyarakat
Tionghoa).22
Setelah Indonesia merdeka dan Belanda angkat kaki dari Indonesia tahun
1949, kalangan nasionalis Indonesia mulai berpikir tentang identitas nasional
mereka.23
Kelompok-kelompok etnis yang beragam, khususnya Tionghoa
memiliki dua pilihan yang membingungkan. Jika mereka ingin tetap beradadi
Indonesia, maka mereka harus siap berasimilasi dan menjadi warga negara
Indonesia, sedangkan yang enggan menjadi warga negara Indonesia maka ia harus
pergi meninggalkan negara Indonesia. Dan akhirnya sebagian besar masyarakat
peranakan Tionghoa menjadi warga negara Indonesia.
Nampaknya ini bukan akhir dari ketertindasan etnis Tionghoa, karena
mereka merasa masih dibedakan dengan masyarakat Indonesia asli. Ini dilihat dari
kesukuan mereka, suku atau etnis Tionghoa bukan berasal dari negeri Indonesia.
Negeri Indonesia hanya memiliki suku, Sunda, Jawa, Batak, Dayak dan masih
banyak lagi.
22
Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825). Penerjemah Redaksi PA
(Jakarta: Pustaka Azet, 1985), h. 17. 23
Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Penerjemah
Nur Iman Subono (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 8.
33
Berbagai cara telah ditempuh oleh kalangan Tionghoa demi
keeksistensiannya diakui, mulai dari berasimilasi, menikah dengan pribumi,
memberi nama anaknya menjadi nama Indonesia, dan sampai berpindah agama ke
agama Islam. Sedangkan proses asimilasi yang dibuat pemerintah saat itu yakni :
1) Aturan penggantian nama
2) Melarang segala bentuk penerbitan degan bahasa serta aksara Cina
3) Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga
4) Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional
Tionghoa di muka umum
5) Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak
Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta
Kesenjangan dan hubungan yang kurang baik ini menyulitkan
komunikasi antara keduanya. Dan tak dapat dipungkiri, prasangka seperti itu
masih tertanam pada masyarakat pribumi sampai saat ini. Namun segala macam
prasangka atau diskriminasi terhadap etnis Tionghoa mulai berkurang sejak masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan panggilan
Gusdur.
Pada masa kepemimpinan Gusdur, konsep bangsa Indonesia mengalami
perubahan dan modifikasi peraturan No.14 tahun 1967 menjadi Keppres No.6
tahun 2000 yang membolehkan aktivitas etnis Cina yang tidak harus meminta ijin
lagi. Ia menawarkan konsep bangsa Indonesia yang nonras. Ia juga menolak
pembentukan bangsa berdasarkan Islam sebagaimana tercermin dalam partai baru
yang dibentuknya.
34
Partai tersebut disebut Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia mengatakan
lebih lanjut bahwa Indonesia terdiri bukan hanya dari dua ras, melainkan tiga,
yaitu: ras Melayu, Austro-Melanesia dan Cina. Ketiga ras tersebut yang
membentuk kebangsaan Indonesia. Ia tidak hanya menganggap orang Tionghoa
sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tetapi juga menerima budaya etnik tersebut
termasuk agama dan kepercayaan mereka.24
Meskipun demikian, ia tetap
menekankan arti pentingnya kesetiaan politik dan penerimaan atas nasionalisme
Indonesia yang harus dimiliki oleh mereka.
C. Masuknya Islam di Kelurahan Banten
Islam adalah agama yang mula-mula tumbuh di jazirah Arab, tepatnya di
kota Mekkah. Disampaikan oleh seorang rasul yang bernama Muhammad SAW
yang lahir pada tahun 570 M. Pokok ajaran agama Islam adalah Tauhid, yaitu
bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang ada di dunia ini; oleh
karenanya manusia hendaknya hanya tunduk kepada Yang Menciptakannya saja,
tidak kepada yang lain. Semula agama ini hanya dipeluk oleh sekelompok kecil
saja, lalu Nabi Muhammad bersama para sahabat melakukan dakwah
menyebarkan agama Islam dari tempat ke tempat. Para saudagar yang sedang
berjualan pun aktif menyebarkan ajaran agama Islam maka sampailah menyebar
ke seluruh negeri dan pelosoknya.
24
Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, ia mencabut peraturan No.14/1967 yang
membatasi praktik adat-istiadat dan agama Tionghoa pada tingkat pribadi. Ia juga merayakan
Tahun Baru Cina secara terbuka dengan masyarakat Tionghoa yang disponsori oleh perhimpunan
keagamaan Konghucu Indonesia (Matakin).
35
Di kepulauan Nusantara, diperkirakan pada abad ke-7 dan ke-8 M (abad
pertama Hijriah), pedagang-pedagang Muslim telah singgah di nusantara,
sehingga agama Islam sudah banyak dikenal dan dianut oleh beberapa penduduk
pribumi di nusantara.
Namun Secara umum, periode awal Islamisasi di Banten dimulai sejak
kehadiran Sunan Ampel dan Gunung Djati.25
Tercatat dalam sejarah bahwa
penduduk Banten Girang/Wahanten Girang (sekarang Kelurahan Banten) yang
pertama kali memeluk agama Islam adalah Mas Jong dan Agus Jo (jika disingkat
nama keduanya menjadi “Ki Jong Jo”) yang diislamkan oleh Sultan Maulana
Hasanuddin.26
Namun menurut versi lain, Islamisasi di Banten telah dilakukan jauh
sebelum Syarif Hidayatullah dan Hasanudin datang. Sunan Ampel sudah lebih
dahulu mengislamkan beberapa masyarakat Banten. Dalam naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang usaha Syarif Hidayatullah bersama
98 orang muridnya mengislamkan penduduk Banten.27
Lalu secara perlahan
agama Islam pun diterima oleh masyarakat Banten, bahkan bupati Banten pun
pada saat itu merasa kagum akan tingginya ilmu dan akhlak Syarif Hidayatullah
25
Lihat Hafidz Rafiudin dalam Riwayat Kesultanan Banten, h. 15. Setelah dakwah di
Aceh lalu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) mendatangi Banten, namun di sana
sebelumnya sudah lumayan banyak pemeluk agama Islam berkat dakwahnya Sunan Ampel. Dari
sini lalu Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Cirebon. 26
Lihat Hafidz Rafiudin dalam Riwayat Kesultanan Banten, h. 26-27. Mas Jong dan Agus
Jo awalnya adalah pengikut Prabu Saka Domas yang diutus untuk menghalangi niat Maulana
Hasanudin dalam mensyiarkan agama Islam di Banten. namun setelah mereka bertemu dengan
Maulana Hasanudin, mereka akhirnya mengucapkan kedua kalimat syahadat dan masuk Islam
yang kemudian menjadi pengikut taat Maulana Hasanudin dan membantu memerangi Prabu Saka
Domas. Sebelum masuk Islam nama mereka adalah Azar Jong (menjadi Mas Jong) dan Azar Jo
(menjadi Agus Jo), telah diganti oleh Maulana Hasanudin. Dan diperkuat melalui wawancara
pribadi dengan Pa Jaenal (sekertaris Kelurahan Banten) pada tanggal 10 Oktober 2016. 27
Lihat Halwani Michrob dalam Banten dalam Pergumulan Sejarah, h. 26-27.
36
kemudian ia menikahkan adiknya yang bernama Nyai Kawunganten dengan
Syarif Hidayatullah.28
Berbeda lagi dengan Halwani Michrob menyatakan bahwa, Masuknya
pengaruh Islam ke wilayah Banten ditandai dengan penyerbuan Fatahillah,29
utusan kerajaan Demak, ke Banten Girang pada tahun 1525. Pusat pemerintahan
kemudian dikuasai oleh Fatahillah dan dipindahkan ke Banten (1526). Pada masa
inilah berkembang pesat pembangunan kota Banten dan pelabuhannya.30
Namun jika diurutkan berdasarkan hasil penelitian dari data-data yang
ada, Sunan Ampel-lah yang lebih dulu mengislamkan beberapa masyarakat
Banten, lalu disusul oleh Syarif Hidayatullah, yang jelas memang tidak diketahui
tepat pada tahun berapa Islam masuk ke Kelurahan Banten.
28
Dari perkawinan ini lahirlah dua orang anak yang bernama Ratu Winahon atau Wulung
Ayu dan Pangeran Sebakinking atau Hasanudin. 29
Fatahillah/Fadhillah Khan/Faletehan (panggilan orang Portugis) adalah anak dari
Maulana Makhmud Ibrahim Sultan Hud di Pasai/Aceh yang lahir pada tahun 1490 dan wafat 1570
juga menantu dari Syarif Hidayatullah. Ia ditugaskan oleh Syarif Hidayatullah membantu
Hasasanuddin dalam merebut Baanten dari Pakuan Padjajaran. 30
Halwani Michrob, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten (Jakarta:
Yayasan Baluwarti, 1993), h. 30
37
BAB III
SEJARAH KEBERADAAN MASJID DAN VIHARA BERSEJARAH DI
KELURAHAN BANTEN
A. Masjid Bersejarah
Dari segi harfiah, masjid adalah tempat sembahyang umat Muslim.
Namun jika dilihat dari asal katanya, masjid berasal dari bahasa Arab: masjidun
berarti ism makaan (kata yang menyebutkan tempat), dan fi’il madi (pekerjaan
yang sudah dilakukan/terjadi) nya sajada. Masjidun mempunyai arti tempat sujud
dan sajada mempunyai arti ia sudah sujud.
Masjid dalam ajaran Islam sebagai tempat sujud tidak hanya berarti
sebuah bangunan atau tempat ibadah tertentu, karena di dalam ajaran Islam Tuhan
telah menjadikan seluruh jagat raya ini sebagai masjid; tempat sujud.1 Dalam
hadist yang diriwayatkan Shahih Muslim pun berbunyi:2
وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُهَا مَسْجِدًا وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُىرًا
Artinya: “Dan (Allah) telah jadikan bumi seluruhnya sebagai tempat
sujud bagi kita dan (Allah) jadikan debunya sebagai alat bersuci.”
Pada masyarakat pelabuhan/pesisir, apabila masyarakat Islam telah
berkumpul dan memiliki pemukiman sendiri, maka dibangunlah sebuah masjid.
1Juliadi, Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya (Yogyakarta: Ombak, 2007),
h. 4. 2Muslim Bin Hajjaj, Shahih Muslim Vol. 1 (Bairut: Dar Ihya Al-Turats Al-„arabi), h. 371.
38
Dalam masyarakat Islam, masjid memiliki peranan penting yang merupakan pusat
pertemuan orang-orang beriman dan merupakan lambang kesatuan umat.3
Sejatinya fungsi dan peran masjid merupakan tempat ibadah umat Islam
yang harus dijaga fungsinya dengan baik. Jika melihat dari jaman Rasulullah,
masjid merupakan tempat yang menjadi pusat kegiatan di masyarakat yang
meliputi pendidikan dan pembinaan umat. Jadi masjid tidak hanya sekedar tempat
ibadah saja, tetapi diharapkan mampu untuk menyelesaikan masalah sosial di
masyarakat seperti kemiskinan, kebodohan dan juga masalah kehidupan sehari-
hari.
