model pengeringan lapisan tipis gabah ketan (oryza sativa...
TRANSCRIPT
-
1. Makalah Yang Disajikan Dalam Seminar Hasil Penelitian Prodi Keteknikan Pertanian, UNHAS 2. Mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian, UNHAS
3. Dosen Jurusan Teknologi Pertanian, UNHAS 1
Model Pengeringan Lapisan Tipis Gabah Ketan (Oryza sativa glutinosa) Varietas
Setail dan Varietas Ciasem1)
Nur Rahmayanti (G411 10 262)2)
Dr. Ir. Supratomo, DEA dan Olly Sanny Hutabarat, STP., M.Si.3)
ABSTRAK
Ketan termasuk salah satu varietas dari ribuan varietas padi yang merupakan tumbuhan semusim. Beras
ketan yang dihasilkan dari padi ketan memiliki kandungan pati (amilosa dan amilopektin) yang berbeda
dengan beras non-ketan. Ketan memiliki kandungan amilosa yang rendah dan memiliki kandungan
amilopektin yang tinggi sehingga teksturnya lengket saat dimasak. Untuk menghasilkan beras ketan yang
bermutu dan bercita rasa tinggi diperlukan penanganan pascapanen yang baik terutama dalam pengeringan
gabah. Pengeringan ini bertujuan untuk menurunkan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat
memperlambat laju kerusakan gabah akibat aktivitas biologi dan kimia sebelum gabah diolah/digunakan.
Pengeringan lapisan tipis merupakan langkah mendasar dalam memahami perilaku pengeringan bahan
pangan hasil pertanian, termasuk gabah. Penelitian ini menggunakan gabah padi ketan varietas Setail (ketan
hitam) dan varietas Ciasem (ketan putih) yang diperoleh dari desa Sicini, kecamatan Parigi, kabupaten Gowa.
Dengan alat tray drier gabah dikeringkan menggunakan tiga level suhu (50, 55 dan 60oC) dan kecepatan
aliran udara 1.0 m/s. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin
cepat gabah mendekati kadar air kesetimbangan. Ketan hitam memiliki laju penguapan air yang lebih besar
dibandingkan dengan ketan putih di ketiga level suhu pengeringan. Ada lima jenis model pengeringan yang
diuji untuk mendeteksi perilaku MR (Moisture Ratio) yakni Model Newton, Model Henderson & Pabis,
Model Page, Model Thompson dan Model Two-Terms Exponential. Persamaan Model Page untuk tiga level
suhu dan dua jenis gabah menunjukkan nilai R2 yang paling besar dan nilai χ
2 dan RMSE terkecil
dibandingkan keempat persamaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Model Page adalah model
pengeringan yang terbaik karena memiliki kesesuaian yang besar terhadap karakteristik pengeringan lapisan
tipis padi ketan hitam dan ketan putih.
Kata kunci : Pengeringan Lapisan Tipis, Kadar Air, Ketan Hitam, Ketan Putih
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beras merupakan hasil dari salah satu tanaman pangan utama dari hampir setengah populasi dunia. Bagi
masyarakat Indonesia beras merupakan bahan pangan pokok sehari-hari. Beras dijadikan sumber karbohidrat
utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena mudah didapat, rasanya yang enak dan dapat
dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Ketan termasuk salah satu varietas dari ribuan varietas padi yang
merupakan tumbuhan semusim. Beras ketan yang dihasilkan dari padi ketan memiliki kandungan pati
(amilosa dan amilopektin) yang berbeda dengan beras non-ketan. Ketan memiliki kandungan amilosa yang
rendah dan memiliki kandungan amilopektin yang tinggi sehingga teksturnya lengket saat dimasak.
Kerusakan pada bahan pangan dapat disebabkan oleh terlambatnya proses pengeringan, proses
pengeringan yang terlalu lama atau terlalu cepat dan proses pengeringan yang tidak merata. Suhu yang terlalu
tinggi atau adanya perubahan suhu yang mendadak juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada padi
yang berdampak langsung pada mutu beras yang dihasilkan (Brooker et al., 1981), oleh karena itu diperlukan
sebuah model pengeringan yang dapat menjadi acuan pemodelan pengeringan lapisan tipis dari padi ketan.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan sebuah model pengeringan
lapisan tipis yang paling sesuai dengan padi ketan.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk mendapatkan model pengeringan lapisan tipis yang paling
sesuai dengan karakteristik padi ketan hitam dan ketan putih pada tiga level suhu (50, 55 dan 60oC) dan
kecepatan aliran udara 1.0 m/s.
Kegunaan penelitian yang dilaksanakan ini adalah sebagai referensi dasar permodelan pengeringan
lapisan tipis padi ketan dan menjadi bahan informasi untuk industri pengolahan tepung beras ketan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Padi
Di Indonesia, padi adalah tanaman pangan utama, disamping jagung, sagu, dan umbi-umbian.
Terpilihnya padi sebagai sumber karbohidrat utama adalah karena kelebihan-kelebihan sifat tanaman padi
-
2
dibandingkan tanaman sumber karbohidrat lainnya, antara lain (1) memiliki sifat produktivitas tinggi, (2)
padi dapat disimpan lama, (3) lahan sawah relatif tidak mengalami erosi (Winarno,1984).
Gambar 1. Tanaman Padi dan Anatomi Butir Padi
2.2 Padi Ketan
Padi ketan (Oryza sativa glutinosa) termasuk salah satu varietas dari ribuan varietas padi yang
merupakan tumbuhan semusim. Berdasarkan komposisi kimiawi beras, diketahui bahwa karbohidrat
penyusun utama beras ketan adalah pati. Pati merupakan karbohidrat polimer glukosa yang mempunyai 2
struktur yakni amilosa dan amilopektin. Molekul amilosa merupakan rantai lurus yang masing-masing unit
glukosa-nya dihubungkan oleh ikatan 1,4 alpha glukosidik. Molekul yang panjang dengan rantai lurus ini
membentuk Struktur Heliks. Rantai lurus amilosa terdiri atas 100-700 unit alpha D-glukosa dengan ikatan
1,4 alpha glukosidik (Haryadi, 2008).
Menurut Winarno (1984) struktur kimia amilopektin yang bercabang menyebabkan struktur gel yang
terbentuk lebih kompak dan lebih kuat dari pada amilosa. Beras ketan bisa dikatakan tidak memiliki amilosa
karena hanya mengandung 0-2% sehingga termasuk golongan beras dengan kandungan amilosa sangat
rendah (
-
3
terdapat dalam endosperma yang tersusun oleh granula-granula pati yang berukuran 3-10 milimikron. Beras
ketan juga mengandung vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral dan air. Komposisi kimiawi Beras
Ketan Putih terdiri dari Karbohidrat 79,4%; Protein 6,7%; Lemak 0,7%; Ca 0,012%; Fe 0,008%; P 0,148%;
Vit B 0,0002% dan Air 12% (Nailufar, 2012).
