model demokrasi
DESCRIPTION
Oleh Novi Hendra, S.IPTRANSCRIPT
Menurut Arendt Lijphart model demokrasi itu ada dua macam yaitu model demokrasi
Westminster dan model demokrasi konsesus.
Model Demokrasi Westminster
Dasar dari model Westminster adalah majority rule. Model ini dapat dilihat sebagai solusi
yang paling nyata mengenai dilemma apa yang kita maksud “rakyat (the people)” dalam
definisi demokrasi. Siapa yang akan memerintah dan pada kepentingan siapa pemerintah
merespon ketika rakyat tidak setuju dan mempunyai pilihan berbeda? Jawabannya adalah
the majority of the people. Manfaat besar dari jawaban yang lain, seperti syarat kebulatan
suara hanya salah satu jawaban, memerlukan minority rule-atau sekurang-kurangnya hak
suara minoritas (minority veto)-dan pemerintahan oleh mayoritas dan sesuai dengan
keinginan mayoritas lebih dekat pada demokrasi yang ideal, lalu pemerintahan lebih
dekat dan mau mendengarkan minoritas. Alternatif jawaban untuk dilemma ini adalah
sebanyak orang dimungkinkan. Dasar dari model konsesus.
Model Westminster terdiri dari sembilan elemen :
1. Kosentrasi kekuasaan eksekutif : Satu partai dan kabinet yang mayoritas.
2. Perpaduan kekuasaan dan kabinet dominasi.
3. Bikameralisme Asimetris
4. Sistem dua partai
5. Suatu dimensi sistem partai
6. Sistem pemilihan yang plural
7. Kesatuan dan pemerintahan terpusat
8. Konstitusi yang tidak tertulis dan kedaulatan parlemen.
9. Demokrasi yang secara eksklusif representatif
Model demokrasi Konsensus
Dari pandangan mayoritas definisi dasar demokrasi berarti “pemerintahan oleh mayoritas
orang ( the majority of the people). Mempunyai argumen bahwa mayoritas seharusnya
memerintah dan minoritas seharusnya menjadi oposisi. Pandangan ini ditentang oleh
model demokrasi konsensus. Menurut Sir Arthur Lewis mengatakan majority rule dan
pemerintahan melawan pola pemerintahan oposisi mengakibatkan pandangan tidak
demokrasi karena adanya prinsip menghilangkan (principles of exclusion). Lewis
mengatakan bahwa arti utama demokrasi adalah bahwa “semua yang mempengaruhi
sebuah keputusan seharusnya diberikan kesempatan partisipasi dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung atau melalui representatif yang terpilih. Maksud kedua
kehendak mayoritas dapat berlaku. Jika dalam maksud ini partai pemenang boleh
membuat semua keputusan pemerintahan dan pihak yang kalah mengkritisi tetapi tidak
memerintah, Lewis berargumen dua arti tidak cocok : “meniadakan kelompok yang kalah
dari partisipasi pembuatan keputusan jelas-jelas melanggar arti pentingya demokrasi.
Adanya dua situasi dimana demokrasi dan majority rule tidak sepenuhnya tidak cocok .
Pertama, meniadakan minoritas bisa dikurangi jika wakil-wakil mayoritas dan minoritas
ada di pemerintahan-bahwa, jika hari ini minoritas mungkin akan menjadi mayoritas di
pemilihan nanti bahkan menjadi oposisi permanen.
Suatu yang masuk akal mengenai argumen bahwa demokrasi dan majority rule tidak
berkonflik karena kehadiran kondisi kedua : fakta bahwa Inggris dan New Zealand relatif
masyarakat homongen dan partai utama mereka selalu tidak jauh terpisah dalam
pandangan kebijakan mereka karena mereka cenderung tetap dekat dengan pusat politik.
Satu partai terpisah dari kekuasaan yang mungkin tidak demokrasi bagian dari kriteria
”pemerintahan oleh rakyat”, tetapi jika kepentingan pemilih dan pilihan mempunyai
alasan baik melayani kebijakan partai lain dalam pemerintahan, kurang lebih sistem
”pemerintahan untuk rakyat” mendefinisikan demokrasi.