Masjid bersejarah yang ada di kawasan Banten Lama/Kelurahan Banten
yaitu Masjid Agung Banten, Masjid Koja dan Masjid Pecinan Tinggi. Namun
Masjid Koja kini hanya menyisakan puing-puing bangunannya yang sudah tidak
terlihat seperti sebuah masjid. Begitupun juga dengan Masjid Pecinan Tinggi4
hanya meninggalkan menaranya saja dan sudah tidak dapat digunaan untuk
beribadah lagi. Hanya Masjid Agung Bantenlah yang hingga kini masih dapat
digunakan untuk aktivitas ibadah oleh masyarakat.
3De Graaf dan Pigeud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa”, dalam Thanti Felisiani,
Pawestren Pada Masjid-Masjid Agung Kuno Di Jawa: Pemaknaan Ruang Perempuan (Skripsi SI
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2009), h. 16. 4Masjid Pecinan Tinggi terletak di kampung Pamarican Kelurahan Banten Kecamatan
Kasemen Kota Serang Provinsi Banten. Masjid ini peninggalan Sultan Syarif Hidayatullah yang
didirikan untuk masyarakat Cina pengikut Ong Tien yang memeluk agama Islam.Namun kini
menyisakan menaranya saja.
39
1. Masjid Agung Banten
Gambar 3.1 komplek Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten merupakan merupakan situs bersejarah
peninggalan Kesultanan Banten.5 Masjid ini terletak di Kelurahan Banten,
Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Didirikan pertama kali oleh Sultan Maulana
Hasanudin (putra Sunan Gunung Jati) pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1560an
dan terus mengalami renovasi oleh sultan-sultan Banten selanjutnya.
Masjid ini dirancang oleh tiga arsitek dengan latar belakang berbeda.
Raden Sepat (arsitek asal Majapahit), Tjek Ban Tjut (arsitek asal Cina) dan
Hendrick Lucasz Cardeel (arsitek asal Belanda).Sekilas bangunan masjid
berarsitektur unik ini terlihat seperti perpaduan gaya Hindu-Jawa, Cina, dan
Eropa. Namun sebenarnya, arsitektur Masjid kebanggaan masyarakat Banten ini
sarat dengan nilai-nilai Islami disetiap bangunannya.
5Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, Masjid-masjid Kuno di Banten: Seri
Mengenal Banten I (Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, 2008), h.1.
40
Memang, Masjid Agung Banten ini selalu ramai karena menjadi sumber
riset bagi para peneliti, baik menyangkut pendidikan, sejarah, kebudayaan, sosial,
maupun ekonomi. Bahkan, merupakan tujuan wisata religi bagi wisatawan, baik
domestik maupun mancanegara.
Fungsi Masjid Agung Banten bagi masyarakat Banten tidak lain adalah
sebagai tempat beribadah. Melaksanakan solat lima waktu, solat dua hari raya
(Idul Fitri dan Idul Adha);dan melaksanakan solat sunnah yang lain, tempat
bermusyawarah para ulama Banten memecahkan masalah keagamaan warga
Banten.6
Sejarah pendirian Masjid Agung Banten berawal dari instruksi Sunan
Gunung Djati kepada anaknya, Hasanuddin. Konon, Sunan GunungDjati
memerintahkan kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih
suci sebagai tempat pembangunan Kerajaan Banten. Di lokasi itulah kemudian
Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta sarana pendukung lainnya,
seperti masjid, alun-alun, dan pasar yang merupakan ciri tradisi kerajaan Islam di
masa lalu.7
Seni bangunan yang berkembang pada jaman Indonesia masa Islam
menunjukkan adanya perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan Indonesia
yang telah ada. Salah satu bentuk perpaduan itu adalah pada seni bangunan
6Wawancara dengan Jaenal Sekretaris Kelurahan Banten, Kelurahan Banten, 03 April
2017. 7Lihat Yeyen Erviana, Akurasi Arah Kiblat Masjid Agung Banten (Skripsi SI Fakultas
Assyari‟ah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012), h. 58. Lihat juga Juliadi
dalam Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya, h.31. Ciri utama kota sebagai pusat
kerajaan adalah keberadaan keraton (istana) sebagai pusat kota. Istana di Jawa menghadap ke utara
dan dihadapannya terdapat sebuah alun-alun besar. Di sebelah barat alun-alun terdapat masjid
agung dan di sebelah timur alun-alun terdapat sebuah pasar.
41
masjid. Dengan adanya hasil akulturasi8 ini, bangunan masjid di Indonesia pada
jaman perkembangan Islam memiliki bentuk yang unik.
Berdasarkan data-data penelitian, Masjid Agung Banten ini memiliki dua
unsur arsitektural, yakni arsitektur lokal yang meneruskan tradisi dari masa
sebelum Islam (Hindu-Buddha) dan arsitektural asing (dalam hal ini arsitektur
Belanda). Seni hiasnya (ornamental) hampir keseluruhannya juga memakai motif-
motif yang telah dikenal pada masa sebelum Islam datang. Konsepsi dasar
pendirian Masjid memang erat kaitannya dengan hukum Islam, tetapi wujud fisik
masjid itu sendiri sesungguhnya bersifat sekuler. Ia lepas dari ketentuan hukum
dan dengan demikian memberi kesempatan kepada pembangunnya untuk
mengembangkan daya kreasinya.9
Bentuk atap Masjid Agung Banten ini agak lain dari masjid yang ada di
daerah Pulau Jawa lainnya, karena atap masjid yang merupakan kubah bagi
masjid lain, pada masjid ini berbentuk trapezium bertingkat dan bersusun lima,
mengecil ke atas. Mungkin dimaksudkan perencananya sebagai perlambang rukun
Islam.10
Dan jika diperhatikan dua tumpukan atap konsentris paling atas samar-
samar mengingatkan pada idiom Pagoda Cina juga bentuk meru pada Pura.
Terlepas dari makna atau simbol dan filosofi yang melekat padanya, atap
bertingkat secara teknis memberi kelapangan sirkulasi udara dan memberi
pencahayaan yang tidak menimbulkan efek silau.
8Akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan
asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima
dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
itu sendiri. 9Anton Herrystiadi, Mesjid Agung Banten: Sebuah Tinjauan Arkeologi (Skripsi S1
Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia, 1990), h. 3. 10
Abdul Baqir Zein, Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia (Jakarta: Gema Insani,
1999), h. 164-165.
42
Gambar 3.2 kemiripan antara atap masjid, pagoda Cina dan meru pura
Sebagai masjid kerajaan,11
Masjid Agung Banten mempunyai peran
penting pada jamannya; peran dalam pemerintahan dan kemasyarakatan. Sesuai
dengan ukurannya yang paling besar dan namanya “Agung”, masjid ini memiliki
keistimewaan tersendiri. Di masa lalu masjid ini mendapat perhatian khusus dari
para penguasa tertinggi Banten. selain masjid juga terdapat banyak bangunan yang
berdiri di Komplek Masjid Agung Banten, yaitu menara, tiamah, serambi, dan
makam para Sultan.
Gedung tiamah dibangun oleh seorang Muslim Belanda, bernama
Hendrick Lucas Cardeel, yang kemudian memperoleh gelar “Pangeran
Wiraguna”. Dahulu gedung ini digunakan untuk tempat berdiskusi
memperbincangkan masalah-masalah agama Islam.12
Dan kini bangunan
11
Dahulu kala, masjid kerajaan atau masjid negara dibangun sebagai simbol kerukunan
umat juga sebagai tanda kekuasaan seorang Sultan atau sebuah kerajaan. Memang hampir semua
kesusltanan Islam di Jawa membangun sebuah masjid agung yang segala keperluannya disediakan
oleh kerajaan dan juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh
kerajaan. 12
Abdul Baqir Zein, Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia, h. 165.
43
permanen bertingkat dua itu dijadikan Museum Purbakala Banten, tempat
penyimpanan benda-benda kuno peninggalan Kesultanan Agung Banten.
Bagian masjid selanjutnya adalah serambi. Sebenarnya serambi terdapat
pada sekeliling masjid, namun terdapat bagian serambi terbesar yang terletak di
sisi timur dan atapnya terpisah dari atap bangunan utama. Atap serambi berbentuk
limasan dan terdiri dari dua tingkat. Untuk menopang atap serambi, di tengah-
tengah dipasang 12 tiang penyangga yang terbuat dari kayu jati. Serambi utama
ini disebut oleh masyarakat dengan pendopo.
Dan di sisi timur serambi terdapat empat kolam yang disebut
“pakulahan” yang pada jaman dahulu digunakan untuk berwudhu atau bersuci
sebelum melakukan solat. Selain itu ada juga dua letak pemakaman yang
dipisahkan, di bagian utara dan selatan. Ini tempat dimakamkan para sultan
Banten dan keluarganya.
Dan ternyata bangunan-bangunan yang ada di komplek Masjid Agung
Banten ini dibangun secara bertahap (tidak sekaligus) dan setiap bangunannya
memiliki fungsi khusus. Menara misalnya, selain berfungsi sebagai tempat adzan,
juga berfungsi sebagai sarana pengawas pantai.
44
2. Menara Banten
Gambar 3.3 menara Masjid Agung Banten
Menara berasal dari kata bahasa Arab, nar yang berarti api, kemudian
diberi awalan ma, sehingga membentuk kata tempat manaroh yang berarti tempat
menaruh api atau cahaya di atas.13
Namun dalam bahasa Indonesia, kata manaroh
diucapkan menjadi menara. Dalam literatur Arab dan Persia, cahaya diidentikkan
dengan kegembiraan jiwa dan kepandaian.
Adanya menara lazimnya seperti masjid-masjid yang ada di luar
Indonesia. Contohnya masjid-masjid di Mesir dan Masjid Abas di Karbala, Irak,
memiliki menara yang sangat tinggi dan megah. Dan menara masjid yang pertama
dikenal adalah menara Masjid Sidi Ukba di Khairawan, Tunisia.14
Di sana Menara
menjadi bagian penting, karena merupakan tempat muadzin menyerukan adzan
sebagai panggilan orang untuk shalat. Jika di Indonesia, pemberitahuan waktu
13
Juliadi, Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya, h. 96. 14
Ibid, h. 99.
45
shalat di samping dengan seruan adzan, juga dilakukan dengan pemukulan sebuah
bedug atau kentongan. Ini dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi
masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara
masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa. Menurut Jaenal,
menara ini adalah simbol peradaban Islam juga bukti toleransi antar umat
beragama di masa lampau sangat harmoni.
Beberapa ahli sejarah seperti Kemal C.F Wolff Schoemaker, dalam
karangannya yang berjudul “Architectuur Islam”, mengemukakan bahwa
bangunan menara yang ada di dekat masjid itu diilhami dari sebuah mercusuar.15
Seperti mercusuar peninggalan Belanda yang ada di pantai Anyer. Bentuk tersebut
lazim ditemukan di Negeri Belanda, seperti segi delapan, pintu lengkung bagian
atas, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya (puncaknya)
memiliki dua tingkat.