Gambar 3. Padi Ketan Varietas Ciasem
2.3 Konsep Dasar Pengeringan
Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan, yang memerlukan energi
panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh
media pengering yang biasanya berupa panas. Taib (1988) menyatakan proses pengeringan adalah proses
pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan
biji-bijian akibat aktivitas biologi dan kimia sebelum bahan diolah/digunakan. Tujuan pengeringan adalah
mengurangi kadar air bahan sampai batas di mana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang
dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat
mempunyai waktu simpan yang lama (Taufiq, 2004)
Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan :
2.3.1 Suhu Udara Pengering
Laju penguapan air bahan dalam pengeringan sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Semakin besar
perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah
panas ke dalam bahan pangan, sehingga penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat. Makin tinggi
suhu dan kecepatan aliran udara pengering makin cepat pula proses pengeringan berlangsung. Makin tinggi
suhu udara pengering makin besar energi panas yang dibawa udara sehingga makin banyak jumlah massa
cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Jika kecepatan aliran udara pengering makin
tinggi maka makin cepat pula massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfir (Taib, 1988).
2.3.2 Kelembaban Relatif (RH) Udara Pengering
Kelembaban relatif udara pengeringan menunjukkan kemampuan udara untuk menyerap uap air. Udara
panas di dalam ruang pengering secara perlahan akan memanaskan dan menguapkan massa air di dalam
butiran padi. Uap air tidak langsung keluar dari ruang pengering melainkan menjenuhkan udara di sekitar
bahan. Kelembaban berkurang disebabkan oleh perbedaan tekanan uap antara permukaan bahan dan
lingkungan. Semakin rendah kelembaban relatif udara pengeringan, maka kemampuannya dalam menyerap
uap air akan semakin besar. Hal sebaliknya akan terjadi jika kelembaban relatif udara pengeringan semakin
besar maka kemampuan dalam menyerap uap air akan semakin kecil (Widyotomo, 2005).
2.3.3 Kecepatan Aliran Udara Pengering
Laju aliran udara pengeringan berfungsi untuk membawa energi panas yang selanjutnya
mentransferkannya ke bahan dan membawa uap air keluar ruang pengering. Laju pengeringan yang cepat
dapat terjadi jika udara pengering memiliki kandungan panas yang lebih seragam dengan volume dan laju
aliran udara yang lebih besar sehingga memiliki kekuatan yang lebih besar pula untuk menembus lapisan
bahan. Untuk pengeringan lapisan tipis biji-bijian serealia umumnya menggunakan kecepatan antara 0,25-
2,33 m/s (Widyotomo, 2005).
2.3.4 Kadar Air Bahan
Kadar air menunjukkan jumlah air yang terkandung dalam bahan. Dua basis yang digunakan untuk
menunjukkan kandungan air dalam bahan adalah kadar air basis basah (MCwb) dan kadar air basis kering
-
4
MCdb). Kadar air basis basah adalah jumlah air yang terdapat dalam suatu massa bahan basah. Sedangkan
kadar air basis kering adalah jumlah air yang terdapat dalam suatu massa bahan padatan kering. Kadar air
basis basah (MCwb) dan kadar air basis kering (MCdb) ditunjukan dengan persamaan sebagai berikut
(Singh, 2009):
𝑀𝐶𝑤𝑏 =𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑖𝑟
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑖𝑟 +𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛× 100% .......(1)
𝑀𝐶𝑑𝑏 =𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑖𝑟
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛× 100% .......................(2)
Hubungan antara MCwb dan MCdb dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:
𝑀𝐶𝑤𝑏 = 𝑀𝐶𝑑𝑏
𝑀𝐶𝑑𝑏 +1 ..............................................(3)
𝑀𝐶𝑑𝑏 =𝑀𝐶𝑤𝑏
1−𝑀𝐶𝑤𝑏 ................................................(4)
2.3.5 Rasio Kelembaban
Rasio kelembaban (Moisture ratio) pada bahan pangan selama pengeringan dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
MR= Mt - Me
Mo- Me...........................................…..…..(5)
Dimana MR merupakan Moisture ratio (rasio kelembaban), Mt merupakan kadar air pada saat t (waktu
selama pengeringan, jam), Mo merupakan kadar air awal bahan, dan Me merupakan kadar air yang diperoleh
setelah berat bahan konstan. Nilai satuan Mt, Mo dan Me merupakan persentase dari kadar air basis kering
bahan (Garavand et al., 2011).
2.4 Mekanisme Pengeringan Bahan
Proses pengeringan pada bahan dimana udara panas dialirkan dapat dianggap suatu proses adiabatis.
Hal ini berarti bahwa panas yang dibutuhkan untuk penguapan air dari bahan hanya diberikan oleh udara
pengering tanpa tambahan energi dari luar. Ketika udara pengering menembus bahan basah, sebagian panas
sensibel udara pengering diubah menjadi panas laten sambil menghasilkan uap air (Taufiq, 2004).
Selama proses pengeringan terjadi penurunan suhu bola kering udara, disertai dengan kenaikan
kelembaban mutlak, kelembaban nisbi, tekanan uap dan suhu pengembunan udara pengering. Entalphi dan
suhu bola basah udara pengering tidak menunjukkan perubahan (Taufiq, 2004).
2.5 Laju Pengeringan
Dalam suatu proses pengeringan, dikenal adanya suatu laju pengeringan yang dibedakan menjadi dua
tahap utama, yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan terjadi
pada lapisan air bebas yang terdapat pada permukaan biji-bijian. Sedangkan laju pengeringan menurun terjadi
setelah periode pengeringan konstan selesai. Pada tahap ini kecepatan aliran air bebas dari dalam biji ke
permukaan lebih kecil dari kecepatan pengambilan uap air maksimum dari biji. Proses pengeringan dengan
laju menurun sangat tergantung pada sifat-sifat alami bahan yang dikeringkan. Laju perpindahan massa
selama proses ini dikendalikan oleh perpindahan internal bahan (Istadi, 2002).
Laju penguapan air dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Laju Penguapan Air =𝑤𝑡−𝑤𝑡−1
𝑡2−𝑡1..........................(6)
Dimana wt merupakan berat bahan pada waktu (t, jam) dan wt-1 merupakan berat awal bahan sebelum waktu
t serta t1 dan t2 merupakan perubahan waktu setiap jam. Laju penguapan air adalah banyaknya air yang
diuapkan setiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu.
