“pandangan hukum islam terhadap perlindungan saksi...
TRANSCRIPT
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI
DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO. 13
TAHUN 2006
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
ABDUL ROZAK NIM: 103043227981
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI
DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO. 13
TAHUN 2006
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S. H. I)
Oleh:
ABDUL ROZAK NIM: 103043227981
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I, Pembimbing II,
DR. HA. Juaini Syukri, LCS, MA Dedy Nursyamsi, M. Hum NIP : 150 256 969 NIP : 150 264 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZDHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO. 13 TAHUN 2006” Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Program Studi Perbandingan Hukum.
Jakarta, 3 Juni 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma. SH.,MA.,MM NIP: 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag : …………………… NIP: 150 275 509 Sekertaris:H. Muhammad Taufiqi. M.Ag : …………………… NIP: 150 290 159 Pembimbing I: Dr. HA. Juaini Syukri, LCS, MA : …………………… NIP: 150 256 969
Pembimbing II: Dedy Nursyamsi. SH.,M. Hum : …………………… NIP: 150 264 001 Penguji I: H. Zoebir Laini, SH : …………………… NIP: 150 009 273
Penguji II: Dr. Yayan Sopyan, M.Ag : …………………… Nip: 150 277 991
بسم اهللا الرحمان الرحيمKATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT. Pencipta dan Pemelihara alam
semesta, yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya. Sehingga dengan izin dan
iradat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta
salam yang selalu tercurah keharibaan Nabi besar Muhammad SAW dan segenap
para sahabat-sahabatnya.
Penulis sangat menyadari, bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin
terselesaikan tanpa bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak, oleh karenanya
dari renung hati yang paling dalam, penulis ucapkan terima kasih yang tiada hingga
kepada yang terhornat:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma,
SH., MA., MM. beserta jajarannya yang telah memberikan dukungan moril
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Bapak Dr. H. Ahmad
Mukri Aji MA. dan Sekertaris Program Studi Bapak H. Muhammad Taufiqi
M.Ag. serta para dosen dan karyawan di Fakultas Syariah Dan Hukum.
3. Kepada Bapak Dr. HA. Juaini Syukri, LCS, MA dan Bapak Dedy Nursyamsi, SH,
M.Hum, selaku dosen pembimbing yang telah mengerahkan waktu, tenaga dan
ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Kepada Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah Dan
Hukum serta karyawan dan pegawai yang telah membantu dalam pencarian
sumber bacaan buku dan referensi.
5. Kepada para Dosen penulis haturkan banyak terima kasih, khususnya dari civitas
akademika Fakultas Syariah dan Hukum yang telah berkontribusi positif bagi
khazanah dialetika pemikiran penulis selama proses pendidikan berlangsung demi
memahami kondisi kontemporer dengan penuh kearifan. Terutama kepada Bapak
Dr. JM. Muslimin, dan Bapak Alfitra SH, MH, serta para dosen yang lain yang
tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu dan tidak mengurangi rasa hormat
penulis.
6. Kepada Ayahanda tercinta Bapak Satiri dan Ibunda Rohani yang selalu setia
menanti ananda dalam meraih gelar kesarjanaan. Berkat jasa dan doa beliaulah
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Semoga Allah
membalas kebaikan-kebaikan Ayah dan Ibu. Amin.
7. Kepada Keluarga besar Kedoya Jak Bar: Satiri Mansyur {Bapak}, Satria,
Saanah, Suhatih, Sitinah, Rohani {Ibu}, Royani, Rohadi, Rohmat, Rozak.
Terutama untuk kakakku Bang Roy, Ka Amril, Bang Madun, Mpo Ana, Mpo
Titin yang selalu memberikan suport serta dukungan morilnya kepada penulis.
Dari merekalah penulis sangat terinspirasi dan termotivasi untuk menyelesasikan
skripsi ini dengan baik. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan mereka.
8. Kepada Ibunda Ustadzah Diah {Istri almarhum KH. Ahmad Dimiyati} dan
Ustadz Yazid {Putra almarhum KH. Ahmad Dimiyati}, yang telah memberikan
semangat dan do’a kepada penulis. Dan kepada rekan-rekan Alumni Ponpes
Daarul Uluum Lido, Arif, Indra, Firdaus, Heri, Juniardi, Cucum, dan sahabat-
sahabat lainnya. Yang banyak memberikan dorongan moril dan nasihatnya bagi
penulis. Thanks for all.
9. Rekan-rekan seperjuangan dan sepenanggungan anak-anak Perbandingan Hukum
angkatan 2003, sengaja saya paparkan semua teman sekelas agar tidak terlupakan
satu diantara kalian, walaupun ada yang tidak sampai akhir perjuangan: A.
Zaenudin, A. Qodir, A. Rozak, Abdulazim, Abdurrahman, Agung Gunawan,
Agus Hermawan, Ahmad Hafidz, Ahmad Ratomi Zaen, Ahmad Zaki, Alwanih,
Anhar Kurniawan, Azwardi, Firdaus Ahmad, Harun Rosyid, Imroah, Istiamah,
Maysaroh, Makiyah, Miftah Faridh, Mohammad Syaiban, M. Abdul Fatah HS, M.
Alif Yusuf, M. Fathurrahman, M. Iqbal, M. Jauhar Haekal, M. Syukron, Mukhtar
Efendi, Neni Syafrida, Nur Hasan, Salman Faris, Sunarti, Syadat M. Nur, Syahril
Aili, Teguh Widyantarto, Unun Ru’yatul Hilal, Yakobus Liga, Yustam Syahril.
Dan lebih spesial dari kawan gue yang sudah banyak bantu, kepada: Aal, Tomi,
Maman, Syadat, Ucup, Fathur, Miftah {Ustadz}, Qodir, Narti, Unun, thanks abiz
atas apa yang telah kamu berikan kepadaku dan jangan pernah lupakan KKS
Subang yang begitu manis dan indah. Dan juga kepada Dadan, Bondan, Solihin,
Gozali, Miftah Dirosat, dan Ujang yang banyak membantu dalam menyelesaikan
tugas skripsi.
Semoga segala partisipasi, dan motivasi serta doa kepada penulis
memohonkan ridha di sisi-Nya. Harapan terakhir, semoga skripsi ini dapat
berguna bagi pembangunan ke Ilmuan, ke Islaman dan ke Indonesian. akhirnya,
hanya kepada-Nya segala urusan dan akan kembali pula kepada-Nya. Tiada daya
dan upaya hanya milik-Nya, lalu kita memohon hidayah dan ampunan-Nya.
Jakarta, 29 Jumadil Ula 1429 H 4 Juni 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 9
D. Metode Penelitian ......................................................................... 10
E. Sistematika Penulisan .................................................................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI
DALAM HUKUM ISLAM
A. Saksi Menurut Hukum Islam ........................................................ 14
1. Pengertian................................................................................ 14
2. Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi ................................. 18
3. Hak-hak Saksi dan Tujuan Saksi ............................................ 29
4. Dasar Hukum ......................................................................... 38
B. Saksi Menurut Hukum Positif....................................................... 41
1. Pengertian................................................................................ 41
2. Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi ................................. 42
3. Hak-hak dan Tujuan Saksi ...................................................... 44
4. Dasar Hukum ......................................................................... 47
C. Tujuan Perlindungan Saksi ........................................................... 46
1. Menurut Hukum Islam ............................................................ 46
2. Menurut Hukum Posistif ......................................................... 48
BAB IIIPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PADA PERKARA PIDANA DALAM U
A. Saksi Dalam Perkara Pidana ......................................................... 50
1. Perkara Pidana .......................................................................... 50
2. Saksi Sebagai Alat Bukti .......................................................... 52
3. Faktor Penyebab Perlunya Perlindungan Saksi Dalam Undang
-undang Nomor 13 Tahun 2006 ................................................ 54
B. UU No. 13 Tahun 2006................................................................. 56
1. Sejarah Terbentuknya ............................................................... 56
2. Tujuan Pembentukannya .......................................................... 58
3. Landasan Hukumnya ................................................................ 59
4. Susunan dan Isi ........................................................................ 59
C. Perlindungan Hukum Dalam UU No. 13 Tahun 2006 Terhadap
Saksi ............................................................................................. 61
1. Perlindungan Hukum Dari Ancaman Terhadap Saksi ............. 61
2. Pemberian Restitusi, Pelayanan Rehabilitasi Kesehatan, dan
Sosial ......................................................................................... 67
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM MENGENAI PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM UU NO. 13 TAHUN
2006
A. Analisis Terhadap Perlindungan Saksi Dari Ancaman ................ 72
B. Analisis Terhadap Restitusi .......................................................... 75
C. Analisis Terhadap Rehabilitasi .................................................... 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 89
B. Saran-saran.................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 93
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang paling dimuliakan Allah. Allah SWT
menciptakannya dengan tangan (kekuasaan)-Nya sendiri, meniupkan ruh dari-
Nya kepadanya, memerintahkan sujud semua Malaikat kepadanya, menundukkan
semua apa yang ada dilangit dan dibumi kepadanya, menjadikan kholifah-Nya
dibumi, dan membekalinya dengan kekuatan serta bakat-bakat agar ia dapat
menguasai bumi ini, dan supaya ia dapat meraih dengan semaksimal
kemampuannya akan kesejahteraan kehidupan materil dan spirituilnya.1
Islam adalah agama yang universal dalam mengatur segala hal dan
permasalahan. Tidak ada satupun dari aspek kehidupan dialam semesta ini yang
lepas dari kontrol dan aturan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, demikian
pula dalam hal sistem persaksian sudah tercakup didalamnya.
Syari’at Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang aturan persaksian,
termasuk didalamnya mengatur tentang kewajiban saksi terhadap kejadian yang
telah dialaminya.2 Firman Allah SWT menyatakan :
)283:البقرة(… تكتموا الشهادة ومن يكتمها فإنه ءاثم قلبهوال…
1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj (Bandung : Al-Ma’arif, 1987), Cet ke-2 h. 13 2 Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Hukum Pembuktian dalam Islam,
(Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002), Cet. ke- 1, h. 21
Artinya: “…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya ….” (Q. S Al-Baqarah : 283).
Sementara dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi juga telah diatur pula dalam persaksian, baik itu mengenai
hak-hak bagi para saksi atau lainnya, seperti yang tercantum pada pasal 5 yang
berbunyi “ Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya, dan sebagainya.3
Hak yang paling utama dijamin oleh Islam adalah hak hidup, hak
pemilikan, hak memiliki kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, dan hak
menuntut ilmu pengetahuan. Hak paling penting dan yang sangat diperlukan
dalam perhatian diantara hak-hak tersebut adalah hak hidup, tidak dibenarkan
secara hukum dilanggar kemuliaannya dan tidak boleh dianggap remeh
eksistensinya.
Manusia juga sebagai makhluk hidup yang sempurna, tentu saja memiliki
akal serta pikiran yang sehat. Di dalam kehidupan yang dijalani, pasti muncul
persoalan-persoalan yang dihadapi, entah antara individu dengan individu,
individu dengan golongan, atau golongan dengan golongan. Untuk mengatasi hal
ini, maka manusia membentuk aturan-aturan yang kita kenal dengan hukum.
Dalam memperhatikan fungsi hukum dimasyarakat yang dapat berjalan tanpa
3 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006),
Cet. ke- 1. h. 3
menerima pelayanan hukum. Keadaan ini menjadi lebih jelas lagi apabila kita
berhadapan dengan masyarakat yang tidak lagi tradisional dimana kontak-kontak
pribadi serta konflik-konflik kepentingan terjadi dengan lebih efektif.4
Untuk menyelesaikan konflik yang ada, maka dibentuklah badan-badan
peradilan untuk menyelesaikan berbagai konflik yang muncul didalam kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jika manusia ingat bahwa kebenaran dapat dicapai dengan usaha-usaha
pikiran dan lainnya, maka manusia mempunyai dasar yang sehat dalam agama.
Manusia tidak menjadi orang berharga jika percaya dengan mudah atau menolak
sesuatu kepercayaan dengan mudah pula, dengan tidak memakai penyelidikan
yang seksama. Oleh karena sebuah pendapat adalah lebih dekat kepada kebenaran
dari pada pendapat yang lain, maka kewajiban manusia adalah mengetahui
pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran itu. Kebenaran akan menjadi lebih
terlihat dengan adanya saksi dan bukti, tapi disamping itu manusia harus
membedakan antara saksi yang benar dan yang tidak benar, dan harus belajar
menarik kesimpulan dari pada saksi yang mutlaq.5
Sesungguhnya keadilan itu dapat diwujudkan dengan menyampaikan
setiap hak kepada yang berhak dan dengan melaksanakan hukum-hukum yang
4 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung : Angkasa, 1979), Cet ke-4 h. 11 5 David Trueblood, terj- M. Rasjidi, Filsafat Agama, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1965),
Cet. ke- 1, h. 30
telah disyari’atkan Allah SWT serta dengan menjauhkan hawa nafsu melalui
pembagian yang adil diantara sesama manusia.6
Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik
mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Di
dalam peradilan yang terkandung perintah menyuruh ma’ruf dan mencegah yang
mungkar, menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi
orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum.
Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila peradilan itu
tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi
masyarakat yang kacau balau.7
Walaupun tidak sepenuhnya dipercaya, pengadilan tetap merupakan
tumpuan masyarakat dalam mengusung keadilan yang dicita-citakan. Hal ini
meniscayakan lembaga pengadilan untuk mampu mengeluarkan keputusan yang
tidak memihak, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Inilah
doktrin idealisme dari aliran pemikiran hukum liberal (Liberal Legal Thought
School).8
6 Sayyid Sabiq, terj- Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah (Bandung : Al-Ma’arif, 1994), Cet
ke- 4, Jilid 14, h. 17 7 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta : Al-Ma’arif,
1964), h. 7 8 Ifdhal Kasim, Berkenaan dengan “Critical Legal Studies” dalam Roberto M. Unger,
Gerakan Studi Hukum Kritis, (terj), (Jakarta : ELSAM, 1999), Cet. Ke- 1, h. XI (Kata Pengantar). Gerakan ini dipelopori antara lain oleh Ronald Dworkin. Lihat Karya Ronald Dworkin, A Matter Of Principle,(Cambridge : Harvard University Press, 1985)
Satu hal yang menarik adalah, sehubungan dengan kedudukan peradilan
sebagai lembaga yang secara resmi diberi wewenang untuk menentukan suatu
keputusan demi terciptanya keadilan kepastian hukum di tengah masyarakat,
pengadilan sering kali dituduh tidak memihak kepada pihak-pihak yang merasa
dirugikan.9
Kenyataan ini memang kerap kali terjadi pada taraf pengambilan
keputusan. Barangkali penyebabnya adalah tidak terpenuhinya sumber-sumber
atau dasar-dasar yang dapat meyakinkan hakim secara sempurna dalam proses ini,
sedangkan hakim tertuntut secara yuridis untuk menjatuhkan satu ketetapan yang
mengikat pihak-pihak berperkara itu, sesuai dengan azas hukum acara, bahwa
hakim mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya.10
Sumber-sumber yang dipergunakan seorang hakim dalam mengambil
keputusan disebut sebagai “alat bukti”. Setiap alat bukti berbeda-beda kekuatan
satu dengan yang lainnya. Yang secara langsung dapat mempengaruhi keputusan
yang dihasilkan. Jika kekuatan alat bukti dapat diakui, maka seorang hakim untuk
memutuskan perkara memerlukan waktu yang tidak singkat, sehingga hakim
merasa yakin dengan keputusannya.
Hakim sebagai salah satu unsur atau bagian dari proses penegakan hukum
yang berada dalam suatu institusi peradilan. Dalam memutuskan suatu perkara
9 Inilah fokus dari titik gerakan Critical Legal Studies bahwa proses-proses hukum tidak
pernah bekerja dalam ruang hampa, melainkan berlangsung dalam realitas yang tidak netral dari nilai yang ada dibelakangnya ialah subyektif. Ibid., h. XVI (Kata Pengantar)
10 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), Cet. ke- 3, h. 11
baik perkara perdata maupun perkara pidana, yang diajukan oleh seseorang.
Tentulah seorang hakim memerlukan alat bukti untuk menganalisa suatu perkara
dengan yakin.
Pembuktian dengan saksi yang merupakan salah satu alat bukti adalah
pembuktian yang sangat banyak dipergunakan. Tapi dengan mempergunakan
pembuktian dengan saksi perlu diperhatikan bahwa keterangan seorang saksi
tidak selalu sesuai dengan kenyataannya. Lain daripada itu yang sangat
disayangkan ialah bahwa seorang saksi tanpa disadari, dapat memberikan
keterangan yang sebetulnya tidak betul.11
Dalam permasalahan kesaksian, sebagaimana diungkapkan dalam buku
Hukum Pembuktian dalam Islam oleh Ahmad ad-Daur, bahwa kesaksian adalah
dasar pembuktian.12 Terjadi pembedaan yang mendasar dalam Hukum Islam dan
Hukum Positif pada “jumlah saksi”. Dimana dalam peradilan Islam ada sebuah
ketegasan yang terperinci dalam jumlah saksi.
Adapun menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti yang sah yaitu
keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat, petunjuk serta keterangan terdakwa.
Kalau dilihat dari urutannya keterangan saksi adalah pembuktian yang paling
utama. Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari
orang lain atau Testimoniom De Auditu. Kedudukan seorang saksi dalam proses
11 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian : Menurut Undang-
undang Hukum Perdata (RW), (Jakarta : PT Bina Aksara, 1986), Cet. ke- 3, h. 204 12 Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Hukum Pembuktian dalam Islam,
(Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002), Cet. ke- 1, h. 18
persidangan amatlah penting dalam peranannya, sebab tanpa kehadiran saksi
acara persidangan dapat ditunda atau bisa saja gagal tanpa adanya saksi. Oleh
karena itu masyarakat sangat memerlukan perlindungan hukum atas saksi, agar
rasa prihatin masyarakat dapat teratasi.
Usaha penegakan hukum pidana ditanah air acap kali terganjal oleh
susahnya memperoleh alat bukti dalam proses peradilan pidana berupa keterangan
saksi dan korban. Para saksi dan korban kerap kali mengalami intimidasi,
ancaman, tekanan dari pihak pelaku atau pihak tertentu yang tak ingin
kejahatannya terbongkar, akibatnya, para saksi dan korban tidak bisa secara
leluasa menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang kejadian yang mereka
dengar, lihat, dan alami sendiri.
Sebelumnya memang telah ada peraturan yang mengatur tentang
perlindungan saksi dan korban, namun dikhususkan untuk tindak pidana tertentu,
sehingga belum dapat menampung perlindungan terhadap saksi dan korban untuk
tindak pidana secara umum yang semakin beragam dan kompleks pada zaman
sekarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, akhirnya pada tanggal 18 Juli
2006, DPR mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan saksi dan
korban.13 Dengan demikian, bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif
dalam menyikapi tindak perlindungan saksi di Indonesia.
Beranjak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka
penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih jauh tentang :
13 Lihat Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Ibid. h. v
“PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI
DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO 13 TAHUN
2006”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar permasalahan ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar
belakang dari uraian di atas, dalam hal ini penulis akan mencoba membatasi
penelitian ini hanya mengenai masalah yang menyangkut: Saksi dalam perkara
pidana, pandangan hukum Islam terhadap perlindungan saksi dalam perkara
pidana di Indonesia, menurut UU No 13 Tahun 2006”
Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
D. Bagaimana Hukum Islam memposisikan saksi dalam perkara pidana ?
E. Faktor apa yang menyebabkan saksi dalam perkara pidana perlu mendapat
perlindungan hukum oleh undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 ?
F. Bagaimana Undang-undang No. 13 Tahun 2006 memberikan perlindungan
hukum terhadap saksi dalam perkara pidana ?
G. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai perlindungan hukum terhadap
saksi dalam perkara pidana menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2006 ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan diatas,
maka dapat diakui bahwa :
1. Tujuan Penelitian :
a Untuk mengetahui posisi saksi dalam perkara pidana menurut hukum
Islam.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perlindungan hukum
terhadap saksi oleh undang-undang Nomor 13 Tahun 2006.
c. Untuk mengetahui tentang perlindungan hukum terhadap saksi perkara
pidana dalam undang-undang perlindungan saksi.
d. Untuk Mengetahui pandangan hukum Islam terhadap saksi perkara pidana
dalam undang-undang perlindungan saksi nomor 13 tahun 2006.
2. Kegunaan Penelitian :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
hukum baik hukum Islam maupun hukum positif.
b. Diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran dan
memperkaya kepustakaan (Khasanah intelektual khususnya dalam bidang
hukum), dan dapat menambah wawasan para pembaca tentang
Perlindungan Saksi di Indonesia khususnya yang berkenaan dengan
pelanggaran dalam perlindungan saksi kejahatan. Seperti tindak kejahatan
terhadap saksi.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Data
Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan melakukan
pendekatan deskriptif yaitu yang bertujuan untuk membuat gambaran yang
sistematis dan akurat tentang fakta-fakta, sifat dan hubungan fenomena yang
ada dalam objek yang diteliti. Sedangkan kualitatif adalah sebuah pemaparan
dan penjelasan terhadap masalah yang diangkat sehingga pada akhirnya akan
membangun kesimpulan-kesimpulan dari permasalahan yang ada dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata atau bahasa, pada konteks yang lebih
khusus.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan salah satu bagian yang terpenting dalam
penelitian ini. Maka pencarian data yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari :
a. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli tidak melalui
perantara. Data primer ini diperoleh dari data bahan hukum primer
diantaranya Undang-Undang, dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits, yang
mengatur masalah yang diangkat.
b. Data Skunder
Data skunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung melalui
media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Jenis data skunder
dapat berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam
arsip (data dokumenter) baik telah dipublikasikan maupun tidak
dipublikasikan. Bahan data skunder ini penulis peroleh dari Al-Qur'an, As-
Sunah, Buku-buku ilmu Hukum, dokumen-dokumen, makalah dan data-data
lain yang relevansi dan berkaitan dengan judul skripsi ini.
3. Teknik Pengumpul Data
Studi kepustakaan seperti buku, dokumen dan lain sebagainya, dengan
cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang
terdapat didalam skripsi ini.
4. Analisis data :
Dalam analisis data, penulis menggunakan content analisis atau
analisis isi, yaitu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang
dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya.
Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi, dengan
rumusan:
1. Analisis teks al-Qur’an
2. Analisis teks al-Hadits
3. Analisis teks undang-undang No. 13 tahun 2006
5. Tekhnik penulisan :
Dalam penulisan proposal ini, penulis sepenuhnya menggunakan buku
pedoman skripsi yang di terbitkan Tahun 2007 oleh Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehingga penulisan ini tidak
melenceng dari aturan teknik penulian yang ada. 14
Dokumen yang penyusun peroleh, maka penyusun racik dan
memaparkan secara deskriptif, koporatif, dan analisis konstruktif. Tiga
pendekatan semacam ini lazim dipakai dalam penelitian kualitatif ini. Maka
penyusun kombinasikan untuk menghasilkan sebuah konstruksi yang sinergis
dan ilmiah.
Dalam tekhnik penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan disertai yang disusun oleh Tim UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memperinci gambaran dari penulisan skripsi ini, penulis
menyusun penulisan menjadi lima bab yang saling berkaitan satu sama lainnya
dengan perincian sebagai berikut :
Bab I Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
14 Tim Penulis dari Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Buku Panduan Skripsi, (Jakarta : Fak.
Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bab II Merupakan bab yang membahas tinjauan umum tentang perlindungan
saksi dalam hukum Islam dan positif, yang isinya tentang pengertian saksi,
macam-macam, syarat-syarat, hak-hak, dan tujuan saksi. Dasar hukumnya
dalam hukum Islam dan positif. Tujuan perlindungan hukum terhadap
saksi dalam hukum Islam dan hukum Positif.
Bab III Perlindungan hukum terhadap saksi pada perkara pidana dalam UU no. 13
tahun 2006. Bab ini menguraikan tentang pengertian perkara pidana, saksi
sebagai alat bukti, faktor penyebab perlunya perlindungan saksi, proses
penyusun undang-undang, yang berkaitan dengan perlindungan dari
ancaman terhadap saksi dan korban, pemberian restitusi dan rehabilitasi.
Bab IVAnalisis hukum islam mengenai perlindungan hukum terhadap saksi
menurut dan uu no. 13 tahun 2006. Merupakan bab yang membahas
tentang analisis terhadap perlindungan saksi dari ancaman, restitusi, dan
rehabilitasi.
Bab V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari
penulis terkait permasalahan yang dibahas.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DALAM HUKUM
ISLAM
A. Saksi Menurut Hukum Islam
1. Pengertian
Kesaksian menurut bahasa adalah ( yang berarti mengamati atau ( شهد-شهد
memberi kesaksian.15 Kemudian kata saksi dalam bahasa Arab adalah
( يخبربماشهدو هدالذىشا ) atau (شاهد) lafadz (شهد) yaitu orang yang mengetahui dan
menerangkan apa yang diketahuinya, kata jamaknya adalah (شهداء) masdarnya
adalah (الشهادة) yang berarti kabar yang pasti.16
Dikatakan pula bahwa kesaksian (الشهدة) semakna dengan kata “اعلم”
(Pemberitahuan), berdasarkan firman Allah SWT :
) 18: 3 /نالعمرا(... هو إله إالشهد الله أنه ال Artinya: “ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia”… (al-
Imran/3: 18).
15 Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997), ed. 2, h. 746 16 Ibnu Manzur al-Aushari, Lisan al-Arab, (Cairo: Daru al-Misr)tt. Juz 4 h. 225
Disini arti شهد adalah علم (mengetahui). Syahid adalah orang yang
membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia menyaksikan apa yang
tidak diketahui orang lain.17
Dalam hukum Islam, kesaksian disebut dengan شهدة yang dapat
didefinisikan sebagai berikut. Dalam kitab Qolyubi wa Umairah dijelaskan
bahwa kesaksian adalah:
18.دهش أظفلبعلى الغير ريغل لقحباربخا اهنأArtinya: “Bahwasanya kesaksian itu adalah memberitahukan dengan
sebenarnya hak seseorang terhadap orang lain dengan lafadz aku bersaksi”.
19اءض القسلجم ىفةاده الشظفل بقح باتبثال قدصاربخاArtinya: “Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan
ucapan kesaksian didepan sidang pengadilan”.
20ريلغى العالثبات ق حةاده الشظفل بمكلح اسلجى م فقدصاربخ انعةاربعةادهشالArtinya: “Kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang
benar didepan sidang pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menerapkan suatu hak terhadap orang lain”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
kesaksian itu harus memenuhi unsur-unsur yaitu :
1. Adanya suatu persengketaan dalam perkara sebagai objek.
2. Dalam objek tersebut terdapat hak yang harus ditegakkan oleh hakim.
17 Sayyid Sabiq, terj –Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif,
1994), Cet ke-4, Jilid 14, h. 55 18 Mahalli, Hasyiyatan Qaliyubi wa’ Umairah, (Riyadh: al-Riyadh al-Hadits, 1995), Jilid
4, h. 318 19 Ibnul Hamman, Syarah Fathul Qadir, (Mesir : Mustofa Al Babil Halabi, 1970), Jilid 7,
h. 415 20 Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhatu al-
Arabiyyah, 1964), h. 83
3. Adanya orang yang memberitahukan apa yang diketahuinya.
4. Orang yang memberitahukan objek tersebut harus berita yang sebenarnya.
5. Pemberitahuan itu diberitahukan kepada yang berhak menerimanya, dan
pemberitahuan itu dengan suatu ucapan kesaksian.
Kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang kuat bagi hakim dalam
menetapkan suatu hukum Eksistensinya kesaksian sebagai salah satu alat
bukti terdapat dalam Firman Allah SWT :
واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ...
ترضون من الشهداء أن تضل إحداهما أن تضل إحداهما فتذآر
)282: 2 / البقرة... (ا ما دعوا يأب الشهداء إذخرى والاألإحداهماArtinya: “…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua laki-laki, maka boleh seorang lelaki dan orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…” (Al-Baqaroh: 2 - 282).
Bagian akhir ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang saksi tidak boleh
menolak diminta keterangannya. Sebab memberi kesaksian hukumnya adalah
“Fardhu Kifayah”.21 Sebab tuntutan untuk memberi atau mendatangkan
kesaksian bersifat pasti. 22 Allah SWT berfirman:
) 283: 2: البقرة... ( تكتموا الشهادة ومن يكتمها فإنه ءاثم قلبهوال...
21 Fardhu Kifayah, ialah Suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila
tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa. Abdullah bin Muhammad. Terj—Abd. Ghaffar, Tafsir Ibnu Katsir, (Pustaka Imam asy- Syafi’I, 2001), Cet. ke 1, Jilid 1, h. 565
22 Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Hukum Pembuktian dalam Islam, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002), Cet. ke- 1, h. 21
Artinya: “…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya …”. (Al-Baqoroh/ 2 - 283).
Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat Jumhur Ulama.
Sedangkan yang dimaksud dengan bagian akhir ayat diatas, yakni untuk
melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka sebagai saksi. Seorang saksi
hakekatnya adalah pihak yang bertanggung jawab. Jika dipanggil, maka ia
berkewajiban untuk memenuhinya. Jadi hal itu sebagai Fardhu ‘Ain. Jika
tidak,23 maka berkedudukan sebagai Fardhu Kifayah.
Menurut al-Jauhari dalam kitab Subulus Salam, Juz IV yang dikutip oleh
Abdur Rahman Umar mengatakan :
24والشاهدحامل الشهادة ومؤديهاأل نه مشاهدلماغاب عن غيرهArtinya: “Saksi adalah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksian dan
mengemukakannya, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya”.
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan atau kesaksian didepan
pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri,
yang dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara. Menurut sifatnya
saksi dapat dibagi dua bagian antara lain:
1. Saksi kebetulan
Saksi kebetulan adalah saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau
mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi perkara. Saksi
23 Fardhu ‘ain, ialah kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap orang yang mukallaf
(dewasa). Abd. Ghaffar, Ibid 24 Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), Cet. I h. 37
demikian misalnya para tetangga, orang yang secara kebetulan melihat
ataupun mendengar peristiwa tersebut.
2. Saksi Sengaja
Saksi sengaja adalah saksi yang pada perbuatan hukum itu dilakukan
sengaja telah meminta untuk menyaksikannya, misalnya kepala desa,
camat, notaris dan lain-lain.25
2. Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi
Para Ulama Menetapkan, bahwa dalam hal ini diperlukan jumlah bilangan
saksi. Karena ini termasuk urusan ta’abudi, walaupun menurut logika,
kebenaran itu berdasarkan keadilan dan kejujuran orang yang memberi
kesaksian itu, bukan kepada jumlah bilangan saksi.
a. Macam-macam saksi
Dengan demikian macam-macam saksi tersebut dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. Kesaksian empat orang laki-laki
Seluruh madzhab menetapkan bahwa dalam masalah zina
diharuskan adanya empat orang saksi. Ketentuan ini ditegaskan oleh
al-Qur’an sendiri:
)15 :4/النساء... (تي يأتين الفاحشة من نسائكم فاستشهدوا عليهن أربعة منكموالال
25 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menganani Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), h. 180
Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)”. (An-Nisaa/ 4-15).
والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوابأربعةشهداءفاجلدوهم ثمانين ) 4/ 24: النور... (جلدة
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-
baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. … (An-Nuur/ 24-4).
Nabi Muhammad SAW bersabda:
أرايت لو : سعيدبن عبادة قال لرسول اهللا صلى اهللا عليه وسلمعن
قال رسول اهللا . وجدت مع امرأتى رجالامهله حتى اتى بأربعة شهداء
26)رواه ملك.(نعم: صلى اهللا عليه وسلمArtinya: “Dari Sa’id bin Ubadah, ia berkata kepada Rasulullah:
sependapatkah engkau andai kata aku mendapati laki-laki lain bersama istriku lalu kutunda dahulu (menuduh istriku lalu berbuat zina) sampai aku mendapatkan empat orang saksi laki-laki? Nabi Muhammad SAW menjawab: ya !”. (H.R. Imam Malik).
Berdasarkan dalil-dalil diatas, jelaslah bahwa untuk dapat
membuktikan seseorang telah berbuat zina diharuskan mendatangkan
empat orang saksi laki-laki yang benar-benar menyaksikan perbuatan
zina tersebut. Hukuman zina baru dapat dilaksanakan apabila telah
memenuhi empat orang saksi laki-laki.
26 Sulaiman bin al-Asy ‘as Abu Daud al-Sajastani al-Azadi, Sunan Abu Daud, (Mesir: Daarul Fikr) tt., Juz 2, h. 589
2. Kesaksian tiga orang laki-laki
Kesaksian tiga orang laki-laki diperlukan untuk membuktikan
bahwa benar seseorang yang telah diketahui oleh masyarakat adalah
orang kaya yang jatuh pailit.27
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Qubaidhah bin
Mukhariq yang berbunyi:
تحملت حمالة فأتيت النبي فقال : عن قبيضة بن مخارق الهال لى قال
ورجل اصابته فاقةحتى يقول ثالثة من ذوى الحجى من قومه قد ...
28)رواه ابوداود.. (.اصابت فالناالفاقة فحلت له المسئلة Artinya: “Dari Qubaidhah bin Mukhariq Al-Hilali, Ia berkata: aku
menagguh suatu penderitaan (permasalahan) lalu aku mendatangi Nabi (untuk mengadukannya). Maka Nabi bersabda: … dan seseorang yang jatuh pailit, sampai berkata tiga orang laki-laki dari kaumnya: sesungguhnya si fulan telah jatuh pailit. Maka dengan demikian lepaslah si fulan dari persoalannya itu (kewajiban berzakat)”. (H.R Abu Daud).
3. Kesaksian dua orang laki-laki tanpa wanita
Dalam masalah selain zina dan pembunuhan, cukuplah dua orang
saksi saja. Seluruh madzhab sependapat dalam masalah ini. Mereka
berpegang pada ayat Al-Qur’an dan Hadits:
ياأيها الذين ءامنوا شهادة بينكم إذا حضر أحدآم الموت حين الوصية
) 106 :5:المائدة ... (اثنان ذوا عدل منكم أو ءاخران من غيرآم
27 Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 59
28 Abu Daud, As-Sunan, (Mesir: Mustafa al-Babil Halabi, 1371 H / 1952 M), Juz 3, h. 59
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu …”(Al-Maidah/5: 106).
Dan hadits Nabi mengatakan:
: قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم: عن عائشة رضي اهللا عنهاقالت
29)رواه بيحقى. (النكاح اال بولي مرشد وشاهدي عدل
Artinya: “Dari Aisyah ra ia berkata: bersabda Rosulullah SAW tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. (HR. al-Bayhaqi).
Kesaksian dua orang laki-laki yang tidak adil, diperlukan oleh
seluruh fuqoha dalam segala rupa hukuman had, terkecuali zina. Dan
diperlukan pula dua saksi laki-laki oleh Malik dan Ahmad dalam
masalah-masalah yang biasanya hanya disaksikan oleh laki-laki seperti
perkawinan dan perceraian. Dalam hal ini, dan Ahmad tidak menerima
kesaksian wanita. Dalam pada itu Atha Hammad dan Imam Daud az-
Zahiri menerimanya.30
4. Kesaksian dua orang lelaki, atau seorang lelaki dua orang wanita
Jumlah kesaksian ini adalah berdasarkan Al-Qur’an mengenai
kesaksian utang piutang yang ditentukan waktu pembayarannya. Allah
SWT berfirman:
29 Baihaqi al-Jalil Abi Bakr Ahmad ibn Ali al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, (Beirut: Dar
al-Sadir, tt), Jilid 7, h. 125 30 T. M. Hasby Ash-Shiddieqy, Ibid., h. 120-121
ل واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرج...
)282: 2 : البقرة(... وامرأتان
Artinya: …“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi (diantara kamu), jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki dan dua orang wanita…. (Al-Baqarah/ 2: 282).
Berdasarkan ayat ini, seluruh mazhab menerima kesaksian ini
dalam masalah harta, seperti jual beli, hutang piutang dan sebagainya.
Golongan Hanafiah menerima kesaksian ini dalam segala urusan
perdata, baik mengenai harta maupun nikah dan talak. Dalam pada itu,
tidak diterima terhadap hak-hak Allah yaitu dalam masalah-masalah
pidana.31
5. Kesaksian Khusus Wanita
Semua mazhab menerima kesaksian wanita yang tidak disertai
laki-laki, hanya saja terbatas dalam hal-hal yang pada lazimnya
diketahui oleh wanita saja dan tidak dapat dilihat oleh orang laki-laki.
Seperti peristiwa kelahiran bayi, keperawanan, cacat pada tubuh
wanita sebagainya.
Para ulama berselisih tentang ketentuan jumlahnya: mazhab Hanafi
dan Hambali mencukupkan kesaksian seorang wanita. Sementara
Imam Malik dan Syafi’I mengharuskan paling sedikit adanya empat
orang saksi wanita. Pendapat ini berdasarkan pertimbangan bahwa
kedudukan wanita sama dengan dua orang saksi laki-laki, dimana
31 Ibid., h. 121
Allah telah memerintahkan adanya kesaksian dua orang laki-laki
dalam perkara-perkara selain zina.
Imam-imam lain mengatakan, ketentuan saksi wanita itu adalah
dua orang. Tapi dalam masalah penyusuan bayi pada saat
kelahirannya, terjadi pula perbedaan pendapat. Abdurrahman
mengatakan, bahwa Imam Syafi’i:
“Tetap mengharuskan adanya saksi empat orang wanita dan dapat
menerima kesaksian wanita yang menyusukan dengan tiga wanita
lainnya. Sedangkan Ibnu Abbas dan Imam Ahmad bin Hanbal
menerima kesaksian wanita yang menyusukan anak tersebut
sendirinya”.32
Berdasarkan hadits dari Uqabah:
تزوجت امراة فجاءت : عن عقبت بن الحارث رضي اهللا عنه قالم فقال امراة فقالت انى قدارضعتكمافاتيت النبي صلى اهللا عليه وسل
33)رواه البخارى(وآيف وقدقيل دعهاعنك اونحوه Artinya: “Dari Uqbah bin Haris RA: ia berkata aku mengawini
seorang wanita, lalu datang seorang wanita yang berkata: sesungguhnya aku telah menyusukan kamu berdua. Lantas aku menghadap kepada Nabi SAW. Lalu beliau bersabda: bagaimana jadinya, sedangkan wanita itu telah mengatakannya. Tinggalkanlah (ceraikan) istrimu atau perkataan lain seperti itu”. (H.R Bukhori).
32 Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 67 33 Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-
Kubra, (Mekkah al-Mukarromah: Maktabah Daarul Baaz, 1994), Juz 7, h. 463
Adapun Imam Malik dalam masalah ini mencukupkan kesaksian
dua orang wanita. Imam Abu Hanifah menilai, penyusuan anak
termasuk hak-hak badan yang dapat diketahui laki-laki atau seorang
laki-laki dengan dua orang wanita. Kesaksian wanita yang
menyusukan itu saja tidak cukup karena hal itu hanya pengakuan
terhadap perbuatannya.34
Uraian-uraian diatas menyatakan bahwa kesaksian khusus wanita
adalah diterima dalam hal-hal tertentu yang dapat dilihat oleh wanita
saja. Dan kesaksian wanita dipandang setengah dari kesaksian laki-
laki.
6. Kesaksian seorang laki-laki dan sumpah si penggugat.
7. Kesaksian seorang laki-laki.
b. Syarat-syarat
1. Islam
Dalam suatu kesaksian diperlukan syarat-syarat yang sesuai
dengan ketentuan, sehingga kesaksian tersebut dapat diterima, dalam
hal ini para ahli hukum Islam telah memberikan persyaratan yang
harus dipenuhi bagi orang saksi. Sebagai hasil dari ijtihad yang
dilakukan, sudah barang tentu terdapat perbedaan di sana-sini yang
terlepas dari faktor sosio-kultural pada waktu itu.
34 Ibid., h. 68
Secara umum ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam
hal kesaksian dan berlaku sama terhadap setiap perkara yang
memerlukan saksi sebagai alat bukti.35
Saksi adalah benar-benar orang yang wajar serta telah dikenal
kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan
tugas tersebut. Dengan demikian tidak ada keraguan menyangkut
kesaksiannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل ...
)282: 2 /البقرة(... ممن ترضون من الشهداء وامرأتانArtinya: “…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua laki-laki, maka boleh seorang lelaki dan orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi…” (QS. al-Baqaroh/ 2 - 282).
Prof. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan
bahwa yang dimaksud dua orang saksi sebagaimana yang telah
disebutkan pada ayat diatas adalah saksi-saksi laki-laki yang
merupakan anggota masyarakat Muslim.36 Dengan demikian syarat
keharusan beragama Islam sangat penting terhadap suatu kesaksian
karena nilai-nilai agama dapat mempengaruhi tinggi rendahnya moral
seseorang.
2. Baligh
35 Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 43-52 36 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. ke-1, Vol. 1,
h. 566
Baligh adalah syarat diterimanya kesaksian, karena kedewasaan
telah mampu untuk berfikir dan bertindak secara sadar dan baik, dalam
segala tindakannya. Allah berfirman:
) 2/282:البقرة... (واستشهدوا شهدين من رجالكم ... Artinya: “… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang
laki-laki (diantara kamu)”… (Q. S Al-Baqarah/ 2: 282).
