documentp2

61
LAPORAN HASIL DISKUSI MODUL INFEKSI IMUNOLOGI PEMICU 2 KELOMPOK DISKUSI 2 1. Jamalludin I11108071 2. Tata Rimba Parmanto I11110035 3. Nur'Azmi Ayuningtyas I11111009 4. Dina Fitri Wijayanti I11112007 5. Guntur Suseno I11112012 6. Dodi Novriadi I11112014 7. Adela Brilian I11112020 8. Irvinia Rahmadyah I11112023 9. Ridha Rahmatania I11112027 10. Alvina Elsa Bidari I11112038 11. Anis Komala I11112041

Upload: doddy-novriadie

Post on 17-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

imun

TRANSCRIPT

Page 1: DocumentP2

LAPORAN HASIL DISKUSI

MODUL INFEKSI IMUNOLOGI

PEMICU 2

KELOMPOK DISKUSI 2

1. Jamalludin I11108071

2. Tata Rimba Parmanto I11110035

3. Nur'Azmi Ayuningtyas I11111009

4. Dina Fitri Wijayanti I11112007

5. Guntur Suseno I11112012

6. Dodi Novriadi I11112014

7. Adela Brilian I11112020

8. Irvinia Rahmadyah I11112023

9. Ridha Rahmatania I11112027

10. Alvina Elsa Bidari I11112038

11. Anis Komala I11112041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2015

Page 2: DocumentP2

2

BAB I

PENDAHULUAN

PEMICU 2

By. Laki-laki usia 10 bulan dibawa ibunya ke puskesmas karena demam tinggi dan rewel mulai sore hari kemarin. Riwayat batuk, pilek, maupun muntah disangkal. Sang ibu hanya mengeluhkan bayinya rewel sejak tadi malam. Dari keterangan sang ibu, 1 hari yang lalu bayinya mendapatkan imunisasi campak di puskesmas tersebut.

A. Klarifikasi dan definisi- Imunisasi : Prosedur untuk meningkatkan derajat imunisasi.

- Demam : Peningkatan suhu tubuh diatas 37,5oC per aksial.

B. Kata Kunci

1. Bayi 10 bulan

2. Imunisasi campak

3. Demam tinggi

C. Rumusan Masalah

Bayi 10 bulan mengalami demam tinggi setelah imunisasi campak 1 hari yang

lalu

D. Analisis Masalah

Bayi Nuni, 10 bulan

Edukasi

Penanganan

KIPI

Demam tinggiAnamnesis:

-Rewel

-Imunisasi Campak

-Batuk, pilek, muntah (-)

Page 3: DocumentP2

3

E. Hipotesis

Demam tinggi yang dialami bayi tersebut merupakan kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Campak

F. Pertanyaan Diskusi

1. Imunisasi

a. Definisi

b. Klasifikasi

c. Cara Pemberian

d. Jadwal pemberian

e. Indikasi dan kontraindikasi

f. Jeni-jenis vaksin

g. Tingkat keberhasilan

2. Imunisasi apa saja yang menimbulkan demam ?

3. Apa perbedaan imunisasi pada anak, orang dewasa, dan ibu hamil ?

4. Jelaskan mengenai KIPI !

5. Apa saja reaksi yang dapat ditimbulkan setelah imunisasi ?

6. Mengapa imunisasi ada yang diberikan sekali dan berkali-kali ?

7. Bagaimana bila terlambat imunisasi?

8. Jelaskan mengenai demam

9. Bagaimana tatalaksana dan edukasi pada kasus ?

10. Infeksi yang sering terjadi pada anak dan pemeriksaan penunjangnya ?

Page 4: DocumentP2

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Imunisasi

1. Definisi

Imunisasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas,

memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respon memori terhadap

patogen tertentu atau toksin dengan menggunakan antigen nonvirulen atau

nontoksik.1

2. Klasifikasi Imunisasi

2.1. Imunisasi pasif

Imunisasi pasif terjadi bila seseorang menerima antibodi atau produk sel

dari orang lain yang telah mendapat imunisasi aktif. Imunitas pasif dapat

diperoleh melalui antibodi dari ibu atau dari globulin gama homolog yang

dikumpulkan. Imunisasi pasif dibagi lagi menjadi:

a. Imunisasi pasif alamiah

1. Imunitas maternal melalui plasenta

Antibodi dalam darah ibu merupakan proteksi pasif kepada janin.

IgG dapat berfungsi antitoksik, antivirus dan antibakterial terhadap H.

Influenza B atau S. Agalacti B. Ibu yang mendapat mendapat vaksinasi

aktif akan memberikan proteksi pasid kepada janin dan bayi.1

2. Imunitas maternal melalui kolostrum

ASI mengandung berbagai komponen sistem imun. Beberapa di

antaranya berupa Enhancement Growht Factor untuk bakteri yang

diperlukan dalam usus atau faktor yang justru dapat menghambat

tumbuhnya kuman tertentu (lisozim, laktoferin, interferon, makrofag, sel

T, sel B, granulosit). Antibodi ditemukan dalam ASI dan kadarnya lebih

tinggi dalam kolostrum (ASI pertama segera setelah partus).1

Page 5: DocumentP2

5

b. Imunisasi pasif buatan

1. Immune Serum Globulin nonspesifik (Human Normal Immunoglobulin)

Imunisasi pasif tidak diberikan secara rutin, hanya diberikan dalam

keadaan tertentu kepada penderita yang terpajan dengan bahan yang

berbahaya terhadapnya dan sebagai regimen jangka panjang pada

penderita dengan defisiensi antibodi. Jenis imunitas diperoleh segera

setelah suntikan, tetapi hanya berlangsung selama masa hidup antibodi in

vivo yang sekitar 3 minggu untuk kebanyakan bentuk proteksi oleh Ig.

Imunisasi pasif dapat berupa tindakan profilaktik atau terapeutik, tetapi

sedikit kurang berhasil sebagai terapi.1

Preparat dibuat dari plasma atau serum yang dikumpulkan dari

donor sehat atau plasenta tanpa memperhatikan sudah atau belum

divaksinasi/dalam atau tidak dalam masa konvalesen suatu penyakit.

