materi presentasi termokimia
DESCRIPTION
termokimiaTRANSCRIPT
BAB II: IKATAN DALAM SENYAWA KOORDINASIMay 18, 2010 Leave a comment
II.1 Struktur Lewis
Struktur Lewis suatu atom : lambang atom tersebut dikelilingi dengan sejumlah dot
(sesuai dengan elektron valensinya). Struktur Lewis 6C, 7N, 8O, dan 9F adalah :
. . . ..
. C . . N : : O : : F :
. . . .
Struktur Lewis suatu molekul : menggambarkan ikatan-ikatan antar atom dalam molekul tersebut, setiap ikatan (pasangan elektron) digambarkan dengan 2 dot. Struktur Lewis CH4, NH3, H2O dan HF adalah :
H H
.. .. .. ..
H : C : H H : N : H H : O : H H : F :
.. .. .. ..
H
Pada ikatan C-H, N-H, O-H, dan H-F tersebut masing-masing atom saling menerima dan memberi elektron, disebut ikatan kovalen. Jika kedua elektron yang digunakan bersama berasal dari salah satu atom, disebut ikatan kovalen koordinasi (ikatan koordinasi).
II.2 Sifat kemagnetan
Diamagnetik (jika semua elektron berpasangan) : ditolak (amat lemah) oleh medan magnet
Paramagnetik (jika ada elektron yang tak berpasangan) : ditarik oleh medan magnet
Feromagnetik (pada Fe, Co, Ni): ditarik (sangat kuat) oleh medan magnet.
Secara kuantitatif ditunjukkan oleh momen magnetik (µ) :
µ = √[n(n+2)] BM
dengan n = jumlah elektron tak berpasangan
BM= Bohr Magneton (satuan untuk momenmagnetik)
II.3 Teori Ikatan Valensi
Ikatan antara ion pusat dengan ligan merupakan ikatan koordinasi Struktur kompleks ditentukan oleh hibridisasi yang terjadi pada ion pusatnya.
sp → linier
sp2 → trigonal planar
sp3 → tetrahedral
sp3d → bipiramida segitiga
sp3d2 → oktahedral
dsp2 → bujur sangkar
Contoh :
a. [CoF6]3- → eksperimen : oktahedral, paramagnetik
27Co : [18Ar] 3d7 4s2 4p0
27Co3+ : [18Ar] 3d6 4s0 4p0 4d0
Karena [CoF6]3- paramagnetik, maka harus ada elektron tak berpasangan dalam hal ini pada sub kulit 3d.
Enam orbital kosong yaitu 4s, 4px, 4py, 4pz, 4dx2-y2, dan 4dz2 mengalami hibridisasi sp3d2
menghasilkan struktur oktahedral, kemudian masing-masing menerima pasangan elektron bebas dari F-
Karena orbital d yang terhibridisasi berasal dari luar (4d), maka disebut komplek orbital luar.
hibridisasi sp3d2
b. [Co(NH3)6]3+ → Eksperimen : oktahedral, diamagnetik
27Co : [18Ar] 3d7 4s2 4p0
27Co3+ : [18Ar] 3d6 4s0 4p0 4d0
Karena [Co(NH3)6]3+ diamagnetik, maka semua elektron (pada sub kulit 3d) berpasangan, sehingga terdapat orbital koson pada sub kulit 3d yaitu orbital 3dx2-y2 dan 3dz2.
Enam orbital kosong yaitu 3dx2-y2, 3dz2, 4s, 4px, 4py, 4pz, mengalami hibridisasi d2sp3
menghasilkan struktur oktahedral, kemudian masing-masing menerima pasangan elektron bebas dari NH3.
Karena orbital d yang terhibridisasi berasal dari dalam (3d), maka disebut komplek orbital dalam.
hibridisasi d2sp3
II.4 Teori Medan Kristal
Dimulai dari struktur kompleks yang sudah pasti Ikatan antara ion pusat degan logam bersifat ionik Ligan berpengaruh terhadap tingkat energi orbital d
Pengaruh ligan terhadap tingkat energi orbital d
ü Orbital d dapat dibedakan menjadi 2 : orbital yang terdapat pada sumbu atom, yaitu dx2-y2 dan dz2 disebut orbital eg ; dan orbital yang berada di antara sumbu atom, yaitu dxy, dxz dan dyz
disebut orbital t2g.
ü Dalam struktur oktahedral, 6 ligan menempati titik-titik sudut bangun oktahedral yang terdapat pada sumbu atom.
ü Secara keseluruhan 5 orbital pada subkulit d mengalami tolakan oleh ligan-ligan sehingga tingkat energinya naik.
ü Orbital eg karena jaraknya lebih dekat mengalami tolakan yang lebih kuat (oleh ligan) dibanding orbital t2g, sehingga terjadi splitting yaitu pembelahan orbital d menjadi 2 bagian yang berbeda tingkat energinya (eg memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dibanding t2g).
ü Perbedaan tingkat energi antara eg dengan t2g disebut ∆o (10 Dq), yang besar kecilnya dipengaruhi oleh kekuatan medan ligan. Jika medan ligan kuat maka ∆o besar, sedang jika medan ligan lemah ∆o kecil.
ü Jika ∆o besar, maka orbital eg tidak terisi elektron sebelum orbital t2g terisi penuh, keadaan ini disebut spin rendah.
ü Jika ∆o kecil, maka tingkat energi eg dan t2g dianggap sama elektron tidak berpasangan sebelum masing-masing orbital terisi satu elektron, keadaan ini disebut spin tinggi.
Contoh :
1. [CoF6]3- → eksperimen : oktahedral, paramagnetik
F- merupakan ligan lemah (∆o kecil), maka 6 elektron tidak berpasangan sebelum masing-masing orbital terisi satu elektron. Dengan demikian dapat dijelaskan mengapa [CoF6]3- bersifat paramagnetik.
1. [Co(NH3)6]3+ → Eksperimen : oktahedral, diamagnetik
NH3 merupakan ligan kuat (∆o besar), maka keenam elektron memenuhi orbital t2g (semuanya berpasangan). Dengan demikian dapat dijelaskan mengapa [Co(NH3)6]3+ bersifat diamagnetik.
II.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi ∆o
Sebanding dengan besarnya muatan ion pusat : Fe3+ > Fe2+
Sebanding dengan ukuran orbital d : 5d > 4d > 3d Jumlah dan geometri ligan : 6 ligab oktahedral > 4 ligan tetrahedral/bujur sangkar Berbanding terbalik dengan ukuran ligan
Deret spektrokimia :
Ligan kuat Ligan sedang Ligan lemah
CO, CN- > phen > NO2- > en > NH3 > NCS- > H2O > F- > RCOO- > OH- > Cl- > Br- > I-
II.6 Energi Penstabilan Medan Kristal
Persamaan energi potensial klasik : E ≈ Q1Q2/R Persamaan tersebut cocok untuk ikatan pada senyawa ionik yang melibatkan logam-
logam alkali, akan tetapi tidak cocok (terlalu kecil) jika dibanding dengan data eksperimen pada ikatan senyawa kompleks, seolah-olah di sini ada energi penstabilan tambahan. Energi penstabilan ini terkait dengan terjadinya splitting orbital d sehingga disebut Energi Penstabilan Medan Kristal (Crystallin Field Stabilization Energy, CFSE).
CFSE dihitung dengan pedoman : penambahan CFSE sebesar 0,4∆o untuk setiap penempatan 1 e pada orbital t2g dan pengurangan CFSE sebesar 0,6∆o untuk setiap penempatan 1 e pada orbital eg.
Sistem Konfigurasi
(spin tinggi)
CFSE Konfigurasi
(spin rendah)
CFSE
d1
d2
d3
d4
d5
d6
d7
d8
t2g1
t2g2
t2g3
t2g3 eg
1
t2g3 eg
2
t2g4 eg
2
t2g5 eg
2
t2g6 eg
2
0,4∆o
0,8∆o
1,2∆o
0,6∆o
0
0,4∆o
0,8∆o
1,2∆o
t2g4
t2g5
t2g6
t2g6 eg
1
1,6∆o
2,0∆o
2,4∆o
1,8∆o
d9
d10
t2g6 eg
3
t2g6 eg
4
0,6∆o
0
LL.7 Pola Pembelahan Orbital d Pada Berbagai Struktur Kompleks
1. Kompleks Oktahedral
Orbital eg (dx2-y2 dan dz2) mengalami tolakan yang lebih kuat (oleh ligan) dibanding orbital t2g (dxy, dxz dan dyz), sehingga terjadi splitting yaitu pembelahan orbital d menjadi 2 bagian yang berbeda tingkat energinya (eg memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dibanding t2g).