Dalam masyarakat plural, walaupun, majority rule berarti kedidaktoran mayoritas dan
perselisihan sipil dari pada demokrasi. Apa masyarakat ini membutuhkan rejim
demokrasi menekankan konsensus daripada oposisi, termasuk daripada meniadakan
konsensus dan mencoba memaksimalkan ukuran aturan mayoritas daripada memuaskan
dengan mayoritas nyata : demokrasi konsensus.
Model Konsensus : Delapan Elemen mengendalikan mayoritas
1. Pemisahan kekuasaan eksekutif : koalisi agung.
2. pemisahan kekuasaan, formal dan informal.
3. Perimbangan bikameralisme dan representatif minoritas.
4. Sistim multi partai
5. Sistem partai multidimensi
6. Wilayah dan bukan wilayah federalisme dan desentralisasi
7. Konstitusi tertulis dan suara minoritas
Pertama dan perbedaan terpenting antara model demokrasi Westminster (mayoritas) dan
model demokrasi konsensus mengenai luas partisipasi pemerintah, khususnya pihak
eksekutif, dengan representatif rakyat. Model demokrasi Westminster terkonsentrasi pada
kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan didukung relatif kecil mayoritas parlemen,
dimana model konsensus mendukung koalisi besar dimana semua partai politik yg
signifikan dan perwakilan kelompok utama dalam komunitas berbagi kekuasan eksekutif.
Pemerintahan mayoritas nyata dan koalisi agung adalah tipe ideal tetapi dalam
prakteknya berbagai bentuk lanjutan dapat ditemukan, seperti sebesar tetapi tidak koalisi
agung (grand coalition) dan kabinet minoritas.
Koalisi akan membentuk sistem parlementer. Lima terpenting prediksi teori ini
berdasarkan beberapa macam koalisi :
1. Koalisi pemenang minimal (prinsip ukuran)
2. Koalisi ukuran minimum
3. Koalisi dengan jumlah terkecil partai (proposisi tawar menawar)
4. Koalisi jarak minimal
5. Minimal berhubungan dengan pemenang koalisi
Perbedaan kedua antara model demokrasi Westminster dan konsensus berkaitan dengan
hubungan antara eksekutif dan legeslatif dalam pemerintahan. Model Westminster
(mayoritas) suatu dominasi eksekutif, dimana model konsensus, berkarakteristik
hubungan yang lebih berimbang eksekutif-legeslatif. Dalam kehidupan politik
sebenarnya, keanekaragaman pola antar perimbangan sempurna dan ketidakseimbangan
seringkali terjadi.
Berdasarkan Pendapat di atas maka sistem pemerintahan itu ada dua yaitu sistem
pemerintahan parlementer dan sistim pemerintahan presidensil. Duverger[1] kemudian
memperkenalkan bentuk pemerintahan ketiga, sistem semipresidensial.
(1) Sistem parlementer.
Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggeris tidak mengenal pemisahan
kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Pada abad XVI sebagai reaksi terhadap
kekuasaan Raja James I yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan parlementer
diawali dengan berdirinya lembaga perwakilan rakyat (assembly) yangbsecara bertahap
mengambil alih kekuasaan legislatif dari tangan Raja. Tetapi, kekuasaan eksekutif tetap
berada pada Raja. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan eksekutif Raja mulai
diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat dari antara anggota-anggota badan
perwakilan. Karena para menteri harus betanggunjawab kepada badan perwakilan, lambat
laun kekuasaan badan perwakilan bertambah besar dan ditetapkan sebagai pemegang
kedaulatan negara. Para menteri secara kolektif, atau Kabinet, harus betanggungjawab
kepada badan legislatif dan adalah bagian dari badan tersebut. Karena itu dalam sistem
parlementer tidak ada seperation of power, tetapi yang ada adalah fusion of power antara
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif. Dengan kata lain, sistem parlementer
adalah sistem politik yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif
dalam suatu lembaga pemengang kedaulatan rakyat yang bernama Parlemen.