2.6 Alat Pengeringan Tipe Rak
Alat pengeringan tipe rak (Tray drier) merupakan model pengering yang menggunakan sistem
pengering konveksi. Prinsip kerja alat pengering tipe rak adalah udara pengering dari ruang pemanas dengan
bantuan kipas akan bergerak menuju dasar rak dan melalui lubang-lubang yang terdapat pada dasar rak
tersebut akan mengalir melewati bahan yang dikeringkan dan melepaskan sebagian panasnya sehingga terjadi
proses penguapan air dari bahan. Di dalam penggunaan alat pengering ini perlu diperhatikan pengaturan
suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan tebal tumpukan bahan yang dikeringkan sehingga hasil kering
yang diharapkan dapat tercapai (Harrys, 2010).
2.7 Model Pengeringan Lapisan Tipis.
Pengeringan lapisan tipis menurut Henderson (1976) adalah proses pengeringan dimana udara
pengering mengalir langsung melewati lapisan bahan secara keseluruhan dengan kelembaban relatif dan suhu
udara yang konstan. Selanjutnya Henderson (1976) juga menjelaskan bahwa dalam metode pengeringan
lapisan tipis, udara panas yang mengalir dalam alat pengering akan menembus hamparan bahan yang
-
5
dikeringkan sehingga pengeringan berlangsung serentak dan merata di seluruh bahan yang selanjutnya
berdampak pada penurunan kadar air bahan selama proses pengeringan.
2.8 Model Pengeringan Lapisan Tipis Gabah
Menurut Basunia (2011) karakteristik pengeringan padi telah diuji oleh banyak peneliti dan berbagai
model untuk memprediksi tingkat pengeringan telah dilakukan dengan atau kurang sukses. Permodelan
matematika pengeringan sangat penting untuk optimasi parameter operasi dan perbaikan kinerja sistem
pengeringan. Model pengeringan dan pembasahan lapisan tipis untuk bulir padi yang paling umum
digunakan adalah Diffusion, Approximate form of diffusion, Page, Exponential dan Polinomial. Oleh karena
itu, model berikut dipilih untuk penelitian ini agar sesuai dengan data pengeringan yang diamati:
1. Persamaan Eksponensial Persamaan eksponensial yang digunakan adalah Model Newton. Model Newton merupakan
sebuah model matematika pengeringan lapisan tipis yang juga disebut Model Lewis. Lewis
mendeskripsikan bahwa perpindahan air dari makanan dan bahan pangan dapat ditunjukkan dengan
analogi aliran panas dari tubuh ketika tubuh direndam dalam cairan dingin (Kashaninejad et al., 2007).
MRNewton= exp (-kt) ....................…….. (7)
Dimana MRNewton merupakan rasio kelembaban (moisture ratio) dari Model Newton, k ialah konstanta
pengeringan dan t merupakan waktu pengeringan (jam).
2. Persamaan Page Model Page merupakan model yang dimodifikasi dari Model Lewis. Page menyarankan model ini
dengan tujuan untuk mengoreksi kekurangan-kurangan dari Model Lewis. Model Page telah
menghasilkan simulasi yang sesuai untuk menjelaskan pengeringan produk pertanian yang banyak dan
juga lebih mudah digunakan dibandingkan dengan persamaan lainnya dimana perpindahan uap air
secara difusi yang lebih sulit secara teoritis serta yang memerlukan waktu komputasi dalam proses
pemasangan data (Kashaninejad et al., 2007).
MRPage= exp (-ktn).......................…….. (8)
Dimana MRPage merupakan rasio kelembaban (moisture ratio) dari Model Page, k merupakan konstanta
pengeringan, n merupakan konstanta pengeringan, nilai n bervariasi tergantung pada materi yang
digunakan dan t merupakan waktu pengeringan (jam).
3. Persamaan Approximate Form of Diffusion Persamaan Approximate Form of Diffusion untuk pengeringan lapisan tipis yang sering digunakan
adalah Model Henderson dan Pabis. Ada berbagai model pendekatan yang telah digunakan oleh para
peneliti dalam pemodelan pengeringan terkait karakteristik produk makanan dan bahan pertanian.
Bentuk paling sederhana dari berbagai model pendekatan tersebut direpresentasikan sebagai Model
Henderson dan Pabis sebagai bentuk sederhana dari serangkaian bentuk penyelesaian umum hukum
Fick II (Kashaninejad et al., 2007).
MRHenderson & Pabis=a exp (-kt)................. (9)
Dimana MRHenderson & Pabis merupakan rasio kelembaban (moisture ratio) dari Model Henderson dan
Pabis, a dan k merupakan konstanta pengeringan serta t merupakan waktu pengeringan (jam).
4. Persamaan Eksponensial Orde Kedua Selain menggunakan model eksponensial berupa model newton, terdapat pula persamaan
Exponential orde kedua yang sering digunakan pada pengeringan lapisan tipis padi yang dikenal sebagai
Model Two-terms Exponential. Shyamali (2009) menyatakan dalam jurnal penelitiannya bahwa Model
Two-terms Exponential ditemukan paling cocok dengan data eksperimen dan direkomendasikan sebagai
model pengeringan lapisan tipis untuk padi dengan rumus :
MRTwo −termsExp = a. exp(-kt) + (i-a) exp(-kbt)............................................................(10)
Dimana MRTwo-terms Exponential merupakan rasio kelembaban (moisture ratio) dari Model Two-terms
Exponential, a, b dan k merupakan konstanta pengeringan serta t merupakan waktu pengeringan (jam). 5. Persamaan Polinomial
Menurut Basunia (2011) persamaan Polinomial yang sering digunakan dalam pengeringan lapisan
tipis adalah Persamaan Polinomial Orde Kedua yang dikenal sebagai model Thompson. Persamaan ini
menggunakan formulasi seperti berikut ini :
MRThompson = a + bt + ct2................(11)
Dimana, MRThompson merupakan rasio kelembaban (moisture ratio) dari Model Thompson, t adalah
waktu pengeringan (jam), a, b dan c adalah konstanta pengeringan.
-
6
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari-Maret 2014 di Laboratorium Processing Program
Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengering Tray Drier Model EH-TD-300
Eunha Fluid Science, timbangan dijital (ketelitian 0,001 g), desikator, oven, kamera dijital, termometer,
anemometer, baskom dan tempat penirisan.
Bahan yang digunakan adalah padi ketan varietas Setail dan varietas Ciasem yang diperoleh dari
desa Sicini, kecamatan Parigi, kabupaten Gowa. Bahan lainnya yaitu air, plastik kedap udara dan kawat
kasa.