Berita itu menunjukkan pula bahwa menara dibangun tidak lama setelah
bangunan Masjid Agung Banten. Menurut hasil penelusuran Dr K.C Crucq, yang
karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (beberapa
catatan tentang menara di Banten) pernah dimuat dan dipublikasikan dalam
Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie,
menyebutkan bahwa menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin
ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.
Menara yang terletak di sebelah timur masjid itu berfungsi sebagai
tempat untuk mengumandangkan adzan serta tempat untuk memantau keadaan di
Teluk Banten tersebut, dibangun oleh arsitek asal Cina yaitu Tjek Ban Cut yang
15
Ibid, h. 96-97.
46
diberi gelar “Pangeran Wiraguna” oleh Sultan Ageng Tirtayasa kemudian
direnovasi oleh Hendrick Lucas Cardeel dari Belanda pada tahun 1683 dan pada
saat itulah masuk pengaruh budaya Eropa yang sebelumnya banyak dipengaruhi
agama Buddha yaitu dengan adanya padma (bunga teratai) pada puncak menara.
Bunga teratai adalah lambang agama Buddha. Dalam ajaran agama Buddha,
bunga teratai melambangkan panna (kebijaksanaan).16
Juga bentuk badan menara
memiliki denah segi delapan yang merupakan bentuk bangunan Indonesia pra
Islam (Hindu-Buddha). Sangat terlihat jelas akulturasi budaya yang kuat dalam
komplek Masjid Agung Banten tersebut.
Catatan Dirk Van Lier di tahun 1659 maupun Wouter yang datang pada
tahun 1661 menyebut, menara masih digunakan sebagai tempat penyimpanan
senjata atau amunisi orang Banten. Kemudian baru antara lain tulisan Stavorinus
yang menulis tentang Banten tahun 1769 menyebut menara sebagai tempat
memanggil orang untuk sembahyang (solat).
Namun dewasa ini, menara ini tidak lagi digunakan oleh para muadzin,
karena pengeras suaralah yang dipasang di atas menara dan muadzin cukup
bertugas (adzan) di dalam masjid. Kini menara itu dijadikan sebagai tujuan wisata
bersejarah oleh para pengunjung. Dari atas menara masjid yang bergaya Eropa ini,
para pengunjung dapat melihat keindahan alam sekitarnya, bekas reruntuhan
Kesultanan Banten, bahkan Pelabuhan Karangantu serta perahu-perahu nelayan.17
Dan menurut catatan sejarah Banten (baik dalam babad Banten maupun
catatan Belanda) pun, menara yang menjadi ciri khas masjid ini selalu menjadi
16
Eka-Citta Bersatu Dalam Dharma: Simbol Dalam Budhisme (Yogyakarta: Kamadhis
UGM, 2008), h. 12. Terdapat berbagai macam sikap patung Buddha Sakyamuni, dan ada patung
Sakyamuni yang duduk di atas bunga teratai. 17
Abdul Baqir Zein, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, h. 164.
47
pusat perhatian para pengunjung pada masa lampau, bahkan sampai saat ini. Para
pengunjung selalu menyempatkan diri untuk berfoto dan naik ke atas menara yang
terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian
bawahnya kurang lebih 10 meter. Dan untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah
anak tangga yang harus ditapaki dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati
oleh satu orang. Pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai dapat
terlihat di atas menara, karena jarak antara menara dengan laut yang hanya sekitar
1,5 km.
Menara ini memiliki dua fungsi. Dimana fungsi religius merupakan
fungsi utamanya yaitu untuk mengumandangkan suara adzan dari atas menara.
Fungsi spiritual ditunjukkan sebagai daya tarik para peziarah. Fungsi sosial
ditampilkan oleh menara sebagai bentuk pengakuan pada umunya masyarakat
Banten sebagai simbol kesatuan kultural yang paten. Adapun terakhir fungsi
komunikasinya adalah menara Masjid Agung Banten tidak hanya sebagai
petunjuk letak Banten, tetapi menara ini mampu memberi informasi tentang
dirinya yang bermakna bagi keseluruhan. Fungsi komunikasi ini dapat diketahui
dengan memahami simbol-simbol yang ada pada menaranya.
Menara Masjid Agung Banten digunakan sebagai simbol atau lambang
atau logo pemerintahan Provinsi Banten. Bahkan beberapa kabupaten dan
lembaga pemerintah dan non pemerintah di provinsi Banten juga menggunakan
menara Masjid Agung Banten sebagai logonya.18
Menurut catatan Badan Pusat
Statistik Provinsi Banten (BPS), simbol menara Masjid Agung Banten yang
bertingkat dua berwarna putih dengan memolo (puncak) berwarna merah,
18
Juliadi, Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya, h. 95.
48
menjulang tinggi ke angkasa melambangkan masyarakat Banten mempunyai
semangat yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat madani, serta adanya tujuan
mulia yang senantiasa berpedoman pada petunjuk Allah SWT, menara Masjid
Agung Banten juga melambangkan budaya dan historis Banten yang kokoh pada
pendirian zaman kesultanan19
dan lebih jelasnya akan dibahas pada bab IV.
B. Vihara Bersejarah
1. Vihara Avalokitesvara
Gambar 3.4 pintu gerbang Vihara Avalokitesvara dari dalam vihara
Sebelum jauh membahas makna dari bangunan Vihara, perlu diketahui
dahulu makna dari Vihara itu. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Vihara/Wihara berarti biara yang didiami oleh para biksu (umat Buddha). Vihara
adalah sebuah rumah ibadah umat Buddha, sedangkan Kelenteng adalah tempat
19
Banten Dalam Angka 2003 (Serang: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2003), h.
xxi.
49
ibadah umat Khonghucu. Kebanyakan dari sebagian orang, kedua nama rumah
ibadah ini sering kali tertukar, padahal isi dan fungsinya berbeda.20
Sebelum mengenal vihara, tempat tinggal para bhikku/bhikkuni adalah
goa-goa, di bawah pohon, di kuburan, di atas bukit, ditumpukkan jerami dan
ditempat penduduk yang menyediakan untuk menginap.21
Dan pengertian lebih
sederhananya, dahulu vihara hanyalah sebuah pondok atau tempat tinggal atau
tempat penginapan para bhikku/bhikkuni dan samanera/samaneri. Vihara atau
asrama pertama dalam sejarah Buddha terletak di atas tanah yang dinamakan
Isipatana Migadaya (Taman Rusa Isipatana), dekat kota Banarasi, India. Tempat
yang sangat indah ini mengandung makna sejarah yang sangat penting bagi umat
Buddha. Kini vihara berkembang menjadi tempat melakukan segala macam
bentuk upacara keagamaan menurut keyakinan dan tradisi Buddha dan di dalam
vihara terdapat satu bahkan lebih ruangan untuk penempatan altar.
Fungsi Vihara Avalokitesvara Bagi masyarakat Banten yang beragama
Buddha juga sama sebagai tempat beribadah, bersembahyang pada Yang Maha
Agung. Aktivitas beribadah sangat banyak, diantaranya ibadah mingguan, ibadah
harian, bersedekah dan masih banyak lagi.
Tidak berbeda dengan pendapat Dr. M. Ikhsan Tanggok, salah satu dosen
Ushuluddin di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, fungsi vihara tidak hanya sebagai
tempat ibadah, tapi juga digunakan sebagai tempat mereka mengadukan nasibnya.
20
Wawancara pribadi dengan Asaji kepala Humas Vihara Avalokitesvara, Kelurahan
Banten, 07 Januari 2016. 21
Yoyoh Masruroh, Makna dan Tata Cara Bhakti Puja Dalam Ajaran Buddha Maitreya
(Skripsi SI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 16.
50
ada yang datang untuk bersembahyang dan ada juga yang datang untuk
bersembahyang sekaligus meramal nasibnya.22
Nama Avalokitesvara berasal dari nama seseorang yang mendedikasikan
dirinya demi kebahagiaan mahkluk selain dirinya di alam semesta, yaitu
Boddhisattva (bahasa sanskerta) buddhis yang dijadikan contoh adaptasi simbolis
buddhis yang terbaik, ia mampu bertahan terhadap tantangan religius dan jaman.
Kemasyhurannya tersebar di Sri Lanka dan bahkan sampai ke dunia modern,
seperti Eropa dan Amerika.23
Adapun di Kelurahan Banten, terdapat sebuah vihara bersejarah bernama
Vihara Avalokitesvara yang dibangun pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1652
pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Berarti
keberadaan Vihara Avalokitesvara ini sudah ada sebelum Masjid Agung Banten
berdiri. Dan posisi astronomisnya berada pada 106° 08‟ 97” Bujur Timur dan 06°
01‟ 83” Lintang Selatan. Vihara ini berada sekitar 500 m sebelah Barat Masjid
Agung Banten.24
Vihara Avalokitesvara menjadi sarana untuk melakukan ibadah selain itu
terdapat Sekolah Tinggi Agama Buddha serta lembaga Majelis Buddhayana
Indonesia (MBI) Provinsi Banten, Majelis Agama Buddha Tantrayana Sukhavati
Indonesia (MASUKHAVATI), PBDNSI Vihara Avalokitesvara Ciapus, Majelis
Agama Buddha Tridharma Indonesia, Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu
Indonesia, Majabumi Tanah Suci Cilegon, dan Magabuddhi (Majelis Agama
22
Lihat lebih jelasnya M. Ikhsan Tanggok dalam Mengenal Lebih Dekat Agama Tao
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h.19. 23
Lihat Piyasilo Mahathera dalam AVALOKITESVARA: Asal, Perwujudan, dan Makna
(Karaniya), h. 11. 24
Juliadi, dkk., Ragam Pusaka Budaya Banten, 1th ed. (Serang: Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Serang, 2005), h. 128.
51
Buddha Teravadha Indonesia) yang mengelola. Dari semua lembaga tersebut ada
acara yang dilakukan dalam setahun sekali, yaitu santunan untuk orang yang
kurang mampu berupa sembako dimana umat Buddha Kelurahan se-Kota Serang
menyumbangkan sebagian hartanya.
Latar belakang pembangunanvihara selalu dihubungkan dengan cerita
masyarakat setempat dan bermacam versi. Bahkan ada yang sampai mengada-
ada/dibuat-buat dan jauh dari cerita aslinya.25
Diceritakan dalam buku Ragam Pusaka Budaya Banten, Pada zaman
dahulu ada rombongan dari Cina yang akan pergi ke Tuban. Karena kehabisan
bekal, mereka memutuskan untuk singgah di Banten tepatnya di kanal (Sungai
Cibanten). Dari persinggahan tersebut terjadi perseteruan antara rombongan Cina
dengan penduduk Banten. Perseteruan tersebut memuncak ke perkelahian.
Rombongan Cina yang dipimpin oleh Putri Ong Tien Nio mengalami kekalahan.
