oh, what heppened with our boyfriends
DESCRIPTION
FanfictionTRANSCRIPT
Hari Yang Indah…???
Riri
Pagi hari di Bikini Bottom yang cerah…
Eh, salah ding… Itu kan pembukaan punya SpongeBob.
Pagi hari saat ayam baru mengambil napas dalam-dalam untuk memulai
ritual paginya, yang seperti biasa apalagi kalau bukan untuk membangunkan
orang lain untuk memulai aktifitasnya masing-masing atau para ayam betina,
kambing betina, sapi, de-el-el para penduduk binatang berjenis kelamin betina
agar mulai mencari makan, kebalik tuh…Eh, tapi sekarang juga wanita udah ada
yang cari nafkah kan dibanding dengan pria? Kok dari tadi nggak nyambung
banget. Kita ulangi lagi…
Tarik napas dulu secara perlahan biarkan O² masuk dan hembuskan H²O.
Be-te-we dari tadi kok belum mulai ya?
Ok, sekarang kita mulai…
Seperti biasa pagi hari saat Aku bangun, Aku langsung ke kamar mandi
untuk mencuci muka terus ngeboker…
Ikh, kok kedengarannya kaya bikin karangan buat sekolah, ya? Okelah
sekarang kita serius…Inget, serius Ri…
Sekitar pukul 05.30 Waktu Indonesia Barat alias WIB, jam beker yang
sudah kupasang sejak tadi malam berdering keras sehingga membangunkanku dari
mimpi nan indah bersama pangeranku. Siapa lagi kalau bukan Brad Pitperhatian
para cewek jangan pada ngiri yasedang mesra-mesraan di taman bunga Raflesia
Arnoldi. Hii… mana ada yang mau…Lanjut dah…
1
Aku menggeliat sebentar. Bangun dengan satu hentakkan dan berjalan
dengan malas ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kulihat di cermin kamar
mandi bekas ilerku sepanjang tembok Cina. Kukira itu cuma tato baru hari ini,
habis keren banget gitu loh…
Tok! Tok! Tok!
Sesorang mengetuk pintu kamarku dengan keras sampai terdengar olehku
yang berada di kamar mandi ini. Aku berjalan keluar kamar mandi dengan gontai.
Kulihat siluet bayangan Mamaku berada di balik pintu. Wajahnya
kelihatan segar sekali. Mama membawa nampan makanan berisi nasi goreng dan
susu putih plus puding mangga. Hmm, yummy…
“Kamu sudah bangun?” Tanya Mama. Aku membuka pintu lebar-lebar
agar Mama bisa masuk ke kamarku. Dia masih mengenakan blus pakaian tidur
dari sutra berwarna merah muda. Apalagi wangi Mama sehabis bangun tidur
nggak seperti kebanyakkan orang yang bau iler, tapi wangi green tea.
Aku menggeleng pelan. Maklumlah nyawaku belum terkumpul semuanya.
Mama menaruh nampan makanan itu di atas meja kecil di samping kasurku. Lalu
tersenyum-senyum nggak jelas sambil duduk di tepi kasurku.
“Ya, sudah. Kamu cepat mandi ya, sayang. Sebentar lagi udah siang,” kata
Mama sembari menguyek rambutku yang masih kusut, lalu Mama keluar kamar
masih dengan senyumnya. Mama memang aneh.
Selesai mengumpulkan nyawa dan men-charger diriku, Aku melihat nasi
goreng yang menggiurkan selera itu masih mengeluarkan asap, pasti Mama baru
selesai masak. Dari kecil sampai sekarang sampai Aku masuk SMA maksudnya,
Mama selalu saja mengantarkan sarapan ke kamarku. Kata Mama, sarapan di
kasur tidur itu kesannya gimana gitu… Apalagi saat ulang tahun, Mama pasti
akan menyuapiku sarapan pagi yang penuh kalori itu.
Lah…itu kan kata Mama. Tapi, gimana kata dunia?? He…he…he…
maksudnya gimana kata keluargaku??
Kalo Papa sih, kayanya dia oke-oke aja tuh, karena bisa main suap-suapan
di kamar berdua sambil beromantis ria. Entah kenapa karena terbuatemangnya
kuedari campuran sel Mama-Papa yang aneh bin ajaib, hasilnya diriku yang
2
aneh dan error juga, itu kata sobatku. Belum kata teman-temanku dan apa kata
dunia?? Aku senang menambahkan kata ‘apa kata dunia?’
Kujelaskan…
Mama yang punya sifat jiwa muda dan pintar bikin drama Queen kalo ada
yang komplain sama dia dan segudang mimik yang udah diatur dari sononya,
membuatku mempunyai sifat tulalit…tulalit… Nggak ada hubungannya kan?
Makanya Aku disangka aneh.
Lalu Papa yang punya sifat oke-oke aja tuh…dan nggak mau ambil
pusing, membuatku mempunyai sifat polos, sepolos kertas putih yang baru dibuat
di pabrik. Satu lagi. Yang paling diperhatikan oleh teman-temanku jika mereka
datang berkunjung ke rumahku adalah… Aku sama sekali tidak mirip dengan
kedua orangtuaku!
Kadang mereka berpikir Aku ini hanya anak pungut mereka. Kenapa bisa
begitu? Papa adalah pria sedikit keturunan kuningan dan sunda. So, kulit putih dan
wajah tampan yang mulus seperti Papa tak ada yang melekat di Aku satupun!
Kecuali hidung mancung sempurna Papa ada di Aku. Dan Mama adalah blasteran
Amerika-Bali yang super duper cuuaannntik dan awet muda ini, memiliki badan
seputih susu yang mulus, berambut hitam legam yang panjang, dan tinggi kaya
foto model ini, sekali lagi TIDAK ada pada diriku!
Bayangkan saja! Badan pendektapi menurutku nggak pendek-pendek
amatkulit cokelat maniskuberitahu satu hal, menurutku kulitku ini berwarna
kuning langsatdan rambut lepek berwarna kemerahan, bercabang pula! Bah,
bagaimana pula Aku ini?
Yang paling membuatku kesal adalah bagi teman-temanku, Mama-Papaku
ini disangka kakak atau sepupuku! Gila apa! Umur udah mau kepala 4 masih juga
bertampang muda? Dan mereka bilang Aku ini eksperimen yang gagal?
Emangnya Aku percobaan apa??!
Tapi, Mama selalu berkata bahwa Akulah anak yang paling termanis di
dunia ini, karena Aku memang polos, Aku percaya saja apa yang diucapkan
Mama. Sampai detik ini! Untungnya saja Aku mempunyai pacar yang pengertian
dan mau menerima diriku dengan apa adanya. Ceilah…suit…suit…
3
Oh, ya… Dari tadi cuap-cuap Aku belum memberitahu kalian ya?
Namaku…My name…Emang kalian nggak mau kenalan sama Aku ya? Jangan
gitu dong, kita kan mau jadi teman. ‘Kita’? Lo aja kali gue nggak…. Hehehe…
becanda ding…
Kenalin dong, namaku Riri . Lengkapnya Riri Narista Flowerita. Entah
kenapa Mama suka banget nama Flower, padahal anak sendri nggak mirip sama
bunga. Emangnya Aku bunga Raflesia Arnoldi?
Gini-gini walo tampang polos ternyata Aku punya tampang bejat juga
loh…Jujur aja guesekarang baru pake ‘gue’nggak pernah suka ngelihat
Nenek-nenek berdiri sek-sekkan di dalam bus dan gue pasti ngasih tuh nenek
tempat duduk, gue suka kasih duit ke anak kecil yang sering ngamen di jalanan,
gue sering ngasih makan buat monyetnya si Simon, gue sering ikut gotong-royong
antar kampung, gue sering korbankan waktu gue untuk dunia yang sangat-sangat
membutuhkan pertolongan gue. Alah dramatisir amat hidupmu! Nah, mananya
yang bejat tuh?
Ah, udahlah…Lupain aja ya Mas…Mbak… Yang lalu biarlah berlalu…
Kayak lagu Nidji yang Biarlah…
Bilarlah…
Kurela melepasmu…
Meninggalkan aku…
Berikanlah aku kekuatan untuk lupakanmu…
Nggak nyambung banget deh…
Be-te-we sekarang udah jam berapa nih? Oh, My Gos…udah jam 06.15
gitu loh… Aku belum mandi nih. Sekolahku masuknya jam 07.10 lagi, karena
sekolahku elite—ceilah SMA Nusa Bangsa gitu lho…—mana jauh dari rumah
lagi, tapi tunggu dulu! Aku kan punya Prince yang siap menjemputku nanti.
Mending sekarang mandinya santai ah… Yuk, permisa, Aku mandi dulu ya. Nanti
kita lanjutin lagi…
Aku bergegas masuk kamar mandi. Menikmati air yang mengucur dari
shower sambil bersenandung ria… Kita nyanyi sama-sama! Biarlah…
4
* * *
Lantunan lagu My Love-nya Justin Timberlike mengalun kencang dari
handphone-ku. Itu nada dering khusus buat My Love-ku, kutekan tombol Yes.
“Halo…,”
Diseberang bunyi kendaraan mobil terdengar kencang. Sepertinya Prince-
ku nggak dengar. Kuulang lagi ‘halo’ sampai tiga kali. Akhirnya dijawab juga.
“Sory, Ri…,” katanya setelah menjawab ‘halo’-ku. “Aku nggak bisa anter
kamu. Hari ini Aku bareng Reon,” katanya lagi dengan nada memelas.
Aku menghela napas berat banget. “Ya udah…,” ujarku kecewa.
Farren, My Prince menyadari kalau Aku kecewa berat. “Maaf ya, babe.
Flori juga pergi sendiri tadi, soalnya Reon ninggalin dia,” Tetep aje atuh kalo
ditinggal begini Aku kecewa. Mau Flori ditinggal juga bukan uru… Eh, ape
katanye tadi?
Flori My best friend, My chairmate, My classmate, My schoolmate alah
balakutek deh yang belakangnya mate-mate, ditinggal sama Reon? Tumben amat!
Soalnya Reon yang cowoknya Flori ini nggak pernah yang namanya nggak
dijemput. Wah, kayanya hari ini buruk banget deh…Bisa-bisa virus jailnya Flori
kumat.
“Babe? Kamu bisa pergi sendiri, kan?” tanyanya dengan nada do re mi
cemas.
Emang die kira ane budak leutik apeh? Kok Aku bisa bahasa sunda gini ya
jadinya? “Iya, Babe. Aku bisa kok pergi pake angkot, bus, taksi, helikopter,
pesawat terbang, pesawat jet, sampe jet coster juga Aku bisa,” Ujarku sedikit
ngacol.
Farren tertawa kecil di seberang. Duh, pingin liat deh muka cowokku yang
lagi ketawa begini. “Ok, hati-hati ya, Babe.” Klik telepon diputuskan.
5
Haahh… kalo kayak gini Aku bener-bener bisa telat nih. Malah jam
pertama Bu Zubed lagi, guru Pkn yang paling sadis! Huh! Mau nggak mau Aku
harus berangkat dengan kecepatan kilat dengan kendaraan taksi. Itu yang Aku
pikirkan sih, kan nggak mungkin nyewa jet, siapa Aku gitu loh…??
Aku memakai sepatu dan bergegas ke pintu alias kabur untuk menyegat
taksi. Sebelumnya aku beritahu dulu, Papa memang udah berangkat ke kantor
lebih dulu, so nggak ada yang mengantar. Apalagi Papa tahu kalau sekarang Aku
selalu di antar jemput sama Farren. Tapi, ada satu yang sebenarnya bisa sih,
anterin Aku ke sekolah. But, Mama lah orang itu. Yang jelas Aku nggak mau
dianter sama Mama, bisa death duluan sebelum nyampe di sekolah.
Maka dari itu, sekarang Aku harus pergi secepat mungkin. Bukannya
nggak sopan belum pamitan sama orangtua, tapi masalahnya ini MAMA!! Kalian
nggak tau gimana Mama!
Belum sempat Aku menggapai ganggang pintu rumah, Mama sudah
memanggilku dari anak tangga. Tentu saja dandanannya sudah rapi dan kinclong
ala anak muda banget.
“Kamu nggak pamitan dulu sama Mama?” Tanya Mama dengan mimik
yang sudah diatur sebelumnya. Huh! Pura-pura sok anak muda gayanya.
“Aduh, Mah. Aku buru-buru nih…,” ujarku tergesa-gesa. Bisa gaswat nih
kalo Mama yang mau anter Aku.
“Lho? Memangnya Farren udah jemput kamu?” Tanya Mama heran.
Aduh, Mama ini mau tau aja urusan orang. “Perasaan Mama nggak denger suara
mobilnya Farren,” Mama memasang telinganya baik-baik dan berpose seperti
sedang di foto bak foto model.
“Aku hari ini pergi sendiri!” Aku bergegas sebelum Mama melanjutkan
drama Queen-nya. Tapi terlambat! Mama udah memulai wajahnya yang dia atur
dengan sedemikian rupa. Mata Mama mulai deh berkaca-kaca.
“Jangan begitu dong, sayang…” Mama menghampiriku dengan
anggunnya. Pake gaya gitu loh…”Kamu mau pergi pake apa? Ntar kalau kamu
diculik gimana? Kalo ntar kecelakaan di jalan gimana? Ntar kalo ban
kendaraannya melutus gimana? Ntar kalo…,” bla…bla…bla…Aku nggak tahu
6
Mama ngomong apaan lagi. Yang jelas Mama membuat waktuku semakin sempit
aja nih.
“Ma, kalo Mama terus ngoceh nggak jelas Aku keburu telat,”
Kesabaraanku sudah habis nih dan waktuku juga sudah habis!!
Tiba-tiba sepertinya muncul suatu kilatan di kedua mata Mama. Kaya baru
ngelihat duit banyak gitu. Bedanya kalo duit ya Rupiah kalau ini mirip senjata
Shuriken gitu. “Ayo, Mama anterin kamu sampai sekolah!” ujarnya bersemangat.
Aku ternganga lebar. Siap-siap deh… Untung Papa membuatkanku
asuransi kecelakaan. Mama langsung menarikku menuju garasi dan menyuruhku
langsung masuk ke dalam mobil Jazz Kuning Mama. Suer deh, Mama sendiri
yang pingin warna kuning ini. Tadinya Mama pingin warna pink! Bayangkan pink
gitu loh… Kayak anak muda banget!
Aku memakai sabuk dengan kencang. Mama menyalakan mobilnya dan
langsung menancapkan gas.Entah kapan Mama mengambil kunci mobilnya. Yang
jelas, Aku tarik ucapanku pada Farren, yang kataku ‘sampe jet coster juga Aku
bisa’. Memang kuakui jika Mama yang menyetir mobil, Mama akan
melajukannya dengan kecepatan yang sama seperti jet coster!
Dengan kecepatan seperti ini—140 km/jam—memang akan sampai cepat
di sekolah. Tapi, juga akan cepat Aku mengalami kecelakaan bahkan trauma pada
mobil! Dengan pandangan berburu Mama masih melajukan kecepatan mobilnya
dengan maksimum. Hampir saja Mama menabrak tong sampah, gerobak sayur,
gerobak bubur ayam, motor yang dikendarai oleh sepasang kekasih yang melaju
pelanhampir saja membuat tuh motor masuk gottruk pengangkut sampah, de
el el deh… Yang ujungnya mereka semua memberikan seribu sumpah serapah
pada Mama.
Ya Tuhan…semoga Aku bisa sampai di sekolah dengan selamat tanpa ada
halangan rintangan tak jadi masalah dan beban pikiran… Aha! Weleh-weleh kok
malah nyanyi soundtrack Son Goku ya?
7
* * *
Aku berlari dengan kecepatan maksimum sesampainya di gerbang sekolah. Entah
bagaimana kondisi mobil Mama sekarang pasti rusak berat. Kulihat tidak ada
Godzila si guru Kesenian sekaligus Ketua kesiswaan yang sebenarnya namanya
Pak Gozali. Biasanya dia berdiri di depan pintu gerbang, menunggui murid yang
datang terlambat dan menghukumnya sampai tiada ampun!
Untung saja dia tidak ada di tempat, sekarang jadi Aku bisa lolos masuk ke
dalam kelas sekarang. Sesampainya di depan kelas Aku berdoa semoga si Bu
Zubed ini nggak memberi hukuman padaku karena pintu kelas di tutup
menandakan ada guru yang sedang belajar. Aku menarik napas pelan-pelan
dahulu lalu membuangnya dengan perlahan. Oke, siap masuk! Aku berpose ala
tentara yang sedang ekspedisi.
Aku membuka pintu dengan perlahan tapi sebenarnya Aku mendobraknya.
Ternyata di dalam kelas tidak ada Bu Zubed! Hore!! Anak-anak kelasku langsung
melengok ke arahku dengan senyuman yang tak kumengerti. Ada yang senyum
simpul, senyum bahagia, senyum terharu, senyum usil, senyuman maut dan
berbagai macam senyum, buat apa mereka senyum kayak gitu ya ngeliat Aku?
“Tumben lo telat?” suara pertama yang menanyakanku adalah cewek. Dia
adalah Lolita yang punya tampang baby face.
“Gue nggak dijemput sama Farren…” jawabku sambil menaruh tas.
Kudengar suara seisi kelas langsung kecewa, seperti saat kita berada di acara
variety show dan kita gagal. “Btw, kok Bu Zubed nggak masuk sih? Godzila juga
nggak ada di luar,”
“Semua dewan guru lagi rapat,” Lani cewek yang paling pagi datangnya
ini ambil suara. Dengar-dengar Lani ini murid yang datangnya selalu paliiing
pagi. Masalahnya dulu ada cowok pingin ngebuktiin bahwa Lani pasti belum
datang kalo jam 06.15. eh, ternyata dia udah nongkrong di bangkunya. Katanya
8
juga Lani pasti tinggal di sekolah, coz dia memang selalu udah nongol duluan sih
daripada yang lain.
“Wah, beruntung banget gue…” legaku. Lho, kok bangku di sampingku
nggak ada tas Flori sih? Katanya dia berangkat sendiri? “Eh, ada yang liat Flori
nggak?” tanyaku pada seisi kelas yang sedang melakukan aktifitas yang tak
berguna. Biasalah jarang-jarang Bu Zubed nggak masuk kelas. Anak-anak hanya
memandangku dengan tatapan bengong seolah mereka bilang ‘nggak liat tuh…’
“Dari tadi dia belum datang tuh?” jawab Simon sambil memberi makan
monyetnya. Aku mengangguk-angguk kecil.
Weits, jangan pada heran ya kalian semua! Kelasku ini memang paling
unik dibanding kelas lainnya. Kelas yang ruangannya paling bontot ini
mempunyai ragam anak yang punya hobi berbeda. Sini Aku kenalin deh…
Lani murid yang paling pagi datangnya ke sekolah ini nggak jelas asal-
usulnya. Simon alias Si Monyet, sebenarnya namanya bukan itu namanya adalah
Roni yang sering bawa monyet ke sekolah. Guru-guru nggak ada yang komplain
sih, habis monyetnya Simon ini asal nggak ngeganggu pelajaran nggak apa-apa.
Lolita yang punya wajah baby face, dia sering dikira anak SD apalagi ukuran
tubuhnya mungil gitu. Rico yang doyan banget main saham. Dia bawa Laptopnya
ke sekolah boo…Dia juga anak orang kaya, desas-desus nanti kalo udah gede dia
diangkat jadi president director di Perusahaan Bokapnya.
Sharen yang hobi banget ngegosip. Dia mirip banget sama presenter dari
gosip Jilat-nya Prime TimeOlga—selain itu mulutnya juga setajam… Jilat! Tapi
dia ngegosip yang ngebahagiain orang doang. Fablo yang asli dari batak, Aku
belom pernah ngobrol sama dia. Entah dia pake bahasa batak apa tidak ya?
Hanum yang asli juga dari desa Tegal bisa nyasar di sekolah ini suatu mukjizat
buatnya, tapi dia nggak ndeso-ndeso amat. Hanya saja sekali ngomong mirip
kereta ekspres Shinkasen. Adis yang hobi banget DDR alias Dance Dance
Revolution sambil memutar MP3 barunya yang setiap hari gonta-ganti. Reana
makhluk yang paling hobi banget tidur dan baca komik, ada waktu senggang dikit
aja udah tidur. Meleng dikit, bengong dikit, bosen dikit langusung tepas
9
ditempatnya. Herannya dia termasuk teman dekat Flori dan bisa di bilang
soulmate-nya komik.
Tony yang bawa ular ke sekolah, katanya ularnya wejangan dari sang
buyut, apalagi kalo dia ngomong… Lebaiiiii bangets! Lerina yang tomboy abis
suka malakin orang di kenal sebagai preman sekolah NuBa. Rika yang sering
bawa kalkulator padahal nilai Matematikanya jeblok melulu, pekerjaannya adalah
tukang kredit. Calista yang punya rambut acak kadut nggak jelas itu yang sering
ditinggali oleh sarang nyamuk bahkan wajahnya nggak kelihatan sama sekali. Di
beri julukkan Medusa, kalau sadar dia memang kayak Medusa dan suaranya itu
mirip nenek lampir, tapi kalo udah disibakin rambutnya…Wuiih cakepnya minta
ampyuun…
Adit berpostur tinggi, berkulit hitam, ceking, dan berwajah panjang yang
di bawah rata-rata mirip kaya mumi berjalan. Eri yang mirip kecewek-cewekan
karena bergaya anggun. Berry yang paling normal diantara murid laki-laki di
kelasku, Thanks God, dia duduk bareng Reana, mereka berdua adalah orang yang
paling tabu kalo minta dikasih keterangan tentang hubungan mereka. Fabian yang
kalem dan kadang nampak―kalo selesai ngobrol sama dia, dia pasti ilang kaya di
tring sama peri. Radie yang berambut gel di sekitar rambutnya. Entah dia
memakai berapa banyak gel untuk rambutnya yang udah tipis mirip duren itu,
selain itu gelnya bau minyak nyong-nyong pula. Andri si playboy cap kutil, dia
selalu menamai para cewek dengan di belakangnya embel-embel kutil―yang jelas
para cewek benci sama dia. Wisnu cowok berbobot overwight yang selalu naik
pitam kalau mood-nya lagi juelek.
Terus Aku sebagai penghuni kelas ini yang meramaikan keunikkan
kelasku. Lalu siapa lagi, ya? Aku berpikir keras. Sambil berjungkat-jangkit,
sambil lari di tempat, sambil manicure, sambil berjalan dengan tanganku kaki di
atas… Oh, iya! Temanku sampai kelupaan…Namanya Flori. Cewek paling jail
dan imut juga keturunan Japaness-nya dikit ini teman terbaikku selama di
sekolah. Walau sifatnya yang jail itu Aku bisa memakluminya.
Tak terasa waktu dua jam pelajaran yang sudah menunjukkan pukul 08.20
sudah lewat. Tapi, Flori belum datang-datang juga. Sharen dan Adis mengajakku
10
ke kantin karena mereka mulai bosan di kelas. Aku masih kepikiran di mana Flori
sekarang. Apa dia masih tidur di rumah Farren ya?
Owh, Aku juga lupa memberi tahu pada kalian. Flori itu sepupu Farren
yang udah kurang lebih setahun―Flori baru masuk SMA di Indonesia,
sebelumnya dia SMP di Jepang―tinggal di rumah Farren karena kedua orangtua
Flori berada di Jepang. Karena tadi Farren pergi ke sekolah bareng Reon apa Flori
belum dibangunkan, ya?
Saat berjalan menuju kantin Aku melihat Reon dan Farren sedang berjalan
menuju kantin juga. Aku langsung mengejarnya seperti kesetanan. Aku
menggapai lengan Reon dan Reon sontak kaget sampai tangannya menepis
tanganku dan Aku mundur terhuyung.
“Eh, sory…” katanya kaget setelah tau yang mengamit lengannya itu Aku.
Hum, wajah Reon ini memang cool banget, sampai-sampai nggak
mengekspresikkan wajah bersalah di depan cewek lain selain untuk Flori.
“Ada apa, babe?” Farren menyangga tubuhku yang hampir jatuh karena
sentakkan dari Reon tadi. Farren memang cekatan, secara dia pemain basket inti.
“Aku mau tanya sama Reon!” Aku seperti berkata dengan guru saja.
“Mana Flori?” tanyaku seperti Flori di sembunyikan saja oleh cowoknya.
Reon mengkerutkan alisnya. “Lho, bukannya tadi pagi dia udah pergi
duluan?” Reon malah balik menanya.
“Dia belum dateng tuh?” aku menggeleng.
“Tapi tadi pagi dia udah pamitan duluan sama Mama sebelum Aku sama
Reon pergi ke sekolah,” ujar Farren ikutan bingung.
Nah, loh… Ke mana tuh anak? Flori kan cantik nggak pernah pergi
sendirian ke sekolah. Pergi ke toilet aja harus di temenin. Ya, iyalah… Masa ya,
iya dong? Flori kan belum hapal betul jalan ke sekolah selain itu dia baru masuk
SMA di Indonesia sebelumnya dia tinggal di Jepang. Kalo Flori di culik… Aduh
kok Aku kaya Mama aja, ya?
“Flori belum nyampe ke sekolah?” tanya Reon dengan nada cemas
sekaligus ngebentak. Aku kaget dan hanya mengangguk takut. Farren juga jadi
ikutan cemas melihat Aku yang terkaget-kaget.
11
“Aduh…seharusnya tadi gue anter dia aja,” kecewa Reon. Reon langsung
mengeluarkan handphone-nya. Namun tidak tersambung-sambung juga.
Aku juga ikut mencobanya. Maaf nomor yang anda hubungi tidak
menjawab panggilan anda. Silakan menunggu beberapa saat…Aduh Flori kok
nggak diangkat, sih?
“Gimana?” tanya Farren. Aku menggeleng pelan lagi. Untuk yang
keberapa kali kami sudah menghubunginya tapi tidak diangkat juga.
Kalau Flori diculik trus di… Aku nggak bisa melanjutkan lagi.
Membayangkan saja rasanya sudah mengerikan. Tiba-tiba air mataku mulai
mengucur. Farren dengan sigap mengeluarkan sapu tangannya dan
mengusapkannya padaku.
“Tenang aja…” ujarnya lembut membuatku langsung tenang. Farren
menelepon kerumahnya dan diangkat langsung setelah nada tunggu dua kali.
Pembantunya yang mengangkat. “Halo…Bi Inah?”
“Iya, Den…” jawab Bi Inah langsung ketika suara tuan mudanya
terdengar.
“Flori ada di rumah nggak?” tanya Farren langsung.
“Non Flori bukannya udah berangkat tadi pagi, Den?” jawab Bi Inah
bingung.
“Dia belum sampai di sekolah, Bi. Bi Inah memang nggak lihat dia di
rumah? Di kamarnya ada nggak? Atau dia ketiduran di kamar mandi?” tanya
Farren bertubi-tubi.
“Nggak, Den…” jawab Bi Inah tak bisa memberikan jawaban yang pasti.
“Baru aja Bi Inah beresin kamar Non Flori tapi nggak ada Non Florinya, di kamar
mandi juga begitu.”
Terlihat wajah Farren kecewa berat. “Ya udah deh, Bi. Kalo Flori pulang
ke rumah hubungi saya, ya?” Farren mematikan telepon tanpa jawaban Bi Inah.
Aku menatap Farren dengan meminta penjelasannya. Farren menggeleng
kecewa.
“Damn!” seru Reon seraya menggaruk kepalanya dengan gusar.
12
Sharen dan Adis yang datang telat melihat kami dengan tatapan bingung.
Aku yang sedang menangis bisa jadi gosip untuk Sharen yang terbaru hanya
karena Flori belum datang ke sekolah. Ah, sebodo amat Sharen sama Adis
menganggap Aku cengeng. Tapi, bagiku ini masalah besar karena Flori satu-
satunya sahabatku yang paling buta sama jalan!
Flori…Flori…where are you? Aduh bukan saatnya menyanyikan lirik
Scooby Doo dengan nama Flori. Tapi, bagus juga ya? Alah kok Aku malah error
gini sih??
13
Apaan, sih??
Flori
Gue tersadar ketika air di kamar mandi sekolah yang sempit dan kecil mengenang
hampir membasahi sepatu kets gue yang paling keren. Grafitinya keren banget
gitu loh…
Oh, My Gos gue ketiduran di kamar mandi toh? Sejak kapan ya? Gue
masih mengingat-ingat memori gue yang luas ini. Eits, tunggu dulu! Jangan pada
salah ya kenapa gue bisa ketiduran di kamar mandi. Jangan kira mentang-mentang
yang namanya kamar mandi itu bau nggak bisa buat orang tidur. Beda sama
kamar mandi sekolah gue yang bersih kinclong, wangi parfum rasa orange, dan
tempat paling beken buat cewek sebagai tempat tongkrongan kaum hawa. Kamar
mandi cewek ini banyak fungsinya selain untuk HIV—Hasrat Ingin Vivis—dan
Pup alias ngeboker, ada juga sebagai pusat informasi alias gosipnya para cewek.
Kalo kabur dari Godzila juga bisa kabur ke sini.
Aha! Sekarang gue inget! Tadinya kan gue mau ngeboker―sory para
cewek gue ngomongnya nggak sopan banget yaw?―terus karena wangi orange-
nya enak gue malah jadi ketiduran sambil nyalain air. Padahal gue setengah mati
lari dari kantin sekolah cuma buat boker. Ternyata gue malah ketiduran.
Hehehe…
Gue meronggoh tas gue nyari handphone yang terbenam campur dengan
kecoa, cacing mainan, tikus, muntahan palsu, topeng gorila, dan macam-macam
mainan buat jahilin orang. Wow, gue lihat di layar handphone gue ada 21
14
missedcall. Rekor nih. Gue lihat 8 missedcall dari My Monkichi alias cowok gue.
Terus 7 missedcall dari Riri My Tomodachi dan 6 missedcall dari Farren geblek?!
Kenapa sih ini orang? Pade salah makan ya? Pagi-pagi gini udah
missedcall orang nggak ada kerjaan. Emang jam berapa sih sekarang? Gue lihat di
layar handphone lagi ternyata udah jam 08.40!! Ya, ampyuuuunnnnn!!!! Gue telat
masuk kelas! Eh, nggak ding…tadi Lani udah kasih tau gue waktu ketemu gue di
kantin kalo semua dewan guru lagi rapat sampai ntar siang. Lega deh gue…
Gue keluar kamar mandi dan melihat ada tiga anak sebelas sedang
bergosip ria. Gue cuek aja mereka ngomongin apaan, gue cuci tangan gue dengan
bersih, habis tadi makan nasi uduk nggak ada sendoknya terus bokong gue malah
minta bokornya pas lagi gue nikmatin nasi uduk jadi belom sempat cuci tangan.
Ih, jijay bo!
“Eh, di luar ada anak kelas sepuluh yang lagi nangis gitu. Seneng kali
diperebutin sama dua cowok keren. Tapi, yang cowok paling tinggi itu gayanya
cool banget ngelihat cewek nangis di depannya tetep cool,” ujar cewek yang pake
rok minim banget.
“Eh, masih kerenan cowok yang ganteng di sebelahnya itu dunk!” kali ini
yang pake lipgloss tebal sekali. “Dia gantle banget ngasih saputangan ke cewek
yang nangis itu.”
“Selera kalian payah!” suara nan mirip gorila ini berbadan gemuk sampai
pipinya tembem gitu terus masih pake blus on segala, merah menyala pula!
“Mending Chepy… Udah ganteng, dewasa, ramah banget…!!”
Oh, Pak Chepy guru Olahraga yang paling muda usianya itu memang
paling te-o-pe be-ge-te. Gue aja sempet salting kalo di liatin sama mata elangnya
itu. But, gue udah punya cowok gitu loh…
“Ya, iyalah masih gantengan Chepy daripada anak kelas sepuluh yang
masih bau kencur!!” tawa mereka meledak bersamaan. Kamar mandi bisa roboh
nih…
Mending gue keluar aja daripada ntar gue ikut kerobohan kamar mandi
sekolah gara-gara tiga anak sebelas tadi. Baru saat membuka pintu kamar mandi
15
handphone gue berdering melantunkan lagu Naruto yang Ryuusei. Dari Reon My
Monkichi.
“Halo…” jawab gue. Gue buka pintu kamar mandi dengan kencang,
tadinya sih pingin sekalian di tendang…
“Ha…” jedugh!! Di seberang sambungan Reon sama dengan di sini saat
gue buka pintu kamar mandi, terdengan bunyi kepala orang kejedog. Kok bisa
samaan gini ya?
“Lho?” Gue kaget saat menutup kembali pintu kamar mandi ternyata yang
terkena cowok gue. Telepon darinya langsung gue putuskan. Melihat Reon yang
sedang mengelus-elus keningnya yang kesakitan gue langsung meminta maaf dan
membantu mengelusnya.
Tapi tiba-tiba di belakang gue malah ada yang meluk dari belakang.
Meluknya kuat banget sambil di dorong pake tenaga bison kali ya sampai Reon
terjerembab ke lantai juga.
“Wadaw!!” jerit gue kesakitan di bawah pelukkan Reon.
“Gue seneng! Gue seneng!!” ulang Riri yang ternyata si pemeluk itu. Dia
kayanya seneng banget, emang ada apa, sih? “Gue kira lo kesasar ato di culik.”
Gue mengernyitkan dahi. Kesasar? Di culik? Emang gue kenapa, sih?
“Perasaan Gue bae-bae aja deh…” ujar gue seraya mencoba melepaskan pelukan
dari dua arah. Di bawah gue Reon kayanya udah kesakitan deh… sedangkan Riri
kayanya bakal lama meluk gue. “Ri, lepasin dulu dong. Reon keberatan nih di
tindih sama gue,”
“Eh, sory…” ujar Riri melepaskan pelukannya sehingga gue bisa bangun.
“Lo ke mana aja, sih?” tanya Farren gemas tidak mau membantu gue sama
sekali.
“Gue tadi ketiduran di toilet,” jawab gue jujur. Sontak mereka semua pada
ternganga lalu mendesah pelan. “Emang kenapa, sih?”
“Dia kira kamu di culik,” ujar Reon datar sambil menutup mulutnya
dengan tangan kanannya. Dia menerawang ke arah lapangan yang penuh cowok
sedang main bola basket. Gue tau pasti Reon lagi nyembunyiin senyumannya.
Cowok gue yang satu itu ya…Immmmuuuuuuuuuut bangets……!!!!
16
“Ya, ampun Ri…” Gue mengacak-acak rambut Riri dengan gemas. “Gue
kan nggak mungkin bisa di culik semudah itu. Gue kan bisa Aikido, bisa jaga
diri…”
“Maaf, deh…” katanya menunduk malu. “Gue kira juga lo kesasar, lo kan
nggak tau jalan ke sekolah.”
“Kan ada taksi, Non… Gue tinggal nyebutin SMA Nusa Bangsa, beres deh
gue sampe di sekolah dengan selamat sehat walafiat.”
“Nah, sekarang kan Flori udah dateng. Kamu sama yang lainnya mau ke
kantin kan?” tanya Farren sambil menunjuk dua orang di belakangnya dengan
mata yaitu Sharen dan Adis yang masih terbengong. Riri mengangguk dan Farren
mulai deh menjelaskan pada Sharen dan Adis apa yang tadi terjadi.
Gue menghampiri Reon yang masih melihat lapangan. Kenapa sih dia lihat
ke situ terus? Emang enak ngelihat cowok yang lagi main basket? Gue meraih
tangannya yang besar dan menyelipkan jari-jari gue pada jarinya.
“Kamu khawatir?” bisik gue. Reon tetap diam sambil mengangguk kecil.
Riri memukul punggunng gue dengan pelan. Wajahnya mengatakkan ‘Gue ke
kantin duluan,ya. Awas kalo nggak nyusul!’ mungkin begitu.
Setelah keempat teman gue pergi Reon menurunkan tangan kanannya yang
tadinya dia gunakan untuk menyembunyikan bibirnya yang tersenyum manis. Dia
raih pinggang gue lalu memeluknya. Gini nih kalo udah nggak ada orang baru
bisa romantisan.
“Aku khawatir banget sama kamu. Maaf ya tadi pagi Aku nggak anter
kamu sekalian sama Farren. Farren minta cuma berdua sih…” katanya mencium
puncuk kepala gue dengan lembut.
“Nggak apa-apa kok,” gue melepas pelukannya dan melihat wajah Reon
yang udah merah kayak kepiting rebus. Dasar cowok gue yang paling
ngegemesin!! Reon mengandeng tangan gue sampai di kantin lalu dia
melepaskannya secara perlahan. Memang sih sedikit sebel, tapi image-nya kan
memang cool so harus cool juga.
Untungnya aja gue lahir di Negeri Sakura jadi nggak terlalu sakit hati
banget cuma karena perlakuan Reon yang kayak gini. Dulu waktu di SMP
17
Aoyama Gakuren di Jepang gue malah backstreet, coz cowok gue senpai—senior
—yang paling beken. Biar nggak ada gunjingan, kami setiap ketemu di koridor
kayak saling nggak kenal gitu. Miris banget deh… sedangkan Reon dia baru
sekali ini pacaran sama cewek. Makanya dia nggak tau pa-pa soal pacaran.
Gue duduk di samping Riri, kulihat Reon sudah bergabung bersama Farren
yang sudah duduk bersama teman sekelasnya. Riri menatapku lekat-lekat seperti
mau memakanku bulat-bulat. “Apaan, sih?” risih gue.
Riri masih menatapku. “Gue masih nggak percaya kalo lo nggak di culik,”
gumamnya nggak jelas. Sedotannya masih di mulutnya dan nggak di lepas-
lepasin.
“Oh, jadi lo mau gue di culik, ya?”
“Eh, nggak ding…” katanya menggeleng cepat, apa nggak pusing tuh?
“Gue cuma bergumam…” lagi-lagi dia ngomongin hal yang bikin dia error
sendiri.
“Woi, sadar woi!!” Adis menjentrik-jentrikan jarinya di depan mata Riri.
Riri mengerjap-ngerjapkan matanya. “Sadar juga lo akhirnya,” lega Adis seraya
kembali duduk di bangkunya.
“Eh, emang gue kenapa, guys?” tanyanya polos. Dasar anak aneh…walau
aneh tapi tetep aja manis.
“Lo kesurupan!” dusta gue dengan mimik yang serius. Riri jadi ngeri
sendiri.
“Iya, terus lo ngamuk-ngamuk marahin Reon,” Adis ikutan berdusta juga.
Tampangnya udah kayak mak lampir aja, padahal dia mati-matian nyembunyiin
senyumnya yang udah nggak tahan
“Lo bilang ‘mana Flori?! Lo sembunyiin dia di mana? Nggak di kasih tau,
gue lapor ke Ki Joko lho!’ gitu…” Sharen mengikuti sandiwara ini dengan baik.
Riri jadi beneran takut dan bertampang kayak udah mau nangis. Tapi, Adis tetep
nakut-nakutin Riri.
“Terus Reon udah sembah-sembah lo, sambil ngomong ‘gue nggak tau di
mana Flori’,” Adis memperagakan gerakan garpu itu Reon yang menyembah
sendok yaitu Riri.
18
“Farren liat nggak?” tanya Riri takut-takut. Dia udah berkaca-kaca gitu.
Gue cuma bisa ketiwi ngakak dalem hati aja. Lucu banget deh…
“Dia juga ada di situ,” jawab Sharen memperagakan sumpit itu Farren
yang berada dekat garpu. “Dia tadinya mau hubungin lo ke…”
Riri ikutan mangap saat kata ke-nya Sharen terhenti. Di belakang Riri
kulihat Reana menaruh telunjuknya di depan bibirnya agar gue diem aja pura-pura
nggak lihat dia. “Ke Lembaga Penelitian Orang Aneh dan Jayuz di singkat
LPOAJ.” Reana ngomong tepat banget di telinga Riri sampai Riri hampir
munclang—loncat kaya kodok, becanda ding…— untung aja Sharen bisa pegang
dia.
Adis langsung ngakak gede nggak sadar kalo dia lagi di kantin. Gue juga
langsung ikutan ngakak bareng Reana sampe perut gue sakit gini dan keluar air
mata. Riri hanya ngambek nahan amarahnya yang kayak mau meledak mirip
gunung Merapi.
“Udah…udah…” gue nggak tahan lagi ngelihat orang-orang yang dengan
begongnya melihat ke arah Riri. Reon sama Farren juga bengongnya kayak arca.
“Ya, ampuuunn….” Greget Riri. “Gue kira beneran gue kesurupan!”
“Ha…ha…ha…” Adis belum bisa berhenti tertawa. “Makanya jangan
gampang percaya omongan orang! Kalo ntar ada yang nyulik Flori terus minta
tebusan 100 komik lo bakal terima aja?”
“Ya, nggak juga lah…” suara Riri di buat perkecil. Kayaknya dia emang
gampang kena korban tipu. “gue selidikin dulu kayak tadi. Kalo Flori bener-bener
di culik terus minta tebusan 100 komik gue sih…Oke-oke aja” saat berkata ‘oke-
oke aja’ suara Riri keciiill bangets.
“Apaan?” tanya Sharen yang pura-pura budek, padahal dia di samping
Riri.
