modul berdebar
TRANSCRIPT
SKENARIO
Seorang wanita 35 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan berdebar-
debar. Keluhan ini sudah lama dirasakan dan kadang-kadang disertai rasa pusing.
Akhir-akhir ini kalau melakukan kegiatan debarannya bertambah disertai rasa
sesak dan cepat lelah. Pada pemeriksaan fisis TD 110/75 mmHg, DJ 96/menit
irregular, laju napas 28/menit dan temperature badan 37˚C. terdengar bising
presistolik derajat 2/4 dengan S1 yang keras di ruang interkostal-4 kiri dekat
sternum dan bising holosistolik derajat3/6 di perpotongan sela iga-5 kiri dan garis
axillaris anterior kiri. Pada pemeriksaan foto dada ditemukan adanya pinggang
jantung yang menghilang dan disertai gambaran double contour.
KATA SULIT (9)
1. Presistolik
Suara bising jantung yang dimulai dengan atau sesudah S2 dan berakhir
sebelum S.
2. Holosistolik
Suara bising jantung yang diakibatkan karena terjadi perubahan bunyi dari
daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah.
3. Double contour
Gambaran radiografi dari jantung yang mengalami pembesaran atrium
kanan yang tampak seperti bayangan ganda pada batas jantung kanan
4. Pinggang jantung
Daerah peralihan dari atrium kiri ke ventrikel kiri yang dilihat dari luar
KATA/KALIMAT KUNCI
1. Wanita 35 tahun
2. Berdebar-debar disertai rasa pusing
3. Sesak dan cepat lelah pada saat beraktifitas
4. TD 110/75 mmHG
5. DJ 96/menit ireguler
6. Laju napas 28/menit
7. Suhu 37˚C
8. Bising presistolik derajat 2/4
9. Bising holosistolik derajat 3/6
10. S1 keras di interkostal-4 kiri dekat sternum
11. Pinggang jantung menghilang/lurus
12. Gambaran double contour
PERTANYAAN
1. Jelaskan etiologi dari palpitasi !
2. Jelaskan mekanisme palpitasi!
3. Bagaimana perbedaan gejala palpitasi yang timbul pada penyakit
kardiovaskuler dan penyakit non-kardiovaskuler?
4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang tertera scenario?
5. Jelaskan mekanisme timbulnya suara bising presistolik dan holosistolik!
6. Jelaskan mekanisme timbulnya S1 yang keras di interkostal-4!
7. Bagaimana hubungan palpitasi dengan gejala lain yang terdapat pada
scenario?
8. Bagaimana langkah diagnosis pada pasien keluhan palpitasi?
9. Sebutkan dan jelaskan differential diagnoses kasus pada scenario!
10. Sebutkan factor penyulit dan prognosis terhadapa gangguan
kardiovaskuler terutama dengan keluhan palpitasi!
11. Bagaiman prosedur tindakan awal pada pasien dengan keluhan palpitasi di
ruang UGD?
JAWABAN
1. Sebutkan dan jelaskan etiologi palpitasi
Dari sudut pandang etiologi, penyebab palpitasi dapat dibagi menjadi lima
kelompok utama: aritmia jantung (rhythm disorder), penyakit jantung structural
(structural disorder), penyakit sistemik ( systemic condition), dan efek obat
obatan (drugs)
Rhytme disorder
Setiap jenis takiaritmia, terlepas dari apakah tidak ada penyakit jantung
yang mendasari structural atau arrhythmogenic, dapat menimbulkan palpitasi :
extrasystole atrium, extrasystole ventrikel, takikardia dengan aktivitas rutin
ventrikel (sinus takikardia, simpul atrioventrikulerreentrant tachycardia) dan
takikardia dengan aktivitas ventrikel tidak teratur ( fibrilasi atrium, flutter atrium)
Structural disorder
Beberapa penyakit jantung structural dapat menimbulkan jantung berdebar
tanpa adanya gangguan irama yang benar. Seperti : prolaps katup mitral,
regurgitasi mitral dan aorta berat, penyakit jantung bawaan dengan shunt
signifikan, hypertrophic cardiomyopathy.
Systemic condition
Sebuah sensasi palpitasi mungkin berasal dari sinus tachycardia dan / atau
kontraktilitas jantung meningkat, yang keduanya mungkin memilki berbagai
penyebab seperti : demam, anemia, hipotensi, ortostatik, hipertiroidisme/
thyreotoxicosis, hipoglikemia, hipovolemia, kehamilan, dan fistula arteriosum.
Psychosomatic
Gangguan psikomatik yang paling sering di hubungkan dengan palpitasi
adalah kecemasan, serangan panic, depresi, dan somatisasi
Drugs
Dalam kasus tersebut, palpitasi mungkin terjadi karna berkaitan dengan
sinus tachycardia, obat yang terlibat termaksut simpatomimetik, antikolinergik,
vasodilator, dan hydralanize. Suspensi tiba tiba beta-blocker juga dapat
menimbulkan sinus takikardia dan jantung berdebar melalui induksi keadaan
hyperadrenergic sebagai akibat dari efek “rebound”. (1)
2. Jelaksakan mekanisme palpitasi
Palpitasi merupakan manifestasi dari aritmia jantung. Aritmia adalah
kelainan laju denyut jantung atau irama jantung yang disebabkan oleh gangguan
pembentukan atau konduksi impuls. Aritmia inilah yang menyebabkan palpitasi.
Mekanisme terjadinya palpitasi adalah sebagai berikut :
Gangguan konduksi impuls : otomatisasi abnormal
Semua bagian dari sistem pengonduksi jantung menunjukkan suatu
depolarisasi fase 4 spontan (otomatisasi) sehingga merupakan pacu jantung laten
atau potensial. Karena pacu jantung nodus sinoatrial (SAN) memiliki laju denyut
yang tertinggi (70-80 kali/menit), maka SAN menyebabkan supresi berlebihan
pada penghasil letupan oleh nodus atrioventrikular (AVN) (50-60 kali/menit) atau
serabut Purkinje (30-40 kali/menit). Namun demikian, iskemia, hipokalemia,
regangan serabut atau pelepasan katekolamin lokal dapat meningkatkan
otomatisitas pada pacu jantung laten, yang selanjutnya dapat ‘keluar (escape)’ dari
dominansi SAN sehingga menyebabkan aritmia.
Sel-sel otot jantung dalam kedaan normal bukan merupakan pemacu
(pacemaker) laten. Namun demikian, sel-sel ini dapat membentuk inisiasi impuls
repetitif dan menyebabkan aritmia bila potensial membran mengalami
depolarisasi yang sesuai. Hal ini dapat disebabkan misalnya oleh iskemia atau
konsentrasi katekolamin lokal yang tinggi.
Gangguan konduksi impuls: otomatisitas yang terpicu
Otomatisitas yang terpicu disebabkan oleh afterdepolarization.
Afterdepolarization merupakan osilasi pada potensial membran yang terjadi
selama atau setelah repolarisasi. Osilasi yang cukup besar untuk mencapai
ambang batas menginisiasi potensial aksi prematur sehingga menginisiasi denyut
jantung. Hal ini dapat terjadi berulang-ulang, menginisiasi suatu aritmia menetap
baik secara langsung maupun dengan memicu re-entry. Besarnya
afterdepolarization dipengaruhi oleh perubahan laju denyut jantung, katekolamin,
dan penghentian parasimpatis.
Early afterdepolarization (EAD) terjadi selama fase plateau terminal atau
repolarisasi potensial aksi. EAD timbul lebih mudah pada serabut Purkinje
daripada di miosit ventrikel atau atrium. EAD dapat diinduksi oleh agen yang
memperpanjang durasi potensial aksi dan meningkatkan arus ke arah dalam.
Sebagai contoh, obat-obatan seperti sotalol dan N-asetil prokainamid (suatu
metabolit prokainamid) meblokade arus K+, dan dapat menyebabkan EAD dan
memicu aktivitas dengan menunda repolarisasi, terutama bila laju denyut jantung
lambat. Irama abnormal yang diinduksi oleh obat-obat tersebut menyerupai
torsade de pointes, suatu jenis aritmia kongenital.
Delayed afterdepolarization (DAD) terjadi setelah repolarisasi komplet,
dan disebabkan oleh peningkatan Ca2+ seluler yang berlebihan. Hal ini dapat
terjadi akibat katekolamin, yang meningkatkan influks Ca2+ melalui kanal Ca2+
tipe-L, akibat glikosida digitalis yang meningkatkan Ca2+ dan akibat gagal
jantung di mana regulasi Ca2+ miosit terganggu. Arus transien kea rah dalam
(transient inward current) yang menyebabkan osilasi potensial membran setelah
peningkatan Ca2+ tampaknya melibatkan influks Na+. Kejadian dan besarnya
DAD dan kemungkinannya menyebabkan aritmia, meningkat oleh kondisi yang
memperkuat arus ke dalam transien. Kondisi ini termasuk potensial aksi yang
lebih panjang, yang menyebabkan peningkatan Ca2+ lebih besar. Oleh sebab itu,
obat-obat yang memperpanjang durasi potensial aksi dapat memicu DAD, sedang
obat-obat yang memperpendek durasi potensial aksi memiliki efek berlawanan.