1. Kompleks Tetragonal
Tetragonal merupakan oktahedral cacat (terdistorsi) dimana 2 ligan yang berada pada sumbu z berjarak lebih jauh dibanding 4 ligan lainnya. Akibatnya orbital-orbital yang mengandung unsur z, yaitu dz2, dxz dan dyz tingkat energinya turun, sedang orbital-orbital yang mengandung unsur x dan y, yaitu dx2-y2 dan dxy tingkat energinya naik.
1. Kompleks bujur sangkar
Kompleks bujur sangkar dapat dipandang sebagai distorsi ekstrim dari kompleks oktahedral, dimana 2 ligan yang berada pada sumbu z ditarik semakin jauh dari ion pusat. Akibatnya orbital-orbital yang mengandung unsur z, yaitu dz2, dxz dan dyz tingkat energinya semakin turun, sebaliknya orbital-orbital yang mengandung unsur x dan y, yaitu dx2-y2 dan dxy tingkat energinya semakin naik.
1. Kompleks tetrahedral
Pada kompleks tetrahedral keempat ligan menempati titik-titik sudut tetrahedral yang berada di antara sumbu atom. Akibatnya Orbital eg (dx2-y2 dan dz2) mengalami tolakan yang lebih lemah (oleh ligan) dibanding orbital t2g (dxy, dxz dan dyz), sehingga terjadi splitting yaitu pembelahan orbital d menjadi 2 bagian yang berbeda tingkat energinya (eg memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibanding t2g).
Pola pembelahan orbital d pada keempat struktur kompleks tersebut disajikan pada Gambar berikut :
II.8 Warna Senyawa Kompleks
Warna pada senyawa kompleks disebabkan oleh terjadinya perpindahan elektron pada orbital d, yaitu dari orbital yang tingkat energinya lebih rendah ke orbital yang tingkat energinya lebih tinggi ; misalnya dari t2g ke eg (pada kompleks oktahedral) atau dari eg ke t2g (pada kompleks tetrahedral). Perpindahan elektron tersebut dimungkinkan karena hanya memerlukan sedikit energi, yaitu bagian dari sinar tampak (pada panjang gelombang tertentu). Warna yang muncul sebagai warna senyawa kompleks tersebut adalah warna komplemen dari warna yang diserap dalam proses eksitasi tersebut. Misalnya larutan Ti(H2O)6
3+ bewarna violet, hal ini disebabkan oleh karena untuk proses eksitasi elektron pada orbital d (dari t2g ke eg) memerlukan energi pada panjang gelombang 5000 Ao yaitu warna
kuning. Karena komplemen warna kuning adalah violet, maka larutan Ti(H2O)63+ bewarna
violet. Spektra absorpsi larutan Ti(H2O)63+ disajikan pada gambar berkut :
II.9 Teori Orbital Molekul
Ikatan kimia terbentuk melalui kombinasi linier yaitu penembahan dan pengurangan orbital-orbital atom (Linear Combination of Atomic Orbital, LCAO).
2 orbital atom yang berkombinasi linier akan menghasilkan orbital molekul, yaitu 1 orbital ikatan yang tingkat energinya lebih rendah dan 1 orbital anti ikatan yang tingkat energinya lebih tinggi.
Awan elektron pada orbital ikatan terdapat pada ruang antara dua inti atom yang berikatan sehingga ditarik oleh kedua inti atoom tersebut, sedang untuk orbital anti ikatan, awan elektron terdapat di sebelah kanan dan kiri molekul yang terbentuk sehingga hanya ditarik oleh salah satu atom.
Orbital ikatan menghasilkan pembentukan ikatan, sedang orbital anti ikatan menentang terjadinya ikatan.
Jika orbital yang berkombinasi linier sejajar dengan sumbu antar inti dihasilkan ikatan σ, sedang jika tegak lurus dihasilkan ikatan π.
Kombinasi linier antara 2 orbital s dan antara 2 orbital p disajikan pada diagram berikut:
Jumlah pasangan elektron pada orbital ikatan dikurangi jumlah pasangan elektron pada orbital anti ikatan disebut orde ikatan.
Syarat terbentuknya ikatan adalah : orde ikatan > 0. Unsur-unsur gas mulia tidak stabil sebagai molekul diatomik karena orde ikatannya 0.
Perbedaan tingkat energi antara orbital anti ikatan dengan orbital ikatan tergantung pada seberapa banyak overlapping orbital terjadi.
Diagram orbital molekul untuk H2 dab He2+ disajikan pada gambar berikut:
Untuk ikatan antara atom yang berbeda (heteronuklir), unsur yang lebih elektronegatif memiliki tingkat energi yang lebih rendah. Besarnya perbedaan tingkat energi antara kedua atom sebanding dengan karakter ionik ikatan yang tebentuk, sedang besarnya perbedaan tingkat energi antara orbital atom dengan orbital molekul sebanding dengan karakter kovalennya. Besarnya perbedaan tingkat energi antara orbital atom dengan orbital molekul juga mencerminkan sebarapa besar overlapping yang terjadi antara kedua atom.
Diagram tingkat energi orbital molekul heteronuklir AB dissjikan pada diagram berikut :
Diagram tingkat energi orbital molekul pada [CoF6]3- dan [Co(NH3)6]3+ disajikan pada gambar berikut. Orbital-orbital eg (dx2-y2 dan dz2) mengalami overlapping dengan ligan (membentuk orbital ikatan dan anti ikatan) karena posisinya dekat dengan ligan, sedang orbital-orbital t2g (dxy, dxz dan dyz) tidak mengalami overlapping (orbital tan-ikatan) karena posisinya yang jauh dari ligan. Overlapping antara orbital 4s dengan ligan lebih sempurna sehingga tingkat energi σs paling rendah kemudian diikuti σp dan σd.
Besarnya perbedaan tingkat energi antara orbital σd* dengan orbital t2g disebut ∆o. Jika ∆o
kecil (misal pada [CoF6]3-) maka pengisian elektron mengikuti aturan Hund, tetapi jika ∆o besar (misal pada [Co(NH3)6]3+) maka orbital t2g harus terisi penuh terlebih dulu sebelum
pengisian orbital σd*. Berbeda dengan teori medan kristal yang menyatakan bahwa splitting
orbital d disebabkan oleh interaksi ionik antara orbital d dengan ligan, dalam teori orbital molekul splitting disebabkan oleh interaksi kovalen (overlapping) antara orbital eg dengan ligan. Semakin sempurna overlapping tersebut tingkat energi orbital σd
* semakin besar yang berarti juga se makin besarnya ∆o.
II.10 Pengaruh ikatan π terhadap stabilitas kompleks
Ligan-ligan tertentu seperti CO, NO2-, RNC dan CN- memiliki medan ligan yang kuat
sehingga dapat membentuk kompleks yang stabil dengan ∆o yang besar. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan ikatan π seperti ditunjukkan pada diagram berikut dengan mengambil sebagai kompleks Fe(CN)6
4- sebagai contoh.