“Repeat please?” Adis ikutan lagi.
“Pardon me?” Reana apalagi sampai pake tampang bloon. Emang sih, dia
kan jauh dari Riri jadi nggak kedengeran.
19
“Ah, udah!!” rengek Riri, menarik perhatian semua anak yang berada di
kantin. “Sekarang ayo anter gue ke Gramedia!” Riri sudah berancang-ancang siap
berdiri.
Sharen, Adis, Reana dan gue bengong langsung. Otak kami semua sedang
berjalan lambat dan akhirnya mengerti juga maksudnya. Ujung-ujungnya semua
yang ada di kantin ikutan ketawa karena suara Riri yang gede bilang ‘Flori kan di
culik minta tebusan 100 komik, kan?’. Farren yang ngelihat itu sampe ikutan
geleng-geleng kepala pusing!!!
* * *
Siang itu panas lagi senang-senangnya memancarkan sinarnya yang bikin tanah
gersang, rambut bisa bercabang dan berwarna kusam, kulit bisa item… alah de el
el deh… Walau di sekolah tadi ada rapat dewan guru tetep aja pulangnya sesuai
jadwal. Kapan sih SMA NuBa—singkatan Nusa Bangsa—pulang sekolahnya
cepet? Mimpi kaleee…
Meskipun begitu anak kelas gue belum ada yang beranjak dari kursinya
karena mual saat pelajaran terakhir tadi adalah Madam Ntin guru Bahasa
Indonesia yang puuuualiiiiing killer dan pantang bolos ngajar. Gue kira walo
matahari yang panas ini dengan semangatnya memancarkan sinarnya yang terik
saat melihat wajah Madam pasti langsung sembunyi di awan karena melihat
mimik Madam yang nakutin abiz!
Gue lihat Reana udah tepas lagi di tempat karena selama pelajaran Madam
Ntin dia nggak bisa ogah-ogahan. Rico yang biasa pake laptop harus disimpen
dulu di lacinya. Monyet Simon dan ular Tony terpaksa dibawa keluar. Calista
yang rambutnya acak kadut begitu, dirapihin sampai kelihatan wajahnya yang
cuuuannntik bangets! Sedangkan orang yang di samping gue kayaknya udah parah
gitu.
Kalo di komik muncul guratan suram di atas kepalanya dan muncul darah
yang keluar dari mulutnya. Bukan kayaknya lagi otaknya udah jebol tapi muter
keluar jalur!
20
“Perasaan Madam Ntin tadi masuk ke sini, ya?” Riri merapikan buku
pelajarannya sambil bengong.
“Wah, konslet banget nih, Mbak?” tanya gue menyelidiki semua bagian
kepalanya siapa tau ada per yang copot terus mental.
“Konslet?” tanya Simon menghapiri bangku gue, hanya Simon inilah yang
tak pernah bener-bener bisa konslet kalo denger gelegar Madam Ntin. Monyetnya
bengong di depan Riri yang mirip Zombi.
Gue mengangguk. “Mana ada orang yang nggak konslet pas pelajaran
Madam?” Monyetnya Simon meniru-niru gerakan kepala Riri yang miring ke kiri
terus-terusan. “Yang paling parah ya, cuma Riri doang,”
“Gue mabok…” Adis memperagakan dance-nya yang berantakan.
Monyetnya Simon ikutan nge-dance bareng ala Adis. Ini disebut Dance Madam
Ntin. Gerakannya adalah kepala menengadah ke atas, lalu tangan meniru gerakan
Dejiko—yang di anime Di Gi Charat kalo nggak salah—badan goyang ke kanan
dan kiri dan terakhir bergumam ‘%#&^892@%^&^*’ ngerti nggak maksudnya?
Maka dari itu harap jangan ditiru.
“Gue cabut dulu dah…,” Simon mengulurkan tangannya agar monyetnya
naik ke pundaknya. “Cheese…” Simon nyengir lebar dan langsung keluar kelas
setelah mendapat ‘cheese’ balik dari gue.
He..he..he.. jangan pade heran ye… Kite ini di kelas X.D punya sapaan
khusus yang hanya berlaku saat sesama anggota kelas X.D bertemu dan wajib
mengatakan ‘Cheese’. Saat kita mengatakan ‘Cheese’ pasti kita nyengir kan?
Peraturan ini ternyata dibuat oleh…coba tebak siapa? Calista!! Si Medusa…
Nggak pade percaya kan…?
Drrt…dddrrrrtttt…ddrrtt…getaran handphone gue kerasa di saku rok gue.
Tadi saat pelajaran Madam handphone harus di silent, walau sebenarnya memang
harus di silent tapi karena tadi ada rapat dewan guru jadi lupa belum di silent.
“Hola?” wueh gue sok gaya sepanyola, Man!
“Ya? Ri?” tanya di seberang. Ternyata My Monkichi toh yang telepon.
“Kamu lagi di mana?”
21
“Masih di kelas,” jawab gue sambil ber-cheese ria karena anak-anak udah
pada mau pulang ke asalnya. “emang kamu di mana?”
Bunyi bising mobil melintas dan pintu mobil yang ditutup kencang
terdengar di seberang. “Aku lagi di studio Bambe,” suaranya nggak kedengaran
begitu jelas.
“Apaan?” ulang gue lebih kenceng. Riri udah sadar dari konsletnya
menggantikan gue ber-cheese dengan Adis dan Sharen.
“Aku lagi di studio Bambe!!” teriak Reon dari seberang hingga handphone
gue harus dijauhkan. “Maaf Aku nggak bisa anter kamu pulang sama Riri juga.
Farren lagi sama Aku sekarang, kita berdua lagi ada urusan. Nggak pa-pa kamu
pulang sendiri?”
Gue cuma bisa garuk-garuk kepala. Tadi pagi berangkat sendiri, sekarang
pulang sendiri lagi? “Ya, nggak pa-pa, sih…” Sebenarnya hati gue ingin berkata
‘Aku hanya ingin pulang bareng kamu, sayangku!’ Ceilah aneh bener, nyao?
“Bener?” Reon kayaknya kurang yakin.
“Iya! Aku ‘kan nggak bisa pulang sendiri…” ujar gue dengan nada yang
memelas. “kan bareng sama Riri nggak sendirian…” lanjut gue sambil ketiwi.
Tadi sebelum Reon ngomong gue udah cepet-cepet menambahkan kata.
“Dasar kamu ini…” gemesnya. “Ya, udah… Hati-hati di jalan, ya?”
“Okay, bos!” Klik sambungan terputus. Riri stres nggak ya nggak bisa
pulang bareng Si Farren geblek. Seharusnya dari tadi kek ngomongnya, jadi gue
bisa minta Adis nganter gue sama Riri pulang.
Gue liat setengahnya anak kelas gue udah pulang. Yang tertinggal di kelas
masih dalam tahap penyembuhan mengumpulkan roh-roh yang ngibrit saat
pelajaran Madam Ntin. Riri menatap gue sambil manyun nggak jelas.
“Siapa tadi yang telepon?” tanyanya sambil membantu gue membereskan
komik yang ada di kolong meja bukannya buku pelajaran.
“Reon,” jawab gue singkat.
“Ngomong apaan?”
“Kita berdua nggak dianter pulangnya,”
“Hmm…”
22
Suasana hening seketika. Kayaknya otaknya masih lemot deh… Yah,
walaupun dari awal otak Riri memang rada-rada lemot. Riri langsung melotot ke
arah gue. Bola matanya itu loh rasanya pingin keluar dari matanya.
“Kita ditinggal maksud lo??!!!” tanyanya dengan nada tinggi.
Rika yang masih menagih hutang ke Tony sampai menjatuhkan kalkulator
kesayangannya. “Wuuaaah hartakuuuuuu!!!” teriaknya histeris. Tampaknya
kalkulatornya dalam keadaan koma. Tony malah cekikikan karena hutangnya jadi
nggak dibayar sekarang.
“Woy, ganti rugi, nih!” seru Rika menghampiri Riri sambil mengacungkan
kalkulatornya yang udah koit.
“Iya, deh…” pasrah Riri sambil mengubrak-abrik tasnya. Dia mencari-cari
sesuatu di dalamnya. “Aha!” Riri mengeluarkan benda kuning panjang dari dalam
tasnya tadi dengan nada ‘Jreng…Jreng!!!’
“Kuning?” heran Rika. Ternyata yang baru dikeluarkan oleh Riri adalah
kalkulatornya yang berwarna kuning gambar Winnie The Pooh. “Gantinya pake
ini maksud lo?”
Riri mengangguk-angguk. “Gue punya dua kalkulator. Tapi, yang
sekarang gue bawa yang ini kalo lo nggak mau ntar gue bayar pake duit aja.”
Rika menimbang-nimbang kalkulator kuning itu sambil berpikir keras.
Kelihatan banget dari kerutan yang nonjol didahinya itu yang mirip lapangan
sepak bola. Akhirnya dia mengangguk setuju. Dengan berat hati Riri memberi
kalkulatornya itu, sebenernya sih itu kalkulator udah mau koit juga cuma daripada
sayang dibuang mending kasih ke orang aja. Warnanya norak pula, mirip ‘pup’.
“Tadi lo bilang apaan?” sekarang kembali ke masalah semula gue.
Kelihatannya dia udah rada tenangan dikit.
“Reon bilang, hari ini mereka berdua ada urusan jadi nggak bisa anter
kita,” jawab gue sambil duduk di atas meja. Rika bilang pamali duduk di atas
meja ntar malah punya hutang banyak. Ah, sabodo teuing…Akhirnya gue bisa
belajar bahasa Sunda.
“Kalo gitu kita pulang pake apa?”
23
“Numpang,” gue mengorek-ngorek telinga gue pake kelingking jari gue
yang lentik. Riri langsung ngeri ngeliatnya.
“Numpang ke siapa?” gantian Riri yang mengorek hidungnya
menggunakan jempolnya. Hii…!! Serem banget kalo ngeliat kayak tadi, gue
langsung menjauh dari Riri. Riri hanya nyengir lebar aja.
Gue mengitari pandangan ke sisi-sisi kelas. Siapa tau aja yang masih ke
sisa yang pada punya mobil. Di pojok masih ada Rika, sayang Rika bawa motor
tua warisan engkongnya. Ada Tony yang masih minta turunan diskon dari
utangnya, sayang juga dia bawa sepeda gunung. Yang lainya ada Wisnu, Radie,
Fablo, Lani, Hanum sama Reana. Kalo ke Wisnu kayaknya nggak deh… Fablo…
wah, gue nggak begitu akrab sama dia apalagi gue nggak bisa ngomong pake
bahasa batak! Radie…ikh, gue takut jok mobilnya ntar terbuat dari gel semua lagi!
Lani…gue nggak pernah liat dia pulang pake apa, ke sekolah aja gue nggak tau
dia naek apa kok bisa nyampe di sekolah paling pagi daripada Mang Jiman satpam
NuBa yang biasa buka pintu gerbang sekolah.
Hmm, gimana kalo Hanum? Weleh…mobilnya kan mobil antik. Mobil
kodok gitu loh…bisa-bisa nyampe sore baru dateng ke rumah. Satu-satunya orang
tersisa adalah…Reana!! My Soulmate…
Gue menghampiri bangku Reana yang berada paling pojok. Tempat yang
paling statregis memang untuk hobinya yang tukang tidur itu. Dia sedang
membereskan komiknya yang kira-kira ada sepuluh lebih. Itu tas isi komik semua
bukannya buku pelajaran?
“Re, gue boleh minta sesuatu nggak sama lo?” pinta gue dengan tampang
sok mengharapkan.
Reana menaikkan alisnya sebelah. Walo sering tidur di kelas Reana anak
paling pinter kedua umum dan cewek paling kiyut tiga besar―hanya seangkatan
kelas sepuluh doang. Mau tau siapa yang juara satu cewek paling kiyut di NuBa?
Dialah…Calista!!! Walo dia Medusa dia dianggap cewek paling kiyut di NuBa.
Sebenarnya sih, kalo dia masih jadi Medusa gue yang paling kiyut nomer dua, kan
Reana yang nomor dua setelah Calista. He...he..he… Bolehlah membanggakan
diri sendiri…
24
“Apaan? Asal nggak komik aja gue mungkin bisa ngabulin…” jawabnya
enteng sambil tersenyum simpul.
“Gue boleh numpang mobil lo nggak? Hari ini gue sama Riri nggak
dianter bokin kita…”
Reana langsung mengangguk setuju. “Boleh aja. Untung aja rumah kita
emang satu perumahan.” Reana mengandeng tasnya dengan ogah-ogahan.
“Ayo, Ri.” Ujar gue mensejajarkan langkah Reana dan gue bersamaan.
Riri jadi ketinggalan dibelakang, habis tadi kerjaannya bengong mulu.
“Tapi, kalian jangan kaget, ya kalo ntar kita udah nyampe mobil.” Reana
menghentikan langkahnya sebentar dan berbalik menatap gue dan Riri. Gue sih
nggak mungkin kaget kecuali kalo emang bikin kaget gue aja. Sama aja lah…
“Emang apaan, sih yang bikin kaget?” tanya Riri polos. Jarak dari parkiran
ke kelas X.D lumayan deket jadi kita keburu nyampe di depan mobil CR-V hitam
milik Reana yang terparkir manis dekat pohon sawo.
“Liat aja ke dalem,” Reana membuka pintu mobil depan dan langsung
masuk. Gue sama Riri masih di luar dan ketika gue buka pintu mobil ternyata
yang di dalemnya adalah seseorang yang paling gue kenal selama tiga bulan
sekolah di sini. Dia adalah…Ada deh… Selain itu ternyata ada yang membuat gue
lebih kaget lagi… Ternyata…
25
Nyok Kite Nomat Rame-rame…
Riri
Aku bengong.
Aku tak menyangka bahwa yang di dalam mobil Reana adalah…
Killua Zaoldyeck!! Kalo nggak salah dia yang ada di anime Hunter X
Hunter itu yang rambutnya jabrik, yang anak pembunuh bayaran, yang paling
kiyut—menurut Reana dan Flori, yang doyan makan, yang rambutnya warna biru
muda hampir mendekati keputihan atau ungu muda banget ya? Yang jelas ada
banyak Killua di sana. Mau poster, gantungan, patung mini, gelas, piring,
mangkok, kursi…eh, sadar neng sekarang kan lagi di dalem mobil Reana mana
ada peralatan kaya gitu?
But, yang bikin Aku sama Flori lebih kaget lagi adalah…Di bangku supir
—tapi dia bukan supir—ada Berry dengan kacamatanya yang cool abiz!!
Biasanya dia emang cool sih tapi lebih cool-an Reon daripada Berry, cuma siang
ini Berry keliatan kereeen!!
“Kok, ada Berry di sini?” tanyaku saat kita udah enak duduk di mobil
Reana yang mulai melaju meninggalkan parkiran sekolah.
“Kalian sendiri kok ada di mobil gue?” tanyanya balik ke Aku. Weleh…
mana yang bener, tho? Bukannya tadi Flori minta ke Reana buat numpang di
mobilnya? Kok malah mobilnya Berry, sih???
“Tadi, Flori minta gue buat numpang sampe rumahnya,” Reana yang
menjawab pertanyaan Berry. Seketika itu suasana langsung hening begitu. Dari
dulu—Aku sebelumnya satu SMP sama Reana dan Berry—kelakuan Reana kalo
26
ngejawab pertanyaan dari Berry pasti aja ketus gitu nadanya dan Berry mending
milih diem aja.
“Eh, tapi thanks ya udah bolehin kita numpang,” Flori langsung
mencairkan suasana yang tadi tegang itu.
Hhum, kalo Aku yang ngomong pasti yang ada jadinya acak kadut. Lagian
Farren pake nggak minta izin ke Aku dulu kalo mau pergi. Biasanya ya, dia
telepon dulu lah, baru ngacir sama Reon. Mungkin dia nggak ada pulsa kali ya
buat telepon Aku?
“Kenapa kalian pulang bareng?” tiba-tiba pertanyaan ini terlontar dari
bibir nan seksi milik Flori. Ni anak nggak liat apa sikonnya kaya gini? Reana kan
nggak suka kalo ada anak yang nanya-nanya nggak penting kalo nyangkutnya
tentang Berry.
“Oh…” Reana mendesah pelan. “Himitsu—rahasia!” katanya lagi dengan
bahasa unggulan Flori. Aku nggak begitu tau apa artinya sedangkan Flori cuma
manggut-manggut aja. “Lo mau turun di rumah Farren, Flo?” tanya Reana
menoleh ke arah kami. Lehernya yang putih mulus nyampe kelihatan gitu. Kalo
Berry sebenarnya drakula pasti dia udah menyantap leher Reana itu. Tapi Berry
malah tetep fokus ke depan.
“Ah, nggak deh. Gue mau turun di rumah Riri aja,” Jawab Flori
menyamankan diri dengan bersender pada jok yang empuk. “Gimana kalo kita
jalan aja hari ini?”
“Maksudnya?” Aku menatap Flori heran.
“Kita nomat, yuk?” ajak Flori dengan senyuman jailnya yang khas.
“Nomat?” Berry buka suara. “Sekarang?”
“Yah, nggaklah Ber. Kita ajakin anak-anak sekelas buat nomat bareng
pake SMS berantai,” Flori udah mau mengeluarkan handphone-nya. “Setuju?”
Aku menimbang-nimbang dulu. Boleh nggak ya pergi sama Mama, tapi
takutnya ntar Mama malah ngikut lagi? Tapi, nanti Flori mau main ke rumah jadi
dengan bantuan dia kayaknya Aku bisa pergi. He…he…he… Tanpa sadar Aku
sudah ketiwi sendirian. Flori, Reana dan Berry—yang melihat lewat kaca spion—
memandangku dengan tatapan aneh.
27
“Kenapa lo?” heran Reana.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak pa-pa. Gue setuju kita pergi
nomat sore ini,” Aku mengangkat tanganku menyetujui rencana Flori.
“Gue juga setuju deh…” Reana ikut mengangkat tangannya. Kayak tanda
menyerah gitu, abis dilambai-lambaiin. Sedangkan Berry cuma mengangguk, kalo
Reana mau dia juga pasti mau.
“Ya udah kita kirim SMS sekarang,” ujar Flori bersemangat. “SMS-nya
kayak gini nih… ‘Untuk seluruh anak D diharapkan mengikuti acara nomat jam 5
sore di tempat seperti biasa dan harap kirim ke dua orang anak D’.” Flori selesai
mengetik SMS diikuti Reana dan Aku.
Tak beberapa lama ada SMS masuk ke handphone Reana dan Berry. Berry
minta tolong untuk mengambil handphone-nya yang dia taruh di saku batiknya.
Ternyata SMS tersebut isinya sama dengan yang tadi dikirimkan.
Tak terasa mobil CR-V hitam Berry sudah sampai di depan rumahku yang
bisa dibilang gede juga nggak, kecil juga nggak, tapi sederhana juga nggak, jadi
apa dong?
Yah, pokoknya Aku dan Flori langsung turun dari mobil dan
mengingatkan mereka agar datang pada nomat nanti.
* * *
“Baju gue ada di lo, kan?” Flori langsung merebahkan tubuhnya di kasurku
setelah sampai di kamarku. Untungnya hari ini Mama sedang ke rumah Tante
Risa, jadi dia nggak jerit-jeritan karena Flori dateng ke rumah.
Aku mengangguk. “Yang kaos hijau tua, kan?” Aku membuka lemari
pakaianku dan menemukan baju milik Flori tergantung rapi.
28
“Hem…,” gumam Flori. Matanya sudah terpejam sedikit, mungkin dia
masih mengantuk begitu. Tadi aja sampe ketiduran di toilet sekolah. Dalam
hitungan detik suara dengkuran halus Flori terdengar naik turun.
“Mending gue ikutan tidur juga ah…” Aku langsung ikutan tidur di
samping Flori. Dan dalam hitungan 0,1 detik Aku sudah tidur menyesuaikan
irama dengkuran Flori.
* * *
Dering lagu Fort Minor yang Believe Me dari handphone-ku membangunkan Flori
dan Aku. Bunyinya ituloh yang suara tabung atau apalah dilempar mirip suara
bom. Aku lihat dilayar Adis yang meneleponku.
“Ha…,” baru mau menjawab Adis udah teriak-teriak di seberang.
“WOOOIIIII, BANGUUUNNNN!!!!!” histerisnya di sana.
“WOOOIIII, BISA BUDEK GUE!!!” Aku ikutan histeris juga. Flori yang
sempat tidur lagi tadi, kini matanya sudah terbuka lebar bahkan nyaris keluar
matanya!
“Kenapa, sih?” tandas Flori langsung menyambar handphone-ku.
“Halo…,”
“Woi, Flo! Bangun!! Sableng lo nyuruh gue jemput di rumah Riri tapi
kalian masih molor!” dampratnya langsung.
Suara Adis yang cempreng itu walo nggak pake nada tinggi tetep aja bikin
telinga budek. Aku melihat jam dinding Hello Kitty pink udah menunjukkan jam
16.45???? ya, ampyuuuunnnn… Aku belom mandi, nih!
“Lo, udah nyampe depan rumah Riri?” tanya Flori dengan tampang
‘Nyante aja, Man!’ “Kite belom siap-siap nih…,”
29
“Geblek lo berdua!” semburnya lagi. “Pokoknya cepet siap-siap, ya! Gue
tunggu 5 menit buat nyampe di mobil GUE!” Adis mematikan sambungan.
“Lima menit, Flo?” tanyaku tak percaya. “Ayo, atuh cepetan ganti baju!”
Aku udah gedebrak-gedebruk masuk kamar mandi, keluar kamar mandi, tapi Flori
masih tetep nyante ganti baju dan pake celana jins pendek plus cuci muka doang.
“Gue siap!” ujarnya sudah berbedak tipis dan sudah pakai lipgloss aja.
Sedangkan Aku baru aja mau make make up, belom ngapa-ngapain.
“Aduh, Flo bantuin dong…,” panikku masih dalam skala 90. Flori
melempar peralatan make up yang tadi Aku pegang. Peralatan make up-ku hancur
hang seketika koit. Flori membubuhkan sedikit bedak tipis dan mencubit kedua
pipiku dengan kencang. “WADAW!!!”
“Sabar, Ri…,” Flori melepaskan cubitannya. Kujamin pipiku puasti merah
banget, Flori malah senyam-senyum gitu. Lalu dia memberiku lipgloss warna
peach, menyuruhku untuk memakai sendiri.
Dandanan siap disajikan—emangnya makanan—Flori menegadahkan
mukaku menghadap cermin. Waw, cakep banget, Sis. “Come on!” Aku menarik
Flori menuruni tangga dan cepat-cepat masuk mobil Jazz Merah milik Adis.
“Gila, cakep amat!” decak Adis kagum. “Kalian lum mandi, ye?” Adis
menjalankan mobilnya dengan perlahan.
“Iye,” jawab Flori sok betawi. “Ayo, ngebutz!” teriak Flori yang duduk di
samping Adis.
“SIP!” Adis memasukkan porseling. “Kencangkan sabuk kalian!” Serunya
girang. Aku dan Flori menurut saja, tapi kok perasaan nggak enak begini, ya? Saat
mobil dilajukan dengan kencang Flori malah kegirangan sedangkan Aku di kursi
belakang sepertinya rohku sudah melayang entah kemana. Kurasa Mama dan Adis
adalah orang yang sama-sama ingin membunuhku!
* * *
30
Le-pe, alias Lipo Karawaci. Begitulah anak D menyebutnya, kurasa semua orang
nggak cuma anak D doang―plis dei, Ri… Jangan norak dunk. Pasti 21 udah rame
sama anak D.
Baru sampai di depannya Simon bersama Sharen sedang ngobrol seru.
Adis buru-buru menghampiri keduanya.
“Ceilah…berduaan aja nih?” goda Adis.
Sharen langsung mendelik. “Enak aja, lagi nyari gosip baru, niy…,”
Sharen menjitak kepala Simon yang udah kege-eran dan mesem-mesem nggak
jelas.
“Cheese…,” sapa Flori. Adis dan Aku lupa kata wajib anak D, dia dan
Aku buru-buru mengucapkan ‘Cheese’ sama-sama. “Yang laen?”
“Udah ada di dalem tuh…,” Simon menunjuk kumpulan anak D dengan
dagunya. “Kita tentuin nomat apaan yuk?” Simon langsung masuk dan jangan
lupa untuk mengatakan ‘Cheese’ rame-rame. Spontan kite diliatin gitu low…
“Gimana kalo Tali Pocong Perawan?” usul Andri dengan penuh
semangat.
“Kutil lo gede!” Cengeges Radie. “Jelaslah dia mau nomat ntu… Dewi
Persik gitu lho…,” Andri dan Radie ngakak bareng.
“Udahlah… Yang laen ada usul kaga?”
Rika ngacungin tangannya. “In The Name of Love?”
Hmm, yang lain pada mikir-mikir dulu. Tony garuk-garuk kepalanya,
Simon melihat Sharen diam-diam. Berry tetep cool. Reana masih baca komik.
Hanum sih nunduk terus ke bawah. Radie sama Andri celingukkan liatin cewek
cakep yang lewat. Fablo ngaca-ngaca liatin rambutnya yang menurut Aku udah
rapi itu. Flori berpikir ala Detective Conan. Sedangkan Aku hanya bengong.
“Gue nggak setuju,” ujar satu suara barito cewek. Yang laen jadi ngeliatin
dia. “Gue nggak suka cinta-cintaan, walo yang meranin Kakak gue Vino,”
31
Yee… Dasar preman maunya yang action aja, asal Kakakku aja—sejak
kapan Vino G. Bastian jadi Kakakku sama Lerina?—yang jadi aktornya baru mau
nonton kecuali yang baru aja dia bilang.
“Gue juga nggak suka nonton itu,” Weits Rico ambil suara, Man! “cari
film lain aja. Sayang Iron Man belom keluar,”
Yang lain mengangguk setuju, padahal tuh film bagus banget. Ada
Kunfayakuun, Tali Pocong Perawan, The Name of Love, action dari luar negeri
nggak begitu jelas namanya kehalangan sama Fablo sih, sama…
“Mending nonton Namaku Dick,” usul Reana. Komiknya digulung dan
mengacungkan pada Poster Namaku Dick.
“Setuju!” girang Flori. “Tora Sudiro, sih…,” mesemnya lagi.
“Gimana?” tanya Simon kepada yang lain.
“Ok, deh…,” yang lain ikut sepakat dengan Reana.
Karena sudah kesepakatan bersama yang bayar tiket dan bertugas
membelinya lima orang dulu yaitu, Reana, Berry, Adis, sama Rico—abis cuma
mereka doang yang paling banyak duitnya. Kami sepakat akan duduk dibarisan D
dan E sesuai dari kelas kita—kita? Lo aja kale situ sama tembok gue enggak.
Studio 2 tempat pemutaran film yang kami tonton sudah di buka dan kami
nggak sabar ingin mengocok perut dengan si wajah tampan sekaligus konyol.
Siapa lagi kalo bukan Tora Sudiro!
* * *
Selesai nonton Namaku Dick, anak D ribut banget ngomongin aksi Tora Sudiro
yang banyol banget. Karena waktu sudah memungkinkan untuk waktunya makan
kami mencari tempat yang sudah biasa kami jadikan markas sehabis nomat.
Biasalah yang punya tempat itu Oomnya Adis jadi bisa VVIP anak D.
32
“Tora gukil, ya?” Reana masih ketawa kecil setelah keluar dari 21. Dia
selalu mengatakkan ‘gokil’ itu menjadi ‘gukil’ membuat dia semakin menjadi
anak yang guuukiiilll abiz! “Dick juga lucu, suaranya Aming, sih… Eh?” Reana
terhenti tepat di depan toko alat musik.
Aku dan Flori jadi ikutan berhenti. “Apaan?” tanya Flori heran.
“Itu…,” tunjuk Reana ke dalam toko. Ternyata di dalamnya ada Farren
dan Reon.
“Farren!” panggilku girang. Tumben bisa ketemu dia di sini.
Farren menoleh dari gitar yang dipegangnya. “Hai, babe,” ujarnya sedikit
ada rasa kaget terekspresi di wajahnya.
“Kita duluan,” ujar Berry mengandeng Reana. Flori mengangguk dan
mengikutiku masuk ke dalam toko.
“Kalian ngapain di sini? Nge-date?” canda Flori. Farren salah tingkah—
lho kok salah tingkah sih?—pokoknya air mukanya nggak jelas, biru, merah,
putih, hitem mejikuhibiniu deh…
“Nggak mungkin lah…,” Reon memukul kening Flori pelan. “Kalian
sendiri ngapain di sini?”
“Kita baru selesai nomat,” Flori membalas memukul kening Reon tapi tak
berhasil.
“Nomat apa?” tanya Farren setelah dia berbincang sebentar dengan Oom
Keribo si penjaga toko alat musik ini.
“Namaku Dick,” Farren mengandeng pinggangku keluar dari toko.
“Seruuu banget!”
“Oh, yang mainnya Tora Sudiro?”
“Yoha…,” Aku berseru riang. Jarang-jarang lho Farren mau romantisan di
mall.
“Btw, kalian ngapain di toko tadi?” tanya Flori penasaran.
Farren dan Reon terlihat pucat. Apa Aku yang salah liat ya, kayaknya
mereka gugup gitu…
“Hm, ngapain, ya?” Reon malah balik nanya.
33
“Bener kan kalian lagi nge-date berdua. Nggak ajak-ajak, ya?” ujar Flori
jail. Farren dan Reon saling pandang. Lalu angkat bahu sama-sama.
“Yah, bisa dibilang begitu…?” canda Farren.
“Kalian memang nggak malu jalan berdua gitu? Masa nge-date di mall,
sih?” rajukku tulalit nggak nyambung sama obrolan mereka.
“Riri…Riri…,” Farren mengusap-usap rambutku. “Ada-ada aja, kamu…”
“Lah, emang Aku salah?” tanyaku masih nggak nyambung lagi. “Kalo
kalian nge-date di sini gimana kata dunia?”
Sedetik itu juga semuanya langsung ketawa ngakak ngedenger apa yang
baru Aku omongin. Aku cuma bisa garuk-garuk kepala karena malu diliatin sama
orang-orang. Bener kan sobat Aku nggak salah ngomong? Masa cowok sama
cowok nge-date di mall?
* * *
34
Hm, Ada yang Aneh, nih??
Flori
Sudah sebulan ini kelakuan Reon bikin gue gregetan!
Kenapa gue bilang begitu? Akhir-akhir ini Reon nggak pernah nganter gue
ke sekolah bareng lagi. Padahal dia selalu jemput gue di rumah Farren. But, dia
cuma mau pergi berdua bareng Farren doang!
Aneh nggak, sih? Kan bisa aja bareng ke sekolahnya bareng Farren juga.
Tapi mereka bilang ‘Sory, Flo ini urusan antar cowok. Jadi Aku harap kamu
ngertiin kita berdua.’ Apanya yang musti ngertiin mereka berdua?
Mereka kayak nyembuyiin sesuatu gitu dari gue. Riri juga jadi sering
dianter Mamz—gue panggil nyokapnya Riri Mamz, lagian Mamz nggak
keberatan kok—apalagi setelah sampai di sekolah, Riri langsung error nggak
karuan.
Brak! Tas yang tadinya ada di punggung gue langsung gue lempar ke
meja.
“Kenapa, Flo?” tanya Lani heran.
“Mood gue lagi juelek!” jawab gue ketus.
“Lo nggak bareng Reon lagi, ya?” tanya Simon. Monyetnya lagi nyari
kutu di badanya sendiri.
“Yaw, begitulaw…,” canda gue konyol.
“Paghehehehe…,” Riri dateng dengan tampang awut-awutan ingat bukan
autan obat anti nyamuk itu. Rambutnya digaruk-garuk sampai berantakan,
matanya jadi juling gitu. Bahasanya juga ngelantur.
35
“Wow, model baru ya Riri kutil?” tanya Andri dengan ucapannya yang
khas yaitu embel-embel ‘kutil’ di belakang nama cewek.
“Au argh…,” gumam Riri dengan bahasa errornya. Dia berjalan aneh yang
menurut gue mirip troy itu ke bangkunya. “Aha phe-her…?” tanyanya masih
ngawur.
“Sadarlah… Sadarlah wahai roh yang bersemayam di Riri kutil…,” canda
Andri. Dia paling nggak bisa melucu sehingga jayuznya itu bikin eneg.
“Emang lo dukun?!” gaplok Lerina tepat di kepala Andri. Kalian nggak
tau gaplok? Ntu-tuh nama laen mukul orang, tu juga kate Reana.
“Gue ini penggaet hati wanita, kutil!” Andri bersiap-siap kabur setelah
mengatakan kata kutil kepada Lerina. Belom tau dia rasanya di hajar preman
NuBa?!
“Minta dihajuar ye, lo!” Lerina segera mengejar Andri yang udah lari
sprint dengan kecepatan penuh ke arah kantin. Suara mereka nyampe menggema
kedengaran sampai kelas D.
“Huah… Emang ada pe-er ya, Flo?” tanya Riri cemas. Syukur deh dia
udah balik lagi keaslinya. Gue mengangguk-angguk. “Liat dong…” melas Riri.
Gue nyengir lebar. “Gue juga belom tuh…,”
“Kirain udah…,” Rohnya udah hampir mau keluar dari raganya setelah dia
menghempaskan pantatnya di kursi. “Lah, emang pe-er apaan?” Riri bangkit lagi
dari kuburnya. Ternyata baru nyampe langit ke tiga dia terbang.
“Nggak ada pe-er kok, Non…,” ujar Reana yang sudah ada di depan meja
gue. Pagi-pagi gini dia masih aja baca komik, buktinya di kedua tangannya udah
ada komik terus di kedua keteknya udah ada komik juga yang dia apit. Bau kaga,
ya?.
“Hieh??” gue terperanjat melihat komik yang sedang dibaca oleh Reana.
“Itu kan komik Nakayoshi Lovely yang ke tiga?”
Reana membalik cover komik yang sedang dibacanya itu. “Iye, emang
kenape?” logat betawi palsu Reana keluar juga dah, berarti dia ngijinin gue
minjemin komiknya. Kalo tanggapannya tadi pake bahasa Indonesia dengan baik
dan benar dijamin komik dia nggak akan dipinjemin ke orang lain.
36
“Boleh pinjem dong…?” gue menaikkan alis gue turun naik-turun naik.
Ada maksudnya nih...
“Hem, boleh-boleh aja…,” Reana menyerahkan komiknya.
“Eh? Emang lo udah baca semuanya?” heran gue. Tapi, Gue tetep dong
menerima komiknya itu.
“Yo… yo…,” angguknya dengan kata-kata yang aneh khas darinya. “Gue
mau baca yang ini,” Reana tiba-tiba mengeluarkan komik yang ukurannya lebih
kecil dari yang tadi. Taruh di mana tuh komik sama dia? Yang jelas bukan yang
diambil dari ketiaknya.
Lagi-lagi gue terperanjat dengan komik yang dikeluarkannya. “Buseeet…
Itu kan Charming Junkie 8???”
“Yoha…,” Reana mengangguk-angguk dibalik komik.
“Terus lo bawa apa lagi???” tanya gue penasaran.
“Hm… ada My Heavenly Hocky Club 1&2, Unrequited Venus 12, Naruto
39, My Sweet Kaichou 1&2, Nakayoshi 56, Chocolate Diary, yang lainnya gue
lupa namanya,”
“Oh, My Gos Re…,” gue teriak-teriak kayak orang kesetanan. Ini khas gue
sama Reana kalo ada komik yang baru terbit gini. “Gue suka
semuaaaaannnyaaa…”
“Hah? Lo suka sama anak cowok di kelas kita, Fo?” tanya Riri
membuyarkan lamunan gue untuk tak sabar membaca komik dari Reana.
“Bukan Riri…!!!” greget gue. Gue mencubit kedua pipi Riri. “Reana bawa
komik yang udah gue tunggu-tunggu!!!”
“Apanya yang udah ditunggu-tunggu?” tanya Riri masih belum connected
kaya sambungan internet ada bacaan ‘try again’.
“Susah dah ngomong sama lo, Ri…!!” Reana ikutan greget.
“Dari tadi gue masih belom negrti nih…,”
“Ini apaan, non?” tanya Reana sambil menjejerkan komik di depan wajah
Riri.
Riri menatap lekat semua komik yang diperlihatkan oleh Reana. Lalu dia
menepuk jidatnya dengan kears. “Oh, komik?”
37
Reana mengangguk-angguk dibalik komiknya lagi. “Mau baca?” tawar
Reana. Mukanya masih di tutupin sama komik.
“Hau…,” Riri mengambil komik My Heavenly Hockey Club 1 dari ketiak
Reana. “Cowoknya guanteng…teng…,” Mesem Riri. Ternyata dia cuma baru liat-
liatin cowoknya doang…
“Iya!” gue mengangguk-angguk setuju bareng Reana. Sebelumnya gue
udah baca nomor satu dari rental yang deket sama NuBa. “Mirip banget sama
Reon. Cuma kalo Izumi Oda terlalu polos and nggak cool kayak Reon. Tapi
teteup dong lebih imutan Izumi…!!!” ujar gue bersemangat.
Kalo masalah selingkuh mata sama cowok kece yang di komik, gue jamin
Reon nggak akan bisa mengalihkan gue dari cowok itu—jelaslah namanya juga
Reon orang kalo Izumi ya cuma gambar doang. “Apalagi kalo sama Sibaishi
Kazuma dari Midori is Tomboy, wuaduuuuhhhhh imuuuuuutnyaaaa ngggak
ketulungan daaaaaahh. Terus Tamon Okazaki dari Ultra Cute, Kiryuu Zero dari
Vampire Knight, bla…bla…bla…”
Riri mendengrkan semua ocehan nggak guna dari gue degan mengangguk-
angguk mirip robot. Gue rasa dia nggak ngerti semua tokoh cowok yang gue
sebutin semuanya tadi dan entah mengapa kalo udah ngomong para selingkuhan
gue ini, gue nggak akan berhenti sampe yang datang…
“Flori Harada!!” wueh lengkap amat tuh orang nyebut nama keren gue?
Tapi, dari suaranya gue merasakan firasat buruk datang terjadi.
Gue menengok slow motion ke arah suara. Rasanya di dalem kepala gue
nih, kayak ada suara ‘jreng…jreng…jreng…tradaaaa…tradaaa…’.
Kayaknya firasat gue emang ngga pernah salah nih… Ternyata yang
sekarang berada di hadapan gue adalah Madam…
“He…Pa, pagi…Mad…,”
“Pagi…pagi… Berbicara itu gunakan bahasa yang baik dan benar sesuai
dengan EYD! Apa itu Mad? Nama saya Suntinah! Bu Tin!!” ralatnya dengan
tegas. “Kalau kamu masih menggunakan bahasa yang tidak benar, saya alpa kan
kamu!”
Gue cuma bisa senyum miris aja. “Iya, saya mengerti, Bu…,”
38
“Kalau kamu sudah mengerti duduk di kursi kamu sekarang! Untuk apa
kamu berdiri di sini? Tidak dengar bel masuk?”
Untuk yang kedua kalinya nih… gue tersenyum lebih miris dibanding
yang tadi. “Gue deng…,” ops, salah kalimat nih… “Saya mendengar suara bel
dibunyikan, Bu.”
Madam hanya mengangguk dan berjalan melengos menuju kursinya. Ukh,
dasar guru bejat!!! Dengan tampang super be-te gue kembali ke kursi gue. Yueks,
gue harap kelas dua nanti gue nggak akan ketemu guru bejat itu lagi!!!
“Perhatian anak-anak!” Madam mengetuk-ngetuk ujung spidol dengan
keras. Membuat anak D langsung diam sunyi senyap. “Kalian akan saya ajar
sampai kalian kelas tiga nanti! Saya harap kalian bisa menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar pada pelajaran saya.”
Satu sepersekian detik itu juga rasanya semua kepala anak D serasa
dipenggal bersama-sama. Mampus aja kalau selama tiga tahun berada dalam
kenerakaan Madam. Mana tahan…Mana kuat… Mana di mana anak kambing
saya… Lho, kok malah nyanyi, sih?
Akh, udah pusing! Perasaan gue dari tadi nggak enak terus, nih? Jangan-
jangan nanti ada kejadian buru lagi yang akan menimpa gue?
“Ri, ada surat dari Reana,” bisik Riri sembari memberikan sobekan kertas
pada gue.
Gue celingukkan liat Madam yang masih fokus sama buku sastra yang
dibacanya. Gue buka sobekan kertas itu. Ada apa, ya Reana kasih ini surat?
Flo, gue merasakan firasat yang buruk akan terjadi pada lo
seharian ini. Terimalah dengan hati yang lapang… Wuakakakak…
;p
Seluruh tubuh gue langsung merinding. Walau Reana berniat mengirimi
sobekan kertas ini dengan main-main, tapi tebakan Reana selalu―kadang-kadang
bener―beneran terjadi. Huh! Kalau gue grogi gue bisa kentut sembarangan…
Apa nanti menyangkut hal kejelekkan gue???
39
* * *
“Dasar sial!” umpat gue kesal.