Besarnya arus ke dalam transien ini juga dipengaruhi oleh potensial membrane
istirahat, dan besaran ini maksimal bila potensial membrane istirahat kira-kira -
60mV.
Konduksi impuls abnormal: re-entry
Re-entry terjadi bila suatu impuls yang ditunda pada suatu region
miokardium mengeksitasi kembali area miokardium di sekitarnya lebih dari satu
kali. Re-entry tebagi 2, yaitu:
Re-entry anatomis
Re-entry ini butuh adanya tiga kondisi, yaitu :
a. harus terdapat suatu sirkuit anatomis di mana impuls dapat bersirkulasi
mengelilinginya (proses yang sering disebut gerakan sirkus). Sirkuit ini
dapat menggunakan jaras konduksi paralel seperti dua cabang serabut
Purkinje, atau AVN dan jaras konduksi atriovetrikuer aksesoris,
b. konduksi impuls pada suatu titik dalam sirkuit harus cukup lambat untuk
memungkinkan regio di depan impuls pulih dari kedaan refrakter, regio ini
disebut excitable gap,
c. sirkuit juga harus mencakup suatu zona blokade satu arah yaitu konduksi
diblokade pada satu arah sedangkan sisi lainnya tidak diblokade.
Adalah hal yang penting bahwa ‘zona tepi’ antara miokardium sehat
dengan parut yang terjadi akibat penyembuhan infark miokard biasanya
mengandung campuran sel-sel otot hidup dan jaringan ikat. Pada beberapa kasus,
suatu pita sempit dari sel-sel otot yang tetap bertahan hidup terletak pada area
parut nonkonduksi, sehingga menghubungkan dua region miokardium sehat.
Konduksi impuls oleh ismus dapat diperlambat atau bahkan menunjukkan suatu
blokade satu arah yang efektif karena jaringan ini membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk memulihkan eksitabilitasnya antar potensial aksi. Penyusunan
ini memberikan kondisi yang analog dengan kondisi yang mendasari re-entry
anatomis, dan diduga merupakan penyebab aritmia ventrikuler yang muncul pada
pasien setelah penyembuhan infark miokard.
Re-entry fungsional
Re-entry ini tidak membutuhkan suatu sirkuit yang dibatasi secara
anatomis, dan cenderung muncul saat konduksi jantung terganggu, biasanya
akibat iskemia yang masih berlangsung atau kerusakan akibat infark miokard
sebelumnya. Teori terkini mengusulkan bahwa pada kondisi ini, gelombang
depolarisasi yang berasal dari SAN dapat mencapai zona parut atau nonkonduksi
yang menyebabkan gelombang terputus. Pada kasus ini, ujung gelombang yang
‘putus’ tidak bersatu kembali dan berlanjut ke arah depan melalui miokardium,
namun dapat bergelung-gelung pada gelombang itu sendiri untuk membentuk
spiral. Pada bagian paling ujung dari gelombang spiral tersebut, tepi awal dari
potensial aksi dan tepi bebas dari potensial aksi bertemu pada ‘titik kritis’.
Model matematis dari konduksi miokard mengindikasikan bahwa suatu
zona miokardium kecil yang tidak dapat dieksitasi terbentuk tepat di depan titik
kritis, dan membentuk suatu titik pusar yang di sekitarnya spiral terus berotasi.
Ketika spiral berotasi, spiral mengemisikan gelombang depolarisasi, dengan suatu
frekuensi yang ditentukan oleh periode rotasi spiral; gelombang ini mengeksitasi
jantung dan menyebabkan takikardia. Pembentukan impuls yang berotasi tersebut
dan fragmentasi lebih lanjut dari gelombang depolarisasi yang dihasilkan, diduga
merupakan dasar pembentukan aktivitas listrik yang kacau menyebabkan
kehilangan total kontraksi terkoordinasi dari atrium atau ventrikel yang disebut
fibrilasi.
Blok Atrioventrikuler
Pada aritmia ini, ada hambatan konduksi antara atrium dengan ventrikel.
Penyebabnya bisa berupa lesi organik, kenaikan masa refrakter pada sebagian
jalur konduksi, dan pemendekan siklus supraventrikuler yang merasuk pada masa
refraktori yang normal. Blok atriventrikuler dapat dibagi menurut derajat
hambatan, yaitu:
Blok atrioventrikuler derajat 1
Ini merupakan perlambatan rangsang dari atrium ke ventrikel yang terjadi
di nodus AV atau di infranodal. Gambaran EKG menunjukkan irama regular
dengan pemanjangan interval PR melebihi 0,20 detik. QRS tidak berubah. Tidak
ada pengobatan khusus yang diperlukan.
Blok atrioventrikuler derajat 2
Pada blok ini sebagian rangsang dihambat dan sebagian lagi dihantarkan.
Pada blok AV derajat 2 tipe I terjadinya hambatan adalah pada nodus AV dan
sering disebabkan oleh peningkatan tonus parasimpatis atau efek obat. Biasanya
bersifat sementara dan prognosisnya baik. Gambaran EKG berupa gelombang P
bentuk normal dan irama atrium yang teratur, pemanjangan PR secara progresif
lalu terdapat gelombang P yang tidak dihantarkan sehingga terlihat interval PR
memendek dan kemudian siklus tersebut terulang kembali. Bentuk QRS tidak
berubah. Pengobatan biasanya tidak diperlukan kecuali laju ventrikel lambat.
Dalam hal ini dapat diberikan sulfas stropin atau dipasang alat pacu sementara.
Blok AV derajat 2 tipe II terjadi di bawah nodus AV, yaitu pada berkas
HIS atau paling sering cabang berkas. Biasanya karena terdapat lesi organik pada
jalur hantaran. Prognosisnya jelek karena sering berkembang menjadi blok derajat
ketiga. Gambaran EKG memperlihatkan irama atrium teratur dengan gelombang
normal. Setiap gelombang P diikuti oleh kompleks QRS kecuali yang tidak
dihantarkan dan bisa lebih dari 1 gelombang P berturut-turut yang tidak
dihantarkan. Irama QRS bisa teratur atau tidak teratur tergantung pada denyut
jantunng yang idak dihantarkan. Kompleks QRS bisa sempit bila hambatan terjadi
pada berkas HIS namun bisa lebar seperti pada blok cabang berkas bila hambatan
ini pada cabang berkas. Alat pacu jantung sementara perlu di pasang dan kalau
perlu dilanjutkn dengan alat pacu jantung tetap.
Blok AV derajat 3
Blok AV derajat 3 terjadi akibat sama sekali tidak ada hantaran antara
atrium dan ventrikel. Tempat hambatan bisa di nodus AV, berkas HIS, atau pada
cabang berkas. Bila hambatan di nodus AV , maka suatu pacu penolong ti tingkat
jungsional akan mengawal depolarisasi ventrikel, dengan QRS sempit dan dengan
laju tetap antara 40-60 kali per menit. Ini bisa disebabkan leh peningkatan tonus
parasimpatis, efek obat, atau kerusakan pada nodus AV itu sendiri. Blok ini
biasanya bersifat sementara dan prognosisnya cukup baik. Pengobatan hanya
diperlukan bila laju QRS terlalu lambat dan terjadi gangguan hemodinamik.
Sulfas astropin 0,5 mg IV dengan alternatif adalah isoproterenol. Bila obat tidak
menolong di pasang alat pacu temporer.
Bila terjadi pada tingkat infranodal, hambatan bisa melibatkan kedua
cabang berkas. Ini bisa terjadi akibat ganggguan yang luas pada sistem hantaran
infranodal. Ini tidak disebabkan oleh peningkatan tonus parasmpatis atau efek
obat. Pacu penolong yng bekerja adalah distal dari hambatan sehingga bentuk
QRS nya lebar dengan laju 40 kali/menit dengan kemungkinan episode asistol
ventrikel. Pada gambaran EKG irama atrium tidak terganggu dan irama QRS lebih
lambat. PR interval bervariasi. Pengobatan diperlukan alat pacu jantung temporer
dan harus dilanjutkan dengan alat pacu janung tetap. (6)
3. Bagaimana perbedaan gejala palpitasi yang timbul pada penyakit
kardiovaskuler dan penyakit non-kardiovaskuler?