Pada sistem parlementer cabang eksekutif dipimpin oleh Kepala Negara, seorang Raja
dalam negara monarki konstitusional atau seorang Presiden dalam republik, dan Perdana
Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Pemerintahan ditunjuk oleh Kepala
Negara dan para menteri diangkat oleh Kepala Negara atas usul Kepala Pemerintahan,
Kabinet, yang terdiri dari Perdana Menteri dan para menteri, adalah lembaga kolektif,
karena perdana menteri adalah orang yang pertama dari sesama (primus inter pares)
sehingga tidak dapat memberhentikan seorang menteri. Tapi dalam kenyataannya
perdana menteri selalu memilki kekuasaan yang lebih besar dari para menteri. Perdana
menteri dan para menteri biasanya adalah anggota parlemen dan secara kolektif
bertanggungjawab kepada badan legislatif. Pemerintah atau kabinet secara politis
bertanggungjawab kepada parlemen. Untuk menghindarkan kekuasaan legislatif yang
terlalu besar atau diktatorial partai karena mayoritas partai yang terlalu besar, kepala
pemerintahan dapat mengajukan usul kepada kepala negara untuk membubarkan
parlemen. Salah satu karakteristik utama sistem parlementer yang tidak dimiliki oleh
sistem presidensial adalah kedudukan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di
atas badan perwakilan dan pemerintah (supremacy of parliament). Dalam sistem
parlementer pemerintah tidak berada diatas badan perwakilan, dan sebaliknya badan
perwakilan tidak lebih tinggi dari pemerintah.
Karena perdana menteri dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh rakyat,
pemerintah parlementer hanya bertanggungjawab secara tidak langsung kepada pemilih.
Karena itu, dalam pemerintahan parlementer tidak dikenal hubungan langsung antara
rakyat dengan pemerintah. Hubungan itu hanya dilakukan melalui wakil-wakil yang
dipilih oleh rakyat. Parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang merupakan
pusat kekuasaan dalam sistem politik harus selalu mengusahakan agar tercapai dinamika
hubungan politik yang seimbang antara badan legislatif dan badan eksekutif. Dalam
parlemen ini lah kader-kader pimpinan bangsa digembleng sebelum suatu hari mendapat
kesempatan menjadi pemimpin negara.
(2) Sistem presidensial
Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan didorong oleh keinginan yang kuat untuk
menentang sistem parlementer yang dipandang sebagai budaya negara kolonial Inggris,
sistem presidensial Amerika memisahkan secara tegas tiga cabang kekuasaan. Karena itu
karakteristik pertama sistem presidensial adalah badan perwakilan tidak memiliki
supremacy of parliament karena lem baga tersebut bukan lembaga pemegang kekuasaan
negara. Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara
langsung atau melalui perwakilan, untuk masa kerja tertentu, dan presiden memengang
sekaligus jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan
dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-
menteri negara, yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan
eksekutif dalam bidang masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak
bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggungjawab secara
individual kepada presiden. Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak
boleh merangkap jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh
merangkap menjadi anggota badan legislatif.
3. Sistem Semipresidensial
Sistem semi-presidensial adalah bentuk pemrintahan negara yang mencoba mengatasi
kelemahan-kelemahan sistem parlementer mau pun sistem presidensial. Kelemahan
pokok sistem parlementer ialah sifatnya yang sangat tidak stabil karena setiap saat
pemerintah, baik seluruh kabinet mau pun setiap menteri, dapat menerima mosi tidak
percaya dari parlemen. Sistem presidensial mengandung kecenderungan konflik
permanen antara cabang legislatif dan cabang eksekutif, terutama bila presiden terpilih
tidak didukung oleh partai mayoritas yang berkuasa di parlemen. Padahal negara-negara
baru yang tradisi demokrasinya belum terkonsolidasi dengan mantap selalu menghadapi
kondisi seperti ini. Selain itu, kekuasaan yang besar ditangan presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tunggal, selalu menggoda presiden untuk
memperpajang masa jabatannya, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan otoriter.