Pemakaian lafadz menunjukkan pengertian orang yang الرجل
sudah baligh, bukan anak-anak.37 Sedangkan untuk laki-laki yang
belim baligh, anak-anak dalam istilah Arab dikenal dengan صبي .
3. Berakal
Orang gila tidak dapat menjadi saksi, apabila untuk menerima
kesaksian. Karena orang gila adalah orang yang setiap tindakannya
tidak dapat mempertimbangkan dengan akalnya. Disamping itu, akal
yang sehat pun tidak dapat menerima kesaksian mereka, serta mereka
jelas bukan termasuk orang yang disenangi untuk menjadi saksi. Allah
berfirman:
) 2/282:البقرة... (ممن ترضون من الشهداء ...
Artinya: “… dari saksi-saksi yang kamu ridhoi”… (Q.S Al-baqarah: 2 : 282)
4. Adil
Sifat adil dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi saksi sesuai
dengan firman Allah:
37 Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 48
) 2:65:الطالق(واشهدواذوي عدل منكم واقيمواالشهادة هللا
Artinya: “…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
diantara kamu”… (Q.S Ath-thalak: 65: 2).
5. Dapat Berbicara
Seorang saksi sudah seharusnya orang yang dapat berbicara untuk
dapat menyampaikan dan menerangkan kepada hakim yang telah
disaksikannya. Oleh karena itu, dapatnya saksi berbicara adalah sangat
penting dan merupakan suatu keharusan.
Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang kesaksian
orang bisu yang isyaratnya dapat dipahami dan pandai menulis,
diantaranya ialah:38
a). Madzhab Hambali: tidak menerima dengan isyarat walaupun
dimengerti, tetapi menerima bila ia sanggup menulis;
b). Madzhab Maliki: dapat menerima kesaksian orang bisu yang
dapat dimengerti isyaratnya;
c). Madzhab Syafi’I: dalam madzhab ini ada beberapa pendapat,
pertama dapat menerima dengan isyaratnya, dalam masalah
perkawinan dan thalak. Adapun yang tidak menerimanya, oleh
karena itu isyarat orang bisu hanya bisa diterima dalam keadaan
darurat;
38 Ibid., h. 51-52
d). Madzhab Hanafi: tidak menerima baik dengan isyarat maupun ia
pandai menulis.
6. Baik Ingatan dan Teliti
Kesaksian bagi orang yang daya ingatnya sudah tidak normal,
pelupa dan sering salah, maka jelas kesaksian ini diragukan
kebenarannya. Sebab hal ini akan banyak mempengaruhi ketelitiannya
baik dalam ingatan maupun mengemukakan kesaksiannya. Maka
kesaksiannya tidak dapat dipegang.
7. Tidak Tuhmah
Yang dimaksud dengan tidak tuhmah disini adalah tidak ada
sangkaan buruk terhadap maksud baik dan kejujuran seseorang dalam
mengemukakan kesaksiannya.39 Karena tuhmah adalah orang yang
disangsikan dalam mengemukakan kesaksian, mungkin karena benci
atau karena terlalu sangat cintanya terhadap orang yang disaksikannya
seperti: Kesaksian Ayah terhadap anaknya atau kesaksian sesorang
terhadap musuhnya.
3. Hak-hak dan Tujuan saksi
a. Hak-hak
Disini akan dijelaskan bahwa ada dua bagian dalam hak-hak saksi,
diantaranya adalah:
1. Hak Allah
39 Ibid., h. 52
2. Hak Adami.
a. Hak Allah
Hak-hak Allah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Tidak dapat diterima saksi yang kurang dari empat orang laki-laki.
Yaitu zina. Keempat orang laki-laki tersebut memandang
perbuatan zina dengan tujuan bersaksi.40
Allah SWT. berfirman:
)13: النور. (ن المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهموالذين يرموArtinya: Dan Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka. (QS. An Nur: 4).
Dalam ayat diatas ditegaskan, bahwa tuduhan itu dapat
mengakibatkan dera karena tidak dapat mendatangkan empat orang
saksi, maka demikian pula zina, tidak bisa dianggap tanpa ada
empat orang saksi.
Allah SWT. berfirman:
. تي يأتين الفاحشة من نسائكم فاستشهدوا عليهن أربعة منكموالال )15:النساء(
Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan
keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). (QS. An Nisa’: 15).
40 Musthafa Dieb al-Bigha, Fiqh Sunnah, (Surabaya: Insan Amanah, 1424 H), h. 512
Dan firman Allah dalam haditsul ifki, yaitu tuduhan terhadap
Aisyah RA. Telah berbuat serong:
لم يأتوا بالشهداء فأولئك عند جاءوا عليه بأربعة شهداء فإذلوال
)13: النور.(الله هم الكاذبونArtinya: Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (QS. An Nur: 13).
Jika mereka sengaja memandangnya untuk selain kesaksian,
maka mereka fasik dan kesaksian mereka ditolak.
Jika seseorang mengaku bahwa dia melakukan zina, maka
saksinya cukup dua orang laki-laki menurut pendapat yang paling
jelas.
2. Hak kedua dari hak-hak Allah adalah hak dimana diterima
kesaksian dua orang laki-laki. Penyusun menjelaskan hal ini
dengan ucapan: yaitu hukuman selain hukum zina, hukuman
minuman arak.
Allah SWT. berfirman:
) 282: 2 : البقرة ... (واستشهدوا شهيدين من رجالكم... Artinya: ... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki
(diantaramu)…. (QS. Al Baqarah: 282).
Allah SWT. berfirman:
) 2: الطالق ...(وأشهدوا ذوي عدل منكم ... Artinya: … Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki
yang adil ... (QS. Ath Thalaq: 2). Dan juga perkataan az Zuhri:
جوزشهادة النساءفى مضت السنة بانه والخليفتين من بعده االت
41)رواه مالك(الحدود
Artinya: Sunah telah berlaku bahwasanya tidak boleh diterima kesaksian orang-orang wanita dalam had-had.
3. Hak ketiga dari hak-hak Allah adalah hak dimana diterima
kesaksian seorang laki-laki. Yaitu hilal bulan Ramadhan saja,
bukan bulan lainnya.
Dari Ibnu Umar RA., ia berkata:
م أنى تراءى الناس الهالل فأخبرت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسل
42).رواه ابوداود. (رايته فصامه وامرالناس بصيامهArtinya: Orang-orang pada melihat-lihat bulan, maka aku
mengkabarkan kepada Rasulullah SAW. bahwa aku telah melihat bulan. Dan Rasulullah pun berpuasa dan memerintahkan agar orang-orang berpuasa. (HR. Abu Daud
Hikmah dari diterimanya kesaksian orang seorang dalam hal
ini adalah untuk berhati-hati dalam urusan berpuasa. Sebab keliru
dalam mengerjakan ibadah akan lebih ringan mafsadahnya dari
41 Al-Musnaf, Ibid 42 Al-Tabrani, Al-Mu’jam al-Kabir (t.tmpt: Mauqi Ya’sub, tt), Juz 6, h. 241
pada keliru meninggalkan ibadah. Karena itulah dalam hal
menetapkan tanggal satu syawal tidak dapat diterima kecuali
sedikitnya ada dua orang saksi.
b. Hak Adami
Hak Adami ada tiga macam. Yaitu:
1. Macam pertama adalah hak di mana tidak dapat diterima, kecuali
dua saksi laki-laki.43
Allah SWT. berfirman:
ياأيها الذين ءامنوا شهادة بينكم إذا حضر أحدآم الموت حين
) 106 :المالءدة ...(الوصية اثنان ذوا عدل منكم
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu. (QS. Al-Maidah: 106).
Dan firman Allah dalam masalah talaq:
فأمسكوهن بمعروف أو فارقوهن بمعروف وأشهدوا ذوي عدل ) 2: الطالق ...(منكم
Artinya: Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu: (QS. Ath Thalaq: 2).
Dan hadits Nabi SAW. Dalam masalah perkawinan:
44النكاح إالبولى مرشدوشاهدى عد ل
43 Musthafa Dieb al-Bigha, Fiqh Sunnah, (Surabaya: Insan Amanah, 1424 H), h. 503
Artinya: Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang pandai dan dua orang saksi yang adil.
Dalam ketiga nash diatas, saksi-saksi disebutkan dengan lafadz
mudzakkar. Maka untuk hak-hak sejenis yang tidak ada disebutkan
dalam ayat/hadits, diqiaskan dengan hal diatas.
2. Disini dapat diterima salah satu dari tiga hal: dua orang saksi laki-
laki, seorang laki-laki dan dua orang wanita atau satu saksi dan
sumpah pendakwa. Namun sumpahnya harus dilakukan setelah
kesaksian saksinya dan saksi itu dinyatakan adil.45
Pendakwa dalam sumpahnya harus menyebutkan bahwa
saksinya benar mengenai apa dimana dia bersaksi untuk pendakwa.
Jika pendakwa tidak bersumpah dan menuntut terdakwa untuk
bersumpah, maka dia berhak demikian. Jika terdakwa tidak mau
bersumpah, maka pendakwa boleh untuk sumpah balik menurut
pendapat yang lebih jelas.
Allah SWT. berfirman:
جالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل واستشهدوا شهيدين من ر
وامرأتان ممن ترضون من الشهداء أن تضل إحداهما أن تضل
)282: 2 / البقرة (.ألخرىر إحداهما اإحداهما فتذآArtinya: Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki
(diantaramu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari
44 Muhammad bin Ali Muhammad Saukaniy, Nailul Authar Min Ahaadits Akhyar, (Sarah
Muntaqa Akhbar), Juz 6, (t. tmpt: Idaarah at-Thabaa’ah al-Muniyriya, tt), Juz 6, h. 138 45 Musthafa Dieb al-Bigha, Ibid, h. 510
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. (QS. al Baqarah: 282).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA:
46)رواه مسلم. (ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قضى بيمين وشاهدArtinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menghukumi
dengan sumpah dan seorang saksi laki-laki. (HR. Muslim).
3. Macam ketiga adalah hak dimana bisa diterima salah satu dari dua
hal. Boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita, boleh empat
orang wanita. Penyusun menjelaskan hak ini dengan perkataan:
Hak ini adalah sesuatu yang biasanya tidak disaksikan oleh kaum
laki-laki, namun jarang, misalnya bersalin, haidh dan susuan.
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dari Zuhriy rahimahullah ia
berkata:
مضت السنة بانه يجوزشهادة النساءفيمااليطلع عليه غيرهن من والدة
47.النساءوعيوبهنArtinya: Sunah telah berlaku bahwa sesungguhnya boleh diterima
kesaksian orang-orang perempuan dalam hal yang tidak dilihat kecuali oleh mereka, seperti kelahiran, dan cela mereka. (Iqna’: II/.297).
Ketahuilah, bahwa tak ada hak yang bisa diteatapkan
berdasarkan kesaksian dua wanita dan sumpah.
46 Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi (India: Majlis al-
Nizomiah al-Kaainah, 1344 H), Cet. ke-1, Juz 2. h.335 47 Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kuufi, al-Musnad fil Ahaadits
wal Atsaar (Riyadh: Maktabah al-Rasyadih, 1409), Cet, ke-1, Juz 4. h. 329
Adapun hak-hak Allah, kesaksian wanita tidak diterima, hanya
kesaksian laki-laki saja yang diterima.
Diriwayatkan dari Zuhri, ia berkata:
مضت السنة بانه والخليفتين من بعده االتجوزشهادة النساءفى 48)رواه مالك(الحدود
Artinya: Sunah telah berlaku bahwasanya tidak boleh diterima
kesaksian orang-orang wanita dalam had-had. (HR. Malik). Iqna’: II/.296.
b. Tujuan Saksi
Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk
membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafadz-lafadz
kesaksian dihadapan sidang pengadilan. Inilah definisi kesaksian. Kata
yang ,المشاهدة sendiri merupakan bentuk musytaq (pecahan) dari الشهادة
memiliki arti المعاينة (sesuatu yang disaksikan secara langsung). Kadang-
kadang juga disebut dengan memberikan kesaksian (االدى الشهادة). Sebab
Kesaksian .(االدى الشهادة) merupakan sebab bagi pemberian kesaksian المعاينة
hanya akan terwujud bila ada المعاينة, atau hal-hal yang serupa dengan
Seperti mendengar, melihat dan hal-hal lain yang serupa. Oleh .المعاينة
48 Al-Musnaf (t. Tmpt: Mauqi’ Ya’sub, tt), Juz. 6, h. 544
karena itu sebab satu-satunya untuk menyampaikan kesaksian dinamakan
dengan memberi sebuah kesaksian.49
Kesaksian tidak boleh didasarkan pada dzan. Semua bukti yang
berasal dari jalan المعاينة atau yang serupa dengan المعاينة, seperti bukti
meyakinkan yang berasal dari penginderaan oleh satu panca indera, maka
masyarakat dibolehkan bersaksi dengan bukti-bukti semacam itu. Semua
bukti yang tidak berasal melalui jalan ini, maka kesaksian atas bukti-bukti
itu tidak diperbolehkan. Sebab, kesaksian tidak ditegakkan kecuali dengan
sesuatu yang meyakinkan.
Dengan demikian kesaksian tidak boleh ditetapkan dengan jalan as-
sama’ (mendengar dari orang lain). Artinya, orang yang hendak bersaksi
tidak boleh memberi kesaksian yang menyatakan: ‘Saya mendengar dari
orang’, atau ‘Saya mendengar bahwa orang-orang berkata’, atau yang lain.
Namun demikian dikecualikan pada 9 kasus. Pada 9 kasus tersebut boleh
memberikan kesaksian dengan as-sama’. Yaitu pada kasus pernikahan,
nasab, kematian, dan peradilan. Pada empat kasus ini tidak dijumpai
adanya perbedaan pendapat tentang diterimanya kesaksian dengan jalan
as-sama’.