Kardio Non Kardio
- Disebabkan karena kerusakan di
jantung itu sendiri (misalnya
kerusakan katup)
- Saat istirahat biasanya
palpitasinya mereda
- Penyebab utamanya bukan dari
jantung, tapi merupakan
pengaruh dari organ lain
(misalnya hipertiroid)
- Saat istirahat belum tentu
palpitasinya mereda, tergantung
dari pengaruh pencetus
palpitasinya
Table 1. Perbedaan palpitasi (5)
4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang tertera scenario?
TD 110/75 mmHg : normal
DJ 96/menit ireguler : normal
Laju napas 28/menit : takipneu
Suhu 37˚C : normanl
Bising presistolik derajat 2/4 : bising diastolic yang samar namun
dapat segera didengar
Bising holosistolik derajat 3/6 : bising selama masa sistolik yang
jelas terdengar
S1 keras di interkostal-4 kiri dekat sternum : perubahan intensitas
S1, bias disebabkan karena kelainan katup atau perubahan tekanan
ventrikel
Pinggang jantung menghilang/lurus : pembesaran atrium kiri dan
ventrikel kanan
Gambaran double contour : pembesaran atrium kanan (9)
5. Jelaskan mekanisme timbulnya suara bising presistolik dan holosistolik!
Bising jantung adalah suatu rentetan getaran yang terjadi bila kecepatan
aliran darah menjadi sangat tinggi melalui suatu area vaskuler yang menyempit
atau tak teratur. Bising jantung timbul kalau ada energi terbulen di dalam dinding
jantung dan pembuluh darah. Sumbatan terhadap aliran atau adanya aliran dari
diameter kecil ke diameter yang lebih besar akan menimbulkan turbulensi.
Turbulensi menyebabkan arus berlawanan (eddies) yang memukul dinding dan
menimbulkan getaran yang didengar pemeriksa sebagai bising. Bising dapat pula
timbul bila sejumlah besar darah mengalir melalui lubang normal. Dalam keadaan
ini lubang normal relatif stenotik untuk volume yang bertambah. Bising jantung
juga terjadi bila sejumlah besar aliran darah melalui suatu katup yang membuka
secara normal. Contoh : bising ejeksi sistolik kerapkali terdengar pada insufisiensi
aorta akibat adanya stenosis relatif katup tersebut ( non organik). Bising jantung
harus digolongkan berdasarkan :
a. Waktu terjadinya dalam siklus jantung (7)
- Bising sistolik dimulai dengan atau sebelum S2.
- Contoh : Bising stenosis aorta atau pulmonal adalah suatu bising
ejeksi sistolik dimana ada kesenjang antara S1 dan mula
timbulnya bising, dan juga ada kesenjangan antara akhir bising
dan S2.Bising ejeksi sistolik sering disebut “ diamond shape
murmur”
- Bising isufisiensi mitral atau trikuspidal dan VSD bersifat bising
pansistolik (holosistolik) yang terdengar sepanjang fase sistole.
- Bising pada prolaps katup mitral biasanya bising late systolic
- Bising diastolik adalah bising bising yang dimulai pada/ atau
setelah S2 dan berakhir pada atau sebelum S1.
- Bising pada insufisiensi aorta atau pulmonal biasanya bising
early diastolic dengan kualitas dekresendo.
- Bising stenosis mitral atau trikuspidal adalah bising mid-
diastolik atau late diastolic ( aksentuasi presistolik selama irama
sinus ) dengan kualitas rumbling.
- Bising kontinyu dimulai antara S1 dan S2 dan berlanjut kedalam
fase diastole.Bising kontinyu paling umum disebabkan oleh
patent ductus arteriosus (PDA)
b. Intensitas bising (9)
Intensitas bising biasanya dinilai berdasarkan sisitem gradasi.
Untuk bising sistolik dibagi atas :
- Grade ½ ( I/VI) : Intensitas paling rendah dan hampir tak dapat
didengar (baik oleh mahasiswa maupun oleh klinisini yang tidak
berpengalaman)
- Grade 2/6 (II/VI) :Intensitas rendah atau redup tetapi segera bisa
didengar meskipun tidak berpengalaman.
- Grade 3/6 (III/IV) : Gampang didengar
- Grade 4/6 (IV/VI) : Gampang didengar dan dihubungkan
dengan trill yang dapat dipalpasi.
- Grade 5/6 (V/VI) : Intensitas sangat keras, dapat didengar
dengan meletakkan stetoskop secara ringan pada dinding dada.
- Grade 6/6 (VI/VI) : Dapat terdengar tanpa meletakkan langsung
stetoskop pada dinding dada.
Untuk bising diastolik dibagi atas :
- Grade ¼ (I/IV) : Intensitas bising hampir tak dapat didengar.
- Grade 2/4 (II/IV) : Intensitas redup tapi dapat segera didengar.
- Grade ¾ (III/IV) : Gampang didengar.
- Grade 4/4 (4/4) : Intensitas sangat keras.
c. Pitch : High-pitch dan low-pitch
d. Konfigurasi : diamond, kresendo, dekresendo dsb.
e. Kualitas : bergemuruh, meniup, kasar, menggores .
f. Durasi : midsistolik, holosistolik, early diastolic
g. Penjalaran : kedaerah axilla kiri, ke medial.
h. Hubungannya dengan respirasi : pada umumnya bising yang berasal
dari jantung kanan meningkat intensitasnya selama inspirasi.
i. Hubungan dengan posisi tubuh : bising miksoma atrium kerapkali
menghilang atau kurang jelas pada pembahan posisi tubuh tergantung
pada tingkat obstruksi dari tumor. (7)
Mekanisme bising presistole (7)
Bising pada akhir diastolik (kadang-kadang disebut presistolik Bising
atrioventrikular diastolik dimulai pada awal tertentu setelah S2 dengan
membukanya katup atrioventrikular. Stenosis mitral dan stenosis trikuspid
merupankan contoh bising jenis ini. Ada jeda di antara S2 dan permulaan bising.
Relaksasi isovolumetrik sedang terjadi selama periode ini. Bisingnya berbentuk
dekresendo, dan dimulai dengan opening snap, jika katupnya mobil.Bising ini
bernada rendah dan paling jelas didengar dengan bel stetoskop dan pasien
berbaring dalam posisi dekubitus lateral kiri.Karena katup atrioventrikular
mengalami stenosis, pengisian cepat tidak terjadi dan ada perbedaan tekanan di
sepanjang diastol.Jika pasien mempunyai irama sinus yang normal, kontraksi
atrium akan memperbesar perbedaan tekanan pada akhir diastole, atau presistole,
dan akan terjadi peningkatan bising pada saat ini.Bising atrioventrikular diastolik
merupakan tanda yang sensitif dan spesifik untuk stenosis katup atrioventrikular.
Mekanisme bising holosistolik (7)
Bising systolic regurgitan dihasilkan oleh aliran retrograd dari daerah
bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah selama sistole, seperti pada
regurgitasi mitral atau trikuspidalis. Bising ini disebut holosistolik atau
pansistolik. Ia mulai bersama-sama dengan S1 dan berakhir setelah S2. Bising ini
berlangsung sampai setelah S2 karena tekanan ventrikel lebih tinggi daripada
tekanan atrium, bahkan setelah penutupan katup semilunar. Suatu S3 yang
menunjukkan beban volume pada ventrikel sering terdengar. Bising ini bernada
tinggi dan paling jelas didengar dengan diafragma. Istilah “regurgitasi”, dan
“insufisiensi” sering dipakai sebagai sinonim untuk jenis bising ini. Istilah yang
lebih disukai adalah “regurgitasi”, karena menunjukkan arah aliran yang
retrograd. Bising holosistolik pada regurgitasi katup atriventrikular adalah
penemuan dengan sensitifitas tinggi.
6. Jelaskan mekanisme timbulnya S1 yang keras di interkostal-4!
Suara yang jantung yang lebih keras disebabkan karena adanya kelainan
intensitas khususnya pada S1. Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas S1
adalah sebagai berikut :
- Laju kenaikan tekanan ventrikel
- Keadaan katup
- Posisi katup
- Jarak jantung dari dinding dada
Makin cepat laju kenaikan tekanan ventrikel kiri, makin kuat komponen
mitral dari S1. Meningktanya kontraktilitas akan meningkatkan intensitas S1.
Penurunan kontraktilitas akan memperlemah S1. Bila katup atrioventrikular
menjadi kaku karena fobrosis atau kalsifikasi, penutupannya akan lebih kuat.
Katup yang mengalami deformitas secara patologis (pada stenosis mitral) akan
menghasilkan S1 yang lebih jelas. (7)
7. Bagaimana hubungan palpitasi dengan gejala lain yang terdapat pada
scenario?
