naila jurnal konj
DESCRIPTION
jurnal konjungtivitisTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva (lapisan luar mata dan lapisan dalam
kelopak mata) yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi,
iritasi bahan-bahan kimia 4. Konjungtivitis akut terjadi pada lebih dari 5 juta pasien yang
mengunjungi rawat jalan dan departemen darurat di Amerika Serikat setiap tahunnya.1 Penelitian
sebelumnya 2-4 telah menyatakan bahwa sekitar 50% sampai 80% dari kasus konjungtivitis pada
anak-anak disebabkan oleh bakteri. Namun belum ada pedoman pasti dari temuan klinis untuk
membedakan antara konjungtivitis bacterial dan nonbacterial, dimana kondisi tersebut sangat
penting untuk menentukan pengobatan dengan antibiotic.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara mengidentifikasi populasi anak-anak yang beresiko rendah untuk
mengalami konjungtivitis bakteri berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui cara mengidentifikasi populasi anak-anak yang beresiko rendah untuk
mengalami konjungtivitis bakteri berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik?
1.4 Manfaat
1. Dapat menambah wawasan dan ilmu khususnya mengenai cara membedakan antara
konjungtivitis bacterial dengan nonbakterial.
2. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TELAAH JURNAL
2
2.1 Latar Belakang Penelitian
Konjungtivitis akut terjadi pada lebih dari 5 juta pasien rawat jalan dan kunjungan UGD di
Amerika Serikat setiap tahun. Penelitian sebelumnya telah menyebutkan sekitar 50%-80% dari
kasus konjungtivitis pada anak-anak disebabkan oleh bakteri. Namun, keabsahan tanda-tanda dan
gejala klasik untuk membedakan bakteri dari penyebab konjungtivitis akut nonbakterial belum
didukung oleh literatur. Oleh karena itu, kebanyakan praktisi klinis meresepkan antibiotik topikal
untuk semua anak dengan konjungtivitis akut.
Resistensi bakteri terhadap obat antibiotik merupakan masalah yang semakin meningkat,
dan ada upaya nasional untuk menemukan kondisi yang pembatasan penggunaan obat antibiotik.
Tidak ada pedoman untuk membedakan konjungtivitis bakteri dari nonbakterial secara pasti.
2.2 Masalah penelitian
Mengidentifikasi populasi anak-anak beresiko rendah untuk konjungtivitis bakteri
berdasarkan sejarah dan temuan pemeriksaan fisik.
2.3 Desain Penelitian
Kami melakukan studi kohort prospektif observasional pada anak usia 6 bulan sampai 17
tahun yang datang ke gawat darurat anak di Jacobi Medical Center, Bronx, New York, dengan
eritema konjungtiva akut, discharge pada mata, atau keduanya antara April 2007 sampai Maret
2008. Terkecuali pasien yg telah menggunakan lensa kontak atau obat antibiotik (topikal atau oral)
atau telah mengalami trauma mata atau paparan bahan kimia berbahaya dalam 5 hari
sebelumnya. Sebelum pelaksanaan studi, semua dokter yang menghadiri, praktisi perawat, dan
staf rumah mendapat pelatihan tentang pengumpulan spesimen yang tepat untuk kultur
konjungtiva.
Dihadiri dokter, pasien terdaftar yang memenuhi syarat setelah mendapat persetujuan
tertulis dari pengasuh dan persetujuan dari anak dengan usia ≥ 7 tahun. Pasien yang terdaftar 24
jam sehari dan 7 hari seminggu. Dokter menyelesaikan ceklist dari tanda dan gejala serta
memperoleh konjungtival swab untuk kultur bakteri. Konjungtiva palpebra bawah yang terkena
disampel menggunakan kapas yang kemudian dimasukkan ke dalam media transportasi dan
segera dikirim ke laboratorium mikrobiologi. Konjunctival swab diproses menggunakan teknik
mikrobiologis standar
Hasil utama adalah hasil dari kultur konjungtiva. Kultur dianggap negatif jika tumbuh flora
normal atau jika tidak ada pertumbuhan setelah 3 hari. Laboratorium mikrobiologi mendefinisikan
flora normal konjungtiva seperti Staphylococcus coagulase negatif, Streptococcus viridans, dan
spesies Diphtherioid. Hasil kultur konjungtiva dianggap positif bila laboratorium melaporkan
pertumbuhan bakteri lain dari flora normal
3
Kekuatan analisis dilakukan dengan menggunakan statistik dan kekuatan perangkat lunak
analisis (PASS 2005; NCSS, Kaysville, Utah). Hipotesis nol adalah bahwa tidak ada hubungan
antara prediktor potensial dan probabilitas dasar dari memiliki kultur bakteri konjungtiva negatif.
