menilik rencana penerapan pajak hal. 1 …
TRANSCRIPT
Vol 01, Ed 11, Juli 2021
MENILIK RENCANA PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN MINIMUM BAGI WAJIB PAJAK BADAN
Hal. 1
CATATAN KINERJA INVESTASI TERHADAP IMPLEMENTASI KP 1 DAN PENCAPAIAN PP PEMBANGUNAN WILAYAH PAPUA
Hal. 3
Artikel 1 Menilik Rencana Penerapan Pajak Penghasilan Minimum Bagi Wajib Pajak
Badan ................................................................................................................................................ 1
Artikel 2 Catatan Kinerja Investasi Terhadap Implementasi KP 1 dan Pencapaian PP
Pembangunan Wilayah Papua ................................................................................................... 3
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM
Redaktur
Robby Alexander Sirait, S.E., M.E.
Damia Liana, S.E.
Nadya Ahda, S.E
Editor
Ervita Luluk Zahara S.E.
Sekretariat
Husnul Latifah, S.Sos.
Memed Sobari
Musbiyatun
Hilda Piska Randini, S.I.P.
Budget Issue Brief Ekonomi dan Keuangan ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran,Badan
Keahlian DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di terbitan ini sepenuhnya
tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Badan Keahlian DPR RI.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
1 Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 11, Juli 2021
Salah satu bentuk reformasi perpajakan yang akan dijalankan pemerintah pada tahun 2022 adalah penerapan Alternative Minimum Tax (AMT) dalam area Pajak Penghasilan (PPh). Rencananya, AMT ini akan dikenakan kepada Wajib Pajak (WP) Badan dengan besaran tarif pajak sebesar 1% dari penghasilan bruto WP Badan yang pada satu tahun pajak memiliki PPh terutang (dengan perhitungan sesuai pasal 17 UU PPh) tidak melebihi 1% dari penghasilan bruto. Pendekatan tersebut dibutuhkan untuk mengamankan kepatuhan WP Badan, serta sebagai upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan. Hal ini didasarkan pada fenomena masih banyaknya WP Badan melakukan motif penghindaran pajak. Sehingga menurut IMF (2014), AMT diperlukan oleh Indonesia untuk menjamin suatu perlindungan (safe guard) atas praktik penghindaran pajak oleh WP Badan.
Latar Belakang Penerapan Pajak Penghasilan Minimum/AMT AMT bukan sesuatu hal baru di dunia pajak. Rencana pengenaan AMT tersebut sejatinya juga sudah muncul pada tahun 2016. Rencana ini timbul akibat maraknya WP Badan yang mengaku rugi fiskal selama bertahun-tahun, namun bisnisnya tetap beroperasi. Kementerian Keuangan mencatat bahwa selama 5 tahun, jumlah WP Badan yang melaporkan kerugian dan tidak membayar pajak meningkat dari 5.199 WP (2012-2016) menjadi 9.496 WP (2015-2019) (Gambar 1). Tidak hanya itu, proporsi jumlah Surat Pemberitahuan (SP) Badan dengan status rugi fiskal terhadap total SPT Badan yang disampaikan WP Badan menunjukkan tren peningkatan, dari 8% pada tahun 2012, konsisten meningkat dan mencapai 11% pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa kerugian terus-menerus ini lebih didasari pada motif mencari keuntungan pajak. Sementara di sisi lain, Indonesia belum memiliki instrumen penghindaran pajak yang komprehensif.
Gambar 1. Jumlah WP Badan yang Melaporkan Kerugian (2012-2019)
Sumber: Kementerian Keuangan, 2019
Kemenkeu menyatakan bahwa secara global penghindaran pajak memang terjadi. Laporan OECD mencatat bahwa 60%-80% perdagangan dunia merupakan transaksi afiliasi oleh perusahaan multinasional (ddtc.co.id). Selanjutnya, khusus untuk Indonesia, tercatat 37%-42% PDB Indonesia adalah transaksi afiliasi dalam SPT wajib pajak. Oleh sebab itu, diperlukan instrumen untuk mengatasi motif penghindaran pajak secara global, yaitu dengan penerapan pajak minimum atau AMT.
Komisi XI
MENILIK RENCANA PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN MINIMUM
BAGI WAJIB PAJAK BADAN
• Salah satu bentuk reformasi perpajakan yang akan dijalankan pemerintah adalah Alternative Minimum Tax (AMT), dengan tarif 1% dari penghasilan bruto WP Badan.