Gimana nggak kesel gue? Gara-gara sobekan kertas yang diberikan Reana
untuk gue tepat 100% tanpa ada kesalahan apapun.
Riri memandang ngeri ke arah gue saat gue melempar boneka babinya.
Mau gimana lagi? Cuma itu satu-satunya hewan alias boneka yang saat ini sedang
nganggur dan kebetulan menjadi target amarah gue.
“Sabar dong, Flo…,” Riri mengusap-ngusap boneka babinya yang
terlempar oleh gue dengan mulusnya.
“Gimana bisa sabar gue?” Tanya gue sengit. Riri langsung menciut dan
menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Sory, ya kalo sikap gue rada nyolot
sekarang…,” gue sadar kalo tadi itu udah bikin Riri ketakutan.
“Nggak apa-apa kok, Flo…,” Riri mengusap-usap pucuk kepala gue
dengan lembutnya ala Mamz. ”Gue ngerti kok, kalo lo belum gosok gigi tadi pagi.
Terus gue juga tau kalo elo pingin kentut pasti ngumpet-ngumpet dulu, terus kalo
nafas elo mirip naga terus…bla…bla…,” gue nyengir hambar ke arah Riri. Terus
aja ngomong kejelekkan gue, terus aja ngomong di depan orangnya. Terus aja
ngomong kalo gue emang…
Arrrgggghhh…kok malah jadi ngomongin diri sendiri gini?
“Cape deh… ngomong sama elo…,”
“Ih, lo jahat deh…,” ujar Riri dengan suara yang dibuat-buat.
“Riri…!!! Flori…!!!” suara teriakkan Mamz dari bawah menggema
sampai kamar Riri. Kayak lagi ada di opera aja.
“Apaan, sih, Ma?” gue dan Riri langsung melesat turun ke bawah.
Rasanya gue merasakan firasat yang sangat buruk.
40
Saat gue turun ke bawah dan melihat sosok Mamz yang berada di depan
televisi dengan baju yang…
“Ampun yujeeeeee…!!!” jerit Riri panik.
Gue nggak bisa menyangka kalo Mamz memakai pakaian senam yang
super mengkinclong pemandangan mata gue. Baju senam ketat warna merah
menyala itu mirip banget sama bajunya Rock Lee yang di anime Naruto! Ih…
Mamz nyeremin banget…
“Mamz ngapain, sih pake baju itu?” Tanya gue heran sekaligus penasaran
sekaligus ngeri―gue nggak tau apa istilahnya untuk kata ini.
Mamz tersenyum penuh arti. “Kita akan melakukan senam sore…
Makanya Mama ingin kalian ikutan juga pake baju…Jreeng!!!” saat kata ‘jreeng’
itulah Mamz mengayun-ayunkan baju senam ketat yang warnanya tak kalah
kinclong dengan yang dikenakan Mamz. Bulu kuduk gue jadi merinding, apalagi
Riri udah pucet gitu wajahnya.
“Mama nggak becanda, kan?” Tanya Riri dengan mimik yang tak kalah
syoknya dengan gue.
“Nggak kok…,” Mamz malah senyum dengan riangnya. Kayak nggak ada
beban gitu. “Nah, ayo anak-anak ganti baju kalian sekarang!”
Gue mundur selangkah di belakang Riri. Naluri gue berkata bahwa
sekarang saatnya…
“Mamz…Maaf Flori nggak bisa ikutan. Flori nggak mau pake baju yang
kaya puuuuuuuuuuppppp…!!!!” gue langsung kabur setelah mengatakan kata
‘pup’ yang panjang. Tentu Mamz dan Riri langsung cengo mirip ikan koki
melihat aksi kabur gue dengan kecepatan 300 mil/jam. Emangnya ada?
Sebodo amat sama tas gue yang ketinggalan di kamar Riri. Yang penting
gue udah lolos dan nggak mau pake baju yang warnanya mirip pup itu. Jijay
boo… Apalagi baju itu bakalan menampakkan semua lekuk-lekuk gue―kayak
bokongnya Lee itu. Nah, mending sekarang kite kabur kemana, nyok?
41
* * *
Rumah Reana, mungkin? Soalnya rumah Reana cuma muter satu blok dari rumah
Riri, mending ke sono aja, kan?
Satu-satunya tempat yang paling dekat dan emang gue targetin pingin
dateng kesini karena tadi sore gue udah janji pingin dateng ke sini. Rumah
Reana―tapi kata Riri ini juga termasuk rumah Berry, nggak tau mana yang
bener―yang bercat gold autumn dan bergaya minimalis dengan taman gantung
yang indah membuat rumah Reana terkesan sejuk walau di dalamnya terkesan
dingin karena ada Berry.
Gue memencet bel dan saat bel kedua berbunyi, pintu depan terbuka dan
munculah orang asing yang berbeda dengan warga Indonesia. Ya, namanya juga
orang asing.
“Okaeri―selamat datang,” sapa seorang wanita yang membukakan pintu
itu dengan senyuman yang aduhai menentramkan hati. “Hime-sama sudah
menunggu.” Katanya lagi sambil mempersilakan gue masuk.
“Tadaima!―Aku pulang! Eh, salah ding…,” gue jadi malu sendiri. Habis
udah kebiasaan orang Jepang kalo masuk ke rumah harus salam kaya gitu. “Reana
di mana?” Tanya gue setelah wanita tadi menutup pintunya.
Sebenarnya dia adalah pelayan import dari Jepang. Namanya Matsuri-san,
keluarganya memang sudah mengabdi lama di keluarga Reana dan Berry―kata
Reana. Apalagi memang Reana dan Berry sejak lahir sampai kelas 6 SD berada di
Jepang lebih kentalnya dari gue.
Gini-gini gue baru tinggal di Jepang dari SMP, soalnya Mama gue suka
banget tinggal di Indonesia dulu. Untung aja kakek (ayah dari Mama) meminta
Mama untuk tinggal di Jepang lagi. Mau nggak mau gue juga ngebut belajar
bahasa Jepangnya.
“Dia sedang memasak di dapur,” Matsuri-san menunjuk arah dapur
dengan kedua matanya yang sipit. “Kalau mau Anda bisa menunggunya di sini
atau membantunya.”
42
“Arigataou. Tapi, lebih baik tunggu Reana selesai masak aja,” saat gue
menengok kebelakang Matsuri-san sudah pergi entah ke mana. Rasanya kok mirip
sama Fabian, ngilangnya itu loh kaya di ‘tring’ sama peri atau setan? Nggak jelas
deh…
Gue lihat di sofa Berry tertidur pulas sambil mendekap buku Fisika. Haree
giniii belajar? Jangan gila dong… Rasanya ngeliat pelajaran Si Kuda aja udah
bikin perut mual. Tapi, ngeliat wajahnya Berry lagi bobo kayak anak kecil tanpa
dosa―padahal catatan kriminal―hanya ungkapan―dia di kelas D banyak banget.
“Hai, udah dateng?” Tanya Reana di belakang gue. Kapan juga nih anak
udah nongol di belakang gue?
“Yang lo liat siapa yang dateng?” gue balik tanya mengerjainya. Gue
memandang dua piring berisikan makanan yang beraroma sedap di kedua tangan
Reana. Hm, perut gue udah kukuruyukan nih…, loh, bukannya itu suara kokokkan
ayam, ya?
“Laper, ya?” Reana menaruh kedua piring tersebut di atas meja makan.
“Iler lo udah ngeces tuh kaya air terjun Niagara.” Reana mengambil sepiring
spaghetti dan mengayun-ayunkannya di depan wajah gue.
“Gue mau dong…,” rayu gue.
Reana langsung mengeluarkan jurus jahil yang biasa gue gunain.
Digeleng-geleng kepalanya kayak lagi berdisko, sambil berkata ‘ogah’ berulang
kali. Gue memintanya kembali lagi, tapi Reana malah memainkan piring
tersebut―dengan memutar-mutarkannya ala tari piring―di depan wajah gue.
“Ngapain elo di sini?” Tanya suara dingin nan sinis bagai di kutub utara.
Gue menoleh dan mendapati Berry dengan wajahnya yang cool plus jutek
berdiri bagai gunung Jaya Wijaya―abis gue lupa nama gunung tertinggi di dunia,
tapi Jaya Wijaya juga gunung tertinggi di Indonesia, kan?―bagai dia pemilik
semesta atau rumah? “Suka-suka gue dong di sini…,” jawab gue nggak kalah
juteknya.
“Udahlah, Ber…,” untungnya aja Reana langsung menengahi gue. “dia
datang ke sini kan sebagai tamu gue.”
43
Berry tetap berwajah jutek menanggapi perkataan Reana. Dia mendengus
sebal dan langsung duduk di meja makan dengan mimik yang serupa.
“Jadi makan?” tawar Matsuri-san tiba-tiba di depan gue.
Gue kaget. Kok bisa ya, Matsuri-san nongol tiba-tiba begini terus? Cocok
banget nih jadi pemain utama misteri ‘Ada Apa Dengan Matsuri-san?’ film gue
mendatang.
Gue mengangguk penuh nafsu. Masakan buatan Reana itu tidak ada
duanya di dunia ini dan koki bintang toejoeh juga udah mengakuinya! Matsuri-
san menuangkan segelas air putih pada gue.
“Numpang makan juga?” Berry melototi gue kaya nggak rela gitu
masakan buatan Reana dimakan sama gue.
“Berry!” bentak Reana. “Lo kenapa sih, Flori cuma numpang makan
doang?”
Berry langsung cemberut begitu mendengar omelan Reana. Emang yang
cuma bisa menaklukan sang Ice Man hanya Reana seorang. Tapi, tadi kata-kata
Reana pedes juga. Cuma katanya?
Gue cengengesan sendiri. Berry melototi gue dalam kedinginannya. “Re,
gue bagi semur petenya dong,” gue menunjuk mangkuk berisikan cairan cokelat
kental―nggak tau namanya apa gue sebut aja semur pete.
“Mana ada semur pete? Lo doyan ya, sama pete?” Berry menatap gue
dengan pandangan jijik. “Ih, itu kan makanan orang kampung. Elo nggak pantes
banget jadi keturunan anak Jepang.”
“Yee…Bodo amat. Gue ya gue… Elo ya elo… Apa, sih urusan elo?” ujar
gue dengan nada yang sesinis mungkin.
Berry langsung diam seribu bahasa. Gila bahasa Indonesia gue pas banget,
bisa lancar gini, dapet nilai plus nih gue dari Madam Ntin. Pokoknya kalah telak
deh elo sama gue, Ber… Soal ngotot-ngototan tentang makanan, nggak akan gue
ijinkan elo hina para makanan itu!
Ciiee… Tepuk tangan buat gue?!
44
* * *
“Kok kalian masih di sini?” Tanya suara dingin nan sinis bagai di kutub utara
lagi-lagi. Yah, siapa lagi kalo bukan Tuan muda Berry Nomiya si Ice Man kelas
D.
Mau tau kenapa Berry ngomong ‘kalian’? Tadi secara tak sengaja bagai
datangnya setan entah dari kutub utara―tempat asal Berry―atau dari negeri asal
orangnya biang gossip, saat sedang makan dia datang dengan tanpa dijemput,
pulang tak diantar. Siapa lagi kalo bukan Sharen si Miss gosip kelas D.
“Ih, Berry kok sinis gitu, sih?” ujar Sharen dengan suara yang dimanjakan.
Walo nggak begitu kelihatan dari ekspresi Berry, gue tau kalo tadi dia
pasti ngeri dengar suara Sharen yang dibuat-buat itu.
“Ikh, bodo amat lah!” Berry langsung membanting pintu kamar Reana.
Kenapa juga dia musti ikutan sama Reana ke kamar ini cuma buat anterin
makanan kecil buat kita. Dasar cowok aneh…
“He…he…he…,” Sharen langsung ketawa gede padahal dari tadi dia udah
nahan ketawanya. “Berry tuh, kalo dikerjain pake cara manis-manis pasti
langsung kabur. Makanya tadi gue pake taktik gitu.”
“Berry emang lemah banget sama yang kata-kata manis,” Reana langsung
membuka toples berisikan cookies buatannya.
“Ada acara apa Miss gosip datang ke rumah Reana?” Tanya gue sambil
menyeruput wedang jahe buatan Reana yang sedap and hot!
“Biasalah… sekarang tanggal berapa, sih?” Sharen berdecak riang. Nih,
anak ditanya kok nggak nyambung, ya?
“20 April. Emang kenapa?” cecar gue masih penasaran.
“Ah, elo mau tau aja urusan ratu gosip. Gue emang udah kebiasaan dateng
sambil nginep kali di rumah Reana setiap tanggal segini…,”
“Nah, elo sendiri Flo mau nginep juga?” tawar Reana. Dia memberikan
toples berisikan manisan gula pada gue.
45
Gue mengangguk sebentar. “Tenang aja gue udah minta ijin sama Aunt
Lira kok buat nginep di sini,”
“Oh…,” ujar Sharen dan Reana bebarengan.
“By the way Reon nggak pernah nongol lagi ya ke kelas D?” Sharen
mengaduk-aduk wedang jahenya.
“Iya, nih…,” jawab gue lesu. Jadi inget hal yang menyebalkan gini, nih…
Gue kangen nih sama My Honey. Tiga kali lebaran tiga kali puasa. Kemana
sajakah dikau pergi, bang? Meninggalkan anak dan isterimu? Euleh-euleh… kok
malah ngedangdut gini?
“Eh, tapi gue kadang ngeliat Farren sama Reon nongkrong di Coffee Bean
Lipo lho…,” suara ratu gosip mulai tercium. Bukannya terdengar tuh?
“Kok? Ngapain mereka di Coffee Bean Lipo?” Tanya gue penasaran.
Hidung Sharen kembang-kempis―tandanya kalo dia nggak tau. “Ye,
meneketehe… Tapi kemungkinannya sih, mereka lagi nunggu seseorang gitu.
Udah 3 kali gue liatin mereka nongkrong di situ waktu dan jam yang sama. Gue
aja baru nyeledikin hal ini.”
Wah, ini sepertinya gue mencium tanda-tanda bau kasus penyelidikan
Detective Flori beraksi! Nggak mungkinlah Reon nongkrong di tempat yang sama
buat nunggu seseorang.
“Jangan-jangan Reon berniat nyeleweng?” ucapan Reana itu membuat gue
bagai disambar daun pisang. Habis gue nggak mau kalo disambar petir, bisa mati
gue.
“Masa, sih?” Tanya gue nggak percaya.
Ya, iyalah…masa ya, iya dong? Jelaslah gue nggak percaya. Reon kan
bukan tipe cowok yang gampang suka sama cewek, apalagi punya niatan buat
selingkuh di belakang gue. Jadi nggak mungkin dong dia berniat nyeleweng.
“Ini kan baru kemungkinan aja. Siapa tau yang nyeleweng bukan Reon
justru Farrennya!”
Oh, masa sih? Dari tadi masa sih-masa sih aja. Tapi, bisa juga gitu.
Soalnya sepupu gue yang satu itu dan geblek bisa aja gampang kepikat sama
cewek laen karena pacaran sama Riri cewek ajaib anak D. Tapi, juga nih kalo
46
emang Farren berniat selingkuh dan mencampakan Riri gue nggak bisa tinggal
diam aja dong?
“Eh, gue pingin minta tolong nih sama kalian. But, ini misi yang amat
sangat peting dan rahasia Negara D jangan sampai media massa sekolah
mengetahui hal ini,” instruksi gue kaya komandan mau perang aja sama Uni
Soviet saat Perang Dunia Kedua.
Sharen dan Reana mengangguk mengerti. “Gue jamin media massa
sekolah nggak akan mendapatkan gossip dari gue,” ujar Miss gosip serius.
“Bagus! Nah sekarang kita buat rencananya…,”
Gue, Sharen, dan Reana tersenyum-senyum kegirangan setelah menyusun
semua rencana. Kalo di komik wajah kita-kita ini pasti kaya seringai Joker dan
ada hawa pembunuhnya. Hehehe… Farren and Reon bersiaplah kalian!!!!
Serbuuuuuuuuu!!!!!!
47
Kamu Ketahuan…Selingkuh???!!
Riri
“Yang bener lo?” Tanyaku tak percaya setelah apa yang barusan kudengar dari
mulut Flori.
Flori hanya mengangguk pasti. Aku memandang Sharen dan Reana
bergantian. Suasana kelas saat ini untung saja tidak terlalu ramai karena anak D
sudah pergi menyerbu kantin.
“Gue harap elo nggak stres, Ri…,” ujar Sharen prihatin.
“Gue nggak bakalan stres!” histerisku. “Tau rasa cewek yang jadi seliran
Farren, gue bunuh, gue lempar ke Sungai Cisadane Tangerang, gue cincang jadi
halus buat makan ikan gue, gue blender, eh tapi, nggak bakalan muat ding… terus
gue apain lagi, ya?”
“Elo potong jadi sepuluh bagian jual ke pasar buat jadiin baso goreng!”
ujar Flori tak kalah bengisnya.
“Boraks dong?” cengenges Sharen.
“Eh, tapi Sungai Cisadane Tangerang kan airnya udah keruh, kotor, mana
ujan nggak ada ojek becek…,” Aku mulai berbicara ngelantur.
“Ih, nggak nyambung deh…,” Reana menawarkan bekal miliknya pada
kami. “Lagian hal sekecil gitu aja diperhatiin.”
“Pokoknya kalo emang Farren sama Reon ketahuan selingkuh kita
hajuuaaar ceweknya!” Flori menggigit sandwich dengan garangnya. Seperti
memperlihatkan kalo sandwich itu adalah selirnya Reon.
48
“Terus kapan…,”
“Ada Flori?” Tanya suara yang sudah Aku kenal dari depan pintu kelas D.
Sepertinya dia enggan masuk kemari. Flori langsung menghampirinya dengan
wajah yang malu-malu, sebelumnya dia udah men-setting wajahnya.
“Baru diomongin orangnya udah dateng, panjang umur,” Sharen melahap
sandwich yang ketiga kalinya.
Aku melihat Reon dan Flori berbicara sekenanya saja. Reon memang
nggak pernah suka diperhatikan sama orang-orang, sih… Tak lama kemudian
Flori sudah bergabung lagi dengan kami.
“Ngomongin apaan?” tanyaku penasaran.
“Nggak penting. Dia cuma tanya kemaren gue nginep di rumah siapa,”
jawab Flori santai. Aku tau kok, kalo Flori seenggaknya pasti senang karena Reon
mengkhawatirkan Flori.
“Emang kemaren lo nggak di rumah Farren?”
“Nggak,” Flori mengorek-ngorek hidungnya dengan santai. “Kemaren gue
bareng sama Sharen nginep di rumah Reana sekalian buat rencana kita itu.”
“Kok nggak ajak-ajak, sih? Kan gue mau ikutan juga…,”
“Ih, siapa juga yang mau ajak elo?”
“Ah, kok kalian gitu sih sama Aku?”
“Ye, kapan gue ngomong aku-kamu perasaan gue-elo deh…,” Sharen
berucap menusuk banget nyampe ke hatiku…
“Elo kejam banget, sih? Padahal yang lain kan nggak begitu…,” rengekku.
Hatiku sungguh terluka sekali. Hancur hatiku… mengenang dikau… Lah,
mengenang siapa? Farren kan lagi berniat selingkuh dari Aku.
“Gue sependapat kok sama Sharen,” ucap Flori dan Reana bebarengan
dengan entengnya juga.
Aku tercengang. Mulutku sampai membentuk huruf O yang besar lho,
bukan yang kecil. Kenapa sih pengarangnya bikin Aku jadi orang selugu yang kau
permainkan kepadaku? Hatiku sakit… Hiks…Hiks…(Heh, pengarangannya udah
pusing nih mikirin nasib elo!) Tapi kalo dipikir-pikir pengarangnya juga pasti
pusing sama Aku. (Capue deeh…)
49
“Hiks…hiks…hiks… Gue nangis nih…,” ujarku pura-pura.
“Alah, nggak ada waktu buat becanda nih…,” gusar Flori. “Pokok ke kalo
enggeus katempo saha selirna Reon, abdi teu akan main-main deui!” gaya bener
nih Flori? Dari bahasa Indonesia ke bahasa sunda. “Bener nggak?”
Kita semua pada angkat bahu. Jelaslah nggak ada yang orang sunda
diantara kita, mana ngerti bener apa enggaknya?
“Katanya nggak mau main-main? Kok malah ngelantur gitu bahasanya?”
suara bass Simon menganggetkan kami semua. Posisinya dia malah di sebelah
Sharen. Berarti dia denger dong?
“Eh, elo…,” Sharen pura-pura nggak tahu. “Siapa yang nggak mau main-
main?”
“Udahlah… Nona-nona jujur aja sama gue. What happend? Aya naon?”
tanyanya sok ala gantle.
“Tapi, ini termasuk rahasia Negara D lho…,” Sharen akhirnya membuka
tabir juga. Emangnya tabir surya, ya? Kok dibuka?
“Gue lelaki yang dapat dipercaya oleh nona-nona sekalian,” Simon
mengacungkan sumpah anak D yaitu dengan gaya tangan membentuk huruf
Victory kedua tangannya, bukan jarinya, dan di atas kepalanya monyetnya Simon
melakukan hal yang serupa.
“Gue jamin ucapan elo,” Sharen menepuk-nepuk pundak Simon.
“Permasalahannya?” Simon langsung main tabrak aja.
“Kami merasa bahwa tersangka Farren Aryanda Dwinata dan Reon Alkasa
berniat menyeleweng dengan perempuan lain,” Flori berbicara seperti di kantor
pengadilan saja.
“Wah, masalah pasal berapa nih di Negara D?” Tanya Simon bercanda.
“Pasal 10 ayat 3. Yang berbunyi ‘Bilamana warga D mengalami
kesusahan tentang permasalahan cintanya terutama perselingkuhan (pasal ini
khusus dengan percintaan) harap jangan sampai tersebar dan segera diatasi’.”
Jawab Sharen diplomatis banget. Reana dan Flori hanya cengo saja. Ya, Aku juga
berekspresi serupa.
50
Btw, Hebat kan kelasku? Di kelas D ini jelas ada Undang-Undangnya juga
dan kami sebagai warga D yang turun temurun dari anak kelas 3D (secara ini
kelas khusus) harus mengikutinya.
Aku juga nggak nyangka kalo Sharen dan Simon hapal bener kalo ada
Undang-Undang yang menyangkut tentang perselingkuhan.
“Hebat…,” gumamku. “Terus gimana lagi?”
“Gimana apanya?” Simon garuk-garuk kepala nggak ngerti.
“Ah, paling Riri cuma lagi ngigo aja… Lebih baik kita mulai aja. Intinya!”
Sharen memukul meja dengan keras, ceritanya pengganti palu yang sering
digunakan oleh Hakim. Aku jamin Sharen pasti kesakitan.
“Jelaskan Menteri Cinta?”
“Kita mulai mengamati kedua tersangka kita sore ini. Gue mendapat
laporan bahwa setiap pukul 16.00 mau lewat atau kurang, gue kurang jelas,
mereka nongkrong di Coffee Bean Lipo sedang menunggui seseorang,” jelas
Sharen tak kalah aktingnya dengan Flori mengikuti gaya hakim.
“Lah? Mereka kan cuma nungguin seseorang aja? Belum jelaskan kalo
mereka nunggu cewek atau cowok?” Tanya Simon kelihatan banget kalo dia
bingungnya. Soalnya gue sama Simon tampangnya mirip banget. Bukannya
tampang mirip wajah monyet tapi muka bingungnya.
“Maka dari itu! Kalo emang gue salah paham, kita buktiin sekarang aja!”
Flori mulai mencak-mencak kakinya. Itu tandanya dia marah banget.
“Kalo gitu kita pergi aja sore ini!” terang gue dengan nada tinggi.
Yang lain malah bengong aja. “Emang kita mau perginya sore ini, non…,”
Sharen menyubit pipiku sampai melar.
“Ya, udah atuh… Kita pergi sekarang…,”
“Ampun deh, Ri…,” kali ini Flori yang menyubit pipiku.
“Kenapa lagi, sih?” geramku. Ngomong itu salah ngomong ini juga salah,
mana yang bener?
“Ini kan masih siang hariiii…,” Flori mengarahkan kepalaku 180° keluar
kelas. “Lagian kita juga masih di sekolah kaleeee!!”
“Eh, betul juga…,” Aku jadi malu sendiri gini.
51
“Kok Adis nggak pernah keliatan lagi ya selama seminggu ini juga?”
Tanya Reana mengalihkan pembicaraan lain. Wah, Aku nggak pernah mikirin
Adis sih… Jelaslah Aku kan bukan cowoknya Adis.
“Betul juga elo, Ren…,” jawab Simon sambil celingak-celinguk nyari
sosok Adis.
“Ren? Siapa tuh?” kali ini Aku yang tanya. Perasaan kan nggak ada nama
anak D yang depannya Ren atau belakangnya Ren kecuali Sharen. Tapi yang tadi
nanya kan Reana, Sharen cuma gelen-geleng doang…
“Itu nama panggilan gue Riri sayang…,” Reana menyubit pipiku. Dalam
satu hari ini sudah tiga orang yang menyubit pipiku, bisa-bisa pipiku melar deh…
“Abis kalo Reana emang kepanjangan, sih…,” cengenges Simon. Lho, kok
malah si Simon yang nyengar-nyengir gitu?
“Akhir-akhir ini Adis juga jarang nge-dance lagi di kelas. Mungkin punya
bokin baru kali, ya?”
“Au, ah…,” cuek Simon, Flori, dan Reana bebarengan. Kompak bener
jawabnya…
“Btw, kita urus dulu masalah gue sama Riri. Setelah itu kalo udah kelar
kita selidikin Adis, setuju?” usul Flori.
Yang lain saling pandang-memandang. “SETUJU!!!!!”
Kami semua menumpuk tangan kami satu-satu. Yang pertama Flori lalu
Sharen lalu Simon lalu Aku lalu Reana lalu lalang…Kami angkat tinggi-tinggi
dan…
“Untuk penyelidikan pertama kita,” ujar Flori dan diikuti oleh yang
lainnya. Lalu kami bersorak-sorai dan… “CHEESSEEE!!!” dengan gaya yang
uuueeekkksss narsis banget!
* * *
52
“Ternyata sasaran kita memang benar ada di sini,” ujar Simon sambil berbisik.
“Ya, iyalah… Masa ya, iya dong… Mulan aja jamilah masa jamidong,”
canda Sharen. Tentu saja dengan volume suara yang kecil, otomatis kita ikut
tertawa dengan volume suara yang minim bangets! “Gue gitu, apa sih yang nggak
bener?”
“Ssstt… Mereka mulai memberikan reaksi yang negative,” Flori melirik
kearah tersangka kita. Siapa lagi kalo bukan Farren dan Reon. Tentu saja kamipun
langsung memelototi mereka.
Kalian heran melihat tingkah laku kami yang ala detective? Ngomong
sama siapa lagi elo? Ya, ngomong sama penggemar gue lah… Huuuu maluku di
ambon…
Udah…udah… Aku jelasin ya. Sekarang kami berada di lokasi kejadian.
Yaitu Coffee Bean Lipo. Tersangka kami berada di arah jam dua, sedangkan kami
berada dia arah jam delapan. Tapi, nggak keliatan sama mereka kok… Coz
kehalangan sama Oom dan Tante yang kayaknya lagi cem-ceman.
Dan dari tadi kami perhatikan―kami di sini sudah setengah jam mengintai
mereka―Farren selalu melihat keluar. Kayaknya dia lagi nunggu selirnya dateng,
deh… Aku cemburu dibuatnya, nih…
“Tapi, kenapa selirnya belom dateng, sih?” Tanya Simon sedikit sebal.
Dia merebahkan dirinya di sofa.
“Sabar aja, Mon…,” Reana menyeruput Iced Coffee Late pesanannya.
“Namanya juga pengintaian. Butuh waktu lama untuk menemukan buktinya,”
Kami semua hanya mengangguk-angguk saja. Hebat bener kata-kata
Reana barusan. Emang anak yang smart beda sama Aku yang rakyat
biasa―istilah ini hanya Aku maksudkan sebagai warga Negara D.
“Baca apaan elo, Ren?” Sharen membalik cover novel yang sedang dibaca
oleh Reana. “Oh, sakit ½ jiwa toh…,” jawab Sharen sendiri. Situ nanya malah
jawab sendiri.
“Enak nggak, sih Fruit Tartnya?” Flori memerhatikan Fruit Tartku dengan
ilernya yang hampir keluar.
53
“Mau nyoba?” tawarku.
“Asik!!” girang Flori. Tapi, kami semua langsung membekap mulutnya,
habis tadi dia ngomongnya gede banget.
“Sssttt!!! Jangan gede-gede elo ngomongnya!” peringat Simon.
“Mahaaff…,” Flori ngomong nggak begitu jelas secara mulutnya ada
garpu berisikan Fruit Tart.
“Rasanya kok, belum ada tanda-tanda datengnya selir mereka, sih?” ujar
Simon mulai tidak sabaran. Tangannya dari tadi mengetuk-ngetuk meja. Para
pelanggan yang mendnegarnya jelaslah pada risih… Tapi, dasar Simon dia sih
cuek-cuek aja.
“Lebih baik elo milih cake sana… Gue yang traktir deh…,” Reana
ngomong segitu entengnya dengan mata yang masih terfokus dengan novel yang
sedang dibacanya. Habis dia juga merasakan bahwa Simon ini sudah mengganggu
acara baca novelnya.
“Se, serius lo?” mata Flori dan Simon membulat senang. Atau jelalatan?
Reana hanya mengangguk sambil meyerahkan kartu bergambar Bugs
Bunny. Gila, neng… Itu kan kartu kredit buat anak kaya! Aduh jangan norak deh,
Ri… Kaya elo nggak pernah liat aja…
“Horeee!!! Ayo kita beli cake yang enak!” girang Flori langsung
menyambar kartu yang diberikan Reana tapi, dengan pelan-pelan tentunya.
“Tapi, gue titip Chocolate cake, ya?”
Simon dan Flori langsung mengangguk kegirang. Entah denger apa nggak
pesanan Reana tadi. Saking girangnya mereka lupa cara berjalan dengan normal,
mereka malah jalan sambil loncat-loncat nggak jelas.
“Kok, elo nggak ikutan milih juga?” Tanya gue heran melihat Sharen yang
duduk dengan tenang di samping Reana.
“Nggak nafsu. Paling juga nanti mereka bawa banyak cake.” Jawab Sharen
santai.
“Baduy, ya…,” gumam Reana nggak jelas.
Baduy? Ada apa memangnya dengan Baduy?
“Elo…,”
54
“Kita bawa banyak cake nih…,” girang Simon. Dia menaruh nampan
berisikan bermacam-macam cake. Begitu juga dengan Flori dia membawa banyak
bermacam-macam warna cake. Gila mesen cake aja sampe cepet kaya gini, gi
mana dikasih duit secara cuma-cuma?
“Wuah, ada apaan, nih?” tanyaku heran.
“Bukan ‘ada apaan’ tapi ‘wuah kok banyak cake di sini?’ gitu, Ri…,” ralat
Flori sok jayuz. Memang sih tadi Aku juga pingin ngomong kaya gitu.
“Pesanan gue?” Reana mencari-cari Chocolate cake-nya.
“Nih…,” Flori memberikan Chocolate cake Reana.
“Ayo, kita santap semuanya!!” Aku ikutan girang juga. Untuk hal makan-
memakan Aku paling semangat.
Maaf untuk pembaca… Harap jangan ngiler karena kita mau makan cake
yang enak sekali. Kira-kira butuh waktu 15 menit untuk menyantapnya. So,
tunggu aja ya…
Beberapa menit kemudian…
“Wuah, kenyang-kenyang gue…,” Simon mengusap-ngusap perutnya
yang kekembungan. Perasaan tadi baru makan 10 potong cake masa udah
kenyang?
“Perut karet elo, Ri…,” Sharen udah K.O di samping Reana. Sedangkan
Reana hanya masih fokus pada novel yang dibacanya.
“Kan kalian yang suruh makan semua cake yang tadi dibeli? Ya, gue
makan semua lah…,” Aku mengorek-ngorek gigiku yang tadi penuh dengan krim.
“Dasar nggak mau untung dasar anak buntung!” Flori menyeruput Choco
Caramel-nya dengan kesal.
“Eh, ngomong-ngomong… selama kalian makan cake Farren sama Reon
udah keluar, lho…,” Reana menutup novelnya. Udah selesai bacaannya tuh?
Kami semua diam tepaku. Ada bunyi tik…tak…tik…tak…
Jjjddduuuaaarrr!!!
“Apaa???!!!!” gempar kami kecuali Reana. Kami langsung mencari sosok
Farren dan Reon, ternyata mereka memang sudah menghilang!!
55
“Elo kok nggak ngomong-ngomong, Re…,” Flori terkulai lemah di
kursinya. Rohnya udah mau keluar lewat mulutnya.
“Aduh… Terus kita gimana dong??” tanyaku ikutan panik. Ultra panik
malah…
“Kan masih ada hari lain-lain lagi?” jawab Reana polos banget
ngomongnya.
“Kenapa mereka bisa kabur gitu, sih?” ujar Simon dengan nada yang
sedikit kesal. “Kenapa nggak tunggu kita dulu abis selesai makan?”
“Heh, emang elo udah janjian apa?” Sharen memukul batok kelapa eh,
kepala Simon sekali jitak.
“Elo kok malah jitak gue, sih?”
“Elonya bikin gue kesel!”
“Farren ke mana, sih??”
“Hei, jangan berantem dong! Urusin nih masalah gue sama Riri.”
“Ah, nanti aja!”
Reana yang sedari tadi memperhatikan kami semua, hanya tersenyum-
senyum nggak jelas. Tonjolan kerutan yang berada di kening Reana terlihat jelas.
Aku merasakan adanya tanda firasat buruk deh…
Kugamit lengan Flori. “Flo…,” Aku menunjuk ke arah Reana dengan
kedua mataku. Sedangkan Aku mencoba bersembunyi dibalik tubuh Flori.
“Waduh…!” Flori juga langsung ikutan menciut. Dia menarik-narik kerah
baju Simon.
“Apaan, sih? Lagi sibu…k,” Simon langsung mengahadap Reana.
Seketika wajahnya langsung berubah warna menjadi biru.
“Udah berantemnya?” Tanya Reana dengan nada yang pelan namun bagi
kami serasa mencekik leher. Kami hanya mengangguk pelan. “Lebih baik
sekarang kita pulang, ok?” kami mengangguk lagi.
“O…oke… Madam ayo sekarang kita pulang,” ujar Simon. Badanya
sudah basah oleh keringat dingin.
Kami hanya bisa mengikutinya keluar dari Coffee Bean. Tau nggak kalo
Reana udah senyum-senyum nggak jelas, secara sadar atau nggak sadar pasti
56
kalian bisa merasakan aura setan yang dikeluarkan oleh Reana. Dan kalau sudah
begitu kalian harus menuruti apa katanya atau kalian akan jadi… Dendeng! Pilih
dendeng ikan bandeng, mujaer, mas, ampela atau… Plis, deh Riiii… Nggak ada
waktu buat konyol…
Tapi, jayuz kan boleh… Sekarang malah Aku yang tersenyum-senyum
sendirian nggak jelas. Habis lucu juga sih hari ini. Awalnya karena kami
menyangka kalau cowok kami itu selingkuh, kami lngsung mengintainya. Tapi,
malah jadi acara makan cake dan ujungnya kena marah sama Reana.
“Dasar sableng…,” cetusku tiba-tiba.
Reana langsung berbalik mendelik ke arahku. Spontan juga Flori, Sharen
dan Simon lgsung menyikut perutku. Tatapan mereka semua menusuk banget
seolah berkata ‘Mau mati ya, elo?’. Hiii…Mending diem aja deh…
Jadi, kesimpulannya. Yah begitulah… hari ini kami gagal menjadi James
Bond! Lain kali Farren Aryanda Dwinata dan Reon Alkasa, kami akan
menangkap basah kalian! Ho…ho…ho…ho... Bukan saat kalian sedang mandi
basah, ya…
* * *
Hari Kedua…
Jreng…Jreng…Jreng…!!!
Seperti biasa kami menunggu tersangka kami, tapi tidak di tempat yang kemarin.
Setelah beberapa kali konfirmasi dengan Jendral Flori tentang rencana berikutnya
kami sepakat mengubah penampilan kami lebih mecing dan untuk menghemat
biaya― Coffee Bean kan mahal banget, bisa bangkrut uang jajanku seminggu.
Sayangnya hari ini kami hanya berempat saja. Biasanya kan yang menjadi
sekertris keuangan adalah Reana. Namun dikarenakan oleh suatu hal kali ini Tuan
57
Berry yang menemani kami atau lebih tepat mengawasi kami dengan ogah-
ogahan?
Mau tau rasanya gimana? Suasana café yang kami tempati menjadi
dingiiiiiinnnnn banget! Kaya di Kutub Selatan―kalo Flori ngatain Berry orang
terdingin kaya Kutub Utara, maka Aku mengatainya orang terdingin seperti di
Kutub Selatan.
Tau nggak? Nggak tau tuh… Alah nggak usah dijawab. Tadi pagi kami
menerima SMS dari Reana yang aneh―sebenarnya sih jayuz banget―kalau dia
sedang mengadakan ekspedisi ke Baduy kurang lebih selama seminggu!! Katanya
terinspirasi dari novel yang kemarin dia baca sakit ½ jiwa. Memang dasarnya
Reana udah sakit ½ jiwa dari SMP, sih…
O, ya dari café ini kami bisa lebih leluasa mengintip tersangka kami.
Kalau dilihat dari luar café memang kami tidak akan terlihat oleh mereka. Tapi
kami dari seberang sini bisa melihat mereka atau orang yang sedang berjalan lalu-
lalang dengan enaknya. Karena kacanya yang hitam dibagian luarnya saja.
Tapi lagi, nih… Ternyata setelah susah payah menunggu tersangka mereka
malah hanya duduk-duduk sambil berbicara―yang nggak kedengaran sama kita-
kita―saja di Starbucks! Buang-buang duit aja, nih dua anak nggak jelas…
Dan mau nggak mau―sebenarnya Aku malu untuk
mengatakannya―untuk hari ini kita gagal maning…gagal maning…
Hari Ketiga
Teot…teot…teo…oooeeet…
Aku nggak tahan lagi…!!!
Pingin telepon-teleponan sama Farren… Dan dengan berat hati Flori
mengijinkanku untuk menelepon Farren kali ini, tentu saja ternyata di balik itu
semua ada rencana yang terkandung.
Ingat ya, kami ini masih mengintai tersangka di café yang kemarin. Tentu
saja tersangka kami masih di tempat yang sama lagi selama tiga hari kami intai.
58
Akhirnya Aku mencoba menghubungi Farren dan… setelah tiga kali bunyi
‘tuuut…tuuutt…tuuutt…’ terangkat juga.0
Aku : “Halo…”
Farren : “Halo. Ada apa, babe?”
Aku : “Nggak ada pa-pa, kok… Aku cuma kangen sama kamu…” (dengan
wajah yang merah―jelaslah…diliatin sama mereka semua bikin Aku
grogi).
Farren : “Aku juga kangen sama kamu. Kamu lagi ngapain?”
Aku : “Lagi… lagi menicure sama temen-temen.”
Farren : “Oh, met happy aja ya…”
Aku : “Kamu lagi di mana sekarang?”
Farren : “Ng…(ng-nya itu lho lama banget!) Aku lagi main juga sama Reon di
tempat Bobby.”
Aku : (dengan suara yang agak sedih) “Bener?”
Farren : “Iya, kok sayang… Emang kenapa, sih?”
Aku : Klik!! (langsung memutuskan sambungan)
Huuueeeehhhh… saat ini juga Aku pingin menggali lubang yang sangat
besar untuk menampung ait mataku. Kulihat Farren di seberang sana mengamati
HP-nya dengan mimik bingung. Kuharap Farren mau meneleponku balik tapi,
ternyata tidak.
Flori dan Sharen hanya mengusap-usap rambutku dengan lembut bahkan
Simon menghiburku dengan nekat menyanyi di atas panggung café. Untung saja
Aku cepat terhibur oleh teman-temanku ini.
Kali ini giliran Flori yang menelepon Reon tapi ternyata yang mengangkat
teleponnya justru adiknya Reon. Katanya dari tadi pagi Reon lupa nggak bawa
HP-nya. Lalu dengan akal Simon yang pas-pasan, Simon meminta Flori
menanyakan kepada adiknya Reon apakah ada panggilan masuk ke HP Reon, dan
ternyata ada panggilan tak terjawab dari private number sebanyak 8 kali?!
Wah ini suatu penemuan yang bagus sekali. Ternyata untuk hari ini nggak
sia-sia dong pengintaian kami. Walau hatiku sedikit miris dan terluka! Liat aja
nanti selirnya Farren yang akan Aku hantam dan hajuuuar.
59
Hari Keempat
Teng…teng…toreng…toreng…reng…
Kabar buaaiiikkk banget.
Saat berada di posisi pengintaian, Reana menelepon Berry dan oleh Berry
di loundspaker supaya Reana mendengar suara kami. Tapi, agak malu juga sih,
coz kita lagi di tempat umum.