Fe2+ memiliki orbital dπ (t2g) yang terisi elektron, sedang CN- memiliki orbital anti ikatan (π*) yang kosong dan orientasinya bersesuaian dengan orbital t2g. Dengan demikian interaksi antara Fe2+ dengan CN- selain terjadi melalui ikatan σ dimana CN- berperan sebagai basa Lewis, juga terjadi melalui ikatan π dimana CN- berperan sebagai asam Lewis. Dalam hal ini terjadi sinergi. Ikatan σ akan efektif jika CN- memiliki kerapatan elektron yang besar, hal ini terpenuhi karena adanya aliran elektron dari Fe2+ ke CN- melalui ikatan π. Aliran elektron tersebut juga berakibat rendahnya kerapatan elektron pada Fe2+, dan hal ini juga menambah efektifitas ikatan σ tersebut. Jadi adanya ikatan π menyebabkan ikatan σ lebih efektif, sebaliknya adanya ikatan σ mengakibatkan ikatan π lebih efektif. Dengan demikian ikatan π dalam hal ini memperbesar ∆o dan menambah kestabilan kompleks. Ikatan semacam ini juga dapat terjadi jika ligan memiliki orbital dπ kosong (misalnya pada R3P, R3As dan R2S).
Dalam kasus yang lain keterlibatan ikatan π justru memperkecil atau mengurangi kestabilan kompleks, hal ini terjadi jika ligan berperan sebagai basa Lewis baik melalui ikatan σ maupun ikatan π, seperti yang terjadi pada ligan-ligan : F-, Cl-, Br-, I-, RO-, RS-, dll. Ligan-ligan tersebut memiliki pasagan elektron pada orbital pπ yang dapat didonasikan kepada orbital kosong dπ pada ion pusat.
Pengaruh ikatan π terhadap ∆o diilustrasikan dengan diagram berikut :
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Model VSEPR yang sebagian besar didasarkan pada struktur Lewis,
memang dapat menjelaskan dengan baik mengenai geometri molekul, namun teori lewis tidak
secara jelas dapat menjelaskan mengenai mengapa terjadi ikatan kimia, misalnya ketika
menggambarkan ikatan tunggal antar atom H dalam H2 dan antar atom F dalam F2. Teori
Lewis menggambarkan ikatan-ikatan ini dengan cara yang sama sebagai perpasangan dua
elektron. Tetapi kedua molekul ini memiliki energi ikatan dan panjang ikatan yang berbeda.
Hal ini dan berbagai fakta lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori ikatan valensi
yang menggunakan kajian mekanika kuantum.
Teori ikatan valensi mengasumsikan bahwa sebuah ikatan kimia terbentuk ketika dua
valensi elektron bekerja dan menjaga dua inti atom bersama oleh karena efek penurunan
energi sistem, teori ini berlaku dengan baik pada molekul diatomik. Pada teori ikatan valensi
ini, elektron-elektron dalam molekul menempati orbital-orbital atom dari masing-masing
atom.
Dalam teori Lewis, pembentukan molekul H2 dari atom H digambarkan ikatan H-H
dengan perpasangan dua elektron pada atom-atom H. Dalam kerangka teori ikatan valensi,
ikatan kovalen H-H dibentuk melalui daerah dalam ruang yang digunakan bersama oleh
kedua orbital 1s dalam atom-atom H, yang dalam konsep ini disebut tumpang tindih elektron.
Konsep elektron valensi dapat diterapkan tidak hanya dalam molekul H2, tetapi juga
dalam molekul diatomik lain, misalnya HF. Dalam setiap kasus, teori ikatan valensi
menjelaskan perubahan energi potensial ketika jarak antar atom yang bereaksi berubah.
Karena orbital-orbital yang terlibat tidak selalu sama dalam setiap kasus, maka dapat
dijelaskan mengapa energi ikatan dan panjang ikatan dalam beberapa molekul diatomik dapat
berbeda, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori Lewis.
B. RUMUSAN MASALAH
Penulisan makalah berjudul “ TEORI IKATAN VALENSI “ ini bertolak dari beberapa
masalah yakni:
1. Jelaskan pengertian teori ikatan valensi !
2. Bagaimana struktur senyawa koordinasi atau senyawa kompleks dalam teori ini?
3. Bagaimana pembentukan senyawa kompleks?
4. Bagaimana prinsip keelektronetralan dan ikatan balik?
5. Apa dari kelemahan teori ikatan valensi?
C. METODE PENULISAN
Makalah berjudul “TEORI IKATAN VALENSI” ini, disusun dan ditulis berdasarkan
beberapa tinjauan metode, yaitu review buku (meringkas kembali materi tentang struktur
atom) dan studi literatur (mencari informasi yang berkaitan dengan pokok masalah dari buku-
buku sumber) serta dengan menggunakan media internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN TEORI IKATAN VALENSI
Teori ikatan valensi merupakan teori mekanika kuantum pertama yang muncul pada
masa awal penelitian ikatan kimia yang didasarkan pada percobaan W. Heitler dan F. London
pada tahun 1927 mengenai pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen. Selanjutnya, teori
ini kembali diteliti dan dikembangkan oleh Linus Pauling pada tahun 1931 sehingga
dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “On the Nature of the Chemical Bond”.
Dalam jurnal ini dikupas hasil kerja Lewis dan teori ikatan valensi oleh Heitler dan London
sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang lebih sempurna dengan beberapa postulat
dasarnya, sebagai berikut:
1) Ikatan valensi terjadi karena adanya gaya tarik pada elektron-elektron yang tidak
berpasangan pada atom-atom.
2) Elektron - elektron yang berpasangan memiliki arah spin yang berlawanan.
3) Elektron-elektron yang telah berpasangan tidak dapat membentuk ikatan lagi dengan
elektron-elektron yang lain.
4) Kombinasi elektron dalam ikatan hanya dapat diwakili oleh satu persamaan gelombang
untuk setiap atomnya.
5) Elektron-elektron yang berada pada tingkat energi paling rendah akan membuat pasangan
ikatan-ikatan yang paling kuat.
6) Pada dua orbital dari sebuah atom, orbital dengan kemampuan bertumpang tindih paling
banyaklah yang akan membentuk ikatan paling kuat dan cenderung berada pada orbital yang
terkonsentrasi itu.
Keenam postulat dasar di atas disimpulkan dari sejumlah penelitian terhadap
pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen berdasarkan persamaan fungsi gelombang
elektron pada masing-masing orbital yang berikatan.
Dalam teori ikatan valensi, yang menjadi titik tekannya yaitu fungsi gelombang
elektron-elektron yang berpasangan dibentuk dari tumpang tindih fungsi gelombang pada
masing-masing orbital dari atom-atom yang berkontribusi dan saling terpisah.
Jika terdapat satu elektron pada masing-masing dua atom H yang berlainan maka
kemungkinan fungsi gelombang pada tiap sistem adalah sebagai berikut:
Ψ=χA(1)χB(2)...
Ψ=χA(2)χB(1)...
keterangan:
χA dan χB adalah orbital-orbital 1s pada atom A dan B. Sementara angka 1 dan 2
merepresentasikan elektron yang berikatan dengan proton pada masing-masing atom A dan
B.
Ketika kedua atom H berada pada keadaan yang sangat dekat, kita tidak dapat
mengetahui apakah elektron 1 terikat pada atom A dan elektron 2 terikat pada atom B atau
justru sebaliknya, sehingga deskripsi yang paling mungkin adalah membuat dua fungsi
gelombang pada kedua sistem yang mungkin terjadi. Saat kedua kemungkinan ini disatukan
dalam gelombang superposisi maka penjelasan yang lebih baik adalah kombinasi linear dari
keduanya.
Ψ=χA(1)χB(2)+χA(2)χB(1)...
Fungsi di atas merupakan fungsi gelombang untuk ikatan H-H. Kedua fungsi ini
berinterferensi konstruktif sehingga terjadi kenaikkan amplitudo di daerah fungsi gelombang
dalam nukleus (inti). Untuk menjelaskan lebih rinci digunakan prinsip Pauli yang
menyatakan bahwa hanya elektron-elektron dengan spin berpasangan yang dapat
dideskripsikan oleh fungsi gelombang di atas. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan
bahwa pada teori ikatan valensi, fungsi gelombang dibentuk oleh pasangan spin dari elektron-
elektron pada kedua orbital atom-atom yang berikatan. Ikatan yang terjadi dari tumpang
tindih ini adalah ikatan sigma (б).