3.3 Bagan alir
Berikut ini bagan alir dari penelitian yang telah dilaksanakan :
Gambar 4. Bagan Alir Prosedur Penelitian
Ya
Tidak
Bahan disimpan dalam desikator setiap hari setelah dilakukan pengukuran
selama 8 jam
Mulai
Persiapan bahan Padi Ketan Varietas Setail dan Ciasem
Penimbangan wadah bahan
Pengisian bahan ke dalam wadah
Penimbangan wadah yang telah berisi bahan
Perendaman bahan selama 24 jam dan penirisan selama 24 jam
Pengeringan dengan tray drier, suhu 50, 55 dan 60°C dengan kecepatan
aliran udara 1 m/s
Pengukuran Talat dan Truang setiap interval waktu pengeringan
Pengukuran berat bahan setiap interval waktu pengeringan
Pengukuran TBB dan TBK bahan setiap interval waktu pengeringan
Berat bahan konstan
Bahan dimasukkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 105oC untuk
menentukan kadar air bahan
Selesai
-
7
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Pengeringan
Proses pengeringan merupakan proses perpindahan panas dan massa yang terjadi secara simultan.
Proses ini dipengaruhi oleh kondisi suhu dan kelembaban relatif (RH) udara pengering (Mahadi, 2007).
Ketika suhu udara pengering (Tin) mengalami kenaikan, udara panas akan dihembuskan oleh kipas melewati
seluruh permukaan bahan. Akibat perbedaan suhu dimana suhu udara pengering lebih tinggi dibandingkan
suhu dalam bahan, maka akan terjadi proses perpindahan panas dari lingkungan ke dalam bahan. Perpindahan
ini menyebabkan terjadinya perpindahan massa air yang ada dalam bahan menuju ke permukaan dan
menguap ke udara. Kandungan uap air yang dibawa oleh udara pengering menyebabkan RH udara pengering
cenderung meningkat sedangkan suhu udara (Tout) cenderung mengalami penurunan (Brooker et al., 1981).
Pada Tabel 1 berikut ini disajikan nilai kadar air awal dan kelembaban relatif untuk tiga level suhu
pengeringan.
Tabel 1. Kondisi Pengeringan Gabah Ketan Hitam dan Ketan Putih
Gabah
Kadar Air Basis Kering
(KABK) (%) Rata-
Rata
Kelembaban Relatif (RH)
(%) Rata-
Rata T :
50oC
T :
55oC
T :
60oC
T :
50oC
T :
55oC
T :
60oC
Ketan
Hitam 44,04 45,17 45,68 44,96
45,78 35,78 35,47 39,01 Ketan
Putih 45,27 45,66 46,62 45,85
Sumber : Data primer setelah diolah, 2014.
4.2 Pola Penurunan Kadar Air
Hasil penelitian pengeringan padi ketan dari dua varietas berbeda pada kecepatan aliran udara 1.0 m/s
menggunakan tiga level perubahan suhu pengeringan (50, 55 dan 60oC) menunjukkan pola perubahan kadar
air selama proses pengeringan mengalami penurunan. Semakin lama proses pengeringan maka penurunan
kadar air bahan akan semakin jelas terlihat. Hubungan antara lama proses pengeringan terhadap penurunan
kadar air basis kering dapat diperhatikan pada Gambar 5,6,7,8 dan 9 berikut ini.
Gambar 5. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering Selama Proses Pengeringan Untuk Suhu 50oC
0
10
20
30
40
50
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Kad
ar A
ir B
asis
Ker
ing (
%)
Lama Pengeringan (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
-
8
Gambar 6. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering Selama Proses Pengeringan Untuk Suhu 55oC.
Gambar 7. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering Selama Proses Pengeringan Untuk Suhu 60oC.
Gambar 8. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering Ketan Hitam Selama Proses Pengeringan Pada Tiga
Level Suhu
0
10
20
30
40
50
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Kad
ar A
ir B
asis
Ker
ing (
%)
Lama Pengeringan (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
0
10
20
30
40
50
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Kad
ar A
ir B
asis
Ker
ing (
%)
Lama Pengeringan (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
0
10
20
30
40
50
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Kad
ar A
ir B
asis
Ker
ing (
%)
Lama Pengeringan (Jam)
T : 50ᵒC T : 55ᵒC T : 60ᵒC
-
9
Gambar 9. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering Ketan Putih Selama Proses Pengeringan Pada Tiga
Level Suhu
Gambar 5, 6 dan 7 merupakan grafik yang menunjukkan pola penurunan kadar air basis kering bahan
pada tiga level suhu (50, 55 dan 60oC). Grafik di atas menunjukkan bahwa pengeringan padi ketan pada suhu
50oC membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama untuk mencapai kadar air kesetimbangan yaitu 1095
menit (18,25 jam) untuk ketan hitam dan 1120 menit (18,67 jam) untuk ketan putih dibandingkan dengan
pengeringan padi ketan pada suhu 55oC dan suhu 60
oC. Sebaliknya pada suhu 60
oC, pengeringan padi ketan
lebih cepat yaitu 845 menit (14,08 jam) untuk ketan hitam dan 870 menit (14,50 jam) untuk ketan putih
dibandingkan pengeringan pada suhu 50 dan 55
oC.
Gambar 5, 6 dan 7 memperlihatkan pola penurunan kadar air basis kering dari ketan hitam dan ketan
putih. Kadar air awal padi ketan pada suhu pengeringan 50oC sebesar 44,04% dikeringkan hingga kadar air
kesetimbangan sebesar 3,10% untuk ketan hitam dan dari kadar air 44,594% hingga 3,44% untuk ketan
putih, pada suhu pengeringan 55ᵒC ketan hitam dikeringkan dari kadar air 45,12 % hingga 4,383% dan dari
kadar air 45,66% hingga 5,01% untuk ketan putih. Dan pada suhu pengeringan 60ᵒC ketan hitam dikeringkan
dari kadar air 45,68% hingga 4,37% dan dari 46,62% hingga 5,15% untuk ketan putih. Kadar air awal dan
kadar air kesetimbangan ketan hitam dan ketan putih nilainya hampir sama besar tetapi memilki perbedaan
waktu pengeringan akibat perbedaan suhu pengeringan.
Gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa kenaikan suhu pengering semakin mempercepat waktu
pengeringan bahan untuk mencapai kadar air kesetimbangan, dimana semakin tinggi suhu udara pengering
semakin cepat pula penurunan kadar air bahan. Pada Gambar 8 dan 9 memperlihatkan bahwa setiap kenaikan
suhu udara pengering penurunan kadar air ketan hitam dan ketan putih semakin cepat. Hal ini sesuai dengan
Sitkey (1986) yang menyatakan bahwa suhu bahan selama proses pengeringan tidak hanya dipengaruhi oleh
kadar air awal dan kadar air akhir bahan namun suhu udara pengering akan sangat mempengaruhi suhu
bahan. Ketika suhu pengering lebih tinggi maka akan mempercepat proses pengeringan.