Preparat yang diperoleh harus bebas dari virus hepatitis dan HIV atau

AIDS, kadar antibodi sekitar 25 kali (biasanya mengandung 16,5 g/dl

globulin, terutama IgG), stabil untuk beberapa tahun dan dapat mencapai

puncaknya dalam darah sekitar 2 hari setelah pemberian IM.1

2. Immune Serum Globulin spesifik

Plasma atau serum yang diperoleh dari donor yang dipilih sesudah

imunisasi atau booster atau konvalesen dari suatu penyakit, disebut sesuai

dengan jenisnya misalnya TIG, HBIG, VZIG dan RIG. Preparat dapat

pula diperoleh dalam jumlah besar dari hasil plasmaferesis.1

a. Hepatitis B Immune Globulin

HBIG yang diperoleh dari pool plasma manusia yang menunjukkan

titer tinggi antibodi HbsAg. HBIG juga dapat diberikan pada masa

perinatal kepada anak yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi virus

hepatitis B, para tenaga medis yang tertusuk jarum terinfeksi atau pada

Page 6: DocumentP2

6

mereka setelah kontak dengan seseorang hepatitis B yang HbsAg

positif.

b. ISG Hepatitis A

Diberikan sebagai proteksi sebelum dan sesudah pajanan. Juga

diberikan untuk mencegah hepatitis A pada mereka yang akan

mengunjungi negara dengan prevalensi hepatitis A tinggi.

c. ISG Campak

ISG dapat diberikan sebelum vaksinasi dengan virus campak yang

dilemahkan kepada anak-anal yang imunodefisien.

d. Human Rabies Immune Globulin

HRIG yang diperoleh dari serum manusia yang hiperimun terhadap

rabies (biasanya dokter hewan atau mahasiswa calon dokter hewan).

HRIG digunakan untuk mengobati penderita terpajan dengan aning

gila. HRIG juga dapat diberikan bersamaan dengan imunisasi aktif

oleh karena antibodi dibentuk lambat. Karena tidak tersedianya serum

asal manusia, kadang diberikan serum asal kuda.

e. Human Varicella-Zoster Immune Globulin

HVIG dipilih oleh karena mengandung antibodi dengan titer tinggi

terhadap virus varisela-zoster. Produk ini digunakan sebagai

profilaksis pada anak imunodefisiensi untuk mencegah terjangkit

varisela, tetapi tidak menguntungkan untuk digunakan pada penderita

dengan varisela aktif atau herpes zoster.

f. Antisera terhadap virus Sitomegalo

Antisera terhadap virus Sitomegalo diberikan secara rutin kepada

mereka yang mendapat transplan sumsum tulang untuk mengurangi

reaktivasi virus bila diberikan obat imunosupresif dalam usaha

mengurangi kemungkinan penolakan tandur

g. Antibodi Rhogam

Page 7: DocumentP2

7

Antibodi Rhogam terhadap antigen RhD, diberikan dalam usaha

mencegah imunisasi oleh eritrosit fetal yang RH+. Rho )D)-Immune

Globulin (RhoGAM) adalah preparat asal manusia, diberikan kepada

wanita Resus negatif dalam 72 jam sesudah melahirkan, keguguran

atau aborsi dengan bayi/janin resus positif. Maksudnya ialah

mencegah sensitisasi ibu terhadap kemungkinan sel darah merah janin

yang Resus-positif. Juga diberikan selama trimester terakhir (16

minggu) kepada prima gravida Resus-negatif.

h. Tetanus Immune Globulin

TIG adalah antitoksin yang diberikan sebagai proteksi pasif stelah

menderita luka. Biasanya diberikan IM dengan toksoid tetapi pada

lengan sebaliknya.

i. Vaccinia Immune Globulin

VIG yang diberikan kepada penderita dengan eksim atau

imunokompromais yang terpajan dengan vaksinia dan pada anggota

tentara.

2.2. Imunisasi Aktif

Untuk mendapatkan proteksi dapat diberikan vaksin hidup/ dilemahkan

atau yang dimatikan. Vaksin yang baik harus mudah diperoleh, murah, stabil

dalam cuaca ekstrim dan nonpatogenik. Efeknya harus tahan lama dan mudah

direaktivasi dengan booster antigen. Baik sel B maupun sel T diaktifkan oleh

imunisasi.

Keuntungan dari pemberian vakin hidup/ dilemahkan ialah terjadinya

replikasi mikroba sehingga menimbulkan pajanan dengan dosis lebih besar dan

respon imun ditempat infeksi alamiah. Vaksin yang dilemahkan diproduksi

dengan mengubah kondisi biakan mikroorganisme dan dapat merupakan

pembawa gen dari mikroorganisme lain yang sulit untuk dilemahkan.

Page 8: DocumentP2

8

BCG merupakan pembawa yang baik untuk antigen yang memerlukan

imunitas sel CD4 dan Salmonella sehingga dapat memberikan imunitas melalui

pemberian oral. Imunisasi intranasal telah mendapat popularitas. Risiko vaksin

yang dilemahkan ialah oleh karena dapat menjadi virulen kembali dan

merupakan hal yang berbahaya untuk subjek immunokompromais.1

3. Indikasi dan Kontraindikasi imunisasi 2,3,4

1. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang primer atau

yang ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG,

pencegahan imunisasi BCG untuk TBC yang berat seperti TBC yang selaput

otak, TBC milier (pada seluruh lapangan paru) atau TBC tulang. Imunisasi

BCG ini merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah

dilemahkan. Frekuensi pemberiaan imunisasi BCG adalah satu kali dan

waktu pemberian imunisasi BCG pada umur 0-11 bulan, akan tetapi pada

umumnya diberikan pada bayi umur 2 atau 3 bulan, kemudiaan cara

pemberiaan imunisasi BCG melalui intra derma.

b. Kontra Indikasi

1) Adanya penyakit kulit yang berat atau menahun seperti eksim,

furunkolis, dan sebagainya.

2) Mereka yang sedang menderita TBC.

c. Efek Samping

Imunisasi BCG meninggalkan indurasi dan kemerahan di tempat suntikan

yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak

perlu pengobatan akan sembuh secara spontan dan akan meninggalkan tanda

parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan

Page 9: DocumentP2

9

atau di leher, terasa padat tetapi tidak sakit, tidak perlu di obati akan sembuh

dengan sendirinya

2. Imunisasi PPT (Diphteri, Pertusis, dan Tetanus)

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan vaksin yang mengandung

racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan tetapi masih

dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberiaan

imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud pemberiaan pertama zat anti

terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan

organ-organ tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zay anti

yang cukup. Waktu pemberian imunisasi DPT antar umur 2-11 bulan

dengan interval empat minggu. Cara pemberiaan imunisasi DPT melalui

intra muscular.

b. Efek Samping

Efek samping pada DPT mempunyai efek ringan dan efek berat, efek

ringan seperti pembengkakkan dan nyeri pada tempat penyuntikan, demam

sedangkan efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih empat

jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock.

c. Kontra Indikasi

Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala

serius keabnormalan pada saraf merupakan kontra indikasi pertusis. Anak

yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis

harus dihilangkan pada dosis kedua dan untuk meneruskan imunisasinya

dapat diberikan DT, riwayat anafilaksis, ensefalopati, hiperpireksia

Page 10: DocumentP2

10

3. Imunisasi Polio

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak.

Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberiaan

imunisasi polio adalah empat kali. Waktu pemberiaan imunisasi polio pada

umur 0-11 bulan dengan interval pemberiaan empat minggu. Cara

pemberiaan imunisasi polio melalui oral.

b. Efek Samping

Pada umumnya tidak terdapat efek samping . efek samping berupa

paralysis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang ( < 0,17 : 1.000.000;

Bull WHO 66 :1998)

c. Kontra Indikasi

1) Diare berat

2) Penyakit akut atau demam

3) Hipersensitif yang berlebihan terutama pada neomisin, polimiksin,

streptomisin)

4) Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi,

kortikosteroid)

5) Kehamilan

4. Imunisasi Campak

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit campak pada anak karena penyakit ini sangat menular.

Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi

pemberiaan imunisasi campak adalah satu kali. Waktu pemberiaan

imunisasi campak pada umur 9-11 bulan. Cara pemberiaan imunisasi

campak melalui subkutan.

Page 11: DocumentP2

11

b. Efek Samping

Efek sampingnya adalah dapat terjadi ruam pada tempat suntikan dan

panas selama 3 hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksin.

c. Kontra Indikasi

Individu yang menderita penyakit immune deficiency atau individu yang

di duga menderita gangguan respon imun seperti leukemia, lymphoma.

5. Imunisasi Hepatitis B

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit hepatitis yang kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair.

Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis tiga kali. Waktu pemberiaan

imunisasi hepatitis B pada umur 0-11 bulan. Cara pemberiaanya adalah

intramuscular.

b. Efek Samping

Reaksi local seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar

tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya

hilang setelah dua hari.

c. Kontra Indikasi

Hipersensitif pada komponen vaksin. Seperti vaksin-vaksin yang lain,

vaksin ini tidak boleh diberikan pada penderita infeksi berat yang disertai

kejang.

6. Imunisasi MMR (Measles, Mumps, dan Rubela)

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan dalam memberikan atau

mencegah terjadinya penyakit campak (measles), gondong , parotis

epidemika (mumps) dan rubela (campak jerman). Dalam imunisasi MMR

ini antigen yang dipakai adalah virus campak strainedmonson yang

Page 12: DocumentP2

12

dilemahkan, virus rubella strain RA 27/3 dan virus gondong. Vaksin ini

tidak dianjurkan pada bayi usia dibawah 1 tahun karena dikhawatirkan

terjadi interferensi dengan antibodi maternal yang masih ada, khusus pada

daerah endemic sebaiknya diberikan imunisasi campak yang monovalen

dahulu pada usia 4-6 bulan atau 9-11 bulan dan boster dapat dilakukan

MMR pada usia 15-18 bulan.

b. Efek Samping

Efek samping vaksin porotitis biasanya berupa pembengkakan kelenjar

liur yang timbul 10-14 hari setelah vaksin. Sedangkan untuk vaksin rubella,

efek sampingnya terinfeksi rubella ringan seperti demam ringan, nyeri

tenggorokan, pusing ruam, dan pembengkakan kelenjar.

7. Imunisasi Tiphus Abdominalis

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit tifus abdominalis, dalam persediaannya khususnya Indonesia

terdapat tiga jenis vaksin tifus abdominalis diantaranya kuman yang

dimatikan, kuman yang dilemahkan (vivotf, berna) dan antigen capsular Vi

polysacchgaride (typhim Vi, Pasteur meriux) pada vaksin kuman yang

dimatikan dapat diberikan untuk bayi 6-12 bulan adalah 0,1 ml, 1-2 tahun

0,2 ml, dan 2-12 tahun adalah 0,5 ml, pada imunisasi awal dapat diberikan

sebanyak dua kali dengan interval empat minggu kemudian penguat setelah

satu tahun kemudian.

Pada vaksin kuman yang dilemahkan dapat diberikan dalam bentuk

capsul ateric coated sebelum makan pada hari 1,2,5 pada anak diatas usia 6

tahun dan pada antigen capsular diberikan pada usia diatas dua tahun dan

dapat diulang tiap tiga tahun.

Page 13: DocumentP2

13

8. Imunisasi Varicella

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit varicella (cacar air). Vaksin varicella merupakan virus hidup

varicella zoozter strain OKA yang dilemahkan pemberian vaksin varicella

dapat diberikan suntukan tunggal pada usia 12 tahun di daerah tropic dan

bila diatas usia 13 tahun dapat diberikan dua kali suntikan dengan interval

4-8 minggu.

9. Imunisasi Hepatitis A

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit hepatitis A. pemberiaan imunisasi ini dapat diberikan pada usia

diatas dua tahun. Untuk imunisasi awal dengan menggunakan vaksin

havrix (isinya virus hepatitis A strain HM175 yang inactivated) dengan 2

suntikan dengan interval 4 minggu dan boster pada enam bulan kemudiaan

dan apabila menggunakan vaksin MSD dapat dilakukan tiga kali suntikan

pada usia 0, 6 dan 12 bulan.

10. Imunisasi HIB (Haemophilus Influenza Tipe B)

a. Indikasi

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit influenza tipe b. Vaksin ini adalah bentuk polisakarida murbi

(PRP; purified capsular polysacharide) kuman H. Influenzae tipe b ,

antigen dalam vaksin tersebut dapat dikonjugasi dengan protein-protein

lain seperti toksoid tetanus (PRP- OMPC). Pada pemberiaan imunisasi

awal dengan PRP-T dilakukan dengan tiga suntikan dengan interval dua

bulan kemudian vaksin PRP OMPC dilakukan dengan suntikan dengan

Page 14: DocumentP2

14

interval dua bulan kemudian bosternya dapat dilakukan pada usia 18

bulan.

b. Efek Samping

Efektivitas vaksi HIB sekitar 95 % dan relative aman meskipun

menimbulkan reaksi local berupa rasa nyeri dan kemerahan pada sekitar 5-

15 % bayi.

4. Tingkat Keberhasilan

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun host,

faktor genetik host, serta kualitas dan kuantitas vaksin. 2

a. Status Imun Host

Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan

akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa

fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila

vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih

tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air

susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio

dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral.