Berikut merupakan contoh formasi ikatan sigma dari orbital s dan p yang saling
tumpang tindih:
2.2 Struktur Senyawa Koordinasi atau Senyawa Kompleks
Berdasarkan teori ini senyawa koordinasi dibentuk dari reaksi antara asam Lewis
(atom atau ion pusat) dengan basa Lewis (ligan) melalui ikatan kovalen koordinasi antara
keduanya. Di dalam senyawa koordinasi atau senyawa kompleks atom atau ion pusat
memiliki bilangan koordinasi tertentu. Geometri senyawa koordinasi dengan bilangan
koordinasi 2, 3, 4 dan 6 diberikan pada table di bawah ini
BK Sruktur Contoh
2 Linear [Ag(NH3)2]+, [Ag(CN)2]-
3 Segitiga datar [HgCl3]-, [AgBr(PPh3)2]
4 Tetrahedral [NiCl4]2-, [Zn(NH3)4]2+
4 Bujur sangkar [Ni(CN)4]2-, [Pt(CN)4]2-
5 Trigonal Bipiramidal [CuCl5]3-, [Fe(CO)5]
6 Oktahedral [CoF6]3-, [Fe(CN)6]3-
Tabel.1 Struktur senyawa koordinasi dengan bilangan koordinasi 2-6.
Berdasarkan teori ikatan valensi, struktur senyawa koordinasi atau senyawa kompleks
berhubungan erat dengan susunan dalam ruang dari orbital-orbital atom pusat yang
digunakan dalam pembentukan ikatan. Untuk ion [Ag(CN)2]- misalnya, atom pusat ion
tersebut adalah Ag+ dengan konfigurasi electron Ag+ : [Kr] 4d10 5s0 5p0. Pada pembentukan
ion [Ag(CN)2]- dua ligan CN- mendonorkan dua PEB. Dua PEB tersebut menempati dua
orbital kosong pada ion Ag+. Apabila dua PEB tersebut menempati orbital 5s dan salah satu
orbital 5p dari ion Ag+, maka dua ikatan Ag-C yang ada akan memiliki panjang ikatan
berbeda, ikatan yang menggunakan orbital 5s akan lebih pendek dibandingkan ikatan yang
menggunakan orbital 5p. apabila dua PEB tersebut menempati dua dari tiga orbital 5p pada
ion Ag+, maka dua ikatan Ag-C yang ada akan memiliki panjang yang sama dan sudut ikatan
C-Ag-C sekitar 900, sehingga bentuk [Ag(CN)2]- yang diperoleh adalah V seperti ditunjukan
pada gambar 1
Dimana :
a. Tiga orbital 5p pada ion Ag+
b. Ion [Ag(CN)2]- dengan huruf V bila p.ada pembentukannya menggunakan dua dari tiga
orbital 5p yang ada pada ion Ag+.
c. Ion [Ag(Cc. [NC2]- berbentuk linear berdasarkan hasil eksperimen.
Fakta eksperimen menunjukan bahwa dua ikatan Ag-C yang terdapat pada ion
[Ag(CN)2]- adalah sama panjang, yaitu 213pm, dan sudut ikatan C-Ag-C sebesar 1800.
Hal ini menunjukan bahwa pada pembentukan ikatan antara ion Ag+ dengan ligan
CN-, ion Ag+ tidak menggunakan orbital 5s dan salah satu dari tiga orbital 5p, atau dua dari
tiga orbital 5p yang ada, melainkan menggunakan dua orbital yang sama jenis dan tingkat
energinya dan posisinya berlawanan arah.
Contoh lain adalah [NiCl4]2- dengan atom pusat Ni2- dan konfigirasi elektron Ni2+: [Ar]
3d8 4s0 4p0. Pada pembentukan kompleks ini, empat ligan Cl- mendonorkan empat PEB
menempati orbital 4s dan tiga PEB lainnya menempati orbital 4p pada ion Ni2+, maka tiga
ikatan Ni-Cl akan sama panjang dan satu ikatan Ni-Cl yang lain akan lebih pendek. Fakta
eksperimen menunjukan bahwa kompleksini berbentuk tetrahedral dengan empat ikatan Ni-
Cl yang ada sama panjang, yaitu 227 pm. Hal ini menunjukan bahwa pad pembentukan ikatan
antara ion Ni2+ Dengan empat ligan Cl-, ion Ni2+ tidak menggunakan orbital 4s dan tiga orbital
4p yang ada, melainkan menggunakan empat orbital yang sama jenis dan tingkat energinya
dan
posisinya mengarah pada pojok-pojok tetrahedral.
Pada pembentukan ikatan-ikatannya, atom pusat tidak menggunakan orbital s, p dan
d, melainkan menggunakan orbital-orbital yang sama jenisnya dengan tingkat energi yang
sama pula. Orbital-orbital ini disebut orbital-orbital hibrida (hybrid orbitals) yang diperoleh
malalui proses hibridisasi (hybridization). Hibridisasi adalah proses pembentukan orbital-
orbital hibrida dengan tingkat energi yang sama melalui kombinasi linear dari orbital-orbital
atom yang berbeda dengan dengan tingkat energi yang berbeda pula. Orbital-orbital yang
menglami hibridisasi tersebut adalah milik dari atom pusat. Gambar orbital-orbital hibrida
adalah seperti pada gambar 2(a), akan tetapi dalam penggambarannya sering kali cuping
(lobe) yang ukurannya lebih kecil (sebelah kiri) tidak digambarkan. Disamping itu, tanda
(a)Huruf V
(b)
Linear
(c)
fungsi gelombangnya (tanda + dan -) juga jarang diberikan seperti ditunjukan pada gambar
2(d).
Orbital hibrida yang terbentuk dari proses hibridisasi adalah sama dengan jumlah
orbital-orbital atom yang terlibat dalam hibridisasi. Jenis hibridisasi, orbital-orbital atom yang
terlibat dalam hibridisasi, jumlah dan jenis orbital-orbital hibrida yang terbentuk serta
susunannya dalam ruang diberikan pada tabel 2.
Tabel 2 Jenis hibridisasi, orbital-orbital atom yang terlibat, jenis orbital yang terbentuk
serta susunannya dalam ruang:
Hibridisasi Orbital atom yang
terlibat
Jumlah dan jenis
orbital anng
terbentuk
Susunan dalam
ruang
Sp 1 orbital s dan 1
orbital p (pz)
2 orbital hibrida sp Berlawanan arah
sp2 1 orbital s dan 2
orbital p (px,py)
3 orbital hibrida sp2 Mengarah pada
pojok-pojok segitiga
sama sisi
Sp3 1 orbital s dan 3
orbital p (px, py, pz)
4 orbital hibrida sp3 Mengarah pada
pojok-pojok
tetrahedral
dsp2 1 orbital d (dx2-y2),
1 orbital s dan 2
orbital p (px, py)
4 orbital hibrida
dsp2
Mengarah pada
pojok-pojok
bujursangkar
dsp3 atau sp3d 1 orbital d (dz2), 1
orbital s dan 3
orbital p (px, py, pz)
5 orbital hibrida
dsp3 atau sp3d
Mengarah pada
pojok-pojok trigonal
bipiramidal
d2sp3 atau sp3d2 2 orbital d (dx2-y2
dan dz2), 1 orbital s
dan 3 orbital p (px,
py, pz)
6 orbital hibrida
d2sp3 atau sp3d2
Mengarah pada
pojok-pojok
oktahedral
Tingkat energi orbital-orbital hibrida adalah diantara tingkat energi orbital-
orbital yang terlibat dalam hibridisasi. Untuk hibridisasi sp3, perbandigan tingkat energi
orbital sp3 dan tingkat energi orbital s dan 3 orbital p ditunjukan pada gambar.
Tingkat energi orbital-orbital hiibrida sp3 lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat energi orbital p, akan tetapi lebih tinggi dibandingkan tingat energi orbital s.
disamping itu, tingkat energi orbital-orbital hibrida sp3 adalah lebih dekat ke tingkat energi
orbital p dibandingkan ke tingkat energi orbital s karena jumlah orbital p yang terlibat dalam
hibridisasi lebih bannyak dibandingkan orbital s.
Hubungan antara bilangan koordinasi atom pusat, jenis hibridisasi dan struktur
kompleks diberikan pada tabel 3.
