oleh: amizar isma 109033200035 -...
TRANSCRIPT
DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS;
STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI ACEH DAN
MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Amizar Isma
109033200035
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016 / 1437
ii
DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS;
STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI
ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA
Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Amizar Isma
NIM: 109033200035
Pembimbing,
Dr. Ali Munhanif, M.A
NIP. 196512121992031004
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016 / 1437
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS;
STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI ACEH
DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 Maret 2016
Amizar Isma
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
NAMA : AMIZAR ISMA
NIM : 109033200035
PROGRAM STUDI : ILMU POLITIK
Telah menyelesaikan skripsi dengan judul :
DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI
KHUSUS; STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI
NANGGROE (LWN) DI ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA
(MRP) DI PAPUA
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 4 Maret 2016
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Iding Rasyidin, M. Si Dr. Ali Munhanif, M.A
NIP. 197010132005011003 NIP. 196512121992031004
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
SKRIPSI
DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS;
STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI
ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA
Oleh
Amizar Isma
109033200035
Telah diujikan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Maret 2016. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Pada
Program Studi Ilmu Politik.
Ketua,
Dr. Iding Rasyidin, M. Si NIP. 197010132005011003
Sekretaris,
Suryani, M.Si
NIP. 197702242007102003
Penguji I,
Dr. Haniah Hanafie, M.A
NIP. 196105242000032002
Penguji II,
Drs. Ismadi Ananda, M. Si
NIP. 195209031982031001
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 4 Maret 2016.
Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta
Dr. Iding Rasyidin, M. Si NIP. 197010132005011003
v
ABSTRAKSI
Skripsi ini menjelaskan tentang Dinamika Konflik yang terjadi dalam Otonomi
Khusus, studi perbandingan antaraLembaga Wali Nanggroe (LWN) dan Majlis
Rakyat Papua (MRP) yang ada di Aceh dan Papua. Sebagaimana kita ketahui
konflik yang terjadi di kedua daerah tersebut cukup berkepanjangan dan menjadi
pusat perhatian. Aktor utama dalam konflik tersebut adalah Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang dinamika konflik dalam
konstruksi otonomi khusus; studi perbandingan Lembaga Wali Nanggroe (LWN)
di Aceh dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Papua menggunakan metodelogi
penelitian kualitatif dan menghasilkan data yang deskriptif, yaitu menggambarkan
dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti,
dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan dan persamaan peran,
fungsi dan wewenang sebuah lembaga serta kontestasi politik antar elit tokoh
dalam media sosial. Penelitian ini akan mengkaji lebih jauh mengenai konteks
spesifik dan makro yang telah mendorong terbentuknya kedua lembaga tersebut
yang berguna untuk menjaga dan melestarikan budaya/adat daerah serta menjadi
lembaga penyeimbang antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya. Dan
mencoba untuk menganalisa bagaimana perbandingan dari segi peran, fungsi dan
wewenang bagi kedua lembaga tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan peran dan fungsi antara
LWN dan MRP, akan tetapi kedua lembaga tersebut memiliki keterbatasan pada
aspek pengawasan dan perwakilan dalam menjalankan peran sebagai Lembaga
representasi kultural. Selain itu terdapat juga beberapa perbedaan dalam hal
memberikan pertimbangan, persetujuan, dan perlindungan masyarakat setempat
dalam mengatasi sebuah konflik.
Kata Kunci : Otonomi Khusus (Otsus), Konflik Aceh – Papua, Lembaga Wali
Nanggroe (LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
vi
KATA PENGANTAR
Assalaamu'alaikum Wr. Wb
Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha ESA,
karena berkat karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini
merupakan salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan
program studi Strata Satu (S1) Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul: “DINAMIKA KONFLIK DALAM
KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS; STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA
WALI NANGGROE (LWN) DI ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA
(MRP) DI PAPUA”.
Penulis sangat menyadari akan keterbatasan pengetahuan dan wawasan,
sehingga dalam penyusunan skripsi masih jauh dari sempurna, untuk itu
dibutuhkan kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki penulisan skripsi
ini.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada :
1. Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesabaran dan kesehatan
dalam proses penyusunan skripsi ini.
2. Yang tercinta Bapak (almarhum) Munir Bin Soelaiman dan Mama
Sukatmi tercinta, serta Mbak Era, Adik Linda, Andi dan Rizal, yang selalu
berdoa, sabar dan tidak henti-hentinya memberikan semangat dan
dukungan. Semoga bisa membuat kalian bangga.
3. Skripsi ini ku persembahkan untuk Isteriku tercinta Azza Nikmatuttisaroh
penyempurna tulang rusukku, terima kasih atas motivasi, doa, dan bersedia
menjadi alarm untukku.
4. Dr. Ali Munhanif, M.A selaku dosen pembimbing atas ketulusan hati dan
kesabarannya dalam membimbing, mendukung, dan mengarahkan penulis.
Terima kasih banyak atas bimbinganya.
5. Dr. Iding Rasyidin, M. Si selaku Kajur dan Ibu Suryani, M. Si selaku
Sekjur Ilmu Politik UIN Jakarta, terimakasih atas bantuan dan
masukannya terhadap skripsi ini.
6. Drs. Ismadi Ananda, M. Si dan Dr. Haniah Hanafie, M.A selaku penguji,
terima kasih atas kesediaannya memberikan masukan terhadap skripsi ini.
7. Ir. Fauzi Yusuf, M.M, terima kasih atas bantuan, motivasi dan nasehatnya
selama ini.
vii
8. Keluarga besar Bapak di Aceh dan Keluarga besar Mama di Medan, terima
kasih atas supportnya dan doa yang sangat berharga bagi penulis.
9. Rekan-rekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta khususnya
pada prodi Ilmu Politik angkatan 2009 atas supportnya yang sangat
berharga bagi penulis.
10. Kawan-Kawan HMI Ciputat, Sahabat-Sahabati PMII Ciputat, Rekan-
Rekan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Tangerang Selatan
2014, Cukbang-Cutkak Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA)
Jakarta, Sahabat-Sahabat GP Ansor Kota Tangerang Selatan dan Pengurus
BEMF FISIP masa bhakti 2012, terima kasih atas dukungan semangat dan
keceriaan sahabat-sahabat.
11. Sahabat MataAir Foundation dan Indonesia Youth Forum (IYF), Mas
Idris, Mas Subur, Mas Wari, Kanda Dedi, Om Kemat, Mas Aisol, Om
Ipoenk, yang selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk
mempercepat mengerjakan skripsi ini. Juga terima kasih untuk Rangga,
Adi, Rafsan, Sandi, Ikhsan, Rida, Habibi, Wachid, Nasrul dan Randi. Serta
Teman IMAPA: Rizki, Nazri, Yasir, Fajar, Amah, Dwi, Bisril, Juli, Desi.
12. Terima kasih untuk seluruh dosen dan staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga Allah Swt selalu melimpahkan Rahmat atas kebaikan dalam
membantu penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wbr
Jakarta, 4 Maret 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................................... ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................................. viii
BAB I – PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................................
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................
1.4 Tinjauan Pustaka ............................................................................................
1.5 Kerangka Teoritis dan Konseptual .................................................................
1.6 Sistematika Penulisan .....................................................................................
ix
BAB II – KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
2.1 Teori Konflik
2.1.1 Definisi Konflik ...........................................................................................
2.1.2 Bentuk – Bentuk Konflik .............................................................................
2.1.3 Faktor – Faktor yang Menyebabkan Konflik ..............................................
2.2 Teori Desentralisasi
2.2.1 Definisi Desentralisasi .................................................................................
2.2.2 Bentuk – Bentuk Desentralisasi ...................................................................
2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Derajat Desentralisasi ......................
2.3 Teori Kewenangan
2.3.1 Definisi Kewenangan ..................................................................................
2.3.2 Bentuk – Bentuk Kewenangan ....................................................................
2.3.3 Sifat dan Batasan Kewenangan ...................................................................
BAB III – PEMBENTUKAN LEMBAGA WALI NANGGROE DAN
MAJELIS RAKYAT PAPUA PASCA OTONOMI KHUSUS
3.1 Lembaga Wali Nanggroe (LWN)
3.3.1 Sejarah Pembentukan LWN ........................................................................
x
3.3.2 Landasan Terbentuknya LWN.....................................................................
3.3.3 Peran dan Wewenang LWN ........................................................................
3.3.4 Struktur Kelembagaan LWN .......................................................................
3.2 Majelis Rakyat Papua (MRP)
3.2.1 Sejarah Pembentukan MRP .........................................................................
3.2.2 Landasan Terbentuknya MRP .....................................................................
3.2.3 Peran dan Wewenang MRP .........................................................................
3.2.4 Struktur Kelembagaan MRP ........................................................................
BAB IV - ANALISA PERBANDINGAN DINAMIKA KONFLIK PADA
LEMBAGA WALI NANGGROE DAN MAJLIS RAKYAT PAPUA DALAM
KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS
4.1 Analisa Perbandingan Peran, Wewenang, dan Dinamika Konflik
LWN dan MRP
4.1.1 Peran, Wewenang, dan Dinamika Konflik Dalam LWN ............................
4.1.2 Peran, Wewenang, dan Dinamika Konflik Dalam MRP .............................
4.2 Kontestasi Politik Antar Elit Tokoh dalam Media
4.2.1 Kontestasi Politik Antar ELit Tokoh dalam Media pada LWN ..................
4.2.2 Kontestasi Politik Antar ELit Tokoh dalam Media pada MRP ...................
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang besar, memiliki keanekaragaman budaya
dan suku bangsa. Keanekaragaman tersebut bukan hanya sebagai sumber
kekayaan dan kekuatan yang dimiliki bangsa, tetapi juga sebagai tantangan yang
harus dihadapi secara bijak. Tantangan itu sangat terasa, terutama ketika bangsa
Indonesia membutuhkan kebersamaan dan persatuan dalam menghadapi dinamika
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik berasal dari dalam
maupun luar negeri. Adanya keanekaragaman budaya dan suku bangsa
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam individu yang berkaitan dengan
identitas seseorang, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan
kepentingan, dan perubahan sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap potensi terjadinya konflik sehingga terjadinya
disintegrasi bangsa.
Secara umum penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi
karena rasa tidak puas dan ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber
daya/kekayaan alamnya berlimpah/berlebih, sehingga daerah tersebut mampu
menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang tinggi. Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan
politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari
statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi
2
sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk
primordialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal
ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah
memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar
masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya
sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya
kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.1
Untuk menghindari konflik yang berkepanjangan, maka Pemerintah Pusat
berbenah dengan lapang dada merubah undang-undang yang berhubungan dengan
daerah sehingga terjadinya desentralisasi. Secara umum Indonesia telah belajar
untuk mengimplementasikan desentralisasi terhadap daerah –daerahnya. Dan
salah satu contoh adalah dengan berlakunya undang-undang yang berpihak pada
otonomi daerah dan juga berlaku otonomi khusus bagi daerah Aceh dan Papua
untuk menghindari dan mengakhiri konflik yang berkepanjangan di kedua daerah
tersebut.
Papua dan Aceh adalah dua wilayah yang satu diujung barat dan satunya
lagi diujung paling timur dalam bingkai NKRI. Kedua daerah inilah yang rawan
dan pernah berkonflik seperti adanya gerakan separatis dengan Pemerintah Pusat.
Sebagai pengganti untuk mencengah konflik berkepanjangan tersebut Pemerintah
Pusat memberikan keistimewaan bagi kedua daerah dengan otonomi khusus
Papua dan Aceh. Otonomi khusus memberikan kekhususan dua daerah tersebut
1 Markus Nari, Dinamika Sosial dan Pemekaran Daerah, (Jogyakarta: Penerbit Ombak,
2010,). Hal. 73
3
untuk mengurus dan membuat kebijakan daerah sesuai kehendak masyarakat
daerahnya masing-masing selagi tidak bertentangan dengan kebijakan atau
peraturan yang telah diatur oleh Pemerintah Pusat. Salah satu dari kebijakan
otonomi khusus dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang UUPA Bab XII
tentang Lembaga Wali Naggroe Pasal 96 dan PP RI Nomor 54 Tahun 2004
tentang Majelis Rakyat Papua adalah dengan memberikan keleluasaan bagi kedua
daerah tersebut untuk membentuk lembaga adat. Oleh karena itu Aceh
membentuk lembaga adat yang bernama Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan
Papua bernama Majelis Rakyat Papua (MRP). Kedua lembaga adat inilah yang
memberikan masukan, saran dan pertimbangan untuk Pemerintah Daerah dalam
membuat sebuah kebijakan atau keputusan yang berdampak pada daerah dan
masyarakatnya.
Dengan adanya budaya, pola pikir dan ideologi politik yang berbeda, maka
kedua lembaga adat ini pun menjalankan peran, fungsi, dan wewenang yang
berbeda pula dalam mengawal otonomi khusus di daerahnya masing-masing. Oleh
karena itu maka penulis terinspirasi untuk mengambil tema “Dinamika Konflik
Dalam Konstruksi Otonomi Khusus : Studi perbandingan Lembaga Wali
Nanggroe (LWN) di Aceh dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Papua‖
sebagai judul skripsi.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memperjelas pokok permasalahan dan agar penelitian ini lebih
terarah, maka penulis akan membatasi pembahasan ini pada proses pembentukan
kedua lembaga adat tersebut, perbandingan peran, fungsi dan wewenang serta
4
konflik yang muncul sebagai salah satu point yang merepresentasikan hak-hak
keistimewaan bagi kedua daerah masing-masing. Adapun rumusan masalahnya
dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembentukan, peran, fungsi, dan wewenang Lembaga
Wali Nanggroe (LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP)?
2. Bagaimana Perbandingan Dinamika konflik pada Lembaga Wali Nanggroe
(LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam Konstruksi Otonomi
Khusus di kedua daerah tersebut?
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan :
b. Untuk memahami proses pembentukan Lembaga Wali Nanggroe dan
Majelis Rakyat Papua di Aceh dan Papua.
c. Untuk mengetahui perbedaan peran, fungsi, dan wewenang Lembaga
Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua dalam mengawal konstruksi
otonomi khusus di kedua daerah tersebut.
d. Untuk mengetahui dan memahami dinamika konflik yang terjadi pada
Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua dalam mengawal
konstruksi otonomi khusus di kedua daerah tersebut.
2. Manfaat Penulisan ini adalah :
a. Aspek Teoretis, melalui penelitian ini di harapkan mampu menjadi
sumber informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan
pemahaman terhadap sejarah proses pembentukan dan memahami
5
perbedaan peran, fungsi dan wewenang serta dinamika konflik dalam
Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
b. Aspek praktis, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan yang positif terhadap perkembangan demokrasi di daerah
Papua dan Aceh menyangkut perjalanan dan implementasi kedua
lembaga tersebut.
c. Agar dapat memberikan saran-saran kepada pemerintah terkait
problem solving dari permasalahan implementasi Lembaga Wali
Nanggroe (LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam segi peran,
fungsi dan wewenang serta penyalahgunaan wewenangnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Telah terdapat banyak studi yang mengkaji tentang Papua dan Aceh.
Studi-studi yang membahas mengenai pergerakan politik yang meminta kedua
daerah merdeka, otonomi khusus Papua dan Aceh, pro dan kontra mengenai
simbol-simbol daerah. Seperti dalam buku Ramses Wally, Momentum Reformasi
Politik dan Ekonomi Di Tanah Papua; Refleksi Pasca Otonomi Khusus dan
Impres 2007 (2008).2 Buku ini membahas mengenai integritas dan reformasi
politik dalam otonomi khusus Papua, kewenangan supremasi hukum dalam
pelaksanaan otonomi khusus, transparansi kebijakan ekonomi dan solusi akhir
masa depan Papua yang menuntut untuk bisa mengatur sepenuhnya dalam
mengelola daerahnya sendiri.
2 Ramses Wally, Momentum Reformasi Politik dan Ekonomi Di Tanah Papua; Refleksi
Pasca Implementasi Otsus dan Impres No.5 Tahun 2007, (Jakarta Barat: Cipro Media, 2008)
6
Kajian lain tentang Papua adalah karya Yorris TH Raweyai yang berjudul
Mengapa Papua Ingin Merdeka (2002).3 Buku ini memberi kontribusi amat
penting untuk memahami mengapa Papua ingin merdeka, fenomena-fenomena
yang terjadi bahkan sampai sekarang masih saja adanya kontak senjata antara TNI
dan OPM yang meminta Pemerintah Pusat untuk selalu memperhatikan Papua.