Tetapi umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada

waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di subbagian Alergi-

Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak

ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi

terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio secara oral diberikan

pada masa kadar sIgA polio ASI masih tinggi, hendaknya ASI jangan

diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi. 2

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi

neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan

antigen karena ekspresi HLA masih kurang pada permukaannya, selain

Page 15: DocumentP2

15

deformabilitas membran serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar

komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah, demikian pula

aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih menonjol

pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intrauterin lebih

ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir.

Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang.

Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibanding pada

anak, karena itu vaksinasi sebaiknya ditunda sampai bayi berumur 2 bulan

atau lebih.2

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang

mendapat obat imunosupresan, atau menderita defisiensi imun kongenital,

atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti

pada penyakit keganasan, juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi,

bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra pemberian vaksin

hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Vaksinasi

pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau

tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi. 2

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun

seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas

humoral spesifitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-γ normal atau bahkan

meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan

baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis

antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag

berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang. 2

b. Faktor genetik host

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas

genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder

baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan

Page 16: DocumentP2

16

respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain tinggi

sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor

genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada

kompleks MHC dan non MHC. 2

- Gen kompleks MHC

Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc

akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I,

dan sel Th akan mengenali antigen yang berasosiasi dengan molekul

MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat

dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Secara

klinis terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat lebih serig pada HLA

tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu dengan

HLA-B27. 2

- Gen non MHC

Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan

dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang

terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-laki.

Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan

perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit

yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran genetik

dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya bekum

diketahui. 2

- Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah

sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi

masih tetap mengandung antigenisitasnya. Beberapa faktor kualitas dan

kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasinya seperti cara

Page 17: DocumentP2

17

pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan

jenis vaksin. 2

5. Syarat Pemberian

Menurut Depkes RI (2005), dalam pemberian imunisasi ada syarat yang harus

diperhatikan, yaitu:5

a. Diberikan pada bayi atau anak yang sehat.

b. Vaksin yang diberikan harus baik, disimpan di lemari es dan belum lewat

masa berlakunya.

c. Pemberian imunisasi dengan teknik yang tepat.

d. Sesuai dengan jadwal imunisasi yang ada.

e. Memberikan dosis yang sesuai.

f. Memberikan informed consent kepada orang tua atau keluarga sebelum

melakukan imunisasi yang sebelumnya telah dijelaskan kepada orang

tuanya tentang manfaat dan efek samping atau Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi (KIPI) yang dapat timbul setelah pemberian imunisasi.

Page 18: DocumentP2

18

6. Jadwal Pemberian 6

B. Imunisasi yang menimbulkan Demam

Tidak semua imunisasi dapat menyebabkan demam. Hal ini tergantung jenis

vaksin yang digunakan. Vaksin yang paling sering menyebabkan demam adalah DPT,

karena kandungan pertusis, namun sekarang udah ada DPT yang tidak menyebabkan

demam DPaT, A disini maksudnya aseluler, sehingga kandungan toksin sudah tidak

ada jadi tidak terjadi demam. Dalam pemberian vaksin, system imun spesifik inilah

yang berperan untuk memberikan kekebalan terhadap satu jenis agen infeksi, melalui

mekanisme memori. Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T naïf, yaitu sel T

yang belum pernah terpajan oleh antigen. Jika terpajan antigen, sel T naïf akan

Page 19: DocumentP2

19

berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor akan bermigrasi ke

tempat-tempat infeksi dan mengeliminasi antigen, sedangkan sel memori akan berada

di organ limfoid untuk kemudian berperan jika terjadi pajanan antigen yang sama.1

Sel B, jika terpajan oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan

diferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi antibody. Antibodi akan

menetralkan antigen sehingga kemampuan menginfeksinya hilang. Proliferasi dan

diferensiasi sel B tidak hanya menjadi sel plasma, tetapi juga sebagian akan menjadi

sel B memori. Sel B memori akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan

antigen serupa, akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan

menghasilkan antibody yang lebih banyak.1

Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan yang

kedua. Artinya, jika seseorang yang sudah divaksinasi (artinya sudah pernah terpajan

oleh antigen) terinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih mudah bagi

system imun untuk mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan

yang kedua (respon imun sekunder) lebih baik daripada respon imun pada pajanan

antigen yang pertama (respon imun primer). Sel T dan sel B terlihat lebih banyak,

pembentukan antibody lebih cepat, dan bertahan lebih lama, titer antibody lebih

banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi. Dengan demikian, diharapkan

seseorang yang sudah pernah divaksinasi tidak akan mengalami penyakit akibat

pajanan antigen yang sama karena system imunya memiliki kemampuan yang lebih

dibanding mereka yang tidak divaksinasi. 1

C. Imunisasi pada Anak, Dewasa, dan Ibu Hamil

Secara umum imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kematian dań

kesakitan serta mencegah akibat buruk lebih lanjut dari penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi. Secara khusus imunisasi memberikan kekebalan pada bayi dań

anak, memberikan kekebalan pada ibu hamil dań wanita dewasa. Imunisasi campak

tidak dianjurkan pada ibu hamil, pasien kanker dan transplantasi organ, mereka yang

Page 20: DocumentP2

20

mendapatkan pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromais

yang terinfeksi HIV.2,4

Jenis imunisasi Yang Dibutuhkan Wanita Hamil 7,9

Tetanus   (Tetanus Toksoid) : vaksin ini dianjurkan pada wanita hamil untuk

mencegah tetanus neonatorum (tetanus pada bayi) dan sebaiknya diberikan pada

wanita yang tidak melengkapi 3 kali imunisasi dasar atau 10 tahun boster.Tetanus

pada bayi baru lahir-begitu umum di seluruh Amerika-dicegah jika ibu sudah

diimunisasi. Hal ini karena ibu yang melewati kekebalan antibodi kepada bayi di

plasenta. Sang ibu yang kebal jika dia telah diimunisasi sebelum hamil atau selama

kehamilan. Seorang ibu hamil yang status imunisasi tetanus tidak pasti atau yang

terakhir imunisasi lebih dari 10 tahun yang lalu harus diimunisasi terhadap tetanus.

Hal ini biasanya diberikan dikombinasikan dengan vaksin difteri toksoid (produk

yang disebut Td). Baru-baru ini vaksin Td baru yang juga berisi vaksin pertusis telah

dilisensi untuk orang dewasa (Tdap) termasuk untuk digunakan bagi wanita di

kelompok usia subur.

Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk Tdap imunisasi. Namun, pada

saat ini, CDC merekomendasikan bahwa wanita hamil yang menerima terakhir

toksoid tetanus vaksin yang mengandung kurang dari 10 tahun yang lalu menerima

Tdap dalam periode pasca-melahirkan sesuai dengan rekomendasi vaksinasi rutin.

Jika dosis terakhir toksoid tetanus-vaksin yang mengandung lebih dari 10 tahun

sebelumnya, mereka lebih suka bahwa ia akan diimunisasi dengan Td selama

trimester kedua dan ketiga bukan Tdap.

Hepatitis B   : untuk wanita dengan risiko tinggi Hepatitis B (memiliki > 1 pasangan

seksual dalam 6 bulan terakhir, memiliki riwayat Penyakit Menular Seksual,

penggunaan narkoba suntik).

Hepatitis B adalah suatu penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus, penyakit

ini bisa mengakibatkan kerusakan hati berat seperti hati yang mengeras atau sirosis

hati dan bahkan kanker hati dan menyebabkan kematian pada akhirnya.  Sebelum

Page 21: DocumentP2

21

menjadi hamil, seharusnya calon ibu memeriksakan diri untuk memastikan bahwa

dirinya tidak sedang terinfeksi dengan virus Hepatitis B. Karena untuk bayi yang

lahir ini akan terinfeksi juga dari ibu yang positif terinfeksi virus Hepatitis B, maka

begitu bayi dilahirkan, kita harus segera memberikannya vaksin Hepatitis B ditambah

dengan zat immunoglobulin anti Hepatitis B, untuk melawan infeksi virus Heppatitis

B dari ibunya.Hepatitis B (HBV) infeksi selama kehamilan dapat mengakibatkan

penyakit berat baik bagi ibu, janin, dan akhirnya untuk neonate. Imunisasi dianjurkan

universal di Amerika Serikat untuk semua orang di bawah usia 18 tahun dan mereka

lebih tua dari yang yang mengalami peningkatan risiko eksposur.

Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk imunisasi HBV dan vaksin

harus diberikan kepada orang-orang dengan risiko pekerjaan atau gaya hidup,

kelompok risiko khusus pasien (seperti yang menjalani hemodialisis), mereka yang

memiliki penyakit menular seksual lainnya, rumah tangga dan kontak seksual

pembawa HBV, penjara tahanan, dan untuk pelancong internasional untuk daerah-

daerah endemik. Semua wanita hamil harus memiliki skrining prenatal dini untuk

kekebalan tubuh dan, jika rentan dan jika mereka memiliki faktor risiko, harus

diimunisasi.

Semua wanita hamil harus diskrining untuk infeksi hepatitis virus B aktif

karena kebanyakan perempuan yang terinfeksi tidak tahu dan, jika mereka memiliki

infeksi hepatitis B, bayi baru lahir harus menerima kelahiran dosis vaksin hepatitis B

dan hepatitis B globulin imun -memberikan baik di dalam jam lahir mengurangi

kemungkinan bahwa anak akan menjadi terinfeksi virus hepatitis B dan, jika

terinfeksi, mengurangi kemungkinan bahwa bayi akan terinfeksi secara kronis.

Influenza (Inaktif)   : vaksin ini dapat mencegah penyakit serius pada ibu hamil

namun sebaiknya diberikan setelah minggu ke-14.

Ibu hamil yang terinfeksi dengan virus influenza akan meningkatkan risiko

rawat inap, komplikasi medis yang serius, dan hasil kehamilan yang merugikan.

Imunisasi wanita hamil dengan vaksin virus influenza inaktif yang efektif dalam

Page 22: DocumentP2

22

mengurangi infeksi saluran pernapasan demam pada wanita hamil. Imunisasi ibu

selama kehamilan juga melindungi bayi yang baru lahir karena dia melewati antibodi

kekebalan di plasenta (antibodi influenza sebenarnya lebih tinggi di dalam darah tali

pusat daripada di darah ibu). Bayi dengan account infeksi virus influenza untuk rawat

inap banyak dan cenderung untuk infeksi pernafasan bakteri. Kematian Anak Usia

berhubungan dengan infeksi virus influenza terjadi paling sering pada bayi kurang

dari usia 6 bulan. Sayangnya, selama 6 bulan pertama kehidupan, tidak ada vaksin

atau obat anti-virus influenza yang tersedia. Untuk alasan ini, perempuan hamil harus

menerima vaksin virus influenza dan mereka yang akan membantu untuk merawat

bayi baru lahir harus divaksinasi juga.

Studi tentang vaksinasi influenza lebih dari 2.000 wanita hamil telah

menunjukkan tidak ada efek samping untuk janin dari vaksin. Namun, vaksin

influenza hidung tidak boleh diberikan kepada wanita hamil karena merupakan

vaksin virus hidup.

Jenis imunisasi yang dipertimbangkan diberikan pada wanita hamil dengan

pajanan infeksi spesifik

Pneumokokus : diberikan pada triwulan kedua atau ketiga pada wanita dengan risiko

tinggi infeksi pneumokokus atau dengan penyakit kronik (wanita dengan gangguan

jantung, paru, atau penyakit hati; penurunan kekebalan tubuh; diabetes)

Rabies : direkomendasikan bagi mereka yang terpajan dengan rabies

Hepatitis A : belum banyak penelitian mengenai keamanan imunisasi ini selama

kehamilan, namun risikonya rendah (karena vaksin berasal dari virus inaktif)

Vaksin Polio Oral & Vaksin Polio Inaktif

Tabel Imunisasi pada Wanita Hamil

Agen

Imunobiologi

Tipe Agen

Imunisasi

Indikasi

Imunisasi

selama

Kehamilan

Kontra

indikasi

Jadwal

Dosis Keterangan

Page 23: DocumentP2

23

Tetanus

Toksoid

Toksoid X   Diberikan

3 kali, 2

terakhir

ketika

hamil

 

Hepatitis A Vaksin virus

inaktif

    Dua dosis Direkomendasikan pada

wanita dengan risiko

tinggi

Hepatitis B Hepatitis B

imunoglobulin

X   Tergantung

pajanan

Umumnya diberikan

dengan vaksin virus

Hepatitis B, bayi baru

lahir yang terpajan

membutuhkan profilaksis

Influenza

(inaktif)

Vaksin virus

inaktif

X (musim

influenza)

  Dosis

tunggal IM

 

MMR(campak,

gondong,

rubella)