Pada skenario, terdapat pasien datang dengan gejala berdebar yang disertai
rasa sesak dan fatig (cepat lelah) serta kadang-kadang pusing. Dari beberapa
pemeriksaan yang dilakukan pada skenario menunjukkan adanya tanda-tanda
pembesaran jantung. Pembesaran jantung biasanya diakibatkan oleh adanya
kelainan katup atau kegagalan jantung. Pembesaran jantung ini bisa menjadi
pemicu terganggunya sistem konduksi jantung sehingga terjadinya aritmia.
Perasaan berdebar-debar dari pasien ini merupakan manifestasi dari terjadinya
aritmia.
Rasa sesak dan fatig saat beraktivitas yang dialami pasien ini disebabkan
oleh rendahnya curah jantung. Darah yang mengandung nutrisi dan Oksigen tidak
mencukupi kebutuhan jaringan khususnya otot untuk beraktivitas. Oksigen yang
kurang memicu jaringan otot untuk melakukan metabolisme anaerob yang yang
menghasilkan asam laktat sebagai hasil sampingan dari metabolismenya. Rasa
sesak yang dialami pasien merupakan peningkatan kompliens paru-paru oleh
karena stimulasi saraf simpatis paru-paru dari susunan saraf pusat sebagai respon
menurunnya kadar Oksigen dan meningkatnya kadar karbondioksida dalam darah.(4)
8. Bagaimana langkah diagnosis pada pasien dengan palpitasi?
LANGKAH DIAGNOSIS (6)
Anamnesis
1) Menanyakan keluhan utama pasien berupa palpitasi (sesuai skenario).
a. Onset dan durasi palpitasi: timbul mendadak, kapan dan sudah
berapa lama
b. Sifat palpitasi
c. Irama denyut jantung (reguler atau irreguler)
d. Tanyakan ada atau tidaknya gejalan lain yang menyertai seperti :
- sesak
- keringatan,
- mual muntah
- nyeri ulu hati (+/-)
- otot lemah/lumpuh
- nyeri dada
- edema
- pingsan
- badan lemah
2) Menggali riwayat penyakit terdahulu yang sama dan yang berkaitan,
untuk menilai apakah penyakit sekarang ada hubungannya dengan
yang lalu
3) Menggali riwayat penyakit keluarga dan lingkungan dengan
menanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit
yang sama.
4) Melakukan cek silang
Inspeksi dan palpasi
1) Inspeksi depan dada, perhatikan adanya pulsasi
2) Iktus kordis tampak atau tidak
3) Meraba iktus kordis dengan ujung jari pada lokasi yang benar sambil
mendengar suara jantung untuk menentukan durasinya
4) Lakukan palpasi untuk meraba impuls jantung
Perkusi
1) Melakukan perkusi untuk menentukan batas relatif yang merupakan
perpaduan bunyi pekak dan sonor
2) Menentukan batas jantung kanan relative
3) Menentukan batas jantung kiri relative
Auskultasi
Melakukan auskultasi pada beberapa tempat yang benar:
a) Untuk mendengarkan bunyi jantung
b) Mendengarkan ada tidaknya bunyi tambahan
Pengukuran tekanan darah
Mengukur tekanan darah dan menentukan apakan normal, meningkat atau
berkurang. Biasanya tekanan darah yang meningkat menunjukkan adanya
regurgitasi aorta dan tekanan darah yang rendah menunjukkan stenosis aorta
Pemeriksaan nadi
Untuk menghitung nadi, hitung dalam keadaan pasien yang rileks dan hitung
dalam waktu 15 detik kemudian tentukan denyut nadi apakah normal, naik
perlahan atau menghilang. Pada keadaan naik perlahan menunjukkan adanya
stenosis aorta dan pada keadaan menghilang menunjukkan regurgitasi aorta.
Pemeriksaan tekanan vena jugularis
Pengukuran vena jugularis dilakukan dengan cara :
1) Penderita berbaring tanpa bantal dengan kepala posisi 300
2) Leher penderita harus diluruskan
3) Menekan vena jugularis dibawah angulus mandibula dan tentukan titik
kolaps
4) Menetukan jaraknya beberapa cm dari bidang yang melalui angulus
ludovici
5) Bila hasil CVP kiri dan kanan berbeda,maka diambil CVP yang lebih
rendah
Pemeriksaan penunjang
1) Elektrokardiogram (EKG)
2) Foto rontgen dada
3) Ekokardiografi
4) Ultrasonografi
9. Sebutkan dan jelaskan differential diagnoses kasus pada scenario!
ARITMIA (2)
A. DEFENISI
Irama jantung normal adalah irama yang berasal dari nodus SA, yang datang
secara teratur dengan frekuensi antara 60-100/menit, dan dengan hantaran tak
mengalami hambatan pada tingkat manapun.
Abnormalitas irama jantung (disritmia atau aritmia ) didefenisikan sebagai :
1. Irama yang berasal bukan dari nodus SA.
2. Irama yang tidak teratur, sekalipun ia berasal dari nodus SA, misalnya
sinus aritmia.
3. Frekuensi< 60x/menit (sinus bradikardia) atau >100x/menit (sinus
takikardia).
4. Terdapatnya hambatan impuls supra atau intra ventricular
B. MEKANISME
Gangguan irama jantung normal (aritmia) melalui mekanisme berikut :
1. Pengaruh persarafan autonomy (simpatis dan parasimpatis) yang
mempengaruhi HR.
2. Nodus SA mengalami depresi sehingga focus irama jantung diambil
alih yang lain.
3. Fokus yang lain lebih aktif dari nodus SA dan mengontrol irama
jantung.
4. Nodus SA membentuk impuls, akan tetapi tidak dapat keluar (sinus
arrest) atau mengalami hambatan dalam perjalanannya keluar nodus
SA (SA block).
5. Terjadi hambatan perjalanan impuls sesudah keluar nodus SA,
misalnya di daerah atrium, berkas His, ventrikel dan lain- lain.
C. KLASIFIKASI ARITMIA
1. Fibrilasi atrium (Atrial Fibrilation =Af)
Fibrilasi atrium (AF) adalah disorganisasi elektrikal dari atrium
disertai gangguan efektivitas kontraksi atrium. Resiko AF meningkat
dengan pertambahan usia, dimana prevalensi AF pada usia> 60 tahun adalah
4-6% dimana laki- laki lebih sering dijumpai dari pada perempuan.
Manifestasi klinis biasanya berupa palpitasi dan dyspnea. Laju jantung
ireguler adalah tanda AV pada pemeriksaan fisis ditambah dengan kelainan
jantung penyerta.
2. Supraventricular tachycardia (SVT)
Takikardi nodus sinus re-entri
Takikardi jenis ini jarang ditemukan dan biasanya asimtpmatis,
timbulnya secara tiba- tiba sehingga disebut juga paroksimal sinus
takikardia.
Takikardi atrium (atrial tachycardia)
Takikardi ini terjadi melalui mekanisme automisasi dan re-entri
di dalam atrium tanpa berhubungan dengan nodus SA dan AV,
sehingga tidak sensitive terhadap rangsangan vagus. Pada EKG
tampak gelombang P berbeda dengan gelombang P yang berasal dari
nodus sinus. Biasanya didapati pada pasien dengan penyakit paru
menahun.
Takikardia atrium multifocal (Multifocal atrial tachycardia
=MAT).
MAT merupakan takikardia maligna. Biasanya ditemukan pada
orang tua yang menderita penyakit paru- paru, gagal jantung atau
yang sedang menggunakan digitalis. Tanda- tanda EKGnya ialah
adanya gelombang P yang multiform dengan kompleks QRS yang
normal dan laju atrium berkisar antara 100-200 kali/menit.
Takikardia supraventrikuler paroksimal (Paroxysmal
supraventricular tachycardia =PSVT)
PSVT adalah aritmia maligna yang disebabkan karena
mekanisme re-entri pada nodus AV, mencakup 50% dari semua SVT,
dan timbulnya mendadak. Tanda- tanda EKG ialah :
a. Laju jantung antara 150-250 kali/menit; regular
b. Kompleks QRS normal
c. Gelombang P selalu tertanam di dalam kompleks QRS.
d. Vagal maneuver dapat memperlambat takikardi
Gejala klinis yang muncul yaitu tingginya laju jantung dan lamanya
serangan.Yang ringan dapat berupa palpitasi atau serangan angina.
Sedangkan yang berat dapat menyebabkan sinkope atau syok.
3. Blok
Blok nodus SA
Pada penyakit ini sebenarnya serabut sinus normal, hanya
gelombang depolarisasi yang dicetuskan nodus SA terhambat pada
perinodal zone sebelum mencapai atrium. Blok nodus SA dibagi
menjadi blok SA derajat satu, dua dan tiga.