Ekses seperti itu dialami oleh banyak negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk
Indonesia yang menggunakan sistem presidensial. Untuk mengatasi kelemahan-
kelemahan kedua sistem tersebut, pada awal Abad 20 berkembang model ketiga sistem
pemerintahan yang oleh Duverger disebut sistem semi-presidensial. Sistem politik ketiga
ini memiliki beberapa karakteristik sistem parlementer dan sistem presidensial. Ciri
utama sistem semipresidensial adalah sebagai berikut: (a) pusat kekuasaan berada pada
suatu majelis perwakilan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi; (b) penyelenggara
kekuasaan legislatif adalah suatu badan perwakilan yang merupakan bagian dari majjelis
perwakilan; (c) presiden dipilih secara langsung atau tidak langsung untuk masa jabatan
tertentu dan bertanggungjawab kepada majlelis perwakilan; (d) para menteri adalah
Studi Kasus
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
A. Pendahuluan
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami Pasang Surut. Indonesia telah
mengalami beberapa pergantian sistem pemerintahan, hal ini bertujuan untuk menyusun
suatu sistim pemerintahan dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan
pembangunan ekonomi serta notion Building, dengan partisipasi rakyat seraya
menghindari timbulnya ditaktor, apakah ini bersifat perorangan, partai atau militer.
Menurut Arendt Lijphart model demokrasi itu ada dua macam yaitu model demokrasi
Westminster dan model demokrasi Konsensus. Kedua model demokrasi ini bisa
menghasilkan pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan parlementer dan sistem
pemerintahan semi presidensial.
Menurut Mirriam Budiarjo[2] di lihat dari perkembangan demokrasi sejarah Indonesia
dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu:
1. Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi (konstitusionil) yang menonjolkan
peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi
parlementer.
2. Masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin dalam banyak aspek
telah menyimpang dari demokrasi konstitusionil yang secara formil merupakan
landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi pancasila yang merupakan
demokrasi konstitusionil yang menonjolkan sistem presidensiil.
Pada Masa sistem parlementer (model demokrasi konsensus) yang berdasarkan UUD
1949 dan 1950, kurang cocok untuk Indonesia , karena umumnya kabinet dalam masa
pra-pemilihan umum yang diadakan dalam tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama
dari rata-rata, delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik
oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya.
Pada masa demokrasi terpimpin mempunyai ciri dominasi presiden, hal ini dapat dilihat
ketetapan MPRS No.III/1963 yang mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup
telah membataskan waktu lima tahun ini yang ditentukan oleh undang-undang dasar.
Pada tahun 1960 Sukarno sebagai presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum,
padahal penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa
presiden tidak mempunyai wewenang berbuat demikan.
Pada masa Orde Baru saya melihat kekuasaan eksekutif begitu kuat sehingga pada masa
ini Suharto menjadi penguasa yang otoriter, hal ini terlihat lemahnya peranan Dewan
Perwakilan Rakyat pada waktu itu sebagai lembaga legeslatif yang tidak bisa menandingi
dominasi badan eksekutif.
Pada masa Reformasi ini kita melihat perimbangan kekuatan antara eksekutif dan
legeslatif, menurut saya mungkin terjadi perpaduan sistem parlementer dan presidensial
di Indonesia. Menurut mantan Ketua DPR Akbar Tandjung[3] sistem pemerintahan saat
ini mengarah ke sistem parlementer karena Presiden mengakomodasi kekuatan dari
lembaga lain, seperti yang sering terjadi pada sistem parlementer. Sehingga menimbulkan
pertanyaan model demokrasi seperti apa yang cocok untuk Indonesia?
B. Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945
Sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam UUD 1945, beserta penjelasannya
ialah :
a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat).
b. Sistim konstitusional.
Pemerintahan berdasar atas konstitusi (hukum dasar), jadi tidak bersifat kekuasaan tidak
terbatas (absolutisme);
c. Kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR);
d. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah MPR.
