miastenia gravis

26
MIASTENIA GRAVIS 1. PENDAHULUAN Miastenia gravis merupakan suatu penyakit yang jarang, yang mana di Amerika Serikat prevalensinya meningkat sekitar 20 per 100.000 penduduk. Penyakit autoimmun ini dikarakteristikan dengan kelemahan otot yang berfluktuasi, memperburuk dengan aktifitas, dan membaik bila beristirahat. Sekitar 2/3 pasien, keterlibatan dari otot ekstraokuler merupakan satu-satunya gejala, biasanya berkembang kearah keterlibatan otot-otot bulbar dan otot-otot anggota gerak, yang menghasilkan miastenia gravis generalisata, Walaupun penyebab utama dari miastenia gravis masih belum dapat dipastikan, peran dari antibodi yang bersikulasi dengan reseptor nikotinik asetilkolin dapat dipercaya sebagai salah satu mekanisme utama. 1 2. EPIDEMIOLOGI Miastenia Gravis merupakan suatu penyakit yang jarang. Di Amerika angka kejadian penyakit ini meningkat menjadi 20 per 100,000 penduduk. Sekitar 10% dari pasien Miastenia Gravis, gejala hanya mengenai otot mata ekstraokuler , kondisi ini dinamakan dengan Ocular Miastenia Gravis. Jenis kelamin tampaknya mempengaruhi angka kejadian dari miastenia gravis. Usia dibawah 40 tahun, perbandingan pria dan wanita adalah 1:3, akan tetapi antara usia 40-50 tahun dan selama masa pubertas, angka kejadian relatif sama. Diatas usia 50 tahun,

Upload: pandurespati

Post on 21-Feb-2016

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MG is Autoimune dissorder

TRANSCRIPT

MIASTENIA GRAVIS

1. PENDAHULUAN

Miastenia gravis merupakan suatu penyakit yang jarang, yang mana di Amerika

Serikat prevalensinya meningkat sekitar 20 per 100.000 penduduk. Penyakit autoimmun ini

dikarakteristikan dengan kelemahan otot yang berfluktuasi, memperburuk dengan aktifitas,

dan membaik bila beristirahat. Sekitar 2/3 pasien, keterlibatan dari otot ekstraokuler

merupakan satu-satunya gejala, biasanya berkembang kearah keterlibatan otot-otot bulbar dan

otot-otot anggota gerak, yang menghasilkan miastenia gravis generalisata, Walaupun

penyebab utama dari miastenia gravis masih belum dapat dipastikan, peran dari antibodi yang

bersikulasi dengan reseptor nikotinik asetilkolin dapat dipercaya sebagai salah satu

mekanisme utama.1

2. EPIDEMIOLOGI

Miastenia Gravis merupakan suatu penyakit yang jarang. Di Amerika angka kejadian

penyakit ini meningkat menjadi 20 per 100,000 penduduk. Sekitar 10% dari pasien

Miastenia Gravis, gejala hanya mengenai otot mata ekstraokuler , kondisi ini dinamakan

dengan Ocular Miastenia Gravis. Jenis kelamin tampaknya mempengaruhi angka kejadian

dari miastenia gravis. Usia dibawah 40 tahun, perbandingan pria dan wanita adalah 1:3, akan

tetapi antara usia 40-50 tahun dan selama masa pubertas, angka kejadian relatif sama. Diatas

usia 50 tahun, pria lebih sering dibandingkan dengan wanita. Miastenia gravis pada anak

jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara. Di Negara Asia, sekitar 50% pasien memiliki usia

kejadian dibawah 50 tahun, utamanya hanya pada manifestasi klinis pada mata2.

3. DEFINISI

Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis

merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya

terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10

hingga 20 kali lebih lama dari normal).

Miastenia gravis ialah gangguan autoimun yang menyebabkan otot skelet menjadi

lemah dan lekas lelah.

Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan

kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan

neuromuskular3.

4. PATOFISIOLOGI

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran

akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam

celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor

asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan

permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi

lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang

akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf,

yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi

yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan

neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.

Gambar Skematis NMJ

Gambar Skematis NMJ

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam

penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps.

Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak

antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin

dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu

jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end

plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat

berlangsung lama.

Gambar Skematis NMJ (diunduh dari :

http://medicine.yale.edu/neurology/Images/lrg273_183717MGNMJ.jpeg)

Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis

kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada

kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita

hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi

menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-

menerus3.

Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar

timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang

abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-

penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa

2.3. Manifestasi Klinis

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan

gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi

hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang

berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok

otot tertentu saja.

Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan

sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala

kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai

gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati

kesulitan mengunyah dan menelan.

Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan

ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa

minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular).

Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi

hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan

bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit

tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral

atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis

dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun

otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa

bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan

melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja,

maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.

Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada

pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN,

kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan

lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba

menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu

menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung

Diunduh dari :

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/25/Myasthenia_Gravis.jpg/220px-

Myasthenia_Gravis.jpg

Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang

pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.

Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat

ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8.

Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya

dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan

dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau

mengalami eksaserbasi oleh sebab:

1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus

haid atau gangguan fungsi tiroid.

2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi

yang disertai diare dan demam.

3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada

dalam keadaan tegang.

4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat

yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.

2.4. Klasifikasi

Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi3:

1. Kelompok I: Miastenia okular

Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak

ada kasus kematian.

2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan

Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan

bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian

rendah.