Blok AV
Semua hambatan konduksi yang terjadi diantara nodus SA
sampai pada berkas His disebut blok AV. Sepertibloknodus SA, blok
AV dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Blok AV derajat satu
Tanda khasnya yaitu adanya perlambatan konduksi di dalam
nodus AV sehingga terjadi perpanjangan interval PR dengan
konfigurasi QRS.
b. Blok AV derajat dua
Karakteristik dari AV blok derajat dua yaitu tidak semua
impuls yang berasal dari atrium disalurkan keventrikel. Dengan
demikian pada EKG lebih banyak tampak gelombang P
dibanding gelombang QRS.
c. Blok AV derajat tiga
Keadaan dimana impuls dari atrium terhambat secara
komplet pada nodus AV atau serabut His. Pada EKG tampak
gelombang P berjalan melintasi kompleks QRS dengan
frekuensi 60-100 kali/menit, sedangkan kompleks QRS berjalan
sendiri dengan frekuensi kira- kira 30-45 kali/menit. Penyebab
utama blok AV derajat 3 adalah penyakit jantung degenerative.
Blok infranodal
Sistem konduksi infranodal terdiri dari berkas His ditambah tiga
cabang berkas intra-ventrikular yaitu : satu cabang berkas kanan (right
bundle branch =RBB) dan dua fasikulus yang berasal dari left bundle
branch (LBB) yaitu fasikulus anterior/superior dan fasikulus
posterior/inferior.
D. PENANGGULANGAN
1. Non-Farmakologik
Penanggulangan non farmakologik yang dapat dilakukan apabila
ditemukan pasien emergency aritmia seperti SVT/ Takikardia hal yang
mudah dilakukan adalah vagal maneuver misalnya : dengan carotid sinus
message, valsalva maneuver, gagging atau merendammuka di dalam air
dingin.
2. Kardioversidandebrilasi
Kardioversi dan debrilasi kedua- duanya merupakan suatu electric
counter shock yang dilakukan pada penderita dengan tujuan mengkonversi
aritmia kembali ke irama sinus yang normal.
Indikasi :
Fibrilasi atrium yang baru terjadi atau flutter atrium.
Takikardi atrium paroksimal yang berhubungan dengan sindrom
Wolff-Parkinson-White (WPW)
Takikardi ventrikel (VT) yang tidak member respon terhadap
obat- obatan.
Henti jantung (cardiac arrest)
3. Pemasangan pacemaker
Alat pacu jantung dapat dipasang di dalam tubuh secara permanen
(Permanent pacemaker =PPM )atau temporer (temporer pacemaker=
TPM).
Indikasi :
PPM : sindrom sinus sakit (sick sinus syndrome =SSS ); high
degree AV block atau interval HV melebihi 90 msc; blok AV
derajat tiga; blok AV dengan gagal jantung yang membutuhkan
digitalisasi ; takiaritmia yang tidak memberikan respon terhadap
obat- obat anti aritmia.
TPM : AV blok derajat dua atau tiga akibat infark miokard atau
penyebab lain.
4. Operasi
Menghilangkan suatu focus aritmogenik, atau menginsisi sebagian
jaringan jantung untuk mengisolasi atau mengiterupsi terjadinya propagasi
suatu aritmia seperti fibrilasi atrium dan VT telah berhasil dilakukan di
beberapa pusat pelayanan penyakit jantung.
5. Farmakologik
Obat- obatan untuk aritmia yang digunakan berdasarkan
pembagianVaughan Williams :
a) Kelas 1
Semua obat-obat anti-aritmia yang menstabilkan aktivitas membrane
sel (predominan menghambat kanal Na+). Kelas ini dibagi menjadi :
- Golongan 1a
Menghambat penjakan potensial aksi (fase 0) dengan
meningkatkan nilai ambang eksitasi (fase 4). Jadi menghambat
kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter
efektif .Golongan obat ini : sulfas kinidin, prokainamid,
diisopiramid dan ajmaline.
- Golongan 1b
Menghambat penanjakan potensial aksi namun memperpendek
durasi potensial aksi. Obat- obat yang termasuk golongan ini
adalah : lignokain, fenitoin, tokainid dan meksiletin.
- Golongan 1c
Memiliki sifat- sifat seperti golongan 1a dan 1b, namun hanya
sedikit mempengaruhi durasi potensial aksi. Walaupun demikian
obat- obat golongan ini memperpanjang interval PR dan QRS.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah enkainid, flekainid,
lorkainid dan propafenon.
b) Kelas 2
Obat- obat yang memperlambat konduksi dan masa refrakter di nodus
AV. Termasuk di dalam golongan ini adalah obat- obat β-blockers
seperti atenolol, metoprolol, bisoprosol, propranolol dan lain- lain.
c) Kelas 3
Obat- obat yang memperpanjang durasi potensial aksi atau masa
refrakter efektif (menghambatkanal K+) sehingga memperpanjang
interval QT, namun tidak mempengaruhi penanjakan, amplituo, dan
potensial aksi istirahat. Termasuk di dalam golongan ini adalah
amiodaron, drone-darone, sotalol, dofetilide dan ibutilide.
d) Kelas 4
Obat- obat ini memperpanjang konduksi dan masa refrakter nodus AV
sehingga memperpanjang interval PR. Termasuk di dalam golongan
ini CCB non-dihidropiridin : verapamil dan diltiazem.
REGURGITASI MITRAL (3)
A. PENDAHULUAN
Regurgitasi mitral (insufisiensi mitral) adalah keadaan di mana terdapat
aliran darah balik dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri pada saat sistol, akibat
tidak dapat menutupnya katup mitral secara sempurna. Dengan demikian aliran
darah saat sistol akan terbagi dua, disamping ke aorta yang seterusnya ke aliran
darah sistemik, sebagai fungsi utama, juga akan masuk ke atrium kiri. Akan tetapi
daya pompa jantung jadi tidak efisien dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai
dari yang asimtomatis sampai gagal jantung berat. Dari segi proses terjadinya
mitral regurgitasi dapat dibagi menjadi mitral regurgitasi yang akut, transient atau
bersifat sementara, dan kronik. Sedangkan etiologi regurgitasi mitral sangat
banyak.
Struktur dan fungsi komponen katup mitral
Katup mitral terdiri dari empat komponen utama yaitu:
Anulus katup mitral. Terdiri dari bagian yang kaku yang berhubungan dengan
annulus katup aorta. Terdiri dari jaringan fibrosa dan merupakan bagian dari
pangkal katup mitral bagian anterior. Bagian annulus mitralis yang lain yaitu
bagian yang dinamik, bagian yang terbesar dan tempat pangkal dari daun katup
mitral bagian posterior.
Daun katup. Terdiri dari daun katup anterior dan posterior. Keduanya asimetris.
Celah dari kedua katup ini disebut komisura, bagian anteromedial dan
posterolateral.
Chordae tendinea. Terdiri dari dua berkas, berpangkal pada muskulus papilaris.
Berkas chordae tendinea ini menempel pada masing-masing daun katup, yang
berfungsi untuk menopang daun katup mitral dalam berkoaptasi. Setiap berkas
chorda terdiri dari beberapa serabut yang fleksibel.
Muskulus papillaris. Terdiri dari 2 buah, tempat berpangkalnya kedua chordae
tendinea, dan berhubungan langsung dengan dinding ventrikel kiri. Berfungsi
untuk menyanggah kedua chorda. Muskulus papilaris adalah bagian dari
endokardium yang menonjol, satu di medial, dan satu lagi di dinding lateral.
Kelainan pada apparatus mitral ini pada keadaan regurgitasi bisa saja hanya satu
dari keempat komponen tadi.
B. ETIOLOGI
Etiologi regurgitasi mitral (MR) sangat banyak, erat hubungannya dengan
klinisnya MR akut atau MR kronik.
Etiologi MR akut :
1. MR primer akut non iskemia yang terdiri dari:
- ruptur korda spontan
- endokarditis infektif
- degerasi miksomatous dari valvular
- hipovolemia pada mitral valve prolapsed (MVP)
2. MR karena iskemia akut
Akibat adanya iskemia akut, maka akan teradi gangguan fungsi ventrikel
kiri, annular geometri atau gangguan fungsi muskularis. MR juga bisa
timbul sebagai kelanjutan dari infark akut, di mana terjadi remodeling
miokard, gangguan fungsi muskulus papilaris, dan dilatasi annulus,
gangguan koaptasi katup mitral, selanjutnya timbul MR.
3. MR akut sekunder pada kardiomiopati
Pada kardiomiopati terdapat penebalan dari miokard yang tidak
proporsional dan bisa asimetris, yang berakibat kedua muskulus papilaris
berubah posisi, akibatnya tidak berfungsi dengan sempurna, selanjutnya
penutupan katup mitral ini tidak sempurna.