4.3 Pola Penurunan Laju Penguapan Air
Selama proses pengeringan, dikenal adanya laju penguapan air. Laju penguapan air menjelaskan
banyaknya air pada bahan yang mengalami penguapan selama proses pengeringan. Semakin besar laju
penguapan air maka semakin cepat bahan mencapai berat konstan dan semakin sedikit waktu yang
dibutuhkan. Laju penguapan air dipengaruhi oleh suhu pengeringan. Semakin tinggi suhu pengeringan maka
semakin tinggi pula laju penguapan air bahan. Hubungan antara suhu pengeringan terhadap lama proses
pengeringan dan laju penguapan air dapat diperhatikan pada Gambar 10, 11, 12, 13 dan 14 berikut ini.
0
10
20
30
40
50
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Kad
ar A
ir B
asis
Ker
ing (
%)
Lama Pengeringan (Jam)
T : 50ᵒC T : 55ᵒC T : 60ᵒC
-
10
Gambar 10. Pola Penurunan Laju Penguapan Air Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 50oC
Gambar 11. Pola Penurunan Laju Penguapan Air Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 55oC
Gambar 12. Pola Penurunan Laju Penguapan Air Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 60oC
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Laj
u P
enguap
an A
ir (
gH
2O
/jam
)
Lama Pengeringan (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Laj
u P
enguap
an A
ir (
gH
2O
/jam
)
Lama Pengeringasn (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Laj
u P
enguap
an A
ir (
gH
2O
/jam
)
Laama Pengeringan (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
-
11
Gambar 13. Pola Penurunan Laju Penguapan Air Ketan Hitam Selama Proses Pengeringan Pada Tiga Level
Suhu
Gambar 14. Pola Penurunan Laju Penguapan Air Ketan Putih Selama Proses Pengeringan Pada Tiga Level
Suhu
Gambar 10, 11 dan 13 menunjukkan perubahan nilai laju penguapan air untuk tiga level suhu
pengeringan. Dari gambar tersebut terlihat bahwa perubahan laju penguapan air pada padi ketan mengalami
peningkatan di setiap peningkatan suhu pengeringan. Hal ini ditunjukkan pada grafik dimana pada periode
awal pengeringan terjadi penurunan yang besar kemudian semakin mengalami penurunan hingga bahan
mencapai kadar air kesetimbangan. Kecenderungan bahan mengalami penurunan kadar air lebih besar selama
proses pengeringan dipengaruhi oleh suhu pengeringan yang besar pula, sehingga mempengaruhi besarnya
penurunan laju penguapan air. Hal ini ditunjukkan pada suhu 60oC selama periode awal pengeringan, dimana
tingkat penurunan laju penguapannya lebih besar dibandingkan dengan suhu 55 dan 50oC. Sedangkan pada
suhu 50oC tingkat penurunan laju penguapannya lebih kecil dibandingkan suhu 55
dan 60
oC.
Laju penguapan ketan hitam lebih besar dari ketan putih sebagaimana terlihat pada Gambar 10, 11 dan
12 di atas. Laju penguapan air awal pada suhu 50oC untuk ketan hitam sebesar 8,83 gH2O/jam dan untuk
ketan putih sebesar 6,39 gH2O/jam. Pada suhu 55oC laju penguapan air awal ketan hitam 10,21 gH2O/jam
dan 7,53 gH2O/jam untuk ketan putih. Dan untuk suhu 60oC laju penguapan wal ketan hitam sebesar 11,38
gH2O/jam dan 10,21 gH2O/jam untuk ketan putih. Laju penguapan air akan semakin kecil hingga berat bahan
konstan.
Pada Gambar 13 dan 14 memperlihatkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka laju penguapan
air bahan akan semakin besar. Ketan hitam dengan suhu pengeringan 60oC memiliki laju penguapan air yang
lebih besar dari ketan hitam dengan suhu pengeringan 50 dan 55
oC dan sebaliknya. Sama halnya dengan
ketan hitam, ketan putih pun mengalami kenaikan laju penguapan air di setiap kenaikan suhu udara
pengering. Meningkatnya laju penguapan air menyebabkan waktu pengeringan lebih cepat. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Taib (1988) yang menyatakan bahwa Laju penguapan air bahan dalam pengeringan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Laj
u P
enguap
an A
ir (
H2O
/Jam
)
Lama Pengeringan (Jam)
T : 50ᵒC T : 55ᵒC T : 60ᵒC
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Laj
u P
enguap
an A
ir (
H2
O/J
am)
Lama Pengeringan (Jam)
T : 50ᵒC T : 55ᵒC T : 60ᵒC
-
12
sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan
yang dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan, sehingga penguapan
air dari bahan akan lebih banyak dan cepat. Makin tinggi suhu udara pengering makin besar energi panas
yang dibawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang
dikeringkan.
Laju penguapan air mempengaruhi kadar air bahan. Semakin banyak air yang menguap dari dalam
bahan akibat tingginya suhu di luar permukaan bahan maka kadar air di dalam bahan semakin kecil.
Hubungan antara penurunan kadar air dan laju penguapan air dapat dilihat pada Gambar 15, 16, 17, 18 dan
19 berikut ini.
Gambar 15. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering dan Laju Penguapan Air Ketan Hitam Selama Proses
Pengeringan Pada Suhu 50oC
Gambar 16. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering dan Laju Penguapan Air Ketan Hitam Selama Proses
Pengeringan Pada Suhu 55oC
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
05101520253035404550
Laj
u P
enguap
an A
ir (
gH
2O
/Jam
)
Kadar Air Basis Kering (%)
Ketan Hitam Ketan Putih
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
05101520253035404550
Laj
u P
enguap
an A
ir (
gH
2O
/Jam
)
Kadar Air Basis Kering(%)
Ketan Hitam Ketan Putih
-
13
Gambar 17. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering dan Laju Penguapan Air Ketan Hitam Selama Proses
Pengeringan Pada Suhu 60oC
Gambar 18. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering dan Laju Penguapan Air Ketan Hitam Selama Proses
Pengeringan Pada Tiga Level Suhu
Gambar 19. Pola Penurunan Kadar Air Basis Kering dan Laju Penguapan Air Ketan Putih Selama Proses
Pengeringan Pada Tiga Level Suhu
Gambar 15, 16 dan 17 di atas memperlihatkan hubungan antara kadar air dan laju penguapan air ketan
hitam dan ketan putih pada suhu pengeringan 50, 55 dan 60oC. Besar kecilnya laju penguapan air ketan hitam
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
05101520253035404550
Laj
u P
enguap
an A
ir (
gH
2O
/Jam
)
Kadar Air Basis Kering (%)
Ketan Hitam Ketan Putih
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
05101520253035404550
Laj
u P
enguap
an A
ir
(gH
2O
/Jam
)
Kadar Air Basis Kering (%)
T : 50ᵒC T : 55ᵒC T : 60ᵒC
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
05101520253035404550
Laj
u P
enguap
an A
ir
(gH
2O
/Jam
)
Kadar Air Basis Kering (%)
T : 50ᵒC T : 55ᵒC T : 60ᵒC
-
14
dan ketan putih dipengaruhi pula oleh kandungan air dalam bahan dan suhu pengeringan. Pada Gambar 18
dan 19 memperlihatkan bangaimana kenaikan suhu pengeringan mempengaruhi besarnya laju penguapan dan
besarnya penurunan kadar air bahan. Kandungan air bebas ketan hitam lebih banyak dari pada ketan putih,
hal inilah yang menyebabkan ketan hitam memiliki laju penguapan air awal yang lebih besar dari pada ketan
putih, sedangkan ketan putih memliki kandungan air terikat yang lebih banyak sehingga pada awal
pengeringan memiliki laju penguapan yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ismandari (2008)
yang menyatakan bahwa perubahan laju penguapan terlihat fluktuatif selama periode akhir pengeringan
namun cenderung terus mengalami penurunan. Penurunan kadar air yang fluktuatif menjelaskan bahwa air
dalam bahan masih berpotensi untuk mengalami penguapan selama periode akhir pengeringan. Hal tersebut
terjadi sebab selama proses pengeringan, terutama pengeringan biji-bijian, selain adanya air bebas yang
cenderung lebih mudah menguap selama periode awal pengeringan, adapula air terikat yaitu air yang sulit
untuk bergerak naik ke permukaan bahan selama pengeringan sehingga laju penguapan air semakin lama
semakin menurun.