Jadi jelaslah bahwa maksud dari kesaksian adalah menyampaikan
kebenaran. Jelas pula bahwa hakekat kesaksian adalah menyampaikan
kebenaran, yaitu berita yang benar dan meyakinkan yang disampaikan
49 Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Ibid, h. 24
oleh orang yang jujur/benar. Kesaksian merupakan upaya untuk
membuktikan kebenaran. Bukti juga disyari’atkan untuk menampakkan
kebenaran. Berdasarkan hal ini maka kesaksian dengan penyangkalan
murni tidak akan diterima. Kesaksian dengan pengingkaran tidak diterima,
sebab hal ini bertentangan dengan definisi kesaksian.
Namun jika pengingkaran lebih dulu diawali dengan sebuah
pembuktian, maka kesaksian dengannya diperbolehkan. Karena, kesaksian
itu secara otomatis bukan lagi menjadi kesaksian dengan pengingkaran,
akan tetapi kesaksian didalam pembuktian. Oleh karena itu dikatakan
‘tidak bolehnya memberi kesaksian dengan penyangkalan murni, tidak
dikatakan penyangkalan saja’, karena dibolehkan memberi kesaksian
dengan penyangkalan yang diperkuat dengan bukti.
4. Dasar Hukumnya
Dalam Al-Qur’an ditegaskan, Allah SWT berfirman:
)135: 3/النساء... (ياأيهاالذين امنواقومين ب القسط شهداءهللا
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah …”, (Q.S. An-Nisa/3: 135).
Kesaksian itu wajib ditunaikan apabila saksi mampu menunaikannya
tanpa adanya bahaya yang menimpa baik badannya, kehormatannya, hartanya,
ataupun keluarganya.
Apabila saksi itu banyak dan tidak dikhawatirkan kebenaran akan disia-
siakan, maka kesaksian pada saat yang demikian menjadi sunnah, sehingga
bila seorang saksi terlambat menyampaikannya tanpa alasan, maka ia tidak
berdosa.
Apabila persaksian telah ditentukan, maka haram mengambil upah atas
persaksian itu kecuali bila saksi keberatan dalam menempuh perjalanan untuk
menyampaikannya, maka ia boleh mengambil ongkos itu, apabila kesaksian
itu tidak ditentukan, maka saksi boleh mengambil upah atas kesaksiannya.
Kesaksian itu fardhu ‘ain bagi orang yang memikulnya, bila dia dipanggil
untuk itu dikhawatirkan kebenaran akan hilang, bahkan wajib apabila
dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk itu.
Seperti yang telah ditegaskan dalam firman-Nya:
)283: 2/البقرة ... (والتكتمواالشهادة ومن يكتمهافإنه اثم قلبه ... Artinya: …“Janganlah kamu menyembunyikan persaksian, dan barang siapa
yang menyembunyikan, maka ia adalah orang yang berdosa hatinya”…. (Q.S al-Baqarah: 283).
Hukum mengemukakan kesaksian ada dua jalan, sebelum peristia terjadi
dan sesudah peristiwa terjadi. Yang dimaksud sebelum peristiwa terjadi
adalah kesediaan menjadi saksi dalam peristiwa tersebut, dalam hal ini Allah
SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat: 282 yang berbunyi:
)282:البقرة ... (وال يأب الشهداءاذامادعوا ... Artinya: “... dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan)
apabila mereka dipanggil ...” (Q.S Al-Baqarah : 282).
Berdasarkan ayat diatas, kesediaan menjadi saksi sebelum peristiwa
terjadi, hukumnya tergantung kepada tingkat kebutuhan adanya saksi dalam
peristiwa itu sendiri, dalam suatu peristiwa dimana adanya saksi menjadi salah
satu syarat sahnya peristiwa tersebut seperti saksi akad nikah. Menurut
mazhab Syafi’I, maka hukumnya fardhu kifayah. Sedangkan terhadap orang
yang diminta menjadi saksi, hukumnya fardhu ‘ain.
Adapun dalam peristiwa dimana adanya saksi tidak menjadi syarat sahnya
peristiwa tersebut, kemudian menjadi saksi hukumnya adalah sunnah, karena
dengan adanya saksi dapat ditetapkan adanya hak baik seseorang jika
dikemudian hari terjadi perselisihan tentang hak tersebut.
Kemudian kesaksian setelah peristiwa terjadi, menurut tujuan syara’,
menjadi saksi dan mengemukakan adalah wajib. Oleh sebab itu, barang siapa
menemui peristiwa yang ia saksikan sendiri dan didasari oleh pikiran dan
perasaannya, maka menyembunyikan kesaksian dapat diibaratkan
memenjarakan kesaksian itu didalam hatinya.
Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad SAW bersabda:
أال أخبرآم : عن زيد بن خالدالجهنى، أن النبى صلى اهللا عليه وسلم قال
50)رواه مسلم(بخيرالشهداء؟ هوالذى يأتى بالشهادة قبل أن يسألها Artinya: “Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, bahwasanya Nabi SAW bersabda:
“Apakah tidak kukabarkan kepada kamu tentang sebaik-baiknya saksi? Itulah orang yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta untuk mengemukakannya”. (HR. Muslim).
Khusus terhadap seseorang dimana hanya dia yang mendapat
mengemukakan kesaksiannya. Sedangkan hak didalam peristiwa tersebut
50 Subul al-Salam, (Beirut: Daar al-Fikr, 1991), Jilid 4, h. 126
tidak akan dapat ditegakkan tanpa adanya kesaksian tersebut, maka hukum
mengemukakan kesaksian baginya adalah fardhu ‘ain.51
Dalam hukum positif, saksi adalah alat bukti yang cukup vital. Keterangan
saksi dijadikan alat bukti seperti dalam pasal 185 ayat 1 KUHAP, yaitu bahwa
keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang
pengadilan.
B. Saksi Menurut Hukum Positif
1. Pengertian
Menurut Bahasa: “saksi” adalah sebuah kata benda dalam bahasa
Indonesia Yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui”.52 Dalam
kamus hukum dikatakan, ‘saksi adalah orang yang mengetahui dengan jelas
mengenai sesuatu karena melihat sendiri atau karena pengetahuannya’.53
Sementara itu Prof. Subekti, SH., dalam kamus hukumnya mengatakan: saksi
adalah orang yang didengar keterangannya dimuka pengadilan; orang yang
51 Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 41 52 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.
825. lihat juga Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet. ke-1, h. 517 53 J.C.T. Simorangkir, et. Al, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), Cet. ke-3, h.
163
mendapat tugas menghadiri suatu peristiwa perlu dapat didengar
keterangannya di muka pengadilan.54
Jadi saksi adalah orang yang didengar keterangannya dimuka pengadilan,
karena melihat atau mengetahui sendiri dengan jelas atau karena
pengetahuannya, mengenai sesuatu;
Menurut KUHAP Pasal 1 butir 26 bahwa saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri. didalam kitab Undang-undang perlindungan saksi
tentang pengertian saksi, namun demikian pengertian kesaksian adalah,
“kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
yang salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan”.
2. Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi
a. Macam-macam
Kesaksian dalam hukum acara pidana tidak cukup hanya satu orang
saja melainkan harus ada keterangan-keterangan dari satu saksi lainnya
atau lebih. Sebagaimana dikenal dengan istilah asas unus testis nullus
testis ialah asas yang menentukan satu saksi saja tanpa didukung alat bukti
lainnya tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Alat bukti
lainnya ini dapat berupa keterangan satu saksi lainnya atau berupa alat-alat
54 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2000),
Cet. ke-13, h. 97
bukti selain keterangan saksi. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam
pasal 185 ayat 1 dan 2 KUHAP, yang isinya adalah:
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
b. Syarat-syarat
Agar suatu kesaksian mempunyai nilai dan kekuatan pembuktian
sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:
1. Syarat obyektif
a. Tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa
b. Tidak boleh ada hubungan keluarga (pasal 168 KUHAP)
c. Mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun atau
sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan (pasal 171 KUHAP)
2. Syarat Formil
a. Kesaksian harus diucapkan dalam sidang
b. Kesaksian tersebut harus diucapkan dibawah sumpah, kecuali
ditentukan lain oleh KUHAP
c. Tidak terkena asas unus testis nullus testis
3. Syarat subyektif/materiil
a. Saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami
sendiri.
b. Dasar atau alasan tentang saksi yang saksi lihat, dengar dan alami
tersebut
Jadi penulis mengambil analisa tentang adanya perbedaan syarat-syarat
saksi antara hukum Islam dan hukum positif, yakni pada poin bahwa
seorang saksi harus muslim yaitu sebagaimana berikut: “Sebenarnya
syarat seorang saksi haruslah muslim tidak ditemukan satu
dalil/argumenpun dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang mensyaratkan
saksi haruslah muslim hanyalah berdasarkan ijtihad ulama fiqih.
Sedangkan menurut hukum positif sebagaimana diterapkan dalam
Peradilan Agama tidak ada ketentuan seorang saksi harus muslim.
Singkatnya, kedudukan antara saksi muslim dan non muslim itu sama
saja, saksi non muslim dapat diajukan kepengadilan apabila benar-benar
saksi yang beragama Islam tidak diketemukan. Seorang saksi non muslim
hanya berkewajiban menerangkan atas apa yang ia lihat, dengar dan
diketahui tentang peristiwa tersebut yang berlangsung didepan sidang
pengadilan, dengan catatan, saksi tersebut tidak boleh menyimpulkan dari
apa yang terdapat dalam peristiwa tersebut.
3. Hak-hak dan Tujuan Saksi
a. Hak-hak
Dari beberapa syarat dalam saksi kita harus ketahui pula tentang hak-
hak saksi, bahwa hak-hak saksi memiliki beberapa penjelasan, yang
dijelaskan dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
Kita harus ketahui bahwa jelas setiap manusia selalu ingin mendapat
hak-hak kehidupan, baik itu hak sosial, hak kesejahteraan, ketentraman,
keamanan, dan hak perlindungan. Jadi disini telah diatur dalam Undang-
undang No. 13 Tahun 2006 pasal 5 No. 1-2, pasal 6, dan pasal 7 No. 1-3,
bahwa isi pasal ini menjelaskan dan juga menguraikan isi hak-hak
tersebut. Yaitu yang telah dijelaskan dalam pasal 5 Nomor 1-2
menerangkan saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan
keamanan, yang pengertiannya akan dijelaskan lebih terarah dalam pasal 5
ayat 1-2 yaitu:
(1). Bahwa Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. adapun saksi harus ikut serta dalam proses memilih dan
menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir. Jadi sebagaimana hak-hak yang dimaksud
pada ayat 1 ini bahwa saksi dalam mendapat perlindungan dari
LPSK, yang akan diterangkan pada pasal 5 ayat 2 bahwa:
(2). Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi
dan Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan
keputusan LPSK. Dan dijelaskan pula lebih dalam saksi memiliki
hak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi yang
tertuai dalam pasal 6, yaitu:
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain
berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak
untuk mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Dari beberapa hak bantuan tersebut, saksi disini bila meminta
bantuan melalui LPSK, dia juga berhak untuk mengajukan haknya
kepengadilan, yaitu berupa hak atas kompensasi dan restitusi dalam
kasus HAM yang sebagaimana diterangkan dalam pasal 7 ayat 1-3
yaitu:
(1). Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan
berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana.
(2). Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh
pengadilan.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan
restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Tujuan saksi
Untuk memberikan keterangan-keterangan dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1 butir 27
KUHAP.
Pasal 1
(27) “Keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
4. Dasar Hukum
Dasar hukum saksi dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP dan UU
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlinduangan Saksi dan Korban, di
antaranya:
Dasar Hukum Saksi dalam KUHAP:
1. Pemeriksaan saksi: Pasal 159 s/d 174 KUHAP
2. Keterangan saksi: Pasal 184 ayat (1) hurup a dan Pasal 185 KUHAP
Dasar Hukum Saksi dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlinduangan Saksi dan Korban:
Ketentuan tersebut diatur dalam Bab I dalam Ketentuan Umum pada Pasal
2 s/d 4 UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
C. Tujuan Perlindungan Saksi
1. Menurut Hukum Islam
Tujuan Perlindungan Saksi menurut hukum Islam tidak terlepas dari
tujuan hidup manusia itu sendiri, yaitu mengabdi kepada Allah. Hukum buat
agama Islam hanya berfungsi mengatur kehidupan manusia, baik pribadi
maupun dalam hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kehendak
Allah, untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan diakhirat. Dengan kata
lain, hukum dalam agama Islam terlingkung dalam masalah ta’abbudi.
Sesuai dengan tujuan hukum Islam (ta’abbudi) diatas, maka metode
penemuan hukumnya adalah deduktif dan kasuistik. Setiap peristiwa hukum
haruslah diatur menurut aturan-aturan pokok yang ada dalam sumber-sumber
pokok hukum Islam—Al Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam Islam adanya
hukum terlepas dari ada atau tidaknya suatu masyarakat.55
Dalam hukum Islam, martabat dan hak hidup manusia serta hak-hak yang
melekat padanya telah mendapatkan perhatian yang maksimal. Dengan
demikian manusia memiliki hak Al-Karamah (hak pemuliaan) dan hak Al
Fadhilah (pengutamaan manusia). Apalagi misi Rasulullah SAW adalah
rahmatan lil ‘alamin, dimana kemaslahatan atau kesejahteraan merupakan
tawaran untuk seluruh manusia dan alam semesta. Misi atau tujuan hukum
Islam diatas disebut sebagai al khams (lima prinsip dasar) yang meliputi:56
a. Hifzhud-din, memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk
memelihara agama dan keyakinan. Sementara itu Islam juga menjamin
sepenuhnya atas kelompok agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu
Islam menjamin kebebasan agama.
b. Hifzhun-Nafs, jaminan hak atas setiap jiwa manusia, untuk tumbuh dan
berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan
hak kemerdekaan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.
c. Hifzhul-aql, adanya suatu jaminan atas kebebasan berkreasi, kebebasan
mengeluarkan opini. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya pengrusakan
akal dalam bentuk penyiksaan, minuman keras dan lain-lain.
d. Hifzhul-nasl, jaminan atas kehidupan privacy setiap individu, perlindungan
atas profesi, jaminan masa depan dan keturunan. Free sex, zina, serta
55 Ahmad ad-Da’ur., Ibid, h.24 56 Romli Atmasasta, HAM dan Penegakan Hukum, (Bandung, Bina Cipta, 1997), h. 159
homoseksual, menurut syara’ adalah perbuatan yang dilarang karena
bertentangan dengan hifzhul-nasl.
e. Hifzhul-mal, jaminan atas pemilikan harta benda dan lain-lain. Dan
larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti.