Etiologi MR kronik
Etiologi MR kronik sangat banyak. MR kronik dapat terjadi pada penyakit jantung
valvular yang berlangsung secara ”slowly progressive”, seperti pada penyakit
jantung rematik. Dapat juga terjadi sebagai konsekuensi lesi akut seperti perforasi
katup atau ruptur korda yang tidak pernah memperlihatkan gejala-gejala akut,
namun dapat diadaptasi sampai sampai timbul bentuk kronis dari MR. Beberapa
jenis etiologi MR kronik terdiri dari hal-hal sebagai berikut:
1. MR karena rematik
Biasanya disertai juga dengan stenosis mitral berbagai tingkatan dan fusi
dari commissural, hanya sekitar 10% kasus rematik mitral murni MR tanpa
ada stenosis. MR berat karena ada rheuma yang memerlukan tindakan
operasi masih sering ditemukan pada negara-negara yang sedang
berkembang, tetapi sudah jarang di negara-negara yang sudah maju.
Biasanya lesi rematik dapat berupa retraksi fibrosis pada apparatus valvuler
yang mengakibatkan koaptasi dari katup mitral tidak berfungsi secara
sempurna. Pada kasus-kasus MR yng mengalami koreksi operasi, terdapat
3-40% karena atas dasar reumatik.
2. MR degeratif
Yang paling sering penyebabnya adalah mitral valve prolapsed (MVP), di
mana terjadinya gerakan abnormal dari daun katup mitral ke dalam atrium
kiri saat sistol, diakibatkan oleh tidak adekuatnya sokongan dari korda,
memanjang atau ruptur, dan terdapat jaringan valvular yang berlebihan. Di
negara-negara maju, lesi MVP merupakan lesi yang terbanyak didapatkan,
20-70% dari kasus-kasus MR ynag mendapat tindakan koreksi dengan
operasi.
3. MR karena endocarditis infektif
Infektif endocarditis dapat menyebabkan destruksi dan perforasi dari daun
katup.
4. MR karena iskemia atau MR fungsional
Timbul sebagai akibat adanya disfungsi muskulus papilaris yang bersifat
transient atau permanen akibat adanya iskemia kronis. Iskemia kronik dan
MR fungsional dapat juga terjadi akibat dilatasi ventrikel kiri, aneurisme
ventrikel, miokardipati atau miokarditis.
5. Penyebab lain MR kronik
Masih sangat banyak, walau sangat jarang ditemukan, seperti penyakit
jaringan ikat, sindrom Marfan, sindrom antikardiolipin, sindrom SLE, dan
lain-lain.
C. PATOFISIOLOGI
MITRAL REGURGITASI AKUT
Pada MR primer akut, atrium kiri dan ventrikel kiri yang sebelumnya
normal-normal saja, tiba-tiba mendapat beban yang berlebihan (“severe volume
overload”). Pada saat sistol atrium kiri akan mengalami pengisian yang
berlebihan, di samping aliran darah yang biasa dari vena-vena pulmonalis, juga
mendapat aliran darah tambahan dari ventrikel kiri akibat regurgitasi tadi.
Sebaliknya pada saat diastol, volume darah yang masuk ke ventrikel kiri akan
mengalami peningkatan yang berasal dari atrium kiri yang mengalami volume
overload tadi. Dinding ventrikel kiri cukup tebal tidak akan berdilatasi, namun
akan mengakibatkan mekanisme Frank-Starling akan berlangsung secara
maksimal, yang selanjutnya pasien masuk dalam keadaan dekompensasi jantung
kiri akut. Tekanan atau volume ventrikel kiri yang berlebih diteruskan ke atrium
kiri, selanjutnya vena-vena pulmonalis dan timbullah edema paru yang akut. Pada
saat yang bersamaan pada fase sistol di mana ventrikel kiri meningkat, tekanan
afterload berkurang akibat regurgiasi ke atrium kiri yang bisa mencapai 50% dari
strok volume ventrikel kiri. Aliran darah ke aorta (sistemik) akan berkurang
karena berbagi ke atrium kiri. Akibatnya cardiac output akan berkurang walaupun
fungsi ventrikel kiri sebelumnya masih normal atau bahkan di atas normal. Pada
keadaan seperti ini, pasien akan memperlihatkan gejaa-gejala gagal jantung kiri
akut, kongesti paru, dan penurunan cardiac output.
MITRAL REGURGITASI KRONIK
Tidak sempurnanya koaptasi dari kedua daun katup mitral pada fase sistol,
menimbulkan ada pintu/celah terbuka (“regurgitant orifice”) untuk aliran darah
balik ke atrium kiri. Adanya “systolic pressure gradient” antara ventrikel kiri dan
atrium kiri, akan mendorong darah balik ke atrium kiri. Volume darah yang balik
ke atrium kiri disebut “volume regurgitant”, dan presentase regurgitan volume
dibanding dari total ejection ventrikel kiri, disebut sebagai fraksi regurgitan.
Dengan demikian pada fase sistol akan terdapat beban pengisian atrium kiri yang
meningkat dan pada fase diastol beban pengisian ventrikel kiri juga akan
meningkat yang lama kelamaan akan memperburuk performance ventrikel kiri
(“remodeling”).
Pada MR kronis terjadi dilatasi ventrikel kiri, walau lebih ringan
ketimbang pada regurgitasi aorta (AR), pada tingkat regurgitasi yang sama.
Tekanan volume akhir diastol dan regangan dinding ventrikel akan meningkat.
Volume akhir sistol akan meningkat pada MR kronik, meskipun demikian,
regangan akhir sistol dinding ventrikel kiri biasanya masih normal. Seanjutnya
massa ventrikel kiri pada MR akan meningkat sejajar dengan besarnya dilatasi
ventrikel kiri.
Fungsi ventrikel kiri sulit dinilai karena ada perubahan pada preload dan
afterload. Afterload lebih sulit lagi dinilai karena ada aliran darah regurgitasi ke
atrium kiri, yang sedikit banyak akan mengurangi tahanan pengeluaran darah dari
ventrikel kiri , padahal pengukuran afterload dan regangan akhir dinding ventrikel
kiri masih dalam batas normal. Bagaimanapun juga, terdapat korelasi terbalik
antara tekanan akhir dinding ventrikel dengan fraksi ejeksi pada MR.
Petunjuk yang cukup komplek dengan memakai afterload seperti regangan
akhir sistolik dinding ventrikel kiri atau elastan maksimum yang disejajarkan
dengan volume ventrikel kiri, dapat dipakai sebagai pengukur perubahan fungsi
ventrikel kiri yang cukup sensitif. Disfungsi ventrikel kiri akibat MR merupakan
tanda prognase yang tidak baik.
Fungsi diastolik pada MR sangat sulit dianalisis akibat peningkatan
volume pengisian. Relaksasi ventrikel kiri biasanya memanjang dan kekakuan
ventrikel kiri juga biasanya berkurang akibat bertambahnya diameter rongga
ventrikel kiri.
Pada pasien MR fungsional akibat penyakit jantung koroner atau
kardiomiopati, kelainan primer terdapat pada ventrikel kiri, di mana kontraktilitas
dinding ventrikel sangat berkurang, padahal daun katup mitral itu sendiri masih
normal. MR kebnyakan tidak sejajar dengan derajat disfungi ventrikel kiri, tetapi
lebih berhubungan dengan remodeling ventrikel kiri secara regional. MR
fungsional agak berbeda dengan MR organic. Pada MR fungsional, volume
regurgitasi biasanya sedikit dan dilatasi ventrikel kiri biasanya tidak proporsional
dengan derajat MR. Tetapi MR fungsional punya arti klinis yang penting,
berhubungan dengan peninggian volume dan tekanan di atrium kiri, dan suatu
pertanda penyakit miokardium yang sudah lanjut. MR fungsional sangat efektif
diobati dengan vasodilator.
D. MANIFESTASI KLINIS
MITRAL REGURGITASI AKUT
Pasien MR berat akut hampir semuanya simtomatik. Pada beberapa kasus
dapat diperberat oleh adanya rupture chordae, umumnya ditandai oleh sesak napas
dan rasa lemas yang berlebihan, yang timbul secara tiba-tiba. Kadang ruptur korda
ditandai oleh adanya nyeri dada, orthopnea, paroxysmal nocturnal dispnea dan
rasa capai kadang ditemukan pada MR akut.
Dari anamnesis juga kemungkinan dapat diperoleh perkiraan etiologi dari
MR akut. MR akut akibat iskemia berat, dapat diperkirakan pada kasus dengan
syok atau gagal jantung kongestif pada pasien dengan infark akut, terutama bila
didapatkan adanya murmur sistolik yang baru, walau kadang tidak ditemukan
murmur sistolik pada MR akut akibat iskemia, karena dapat terjadi keseimbangan
tekanan darah di dalam ventrikel kiri dan atrium kiri yang dapat menimbulkan
lamanya murmur memendek sehingga pada auskultasi sulit dideteksi.