4.4 Pola Penurunan Moisture Ratio
Proses pengeringan yang telah dilakukan tidak hanya menunjukkan penurunan laju kadar air padi ketan,
tetapi juga memperlihatkan terjadinya penurunan nilai Moisture ratio (MR) selama proses pengeringan
berlangsung untuk masing-masing suhu pengeringan. Kenaikan suhu udara pengeringan mengurangi waktu
yang diperlukan untuk mencapai setiap tingkat rasio kelembaban sejak proses transfer panas dalam ruang
pengeringan meningkat. Sedangkan pada suhu tinggi, perpindahan panas dan massa juga meningkat dan
kadar air bahan akan semakin berkurang. Laju penurunan nilai MR terhadap waktu pengeringan ditunjukkan
pada Gambar 20, 21, 22, 23 dan 24 berikut ini.
Gambar 20. Pola Penurunan Moisture ratio (MR) Selama Proses Pengeringan Untuk Suhu 50oC
Gambar 21. Pola Penurunan Moisture ratio (MR) Selama Proses Pengeringan Untuk Suhu 55oC
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
1,1
1,2
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Mo
istu
re R
atio
Lama Pengeringan (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
1,1
1,2
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Mois
ture
Rat
io
Lama Pengeringan (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
-
15
Gambar 22. Pola Penurunan Moisture ratio (MR) Selama Proses Pengeringan Untuk Suhu 60oC
Gambar 23. Pola Penurunan Moisture ratio (MR) Ketan Hitam Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level
Suhu
Gambar 24. Pola Penurunan Moisture ratio (MR) Ketan Putih Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level
Suhu
Berdasarkan Gambar 20, 21 dan 22 di atas, penurunan nilai MR (Moisture ratio) yang terjadi sejalan
dengan penurunan nilai kadar air bahan selama proses pengeringan. Perubahan nilai MR sangat dipengaruhi
oleh nilai perubahan kadar air basis kering bahan. Bahan dengan kadar air yang rendah memiliki nilai MR
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
1,1
1,2
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Mois
ture
Rat
io
Lama Pengeringan (Jam)
Ketan Hitam Ketan Putih
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
1,1
1,2
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Mo
istu
re R
atio
Lama Pengeringan (Jam)
T : 50ᵒC T : 55ᵒC T : 60ᵒC
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
1,1
1,2
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Mois
ture
Rat
io
Lama Pengeringan (Jam)
T : 50ᵒC T : 55ᵒC T : 60ᵒC
-
16
kecil. Pada Gambar 23 dan 24 memperlihatkan bahwa peningkatan suhu pengeringan memperkecil nilai MR
karena kadar air bahan pada suhu pengeringan yang tinggi cepat mengalami penurunan sehingga nilai MR
juga kecil. Nilai MR diatas, selanjutnya digunakan untuk menentukan model pengeringan terbaik dari ketan
hitam dan ketan putih.
4.5 Model Pengeringan Lapisan Tipis
Ada lima jenis model pengeringan yang akan diuji pada penelitian ini untuk mendeteksi perilaku MR
yang terdapat pada Gambar 20 sampai Gambar 24 di atas. Kelima model disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Daftar Model Pengeringan Lapisan Tipis yang Diuji
Model Pengeringan Bentuk Eksponensial
Newton MR : exp(-kt)
Henderson & Pabis MR : a.exp(-kt)
Page MR : exp(-ktn)
Thompson MR : a + bt + bt2
Two-terms Exponential MR : a.exp(-kt) + (i-a).exp(-kbt)
Sumber : Meisami dkk., 2010.
Penentuan nilai konstanta k, i, a, b, c dan n setiap model pengeringan di atas membutuhkan aplikasi dari
Microsoft Office Excel Solver dalam penentuannya. Analisis didasarkan pada usaha untuk meminimalkan
total kuadrat selisih dari MR Observasi dan MR Prediksi. Solver akan otomatis mencari dan menampilkan
nilai konstanta yang ada pada model terkait sehingga total kuadrat selisih antara MR Observasi dan MR
Prediksi bernilai minimal. Nilai R2
(Coefficient of Determinat), χ2 (Chi Square) dan RMSE (Root Mean
Square Error) digunakan untuk melihat tingkat kesesuaian model pengeringan dengan hasil observasi. Untuk
nilai R2
mendekati nilai 1, maka tingkat kesesuaian model pengeringan dengan hasil observasi sangat besar.
Untuk nilai χ2 dan RMSE apabila mendekati nilai nol menunjukkan bahwa model pengeringan mendekati
hasil observasi. Nilai dari setiap konstanta pada masing-masing model pengeringan yang diuji dapat dilihat pada Tabel
7 berikut ini.