Mencuri, korupsi, monopoli, dan lain-lain.
2. Menurut Hukum Positif
Undang-undang tentang saksi memberikan perlindungan dalam semua
tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Dalam hal ini
Perlindungan saksi berasaskan pada:
a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia
b. Rasa aman
c. Keadilan
d. Tidak diskriminatif dan
e. Kepastian hukum
Tujuan saksi menurut Hukum Positif di atur dalam pasal 4 UU Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang isinya adalah:
Pasal 4 “Perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”.57
57 Lihat UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Koban, Bab I
Ketentuan Umum
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PADA PERKARA PIDANA
DALAM UU NO. 13 TAHUN 2006
A. Saksi Dalam Perkara Pidana
1. Perkara Pidana
Pengertian Perkara menurut bahasa adalah persoalan atau perkara yang
perlu diselesaikan atau dibereskan. Sedangkan pengertian pidana adalah
hukuman, dan hal ini juga ada hubungannya dengan pasal hukum pidana58.
Jadi yang dimaksud dengan perkara pidana adalah suatu perkara yang
harus diselesaikan dengan memerlukan cara melalui ketentuan hukum pidana
(hukum acara pidana) dalam hukum pidana pengaturan penyelesaian perkara
pidana diatur dalam hukum acara pidana, adapun tahapan penyelesaian
perkara pidana adalah penyidikan, penuntutan, dan mengadili. dari beberapa
faktor tersebut dapat dijelaskan bahwa:
Penyidikan adalah usaha dari kepolisian dan kejaksaan dalam pemeriksaan
pendahuluan untuk mencari dan mengumpulkan keterangan dan bukti-bukti
yang menyangkut suatu tindak pidana. Sedangkan menurut KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.59
58 Sudarsono. Kamus Hukum (Jakarta : Rineka Cipta, 2005). Cet. Keempat, h. 355 59 KUHAP Pasal 1 ayat 2
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan. (perumusan sebagaimana yang
tercantum didalam KUHAP pasal 1 ayat 1).60
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim disidang pengadilan. 61
Dan sebagaimana dijelaskan yang diatur pasal 1 ayat 7, yang isinya
adalah:
Penuntut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.62
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.63
Dan dijelaskan bahwa mengadili dalam pasal 1 ayat 9 adalah
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang
60 J. C. T. Simorangkir, Kamus Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), Cet. Ke- 8,. h.
125. 61 Marbun, Kamus Hukum Indoneia, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2006.) Cet.
Pertama,. h. 220 62 KUHAP Pasal 1 ayat 7 63 Ibid Pasal 1 Ayat 6 Butir b
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini oleh karena itu hakim dalam menentukan perkara pidana
hanya boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang atau terdakwa
apabila dengan sekurang-kurangnya dapat alat bukti yang sah. Ia
memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan (pasal 183 KUHAP).
2. Saksi Sebagai Alat Bukti
Suatu alat pembuktian dengan tulisan pada umumnya baru digunakan
apabila alat pembuktian dengan saksi tidak cukup. Yang dimaksudkan alat
pembuktian dengan saksi itu adalah kesaksian merupakan alat pembuktian
yang wajar dan penting pula karena sudah sewajarnya dalam pemeriksaan
suatu perkara dipersidangan diperlukan keterangan dari saksi yang mengalami
peristiwa tersebut.
Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri
peristiwa yang harus dibuktikan dimuka hakim tadi, adapula yang dengan
sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan,
misalnya menyaksikan jual beli tanah yang sedang dilangsungkan,
menyaksikan suatu pembagian, menyaksikan suatu pernikahan dan lain
sebagainya.64
Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan saksi dan korban bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam
64 Ibid., h. 100
proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang
mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana
dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana.65
Sebagaimana dalam KUHAP tentang alat-alat bukti diatur dalam pasal
184 dan tentang kekuatan pembuktian macam-macam alat bukti tersebut
diatur pada pasal-pasal selanjutnya, yaitu pasal 185 sampai 189 KUHAP,
dengan tidak mengesampingkan ketentuan pasal-pasal KUHAP terkait alat
bukti lainnya.
Pasal 184 KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah
menurut undang-undang sedangkan isi pada pasal 184 adalah:
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
Dari pengertian diatas tentang saksi, bahwa saksi juga perlu ketahui
tentang syarat-syarat dan hak-hak saksi. Adapun syarat-syarat saksi yaitu
mempunyai beberapa pengertian bahwa syarat yang akan dibahas tentang
saksi yaitu, saksi yang diajukan didepan sidang adalah harus saksi yang telah
65 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban , ibid., Cet. ke- 1. h. 1
melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang baru dibuktikan dimuka
sidang, dan saksi itu pun harus mempunyai syarat-syarat sebagai saksi.
3. Faktor Penyebab Perlunya Perlindungan Saksi Dalam Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006.
Ada berbagai masalah dikalangan masyarakat Indonesia yang
enggan dirinya untuk dijadikan sebagai saksi, meskipun tidak ada
seorangpun yang mengetahui kejadian kejahatan yang ia ketahui,
padahal bila ia bersaksi dan melapor, orang lain tidak mengetahuinya,
tetapi ia takut apabila kejadian tersebut terungkap maka ia akan
menjadi korban, dari sinilah penyebab harus adanya perlindungan
terhadap Saksi dari Negara.
Oleh karena itu Pemerintah membentuk program Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan dikeluarkanlah UU
No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk
memberikan terobosan hukum baru di tingkat nasional. UU ini
memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban yang tidak
terbatas pada tindak pidana tertentu tapi pada semua tindak pidana
sesuai dengan keputusan lembaga perlindungan saksi dan korban
(LPSK). Hal ini membuka peluang bagi saksi dan korban kekerasan
kepada masyarakat yang selama ini seringkali mendapatkan intimidasi
dan teror untuk mendapatkan perlindungan.
Namun demikian masih ada kekurangan dari UU ini yaitu pelapor
(pemberi informasi) tidak mendapatkan perlindungan seperti halnya
saksi dan korban karena saksi pelapor tidak diakui dalam definisi
saksi. Pelapor hanya berhak untuk dilindungi dari kemungkinan
dituntut secara hukum (pasal 10 ayat (1)). Padahal peran pelapor
sangat penting sebagai tonggak pertama dalam pengungkapan tindak
pidana. Selain itu pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psiko-
sosial bagi korban hanya diberikan pada korban kasus pelanggaran
HAM berat saja sehingga korban tindak pidana yang lain seperti
KdRT atau kekerasan terhadap perempuan lainnya tidak bisa
mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial. Sedangkan
disisi lain definisi pelanggaran HAM berat tidak dijelaskan dalam
ketentuan umum dan penjelasan.
Selain itu, keputusan pemberian perlindungan bagi saksi dan korban
diputuskan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dimana
LPSK harus dibentuk dalam jangka waktu satu tahun sejak UU
Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) disahkan dalam rapat paripurna DPR
pada tanggal 18 Juli 2006. Namun sampai saat ini proses pembentukan
lembaga tersebut belum berjalan sehingga realisasi dari amanat UU
Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) terancam belum efektif. Dan
dikarenakan Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana
selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Hal
ini tentu saja akan menghambat proses perlindungan saksi dan korban
sedangkan semakin banyak saksi dan korban yang membutuhkan
perlindungan yang komprehensif dari pemerintah.
Beberapa sebab timbulnya Undang-undang Perlindungan Saksi,
diantaranya adalah:
1. Belum efektifnya undang-undang perlindungan saksi dan korban dalam
proses peradilan kasus pelanggaran HAM berat.
2. Belum adanya prosedur untuk menjamin keselamatan bagi saksi dan
korban dalam kasus pelanggaran HAM berat.
3. Belum adanya lembaga perlindungan korban dan saksi.66
B. UU Nomor 13 Tahun 2006
1. Sejarah Terbentuknya
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.
Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap
tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui
atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana
yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.67
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu
66 “Faktor Penyebab Adanya Perlindungan Saksi” artikel diakses pada 1 Mei 2008 dari
http:// www. Balitbangham. Go. It./Agendas/2007-2012. 67 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006),
Cet. ke- 1. h. 18
tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before the law) yang
menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses
peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok
materi muatan yang diatur dalam undang-undang tentang perlindungan Saksi
dan Korban meliputi:68
1. perlindungan dan hak Saksi dan Korban;
2. lembaga perlindungan Saksi dan Korban;
3. syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan
4. ketentuan pidana
2. Tujuan Pembentukannya
Perlu ditegaskan kembali bahwa tujuan pembentukan Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban (PSK), untuk memberikan perlindungan
terhadap saksi harus diberikan atas dua hal: perlindungan hukum dan
perlindungan khusus terhadap ancaman.
68 Ibid., Cet. ke- 1. h. 19, lihat juga penjelasan undang-undang nomor 13 tahun 2006
Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada
pelapor dan saksi agar tidak dapat digugat atau dituntut secara perdata. Tentu
dengan catatan, sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau
laporan dengan itikad baik atau yang bersangkutan bukan pelaku tindak
pidana itu sendiri. Perlindungan hukum lain berupa larangan bagi siapa pun
untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama
pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya.
Semua saksi, pelapor, dan korban memerlukan perlindungan hukum ini.
Perlindungan khusus kepada saksi, pelapor, dan korban diberikan oleh negara
untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan
harta bendanya,termasuk keluarganya.
Karena itu, perlindungannya pun harus meliputi perlindungan atas
keamanan pribadi dari ancaman fisik, mental, dan harta benda. Perlindungan
semacam ini harus dilakukan terhadap seluruh saksi atau pelapor, termasuk
Vincentius Amin Sutanto, sebagai saksi dan pelapor dugaan tindak pidana
Asian Agri meski dia terlibat tindak pidana tersendiri.69
3. Landasan Hukumnya
Adapun yang menyebabkan adanya landasan hukum ini yang mendasari dibentuknya Undang-undang No. 13 Tahun 2006 ini adalah:
1. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM), Pasal 1 ayat 3, dan Pasal 7.
69 Yunus Husein, "Sang Pelapor dan Perlindungan Saksi” Saturday 12 January 2008
I:/index.php.htm.
2. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
3. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
4. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi dan,
5. Peraturan ini ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005, yang berlaku sejak 30 Desember
2005.
4. Susunan dan Isi
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 ini terdiri dari 7 bab, dan 46
pasal. Pada bab I Ketentuan Umum undang-undang ini memuat empat pasal.
Pasal ini yang dijelaskan tentang Perlindungan saksi dan Korban berasaskan
pada: Penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan,
tidak diskriminatif, dan kepastian hukum.70
Bab II terdiri dari enam pasal dan dibagi dalam 12 ayat, dimulai dari pasal 5 sampai dengan pasal 10. dalam pasal menerangkan tentang masalah perlindungan dan hak saksi untuk mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial. Adapun isi perlindungan yang dijelaskan adalah saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.71
70 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, Ibid,. h. 2 71 Ibid,. h. 3
Bab III terdiri dari 17 pasal dan dibagi dalam 32 ayat, dimulai dari pasal 11 sampai 27. Undang-undang ini menjelaskan tentang pertanggung jawaban lembaga perlindungan saksi dan koraban (LPSK).72
Bab IV terdiri dari 9 pasal dan dibagi dalam 9 ayat, dimulai dari pasal 28 sampai 36. Undang-undang ini menjelaskan tentang Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan, Tata Cara Pemberian Perlindungan.73
Bab V terdiri dari 7 pasal dan dibagi dalam 5 ayat, dimulai dari pasal 37 sampai 43. Undang-undang ini menjelaskan tentang sanksi hukuman pidana bahwa setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000.00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.0000.000.00 (lima ratus juta rupiah).74
Bab VI terdiri dari 1 pasal, yang terdiri dari pasal 44. Undang-undang ini menjelaskan tentang yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.75
Bab VII terdiri dari 2 pasal, dimulai dari pasal 45 sampai 46. Undang-undang ini menjelaskan tentang LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah undang-undang ini diundangkan.
C. Perlindungan Hukum Dalam UU No. 13 Tahun 2006 Terhadap Saksi
1. Perlindungan Hukum Dari Ancaman Terhadap Saksi
Hampir setiap negara memiliki peraturan perlindungan, khususnya di Indonesia, bahwa negara ini mempunyai tata tertib untuk memperoleh sebuah perlindungan hukum terhadap saksi dari ancaman orang yang bersangkutan, maka dari itu pemerintah membentuk undang-undang dan telah dijelaskan isi memperoleh perlindungan hukum dari ancaman terhadap saksi yaitu dalam pasal 8-10 yang sebagaimana diterangkan dalam pasal 8 adalah bahwa:
“Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.
72 Ibid,. h. 6 73 Ibid,. h. 11 74 Ibid,. h. 14 75 Ibid,. h. 16
Kemudian saksi yang dirinya terancam dan tidak dapat hadir secara langsung dipengadilan dan disebabkan ancaman yang begitu mencekam, jadi saksi juga bisa memberikan keterangan dengan menggunakan alat elektronik dan didampingi oleh beberapa pejabat yang berwenang. Dari isi keterangan tersebut dapat dijelaskan dengan lebih sempurna pada pasal 9 ayat 1sampai 3 yang menyatakan bahwa:.