Tabel 3 bilangan koordinasi (BK) atom pusat, jenis hibridisasi dan struktur kompleks
BK Hibridasasi Struktur kompleks Contoh
2 Sp, Linear [Ag(CN)2]-
3 sp2 Trigonal planar [HgCl3]-
4 sp3 Tetrahedral [NiCl4]2-
4 dsp2 Bujur sangkar [Ni(CN)4]2-
5 sp3d Trigonal bipiramidal [CuCl5]3-
5 dsp3 Trigonal bipiramidal [Fe(CO)5]
6 sp3d2 Octahedral [CoF6]3-
6 d2sp3 Octahedral [Co(CN)6]3-
Dalam pengisian electron pada orbital hibrida, orbital dan orbital hibrida dapat
dilambangkan dengan kotak, lingkaran atau garis mendatar, sedangkan electron
dilambangkan dengan tanda anak panah naik ke atas ( ) apabila memiliki spin + ½ , dan
tandah anak panah ke bawah ( ) memiliki spin -1/2.
2.3 Pembentukan Senyawa Kompleks
Pembentukan senyawa kompleks berdasarkan teori ikatan valensi ada yang tidak
melibatkan proses eksitasi dan ada yang melibatkan proses eksitasi.
Pembentukan Senyawa Kompleks Tanpa Melibatkan Proses Eksitasi.
Pembentukan senyawa kompleks tanpa melibatkan proses eksitasi, langkah-langkah
yang diperlukan adalah :
1. Menuliskan konfigurasi elektron dari atom pusat pada keadaan dasar.
2. Menuliskan konfigurasai elektron dari atom pusat pada keadaan hibridisasi
3. Menuliskan konfigurasai elektron dari atom pusat sesudah adanya donasi pasangan-
pasangan elektron bebas dari ligan-ligan.
Contoh pembentukan kompleks dengan bilangan koordinasi 2-6 tanpa melibatkan proses
eksitasi.
Contoh 1 : [Ag(CN)2]-
Berdasarkan asas energetika, tingkat energi dari kompleks [Ag(CN)2]- adalah
paling rendah apabila tolakan antara dua ligan CN- minimal. Hal ini terjadi apabila dua ligan
CN- posisinya berlawanan, sehingga kompleks [Ag(CN)2]- memiliki struktur linear. Fakta
eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu, ion [Ag(CN)2]- bersifat diamagnetik.
Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp.
Konfigurasi elektron :
Ion Ag+ (keadaan dasar) : [Kr]
4d 5s 5p
Ion Ag+ (hibridisasi) : [Kr]
Hibridisasi sp
Ion Ag+ dalam [Ag(CN)2]- : [Kr]
2 PEB dari 2 ligan CN-
Sifat diamagnetik dari kompleks [Ag(CN)2]- ditunjukan dengan berpasangnys
semua electron yang terdapat pada atom pusatnya.
Contoh 2 : [AgBr(PPh3)2]
Berdasarkan asas energetika, tingkat energi dari kompleks [AgBr(PPh3)2]
adalah paling rendah apabila tolakan antara dua ligan PPh3 dan sebuah ligan Br-. Hal ini
terjadi apabila tiga ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok
trigonal planar, sehingga kompleks [AgBr(PPh3)2] memiliki struktur trigonal planar. Fakta
eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu, kompleks [AgBr(PPh3)2] bersifat
diamagnetic. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp2.
Konfigurasi elektron :
Ion Ag+ (keadaan dasar) : [Kr]
4d 5s 5p
Ion Ag+ (hibridisasi) : [Kr]
Hibridisasi sp2
Ion Ag+ dalam [AgBr(PPh3)2] : [Kr]
3 PEB dari 1 ligan Br- dan 2 ligan PPh3
Sifat diamagnetik dari [AgBr(PPh3)2] ditunjukan dengan telah berpasangannya semua
elektron yang terdapat pada atom pusatnyanya.
Contoh 3 : [NiCl4]2-
Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [NiCl4]2- adalah
paling rendah apabila tolakan antara empat ligan Cl- minimal. Hal ini terjadi apabila empat
ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok tetrahedral,
sehingga kompleks [NiCl4]2- adalah bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara
dengan adanya dua electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu pembentukan kompleks
ini melibatkan hibridisasi sp3.
Konfigurasi elektron :
Ion Ni2+ (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p
Ion Ni2+ (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi sp3
Ion Ni2+ dalam [NiCl4]2- : [Ar]
4 PEB dari 4 ligan Cl-
Sifat paramagnetik dari ion [NiCl4]2- ditunjukan dengan adanya 2 elektron yang tidak
berpasangan pada orbital 3d atom pusat
Contoh 4 : [CuCl5]3-
Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [CuCl5]3- adalah
paling rendah apabila tolakan antara lima ligan Cl- minimal. Hal ini terjadi apabila lima ligan
tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok trigonal bipiramidal,
sehingga kompleks [CuCl5]3- adalah meimiliki strruktur trigonal bipiramidal. Fakta
eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu, ion [CuCl5]3- bersifat paramagnetic
yang kemagnetikannya setara dengan adanya sebuah electron yang tidak berpasangan. Oleh
karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3d.
Konfigurasi electron :
Ion Cu2+ (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p
Ion Cu2+ (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi sp3
Ion Cu2+ dalam [CuCl5]3- : [Ar]
5 PEB dari 5 ligan Cl-
Sifat paramagnetik dari ion [CuCl5]3- ditunjukan dengan adanya sebuah
elektron yang tidak berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya.
Contoh 5 : [FeCl6]3-
Berdasarkan asas energetika, tingkat energi dari kompleks [FeCl6]3- adalah
paling rendah apabila tolakan antara enam ligan Cl- minimal. Hal ini terjadi apabila enam
ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok oktahedral. Fakta
eksperimen membuktikan hal tersebut,sehingga kompleks [FeCl6]3- memiliki struktur
octahedral. Disamping itu, ion [FeCl6]3- bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara
dengan adanya lima electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu pembentukan kompleks
ini melibatkan hibridisasi sp3d2.
Konfigurasi elektron :
Ion Fe3+ (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p 4d
Ion Fe3+ (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi sp3d2
Ion Fe3+ dalam [FeCl6]3- : [Ar]
6 PEB dari 6 ligan Cl-
Sifat paramagnetic dari ion [FeCl6]3- ditunjukan dengan adanya lima electron yang tidak
berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya
Contoh 6 : [CoF6]3-
Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [CoF6]3- adalah
paling rendah apabila tolakan antara enam ligan F- minimal. Hal ini terjadi apabila enam
ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok oktahedral. Fakta
eksperimen membuktikan hal tersebut,sehingga kompleks [CoF6]3- memiliki struktur
octahedral. Disamping itu, ion [CoF6]3- bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara
dengan adanya empat electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu pembentukan
kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3d2.
Konfigurasi elektron :
Ion Co3+ (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p 4d
Ion Co3+ (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi sp3d2
Ion Cu2+ dalam [CuCl5]3- : [Ar]
6 PEB dari 6 ligan Cl-
Sifat paramagnetic dari ion [CuCl5]3- ditunjukan dengan adanya empat electron
yang tidak berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya.
Berdasarkan contoh-contoh 1-6 dapat disimpulkan bahwa pada pembentukan kompleks
yang tidak melibatkan proses eksitasi dihasilkan kompleks yang selalu bersifat paramagnetic
atau diamagnetic. Suatu kompleks selalu bersifat paramagnetic apabila atom pusatnya
memiliki elektron dengan jumlah ganjil.
Pembentukan Senyawa Kompleks Dengan Melibatkan Proses Eksitasi
Dalam menjelaskan pembentukan senyawa kompleks atau kompleks yang melibatkan
proses eksitasi. Langkah-langkah yang diperlukan adalah :
1. Menuliskan konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan dasar;
2. Menuliskan konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan eksitasi;
3. Menuliskan konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan hibridisasi;
4. Menuliskan konfigurasi electron dari atom pusat sesudah adanya donasi pasangan-pasangan
electron bebas (PEB) dari ligan-ligan.