Yang menjadi pertanyaan kini adalah adakah persepsi yang sama antara elite
politik Papua dan masyarakat akar rumput mengenai arti kemerdekaan? Adakah
persepsi, kepentingan dan langkah yang sama diantara tokkoh-tokoh Papua
mengenai kemerdekaan? Jika jawabannya sulit dan tidak, maka fajar kemerdekaan
tak akan merekah di ufuk timur (Papua).4
Kajian lainnya adalah buku dari Agus Sumule, “Satu setengah tahun
OTSUS PAPUA; Refleksi dan Prospek” (2003).5 membahas mengenai evaluasi
dan capaian otonomi khusus yang telah diberikan Pemerintah Pusat untuk Papua,
mencari solusi dan melihat prospek kedepan bagi otonomi khusus Papua.
Dan kajian terakhir mengenai buku “Bouraq-Singa kontra Garuda;
Pengaruh Sistem Lambang dalam Separatis GAM terhadap RI” (2010).6 yang
ditulis oleh Indra Jaya Piliang. Buku ini membahas tentang separatis di Indonesia
3 Yorrys Th Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, (Jayapura: Presidium Dewan
Papua, 2002)
4 Ikrar Nusa Bhakti, “Akankah Fajar Kemerdekaan Papua Merekah di Ufuk Timur
(sebuah pengantar)” dalam buku Mengapa Papua Ingin Merdeka, (Jayapura: Presidium Dewan
Papua, 2002) Hal. x-xix.
5 Agus Samule, Satu Setengah Tahun Otsus Papua; Refleksi dan Prospek, ( Papua:
Yayasan ToPanG, 2003)
6 Indra Jaya Piliang, Bouraq-Singa kontra Garuda; Pengaruh Sistem Lambang dalam
Separatis GAM terhadap RI, , (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010)
7
baik itu pasca kolonial, transisi demokrasi dan identitas kelompok separatis itu
sendiri. Buku ini lebih menitikberatkan pada budaya dan semiotika sebagai pisau
analisa dalam penulisan buku diatas.
Berdasarkan literatur-literatur yang penulis paparkan di atas, maka bisa
dilihat bahwa tidak ada unsur kesamaan antara hasil penelitian penulis dengan
literatur-literatur tersebut.
1.5 Kerangka Teoretis dan Konseptual
Kerangka teori merupakan penguraian yang terdiri dari teori-teori atau isu-
isu yang merujuk pada referensi ahli tertentu maupun berbagai teori-teori yang
nantinya akan mendasari hasil dari penelitian skripsi ini. Teori yang mendasari
penelitian ini adalah Teori Konflik, Desentralisasi, dan Kewenangan.
1. Teori Konflik
Teori konflik memberikan perspektif ketiga mengenai kehidupan sosial.
Berbeda dengan para fungsionalis, yang memandang masyarakat sebagai suatu
keseluruhan yang harmonis dengan bagian-bagian yang bekerjasama bersama
para ahli teori konflik menekankan bahwa masyarakat terdiri diatas kelompok-
kelompok yang terlibat dalam persaingan sengit mengenai sumber daya yang
langka. Meskipun asliansi dapat berlangsung dipermukaan namu dibawah
permukaan tersebut terjadi pertarungan memperebutkan kekuasaan.
8
Istilah konflik secara etimologi berasal dari bahasa latin ‗con‘ yang berarti
bersama dan ‗fligere‘ yang berarti benturan atau tabrakan.7
Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh
hal hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan
mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tapi juga untuk
menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan
sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif
terbatas.8
Jadi konflik adalah benturan atau tabrakan antara satu kelompok dengan
yang lain dalam memperebutkan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau
kelompok.
2. Teori Desentralisasi
Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu
”de” berarti lepas dan “centrum” berarti pusat. Jadi menurut perkataan berasal
dari desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.9 Desentralisasi juga berarti
pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup Pemerintahan Pusat ke
7 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), Hal. 345.
8 Robert lawang, buku materi pokok pengantar sosiologi, (Jakarta: Universitas Terbuka,
1994), Hal. 53.
9 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah ,Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara
DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: PT Alumni, 2004), Hal. 117.
9
Pemerintahan Daerah. Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi.
Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan pengotonomian menyangkut
proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu.10
Menurut Smith dalam Khairul Muluk11
desentralisasi berkaitan dengan
adanya subsidi teritori yang memiliki self government melalui lembaga politik
yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yuridiksinya. Hal ini
dimaksudkan bahwa dalam pemilihan baik tingkat provinsi dan kabupaten/kota
berdasarkan atas daerah pemilihan yang mencerminkan aspirasi rakyat didaerah
pemilihan tertentu.
Terdapat dua jenis desentralisasi, yaitu desentralisasi teritorial dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas
pengaturan termaksud adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah
penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas
pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal Pendidikan
dan kebudayaan, pertanahan, kesehatan, dan lain-lain.12
10
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta:
PT.SinarGrafika, 2008), Hal. 52.
11 Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, (Malang: Bayumedia
Publishing, , 2005), Hal. 8.
12 Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, (Yogyakarta :
Konsorsium pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST ―Press‖, 2000), Hal. 11.
10
3. Teori Kewenangan
Diskursus tentang hubungan pusat dan daerah dalam sebuah pemerintahan
kita akan dihadapkan pada istilah kekuasaan atau wewenang. Kewenangan
memiliki makna yang sama dengan Kekuasaan dalam arti formal karena dimiliki
oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. 13
Hal senada
dikatakan oleh Prajudi Atmosudirdjo yang menyebutkan Kewenangan sebagai
kekuasaan formal dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang
biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan
orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan.14
Istilah kewenangan dan wewenang memiliki perbedaan diantara keduanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia15
disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan wewenang adalah: 1) hak dan kekuasaan untuk berindak; 2) kekuasaan
membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang
lain; dan 3) fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Sementara kewenangan adalah:
1) hal berwenang; 2) hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang
hanya mengenai suatu ―onderdeel‖ (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di
13
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya,
tanpa tahun, Hal. 1.
14 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995),
Hal. 78.
15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), Hal. 1272
11
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).
Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang
pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah
(bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan
memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.16
Menurut teori dari Talcott Parsons dalam buku ―Dasar-Dasar Ilmu Politik‖
(2008, edisi revisi). Prof. Miriam Bodiardjo. Sosiolog Talcott Parsons cenderung
melihat kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan
kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan yang mengikat didukung
dengan sanksi negatif. Kemudian rumusan Talcott Parsons ini diterjemah
bebaskan menjadi sebagai berikut “Kekuasaan adalah kemampuan untuk
menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-
kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika
menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan
melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang
melaksanakan pemaksaan tersebut”.17
Ada beberapa teori yang masih berhubungan erat kaitannya dengan
kekuasaan, yaitu otoritas, wewenang dan legitimasi serta pengaruh. Terdapat
beberapa rumusan terkait teori dari otoritas diantaranya yang dikemukakan oleh
16
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), hal.
22.
17 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), Hal. 63.
12
Robert Bierstedt dalam bukunya An Analysis of Social Power yang mengatakan
―wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang
dilembagakan)”. Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Harold D. Laswell
dan Abraham Kaplan dalam buku Power and Society bahwa “wewenang
(authority) adalah kekuasaan formal‖. Dianggap bahwa yang mempunyai
wewenang berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan
serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.
Sedangkan menurut sosiolog terkenal Max Weber (1864-1922), wewenang terbagi
menjadi tiga, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional-legal.18
Selain konsep wewenang juga dikenal konsep legitimasi atau keabsahan
yang terutama penting dalam suatu sistem politik. Seperti teori A.M. Lipset
mengungkapkan “Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan
mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk
politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu”. Pada umumnya
masyarakat berpendapat bahwa kekuasaan dapat mengadakan sanksi dan
pengaruh.19
Sama halnya seperti yang dikatakan Robert Dall, seorang sarjan
politik terkemuka, dalam ulasannya mengenai kekuasaan yang pertama The
Concept of Power (1957) melihat kekuasaan sebagai konsep pokok dan
mengatakan “A mempunyai kekuasaan atas B sejauh ia dapat menyebabkan B
untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan”. Kemudian dalam
18
Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), Hal. 64.
19 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), Hal. 65.
13
bukunya Modern Political Analysis (1963), Dalh memakai perumusan yang persis
sama dengan yang dipakainya dalam tulisan terdahulu. Namun istilah
―kekuasaan‖ diganti dengan istilah ―pengaruh‖. Dengan demikian definisinya
sebagai berikut “A mempunyai pengaruh atas B sejauh ia dapat menyebabkan B
untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan”.20
1.6 Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe kualitatif.
Prosedur penelitian ini menghasilkan data yang deskriptif, yaitu menggambarkan
dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti,
dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan dan perbedaan dan persamaan peran,
fungsi dan wewenang sebuah lembaga. Penelitian ini akan mengkaji lebih jauh
mengenai konteks spesifik dan makro yang telah mendorong terbentuknya kedua
lembaga tersebut yang berguna untuk menjaga dan melestarikan budaya/adat
daerah serta menjadi lembaga penyeimbang antara pemerintah daerah dengan
masyarakatnya. Dan mencoba untuk menganalisa bagaimana perbandingan dari
segi peran, fungsi dan wewenang bagi kedua lembaga tersebut. Lembaga Wali
Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua Dalam Konstruksi Otonomi Khusus di
Indonesia sebagai studi kasus dalam penelitian ini.
20
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), Hal. 67.
14
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur
dan dokumentasi. Yaitu mencari dan mengumpulkan data mengenai masalah-
masalah yang bersangkutan melalui sumber-sumber bacaan berupa Undang-
Undang Otonomi Khusus, buku, surat kabar, internet dan lain-lain yang berkaitan
dengan objek yang sedang diteliti.
3. Teknik Analisa Data
Adapun teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis, yaitu suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat
gambaran terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara
memberikan interpretasi secara hati-hati terhadap data-data tersebut. Dengan
menggunakan teknik penelitian ini berharap dapat memberikan gambaran yang
sistematis, faktual, aktual, dan akurat mengenai fakta-fakta seputar Lembaga Wali
Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua berupa sejarah pembentukan dan
perbandingan antara perbedaan dan persamaan peran, fungsi dan wewenang.
Untuk pedoman penulisan ini penulis menggunakan buku terbitan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan
Penyusunan Proposal dan Skripi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 sebagai referensi.
1.7 Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab yang akan diuraikan secara ringkas, dari
masing-masing bab sebagai berikut:
15
Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang
menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis dan
sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi tentang kajian konseptual serta penjelasan tentang teori
konflik, teori desentralisasi, dan teori tentang kekuasaan (kewenangan). Mulai
dari definisi, ruang lingkup, serta proses-proses terbentuk dan dinamika dari
perebutan ruang kekuasaan dan wewenang.
Bab ketiga, membahas mengenai proses pembentukan Lembaga Wali
Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua, dirangkum dalam sejarah pembentukan,
Landasan kontitusi, Peran dan Wewenang, susunan atau struktur kelembagaan dan
organisasi Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua.
Bab keempat, dalam bab ini membahas analisa perbandingan yang
mendalam tentang dinamika konflik antara Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis
Rakyat Papua Dalam Konstruksi Otonomi Khusus di Indonesia yang meliputi,
analisa peran, wewenang, dan dinamika konflik Lembaga Wali Nanggroe dan
Majelis Rakyat Papua serta analisa perbandingan kontestasi politik antar elit tokoh
dalam media pada kedua lembaga LWN dan MRP.
Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan, saran dan
kritik berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan proposal skripsi
ini.
16
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
2.1 Teori Dan Definisi Konflik
Konflik adalah gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan social,
sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap
ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja.21
Istilah konflik secara etimologi berasal dari bahasa latin ―con‖ yang berarti
bersama dan ―fligere‖ yang berarti benturan atau tabrakan. Sehingga dapat
diartikan bahwa konflik dalam kehidupan sosial adalah benturan atau tabrakan
kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua
pihak atau lebih.
Sedangkan konflik menurut aspek antropologi, yakni konflik yang
ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua kelompok; baik
berupa perseorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau
mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideology tertentu, satu organisasi
politik, satu suku bangsa, atau satu suku pemeluk agama tertentu yang dapat
terlibat dengan banyak macam bentuk dan ukuran konflik tersebut.22
Sehingga
dapat dipahami pengertian aspek antropologi ini tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan harus secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-
aspek lain yang memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia.
21
Anton Van Harskamp (ed), Konflik-konflik dalam ilmu sosial, (Yogyakarta : Kanisius,
2009), Cet. 5, Hal. 161.
22 Jurnal International Encyclopaedia of The Social Sciences, Vol. 3, Hal. 234-241.
17
Pada dasarnya teori konflik muncul sebagai bentuk reaksi teori
fungsionalisme structural yang dianggap kurang memperhatikan fenomena konflik
sebagai salah satu gejala yang perlu diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Teori konflik merupakan salah satu perfektif dalam sosiologi yang memandang
masyarakat sebagai satu system yang terdiri dari bagian atau komponen yang
mempunyai kepentingan berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha
menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi kepentingannya atau
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Banyak tokoh yang
mencurahkan pemikirannya tentang teori konfik, diantaranya:23
a. Teori Konflik Karl Marx
Ada beberapa pandangan Marx dalam kehidupan sosial yaitu;
1. Masyarakat sebagai arena yang didalamnya terdapat berbagai bentuk
pertentangan.
2. Negara dipandang sebagai pihak yang terlihat aktif dalam pertentangan
dengan berpihak kepada kekuatan yang dominan.
3. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai factor
utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi
(properti), perbudakan, capital yang menimbulkan ketidaksamaan hak
dan kesempatan.
4. Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindas yang digunakan oleh
kaum yang berkuasa demi keuntungan mereka semata.
23
Bernard Raho, SVD, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007), Hal.
71.
18
5. Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang
mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain,
sehingga konflik tak terelakkan lagi.
Melihat pandangan Marx diatas, dapat dipahami bahwa secara umum
pendekatan konflik ini dibagi dua, seperti hal nya Marx memandang masyarakat
terdiri dari dua kelas yang didasari pada kepemilikan sarana dan alat produksi,
yaitu kelas borjuis dan proletar. Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki
sarana dan alat produksi yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal
dalam usaha. Sedangkan proletar adalah kelas yang tidak memliki sarana dan alat
produksi sehingga mereka hanya bisa menjual tenaga (budak/buruh). Maka dapat
diartikan bahwa pandangan Marx tentang teori konflik ini lebih pada konflik
kehidupan sosial ekonomi. Yang punya modal berkuasa sedangkan yang tidak
memiliki modal menjadi buruh/budak dari yang punya modal sehingga sangat
rentan untuk terjadinya konflik karena ketidaksamaan status sosial tersebut.
b. Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Dalam teori konflik ini, Ralf Dahrendorf mengemukakan bahwa
masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangannya, yaitu
kelas yang memiliki kewenangan dominan dan kelas yang tidak memiliki
kewenangan. Karena disetiap kelompok atau asosiasi selalu ada kelompok yang
mempunyai kewenangan dominan dan ada kelompok yang tidak menmpunyai
kewenangan.
19
c. Teori Konflik Jonathan Turner
Jonathan Turner merumuskan kembali proses terjadinya konflik dalam
sebuah sistem sosial atau masyarakat. Pada akhirnya konflik yang terbuka antara
kelompok-kelompok yang bertikai sangat bergantung kepada kemampuan masing-
masing pihak untuk mendefinisikan kepentingan mereka secara objektif dan untuk
menangani, mengatur, dan mengontrol kelompok itu.
d. Teori Konflik Lewis Coser
Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser sering kali disebut teori
fungsionalisme konflik, karena teori ini menekankan fungsi konflik bagi system
sosial atau masyarakat. Coser menekankan bahwa konflik bersifat funsional dan
terarah kepada pengintegrasian teori konflik dan fungsionalisme struktural.
Tetapi, ia juga harus menguraikan akibat-akibat dari keteraturan (order) terhadap
konflik atau keseimbangan.
e. Teori Konflik C. Wright Mills
Mills berusaha menggabungkan perspektif konflik dengan kritik terhadap
keteraturan sosial. Mills yakin bahwa adalah mungkin menciptakan suatu
masyarakat yang baik di atas dasar pengetahuan, dan pembentukan tersebut
merupakan tanggung jawab kaum intelektual percaya pada sosialisme liberal.
Tema-tema yang dibahas khusus oleh Mills adalah hubungan antara alienasi dan
birokrasi dan kekuasaan kaum elite.