Kami memutuskan bahwa untuk mempertimbangkan variabel signifikan, kultur bakteri negatif harus
sekitar 3 kali lebih mungkin dengan adanya variabel itu. Menggunakan asumsi ini, ukuran sampel
dari 353 akan diperlukan (P =. 05, kekuatan 80%).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program statistik (SPSS 14,0 untuk
Graduate Student Versi Windows; SPSS Inc, Chicago, Illinois)2 yaitu tes X2, Mann-Whitney tes, dan
regresi logistik yang digunakan untuk membuat model prediksi untuk kultur bakteri negatif
Subanalyses pada anak-anak dengan usia di atas dan di bawah cutoff point dilakukan
untuk menentukan apakah faktor-faktor subjektif (yakni, mata gatal, sensasi benda asing, mata
seperti terbakar, sakit mata, fotofobia, dan sakit tenggorokan) memiliki efek lebih besar dalam
memprediksi kultur negatif pada anak-anak yang lebih tua. Model prediksi terpisah kemudian
dibuat untuk masing-masing 2 kelompok usia. Penelitian ini disetujui oleh dewan review
kelembagaan dari Albert Einstein College of Medicine, Bronx, New York, dan Jacobi Medical
Center.
2.4 Hasil dan Data
Sebanyak 402 anak usia 6 bulan sampai 17 tahun dengan konjungtivitis akut memenuhi
syarat untuk pendaftaran. Dari jumlah tersebut, 23 orang tua menolak anak mereka berpartisipasi
dalam penelitian. Pada 11 anak yang terdaftar, laboratorium tidak menerima kultur spesimen. Dan
tersisa 368 anak-anak membentuk populasi penelitian.
Gambar 1. Hasil kultur konjungtiva berdasarkan umur
Gambar 2. Hasil kultur konjungtiva dalam bulan dari presentasi unit emergensi
4
194 pasien (52,7%) adalah laki-laki. Usia pasien rata-rata
adalah 3 tahun (IQR, 1-5 tahun).
Anak-anak dengan kultur positif secara signifikan lebih
muda dari anak-anak dengan kultur negatif :
2 tahun (IQR, 1-4 tahun) vs 5 tahun (IQR, 2-8 tahun)
(P .001) (Gambar 1). Menggunakan kurva receiver
operating characteristic, usia 6 tahun memberikan
diskriminasi optimal cutoff point untuk usia. Secara
keseluruhan, kultur konjungtiva negatif pada 130 pasien
(35,3%). Kultur spesimen konjungtiva diperoleh
sepanjang tahun. Pasien datang ke unit gawat
darurat pada bulan April sampai november secara
bermakna memiliki kultur negatif (P .001) (Gambar 2).
Pada pasien dengan kultur positif, Haemophilus
influenzae dan Streptococcus pneumoniae menyumbang
sebagian besar kultur bakteri (Tabel 1).
Asosiasi antara variabel demografi, klinis dan
hasil dari kultur konjungtiva terdaftar pada Tabel 2. Enam
belas variabel prediktor yang memenuhi syarat untuk
masuk ke dalam analisis regresi multivariat adalah 5
variabel yang secara independen terkait dengan kultur
negatif konjungtiva yaitu usia 6 tahun dan lebih tua, presentasi pada bulan April sampai November,
tidak ada atau sekret encer, adanya mata lengket di pagi hari, dan fotofobia. Namun, fotofobia
dilaporkan tak diperoleh dalam 99 pasien (26,9%), yang semuanya lebih muda dari 6 tahun.
5
Karena usia median dari sampel 3 tahun dan karena fotofobia merupakan prediktor yang
tidak dapat diandalkan pada anak-anak muda, sehingga dihapus dan menghasilkan 4 variabel
yang ditampilkan dalam Tabel 3. Sebuah model dibuat dengan menggunakan kombinasi dari 4
variabel untuk memprediksi probabilitas kultur konjungtiva negatif (Tabel 4). Menggunakan model
ini, anak tanpa prediktor akan memiliki kultur negatif sebesar 11,8%, sedangkan seorang anak
dengan 4 prediktor akan memiliki kultur negatif sebesar 92,3%.
Hasil subanalyses untuk anak-anak di atas dan di bawah usia 6 tahun dari cutoff point
dicatat dalam Tabel 5. Pada anak 6 tahun dan lebih tua, muncul "tidak sakit tenggorokan" sebagai
variabel prediktor tambahan. Pada anak-anak lebih muda dari 6 tahun, hanya 2 variabel yang
ditemukan secara independen terkait dengan kultur negatif. Model prediksi untuk kedua kelompok
usia diberikan dalam Tabel 6.