Berikut diberikan beberapa contoh pembentukan kompleks dengan bilangan koordinasi
empat dan enam yang melibatkan proses eksitasi
Contoh 7 : ion [Ni(CN)4]2-
Berdasarkan asas energetika tolakan antara empat ligan CN- adalah minimal
apabila empat ligan tersebut terletak pada pojok-pojok tetrahedral. Fakta eksperimen
menunjukan bahwa ion [Ni(CN)4]2- memiliki struktur bujur sangkar, bukannya tetrahedral.
Hal ini disebabkan oleh adanya penstabilan kompleks akibat terbentuknya ikatan balik (back
bonding) yang akan diuraikan pada subbab 6.6 dihalaman 120. Fakta eksperimen lainnya
adalah ion [Ni(CN)4] bersifat diamagnetic. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini
melibatkan hibridisasi dsp2.
Konfigurasi elektron :
Ion Ni2- (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p
Ion Ni2- (eksitasi) : [Ar]
Ion Ni2- (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi dsp2
Ion Ni2- dalam [Ni(CN)4]2- : [Ar]
4 PEB dari 4 ligan CN-
Sifat diamagnetik ion [Ni(CN)4]2- ditunjukan dengan berpasangannya semua elektron
yang ada.
Tingkat energy atom pusat setelah mengalami eksitasi adalah lebih tinggi dibandingkan
tingkat energinya pada keadaan dasar. Hal ini disebabkan oleh tiga hal :
Akibat hilangnya energy penstabilan. Pada keadaan dasar, dua electron tidak berpasangan
dengan spin yang sama pada orbital-orbital degenerate dapat melakukan tukar-menukar
tempat. Energy yang terlibat dalam proses tersebut disebut energy pertukaran (exchange
energy) yang dapat menstabilkan sisitem yang ada. Penstabilan karena pertukaran tempat ini
analog dengan penstabilan akibat adanya resonansi. Setelah dua electron tersebut
berpasangan maka pertukaran tempat antara dua electron tersebut tidak dapat terjadi.
Pestabilan hilang dan tingkat energy atom pusat menjadi lebih tinggi.
Diperlukannya energy untuk membalik spin salah satu electron agar mereka pada waktu
berpasangan tidak melanggar larangan Pauli.
Dua electron yang dipasangkan adalah bermuatan negative, sehingga ketika mereka
dipasangkan timbul tolakan. Untuk mengatasi tolakan ini maka dua electron itu harus dipaksa
berpasangan. Hal ini memerlukan sejumlah energy.
Contoh 8 : [Fe(NH3)6]3+
Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [Fe(NH3)6]3+ adalah Paling
rendah apabila tolakan antara empat ligan NH3 adalah minimal apabila empat ligan tersebut
terletak pada pojok-pojok oktahedral. Fakta eksperimen menunjukan bahwa ion [Fe(NH3)6]3+
memiliki struktur octahedral. Fakta eksperimen menunujukan hal tersebut. Disamping itu, ion
[Fe(NH3)6]3+ bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara dengan adanya sebuah
electron yang tidak berpasangan.Hal ini menunjukan bahwa pada pembentukan kompleks
tersebut terjadi eksitasi electron. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan
hibridisasi d2sp3.
Konfigurasi elektron : 3d 4s 4p
Ion Fe3+ (keadaan dasar) : [Ar]
Ion Fe3+ (eksitasi) : [Ar]
Ion Fe3+ (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi d2sp3
Ion Fe3+ dalam [Fe(NH3)6]3+ : [Ar]
6 PEB dari 6 ligan NH3
Sifat paramagnetik ion [Fe(NH3)6]3+ ditunjukan dengan adanya sebuah elektron yang
tidak berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya.
2.4 Prinsip Keelektronetralan Dan Ikatan Balik.
Berdasarkan teori ikatan valensi, pada pembentukan kompleks terjadi donasi
pasangan electron dari ligan- ligan ke atom pusat. Ditinjau dari konsep muatan formal, donasi
tersebut dapat menyebabkan terjadinya penimbunan muatan negative pada atom pusat yang
dapat mengakibatkan kompleks menjadi tidak stabil. Misalnya pada reaksi pembentukan iion
kompleks [CoL6]2+ dengan L merupakan ligan netral.
Secara teoritis donasi enam pasangan electron bebas dari enam ligan L pada ion Co2+
menyebabkan pada [CoL6]2+ atom Co memiliki muatan formal sebesar -4. Seandainya muatan
formal sesunguhnya dari atom Co sebesar -4 maka kompleks yang terbentuk dapat bersifat
tidak stabil. Pauling (dalam huheey et.al., 1993: 393) menyatakan bahwa Co dalam [CoL6]2+
tidak akan sampai memliki muatan formal sebesar -4 bagi kestabilan kompleks yang tidak
menguntungkan bagi kestabilan kompleks. Hal ini disebabkan atom donor yang terdapat pada
ligan, misalnya atom O, N dan halogen, merupakan atomyang keelektronegatifannya besar
jika dibandingkan dengan atom pusat. Perbedaan keeletronegatifan ini menyebabkan
pasangan electron ikatan antara atom pusat dan atom donor lebih tertarik ke ligan, sehingga
mengakibatkan timbulnya muatan persial positif pada atom Co dan muatan persial negative
pada ligan sebagai konsekoensinya muatan formal positif atom pusat berkurang, atau atom
pusat mungkin muatan formalnya menjadi nol(netral) kecendrungan atom pusat dalam
kompleks untuk memiliki muatan formal yang harganya nol atau negative rendah merupakan
petunjuk praktis untuk menerangkan penyebab kstabilan suatu kompleks, dan disebut dengan
prinsip keelektronetralan. Pauling telah melakukan perhitungan semi kuantitatifberkaitan
dengan muatan atom pusat dan kestabilan suatu kompleks. Beberapa hasilnya diberikan pada
tabel 4.
Tabel 4 muatan atom-atom pada bebera kompleks
[Be(H2O)4]2+ [Be(H2O)6]2+ [Al(H2O)6]3+ [Al(NH3)6]3+
Be=-0,08
4O=-0,24
8H=2,32
Be=-1,12
6O=-0,36
12H=3,84
Al=-0,12
6O=-0,36
12H=3,48
Al=-1,08
6N=1,20
18H=2,88
Total=+2,00 Total=+2,00 Total=+3,00 Total=+3,00
Dari beberapa kommpleks yang diberikan pada tabel 4, [Be(H2O)4]2+ dan [Al(H2O)6]3+
dapat dianggap stabil, sedangkan [Be(H2O)6]3+ dan [Al(NH3)6]3+ adalah tidak stabil. Empat
molekul air pada [Be(H2O)4]2+ dapat menetralkan muatan 2+ dari berilium, sedangkan enam
molekul air pada [Be(H2O)4]2+ menyebabkan berilium memiliki muatan formal -2. Kaidah
muatan formal menyatakan bahwa suatu spesies dengan atom-atom memiliki muatan formal
nol adalah lebih stabil dibandingkan spesies yang atom-atomnya memiliki muatan formal
dengan harga positif atau negatif. Berdasarkan kaidah tersebut maka [Be(H2O)4]2+ bersifat
stabil sedangkan [Be(H2O)6]2+ bersifat tidak stabil.
Secara teoritis atom Al pada kompleks[Al(H2O6)6]3+ dan [Al(NH3)6]3+ memiliki muatan
formal sebesar -3. Karena keelektronegatifan atom nitrogen lebih besar dibandingkan
keelektronegatifan atom aluminium maka pasangan electron ikatan lebih kuat tertarik ke
atom oksigen atau atom nitrogen dibandingkan ke atom aluminium, sehingga muatan formal
negative atom aluminium pada dua kompleks di atas berkurang. Karena keelektronegatifan
O > N maka muatan parsial positif yang timbul pada atom Al yang disebabkan oleh ligan
H2O haragnya lebih tinggi dibandingkan muatan parsial yang disebabkan oleh ligan NH3.
Muatan formal atom Al pada kompleks [Al(H2O)6]3+ lebih mendekati nol dibandingkan
muatan formal Al pada kompleks [Al(NH3)6]3+. Akibatnya [Al(H2O)6]3+ bersifat stabil
sedangkan [Al(NH3)6]3+ bersifat tidak stabil.