Melalui kemenangan tersebut, Syarif Hidayatullah sebagai penguasa Banten pada
saat itu menikahi Putri Ong Tien Nio. Sebagai dampaknya, timbul perpecahan di
kalangan Cina sendiri. Sebagian dari mereka memeluk agama Islam dan sebagian
lagi tetap pada ajaran dari tanah leluhurnya. Mengantisipasi keadaan tersebut,
Syarif Hidayatullah mengambil kebijakan untuk tetap menghargai kedua kubu
dengan membangun sebuah Masjid di daerah Pecinan dan sebuah lagi Vihara
Buddha Avalokitesvara di Dermayon. Berdasarkan informasi tersebut maka vihara
ini termasuk dalam kategori vihara tertua di Pulau Jawa. Semula vihara ini
25
Meski sebenarnya, hasil penelitian tentang sejarah itu ada banyak/dari berbagai sumber
yang belum tentu tepat kebenarannya.
52
dibangun di Desa Dermayon, kemudian dipindahkan ke Kampung Pamarican
Kelurahan Banten pada tahun 1774.26
Tidak jauh berbeda dari keterangan Pak Asaji,27
dahulu ada rombongan
dari Cina yang dipimpin oleh Putri Ong Tien Nio yang akan pergi ke Surabaya.
Karena kehabisan bekal, mereka memutuskan untuk singgah di pelabuhan
Banten.28
Singkat cerita, Putri Ong Tien Nio dipinang oleh Tuan Raja Syarif
Hidayatullah dan menjadi seorang muallaf. Pengikut Putri Ong Tien Nio pun
terbagi menjadi dua, sebagian mereka ada yang berpindah memeluk agama Islam
dan ada juga yang tetap teguh dalam Buddhanya. Lalu Putri Ong Tien Nio
meminta ijin agar dibuatkan sebuah bangunan ibadah bagi pengikutnya yang
masih beragama Buddha. Maka dibuatkanlah Vihara Avalokitesvara dan Masjid
Pecinan29
untuk yang berpindah agama Islam.30
Sedangkan menurut Jaenal, menikahnya Putri Ong Tien Nio dengan
Syarif Hidayatullah dan didirikannya pula sebuah vihara semata-mata bukan
hanya sekedar diplomasi politik berdakwah, tetapi ada motivasi lain.31
Jika
menurut Mufti Ali,32
Vihara itu didirikan atas dasar apresiasi Syarif Hidayatullah
kepada Putri Ong Tien Nio dan sebagai salah satu trik diplomasi seorang raja
26
Juliadi, dkk., Ragam Pusaka Budaya Banten (Serang: Balai pelestarian peninggalan
purbakala, 2005), h. 129. 27
Kepala Humas Vihara Avalokitesvara Kelurahan Banten. 28
Alasan Putri Ong Tien memutuskan untuk singgah di Pelabuhan Banten karena terdapat
keramaian yang memungkinkan ia mudah mendapatkan perbekalan, dan ternyata setelah ditelusuri
tempat itu adalah daerah pemerintahan Banten yang pada saat itu dikuasai oleh Raja Syarif
Hidayatullah. 29
Lihat, Juliadi dalam Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah Dan Budaya (Serang: Balai
pelestarian peninggalan purbakala), h. 23. Setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah
pesisir di Teluk Banten, Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah sebagai penguasa Banten
pada saat itu pertama-tama membangun sebuah masjid di tepi barat sungai Cibanten Barat, Masjid
ini kemudian dikenal dengan Masjid Pecinan Tinggi. 30
Wawancara pribadi dengan Asaji kepala Humas Vihara Avalokitesvara, Kelurahan
Banten, 07 Januari 2016. 31
Wawancara dengan Jaenal Sekretaris kelurahan Banten, 10 Agustus 2016. 32
Seorang sejarawan Banten dan dosen Institut Agama Islam Negeri kota Serang.
53
untuk merekatkan hubungan antar bangsa. Syarif Hidayatullah sangat
menghormati keberagaman agama dan yang terpenting menurutnya adalah kondisi
perekonomian warga Banten tanpa mempermasalahkan perbedaan agama.33
Vihara yang namanya diambil dari seorang Boddhisatva yang dikenal
sebagai Dewi Welas Asih (Kwan Im) ini, konon dibangun atas perintah Syarif
Hidayatullah sebagai bentuk nyata atas kehidupan beragama yang harmonis pada
masa itu dan kini menjadi salah satu vihara tertua di Indonesia.
Pada pintu gerbang vihara dihiasi dengan dua ekor naga yang
melambangkan lanak kuda yang bermakna suatu permohonan kepada yang Maha
Kuasa. Saat memasuki vihara, pengunjung akan menjumpai Goa-goa Pagoda yang
terletak di sisi kanan dan sisi kiri pintu vihara. Pagoda ini dipercaya dapat
memenjarakan elemen negatif dari manusia atau tolak bala. Oleh karena itu
pengunjung biasanya membakar kertas dan meletakkannya di dalam Pagoda
tersebut agar semua elemen negatif yang ada dalam diri ikut terbakar dan
tercengkram dalam Pagoda ini. Namun sebelum itu, pengunjung yang datang
dengan tujuan ibadah (jika yang non Buddha dan hanya sekedar melihat-lihat
tidak dianjurkan sembahyang) harus melakukan sembahyang di 15 altar terlebih
dahulu, diantaranya Tian Kwu (Tuhan Yang Maha Esa), sang Kwan Tie (Tuhan
penguasa alam), maha Kwan In dan lain-lain dengan menggunakan dupa.
Patung Avalokitesvara yang konon berasal dari Dinasti Ming, terdapat di
altar utama yang ada di depan, yang di sisi kiri kanannya terdapat ruang-ruang
yang lebih kecil untuk ibadah. Pada salah satu dinding vihara terdapat papan
bingkai catatan tentang bencana tsunami yang pernah terjadi di Banten pada 27
33
Wawancara pribadi dengan Mufti Ali, Serang, 10 Agustus 2016.
54
Agustus 1883. Catatan yang ditulis dalam tiga bahasa ini menjelaskan bagaimana
mengerikannya peristiwa tersebut, dan pada saat itu orang-orang berlindung di
dalam vihara, sementara air bah menggelundung di luar vihara dengan derasnya
menyapu kebun kelapa dan segala benda yang ada, orang-orang di dalam vihara
berdoa memohon perlindungan. Lalu mukjizat pun terjadi, air dan lahar pun tidak
masuk ke dalam vihara.
Di bagian belakang terdapat Dharmasala yang dihubungkan oleh koridor
cantik berhiaskan kisah legenda ular putih. Legenda Mbah Banten yang sakti
penjaga sumber mata air (sumur tua) yang dipercaya membawa kemujaraban
menjadi legenda lokal yang ada di vihara ini. Banyak yang meminta air mujarab
ini, tidak hanya dari golongan orang yang beribadah di vihara ini melainkan juga
yang datang dari jauh dengan latar belakang yang berbeda. Bahkan ada juga
seorang pejabat dan seorang artis yang datang untuk meminta air dari sumur tua
itu.34
Dan vihara yang memiliki kapasitas 20.000 orang ini akan ramai jika
dikunjungi pada saat menjelang perayaan Imlek dan upacara-upacara keagamaan
yang lainnya.
2. Respon Masyarakat Mengenai Keberadaan Vihara
Masyarakat Kelurahan Banten adalah tipikal masyarakat yang
bertoleransi tinggi. Mereka tidak merasa terganggu karena berdirinya sebuah
vihara dan segala aktivitasnya; selama tidak mengganggu ketentraman warga.
Mereka mengakui bahwa vihara itu adalah peninggalan masyarakat jaman dulu
yang harus dijaga dan dirawat. Terlebih lagi sebagian mereka mempercayai bahwa
vihara itu peninggalan Sunan Gunung Djati, Syarif Hidayatullah.
34
Wawancara pribadi dengan Asaji kepala Humas Vihara Avalokitesvara, Kelurahan
Banten, 07 Januari 2016.
55
Menurut Jaenal, semenjak berdirinya vihara itu tidak pernah ada konflik
antar warga yang berbeda keyakinan tersebut. Karena “wangsit” dari para
pendahulu mereka itu semua (bangunan bersejarah) harus dijaga dan dirawat agar
anak dan cucu mengetahui sejarah Banten, jika mendzalimi mereka (umat
Buddha), itu berarti sama saja umat Islam yang di Desa Banten itu mendzalimi
Allah, karena dalam Islam tidak pernah diajarkan berbuat dzalim terhadap semua
makhluk ciptaan Allah.35
Bagi masyarakat Banten sendiri, bangunan vihara ini tidak hanya sekedar
menjadi bangunan bersejarah ataupun tempat peribadatan semata, tetapi juga
sebagai simbol bagaimana masyarakat lampau mampu mewariskan keharmonisan
dalam menghadapi setiap perbedaan yang ada.
Dan berdasarkan hasil wawancara kepada warga pun tidak ada yang
kontra dengan keberadaan vihara itu. Mereka sudah terbiasa dengan kegiatan
vihara, seperti adanya pengobatan gratis yang diberikan oleh pihak vihara. Karena
terbukti pasiennya bukan hanya dari umat Buddha saja, tapi warga Kelurahan
Banten maupun non pun boleh berobat.
Telah diketahui, masyarakat Banten dikenal sebagai komunitas mayoritas
muslim, tapi nyatanya keharmonisan beragama di kawasan banten lama ini
terjalin sangat baik, bahkan tak jarang penduduk yang tinggal di sekitar kawasan
vihara ikut terlibat dan membantu ketika ada acara dan perayaan-perayaan di
vihara. Dan ketika Masjid Agung Banten mengalami kerusakan di bagian atapnya
35
Ibid
56
akibat angin kencang, lalu pihak vihara dengan sigap memberi bantuan material.36
Inilah bukti adanya sikap toleransi yang tinggi terhadap hubungan antar agama.
36
Wawancara pribadi dengan Asaji kepala Humas Vihara Avalokitesvara, Kelurahan
Banten, 07 Januari 2016.
57
BAB IV
GAMBARAN KEHIDUPAN HARMONI UMAT ISLAM DAN BUDDHA DI
KELURAHAN BANTEN KECAMATAN KASEMEN KOTA SERANG
PROVINSI BANTEN
A. Bentuk Kehidupan Harmoni di Kelurahan Banten
Sebagai sebuah kelurahan yang masyarakatnya mayoritas beragama
Islam, Kelurahan Banten tetap memegang teguh sikap toleransi dan keharmonisan
dengan para pemeluk agama lain yang diwariskan masyarakat lampau. Adanya
para pemeluk agama selain Islam yang kini sudah menjadi warga Kelurahan
Banten, bukan berarti warga yang mayoritas Islam harus bersikap acuh dan
melakukan hal-hal diskriminasi terhadap mereka. Adapun makam kuno di dekat
reruntuhan Masjid Pecinan, makam itu adalah tempat peristirahatan terakhir
sepasang suami istri pengurus Masjid Pecinan keturunan etnis Tionghoa yang
bernama Thio Bou Seng (suami) dan Ciu Kiongt Khiam (istri) yang meninggal
pada tahun 1842.1 Ini membuktikan dahulu umat Buddha dan Muslimnya sudah
berbaur.