Flori, Sharen, Simon maupun Berry cuek aja lagi diliatin sama tamu-tamu.
Apalagi Berry tau pemilik café ini ternyata milik sepupu jauhnya jadi nggak
masalah dong…Dan juga siapa sih, yang anak D nggak punya malu anywhere,
anytime, and semuanya yang depannya any-any.
Reana yang baik dan pengertian sang malaikat dan iblis, memberikan
kami semua buah tangan―tentunya semua anak D kebagian. Selain itu Reana
mengusulkan agar meminta seorang teman sekelas tersangka kami untuk
mengintai dari jarak dekat agar mendapat informasi lebih lanjut.
Nggak disangka nggak dinyana―begitulah kata Madam Ntin―ada anak A
yang kebetulan lagi jalan di Lipo. Simon dan Flori langsung nafsu menghampiri
rombongan anak A yang lagi jalan. Membekapnya dengan karung goni, dan
menculiknya dengan sangat sukses.
Kalau di Playboy Kabel untuk membuktikan apakah si Tersangka ini
playboy atau nggaknya pasti ada si ‘penggoda’, tapi dalam kasus ini namanya apa,
ya yang cocoknya? ‘Pengganda’? Ih, nggak nyambung banget deh… Dari
penggoda ke pengganda cuma berubah konsonan doang…
Udahlah toh itu nggak penting―itu kata Flori bukan Aku. Ternyata anak
A yang berhasil kita culik itu adalah Andro dan Sanji. Duo cowok terjayuz se-
NuBa yang terkenal gagal masuk API―perhatian lagi, ini bukan singkatan Audisi
Pelawak TPI, tapi Audisi Penari daerah Indonesia―jelaslah yang masuknya aja
cowok tulen gini…
60
Akhirnya lagi, Reana yang kaya pulsa mau memberitahu strateginya.
Andro dan Senji ternyata mau ikut berpartisipasi tanpa imbalan
apapun―maksudnya kayak berupa duit, traktiran makan yah, yang berurusan
dengan duit. But, mereka mau melaksanakannya asal bisa dapet nomor HP Reana.
Hehehehe…Kita sih, no problem tapi, kayaknya Berry menatap Andro dan
Sanji dengan tatapan ala yakuza deh…Dan anehnya duo anak A itu nggak
merasakannya.
Akhirnya lagi…dan lagi…―kayak lagu Andra And The
Backbone―Andro dan Sanji berpura-pura ‘kebetulan ketemu sama kalian di sini’
dan bertugas menanyakan ‘ngapain kalian di sini?’, begitulah rencana Reana.
Dengan rasa penasaran yang sangat tinggi―tapi kayaknya Sharen sama
Flori yang lebih nafsu banget pingin tau hasil informasinya―kami menunggu
Andro dan Sanji. Alhasil setelah 20 menit berada di Coffee Bean, Andro dan Sanji
datang juga.
Ternyata memang tepat sekali kalau para tersangka kita ini sedang
menunggu seseorang di Coffee Bean. Andro bilang tampangnya Reon malu-malu
gitu, setelah ngomong ‘iya, gue emang lagi nunggu seseorang’. Dan untuk Farren,
Sanji mengatakan Farren berkata ‘gue juga lagi nunggu seseorang yang special
hari ini’.
Suasana café yang tenang dan berkesan romantis langsung terasa ada
datangnya petir. Jelaslah cowok Flori bisa ngomong malu-malu gitu cuma hanya
untuk ketemuan sama selirannya. Dan Farren Sayangku, berani ngomong gitu di
belakang Aku rasanya sakiiiiittt banget.
Dan kami juga berhasil menyimpulkan bahwa Reon dan Farren memang
ingin bertemu dengan seorang yang spesial dan bisa membuat mereka mendapat
kebahagiaan tiada tara. Apaan sih itu?
Apa nggak hiperbola banget tuh, mereka ngomong kayak gitu?
Yang jelas, Flori sejak kemarin selalu mendapat keterangan nyata kalau
Reonlah yang memang berniat selingkuh… Dan juga Farren!!!
61
Hari Kelima
Teng…teng…teng…terereng…terereng…
Hari ini Reana pulang, hari ini Reana pulang…
Hore…! Hore…! Hore…! Hatiku riang tak terkira… Soalnya kalo Reana
udah pulang berarti Berry nggak akan ikut kita lagi. Selain itu ada banyak oleh-
oleh dari Baduy!!
Sore ini juga di tempat yang itu lagi, itu lagi… Kami menunggu kedua
tersangka kita. Tapi yang mengejutkanku adalah…
KEDUA TERSANGKA ITU TIDAK ADA DI COFFEE BEAN!!! Lalu di
manakah mereka???
Setelah menghubungi Berry―ternyata dia tidak ikut karena ada eskul
basket―kami baru mengetahui sesuatu lagi. Kalau ternyata Farren dan Reon
sedang di lapangan bersama Berry mengikuti eskul basket.
Yah, percuma saja dong kita berada di tempat yang sering di datangi oleh
tersangka kalau tersangkanya nggak ada di tempat? Tapi, nggak juga kok…
Karena sekarang hanya ada cewek semua―sayang Simon nggak bisa ikut
karena monyetnya ngambek sering ditinggal terus sama dia―kami refreshing
dengan melihat cowok keren yang lalu-lalang.
Nggak nyangka lagi, baju kesayangan Flori ketumpahan cola sama cewek
yang nggak sengaja menabraknya. Flori marah banget sama tuh cewek, tapi
karena ceweknya udah kasih Flori baju ganti―sumpah cute abisss!!―Flori nggak
jadi marah sama cewek itu. Tapi, karena teman si cewek minta buru-buru, Flori
belum sempat kenalan dan mengucapkan terima kasih tentunya.
Selain itu Flori dan Reana mendapat kenalan cowok kereeeennnn banget
daripada cowok gue yang punya seliran itu! Ih, iri banget deh…Ternyata Reana
emang lagi baiiiikkk banget, Aku dikasih nomor HP cowok keren tadi.
Hehehe… Aku dan Flori bisa juga kan punya seliran di belakang para
cowok kita? Emangnya cuma mereka aja yang bisa??
62
Hari Keenam
Cing…cang…cing…cang…tung…
GILA!!!! NGGAK MUNGKIN!!! BOHONG!!!! (Yang teriak segede ini jelaslah
cuma Flori seorang, tapi Aku juga pasti bisa teriak segede ini).
Apa yang sekarang kita liat di sini ini adalah nyata bukan fiksi belaka.
Cerita sebelumnya… Ada satu cewek dan satu cowok masuk ke Coffee Bean,
mereka melihat-lihat sekeliling―sampai kepala mereka muter 360°―saat melihat
ke arah tempat Farren dan Reon berada, mereka langsung menghampiri.
Nggak disangka si cewek langsung meluk Reon?! Dan Reon―sumpah
dari sini keliatan jelas kalau muka Reon merah banget―keliatan malu, merah,
kayak kepiting rebus!! Apalagi Reon nggak merasa keberatan dipeluk sama si
cewek.
Oy, tunggu dulu deh… Kayaknya cewek itu pernah liat di suatu tempat
dimana gitu…Ping…Pong… Ternyata ingatanku nggak salah! Cewek itu yang
kemarin menabrak Flori dan memberikan baju cute banget! Dan Sharen juga
pernah melihat cewek itu sebelumnya, jauh sebelum dia menabrak Flori.
Sharen lalu membuka notebook-nya yang sengaja dia bawa untuk tugas
Madingnya―harusnya ketua Mading nggak boleh bolos eskul hari ini. Ternyata
Sharen membuka situs NuBa―yang dibuatnya sendiri, yang memuat semua data
siswa-siswi NuBa.
Hanya dengan menggunakan foto orang tersebut maka data orang itu akan
langsung muncul. Sharen ternyata memang benar-benar pantas untuk dijuluki
Miss gosip yang handai taulan…
Setelah proses searching yang cukup lama, kami mendapatkan datanya.
Foto si cewek itu kelihatan ultra cute banget!!! Tapi, Aku malah dibentak keras
gara-gara cuma ngomong begitu dihadapan Flori. Nih, datanya…
Name : Misha Rasqya Sakuragi
Brith of Day : Shibuya, 22 June 1992
Class : Special Ten A
Gender : Female ( Blasteran Japan-Betawi, lho…)
63
Adress : Victory Recidence Block A-14
Hobby : Reading comic, sleeping, and ngemil!!!
Work : Students and Assistance of Leader (istilah kerennya gue
pembantu pengurus kerjaannya ketua OSIS)
Rank : 5 (Five) in NuBa.
Food Favorite : Takoyaki, Chocolate Cake, Mi Ramen ( I’m a Naruto
Girl)
Drink Favorite: Iced Coffe Late and Green Tea
Favorite Col : Sky Blue and Sea Blue
Status : Single
Music : R&B, Jazz, and Klasik
Keterangan mengenai Misha :
Lahir di Shibuya, Jepang pada tanggal 22 Juni 1992. Awalnya selama 1 tahun
tinggal di Nagano―tempat asal ayahanda―di Prefektur Raosin. Kemudian
karena pekerjaan Ayahnya dia pindah ke Indonesia tempat asal Ibunya.
Ayahnya adalah Kazuma Sakuragi warga Jepang yang bekerja sebagai
pengusaha asing di Indonesia. Menikah dengan Cathrina Selomita dan menetap
tinggal di Indonesia. Keluarganya terdiri dari kedua orang tua, dirinya―ya,
iyalah…masa ya, iya dong…―dan seorang adik laki-laki benama Hi’iro
Sakuragi.
Rumah Misha berada di sebelah kiri Reon Alkasa. Karena keduanya
seumuran, Misha dan Reon menjadi akrab dan menjadi sahabat. Melihat
keduanya yang rukun bagai kakak-adik―sudut pandang keluarga
mereka―ternyata merubah perilaku keduanya.
Yaitu bahwa mereka…
Sampai situ saja Aku membaca data tentang Misha―yang dijadikan
sebagai selingkuhan Reon―karena Sharen tiba-tiba menutup notebook-nya. Bisa
kalian tebak lah tentunya… Flori syok berat banget!
Aku masih nggak bisa percaya kalau Reon berniat selingkuh dengan
teman dekatnya. Flori juga sama herannya denganku―bahkan mungkin saja Flori
64
ingin menghajar Reon sekarang, tapi kayaknya buat Sharen hal ini biasa aja.
Biasanya dia kan ikutan histeris bareng Flori.
Wah, kayaknya ada yang lagi disembunyikan oleh Sharen, nih? Benar
nggak pembaca? Ngomong-ngomong memang jika melihat dari tingkah keduanya
ini―maksudnya Reon sama Misha―mereka sangat terlihat akrab. Tidak seperti
hubungan antara kakak-adik melainkan seperti TTM―Teman Tukang Morotin,
masa nggak tau sih?!
Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan
keduanya―tumben banget Aku bisa berbicara sebijak ini―apalagi melihat Flori
yang sejak tadi termenung sendirian, Aku jadi kasihan melihatnya.
Kalau dipikir-pikir Flori yang selalu semangat tiba-tiba menjadi muram
membuatku meraskan kesepian. Aku mencoba menghibur Flori, mungkin saja
memang diantara keduanya tidak ada hubungan apapun hanya sebagai sebatas
teman saja. Jika memang ini semua benar adanya, Aku juga harus mempersiapkan
hal yang terburuk jika Farren pun berniat melirik cewek lain dari Aku…
65
Jangan Patah Semangat Girls!!
Flori
Sepulangnya dari café, gue merasakan pegel yang super duper juga suara gue
yang udah mulai serak. Dan―hal yang paling nggak gue pingin omongin―gue
juga mendapati kalau Reon berniat bertemu dengan selingkuhannya di belakang
gue!
Gue, sih nggak sedih… Cuma rasanya sakit aja kalau Reon nggak
memberitahukan hal ini pada gue. Walau begitu beratnya perjuangan gue untuk
melahirkan, eh salah ding… gue ulangi lagi.
Walau begitu beratnya perjuangan gue untuk mendapatkan hati Reon
selama berbulan-bulan, gue tetap nggak patah semangat. So, buat apa usaha gue
selama ini di sia-siain kalau ujungnya Reon nggak mau jujur sama gue?
Apa, sih bedanya gue sama dia? Toh, kita berdua―Misha dan gue―sama-
sama keturunan dari Jepang. Apa sifat gue sebegitu jeleknya di mata kamu,
Sayang? Maaf deh, kalau gue suka tidur di toilet atau kentut sembarangan saat
lagi nge-date bareng kamu.
Tapi, paling nggak kamu masih punya hati untuk menyadari keberadaan
gue? Gue rasanya punya lagu yang sama dengan situasi gue sekarang. Kayak
gimana ya lagunya?
I used to think that I wasn’t fine enough
66
And I used to think that’s I wasn’t wild enough
But I wasn’t waste my time trying to figure out
Why you playing games
What this all about
Yups, mungkin seperti lagu Keisha Cole yang berjudul Love? Gue
merasakan bahwa Reon seperti itu. Apa pembaca juga pernah merasakan hal yang
sama kayak gue? Kenapa para cowok itu lebih milih cewek yang nggak lain harus
membuat kita berpikir ‘apa yang nggak ada di diri gue sama di diri dia?’…?
Hah… daripada pusing-pusing mikirin itu terus lagi, lebih baik kita nyanyi
bareng aja yuk? C’mon guys! We start to sing and song together!
And I can’t baelive
You hurting me
I meet your girl what a different
What you see in her, you ain’t seen in me?
But I guess it was all just make bealive…
Oh, Love
Never knew what I was missin'
But I knew once we'd start kissin'
I found... Love
Never knew what I was missin'
But I knew once we'd start kissin'
I found... Found you
Now you're gone, what am I gonna do
So empty, my heart, my soul, can't go on
Go on without you
Rainy days fade away, when you come around
Please tell me, baby
Why you go so far away (Why you go...)
67
Oh, Love
Never knew what I was missin'
But I knew once we'd start kissin'
I found... Love
Never knew what I was missin'
But I knew once we'd start kissin'
I found... Found you
Who would have known,
I'd find you?
You...
* * *
Ke esokan paginya…
Kukukuruyyuuuuuk… Aum… Aum… Guk… Guk… Petok…!!
Reana menjemputku di rumah Farren setelah sebelumnya menjemput Riri
dulu. Hari ini juga Reon hanya membawa motor Kawasaki hijaunya, berarti dia
datang hanya ingin menjemput Farren geblek saja.
Di ruang tamu kulihat Farren sedang memakai sepatunya bersama di
sampingnya Reon sedang mengobrol biasa. Lihat aja nanti pembaca, gue lewat
doang pasti Reon nggak bakalan nyapa gue kayak biasanya.
Riri turun dari mobil Reana dan menengok sebentar melihat Farren di
ruang tamu. Farren hanya melihat saja kekasihnya itu melihatinya tanpa
mengucapkan kata misalnya ‘Pagi, Beibs?’ seperti biasa.
“Gue berangkat duluan,” gue pergi melengos aja melewati mereka. Sebodo
amat mereka nyangka gue pagi ini jalan dengan gaya cool dan acuh pada Reon.
68
Paling nggak gue pingin denger Reon ngomong ‘Sayang, maafin Aku
karena Aku nggak bisa anter kamu lagi’. Harapan yang…
Tiba-tiba tangan gue ada yang narik dari belakang. Nariknya kenceng
banget sampai gue hampir mau tiguling. Ternyata yang menariknya adalah
Reon?!
“Aku mau ngomong sama kamu sebentar,” Reon menarikku duduk di
sampingnya. Farren juga melakukan hal yang sama kepada Riri, tetapi mereka
entah di mana ngobrolnya.
“Ngomong apaan? Reana udah nunggu Aku di luar sekarang,” ujar gue
dengan nada yang ketus.
“Aku mau minta maaf sama kamu. Akhir-akhir ini walaupun Aku nggak
bisa bareng sama kamu lagi, Aku mohon kamu jangan salah paham dulu sama
Aku,” Reon menatap gue lekat tepat di bola mata gue. Gue jadi merasa tersihir
untuk memaafkannya nih pembaca… “Kurasa kamu mau ngerti kalau sekali lagi,
Aku mulai sibuk dan nggak bisa diganggu sama Farren.”
Gue terdiam beberapa saat. Gue tau kok, kamu sibuk ngapain aja. Untuk
menemui cewek itu di belakang gue kan?
“Flori…,” panggilan Reon begitu menghaluskan jiwa dan raga gue.
“Kamu denger Aku ngomong apa aja?”
Gue mengangguk. “Kalau memang kamu sibuk sama urusan yang jelas,
Aku pasti bisa ngertiin,” gue bales menatap Reon dengan tegas. Saatnya
membalas semuanya, Sayangku. “Coba kamu kasih alasan kenapa kamu akhir-
akhir ini sibuk?”
Reon tiba-tiba menjadi kaku. Tangan yang menggenggam gue dengan erat
tadi itu terasa dingin sekali. “Aku masih belom bisa kasih alasannya ke kamu
sekarang. Bukan waktunya yang tepat buat ngomongin hal ini,”
Gue bisa lihat… Gue bisa lihat dengan jelas―ya iyalah… masa ya iya
dong? Kalau lo nggak bisa lihat buta dong?―kalau mata Reon nggak lagi melihat
gue.
Jelaslah Reon nggak mau kasih tau tentang selingkuhannya sekarang.
Belom saatnya gue meraskan dicampakan sekarang.
69
“Maaf, Reon…,” gue melepaskan genggaman tangannya. “Kalau kita
nggak cepet-cepet ke sekolah sekarang, kita semua bisa telat!”
Kali ini dengan hati yang sakit banget―gue nggak mau kalau hati gue
teriris-iris, nanti gue mati dunk?―gue meningglkan Reon yang membeku.
Plis, deh Reon… Jujur dong sama gue??
* * *
“Jadi Farren juga ngomong kayak gitu ke elo?” Tanya gue saat bel istirahat
berbunyi.
Riri mengangguk-angguk lemas. Kelihatannya dia loyo banget.
“Gue nggak nyangka kalau Farren geblek itu makin geblek aja sekarang,”
Gue melempar boneka yang mirip Farren buatan Riri. Ih, bonekanya nggak
ngebentuk gitu. Berapa, sih nilai pelajaran PKK Riri?
“Jangan ngatain Farren geblek, dong Flo…,” Riri memungut boneka itu.
Padahal udah bagus kalau dibuang aja. “Gue rasa kita berdua harus bertindak
sekarang,”
“Hm, gue juga udah merasakan buat ngasih tau kejutan ini buat mereka.
Tapi, si Farren kan belom…,”
“GASWAT TUWAGAPAT!!!!” teriak Simon dan Sharen bersamaan.
Seisi kelas yang masih ada penghuninya langsung melihat ke arah Simon dan
Sharen. Bahkan Reana yang tertidur jadi terbangun.
“Apanya, sih yang gaswat?” Tanya Riri penasaran. Bahkan seisi kelas juga
menatap mereka dengan pandangan yang sama seperti Riri.
“Gue… a…bis la…hri da…ri ka…ntin…,” nafas Simon masih belom
teratur nih… Nggak jelas banget ngomongnya.
“Terus apa ada hubungannya?” Tanya Riri masih nggak ngerti.
Sharen mencoba menteraturkan nafasnya perlahan-lahan. Satu…dua…
keluarkan… yak, bagus… “Gue lihat Adis…,”
70
Kami memasang telinga kami baik-baik. Cuma liat Adis doang aja kok
heboh?
“Adis duduk semeja sama Farren tingkahnya messsrrraaaa bangetz di
Abang!” akhirnya kalimat itu terlontar juga dari Simon dan Sharen bersamaan
lagi.
Ah, cuma gitu aja di gaswatin tuwagapat. Farren kan cuma duduk semeja
sama Adis dengan mes… APA????!!!!
“Nggak mungkin!” ujar Riri tak percaya. Begitu juga dengan seisi kelas
yang mendengarnya dan juga gue.
“Masa, sih?” gue ikutan ngomong doang dengan tampang tak percaya ala
Ruffi.
“Sumpeh deh…,” Simon mengacungkan jarinya berbentuk V.
“Dengan mata kepala gue sendiri!” Sharen ikut-ikutan Simon juga.
“Ya iyalah… masa ya iya dong…,” Reana ikutan nimbrung diantara kami.
“Kalau Adis memang lagi mesra-mesraan sama Farren di Abang kenapa elo nggak
liat aja?” Reana memandang Riri dengan penuh teka-teki. Alisnya ke angkat
setinggi menara Pisa.
Kami berpikir sejenak. Maklumlah otak kami kan Pentium 2 jadi lola
banget. Beda sama Reana yang Pentium 10. Emang ada?
“Siplah, setuju!” Riri menjentrikan jarinya. Tumben amat dia mau berani
berbuat kayak gini? Malahan dia semangat banget!
Simon dan Sharen juga menyetujuinya. Jadi ya, gue juga ikutan, dunk?
Gue dan Riri berjalan mengikuti langkah Simon dan Sharen ala maling di
siang bolong. Reana sendiri setelah tidur nyenyak tadi malah langsung fokus
dengan komik terbarunya lagi.
Ternyata memang benar sekali! Mereka makan di Abang, kantinnya para
kaum Adam. Kenapa Adis bisa mampir ke kantin para penyamun gini, sih?
“Itu dia si Adis!” Simon menunjuk cewek berambut pendek yang berada
di tengah-tengah penyamun.
71
Kami hanya mengangguk-angguk melihat arah telunjuk Simon, benar
banget dah… tingkah si Adis dan Farren geblek yang memang kelihatnnya mesra
banget itu. Kenapa tiba-tiba muncul hawa panas dari pundak gue, ya?
Olala… Riri yang udah menyerupai Son Goku yang hendak memunculkan
jurus andalannya Kamehama menatap dendam ke arah Farren dan Adis. Gue
mengusap-usap punggung Riri untuk meredakan amarahnya.
“Ternyata si selirnya Farren itu Adis, ya?” Tanya Riri dengan wajah yang
lesu, tenaganya sudah terkuras untuk mengumpulkan energi Kamehama.
“Belum tentu lagi…,” jawab Reana masih dengan fokus membaca komik.
Kelihatannya Riri sedikit lega dengan ucapan Reana. “Tapi, tentu lagi
kalau Adis ternyata memang selirnya Farren,” setelah Reana berkata dengan
cueknya begitu, Riri malah langsung down lagi.
“Udahlah, Ri…,” gue berusaha untuk tenang. Padahal gue pingin mukul si
geblek Farren itu! “Gue juga kemaren baru tau siapa selirnya Reon.”
“Kita ini memang lagi nasib sial aja, ya?” Riri menatap lekat Farren dan
Adis yang sedang berbincang seru. Pake bahunya di peluk segala lagi…
“Yah, nasib memang punya pacar yang terlalu bebas,” Simon berkata yang
sangat tepat. Kok, monyetnya Simon nggak nongol, ya? Ngapain saat sikon kayak
gini ngomongin monyetnya Simon?
“Mon, mana monyet elo?” gue celingukan nyariin monyetnya Simon.
Tumben juga nih, gue peduli sama monyetnya si Simon, si Riri malah gue cuekin.
Simon yang lagi fokus liatin tersangka―taulah… siapa lagi kalau bukan
Farren dan Adis?―tiba-tiba langsung terlihat muram.
Sharen langsung menyikut perut gue yang belom ke isi apa-apa sejak tadi
pagi. “Sst, monyetnya Simon lagi sakit tau!” ujar Sharen dengan nada rendah
banget.
“Sakit apaan?” Tanya gue dengan suara yang kecil juga.
“Kangen sama majikan sebelumnya, yah Kakenya Simon.”
“Terus monyetnya?”
“Yah, kan gue bilang sakit…,”
72
“Monyet gue udah gue kirim ke Kakek gue, biar Kakek gue aja yang
ngerawat monyet gue,” Simon menatap langit yang cerah dengan sedikit
menitikan air mata. Ih, mirip banget sama gurunya Rock Lee.
“Kalian kok pada nggak kasihan sih sama gue?” Riri sesunggukan
sendirian menempel di tembok. Ih, ingusnya juga jadi nempel deh di tembok.
Jijay banget deh…
“Maaf, deh Ri…,” Sharen langsung mengelap ingusnya Riri, tentu saja
yang di tembok juga di bersihkan. “Lagian kok bisa sih Adis jadi selingkuhan
Farren?”
“Ye… Meneketehe!! Tanya aja sama Adis sono!”
“Riri?” sebuah suara yang bikin ulah kali ini datang mendekat. “Ngapain
di sini?”
Waduh…waduh…ah… Gimana dunk? Malah kepergok sama si tersangka
begini di TKP? Lagian tampangnya si Farren geblek ini, kok malah santai aja, ya?
“Bukan urusan elo kan?” sinis gue yang malahan ngejawab.
“Memangnya elo yang namanya Riri?” Farren geblek itu malah marah
sama gue? Gue piting elo ntar di rumah!
“Bukanlah!”
Farren memandang Riri seperti mengharapkan sebuah jawaban―sok
gentle gitu! “Aku… Aku cuma pingin makan aja di Abang. Lagian Aku nggak
pernah diajak sama kamu makan di Abang,” katanya lemah.
“Oh, cuma itu aja?”
Dengan entengnya dia ngomong begityu…? Cuma itu aja? Cuma itu aja
gigi elo berlobang dua hidung elo berderet??!!
“Ya, udah… Aku sama yang lain mau ke kelas dulu,” Riri langsung buru-
buru menggaet tangan gue dari situ. “Dah, Farren…,”
Gue tercengang. Baru kali ini selama gue masih berpijak di bumi ini, Riri
manggil Farren geblek itu bukan seperti biasanya―biasanya itu dia ngmong
sayang, babe, honey, darling, sweetie, cintaku, kasihku, hatiku, cumiku, melonku,
yang belakangnya pake ku-lah…
73
Setelah sampai di kelas―dengan diseret-seret oleh Riri―gue berusaha
untuk mencoba meringankan beban Riri―kayak Riri kena musibah aja, eh tapi
bener tau! Riri kan lagi di dilema oleh Farren sama selingkuhannya―dengan
menghiburnya sebisa mungkin.
Bahkan Simon dan Sharen nggak tanggung-tanggung mencoba menghibur
Riri dengan menghasut Riri dengan kata-kata negative thinking. Eh, si Riri malah
tambah mewek gara-gara Simon dan Sharen.
“Udahlah, Ri… Cowok kayak gitu aja dipikirin. Bikin elo tambah geblek
aja tau sama kayak si Farren,” ucap gue dengan tampang sadisme.
“Kalo gitu, elo juga ngapain mikir si Reon? Dia cuma bikin elo makin
bertampang sadisme aja!” cecar Riri tak mau kalah juga mengatai gue.
“Heh, gue juga mana mau mikirin si Reon kalo ternyata dia selingkuh
sama temen deketnya?” gue langsung naik pitam. “Lagian… gue masih sayang
sama Reon… Gue nggak mau ngelepasin Reon gitu aja…,”
“Itu baru namanya cewek setia!” Simon merangkul bahu gue seperti bagai
temen cowoknya. “Cewek nggak boleh patah semangat cuma karena cowoknya
selingkuh. Tugas kita kan ngebantu kalian untuk menghancurkan penggagalan
selingkuhan mereka, jadi ayo kita kerja sama!”
Mendengar kata itu, gue merasakan adanya peluang gue untuk
mendapatkan Reon kembali dan nggak berniat untuk menyerah. Riri juga
kayaknya udah bangkit lagi sama kayak gue. Buktinya di sekelilingnya seperti ada
suatu kobaran api yang menyala-nyala.
“Tumben kata-kata elo makna banget?” ejek Sharen halus. Simon hanya
cengar-cengir aja mendnegar komentar Sharen. “Eh, Reana mana, ya?”
“Gue di sini,” ucap suara di belakang Sharen tepat di telinganya.
Sharen langsung berteriak histeris. “Gyyaaaa!!!”
“Kenapa, sih? Sarap ya, elo?” Tanya Reana bingung.
“Elo yang sarap ngomong di belakang orang, dari mana lo?” Simon
terkekeh-kekeh melihat Sharen yang terlihat masih kaget.
“Gue tadi tanya-tanya aja ke kelas A tentang Misha,” jawab Reana mulai
membaca komik lagi. Ritualnya sehari-hari, sih…
74
“Ngapain elo tanya-tanya tentang Misha? Kita kan lagi nguntitin dia?”
“Mau pinjem komik doang, kok…,”
Yee… cape dah, gue… Kita semua langsung geleng-geleng kepala. Dasar
Miss comic, tiada hari tanpa membaca komik, sih…
“Eh, kalo diperhatiin kelakuan Adis akhir-akhir ini memang aneh, sih…
Setiap jam istirahat pasti ngabur. Ternyata malah nongkrong di Abang bareng
Farren.” Analisis Simon mulai bekerja.
“Apalagi kenapa Reon mau balik lagi ke Misha?” tanpa sengaja Sharen
mengatakan hal yang ganjil di dalam ucapannya.
“Apa maksud lo ‘mau balik lagi’?” Tanya gue heran.
Sharen langsung membekap mulutnya dalam-dalam. Ooo… kayaknya
bener-bener ada yang disembunyiin sama Sharen, nih?
“Sha, jelasin ke kita,” Simon menarik Sharen duduk di kursi guru.
Dari tadi berdiri aja cape, nih… Sharen langsung manggut-manggut aja,
kita mengelilinginya seperti sedang mengintropeksi seorang penjahat.
“Ehm! Dalam data Misha dijelasin kalau Misha dan Reon dulu punya
hubungan khusus kan? Misha itu cinta pertama dan juga pacar pertama Reon.
Yah, elo ngerti kan yang serba pertama buat mereka?” jelas Sharen memandang
takut-takut ke arah gue.
Yang serba pertama bagi Reon? Berarti gue bukan pacar pertamanya
Reon, dong? Farren sialan nipu gue! Semuanya… serba pertama buat mereka??
Syok dah gue??!!!
“Lanjutkan saudari Sharen!”
“Mereka mulai pacaran dari kelas 1 SMP, tapi sayang banget mereka
malah putus di kelas 2,”
“Kenapa tuh?” Tanya Riri penasaran.
“Katanya Misha ngalamin kecelakaan karena Reon.” Jawab Sharen singkat
dan padat.
Misha ngalamin kecelakaan karena Reon? Kenapa tuh??! Katanya mereka
pacaran, kan? Kenapa Reon mencelakakan pacarnya sendiri?
75
Riri menepuk kepalanya hingga bunyi ‘plak’ terdengar oleh kami. Tentu
saja kami kaget mendengar suara itu.
“Oh, jangan-jangan Misha anak 2-A yang pernah absen sekolah selama 2
minggu karena di rawat di Rumah Sakit, ya?”
“Iya, bener…,” angguk Sharen. Dia menarik nafas kuat-kuat dan
menghembuskannya perlahan. “Setelah Misha keluar dari Rumah Sakit, nggak
terdengar lagi kabar mereka masih berhubungan apa nggak,”
“Kenapa bisa begitu?” cecar gue.
Gue merasakan adanya kejanggalan dalam kasus ini, kayaknya Reon
berniat kembali sama Misha mungkin karena ‘kecelakaan’ itu?
“Gue juga nggak tau! Makanya sampai sekarang gue pingin membuka
tabir yang disembunyiin sama Reon dan Misha!” greget Sharen.
Simon yang menyimak cerita Sharen dari tadi hanya menggeleng-geleng
pusing saja. Mana ngerti dia kalau masalahnya bakal berhubungan sama gosip
nggak jelas gini? Tapi, kalau yang ngomong itu Sharen, kemungkinan ada
benarnya juga. Hm, kasus makin rumit aja, bikin gue tambah semangat aja.
“Eh, memangnya ada tabir apaan di Misha?” pertanyaan nan oon itu siapa
lagi kalau bukan dari Riri. Dasar Riri anak ajaib.
“Tabir surya!” jawab Simon ketus. Mau bagaimana lagi, dijelasin sedetail
apapun juga nggak akan bisa buat Riri ngerti.
Riri hanya memandang kami bingung. Terlihat sekali dalam wajahnya
yang polos itu, kayaknya cara untuk merubah Farren agar kembali ke dirinya
dengan cara itu berhasil nggak, ya…???
* * *
“Cape banget…,” keluh gue langsung tiduran di kasur Riri setelah sampai di
kamarnya.
76
“Tumben, ya OSIS mau ngadai rapat besar-besaran di Aula khusus kelas
X?”
“Mana gue tau!” ketus gue seraya memeluk guling Riri.
Tadi sebelum bel sekolah dibunyikan, anak-anak X berkumpul di Aula
untuk membicarakan sesuatu―sumpah gue sama sekali nggak menyimak. Nah,
rasanya gue mengalami déjà vu sama Ketua OSIS-nya. Apalagi di dekat Ketua
OSIS ada Misha yang pekerjaannya sebagai pendamping Ketua OSIS.
Udah cakep, blasteran-nya keliatan jelas, smart, badan tinggi
semampai―cocok banget sama Reon―disayang guru, de-el-el dah…
“Tadi gue liat Adis nempel-nempel terus bareng Farren. Enak ya jadi
anggota OSIS?” keluh Riri.
Heh, kalau anak kayak elo masuk anggota pengurus OSIS, dijamin guru-
guru atau yang lainnya bakal kelabakan karena sifat elo itu.
Kalau dipikir-pikir sih, memang enak menjadi pengurus OSIS. Buktinya
Farren dan Reon selalu menjadi perhatian anak-anak dan langsung melejit tenar
setelah masuk OSIS. Walau mereka berdua adalah anggota OSIS, gue dan Riri
nggak pernah merasa kesepian ditinggalin sama mereka.
Hm, tapi mungkin awal dari perselingkuhan ini karena adanya Adis dan
Misha yang berada dalam anggota pengurus OSIS gitu?
“Eh, Ketua tadi ngomongin soal apaan, sih?” ucap gue seraya melempar-
lempar boneka Riri. Biasa…namanya juga ingatan pentium 2 mana inget nama
orang yang nggak gaul. But, Ketua tuh cakepnya minta ampyuuunnnn!!! Cuma
kurang gaul dikit! Atau gue yang menganggap Ketua kurang gaul?
“Gue juga nggak tau namanya,” Riri berkutat pada monitor komputer.
Sepertinya dia membuka Friendster.
“Ngapain elo?” gue menghampiri Riri. Ternyata benar dia sedang
membuka Friendster miliknya.
“Liat-liat comment aja yang masuk,” Riri membuka New Comment. Wow,
ternyata banyak juga comment yang masuk.
Eh, ada comment puisi untuk Riri. Isinya aneh banget, deh…
77
Pertama kali Aku melihatmu…
Kau seperti patung di Musium…
Layaknya kau barang antik saja yang di pajang di sana…
Tubuhmu yang mirip dengan kendi
Membuatku ingin menjaganya agar kau tidak retak…
Matamu yang bulat seperti mata ikan koki
Oh, sungguh ingin sekali kau menatapku seperti itu…
Riri…
Nama yang begitu syahdu…
Sayang diriku tak bisa mengungkapkan namamu sepanjang waktu…
Karena diriku cadel…
Sedih…sedih…Memang…
Tapi, Aku tetap terus memujamu…(hanya dalam hati ini)
Walau kau tak mengetahui keberadaanku…(bukan berarti Aku ini setan)
Dari secret admirer mu…
I always love you Bibeh…
Ikh, rasanya setelah membaca puisi orang itu membuat gue jadi pingin
muntah sekarang. Begitu juga dengan Riri, wajahnya langsung berubah menjadi
ungu lalu merah, ungu lagi, lalu merah.
“Udah delete aja, orang nggakjelas kayak gitu…,” saran gue.
Riri hanya mengangguk setuju dan sesuai dengan intruksi gue dia
langsung meng-delete comment itu. Setelah berhasil memusnahkan ‘orang nggak
jelas’ tadi, Riri membaca comment dari Adis.
“Adis, Flo…,” tunjuk Riri sedikit kaget.
“Iya, gue tau. Dia ngirim ini sebulan yang lalu…,” gue membaca comment
dari Adis dengan penasaran. Siapa tau ada jejakdi balik udang ini. Maksudnya
comment kale…
78
‘Hi, Man! Gimana kabar lo-lo pade? Sory, ya klo gw suka
ilang-ilang nggak jelas selama istirahat. Biasalah… orang sibuk!
Hehehe… :D
Eh, Ri… gw sebelumnya pingin minta maaf sama elo…
Pasti elo bingung dah…kalo nggak ngerti elo nggak usah mikirin
ini dah… Ntar malah masuk RSJ Wuakakkakakak…
Kalo waktunya udah tepat, gue akan kasih tau,lo! Asal lo
nggak pingsan aje… :p
Tuh, kan… Dibaca, dilihat, dipelototin kayak gimanapun juga emang ada
yang ganjal dalam comment Adis. Jangan-jangan dari sebulan yang lalu, Adis
memang berniat merebut Farren dari Riri?
“Maksud Adis apaan, sih?” Riri memandang gue heran.
Lebih baik gue nggak usah kasih tau tentang hal janggal ini dulu. Bener
juga comment Adis, kalo Riri mikirin hal yang nggak-nggak, bisa masuk ke
otaknya pasti bikin dia stres. Jadi ini rahasia kita aja, ya?
“Nggak tau ah! Oh, ya gue mau liat data Misha sekali lagi, boleh?” ujar
gue mengalihkan pembicaraan.
Riri mengangguk setuju. “Flo, kenapa kita nggak cari aja data anak cowok
yang waktu itu dateng barengan sama Misha?” usul Riri.
“Oh, iya! Gue sampai nggak inget kalo ada cowok bareng sama Misha
waktu itu,” gue menggaruk-garuk kepala gue dengan geregatan. Kok, gue bisa
oon gini, ya?
“Tapi fotonya gue nggak punya,”
“Gaswat dunk?” Tanya gue bertampang oon.
Tapi, tunggu dulu deh… Di mana otak gue sekarang berada? Ayolah, otak
bekerja…berpikir-berpikir…Ting… Tong! Gue inget kata-kata Sharen, selain
pake foto bisa juga pake nama lengkapnya aja.
“Eh, coba tanya Reana dulu? Gue mau telepon dia!”
79
Gue buru-buru mengodak-adik tas gue mencari HP gue yang gue telantarin
di tas pembuangan. Hah, ketemu juga akhirnya… Gue langsung men-dial nomor
Reana. Lama bener angkat teleponnya…
“Gutten Tag―selamat siang!” sapa Reana di seberang dengan bahasa
Jermannya yang baru.
“Eh, Re, ini gue…,” ucap gue berantakan nggak menjawab sapaannya.
“Iya, gue tau lah…,” katanya dengan suara ketiwi. “Ada apaan, honey?”
“Tau nggak cowok yang masuk bareng Misha waktu mereka di
Starbucks?” cerocos gue langsung.
“Ah, cowok cakep!” girang Reana. “Tau, tau… ada apa, sih?”
“Lo kenal dia?”
“Ehm… yupz!”
“Siapa namanya?”
“Dittan Kien. W. Double T.”
“Oh, makasih banget… Namanya tadi Dittan double T, ya?”
“He-eh!”
“Jadi namanya Dittan Kien. W?”
“Right, dia kan Ketua OSIS SMA NuBa,”
Gue terdiam sebentar. “Hah?”
“Lah, tadi ngumpul di Aula kok, malah nggak inget wajahnya?” heran
Reana. Dia langsung tertawa terbahak-bahak.
“Namanya juga gue…,” ucap gue dengan suara yang diperkecil. Pantesan
gue pernah liat Dittan di Starbucks, bukankarena déjà vu, ya?
“Ya, udah sono. Lo pasti mau cari data Dittan, kan? Mungkin ini juga ada
hubungannya dengan pekerjaan OSIS,” Reana langsung memutuskan saluran.
Yeh, dasar ini anak seenaknya aja! Kadang-kadang suka misterius sendiri
nggak jelas, dasar suneh, suka aneh!
“Apa kata Reana?” Tanya Riri penasaran. Wajahnya masih berkutat di
monitor komputer.
“Bukan yang penting, sih… Tapi, gue dapet info tentang nama cowok
keren itu!” ujar gue sambil memutarkan bola mata gue.
80
“Namanya?” Riri mulai bersiap mengetik di keyboard.
“Dittan, T-nya double,” koreksi gue sambil menunjuk nama Dittan yang
salah. “Dittan Kien. W.”
“Campuran juga?”
“Mungkin?” bingung gue sambil mengedikan bahu.
“Ah, ketemu! Ketemu!” girang Riri sambil memukul-mukul lengan gue.
“Suakit! Udah, ah! Coba gue baca dulu,”
Name : Dittan Kien Wuslen
Brith of Day : Yunani, 14 February 1991
Class : Special Eleven D
Gender : Male ( Blasteran Yunani-Betawi )
Adress : Gelirya Recidence Block D-21
Hobby : Reading, playing music, and sleeping
Work : Leader of OSIS Senior High School Nusa Bangsa
Rank : 1 (One) in NuBa
Food Favorite : All cake I like it!