20
2.1.1 Bentuk-Bentuk Konflik
Agar dapat memudahkan klasifikasi dalam analisa permasalahannya, kita
dapat melihat dari model, macam dan bentuk-bentuk dari konflik. Sehingga dapat
memudahkan dalam mencari solusi dalam penyelesaian konflik. Adapun bentuk-
bentuknya sebagai berikut24
:
a. Konflik Gender
Gender lebih memperhatikan pada aspek status dan peranan manusia
dilihat dari jenis kelamin. Dalam stuktur masyarakat tradisional istilah gender
tidak memunculkan persoalan yang berpangkal tolak pada status dan peranan.
b. Konflik Rasial dan Antarsuku
Istilah ras sering kali diidentikan dengan perbedaan warna kulit manusia,
di antaranya ada sebagian kelompok manusia yang berkulit putih, sawo matang,
dan hitam. Selain konflik ras ada pula konflik antarsuku, yang setiap saat jika
tidak ditangani secara bijak tidak menutup kemungkinan akan berdampak
disintegrasi bangsa.
c. Konflik Antar-Umat Agama
Agama selain dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas sosial, tetapi
juga bisa menjadi pemicu disintegrasi sosial. Perbedaan keyakinan penganut
agama yang meyakini kebenaran ajaran agamanya, dan menganggap keyakinan
agama lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar-umat agama.
24
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta : Kencana, 2011), Hal. 349-
357.
21
d. Konflik Antar Golongan
Konflik antar golongan diantaranya dipicu oleh satu golongan tertentu
memaksakan kehendaknya kepada kelompok lain untuk melakukan perbuatan
yang dikehendaki oleh golongan tersebut. Adapun di pihak lain, golongan merasa
terampas kebebasanya hingga melakukan perlawanan yang tidak pernah tercapai
kesepakatan di antara golongan tersebut.
e. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan identik dengan konflik politik. Realitas politik selalu
diwarnai oleh dua kelompok yang memiliki kepentingan yang saling berbenturan.
Benturan kepentingan tersebut dipicu oleh gejala satu pihak ingin merebut
kekuasaan dan kewenangan dalam masyarakat, di pihak lain terdapat kelompok
yang berusaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan dan kewenangan
yang sudah ada di tangan mereka.
f. Konflik Antar Pribadi
Konflik antar pribadi adalah konflik sosial yang melibatkan individu di
dalam konflik tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau
pertentangan atau juga ketidakcocokan antara individu satu dengan individu lain.
g. Konflik Antar Kelas Sosial
Konflik antar kelas sosial biasanya berupa konflik yang bersifat vertical,
yaitu konflik antar kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Faktor utama yang
menjadi pemicu konflik biasanya terletak pada perbedaan pendapatan di mana
majikan yang memiliki modal usaha memiliki pendapatan yang besar, sedangkan
para buruh yang hanya memiliki tenaga memperoleh pendapatan yang kecil,
22
sehingga keadaan ini memunculkan isu ketidakstabilan, ketimpangan sosial, dan
sebagainya.
h. Konflik Antar Negara / Bangsa
Konflik antarnegara adalah konflik yang terjadi antara dua negara atau
lebih. Mereka memiliki perbedaan tujuan negara dan berupaya memaksakan
kehendak negaranya kepada negara lain.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Konflik
Akar dari terjadinya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi,
politik yang akarnya merupakan perebutan atas sumber-sumber kepemilikan,
status sosial, dan kekuasaan yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan
pembagian yang tidak merata di masyarakat. Jika disederhanakan, terdapat dua
penyebab konflik yaitu:25
a. Kamajemukan Horizontal
Artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, terdiri
seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara sosial, seperti
perbedaan pekerjaan dan profesi. Akibat dari faktor kamajemukan
horizontal ini dapat menimbulkan konflik yang dikarenakan mempunyai
perbedaan karakteristik yang mendasar dalam kehidupan sehari-hari antara
suku, ras, dan agama dengan yang lainnya. Biasanya dapat menyebabkan
perang saudara bahkan gerakan separatisme akibat konflik tersebut.
25
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta : Kencana, 2011), Hal. 360-
363.
23
b. Kemajemukan Vertikal
Yang dimaksud kemajemukan vertical adalah struktur perbedaan yang
terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Akibat
dari kemajemukan vertical yaitu menimbulkan konflik sosial yang
dilatarbelakangi oleh perbedaan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan atau
wewenang. Biasanya ini sangat rentan terjadi dalam kehidupan kita sehari-
hari.
Selanjutnya, ada sosiolog lain berpendapat bahwa akar dari penyebab
konflik itu terdiri dari:
a. Perbedaan Antar – Individu,
b. Benturan Antar – Kepentingan,
c. Perubahan Sosial, dan
d. Perbedaan Kebudayaan.
2.2 Teori Dan Definisi Desentralisasi
Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu
”de” berarti lepas dan “centrum” berarti pusat. Jadi menurut perkataan berasal
dari desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.26
Desentralisasi juga berarti
pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup pemerintahan pusat ke
pemerintahan daerah. Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi.
26
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah ,Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara
DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: PT Alumni, 2004), Hal. 117.
24
Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan pengotonomian menyangkut
proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu.27
Konsep desentralisasi tidak pernah luput dari polemik antara pihak yang
pro dan kontra. Perdebatan pada tataran konseptual tersebut tidak saja
berimplikasi pada perkembangan konsep desentralisasi, tetapi juga telah
memunculkan kerumitan-kerumitan tertentu dalam memahami konsep
desentralisasi. Kecenderungan ini semakin mencolok sejak dekade 1970-an,
ketika kajian tentang desentralisasi tidak lagi dimonopoli oleh disiplin ilmu politik
dan administrasi negara, tetapi juga telah menarik perhatian disiplin ilmu lain
seperti ekonomi, hukum, sosiologi dan antropologi. Pelbagai disiplin keilmuan ini
telah memberikan kontribusi terhadap kajian desentraliasi dan otonomi daerah.28
Alhasil, konsep desentralisasi dirumuskan dalam bahasa dan idiom yang berbeda-
beda sesuai disiplin ilmu yang mengkajinya.29
Rondinelli dkk. menyatakan bahwa ruang lingkup desentralisasi dapat
dibatasi atau diperluas. Tingkat tanggung jawab dan diskresi dalam pengambilan
keputusan yang ditransfer oleh pemerintah pusat dapat bervariasi, dari hanya
menyesuaikan beban kerja dalam organisasi pemerintah pusat hingga divestasi
semua tanggung jawab pemerintah untuk melakukan segala hal yang sebelumnya
27
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: PT.Sinar
Grafika, 2008), Hal. 52.
28 Diana Conyers, ―Decentralization and Development: A Review of the Literature‖,
dalam Public Administration and Development, Vol. 4, Issue 2 (1984), Hal. 190.
29 Syarif Hidayat, ―Desentralisasi dalam Perspektif State-Society Relation: Rekonstruksi
Konsep dan Pendekatan Kebijakan‖, dalam Tim LIPI, Membangun Format Baru Otonomi Daerah,
(Jakarta: LIPI Press, 2006), Hal. 67-68.
25
dianggap sebagai fungsi-fungsi sektor publik. Rondinelli dkk. kemudian
mengklasifikasikan desentralisasi berdasarkan bentuk dan jenis. Bentuk
desentralisasi diklasifikasikan berdasarkan tujuannya, yakni desentralisasi politik,
spasial, pasar dan administratif. Setiap bentuk ini dikategorikan ke dalam empat
jenis, yakni dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi.30
Namun seiring
perluasan konsep pemerintahan, Rondinelli dkk. memodifikasi konsep, tujuan,
dan bentuk-bentuk desentralisasi. Cheema dan Rondinelli menyatakan,
―desentralisasi tidak hanya meliputi pengalihan kekuasaan, wewenang, dan
tanggung jawab dalam pemerintahan, tetapi juga pembagian kewenangan dan
sumber daya untuk membentuk kebijakan publik dalam masyarakat.‖ Dalam
konsep pemerintahan yang telah mengalami perluasan ini, Rondinelli dkk.
mengkategorikan praktik desentralisasi ke dalam empat bentuk: administratif,
politik, fiskal, dan ekonomi.31
Berbeda dengan Rondinelli dkk., Treisman mendefinisikan desentralisasi
sebagai struktur. Treisman menekankan bahwa tingkat desentralisasi adalah
sistem karakter (character system); ini adalah tentang bagaimana sebuah sistem
30
Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis dan G. Shabbir Cheema, Decentralization in
Developing Countries: A Review of Recent Experience, World Bank Staff Working Paper No. 581,
Management and Development Series No. 8, (Washington, D.C.: World Bank, 1983), hal. 14.
Lihat juga Dennis Rondinelli, Decentralizing Urban Development Programs: A Framework for
Analyzing Policy, (Washington, D.C.: USAID, Office of Housing and Urban Programs, 1990),
Hal. 9-15.
31 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to
Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing
Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,
2007), Hal. 6.
26
pemerintahan diatur.32
Menurut Treisman, badan pemerintahan terdiri dari
legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang memiliki fungsi sendiri dalam sistem
pemerintahan. Masing-masing badan ini memiliki yurisdiksi yang dapat
didefinisikan dalam hal populasi atau wilayah. Yurisdiksi badan legislatif
mencakup ―a set of points in space within the laws that it passes have legitimate
force.‖ Yurisdiksi badan eksekutif mencakup ―a set of points in which it has the
right to implement and enforce laws.‖ Sementara yurisdiksi badan yudikatif
mencakup ―a set of point within which cases that originate are heard by it.‖33
Setiap yurisdiksi terdiri dari sejumlah tingkatan.34
Pendekatan ini disebut
desentralisasi.
Menurut Mawhood, desentralisasi adalah proses pembagian sebagian
kekuasaan pemerintahan oleh kelompok penguasa pusat dengan kelompok
lainnya, masing-masing memiliki kewenangan dalam area tertentu dari negara.
Hal ini juga menunjukkan adanya struktur politik formal, yang mencakup suatu
wilayah definitif yang mewakili kepentingan lokal serta kepentingan penguasa
pusat. Pembagian kekuasaan lokal yang dialokasikan untuk lembaga-lembaga ini
dilindungi oleh aturan formal dan normatif yang diterima oleh pusat.35
Hal senada
32
D. Treisman, Decentralization and The Quality of Government, (Los Angeles:
University of California, 2000), Hal. 5.
33 D. Treisman, Decentralization and The Quality of Government, (Los Angeles:
University of California, 2000), Hal. 3.
34 D. Treisman, Decentralization and The Quality of Government, (Los Angeles:
University of California, 2000), Hal. 22.
35 P. Mawhood (ed.), Local Government in The Third World: The Experience of Tropical
Africa, (Chicheser: John Wiley & Sons, 1987), Hal. 4.
27
juga dikemukakan oleh Smith, yang mendefinisikan desentralisasi sebagai
―pendelegasian kekuasaan ke tingkat yang lebih rendah dalam sebuah hirarki
teritorial, baik hirarki tersebut adalah salah satu pemerintahan dalam suatu negara
atau kantor dalam suatu organisasi berskala besar.‖36
2.2.1 Bentuk-Bentuk Desentralisasi
Sebagaiman telah dikemukakan bahwa terdapat beberapa jenis
desentralisasi yaitu, desentralisasi politik, desentralisasi administrasi,
desentralisasi fiskal, dan desentralisasi ekonomi dan pasar.
a. Desentralisasi Politik
Desentralisasi politik mencakup organisasi dan prosedur untuk
meningkatkan partisipasi warga dalam pemilihan wakil-wakil politik (political
representatives) dan pembuatan kebijakan publik; perubahan struktur pemerintah
melalui pelimpahan kekuasaan dan wewenang (devolution of powers and
authority) kepada unit-unit pemerintahan lokal; lembaga pembagian kekuasaan
dalam negara melalui federalisme, federasi konstitusional, atau daerah otonom;
dan lembaga dan prosedur yang memungkinkan kebebasan berserikat dan
berpartisipasi organisasi-organisasi masyarakat sipil (civil society) dalam
pengambilan keputusan publik, memberikan pelayanan sosial yang bermanfaat,
dan memobilisasi sumber daya sosial dan finansial untuk mempengaruhi
36
Brian C. Smith, Decentralization: The Territorial Dimension of The State, (London: G.
Allen & Unwin, 1985), Hal. 1.
28
pengambilan keputusan politik.37
Desentralisasi politik kerap dikaitkan dengan
politik pluralistik dan pemerintahan perwakilan (representative government),
tetapi ia juga dapat mendukung demokratisasi dengan memberikan kepada warga
atau perwakilan mereka pengaruh lebih besar dalam perumusan dan pelaksanaan
kebijakan. Dari perspektif prinsip-prinsip demokrasi, desentralisasi berarti
pembagian kekuasaan (distribution of powers) antara pemerintah terpilih (elected
authorities). Artinya, keputusan rinci hanya mungkin dibuat oleh perwakilan lokal
dari kekuasaan lokal, meskipun selalu dalam pedoman kebijakan, dan mungkin
pengaturan dana, yang diarahkan oleh pusat.38
Para pendukung desentralisasi
politik menganggap bahwa keputusan yang dibuat dengan partisipasi yang lebih
besar akan lebih baik dan relevan dengan beragam kepentingan dalam masyarakat
daripada yang dibuat hanya oleh otoritas politik nasional. Konsep ini menyiratkan
bahwa pemilihan wakil-wakil dari yurisdiksi pemilihan lokal memungkinkan
warga untuk mengetahui lebih baik perwakilan politik mereka dan memungkinkan
para pejabat terpilih untuk mengetahui lebih baik kebutuhan dan keinginan
konstituen mereka. Desentralisasi politik seringkali memerlukan reformasi
konstitusi atau undang-undang, pengembangan partai politik pluralistik,
37
G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to
Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing
Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,
2007), Hal. 7.
38 David Robertson, A Dictionary of Modern Politics, 2
nd Edition, (Rochester, Kent:
Europa Publications, 1993), Hal. 125.
29
penguatan legislatif, penciptaan unit politik lokal, dan dorongan kelompok-
kelompok kepentingan publik yang efektif.39
b. Desentralisasi Administratif
Desentralisasi administratif mencakup dekonsentrasi struktur dan birokrasi
pemerintah pusat, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat
kepada badan-badan negara semiotonomi, dan kerjasama badan-badan pemerintah
yang melakukan fungsi serupa melalui pengaturan ―kembar‖ melintasi perbatasan
nasional.40
Desentralisasi administratif berusaha mendistribusikan wewenang,
tanggung jawab dan sumber daya keuangan untuk menyediakan pelayanan publik
di antara berbagai tingkat pemerintahan. Ini adalah pengalihan tanggung jawab
untuk perencanaan, pembiayaan dan pengelolaan fungsi publik tertentu dari
pemerintah pusat dan badan-badannya ke unit-unit lapangan instansi
pemerintahan, unit-unit bawahan atau tingkat-tingkat pemerintahan, otoritas
publik semi-otonom, otoritas regional atau fungsional. Pelbagai sub-sistem
tersebut mungkin merupakan unit teritorial (federalisme) atau badan yang berdiri
sendiri. Desentralisasi jenis ini didasarkan pada prinsip subsidiaritas dan
39
Jenny Litvack dan Jessica Sheldon (eds.), ―Decentralization: Briefing Note‖, World
Bank Institute, 2005, hlm. 1, dalam
http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses 15 Januari 2015; Ine
Neven, ―Background Paper on Decentralization‖, Contribution to Cost-Action E19 National Forest
Programmes in the European Context, dalam http://www.metla.fi/eu/cost/e19/neven.pdf, diakses
21 Januari 2015; A. Schneider, ―Decentralization: Conceptualization and Measurement‖, dalam
Studies in Comparative International Development, Vol. 38, No. 3 (2003), Hal. 39.
40 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to
Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing
Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,
2007), Hal. 6-7.