Mereka paham bahwa keharmonisan dalam komunikasi antar sesama
penganut agama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar tercipta masyarakat
yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, keberadaan vihara
pada masyarakat Kelurahan Banten yang mayoritas Muslim tidak pernah
1Wawancara pribadi dengan Asaji, Kelurahan Banten, 03 April 2017.
58
membuat mereka bercerai-berai. Justru mereka sangat harmonis dan saling
mendukung dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Adapun contoh sebagian dari bentuk keharmonisan antara umat Muslim
dengan umat Buddha di Kelurahan Banten, yaitu sebagai berikut:
1. Aktifitas sosial keagamaan
a. Aktifitas sosial keagamaan pemeluk Muslim
Umat Muslim yang ada di Kelurahan Banten selalu rutin melakukan
kegiatan pengajian bergilir di setiap rumah warga (umat Islam) masing-
masing RT. Dan sudah menjadi tradisi selesai pengajian atau pembacaan doa
atau ngeriung itu pembagian berkat. Berkat adalah berupa makanan, seperti
nasi beserta lauknya, dan kue-kue tradisional khas daerah itu. Filosofi berkat
itu sendiri adalah mengharap keberkahan dari Yang Maha Kuasa.2 Lalu
berkat itu juga dibagikan ke rumah warga yang kurang mampu, anak yatim,
juga para lansia tanpa membedakan agama yang dianutnya.
b. Aktifitas sosial keagamaan pemeluk Buddha
Dalam agama Buddha, setiap vihara wajib memiliki salah satu ajaran
pokok Buddha yang kemudian harus dipelajari dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Nah Vihara Avalokitesvara yang ada di Kelurahan
Banten ini mempunyai klinik yang terbuka bagi siapa saja. Klinik ini dibuka
setiap hari jumat mulai dari 13.00 – 15.00 WIB melayani penyakit umum
yang ditangani oleh dua dokter umum. Hanya dengan membayar sebesar
Rp10.000 maka seseorang sudah dapat memeriksakan diri dan berobat.
2Wawancara pribadi dengan Ade. Kelurahan Banten, 10 September 2016.
59
Dibukanya klinik ini semata-mata hanya untuk mempraktikkan ajaran
yang sudah dipelajari yaitu salah satunya menebarkan cinta kasih yang luas
dengan menolong siapapun. Dan mereka juga rutin membagikan sembako
kepada orang yang kurang mampu setiap tahunnya.
2. Bentuk-bentuk kerjasama dalam bidang sosial kemasyarakatan
a. Gotong-royong
Kegiatan gotong royong dijadikan kegiatan rutinitas setiap minggunya
oleh seluruh masyarakat Kelurahan Banten. Setiap kepala rumah atau
perwakilan rumah harus ikut serta dalam membersihkan lingkungan sekitar,
seperti membersihkan selokan, rumput yang sudah tinggi dan lain sebagainya.
Sedangkan para ibu-ibu sibuk menyiapkan jamuan untuk dihidangkan kepada
para pekerja.3
b. Pembangunan sarana dan prasarana
Salah satu kegiatan pembangunan sarana dan prasarana di Kelurahan
Banten yaitu pendirian gapura yang biasanya diganti setiap menjelang 17
Agustus hari kemerdekaan RI. Gapura dibuat semenarik dan sebagus
mungkin.4
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjalinnya kerukunan antar
umat beragama di Kelurahan Banten, yaitu sebagai berikut:
1. Kesadaran Beragama
Kesadaran beragama merupakan bagian yang terasa dalam pikiran dan dapat
di uji melalui intropeksi atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental
dan aktivitas agama. karena kesadaran orang untuk beragama merupakan
3Wawancara pribadi dengan Jaenal Sekretaris kelurahan Banten, 10 Agustus 2016.
4Wawancarapribadi dengan Aam. Kelurahan Banten, 11 Oktober 2016.
60
kemantapan jiwa seseorang untuk memberikan gambaran tentang bagaimana
sikap keberagamaan ia. Dan sikap keberagamaan seseorang itu berbeda-beda
dan sulit untuk diubah, sebab ini sudah berdasarkan pertimbangan dan
pemikiran yang matang.
2. Menghargai Kemajemukan
Warga Kelurahan Banten yakin bahwa ajaran agama adalah yang paling
mulia, namun keyakinannya itu tidak harus membuat mereka arogan dan
merendahkan agama lain. jadi dengan kata lain, dalam sisi yang lebih
substantif, menghargai kemajemukan mendorong untuk membuka diri
terhadap dialog dan saling menukar informasi tentang kebijakan dan anti
terhadap permusuhan.
3. Toleransi Antar Umat Beragama
Sudah terlihat jelas toleransi antar umat beragama di Kelurahan Banten
terjalin sangat harmonis. Memang toleransi dan kerukunan merupakan
bahasan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kerukunan berdampak
pada toleransi, begitupun sebaliknya toleransi menghasilkan kerukunan. Jika
tri kerukunan (antar umat beragama, intern umat beragama dan umat
beragama dengan pemerintah) tercipta serta diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, maka akan menghasilkan masyarakat yang rukun.Berikut salah
satu dialog aksi yang penulis lakukan kepada Asaji, Pandita juga humas
Vihara Avalokitesvara Banten:
Dita: “apakah pernah terjadi konlik antara umat Buddha dengan umat Muslim
Kelurahan Banten?”
61
Asaji: “Dari dulu hingga sekarang tidak pernah terjadi konlik seperti
kerusuhan atau yang lain sebagainya. Selama ini kami (umat Buddha dan
Muslim) selalu berinteraksi sosial dengan baik.”
Dita: “Menurut anda apa faktor yang membuat umat Islam dan umat Buddha
Kelurahan Banten hidup dalam kerukunan?”
Asaji: “Sederhana saja. Menurut saya kami umat Buddha dan Muslim
Kelurahan Banten melakukan hal yang seharusnya dilakukan sebagai warga
Negara Indonesia, tidak melakukan kekerasan, bersosialisasi dan berinteraksi
dengan baik, tidak menaruh kecurigaan yang ujungnya menimbulkan
konlik.Kami umat Buddha selalu terbuka kepada umat Muslimnya.”
Dita: “Adakah kegiatan sosial yang dilakukan umat Buddha Kelurahan
Banten sebagai bentuk keharmonisan antar warganya? Jika ada, apa saja
kegiatannya?”
Asaji: “Ada. Kami Umat Buddha Kelurahan Banten secara rutin tiap tahun
melaksanakan bagi-bagi sembako kepada semua warga yang kurang
mampu.Kami meminta data dari kelurahan siapa saja warga yang kurang
mampu, baru kami membagikan sembakonya. Kegiatan ini semata-mata
untuk menolong warga yang kurang mampu tidak ada unsur lain seperti
politik dan lain-lain.”
4. Dialog Antar Umat Beragama
Dialog antar umat beragama yang terjadi di Kelurahan Banten juga sudah
terjalin sangat baik. Dialog merupakan pencegahan adanya pemikiran negatif
terhadap suatu kaum.
62
Begitupun juga dalam perayaan hari besar baik itu dari agama Islam atau
umat Budha di Kelurahan Banten berjalan dengan sangat khidmat dan lancar
seperti perayaan-perayaan hari besar agama pada umumnya, yang membedakan
adalah adanya warga Muslim pada perayaaan Waisak yang diselenggarakan oleh
umat Budha di kelurahan Banten, atau sebaliknya umat Budha berada dalam
perayaan hari besar agama Islam. Mereka melakukan ini hanya sekedar
memeriahkan saja, tapi tidak saat momen yang sakral (berdoa, sembahyang dan
lain-lain).
Bagi warga Kelurahan Banten, perbedaan kepercayaan bukanlah menjadi
penghalang untuk menjalin interaksi sosial yang harmonis. Mereka tidak merasa
terganggu dalam melakukan aktivitas sehari-hari di atas perbedaan keyakinan ini.
Kunci keharmonisan lainnya juga ada pada komunikasi atau dialog antar
pemuka agamanya. Ujar Pak Asaji, beliau sangat dekat dengan seorang Ustad
yang pernah mengisi pengajian di masjid-masjid Kota Serang. Beliau sering
bertukar pikiran, dan saling bertanya tentang masalah agama. Begitupun juga
anggota Kelurahan tidak membedakan dalam hal memberikan pelayanan jika ada
warganya yang non Islam datang ke kantor Kelurahan karena keperluan
keanggotaan.
B. Simbol Kerukunan
Secara etimologis istilah “simbol” diserap dari “symbol” dalam bahasa
inggris yang berakar pada kata “symbolicum” dalam bahasa latin. Sedangkan
dalam KBBI kata “simbol” berarti lambang.5 Pengertian simbol tidak akan pernah
lepas dari ingatan manusia. Secara tidak langsung manusia pasti mengetahui apa
5Kamus Besar Bahasa Indonsia (Balai Pustaka, 1988), h. 840.
63
yang disebut simbol, terkadang simbol diartikan sebagai suatu lambang yang
digunakan sebagai penyampai pesan atau keyakinan yang telah dianut dan
memiliki makna tertentu. Salah satu tokoh yang membicarakan simbol adalah
Herbert Blumer, dia adalah seorang tokoh modern dari teori interaksionisme
simbolik. Menurutnya, interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari
dari interaksi antar manusia. Dan ciri khasnya adalah baha manusia salig
menerjemahkan
Dalam sebuah daerah, banyaknya penduduk dengan suku yang
beranekaragam tentu sangat sulit pula untuk disatukan. Oleh karenanya
dibutuhkan beberapa simbol yang bisa dijadikan pedoman sebagai alat kerukunan
antar bangsa/rakyatnya. Beberapa alat kerukunan masyarakat Banten terdapat
pada lambang daerahnya, semboyan dan bahasa yang digunakan sehari-hari.
Pembahasan ini adalah inti dari kajian penulis yaitu membahas masjid
dan vihara yang menjadi simbol kerukunan antar umat beragama di Kelurahan
Banten. Alasan mengapa Masjid Agung Banten dan Vihara Avalokitesvara
dijadikan sebagai simbol kerukunan adalah sebagai berikut:
1. Masjid Agung Banten
Alasan penulis menjadikan Masjid Agung Banten sebagai salah satu simbol
kerukunan hubungan antar umat beragama di Kelurahan Banten yaitu terletak
pada bangunan masjidnya, mulai dari arsitektur sampai ornamennya yang
terbilang unik dan klasik.
Masjid ini didirikan oleh Sultan Mulana Hasanuddin, seorang anak dari
Sunan Gunung Jati (wali Allah). Yang mana sunan Gunung Jati ini selalu
mengajarkan dan menerapkan sikap toleransi kepada anak-anaknya dan rakyatnya.