Drink Favorite: Frappuccino
Favorite Col : Black and Deep blue
Status : In relation ship
Music : Jazz, and Klasik
Keterangan mengenai Dittan:
Pindah ke Indonesia―karena tugas Ayahnya sebagai Dokter selama di Jerman
sudah selesai―saat umur 6 tahun. Ibunya warga asli Yunani yang sebelumnya
adalah pasien Ayahnya Dittan di Rumah Sakit terkenal di Jerman..
Setelah itu mereka menikah dan lahirlah Dittan dua tahun kemudian
setelah pernikahan orangtuanya. Mungkin karena keturunan dari keluarga
Ayahnya―Ayah dari Ayahnya Dittan dulu seorang pemain biola―Dittan sangat
suka dengan musik dan menjadi Bassist dalam grup band NuBa. Dia bergabung
di ZEN saat memasuki kelas 2 SMP.
81
Selama ini masih belum diketahui siapa cewek Dittan―taulah…Dittan
kan tenar banget. Hanya orang kuper yang tidak tau jika Dittan sangat tenar.
Mungkin suatu saat nanti dia akan mengumumkannya.
Tapi, ternyata ada yang mengundang perhatian warga NuBa, bahwa
Dittan selalu dekat dengan Misha Rasqya Sakuragi sang asisten Dittan.
Kabarnya mereka pernah ketahuan sedang bermesraan.
Oow, apakah yang terjadi dengan Ketua OSIS kita ini?
Gue mengkerutkan alis gue sambil menggaruk-garuk rambut gue yang
nggak gatel. Gue heran, deh… Yang bikin data ini semua kan kerjaannya anggota
Mading―berarti Sharen lah yang membuat, dia kan ketua Mading―yang super
duper rajin nyari info. Kok, kayak bikin cerita begini?
Terus, apa bener Dittan ada hubungannya dengan perselingkuhan Reon
dan Misha? Rasanya di sini hanya dijelaskan kalau Dittan punya hubungan
khusus dengan Misha. Apa Reon nggak terima Dittan ada di samping Misha?
Kalau memang Dittan punya hubungan khusus dengan Misha, bagaimana dengan
pacar Dittan?
“Flo, gue nggak ngerti, deh…,” mata Riri udah berputar-putar nggak
karuan.
“Ya, udah nggak usah dipikirin, deh…,” gue merebahkan Riri ke
kasurnya. Sama-sama merasa mata ini berputar-putar.
“Flo, gimana kalo Farren minta putus dari gue?” Tanya Riri tiba-tiba.
“Apaan, sih lo?” ujar gue sewot. “Pokoknya elo nggak usah minder begitu,
elo harus yakin kalo Farren milih elo.”
“Gue tau… Tapi, kalau dilihat Adis lebih baik dari gue. Dari diri gue ini
nggak ada di diri Adis yang lebih baik dari gue,”
Lagi-lagi tentang membandingkan diri sendiri. Gue juga merasakan kalau
gue berbeda jauh dengan Misha dan merasakan kalau Misha lah yang lebih unggul
dari gue.
Gue rasa gue juga nggak berhak ngomong kayak gitu ke Riri, kalau gue
sendiri juga nggak yakin…
“Hola!” sapa sebuah suara mengagetkan lamunan kami.
82
Ternyata yang nongol itu Reana! Dasar cewek malaikat-iblis.
“Ngapain elo ada di sini?” Tanya Riri heran.
“Main,” jawab Reana singkat.
“Cuma itu doang?”
“He-eh. Emangnya kalian mengharapkan gue untuk ngapain di sini?”
Reana malah berbalik bertanya dengan tampang sok tidak bersalah.
“Cape gue…,” lemas gue. Gue langsung terduduk di karpet.
“Hei, selain main ke sini gue juga bawa berita, lho…,” mulai deh, aksi
misterius sang malaikat-iblis ini. Ada tanda-tanda jelek yang keluar dari hawanya
Reana.
“Berita apaan? Asal nggak jelek aja,”
Reana ikut merebahkan diri di samping gue. “Mau dengar yang baik atau
buruk dulu?”
“Yang baik, yang baik!” semangat Riri. Ini anak juga nggak nyadar, ya
kalau Reana udah aneh kayak begini pasti berita baik maupun buruk dua-duanya
sama-sama jelek.
“Ok, deh. Hm, baiknya, hari ini saat sebelum kumpul di Aula gue liat Adis
lagi berbisik-bisik di kelas A mesra gitu sama Farren,” Reana tersenyum simpul,
tandanya kalau dia seneng banget. “hanya berdua di ruang kelas A.”
Riri langsung berubah menjadi kepingan-kepingan puzzle yang tercerai-
berai. Dia salah denger berita baiknya dari Reana, seharusnya jangan percayai
omongan Reana yang membawa kabar baik atau buruk.
“Re, keterlaluan, lo…,” gue langsung menyusun kembali puzzle bentuk
tubuh Riri.
“Eh, tapi itu memang kabar baik, kan? Soalnya itu informasi yang baik
buat Riri,” Reana langsung cengengesan.
Akhirnya puzzle Riri terbentuk lagi. “Gue tambah nggak pe-de aja…,”
keluh Riri. Dia langsung memeluk boneka Donald bebeknya yang udah dekil.
“Ah, yang buruknya!” seru Reana riang. Siapa yang mau denger kabar
buruknya?
“Nggak usah deh, Re… Pasti buruk banget.”
83
“Memang sangat buruk! Tau nggak, gue tadi denger di ruang OSIS kalau
Adis, Farren, Misha, dan Reon mau main ke rumah Misha. Mungkin di sana
tempat yang aman buat pacaran sembunyi-sembunyi, ya?”
Gue dan Riri langsung membelalakan mata. Supel dupel supel
GAWATZZZ!!! Gue langsung bangkit dan mengambil HP gue yang berada di
dekat komputer Riri.
Gue telepon Reon sekarang. Kalau memang bener kabar buruk dari Reana
itu!
“Halo?” ternyata yang mengangkatnya bukan Reon melainkan suara
cewek.
“Mana Reon?” Tanya gue dengan gusar. Gue benci Reon! Peduli amat
sama cewek itu!
“Ah, Reonnya…,” tiba-tiba ada bunyi kresek-kresek dan ada sedikit suara
ramai-ramai.
“Ada apa, Flo?” Tanya Reon dengan nafas yang terengah-engah. Abis
ngapain dia???
“Kamu lagi di mana?”
“Ah, Aku lagi kumpul sama temen-temen yang lain. Ada apa?”
“Aku nggak tanya kamu lagi ngapain sekarang! Tapi kamu ada di mana?!”
gue langsung teriak sekenceng mungkin. Amarah gue udah dalam skala 8 ritcher
nih…
“Oh, Aku lagi ada di rumah, kok…,” jawab Reon sedikit terbata-bata.
Suara di belakangnya yang ramai penuh orang itu langsung berteriak
‘Bohoooonnnggg!’ lalu suara Reon yang marah-marah.
Ukh, gue nggak terima! Reon memang bohong sama gue! Gue langsung
memutuskan sambungan. Biarin aja tuh, Reon main-main sama selingkuhannya!
Gue nggak peduliiii!!!!
Reana memandang gue dengan prihatin, tapi nggak semuanya terlihat
seperti itu. Ternyata Reana masih tersenyum simpul―senyuman paling
menyeramkan sedunia!
“Bener kata gue?”
84
“Bener itu, Flo?” Riri memandang gue bingung.
Gue mengangguk pasrah. “100% Reon sama Farren lagi kumpul sama
selingkuhannya!”
“Ayo, kita ke rumah Misha!” Reana menarik gue untuk bangun dengan
dibantu oleh Riri. “Lo nggak mau kan Reon di ambil sama Misha?”
Gue memandang Reana dengan tatapan sayu, bingung, marah dan capek!
“Nggak usah! Buat apa ke sana?”
“Flo…!!!” Riri menampar pipi gue dengan keras.
Berani bener, nih anak nampar gue? “Sakit tau!” geram gue.
“Katanya kita nggak mau nyerah, kan?” Riri memandang kedua mata gue
tepat di kornea, pupil, irisan, gabungan… Kok, malah ke Matematika?
“Bener kata Riri,” Reana tersenyum menghibur. “Sekarang… Kita ke
rumah Misha!!” saat kata ‘sekarang’ keluar, muncul sebuah kilatan yang
menakutkan dari mata Reana.
Kami semua dibawa menuju mobil Reana―di dalamnya nggak ada Berry,
malapetaka datang, nih―lalu Reana melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh
menuju rumah Misha.
Mama…!!!! Sebelumnya nyampe rumah Misha apakah nyawa kami masih
selamat? Saksikan kelanjutannya!!!
* * *
Rumah Misha ternyata memang tepat di sebelah rumah Reon. Padahal gue
kadang-kadang main ke rumah Reon, kok nggak sadar sama rumah yang berada di
sebelahnya, ya?
Reana menekan bel rumah Misha. Setelah menunggu dua menitan di luar
tidak ada yang membukakan pintu. Ke mana, sih yang punya rumah ini?
85
“Mau ngapain ke sini?” tanya sebuah suara yang imut tapi terdengar
sinis―mengingatkan gue akan Berry.
“Heh, anak kecil siapa lo?” gue malah balik bertanya dan
menatapnya―yang mungkin tingginya sedada gue―dengan tampang sinis juga.
“Dasar nggak sopan. Apa nggak pernah diajarin sama orangtuanya?”
Heh, nih anak kok nyolot banget, ya sama gue? “Bukannya elo anak kecil
yang nggak sopan sama orang dewasa?”
Anak kecil itu memandang gue dengan seksama. Lalu dia malah
tersenyum merendahkan ke gue? “Orang dewasa? Yang gue liat cuma orang
bodoh aja,”
“Eh, anak kurang ajar!” Riri mulai naik pitam.
Reana malah senyum-senyum kegirangan melihat gue dan Riri yang
melawan anak kecil sombong itu.
“Oh, maaf deh… Aku memang anak kecil yang kurang ajar sama kakak-
kakak. Aku seharusnya intropeksi dulu. Maaf, ya Aku yang salah. Kakak-kakak
mau maafin Aku?” nada suaranya jadi melunak. Apalagi melihat ekspresinya yang
benar-benar terlihat menyesal itu, rasanya pingin gue peluk dan memaafkan dia.
“Kalau gue ngomong kayak gitu apa elo puas?”
Sedetik itu gue langsung cengo. Tadinya dia udah jadi anak yang baik,
sekarang kok malah nyebelin lagi? Rasanya…rasanya gue pingin anak ini gue
pukul jauh-jauh sampai keujung dunia!
“Ha…ha…ha…ha…,” Reana langsung tertawa meledak-ledak. “Mirip,
mirip banget sama Soma Hiro.”
Anak kecil itu ikutan bingung dengan tingkah Reana. Apalagi gue sama
Riri??
“Kakak lo ada?” Tanya Reana setelah tawanya terhenti.
“Ada urusan apa sama kakak gue?” anak kecil itu tetep berbicara dengan
nada sombong.
‘Kakak gue’? Berarti dia ini adiknya Misha begitu? Namanya kalau nggak
salah Hi’iro Sakuragi, kan? Memang sih, sifatnya yang tadi mengingatkan gue
86
sama tokoh Soma Hiro. Miriiiip banget! Udah mirip sifatnya, namanya, gayanya
juga mirip bangeeettt!!! Nyebelinnya keterlaluan!
Perhatian: Soma Hiro itu pemeran dalam tokoh komik Fruits Basket.
Kalau mau tau bener apa nggaknya baca dan liat―sekalian promosi.
“Cuma pingin ketemu aja,” jawab Reana sambil tersenyum simpul lagi
dan lagi.
Anak kecil itu langsung waspada. Ternyata dia juga bisa melihat hawa
menyeramkan dari Reana. “Kalian temen-temen kakak?”
Kami semua mengangguk. Dia masih cemberut ketika melihat ke arah
gue. Apa lo liat-liat?
“Apaan?”
“Heran aja,” dia membuka pintu dengan sekali dorongan. Kecil-kecil
ternyata kuat juga. “Masa kakak gue temenan sama orang bodoh!”
Ih, ngajak rebut, ya?! Dari tadi gue dikatain bodoh, bodoh mulu. Riri juga
bukannya belain gue! Malah anteng aja dari tadi.
“Baru pulang sekolah, ya?” Tanya Riri.
Hi’iro meliriknya sekilas. “Iya,”
Huh, gue memanyunkan bibir gue. Dasar! Kalemnya aja cuma ke mereka
aja, ke gue nggak! Dilihat dari pakaian seragam sekolahnya, gue tau dia berasal
dari satu sekolahan. Ternyata dia anak SD Model Nusa Bangsa. Konon, yang bisa
masuk ke SD Plus―kami menjulukinya begitu daripada SD Model―anak jenius
dan punya duit banyak.
Selain itu, yang bisa membeli rumah di Victory Recidence ini hanya orang
kalangan atas. Apalagi Gerilya Recidence paling tinggi diantara perumahan yang
lain. Kalau Palem Recidance masih kalangan sedang―atas nggak, bawah nggak
juga, kecuali Reana yang membeli rumah di Palem Recidance alasannya karena
rumah itu warisan kakeknya yang di Indonesia.
“Kamar kakak gue ada di lantai dua, terus belok kiri dan pintu yang
pertamanya itu kamar dia,” instruksi Hi’iro. Wues, memberi pengarahannya juga
cepet banget. Biasa ikut lomba baca naskah kali, ya?
87
Baru kaki gue menapaki tangga pertama, gue lihat Hi’iro berjalan terus
saja. “Lho, elo nggak ke kamar lo sendiri?”
Hi’iro membalikan badannya dan tersenyum pada gue. Gila, senyumnnya
imuuuut banget! Tapi, ternyata dia malah menjulurkan lindahnya ke gue. Dasar
bocah sombong!
Gue mensejajari langkah gue dengan Reana. Sesuai dengan arahan Hi’iro
tadi hanya ada jalan ke kiri atau lurus. Dari sini kami mencoba berjalan jinjit-
jinjit. Taktik untuk menguping mereka agar tidak ketahuan.
Saat berada di depan pintu kamar pertama, terdengar bunyi gaduh.
Sepertinya mereka sedang asik memainkan sesuatu.
“Aaaahhh!” desah suara cewek dari balik pintu.
Kami langsung memasang telinga baik-baik dan mencoba menempel
dengan pintu.
“Padahal belum gue apa-apain tau!” gue kenal suara ini! Ini kan suara
Reon. Lagi ngapain Reon di dalam sana?
“Aaahhh, sakit…!!!” teriak suara cewek yang pertama tadi. Kelihatannya
dia benar-benar merasakan kesakitan. Lagi ngapain, sih???!! “Rasanya pingin mau
mati!”
Hah???!! Mati? Kayaknya ada kejadian yang ‘nggak-nggak’nih…? Hush,
jangan mikir yang ‘nggak-nggak’ dong, Flo…
“Sabar dikit, dong. Lagian gue nggak akan buat lo sakit,”
“Tapi sakit banget tau!!!”
Kayaknya ada yang nggak beres, nih… Mereka lagi ngapain? Bikin
penasaran aja! Gue dobrak aja, nih pintu!
Brraaakkk!!!
Olalala… Pembaca gue nggak jadi bener-bener ngedobrak pintu ini, kok.
Percaya, deh…Terus siapa yang mendobrak pintu ini?
“PEMBUNUHAN!!!!” teriak Riri histeris. Ternyata yang mendobraknya
Riri toh?
88
“Mana? Mana? Mana pembunuhnya?” histeris suara cewek yang tadi gue
denger. Yang berada di dalam kamar Misha semuanya terpaku melihat kami
bertiga.
Gue yang berpose hendak mendobrak pintu, Reana yang masih berpose
menguping, dan Riri yang terlihat seperti Tarzan cewek. Juga Misha yang
tangannya berada di tangan Reon, tapi mimiknya mode panik.
“Flori? Riri?? Reana???” Tanya Reon dan Farren keheranan melihat kami
ada di sini.
“Hehehe… Selamat siang,” ujar kami berpura-pura, seperti kejadian tadi
nggak ada.
“Numpang tanya kamar mandinya ada di mana, ya?” gue berpura-pura
memegangi perut gue agar terlihat seperti ingin buang air kecil.
“Di sana…,” tunjuk Misha ke arah kiri.
Gue nggak mau buang-buang waktu lagi, sedetik itu gue langsung nagcir
sendirian ke kamar mandi. Biarkan saja dengan Reana dan Riri yang akan
diintrogasi oleh mereka.
* * *
“Halo, gue Misha sobatnya Reon,” Misha mengulurkan tangannya pada gue.
Sebelumnya dia udah berjabat tangan dengan Riri, setelah itu Riri langsung
diseret sama Farren.
Gue balas menjabat tangannya. Gue berharap banget agar tangan Misha
penuh bulu semua atau kasar, ternyata halus banget kayak tangan bayi.
“Gue Flori,” ucap gue sambil tersenyum dipaksakan.
Diliat dari deket Misha lebih manis dibandingkan saat bertabrakan dengan
gue atau fotonya di data milik Sharen. Wajahnya yang mulus, rambutnya yang
panjang hitam terurai―kayak di iklan-iklan shampo―giginya yang putih
berderet―gue jamin dia pasti korban pasta gigi―membuat gue ngiriiiiii berat!
89
“Sha, Flori ini cewek gue,” tumben banget Reon ngenalin gue ke orang
lain, aplagi ini Misha gitu lho…
Gue liat Misha langsung bungkam. “Jelek…,” ujarnya dengan suara yang
kecil banget. Tapi, gue bisa mendengarnya dia ngomong apaan tadi. Dia ngatain
gue jelek, hu? “Ternyata dari dulu selera lo nggak berubah…,” Misha langsung
ngakak.
Apaan, sih? Dasar suneh…
“Kalian tadi lagi ngapain?” Riri masuk diantara kami.
“Oh, tadi kita lagi main raja-ratu. Caranya pake sumpit terus dikasih
nomor dan untuk raja kita tulis King,” jelas Misha. Dia menunjukkan sumpit yang
tadi dibuatnya.
“Gue kira tadi ada pembunuhan. Habis suara lo mendesah-desah kayak
mau mati aja,” Riri garuk-garu kepalanya menahan malu.
Wajah Reon langsung merah padam. Lho, kenapa??
“Kamu kenapa?” gue memegangi kening Reon, nggak panas kok.
“Maaf, ya Sha. Gara-gara perintah Dittan gue harus nyubit elo sampe
kesakitan gitu,” Reon menggamit lengan Misha dan mengusap-usap kulit Misha
yang terlihat sedikit memerah. “Padahal lo nggak tahan kalau dicubit. Dittan
bener-bener tau kelemahan lo,”
Ggrrrr! Lepasin dunk tangannya! Misha hanya mengangguk dan
tersenyum manisssss banget. Dittan? Jadi ada Dittan juga di sini, toh?
“Ah, elo Flo…,” ada seseorang yang menepuk pundak gue. Ternyata
Sharen juga ada di sini?? “Lagi seru-serunya main kalian malah dateng,”
“Apa maksud elo lagi seneng-seneng, hah?” Tanya gue sewot.
“Sory… sory… Emangnya Reana nggak kasih tau kalau masalahnya udah
terungkap sama gue, Misha dan Simon?”
“Masalah apaan?” gue nggak ngerti Sharen ngomong apaan.
Sharen menarik gue agar berdekatan dengan dirinya. Dia lalu menarik
telinga gue dengan kasar. “Adis sama Misha itu bukan selingkuhannya bokin
kalian,”
“Hah??” teriak gue. Spontan yang lain pada negliatin gue.
90
“Maaf, maaf, kita mau permisi keluar dulu,” Sharen menyeret gue dengan
paksa keluar kamar Misha.
“Sebenernya ada apaan?”
“Sebelumnya gue minta maaf dulu,” Sharen menundukkan kepalanya di
depan gue. “Begini lho…Semuanya yang ada di kamar Misha―Adis, Misha,
Farren, Reon, Dittan, gue―itu sebenarnya lagi ngerundingin Pensi buat
penutupan acara semester genap. Tadi elo sendiri kumpul di Aula, kan?”
Gue mengangguk. “Nah, walau gue bukan anggota OSIS gue masuk
sebagai bagian seksi perlengkapan yang kekurangan anggota. Karena gue juga
penasaran sama Misha akhirnya gue setuju. Eh, nggak nyangka gue malah jadi
ikutan ngumpul sama mereka semua.”
“Terus?”
“Gue tadinya pingin iseng-iseng tanya hubungan Misha sama Reon, tapi
Misha jelasin kalau akhir-akhir ini dia udah baikan sama Reon―karena cerita
yang dulu. Nah, begitu juga sama Adis, Farren deket sama Adis karena bokinnya
Adis yang punya studio Bambe. Farren sama Reon jadi akrab sama Adis melalui
cowoknya. Kejadian yang di kantin dulu itu, karena Adis lagi nunggu cowoknya.”
“Kenapa Farren sampe penggang-penggang pundak Adis?” ternyata si Riri
nguping juga pembicaraan gue.
“Maaf, banget, ya Ri…,” Sharen berjabat tangan dengan Riri. Kayak
lebaran aja harus saling maaf-memaafkan. “Lo tau sendiri kan gimana sifat Adis
yang tomboy? Justru karena itulah Farren nggak menganggap Adis sebagai
cewek.”
“Jadi Adis sebenarnya cowok?”
“Lah… Bukan atuh… Maksudnya karena Adis punya sifat yang kecowok-
cowokan beda sama elo, jadi Farren menganggap Adis itu sebagai teman sesama
jenis.”
“Oh, begitu… Gue ngerti,”
“So?” kali ini yang muncul Misha dan Reana.
“Kalian denger?”
“Iya, dunk,” ujar mereka bebarengan.
91
“Sekarang kalian berdua mau ngapain?” Tanya Misha pada gue. Wajahnya
deket banget, pandangan matanya juga menusuk.
“Maksudnya?” gue malah balik bertanya.
“Flori dan Riri…,” Reana mulai berbicara seperti jaksa penuntut. “Kalian
sadar nggak kalau kalian sebenarnya udah membuat diri kalian saling nggak
mempercayai dengan cowok kalian sendiri?”
Gue dan Riri terdiam sesaat. Oh, sekarang gue baru ngerti.
“Gue tau!” gue dan Riri berbicara bersamaan dan kami berdua saling
tersenyum penuh arti. “Thanks, ya!”
Kali ini gue nggak mau mensia-siakan masalah ini. Bener apa kata mereka
semua. Yang sekarang gue harepin sampai di kamar mandi lalu ke kamar Misha!
92
Ayo, Katakan ‘Maaf’
Riri
Setelah mengetahui kebenarannya Aku ingin cepat-cepat berbicara dengan Farren.
“Farren!” panggilku setengah berteriak. Farren yang sedang minum jus,
jusnya tumpah saat Aku meneriakinya tadi.
“Ada ada, say?” Farren membersihkan mulutnya dengan kausnya.
“Ikut Aku,” Aku langsung menyeret Farren dari tempatnya duduk.
“Reon juga,” Flori ternyata nggak mau kalah denganku.
Cowok-cowok kami langsung berpandangan satu sama lain tidak mengerti
apa yang terjadi. Kami membawa mereka ke ruang tamu, setelah sebelumnya
melihat-lihat tidak satu orangpun di sana.
“Ada apa?” Tanya kedua cowok kami bersamaan.
“Hm, tapi jangan marah, ya?”
Kedua cowok kami mengangguk bersamaan lagi. “Sebelumnya kami
mengira kalian berniat selingkuh,” jelas Flori dengan suara kecil tapi sangat jelas.
“APA??!!” lagi-lagi mereka mengucapkannya bersamaan. Kagetnya juga
bersamaan.
“Iya, bener,” tambahku. “Habis Sharen liat kalian di Coffee Bean tiap hari
kayak lagi tunggu cewek aja,”
93
“Kalian tau?” Tanya Farren masih terkaget-kaget.
Kami berdua mengangguk. “Sebenernya ngapain kalian di sana?”
“Aku… Sebenarnya Aku lagi bikin persiapan buat Pensi. Aku pingin
bintang tamunya Ni…Humph,” Reon langsung membekap mulut Farren.
“Bintang tamu?” alis Flori terangkat satu.
“Bukan… bukan… Aduh!” Farren menginjak kaki Reon. Kayaknya Reon
kesakitan banget, deh…
“Udahlah… begini ceritanya. Karena sebentar lagi ada Pensi, kami berdua
pingin ada bintang tamu Nidji.” Jelas Farren sedikit terbata. Wajah kedua cowok
kami langsung memerah. Kenapa mereka mirip kepiting rebus gitu?
Eh, tunggu… Bintang tamunya Nidji??? Itu kan Band favorite kami
berdua―Aku dan Flori.
“Tapi, kenapa harus di Mall?”
“Kalau di rumahku pasti Misha pingin tau,” terang Reon. “Kalau di rumah
Farren ada kamu,”
Oh, jadi itu sebabnya mereka selalu ada di Starbucks.
“Tapi, Dittan bilang Pensi ini bukan untuk umum, jadi hanya
menampilkan dari siswa-siswi Nusa Bangsa aja,” Aku dan Flori hanya manggut-
manggut saja. Oh, jadi tadi Ketua OSIS ngomongin tentang Pensi, ya kemarin.
“Tapi, kenapa Farren bisa deket sama Adis?” Flori langsung memelototi
Farren.
“Cowoknya Adis itu yang punya studio Bambe, tempat biasanya kita
latihan band,” Farren melihatku dengan tatapan yang meyakinkan.
“Aku percaya, kok.” Aku tersenyum tenang. Berarti Farren nggak ada
niatan untuk sselingkuh dengan Adis, kan?
“Tapi, Aku masih kurang yakin…,” Flori memandang Reon agak aneh.
Mau tampang marah, iya. Mau tampang kecewa, iya. Mau tampang pingin nangis,
iya juga.
“Apa yang kurang yakin? Kamu ngomong aja ke Aku,” Reon meraih
tangan Flori dan mengusap-usapnya. Aku dan Farren hanya saling mengangkat
bahu.
94
“Kenapa waktu itu Misha peluk kamu di Coffee Bean?”
Oh, yang waktu itu Misha datang bersama Dittan, ya? Lalu Misha
berpelukkan dengan Reon? Apa yang itu??
Reon terlihat kaget mendengar pertanyaan Flori. Jelaslah, pasti Reon
bertanya-tanya dalam hati kenapa Flori bisa melihat dirinya dipeluk oleh Misha.
Reon mendesah pelan, kemudian dia tersenyum sumringah. “Kamu
cemburu?”
Kali ini Flori yang kaget. “Kok, begitu?” wajah Flori memerah.
Aku dan Farren yang melihatnya hanya bisa tersenyum, padahal Farren
sepertinya ingin tertwa meledak-ledak.
“Denger, ya Sayang,”
Waw, Reon memanggil Flori ‘Sayang’? kemajuan yang bagus!
“Aku waktu itu untuk pertama kalinya bisa akrab lagi sama Misha, rasanya
perasaanku waktu itu bahagia, begitu juga dengan Misha sendiri. Perasaan yang
udah lama nggak terucapkan baru bisa diucapkan waktu itu,” ujar Reon sok puitis
banget bahasanya, dia memandang Flori seolah mengatakan ‘Kamu mengerti,
Sayang?’.
Hm, makanya itu Reon untuk pertama kalinya berwajah malu di depan
Misha, ya.
Flori terperangah. “Kejadian waktu kamu mencelakakan Misha itu berarti
benar?”
Reon mengangguk. “Jadi, kalian mengajak kami kesini untuk apa?”
“Intinya, aja,” Farren duduk di sebelahku.
Aku memandang Flori dan Flori memandangku juga. Kami berdua
tersenyum, Flori membisikkan sesuatu padaku. Dan Aku mengangguk setuju, dan
kami tersenyum lagi.
Bukan berarti kita gila, lho… Flori duduk di samping Reon, sebelumnya
Flori mengacungkan jempol padaku.
“Farren…,” Aku meminta Farren agar lebih mendekatiku. “Ke siniin
telinga kamu,” Farren yang bingung hanya mengikuti instruksiku.
95
Aku membisikan sesuatu pada Farren. Setelah selesai wajah Farren
memerah dan langsung menunduk malu. Begitu juga dengan Reon, kurasa Flori
sudah mengatakan hal yang serupa denganku.
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Setelah itu muncul Misha dan yang
lainnya ikut bergabung tertawa bersama kamiwalaupun kami tidak tau apa yang
sedang ditertawakan.
Mau tau apa yang Aku katakan pada Farren? Sini, Aku beri tau.
‘Maaf, ya Aku menyangka kamu selingkuh. Habis Aku cinta sama kamu.
Kamu gimana?’
Lalu Farren dan Reon mengngguk bersamaan dan mengucapkan ‘Aku juga
cinta kamu…,’
Hehehe… Kata-kata Maaf yang romantis, kan? Siapa dulu, gue gitu
lho…!!
96
OH, NO!!!
MY BOYFRIEND IS GAY???
Flori
Gila, Man!!!
Bukan ada cowok yang gila maksudnya―ini adalah termasuk kalimat
ambigu, benar?. Walau udah kelar masalah perselingkuhan Reon dan Farren,
ternyata mereka berdua nggak memulai mengantar-jemput kami lagi.
Kali ini entah apa yang menghasut mereka. Tapi, yang membuat gue gila
pagi ini adalah…GUE TELAT KE SEKOLAH!!!!
Bisa mampus gue kalau kepergok sama Godzila. Mana dua menit lagi
pintu gerbang mau di tutup, sedangkan gue masih kejebak macet Ibu-ibu yang
perebutan membeli sayur-mayur di jalanan? Mana, sih pemerintah? Kok ada yang
jualan sayur―tapi, ini bukan pasar―di jalanan besar deket sekolah gue yang
elite???
Akhirnya dengan melewati para ibu-ibu yang babon-babon itu gue bisa
nyempil keluar. Oh, ya pampuuunnnn… Mang Somad―satpam penjaga pintu
gerbang kedua―jangan dulu di tutup gerbangnya!!!!
97
“Mang Soommmaaaadddd!!!” teriak gue sekencang-kencangnya.
“Jangaaaannnn di tutuuuuuuppp!!!” Oh, tidak!! Mang Somad tidak mendengar
teriakan gue, dan dia menutupgerbangnya??? Dasar budi beneeeeerrr!!
Malapetaka dua ratus rius…Gue liat Godzila udah ngetem di depan pintu
gerbang. Rajin banget, sih nungguin anak-anak yang telat. Kagak punya bini, sih...
Apa hubungannya??
“Maaf Pak saya telat!” ujar suara di belakang gue. Dari jarak 100 meter
gini udah minta maaf lo??? Mana dengeeeerrr!! Apalagi kelihatannya dia ceria
bener liat Godzila.
Akhirnya kami berdua sampai di depan Godzila. Sumpah, tampangnya
memang lebih sereman Madam tapi, kalau di luar sekolah―maksudnya
gerbang―dialah yang paling serem.
“Kalian ini! Biasakan dong datang lebih cepat!” si Godzila udah mau
mulai ceramahnya. “Terutama kamu Remon! Kamu nggak pernah absent dari
daftar telat Bapak. Kenapa, sih?”
Gorila memelototi cowok yang berada di samping gue. Oh, jadi namanya
Remon, orang yang nggak pernah absent dari daftar telat Godzila. Eh, ngapain gue
inget-inget orang nggak penting.
“Maaf, Pak,” ucapnya dengan wajah memelas. “Padahal saya hari ini udah
bangun pagi, lho. Tapi, sialnya gara-gara ban mobil saya meledak dan supir saya
nggak bawa ban cadangan saya disuruh jalan kaki aja! Sedih nggak, sih Pak?”
Yee, ini cowok malah cerita. Gue jamin si Godzila nggak akan tersentuh
sama cerita elo, Man!
“Remon! Kamu nggak usah bohong lagi sama Bapak! Bapak ini udah
denger cerita itu tahun lalu! Kamu…,”
“Maaf, Pak saya telat…,” ada satu suara lagi yang datang. Ternyata gue
nggak berdua―sama si Remon―doang yang telat. Gue liat ke belakang ternyata
ada tiga orang cowok dan dua orang cewek yang masih terengah-engah berlari
menuju kemari.
“Yuuki?! Tumben kamu telat?” wajah Godzila tampak kaget, begitu juga
dengan Remon.
98
Yuuki?? Kedengarannya nama orang Jepang kan pembaca? Gue nggak
salah denger, nih??
“Saya mengerjakan tugas Sains hingga larut malam, jadi saya bangun
telat,” ujar si Yuuki itu memberi keterangan.
Hah, alasan kagak mutu! Yang kayak gitu, mah nggak bakalan mempan
buat Godzila membebaskan elo!
Godzila menimbang-nimbang alasan si Yuuki. Kalau Godzila mau
melepaskan korbannya ciri-cirinya adalah dia memainkan kumis Pak Radennya.
“Oke, kamu boleh masuk. Tapi, lain kali kamu jangan sampai telat lagi,
ya!” Godzila membuka pintu gerbang.
Bravo!!! Dia bisa dibebaskan oleh Godzila?? Bah, orang macam mana
pula kau!
“Yuuki tega ninggalin gue…,” rengek Remon.
Yuuki yang sudah masuk ke dalam langsung berbalik menghadap ke
Remon.
“Jadi, anak yang baik, ya Remon.” Yuuki melambaikan tangannya sambil
tersenyum manis atau sinis?
“Bapak! Kok, cowok tadi dibolehin masuk, sih?” protes gue. Ini namanya
nggak adil sama murid. Anak-anak yang baru datang tadi mengangguk setuju
dengan gue.
“Ada keluhan?!” Tanya Godzila dengan tampang menyeramkan. Kami
semua langsung menciut ketakutan. “Sekarang kalian lari keliling lapang delapan
putaran. Yang cewek juga sama aja!”
Kami semua langsung diam terpaku. Sadis bener nih, guru? Masa cewek
juga seporsi larinya sama cowok? Dasar Godzila sintiiiiinnnnggggg!!!!
* * *
99
“Kasian juga elo,” Adis memberikan Pocari Sweat pada gue.
Gila!!! Setelah lari keliling lapangan NuBa―tau nggak panjangnya itu
satu setengah dari lapangan bola―gue langsung K.O di kursi gue.
Belum lagi setelah lari ada ceramah dari Godzila. Bener-bener apes gue
hari ini. Tapi, tadi ada kejadian konyol banget. Masa si Remon itu bukannya
ngeluh lari keliling lapangan malah girang banget. Apalagi larinya mirip anjing,
setelah itu di lapangan ada anak sebelas B lagi olahraga. Eh, si Remon malah
tebar-tebar pesonanya dengan keringatnya yang bercucuran itu.
Cewek-cewek anak sebelas itu malah nyemangatin Remon, memangnya
ini lagi lari sprint? Teriaknya juga kayak si Remon lagi ada di atas catwalk
dengan busana baju yang kereeen abesh!!
Udah, ah! Pusing gue kalau mikirin si Remon sama aja dengan
mengingatkan gue sama Reon―panggil nama Remon sama aja dengan
memanggil nama Reon, hanya hilangkan ‘M’-nya. Reon yang menyebabkan gue
jadi telat ini, malah ngetawain gue saat gue lewatin kelasnya. Untung aja jam
kedua nggak ada gurunya.
“Thanks,” Pocari Sweat Adis langsung habis gue tegak.
“Haus, Buu?” cengenges Lolita.
“Nasib gue sial banget,” keluh gue. Rasanya pingin gue tiduran di lantai
yang dingin ini.
“Flo, ada tugas kelompok dari Madam, lho…,” Calista nongol dari sela-
sela kecil Lolita dan Adis. Hii, wajahnya udah berubah jadi Medusa lagi.
“Apaan tugasnya?” gue mengambil buku paket Bahasa dari tangan Calista
dengan gemetar.
“Membuat cerita rakyat dengan rekaman kaset,” kali ini Fabian yang
nyempil entah dari mana.
Kenapa, sih gue sekolompok dengan orang-orang aneh semua?? Ada gue,
Calista, Tony dan Fabian, entah bagiman jalannya kelompok kami ini dari dulu
selalu kena murka Madam.
“Kok pake rekaman kaset? Modern dikit, lah…,”
100
“Tadinya perintah tugas ini pake rekaman video dudul!” Rica memukul
gue dengan kalkulatornya.
“Sakit tau!” gue mengusap-usap pucuk kepalague. “Lebih enak kalau
begitu!”
“Nggak enak tau!” teriak Riri.
Ih, banyak banget yang ngerubungin gue? Idola macam gue ini memang
nggak pernah lepas dari para fans, sih… Makanya mereka betah di deket gue.
Dduuuutt!!!
Ops, ada yang buang bom alam!
“Ih, bau!!!” cewek-cewek yang di sekeliling gue lngsung menutup mulut
dan menjauh.
“Elo kintut―maksud Reana ya kentut, dia seneng mengucapkannya
dengan kata kintut―ya, Flo?” teriak Reana dari bangkunya. Reana selalu aja salah
ngomong kalau baru bangun tidur, nggak mungkin lah gue kintut?
Anak-anak sekelas langsung memelototi gue. Gue menggeleng-geleng
mengaku tidak buang bom alam.
“Gue nggak kentut…,” terang gue. “Cuma gue memenuhi naluri panggilan
alam untuk kentut!” cengenges gue.
Yang lain langsung menimpuk gue dengan kertas, pensil, pulpen, buku,
tas, lemari, meja, kursi, uang milyaran… Hehehe… ya, nggak mungkinlah…
“Dasar, kentut elo nggak bisa disembuhkan dengan obat, nih…,” Riri
menyemprotkan minyak wangi ke sekeliling ruangan.
“Miss gosip dateng!!!” teriak Sharen dengan suara girang.
“Ada gosip terbaru?” Tanya Lolita dan Lerina bersamaan. Walau Lerina
punya tampang preman, tapi dia doyan denger gosip.
“Eit, eit, eit…,” Sharen berkacak pinggang. “Yang boleh denger cuma
Flori sama Riri dulu,” terdengar suara anak sekelas langsung kecewa berat. “Tapi,
habis urusan gue sama Flori dan Riri selesai gosip baru akan gue kasih,” yang lain
langsung kembali kegirangan.
Dasar kelas kocak! Apa-apa maunya kompak!
101
Gue bergabung dengan Sharen dan Riri di belakang gue. “Emang ada
gosip buat kita?” Tanya gue. Biasanya gue nggak terlalu minat sama gosip
Sharen, bukan karena gosip itu hal yang jelek, tapi dalam gosip Sharen semuanya
baik-baik.
“Sebenernya gosip ini lebih mengarah ke elo daripada ke Riri,” jawab
Sharen. Dia duduk dengan ala presenter. “Karena menurut gue penting buat kalian
berdua, ya gue kasih tau.”
“Gosip apaan?”
“Cerita tentang Misha akhirnya gue dapatkan dengan susah payah!”
bangga Sharen.
“Misha? Siapa dia?” Yah, penyakit ingatan Riri kumat lagi. Padahal baru
aja tiga hari yang lalu ke rumahnya.
“Korban selingkuhan Reon,” terang Sharen. “Tau nggak, sih…,” kami
berdua menggeleng. “Dittan itu sebenarnya pacaran sama Misha, karena Dittan
tenar makanya Misha nggak memberi tahukan statusnya sebagai pacar Dittan,”
“Hah? Tau dari mana lo?!” Tanya kami berdua heran.
“Gue?” Sharen mendenguskan hidungnya―tandanya dia berbangga. “Gue
tau ini dari gelagat mereka berdua. Selain itu gue dapet keterangan tambahan dari
Reon,”
“Reon?”
Sharen mengangguk. “Kata Reon, dia sendiri melihat Misha lagi ‘cup-cup’
di kelas Full Day―nama kelas untuk program IPA kelas tiga. Jelaslah gue nggak
percaya, tapi gue sama Adis akhirnya liat juga, ternyata mereka lagi duduk-duduk
istirahat dengan mesra,” pandangan mata Sharen langsung menerawang jauh
begitu. Kenapa, sih?
“Tapi, elo nggak berniat memperbarui data Misha, kan?”
“Tenang, gue nggak akan memperbaruinya,”
“Wah, pantes dong mereka?” kali ini wajah Riri yang berseri-seri. “Kalau
diinget-inget Dittan menunggui kita pulang semuanya dulu, kan? Mungkin mau
mesra-mesraan dulu, ya…” Riri ketawa-ketiwi sendirian.
Gue langsung bergidik melihatnya. “Gosipnya itu aja?”
102
“Ya, nggak lah…,” Sharen memutar-mutar matanya. “Mau denger kisah
pacaran Misha sama Reon?”
Mata gue langsung melotot berbinar. Kisah pacaran pertamanya Reon?
Kami langsung mengangguk, mirip sekali dengan anjing.
“Yang pertama kali menembak adalah Reon,” cerita Sharen. Wah, kalau
gue, gue duluan yang nembak Reon. “Karena sejak kecil bersama dan udah
gedenya merasakan perasaan yang lain, keduanya lalu mulai pacaran. Awalnya
mereka baik-baik aja. Tapi…,” kata-kata Sharen terhenti.
“Tapi…,” gumam gue. Habis gue penasaran banget!