30
dimaksudkan untuk menciptakan birokrasi yang efisien, efektif dan rasional.41
Desentralisasi administratif memiliki tiga jenis utama, yakni dekonsentrasi,
delegasi, dan devolusi—masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Ketiga
jenis desentralisasi administratif ini dalam perkembangan juga diberlakukan ke
dalam bentuk-bentuk desentralisasi yang lain.
c. Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal adalah pengalihan tanggung jawab finansial ke
pelbagai level pemerintahan. Tanggung jawab finansial adalah komponen inti
desentralisasi. Jika pemerintah daerah dan organisasi swasta hendak
melaksanakan fungsi desentralisasi secara efektif, mereka harus memiliki tingkat
pendapatan yang memadai—baik diperoleh secara lokal atau ditransfer dari
pemerintah pusat—maupun otoritas untuk membuat keputusan tentang
pengeluaran. Desentralisasi fiskal dapat mengambil banyak bentuk, antara lain: (a)
pembiayaan sendiri (self-financing) atau cost recovery melalui retribusi; (b)
pengaturan pembiayaan atau produksi bersama (co-financing or co-production) di
mana pengguna (users) berpartisipasi dalam memberikan pelayanan dan
infrastruktur melalui kontribusi keuangan atau tenaga kerja; (c) perluasan
pendapatan daerah melalui properti atau pajak penjualan atau biaya tidak
langsung; (d) transfer antar pemerintah yang menggeser pendapatan umum dari
41
Jenny Litvack dan Jessica Sheldon (eds.), ―Decentralization: Briefing Note‖, World
Bank Institute, 2005, hal. 1, dalam
http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses 15 Januari 2015; Ine
Neven, ―Background Paper on Decentralization‖, Contribution to Cost-Action E19 National Forest
Programmes in the European Context, dalam http://www.metla.fi/eu/cost/e19/neven.pdf, diakses
21 Januari 2015; A. Schneider, ―Decentralization: Conceptualization and Measurement‖, dalam
Studies in Comparative International Development, Vol. 38, No. 3 (2003), Hal. 39.
31
pajak yang dihimpun oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
keperluan umum atau khusus; dan (e) otorisasi pinjaman kota dan mobilisasi
sumber daya pemerintah nasional maupun lokal melalui jaminan pinjaman (loan
guarantees).42
Desentralisasi fiskal meliputi sarana dan mekanisme kerjasama
fiskal dalam pembagian pendapatan publik di antara semua tingkat pemerintahan;
delegasi fiskal dalam meningkatkan pendapatan publik dan alokasi pengeluaran;
dan otonomi fiskal bagi negara, daerah, atau pemerintah lokal.43
d. Desentralisasi Ekonomi Atau Pasar
Desentralisasi ekonomi atau pasar adalah pengalihan tanggung jawab
fungsi-fungsi dari publik ke sektor privat melalui privatisasi dan deregulasi.
Desentralisasi ekonomi memungkinkan fungsi yang sebelumnya merupakan
tanggung jawab utama dan eksklusif pemerintah untuk dilaksanakan oleh bisnis,
kelompok masyarakat, koperasi, asosiasi sukarela swasta, dan organisasi non-
pemerintah lainnya. Privatisasi dan deregulasi biasanya disertai dengan liberalisasi
ekonomi dan pengembangan kebijakan pasar.44
Dengan kata lain, desentralisasi
42
Jenny Litvack dan Jessica Sheldon (eds.), ―Decentralization: Briefing Note‖, World
Bank Institute, 2005, Hal. 3, dalam
http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses 15 Januari 2015; Ine
Neven, ―Background Paper on Decentralization‖, Contribution to Cost-Action E19 National Forest
Programmes in the European Context, dalam http://www.metla.fi/eu/cost/e19/neven.pdf, diakses
21 Januari 2015; A. Schneider, ―Decentralization: Conceptualization and Measurement‖, dalam
Studies in Comparative International Development, Vol. 38, No. 3 (2003), Hal. 36.
43 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to
Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing
Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,
2007), Hal. 7.
44 Jenny Litvack dan Jessica Sheldon (eds.), ―Decentralization: Briefing Note‖, World
Bank Institute, 2005, Hal. 4, dalam
http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses 15 Januari 2015; Ine
32
ekonomi meliputi liberalisasi pasar, deregulasi, privatisasi BUMN, dan kemitraan
publik-swasta.45
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Derajat Desentralisasi
Desentralisasi mempunyai nilai hanya bila dapat membantu organisasi
mencapai tujuannya dengan efisien. Penentuan derajat desentralisasi sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Filsafat Managemen
Banyak manager puncak yang sangat otokratik dan menginginkan
pengawasan pusat yang kuat. Hal ini akan mempengaruhi kesedian
managemen untuk mendelegasikan wewenangnya.
2. Ukuran Dan Tingkat Pertumbuhan Organisasi
Organisasi tidak mungkin efisien bila semua wewenang pembuatan
keputusan ada pada satu atau beberapa manejer puncak saja. Suatu
organisasi yang tumbuh semakin besar dan kompleks, ada kecendrungan
untuk meningkatkan desentralisasi begitu juga,tingkat pertumbuhan yang
semakin cepat akan memaksa manajemen meningkatkan delegasi
wewenang
Neven, ―Background Paper on Decentralization‖, Contribution to Cost-Action E19 National Forest
Programmes in the European Context, dalam http://www.metla.fi/eu/cost/e19/neven.pdf, diakses
21 Januari 201.
45 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to
Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing
Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,
2007), Hal. 7.
33
3. Strategi Dan Lingkungan Organisasi
Stategi organisasi akan mempengaruhi tipe pasar, lingkungan teknologi,
dan persaingan yang harus dihadapinya.
4. Penyebaran Geografis Organisasi
Pada umumnya, semakin menyebar satuan-satuan organisasi secara
geografis, organisasi akan cenderung melakukan desentralisasi, karena
pembuatan keputusan akan lebih sesuai dengan kondisi lokal masing-
masing.
5. Tersedianya Peralatan Pengawasan Yang Efektif
Organisasi yang kekurangan peralatan-peralatan efektif untuk melakukan
pengawasan satuan-satuan tingkat bawah akan cenderung melakukan
sentralisasi bila manajemen tidak dapat dengan mudah memonitor
pelaksanaan kerja bawahannya.
6. Kualitas Manajer
Desentralisasi memerlukan lebih banyak manajer-manajer yang
berkualitas, karena mereka harus membuat keputusan sendiri.
7. Keanekaragaman Produk Dan Jasa
Makin beraneka ragam produk atau jasa yang ditawarkan, oganisasi
cenderung melakukan desentralisasi, dan sebaliknya semakin tidak
beraneka ragam, lebih cenderung sentralisasi.
8. Karakteristik-Karakteristik Organisasi Lainnya
34
Seperti biaya dan risiko yang berhubungan dengan pembuatan keputusan,
sejarah pertumbuhan organisasi, kemampuan manajemen bawah, dan
sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat desentralisasi dalam suatu
organisasi bisa berbeda dengan berbedanya divisi atau departemen organisasi atau
perubahan lingkungan internal maupun eksternal. Jadi, pendekatan paling logik
yang dapat digunakan organisasi adalah mengamati segala kemungkinan yang
terjadi (contingency approach).
Keuntungan-keuntungan desentralisasi adalah mengurangi beban
pemerintah pusat, dapat memperbaiki dan membuat keputusan yang cepat dan
tepat karena dekat dengan permasalahannya, dan bisa menjadi daerah yang
terdepan dan cepat dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Itulah fungsi
yang diharapkan dari adanya desentralisasi daerah, khususnya Aceh dan Papua.
2.3 Teori Dan Definisi Kewenangan
Kewenangan merupakan hak moral yang sejalan dengan nilai dan norma
masyarakat untuk membuat dan melaksanakan publik yang mempunyai pengaruh
besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan publik, sehingga keputusan ini
mencerminkan keinginan orang ini. Wewenang yang melekat pada diri seseorang
yang dimaksud bukan hanya terletak pada kepemilikan dan kemampuan seseorang
untuk menggunakan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi prilaku
pihak lain. Akan tetapi, titik tekanan dari konsep kewenangan adalah terletak pada
35
hak yang ada pada seseorang atau sekeompok orang untuk menggunakan sumber-
sumber kekuasaan dalam mempengaruhi prilaku pihak lain.
Diskursus tentang hubungan pusat dan daerah dalam sebuah pemerintahan
kita akan dihadapkan pada istilah kekuasaan atau wewenang. Kewenangan
memiliki makna yang sama dengan Kekuasaan dalam arti formal karena dimiliki
oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. 46
Hal senada
dikatakan oleh Prajudi Atmosudirdjo yang menyebutkan Kewenangan sebagai
kekuasaan formal dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang
biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan
orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan.47
Istilah kewenangan dan wewenang memiliki perbedaan diantara keduanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
wewenang adalah: 1) hak dan kekuasaan untuk berindak; 2) kekuasaan membuat
keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain; dan
3) fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Sementara kewenangan adalah: 1) hal
berwenang; 2) hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu48
.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang
hanya mengenai suatu ―onderdeel‖ (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di
46
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya,
tanpa tahun, Hal. 1.
47 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995),
Hal. 78.
48 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, Hal. 1272
36
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).
Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang
pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah
(bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan
memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.49
Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu, hukum,
kewenangan, wewenang, keadilan, kejujuran, kebijakbestarian, dan kebijakan.50
Prof. Miriam Budiarjo mengistilahkannya sebagai the rule and the ruled yang
mana pada wilayah kewenangan biasa terdapat kekuasaan yang berbentuk
hubungan dalam arti bahwa ―ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang
diperintah.51
Menurut Talcot Pasons dalam Budiarjo, mengatakan bahwa kekuasaan
adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang
mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif.
Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada
perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar,
49
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), Hal.
22.
50 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam
Indonesia, 1998), Hal. 37-38.
51 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998.), Hal. 35-36.
37
terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan tersebut‖. 52
Pengertian tersebut
melihat sebuah kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-
tujuan kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan yang mengikat
didukung dengan sanksi negatif.
Kekuasaan sebagai inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara selalu
dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat
berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya.
Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam
Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau
Negara.53
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ
sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan
keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan
yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus
ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.
Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang,
52
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1998), Hal. 60-61.
53 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1998), Hal. 35
38
akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam
pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk
bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).
Pelimpahan wewenang berkaitan dengan kekuasaan yang diberikan oleh
Undang-Undang atau legislasi dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Hal
yang menjadi dasar untuk melakukan tugas kenegaraan adalah adanya
kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Jabatan memproleh
wewenang melalui tiga sumber yakni: atribusi, delegasi dan mandat akan
melahirkan kewenangan (bevoegdheid, legal power, competence).54
Menurut J.G. Brouwer atribusi merupakan kewenangan yang diberikan
kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu
badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil
dari kewenangan yang ada sebelumnya.Badan legislatif menciptakan kewenangan
mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada
organ yang berkompeten.55
Sementara delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan
atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga
delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan
tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan
54
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegheid), dalam
Pro Justitia , Majalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan , Bandung, No.1
Tahun XVI, Hal. 139-140.
55 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars
Aeguilibri, 1998), Hal. 16-17.
39
kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada
organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan
atas namanya.
Kepala daerah yang dibawah kendali pusat dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah memiliki kewenangan tindakan pemerintahan sebagai kepala
daerah otonom maupun kepala wilayah. Kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah melaksanakan kewenangan atribusi, delegasi dan mandat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ditinjau dari mekanisme pemberian kewenangan, pemerintah daerah
hanya menerima penyerahan dari pusat. Hal itu karena di Indonesia mengatut
sistem Negara kesatuan Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal,
otonomi daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang
dimiliki oleh pemerintah federal pada hakikatnya adalah urusan yang diserahkan
oleh negara bagian.
Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan
kecenderungan kewenangan yang besar berada di central government, sedangkan
dalam negara federal kecenderungan kewenangan yang besar berada pada local
government. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah pada negara kesatuan
seperti Indonesia otonominya lebih banyak bergantung pada political will
Pemerintah Pusat, yaitu sampai sejauh mana pemerintah pusat mempunyai niat
baik untuk memberdayakan local government melalui pemberian wewenang yang
lebih besar.
40
2.3.2 Bentuk-Bentuk Dan Sumber Kewenangan
Max Webber membagi kewenangan dalam beberapa bentuk, di antaranya
sebagai berikut:56
a. Kewenangan Karismatik, Tradisional, Dan Rasional
Wewenang kharismatik, tradisional, dan rasional perbedaannya terletak
pada hubungan antara tindakan-tindakan dan dasar hukum yang berlaku.
Wewenang karismatik merupakan wewenang yang didasarkan pada karismatik
(daya tarik atau mahabbah), yaitu kemampuan khusus (yang berupa wahyu,
pulung) yang ada pada diri seseorang yang dianggap merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Wewenang tradisional dapat dipunyai seseorang maupun kelompok orang
bersama-sama yang telah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam masyarakat
tertentu. Titik tekanan wewenang tradisional adalah karena kelompok ini memiliki
kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga dan bahkan menjiwai
masyarakat. Oleh karena, sudah demikian lamanya golongan ini memegang
kekuasaan, maka masyarakat percaya dan mengakuinya.
Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang sandarannya adalah
sistem hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Sistem masyarakat yang
dimaksud dalam hal ini ialah hukum formal yang memiliki batasan, ketentuan,
prosedur, dan memiliki alat-alat hukum yang jelas, sehingga hukum yang
56
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta : Kencana, 2011), Hal. 764-
769.
41
mengikat pada seluruh warga mayarakat ini yang menjadi referensi dari
pengabsahan wewenang yang dijalankan oleh pemegang wewenang ini.
b. Kewenangan Resmi Dan Tidak Resmi
Wewenang tidak resmi ialah wewenang yang berlaku dalam kelompok-
kelompok kecil yang sifatnya spontan, situasional, dan didasarkan pada faktor
saling kenal mengenal dan tidak diterapkan secara sistematis. Wewenang resmi
sifatnya sistematis, dapat diperhitungkan, dan rasional. Biasanya dijumpai di
dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan bentuk kewenangannya
memerlukan aturan-aturan tata tertib yang tegas dan sifatnya tetap.
c. Kewenangan Pribadi Dan Wewenang Teritorial
Wewenang pribadi sangat tergantungan pada solidaritas antara anggota-
anggota kelompok yang bersangkutan, dan unsur kebersamaan memegang
peranan yang sangat penting struktur wewenang bersifat konsentris (terpusat),
artinyadari satu titik pusat lalu meluas melalui lingkaran-lingkaran wewenang
tertentu.
Wewenang teritoral, wilayah tempat tinggal memegang peranan yang
sangat penting. Pada kelompok-kelompok territorial, unsur kebersamaan
cenderung untuk berkurang, oleh karena desakan dari faktor-faktor
individualisme.
d. Kewenangan Terbatas Dan Wewenang Menyeluruh
Wewenang terbatas adalah wewenan yang tidak mencakup semua sektor
atau bidang kehidupan akan tetapi, hanya terbatas pada salah satu sektor atau
bidang. Wewenang menyeluruh berarti wewenang yang tidak dibatasi oleh
42
bidang-bidang kehidupan tertentu. Misalnya setiap negara memiliki wewenang
yang menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedualatan wilayahnya.
Setiap tindakan pemerintahan dan / atau pejabat umum harus bertumpu
pada kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui 3 sumber:
a. Kewenangan Atribusi
Kewenangan yang berasal dari ada nya penyerahan atau pemberian suatu
kewenangan yang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan. Tidak terjadi distribusi kewenangan. Pada kewenangan atributif
pelaksanaan dilakukan oleh pejabat yang menerima kewenangan yang
baru itu yang bertanggung jawab adalah di tangan pejabat administrasi
negara yang menerima kewenangan baru itu.
b. Kewenangan Delegasi
Merupakan kewenangan yang bersumber dari pelimpahan wewenang dari
suatu organ pemerintah kepada organ pemerintah yang lain berdasarkan
undang-undang yang berlaku. Kewenangan sudah ada terlebih dahulu dan
tidak ada kewenangan yang baru.
c. Kewenangan Mandat / Amanah / Penugasan
Kewenangan yang bersumber dari proses pelimpahan dari pejabat yang
lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah. Pada mandat secara yuridis
tanggung jawab tetap berada pada pejabat yang memberi mandat. Pada
setiap saat si pemberi mandat dapat menggunakan sendiri kewenangan
yang sudah diamanatkan.
43
2.3.3 Sifat Dan Batasan Kewenangan
Terdapat tiga jenis sifat dalam kewenangan, yaitu :
a. Kewenangan Selalu Terikat Pada Suatu Masa Tertentu
Sifat wewenang yang berlaku ditentukan melalui peraturan perundang-
undangan. Jadi, apabila wewenang tersebut diterapkan setelah masanya, maka
kebijakan dianggap tidak sah begitu pula sebaliknya.
b. Kewenangan Selalu Terikat Pada Batas/Cakupan
Sifat wewenang yang selalu terikat pada batas yang ditentukan oleh batas
wilayah kewenangannya dan cakupan materi yang berlaku. Batas wilayah
kewenangan yang dimaksud adalah suatu keputusan hanya berlaku pada wilayah
tertentu. sedangkan, cakupan materi kewenangan ditentukan oleh peraturan yang
sesuai dengan kewenangan tersebut.
c. Kewenagan Terikat Pada Hukum/Peraturan Tertulis Dan Hukum
Tidak Tertulis
Sifat yang terakhir dimaksudkan Indonesia sebagai negara hukum yang
melaksanakan suatu kewenangan tersebut berdasarkan hukum yang ada. Jadi
setiap pejabat administrasi negara melaksanakan tugasnya secara bertanggung
jawab dan tidak lepas dari peraturan perundang-undangan.