3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang

Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat

dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar

mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot

pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas

pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.

4. Kelompok III: Miastenia berat akut

Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai

terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6

bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis

gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut

Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-

gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara

tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.

4. Klasifikasi dari Miastenia Gravis

Subtipe dari Miastenia Gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Onset dini – usia onset <50 tahun. Hiperplasia Timus, biasanya wanita

2. Onset lambat: usia onset >50 tahun. Atrofi timus biasanya pria,

3. Miastenia Gravis berkaitan dengan Timoma (10%-15%)

4. Miastenia Gravis berkaitan dengan antibodi MUSK

5. Miastenia Gravis okular, gejala hanya mengenai otot mata ekstraokuler

6. Miastenia Gravis dengan AchR yang tidak terdeteksi dan Antibodi MUSK(muscle

specific tyrosine-kinase.

5. Klasifikasi Klinis

The Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi miastenia gravis menjadi

kedalam 5 kelas yang berbeda dan beberapa subkelas.

a. Kelas I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal

b. Kelas II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya- Kelas IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi

otot-otot oropharyngeal- Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan

pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitasc. Kelas III Kelemahan sedang pada otot selain okuler,

Meningkatnya kelemahan pada otot okuler

- Kelas IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

- Kelas IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas

d. Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler- Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada

otot-otot oropharyngeal- Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan

dan oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitase. Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus

post-operative)

Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian

miastenia gravis, ialah:

1. Miastenia neonatus

Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada

bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh

masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.

2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)

Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.

3. Miastenia kongenital

Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan

imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak

progresif.

4. Miastenia familial

Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi

pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.

5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)

Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya

pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus

(small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada

umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-

gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif.

Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.

6. Miastenia gravis antibodi-negatif

Kurang lebih ¼ daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya

antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak

adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap

pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.

7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin

D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit

Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami

miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.

8. Botulisme

Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang

menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis

berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B

paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food).

Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi

secara sempurna.

Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian

muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan

terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis

otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya

terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi

otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

2.5. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.

Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat

dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda

kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:

1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin

Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk

menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis

golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi

dengan beratnya penyakit.

2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)

Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih

kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi

ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma

adlah sangat kecil.

3. Tes tensilon (edrofonium klorida)

Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila

pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil

pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis.

Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg

tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya

dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi

abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung

lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis

banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik.

Test Tensilon. (diunduh dari http://image.slidesharecdn.com/ptosis-140214114905-

phpapp01/95/ptosis-17-638.jpg)

Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia

gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes,

kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini

merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda,

sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya

akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan

dengan pemeriksaan EMG.

4. Foto dada

Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat

apakah ada timoma.

Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.

Thymoma X Foto thorak (Diunduh dari

http://www.aboutcancer.com/thymoma_xray.jpg)

5. Tes Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.

Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata

beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.

6. Tes prostigmin

Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan

intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan

tenaga membaik.

7. a.Test Repetitive Nerve Stimulation

Penurunan amplitudo potensial aksi otot gabungan dengan rangsangan berulang pada

saraf perifer dengan frekuensi 3 Hertz ( respon decremental )

Repetitive nerve stimulation at a frequency of 2 Hz showing an increasing decrement in the

amplitude of the compound muscle action potential up to the fourth response (42% amplitude

loss), after which it stabilizes.

b.Test single fiber EMG

Metode lebih sensitif, terdapat peningkatan bervariasi interval interpotensial.

Single fiber electromyography showing the "jitter" phenomenon (second action potential

wave group).

2.6. Terapi

1. Antikolinesterase

Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida

15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi

kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin

metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara

dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg.

Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin

tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal,

sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.

Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan

IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi

parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,

lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping

muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau

atropin.

Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan

tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk

menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan

efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana

sesungguhnya efek smping tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan

diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping.

Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk

menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi.

Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-

seling.

Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi,

setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat

segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium.

Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5

mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian

prednisolon secara mendadak harus dihindari.

3. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,

efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan

saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5

mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah

lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.

Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.

4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan

kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari

pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan

tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.

5. Plasmaferesis

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.

Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila

dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang

berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi

hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis

mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada

reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

2.7. Krisis Pada Miastenia Gravis

Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,

membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis

krisis, yaitu:

1. Krisis miastenik

Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih

banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan

dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas

- Pemberian antikolinesterase

- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-

obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat

memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis

kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan

seringkali dosis dapat diturunkan.

2. Krisis kolinergik

Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat

antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat

berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan.

Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu

sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan

seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas

- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg

intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara

ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin

gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian

antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.

- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.

Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg

intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak

akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.

Kesimpulan

1. Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan

kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh

hingga ke otot pernapasan.

2. Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan

neuromuskular akibat penyakit otoimun.

3. Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang

sembuh kembali setelah istirahat.

4. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis,

serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot

skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin.

5. Pengobatan miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase yang

kerjanya menghancurkan asetilkolin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press,

Yogyakarta

2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at Chapol

Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm

3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf, dalam

S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed.,

EGC, Jakarta

4. Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat, Jakarta

6. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K.

Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds), Biokimiawi Harper 24th ed., EGC,

Jakarta

7. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003.

http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm

8. Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421,

Dian Rakyat, Jakarta

9. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366, 390,

421, 576, Dian Rakyat, Jakarta

10. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels, (eds),

Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company, London

11. Diunduh dari : http://howmed.net/wp-content/uploads/2010/09/neuromuscular-

junction.bmp