• Rencana penerapan AMT timbul akibat maraknya WP Badan yang mengaku rugi fiskal selama bertahun-tahun, namun bisnisnya tetap beroperasi.
• Terdapat tiga macam desain AMT yang diterapkan berbagai negara, (a) AMT yang menjadikan omzet sebagai basis pajak; (b) AMT yang menyasar pada nilai buku aset usaha sebagai basis pajak; dan (c) restrukturisasi perhitungan penghasilan kena pajak (modified-income minimum tax).
• Pemerintah perlu menimbang beberapa hal sebelum menerapkan AMT, yaitu tarif 1% diharapkan tidak membebani cashflow perusahaan yang merugi, karena tetap harus membayar pajak minimum sesuai AMT, dan penerapan AMT di tengah pandemi diharapkan tidak bertentangan dengan konsep pajak penghasilan itu sendiri.
• Untuk itu, pemerintah dapat melakukan beberapa hal sebelum menerapkan pajak AMT, yaitu penentuan kriteria subjek pajak, desain perhitungan AMT, dan kepastian bagi WP untuk tetap dapat memanfaatkan insentif pajak.
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab: Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Dwi Resti Pratiwi· Nadya Ahda· Damia Liana · Ervita Luluk Zahara· Syafrizal Syaiful · Achmad Machsuni · Tohap Banjarnahor ·
Penulis: Hikmatul Fitri & Damia Liana
EKONOMI DAN KEUANGAN
Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 8, Mei 2021 2
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
Peran AMT dalam Mengatasi Praktik Penghindaran Pajak dan Praktiknya di Beberapa Negara IMF (2015) merekomendasikan penerapan AMT bagi negara berkembang karena dapat menjadi alat untuk mencegah penggerusan basis pajak, serta melawan praktik perencanaan penghindaran pajak secara internasional. Sehingga AMT berperan dalam menjamin setiap korporasi untuk setidaknya membayar suatu nilai minimum pajak kepada negara. AMT tidak bersifat opsional, melainkan AMT merupakan skema yang paralel dengan sistem PPh yang berlaku secara umum. Dengan kata lain, nilai pajak terutang WP Badan akan tetap dihitung baik dengan menggunakan skema PPh Badan normal maupun dengan pendekatan AMT. Jika nilai pajak terutang dengan skema normal PPh Badan lebih tinggi dari hasil perhitungan AMT, maka otoritas pajak menggunakan nilai pajak terutang dari skema normal dan berlaku sebaliknya. Hingga saat ini, setidaknya AMT telah diterapkan dalam sistem perpajakan pada 50 negara di dunia. Negara yang menerapkan AMT yaitu Selandia Baru, Korea Selatan, Filipina, Tanzania, Belgia, Kanada, Afrika Selatan, dan Argentina. Keberhasilan penerapan AMT di berbagai negara tersebut sangat bergantung dari desainnya. Terdapat 3 (tiga) macam desain AMT yang diterapkan berbagai negara. Pertama, AMT yang menjadikan omzet sebagai basis pajak dan ini merupakan desain yang paling banyak diterapkan di berbagai negara. Kedua, AMT yang menyasar pada nilai buku aset usaha sebagai basis pajak. Ketiga, restrukturisasi perhitungan penghasilan kena pajak (modified-income minimum tax). Secara umum, pendekatan AMT diterapkan di berbagai negara, baik negara berpenghasilan tinggi, menengah, maupun rendah. AMT yang berbasis omzet pada umumnya diterapkan oleh negara berpenghasilan menengah ke bawah. Sementara itu, AMT dengan model modified-income minimum tax lebih banyak digunakan negara berpenghasilan tinggi. Berdasarkan hasil estimasi IMF (2021), terdapat peningkatan rata-rata tarif efektif WP Badan sebesar 1,6%, setelah diterapkannya AMT pada 50 negara. Artinya, terdapat sinyal penurunan penghindaran pajak. Peningkatan tarif efektif rata-rata tersebut 1% lebih tinggi pada negara-negara yang menggunakan desain modified-income minimum tax dibandingkan dengan desain lainnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik negara dalam penerapan desain, mengingat desain modified-income minimum tax umumnya diterapkan pada negara maju. Selanjutnya penerapan AMT juga mendorong peningkatan pelaporan laba usaha. Dengan kata lain, AMT mengurangi insentif WP untuk
melakukan underreporting laba usaha untuk tujuan pajak.