64
Maka terciptalah bangunan Masjid Agung Banten dengan perpaduan antara Islam,
Hindu-Buddha, Jawa dan Eropa. Ia mensyiarkan agama melalui pendekatan
kultural. Artinya budaya lokal yang telah hidup jauh sebelum kedatangan beliau
ke Banten tetap dipelihara, namun disisipi ajaran agama. Misalnya, masuknya
doa-doa yang bersumber dari ajaran Islam manakala masyarakat di Pulau Jawa,
khususnya Banten melakukan ritual budaya mitoni (upacara kehamilan tujuh
bulan) juga pada kebiasaan dalang wayang kulit menyisipkan hadits Nabi
Muhammad SAW, bahkan ayat suci Al-Quran.
Setiap bangunan komplek masjid ini dibangun dengan arsitektur dan
ornamen perpaduan Hindu-Buddha, Jawa dan Eropa. Contohnya pada atap dari
masjid yaitu tumpang lima yang mengingatkan pada pagoda Cina juga meru pada
pura. Dan pada puncak menara terdapat sebuah ornamen bunga teratai. Yang
mana bunga teratai adalah simbol dari agama Buddha. Bunga teratai
melambangkan kebijaksanaan. Juga pada bagian badan menara berbentuk segi
delapan yang merupakan bentuk bangunan Indonesia pra Islam (Hindu-Buddha).
Demikian sudah terlihat jelas pada perpaduan arsitektur dan ornamental masjid
yang menggambarkan bahwa Masjid dapat dijadikan simbol kerukunan antar umat
beragama di Kelurahan Banten.
2. Vihara Avalokitesvara
Alasan penulis menjadikan Masjid Agung Banten sebagai salah satu simbol
kerukunan hubungan antar umat beragama di Kelurahan Banten yaitu terletak
pada latar belakang didirikannya vihara ini. Vihara ini didirikan di tengah-tengah
masyarakat mayoritas beragama Islam dengan ijin Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Ini menandakan bahwa Syarif Hidayatullah sangat bertoleran
65
terhadap agama selain Islam meskipun ia seorang wali Allah dan interaksi sosial
antar umat beragama dari jaman dahulu hingga sekarang masih terjalin harmonis.
Dengan kata lain, jauh sebelum adanya peraturan dari pemerintah tentang
kerukunan antar umat beragama, sudah terjalin dan berjalan dengan baik.
Banten adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan,wilayahnya luas serta
subur dan terletak paling baratdi Pulau Jawa, Indonesia.Provinsi ini pernah
menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun menjadi wilayah pemekaran
sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2000.Barulah pada Rabu 4 Oktober tahun 2000, disahkan pembentukkan Provinsi
Banten ini dengan melewati beberapa tahap musyawarah. Pusat pemerintahannya
berada di Kota Serang.
Adapun sebuah simbol yang menambahkan informasi tentang
kerelevansian dengan simbol-simbol bukti kerukunan di atas yaitu lambang
Provinsi Banten.
Gambar 4.1 lambang Provinsi Banten
Lambang yang digunakan Provinsi Banten berbentuk perisai dengan
warna dasar hijau, di dalamnya terdapat gambar unsur-unsur lambang dan tulisan
“BANTEN”, serta didesain pita berwarna kuning dengan semboyan “IMAN
66
TAQWA”. Lambang daerah Banten terdiri dari dua bagian perincian sebagai
berikut:6
1. Bentuk Gambar
a. Kubah Masjid, melambangkan kultur masyarakat Banten yang agamis.
b. Bintang Ilahi, pengejawantahan pancaran semangat keyakinan yang
menyinari seluruh jiwa masyarakat Banten.
c. Menara Masjid Agung Banten bertingkat dua berwarna putih dengan
memolo (puncak) berwarna merah, menjulang tinggi ke angkasa,
melambangkan masyarakat Banten mempunyai semangat yang tinggi
untuk mewujudkan masyarakat madani, serta adanya tujuan mulia yang
senantiasa berpedoman pada petunjuk Allah SWT, Menara Masjid Agung
juga melambangkan budaya dan sejarah Banten yang kokoh pada
pendirian zaman kesultanan.
d. Gapura Kaibon berwarna putih, melambangkan Daerah Propinsi Banten
sebagai pintu gerbang peradaban dunia dan pintu gerbang perekonomian
dan lalu lintas internasional menuju era globalisasi.
e. Padi berwarna kuning berjumlah 17 (tujuh belas) dan kapas berwarna putih
berjumlah 8 (delapan) tangkai, 4 (empat) kelopak berwarna. coklat, 5
kuntum bunga melambangkan Provinsi Banten merupakan daerah agraris
yang cukup sandang, pangan, jumlah padi dan kapas menunjukkan hasil
Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
6http://bantenprov.go.id/read/pemprov.htmldiakses pada 14 Desember 2016, 10:30 WIB
67
f. Gunung berwarna hitam, melambangkan kekayaan sumber daya alam dan
tekstur tanah yang agak bergelombang tidak merata terdiri dari dataran
rendah dan pegunungan.
g. Badak Bercula Satu berwarna hitam adalah satwa langka satu-satunya
yang dilindungi dunia, melambangkan masyarakat yang pantang menyerah
dalam menegakkan kebenaran dan dilindungi oleh hukum.
h. Laut berwarna hitam dengan gelombangnya yang berwarna putih
berjumlah 17 (tujuh belas) melambangkan daerah maritim yang kaya
dengan potensi lautnya, mencerminkan historis dan peluang ke depan
Banten sebagai Bandar Samudera Perdagangan Internasional serta
mengandung makna kedalaman, jiwa, keluasan wawasan dan pandangan,
muara tempat berlindungnya masyarakat Banten.
i. Roda gerigi berwarna abu-abu. berjumlah 10 (sepuluh), melambangkan
orientasi semangat kerja pembangunan serta menunjukkan sektor industri.
j. Dua garis Marka, Landasan Pacu Bandara Soekarno Hatta berwaarna putih
dan 3 (tiga) Lampu Pemandu (Beacon Light) berbentuk bulatan berwarna
kuning melambangkan pemacu semangat untuk mencapai cita-cita. Makna
yang terkandung dalam angka 8 (delapan), 9 (sembilan) dan 10 (sepuluh)
mempunyai arti lahirnya Provinsi Banten yang ditetapkan dan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2000, tentang
pembentukan Provinsi Banten, pada tanggal 17 Oktober 2000.
k. Pita berwarna kuning sebagai pengikat, melambangkan betapa indah dan
kuatnya ikatan persatuan dan kesatuan dalam integritas dan heterogenitas
masyarakat Banten.
68
l. Semboyan lambang daerah IMAN TAQWA. sebagai landasan
pembangunan menuju Banten mandiri, maju dan sejahtera (Darussalam).
2. Makna Warna Lambang
a. Warna merah, melambangkan keberanian yang didasari kebenaran.
b. Warna putih, melambangkan kesucian, kebijaksanaan dan kearifan.
c. Warna Kuning, melambangkan kemuliaan, warna jiwa, lambang cahaya
dan kebahagiaan, lambang kejayaan dan keluhuran budi.
d. Warna hitam, melambangkan keteguhan, kekuatan dan ketabahan hati.
e. Warna abu-abu, melambangkan ketabahan.
f. Warna biru, melambangkan kejernihan, warna laut melambangkan
kedamaian, ketenangan.
g. Warna hijau, melambangkan kesuburan.
h. Warna coklat, melambangkan kemakmuran.
C. Relevansi Kehidupan Harmoni Antara Umat Islam dan Buddha di
Kelurahan Banten Dengan Konsep Kerukunan Umat Beragama Di
Indonesia
Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua
agama; semua warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1967
diadakan musyawarah antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam
musyawarah tersebut menyatakan antara lain: “pemerintah tidak akan
menghalangi penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut
ditujukan bagi mereka yang belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka
agama dan masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat
beragama”.
69
Pada tahun 1972 dilaksanakan dialog antar umat beragama. Dialog
tersebut adalah suatu forum percakapan antar tokoh-tokoh agama, pemuka
masyarakat dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran
bersama dan menjalin hubungan pribadi yang akrab dalam menghadapi masalah
masyarakat.
Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan
mendominasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan
bangsa. Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia adalah program pemerintah
sesuai dengan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tahun 1999 dan
Propenas (Program Pembangunan Nasional) 2000 tentang sasaran pembangunan
bidang agama. Kerukunan hidup di Indonesia tidak termasuk akidah atau
keimanan menurut ajaran agama yang dianut oleh warga negara Indonesia, yaitu
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu.
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu. Pernyataan tersebut
mengandung arti bahwa keanekaragaman pemeluk agama yang ada di Indonesia
diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya
masing-masing. Namun demikian kebebasan tersebut harus dilakukan dengan
tidak mengganggu dan merugikan umat beragama lain, karena terganggunya
hubungan antar pemeluk berbagai agama akan membawa akibat yang dapat
menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Setiap umat beragama diberi kesempatan melakukan ibadah sesuai
dengan keimanan dan kepercayaan masing-masing. Sebagai sebuah negara yang
70
masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat,
golongan, kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini
merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari
keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut
mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup,
maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan. Maka
pemerintah membuat perundang-undangan yang membahas ruang lingkup
kerukunan umat beragama di Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan beragama dan
komunikasi antarumat beragama di Indonesia bisa dibilang sudah cukup banyak,
mulai dari UUD 1945, sejumlah undang-undang, peraturan pemerintah, sampai
dengan peraturan menteri.7 Sejumlah regulasi yang disediakan inilah sebagai
pedoman bagi umat beragama dalam mengekspresikan dan melaksanakan
keyakinan agamanya di depan publik. Semua peraturan perundang-undangan
tersebut wajib dipahami betul-betul oleh setiap warga Indonesia, agar tidak ada
keraguan, saling mengganggu bahkan sampai menyakiti satu sama lain.
Bangsa Indonesia harus bangga memiliki Pancasila sebagai ideologi yang
bisa mengikat bangsa Indonesia yang demikian besar dan majemuk. Pancasila
adalah konsensus nasional yang dapat diterima semua paham, golongan dan
kelompok masyarakat di Indonesia. Kehidupan bangsa Indonesia akan semakin
kukuh, apabila segenap komponen bangsa, di samping memahami dan
melaksanakan Pancasila, juga secara konsekuen menjaga sendi-sendi utama
lainnya, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
7Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: PKUB
Sekretariat Jenderal Kemenag RI), h. 10.
71
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika sebagai empat
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.8
Negara Indonesia menganut prinsip kebebasan dalam beragama.
Landasan konstitusi yang membahas tentang hak hidup bagi tiap-tiap penduduk
terdapat dalam pasal 29 ayat 2, sebagai berikut: “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal 29 ini merupakan pasal yang
orisinal sejak disahkannya UUD 1945, sehingga dapat dikatakan bahwa prinsip
kebebasan beragama (freedom of religion) yang dianut oleh pemerintah Indonesia
bukan barang baru, melainkan wujud dari gagasan para founding fathers NKRI.9
Negara yang multi agama seperti Indonesia ini, kerukunan umat
beragama merupakan salah satu faktor pendukung terciptanya stabilitas dan
ketahanan Nasional. Karena itu kerukunan umat beragama perlu dibina dan
ditingkatkan agar tidak menjurus kepada ketegangan yang dapat menimbulkan
perpecahan bangsa.