(1). Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
(2). Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
(3). Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
Dengan demikian yang dijelaskan dalam pasal tersebut tentang melindungi saksi dari ancaman yang berat dan menyampaikan kesaksiannya dengan tulisan atau sarana elektronik. Jadi dari saksi yang terancam tersebut selain mendapat perlindungan juga mendapat kebebasan hukum atau peringanan hukum dikarenakan sudah ingin memberikan laporan untuk mengungkap kejahatan orang tersebut. Didalam penjelasan tentang bebas dari hukum atau keringanan hukum dijelaskan kembali dengan lebih terarah dalam pasal 10 ayat1sampai 3 berupa:
(1). Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(2). Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
(3). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan
tidak dengan iktikad baik.76
76 Ibid,. h. 5
Dari pasal tersebut dijelaskan lebih lanjutnya dalam tata cara memperoleh
perlindungan pada pasal 29 sampai 32 yang dimaksud menjelaskan tentang
bagaimana memperoleh tata cara perlindungan hukum bahwa tata cara
memperoleh perlindungan hukum yaitu diterangkan dalam pasal 29 sampai 30
yang berisikan bahwa:
a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun
atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara
tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
permohonan perlindungan diajukan.77
Dari pasal 29 ini juga ditindak lanjuti dalam pasal 30 yang menerangkan tentang penerimaan permohonan saksi dan korban dan pernyataan kesediaan untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi. Adapun yang lebih menyangkut dalam pembahasan ini dijelaskan pada pasal 30 berupa: (1). Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 29, Saksi dan/atau Korban
menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan Saksi dan Korban.
77 Ibid, h. 11
(2). Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi
dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berisikan
bahwa:
a. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam
proses peradilan;
b. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk mentaati aturan yang
berkenaan dengan keselamatannya;
c. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia
berada dalam perlindungan LPSK;
d. kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Dari keterangan ini yang dikeluarkan oleh LPSK kepada saksi berupa kesediaan saksi dan korban untuk memberi kesaksian, menaati peraturan dari LPSK dan tidak berhubungan dengan sembarang orang tanpa persetujuan LPSK dan lain-lain.
Dengan demikian LPSK juga wajib memberi perlindungan sepenuhnya terhadap saksi dan korban termasuk juga dengan keluarganya, dari mulainya pernyataan dan penjelasan disini juga lebih jelas diterangkan dalam pasal 31, yaitu:
“LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30”78
Oleh karena itu LPSK juga harus lebih fokus untuk memberikan perlindungan terhadap saksi agar saksi tidak mengalami keresahan ketika memberi keterangan atau dalam mengajukan untuk memperoleh perlindungan saksi juga dapat menghentikan perlindungan karena adanya inisiatif untuk dihentikannya
78 Ibid,. h.12
perlindungan oleh LPSK atau juga melanggar ketentuan perjanjian, dan lebih jelasnya lagi diterangkan dalam pasal 32 yang mencakup tentang:
(1) Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat
dihentikan berdasarkan alasan:
a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan;
c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis
dalam perjanjian; atau
d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi
memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
(2) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus
dilakukan secara tertulis.
Dari sini jelaslah bahwa perjanjian perlindungan dan menghentikan
perlindungan sudah diatur dari pasal 32.
2. Pemberian Restitusi, Pelayanan Rehabilitasi Kesehatan dan Sosial
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurang, atau dirampas oleh siapa pun.
Dalam hal terjadi pengabaian, pengurangan dan perampasan hak asasi
manusia, terutama terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun
polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya berhak memperoleh kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi
secara tepat, cepat, dan layak dalam arti bahwa pihak korban atau ahli
warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian atau
pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni
korban dan penggantian kerugiannya, pelaksanaannya segera diwujudkan, dan
pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan. Yang
dijelaskan juga dalam KUHAP pasal 95 ayat 1 dan pasal 97 ayat 1 yang isinya
adalah:
Pasal 95 ayat 1 merupakan tentang tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.79
Sedangkan pasal 97 ayat 1 adalah seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.80
Ganti kerugian atau pengembalian hak, misalnya pengembalian kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan fisik dan kebutuhan nonfisik, yang masuk dalam lingkup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diputus oleh pengadilan HAM disetiap tingkatan pengadilan. Mengenai besarnya ganti kerugian atau pemulihan kebutuhan dasar tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang memutus perkara yang dicantumkan dalam amar putusannya. Jadi, hakim diberikan kebebasan sepenuhnya secara adil, layak, dan cepat mengenai besarnya ganti kerugian tersebut berdasarkan hasil penyelidikan,
79 KUHAP, Pasal 95 ayat 1 80 Ibid, Pasal 97 Ayat 1
penyidikan, dan penuntutan, serta pemeriksaan disidang pengadilan beserta bukti-bukti yang mendukungnya.
Karena dijelaskan pula dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 pasal 6 yang isinya sebagai berikut:
Bahwa korban dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:81
a. Bantuan Medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Jadi yang dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psiko-sosial” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban.
Kemudian dari pasal tersebut di perdalam penjelasannya kembali dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah nomor 3 tahun 2002. sedangkan dalam undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 menindak lanjuti penjelasan dari undang-undang nomor 13 tahun 2006 pasal 6 yaitu tentang restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi yang mengaitkan tentang korban. Dan korban disini dikaitkan dengan saksi yang terancam dan lebih lanjutnya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah ini, bahwa:
“Peraturan Pemerintah ini dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi”:
1. Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan/atau ahli
warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
2. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
3. Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
81 Ibid,. h.6
Jadi Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diberikan kepada korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Kompensasi dan rehabilitasi yang menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara dilaksanakan oleh Departemen Keuangan. Sedangkan mengenai kompensasi, dan rehabilitasi diluar pembiayaan dan perhitungan keuangan negara dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah Terkait.
Disamping itu, Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada pihak korban, dari mulai proses diterimanya salinan putusan kepada Instansi Pemerintah Terkait dan korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan. Dan dari keterangan diatas maka undang-undang ini diperlengkap lebih terperinci yang dinyatakan pada Bab I pasal 2 ayat 1 sampai 2, dan Bab II Pasal 3 ayat 1 sampai 2 hingga Pasal 5 yang berisikan tentang:
Ayat (1)
Yaitu tentang Kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
Ayat (2)
“Proses Pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak.” Dan dilanjutkan juga untuk lebih jelas dan terarah dengan sempurna dan ayat tersebut kepada ayat 1 sampai 5 pasal 3 bab II yang berupa:
Ayat (1)
Instansi Pemerintah Terkait bertugas melaksanakan pemberian kompensasi
dan rehabilitasi berdasarkan putusan pengadilan HAM yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.dan penjelasan ayat 2 adalah:
Ayat (2)
Dalam hal kompensasi dan/atau rehabilitasi menyangkut pembiayaan dan
perhitungan keuangan negara, pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen
Keuangan. Kemudian pasal 4 adalah:
Pasal (4)
Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga
berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan HAM
dan selanjutnya dalam pasal 5 adalah:
Pasal (5)
Pelaksanaan putusan Pengadilan HAM oleh instansi Pemerintah terkait
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) wajib dilaporkan kepada
pengadilan HAM yang mengadili perkara yang bersangkutan dan Jaksa
Agung paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan
dilaksanakan.
Adapun salinan dari keterangan tentang undang-undang yang mengatur
masalah perlindungan saksi dari ancaman, tata cara memperoleh
perlindungan, mendapatkan restitusi, rehabilitasi, kompensasi, dan
penghentian untuk tidak bersangkutan kembali oleh LPSK, yaitu guna untuk
mengetahui kepastian hukum dan peraturan perlindungan saksi dan korban
dari tindak kejahatan.
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP SAKSI DALAM UU NO. 13 TA HUN 2006
A. Analisis Terhadap Perlindungan Saksi Dari Ancaman
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab III, yang diuraikan oleh penulis mengenai perlindungan terhadap saksi dari ancaman dalam bab tersebut. Dijelaskan pula tentang perlindungan terhadap saksi dari suatu tindak pidana kejahatan, dalam hal ini terutama kepada masyarakat bawah yang belum mengenal hukum, untuk mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum yang selalu meneror para saksi.
Adapun bentuk perlindungan saksi yang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang perlindungan saksi dan korban yaitu dengan tidaknya membuka identitas saksi dan keluarganya serta memberikan penyediaan ruangan khusus bagi saksi untuk setiap pemeriksaan dikepolisian setempat, jadi bila saksi memberikan keterangan atau informasi merasa aman dan nyaman.
Seperti kita ketahui bahwa syari’at Islam itu datang dengan membawa
rahmatan lil alamiin, tidak terkecuali manusia, firman Allah dalam surat al-
Anbiya ayat 107 yang artinya, dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk
menjadi rahmat bagi semesta alam.
Jadi secara garis besar, bahwa tujuan disyari’atkannya hukum Islam adalah
untuk merealisasikan kemaslahatan dan keadilan dalam bermacam segi kehidupan
manusia.82 Dalam segi hukum umpamanya, Islam telah menjelaskan atau
membataskan bahwa setiap manusia mempunyai kedudukan yang sederajat
82 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terjemahan, (Bandung: Ar-Risalah, 1992), Cet. Ke- 1, h.
542.
dihadapan hukum, dan tidak dibedakan dari segi agama, bahkan antara si kaya
dan si miskin dan Islam juga tidak memihak pemberian yang istimewa terhadap
golongan atau kelompok tertentu.
Bila hak-hak asasi manusia ingin di junjung tinggi, maka haruslah Islam mewujudkan adanya keadilan dan memberikan kemaslahatan untuk umat manusia, maka dari itu Islam sangat melarang tindak penyiksaan, penipuan, bahkan pembunuhan, atau dari berbagai macam tindakan yang mengakibatkan terganggunya dan meresahkan harga diri orang lain, seperti jiwa, darah dan harta seseorang, apalagi bila perbuatan tersebut dapat menimbulkan korban, Allah SWT brfirman dalam surat al-Ahzab ayat 58 yang berbunyi sebagai berikut:
: االحذاب(والذين يؤذون المؤمنون والمؤمنت بغيرمكتسبوافقداحتملوابهتناوإثمامبين
33 :58( Artinya: “Orang-orang yang menyakiti orang mukmin laki-laki dan perempuan
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS. Al-Ahzab: 33: 58).
Sudah jelas dari ayat diatas yang menerangkan bahwa Islam begitu
menghargai jiwa dan kehormatan seorang manusia, sehingga apapun jenis
tindakan yang berdampak timbulnya korban hukumnya adalah haram.
Islam menegaskan dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dalam perkara pidana. Dan diberinya perlindungan ini untuk terlaksananya kesempurnaan dalam memperoleh hak-hak saksi. Sebagai bukti bahwa Islam memberikan perlindungan terhadap saksi tindak pidana adalah terdapatnya berbagai macam ketentuan yang mengatur tentang masalah tersebut.
Dalam hal perlindungan terhadap saksi dari ancaman atas dirinya, maka Islam mengintropeksi bahwa dalam memberikan suatu keterangan/informasi dari saksi hendaknya mendapatkan perlindungan dan pendampingan. Misalnya korban dari kesaksian. Biasanya saksi takut untuk mengadukan laporan apa yang terjadi dalam peristiwa yang dialaminya bahkan ia juga merasakan kesulitan untuk bergabung dan interaksi sosial dengan baik kepada masyarakat, dengan sebab merasa terancam oleh orang yang bersangkutan. Dengan demikian, maka si saksi tersebut ingin sekali mendapatkan perlunya perlindungan dari aparat penegak
hukum yang dilakukan dengan cara mendampinginya dan memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, fiqh dalam upayanya selain memberikan perlindungan
kepada korban (saksi) juga haruslah berorientasi kepada pembelaan terhadap
saksi, yang dalam hal ini adalah saksi yang selalu diteror dari orang yang
bersangkutan. Orientasi tersebut setidaknya meliputi dua hal. Pertama, fiqh
beranggapan bahwa saksi merupakan segala kekuatan untuk membuktikan suatu
perkara. Kedua, fiqh diharapkan untuk bisa mengupayakan pelayanan,
perlindungan, dan tanggung jawab terhadap saksi bukan saja sekedar memberikan
pendampingan dan jalan keluar. Agar keterlanjutannya dapat memberikan
ketenangan kepada saksi yang selalu mendapatkan teror dari orang yang
bersangkutan. Sebab dikatakan dalam Islam bahwa pendampingan terhadap saksi
adalah salah satu bentuk usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub
ila Allah).
Penulis beranggapan, memang dalam hal ini Islam tidak menjelaskan secara
rinci bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dari ancaman atas
dirinya. Masalah hal ini dikarenakan tindak saksi dalam perkara pidana ini masuk
dalam kategori ta’zir, yaitu ketentuan hukum yang tidak tercantum dalam al-
Qur’an dan Hadits, sehingga dalam pelaksanaannya semua diserahkan pada ulil
Amri atau pemerintah yang memegang kekuasaan pada negara yang
bersangkutan. Namun berdasarkan dalam hadits diatas, tersirat bahwa saksi
(korban) sebagai pihak yang sangat dirugikan maka harus mendapatkan
perlindungan dan pelayanan yang sebaik-baiknya agar dirinya dan keluarganya
merasa aman dan nyaman.
B. Analisis Terhadap Restitusi
Dalam masalah restitusi ini, penulis juga telah menjelaskannya pada bab III tersebut. Sekedar hanya untuk kembali mengingatkan pada penulis yang akan menguraikan sedikit tentang hal itu. Sebagaimana telah dipaparkan bahwa restitusi atau ganti rugi yang dimaksud adalah pemberian yang harus diberikan oleh seorang pelaku kejahatan terhadap korban (saksi) akibat kejahatan yang telah dilakukannya. Adapun macam ganti rugi yang dimaksud biasanya berupa sejumlah uang yang dianggap sebagai denda atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya terhadap korban (saksi).