Tabel 3. Hasil Analisa Persaman Matematika Model Pengeringan T
(oC)
Model
Pengeringan Ketan k i a b c n R
2
50
Newton Hitam 0,273
0,997
Putih 0,247
0,998
Henderson &
Pabis
Hitam 0,280 1,029
0,997
Putih 0,260 1,052
0,997
Page Hitam 0,228 1,121 0,998
Putih 0,190 1,167 0,999
Thompson Hitam 0,878 -0,141 0,005
0,977
Putih 0,910 -0,139 0,005
0,974
Two-terms Exponential Hitam 0,268 1,034 1,017 0,355
0,997
Putih 0,247 1,054 1,039 0,461
0,996
55
Newton Hitam 0,292
0,995
Putih 0,256
0,992
Henderson &
Pabis
Hitam 0,296 1,016
0,994
Putih 0,270 1,057
0,989
Page Hitam 0,251 1,103 0,996
Putih 0,176 1,240 0,996
Thompson Hitam 0,894 -0,161 0,007
0,988
Putih 0,950 -0,162 0,007
0,995
Two-terms Exponential Hitam 0,275 1,021 0,997 0,443
0,997
Putih 0,242 1,060 1,031 0,616
0,993
60
Newton Hitam 0,329
0,994
Putih 0,308
0,994
Henderson & Pabis
Hitam 0,331 1,006
0,994
Putih 0,321 1,044
0,992
Page Hitam 0,299 1,073 0,994
Putih 0,235 1,196 0,997
Thompson Hitam 0,880 -0,174 0,008
0,985
Putih 0,920 -0,178 0,008
0,990
Two-terms Exponential Hitam 0,309 1,003 0,989 0,675
0,996
Putih 0,296 1,054 1,025 0,388
0,994
Sumber : Data primer setelah diolah, 2014.
-
17
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa Model Page dengan tiga level suhu berbeda (50, 55 dan 60oC) dan
kecepatan aliran udara 1.0 m/s untuk ketan hitam dan ketan putih memiliki nilai R2
yang lebih besar
dibandingkan empat persaman lainnya yakni Model Newton, Model Henderson & Pabis, Model Thompson
dan model Two-terms Exponential. Hal ini menunjukkan bahwa Model Page adalah model terbaik untuk
merepresentasikan pengeringan lapisan tipis gabah ketan hitam dan ketan putih karena memiliki nilai
kesesuaian yang besar terhadap karakteristik lapisan tipis padi ketan. Untuk memastikan bahwa Model Page
merupakan model yang terbaik, pada Tabel 4 berikut ini disajikan nilai R2 (Coefficient of Determinat) serta
hasil perhitungan χ2 (Chi Square) dan RMSE (Root Mean Square Error). Karena menurut Nugroho (2012)
kesesuaian antara data eksperimen/observasi dengan thin layer model/prediksi model dievaluasi berdasarkan
nilai dari besarnya R2 (Coefficient of Determinat), penurunan χ
2 (Chi Squere) dan RMSE (Root Mean Square
Error). Fitting terbaik akan mempunyai nilai R2 terbesar dan mempunyai χ
2 dan RMSE terkecil.
Tabel 4. Nilai R2, χ
2 dan RMSE Pengeringan Padi Ketan
T
(oC)
Model Pengeringan Ketan χ2 RMSE R
2
50
Newton Hitam 4,327×10
-4 0,0206 0,997
Putih 5,907×10-4
0,0241 0,998
Henderson & Pabis Hitam 3,797×10
-4 0,0192 0,997
Putih 3,884×10-4
0,0194 0,997
Page Hitam 1,540×10
-4 0,0122 0,998
Putih 5,028×10-5
0,0070 0,999
Thompson Hitam 1,944×10
-3 0,0430 0,977
Putih 2,821×10-3
0,0518 0,981
Two-terms Exponential Hitam 2,199×10
-4 0,0143 0,997
Putih 9,546×10-4
0,0298 0,996
55
Newton Hitam 6,263×10
-4 0,0248 0,995
Putih 1,567×10-3
0,0392 0,992
Henderson & Pabis Hitam 6,193×10
-4 0,0244 0,994
Putih 1,310×10-3
0,0355 0,989
Page Hitam 4,102×10
-4 0,0199 0,996
Putih 4,565×10-4
0,0210 0,996
Thompson Hitam 9,764×10
-4 0,0303 0,988
Putih 4,320×10-4
0,0202 0,995
Two-terms Exponential Hitam 2,946×10
-4 0,0165 0,997
Putih 6,602×10-4
0,0247 0,993
60
Newton Hitam 6,116×10
-4 0,0245 0,994
Putih 1,054×10-3
0,0321 0,994
Henderson & Pabis Hitam 6,219×10
-4 0,0244 0,994
Putih 9,191×10-4
0,0297 0,992
Page Hitam 5,098×10
-4 0,0221 0,994
Putih 3,452×10-4
0,0182 0,997
Thompson Hitam 1,196×10
-3 0,0335 0,985
Putih 9,147×10-4
0,0293 0,990
Two-terms Exponential Hitam 3,455×10
-4 0,0178 0,996
Putih 5,068×10-4
0,0216 0,994
Sumber : Data primer setelah diolah, 2014.
4.6 Hubungan Antara MR Prediksi Model Page dengan MR Hasil Observasi
Nilai MR prediksi dihitung berdasarkan nilai konstanta k dan n pada Tabel 3 di atas untuk ketan hitam
dan ketan putih pada tiga level suhu (50, 55 dan 60oC). Hasilnya kemudian disajikan dalam bentuk grafik
bersama nilai MR observasi. Grafik tersebut menunjukkan nilai MR prediksi Model Page dengan MR hasil
observasi seperti yang ditunjukkan dengan nilai ‘slope’ yang mendekati 1.0 dan R2
yang mendekati 1.0.