MITRAL REGURGITASI KRONIS
Manifestasi klinis MR kronik, termasuk simtom, pemeriksaan fisis,
perekaman EKG, dan perubahan radiologi sangat tergantung dari derajat dan
kausa dari MR dan bagaimana performa atrium dan ventrikel kiri. Pasien dengan
MR ringan biasanya asimtomatik. MR berat dapat asimtomatik atau gejala
minimal untuk bertahun-tahun. Rasa cepat capai karena cardiac output yang
rendah dan sesak napas ringan pada saat beraktivitas, biasanya segera hilang
apabila aktivitas segera dihentikan.
Sesak napas berat saat beraktivitas, paroxysmal nocturnal dispnea, atau
edema paru bahkan hemoptisis dapat juga terjadi. Gejala-gejala berat tersebut
dapat dipicu oleh fibrilasi atrial yang baru timbul atau karena peningakatan derajat
regurgitasi, atau ruptur korda, atau menurunnya performance ventrikel kiri.
Sedangkan periode transisi dari akut menjadi kronik MR, dapat juga
terjadi misalnya dari gejala akut seperti edema paru dan gagal jantung dapat
mereda secara progresif akibat perbaikan performance ventrikel kiri atau akibat
pemberian diuretika.
E. PEMERIKSAAN FISIS
Tekanan darah biasanya normal. Pada pemeriksaan palpasi, apeks biasanya
terorong ke lateral/kiri sesuai dengan pembesaran ventrikel kiri. Thrill pada apek
pertanda terdapatnya MR berat. Juga bisa terdapat right ventricular heaving, bisa
juga didapatkan pembesaran ventrikel kanan.
Bunyi jantung pertama biasanya bergabung dengan murmur. Umumnya
normal, namun dapat mengeras pada MR karena penyakit jantung rematik. Bunyi
jantung kedua biasanya normal,. Bunyi jantung ketiga terdengar terutama pada
MR akibat kelainan organik, di mana terjadi peningkatan volume dan dilatasi
ventrikel kiri. Murmur diastolik yang bersifat rumbling pada awal diastolik bisa
juga terdengar akibat adanya peningkatan aliran darah pada fase diastol, walau
tidakdisertai oleh adanya stenosis mitral. Namun perlu diingat bahwa bunyi
jantung ketiga dan murmur diastolik ini biasanya bunyinya bersifat “low pitch”,
sulit dideteksi, perlu auskultasi yang hati-hati, lebih jelas terdengar pada posisi
dekubitus lateral kiri, dan pada saat ekspirasi.
Gallop atrial biasanya terdengar pada MR dengan awitan yang masih baru
dan pada MR fungsional atau iskemia serta pada irama yang masih sinus.
Pada MR karena MVP dapat terdengar mid systolic click yang merupakan
pertanda MVP, bersamaan dengan murmur sistolik. Hal ini terjadi sebagai akibat
peregangan yang tiba-tiba dari chordae tendinea.
Petanda utama dari MR dalah murmur sistolik, minimal derajat sedang,
berupa murmur holosistolik yang meliputi bunyi jantung pertama sampi bunyi
jantung kedua. Murmur biasanya bersifat blowing, tetapi bisa juga bersifat kasar
terutama pada MVP. Pada MR karena penyakit jantung valvular dan MVP dari
daun katup anterior, punctum maximum terdengar di apeks, menjalar ke aksila.
Sedangan MVP katup posterior arah jet dari murmur menuju superior dan medial.
Akibtnya murmur menjlar ke basis jantung dan sulit dibedkan dengan murmjur
karena stenosis aorta atau kardiomiopati restruktif. Murmur juga bisa terdengar di
punggung. Murmur biasanya parallel dengan derajat MR, namun tidak demikian
pada MR karena iskemi atau fungsional.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
ELEKTROKARDIOGRAFI
Gambaran EKG pada MR tidak ada yang spesifik, namun fibrilasi atrial
sering ditemukan pada MR karena kelainan organik. MR karena iskemia, Q
patologis dan LBBB bisa terlihat sedangkan pada VP bisa terlihat perubahan
segmen ST-T yang tidak spesifik.
Pada keadaan dengan irama sinus, tanda-tanda dilatasi atrium kiri dan
dilatasi atrium kanan bisa ditemukan apabila sudah ada hipertensi pulmonal yang
berat. Tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri bisa juga ditemukan pada MR kronik.
FOTO TORAKS
Bisa memperlihatkan tanda-tanda pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri.
Juga tanda-tanda hipertensi pulmonal atau edema paru bisa ditemukan pada MR
kronik. Sedangkan pada MR akut, biasanya pembesaran jantung belum jelas,
walaupun sudah ada tanda-tanda gagal janutng kiri.
EKOKARDIOGRAFI
Ekokardiograf Doppler saat ini merupakan alat diagnostik yang utama pada
pemeriksaan pasien dengan MR. Dengan Eko Doppler, dapat diketahui morfologi
lesi katup mitral, derajat atau beratnya MMR. Juga mengetahui beratnya MR.
Juga mengetahui fungsi ventrikel kiri dan atrium kiri. Dengan eko bisa diketahui
etiologi dari MR.
G. PENATALAKSANAAN TERAPI (2)
1. Terapi Medikamentosa
MR akut
Terapi MR akut adalah secepatnya menurunkan volume regurgitan,
yang seterunya akan mengurangi hipertensi pulmonal dan tekanan
atrial dan meningkatkan strok volume. Vasodilator atrial seperti
sodium nitropusid merupakan terapi utama untuk tujuan ini.
Vasodilator arterial dapat mengurangi resistensi valvuler,
meningkatkan aliran pengeluaran, dan bersamaan dengan ini akan
terjadi pengurangan dari aliran regurgitsi. Pada saat bersmaan dengan
berkurangnya volume ventrikel kiri daoat membantu perbaikan
kompetesi katup mitral.
Pada pasien MR berat dengan hipotensi, sebaiknya pemberian sodium
Nitropusid harus dihindari. Intra Aortic Balloon Counter Pulsation
dapat diergunaakan untuk memperbiki mean arterial blood pressure,
dimana diharapkan dapat mengurangi afterload dan meningkatakan
forward output.
Penggantian katup mitral baru bisa dipertimbangkan sesduah
hemodinamik stabil
MR Kronik
Prevensi terhadap endokarditis infekif pada MR sangat penting.
Pasien usia muda dengan MR karena penyakit jantung rematik harus
mendapat profilaksis terhadap demam rematik. Untuk pasien dengan
AF perlu diberikan digoksin dan atau beta blocker untuk kontrol
frekuensi detak ajntung.
Antikoagulan oral harus diberikan pada pasien dengan AF. Penyekat
beta merupakan obat pilihan utama pada sindrom MVP, di mana
sering ditemukan keluhn berdebar dan nyeri dada. Diuretik sangat
bermanfaat untuk kontrol gagal jantung, dan untuk kontrol keluhan
terutama sesak napas. ACE-I dilaporkan bermanfaat pada MR dengan
disfungsi ventrikel kiri, memperbaiki survival dan memperbaiki
simtom.
2) Terapi dengan operasi
Ada beberapa pendekatan dengan rekonstruksi valvular ini, tergantung
dari morfologi lesi dan etiologi MR, dapat berupa valvular repair misalnya
pda MVP, annuloplasty, memperpendek korda dan sebagainya.
Sebelum rekontruksi ataupun sebelum replacement perlu penilaian
apparatus mitral secara cermat, dan performance dari ventrikel kiri. Namun
kadang saat direncanakan rekonstruksi, sesudah dibuka ternyata harus
diganti.
Penggantian katup mitral, dipastikan apabila dengan rekonstruksi
tidak mungkin dilakukan. Apabila diputuskan untuk replacement, maka
pilihan adalah apakah pakai katup mekanik di mana ketahanan dari valve
mechanical ini sudah terjamin, namun terdapat resiko tromboemboli dan
harus minum antikoaguln seumur hidup atau katup bioprotese di mana umur
valve sulit diprediksi, namun tidak perlu pakai antikoagulan lama.
STENOSIS MITRAL (4)
A. DEFENISI
Mitral stenosis adalah suatu keadaan dimana katup mitral tidak dapat
membuka secara sempurna.
B. ETIOLOGI
Stenosis mitral merupakan konsekuensi lanjut tersering setelah mengalami
karditis reuma.
C. PATOGENESIS
Abnormalitas patologis stenosis mitral antara lain fusi komisura, skar
fibrosa, dan obliterasi arsitektur katup yang normalnya berlapis sebagai akibat dari
penyembuhan valvulitis dan fibrosis superimposed. Jembatan fibrosa progresif
melalui komisura katup dapat menghasilkan deformitas yang kaku sehingga
menyebabkan orifisium kaku, yang kemudian mengalami stenosis atau
regurgitasi. Daun katup menjadi terkalsifikasi dan chorda tendineae menebal,
mengalami fusi, serta memendek.