Ada pendapat juga menyatakan bahwa sifat wewenang itu terdiri dari:
a. Kewenangan Terikat: apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan
dalam keadaan bagaimana kewenangan tersebut dapat digunakan.
b. Kewenangan Fakultatif: terjadi dalam hal badan tata usaha negara tidak
wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan.
44
c. Kewenangan Bebas: apabila peraturan dasarnya memberikan kebebasan
kepada badan tata usaha negara untuk menentukan mengenai isi dari
keputusan yang akan dikeluarkan. Kewenangan tersebut oleh Hadjon
dibagi menjadi 2 yakni kewenangan i). untuk memutus secara mandiri, dan
ii). kebebasan penilaian terhadap tersamar.
Sedangkan untuk batasan-batasan yang terdapat dalam wewenang bisa
diartikan sebagai berikut, yaitu setiap wewenang itu dibatasi oleh isi / materi
(materiae), wilayah / ruang (locus), dan waktu (tempus). Cacat dalam aspek-aspek
tersebut menimbulkan cacat wewenang atau dalam artian bahwa di luar-luar
batas-batas itu suatu tindakan pemerintahan merupakan tindakan tanpa wewenang
(onbevoegdheid). Tindakan tanpa wewenang bisa berupa i). onbevoegdheid
ratione materiae, ii). onbevoegdheid ratione loci, dan iii). onbevoegdheid ratione
temporis.
45
BAB III
PEMBENTUKAN LEMBAGA WALI NANGGROE
DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA PASCA OTONOMI KHUSUS
3.1 Lembaga Wali Nanggroe (LWN)
3.1.1 Sejarah Pembentukan LWN
Dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh dimasa berperang melawan
penjajah Belanda pernah dibawah komando Teuku Umar, Tjut Nya‘ Dhien, Cut
Meuthia, dan Tengku Hasan Di Tiro (1873-1942) dan perang Medan Area
dibawah pimpinan komando Tengku Mohd. Daud Beureueh sebagai Gubernur
Militer untuk Aceh, Langkat dan Tanah Karo (1945-1949). Kemudian dilanjutkan
dengan memproklamirkan Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Tengku
Mohd. Daud Beureueh dan terjadi peperangan dalam peristiwa Daarul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953-1964. Setelah perang
usai pada tahun 1959, Aceh memperoleh status daerah istimewa dari Republik
Indonesia yang dinyatakan otonom dalam bidang pendidikan, agama dan hukum
adat. Efek dari rasa kecewa, maka pada Tahun 1976 dideklarasi dan pembentukan
Gerakan Aceh Merdeka oleh Dr. Tengku Hasan M. di Tiro di Gunung Halimun,
Pidie. Dan perjalanan konflik masih panjang dari tahun 1976-2005,57
berkonflik
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan akhirnya tercapai kesepakatan
untuk berdamai dengan segala ketentuan dan kebijakan yang sudah disepakati
bersama.
57
Isma Sawitri, Amran Zamzami, B. Wiwoho, Simak dan Selamatkan Aceh, (Jakarta:
Panitia Peduli Aceh, 1999), Hal. 40-47.
46
Sejarah Wali Nanggroe sendiri mengisahkan cerita yang terjadi pada 26
Maret 1873, perang berkecamuk di Aceh. Sejak itulah tanah Aceh di duduki
Belanda hingga pusat istana pemerintahan Kerajaan Atjeh (Dalam) dikuasai
Belanda pada 24 Januari 1874. Kejatuhan Dalam itu diyakini akibat
pengkhianatan dari dalam. Empat hari kemudian sulthan Aceh mangkat akibat
terkena wabah kolera di Lueng Bata dan dimakamkan di Pagar Aye. Beberapa
hari kemudian jasadnya dipindahkan ke Cot Bada, Samahani karena khawatir
makamnya akan dibongkar oleh Belanda.58
Dalam kecamuk perang itu kemudian Sulthan Muhammad Daud Syah
yang saat itu masih berusia 11 tahun diangkat menjadi raja. Karena sulthan masih
muda maka dibentuklah Lembaga Wali Nanggroe. Maka, pada 25 Januari 1874
melalui musyawarah Majelis Tuha peut yang terdiri dari, Tuwanku Muhammad
Raja Keumala, Tuwanku Banta Hasjem, Teuku Panglima Polem Raja Kuala, dan
Teungku Tjik Di Tanoh Abee Syech Abdul Wahab. Keputusan musyawarah tuha
peut itu menarik semua kekuasaan ke hadapan tuha peut. Tiga hari kemudian pada
28 Januari 1874, Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku Muhammad
Raja Keumala mengambil keputusan untuk mempersatukan rakyat Aceh
diangkatlah Al Malik Al Mukarram Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Saman Bin
Abdullah sebagai Wali Nanggroe Aceh yang pertama. Wali Nanggroe pada saat
58
Seperti dikutip dalam http://iskandarnorman.blogspot.com, yang diakses pada 1
September 2015.
47
itu bertugas untuk memimpin rakyat Aceh dan menjaga wilayah kekuasaannya
serta keamanan Aceh supaya tidak dijajah oleh musuh.59
Wali yang berarti pengganti dan Nanggroe adalah Negara, maka Wali
Nanggroe dimaksud sebagai “Wali Negara yang mengisi kekosongan Sultan di
Kerajaan Aceh”.60
Dan istilah Wali Nanggroe ini muncul kembali setelah pada
tanggal 4 Desember 1976, Dr. Tengku Hasan M. di Tiro medeklarasikan Aceh
Merdeka di Gunung Halimun yang terletak di Tiro Kabupaten Pidie Provinsi
Aceh. Hasan Tiro menyatakan dirinya sebagai Wali Nanggroe (Wali Negara) yang
akan berperang dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk
memisahkan Aceh dari Kekuasaan Republik Indonesia. Pada waktu itu, Hasan
Tiro merangkul masyarakat Aceh untuk mendukung dalam upaya pemisahan
Aceh menjadi sebuah Negara.61
Setelah penandatanganan MoU Helsinski 2005 antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka terbitlah Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang
59
Nama-nama Wali Nanggroe: 1. Al Malik Al Mukarram Tgk Tjik Di Tiro Muhammad
Saman Bin Abdullah (1874), 2. Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Amin Bin Muhammad Saman (1892),
3. Tgk Tjik Di Tiro Abdussalam Bin Muhammad Saman (1896), 4. Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman Bin
Muhammad Saman (1898), 5. Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah Bin Muhamamd Saman (1902), 6. Tgk
Tjik Di Tiro Mayiddin Bin Muhamamd Saman (1905), 7. ditunjuk Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tgk
Tjik Di Tiro di Garot Muhammad Hasan dan Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin (1911),
8. Tgk Hasan Muhammad Di Tiro (1971), 9. Malik Mahmud Al-Haytar (2013). Dikutip dalam
http://iskandarnorman.blogspot.com diakses pada tanggal 1 September 2015.
60 Dikutip dari situs www.atjehlink.com/Mengintip jejak Wali Nanggroe di Aceh. Diakses
pada tanggal 1 September 2015.
61 Dr. Husaini M. Hasan, Sp. OG, Dari Rimba Aceh ke Stockholm; Catatan Dr. Husaini
M. Hasan ketika bersama Dr. Tengku Hasan M. di Tiro (Proklamator Aceh Merdeka), (Jakarta:
Batavia Publishing, 2015), Hal. 27-31.
48
Pemerintah Aceh (UUPA) yang mengatur secara khusus penyelenggaraan
pemerintahan Aceh oleh pemerintah (Gubenur) Aceh dan masih dalam
wilayah/pengawasan NKRI. Kemudian, komitmen yang kuat untuk menjalankan
isi fakta tersebut adalah dengan mengimplementasikannya Lembaga Wali
Nanggroe sebagai amanah dari MoU Helsinski 2005 yang terdapat pada point
1.1.7 yang berbunyi “Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala
perangkat upacara dan gelarnya”.62
Dan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006
tentang Undang-Undang Pemerintah Aceh pada BAB XII tentang Lembaga Wali
Nanggroe pasal 96 ayat (1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan
adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang
membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat
istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. (2)
Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan
lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. (3) Lembaga Wali Nanggroe
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang
bersifat personal dan independen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-
syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan
protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur
dengan Qanun Aceh. Kemudian pada pasal (97) dijelaskan bahwa Wali Nanggroe
berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau
62
Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, 2006, Nota Kesepahaman antara pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU
RI No. 11 Tahun 2006), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 182-183.
49
lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang criteria dan tata caranya diatur
dengan Qanun Aceh.63
Pengaturan keberadaan Lembaga Wali Nanggroe dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) dan juga dalam Qanun
Aceh tentang Lembaga Wali Nanggroe ini, tidaklah dimaksudkan sebagai
nostalgia dan upaya kembali ke masa lalu, tetapi harus diartikan sebagai apresiatif
respon terhadap nilai-nilai yang pernah ada. Terutama dalam hal penyelenggaraan
pemerintahan sebagaimana tertuang dalam Qanun Al-Asyi Kerajaan Atjeh
Darussalam untuk kita kembangkan menjadi nilai baru yang mampu merespon
perkembangan masa kini.64
Kebaradaan Lembaga Wali Nanggroe beserta dengan perangkatnya harus
mampu memperkuat dan menyempurnakan kekurangan kepemimpinan
pemerintah formal, guna mewujudkan Aceh baru yang maju dan modern, namun
tetap berpijak pada nilai-nilai luhur yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe merupakan sebagai salah satu
wujud kekhususan Aceh, harus mampu melahirkan nilai tambah dalam
pengelolaan kehidupan kemasyarakatan baru agar dapat menghadapi dampak
negatif dari era globalisasi yang kini sedang berlangsung dan harus menjadi
kekuatan alternatif dalam penyelesaian berbagai masalah kemasyarakatan ketika
63
Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI
No. 11 Th.2006). (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 68.
64 Penjelasan umum dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun
Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro
Hukum Sekretariat Daerah Aceh, 2013), Hal. 25-26.
50
kekuasaan formal tidak mampu melakukannya. dan harus menjadi satpam untuk
legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang
bersifat personal dan independen yang juga disebut sebagai Waliyul‘ahdi. Dan
mempunyai gelar dan mempunyai panggilan kehormatan ―Paduka Yang Mulia‖.65
Dan yang sekarang menjadi Wali Nanggroe (Wali Negara) adalah Paduka Yang
Mulia Al-Mukarram Al-Malik Mahmud Al-Haytar.
3.1.2 Landasan Terbentuknya LWN
Landasan hukum terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe adalah sebagai
berikut:
1. MoU Helsinski 2005 yang terdapat pada point 1.1.7 yang berbunyi
“Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat
upacara dan gelarnya”.66
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang
Undang-Undang Pemerintah Aceh pada BAB XII tentang Lembaga
Wali Nanggroe pasal 96 ayat (1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan
kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen,
berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan
65
Dikutip dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro Hukum
Sekretariat Daerah Aceh, 2013), Hal. 5.
66 Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, Nota Kesepahaman antara pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI No. 11
Tahun 2006), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 182-183.
51
kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian
gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. (2) Lembaga Wali
Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan
lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. (3) Lembaga Wali
Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. (4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta
pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan
ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan Qanun
Aceh. Kemudian pada pasal (97) dijelaskan bahwa Wali Nanggroe
berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada
perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang
criteria dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh.67
3. Qanun Aceh No. 9 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Qanun Aceh
No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Di dalam Qanun
tersebut yang menjelaskan secara mendalam terkait kinerja dari
Lembaga Wali Nanggroe.68
67
Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI
No. 11 Th.2006). (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 68.
68 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun
2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro Hukum Sekretariat
Daerah Aceh, 2013).
52
3.1.3 Peran dan Kewenangan LWN
Lembaga Wali Nanggroe (LWN) secara umum memiliki peran dalam
menjaring partisipasi masyarakat Aceh untuk memelihra budaya, adat istiadat
serta menjaga nilai-nilai keagamaan yang sudah melekat di hati masyarakat. Hal
itu sebagai upaya untuk mendorong setiap warga negara untuk mempergunakan
hak menyampaikan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Partisipasi dimaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang
diambil mencerminkan aspirasi rakyat , sehingga dapat mengantisipasi berbagai
isu yang ada, pemerintah menyediakan saluran komunikasi agar rakyat dapat
menyalurkan partisipasi aktifnya.69
a. Lembaga Wali Nanggroe mempunyai Peran dan Tugas :
1. Membentuk perangkat Lembaga Wali Nanggroe dengan segala upacara
adat dan gelarnya;
2. Mengangkat, menetapkan dan meresmikan serta memberhentikan personil
perangkat Lembaga Wali Nanggroe;
3. Mengukuhkan DPRA dan Kepala Pemerintah Aceh secara adat;
4. Memberikan pandangan, arahan dan nasihat kepada Pemerintah Aceh dan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta Lembaga-Lembaga lainnya;
5. Menyampaikan usulan, saran dan pertimbangan kepada Pemerintah;
6. Memberi atau mencabut gelar kehormatan kepada seseorang atau lembaga;
69
Adi Sujatno, Moral dan Etika Kepemimpinan Merupakan Landasan ke Arah
Kepemerintahan yang Baik (Good Goverment ), (Jakart: Team 4 AS, 2009), Hal. 40.
53
7. Mengurus dan melindungi khazanah Aceh di dalam dan luar Aceh;
8. Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar
negeri untuk kemajuan peradaban Aceh;
9. Mengarahkan pengembangan sumber daya manusia Aceh yang berkualitas
dengan tetap melestarikan dan mengembangkan budaya dan adat istiadat
Aceh;
10. Menjaga perdamaian Aceh dan ikut berpartisipasi dalam proses
penyelesaian perdamaian dunia;
11. Menetapkan/mengumumkan ketentuan-ketentuan adat, hari-hari besar
adat dan memfasilitasi penghadapan masyarakat untuk menyampaikan
aspirasi dan menerima anugerah adat; dan
12. Mengangkat atau memberhentikan perwakilan adat di luar negeri.
b. Lembaga Wali Nanggroe mempunyai fungsi:
1. Perumusan dan penetapan kebijakan penyelenggaraan kehidupan lembaga-
lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-
upacara adat lainnya;
2. Penyiapan rakyat Aceh dalam pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan
sebagaimana ditentukan dalam qanun ini;
3. Perlindungan secara adat semua orang Aceh baik di dalam maupun di luar
Aceh;
4. Pelaksanaan penyampaian pandangan, arahan dan nasihat kepada
Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta Lembaga-
Lembaga lainnya;
54
5. Pelaksanaan penyampaian usulan, saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah;
6. Pelaksanaan pembentukan perangkat Lembaga Wali Nanggroe dengan
segala upacara adat dan gelarnya;
7. Pelaksanaan pengangkatan, penetapan, peresmian dan pemberhetian
personil perangkat Lembaga Wali Nanggroe;
8. Pengukuhan DPRA dan Kepala Pemerintah Aceh secara adat;
9. Pelaksanaan pemberian dan pencabutan gelar kehormatan kepada
seseorang atau lembaga;
10. Penyelenggaraan pengurusan dan perlindungan khazanah Aceh di dalam
dan luar Aceh;
11. Pelaksanaan kerjasama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar
negeri untuk kemajuan peradaban Aceh;
12. Pemberian arahan dan petunjuk dalam pengembangan sumber daya
manusia Aceh yang berkualitas dengan tetap melestarikan dan
mengembangkan budaya dan adat istiadat Aceh; dan
13. Penyelenggaraan perdamaian Aceh dan ikut berpartisipasi dalam proses
penyelesaian perdamaian dunia.