Kemajemukan bangsa Indonesia termasuk dalam hal agama adalah
merupakan kekayaan budaya nasional yang dapat menjadi kebanggaan.Manusia
dengan keterbatasannya mempunyai masalah yang serba kompleks dan penuh
dinamik dalam menjalin interaksi sosial. Dalam memelihara keharmonisan
hubungan antara sesamanya belum tentu berjalan lancar. Untuk memelihara
keharmonisan hubungan ini, Tuhan menurunkan agama yang mengandung
pedoman dasar dalam mengatur hubungan antara sesama manusia itu sendiri.
8Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, 1th ed. (Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2012), h. 12. 9Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: PKUB
Sekretariat Jenderal Kemenag RI), h. 36-37.
72
Agama mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting dan
strategis, utamanya sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam
pembangunan Ketahanan Nasional yang kokoh. Agama bukan hanya dipandang
sebagai instrumen mobilisasi politik, melainkan memperlakukannya sebagai
sumber etika dalam interaksi, baik diantara sesama penguasa dengan penguasa
maupun penguasa dengan rakyat.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, tidak dapat dipungkiri bahwa yang
menjadi perekat dan pengikat kerukunan bangsa adalah nilai-nilai yang tumbuh,
hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Semakin tinggi intensitas konflik keagamaan pada sebuah komunitas
umat beragama menandakan kualitas kerukunan keagamaan pada komunitas
tersebut semakin rendah. Demikian sebaliknya, semakin tinggi kualitas kerukunan
keagamaan pada sebuah komunitas umat beragama menandakan semakin rendah
intensitas konflik keagamaan pada komunitas tersebut.
Banyak faktor yang dapat memelihara kerukunan keagamaantetap dalam
kondisi sehat. Di antara faktor tersebut adalah pengembangan persepsi yang
positif antar umat yang berbeda faham keagamaan. Persepsi positif ini semacam
antibody, ketahanan diri yang memang sudah melekat pada diri seseorang.
Persepsi positif merupakan fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang sama-sama
ingin selalu berteman dan hidup berkelompok. Berikut faktor yang dapat
memelihara kerukunan umat beragama dalam kondisi sehat:10
1. Persepsi, yakni aspek kehidupan yang masuk dalam wilayah penilaian para
pemeluk agama dalam kaitannya dengan pemeluk agama lainnya. Dalam
10
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2013), h. 12.
73
tindakan sosial atau sikap yang muncul, persepsi atau penilaian biasanya
mendahului tindakan tersebut. Dengan kata lain, persepsi biasanya
mendorong lahirnya sikap atau bahkan tindakan. Akan tetapi dalam penelitian
ini persepsi didudukan sebagai variabel dependen karena persepsi terhadap
pemeluk agama lain juga dipengaruhi oleh norma atau world view yang
dipunyai oleh para pemeluk agama bersangkutan.
2. Sikap, yakni pendirian yang diperlihatkan oleh para pemeluk agama yang
berupa respon terhadap pemeluk agama lainnya. Aspek ini akan
menggambarkan apa yang akan dilakukan oleh pemeluk agama sehubungan
dengan hadirnya fakta sosial di hadapan mereka. Sikap yang dimaksud di sini
bisa berupa tindakan, tetapi bisa juga berupa tindakan “diam”. Tetapi dalam
penelitian ini sikap akan diungkapkan melalui pernyataan-pernyataan. Secara
teoritis sikap dan juga tindakan seseorang sangat dipengaruhi baik oleh nilai
yang hidup dalam diri orang bersangkutan atau yang hidup dalam masyarakat
yang mengelilinginya. Sikap sosial seorang pemeluk agama atau bahkan
tindakan-tindakan tertentunya bisa merupakan respon terhadap tindakan yang
dilakukan oleh pemeluk agama lain atau terhadap kondisi kehidupan yang
diciptakan oleh pemeluk agama lain tersebut. Meskipun ajaran bisa saja
berpengaruh terhadap sikap seorang pemeluk suatu agama, unsur sosial atau
kondisi sosial politik biasanya lebih mendorong dalam memunculkan sikap
dalam kaitannya dengan pemeluk agama lain tersebut.
3. Kerjasama, yakni aspek hubungan sosial antara para pemeluk agama yang
berbeda. Persepsi atau penilaian selain bisa mendorong lahirnya sikap juga
bisa melahirkan tindakan-tindakan kerjasama. Jadi kalau sikap lebih
74
merupakan tindakan ke dalam dalam artian belum melahirkan tindakan nyata
berkaitan dengan hubungan mereka dengan pemeluk agama lain, kerjasama
adalah realitas hubungan sosial. Kerjasama dalam hal ini bisa diperlihatkan,
misalnya, dalam tindakan gotong royong.
Proses kehidupan bertoleransi dapat dilihat dari adanya partisipasi
seluruh umat beragama, karena toleransi menjunjung tinggi kebebasan dan
kesamaan yang menyeluruh, yaitu tidak ada diskriminasi. Toleransi sebagai
pandangan hidup manusia menuntut manusia untuk menerapkan perilaku hormat
menghormati pada setiap tindakan dan aktivitasnya, sehingga akan tercipta suatu
masyarakat yang memiliki kultur toleransi. Masyarakat yang penuh dengan sikap
toleransi adalah masyarakat yang mempunyai perilaku hidup, baik dalam
keseharian dan tindakan yang dilandasi oleh unsur-unsur hidup bertoleransi.
Penerapan sikap dan unsur-unsur toleransi pada setiap tindakan sehari-hari
meliputi: menghargai dan memahami keanekaragaman, menghormati kebebasan,
pelaksanaan musyawarah, dan mengakui persamaan.
Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam mewujudkan kerukunan, tidak
cukup hanya membangun persepsi. Akan tetapi sikap dan tindakan antarumat
beragama, cukup besar kaitannya dengan variabel kerjasama dan membangun
kerukunan. Demikian juga kerjasama antarumat beragama sangat berhubungan
erat dengan membangun kerukunan.
Sekalipun kerukunan beragamapada dasarnya adalah urusan internal pada
masing-masing daerah akan tetapi kerukunan beragama adalah modal utama
menuju kerukunan nasional.11
Kerukunan beragama juga dapat dilihat melalui
11
M. Ridwan Lubis, Agama Dalam Diskursus Intelektual Dan Pergumulan Kehidupan
Beragama (Jakarta: Kemenag RI, PKUB, 2015), h. 251.
75
pendekatan organisme. Pendekatan ini menggambarkan bahwa kerukunan
beragama di Indonesia dapat diibaratkan sebagai mahluk hidup yang kadangkala
mengalami kondisi sakit, kadangkala sehat dan kadangkala sekarat.
Kerukunan beragama adalah sebuah kondisi yang dinamis, selalu on
going process dan selalu berubah di setiap saat. Kondisi kerukunan keagamaan
pada saat ini memang menampakkan wajah yang ramah dan baik, tetapi pada saat
yang lain mungkin akan menampakkan wajah yang buruk, tergantung bagaimana
perkembangan lingkungan strategis di sekitarnya. Di antara lingkungan strategis
yang secara teoritik sangat berpengaruh adalah lingkungan sosial keagamaan,
ekonomi, politik dan keamanan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya masih tetap menghargai sesama
manusia, menyukai hidup rukun, damai, toleran, gotong royong, persatuan, santun
dan menghargai adanya pluralitas paham keagamaan, meskipun diakui bahwa
penyimpangan budaya ini tetap juga eksis. Karena itu setiap umat beragama harus
tetap waspada.
Potret kehidupan masyarakat Kelurahan Banten telah relevan dengan
nilai-nilai atau Undang-Undang Negara mengenai kehidupan umat beragama yang
harmonis. Tidak adanya isu konflik antar pemeluk beda agama ini atas usaha
anggota masyarakat atau para pemeluk agama dalam mencegah terjadinya
gesekan konflik dan menjaga keharmonisan. Berarti masyarakat Kelurahan
Banten menandakan kualitas kerukunan keberagamaannya tinggi dan intensitas
konnflik keagamaannya rendah.
Jika kerukunan beragama di Indonesia sedang dalam “kondisi baik”
dapat bermakna sebagai justifikasi terhadap budaya bangsa Indonesia yang
76
sesungguhnya memang mencintai kerukunan dan kedamaian. Persepsi, sikap dan
relasi sosial bangsa Indonesia nampaknya masih tetap mengindikasikan budaya
kerukunan keagamaan masih mengakar dalam masyarakat.Masyarakat Indonesia
pada umumnya masih tetap menghargai sesama manusia, menyukai hidup rukun,
damai, toleran, gotong royong, persatuan, santun dan menghargai adanya
pluralitas paham keagamaan, meskipun diakui bahwa penyimpangan budaya ini
tetap juga eksis.Karena itu setiap umat beragama harus tetap waspada.
Meskipun kondisi kerukunan beragama saat ini dinilai dalam kategori
“kondisi baik,” dan tradisi kerukunan itu telah membudaya sejak lama, namun
sangat disadari bahwa penyimpangan norma sosial dan budaya dalam bentuk
letupan-letupan konflik keagamaan tidak bisa dihindari sejak lama juga. Karena
itu, pemerintah Indonesia sejak era kemerdekaan hingga era reformasi dituntut
tetap waspada dan terus berusaha agar kerukunan keagamaan tetap terpelihara dan
konflik keagamaan dapat ditekan. Bagi bangsa Indonesia, pemancangan pilar-pilar
utama yang sangat fundamental agar seluruh umat beragama tetap dalam kondisi
rukun telah dilakukan oleh para founding fathers Republik Indonesia. Pilar-pilar
itu terdapat dalam Dasar Negara NKRI Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, yang sebagian substansinya adalah negara memberikan jaminan untuk
melindungi eksistensi agama, keanekaragaman penganut agama dan kepercayaan
umat beragama di Indonesia. Secara tidak langsung, Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 tersebut juga mendorong seluruh umat beragama yang
berbeda-beda itu agar dapat hidup rukun, damai, saling menghargai, dengan motto
negara Bhineka Tunggal Ika. Karena menurut Ridwan Lubis, dasar dan filsafat
bangsa Indonesia adalah Pancasila. Pancasila adalah titik temu dari semua
77
keragaman karena semuanya menuju kepada titik yang satu yaitu kebenaran
absolut yang dinyatakan pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.12
Prinsip toleransi perlu ditanamkan dalam diri setiap individu agar segala
bentuk penindasan dan diskriminasi terhadap kelompok maupun individu agama
tidak terjadi.Kehidupan toleransi pada dasarnya menghormati martabat manusia
sebagai makhluk yang dapat menentukan dan mengambil sikap hidup sendiri
sesuai dengan agama yang dianut.toleransi beragama dapat memberikan
kesejahteraan bagi umat beragama, dan tidak hanya untuk kepentingan satu agama
Buddha namun untuk semua umat beragama, sehingga umat beragama merasa
hidup dalam ketenangan dan keharmonisan serta dapat hidup bahagia dan
sejahtera secara berdampingan.