Pada kompleks yang atom donornya memiliki keelektronegatifan yang rendah,
misalnya atom donor karbon pada ligan CO, penstabilan kompleks berdasarkan prinsip
keelektronegatifan yang tidak dapat diterapkan karena pasangan electron ikatan dapat
dianggap tertarik sama kuat ke atom pusat dan ke atom donor. Misalnya pada kompleks
[Ni(CO)4], secara teoritis muatan formal atom nikel adalah -4 sehingga [Ni(CO)4] seharusnya
bersifat tidak stabil. Fakta eksperimen menunjukkan bahwa kompleks tersebut bersifat stabil.
Sumber kestabilan tersebut adalah adanya kemampuan dari ligan CO untuk menerima
pasangan elektron dari atom Ni.
Pada resonansi di atas, berapa pun besarnya kontribusi struktur kanonis II terhadap
hibrida resonansi dari kompleks [Ni(CO)4], rapatan electron akan bergeser dari atom nikel ke
atom oksigen sehingga mengurangi muatan formal negative dari atom nikel. Pengurangan
muatan formal negative pada atom nikel menyebabkan kompleks [Ni(CO)4] bersifat stabil.
Elektron yang didonasikan oleh atom nikel ke atom karbon digunakan untuk
membentuk ikatan balik (back bonding ). Ikatan balik merupakan ikatan π. Ikatan balik ini
dapat terjadi karena simetri orbital d dari atom nikel adalah cocok dengan simetri orbital p
dari atom karbon atau simetri orbital π*. Dari ligan CO. Dengan perkataan lain, ikatan balik
ini dapat terjadi karena tanda fungsi gelombang orbital d dari atom nikel adalah cocok dengan
tanda fungsi gelombang orbital p dari atom karbon atau tanda fungsi gelombang orbital π*.
Dari ligan CO. Berdasarkan teori ikatan valensi pembentukan ikataan balik melibatkan
tumpang tindih antara orbital p dari atom karbon brdasarkan teori orbital molekul
pembentukan ikatan balik melibatkan tumpang tindih antara orbital d atom nikel dengan
orbital π*. Dari ligan CO.
Pembentukan ikatan balik berdasarkan teori ikatan valensi memerlukan tersedianya
orbital p dari atom karbon. Orbital p dapat disediakan apabila salah satu dari dua ikatan π
antara atom karbon dan atom oksigen putus, sehingga ikatan antara dua atom tersebut
digambarkan sbagai ikatan rangkap dua.
Pembentukan ikatan balik berdasarkan teori orbital molekul dengan tingkat energy
terendah yang tidak ditempati oleh electron dari karbon monoksida. Diagram orbital molekul
sederhana karbon monoksida. diperoleh bahwa orbital molekul dari karbon monoksida
dengan tingkat energy terendah yang tidak ditempati oleha electron adalah orbital π2p*.
Berdasarkan teori orbital molekul pada waktu membntuk ikatan balik ligan
CO menggunakan orbital π2p*. Karena diagram orbital molekul monoksida menunjukkan orde
ikatan CO adalah 3. Maka pada gambar 6.6 (b) ikatan antara atom karbon dan oksigen
digambarkan se bagai ikatan rangkap tiga.
I. Sifat magnetik senyawa kompleks
Electron sebagai partikel yang memiliki massa tertentu pada waktu bergerak akan
menghasilkan momentum linear (P) yang harganya merupakan hasil kali dari massa dan
kecepatan geraknya. Apabila elektron yang digambarkan dengan titik hitam mengorbit iinti
atom pada bidang xy, berlawanan arah dengan putaran jarum jam, seperti ditunjukkan pada
gambar 6.8 (a), pada waktu electron berada pada sumbu x, ia akan memiliki momentum
linear.
Py =m.vy
Dengan P, merupakan momentum linear electron yang arahnya searah dengan sumbu
y, m massa electron dan v, kecepatan gerak electron yang arahnya sejajar dengan sumbu y.
Apabila electron pada bidang xy, searah dengan putaran jarum jam, seperti ditunjukkan pada
gambar 6.8(b),pada waktu electron berada pada sumbu x, ia akan memiliki momentum linear.
P(-y) = m.v(-y)
Dengan P(-y) merupakan momentum linear electron yang arahnya searah dengan
sumbu –y, m massa electron dan v (-y) kecepatan gerak electron yang arahnya sejajar dengan
sumbu –y.
Di samping momentum linear, pergerakan electron yang mengorbit inti atom seperti
pada gambar 6.8 (a) akan menghasilkan momentum sudut (Lz) yang searah dengan sumbu z.
Lz = Py . lx = m . vy . lx
Dengan lx merupakan jarak electron ke inti atom.pergerakan electron yang mengorbit
inti atom seperti pada gambar 6.8 (b) akan menghasilkan momentum sudut (Lz) yang searah
dengan sumbu –z.
Lz = Py . lx = m . v (-y) . lx
Pergerakan elektron seperti pada gambar 6.8 (a) dan(b) menghasilkan momentum sudut yang
besarnya sama tetapi berlawanan arah.
Sebagai Partikel yang bermuatan negative, pada waktu electron mengorbit inti atom seperti
pada gambar 6.8 akan dihasilkan momen magnetic yang arahnya berlawanan dengan arah
momentum sudutnya seperti ditunjukan pada gambar 9.
Apabila dua elektron berpasangan maka satu electron mengorbit inti atomseperti pada
gambar, sedangkan electron yang lain mengorbit initi atom seperti pada gambar. Momen
magnetik yang dihasilkan adalah sama besar tetapi berlawanan arah. Akibatnya dua ekektron
yang berpasangan ini memiliki momen magnetic total yang harganya nol.
Dalam atom, selain mengorbit inti atom, elektron juga berotasi di sekitar sumbu rotasinya,
misalnya sumbu z, seperti pada gambar 6.10. Apabila dua elektron berpasangan maka sebuah
elektron melakukan rotasi barlawanan dengan putaran jarum jam, elektron yang lain
melakukan rotasi searah dengan putaran jarum jam. Rotasi yang arah putaran berlawanan
dengan putaran jarum jam akan menghasilkan momen magnetik yang arahnya kebawah.
(gambar 6.10(a)). Sedangkan rotasi yang searah dengan putaran jarum jam akan
menghasilkan momen magnetik yang arahnya ke atas (gambar 6.10b). momen magnetik yang
dihasilkan adalah sama besar tetapi arahnya berlawanan. Akibatnya dua elektron yang
berpasangan ini memiliki momen magnetik total, akibat rotasi di sekitar sumbu rotasinya,
yang harganya nol.
Momen magnetic terukur yang dimiliki oleh suatu kompleks disebut momen magnetik
efektif(µe). momen magnetik yang dimiliki oleh suatu kompleks merupakan hasil interaksi
dari momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbital elektron-elektron disekitar inti
atomnya dengan momen magnetik yang ditimbulkan akibat rotasi elektron-elektron di sekitar
sumbu rotasinya. Suatu kompleks yang memiliki momen magnetic efektif yang harganya nol
dikatakan bersifat diamagnetic. Kompleks ini di tolak oleh medan magnetic eksternal. Suatu
kommpleks yang memiliki momen magnetic efektif yang harganya lebih besar dari nol
dikatakan bersifat paramagnetic. Kompleks ini ditarik oleh medan magnetic eksternal. Dalam
eksperiemen besarnya momen magnetic efektif suatu zat dapat diukur dengan menggunakan
neraca magnetic Gouy seperti ditunjukan pada gambar 6.11.
Sampel yang akan di ukur kemagnetannya dimasukan dalam tabung dan ditentukan
beratnya dalam keadaan medan magnet eksternal tidak bekerja seperti pada gambar 6.11a.
Kemudian medan magnet eksternal dihidupkan. Apabila sampel bersifat paramagnetic maka
ia akan ditarik oleh medan magnetic eksternal sehingga berat sampel seolah-olah bertambah
seperti pada gambar 6.11b. Dalam keadaan medan magnetic eksternal bekerja, neraca
disetimbangkan dengan menambahkan berat anak timbangan seperti pada gambar 6.11c.
selisih berat anak timbangan dapat di konversi ke harga momen magnetik yang merupakan
harga momen magnetik efektif sampel. Apabila sempel bersifat diamagnetik maka ia akan
ditolak oleh medan magnetik eksternal sehingga beratnya seolah-olah berkurang.