2.5 Diskusi
Meskipun konjungtivitis merupakan salah satu kondisi yang sering terjadi, beberapa studi
telah berfokus pada diagnosis klinis. Terlebih lagi, meskipun pasien yang paling mungkin memiliki
kondisi ini adalah anak-anak, ada beberapa studi bahkan lebih sedikit yang melibatkan pasien
anak. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa dokter anak mendiagnosa sebagai
konjungtivitis bakteri atau nonbakterial hanya sekitar setengah dari waktu tetapi meresepkan
antibiotik topikal untuk kebanyakan anak.
6
Patel dkk meneliti 111 anak-anak dengan konjungtivitis akut pada faktor klinis penelitian
untuk membedakan bakteri dari penyebab nonbakterial. Prevalensi dasar konjungtivitis bakteri
dalam kelompok mereka adalah 78%. Mereka menemukan 2 variabel, riwayat kelopak mata
lengket atau temuan fisik cairan berlendir atau purulen, untuk menjadi yang paling prediktif dari
penyebab bakteri. Namun, ada beberapa keterbatasan penting studi mereka. Dengan
mengecualikan anak-anak dengan "riwayat alergi, diagnosis konjungtivitis alergi, atau gejala lain
dari alergi.” Selain itu, mereka menggunakan sampel kemudahan dan mungkin memiliki sampel
anak-anak di bagian-bagian tertentu dari tahun ketika insiden penyakit bakteri lebih umum
Literatur menunjukkan bahwa prevalensi konjungtivitis bakteri pada orang dewasa adalah
sekitar 35%, menunjukkan bahwa semakin tua usia anak maka kemungkinan kultur yang positif
menurun. Penelitian oleh Patel et al termasuk anak-anak hingga usia 18 tahun tapi tidak terdapat
perbedaan yg signifikan pada anak dengan dan tanpa kultur positif. Ini mungkin karena ukuran
sampel yang relatif kecil mereka dan kenyataan bahwa kebanyakan pasien menyajikan dengan
konjungtivitis akut bayi dan balita.
Kami berusaha untuk mengidentifikasi anak-anak beresiko rendah untuk konjungtivitis
bakteri berdasarkan sejarah dan temuan pemeriksaan fisik. Kami memilih untuk mendefinisikan
risiko rendah sebagai probabilitas tinggi kultur negatif karena kami percaya bahwa definisi ini akan
sangat berguna untuk dokter. Anak-anak dengan kultur negatif yang paling mungkin memiliki virus
atau konjungtivitis alergi dan tidak perlu antibiotik topikal.
Usia 6 tahun keatas, tanpa ada mata lengket pada pagi hari, tak ada discharge, dan
pasien yang datang pada April-November terbanyak ditemukan dengan kultur bakteri negative.
Kami mengkombinasikan 4 prediksi ini dan membuat keputusan. Bahwa, 3 dari 4 prediksi yang
ada, kemungkinan anak memiliki kultur negative tinggi. Ketika semua prediksi ditemukan, maka
kemungkinan meningkat hingga 90%. Aturan ini memungkinkan dokter untuk memutuskan berapa
banyak variabel perlu hadir sebelum ia menggunakan antibiotik.
Terlepas dari kenyataan bahwa kebanyakan kasus konjungtivitis terjadi pada anak yang
lebih muda, banyak faktor klasik yang terkait dengan konjungtivitis nonbakterial (yaitu, mata gatal,
sensasi benda asing, membakar mata, sakit mata, fotofobia, dan sakit tenggorokan) tidak bisa
andal ditanyakan pada anak usia muda . Kami menemukan bahwa model ini lebih baik dilakukan
pada anak yang lebih tua daripada di sampel keseluruhan. Selain itu, ketika menganalisis anak-
anak hanya lebih tua, hanya 1 variabel subjektif tambahan, tidak sakit tenggorokan, dibantu dalam
prediksi kultur negatif.
Ada beberapa keterbatasan yang terkait dengan studi ini. Walaupun semua dokter
menerima pelatihan tentang koleksi spesimen untuk kultur pada implementasi studi, teknik
mungkin telah berubah sepanjang waktu, dan pelatihan kembali adalah variabel. Hal ini juga
7
mungkin bahwa dokter tidak mungkin telah memperoleh spesimen yang memadai karena
kurangnya kerjasama pasien. Namun, persentase terbesar dari kultur positif diperoleh pada anak-
anak muda, yang sering tidak kooperatif. Selain itu, populasi pasien terletak di Amerika Serikat
timur laut, di mana ada variasi musiman dalam penyebab konjungtivitis. Kawasan yang mengalami
kurang variasi musiman dapat menemukan aturan prediksi kurang bermanfaat.