Vaksin virus

hidup

  X Dosis

tunggal,

Subkutan

Vaksinasi terhadap

wanita risiko tinggi

sebaiknya dilakukan

setelah melahirkan,

imunisasi sebelum

kehamilan

Varisela (cacar

air)

Varisela-

zoster

imunoglobulin

  X Dosis

tunggal IM

dalam 96

jam setelah

pajanan

Page 24: DocumentP2

24

D. KIPI

1. Definisi

KIPI atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi adalah semua kejadian

sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imuniasi dan

diduga karena imunisasi.Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI/adverse event

following immunization) adalah kejadian 24rach yang berhubungan dengan

imunisasi, baik berupa reaksi vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi

sensitivitas, efek farmakologis; atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi

suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Kejadian Ikutan

Pasca Imunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam

masa 1 bulan setelah imunisasi. 1-4

2. Klasifikasi

Klasifikasi menurut WHO yaitu klasifikasi lapangan untuk petugas sebagai

berikut: 7,8,9

a. Kesalahan program / teknik pelaksanaan (programmatic errors)

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan

teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program

penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan

tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur, misalnya:

1) dosis antigen (terlalu banyak)

2) lokasi dan cara menyuntik

3) sterilisasi semprit dan jarum suntik

4) jarum bekas pakai

5) tindakan aseptik dan antiseptic

6) kontaminasi vaksin dan peralatan suntik

7) penyimpanan vaksin

8) pemakaian sisa vaksin

Page 25: DocumentP2

25

9) jenis dan jumlah pelarut vaksin

10) tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian,

indikasi kontra dan lain-lain)

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila

terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

b. imunisasi.

Contoh kesalahan program : dosis antigen (terlalu banyak), lokasi dan cara

penyuntikan, sterilisasi semprit dan jarum, jarum bekas pakai, tindakan

25rachia dan anti septic, kontaminasi vaksin dan alat suntik, penyimpanan

vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut vaksin, serta tidak

memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra, dll).

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila

terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugasyang sama.

Kecenderungan lain adalah apabila suatu kelompok populasi mendapat vaksin

dengan batch yang sama tetapi tidak

Terdapat masalah, atau apabila sebagian populasi setempat dengan

karakteristik serupa yang tidak diimunisasi tetapi justru menunjukkan masalah

tersebut.

c. Reaksi suntikan (Injection reaction)

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik

langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi

suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak, dan kemerahan pada tempat

suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut,

pusing, mual, sampai sinkope. Reaksi ini tidak berhubungan dengan

kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pd vaksinasi masal

yaitu :

1) Syncope /fainting

2) Sering pada anak > 5 tahun

Page 26: DocumentP2

26

3) Terjadi beberapa menit post imunisasi

4) Tidak perlu penanganan khusus

5) Hindari stress saat anak menunggu

6) Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk.

7) Hiperventilasi akibat ketakutan

8) Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan.

9) Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (penderita ini perlu

diperiksa)

10) Beberapa anak takut jarum, gemetar, histeria.

11) Penting penjelasan dan penenangan

d. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat

diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan

secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala

klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian.

Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam

petunjuk pemakaian terrtulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi

khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik

lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain.

Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana

imunisasi.

Reaksi vaksin terdiri atas :

1. Reaksi lokal :

a. Rasa sakit di tempat suntikan.

b. Bengkak-kemerahan ditempat suntikan sekitar 10 %

c. Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%

d. BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi

dan sembuh setelah beberapa bulan.

Page 27: DocumentP2

27

2. Reaksi Sistemik :

a. Panas pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi

lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik.

b. MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus

vaksin. Terjadi panas dan atau rash dan konjungtivitis pada 5-

15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat

pada penderita imunodefisiensi.

c. Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis,

rubela terjadi rasa sakit sendi 15 % dan pembengkaan limfonodi.

d. OPV kurang dari 1% diare, pusing dan sakit otot.

3. Reaksi vaksin berat :

a. Kejang

b. Trombositopenia

c. Hypotonic hyporesponsive episode/HHE

d. Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak

merupakan long-term problems

e. Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan tanpa

long-term effects

f. Ensefalopati akibat imunisasi measles atau DTP

d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah

imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya

kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi setempat

dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.

e. Faktor kebetulan (Coincidental)

Kejadian terjadi setelah imunisasi tapi tidak disebabkan oleh vaksin.

Indikator faktor kebetulan ditemukannya kejadian yang sama di saat

Page 28: DocumentP2

28

bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakter serupa tetapi

tidak mendapat imunisasi.

f. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan

ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam

kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan

kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab

KIPI.

World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded

programme on immunisation (EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI

dibuat oleh setiap negara. Untuk negara berkembang yang paling penting

adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors,

termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali pakai

atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga

transmisi patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa

untuk memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan

ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan. 10,11

Sedangkan Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah

Komnas PP KIPI : 9

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda

dengan laporan Comittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi

saat ini, yaitu:

1. Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated)

2. Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal

(unlikely)

3. Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)

4. Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)

5. Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)

Page 29: DocumentP2

29

3. Gejala

Manifestasi klinis KIPI digolongkan waktu terjadinya dan bagian tubuh

yang terganggu. Waktu terjadinya dapat timbul secara cepat maupun lambat

dan dapat dibagi menjadi gejala 29rach, sistemik, reaksi susunan saraf pusat,

serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat

gejalanya. Manifestasi klinis KIPI digolongkan waktu terjadinya dan bagian

tubuh yang terganggu.12

1. Lokal: Abses pada tempat suntikan,Limfadenitis,Reaksi 29rach lain yang

berat, misalnya selulitis, BCG-it is

2. SSP: Kelumpuhan akut, Ensefalopati,EnsefalitisMeningitis Kejang

3. lain-lain :Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema,Reaksi anafilaksis ,Syok

anafilaksis ,Artralgia, Demam tinggi >38,5°C, Osteomielitis

Gejala klinis dan saatnya timbul: 12

1. Toksoid Tetanus (DPT, DT, TT) : gejala ,Syok anafilaksis ,Neuritis 29rachial

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat timbul : 4 jam 2-18

hari

2. Pertusis whole cell (DPwT) : gejala ,Syok anafilaksis Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat timbul :4 jam72 jam

3. Campak : gejala ,Syok anafilaksis EnsefalopatiKomplikasi akut termasuk

kecacatan dan kematian ,saat timbul :4 jam5-15 hari.

4. Polio hidup (OPV): gejala , Polio paralisis Polio paralisis pada resipien

imunokompromais Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat

timbul,30 hari6 bulan.

