referat abses otak naila
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Abses otak adealah suatu proses infeksi dengan nanah yang terlokalisir
diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri,
fungus dan protozoa.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika
saat ini telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak
masih tetap tinggi, yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah
jarang dijumpai terutama di negara-negara maju, namun karena resiko
kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi yang
mengancam kehidupan masyarakat (life threatening infection).
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai
pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya
masih usia produktif yaitu sekitar 20-50 tahun.
Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson
Cancer Center Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang diperolehnya
selama 14 tahun (1989-2002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki >
perempuan dengan perbandingan 7:2, berusia sekitar 38-78 tahun dengan rate
kematian 55%.
Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien
abses otak yang terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr Soetomo
Surabaya, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah penderita
1
abses otak pada laki-laki > perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia sekitar
5 bulan-50 tahun dengan angka kematian 355 (dari 20 penderita, 7 meninggal).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang
terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai
macam variasi bakteri, fungus dan protozoa (Haslam, 2004).
1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran
infeksi telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis
dan maxillaries) (Haslam, 2004).
Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen
dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase,
pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit
jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi
putih dan abu dari jaringan otak). Abses otak yang penyebarannya
secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah yang
didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau
cerebellum dan batang otak.
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit
immunologik seperti AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat
kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang
3
jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah,
abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi
gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi
dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus otak.
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde
thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis
atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial
di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga
menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis.
Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan abses pada lobus frontalis
atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada
lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada
lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat pula menyebar ke
lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak
kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani
atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke
dalam serebelum.
Bakteri penyebabnya antara lain, Streptococcus aureus,
streptococci (viridians, pneumococci, microaerophilic), bakteri
anaerob (bakteri kokus gram positif, Bacteroides spp, Fusobacterium
spp, Prevotella spp, Actinomyces spp, dan Clostridium spp), basil
aerob gram-negatif (enteric rods, Proteus spp, Pseudomonas
aeruginosa, Citrobacter diversus, dan Haemophilus spp). Infeksi
4
parasit (Schistosomiasis, Amoeba) dan fungus (Actinomycosis,
Candida albicans) dapat pula menimbulkan abses, tetapi hal ini jarang
terjadi.
Factor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau
factor lingkungan.
a. Faktor tuan rumah (host)
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi
mencakup kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar
darah otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang
adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi
sempurna.
b. Faktor kuman (agent)
Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang
membangkitkan meningitis bacterial akut, memiliki beberapa
faktor virulensi yang tidak bersangkut paut dengan faktor
pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi yang rendah
dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat
ganggguan pada system limfoid atau retikuloendotelial.
c. Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat
masuk ke dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor,
melaui air, atau udara (Sidharta, 2009).
5
1.3 Patofisiologi
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum
dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat
yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi
kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada
setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba
dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada
daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu (Goodkin et al,
2004).
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada
jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan
kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan.
Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan
pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses.
Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang
nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan
dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang
konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4
stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi
polymofonuklear leukosit, limfosit dan plasma sel dengan
6
pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika
adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis
infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini
terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena
pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti.
Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan
acellular debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-
enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel
radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang
terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan
membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar
maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular
debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul.
Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi
pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat
lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi
putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang
terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar ke
7
dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke
dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah
anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen,
reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses
dengan gambaran histologis sebagai berikut:
- Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel
radang.
- Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
- Kapsul kolagen yang tebal.
- Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang
berlanjut.
- Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan
meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat
menimbulkan meningitis.
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis,
amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat
menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media,
mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan
serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen (Goodkin et al, 2004).
8
1.4 Respon Imunologik pada Abses Otak.
Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian
sampai ke susunan saraf pusat melalui lintasan-lintasan berikut.
Kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke otak
perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral
merupakan penyebaran ke otak secara langsung.
Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang dating melalui
lintasan hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood
brain barrier. Pada toksemia dan septicemia, sawar darah otak terusak
dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak
jarang dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak
yang sehat cukup resisten terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan
ke dalam otak secara langsung pada binatang percobaan ternyata tidak
membangkitkan abses sereebri/ abses otak, kecuali apabila jumlah
kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi intraserebral telah
diadakan nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar
darah otak sangat protektif, namun ia menghambat penetrasi fagosit,
antibody dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki fagosit yang
efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik untuk
pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses
infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen
dan destruktif (Sidharta, 2006).
9
1.5 Manifestasi Klinis
Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat
gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala
peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan
kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas
berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian
tekanan intrakranial dan gejala neurologik fokal.
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-
gejala neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia
homonim disertai kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis
yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke
dalam kavum ventrikel.
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan
pendengaran dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan
kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik
terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan
abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama
di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik.
Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan
menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri
dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya
berasal hematogen dan berakibat fatal (Goodkin et al, 2004).
10
1.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,
pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya.
Selain itu penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara
menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan
mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang
mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah
diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya (Goodkin et al, 2004).
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan
mengevaluasi status mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis,
refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda rangsang meningeal
untuk memastikan keterlibatan meningen.
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas
sistem musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan
abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya
bilateral atau tunggal (Haslam, 2004).
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah
perifer yaitu pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan
peninggian lekosit dan laju endap darah. Pemeriksaan cairan
serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal.
Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit
pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang kecuali
bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel (Goodkin et al, 2004).
11
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan
intrakranial, dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi
ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi
adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui
lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan
fokal yaitu gelombang lambat delta dengan frekuensi 13 siklus/detik
pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting terutama untuk
diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi
abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan
setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan.
Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat
diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang
hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi
oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga
dapat membedakan suatu serebritis dengan abses (Haslam, 2004).
Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain
memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.
Gambaran CT-scan pada abses :
- Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.
- Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat
nekrosis dari zona central inflamasi.
12
- Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,
hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada
stadium ini dapat terlihat gambaran ring enhancement.
- Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang
hipodens (sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring
enhancement (kapsul abses)
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan
prosedur diagnostik, dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90%
untuk mendiagnosis abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah
walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma),
infark, metastasis, hematom yang diserap dan granuloma (Goodkin et
al, 2004).
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor
(glioblastoma, metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang
dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara lain : umur
penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya
uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada ½ kasus, kapsul
bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini menunjukkan
sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa
daughter abscess biasanya berkembang di medial.
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus
infeksi (yang tersering dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi
13
oleh arteri serebri media di daerah perbatasan massa putih dan abu-abu
dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya
mixed density tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai
perifokal edema yang luas (Goodkin, 2004).
1.7 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan :
a. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang
dapat mengancam jiwa
b. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses.
c. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
d. Pengobatan terhadap infeksi primer.
e. Pencegahan kejang.
f. Neurorehabilitasi (Goodkin et al, 2004)
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang
tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan
organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya
tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi
ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan
pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline
atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga
metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur
14
dan tes sentivitas telah tersedia. Pada abses terjadi akibat trauma
penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi
dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan
juga metronidazole. Monoterapi dengna meropenem yang terbukti baik
melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan
streptokokkus dan menjadi pilihana alternatif. Sementara itu pada
abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi
dengan penissilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat
ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan vancomycin dan
ceptazidine. Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang
menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus
pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis
citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat
digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum
dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien dengan
immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
Drug Dose Frekwensi dan ruteCefotaxime (Claforan)
50-100 mg/KgBB/Hari
2-3 kali per hari,
IVCeftriaxone (Rocephin)
50-100 mg/KgBB/Hari
2-3 kali per hari,
IVMetronidazole (Flagyl)
35-50 mg/KgBB/Hari
3 kali per hari,
IV
15
Nafcillin (Unipen, Nafcil)
2 grams
setiap 4 jam,
IVVancomycin
15 mg/KgBB/Hari
setiap 12 jam,
IVKebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan
steroid dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat
menghalangi pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat
dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial
dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg
dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7
hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan
pertimbangan adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil
edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift pada CT
scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off,
dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada
pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil edema.
Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak dipertimbangkan
dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk
mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses
yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi
antara antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi
eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur
16
pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan
stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan
aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang otak dan
pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak
menguntungkan, seperti: small deep abscess, multiple abscess dan
early cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif
ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi
kraniotomi mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna
mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu sendiri,
disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya
kapsul dan lokasinya di temporal.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan
abses berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan
sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik
dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan,
karena prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas
jika dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah
17
ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses,
lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau
jamur yang berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis,
sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan
drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan
respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat
4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses
dan posisinya terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan
dihentikan tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan
durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan
neurologis, EEG dan neuroimaging).
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita
sudah mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering.
Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan
klinis penderita selanjutnya.
1.8 Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun
komplikasinya adalah:
a. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
b. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
c. Edema otak
d. Herniasi oleh massa Abses otak
18
1.9 Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara
signifikan berkurang, dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau
MRI dan antibiotic yang tepat, serta manajemen pembedahan
merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya angka
kematian, dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel,
kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka harapan yang
terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang,
hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis dan masalah-masalah
pembelajaran lainnya.
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
a. Cepatnya diagnosis ditegakkan
b. Derajat perubahan patologis
c. Soliter atau multipel
d. Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat
lebih cepat didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO
soliter lebih baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi
keajng dapat menetap pada 50% penderita (Adam & Maurice, 2003).
19
BAB III
KESIMPULAN
Abses otak merupakan suatu proses infeksi dengan nanah yang terlokalisir
di antara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam bakteri, fungus dan
protozoa, dimana kasusnya jarangnya diujumpai tetapi angka kematiannya tinggi
(rata-rata 40 %), sehingga tergolong kelompok penyakit “life threatening
infection”. Sebagian besar penderita abses otak adalah laki-laki dibandingkan
perempuan (3:1), yamg berusia produktif (20-50 tahun).
Abses otak timbul akibat penyebaran langsung dari infeksi telinga tengah,
sinusitis dan mastoiditis. Abses juga dapat timbul dari penyebaran secara
hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase,
pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung
bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari
jaringan otak).
Proses pembentukan abses otak memakan waktu 2 minggu dan terdiri dari
4 tahap. Umumnya gejala-gejala yang timbul sama dengan gejala-gela
peningkatan tekanan intra kranial. Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik,
foto rontgen, CT scan dan pemeriksaan laboratorium. Pengobatan umumnya
dilakukan dengan tindakan bedah (aspirasi atau eksisi) dan pemberian antibiotik
yang tepat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Adams RD, Mauice V., 2003, Brain Abscess. In Principles of Neurology. 5th ed.
USA:McGraw-Hill
Arsyad AH, 2009, Abses Otak, Departemen Bedah Fakultas Kedokteran USU /
SMF Bedah Saraf RSUP H. Adam Malik Medan. Dikutip dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15591.pdf
Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL., 2004, Prevalence, Symptoms, and
Prognosis of Intracerebral Abscess, American Academy of Pediatrics.
Dikutip dari: http://aapgrandrounds.aappublications.org
Haslam AR., 2004, Brain Abscess. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed.
USA: WB Saunders
Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Xiang Y. Han, 2003, Fusobacterial Brain Abscess. A Review Of Five Cases And
Analysis Of Possible Pathogenesis; Journal Of Neurosurgery
21