Kedaulatan rakyat di pegang oleh suatu badan bernama ”Majelis Permusyawaratan
Rakyat”, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Majelis ini menetapkan undang-undang dasar dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Majelis ini mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (Wakil
Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang
Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah
ditetapkan oleh majelis tunduk dan bertangung jawab kepada majelis. Ia adalah
”mandataris” dari majelis. Ia wajib menjalankan putusan-putusan majelis.
e. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah majelis.
Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan
negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam
menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan
Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).
f. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Presiden harus
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-Undang dan untuk menetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja
bersama-sama dengan DPR, akan tetapi Presiden harus bekerja bersama-sama dengan
DPR, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, artinya kedudukan
Presiden tidak tergantung dari DPR.
g. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; menteri negara tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu
tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukannya tidak tergantung pada DPR, akan
tetapi tergantung pada Presiden.
h. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia
buakn ”diktaktor” artinya kekuasaan tidak terbatas. Di atas telah di tegaskan, bahwa ia
bertangung jawab kepada MPR. Kecuali itu, ia harus memperhatikan sungguh-sungguh
usaha DPR.
Kedudukan DPR adalah kuat. DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden (berlainan
dengan sistem parlementer). Kecuali itu, anggota-anggota DPR semuanya merangkap
menjadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-
tindakan presiden, dan jika dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar
haluan negara yang telah ditetapkan oleh undang-undang dasar atau oleh MPR, maka
majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa supaya bisa minta pertanggung
jawaban kepada Presiden.
C. Pembahasan
Bila kita melihat model demokrasi menurut Arendt Lijphart, ada dua yaitu model
demokrasi westminster dan model demokrasi konsensus. Menurut saya yang lebih cocok
di Indonesia adalah model demokrasi konsensus, hal ini dikarenakan jumlah penduduk
Indonesia sekitar 185 juta dan terdiri dari berbagai suku bangsa (heterogen), maka
peranan kelompok minoritas juga penting dalam pengambilan keputusan. Sehingga
kelompok minoritas mempunyai perwakilan di parlemen. Karena penduduk Indonesia
yang heterogen maka diperlukan sistim multipartai, supaya aspirasi kelompok minoritas
mempunyai perwakilan di parlemen. Seperti menurut Lijphart dalam model demokrasi
konsensus bahwa mayoritas yang memerintah dan minoritas menjadi oposisi.
Sebenarnya adanya partai oposisi melekat kuat dengan sistem dua partai (two-party
system) dan sistem banyak partai (multi-party system), bukan dengan “sistem satu partai”
(”one party system”) yang contradictio in terminis dan otoriter-totaliter. Kedua sistem
dua partai dan sistem banyak partai sama-sama mensyaratkan adanya partai oposisi (the
party in opposition) secara jelas dan tegas serta lugas, kalau tidak begitu maka pada
hakikatnya sama saja dengan “sistem satu partai” meskipun bisa saja terdapat jumlah
(struktur, format) lebih dari adanya hanya satu partai. Menurut KPU[4], sistem
multipartai yang dianut Indonesia saat ini dinilai berdampak negatif terhadap kesuksesan
sebuah demokrasi. Terpilihnya sosok dengan suara terbanyak semakin sulit dicapai,
karena penyebaran suara pemilih di beberapa partai.
Akan tetapi dalam UUD 1945 lebih condong ke model Westminster yaitu dengan
kekuasaan eksekutif yang dominan. UUD 1945 Pasal 4 ayat (1) tegas menyebutkan
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Artinya pemerintahan yang
kita anut adalah sistem presidensial. Ciri dari sistem presidensial adalah, pertama,
kekuasaannya kuat karenanya konstitusi kita menegaskan Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat. Kedua, masa jabatannya pasti selama lima tahun. Ketiga, tidak
mudah dijatuhkan, meskipun tidak berarti tidak boleh diberhentikan (impeachment).
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem
pemerintahan negara Indonesia lebih condong ke sistem presidensial. Perubahan tersebut
ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan
dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem
presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam
Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945. Sistem presidensial
tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara
dipisahkan (separation of power) ke tiga cabang yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif,
yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montesquieu. Presiden dan
wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan
oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu-
pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Sebaliknya, sistem Presidensial (yang lebih condong ke model demokrasi westminster).
dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut
mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik
berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak
dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berakhir. Ketiga, cara pemilihan “winner
takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat
demokrasi.[5]
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan “sistem sendiri“ sesuai usulan Dr.
Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil
BPUPK. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan
sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial,
Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem
MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem
presidensial (lebih condong ke dalam model demokrasi westminster) dan parlementer
(lebih condong ke dalam model demokrasi konsensus) disebut sistem semi-presidensial.
Saya melihat sistim semi-presidensial ini merupakan campuran antara model demokrasi
westminster dan konsensus. Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para
perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri model demokrasi westminster dan
konsensus. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara
cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan,
Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat
diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan
bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial. Sistem
pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer,
diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi
kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer.
Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai perwujudan seluruh
rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat
tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena
itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga
perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif
adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan
kekuasaan legislative (legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR,
sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR
menyusun undang-undang.
Melihat ciri-ciri diatas yang semuanya diatur dalam perubahan kesatu, kedua, ketiga dan
keempat UUD 1945, kiranya sistem presidensial (lebih condong ke model demokrasi
Westminster) menjadi kompatibel bagi upaya untuk mensejahterakan rakyat, karena roda
pemerintahan relatif dapat lebih stabil dan terjamin dalam pelaksanaannya. Dalam praktik
pemerintahan presidensial yang berlangsung selama ini terutama sebelum perubahan
UUD 1945 diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan menempatkannya sebagai hak
prerogatif Presiden, akibatnya semua berjalan dengan landasan Keppres, seperti
pembentukan kabinet, pengangkatan menteri, duta, konsul, grasi, amnesti, abolisi,
rehabilitasi, pemberian gelar, kesemuanya tidak ada kontrol yang “cukup” dari lembaga
negara lainnya. Catatan sejarah politik ketatanegaraan kita jelas membuktikan apabila
penggunaan hak-hak prerogatif yang pernah dipraktikkan di masa lalu, malah
menyebabkan timbulnya model kekuasaan politik yang tidak terkontrol. Terlepas dari
polemik model kepemimpinannya, di era Orde Lama, Presiden Sukarno hampir
terjerumus ke “lobang” kekuasaan yang diktatorialisme, karena penggunaan hak
prerogatif yang berlebihan. Demikian juga di era kepresidenan Soeharto yang
berlangsung hampir 32 tahun, hak prerogatif yang dimilikinya secara akumulatif justru
menjatuhkan kekuasaannya, akibat desakan gerakan reformasi di tahun 1998, yang
intinya tuntutan demokrasi dan tegaknya hukum. Jadi, tidak ada jaminan penggunaan hak
prerogatif yang berlebihan terhadap stabilitas jalannya roda pemerintahan. Belajar dari
pengalaman sejarah inilah, maka penggunaan hak prerogatif memang harus dibatasi.
Namun, akan lebih efektif lagi apabila penguatan sistem presidensial juga dilakukan
dengan membuat payung hukum yang melindungi efektivitas kinerja lembaga
kepresidenan. Karenanya, kehadiran UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden dan pembentukan UU Kementerian Negara serta wacana untuk
menerbitkan UU Lembaga Kepresidenan menjadi mutlak perlu, sebagai langkah
operasional dari amanat UUD 1945. Kehadiran UU ini semua akan memberikan jaminan
yang pasti terhadap stabilitas roda pemerintahan didalam sistem pemerintahan
presidensial. Sekaligus memberi kepastian atas kelangsungan pelayanan publik, yang
dibutuhkan rakyat dan segenap stakeholdernya.
Masa Demokrasi Pancasila tahun 1965-1998 sesungguhnya merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Dengan kekuasaan eksekutif yang
besar maka demokrasi pancasila mengunakan model demokrasi westminster. Dengan
sistem Demokrasi ini terjadi pemisahan kekuasaan yang wajar, pemerintah lebih stabil
sehingga pembangunan yang menguntungkan rakyat banyak bisa berjalan lebih baik.