Kesesuaian model matematis dengan data yang digunakan dapat ditunjukkan dengan besarnya nilai R2 atau
juga disebut koefisien determinasi. Koefisien determinasi menunjukkan seberapa kesalahan dalam
mempertimbangkan y dapat direduksi dengan menggunakan informasi yang dimiliki variabel. Model tersebut
diangggap sempurna apabila nilai R2
= 1, dengan kata lain R2
merupakan petunjuk validasi data dimana
0,8
-
18
Gambar 25. Grafik Hubungan MR Model Page Dan MR Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan
Untuk Suhu 50oC
Gambar 26. Grafik Hubungan MR Model Page Dan MR Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan
Untuk Suhu 55oC
Gambar 27. Grafik Hubungan MR Model Page Dan MR Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan
Untuk Suhu 60oC
Ketan Hitam
y = exp (-0,228*(t)1,121)
RMSE = 0,0122
Ketan Putih
y = exp (-0,190*(t)1,167)
RMSE = 0,0070
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
MR
Pre
dik
si
MR Observasi
T : 50ᵒC Ketan Hitam T : 50ᵒC Ketan Putih Linear (T : 50ᵒC Ketan Hitam) Linear (T : 50ᵒC Ketan Putih)
Ketan Hitam
y = exp (-0,251*(t)1,103)
RMSE = 0,0199
Ketan Putih
y = exp (-0,176(t)1,240)
RMSE = 0,0210
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
MR
Pre
dik
si
MR Observasi
T : 55ᵒC Ketan Hitam T : 55ᵒC Ketan Putih Linear (T : 55ᵒC Ketan Hitam) Linear (T : 55ᵒC Ketan Putih)
Ketan Hitam
y = exp (-0,299*(t)1,073)
RMSE = 0,0221
Ketan Putih
y = exp (-0,235*(t)1,196)
RMSE = 0,0182
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
MR
Pre
dik
si
MR Observasi
T : 60ᵒC Ketan Hitam T : 60ᵒC Ketan Putih Linear (T : 60ᵒC Ketan Hitam) Linear (T : 60ᵒC Ketan Putih)
-
19
Gambar 25, 26 dan 27 menunjukkan perbedaan nilai konstanta (k dan n) dari Model Page (MR = exp (-
ktn) untuk menentukan nilai MR prediksi dari ketan hitam dan ketan putih pada pengeringan dengan tiga
level suhu (50, 55 dan 60oC). Pada pengeringan dengan suhu 50
oC nilai R
2 dari MR
observasi ketan hitam
dengan nilai MR Model Page yang didapatkan dari rumus MR = exp (-0,228*(t)1,121
) sebesar 0,998 dan R2
dari MR
observasi ketan putih dengan nilai MR Model Page yang didapatkan dari rumus
MR = exp (-0,190*(t)1,167
) sebesar 0,999. Pada pengeringan dengan suhu 55oC nilai R
2 dari MR
observasi
ketan hitam dengan nilai MR Model Page yang didapatkan dari rumus MR = exp (-0,251*(t)1,103
) sebesar
0,996 dan R2 dari MR
observasi ketan putih dengan nilai MR Model Page yang didapatkan dari rumus MR =
exp (-0,176*(t)1,240
) sebesar 0,996. Pada pengeringan dengan suhu 60oC nilai R
2 dari MR
observasi ketan
hitam dengan nilai MR Model Page yang didapatkan dari rumus MR = exp (-0,299*(t)1,073
) sebesar 0,994 dan
R2
dari MR observasi ketan putih dengan nilai MR Model Page yang didapatkan dari rumus MR = exp (-
0,235*(t)1,196
) sebesar 0,997. Penentuan nilai MR Model Page dari penelitian ini hanya berlaku untuk
pengeringan lapisan tipis gabah ketan dengan interval suhu 50 < T > 60 dan interval kelembaban relatif 30 <
RH > 60 serta dengan kecepatan udara pengeringan 1.0 m/s.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada gabah ketan hitam dan ketan putih dapat disimpulkan
bahwa :
1. Penurunan kadar air basis kering ketan hitam lebih besar dari ketan putih sehingga lebih cepat mencapai kadar air kesetimbangan.
2. Padi ketan hitam memiliki laju penguapan air lebih besar daripada ketan putih di tiga level suhu pengeringan.
3. Model pengeringan yang paling sesuai untuk padi ketan hitam dan ketan putih adalah Model Page. 4. Kesesuaian antara MRobservasi dengan MRModel Page untuk ketan putih lebih baik daripada ketan hitam
berdasarkan nilai R2.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dalam pengembangan model pengeringan lapisan tipis gabah
ketan selain 5 model yang digunakan dalam peneitian ini dengan kontrol suhu pengeringan, RH dan
kecepatan aliran udara yang berbeda dengan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai bahan
perbandingan.
DAFTAR PUSTAKA
Basunia, M.A. dan M.A., Rabbani. 2011. Best Fitted Thin-Layer Re-Wetting Model for Medium-Grain Rough
Rice. Journal of Stored Products and Postharvest Research Vol. 2 (9), Hal. 176-183.
Brooker, D.B., F.W., Bakkerarkema dan C.W., Hall. 1981. Drying Cereal Grains. Avi Publishing Company
Inc. West Port, Connecticut.
Garavand, A.T., Shahin, R dan Alireza, K. 2011. Mathematical Modeling of Thin Layer Drying Kinetics of
Tomato Influence of Air Dryer Conditions. International Transaction Journal of Engineering,
Management, & Applied Science & Technologies Vol. 2, No. 2, Hal.147-160.
Harrys, P.M.J. 2010. Uji Lama Pengeringan dan Tebal Tumpukan pada Pengeringan Ubi Jalar dengan Alat
Pengering Surya Tipe Rak. Departemen Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Henderson, S.M. dan R.L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd ed. The AVI Publ. Co., Inc,
Wesport, Connecticut, USA.
Ismandari, T., L. Hakim, C. Hidayat, Supriyanto dan Y. Pranoto. 2008. Pengeringan Kacang Tanah (Arachis
hypogaeal) Menggunakan Solar Dryer. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian.
Yogyakarta.
Istadi, S.S. dan D. Soetrisnanto. 2002. Penentuan Konstanta Pengeringan dalam Sistem Pengeringan Lapis
Tipis (Thin Layer Dring). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia. Inovasi Produk
Berkelanjutan, Hotel Sahid Jaya Jakarta.
Kashaninejad, M., A. Mortazavi, A. Safekordi dan L.G.,Tabil. 2007. Thin Layer Drying Characteristics and
Modeling of Pistachio Nuts. Journal of Food Engineering Vol. 78, Hal. 98-108.
-
20
Mahadi. 2007. Model Sistem dan Analisa Pengering Produk Makanan. USU Repository. Universitas
Sumatera Utara.
Meisami, asl E., S. Rafiee, A. Keyhani dan A. Tabatabaeefar. 2010. Determination of Suitable Thin Layer
Drying Curve Model for Apple Slices (variety-Golab). Plant Omics Journal POJ Vol. 3, No. 3,
Hal.103-108.
Nailufar, A.A., Basito, dan Choirul, A. 2012. Kajian Karakteristik Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa)
pada Beberapa Jenis Pengemas Selama Penyimpanan. Jurnal Teknosains Pangan Vol. 1, No. 1,
Hal. 121-132.
Shyamali, A.K., H.H.E., Jayaweera dan T.R., Ariyaratne. 2009. Thin-layer Drying of Some Sri Lankan Paddy
Varieties Under Low Humid Conditions. Centre for Instrument Development. Department of
Physics. University of Colombo.
Singh, R.P. dan D.R., Heldman, 2009. Introduction to Food Engineering. Academic Press, Elsevier.
Sitkei, G. 1986. Mechanics of Agricultural Materials. Developments in Agricultural Engineering 8. Elsevier
Science Publishers. Budapest, Hungary.
Taib, G., Sa’id, E.G., dan Wiraatmaja, S. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian.
Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Taufiq, M. 2004. Pengaruh Temperatur terhadap Laju Pengeringan Jagung pada Pengering Konvensional
dan Fluidized Bed. Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Widyotomo, S. dan Sri, M. 2005. Penentuan Karakteristik Pengeringan Kopi Robusta Lapis Tebal. Study of
Drying Characteristic Robusta Coffe with Thick Layer Drying Method. Buletin Ilmiah INSTIPER
Vol. 12, No. 1, Hal. 15-37.
Winarno, F.G. 1984. Padi dan Beras. Riset Pengembangan Teknologi Pangan. IPB. Bogor.