Momen magnetik yang di timbulkan akibat rotasi elektron-elektron di sekitar sumbu
rotasinya harganya lebih besar di bandingkan momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbit
elektron-elektron di sekitar inti atomnya. Kontribusi momen magnetik yang ditimbulkan
akibat orbit elektron-elektron si sekitar inti atomnya terhadap momen magnetik efektif suatu
kompleks sering kali diabaikan, khususnya untuk kompleks dengan atom pusat unsur-unsur
transisi deret pertama. Momen magnetik yang hanya ditimbilkan akibat rotasi elektron-
elektron di sekitar sumbu rotasinya di sebut momen magnetik spin(µs). besarnya momen
magnetik spin suatu kompleks tergantung pada banyaknya elektron tidak berpasangan yang
terdapat pada atom pusat suatu kompleks. Harga momen magnetik spin dapat di hitung
berdasarkan persamaan:
µs = [n(n + 2)]1/2
dengan n merupakan jumlah elektron tak berpasangan yang terdapat pada atom pusat suatu
kompleks; harga µs dinyatakan dengan satuan Bohr Magnetons (BM). Dengan demikian
maka apabila elektron-elektron yang ada pada atom pusat suatu kompleks berpasangan
semua, momen magnetik spinnya berharga nol dan kompleks yang bersangkutan dianggap
bersifat diamagnetik. Sebaliknya, apabila pada atom pusat Ti3+ suatu kompleks ada elektron-
elektron yang tidak berpasangan maka momen magnetik spinnya harganya lebih besar dari
nol dan kompleks yang bersangkutan bersifat paramagnetik. Harga momen magnetik spin
suatu kompleks bertambah dengan semakin banyaknya elektron tak berpasangan yang
terdapat pada atom pusat suatu kompleks. Harga momen magnetic efektif dan momen
magnetic spin kompleks dengan atom pusat unsur-unsur transisi derer perrtama diberikan
pada tabel 5
Atom
pusat
J.ê.pada
atom
pusat
Kompleks dengan spin tingi Kompleks dengan spin rendah
J.e.t.b. µe(BM) µs(BM) J.e.t.b. µe(BM) µs(BM)
Ti3+
V4+
V3+
V2+
Cr3+
Mn4+
Cr2+
Mn3+
Mn2+
Fe3+
Fe2+
Co3+
Co2+
Ni3+
Ni2+
Cu2+
1
1
2
3
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
9
1
1
2
3
3
3
4
4
5
5
4
4
3
3
2
1
1,73
1,68-1,78
2,75-2,85
3,80-3,90
3,70-3,90
3,8-4,0
4,75-4,90
4,90-5,00
5,65-6,10
5,70-6,0
5,10-5,70
_
4,30-5,20
_
2,80-3,50
11,70-
2,20
1,73
1,73
2,83
3,88
3,88
3,88
4,90
4,90
5,92
5,92
4,90
4,90
3,88
3,88
2,83
1,73
_
_
_
_
_
_
2
2
1
1
_
_
1
1
_
_
_
_
_
_
_
_
3,20-3,30
3,18
2,0-2,5
_
_
1,8
1,8-2,0
_
_
_
_
_
_
_
_
2,83
2,83
1,73
1,73
_
_
1,73
1,73
_
_
Keterangan: J.e = jumlah electron; J.e.t.b = jumlah electron tak berpasangan
Harga momen magnetik efektif dan momen magnetik spin kompleks dengan atom pusat
unsur-unsur transisi deret pertama diberikan pada tabel 6.5 atas
Data pada tabel diatas menunjukan bahwa kontribusi momen magnetik yang ditimbulkan
akibat orbital elektron-elektron di sekitar inti atomnya terhadap momen magnetik efektif
suatu kompleks adalah kecil. Di samping itu, dapat dilihat bahwa momen magnetik yang
ditimbulkan akibat orbital elektron-elektron di sekitar inti atomnya dapat memperbesar atau
memperkecil harga momen magnetik efektif suatu kompleks
2.5 Kelemahan Teori Ikatan Valensi
Sebagaimana diuraikan di depan bahwa suatu kompleks dapar bersifat paramagnetik atau
diamagnetik. Suatu kompleks bersifat diamagnetik apabila memiliki harga momen magnetik
efektif nol, dan bersifat paramagnetik bila memiliki harga momen magnetikefektif lebih besar
dari nol.
Sampai sekitar tahun 1943 teori ikatan valensi merupakan satu-satunya teori yang
digunakan oleh para pakar kimia anorganik dalam menerangkan struktur dan kemagnetan
senyawa kompleks. Di samping itu, teori ini dapat digunakan untuk meramalkan
kemungkinan struktur dan kemagnetan senyawa-senyawa kompleks yang belum disintesis.
Fakta eksperimen tentang senyawa-senyawa kompleks yang baru berhasil disintesis ternyata
banyak yang cocok dengan ramalan yang didasarkan atas teori ikatan valensi. Meskipun
demikian, teori ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1. Tidak dapat menjelaskan gejala perubahan kemagnetan senyawa kompleks karena perubahan
temperatur.
2. Tidak dapat menjelaskan warna atau spektra senyawa kompleks.
3. Tidak dapat menjelaskan kestabilan senyawa kompleks.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian materi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Teori ikatan valensi merupakan teori mekanika kuantum pertama yang muncul pada
masa awal penelitian ikatan kimia yang didasarkan pada percobaan W. Heitler dan F. London
pada tahun 1927 mengenai pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen. Selanjutnya, teori
ini kembali diteliti dan dikembangkan oleh Linus Pauling pada tahun 1931 sehingga
dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “On the Nature of the Chemical Bond”.
Dalam jurnal ini dikupas hasil kerja Lewis dan teori ikatan valensi oleh Heitler dan London
sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang lebih sempurna dengan beberapa postulat
dasarnya.
Berdasarkan teori ini senyawa koordinasi dianggap terbentuk dari reaksi antara asam
Lewis (atom pusat) dengan basa Lewis (ligan-ligan) melalui ikatan kovalen koordinasi
diantara keduannya. Didalam senyawa koordinasi atau senyawa kompleks, atom pusat
memiliki bilangan koordinasi tertentu.
Pembentukan senyawa kompleks berdasarkan teori ikatan valensi ada yang tidak
melibatkan proses eksitasi dan ada yang melibatkan proses eksitasi.
Senyawa Kompleks dapat dibedakan menjadi senyawa kompleks dengan orbital dalam
dan senyawa kompleks dengan orbital luar.
Berdasarkan teori ikatan valensi, pada pembentukan kompleks terjadi donasi pasangan
electron dari ligan- ligan ke atom pusat. Ditinjau dari konsep muatan formal, donasi tersebut
dapat menyebabkan terjadinya penimbunan muatan negative pada atom pusat yang dapat
mengakibatkan kompleks menjadi tidak stabil.
Disamping memiliki kelebihan teori ikatan valensi juga memiliki beberapa kekurangan,
diantaranya :
1. Tidak dapat menjelaskan gejala perubahan kemagnetan senyawa kompleks karena perubahan
temperatur.
2. Tidak dapat menjelaskan warna atau spektra senyawa kompleks.
3. Tidak dapat menjelaskan kestabilan senyawa kompleks
DAFTAR PUSTAKA
Brady, James. 1999 . Kimia Universitas. Binarupa Aksara:Jakarta.
Fessenden dan Fessenden. 1986. Kimia Ikatan. Erlangga:Jakarta.
Pire, Stanley. 1988. Kimia Ikatan 1. ITB:Bandung.
Respati. 1987. Pengantar Kimia Ikatan Jilid 3.Aksara Baru: Jakarta
Suminar, Hart.1990. Kimia Ikatan Suatu Kuliah Singkat. Erlangga:Jakarta.
suyantakimiafmipaugm.wordpress.com/.../bab-ii-ikatan-dalam-senyawa-