5. Hepatitis B : gejala ,Syok anafilaksis saat timbul, 4 jam

Page 30: DocumentP2

30

Gambar 6. Gejala Klinis 13

4. Tatalaksana

Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan kasus

lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi. Dalam waktu 24 jam

setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh orang tua (masyarakat) ataupun

petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan. Pelacakan perlu

dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan tersebut benar.

Apabila memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus,

Page 31: DocumentP2

31

data vaksin (jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas yang melakukan, dan bagaimana

sikap masyarakat saat menghadapi masalah tersebut. 14

Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan terdapat kasus lain yang sama, terutama

yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama dan jenis lot vaksin yang sama.

Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain yang

bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga menyebabkan KIPI harus

disimpan sebagaimana kita memperlakukan vaksin pada umumnya (perhatikan cold

chain). 14

Kepala Puskesmas atau Pokja KIPI daerah dapat menganalisis data hasil

pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan dicoba untuk mencari penyebab KIPI

tersebut. Dengan adanya data kasus KIPI dokter Puskesmas dapat memberikan

pengobatan segera. Apabila kasus tergolong berat, penderita harus segera dirawat

untuk pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan pengobatan segera. Evaluasi akan

dilakukan oleh Pokja KIPI setelah menerima laporan. Pada kasus ringan tatalaksana

dapat diselesaikan oleh Puskesmas dan Pokja KIPI hanya perlu diberikan laporan.

Untuk kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan gejala sisa, atau kasus

meninggal, diperlukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan Pokja KIPI segera

dilibatkan. Evaluasi akhir dan kesimpulan disampaikan kepada Kepala Puskesmas

untuk perbaikan program yang akan datang. 14

5. Reaksi yang ditimbulkan setelah Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara

aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa

tidak akan terjadi penyakit. Pemberian vaksin sama dengan pemberian antigen pada

tubuh. Jika terpajan antigen, baik secara alamiah maupun melalui pemberian vaksin,

tubuh akan bereaksi untuk menghilangkan antigen tersebut melalui respon imun.

Secara umum, sistem imun dibagi menjadi 2, yaitu sistem imuni non-spesifik dan

sistem imun spesifik. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan pertama yang

Page 32: DocumentP2

32

harus dihadapi oleh agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Jika sistem imun non-

spesifik tidak berhasil menghasilkan antigen, barulah sistem imun spesifik

berperan.2,3

Sistem imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan adaptif yang

didapatkan selama kehidupan dan ditujukan khusus untuk satu jenis antigen. Sistem

imun spesifik diperankan oleh sel T dan sel B. Pertahanan oleh sel T dikenal sebagai

imunitas seluler sedangkan pertahanan oleh pertahanan sel B dikenal sebagai

imunitas humoral. Imunitas seluler berperan melawan antigen di dalam sel (intrasel),

sedangkan imunitas humoral berperan melawan antigen di luar sel (ekstrasel). Sistem

imun spesifik inilah yang berperan dalam pemberian vaksin untuk memberikan

kekebalan terhadap satu jenis agen infeksi. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme

memori dalam sistem imun spesifik.2,3,4

Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T naif yaitu sel T yang belum

pernah terpajan oleh antigen. Jika terpajan antigen, sel T anif akan berdiferensiasi

menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor akan bermingrasi ke tempat-tempat

infeksi dan mengeliminasi antigen, sedangkan sel memori akan berada di organ

limfoif untuk kemudian berperan jika terjadi pajanan antigen yang sama.Sel B, jika

terpajan oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan diferensiasi

menjadi sel plasma yang akan memproduksi antibodi. Antibodi akan menetralkan

antigen dan memicu reaksi peradangan. Proliferasi dan diferensiasi sel B tidak hanya

menjadi sel plasma tetapo juga sebagiam akan menjadi sel B memori. Sel B memori

akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan pada antigen serupa, akan

terjadi proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan menghasilkan antibodi

yang lebih banyak.2

Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan yang

kedua. Artinya, jika seseorang yang sudah divaksin (artinya sudah pernah terpajan

oleh antigen) terrinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih mudah bagi

sistem imun untuk mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan

Page 33: DocumentP2

33

antigen yang kedua (respon imun sekunder) lebih baik daripada respon imun pada

pajanan yang pertama (respon imun primer). Sel T dan sel B yang terlibat lebih

banyak, pembentukan antibodi lebih cepat dan bertahan lebih lama, titer antibodi

lebih banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi. Dengan demikian,

diharapkan seseorang yang sudah pernah divaksin tidak akan mengalami penyakit

akibat pajanan antigen yang sama karena sistem imunnya memiliki kemampuan yang

lebih dibanding mereka yang tidak divaksin.1,3

6. Booster pada Imunisasi

Dosis booster adalah pemberian vaksin ekstra setelah dosis awal. Setelah

imunisasi inisial, injeksi booster diperlukan agar sistem imun kembali terpapar

dengan antigen yang diimunisasikan. Tujuannya untuk meningkatkan imunitas

terhadap antigen pada tingkat protektif setelah imunitas tersebut menunjukkan

penurunan atau setelah periode waktu tertentu. Contohnya, pemberian booster tetanus

direkomendasikan setiap 10 tahun. 15

Jika pasien menerima dosis booster, tetapi sudah memiliki kadar antibodi yang

tinggi, maka dapat timbul reaksi yang disebut reaksi Arthus, suatu bentuk

hipersensitivitas tipe III, diinduksi oleh fiksasi komplemen oleh antibodi sirkulasi

yang sudah dibentuk sebelumnya. Pada kasus yang berat, tingkat fiksasi komplemen

dapat menjadi sangat substansial sehingga dapat menginduksi nekrosis jaringan. 15

Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menyebabkan sel efektor

aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping

frekuensi, jarak pemberian pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila

vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka

antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik tersebut sehingga tidak

sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan

reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat

pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.