Catatan Kritis untuk Penerapan Pajak AMT Meskipun penerapan AMT dinilai dapat mengurangi praktik penghindaran pajak dan memiliki keunggulan sebagai instrumen yang dapat mengurangi insentif perencanaan penghindaran pajak, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa hal untuk menerapkannya di Indonesia. Pengamat Pajak Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) menilai ideal atau tidaknya penerapan AMT terhadap WP Badan tergantung asumsi perhitungan penambahan penerimaan negara. Selain itu, dari sisi WP Badan, tarif 1% diharapkan tidak membebani cashflow perusahaan yang merugi, karena tetap harus membayar pajak minimum sesuai AMT (kontan.co.id). Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) juga menyatakan bahwa apabila pemerintah memaksakan adanya tarif minimum pajak kepada usaha yang merugi, terlebih di tengah kondisi krisis akibat pandemi, justru bertentangan dengan konsep pajak penghasilan itu sendiri, dimana dikenakan kepada usaha yang justru tidak memiliki tambahan kemampuan ekonomis dan selayaknya tidak ada objek PPh atas kegiatan tersebut. Denny Vissaro, peneliti fiskal DDTC, menjelaskan bahwa dalam penerapan AMT pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa komponen agar desain AMT dapat mencapai tujuan tanpa mencederai wajib pajak. Pertama, penentuan kriteria subjek pajak. Mengingat penerapannya akan menimbulkan biaya kepatuhan baru, ada baiknya jika AMT diterapkan bagi WP Badan dengan batasan dan/atau kriteria tertentu yang dapat ditinjau dari segi omzet atau umur perusahaan. Dengan demikian, efektivitas AMT dapat tepat sasaran sejalan dengan potensi pajak yang dapat dioptimalkan serta efisien. Kedua, desain perhitungan AMT, apakah menggunakan pendekatan alternatif basis pajak atau pendekatan pendapatan perusahaan. Apabila menggunakan pendekatan pertama, maka perlu mempertimbangkan besaran tarifnya. Dan bila menggunakan pendekatan kedua, maka diperlukan analisis yang lebih mendalam. Rekonstruksi yang terlalu rumit justru dapat mendistorsi perilaku ekonomi wajib pajak. Ketiga, kepastian bagi WP Badan untuk tetap dapat memanfaatkan insentif pajak meskipun berakibat pada lebih rendahnya pajak terutang dibandingkan perhitungan AMT. Tanpa adanya kejelasan tersebut, setiap insentif pajak yang sudah ditawarkan pemerintah menjadi sia-sia dan sulit mendorong produktivitas ekonomi dan investasi (ddtc.co.id). Keempat, agar penerapan AMT dapat berjalan secara optimal dan efisien dalam meningkatkan penerimaan negara, maka perlu adanya peningkatan efektivitas pada pemeriksaan pajak dan penghitungan AMT oleh otoritas pajak.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
3 Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 11, Juli 2021
Upaya Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan
Menjamin Pemerataan menjadi salah satu arah kebijakan pembangunan
pemerintah yang dituangkan menjadi Prioritas Nasional (PN) No. 2
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022. Untuk melaksanakan PN
tersebut, salah satu Program Prioritas (PP) yang akan dilaksanakan
adalah PP No. 7, yaitu Pembangunan Wilayah Papua. PP ini menyasarkan
pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan
masyarakat di wilayah Papua yang diukur dengan 3 indikator, yaitu laju
pertumbuhan PDRB, IPM provinsi, dan persentase penduduk miskin.
Dengan benchmark realisasi tahun 2020, pemerintah telah menargetkan
PDRB wilayah Papua tumbuh pada kisaran 5,92-6,48 persen per tahun,
peningkatan IPM provinsi di wilayah Papua menjadi berkisar pada
62,06-65,92, serta persentase penduduk miskin di wilayah Papua turun
menjadi 23,84 persen di tahun 2022 (Tabel 1). Untuk mendukung
sasaran dan indikator tersebut, pemerintah berencana akan
melaksanakan 5 Kegiatan Prioritas (KP), salah satunya adalah
peningkatan pusat-pusat perkembangan wilayah Papua melalui
pengembangan Kawasan Industri (KI) Teluk Bintuni, Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) Sorong, dan Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP) Raja
Ampat di Provinsi Papua Barat, serta Destinasi Pariwisata
Pengembangan Biak-Teluk Cendrawasih di Provinsi Papua (KP 1).