“Tapi, karena Reon sibuk di klub basketnya Misha seperti merasakan
kehilangan,” suara Sharen langsung menjadi sedih. “Waktu itu Misha pingin main
ke rumah Reon. Kebetulan Reon ada di rumah, mereka ngobrol di teras luar kamar
Reon. Misha yang tadinya hanya ingin mencoba mengatakan semua uneg-
unegnya, oleh Reon percakapan itu terhenti karena ada telepon dari Farren yang
mengajaknya untuk bermain P.S,”
Gue inget, Farren sepupu gue yang geblek itu pernah ngomong kalau dia
nggak akan telepon Reon kalau keperluannya bukan hal penting. Makanya saat
gue minta Reon untuk mampir sebentar, Farren marah-marah. Jadi itu semua
nyambung satu sama lain.
“Reon yang hendak bersiap-siap terhenti karena ulah Misha yang nekat
untuk akan terjun dari kamar Reon. Tapi, Reon sendiri malah mengacuhkan
Misha, Misha yang masih duduk dekat pegangan teras panik karena Reon hendak
pergi. Akhirnya dia terpeleset dan jatuh dari lantai dua yang lumayan tinggi.
Setelah itu hubungan mereka jadi menjauh.”
Aku terpana. Kok, Misha masih hidup setelah jatuh dari lantai dua? Lagian
tingginya cukup membuat binatang mati―yee, itu kan binatang bukan manusia.
“Sedih…,” Riri menitikkan air matanya. “Kasiaaaannnn…!!! Misha
semoga arwahmu tenang di sana!!! Relakan Reon untuk sahabat gue Flori!!”
teriak Riri histeris.
103
Anak-anak memandangnya dengan keheranan, mereka lalu menghampiri
Riri berkerumun. Dasar, cari sensasi aja. Kalau Misha udah jadi arwah, yang
kemarin liat itu Misha apa?
“Gue jadi arwah ceritanya, nih???” Tanya suara di dekat telinga gue. Gue
langsung terlonjak.
Misha ada di samping gue. Dengan senyuman yang mirip dengan Reana.
Hii!!
“Arwah Misha!” Riri menunjuk Misha dengan gemetar. Anak-anak yang
lain otomatis pada memeluk satu sama lain.
“Hi…hi…hi…hi…,” tawa Misha menyerupai kuntilanak. Temen-temen
sekelas langsung diam ketakutan. “Lo anggap gue arwah, hu?” Misha menarik-
narik kerah baju Simon.
“Ampun, gusti kanjeng Raden Sri Wengi Malem Gelap Gulita
Kuntilanak,” Simon langsung nyembah-nyembah Misha.
“Gue ini bukan arwah tau!! Gue ini masih hidup!!” jelas Misha.
Simon langsung cengo. “Oh, kirain Dewi kematian,”
“Ah, bener! Misha kan masih hidup, siapa yang bilang dia udah jadi
arwah?” Tanya Riri dengan tampang tak berdosa. Anak-anak langsung melotot
serem ke arahnya. Mengatakan ‘Ini salah elo dudul!!!’.
“Mau ngapain asisten Dittan ke sini?” Tanya Rico heran.
“Oh, iya!” Misha menggetok kepalanya sendiri dengan pose sok imut.
“Perhatian unutk anak D, siapa yang mau jadi sukarela persiapan Pensi?”
Yang lainnya pada bengong. Maklum saking pinternya anak D susah
mencerna otaknya dulu supaya bisa ditelen.
Heh, kalau gue ikutan sebagai sukarela gue bisa bareng terus sama Reon,
dunk?
“Gue! Gue!” aju gue dengan semangat 45.
“Ok, diterima,” Misha langsung mencatat nama gue di bukunya.
“Emang kurang berapa, Sha?” Sharen melihat daftar dibuku Misha.
“Dua orang lagi,”
104
“Gue, deh…,” Riri ikut mengajukkan juga. Hm, kesempatan yang tiada
duanya untuk mencegah para cowok kita selingkuh.
“Ok, diterima,” Misha mengedarkan pandangannya ke anak cowok. “Yang
cowok nggak ada yang mau?”
Para cowok saling berunding dan setelah kasak-kusuk ini-itu mereka
menggelang kompak.
“Hm, nambah dua cewek. Kalau gitu gue ke kelas lain lagi, makasih, ya!”
Misha membungkukan badanya sebagai rasa hormat. “Untuk Flori dan Riri nanti
istirahat pertama kumpul di podium, ya.”
Kami berdua mengangguk mengerti. Kemudian Misha berlalu menaiki
tangga menuju kelas sebelas. Horraaayyy!!! Akhirnya bisa main sama Reon.
* * *
Sesuai kata-kata Misha, kami berdua berkumpul di podium.
Ah, gue melihat cowok yang tadi telat bareng gue. Namanya kalau nggak
salah Remon―emang nggak salah, kan gue bilang namanya hampir mirip Reon.
Dan dia sedang membuat sketsa bersama Yuuki―cowok yang berhasil melarikan
diri dari Godzila.
Mata gue bertemu dengan Yuuki, dia hanya memandang gue dengan sinis.
Ih, berapa banyak orang yang campuran begitu terlihat sinis pada gue? Contohnya
Berry, Hi’iro dan Yuuki―kemungkinannya dia memang campuran Jepang.
Sharen menghampiri kami berdua yang masih bengong tidak tau harus
mengerjakan apa.
“Ternyata di sini memang sip!” ujarnya sambil mengacungkan jempol.
Gue memandangnya heran. “Apanya yang sip?”
“Lihat arah jam dua, ada dua anak sebelas yang mantap!” girangnya lagi.
Kali ini dia melingkarkan jempol dan telunjuknya menggambarkan lingkaran.
105
Gue melihat arah jam dua. Bah! Ternyata si Remon dan Yuuki. Apanya
yang mantap??
“Biasa aja!”
“Bagi elo!” Sharen langsung berdesis marah. “Tau nggak sih, mereka
berdua top boys kelas sebelas.” Jelas Sharen bersemangat. “Yang kelihatan kalem
itu Yuuki Tsuruga anak kelas D, dia mirip banget sama Takeshi Kaneshiro. Yang
kelihatan periang sahabatnya Yuuki, namanya Remon Delfion Sastroaningrat,
keturunan ningrat asli dari bokap.”
“Hm,” Tanggap gue pendek.
“Gue tau mereka!” Kali ini Riri yang berteriak kegirangan.
“Lo tau? Lo tau?! Kyaaa mereka keren, kan?” Sharen dan Riri berteriak
kegirangan.
Bodo amat sama mereka berdua. Kalau satu orang aneh muncul orang
aneh lainnya pasti muncul. Jadi, gue yakin mereka akan terus begitu sampai siang
nanti.
Gue liat Misha enggak ada di samping Dittan. Dia kan asistennya Dittan,
kenapa Misha enggak ada di sampingnya? ‘Ting’. Tiba-tiba ada sebuah ide yang
terlintas dari benak gue. Gue menghampiri Dittan yang sedang duduk di podium
dengan beberapa dokumen-dokumen yang berserakan di depannya.
“Kak Dittan,” Sapa gue sok akrab. Padahal gue nggak pernah ngomong
dia ‘kak’ di belakangnya.
Dittan beralih dari dokumen-dokumennya dan menatap gue dengan
bingung, tapi akhirnya dia tersenyum ramah. “Hai,” Balasnya dengan senyum
ramah tamah.
“Mishanya mana?” Tanya gue sambil celingak-celinguk mencari Misha.
“Oh, tadi dia ada di kelas Full Day,” Jawab Dittan, matanya kembali
beralih pada dokumen-dokumennya.
“Kelas Full Day?” Ulang gue. “Ngapain dia disana?”
Dittan mengangkat bahunya. “Lo ada perlu apa sama dia?”
“Ah, nggak kok. Kak Dittan ngerasa keganggu sama gue?”
“Oh, nggak kok,” Dittan tersenyum ramah. “ Gue kira….”
106
Brooott!!
Gue langsung menutup hidung dan memandang jijik pada Dittan. Dittan
sendiri hanya terpaku saja.
“Elo kentut?” Tanya gue miris.
“Nggak, nggak bukan gue…,” elak Dittan. Wajahnya menjadi campuran
antara biru dan merah.
“Kak Dittan bohong, ya?” goda gue.
“Gue nggak bohong!” Dittan tetep bersikeras nggak ngaku.
Anak-anak yang sedang bekerja langsung melirik pada Dittan.
“Ada apa, Dit?” Tanya cowok jabrik yang sedang memangku balok kayu.
“Nggak ada papa, kok,” cowok jabrik itu bingung dengan sikap Dittan.
Akhirnya dia memilih beralih lagi menuju pekerjaannya.
“He…Kak Dittan malu ya, kalau sampai kentut di depan gue?”
“Jujur aja gue nggak kentut. Tapi, bukannya elo yang kentut?” tuduh
Dittan dengan wajah yang serius.
Gue menatap Dittan dengan dengan serius juga dan akhirnya pertahanan
gue jebol juga. Gue tertawa terbahak-bahak sedangkan Dittan hanya memandg
gue heran.
“Lo mau aja gue kibulin,” jelas gue masih tertawa.
“Hah…gue kira,” leganya. “Ngapain elo di sini? Sebagai sukarela, ya?”
Gue mengangguk. “Misha belom kasih tau gue kenapa gue harus kumpul
di sini,”
Dittan manggut-manggut mengerti. “kalau dia belom kasih tau, elo nggak
usah kumpul dulu. Besok aja lo kerjanya,”
“Oh, gitu. Eh, kerjaan Reon apaan, sih?”
“Dia bagian bawain barang-barang atau merancang. Yang kayak gitu
tugasnya cowok,”
Gue mengangguk lagi. Hm, pinter juga strategi Dittan buat ngurus Pensi,
padahal mid semester aja belom. Pantes bisa jadi Ketua OSIS.
“Ah, kalau gitu gue balik ke kelas dulu. Maaf, ya tadi udah gue kerjain,”
Dittan tersenyum senang. “Sama-sama,”
107
Hebat juga si Misha―gue acungin jempol buat pasangan Misha-Dittan
kerena sama-sama manusia hebat. Cari cowok yang gentle-gentle, padahal kalau
Misha masih berjalan sama Reon bisa menjadi pasangan yang cocok. Lho, kok
gue jadi ngebayangin orang lain berada di sisi Reon?
Jangan-jangan gue udah nggak cinta lagi sama dia? Masa, sih? Nggak
mungkinlah… gue akan tetap terus cinta sama kamu Reoooonnnn!! Walaupun
tadi pagi kamu bikin aku telat.
* * *
“Heh, gantian dong,” protes Farren saat gue sedang asyik-asyiknya menonton One
Piece.
“Mbung!” tolak gue.
Farren langsung cemberut. Tumben Farren ada di rumah sore-sore begini.
Biasanya dulu kan dia sering pulang malem bareng Reon, sekarang kok nggak,
ya?
“Tumben elo ada di sini?” Tanya gue sambil tetap fokus agar remote TV
nggak diambil olehnya.
Farren mendelik. “Oh, jadi elo nggak seneng gue ada di sini?” jawabnya
sewot.
Idih! Mau-maunya si Riri pacaran sama sepupu gue yang dubluk! Kalau di
depan Riri pura-pura jadi cowok pengertian! Di belakangnya…eleuh ancuuurr!!!
“Ah, tugas Bahasa Indonesia!” gue langsung terlonjak. Remote TV yang
gue pegang langsung gue lempar ke Farren dan tepat mengenai kepalanya.
“Sakit tau!” keluh Farren mengusap-usap kepalanya yang mungkin
tumbuh benjolan.
Gue lari menuju kamar gue untuk melihat tugas Bahasa Indonesia.
“Susah banget!” keluh gue. Baru baca awalnya aja udah bikin pusing.
Gimana mau ngerjain tugasnya?
108
Di sini malah harus menggunakan rekaman lagi. Haree giniii anak NuBa
punya Walkman??? Maneee adeeee!!!
Eh, tapi rasanya dulu Farren punya walkman yang bisa merekam! Masih
hidup―maksudnya masih bisa dipergunakan―nggak, ya?
“Farren!!” teriak gue.
“Apaan??” teriaknya lagi dengan suara yang menggema.
“Lo ada walkman, kan?!”
“Hah??!!”
“Lo ada WALKMAN, kan?”
“Cari aja sono di kamar gue!!”
Ih, dasar sepupu kagak guna! Gue masuk ke kamar Farren, kamarnya
bersih, sama seperti kamar gue―ya, iyalah…kan dibersihin sama Bi Inah.
Walaupun kamarnya bagus tetapi lemarinya pasti…
Brak! Bruk! Prang! Pring! Prung! Jdeeeerrr!!!
Ampunnnnn deh… Baru buka lemari langsung ada banyak barang yang
jatuh ke badan gue. Gue memegang barang yang sedikit kenyal-kenyil. Saat gue
pegang dan lihat lebih teliti lagi ternyata itu… Sapu tangan yang masih ada
ingusnya!!!
Idih!!! Sejak kapan dia taruh itu di sini? Jorok banget! Banyak sekali
barang-barang yang tergeletak tak guna di lantai. Ada dalemannya Farren―nggak
tau bersih apa nggak, baju olahraga―sumpah baunya asem banget, kaos
kaki―yang ini udah dari zaman SD kali, ya?, robot-robotan―kok ada di sini?,
celengan ayam, gameboy, boneka beruang, dan masih banyak barang lainnya.
Diantara barang yang nggak guna itu, ada walkman yang terlihat masih
utuh dan bagus. Sayang bau sesuatu di ujungnya―mungkin Farren sering
merekam diary dengan ini,makanya terasa bau jigong.
Eh, ada buku bersampul biru yang aneh banget. Rasanya gue pernah liat
buku itu, dimana, gitu. Apa buku gue, ya? Tapi, kayaknya bukan, deh…
Gue coba membuk lembar halaman pertama. Di situ tertera tulisan Farren
yang mirip ceker ayam dan kekecilan. Mana bisa baca gue?? Coba,deh pembaca
liat juga…
109
Nama : Farren Arlando Dwiputra
Umur : 11 Tahun.
Kelamin : Pria
Hahaha…!!! Banyol bangetz!!! Kelamin?? Jenis kelamin kali Farren…!!
Bah, umur segitu kau udah mengatakan diri kau Pria? Kekekekkk… Gue lanjut
membacanya lagi.
Sekolah : SD Nusa Bangsa
Alamat rumah : Palem Recidance Blok A/25
Hobi : Maen musik, ngerjain Abang, maen P.S
Makanan Faforit : Aku suka masakan Mama!
Minuman Faforit : Es Jeruk
Yang dibenci : Sepupuku (Flori jelek!)
Yang disukai : Cewek manis.
Cewek : Ada, deh. Kalau kamu ketemu dia, kamu pasti naksir juga.
Hah, umur segitu udah punya cewek juga?? Dasar playboy! Huh, lebih
baik Riri cari cowok yang keren daripada sepupu gue sendiri.
Gue membuka halaman selanjutnya. Hu, isinya nggak penting banget.
Cuma ‘Hari ini Aku main P.S’ atau ‘Hari ini Mama marahin Aku’. Coba ada kata
‘Hari ini Aku ngompol’. Hehehe…Masa udah gede masih ngompol?
Nggak ada yang bagus dari buku ini. Gue membukanya lagi, ternyata dia
cuma menulisnya hanya berlangsung tiga bulan. Itu juga masih bolong-bolong
harinya. Halaman selanjutnya kosong beberapa kertas.
Tulisannya lumayan bagus daripada yang dulu.
November, 15 2005
Diary, gue nggak tahan lagi!!
Setiap kali gue lihat dia, gue merasakan ingin peluk dia!
Gue selalu inget sama dia sepanjang hari. Tapi, ini memang
wajar gue alamin, tapi juga ini nggak wajar! Karena gue
menyukai yang bukan kodratnya!
110
Menyukai yang bukan kodratnya? Apa maksudnya?? Gue mengernyit
bingung, dan membaca buku diare―maksudnya diary―milik Farren.
November, 16 2005
Semakin hari gue bener-bener nggak tahan ingin meluk dia.
Tapi, sayangnya dia udah punya pacar. Gue sedih, tapi gue
nggak menyerah begitu aja. Gue bisa bersama dia melebihi dia
bersama pacarnya, karena kita ‘sama’.
Akhirnya gue undang dia untuk main P.S di rumah gue.
Tapi, hari itu dia nggak bisa dateng karena pacarnya
kecelakaan…Ini semua salah gue…
November, 17 2005
Pacarnya masih koma di RS. Dia kayaknya syok berat, gue bisa
liat dari semua air mukanya.
Jelas ini juga termasuk salah gue. Akhirnya gue malah
membuat orang yang gue sukai menjadi murung.
November, 21 2005
Pacarnya udah sadar dari koma. Hanya saja sikapnya menjadi
dingin pada dia. Dia merasa sedih, untuk pertama kalinya dia
menjadi sahabat gue, dia menangis meraung-raung pada gue.
Akhirnya dia menajdi orang yang pesimis dengan cinta.
Tapi, gue bersyukur karena dia akan bersama gue selamanya.
January, 2 2006
Tahun baru kemarin menjadi yang terspesial buat gue. Gue
mengadakan acara panggang-panggang di halaman rumahnya.
Gue suka liat dia udah mulai pulih, tapi gue sedih karena gue
menyukai sahabat gue sendiri.
January, 4 2006
111
Nggak mungkin!
Perasaan gue bener-bener nampak jelas di mata dia.
Sahabat gue merasa jijik, tapi akhirnya dia mau mengakui gue.
Dia mau menerima gue…
Menerima gue yang seorang gay…
Mata gue membelalak kaget. Gue nggak percaya ini! Sepupu gue sendiri
adalah seorang gay??? Kejadian ini udah hampir tiga tahun yang lalu! And it’s
unbelievable for me!! Aduh, bener nggak ya, ngomongnya begitu? Bagaimana
dengan Riri jika dia mengetahui hal ini??
Nggak mungkin sepupu gue yang dubluk ini guy, ini hanya mimpi saja.
Gue mencubit kedua pipi gue dengan kencang. Suuuaaaakkkiiiiitttt!!! Ternyata ini
bukan mimpi? Oh, apa yang seharusnya gue lakukan??
Pintu kamar Farren terbuka. Farren masuk dengan tampang marah. “Mau
sampai kapan di sini?” tanyanya kesal.
Gue langsung menyembunyikan buku bersampul biru itu. “Ah, ini juga
gue udah mau keluar, kok,” jawab gue dengan gemetar.
“Walkman-nya ketemu?”
Gue mengangguk cepat. Farren mengernyit bingung. “Gue mau tidur
duluan! Met malem!” gue buru-buru keluar kamar Farren, menutup pintunya dan
kembali ke kamar gue.
Gue membuka buku sampul biru tadi dan membacanya berulang-ulang. Ini
nggak mungkin? Lalu siapa pasangan Farren? Sahabatnya itu, jangan-jangan…
* * *
“Kamu kenapa?” Reon mengernyitkan alisnya khawatir.
112
Aduh, bodohnya gue sampai gue harus bengong di mobil Reon. Gue
menggeleng-geleng dan tersenyum mengatakan ‘nggak papa’.
Sebenarnya, sampai tengah malampun gue masih memikirkan buku biru
itu. Bener itu yang menulisnya Farren? Siapa tahu Kak Renan? Tapi Kak
Renan―Kak Renan itu kakaknya Farren yang saat ini kelas tiga―nggak mungkin
gay. Sebab gue pernah liat Kak Renan sama ceweknya sedang ‘cup-cup’ di
bioskop. So, bukan Kak Renan yang menulisnya.
Reon masih melihat gue dengan khawatir. Aduh, lagi-lagi gue bengong.
“Liat ke depan kalau lagi nyetir,” gue memperingatkan Reon. Hal yang bego
banget.
“Kamu marah sama Aku gara-gara Aku ngetawain kamu?” Tanya Reon
pandangan matanya melihat gue lalu melihat ke jalan lagi.
“Bukan,” gue menggeleng-geleng. “Aku cuma heran aja, tumben kamu
mau nganterin Aku lagi ke sekolah.”
“Bohong,” tembak Reon langsung.
Eh, bener kok. Gue beneran heran sama Reon yang tiba-tiba mengantar
gue ke sekolah dan si Farren udah pergi menjemput Riri. Biasanya kan nggak,
kenapa tiba-tiba menjadi begini??
“Aku nggak bohong,” ujar gue tetep berlagak kalem. “Kamu nggak bareng
Farren lagi?”
“Huh, memangnya Aku mau bareng dia terus? Kamu mau Aku kemanain,
ha?”
Aduh, maksudnya apaan itu? Kamu mau mendampingi sepupu gue yang
seorang gay?? Dan mencampakkan gue??
“Kamu mau putusin Aku?”
Reon langsung mengerem mendadak. Membuat mobil yang di
belakangnya mengkritik dengan membunyikan klakson dengan nyaring. Bisa
tuliiii guueee!!
Reon menatap gue dengan serius. “Nggak mungkin Aku putusin kamu
sekarang!” tegasnya. Gue sampai ngeri. Baru kali ini Reon marah. Walau gue
sering liat tampang juteknya, tapi kali ini dia marah pada gue.
113
‘Nggak mungkin Aku putusin kamu sekarang’? Hu, ya, nanti kalau kamu
mau nikah di luar negeri bareng Farren. Sekarang gue tau siapa yang menajdi
pasangan gay Farren. Sahabatnya sendiri yaitu Reon, cowok gue. Kenapa bisa
begini, sih??
“Aku cuma bercanda, kok…,” ujar gue berpura-pura sambil tersenyum
ceria.
“Hah…,” leganya. “Aku kira kamu mau putusin Aku,”
“Iya, kok Aku memang mau putusin kamu,”
Reon langsung melotot lagi. Buru-buru gue tambahin kata, “Aku mau
putusin kamu nanti jadi suami Aku. He…he…he…,” tawa gue hambar.
Reon hanya tersenyum miris. Kok, miris, sih? “Mudah-mudahan…,” Reon
mengacak-acak rambut gue.
Ya, Tuhaaannnnn…
Kenapa bisa begindong…??? Gimana sama nasib gue???
Apakah Flori Harada akan berdiam diri? Atau bunuh diri? Atau makan
diri? Atau semua sendiri?? Apaan, sih nggak nyambung!
Alamak!!! Apa yang harus gue jelaskan pada Ririndong??? Apakah akan
gue jelaskan? Atau menjejalkan? Atau menjengkelkan?? Ih, dari tadi gue nggak
nyambung begini, sih…???
Ini semuagara-gara elo Farren!!!
114
Ada Apa Dengan Flori???
Riri
Sejak masuk kelas tingkah Flori aneh, deh…Seperti ini:
Bengong…
Menjulurkan lidah―sepeti ularnya Tony.
Garuk-garuk kepalanya―seperti monyetnya Simon.
Ngemut pulpen.
Air lirnya jatuh aja, nggak sadar.
Pak Luthfi―guru kesenian kami yang paling pinter ngelawak―melawak
di kelas, Flori masih aja bengong.
Simon ajak bicara Flori, Flori malah menjawab dengan bahasa planet
Saturnus.
Sebenarnya ada apa dengan Flori??? Apa dia belum diisi dengan baterai
yang baru makanya dia nggak bisa gerak sekalipun?? Atau belum sarapan pagi
super duper ukuran besar XXL??
Aku mengguncang-guncangkan tubuh Flori. Namun, tidak ada reaksi
darinya. Ularnya Tony kucoba tempelkan dekat dengan wajahnya, dan sama
sekali tidak ada reaksi. Kucoba lagi ularnya Tony menjilati pipi Flori hasilnya
sama aja.
115
Adis yang melihatku kebingungan membantuku untuk menyadarkan Flori.
Adis menyalakan musik dengan volume yang tinggi. Sampai-sampai Pak
Chepy―horeee!! Guru ganteng dateng!―yang sedang makan siang di ruang guru,
menegur kelas kami agar jangan membuat bising.
Ternyata usaha itu nggak mempan juga. Kami menyewa dukun beranak,
Flori masih nggak sadar-sadar juga. Rico yang mengetesnya dengan memberika
uang 10 triliyun, tetep nggak sadar. Hanum yang mengajaknya berbicara―tau kan
Hanum itu kalau berbicara bagaikan kereta Shinkansen―masih aja kaku.
Segala cara sudah kami lakukan untuk menyadarkan Flori dari upaya
penanggulangan banjir, muntaber, usus buntu, menyikat giginya―agar Flori bisa
mengikuti kontes senyum Pepsodent, tari perut andalan Andri dan Fablo, semua
itu tidak memberikan hasiill!!!
Menamparnya percuma saja, menendangnya juga percuma, di beri
kentut… Oh, yang itu belum di coba.
Aku meminta Hanum―katanya Hanum mempunyai bau kentut kedua
setelah Flori―agar kentut di depan Flori. Sebelumnya kami pake masker dulu,
biar nggak pingsan. Hanum sudah di posisinya―bokong Hanum di depan wajah
Flori, kami semua mulai menjauh.
Setelah hitungan ketiga Hanum membuang gasnya dan… Brrooot!!
Bbrrroooottt!!! Busyet, dah… Itu kentut apa mules pingin ee??
Mata Flori terpejam-pejam akibat timbulnya asap kentut. Tadinya dia
hanya mengerjap dan wajahnya berubah menjadi ungu lalu merah dan…
Oooeekksss!! Flori muntah!
“Tisu! Tisu!” panik gue. Lani memberikan tisu padaku, Aku mengusap
bekas muntahan Flori yang tersisa di mulutnya.
“Akhirnya sadar juga…,” lega yang lain. Flori mengernyit bingung.
“Tadi ada tabung gas yang bocor, ya?” Tanya Flori heran. Kebulan asap
dari bokong Hanum sudah hilang.
“Bukan!” geleng Lerina dan Rika bersamaan.
“Lo kena bom asap Hanum!” jelas Sharen.
116
Flori tersentak. Badannya menjadi kaku dan dingin. “Baauuu…
banget…!!!” eh, si Flori malah pingsan.
Kami semua langsung terkikik-kikik. Dasar aneh… Kalau nggak aneh
bukan anak D namanya, ya kan? Wisnu yang nggak pernah tersenyum aja
langsung ketawa membuat kelas serasa gempa.
Eh, ngomong-ngomong Aku kan belum tanya kenapa Flori bengong begitu
seharian ini? Yah, malah dia tidur-tiduran lagi. Mau nggak mau kita minta
Hanum buat bikin bom asap yang lebih…MANTAP!!
117
Syok!!
Flori
Aduh, kejadian bom asap Hanum di kelas tadi membuat gue pusing tujuh keliling
lapangan!
Sekarang gue harus keluar mencari udara segar dan pertimbangan dengan
baik. Pertimbangan agar bisa mengatakan FARREN―SEPPUPU GUE YANG
DUBLUK―SEBENARNYA GAAAAYYYYY!!!! Pada Riri teman terbaik gue
yang aneh.
Tempat yang asyik untuk itu adalah, atap sekolah selatan yang jarang
sekali di tempati oleh anak-anak cowok alias preman kayak Lerina.
Fuuuhhh… Gue menghela nafas panjang.
“Kenapa menghela nafas begitu?” Tanya suara yang gue kenal.
“Nanti cepet tua, lho…,” kali ini yang berbicara bersuara rada berat.
Gue tersentak kaget. Dua orang ini tersenyum-senyum menatap gue.
“Ngapain Kak Dittan sama Misha ada di sini?” Dittan-Misha hanya
tersenyum satu sama lain.
Oh, gue tau. Mereka lagi pacaran di tempat yang aman, ya?
“Lo sendiri ngapain di sini?” Dittan menawarkan teh botolan kepada gue.
118
“Gue lagi bingung tujuh keliling lapangan!” banyol gue.
Dittan hanya tertawa dengan senyuman. Tipe yang nggak bisa ketawa di
depan orang lain―sama kayak Reon.
“Wah, gue juga lagi bingung tujuh keliling lapangan juga,” Misha ikut-
ikutan berkata konyol. Membuat Dittan sepertinya nggak kuat untuk ketawa
ngakak. “Pilih minum susu strawberry dingin atau minum susu cokelat yang
nikmat?”
Gue jadi bingung. Pilih gitu aja, kok repot. Kalau gue pasti lebih milih
mana yang menurut gue yang paling gue sukain.
“Mana yang elo suka?” gue mengangkat kedua susu itu dari tangan Misha.
Misha mengamit jarinya di bibirnya. Ukh, nih anak ultra cute bangetz!!
“Dua-duanya gue suka!” teriaknya mirip anak kecil.
“Kalau gue pasti pilih yang susu cokelat nikmat,”
“Kenapa?” Tanya Dittan-Misha bersamaan.
“Karena nikmat makanya gue pilih yang itu dulu. Kalau udah merasa
minuman itu nikmat gue udah merasa puas. Dan yang susu strawberry dingin
untuk menyegarkan pikiran kita karena rasa nikmat susu cokelat tadi…,” terang
gue dengan tampang bodoh.
Misha tertawa terbahak-bahak. Bahkan sampai terjungkir balik begitu,
segitu lucunyakah kata-kata gue?
“Jawaban yang lucu!” Misha menjentrikkan jarinya. “Udah tau apa yang
harus dilakukan?”
Gue mengernyit heran. Apa yang harus dilakukan? Maksudnya apaan?
Gue melirik Misha yang masih tersenyum senang.
“Ah!” gue tau itu! “Makasih, ya!” gue langsung cabut meninggalkan
Dittan-Misha.
“Sama-sama!” ujar Dittan-Misha.
Gue jadi suka sama Misha―bukan berarti gue lesbi. Mungkin karena
itulah Reon menyukai Misha. Orang yang tersenyum dengan lembut seperti
seorang teman, Ibu, dan kakak. Tapi, kasih solusinya nggak nyambung. Hehehe…
119
Selain itu pasangan Dittan-Misha adalah pasangan yang terbaik yang gue
liat. Gue do’ain semoga kalian kekal abadi selaamaanyaaaaa!!!
* * *
“Riri!!!” panggil gue bersemangat sesampainnya di kelas.
Anak D yang berada di dalam kelas langsung terdiam. Lho, kan belom
waktunya masuk kelas. Kenapa semuanya udah pada ngetem di kursi masing-
masing?
“Yuhuuu Flori!!” Riri melambai-lambaikan tangannya di antara Adis,
Reana dan Sharen.
“Eh, lagi pada ngapain?” Tanya gue heran. Gue duduk di samping Lerina
yang duduk mengangkang di atas meja.
“Tadi cowok elo dateng,” jelas Lani.
“Hah?! Ngapain Reon ke sini?”
“Dia cuma mau ngumumin dari kelas kita ada yang mau nampilin sesuatu
buat Pensi Penutupan Semester Genap,” terang Calista. Rambutnya udah penuh
dengan lalat-lalat yang menempel.
“Oh, begitu…,”
“Ada apa lo panggil gue tadi?” Riri menyempil disela-sela Adis dan
Sharen yang sedang membaca majalah.
“Ah, nanti aja gue ngomongnya. Pulang sekolah makan dulu di kantin,
ya?”
Riri mengangguk. Lalu melanjutkan membaca majalah yang di pegang
Adis tinggi-tinggi.
Semakin mendekati mid semester, rasanya para guru semakin malas
mengajar. Tapi, walau begitu kita diberitahu kisi-kisi soalnya. Enak juga kalau
bisa terus bolong begini jam pelajarannya.
120
Ah, gue harus mempersiapkan alat tempur untuk memberi tahu sandi
morse ini. Lagi-lagi kami harus siap bertempur! Yeah, hidup Flori! Jangan lupa
bertempur dengan mid semester!!
* * *
Riri mengamati hasil kerja gue, yaitu membuat dekor kupu-kupu.
“Sayapnya kegedean, Flo,” Riri mengamati gambar kupu-kupu gue dengan
seksama. Dia memutari gambar yang gue buat.
“Ah, perasaan gue sama aja,” gue memelototi dengan detail sayap kupu-
kupu yang gue buat. “Elo aja yang gambar…,” nyerah gue. Gue menyerahkan
pensil padanya.
“Uh, itu kan susah! Gue nggak bisa gambar, Flo…,” rengek Riri.
“Butuh bantuan?” Reana menawarkan diri. Kebetulan banget! Reana kan
pintar menggambar.
“Bikinin kupu-kupu yang bagus, ya Ren…,” rajuk gue.
“Eits, nggak boleh dibantu!” Misha melipat tangannya di dada berpura-
pura sedang marah.
“Hei, ngapain kumpul di sini semua?” Reon meminta jalan yang sudah
kami blok secara tak sengaja menghalanginya.
“Aku nggak bisa gambar kupu-kupu,” rajuk gue. “Gambarin, dong.” Reon
menaruh gulungan karton-karton di samping Misha.
“Reon!” Misha masih dalam posisi seperti tadi. Reon mengernyit heran,
dia menahan tawanya.
“Lho, kok malah ngumpul-ngumpul?” kali ini Farren yang membawa
gulungan sepanduk tak bisa lewat. Bisa angkat juga dia benda berat itu?
Farren si tersangka kali ini. Sebelumnya kan Reon yang dijadikan
tersangka utama. Sekarang gantian Farren yang menjadi tersangka! Apaan, sih
Flori? Nggak jelas, deh!
121
Farren ikut berjongkok melihat hasil karya gambar gue. “Gambar siapa
ini?”
Gue mendengus. “Gambar gue!”
“Ppuuh!! Ha…ha…ha…ha… Gambarnya miring banget!” ledeknya.
Reon yang berusaha menawan tawanya langsung ikutan tertawa bareng
Farren. Hm, rival yang sangat sulit sekali. Eh, lho kok Farren sebagai rival gue?
“Hei, kalian jangan ngetawain hasil karya Flori, dong!” protes Riri.
Aduh, Riri… Elo memang temen gue yang paling pengertian.
“Memang gambar Flori jelek, tapi kalian kan bisa ketawanya nanti kalau
nggak di deket Flroi. Ayo, kita ketawa di sana aja.” Riri menunjuk sebuah kursi
yang tak jauh dari tempat kami.
Kami semua terpaku. Yang bener aja! Kalau mau ketawa nanti aja di sana!
Sama aja bohong dong! Plis, deh Ri jangan gila, lo…
“Sama aja bohong dudul!” pukul gue. Padahal tadi gue udah seneng,
dikirain ngebela gue.
“Nah, Farren dan Reon ayo kerja lagi,” perintah Misha.
Farren mengangkat spanduk tadi, namun keseimbangan tubuhnya oleng.
Dan Reon berhasil menangkap Farren dengan mesra―Oh, Tuhan apa gue salah
liat?. Farren tersenyum canggung dan dia membawa spanduknya bersama Reon.
Farren menyadari kalau gue sejak tadi melihatnya. Farren lalu
menjulurkan lidahnya dan membuang wajah pada gue.
Ih, keseuuuuuullll!!! Awas aja lo Farren!
“Flo, hapus yang itu,” perintah Misha.
Gue menatap Misha sebal. Tadi saat di atas atap dia begitu baik, sekarang
lagaknya kayak bos aja!
“Kenapa Flo?” Tanya Riri heran.
Gue menggeleng pelan. Huh… Apa otak Riri mampu menelan semua
omongan gue, ya? Gue jadi nggak yakin…
122
* * *
“Elo mau ngomong apa, Flo?” Riri menyeruput es jeruknya.
Gue mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin. Hanya tempat ini saja
yang sepi, biasanya anak-anak sepulang sekolah lebih memilih di ‘Teteh’ atau
‘Abang’.
“Gue rasa ini waktu yang tepat buat gue ngomong hal yang penting banget
ke elo,” gue menatap Riri dengan serius.
“Elo bukannya mau nyatain cinta ke gue, kan?” Tanya Riri bingung.
“Heh, enak aja!” gue memukul Riri pake karton ke kepalanya.
“Terus apaan, dong?” Riri mengusap-usap kepalanya yang sakit.
Gue memberikan buku bersampul biru milik Farren kepada Riri. Riri
memandang buku itu bingung.
“Buat gue? Tapi ulang tahun gue bukan sekarang, Flo,” ujarnya bingung.
“Bukan buat elo! Tapi baca isinya!” kesel gue.
Uh, ini nih susahnya kalau mau kasih tau ke Riri. Anaknya aja udah telmi,
gimana kalau tau kenyataan tentang cowoknya? Bisa gila kali, ya?
“Oh…,” gumamnya pendek. “Flo, gue laper. Gue beli soto dulu, ya?”
Gue mengangguk. Riri berlari menuju stand soto Mang Ayan. Gue
membuka-buka halaman-halaman yang kemarin gue baca-baca. Dilihat dari
manapun semua ini mengundang kecurigaan yang besar. Hm, Detective Flori
harus berhasil memecahkan masalah ini! Semangat, Flori!!
Praanngg!! Suara mangkok pecah! Pertanda jelek sekali pembaca! Siapa
yang menjatuhkannya?
Ternyata yang menjatuhkan mangkok itu Riri. Dan di hadapannya ada dua
cowok yang sepanjang hari ini gue liat. Ada noda kuning―sepertinya itu kuah
soto―membekas di baju cowok sebelah kanan. Sedangkan cowok yang sebelah
kiri mengekspresikan dirinya kaget―sepertinya dia sedang bernasis.
“Maaf , kak…,” Riri mengelap baju cowok yang terkena noda. “Saya
nggak sengaja menabrak kakak,”
123
Cowok yang terkena noda itu langsung menyingkirkan tangan Riri dari
bajunya. “Nggak papa,” ujarnya dingin.
“Tapi, kayaknya nodanya nggak bisa ilang. Gimana dong, kak…?”
keliatannya Riri udah mau ngambek.
Aha! Gue inget sekarang siapa cowok itu. Mereka kakak kelas gue yang
tadi pagi telat dan juga yang Sharen bangga-banggain. Huh, ketemu mereka lagi-
mereka lagi.
Gue menghampiri Riri yang udah mau luber air matanya.
“Yuu, anaknya mau nangis tuh liat tampang elo,” cengenges Remon.
Yuuki tetap bersikap acuh.
“Bajunya saya yang gantiin, deh kak…,” Riri masih tetap merasa bersalah.
Air mukanya udah kacau banget.
“Nggak usah,” tolaknya. Yuuki melengos saja melewati Riri yang masih
bertampang ‘saya tidak bersalah’.
Gue dan Remon terpaku bersamaan. Gue liatin Yuuki membeli tiga botol
Pocari Sweat. Yang satu dia tegak sendiri, yang tengah dia berikan pada
Remon―yang masih bengong bersama gue―yang satunya lagi dia taruh di atas
kepala Riri.
“Kok…?” Tanya Riri heran.
“Buat elo. Sayang gue nggak suka permen buat berhentiin nangis elo itu,”
Yuuki dan Remon berlalu meninggalkan kantin.
“Orang baik…,” mata Riri berbinar-binar setelah diberi minuman oleh
Yuuki.
“Idih…,” gue bergidik ngeri. “Apanya yang orang baik?”
“Dia kasih gue minuman padahal baju dia udah gue kotorin,”
“Yuuki emang baik kok asalnya,” Misha menyembul diantara gue dan
Riri.
Ini anak emang demen banget bikin gue dag-dag dig-dig dug-dug.
“Kata siapa baik?” kata gue sewot.
“Kata gue tadi,” cengenges Misha. “Yuuki Tsuruga itu mantan Reana,”
“HAH??!! MANTAN REANA??” teriak gue dan Riri spontan uhuuy!
124
Misha mengangguk. “Yuu-chan baiiiikkk bangeeetttzzz, kan? Gue dikasih
tau Reana soal ini.”
Riri mengangguk kegirangan. Kepalanya itu bisa mengangguk dalam
kecepatan yang sangat tinggi. Apa dia ini robot, ya?
“Udahlah, nggak usah ngomongin cowok tadi lagi. Btw, lo mau ngapain
ke kantin?” Tanya gue risih melihat mereka berdua yang nggak ada habis-
habisnya mengangguk-angguk mirip pajangan di mobil.
“Ah, gue lupa!” dia memukul keningnya sendiri. “Kalian berdua jangan
pulang dulu. Soalnya Dittan mau adain rapat mendadak,”
Gue dan Riri mengangguk lagi, kali ini nggak pake lama dan keterusan.
Misha lalu pamit pergi duluan menuju lapangan.
“Ri, jangan lupa ini dibaca di rumah,” gue memberikan buku bersampul
biru itu.
Riri menerimanya dan langsung memasukan ke dalam tasnya.
Haaah…, gue harap dia bisa memcahkan kalimat dalam buku itu. Kalau
nggak bisa, nggak akan cocok sebagai partner gila gue. Riri, gue mendo’akan elo
agar elo nggak masuk RSJ secepatnya. Amien!
125
Benarkah Ini Semuanya???
Atau Hanya Mimpiku Semata??
Riri
Flori menghampiriku saat Aku baru saja sampai di depan gerbang sekolah. Farren
sedang memarkirkan mobilnya.
“Udah baca belom?” Tanya Flori langsung.
Aku bengong. Baca apaan? SMS dari Lani yang isinya agar Aku yang
memerankan suara Timun Emas dalam tugas kelompok Bahasa Indonesia? Tapi,
Flori kan berbeda kelompok denganku.