Demikian menurut penulis, keidupan umat beragama di Kelurahan
Banten sudah memasuki kriteria atau relevan dengan konsep kerukunan umat
beragama di Indonesia, yang menginginkan peran agama-agama dalam
menegakkan demokrasi dan kebebasan dengan tetap berpijak pada cita-cita luhur
bangsa, semangat kebangsaan dan kekeluargaan berdasarkan Pancasila UUD
1945. Dan juga sudah dibahas di atas bahwa rumusan GBHN 1999 (Garis-Garis
Besar Haluan Negara) dan Propenas(Program Pembangunan Nasional) 2000 telah
sesuai dengan program pemerintah (kerukunan umat beragama) itu. Dalam GBHN
1999 secara tegas dikatakan bahwa fungsi, peran dan kedudukan agama adalah
sebagai landasan moral, spiritual dan etika dalam penyelenggaraan negara serta
12
Ibid, h. 246.
78
mengupayakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan
dengan moral agama-agama.13
13
A.A Yewangoe, Agama Dan Kerukunan. 10th
ed (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia,
2011), h. 1.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masjid Agung Banten dan Vihara Avalokitesvara adalah simbol
kerukunan umat beragama di Kelurahan Banten. Mereka, umatnya menjaga
keharmonisan dengan berinteraksi sosial dengan baik, menjaga komunikasi.
Keharmonisan antar umat beragama yang terjadi di Kelurahan Banten sudah
sepatutnya dicontoh oleh masyarakat lain. Keberadaan Vihara Avalokitesvara di
tengah-tengah masyarakat mayoritas Islam sekaligus berdekatan dengan Masjid
Agung Banten tidak menjadikan kedua pihak saling bertengkar/konflik. Pada
masing-masing perorangan mempunyai sikap toleransi yang tinggi, saling
menghormati dan menghargai.
Mereka mempunyai prinsip untuk tidak saling mencampuri urusan
pribadi. Karena yang berhubungan dengan keagamaan itu bersifat privasi. Tapi ini
bukan berarti antara mereka saling acuh. Interaksi sosial diantara mereka terjalin
sangat baik.
Adapun faktor pendukung yang kuat yaitu pada simbolik menara Masjid
Agung Banten. Menara ini memiliki makna fungsional simbolik. Dimana fungsi
religius merupakan fungsi utamanya yaitu untuk mengumandangkan suara adzan
dari atas menara. Fungsi spiritual ditunjukkan sebagai daya tarik para peziarah.
80
Fungsi sosial ditampilkan oleh menara sebagai bentuk pengakuan pada umunya
masyarakat Banten sebagai simbol kesatuan kultural yang paten.
Adapun terakhir fungsi komunikasinya adalah menara Masjid Agung
Banten tidak hanya sebagai petunjuk letak Banten, tetapi menara ini mampu
memberi informasi tentang dirinya yang bermakna bagi keseluruhan. Fungsi
komunikasi ini dapat diketahui dengan memahami simbol-simbol yang ada pada
menaranya. Maka pada tahun 2000 saat Provinsi Banten resmi dibangun, menara
Masjid Agung Banten digunakan sebagai simbol atau ikon Lembaga
Pemerintahan Provinsi Banten.
Hubungan antara kedua budaya dan agama akan selalu terjalin dengan
baik, syaratnya harus dilandasi dengan komunikasi dan keterbukaan. Karena
komunikasi dan keterbukaan melahirkan cinta dan perdamaian.
Hasil penelitian ini memiliki makna penting untuk mengevaluasi apakah
kebijakan pembangunan agama selama ini di bidang kerukunan umat beragama
sudah berjalan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia atau belum. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi dalam kerangka untuk meningkatkan
kualitas kerukunan keagamaan yang lebih baik di masa yang akan datang dan agar
kondisi persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga secara baik.
B. Saran
Memperhatikan keharmonisan yang terjadi antara hubungan umat Islam
dengan umat Budha di Kelurahan Banten melalui tulisan ini penulis menyarankan
kepada pembaca untuk menanamkan rasa toleransi yang tinggi terhadap umat
yang berbeda agama. Karena setiap orang memiliki hak kebebasan beragama,
seperti tertera dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2).
81
Bagi pemerintah juga perlu memperhatikan kepentingan urusan umat
beragama, khususnya pemerintah daerah/pejabat daerah Kelurahan Banten jangan
sampai ada konflik terjadi antar pemeluk agama dan selalu memberikan yang
terbaik bagi masyarakat Kelurahan Banten, harus melakukan perbaharuan laporan
data penduduk secara rutin karena yang penulis rasakan kemarin selama penelitian
buku format data penduduknya tidak jelas dan tidak lengkap dan juga diharapkan
selalu menjaga serta merawat situs-situs bersejarah yang masih ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mufti. Misionarisme Di Banten. Serang: Laboratorium Bantenologi, 2009.
Ali, Sayuti. Metodologi Penelitian Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
______Bangunan Kuno Di Banten. Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Banten, 2008.
______Banten Dalam Angka 2003. Serang: Badan Pusat Statistik Provinsi
Banten, 2003.
Buddhadasa, Biksu. Mengajarkan Dharma Melalui Gambar. T.tp.: Karaniya,
2008.
Carey, Peter. Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825). Penerjemah
Redaksi PA. Jakarta: Pustaka Azet, 1985.
Connolly, Peter (ed). Aneka Pendekatan Studi Agama. penerjemah Imam
Khoiri.Yogyakarta: LKiS, 2002.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, Masjid-masjid Kuno di Banten: Seri
Mengenal Banten I. Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten,
2008.
______Eka-Citta Bersatu Dalam Dharma: Simbol Dalam Budhisme. Yogyakarta:
Kamadhis UGM, 2008.
Erviana, Yeyen. “Akurasi Arah Kiblat Masjid Agung Banten”. Skripsi SI Fakultas
Assyari‟ah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012.
______Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, 1th
ed. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012.
Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Fauziyah, Siti. Melacak Sino Javanese Muslim Culture Di Banten. Serang:
Lembaga Penelitian IAIN SMH Banten, 2012.
Felisiani, Thanti. “Pawestren Pada Masjid-Masjid Agung Kuno Di Jawa:
Pemaknaan Ruang Perempuan”. Skripsi SI Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia, 2009.
Format Laporan Profil Desa dan Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Provinsi
Banten tahun 2015.
Ghazali, Adeng Muchtar. Ilmu Perbandingan Agama: Pengantar Awal
Metodologi Studi Agama-agama. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hajjaj, Muslim Bin. Shahih Muslim Vol. 1. Bairut: Dar Ihya Al-Turats Al-„arabi.
Herrystiadi, Anton. “Mesjid Agung Banten: Sebuah Tinjauan Arkeologi”. Skripsi
S1 Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia, 1990.
Irawan, Prasetya. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA Lembaga
Administrasi Negara, 1999.
Juliadi. Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Ombak,
2007.
Juliadi. dkk, Ragam Pusaka Budaya Banten, 1th
ed. Serang: Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Serang, 2005.
Jumaroh, Ita. “Perkembangan Keberagamaan Narapidana (Studi Kasus Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Cipinang Jakarta Timur)”. Skripsi SI Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016.
______Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2012.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:PT Gramedia,
1977.
Lubis, M. Ridwan. Agama Dalam Diskursus Intelektual Dan Pergumulan
Kehidupan Beragama. Jakarta: Kemenag RI, PKUB, 2015.
Mahathera, Piyasilo. AVALOKITESVARA: Asal, Perwujudan, dan Makna
Karaniya.
Manaf, Mudjahid Abdul. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994.
Masruroh, Yoyoh. “Makna dan Tata Cara Bhakti Puja Dalam Ajaran Budha
Maitreya”. Skripsi SI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Michrob, Halwany. Catatan Sejarah Dan Arkeologi: Eksport Import Di Zaman
Kesultanan Banten. Serang: Kadinda, 1993.
Michrob, Halwani. Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten. Jakarta:
Yayasan Baluwarti, 1993.
Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Pusat
Kerukunan Umat Beragama,t.t.
Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015-2025.
Rafiudin, Tubagus Hafidz. Riwayat Kesultanan Banten. Banten: T.p, 2006.
Sabri, Mohammad. Keberagaman yang Saling Menyapa. Yogyakarta: Ittaqa
Press, 1999.
Sudjangi. dkk, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup
Umat Beragama. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.
Suhaedi, dkk., Etnis Cina di Banten. Serang: LP2M IAIN SMH Banten, 2014.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
ALFABETA, 2010.
Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001.
______Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia. Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013.
Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002.
Penerjemah Nur Iman Subono. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
Tanggok, M. Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat Agama Tao. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2006.
Theria Wasim, Alef. dkk, ed. “Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik
dan Pendidikan”, Procedding Konferensi Regional – International
Association for the History of Religions. Yogyakarta dan Semarang: 27
Septemer-03 Oktober 2004.
Wawancara Pribadi dengan Aam, Kelurahan Banten, 07 Januari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Ade. Kelurahan Banten, 11 Oktober 2016.
Wawancara Pribadi dengan Asaji. Kelurahan Banten, 07 Januari 2016, 17 Febuari
dan 10 September.
Wawancara Pribadi dengan Jaenal. Kelurahan Banten, 10 Agustus 2016.
Wawancara dengan Jaenal Sekretaris Kelurahan Banten, Kelurahan Banten, 03
April 2017.
Wawancara Pribadi dengan Mufti Ali. Serang, 10 Agustus 2016.
Wibowo, I dan Hadi, Syamsul. Merangkul Cina : Hubungan Cina Indonesia
Pasca Soeharto. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2009.
Winata, Darwin. Kamus Saku Ilmiah Populer. T.tp.: Gamapress, t.t.
Yewangoe, A. A. Agama Dan Kerukunan, 10th
ed. Jakarta: PT. BPK Gunung
Mulia, 2011.
Zein, Abdul Baqir. Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia. Jakarta: Gema Insani,
1999.
Website:
http://bantenprov.go.id/read/pemprov.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Teologi_Agama-agama,
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Kuno_Banten
http://bantenprov.go.id/read/kota-serang.html
Bersama Lurah Kelurahan Banten Bersama sekretaris Kelurahan Banten
Bersama Pak Asaji Humas Vihara
Avalokitesvara
Kumpulan dokumentasi acara-acara hari
besar Umat Buddha Ibadah ketika Hari Raya Waisak
Tangga menuju puncak menara Masjid
Agung Banten
Pemandangan dari puncak menara
Masjid Agung Banten
Menara Masjid Agung Banten Depan Masjid Agung Banten
Bersama Pak Razaq Bersama Bu Nurhayati
Bersama Aam Bersama Bu Awangsih
Bersama Bu Kodriah Pintu gerbang Vihara Avalokitesvara
dengan ornamen dua naga
Suasana Pasar Karangantu Kelurahan
Banten
Suasana interaksi sosial warga
Kelurahan Banten