55
3.1.4 Struktur Kelembagaan LWN
Bagan 1. Struktur Kelembagaan Wali Nanggroe
(www.lwna.id)
3.2 Majelis Rakyat Papua (MRP)
3.2.1 Sejarah Pembentukan MRP
Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah sebuah lembaga di provinsi Papua,
yang beranggotakan penduduk asli Papua yang berada setara dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Dalam
materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua, Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan, secara eksplisit
56
disebutkan bahwa pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi
Papua terdiri dari tiga komponen. Tiga komponen itu adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah Daerah (Gubernur beserta
perangkatnya), dan Majelis Rakyat Papua (MRP).70
DPRP dan Pemerintah Provinsi sebagai Penyelenggara Pemerintah
Daerah.71
Sedangkan Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representatif kultural
orang asli Papua. Sebagai lembaga penyelenggara Pemerintah Daerah, DPRP
berwenang dalam melaksanakan fungsinya yang mencakup legislasi, budgeting
(penganggaran), dan pengawasan. Pemerintah provinsi berwenang dalam
melaksanakan fungsi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat serta
melaksanakan program pembangunan. Dalam struktur kepengurusan Majelis
Rakyat Papua mempunyai seorang Ketua Umum, Wakil-Wakil Ketua Umum dan
Seorang Sekretaris Jenderal yang terdiri atas wakil-wakil Adat, wakil-wakil
Agama, dan wakil-wakil Perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga
dari total anggota Majelis Rakyat Papua. Keanggotaan dan jumlah anggota
Majelis Rakyat Papua ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan Majelis
Rakyat Papua adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota Majelis Rakyat Papua
dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.72
70
Lihat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua, Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan.
71 Lihat UU RI Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, BAB 1 Pasal 1 ayat
3 dan 4.
72 Lihat bagian keempat Majelis Rakyat Papua pasal 19, ayat 1,2, dan 3 dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
57
Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum Majelis Rakyat Papua,
bahwa lembaga Majelis Rakyat Papua dibentuk untuk mengawal berjalannnya
otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Berikut ungkapannya :
“Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib, mengatakan, telah
ada amanat UU No. 21 Tahun 2001 bahwa MRP sebagai lembaga kultur
tugasnya mengawal Otsus, yang dalam hal ini mengawal aturan
pelaksanaanya dan mengawal anggarannya. Hanya saja sampai sekarang
belum ada regulasi yang mengaturnya, yakni, Perdasus”.73
3.2.2 Landasan Terbentuknya MRP
Landasan hukum terbentuknya Lembaga Majelis Rakyat Papua adalah
seperti yang tercantum dalam beberapa Undang-Undang dan Peraturan lainnya,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua pada bagian keempat Majelis Rakyat Papua Pasal 19-25,
dan telah diubah dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Perpu No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
menjadi Undang-Undang.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 Tahun 2004 tentang
Majelis Rakyat Papua. Disinilah yang menjelaskan secara lebih mendetail
dan menyeluruh dari lembaga Majelis Rakyat Papua tersebut.
73
http://www.id.papua.us/2014/03/timotius-murib-tugas-majelis-rakyat.html yang diakses
pada 1 September 2015.
58
3. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua.
4. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Majelis Rakyat Papua.
5. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2010 Tentang
Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua.
3.2.3 Peran dan Kewenangan MRP
Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan institusi representasi kultural
orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan
hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat
dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup
beragama.
Melalui MRP sesungguhnya diharapkan hukum-hukum adat yang hidup
dalam masyarakat diakui keabsahannya sebagai hukum formal. Kedudukan
lembaga MRP tidak dijumpai di daerah lain, di mana dari sisi wewenang yang
dimiliki dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif dalam struktur parlemen
bikameral (sebagai majelis tinggi). Sebagai representasi masyarakat Papua,
Majelis Rakyat Papua memiliki wewenang yang besar, baik di dalam
pembentukan pemerintahan maupun penyelenggaraan pemerintahan. MRP inilah
yang akan menentukan bentuk konkrit kekhususan pemerintahan Papua.74
Ikhtiar awal dibentuknya MRP adalah dengan maksud sebagai inti paket
otonomi yang diberikan kepada propinsi Papua pada tahun 2001. Tetapi tak lama
74
Muchamad Ali Safa‘at , Artikel ; Problem Otonomi Khusus Papua, Hal 4-5.
59
setelah Majelis ini terbentuk, ia langsung dihadapkan pada dua masalah besar,
yaitu lambatnya pembicaraan mengenai status hukum Irian Jaya Barat/IJB75
, dan
aksi kekerasan yang timbul dari aksi protes terhadap pertambangan raksasa
Freeport, sementara pemerintah Jakarta mengesampingkan setiap upaya mediasi.76
Untuk menghidupkan kembali usaha dialog yang sungguh-sungguh dan untuk
menyelamatkan institusi ini sebelum kebijakan otonomi gagal total, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan MRP di Papua, dengan begitu
menunjukkan pentingnya MRP bagi pemerintah pusat. Sementara MRP juga
sebaiknya lebih fleksibel terhadap tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar dan
memberikan pilihan kebijakan yang realistis agar otonomi dapat berjalan dengan
baik.
Para pemimpin warga Papua telah membayangkan MRP sebagai sebuah
badan perwakilan para kepala suku Papua yang akan melindungi budaya, adat,
dan nilai-nilai Papua dalam menghadapi banjirnya pendatang dari luar Papua dan
dalam menghadapi eksploitasi sumber daya alam Papua. Sementara itu, para
politikus yang berbasis di Jakarta melihat MRP sebagai sebuah wadah
nasionalisme Papua dan karena itu mereka dengan sengaja membatasi
kekuasaannya serta menunda berdirinya MRP. Pada saat MRP berdiri, propinsi
Papua telah terbagi menjadi dua, sehingga banyak warga Papua yang kecewa
75
IJB (Irian Jaya Barat) merupakan sebuah propinsi baru yang dibentuk dari provinsi
Papua pada tahun 2003.
76 Jurnal International crisis group ; Update Briefing, Papua: Bahaya yang Dapat Timbul
Jika Menghentikan Dialog, Edisi 23 Maret 2006, Hal. 1.
60
dengan otsus dan mulai mempertanyakan bagaimana MRP dapat berfungsi dalam
kondisi seperti ini.77
Kekuasaan MRP sendiri seperti yang dimuat di Undang-undang adalah:
Memberikan pertimbangan dan persetujuan atas calon Gubernur dan wakil
Gubernur yang diajukan oleh DPRP; Memberikan pertimbangan dan persetujuan
atas calon anggota DPR RI, perwakilan regional untuk Provinsi Papua yang
diajukan oleh DPRD; Memberikan pertimbangan dan persetujuan atas rancangan
undang-undang dari Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) yang dibuat oleh DPRP
bersama dengan Gubernur; Memberikan nasihat, pertimbangan dan persetujuan
atas rencana kesepakatan kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah serta Pemerintah
Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua, khususnya yang
berhubungan dengan perlindungan hak Papua asli; Memperhatikan dan
menyampaikan aspirasi, keluhan komunitas adat, keagamaan, wanita dan publik
pada umumnya sehubungan dengan hak Papua asli, dan memfasilitasi kelanjutan
penyelesaiannya; dan Memberikan pertimbangan ke DPRP, Gubernur,
Kabupaten/Kota DPRP dan Bupati/Walikota dalam hal-hal sehubungan dengan
perlindungan hak Papua asli.78
a. Peran dan Fungsi MRP diantaranya sebagai berikut:
1. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur
dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRD. Kewenangan yang
77
Jurnal International crisis group ; Update Briefing, Papua: Bahaya yang Dapat Timbul
Jika Menghentikan Dialog, Edisi 23 Maret 2006, Hal. 1.
78 Kekuasaan MRP bisa dilihat di: Peraturan Pemerintah no.54/2004 mengenai Komunitas
Parlemen Papua. Bisa dilihat di: www.papuaweb.org/goi/pp/2004-54-en.pdf, diakses pada 16
Oktober 2015.
61
dimaksud hanya terbatas pada pertimbangan/konsultasi yang terkait
dengan masalah "keaslian" bakal calon gubernur sebagai orang Papua dan
"moral" dari pribadi yang bersangkutan.
2. Memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang
diajukan oleh DPRP bersama dengan Gubernur. Perdasus diadakan dalam
rangka pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Otsus. Pasal-pasal yang
dimaksud seperti Pasal 76 tentang "Pemekaran Provinsi menjadi provinsi-
provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya,
kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi serta
perkembangan di masa datang". Dengan demikian pemekaran wilayah
haruslah memperhitungkan faktor adat dan sosial budaya dari orang asli
Papua. Hak-hak itu antara lain, hak ulayat, hak dalam rangka perlindungan
dan pemberdayaan potensi sosial budaya sehingga pemekaran tidak
menyalahi kesatuan-kesatuan wilayah sosial-budaya dan adat, seperti yang
kita temui dalam UU No 45 Tahun 1999 yang asal membedah Papua
seperti membagi 'kue tar".
3. Memberi saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian
kerja sama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku
di Tanah Papua khususnya yang menyangkut perlindungan hak-hak orang
asli Papua. Hak-hak itu adalah hak ulayat, hak persekutuan yang dimiliki
oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang
62
merupakan lingkungan hidup para warganya, seperti hak untuk
memanfaatkan tanah, hutan, air serta isinya.
4. Menyalurkan aspirasi, memperhatikan pengaduan masyarakat adat, umat
beragama, dan kaum perempuan dan memfasilitasi tindak-lanjut
penyelesaiannya. Kewenangan ini dimaksudkan untuk menciptakan Papua
yang damai sebagai perwujudan dari komitmen semua komponen
masyarakat di provinsi ini.
5. Memberi pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota
dan bupati/walikota mengenai hal yang terkait dengan perlindungan hak-
hak orang asli Papua.
3.2.4 Struktur Kelembagaan MRP
Gambar 1. Struktur Kelembagaan MRP
Sumber : mrp.papua.go.id
63
BAB IV
ANALISA PERBANDINGAN DINAMIKA KONFLIK PADA LEMBAGA
WALI NANGGROE DAN MAJLIS RAKYAT PAPUA DALAM
KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS
4.1 Analisa Perbandingan Peran, Wewenang, dan Dinamika Konflik LWN
dan MRP
Analisa peran, wewenang, dan dinamika konflik LWN dan MRP pada
pembahasan ini merupakan analisa dinamika konflik yang terjadi setelah otonomi
khusus berjalan. Kebijakan otonomi khusus diperoleh dari hasil win-win solution
antara Pemerintah Pusat RI dengan Daerah Aceh dan Papua. Sebelum ada
kesepakatan antara Pemerintah Pusat RI dengan Aceh dan Papua, di daerah
tersebut terlebih dahulu terjadi konflik pemberontakan yang berkepanjangan
dengan pemerintah pusat RI. Konflik yang berarti gejala sosial yang serba hadir
dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan
senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja.79
Begitu pula apa yang terjadi antara Pemerintah Pusat RI dengan Aceh dan Papua.
Karena konflik yang ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara dua
kelompok, yaitu Pemerintah Pusat RI dengan Daerah Aceh dan Daerah Papua.
Reaksi atas konflik tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan damai yang
berujung pada kebijakan otonomi khusus untuk kedua daerah tersebut. Otonomi
khusus merupakan poin pokok dari desentralisasi daerah yang juga berarti sebagai
pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup Pemerintahan Pusat ke
79
Anton Van Harskamp (ed), Konflik-konflik dalam ilmu sosial, (Yogyakarta : Kanisius,
2009), Cet. 5, Hal. 161.
64
Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan
pengotonomian menyangkut proses memberikan otonomi kepada masyarakat
dalam wilayah tertentu.80
Dalam hubungan dinamika politik pusat dan daerah, peranan dan fungsi
serta kewenangan kepala daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Sudono Syueb menjelaskan dua fungsi pemerintahan,
diantaranya81
:
1. Sebagai kepala daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan
bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya Pemerintahan Daerah.
2. Sebagai kepala wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan
pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintahan Pusat di daerah.
Pemerintah Daerah didorong untuk menciptakan kebutuhan kesejahteraan
dalam kemakmuran serta berkeadilan yang melibatkan masyarakat, maka untuk
mewujudkan semua harapan itu dikembangkan konsep good governance
(kepemimpinan yang baik). Bachrul Elmi, memberikan penjelasan lebih lanjut
tentang governance bahwa kewenangan yang diamanatkan kepada pemerintahan
daerah, dilaksanakan untuk mengelola sumber daya sosial dan ekonomi dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.82
80
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: PT.Sinar
Grafika, 2008), Hal. 52.
81 Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan sampai
Era Reformasi, (Surabaya: Laksbang Mediatama, 2008), Hal. 58.
82 Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2002), Hal. 7.
65
Pada hakekatnya Pemerintahan Daerah melaksanakan asas desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggaraan pemerintahan
wajib dan pilihan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan
otonomi daerah adalah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peraturan perundang - undangan.
Pemerintah Daerah dalam fungsi mengatur bersifat menetapkan peraturan-
peraturan terhadap kepentingan daerah yang bersifat abstrak berisi norma perintah
dan larangan, sedangkan tindakan mengurus bersifat peristiwa konkrit serta
tindakan mengadili yaitu mengambil tindakan dalam bentuk keputusan untuk
menyelesaikan sengketa dalam hukum publik, privat dan hukum adat.
Berbeda hal-nya jika peran dan wewenang dari LWN dan MRP, kedua
lembaga ini terbentuk dari UU Otsus yang telah diundangkan. Dan kedua lembaga
ini harus di implementasikan dalam sistem pemerintahan masing-masing daerah.
peran dan wewenang yang dimiliki kedua lembaga ini lebih kepada mengawal,
menjaga dan memberikan saran dan pertimbangan bagi Pemerintahan Daerah
dalam menjalankan roda pemerintahannya masing-masing.
4.1.1 Peran, Kewenangan, dan Dinamika Konflik dalam LWN
Analisa peran, wewenang, dan konflik ini berfokus pada dinamika konflik
dan masalah-masalah yang terjadi pada saat implementasi dan berjalannya LWN.
Qanun atau Undang-Undang LWN baru disahkan pada tahun 2012 dan
66
perubahannya pada tahun 2013. Dan lembaga ini merupakan hasil undang-undang
Otonomi khusus. Otonomi khusus merupakan sebagai varian dari otonomi yang
menjadi bagian penting bagi perjalanan Indonesia karena kebijakan yang ada tidak
memberika kejelasan akan keberadaan suatu daerah dengan otonomi yang berbeda
dengan yang lain.
Lembaga Wali Nanggroe (LWN) merupakan kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina
dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat,
dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.83
Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga
pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali
Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Wali Nanggroe berhak
memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau
lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tata caranya diatur
dengan Qanun Aceh. Ketentuan mengenai Lembaga Wali Nanggroe diatur
dengan Qanun Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe juga diperbantukan oleh lembaga-lembaga adat,
lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota di
bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Tugas,
wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat
83
Dikutip dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro Hukum
Sekretariat Daerah Aceh, 2013), Hal. 3.
67
diatur dengan Qanun Aceh. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara
adat ditempuh melalui Lembaga Adat.
Lembaga - Lembaga Adat Aceh meliputi:84
1. Majelis Adat Aceh;
2. Imeum Mukim atau nama lain;
3. Imeum Chik atau nama lain;
4. Keuchik atau nama lain;
5. Tuha Peut atau nama lain;
6. Tuha Lapan atau nama lain;
7. Imeum Meunasah atau nama lain;
8. Keujreun Blang atau nama lain;
9. Panglima Laot atau nama lain;
10. Pawang Glee atau nama lain;
11. Peutua Peuneubok atau nama lain;
12. Haria Peukan atau nama lain; dan
13. Syahbanda atau nama lain.
Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan
perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-
nilai syari‘at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Penyusunan ketentuan
adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh Lembaga Adat
dengan pertimbangan Wali Nanggroe.
84
Dikutip dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro Hukum
Sekretariat Daerah Aceh, 2013), Hal. 5.