Keterbatasan lain adalah bahwa kita tidak menentukan durasi pasti dari gejala yang
diperlukan untuk mendefinisikan konjungtivitis pasien sebagai akut. Ada kemungkinan bahwa
praktisi mungkin telah mengecualikan beberapa pasien yang gejalanya mereka tidak merasa yang
akut. Namun, analisis post hoc dari data ini menunjukkan bahwa hanya 2 pasien (0,5%) disajikan
dengan gejala berlangsung lebih lama dari 14 hari.
Penelitian ini dirancang untuk membantu dokter dalam membuat diagnosis konjungtivitis
nonbakterial. Hal ini masih belum jelas apakah semua anak dengan konjungtivitis bakteri harus
diobati dengan antibiotik topikal awalnya atau apakah menunggu dan melihat pendekatan, seperti
yang disarankan oleh Everitt et al, adalah strategi yang lebih baik. Sedangkan beberapa studi telah
menunjukkan bahwa kebanyakan anak dengan konjungtivitis bakteri akan menunjukkan
kesembuhan klinis setelah seminggu tanpa pengobatan, yang lain telah menyarankan bahwa
anak-anak dengan konjungtivitis bakteri lebih cepat sembuh ketika diobati dengan antibiotik.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Konjungtivitis bacterial adalah Peradangan pada konjungtiva yang disebabkan Oleh
Streptokokus, Corynebacterium diptherica, Pseudomonas, neisseria, dan hemophilus. 3
Terdapat dua bentuk konjungtivitis bacterial: akut (dan subakut) dan menahun. Penyebab
konjungtivitis bakteri paling sering adalah Staphylococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus.
Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri bila disebabkan mikroorganisme seperti
8
Haemophilus influenza. Lamanya penyakit dapat mencapai 2 minggu jika tidak diobati dengan
memadai. 3
Konjungtivitis akut dapat menjadi menahun. Pengobatan dengan salah satu dari sekian
antibacterial yang tersedia biasanya mengenai keadaan ini dalam beberapa hari. Konjungtivitis
purulen yang disebabkan Neisseria gonorroeae atau Neisseria meningitides dapat menimbulkan
komplikasi berat bila tidak diobati secara dini, 4
3.2 Diagnosis
Hiperemi Konjungtiva
Edema kelopak dengan kornea yang jernih
Kemosis : pembengkakan konjungtiva
Mukopurulen atau Purulen4
3.3 Pemeriksaan
Pemeriksaan tajam penglihatan
Pemeriksaan segmen anterior bola mata
Sediaan langsung (swab konjungtiva untuk pewarnaan garam) untuk mengindentifikasi
bakteri, jamur dan sitologinya. 5
Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan menular ke sebelah oleh tangan. Infeksi dapat
menyebar ke orang lain melalui bahan yang dapat menyebarkan kuman seperti seprei, kain, dll.1,5
3.4 Pemeriksaan Laboratorium
Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bacterial, organism dapat diketahui dengan
pemeriksaan mikroskopik terhadap kerokan konjungtiva yang dipulas dengan pulasan Gram atau
Giemsa; pemeriksaan ini mengungkapkan banyak neutrofil polimorfonuklear.1,2,3 Kerokan
konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan disarankan untuk semua kasus dan
diharuskan jika penyakit itu purulen, bermembran atau berpseudomembran. Studi sensitivitas
antibiotika juga baik, namun sebaiknya harus dimulai terapi antibiotika empiric. Bila hasil sensitifitas
antibiotika telah ada, tetapi antibiotika spesifik dapat diteruskan. 6
3.5 Terapi
Prinsip terapi dengan obat topical spectrum luas. Pada 24 jam pertama obat diteteskan
tiap 2 jam kemudian pada hari berikutnya diberikan 4 kali sehari selama 1 minggu. Pada malam
harinya diberikan salep mata untuk mencegah belekan di pagi hari dan mempercepat
penyembuhan1, 3
Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung temuan agen mikrobiologiknya.
Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter dapat mulai dengan terapi topical antimikroba. Pada
setiap konjungtivitis purulen, harus dipilih antibiotika yang cocok untuk mengobati infeksi N
9
gonorroeae, dan N meningitides. Terapi topical dan sistemik harus segera dilkasanakan setelah
materi untuk pemeriksaan laboratorium telah diperoleh. 4,6
Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut, saccus konjungtiva harus dibilas dengan
larutan garam agar dapat menghilangkan secret konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran
penyakit ini, pasien dan keluarga diminta memperhatikan secara khusus hygiene perorangan. 1,4
3.6 Perjalanan dan Prognosis
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri, infeksi dapat berlangsung
selama 10-14 hari; jika diobati dengan memadai, 1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang
dapat berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki tahap mnehun) dan konjungtivitis
gonokokus (yang bila tidak diobati dapat berakibat perforasi kornea dan endoftalmitis). Karena
konjungtiva dapat menjadi gerbang masuk bagi meningokokus ke dalam darah dan meninges,
hasil akhir konjungtivitis meningokokus adalah septicemia dan meningitis.1,4
Konjungtivitis bacterial menahun mungkin tidak dapat sembuh sendiri dan menjadi
masalah pengobatan yang menyulitkan.
3.7 Pencegahan
Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudahmembersihkan atau men-
goleskan obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-bersih.
Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani mata yang
sakit.
Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni rumah lain-
nya.8
10
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Komunitas medis prihatin tentang penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tingkat
resistensi bakteri yang berkembang pesat. Data ini menunjukkan bahwa kombinasi 4 faktor klinis
(usia 6 tahun, presentasi pada bulan April-November, discarghe (-), dan tidak adanya mata lengket
di pagi hari) dapat membantu dokter dalam mengidentifikasi anak-anak beresiko rendah untuk
konjungtivitis bakteri. Jika temuan ini divalidasi pada populasi lain, kita mungkin dapat membatasi
administrasi rutin obat antibiotik untuk anak-anak dengan konjungtivitis akut.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Schappert SM, Burt CW. Ambulatory care visits to physician offices, hospital outpatient departments,
and emergency departments: United States, 2001–02. Vital Health Stat 13. 2006;159(159):1-66.
2. Gigliotti F, Hendley JO, Morgan J, Michaels R, Dickens M, Lohr J. Efficacy of topical antibiotic therapy
in acute conjunctivitis in children. J Pediatr. 1984; 104(4):623-626.
3. Rose PW, Harnden A, Brueggemann AB, et al. Chloramphenicol treatment for acute infective con-
junctivitis in children in primary care: a randomised doubleblind placebo-controlled trial. Lancet.
2005;366(9479):37-43.
4. Buznach N, Dagan R, Greenberg D. Clinical and bacterial characteristics of acute bacterial conjunc-
tivitis in children in the antibiotic resistance era. Pediatr Infect Dis J. 2005;24(9):823-828.
5. Rietveld RP, van Weert HC, ter Riet G, Bindels PJ. Diagnostic impact of signs and symptoms in acute
infectious conjunctivitis: systematic literature search [abstract]. BMJ. 2003;327(7418):789.
6. Everitt H, Little P. How do GPs diagnose and manage acute infective conjunctivitis? a GP survey.
Fam Pract. 2002;19(6):658-660.
7. Leibowitz HW, Pratt MV, Flagstad IJ, Berrospi AR, Kundsin R. Human conjunctivitis, I: diagnostic
evaluation. Arch Ophthalmol. 1976;94(10):1747-1749.
8. Rietveld RP, ter Riet G, Bindels PJ, Sloos JH, van Weert HC. Predicting bacterial cause in infectious
conjunctivitis: cohort study on informativeness of combinations of signs and symptoms. BMJ.
2004;329(7459):206-210.
9. Patel PB, Diaz MC, Bennett JE, Attia MW. Clinical features of bacterial conjunctivitis in children. Acad
Emerg Med. 2007;14(1):1-5.
10. Pelletier J, Haim L, Patel NS. Comment on “Clinical features of bacterial conjunctivitis in children.”
Acad Emerg Med. 2007;14(8):759-760, author reply 760.
11. Everitt HA, Little PS, Smith PW. A randomised controlled trial of management strategies for acute in -
fective conjunctivitis in general practice [published correction appears in BMJ. 2006;333(7566):468].
BMJ. 2006;333(7563):321.
12
12. Granet DB, Dorfman M, Stroman D, Cockrum P. A multicenter comparison of polymyxin B sulfate/
trimethoprim ophthalmic solution and moxifloxacin in the speed of clinical efficacy for the treatment of
bacterial conjunctivitis. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 2008;45(6):340-349.
13. Sheikh A, Hurwitz B. Antibiotics versus placebo for acute bacterial conjunctivitis [update of: Cochrane
Database Syst Rev. 2000;(2):CD001211]. Cochrane Database Syst Rev. 2006;(2):CD001211.