Suasana keamanan lebih stabil sehingga rakyat merasa lebih nyaman dan bisa bekerja
dengan lapangan kerja yang memadai. Daya beli rakyat bertambah baik, dan
pembangunan yang menguntungkan rakyat banyak bisa berjalan. Kritik yang muncul
adalah bahwa Pak Harto, yang muncul kepermukaan karena jasanya dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan dalam menumpas G30/PKI dianggap terlalu kuat
sehingga hampir semua kekuatan lain tidak bisa menyatakan pendapat dengan bebas dan
hampir tidak mungkin menggantikan kekuasaannya.
Nurcholish Madjid[6] berpendapat Indonesia mengunakan model demokrasi westminster,
meskipun tidak sempurna, para pendiri negara kita ingin meniru model Amerika. Banyak
segi sistem Amerika yang ditinggalkan, tetapi unsur paling utama, yaitu penjabaran ide-
ide dasar kenegaraan sebagai titik temu (common platform) semua unsur bangsa, sistem
pemerintahan presidensial periodik dan bahkan motto kenegaraan, mereka tiru dan ambil
alih. Ide-ide dasar kenegaraan mereka tuangkan dalam suatu dokumen yang sekarang
menjadi Mukadimah UUD 45 (sebanding dengan Deklarasi Kemerdekaan Amerika),
sistem pemerintahan presidensial periodik atau model demokrasi westminster sedikit
mereka ubah dari empat tahun menjadi lima tahun, dan motto kenegaraan yang amat
fundamental, yaitu E Pluribus Unum mengilhami digunakannya ungkapan Sansekerta,
Bhinneka Tunggal Ika. Kedua motto itu menunjuk kepada pengertian yang amat penting,
yaitu “persatuan dalam perbedaan” (unity in diversity), dengan kandungan makna
toleransi, pluralisme, dan inklusifisme. Sekalipun menghasilkan sebuah tiruan tidak
sempurna, namun Indonesia adalah negara pertama di dunia yang ingin menerapkan
model Amerika, yang kemudian disusul oleh yang lain-lain, seperti Filipina, Taiwan, dan
Korea Selatan. Para bapak pendiri negara, dipelopori oleh Bung Karno, mencoba
mewujudkan cita-cita modern nation state Indonesia tersebut segera setelah proklamasi
kemerdekaan. Tetapi mereka segera terbentur kepada kenyataan belum tersedianya
prasarana sosial-budaya pada bangsa kita guna mendukung ide-ide negara modern itu.
Rentetan coba-salah yang mereka lakukan akhirnya berujung pada malapetaka politik
1965, hanya 20 tahun setelah proklamasi.
C. Penutup
Kita tidak bisa begitu saja mengunakan model demokrasi westminster ataupun model
demokrasi konsensus di Indonesia, karena model demokrasi yang sesuai bagi Indonesia
serta didukung oleh mayoritas rakyatnya, adalah model demokrasi yang sejalan/sesuai
dengan nilai-nilai dasar bersama yang hidup dan dianut oleh segenap (mayoritas)
rakyatnya, apakah itu nilai-nilai dasar bersama yang bersumber pada Pancasila ataupun
dari sumber yang lainnya. Bila melihat keadaan penduduk Indonesia yang heterongen dan
multi partai maka yang cocok adalah model demokrasi konsensus, akan tetapi bila
berdasarkan UUD 1945 maka lebih condong ke model westminster karena memberikan
kekuasaan yang begitu besar kepada eksekutif. Bila dikaitkan kondisis saat ini Indonesia
mengunakan model demokrasi campuran antara westminster dan konsensus. Hal ini dapat
di lihat dengan posisi eksekutif dan legeslatif yang sama-sama kuat. Tetapi menurut saya
Indonesia bisa mengunakan model demokrasi apa saja, yang terpenting dapat
mensejahterakan rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Mirriam . Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara Jakarta, 2002.
Lijphart, Arendt.Democracies. Patterns of Majoritarian and Consensus Government in
Twenty-One Century. New Haven dan London : Yale University Press,1924