68
Sejak awal isu mengenai rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe
(QLWN) tersebut sudah menimbulkan polemik dan kontroversi dikalangan
politisi, akademisi, maupun masyarakat sipil lainnya. Setidaknya hal ini bisa
dilihat dari kemunculan kelompok yang menamakan dirinya Gayo merdeka dan
masyarakat sipil yang menolak adanya QLWN.85
Gayo merdeka memandang
QLWN tersebut sangat diskriminatif. Terutama pada pasal wajib berbahasa Aceh
untuk menjadi Wali Nanggroe. Terkesan QLWN hanya menjadi kepentingan
tirani mayoritas suku di Aceh. Menurut kelompok ini QLWN perlu kiranya untuk
dievaluasi dan direvisi. Evaluasi antara lain adalah untuk mempertimbangkan dan
menghargai bahwa Aceh adalah satu kesatuan wilayah yang terdiri atas berbagai
suku bangsa yaitu Aceh, Gayo, Alas, singkil, Jamee, Kluet, Simeulue, Tamiang
dan suku lainnya. Sehingga klausul keturunan Aceh dalam QLWN perlu
diterjemahkan dan di perjelas untuk merepresentasikan seluruh suku yang ada di
Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe ini juga menjadi permasalahan dikalangan
akademisi.86
Alasannya kurang lebih sama seperti yang dikemukakan oleh
kelompok Gayo merdeka. Ada yang beranggapan bahwa cara berpikir tim
pembuat QLWN tidak menjadikan kajian sensitif konflik berbasiskan stabilitas
sosial, politik dan keamanan dalam penyusunan QLWN. Logika berpikirnya,
jikalau memperhatikan hal tersebut sudah bisa dipastikan letupan reaksioner
85
http://www.acehtraffic.com/2012/11/massa-di-takengon-dan-bener-meriah.html,
diakses pada 15 November 2015.
86 http://www.harianaceh.co/read/2011/01/06/6744/qanun-wali-nanggroe-2, diakses pada
15 November 2015.
69
publik tidak terjadi, walaupun tidak signifikan namun mampu memperbesar
gerakan penolakan QLWN yang mengganggu stabilitas sosial, politik, dan
keamanan di Aceh. Menurut QLWN memang harus dibentuk jika berpatokan pada
kesepakatan dalam MoU Helsinki dan amanah dalam UUPA. Karena mandat dari
lembaga Wali Nanggroe harus memperhatikan dan mengakomodir keinginan
masyarakta lintas suku yang berada di Aceh, sehingga tidak terganggunya
stabilitas sosial, politik dan keamanan.87
Menyangkut tuntutan dari kelompok Gayo Merdeka mengenai
diskriminasi terhadap bahasa lain yang berkembang di Aceh selain bahasa Aceh,
DPRA telah memberi penjelasan dalam ketentuan umum pasal 1 ayat (20) Qanun
Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe bahwa bahasa Aceh adalah
bahasa-bahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Namun
protes dan nada tidak setuju masih terus bergulir dari beberapa kelompok dan
berkembang kepada isu-isu disentregasi lama, yaitu isu pemekaran Provinsi Aceh
Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS).88
Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) yang beralamat dijalan pelangi
No. 42 Kampung Keuramat - Banda Aceh. Yayasan tersebut telah mengajukan
permohonan kepada presiden Republik Indonesia untuk membatalkan qanun Aceh
Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, menurut Safaruddin
selaku ketua YARA, setelah dicermati qanun tersebut secara formil bertentangan
87
http://aceh.tribunnews.com/2015/11/18/masyarakat-aceh-tak-butuh-bendera-dan-wali-
nanggroe, diakses pada 15 November 2015
88 http://aceh.tribunnews.com/2013/05/29/bem-se-aceh-tenggara-tuntut-pemekaran-
provinsi-ala, diakses pada 15 November 2015.
70
dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan secara materil qanun tersebut telah bertentangan dengan
berbagai aturan perundangan yang lebih tinggi dan memposisikan Lembaga Wali
Nanggroe menyimpang dari pasal 96 undang-undang (UU) nomor 11 tahun 2006
tentang pemerintahan Aceh.89
Keberadaaan Lembaga Wali Nanggroe telah di amanatkan dalam pasal 96
dan 97 UU Nomor 11 tahun 2006 sebagai lembaga kepemimpinan adat dan bukan
sebagai jabatan politik, namun dalam pengaturannya QLWN memberikan
kewenangan kepada Wali Nanggroe untuk turut campur tangan dalam urusan
kebijakan dan politik.
Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan disebutkan bahwa setiap aturan hukum yang lebih tinggi (lex
superior derogate legi inferior). Yang mengandung makna: 1) aturan yang lebih
rendah merupakan pelaksanaan dari aturan yang lebih tinggi, 2) aturan yang lebih
rendah tidak dapat mengubah subtansi dari aturan yang lebih tinggi; 3) aturan
yang lebih rendah tidak menambah, mengurangi, dan tidak menyisipi suatu
ketentuan baru; dan 4) aturan yang lebih rendah tidak memodifikasikan subtansi
dan pengertian yang telah ada dalam aturan induknya.
Melihat pengaturan Wali Nanggroe didalam QLWN, maka posisi Wali
Nanggroe dalam struktur pemerintahan Aceh akan sejajar dengan Gubernur dan
DPRA, atau bahkan bisa setingkat lebih tinggi diatas gubernur dan DPRA. Hal ini
89
http://www.ajnn.net/2015/10/isu-pembubaran-lembaga-wali-nanggroe-kembali-
mencuat/, diakses pada 15 November 2015.
71
terjadi karena Wali Nanggroe berperan dalam memberikan pandangan dan
pendapatnya terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur dan DPRA.
Dalam tubuh Lembaga Wali Nanggroe juga memiliki satuan kerja yang hampir
mirip dengan yang sudah ada pada struktur pemerintahan formal di provinsi Aceh
seperti majelis pendidikan Aceh, Majelis pertambangan dan Energi. Majelis hutan
Aceh dan lain sebagainya.
Intinya, hingga saat ini permasalahan yang muncul dari QLWN telah
mendapat respon dari berbagai kelompok yang merepresentasikan suku tertentu.
Dan setelah kita analisa dinamika konflik yang terjadi didalam masyarakat terkait
perjalanan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe, maka sangat rentan dengan
konflik yang ditimbulkan, baik itu konflik antarsuku, konflik antar agama, konflik
antar elit politik, konflik tumpang tindih kewenangan antara Majelis Adat Aceh
(MAA) dan Lembaga Wali Nanggroe (LWN).
4.1.2 Peran, Kewenangan, dan Dinamika Konflik dalam MRP
Pada prinsip pembentukannya MRP memiliki peranan yang cukup
strategis dalam rangka memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua
dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya,
pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Aktifitas
sosial politik MRP memiliki aspek pemerintahan dan kultural sebagai lembaga
representatif yang dibentuk untuk mengangkat dan mengaspirasikan kepentingan
masyarakat Papua dengan semangat Otonomi Khusus yang secara khusus
memiliki kewenangan untuk mengontrol dan mengawasi jalannya otonomi khusus
72
propinsi Papua.90
Selain itu keberadaannya untuk mengaspirasikan kondisi riil
yang terjadi di kalangan masyarakat Papua dalam implementasi otonomi khusus
mengusul dan menyampaikan keluhan masyarakat Papua kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Gubernur untuk selanjutnya dibahas dan
dijadikan dasar untuk diambil kebijakan.
Pada awal pendiriannya MRP sempat mendapatkan tantangan dan
persoalan yang dihadapinya. Menurut laporan dari Crisis Grup,91
MRP berhasil
memainkan peranannya dalam melakukan Mediasi bersama tokoh-tokoh Papua
untuk mengurangi ketegangan atas konflik yang terjadi terutama pada saat aksi-
aksi demonstrasi yang dipimpin para mahasiswa Papua baik yang di Papua, Jawa
maupun Sulawesi yang menuntut ditutupnya pertambangan Freeport di Timika
dan ditariknya pasukan TNI disana, mencapai puncaknya pada tanggal 16 Maret
2003 di Abepura, ketika terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan
keamanan yang mengakibatkan empat anggota Polri dan seorang anggota TNI-AU
tewas, serta mengakibatkan beberapa warga sipil luka parah. Pencarian pelaku
oleh polisi selanjutnya dilakukan secara keras sehingga menciptakan suasana
tegang.
Secara normatif, inti dari pelaksanaan Otonomi khusus adalah
pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Ini pada dasarnya untuk merangkul
90
Agus A. Alua, Seri Pendidikan Politik Papua No. 4 Kongres Papua 2000, 21 Mei – 04
Juni, Marilah Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, (Jayapura: Sekretariat Presidium Dewan
Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur, 2002), Hal. 13.
91 Update Briefing, Papua: Bahaya yang Dapat Timbul Jika Menghentikan Dialog, Crisis
Group Asia Briefing vol. 47, 23 Maret 2006, Hal. 1.
73
rakyat asli Papua, pria dan wanita dari masyarakat adat dan institusi keagamaan.
Undang-undang memberikan MRP kekuasaan yang luas seperti kuasa untuk
menimbang dan menyetujui calon Gubernur. Menurut amanah Undang-Undang,
MRP seharusnya dibentuk 2 tahun setelah pelaksanaan otonomi khusus
diberlakukan tetapi Pemerintah Pusat takut akan potensi kekuatannya, sehingga
menunda pembuatan peraturan pemerintah mengenai pembentukan MRP hingga
hampir 4 tahun. Penundaan ini secara efektif menahan proses politik dan hukum
mengenai implementasi otonomi khusus, yang perlu disahkan oleh MRP.
Dibandingkan dengan apa yang diantisipasi dengan adanya otonomi khusus,
peraturan yang pada akhirnya membentuk MRP memberikan badan tersebut
kekuasaan yang terbatas. Ia berfungsi hanya sebagai badan budaya non-politik
dengan kekuasaan dan sumber daya yang terbatas untuk melindungi kepentingan
rakyat Papua asli.92
Melihat kenyataan itu, badan penelitian milik pemerintah, LIPI melakukan
studi soal dinamikan konflik politik di Papua dan menghasilkan proposal yang
detil diberi nama – Road Map Papua – untuk proses dialog yang dipimpin oleh
pemerintah dan bila memungkinkan difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.
Road Map tersebut mengidentifikasi 4 akar penyebab konflik:93
Pertama,
Marjinalisasi orang asli Papua, terutama dalam hal ekonomi, sebagai efek migrasi;
92
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian
Dialogue, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan
Poso, Juni 2011, Hal 37.
93 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian
Dialogue, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan
Poso, Juni 2011, Hal 39.
74
Kedua, Kegagalan program pembangunan di Papua untuk mengatasi marjinalisasi
ekonomi; Ketiga, Perbedaan pemahaman yang mendasar terhadap sejarah antara
Jakarta dan Papua; Keempat, Warisan kekerasan yang dilakukan oleh Negara
terhadap masyarakat Papua. Atas analisa tersebut, LIPI menyarankan pendekatan
―Papua Baru‖ melalui kebijakan peneguhan yang memberi kekuasaan kepada
rakyat Papua.
Konflik yang kemudian muncul adalah Dewan Adat Papua (DAP)
menolak adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) sehingga menimbulkan konflik
kepentingan antar elit suku di Papua.
Jalan dialog secara kultural antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Papua serta representasi dari masyarakat Papua terus dibahas dalam proses
konsultasi publik masyarakat sipil. Kelompok – kelompok yang berasal dari
berbagai pihak politik menyadari perlunya kesatuan dan walaupun ada perbedaan
pendekatan. Ide dialog antara Pemerintah Pusat dan Papua telah menarik
perhatian. Pada Juni 2010, MRP membuat 11 rekomendasi, 2 di antaranya yang
paling penting adalah mengembalikan Undang-undang Otonomi Khusus ke
Jakarta dan meminta Jakarta untuk mengadakan dialog dengan rakyat Papua asli.94
94
Rekomendasi MRP lainnya adalah: pelaksanaan referendum yang bertujuan untuk
kemerdekaan politik; PI mengakui pengembalian kekuasaan Rakyat Papua Barat yang
diproklamasikan pada 1 Desember 1961; mendesak komunitas internasional untuk melakukan
penutupan terhadap dana internasional yang diberikan untuk implementasi Undang-undang
Otonomi Khusus; tidak perlu revisi atas UU 21/2001 mengenai Otonomi Khusus; menghentikan
proses pemilihan kepala kabupaten di Papua; menghentikan transmigrasi dan melaksanakan
pengawasan yang ketat atas arus migrasi ke Papua; mendesak pelepasan semua tahanan poliotik
Papua di penjara di manapun di Indonesia. Lihat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current
Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah
Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, Juni 2011, Hal 41.
75
4.2 Analisa Perbandingan Persaingan Politik Antar Elit Tokoh dalam Media
Pembentukan sebuah institusi yang bekerja dalam interaksi dan persaingan
politik ditinjau dari kepentingan antar aktor akan sangat berpotensi untuk
menimbulkan konflik antar suku, atau pun beberapa aktor dengan aktor lainnya.
Selain konflik, kerjasama pun sering kali berlangsung antar aktor apalagi
pembentukan lembaga atau institusi akan menghasilan kesepakatan dalam
keputusan akhirnya.
Keterbukaan politik yang drastis pasca otonomi khusus telah membawa
implikasi pada perubahan pola policy making process. Era keterbukaan politik
telah menghasilkan kesepakatan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe (LWN)
dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Akan tetapi era keterbukaan melahirkan
persaingan politik dalam pembentukannya antara elit tokoh LWN dan MRP.
Munculnya persaingan politik pembentukan LWN dan MRP disebabkan oleh
adanya perbedaan pemahaman, kepentingan, dan tujuan.
Salah satu cara melihat terjadinya persaingan politik adalah melalui
wacana media massa. media massa menjadi arena persaingan politik dan
pembentukan opini publik yang sehat, interaksi gagasan antar elemen masyarakat
sipil ditingkat lokal dan nasional, serta berkemampuan memelihara tatanan
budaya yang berlandaskan nilai moral dan agama. Secara umum peran media
adalah sebagai sarana penyedia informasi politik, pendidikan politik dan kontrol
politik. Untuk itu media harus menyediakan informasi politik yang benar,
memproduksi wacana politik yang mencerdaskan dan mengontrol proses politik
agar berjalan sesuai dengan peraturan.
76
Media cetak maupun elektronik, memiliki potensi strategis untuk
memberikan pengertian, membangkitkan kesadaran, mengubah sikap, pendapat
dan perilaku masyarakat. Media massa yang dapat menyebarkan informasi dengan
cepat diharapkan dapat menjadi alat kontrol sosial yang konstruktif dan efektif.
4.2.1 Persaingan Politik Antar Elit Tokoh dalam Media pada LWN
Mendukung Menolak
Pada pembentukan LWN ini terdapat aktor-aktor yang pro dan kontra.
Klasifikasi pro-kontra melalui tracking media massa, yaitu : Elemen-elemen atau
lembaga yang menolak adanya pembentukan LWN ataupun menolak adanya Wali
Nanggroe yang memimpin LWN diantaranya LSM, Masyarakat, Organisasi
Kemahasiswaan, dan Akademisi.95
LSM, Masyarakat, dan Organisasi Kemahasiswaan berpendapat bahwa
adanya LWN tidak memenuhi asas keadilan, karena hanya menguntungkan pihak
atau kelompok tertentu saja. Ada point dalam Qanun LWN yang tidak jelas, yaitu
terletak pada BAB V pasal 69 Butir C yang menyebutkan bahwa seorang Wali
Nanggroe harus bisa berbahasa Aceh fasih dan baik yang artinya kemungkinan
untuk suku lain di Aceh tidak bisa menjadi Wali Nanggroe. Hal tersebut dinilai
95
http://www.harianaceh.co/read/2011/01/06/6744/qanun-wali-nanggroe-2, diakses pada
15 November 2015.
LSM, Masyarakat,
Organisasi
Kemahasiswaan,
Akademisi.
DPR Aceh LWN
77
tidak mencerminkan representatif keberagaman Aceh. Selain itu pembentukan
LWN dan pemilihan Wali Nanggroe menurut mereka dilakukan dengan
terselubung, sehingga melanggar asas demokrasi.
Dalam hal ini para akademisi berpendapat bahwa penerapan LWN
cenderung adanya diskriminasi terhadap suku diantaranya Suku Gayo, Alas, dan
Singkil. Selain itu juga mengindikasikan adanya pelanggaran HAM, bertentangan
dengan pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Disisi lain pihak yang pro atau mendukung adanya LWN salah satu
diantaranya adalah DPR Aceh yang melihat dalam hal tujuan dan fungsi LWN,
yang mengatakan bahwa adanya pihak-pihak yang menolak atau kontra terhadap
LWN dikarenakan pihak-pihak tersebut kurang memahami akan tujuan di
bentuknya LWN itu sendiri yang justru bermanfaat untuk mengatur masyarakat
Aceh.
4.2.2 Persaingan Politik Antar Elit Tokoh dalam Media pada MRP
Mendukung Menolak
DPR Papua mendukung dibentuknya MRP dikarenakan kehadiran MRP
merupakan manifestasi amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang tertuang pada bab V pasal 5, ayat 2
yang menyatakan bahwa :
”Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua
dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural
Dewan Adat Papua
(DAP), Masyarakat,
dan Mahasiswa
DPR Papua MRP
78
orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak orang asli Papua,dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan
pemantapan kerukunan hidup beragama”.