D. GEJALA KLINIS
- Rasa lelah
- Sesak napas
- Ortopneu
- Dispnu nocturnal
- Palpitasi
- Hemoptisis (jarang ditemukan)
E. TANDA KLINIS
- Bunyi S1 keras pada saat auskultasi
- Murmur mid-diastolik
- Opening snap
- Edema paru
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
ELEKTROKARDIOGRAFI
Pada EKG, gambaran stenosis mitral tidak spesifik, jika pasien memiliki irama
sinus, gelombang P bifasik yang lebar didapatkan pada 90% pasien dengan
stenosis mitral.
RADIOFRAFI
Pada radiografi pasien stenosis mitral, ukuran jantung toraks normal kecuali
hipertensi paru yang lama telah menyebabkan dilatasi ruang sisi kanan. Atrium
kiri membesar secara selektif, menyebabkan dilatasi pada bronkus utama kiri.
Pada manula, kalsifikasi katup mitral (pada posisi lateral) harus dibedakan dari
kalsifikasi annulus mitral. Bila tekanan atrium kiri meningkat, terdapat distensi
vena pulmonalis diikuti oleh diversi darah lobus atas dan tanda radiografi edema
interstisial dan alveolar.
EKOKARDIOGRAFI
Ekokardiografi dikombinasikan dengan pemeriksaan Doppler dapat dengan baik
menentukan apakah prosedur konservatif (misalnya valvotomi atau perbaikan
katup) cocok dilakukan. Ekokardiografi menunjukkan penebalan katup dan
penurunan laju penutupan mid-diastolik pada daun katup anterior.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari terapi medis pada stenosis mitral adalah mengontrol denyut
ventrikel, menurunkan tekanan atrium kiri, dan mencegah tromboemboli sistemik.
1. Digoksin merupakan obat pilihan dengan dosis yang cukup untuk
mempertahankan denyut ventrikel istirahat antara 60 dan 70 denyut per
menit, biasanya 0,125-0,25 mg/hari tergantung pada usia, berat badan, dan
fungsi ginjal.
2. Kesulitan mengontrol denyut mungkin membutuhkan tambahan penyekat
β dosis kecil (misalnya atenolol 25 mg sekali sehari) atau antagonis
kalsium (misalnya verapamil 40 mg dua kali sehari). Obat alternatif antara
lain penyekat β saja atau amiodaron.
3. Jika terdapat pembesaran atrium kiri, membutuhkan anti koagulasi dengan
warfarin yang bertujuan untuk mempertahankan international normalized
ratio (INR) antara 2,0-2,5.
4. Terapi diuretik untuk retensi cairan
5. Bila pasien tetap mengalami keterbatasan fisik bermakna walaupun
diberikan terapi diuretik dan control denyut ventrikel, harus
dipertimbangkan menjalani pembedahan yaitu valvotomi mitral terbuka
sesuai untuk valvuloplasti balon mitral atau penggantian katup mitral
dengan prostesis mekanik.
PENYAKIT JANTUNG TIROID (3)
A. DEFINISI
Gangguan fungsi tiroid berupa peningkatan atau penurunan sekresi tiroid yang
dapat menimbulkan kelainan pada jantung.
B. ETIOLOGI
Penyakit jantung tiroid dapat disebabkan oleh keadaan hipertiroidisme dan
hipotiroidisme
C. PATOFISIOLOGI
Hormon tirioid mempunyai banyak efek pada proses metabolik di semua
jaringan, terutama di jantung yang paling sensitif terhadap perubahannya.
Pengaruh horomon tiroid pada jantung digolongkan menjadi 3 kategori; efek
terhadap jantung langsung, efek hormon tiroid pada sistem simpatis dan efek
sekunder terhadap perubahan hemodinamik. ( 1 )
Hormon tiroid sangat mempengaruhi sistem kardiovaskular dengan
beberapa mekanisme baik secara langsung maupun tak langsung, baik dalam
keadaan hipotiroid maupun hipertiroid. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme
tubuh total dan konsumsi oksigen berlebih yang secara tidak langsung
meningkatkan beban kerja jantung. Mekanisme secara pasti belum diketahui,
hormon tiroid menyebabkan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik uang
mirip dengan stimulasi adrenergik ( takikardia dan peningkatan kardiac output )
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis kardiovaskuler hipertiroidisme adalah palpitasi biasanya
yang menyebabkan seseorang berobat ke dokter. Disamping itu hipertensi sistolik,
kelelahan atau dengan dasar penyakit jantung yang sudah ada, angina atau gagal
jantung. Sinus takikardia dijumpai 40% pasien dan 15% dengan fibrilasi atrial.
Dapat dijumpai gangguan hiperdinamik pada perkordial, peningkatan tekanan
nadi, intensitas suara jantung pertama, suara jantung ke 2 komponen pulmonal,
suara jantung ke 3 meningkat. Hipertiroidisme meningkatkan insidensi prolaps
katup mitral, dan beberapa kasus dapat didengar mid sistolik murmur yang baik
pada terdengar pada batas sternal kiri dengan atau tanpa sistolik klik ejeksi.
Manifestasi klinis kardiovaskuler hipotiroidisme adalah penurunan kardiac
output, volume sekuncup, denyut jantung, tekanan darah dan tekanan nadi.
E. PENATALAKSANAAN
Terapi dasar hipertiroidisme berupa takikardi adalah obat golongan
penghambat adrenergik beta bersama-sama dengan obat anti tiroid seperti propil
tiourasil ( PTU ) dan metimasol atau radioiodin sebelum tindakan operasi.
Dapat pula diberikan Iodium radioaktif kecuali pada penderita berusia dibawah 14
tahun dan pada wanita hamil. Dapat pula diberikan preparat digitalis.
10. Sebutkan factor penyulit dan prognosis terhadapa gangguan kardiovaskuler
terutama dengan keluhan palpitasi!
Prognosis dari palpitasi tergantung pada etiologi yang mendasarinya serta
karakteristik klinis dari pasien. Meskipun angka kematian yang diakibatkan oleh
palpitasi rendah, namun tetap harus diperhatikan komplikasi penyakit yang
mungkin timbul. Kondisi pasien dengan palpitasi bisa menjadi serius jika terdapat
riwayat pasien dengan penyakit jantung structural atau riwayat keluarga yang mati
mendadak. Selain itu, penting untuk diingat jika palpitasi berhubungan dengan
gejala gangguan hemodinamik (dyspnoea, sinkop, presyncope, pusing, kelelahan,
nyeri dada ). Di satu sisi, tergantung pada karakteristik klinis dari palpitasi pasien,
misalnya karena aritmia atau fibrilasi atrium, maka bisa saja menimbulkan
prognosis yang buruk. Di sisi lain, pada pasien yang tidak memiliki riwayat
penyakit jantung yang relevan, palpitasi (terutama jika karena kecemasan)
umumnya memiliki prognosis yang jinak. Sebuah studi di Amerika retrospektif
yang menganalisa catatan kasus yang diperoleh dari dokter umum tidak
menemukan perbedaan dalam 5 tahun mortalitas dan morbiditas antara pasien
dengan palpitasi dan kelompok kontrol tanpa gejala. (5)
11. Bagaiman prosedur tindakan awal pada pasien dengan keluhan palpitasi di
ruang UGD?
Terapi untuk palpitasi disesuaikan dengan etiologinya. Untuk
penanganan awal pada pasien palpitasi dan sesak adalah diberikan O2 untuk
menangani hypoxia pada pasien. Untuk penanganan palpitasi yang akurat,
diperlukan pemeriksaan lanjutan seperti EKG untuk memastikan penyebab
pasti dari palpitasi (cardiovascular atau non-cardivascular) . Namun untuk
penanganan awal dapat dilakukan Vagal Maneuver. Maneuver vagal
misalnya : dengan carotid sinus message, valsalva maneuver, gagging atau
merendammuka di dalam air dingin. (5)
DAFTAR PUSTAKA
1. Douglas G, dkk. 2009. Pemeriksaan Klinis Robertson C. Churchill
Livingston 12 edition. Jakarta :
2. Kabo P. 2010. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskuler
Secara Rasional. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
3. Aru W. Sudoyo, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid IV.
Jakarta : Internal Publishing
4. Huon H. Gray, dkk. 2005. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta : Erlangga
Medical Series
5. Management of Patients with Palpitations : European Heart Rhytm
Association. 2011 [cited 21 Maret 2013]; Available from:
http://europace.oxfordjournals.org/content/13/7/920.full.pdf+html
6. Gleadle, Jonathan, dkk. 2002. At Glance Anamnesia dan Pemeriksaan
Fisik. Jakarta : Erlangga
7. Swartz H. Mark. 2005. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC
8. Baras, Faisal, dkk. 1998. Buku Ajar Kardiologi FKUI. Jakarta : Gaya Baru