Atau baca majalah Kawanku terbitan yang terbaru? Atau komik baru?
Yang mana, sih???
“Baca apaan?” Aku balik bertanya.
Flori berkacak pinggang dan mendesah panjaaaaaaannnnggg banget!
“Buku yang sampulnya biru!!” gregetnya.
Aku langsung di tarik menuju toilet wanita. Wah, jangan-jangan Flori mau
minta boker sambil Aku bacain buku yang waktu itu Flori kasih ke Aku?
126
“Ngapain ke sini?” Tanyaku bego. Kalau mau ke toilet ya mau pup atau
pipis lah Riri! Jawab suara dalam otakku.
“Buku itu dimana?” Flori tak mengindahkan pertanyaanku.
“Ada. Kalau nggak salah di dalem tas,” Aku mencari buku itu di dalam
tasku.
“Ini!” Flori langsung menarik buku bersampul biru itu. “Elo belom baca
satu kalipun buku ini?”
Aku menggeleng. “Belom,”
“Ah, kan udah gue bilang elo baca buku ini!” jengkelnya.
“Ya udah gue baca aja di sini,” Aku baru membuka halaman pertama
langsung di tutup oleh Flori bukunya.
“Jangan di sini!” peringatnya.
“Emang ada apa, sih sama buku ini?”
“Rahasia!”
“Kalau rahasia kenapa harus gue baca!”
“Ini menyangkut elo tau!”
“Kenapa sama gue?” tanyaku histeris. Jangan-jangan buku itu ditemukan
Flori karena isinya hal yang memalukan tentangku semua?
“Nggak ada papa, sih. Cuma…,” Flori tak melanjutkan kata-katanya lagi.
Bel sekolah yang kali ini menggunakan instrument nyanyian Andra and
The Backbone yang berjudul Musnah. Flori menghentak-hentakkan kakinya kesal.
Ada apa lagi dengan Flori sekarang? Akhirnnya kami berdua masuk kelas
dalam suasana yang suram, mendung, dingin, kaku karena jam pertama adalah
Madam Ntin.
* * *
127
Kemarin, kemarinnya lagi, kemarin-kemarinnya lagi, empat hari yang lalu, satu
minggu yang lalu, Flori selalu menarikku ke toilet untuk membicarakan hal itu.
‘Hal itu’ adalah membaca buku bersampul biru yang Flori berikan padaku.
Hm, Aku penasaran banget kenapa sikap Flori bisa aneh kayak begini.
Waktu Aku tanya penyebabnya itu apa, Flori hanya menjawab ‘Baca bukunya!’
Apakah ada resep rahasia Tuan Krab tentang Krusty Krabnya yang akan
dibuat oleh Flori tercuri? Ah, nggak nyambung bangetz!
Akhirnya setiap sampai di rumah Flori sering meneleponku untuk sekadar
mengingatkan untuk membaca buku itu.
Hm, walau biasanya Aku lupa, akhirnya datang juga… Aku nggak lupa
untuk membaca buku itu. Aku merebahkan diri di kasurku dan tak lupa di
tanganku sudah ada buku bersampul biru itu.
Buku yang warna birunya sduah mulai pudar itu tercium samara-samar
wangi Farren. Kenapa Aku jadi inget dia, ya? HP-ku berdering melantunkan lagu
Alexa yang Jangan Pernah Pergi. Maklum lagu baru yang lagi tenar di kelas.
Kulihat di layar LCD tertampang foto Lani.
“Halo?”
“Ri, inget besok jangan lupa bawa buku cerita rakyatnya,” cerocos Lani.
“Iya, iya nanti gue bawa!”
“Jangan nanti! Sekarang elo masukkin semua buku pelajaran buat besok,
biar elo nggak lupa bawa buku ceritanya,” perintah Lani. Suaranya nyaring
banget!
“Ah, gue males!” keluhku.
“Riri…,” panggil Reana mengangetkan jantungku. Bulu kudukku
langsung berdiri, panggilan yang halus namun mengengkang itu membuatku
takut.
“Iya… Sekarang juga gue masukkin bukunya,” Aku buru-buru
memasukkan semua buku pelajaran untuk besok tak lupa buku cerita rakyatnya.
“Udah…,”
128
“Hm, makasih, ya,” ucap Reana dan Lani bersamaan. Begini nih, yang
namanya sekelompok sama Reana, Lani dan Rico. Semua anak-anak Special
Dengerous class D.
Aku memandangi buku bersampul biru yang tergeletak di atas kasurku.
Ah, nanti aja bacanya habis Aku mandi sabun―ya, iyalah… emangnya mandi
kodok?
Hm, kira-kira apa isi buku itu, ya? Penasaran…
* * *
“Buku apa itu, sayang?” Tanya Mama. Mama seenaknya saja sudah berada
dikasurku dan tidur-tiduran di atasnya.
“Nggak tau,” gelengku. “Flori yang kasih Aku untuk baca itu,”
“Hm, Mama baca, ya?” Mama sudah membacanya ketika Aku ingin
melarang Mama untuk membacanya. Tapi, ya sudahlah…
“Apa ini Riri?!” histeris Mama. Aku langsung menghampiri Mama.
“Apa? Apa?” tanyaku penasaran.
Mama menunjukkan tulisan yang acak-acakkan dan tipis-tipis, tapi masih
rapi. Aku membacanya.
Nama : Farren Arlando Dwiputra
Umur : 11 Tahun
Kelamin : Pria
Sekolah : SD Nusa Bangsa
Alamat rumah : Palem Recidance Blok A/25
Hobi : Maen musik, ngerjain Abang, maen P.S
Makanan Faforit : Aku suka masakan Mama!
Minuman Faforit : Es Jeruk
Yang dibenci : Sepupuku (Flori jelek!)
Yang disukai : Cewek manis.
129
Cewek : Ada, deh. Kalau kamu ketemu dia, kamu pasti naksir juga.
“Ini tulisan Farren waktu masih SD. Ih, lucu banget kayak cacing kremis
yang kepanasan. Apa ceker ayam, ya?” girang Mama.
Yah, kukira apaan. Eh, tapi, lucu juga tulisan Farren saat SMP lebih jelek
dibandingkan tulisanku yang mirip tulisan pallawa.
“Lihat, Ri. Yang disukain Farren itu cewek manis,” Mama menunjuk tepat
pada kata ‘Cewek’.
“Aku kan manis, Ma?” Aku pura-pura bertampang sok imut.
“Ah, kamu kalau kayak gitu kayak orang gila aja,” Mama mencubit
pipiku.
Mirip sama orang gila? Ih, apa Mama nggak tau tampangku ini imuuut
banget kalau berpose seperti ini?
Mama membaca buku itu sambil menahan ketawanya. Kayaknya buku itu
adalah diarynya Farren, wah, Mama menganggu hak privacy cowokku ini.
“Ma, bukunya Aku aja yang baca. Mama nggak boleh!” Aku menarik
paksa buku itu dari tangan Mama.
“Tapi, Mama mau baca bukunya,” Mama nggak melepaskan buku itu.
“Mama ngalah dong sama Aku! Ini buku punya Farren jadi Aku aja yang
baca! Mama baca aja sana punya Papa!”
“Ih, ngapain baca buku punya Papa?”
“Papa juga pasti punya diary kan? Siapa tau Papa tulis-tulis
selingkuhannya di situ!”
Buku yang dipegang Mama terlepas. Hampir saja Aku tersungkur ke kasur
bukan ke meja rias. Mama bergegas keluar kamarku dengan tampang mirip setan.
Kalau udah menyangkut Papa aja baru kecantikan anak mudanya terlepas.
Aku membaca-baca diary Farren dengan tenang. Huh, penganggu udah
pergi jadi tenang sekali membacanya. Lho, kok nggak ada catatan lagi?
Aku membolak-balik catatan selanjutnya. Hampir 10 kertas kosong semua,
tapi ada tulisan yang bagus lagi. Udah berganti tahun rupanya.
November, 15 2005
130
Diary, gue nggak tahan lagi!!
Setiap kali gue lihat dia, gue merasakan ingin peluk dia!
Gue selalu inget sama dia sepanjang hari. Tapi, ini memang
wajar gue alamin, tapi juga ini nggak wajar! Karena gue
menyukai yang bukan kodratnya!
Siapa orang yang ingin Farren peluk, hu?! Aku tonjok dia pake tangan
gue! Eh, ini kan waktu Aku sebelumnya kenal sama Farren. Kulihat lagi
tulisannya dengan seksama.
November, 15 2005
Diary, gue nggak tahan lagi!!
Setiap kali gue lihat dia, gue merasakan ingin peluk dia!
Gue selalu inget sama dia sepanjang hari. Tapi, ini memang
wajar gue alamin, tapi juga ini nggak wajar! Karena gue
menyukai yang bukan kodratnya!
Kodrat? Maksudnya bukan ‘kodratnya’ itu apa? Atau mungkin Farren…
Ah, jangan berpikiran negative thinking dulu, Ri. Terusin bacanya aja!
November, 16 2005
Semakin hari gue bener-bener nggak tahan ingin meluk dia.
Tapi, sayangnya dia udah punya pacar. Gue sedih, tapi gue
nggak menyerah begitu aja. Gue bisa bersama dia melebihi dia
bersama pacarnya, karena kita ‘sama’.
Akhirnya gue undang dia untuk main P.S di rumah gue.
Tapi, hari itu dia nggak bisa dateng karena pacarnya
kecelakaan…Ini semua salah gue…
November, 17 2005
131
Pacarnya masih koma di RS. Dia kayaknya syok berat, gue bisa
liat dari semua air mukanya.
Jelas ini juga termasuk salah gue. Akhirnya gue malah
membuat orang yang gue sukai menjadi murung.
November, 21 2005
Pacarnya udah sadar dari koma. Hanya saja sikapnya menjadi
dingin pada dia. Dia merasa sedih, untuk pertama kalinya dia
menjadi sahabat gue, dia menangis meraung-raung pada gue.
Akhirnya dia menajdi orang yang pesimis dengan cinta.
Tapi, gue bersyukur karena dia akan bersama gue selamanya.
January, 2 2006
Tahun baru kemarin menjadi yang terspesial buat gue. Gue
mengadakan acara panggang-panggang di halamn rumahnya.
Gue suka liat dia udah mulai pulih, tapi gue sedih karena gue
menyukai sahabat gue sendiri.
January, 4 2006
Nggak mungkin!
Perasaan gue bener-bener nampak jelas di mata dia.
Sahabat gue merasa jijik, tapi akhirnya dia mau mengakui gue.
Dia mau menerima gue…
Menerima gue yang seorang guy …
Banyak kata-kata yang Flori garis bawahi untukku. Apa maksudnya ini?
Coba Aku urutkan dengan benar. Ini seperti sebuah teka-teki yang musti Aku
pecahkan!
- Kodratnya
- Sama
- Pacarnya kecelakaan… Ini semua salah gue
132
- Dia akan bersama gue selamanya
- Gue menyukai sahabat gue sendiri
- Menerima gue yang seorang gay…
Hm, kata-kata ini menggannjal sekali. Aku baca berapa kali pun gue nggak
ngerti artinya apaan.
Sampai akhirnya Aku baru sadar pada kata terakhir yang…
- Menerima gue yang seorang gay…
Aku nggak salah baca dan lihat, kan?? Jadi Flori ingin mengatakan bahwa
dirinya seorang gay? Tapi, Flori kan cewek! Eh, bukannya buku ini milik Farren?
Jadi Farren kah yang seorang gay??
Benarkah ini semua?? Atau hanya mimpiku semata karena Aku kelelahan
akibat membantu tugas OSIS? Hah,kuharap jika Aku tidur sebentar ini hanyalh
mimpi. Ya ini hanya mimpi Riri.
Jadi dalam hitungan beberapa detik mari tidur untuk menenangkan jiwa
kita. Tidur, dimulai!
* * *
Mama membangunkanku karena sudah subuh. Berarti dari kemarin sore Aku
bablas tidur dan nggak makan malem?
Mama gimana, sih? Kok nggak bangunin Aku buat makan malam?!
Sepertinya arwahku belum terkumpul semuanya untuk mengatakan itu pada
Mama.
“Kamu udah hidup, Ri?” pertanyaan yang aneh pagi ini kudengar.
Aku mengangguk. “Ma, kemarin Mama baca buku nggak?”
“Baca. Yang bersampul biru itu, kan?” Mama menunjuk buku itu.
133
Wuuuuaaahh!!! Ternyata buku itu benar-benar ada berarti itu semua
bukanlah mimpi semata??
Mendadak badanku menjadi dingin. Masa cowokku adalah seorang ninja
seperti gurunya Rock Lee? Kan namanya Guy?? Ah, itu pasti nggak mungkin.
Jadi yang sebenarnya, cowokku itu yaitu, adalah, dengan kata lain orang yang
menyukai cowok.
Intinya Farren adalah HOMO!!
Benarkah itu semuuuaaa???
Mama memandangku heran. Mataku kini terbuka lebar, dan ini bukanlah
mimpi! Bukan fakta belaka! Oh, Florindong bagaiman nasibku??
* * *
Farren mengibas-kibaskan lengannya di depan wajahku.
“Ada apa?” tanyaku gugup.
“Kamu kenapa?” Farren terlihat cemas.
Oh, Farrenku… Kamu hanya berpura-pura khawatir padaku, kan?
“Aku… nggak papa. Mungkin tegang aja,” Aku mengalihkan
pandanganku keluar kaca.
Farren mengernyitkan alisnya bingung. “Tegang kenapa?”
“Hm, nanti Aku mau kerja kelompok buat tugas Bahasa, dan Aku jadi
pemeran suara Timun Emas,” ucapku terbata-bata.
“Oh, itu. Di kelompokku, Aku justru harus jadi raksasa, makanya kamu
nggak usah tegang begitu,” Farren mengelus-elus pucuk rambutku sedangkan
matanya tetap fokus pada jalan.
“Hm, makasih…,” senyumku lesu.
134
Bukan hanya itu saja Farrenku, yang membuatku merasa tegang. Tetapi
bersamamu yang gay ini membuatku ingin menangis meraung-raung seperti bayi
harimau―ungkapan yang bagus.
Perlakuanmu ini sungguh gentle dan Aku mau dikemanain sama kamu
kalau kamu mau nikah di luar negeri?? Entah kenapa Aku punya pemikiran yang
sama dengan Flori, kalau Farren memang gay pasti mereka akan melaksanakan
pernikahan di luar negeri, karena di Indonesia belom ada yang mengijinkan
seorang gay menikah.
Lagipula Aku nggak bisa membayangkan bagaimana acara pernikahannya.
Siapa yang akan memakai cadarnya?
Hiks…hiks…hiks…Rasanya pingin nangis sekaligus nyanyi.
Karena keadaannya sunyi senyap di dalam mobil Farren,―karena
biasanya Aku selalu mengoceh ini itu pada Farren―Farren menyalakan
radio―karena yang ada di mobil Farren hanya ada CD metaaaalll!!!
Suara penyiar yang riang dan bersemangat membuatku ingin bersemangat
namun tidak bisa. Percuma saja.ah, dan lagu selanjutnya mengeluarkan suara yang
merdu sekali. Oh, tidak yang menyanyikan ini adalah Craig David dengan
Unbelievable. Walau nggak tau apa arti liriknya―Aku nggak pinter berbahasa
Inggris―tapi dari judulnya saja Aku sudah tau kalau artinya adalah tidakdapat
dipercaya.
Hm, Aku malah jadi menikmati lagunya.
Always said I would know where to find love
Always thought I’d be ready and strong enough
But sometimes I just felt I could give up
But you came and you changed My whole world now
I’m somewhere I’ve never been before
Now I see…
What love means…
It’s so unbelievable…
And I don’t wanna let it go it’s something so beautiful
Flowing down like a waterfall I feel like you’ve always been
135
Forever a part of me and it’s so unbelievable
To finally be in love somewhere I never thought I’d be…
Sampai di sekolahpun Aku masih menyanyikan lagu itu. Hm, apa yang
seharusnya mesti Aku lakukan untuk merubah Farren?
136
Remon Atau Reon??
Apaan, sih??
Flori
Saat sampai di dalam kelas. Di pojok dekat dengan bangku Reana, ada warna
hitam pekat yang keluar.
Jelas itu bukan hawanya Reana. Atau hanya mata gue aja yang punya
indera keenam yang bisa melihat itu??
Gue menaruh tas gue, tas Riri yang berwarna pink sudah ada di kursinya.
Lalu ke mana anak itu?
“Cheessee!” sapa Fabian. Muncul dari arah yang tak terlihat oleh mata.
“Cari Ririndong, ya?”
“Cheessee!!” balas gue. “Tau dia di mana?”
Fabian menunjuk ke belakang bangku Reana. Aku mengernyit heran.
“Cheessee!!” Hanum menepuk pundak gue. “PagiFlorisiRirikemanaya?”
tanyanya dengan kecepatan 0,02 detik berbicara. Lihat tulisannya jadi nggak ada
spasinya dan koma.
137
“Gue liat Riri ada di pojok deket bangku Reana,” Fabian yang menjawab
lalu menghilang.
Hm, dasar suneh. Si Hanum juga kabur setelah mendengar kata Fabian.
Jadi yang tadi hitam-hitam di pojok itu si Riri? Ngapain dia di situ?
Oh, may guuuudddhhh! Jangan-jangan dia udah baca lagi buku itu. Cepat-
cepat gue langsung menghampiri Riri dan ternyata dia lagi ngomong sendiri!
“Riri?!” gue bantu dia untuk berdiri. Liat wajahnya jadi kayak Sadako
gara-gara mojok di dekat bangku Reana.
“Gue nggak bisa terima…,” ucapnya sambil bergumam aneh. Wah, ini sih
kesurupan!
“Kalau lo nggak bisa terima, ubah dia jadi semula,” Reana berbicara entah
pada siapa. Posisinya sih, dalam masih keadaan tertidur.
“Tapi, bagaimana caranya?” Riri bertanya pada angin kali, ya? Gue di
cuekin begini.
“Caranya ya usaha, dunk!” Reana berpangku tangan. Matanya seolah
menusuk mata gue. Apa maksudnya?
Dari tadi ternyata Riri berbicara pada Reana, ya? Jangan-jangan dia kasih
tau Reana juga kalau Farren itu…
“Farren gay, benar itu?” Tanya Reana pada gue.
Gue menelan ludah. Rasanya kecekik! “Kata siapa?” dusta gue.
“Kata Riri?” Reana menunjuk Riri yang udah lemas tak berdaya. “Tenang
aja kali, Flo…,” Reana tertawa terkikik.
Ini pertanda baik atau buruk?
“Gue nggak akan kasih tau siapapun. Gue akan bantu lo seperti kasus
sebelumnya!” Reana terseyum bisnis.
Ceritanya jadi terlihat seperti :
Gue : Seorang detective amatiran yang belum pernah memecahkan kasus
satupun!
Riri : Partner gue yang paling payah dan tidak bisa diandalkan.
Reana : Cewek misterius yang sering memecahkan kasus. Entah dia kawan atau
lawan.
138
Gue mengangguk setuju. Gue dan Reana menjabat tangan saling setuju.
Seperti ada kilatan dan bunyi ‘cekrek-cekrek’ di sekitar kami. Iblis melawan
wanita samurai, siapa yang akan menyelesaikan kasus ini terlebih dahulu?
* * *
“Tadi pagi ada apaan, sih?” Tanya Riri. Matanya masih fokus pada pola kupu-
kupu yang gue buat.
Oh, jadi dia lupa kejadian tadi pagi. Padahal dia sendiri yang berbicara
pada Reana secara tidak sadarkan diri dan membocorkan rahasia perusahaan.
“Nggak ada papa,” jawab gue. Saat ini kami berada di podium.
Sesuai dengan rapat dadakan kemarin karena seminggu lagi mid semester
akan dilaksanakan kami harus cepat-cepat menyelesaikan setengah pekerjaan
untuk Pensi.
“Ah, tapi…,”gumam Riri ragu-ragu. “Apa bener Farren itu begitu?”
Gambar gue jadi melenceng. Gue memandang Riri nanar. “Yah, kayaknya
begitu…,” jawab gue nggak pasti.
“Terus apa yang musti kita lakuin?”
“Gue nggak tau,” geleng gue.
Riri mendesah panjang dan gue menerawang jauh menghadapi gambar
gue. Gimana nasib gue selanjutnya, ya? Gambarnya jadi kecoret sama spidol
merah, gue takut Dittan bakalan murka sama gue.
“Cheessee!!” sapa Reana dengan suara yang nyaring.
Gue dan Riri memandangnya dengan lesu. “Cheessee…,”
“Kenapa pade lesuuyy…?” candanya.
Gue dan Riri saling berpandangan dan mengangkat bahu bersamaan.
139
“Ah, pasti soal yang tadi pagi!” Reana berjongkok dan menyuruh kami
agar berdempetan. “Giman kalau nanti pulang sekolah mampir ke rumah gue?
Gue bikinin Orange cake mau?”
Mata gue dan Riri langsung bersinar terang. “Mauuuu!!!” serempak kami.
Reana tersenyum senang. “Kalau menyangkut makanan pasti mau,”
“Ya, iya dunk! Makanan gratis itu harus diterima dengan senang hati!”
ujar Riri bersemangat.
Ternyata ada udang di balik batu. Reana memotifasi kami agar
bersemangat kembali dengan menggunakan makanan. Dasar memang hati iblis-
malaikat. Tapi, karena sifatnya yang seperti itu gue merasa tertolong.
“Jadi nanti kamu nggak Aku anter pulang?” Farren ikut nimbrung diantara
kami.
Iyeh! Orangnya ada di sini??!!
“Sini!” Riri langsung menarik Farren dan segera menjauhkannya.
Sepertinya Riri sedang kasak-kusuk bersam Farren membicarakan sesuatu.
Dari mimik wajah Farren dia terlihat senang lalu sedih, lalu tertawa, lalu agak
marah. Mereka ngomongin apaan, ya?
Riri kembali pada kami dan Farren kembali berkumpul dengan
kerumunan para pekerja cowok.
“Ngomongin apaan?” Tanya gue penasaran.
Riri geleng-geleng kepala. Dia tersenyum sambil menaruh telunjuknya di
bibir. Secret!
“Jadi kita makan Orange cake buatan Reana!!” girang gue.
Yah, para pekerja jangan iri kepada kami yang terlihat senang karena kami
akan makan Orange cake buatan Reana yang tiada duanya.
“Flori…,” ujar suara di belakang gue. “Ini gambar apa, hah?”
Aduh, mak!! Misha mendekatkan gambar kupu-kupu yang tercoret oleh
spidol ke wajah gue. Tampangnya mirip pembunuh!
“So…sory…,”
140
“Nggak ada kata sory! Pokoknya nanti pulang sekolah jangan kabur dulu!
Tunggu gue, ya di sini…,” paksa Misha dia menempelkan pisau mainan ke arah
gue.
Gue mengangguk pasrah. Alamaaaaakkk!!! Gue nggak bisa makan Orange
cake dalam keadaan panas dari oveeeeennnn!!!
* * *
“Tadaima―Aku pulang!!” gue langsung masuk seenaknya aja ke rumah Reana.
“Okaeri―selamat datang!” sambut Reana. Dia masih memakai
celemeknya.
Yuuhuuu!! Ternyata masih sempat gue dateng ke rumah Reana. Setelah
gue mohon-mohon agar Reana menunggu gue selesai menggambar kupu-kupu
yang baru―ini semua karena Misha yang cerewet! Padahal Dittan bilang nggak
papa kalau nggak di perbaikin―tetapi permintaan gue nggak di kabulkan.
“Flo!! Orange-nya belom mateng!!” girang Riri di ruang tamu.
Lho?? Gue terpaku. Kok, di ruang tamu Reana ada cowok yang
kemarin―siapa lagi kalau bukan Remon dan Yuuki―bertemu di kantin maupun
di depan gerbang sekolah.
Gue liat Riri lagi ngobrol asyik bareng Remon.
“Heran, ya?” Tanya Reana yang sudah mengeluarkan Orange cake dari
oven. Gue jadi nggak nafsu makan Orange cake, nih…
Gue mengangguk cepat. “Kok bisa?”
Reana tertawa kecil. “Hari ini Berry pulang ke Jepang, jadi Yuuki sama
Remon yang akan nginep di rumah gue,”
Gue melihat Orange cake lagi dengan nikmat. Kayaknya nafsu gue udah
pulih lagi, Reana memotong Orange cake dengan sama rata. “Oh,” gumam gue.
“Eh, gue yang gede, dunk!”
141
Reana menggeleng. Dia lalu menyeduh milk tea dan memasukkannya ke
dalam cangkir berwarna orange cerah. Hm, baunya sedap dan mantap! Reana
membawanya menuju ruang tamu.
“Wah, baunya enak!!” girang Remon. Kok, sifatnya sama kayak Riri, ya?
“Satu-satu, ya…,” Reana membagikannya satu-satu dibantu dengan
Yuuki.
Ah, gue jadi inget! Kata Misha, Yuuki itu mantannya Reana. Mereka
nampak serasi, ya beda sama Berry.
“Eh, dari tadi gue liat Matsuri-san kok nggak keliatan?” gue celingak-
celinguk mencari sosok Matsuri-san. Siapa tau nanti dia nongol tiba-tiba kayak
Fabian.
“Oh, dia ikut Berry pergi ke kampung halamannya,” yang menjawab tau
nggak siapa pembaca? Yang jawab itu malah Yuuki! Ikut campur aja lagi.
“Kenapa kakak-kakak sekalian ada di sini?” Tanya gue sok sopan tapi
tentu sangat terganggu!
Yuuki menatap gue tajam. Hii!! Syereem bangedh!
“Gue aja yang jawab!” ujar Remon senang. Dia menatap gue lekat-lekat.
“Yuu itu sepupu Berry berarti sama dengan sepupu Reana!”
Hm, penjelasan yang mudah. Gue paling nggak suka sama tipe kayak
Remon ini.
“Oh…,” tanggap gue pendek.
“Nanti Orange cakenya keburu dingin, lho,” peringat Reana.
“Ayayaya…,” gue langsung melahap Orange cake dengan terburu-buru.
“Auw!”
Lidah gue kegigit karena makan terburu-buru. Remon memberikan air
dingin miliknya pada gue.
“Nih, cepet minum!”
Gue meminum air dingin milik Remon takut-takut―takutnya aja dia
memasukkan benda aneh. “Makasih…,” gue menyerahkan gelsnya.
“Kok di kasih minuman elo? Kan ada milk tea punya Flori?” Tanya Riri
heran.
142
Dada gue langsung berdegup. Lho, kok berdegup, sih?
“Kalau minum milk tea nanti dia kepanasan,”
Riri manggut-manggut mengerti. Senyuman Remon yang seperti itu
mengingtkan gue akan Reon.
“Ah, Ren gimana masalah gue?” gue lupa berat! dateng ke sini kan
tujuannya mau merundingkan masalah gue sama Riri.
“Oh, iya gue lupa,” Reana melepaskan celemeknya. “Ayo, ikut gue ke
kamar,”
“Tunggu dulu…,” Riri membawa semua Orange cakenya.
“Kalian jangan nguping, ya. Terus kalau masih mau nambah ambil aja di
oven,”
Remon dan Yuuki saling menatap bingung lalu mengangkat bahu.
Mungkin yang mereka pikirkan adalah ‘Ah, masalah cewek peduli amat’.
“Sekarang mana buktinya kalau Farren memang gay?” Reana
mengulurkan tangannya meminta brang bukti.
“Lo bawa?” gue melirik Riri.
Riri mengangguk dan mengeluarkan isi tasnya. Ih, banyak rempah-
rempahan aneh yang berjatuhan. Apaan tuh?
“Ini bukunya!” Riri menyerahkannya pada Reana. “Baca yang halaman
terakhir,”
Reana mulai membuka lembaran kertas yang sduah bau itu. “Yang tanggal
15 November?”
Gue dan Riri mengngguk bersamaan. Lalu Reana fokus membaca buku itu
dengan serius. Baru kali ini gue liat tampang Reana begini.
“Ternyata memang benar,” ujarnya sokmisterius. “Gue mau pipis…,”
Reana berlari menuju kamar mandi.
Yeh, kirain bener kalau Farren memang homo. Huu… nakutin aja!
Setelah beberapa menit di dalam kamar mandi, Reana keluar dengan
perasaan lega. “Eh, kalau memang Farren homo, apa ada tindakkan dia yang
melenceng ke homo?”
143
Gue mikir-mikir dulu sebentar. Kejadian ini tiga tahun yang lalu, berarti
saat gue masih berada di Jepang. Gue dateng ke rumah Farren setiap 2 kali dalam
setahun. Hm, dari tanda-tanda dia melihat gue, kayaknya dia benci sama gue―ya,
iyalah…gue kan sering jailin dia.
Tapi, ada yang aneh saat dua tahun kebelakang, saat pertama kalinya gue
ketemu sama Reon! Ya, setiap gue dateng kesana pasti Reon selalu ada di
samping Farren. Apa mungkin dari sana awal mulanya?
“Hm, kayaknya dua tahun sebelumnya mereka udah lengket kayak
perangko. Inget kejadian yang lalu? Gue kira Reon dan Farren punya selingkuhan
ternyata nggak kebukti. Lalu buat apa mereka ke sekolah bareng pagi-pagi?”
Reana menulis semua ucapan gue di buku bergambar Dejiko. Lucu banget,
deh.
“Ah, gue juga merasakannya!” Riri mengelap mulutnya yang penuh
dengan rempahan kue. “Inget pertama kali double date?”
Gue mengangguk. “Yang pergi ke Pantai Ancol?”
“Iya! Waktu gue telat yang ada hanya Reon sama Farren karena Flori ke
toilet. Tadinya gue mau mendekati mereka, tapi tiba-tiba Reon membereskan
rambut Farren yang ketiup angin. Pandangan mata keduanya mesra, gue kira itu
wajar.”
“Jadi?” gue memandang Reana penuh harap.
Reana mengetuk-ketukkan pensilnya ke dahinya. “Ternyata Farren
memang patut dicurigai sebagai homo. Gue pikir sekarang kita waspadain aja
mereka berdua,”
“Mereka berdua itu siapa?” Tanya Riri bingung.
“Ya, Farren sama Reon, dong!” jawab gue. Heran deh gue sama Riri,
harus dijelasin berapabanyak biar ngerti?
“Jadi Reon juga?” kagetnya. Yee, ke mana aje kali, buuuu!!!
“Kan udah gue tandain mana yang mencurigakan. Baca dong yang
bener…,”
“Maap atuh…,”
“Eh, gue punya kenalan yang cocok sama kasus ini,” ucap Reana.
144
“Maksud?” Tanya gue dan Riri nggak ngerti.
“Gue punya kenalan yang homo!” jelas Reana dengan tegas.
Kami tercengang. Kok, bisa-bisanya Reana punya kenalan seorang homo?
Pintu kamar Reana diketuk dan menyembul kepala seseorang. Padahal
belom diijinkan masuk.
“Maaf cewek-cewek,” ternyata Remon yang masuk, toh. “Re, Yuu tidur
nih…,”
Reana langsung bangkit dan melangkah keluar kamar tidak dengan
Remon. “Tunggu dulu, ya,” ujarnya sebelumnya.
“Maaf, ya jadi ke ganggu,” Remon memandangi kami dengan pandangan
bersalah. “Pasti lagi ngobrol seru…,”
Tanpa dipersilahkan Remon masuk dan duduk di samping gue. “Lo yang
pacarnya Reon sekarang, ya?”
Gue mengangguk kecil. Males sekali menanggapi perkataannya.
“Kak Remon kok bisa kenalan sama Kak Yuuki?” Riri memberikan
Orange cakenya yang masih tersisa sedikit untuk Remon.
Remon menggeleng. “Panjaaaaaaannnnggg banget ceritanya!” girangnya.
“Kalau Riri kok bisa juga kenalan sama Flori?”
“Panjaaaaannnggg juga ceritanya!!” mereka berdualalu tertawa bersamaan.
Tuh, kan mereka berdua memang benar-benar cocok. “Ah!”
“Ada apa?” Tanya gue kaget.
“Gue mau kebelakang…,” Riri langsung ngacir gitu aja.
Huh, pertanda buruk. Mana, sih Reana? Kok belom dateng juga, gue
nggak mau berduaan sama orang ini.
“Hei, nama lo Flori, kan?” karena keadaan yang sunyi mungkin dia merasa
canggung dan bertanya pad ague. Gue mengangguk. “Dari daerah Jepang
mananya?”
Gue mengernyitkan alis. “Dari Nagoya,” ucap gue singkat.
“Oh,” gumamnya. “Eh, berarti lo kenal sama kuil Tsukimori?”
Kenapa jadi ngomongin kuil, sih? “Iya, itu kuil terkeramat di Nagoya.
Emang kenapa?”
145
“Wuah, berarti kenal sama klan Tsukimori?”
Gue menggeleng. “Nggak tau, tuh! Lagian nggak penting!” acuh gue.
Remon tertawa terbahak-bahak. Emangnya ada yang lucu, ya?
“Padahal klan Tsukimori itu terkenal di Nagoya dan itu nama marga
Reana, kan?”
Gue tercengang. Hah?! Baru tau gue kalau Klan Tsukimori itu
keluarganya Reana. Berarti…
“Kok, bisa tau?”
“Ada, deh…,” dia tersenyum seperti sebelumnya. Senyuman yang
mengingatkanku akan Reon.
“Re…,” gue hampir keceplosan mau ngomong kalau Remon itu Reon.
“Apa?” ternyata dia menyadarinya.
Gue menggeleng cepat. “Bukan, bukan Kak Remon.” panik gue.
Gue mengalihkan pandangan gue dari mata Remon yang beda dari yang
gue liat sebelumnya. Walau sifatnya serampangan, ternyata dia ada miripnya
dengan Reon. Kalau begini terus, gue bisa ke hipnotis!
Gue liat ada benda yang cocok untuk dijadikan sasaran. Album foto
bersampul pink, gambarnya bunga sakura.
“Ah, itu…,” Remon tak melanjutkan lagi kata-katanya. Dia mau ngomong
apa, ya?
Gue buka album foto itu. Ternyata di dalamnya ada foto-foto Reana
dengan… Berry? Rasanya beda dengan Berry, Berry yang ini senyumnya manis.
“Itu…Dia itu bukan Berry,” Remon menunjuk cowok yang gue sangka
Berry. “Namanya Rou, kembarannya Berry dan dia udah meninggal dua tahun
lalu,”
“Ya, ampun…,” lirih gue. Kayaknya salah ambil sasaran, deh…
“Dia juga cowok pertamanya Reana,” cerita Remon. Nada suaranya jadi
sedih.
“Kok, lo tau?” Tanya gue keceplosan lagi. Aduh, bisa-bisa kalau di
samping Remon gue bakalan jadi orang yang keceplosan mulu.
146
Remon tersenyum miris. “Sebenarnya gue kakak Reana,” jelas Remon.
Gue tersontak kaget. “Tapi, gue anak dari selingkuhannya Ibu Reana. Ayah gue
dan Ibu Reana sama-sama berseligkuh dan sebelum Ibu Reana pulang ke Jepang
dia melahirkan gue.”
Uh, melihat raut wajah Remon yang sedih begitu, gue jadi pingin ngehibur
dia. Aduh, pheromone apa yang Remon tebarkan pada gue??!!
“Tapi, setelah Ibu Reana pulang ke Jepang dia seenaknya melupakan Ayah
gue yang sebenarnya cinta berat sama Ibu Reana. Karena Ayah gue ketahuan
selingkuh, isteri Ayah meminta cerai dan sekarang gue hanya berdua dengan
Ayah. Akhir yang menyedihkan,” lirihnya.
“Lo… dendam sama Reana?” Tanya gue takut-takut.
Remon menatap gue lurus tepat di mata gue. Sedikit dalam dada gue
berdegup kencang. “Ya, nggaklah… Itu udah lama banget. Lagipula ngapain gue
dendam sama Reana?”
Entah kenapa gue mau mendengarkan curhatan Remon. Rasanya kalau di
samping Remon serasa sedang bersama Reon.
“Gue yang sekarang lebih menikmati hidup dan menjalankan apa yang
semestinya. Lagian gue sayang banget sama Reana,” Remon tersenyum bahagia.
Mirip sama di tokoh-tokoh komik ekspresinya. “Juga sayang elo…,”
Gue syok! Apa bener yang dikatakan Remon yang tadi? Dia bercanda,
kan? Baru aja bertemu pertama kali, nggak mungkin langsung sayang…
“Ah, lega…,” suara Riri mengagetkan gue. “Kalian lagi ngapain?”
“Em…Lagi liat album foto…,” ujar gue canggung.
Alamak! Gue bisa terpikat langsung sama Remon, nih.
“Wah, udah lama…,” seru Riri. “Hm, sebentar lagi, ya?” Riri memandang
Remon dengan aneh. Apaan, sih yang sebentar lagi?
Remon tersenyum. “Iya, kali ini ada pendatang baru,”
Gue nggak ngerti apa yang mereka omongin. Pintu kamar terbuka, Reana
masuk. Riri segera menaruh album foto tadi di tempat semula gue mengambilnya.
Kenap, sih?
147
“Yuuki udah gue taruh di kamarnya,” ucap Reana aneh. Kok, orang
ditaruh?
“Makasih, ya,” seperti biasa Remon udah kembali normal. “Eh, kalian
udah ada persiapan buat mid semester mendatang?”
Gue tercengang. Bagai kilat mneyambar di sore hari pada gue dan Riri.
Gue lupa kalau bentar lagi akan mid semester. Mampus gue!
Reana menjentrikan jarinya. “Pakai siasat itu!” katanya senang.
Gue, Riri dan Remon bingung. Siasat apaan? Ngmong dari tadi nggak
pada jelas semua!
“Nanti gue SMS kalian, nggak buat lo Remon,” Remon yang cengengesan
jadi muram. Gue dan Riri hanya mengangguk. “Kalau begitu sekarang
PULANG!!” Reana langsung mendepak kami.
Lho, apa-apaan ini? Tanpa perlawanan gue dan Riri udah berada di luar
pagar karena di dorong dengan paksa oleh Reana. Tadi katanya mau bantu!
Kenapa malang ngusir kami!!!
Akhirnya gue dan Riri pulang dalam keadaan yang supel dupel bingung.
Ap rencana Reana?
* * *
Malam harinya gue nggak bisa tidur karena memikirkan kejadian yang terjadi di
rumah Reana.
Ucapan Remon masih terngiang-ngiang di telinga gue. Hm, apa bener itu
perasaan Remon ke gue? Ah, kok gue jadi mikirin Remon, sih?
Gue duduk bersila di kasur sambilmenatap foto Reon yng gue jadikan
poster untuk menemani gue tidur.
“Remon… Atau Reon, ya??”
148
Jadi Itu Rencananya?
Gampang, Tapi maksud!!
Riri
Malam harinya saat Aku hendak bersiap untuk tidur nyenyak, Reana meng-SMS-
ku. Isinya…
Rencn: Cba klian mnta kpd cow klian utk bljar klmpok utk mid
smster. Se X an mencri tw apkh cow klian bnr2 HmO.
From: Little Devil
Aku mengernyit bingung. Hanya ini rencana Reana? Kalau seperti ini Aku
nggak bisa mengetahuinya, kemungkinannya Aku bisa senang karena bisa
bersama Farrenku.
Ada satu SMS lagi yang masuk.
Jgn di bwt bercnda! Rencnakn mlm ini jga dgn cow klian!! Jgn
mnyesal!! Kik…kik…kik… ;p
From: Little Devil
149
Kalimat terakhir Reana menakutkan! Gue jadi nggak berani SMS
Farrenku. Ah, ada yang SMS lagi.
(“)-(“)_.-““-.,/
:’_ _‘: -._, )_
(0_, )’-.__ )’-._)
Ni Q krm bonka khusus bwt Kmu..
Biar Kmu pluk & tdr nyenyak…
Met bo2 Beibs…
From: Honey Bunny Melony Sugary
Um, so sweet! Farrenku mengirim boneka ini untukku!! Senangnya…Ah,
Aku mau membalas SMS-nya sekalian mengajak dia untuk belajar bareng.
To: Honey Bunny Melony Sugary
???????????
?()”*”() Hallo ?
?( ‘0’, ) ini Q!!?
?(,,)=(,,)=====?
Q sngaja pnjat jndela Kmu
Hnya mw blg…Met bo2 jga, beibs.
Bsk Kmu mw bljr brg sm Q gag?
Yups, terkirim!! Sekarang Aku tinggal menunggu balasan dari Farren.
Satu menit telah berlalu. Lima menit. Lima belas menit. Tiga puluh menit. Satu
jam, Aku sudah tertidur pulas. Dan setelah tiga jam lewat dua puluh enam, tiga
puluh empat detik Farren menjawab SMS-ku.
* * *
150
Sekarang Aku sedang berada di rumah Farren.
Rencana Reana yang ternyata menguntungkan Aku ini terlaksana. Belajar
bersama Farrenku sambil berdekatan memang mengasyikan. Tapi, ternyata tidak
hanya ada Aku saja di sini. Ada Reon juga yang sedang membulatkan Materi
untuk mid semester.