Sedangkan Dewan Adat Papua (DAP), Masyarakat, dan Mahasiswa
menolak dibentuknya MRP bahkan hingga kini pihak-pihak tersebut
menginginkan MRP untuk di bubarkan. Beberapa alasan penolakan diantaranya
MRP dinilai belum mampu berfungsi lembaga protektor Orang Asli Papua baik
sebagai Anak Adat, Budaya dan Gereja/Tuhan. Misalnya, secara konkret dalam
kasus penembakan 5 siswa di Paniai, penembakan beberapa aktivitis di
Yahukimo, dan pembakaran Mushola di Tolikara yang mana urgensinya
sebenarnya ada pada manusia yang ditembak, bukan Mushola yang heboh di
seantero Indonesia. Ketika peristiwa itu terjadi seakan-akan MRP hanya berdiam
diri tanpa berbuat sesuatu yang tegas dan berarti.
Selain itu Majelis Rakyat Papua dibentuk hanya untuk kepentingan elit
politik (Politik Praktis). Dalam hal ini nampak jelas ketika segala macam
keputusan dan kebijakan yang akan dilahirkan MRP lebih cenderung terfokus
(didominasi) kebijakan yang semat-mata berhubungan dengan jabatan di
pemerintahan dan politik.96
Tugas dan fungsi MRP berbenturan dengan fungsi
Dewan Adat Papua (DAP), serta Lembaga Masyarakat Adat lainnya. Kehadiran
lembaga ini seakan-akan menjadi lembaga tandingan Dewan Adat Papua (DAP)
yang mana lebih diakui masyarakat asli Papua dan merupakan lembaga adat dan
96
http://mrp.papua.go.id/mrp-kpu-dan-parpol-wajib-laksanakan/, diakses pada 15
November 2015.
79
pemerintahan non formal yang terstruktur dan telah lama dihargai dan dihormati
oleh segenap lapisan Masyarakat Asli Papua.
80
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dalam kesimpulannya, maka desentralisasi asimetris merupakan otonomi
khusus yang mengatur adanya keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan
Mejelis Rakyat Papua (MRP). Hal ini merupakan manifestasi dari kebijakan
otonomi khusus yang menggambarkan kekhususan bagi daerah Aceh dan daerah
Papua pada dimensi kelembagaan. Karena dilihat dari dimensi kekhususan
otonomi khusus terdapat tiga dimensi, yaitu dimensi peristilahan, dimensi
kelembagaan, dan dimensi keuangan daerah.
Kemudian terdapat persamaan antara LWN dan MRP, antara lain :
1. Kedua lembaga tersebut sama-sama memperoleh kewenangan atributif,
kewenangan atributif adalah kewenangan yang diperoleh dari peraturan
undang-undang seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintah
Aceh pada BAB XII tentang Lembaga Wali Nanggroe pasal 96-97. Dan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua pada bagian keempat Majelis Rakyat Papua Pasal 19-25,
dan telah diubah dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Perpu No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
menjadi Undang-Undang.
81
2. Kedudukan Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua dalam
konstruksi undang-undang otonomi khusus bukan merupakan lembaga
legistlatif dan eksekutif. Melainkan sebagai lembaga representrasi kultural
yang didasarkan pada pilar adat, agama dan budaya. Akan tetapi dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan kedua lembaga tersebut memiliki
keterkaitan fungsional dengan badan legislatif dan eksekutif terutama
dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak dasar orang asli Aceh dan
orang asli Papua.
3. Dalam menjalankan peran dan fungsinya kedudukan LWN dan MRP
cenderung terbatas pada aspek pengawasan dan perwakilan, namun tidak
memiliki fungsi legeslasi yang nyata. Lembaga Wali Nanggroe hanya
mempunyai fungsi memberikan usulan dan pertimbangan dalam membuat
peraturan atau qanun Aceh, sedangkan Majelis Rakyat Papua hanya
berfungsi memberikan pertimbangan dan mengesahkan produk-produk
hukum yang berlaku di daerah Papua melalui perdasus. Sebagai
konsekuensinya dari kedudakan hukum yang ambivalen (legislatif dan
eksekutif) itu, maka produk hukum Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis
Rakyat Papua cenderung tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat (final and binding).
Sedangkan perbedaan dari kedua lembaga tersebut adalah, pertama,
Majelis Rakyat Papua mempunyai kewenangan lebih luas dibanding Lembaga
Wali Nanggroe, karena Lembaga Wali Nanggroe hanya berfungsi pada
memberikan usulan dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah dan Dewan
82
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sementara Majelis Rakyat Papua berfungsi
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Kedua, Kalau dilihat dari segi budaya,
Lembaga Wali Nanggroe lebih melindungi dan menjaga masyarakat yang
homogen karena kebanyakan masyarakatnya Islam. Sedangkan Majelis Rakyat
Papua melindungi dan menjaga masyarakat yang cenderung heterogen karena
terdapat banyak etnis suku dan agama di Papua.
5.2 Saran – Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka otonomi khusus untuk daerah Aceh
dan Papua merupakan hasil dari konsensus bersama antara pemerintah pusat dan
daerah dalam menyelesaikan konflik akibat kesenjangan ekonomi dan politik.
Sehingga melahirkan Undang-Undang Otonomi Khusus dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintah
Aceh. Dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua dan telah diubah dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2008
tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi
Undang-Undang. Sebagai daerah yang mempunyai kekhususan, maka kedua
daerah tersebut mempunyai wewenang yang luas dalam mengatur dan
menjalankan pemerintahan daerannya masing-masing tanpa harus melampaui
kewenangan Pemerintahan Pusat.
Saran dari penulis untuk Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat
Papua adalah harus diberikan ruang gerak yang luas dalam membuat dan
83
menetapkan peraturan yang berkaitan dengan budaya atau adat – istiadat daerah
masing-masing. Dan harus ada legislasi nyata bukan hanya sekedar memberikan
saran, pertimbangan dan lain-lain. Itupun harus dilihat juga apakah kedua lembaga
ini sudah berkerja sesuai peran dan fungsinya?. Apabila sudah, maka dapat
dipertimbangkan aspek fungsi legislasi dapat dikerjakan bersama – sama Pemda,
DPR Aceh dan DPR Papua bersama LWN dan MRP bukan hanya sebatas
perwakilan, memberikan saran dan pertimbangan.
84
DAFTAR PUSTAKA
Nari, Markus, Dinamika Sosial dan Pemekaran Daerah, Jogyakarta: Penerbit
Ombak, 2010.
Bhakti, Ikrar Nusa, “Akankah Fajar Kemerdekaan Papua Merekah di Ufuk Timur
(sebuah pengantar)” dalam buku Mengapa Papua Ingin Merdeka,
Jayapura: Presidium Dewan Papua, 2002.
Raweyai, Yorrys Th, Mengapa Papua Ingin Merdeka, Jayapura: Presidium
Dewan Papua, 2002.
Samule, Agus, Satu Setengah Tahun Otsus Papua; Refleksi dan Prospek, Papua:
Yayasan ToPanG, 2003.
Wally, Ramses, Momentum Reformasi Politik dan Ekonomi Di Tanah Papua;
Refleksi Pasca Implementasi Otsus dan Impres No.5 Tahun 2007, Jakarta
Barat: Cipro Media, 2008.
Piliang, Indra Jaya, Bouraq-Singa kontra Garuda; Pengaruh Sistem Lambang
dalam Separatis GAM terhadap RI, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010.
M. Setiadi, Elly, Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011.
Lawang, Robert, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, Jakarta: Universitas
Terbuka, 1994.
Hidayat, Syarif, “Desentralisasi dalam Perspektif State-Society Relation:
Rekonstruksi Konsep dan Pendekatan Kebijakan”, dalam Tim LIPI,
Membangun Format Baru Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2006.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah ,Pasang Surut Hubungan Kewenangan
antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: PT Alumni, 2004.
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta: PT.Sinar
Grafika, 2008.
Muluk, Khairul, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang: Bayumedia
Publishing, 2005.
85
Fauzi, Noer dan Zakaria, R.Yando, Mensiasati Otonomi Daerah, Yogyakarta :
Konsorsium pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST “Press”,
2000.
Van Harskamp (ed), Anton, Konflik-konflik dalam ilmu sosial, Cet. 5, Yogyakarta
: Kanisius, 2009.
Raho, Bernard, SVD, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007.
Hendropuspito, Sosiologi Sistematika, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1995.
Litvack, Jennie, Junaid Ahmad dan Richard Bird, Rethinking Decentralization in
Developing Countries, Washington, D.C. The World Bank, 1998.
Cheema, G. Shabbir, dan Dennis A. Rondinelli, “From Government
Decentralization to Decentralized Governance”, G. Shabbir Cheema dan
Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing Governance: Emerging
Concepts and Practices, Washington D.C.: Brooking Institution Press,
2007.
Rondinelli, Dennis, Decentralizing Urban Development Programs: A Framework
for Analyzing Policy, Washington, D.C.: USAID, Office of Housing and
Urban Programs, 1990.
Treisman, D., Decentralization and The Quality of Government, Los Angeles:
University of California, 2000.
Mawhood, P., (ed.), Local Government in The Third World: The Experience of
Tropical Africa, Chicheser: John Wiley & Sons, 1987.
Smith, Brian C., Decentralization: The Territorial Dimension of The State,
London: G. Allen & Unwin, 1985.
Robertson, David, A Dictionary of Modern Politics, 2nd
Edition, Rochester, Kent:
Europa Publications, 1993.
Rondinelli, Dennis A., Development Projects as Policy Experiments, London:
Routledge, 1993..
Syueb, Sudono, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan
sampai Era Reformasi, Surabaya: Laksbang Mediatama, 2008.
86
Elmi, Bachrul, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2002.
Muslimin, Amrah, Aspek – Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni,
1986.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II, terj. Robert
M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Brouwer, J.G., dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen:
Ars Aeguilibri, 1998..
SH, Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Jakarta: Kata Hasta
Pustaka, 2005.
Hendratno, Edie Toet, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Sawitri, Isma, Amran Zamzami, B. Wiwoho, Simak dan Selamatkan Aceh,
Jakarta: Panitia Peduli Aceh, 1999.
Hasan, Sp. OG, Dr. Husaini M., Dari Rimba Aceh ke Stockholm; Catatan Dr.
Husaini M. Hasan ketika bersama Dr. Tengku Hasan M. di Tiro
(Proklamator Aceh Merdeka), Jakarta: Batavia Publishing, 2015.
Sujatno, Adi, Moral dan Etika Kepemimpinan Merupakan Landasan ke Arah
Kepemerintahan yang Baik (Good Goverment ), Jakart: Team 4 AS, 2009.
Alua, Agus A., Seri Pendidikan Politik Papua No. 4 Kongres Papua 2000, 21 Mei
– 04 Juni, Marilah Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, Jayapura:
Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar
Timur, 2002.
The New Oxford Illustrated Dictionary, Oxford University Press, 1982.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005.
Redaksi Sinar Grafika. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI No. 11
Th.2006). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Buku Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan
Keempatbelas, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 2015.
87
Jurnal, Artikel dan Makalah
Conyers, Diana, “Decentralization and Development: A Review of the
Literature”, dalam Public Administration and Development, Vol. 4, Issue
2, 1984.
Syafrudin, Ateng, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung:
Universitas Parahyangan, 2000.
Rondinelli, Dennis A, “Government Decentralization in Comparative
Perspective: Theory and Practice in Developing Countries,” dalam
International Review of Administrative Sciences, Vol. 47, No. 2, 1981.
Rondinelli, Dennis A, John R. Nellis dan G. Shabbir Cheema, Decentralization in
Developing Countries: A Review of Recent Experience, World Bank Staff
Working Paper No. 581, Management and Development Series No. 8,
Washington, D.C.: World Bank, 1983.
Rondinelli, Dennis A, James S. McCullough dan Ronald W. Johnson, “Analysing
Decentralization Policies in Developing Countries: A Political-Economy
Framework”, dalam Development and Change, Vol. 20, No. 1, 1989.
Bollens, Prof Scott A., “Regional and Local Authonomy in Transitioning
Societies”, dalam International IDEA, “Continuing Dialogue towards
Constitutional Reform in Indonesia”, Jakarta, International IDEA, 2001.
Hadjon, Philipus M, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegheid),
dalam Pro Justitia , Majalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Katholik
Parahyangan , Bandung, No.1 Tahun XVI.
Kantaprawira, Rusadi, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Yogyakarta:Universitas
Islam Indonesia, 1998.
Hadjon, Philipus M, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga:
Surabaya, tanpa tahun.
Muttaqin, Azmi, dalam Makalah Penelitian Otonomi Khusus Papua Sebuah
Upaya Merespon Konflik dan Aspirasi Kemerdekaan Papua.
Schneider, A, “Decentralization: Conceptualization and Measurement”, dalam
Studies in Comparative International Development, Vol. 38, No. 3, 2003.
Safa’at, Muchamad Ali, Artikel ; Problem Otonomi Khusus Papua.
88
Jurnal International crisis group ; Update Briefing, Papua: Bahaya yang Dapat
Timbul Jika Menghentikan Dialog, Edisi 23 Maret 2006.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for
Humanitarian Dialogue, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah
Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, Juni 2011.
Jurnal International Encyclopaedia of The Social Sciences, Vol. 3.
Jurnal Hukum Internasional Vol. 4 No. 2 Januari, 2007.
Sumber Undang – Undang dan Peraturan Pusat atau Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenagan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis
Rakyat Papua.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintah
Aceh.
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Majelis Rakyat Papua.
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Kedudukan Protokoler Pimpinan dan Anggota Majelis Rakyat Papua.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2008
tentang perubahan atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang
otonomi khusus bagi provinsi papua menjadi undang-undang.
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pemilihan
Anggota Majelis Rakyat Papua.
89
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 8
Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: Aceh:
Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh, 2013.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Sumber Internet
Litvack, Jenny, dan Jessica Sheldon (eds.), “Decentralization: Briefing Note”,
World Bank Institute, 2005, Hal. 1, dalam
http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses
15 Januari 2015.
Hofman, Bert, “Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure
Review”, World Bank Regional Public Expenditure Review Overiew
Report No. 26191-IND, The World Bank East Asia Poverty Reduction and
Economic Management Unit (June 2003), Hal. 2, dalam
http://www1.worldbank.org/publicsector/LearningProgram/Decentralizati
on/Hofman.pdf, diakses 13 Januari 2015.
M. Ryaas Rasyid,“The Policy of Decentralization in Indonesia”,
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Decentralization/Presentation1.p
df, diakses 15 Januari 2015.
Nama-nama Wali Nanggroe, dikutip dalam http://iskandarnorman.blogspot.com
diakses 1 September 2015
Jejak Wali Nanggroe dalam situs www.atjehlink.com/Mengintip jejak Wali
Nanggroe di Aceh. Diakses 1 September 2015
Peran dan Tugas Majelis Papua dalam berita
http://www.id.papua.us/2014/03/timotius-murib-tugas-majelis-rakyat.html
diakses 1 September 2015.
Kekuasaan MRP bisa dilihat di: Peraturan Pemerintah no.54/2004 mengenai
Komunitas Parlemen Papua. Bisa dilihat di:
www.papuaweb.org/goi/pp/2004-54-en.pdf, diakses 16 Oktober 2015.
http://www.id.papua.us/2014/03/timotius-murib-tugas-majelis-rakyat.html, yang
diakses pada 1 September 2015.
90
http://www.acehtraffic.com/2012/11/massa-di-takengon-dan-bener-meriah.html,
diakses pada 15 November 2015.
http://www.harianaceh.co/read/2011/01/06/6744/qanun-wali-nanggroe-2, diakses
pada 15 November 2015.
http://aceh.tribunnews.com/2015/11/18/masyarakat-aceh-tak-butuh-bendera-dan-
wali-nanggroe, diakses pada 15 November 2015
http://aceh.tribunnews.com/2013/05/29/bem-se-aceh-tenggara-tuntut-pemekaran-
provinsi-ala, diakses pada 15 November 2015.
http://www.ajnn.net/2015/10/isu-pembubaran-lembaga-wali-nanggroe-kembali-
mencuat/, diakses pada 15 November 2015.
http://www.harianaceh.co/read/2011/01/06/6744/qanun-wali-nanggroe-2, diakses
pada 15 November 2015.
http://mrp.papua.go.id/mrp-kpu-dan-parpol-wajib-laksanakan/, diakses pada 15
November 2015.