Page 34: DocumentP2

34

Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan

sesuai dengan hasil uji coba. 9, 11, 15

7. Bagaimana bila terlambat imunisasi ?

Pemberian imunisasi yang terlambat dari jadwal sebenarnya tidak akan

mengurangi efektivitas vaksinasi tersebut untuk membentuk imunitas tubuh. Hanya,

selama jangka waktu keterlambatan tersebut, antibodi yang dimiliki anak untuk

melawan jenis penyakit yang bersangkutan akan melemah. Akibatnya, dia lebih

rentan terserang penyakit tersebut. Imunisasi campak idealnya diberikan pada usia 9

bulan. Jika terlambat namun maih dalam rentang usia 9-12 bulan, imunisasi campak

tetap dapat diberikan dengan pengulangan imunisasi pada usia 5-7 tahun. Namun jika

terlambat memberikan imunisasi campak pada usia di atas 12 bulan atau 1 tahun,

imunisasi campak tidak perlu diberikan dan dapat diberikan langsung imunisasi

MMR dengan sayarat kondisi anak sehat karena imunisasi MMR ini merupakan virus

hidup yang dilemahkan dan jarak imunisasi MMR dengan imunisasi sebelumnya 1

bulan. Pengulangan imunisasi MMR pada saat usia 5-7 tahun.6,11,13

E. Demam

Demam yang berarti suhu tubuh di atas batas normal dapat disebabkan

oleh kelainan diotak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang mempengaruhi

pusat pengaturan suhu. Penyebab tersebut meliputi penyakit yang disebabkan oleh

bakteri, tumor otak, dan keadaan lingkungan yang dapat berakhir dengan

heatstroke.

Sebagian besar protein, hasil pemecahan protein dan beberapa zat tertentu

lainnnya, terutam toksin liposakarida yang dilepaskan dari membran sel bakteri,

dapat menyebabkan peningkatan set-point pada termostat hipotalamus. Zat yang

menimbulkan efek seperti ini disebut pirogen.

Page 35: DocumentP2

35

Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat di dalam jaringan

atau dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag

jaringan dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya

mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin 1 (disebut

leukosit pirogen atau pirogen endogen) ke dalam cairan tubuh. IL-1 saat mencapai

hipotalamus, segera mengaktifkan proses yang menimbulkan demam, kadang-

kadang meningkatkan suhu dalam jumlah yang jelas terlihat dalam waktu 8

sampai 10 menit. Sedikitnya sepersepuluh juta gram endotoksin lipopolisakarida

dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan leukosit darah,

makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh, dapat menyebabkan demam. Jumlah

IL-1 yang dibentuk sebagai respon LPS untuk menyebabkan demam hanya

beberapa nanogram.

Beberapa percobaan menunjukkan bahwa IL-1, menyebabkan demam,

pertama-tama dengan menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin,

terutama PGE2, atau zat yang mirip, dan selanjutnya bekerja dihipotalamus untuk

membangkitkan reaksi demam. Ketika pembentukan PG dihambat oleh obat,

demam sama sekali tidak terjadi atau paling tidak berkurang.9

1. Klasifikasi demam dan Tata laksana demam10,11

a. Klasifikasi Demam

Page 36: DocumentP2

36

2. Tatalaksana demam

Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis

terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam

bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk

menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat dibagi menjadi dua garis

besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan

penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur

<3 bulan dengan suhu rectal >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan dengan

suhu >39°C, penderita dengan suhu >40,5°C, dan demam dengan suhu yang tidak

turun dalam 48-72 jam.12

a. Terapi non-farmakologi

Page 37: DocumentP2

37

Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan

demam:12

1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan

beristirahat yang cukup.

2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat

menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai

satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman

kepada penderita.

3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat

efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena

akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti

b. Terapi farmakologi

Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah

parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam

menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama.10 Pada

anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik.

Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan

resiko sindrom Reye pada anak-anak.13

Dosis parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi:

Selain pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian

obat untuk mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan

Page 38: DocumentP2

38

untuk mengatasi infeksi bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan

tes sensitivitas kultur bakteri apabila memungkinkan.14

F. Edukasi pada Kasus

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat

timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan

gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan,

mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1 – 2 hari. Di

tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan, pembekakan, gatal, nyeri selama

1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi keadaan tersebut. Kadang-kadang

teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi

umunya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak

nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang

timbul 5 12 hari setelah penyuntikan, yaitu demam tidak tinggi atau erupsi kulit

halus/tipis yang berlangsung kurang dari 48 jam. Pembengkakan kelenjar getah

bening di belakang telinga dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR.

Orangtua / pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau

air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat

dikompres air dingin, jika demam diberikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 – 4 jam

bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka

dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua

merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke dokter.16,17

BAB III

KESIMPULAN

Page 39: DocumentP2

39

Demam tinggi yang dialami bayi tersebut merupakan kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Campak

DAFTAR PUSTAKA

Page 40: DocumentP2

40

1. Baratawidjaja, Karnen G dan Iris Rengganis. 2012. Imunologi Dasar ed. 10.

Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 557-618

2. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 6. Jakarta : EGC. 2012. 

3. Silverthorn, DU. Human Physiology. An Integrated Approach. 3rd Edition. San

Fransisco: Pearson Education. 2004.

4. Tortora , G.J. Principles of Anatomy and Physiology 12th Edition. The Special

Sense. 2009.

5. Powell, KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,

penyunting. Nelson textbook of pediatrics. 8th Edition. Philadelphia: Saunders

Elsevier; 2007.

6. http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html

7. Wahab Samik A. Praktek – Praktek Imunisasi. Dalam : Bart JK, Penyunting.

Nelson Ilmu kesehatan Anak. 2005.

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam : Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Ranuh

IGN, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Penyunting. Ed. 2. IDAI :

Balai Penerbit: Jakarta. 2008.

9. Ranuh, IGN et al. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Ed. 4. IDAI. 2011.

10. Depkes RI. Pedoman Tata Laksana Medik KIPI bagi Petugas Kesehatan. Jakarta:

KNPP KIPI Depkes. 2005.

11. Stratton KR, Howe CJ, Johnston RB. Adverse events associated with childhood

vaccines. Evidence bearing on causality. Washington DC: National Academy

Press. 1994.

12. American Academy of Pediatrics. Recommended Immunization Schedules for

Children and Adolescents – United Statesdari : http://www.pediatrics.org. 2007.

13. Chen RT. Safety of vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer WA, penyunting.

Vaccines. ED. 3. Philadelphia, Tokyo: WB Saunders, 1999:1144-57.

14. Hadinegoro, Sri Rezeki S. Sari Pediatri, Vol 2: Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi.

2000.

Page 41: DocumentP2

41

15. Rahajoe, N.N et al. Tuberkulosis (Vaksin BCG) dalam Buku Imunisasi di

Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

2005.

16. http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/penjelasan-kepada-orangtua-

mengenai-imunisasi.html . 2015

17. Depkes RI. (2005c). Keputusan Menteri Kesehatan RI Pedoman Pemantauan dan

Penanggulangan KIPI. Jakarta: Depkes RI.