Perkembangan Kinerja Indikator Pembangunan Wilayah Papua
Sebelum pandemi Covid-19 menghantam perekonomian di tahun
2020, secara umum kinerja IPM provinsi dan persentase penduduk
miskin di wilayah Papua terus menunjukkan kinerja perbaikan dari
tahun ke tahun (Tabel 1). Namun kinerja berbeda ditunjukkan oleh laju
pertumbuhan PDRB yang cenderung sangat fluktuatif, bahkan sempat
terkontraksi sangat dalam pada tahun 2019. Hal ini salah satunya
disebabkan karena pertumbuhan PDRB wilayah Papua yang banyak bergantung pada kinerja pertambangan dan penggalian yang cenderung
sensitif terhadap shocks. Untuk tahun 2022, pemerintah menargetkan
perbaikan yang signifikan terhadap ketiga indikator pembangunan. Hal
ini tentu mensyaratkan rencana kebijakan pemerintah yang efektif
mendorong perbaikan perekonomian dan kesejahteraan di Papua.
Tabel 1. Perkembangan Kinerja Indikator Pembangunan Wilayah Papua
*) Target dalam RKP 2022. Sumber: BPS (diolah)
Badan Anggaran
CATATAN KINERJA INVESTASI TERHADAP IMPLEMENTASI KP 1
DAN PENCAPAIAN PP PEMBANGUNAN WILAYAH PAPUA
• Kegiatan Prioritas (KP 1) merupakan salah satu kegiatan yang direncanakan pemerintah untuk dapat mewujudkan Program Prioritas (PP) Pembangunan Wilayah Papua dalam Prioritas Nasional (PN) No. 2 RKP 2022.
• Secara umum, sebelum pandemi menyerang, kinerja indikator pembangunan di wilayah Papua sudah menunjukkan arah perbaikan selama beberapa tahun terakhir.
• Pemerintah menargetkan perbaikan yang cukup signifikan pada seluruh indikator pembangunan wilayah Papua pada tahun 2022. Oleh karena itu, pemerintah harus menggiatkan pengembangan KP 1.
• Adanya tren penurunan investasi di wilayah Papua, masih belum optimalnya investasi pada sektor-sektor ekonomi krusial pendukung proyek KP 1, serta belum masuknya pemain industri utama di KI/KEK masih menjadi tantangan.
• Meningkatkan dan mempromosikan investasi di wilayah Papua, promosi spesifik investasi pada sektor ekonomi krusial, serta menggiatkan pendekatan pada industri-industri yang disasar dapat menjadi solusi.
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab: Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si Redaktur: Robby Alexander Sirait · Dwi Resti Pratiwi · Nadya Ahda · Damia Liana · Ervita Luluk Zahara
Penulis: Nadya Ahda
EKONOMI DAN KEUANGAN
2016 2017 2018 2019 2020 2022*Laju Pertumbuhan PDRB Wilayah Papua (%/tahun) 7,82 4,46 7,02 -10,69 1,34 5,92-6,48
IPM Provinsi di Wilayah Papua (nilai min-maks) 58,05-62,21 59,09-62,99 60,06-63,74 60,84-64,70 60,44-65,09 62,06-65,92
Persentase Penduduk Miskin di Wilayah Papua (%) 27,63 26,74 26,38 25,43 25,65 23,84
IndikatorTahun
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 11, Juli 2021 4
Catatan Kinerja Investasi Terhadap KP 1
Salah satu rencana pemerintah untuk mencapai
target indikator pembangunan sebagaimana di tabel 1
adalah dengan mengimplementasikan KP 1. Meskipun
pengembangan proyek-proyek KP 1 sudah
dilaksanakan selama beberapa tahun terakhir, namun
masih ada catatan yang harus diperhatikan oleh
pemerintah. Salah satunya terkait dengan investasi
yang krusial perannya sebagai motor penggerak
aktivitas ekonomi di KI/KEK/DPP. Sejak tahun 2017,
realisasi investasi di wilayah Papua justru
menunjukkan tren penurunan, yaitu dari Rp28,16 T
pada tahun 2017 menjadi hanya Rp13,08 T di tahun
2020 (Kementerian Investasi/BKPM, 2021)1. Hal ini
disebabkan oleh tren penurunan dari PMA yang cukup
tajam, baik untuk Provinsi Papua maupun Papua Barat.
Sementara untuk PMDN, trennya cenderung
meningkat, terutama sejak tahun 2018. Namun tren
keseluruhan penurunan investasi ini tetap harus
diwaspadai sebagai tantangan tersendiri bagi progres
pembangunan pusat-pusat perkembangan wilayah
Papua secara umum.