Aku kesal! Tadi pagi saat Aku lihat tidak ada SMS jawaban dari Farren,
dia malah menjawabnya setelah kami bertemu di kantin―hari ini Farren tidak
menjemputku lagi―katanya dia tidur lebih dahulu. Padahal Aku dengar, semalam
Farren menelepon Reon sampai jamsebelas malam! Ternyata Farren berbohong ke
Aku!
Lalu Flori juga malah ikutan mengganggu Aku. Padahal udah bagus kalau
hanya berdua. Reana yang mendengar pembicaraanku langsung mengeluarkan
hawa setannya. Aku sama sekali lupa dengan SMS Reana selanjutnya, kalau Aku
nggak boleh sampai main-main dengan rencana Reana.
Haaaaahhh…!! Aku menghela nafas panjang. Farren yang melihatku
menghela nafas dari tadi heran.
“Susah?” Tanya Farren.
Aku menggeleng cepat. Farren memberiku soal-soal Fisika yang muantap
sekali. Tapi, bukan karena itu Aku menghela nafas. Tapi, ke mana perginya Flori?
Kok, lama bener.
“Ren, gue nggak ngerti rumus yang ini,” Reon mendekati Farren
menyerahkan catetan Kimianya.
“Mana?” Farren refleks mendekati Reon.
Aduh, jaraknya deket banget. Dagu Farren mau bersentuhan dengan wajah
Reon. Oh, tidaaaaaaaaaakkkkkkk!!! Flori cepatlah dataaaaaaaaannnnnnggggg!!!
“Sama yang ini,” Reon menunjuk salah satu huruf yang tak terlihat olehku.
“Nggak keliatan,” Farren lebih mendekat pada Reon.
Badannya!!! Badaaannnyyaaa dekeeet bangeeet!!! Aduh, Aku nggak tahan
lagi…
Tiba-tiba Aku meneteskan air mata. Farren yang mendengar isakkan
tangisku kangsung beralih melihatku.
151
“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Farren menyandarkan kepalaku pada
dadanya.
Reon juga terlihat bingung dengan sikapku yang tiba-tiba menangis. Aku
menggeleng cepat. Tangisku belum terhenti juga.
“Soalnya susah?” Tanya Farren. Aku menggeleng.
Farren dubluk! Aku ini nangis bukan karena susah soalnya―tapi, bener
juga, sih―tapi, karena kamu deket sama Reon.
Pintu kamar Farren terbuka, Flori masuk. Dia heran melihatku yang
menangis. “Ada apa, nih?” tanyanya heran.
“Nggak tau,” Farren mengangkat bahunya.
Aku bangkit dan menarik Flori―padahal dia mau duduk sebentar―keluar
kamar Farren.
“Kenapa lo?” mulut Flori langsung Aku bekap.
“Sst! Flori...hiks…,” isakku meluber.
“Jelasin, dong…,” herannya dengan suara kecil.
“Masa…hiks… Tadi Farren keliatan…hiks…Mesra sama Reon…hiks…,”
isakku terbata-bata. Aku… Aku sudah tak sanggup untuk berkata-kata lagi!!
Flori tambah bingung. “Masa, sih?”
Aku mengangguk. Florilalu mengeluarkan HP-nya, mungkin dia ingin
menelepon Reana. Aku nggak begitu dengar apa yang mereka bicarakan, habis
Aku udah… Mana tahan!!!
Aku memandang Flori. Dia sudah selesai menghubungi Reana. “Tenang
aja,” Flori mengusap-usap rambutku dengan lembut.
“Apa yang di omongin Reana?”
“Reana bilang, kita jangan salah sangka dulu. Memang ini yang diharapkn
Reana agar kita bisa mengetahuinya. Jadi elo nggak usah takut.”
Aku mengangguk setuju. Ya! Nggak usah takut! Hadapin aja! Memangnya
Aku anak kecil yang masih suka ngompol! Aku hadapin itu semua!! Ayo, maju!!
“Semangat!” Aku menyemangati diri sendiri.
Flori juga ikutan memberi dirinya semangat! “Yosha!!! Ganbatte
ne―semangat!!”
152
Aku membuka pintu kamar Farren dengan tegang. Seperti mau masuk
dalam acara ‘Akhirnya Datang Juga’. Farren yang terlihat bingung langsung
sumringah saat melihatku sudah baikkan.
“Tadi kamu kenapa?” tanyanya cems.
“Biasa…,” Aku menaruh telunjukku pada bibirnya. Akumembuat kata
tanpa suara dengan gerakan bibir. P…M…S…
Farren mengangguk mengerti. Hh, ternyata rencana semudah ini
menyakitkan juga!
Dasar Little Devil, semakin mendekati hari itu kamu makin ancur aja.
153
Pengintaian Ala Reana
Flori
Reana pernah berjanji.
Dia akan membawa kami menuju tempat kenalannya yang HOMO itu!!
Akhirnya hari itu datang juga. Kami ternyata di bawa ke tempat yang
menyenangkan. Jangan berpikiran yang jelek dulu, dong.
Kami di bawa ke café kecil, tapi terkesan romantis dan menyegarkan. Gue
belom pernah pergi ke tempat ini. Ternyata di kota-kota besar ada juga tempat
yang asri jauh dari polusi udara.
Lain kali gue akan mengajak Remon… Eh, kok malah Remon yang mau
gue ajak? Reon kali… Entah kenapa gue jadi memikirkan si Remon.
Reana membuka pintu café, dan saat kami masuk ada bunyi lonceng.
Ternyata lonceng itu di taruh di atasnya. Café-nya sepi dan ada satu orang yang
menunggu ke datangan kami.
“Guten tag―selamat sore!” sapa Reana pada bartender itu. Kalau dilihat
dari dekat ternyata bartender itu cakeeeep banget!! Jangan bilang cowok ini juga
campuran―kenapa, sih pengarangnya suka bikin orang campuran mulu?―atau
dia kenalan Reana yang homo itu?
154
“Guten tag―selamat siang!” sapanya ramah. Wuah senyumannya juga
maniisss banget, beda sama Remon. Kok, ngomongin Remon lagi? “Tumben
Nona datang kemari,”
Hah?! Apa gue nggak salah denger?! Cowok tadi ngomong ke Reana,
Nona?? Kek…kek…kek… Lutuy banget!
Reana langsung mendelik. Wuaduh! Gue langsung bungkam, bisa mampus
dah gue…
“Di mana Shaga?” Reana memendarkan pandangannya ke segala arah
café.
“Oh, ada di belakang. Shaga!” panggil bartender itu.
Seseorang muncul dari pintu belakang―sumpah nggak keliatan keluar
dari mana―bartender.
“Oh, Reana toh yang dateng ke sini…,” Iyeeee!!! Lagi-lagi cowok cakep
muncul!! Kok, bisa cowok secakep ini adalah seorang gay?? Mending jalan sama
gue aja.
“Hai, udah lama nggak ketemu,” Reana duduk di depan Shaga. Kami
mengikutinya duduk juga.
“Ya, benar,” ternyata senyumannya juga manis sama seperti bartender itu.
Shaga memandangi kami heran. “Siapa?” tanyanya. Dia menunjuk kami dengan
ekor matanya.
“Oh, gue lupa kenalin. Shaga, Roya kenalin ini Flori dan Riri. Flori, Riri
kenalin ini Shaga dan Roya,” kami berjabat tangan dengan kedua cowok cakep
itu.
Hm, tangannya lembut banget. “Re, kapan mau ngomongnya?” Tanya Riri
nggak sabar lagi.
“Iya, bener! gue dating ke sini ada tujuannya. Shaga bisa jelasin ke gue
bagaimana ciri-cirinya cowok guy?” cerocos Reana.
Kedua cowok itu bengong dengan pertanyaan Reana yang nggak nalar itu.
Mereka ketawa terbahak-bahak, bahkan Shaga memukul-mukul meja dengan
keras.
155
“Aneh…,” tawanya masih belom reda. “Ngapain Nona menanyakan hal
seperti itu?”
Wajah Reana merah. “Yah…ada temen gue yang sepertinya seorang gay,”
“Nona…Nona… Anda ini nggak berubah sejak dulu,” Roya mengacak-
acak rambut Reana.
“Baiklah akan kuberitahu…,” Shaga mengeluarkan selembar kertas. “Tapi,
ada syaratnya,”
Kami semua memasang wajah seperti ‘akan kami terima syaratnya
denganmempertaruhkan nyawa kami’. Merekaberdua malah tertawa terbahak-
bahak lagi.
“Syaratnya… Bawa cowok yang banyak ke café ini…,”
Gue tercengang mendengar syarat yang diajukkan Shaga pada kami.
Sumpah, deh… Rasanya baru kali ini gue ketemu sama orang seunik mereka
berdua…
* * *
“Jadi ini ciri-cirinya?” Riri memandangi selembar kertas yang diberikan Shaga
pada Reana.
“Coba gue baca,” gue merebut selembar kertas itu dari Riri.
- Selalu memandangi lawan (cowok) bicaranya tepat di matanya
- Selalu memberikan hadiah
- Mempunyai bau (wangi tubuh, misalnya wangi parfum) yang sama
- Selalu berdekatan (jarak tubuhnya terlalu dempet)
- Mempunyai rahasia berdua
- Suka meneleponnya malam-malam
- Selalu berdua kemanapun pergi
- Tidak malu-malu untuk bersikap over pada korban (yang pastinya cowok)
156
Gue bergidik membacanya. Benar orang setampan Shaga adalah homo?
Kenapa dia tidak menyukai wanita? Kurasa Shaga punya banyak penggemar
cewek.
“Kenapa Shaga bisa menjadi homo?” pertanyaan yang ingin gue tanyakan
pada Reana di serobot duluan oleh Riri.
“Oh, katanya dia benci sama cewek. Waktu dia SMP, Shaga sering
diperebutkan oleh tante-tante kaya untuk nge-date bareng tapi, tiba-tiba tante-
tante kaya itu malah breantem dan hampir menewaskan Shaga. Begitulah…,”
terang Reana.
“Cerita yang menyeramkan…,” ucap Riri gemetar. Kenapa, sih dia? “Gue
pernah merasakan kayak begitu, tapi beda masalahnya aja,”
“Oh, menyenangkan?” ucap Reana sambil tersenyum misterius.
Riri hanya diam mengangguk. “Eh, terus apa yang akan kita lakukan kalau
udah dapet ciri-cirinya?”
“Ya, ampun… Ya, elo tinggal liat aja gelagat Farren bener nggak kayak
yang di sini,” gue melayangkan selembar kertas itu di depan wajah Riri.
“Tapi, elo jangan kayak kemarin lagi. Nanti nangis nggak karuan lagi,”
peringat Reana.
“Yuhuuuuu!!! Gue semangat!!!” riang gue.
Riri ikutan juga berpose bersama gue. “Semangaaaaaatt!!”
“Kalau udah kelar semuanya, rencana selanjutnya akan diganti dan kita
akan memenuhi syarat dari Shaga. Hi…hi…hi…hi…,” Reana tertawa sendirian di
pojokkan. Kesannya kayak dia nenek sihir aja. Dasar Little Devil yang sangat
licik!
Gue dan Riri hanya tersenyum miris melihat tingkah Reana. Semoga
Tuhan membantu kami menghadapi iblis yang satu ini juga cowok kami yang
belom jelas statusnya sebagai orang normal atau… Ya, begitu deh…
Hari kedua pengintaian ala Reana.
157
Kali ini Riri lebih tenang menghadapi situasi Farren yang tak terduga. Gue
juga sebenarnya merasa takut kalau kenyataannya sepupu dubluk gue itu homo.
Yang ada di otak gue sekarang ada tiga bagian yang mesti diselesaikan.
Satu, kenapa gue mikirin Remon terus?
Dua, apa yang mesti gue lakukan untuk mengembalikan sepupu dan
cowok gue untuk kembali ke jalan yang benar.
Tiga, nasib ujian mid semester gue harus bagus. Karena kalau gue nggak
lulus Kakak gue yang melambai akan datang dari Jepang.
Hih!! Yang ketiga itu musti diutamakan terlebih dahulu.
Saat gue secara nggak sengaja memberikan kue yang banyak
rempahnya―sebenarnya ini usul Reana―otamatis Reon akan belopatan
makannya. Gue baru tau kalau Reon ternyata nggak becus makan kue.
Gue sengaja nggak terlalu merhatiin Reon agar Farren yang
melakukannya. Walau Riri udah menyikut perut gue agar membersihkan mulut
Reon dari rempahan kue. Ternyata… Tau nggak pembaca??
Farren sendiri yang membersihkan rempahan kue dari mulut Reon. Oh,
dubluknya!!! Farren malah ngetawain Reon dan mengejekknya, sedangkan
Reon… Oh, dubluknya!!! Dia berwajah malu-malu.
Sekarang tandai ciri-ciri yang diberikan Shaga.
- Tidak malu-malu untuk bersikap over pada korban (yang pastinya cowok)
Ternyata Farren…kau sungguh ter-la-lu!! Sekarang malah gue yang nggak
tahan. Gue lagsung menjatuhkan kepala gue kemeja belajar.
Ow, kening gue sakit!! Mereka semua malah mengira kalau gue nggak
bisa menyelesaikan tugas Geografi―yang sekarang sedang dipelajari. Huh,
padahal gue udah bertekad akan semangat walau apapun yang terjadi.
Akhirnya hari kedua ini, gue yang te-pas! Semoga besok lebih bagus untuk
membuktikan bahwa Farren memang ‘itu’! Gue harus bisa memantapkan diri agar
tidak te-pas lagi!
Hari ketiga pengitaian ala Reana.
158
Karena semakin hari mendekati ujian mid, Farren dan Reon―mereka
juara kelas bintang lima―memberikn kami porsi tugas lebih banyak. Tadinya
hanya lima puluh soal sekarang menjadi seratus soal hanya dalam satu setengah
jam! Apalagi ini soal Fisika!
Yang bener aja! Mentang-menatng gue anak D―kelas D adalah kelas
khusus―bukan berarti otak gue sama khususnya dibanding otak mereka.
Apalagi Riri juga udah keliatan pusing menghadapi semua soal itu.
Gue jadi inget dengan siasat rencana Reana. Gue menanyakan rumus
mencari koefisien muai volume pada Reon. Ternyata Reon juga nggak bisa
memcahkan soal Fisika ini. Dia bertanya pada Farren. Mata Farren begitu lembut
memberitahu yang mana rumusnya. Uh, so sweeett!! Lho, kok gue malah
menggila gini, sih?
Dalam siasat Reana ini kami menemukan dua ciri-ciri. Ini jadi
mengingatkan gue akan kejadian tempo hari saat Riri menangis nggak tahan lagi
melihat mereka yang keliatan mesra.
Gue menandai ciri-ciri itu di bawah kolong agar tidak ketahuan oleh
mereka.
- Selalu memandangi lawan (cowok) bicaranya tepat di matanya
- Selalu memberikan hadiah
- Mempunyai bau (wangi tubuh, misalnya wangi parfum) yang sama
- Selalu berdekatan (jarak tubuhnya terlalu dempet)
Olala!! Gue nggak nyangka ini udah tiga ciri yang Farren tunjukkin sama
gue!! Apa ini tandanya memang Farren positif hamil? Eh, salah maksudnya
positif h…o…m...o…??
Ini lebih gaswat ketimbang yang kemarin. Rasanya gue pingin pisang,
salah pingin pingsan… Entah kenapa Riri berwajah biasa saja. Apa dia udah
menerimanya dengan lapang?
Ternyata salah!!! Roh Riri tidak bersemayam dalam tubuhnya, dia udah
meninggalkan gue sendirian bersama cowok kami yang h…o...m...o...
Oh, no!!!
159
Hari keempat pengintaian ala Reana.
Kemarin kami menangis meraung-raung di depan Reana―sebenarnya di
rumah Reana ada Remon dan Yuuki juga, maluuu banget gue bisa nangis di depan
dia juga. Reana yang berhati malaikat-iblis memberi kami Orange cake yang
sangat enak.
Tapi, yang namanya Reana nggak puas kalau hanya memberi Orange cake
tanpa maksud. Gue dan Riri langsung diberi pelajaran tambahan lagi dengan
diajari Remon dan Yuuki yang super sadis daripada cowok kami.
Sekarang gue tau jalan pemikiran cerita ini. Pengarangnya ingin membuat
kita merasa tersiksa dengan tingkah laku Farren yang homo, lalu kita menangis
pada Reana dan mendapat Orange cake, lalu diajari oleh Remon dan Yuuki
dengan sadis. Bukannya begitu, hu?!
Kata Reana asal lima ciri lagi ditemukan kemungkinannya Farren memang
akan positif guy. Untuk mengetahui ciri selanjutnya, gue menanyakan apakah ada
barang atau sesuatu rahasia yang pernah Farren beri untuk Reon.
Dan Reon mengangguk. Saat dia sedang dilanda depresi akibat sikap
Misha―cerita yang dulu―Farren pernah memberinya buku diary yang membut
dia kembali tersenyum. Lalu saat Reon bosan Farren selalu mengajaknya bermain
P.S.
Atau saat mereka berdua naksir cewek yang sama―gue penasaran sama
yang ini, Farren pernah naksir cewek selain Riri??―Farren mengalah demi Reon.
Atau saat ulang tahun Reon yang hanya dirayakan berdua karena mereka sama-
sama jomblo.
Oh, itu dia ketemu!! Ciri:
- Selalu berdua kemanapun pergi
Kalau diperhatikan mereka adalah dua sahabat yang selalu bersama-sama.
Ke Abang bareng, ke toko musik bareng―saat nggak sengaja ketemu di took
musik setelah nomat, ke studio Bambe bareng, jadi pengurus OSIS juga bareng,
selalu merahasiakan berdua saja. Ah, ketemu lagi! Cirinya ketemu lagi!!
- Mempunyai rahasia berdua
160
Ciri ini udah gue dapatkan sebanyak lima!! Berarti sepupu gue yang
dubluk itu adalah… Oh, tidaaaaakkk!! Bagaimana gue menjelaskannya pada Riri,
keluarga Farren, keluarga Reon bahkan seisi dunia. Lalu apa kata dunia???
Hm, gue mengendus bau yang seperti tercium dari tubuh Reon. Baunya
sama seperti parfum yang sering digunakan oleh Farren!! Tidaaaaakkk!!! Cirri
yang keenam muncuuuulll!!!
- Mempunyai bau (wangi tubuh, misalnya wangi parfum) yang sama
Reana apa yang mesti gue lakukaaaaannnn!!! Sedetik itu juga gue
meninggalkan Reon yang masih duduk di bangku taman rumah Farren dengan
ekspresi bengong.
Oh, no… My Boyfriend and My cousin are gay???
Mimpi apa gue selama ini kalau kenyataannya menjadi seperti saat ini??
161
Farren dan Reon…
Apakah benar kalian seorang Gay??
Riri
Aku kaget!!
Flori mengajakku ke rumah Reana untuk membicarakan ciri-ciri cowok
yang tertarik dengan sesama jenisnya oleh Shaga.
Flori sudah menemukkan enam ciri. Reana bingung menghadapi kami
yang kebingungan ini. Orang bingung ketemu sama orang bingung jadinya apa?
Ya, Aku juga bingung!
Akhirnya Reana membocorkan masalah ini pada Remon dan Yuuki.
Nggak, tidak, ulah, no, nein, jangan, ah lebaiii!! Pokoknya masalah ini jangn
diberitahu pada Yuuki. Aku malu untuk menatap wajah Yuuki―Aku jadi naksir
sama Yuuki sejak peristiwa Farren gay, tapi Aku masih sayang sama Farren.
Remon dan Yuuki ngakak bareng. Kami bingung, yang tadinya bingung
jadi semakin bingung dan bingung. Kata mereka itu nggak masuk akal
banget.mereka berdua lalu meminta kami menunjukkan ciri-ciri cowok yang
tertarik dengan sesama jenis.
162
Baru membaca setengahnya mereka malah ngakak lagi. Aku heran sama
Yuuki, Flori dan Remon bilang, Yuuki itu memang sedingin yuuki―salju. Tapi,
melihat Yuuki yang tertawa lepas bersama Remon ini terlihat natural sekali. Kok,
Aku malah mikirinYuuki?
Ah, intinya Remon sendiri sering membuat rahasia berdua bersama Yuuki.
Misalnya tentang cinta, kebiasaan, kesedihan, kegembiraan. Walau status mereka
sedang berpacaran belum tentu mereka akan memberitahu rahasia mereka pada
ceweknya karena rahasia itu hanya bisa di jamin oleh mereka.
Jadi, wajar aja. Begitu pembaca! Tapi, Flori masih tetap berkutat.
Bagaimana kalau soal saling berdekatan dan memberi perhatian lebih.
Nah, Remon dan Yuuki saling menutup mulutnya. Ternyata hasil
keputusan akhir kami semua mengangap memang ada keanehan pada Farren dan
Reon.
Yuuki juga menelepon Shaga―ternyata Yuuki kenal juga―untuk
menanyakan benar atau tidaknya tindakkan mereka. Ternyata 100% ciri yang
dituliskan Shaga ada benarnya karen menyangkut dirinya sendiri.
Kami diam terpaku sekitar setengah jam. Kulihat Remon memandangi
Flori terus, memang yang paling resah adalah Flori. Tapi, Aku yang sebagai pacar
Farren tidak mampu bertindak apapun juga.
The finally, kami memutuskan untuk menjalankan ini semua sampai kedua
cowok kami mengatakan kata ‘putus’. Kurasa itu tidak mungkin. Karena Aku dan
Farren saling menyayangi begitu juga dengan Flori dan Reon. Namun, apa benar
mereka adalah gay??
* * *
Seminggu telah berlalu. Hari-hari neraka di sekolah sudah terlewati.
163
Semoga kali ini nilaiku nggak ada yang merah-merah. Sudah seminggu
juga kami putus komunikasi dengan cowok kami.
Inginnya, sih menjauh untuk sementara. Tapi, perasaanku nggak tenang.
Baru seminggu saja sudah membuatku kangen berat pada Farren.
I miss him so much. Apa Flori juga berpikiran yang sama denganku?
“Sayang!” Farren memelukku dari belakang membuatku kaget saja.
“Gimana ujiannya?”
“Yah, nggak baik juga nggak buruk,” Aku menikmati pelukkan Farren.
Tumben dia nggak seperti biasanya. Tingkah Farren memang selalu membuatku
kaget saja.
“Aku kangeeeeennn,” manjanya. “Kita jalan, yuk?”
Jalan? Kedengarannya ide yang bangus. Jalan-jalan untuk yang terakhir…
hu…hu…hu…
“Ayo,” ucapku tak bersemangat.
“Kita pergi berdua aja,” Farren masih memelukku. Untung saja yang
lainnya sudah pulang.
Tunggu, tunggu… Aku nggak salah dengar, nih? Farren hanya
mengajakku pergi berdua saja?? Horeee!!! Nggak masalah… untuk
menghilangkan beban sebentar.
Aku mengangguk setuju. Farren berteriak senang. Hm, apa ini akhirnya,
ya?
* * *
Aku berkunjung ke rumah Farren. Alasan Aku berkunjung ke rumah Farren untuk
merundingkan acara jalan-jalanku dengan Farren.
164
Nggak disangka Reon ada di kamar Flori. Kira-kira lagi ngapain, ya
mereka berdua? Aku tadi tidak mengetuk pintu terlebih dahulu, jadi saat masuk
keadaan sudah canggung dan Reon keluar dengan wajah marah??
Jangan-jangan Flori udah ngomong kalau Reon pasangan homo Farren?
“Duduuuuulll!!” Flori melempar boneka pandanya ke kepalaku.
Aku meringis kesakitan. “Siapa yang duduuuulll??” Aku bales melempar
boneka panda Flori.
“Padahal tinggal sebentar lagi…,” gumam Flori.
Apanya yang tinggal sebentar lagi? “Jangan-jangan kalian…,”
Flori mengangguk. Oh, tidak! “Padahal Reon mau cium gue…,” lanjutnya.
Aku langsung lemas. Eh, kirain mau ngapain. “Kirain…,” perutku kok
mendadak sakit begini? Aku langsung bergegas ke toilet yang berada di samping
kamar Farren.
Pintunya ke buka. Ada Farren dan Reon di dalamnya. Mereka sedang
membicarakan sesuatu.
“Gue mau jalan-jalan sama Riri ke tempat itu…,” suara Farren terdengar
kecil. Aku mendekatkan diriku pada pintu agar terdengar jelas pembicaraan
mereka.
“Lo mau bawa dia ke pantai itu?” Tanya Reon.
“Iya, pantai pertama yang kita kunjungin saat acara ulang tahun lo itu,”
“Gue jadi kangen,” Reon mengambil gitar milik Farren.
“Gue ajak Riri ke sana karena gue sayang dia…,” Farren…Aku juga
sayang sama kamu. “Tapi, gue lebih sayang elo Reon…,”
Reon berhenti memainkan gitar. “Gue juga sayang elo melebihi Flori,”
Apa?? Reon sayang Farren melebihi rasa sayangnya kepada Flori. Ini gila!
Dan Aku juga menjadi gila!
Petikan gitar Reon terhenti dan terdengar gitar itu ditaruh. Aku bisa
melihat bayangan dua cowok yang saling… Jangan lihat Riri…Jangan lihat…
Mereka sedang berciuman!
165
Tidak!! Duniaku dan Farren hangus seketika!! Farren… Kamu belom
pernah menciumku tepat di bibir!! Tapi, kenapa sama Reon kamu mau!! Aku
nggak mau ini terjadiiiiii!!!
Aku kabur dari rumah Farren dan tetap menahan hasratku ingin buang air
besar. Gara-gara melihat kejadian itu gue jadi nggak nafsu EE!!
* * *
Akhirnya hari jalan-jalanku tiba.
Farren mengajakku ke pantai Anyer dengan motor Reon, tapi anehnya di
sini sepi banget.
Kami bermain-main dari siang hari sampai sore harinya. Di sini hanya ada
Aku dan Farren saja. Tidak akan ada Reon yang menggangu―kecuali
motornya―kencan kami yang sempurna.
Kami bermain dengan ceria dan bahagia. Mencari bintang―mana ada
bintang siang hari―laut, tapi nggak ketemu, mencari keon, membangun rumah
pasir dan memasak barbeque di sini!!
Oh, ternyata pantai Anyer ini menyatu dengan vila milik keluarga Farren,
makanya kami bisa memasak dengan bebas.
Pokoknya hari ini kami berdua nikmati dengan sangat sangat sempurna
bagaikan layaknya seorang kekasih yang sedang memadu cintanya. Eh, Aku salah
ngomong. Kita berdua kan memang kekasih, nggak usah ungkit deh kejadian
kemaren!
Jangan banyak bacot kalau masih mau hidup! Ngomong sama siapa lo,
Riri?! Sendiri lah…
Semenjak melihat kejadian itu, Aku menjadi gila! Porsi makanku di
perbanyak, tidur lebih cepat―biasanya jam 8 malam sekarang jam 7 malam,
166
berangkat sekolah lebih pagi, otakku lebih pinter dibanding yang lalu. Terus
apanya yang jadi gila? Nggak ada…
“Riri…,” panggil Farren begitu syahdu masuk ke dalam jiwa dan ragaku.
Saat ini kami sedang menikmati sunset yang indah di tepi karang. “Ya,
Farren…,” jawabku selembut mungkin.
“Lain kali kita ke sini berdua lagi, ya…,” Farren menatapku dengan tajam.
Oh, hatiku langsung luluh. “Kalau kita masih bersama…,”
Aku langsung murung. ‘Kalau kita masih bersama’. Benar sekali Farren!
Saat itu mungkin kau akan mendampingi Reon, bukan denganku!
“Kita masih bisa bersama, kok…,” Aku menyenderkan kepalaku pada
bahu Farren.
“Aku sayang kamu…,” Farren mencium punggung tanganku.
Sayang…sayang… Dia bilang di lebih sayang sama Reon daripada Aku…
Air mataku perlahan menetes pelan, lama kelamaan menjadi deras.
“Farren tega…hiks…,” tangisku langsung meledak.
Farren bingung. “Jangan nangis, dong sayang,”
“Hua…huaa…huaaa…Kamu bilang…hiks…Kamu lebih…hiks…sayang
sama Reon…hiks…Dibanding sama Aku!!!” teriakku langsung.
“Nggak, kok…,” dusta Farren. Dasar Farren pembohong!! “Aku lebih
sayang sama kamu daripada sama Reon…,”
Aku memukul-mukul dada Farren. “Bohong!”
Farren tak berusaha menghentikan pukulanku. Kalau Aku lempar
batukarang Farren pasti langsung mati.
“Aku liat kamu lagi ciuman sama Reon!!” ceplosku. “Aku juga udah baca
buku itu kalau kamu ternyata HOMO…!!!!”
Farren semakin bingung. Aku keluarkan semua uneg-unegku di sini
sekarang juga. Akan kubunuh Farren dengan jurus ngedumelku!!
“Aku tau ciri-ciri cowok HOMO. Kamu termasuk dalam itu semua!!
Kenapa kamu malah pacaran sama REON di belakang Aku!! Kenapa nggak
bilang dari awal kalau kamu memang HOMO! Jadi Aku nggak perlu sakit kayak
begini!! Dasar Farren HO…,”
167
Tanganku dicekal oleh Farren. Aku memandang Farren gusar.
“Coba jelasin ke Aku siapa yang HOMO!!!” teriak Farren.
Aku bengong. Farren nggak ngaku jadi homo rupanya. Dia mau berdalih
dari Aku, ya??
“KAMU!!” tunjukku tepat di wajah Farren.
Farren mengernyit heran. Satu…dua…tiga…Farren malah tertawa
terbahak-bahak. Bahkan dia sampai jatuh ke laut dan masih tertawa.
Sebenarnya yang gila sekarang ini Aku atau Farren??
168
Happy Ending…?
Kayaknya masih belom…
Riri
Karena suatu sebab, akhirnya Aku lagi yang menjadi tokoh utama dalam judul ini.
Flori mengundurkan diri karena merasa malu.
Mari pembaca kita mulai lagi.
Setelah tertawa terbahak-bahak sepuasnya, Farren langsung mengebut agar
sampai di rumah. Sebelum pulang Farren memintaku untuk
membangunkannya―kejadian karena dia ketawa sambil gugulingan di air.
Nggak disangka Farren menciumku dengan lembut dalam keadaan dirinya
yang masih basah. Oh, akhirnya first kiss-ku terjadi juga.
Tapi, mengapa Farren menciumku begitu lembut, ya? Padahal dia kan
HOMO!!
Dan Farren menjelaskan kalau dia lebih sayang sama Reon karena mereka
sahabatan, dan soal bayangan mereka ciuman itu ternyata salah. Yang benar,
Farren sedang meniup mata Reon yang terkena debu dari gitar Farren.
Ternyata kami sampai di rumah Farren dalam waktu dua jam lebih dikit.
Hebat, rekor terbaru Farren mengebut di jalanan.
169
Sampai di rumahnya, tanganku masih digenggamnya sampai menuju
kamar Flori. Di kamar Flori ada Reon yang sedang memainkan gitar untuk Flori.
Tentu Flori dan Reon langsung terlonjak kaget karena kedatangan tamu
tak diundang dalam konser Reon untuk Flori seorang.
“Mana buku itu?” Tanya Farren pada Flori.
Flori mengernyit heran. “Buku apaan?”
“Buku yang sampulnya biru. Elo ambil di kamar gue waktu elo ambil
walkman, kan? Mana bukunya!” Farren membentak Flori.
Reon yang melihatnya terlihat marah. “Ngomongnya baik-baik, dong
Ren!”
Aku jadi takut sama situasi kayak begini. Beneran nggak sih, kalau mereka
ini pasangan homo?
“Kenapa lo tau buku itu ada di gue?” Tanya Flori takut-takut.
Aku berlindung diri di belakang Farren. “Dari Riri,” jawab Farren singkat.
Flori mendelik marah ke arahku. “Aduh! Elo kasih tau dia, ya?”
Aku mengangguk pelan. Reon yang melihat tingkah kami, mengernyit
heran. “Hei, jelasin ada apa ini?”
Aku memberikan buku milik Farren pada Farren. Lalu Farren
memberikannya pada Reon. “Inget buku ini?”
Reon memandangi buku itu. “Ya, ampun masih ada ternyata!” serunya
girang.
“Denger. Masa cewek kita menganggap kita ini pasangan HOMO gara-
gara buku ini,” Farren tertawa lagi.
Awalnya Reon tersenyum sumringah, lama-lama dia tertawa terbahak-
bahak bersama Farren. Tawa Reon mirip dengan Yuuki. Mereka berdua kan
setipe, tapi kenapa kalau tertawa rasanya menjadi aneh, ya?
“Lho, ada apa ini?” Kak Renan masuk dianatara kami.
“Kak, liat deh…,” Reon menyerahkan buku Farren.
“Ah, udah lama nggak liat!” ternyata Kak Renan juga tau tentang buku itu.
“Ya, ampun tulisan gue jelek juga dulu,”
170
Aku dan Flori tercengang. Tulisan Kak Renan? Memang itu tulisan Kak
Renan bukannya tulisan Farren? Jadi Kak Renan yang homo?
“Kak Renan homo?” tanyaku keceplosan.
Kak Renan hanya tertwa terkikik-kikik diikuti dengan dua cowok kami.
“Jangan-jangan elo nyangka yang punya buku ini homo?”
Aku dan Flori mengangguk.
Mereka tertawa lebih keras lagi. Dasar cowok-cowok sinting… plis, deh
jelasin artinya ini semua.
“Sebenarnya ini gue yang bikin,” jelas Kak Renan. Tawanya sedikit
mereda. “Karena sahabat ade gue sedih, ade gue pingin sahabatnya itu jadi ceria.
Terus dia minta gue cariin ide gila agar sahabatnya ikutan gila,”
“Hah?” Aku dan Flori hanya bisa cengo saja.
“Gue bikin aja supaya ade gue jadi homo. Terus gue bikin diary yang
isinya tentang kehidupan sahabatnya sebelum dia jadi murung. Nggak nyangka
sahabatnya ade gue langsung ketawa ngekek setelah membacanya,”
Kak Renan tersenyum puas. “Nggak nyangka ada dua orang korban yang
baca buku ini. Berarti gue cocok dong jadi novelis?”
Aku dan Flori sekarang mengerti. Kami berdua tertawa terbahak-bahak.
“Maaf, ya lagi-lagi kami bikin ulah…,” lega Flori setelah tertawa.
“Nggak papa…,” Reon mengusap-usap kepala Flori dengan sayang.
“Kalau cewek kita ini memang suka banget cari sensasi,” Farren juga
mengusap-usap kepalaku dengan lembut.
“Waktu itu kita dikira selingkuh…,” Reon mendesah panjang. “Sekarang
kita dikira homo…,”
Kami tertawa bersama-sama. Entah kenapa sekarang kata homo itu
menjadi hal yang lucu untuk kami.
HP-ku bergetar. Ah, ada satu SMS baru.
“Untung aja yang tau cuma cewek kita aja,” lega Farren.
Wajah Flori langsung pucat. “Mm…sebenarnya…Reana, Kak Remon dan
Kak Yuuki gue kasih tau…,” ucapnya dengan suara kecil.
Mata Farren dan Reon membelalak kaget.
171
“Bukan hanya Reana…,” tambahku. “Tadi Reana SMS Aku…,” suasanya
jadi terasa menegangkan. “Reana udah kasih tau… ke semua anak D…”
Kali ini ukuran mata kedua cowok kami ekstra besar. Mereka langsung
pingsan setelah mendengar kabar buruk dari Reana.
Sebenarnya isi SMS Reana itu begini.
Ri, cba elo blg sm cow klian klo brta’y udh kesebar ke ank2 D.
Bgaimn reaksi cow klian?
Gw tgg jwbn’y.
Go0d luck…
From: Little Devil
Oh, tidak Reana!! Cowok kami langsung pigsan setelah kukatakan seperti
perintahmu!!! Salahkan Reana bukan Akuuuuu!!!
“Ri, bener Reana udah nyebarin?” Tanya Flori dengn mimik yang sangat
pucat. Aku menggeleng. “Reana yang suruh…,”
Kali ini yang pingsan adalah Flori. Aduh Flori…Jangan teler dong…Kak
Renan sama sekali tidak membantuku. Justru dia malah tertawa. Ah, ada SMS
masuk lagi.
Sbner’y gw udh tw klo cow klian ga HmO.
Shaga cm main2 sm klian, lgian Shaga bkn HmO.
Hehehe…100x
Lgian gw udh diksh tw sm Kak Renan.
Weeekkss… ;p
Nkmatin ja, ye…
From: Little Devil
Aku memandang sebal pada Kak Renan yang memainkan HP-nya dengan
riang. Hah…sekarang Aku juga mau ikutan pingsan aja sama mereka.
Ini adalah happy ending yang bagus. Tapi, kayaknya masih belom…
172
Aduh…kenapa nasib kita seperti ini??? Dan untuk selanjutnya apa yang
akan terjadi dengan cowok kami??! Atau malah kami sendiri yang mengalami
kejadian paling buruk???
173
Sinopsis Cerita
Flori dan Riri adalah dua sahabat yang saling pengertian, mereka mempunyai
cowok yang bersahabat baik juga, yaitu Reon dan Farren.
Pada suatu hari tiba-tiba kedua cowok mereka ini mulai jarang mengantar-
jemput mereka. Awalnya mereka sama sekali tidak curiga. Tapi, seorang teman
sekelas mereka bernama Sharen sang ratu gosip melihat kedua cowok Flori dan
Riri sering nongkrong di Coffee Bean Lipo. Apalagi Reana sang malaikat-iblis di
kelasnya beranggapan Reon berniat nyeleweng.
Karena kecurigaan itulah Flori beranggapan kalau cowoknya dan
sepupunya yang tak lain cowok Riri berniat selingkuh dengan Adis dan Misha.
Tetapi, ternyata mereka tidak berniat selingkuh melainkan hanya sedang
mengerjakkan tugas kepengurusan OSIS mereka.
Akhirnya kehidupan Flori dan Riri kembali tenang dan berjalan baik. Tapi,
Flori nggak sengaja menemukan buku sejenis diary milik Farren, yang isinya
bahwa Farren adalah seorang gay???
Kaget dengan kenyataan itu, kali ini Flori dan Riri merencanakan
semuanya dengan teliti dan tak salah langkah lagi bersama Reana. Mereka bahkan
sampai menemui seorang cowok yang ternyata adalah seorang gay!
Dari informasi kenalan Reana tersebut, mereka memulai rencananya.
Ternyata Farren termasuk dalam ciri-ciri cowok yang suka sesama jenis?!
Awalnya Riri syok, namun dia mulai menerimanya. Tapi, saat Farren
mengajaknya jalan-jalan, Riri sudah tak tahan dengan sikap Farren yang seperti
bukan Farren. Riri akhirnya bertanya pada Farren apakah dia seorang gay.
Apa reaksi Farren? Farren tertawa terbahak-bahak dan mengatakan kalau
dia bukan seorang gay begitu juga dengan Reon yang disangka sebagai pasangan
Farren.
Akar semua masalah ini berasal dari Kak Renan yang menulis diary
tersebut. Dan akhirnya lagi Flori dan Riri meminta maaf karena selalu
menyalahkan cowok mereka sebagai tersangka utama dalam kasus kerumitan
cewek-cewek mereka.
174
Biodata Akyuu…
Lahir di kota Tangerang pada tanggal 22 Juni 1992.
Keluargaku terdiri dari ayah, ibu, Aku, dan adik perempuan yang beranjak
dari SD ke SMP. Aku sendiri sekarang naik ke kelas XI IPA di SMA Islamic
Village.
Tinggal di pedalaman kampung Soge (nama yang mengingatkan akan
toge) Kecamatan Kresek Kabupaten Tangerang kode pos 15621. Dijamin nggak
akan ada yang tau tempat ini.
Bisa di sekolah Islamic Village Karawaci karena memang takdirnya bisa
sekolah di sana, selain itu ingin memperdalam ilmu agama. Tinggal di Asrama
Putri Islamic Village, tapi sering pulang kampung setiap hari Jum’at dan datang
hari Senin paginya.
Hobiku membaca komik sekaligus tidur siang yang sudah merutinitas di
asrama. Kadang suka mengganti layout di friendster dan mencari gambar anime
yang keren-keren!! Suka baca komik gratis di Gramedia. Suka jalan-jalan
sendirian di Lipo Karawaci atau Summerecon Mall Serpong, masuk toko ini-itu
nggak jelas. Kadang suka main-main di tempat jemuran atas asrama.
Dari dulu cita-citaku ingin menjadi Dokter anak sekaligus menjadi novelis.
Mudah-mudahan bisa kesampaian lewat jalan pintas. Weits jangan sembarang
mikir yang negative dulu.
Sudah membuat berapa banyak novel, tapi hanya di pikiran. Pernah udah
bikin susah-susah malah kena virus di komputer.
Motto pribadi: Jalani hari dengan santai dan berkesan (ciri khas orang
bergolongan daran B).
Aku harap kalian juga bisa seperti yang kalian inginkan.
Anna Andany Lestari
175
Oh, What Happened With
Our Boyfriends???
176