Apabila dilihat breakdown sektoralnya, sektor-
sektor ekonomi yang paling banyak disasar oleh
investor domestik (PMDN) di wilayah Papua selama 3
tahun terakhir (2018-2020, secara total) antara lain:
(1) listrik, gas, dan air (Rp2,10 T); (2) tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, dan kehutanan (Rp1,93 T);
dan (3) transportasi, gudang, dan telekomunikasi
(Rp1,04 T). Sementara, investor asing (PMA) lebih
banyak menyasar pada sektor ekonomi: (1)
pertambangan (USD2,46 M); (2) tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan kehutanan (USD0,27 M);
dan (3) industri makanan (USD0,11 M). Beberapa di
antara sektor unggulan di atas secara umum sudah
merefleksikan kebutuhan dari KP 1. Karena dengan
adanya investasi pada sektor listrik, gas, dan air serta
transportasi, gudang, dan telekomunikasi, seharusnya
merefleksikan sudah adanya upaya pembangunan
akses dan utilitas di wilayah Papua. Meskipun
demikian, masih dominannya lahan kosong, serta
kurang memadainya akses jalanan dan fasilitas di
kawasan pelabuhan setempat masih menjadi
tantangan perkembangan KEK Sorong, setidaknya
hingga tahun 2020 (Kontan, 2020). Hal ini dapat
menjadi indikasi awal bahwa investasi di sektor
tersebut dinilai masih belum optimal, serta sektor
ekonomi pendukung KI/KEK/DPP lainnya, seperti
sektor konstruksi serta sektor perumahan, kawasan
industri, dan perkantoran yang investasinya juga
1 Merupakan penjumlahan dari realisasi PMA yang dikonversi ke rupiah dan PMDN, baik untuk Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat.
masih relatif kecil selama 3 tahun terakhir, yaitu
sebesar Rp47,74 M untuk sektor konstruksi dan
Rp37,46 M untuk sektor perumahan, kawasan industri,
dan perkantoran (PMDN, total).
Secara umum, masih belum banyaknya pemain
industri yang masuk ke KI/KEK juga menjadi penyebab
belum dominannya investasi yang masuk di sektor
ekonomi aktivitas utama KI/KEK. Padahal, proyek KI
Teluk Bintuni dan KEK Sorong sudah terdaftar menjadi
Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak Perpres No. 3
Tahun 2016 dan telah diindikasikan menjadi KI/KEK
sejak RPJMN 2015-2019. Sebagai contoh, belum
masuknya industri pengolahan nikel di KEK Sorong
menyebabkan belum optimalnya kinerja investasi di
sektor industri logam. Hal ini tercermin dari tidak
adanya realisasi investasi yang signifikan pada industri
logam di Papua Barat selama 3 tahun terakhir. Begitu
juga dengan KI Teluk Bintuni yang direncanakan akan
berfokus pada industri pupuk dan petrokimia,
penentuan off-taker kawasan pun baru dilaksanakan
pada awal tahun 2021 dan saat ini progres masuknya
industri pupuk ke KI ini masih pada tahap kajian lokasi
(Bisnis.com, 2020; Pupuk Indonesia Holding Company,
2021). Hal ini pun tercermin bahwa selama 3 tahun
terakhir, tidak ada investasi (khususnya PMDN) yang
masuk di industri kimia dan farmasi di Papua Barat.
Sementara untuk sektor ekonomi pendukung DPP
Raja Ampat Papua Barat dan Biak-Teluk Cendrawasih
Papua, seperti sektor hotel dan restoran serta sektor
perdagangan dan reparasi sudah menunjukkan adanya
realisasi investasi meskipun nilainya juga masih relatif
kecil, yaitu dengan total selama 3 tahun terakhir sebesar USD1,92 juta (PMA) dan Rp0,34 M (PMDN)
untuk sektor hotel dan restoran serta USD1,74 juta
(PMA) dan Rp130,72 M (PMDN) untuk sektor
perdagangan dan reparasi.
Rekomendasi
Untuk mengefektifkan implementasi KP 1 yang
akan berdampak positif bagi PP Pembangunan
Wilayah Papua, pemerintah harus meningkatkan dan
mempromosikan investasi di wilayah Papua secara
umum. Tidak hanya itu, promosi investasi spesifik
pada sektor-sektor ekonomi yang krusial bagi proyek-
proyek KP 1 juga harus dilakukan. Menggiatkan
pendekatan pada industri yang disasar untuk
mempercepat proses persiapan agar segera masuk
pada KI/KEK/DPP juga dinilai dapat meningkatkan
investasi, terutama di sektor ekonomi aktivitas utama
KI/KEK/DPP.