Bahwa, penderitaan yang dialami korban itu dapat melakukan penuntutan atas ganti rugi apabila korban (saksi) mengalami bermacam bentuk kerugian seperti kerugian fisik maupun non-fisik, misalnya kehilangan penghasilan atau kekayaan, atau karena banyaknya pengeluaran biaya perawatan medis dan/atau psikologis terhadap korban (saksi), dan atau karena korban mendapat kerugian lain yang dideritanya akibat tindak pidana tersebut. Demikian penjelasan singkat mengenai restitusi yang terdapat dalam hukum konvensional.
Restitusi atau ganti rugi dalam Islam yang harus dikeluarkan oleh tersangka
tindak kejahatan terhadap korbannya yang dikenal dengan istilah diat. Secara
etimologi, diat adalah harta pengganti jiwa atau anggota tubuh, atau dengan kata
lain diat adalah ganti rugi yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada
korban (saksi) atau ahli warisnya karena suatu tindak ancaman yang
mengakibatkan pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan seseorang.83
Dalam istilah fiqh, diat dapat dimaknakan dengan sejumlah harta benda yang
diberikan sebagai ganti kerugian atau tindakan melukai atau juga membunuh
seseorang.84 Sayyid Sabiq dalam kitabnya fiqh Sunnah, menjelaskan bahwa diat
83 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar BAru Van Hoeve,
1997), Cet. ke- 1, h. 266. 84 M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 60.
adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku kejahatan, karena
terjadinya tindak pidana (ancaman hingga menyebabkan pembunuhan) dan
diberikan kepada korban (saksi) atau walinya.85
Selain diat berkaitan dengan masalah ganti rugi terhadap korban (saksi), Islam
pun menerangkan apa yang disebut dengan istilah al-arsy, yaitu ganti rugi yang
diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada korban (saksi) atau ahli warisnya
karena tindakan semaunya terhadap pelaku yang dilakukan terhadap anggota
tubuh manusia, tetapi dengan tidak menghilangkan seluruh manfaatnya (seperti
terputusnya satu buah jari tangan atau sebelah tangan). Akan tetapi, Ulama hukum
pidana Islam, memasukkan pembahasan kedua bentuk ganti rugi ini dalam topik
diat. 86
Dari definisi tersebut, jelaslah bahwa diat dan al-arsy merupakan uquubah
maaliyah (hukuman yang bersifat harta), yang diberikan oleh pelaku kepada
korban apabila ia masih hidup atau kepada keluarganya apabila ia sudah
meninggal, bukan kepada pemerintah. Tetapi walaupun kedua jenis hukuman ini
sama-sama membahas tentang masalah ganti rugi terhadap korban kejahatan,
namun terdapat perbedaan diantara keduanya. Perbedaan tersebut dapat dilihat
pada obyek kejahatannya. Dalam diat yang menjadi obyek kejahatannya adalah
jiwa manusia dan hilangnya menfaat anggota tubuhnya. Sedangkan dalam al-arsy
85 Sayid Sabiq, fiqh Sunnah Penerjemah: H. A. Ali, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), h.
94. 86 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 266
yang menjadi obyeknya adalah tindak kebebasan bertindak terhadap anggota
tubuh korban tanpa harus menghilangkan seluruh manfaatnya.
Dasar hukum diwajibkannya diat atas pelaku kejahatan dalam hukum Islam
adalah surat an-Nisa (4) ayat 92, yaitu :
ير رقبة مؤمنة خطأ ومن قتل مؤمنا خطأ فتحروما آان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إال
)92: 4/ النساء. (اقود أن يصودية مسلمة إلى أهله إالArtinya: “… dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
yang lain, kecuali karena tidak sengaja. Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja, maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah”. (QS. An-Nisa / 4 : 92).
Selain surat an-Nisa ayat 92 diatas, dalil diwajibkannya diat ini pun terdapat
pula dalam hadits Nabi, yaitu hadits ‘Amar bin Hisyam, yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW memberitahukan kepada penduduk Yaman
melalui surah yang kandungannya berkaitan dengan fara’id (pembagian warisan)
dan diat.” Dan sabda Nabi yang lain, “sesungguhnya siapa yang terbukti
membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang dibenarkan syara’ dikenakan
qishas, kecuali apabila ahli warisnya rela untuk menerima ganti rugi, maka untuk
satu jiwa yang hilang diatnya 100 ekor unta..” (HR. MAlik, an-Nisa’I, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi).87
87 Ibif,Inid halaman, h. 266
Sebelum diat dibayarkan oleh pelaku kepada korban, ada beberapa syarat
sehingga diat itu wajib dikeluarkan oleh pelaku, namun syarat-syarat tersebut
tidak semuanya disepakati oleh ulama fiqih. Syarat yang disepakati adalah
pembunuhan tersebut dilakukan terhadap orang yang dilarang oleh syara’ untuk
dibunuh. Sedangkan syarat yang tidak disepakati yaitu apabila yang terbunuh itu
berada diwilayah yang dikuasai oleh Islam. Ulama Hanafiah mensyaratkan
wajibnya diat jika yang terbunuh itu berada diwilayah yang dikuasai Islam.
Karenanya menurut mereka, orang mukmin yang terbunuh diwilayah kafir harbi
maka pembunuhnya tidak dapat dituntut diat. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT: “… jika (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin,
maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin …”
(QS. An-Nisa : 92). Menurut mereka dalam ayat ini Allah SWT hanya
mewajibkan memerdekakan hamba sahaya bagi seseorang yang membunuh
seorang mukmin di wilayah kafir Harbi, dengan alasan karena ayat ini bersifat
umum: “… dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarga terbunuhnya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah …”.
Diat ini terbagi pada dua macam. Pertama, diat jiwa, yang dikeluarkan pada
tindak pidana pembunuhan, meliputi pembunuhan menyerupai sengaja dan
pembunuhan tidak sengaja. Kedua, diat anggota badan, yakni diat yang
dikeluarkan pada tindak pidana pelukaan atau menghilangkan (memotong)
anggota badan yang dilakukan secara tidak sengaja. Dari dua macam diat tersebut
yang merupakan hak bagi si korban adalah diat anggota badan. Sedang pada diat
jiwa, hak atas diat itu berada ditangan wali atau ahli waris korban.
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam , Ahmad Wardi Muslich
menjelaskan ada berbagai macam diat. Akan tetapi ulama berbeda pendapat
tentang jenis diat yang wajib dibayar oleh pelaku. Menurut Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, dan Imam Syafi’I dalam qaul qadim, diat dapat dibayar dengan
salah satu dari tiga jenis, yaitu unta, emas, atau perak.88
Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan dan
Imam Ahmad Ibn Hanbal, jenis diat itu ada enam macam, yaitu unta, emas, perak,
sapi, kambing, atau pakaian. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa lima jenis
yang disebut pertama merupakan asal diat, sedangkan yang keenam yaitu pakaian
bukan asal, karena bisa berubah-ubah.89
Jika dikaitkan dengan berat ringannya, maka diat terbagi kepada dua bagian,
yaitu diat mughaladzah (berlaku dalam pembunuhan menyerupai sengaja) dan
diat mukhafafah (diat yang diperingan).
Diat mughaladzah hanya berlaku apabila diat tersebut dibayar dengan unta,
sesuai dengan ketentuan syara’, dan tidak berlaku dalam jenis yang lain, seperti
88 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 167-
168 89 Ibid, h. 169
emas dan perak. Pemberatan diat dalam pembunuhan sengaja, dapat dilihat dari
tiga aspek, yaitu pembayaran ditanggung sepenuhnya oleh pelaku, pembayaran
harus tunai (tidak boleh dicicil) serta umur unta lebih dewasa. Menurut
Syafi’iyah, misalnya, unta harus berumur tiga tahun lebih, bahkan sebagian
sedang bunting.
Sedangkan maksud diat yang diperingan adalah diat yang diberlakukan
dengan memberikan beberapa keringanan kepada pelaku. Keringan tersebut
meliputi tiga aspek yaitu, kewajiban pembayaran dibebankan kepada aqilah
(keluarga), pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun, dan komposisi/jumlah
diatnya.90
Berdasarkan keterangan diatas maka bisa dilihat bahwa terdapat beberapa
persamaan dan perbedaan antara restitusi (diat) dalam hukum Islam dan restitusi
dalam hukum konvensional. Persamaan keduanya terletak pada ancaman
hukuman dan sistem pembayarannya, dilihat dari segi ancaman hukuman
keduanya adalah sama jenisnya yaitu berupa uang. Sedangkan bila dilihat dari
sistem pembayarannya, keduanya sama-sama diberikan pada korban.
Jadi perbedaan antara diat dan restitusi yaitu terletak pada jenis-jenis tindak
pidana dan sumber hukumnya. Pidana diat hanya menjatuhkan hukuman
terhadap jenis tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan (pelukaan, dan lain-
lain), sedangkan restitusi dijatuhkan terhadap semua jenis tindak pidana, seperti
tindak pidana kejahatan, dan tindak pidana lain yang terdapat dalam Undang-
undang khusus dalam hal ini ancaman terhadap saksi, misalnya.
90 Ibid, h. 171
Selanjutnya bila dilihat sumber hukumnya antara diat dan restitusi, keduanya
mempunyai sumber hukum yang berbeda, diat bersumber pada al-Qur’an, Hadits
dan pendapat Ulama, sedangkan restitusi dalam pembahasan ini mengacu pada
undang-undang No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.91
Bila dikaitkan dengan tindak pidana ancaman terhadap saksi, maka akan
terdapat hubungan yang nyata antara kewajiban seorang pelaku untuk membayar
diat atau restitusi kepada korban sebagaimana yang tercantum dalam Undang-
undang perlindungan saksi Hubungan tersebut terlihat dalam hal yang berkaitan
dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban.
Dalam tindak pidana pengancaman terhadap saksi, seringkali korban
mendapat perlakuan buruk dari pelaku, terlebih lagi bila korban menolak untuk
melakukan apa yang diperintahkan. Bentuk perlakuan buruk itu seperti
penganiayaan, pemaksaan dan lain sebagainya. Penganiayaan tersebut ada yang
bisa mengakibatkan korban terluka atau bahkan kehilangan nyawanya. Jika
penganiayaan itu dapat menyebabkan kehilangan nyawa, maka perlu dikenakan
hukuman penjara, akan tetapi jika korban(saksi) mengalami kerusakan fisik atas
diri ataupun harta miliknya, maka pelaku diharuskan mengganti kerugian yang
dialami korban itu. Penggantian atas kerugian tersebut dilakukan oleh pelaku
setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, penulis berkesimpulan bahwa restitusi yang
diatur dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2002 telah sesuai dengan hukum
91 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Ibid. h. 62
Islam walaupun belum sepenuhnya, karena restitusi dalam undang-undang ini
tidak dijelaskan secara rinci berapa besar jumlah minimum dan maksimum
nominal yang harus dikeluarkan oleh pelaku tersebut. Sedangkan diat dalam
hukum Islam sangat rinci dan jelas bahkan ditentukan batasan atau kadar dan
jumlahnya. Umpamanya saja ganti rugi bagi korban pelukaan yang menampakkan
tulang dan membukanya (mudhihah) ditentukan jumlah ganti ruginya yaitu lima
ekor unta.
C. Analisis Terhadap Rehabilitasi
Telah dijelaskan sebagaimana isi dari bab III, bahwa suatu usaha pemulihan dalam rangka merehabilitasi kepada kedudukan yang sebelumnya, pemulihan anggota tubuh yang cacat, dan sebagainya atas individu (misal pasien rumah sakit, korban bencana) dan mendapatkan tujuan agar menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat dimasyarakat. Pemberian rehabilitasi ini dapat dilakukan apabila saksi tersebut mengalami penderitaan, baik penderitaan fisik maupun penderitaan psikis.
Islam menjelaskan, rehabilitasi bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk
mengajak orang lain kejalan yang benar.92 Pengertian rehabilitasi ini dapat dilihat
dalam al-Qur’an surat an-Nahl (16) ayat 125 sebagai berikut:
ك ربتي هي أحسن إندع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالا
)125: 16/النحل ( عن سبيله وهو أعلم بالمهتدينهو أعلم بمن ضل Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan
pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS. An-Nahl / 16 : 125).
Ayat ini menyatakan bahwa ada tiga hal cara mengajak orang lain kejalan yang benar:
92 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1422
- Pertama, al-Hikmah yaitu perkataan yang tegas dan benar sehingga dapat
membedakan yang benar dan yang salah;
- Kedua, dengan memberi contoh yang dapat diteladani (uswatun hasanah); dan
- Ketiga, dengan dialog untuk mencari solusi terbaik.
Dalam tiga unsur ini dapat diterapkan dengan pembinaan selama rehabilitasi tersebut dilakukan.
Namun dalam Islam rehabilitasi tidak diberlakukan untuk setiap jarimah, akan
tetapi hanya dilakukan pada jarimah yang berkaitan dengan pengancaman tindak
kejahatan. Maka rehabilitasi yang dimaksud bukanlah suatu pengganti dari
hukuman. Sedangkan yang dilakukan dalam rehabilitasi tersebut adalah untuk
menolak atau meminimalisir keresahan terhadap saksi dengan sebab ancaman
orang pelaku tindak kejahatan. Pada sisi lain rehabilitasi juga dapat dimasukkan
kedalam kaidah al-Zari’ah.93
Sedangkan bila melihat apa yang menimpa saksi sebagai korban ancaman tindak kejahatan tersebut, untuk tidak mengatakan keterangan yang sebenarnya dipersidangan pengadilan, dengan kata lain bukanlah ia bekerja sama dengan pelaku kejahatan, melainkan adanya teror yang selalu mendekati dirinya. Bila ia mengadukan berita yang sebenarnya maka ia bisa menjadi korban kejahatan atau sama halnya akan dibunuh oleh orang yang bersangkutan, dengan demikian tidaklah semua saksi yang berkata bukan keterangan sebenarnya, yang ia lakukan bukanlah semata-mata bekerja sama dengan pelaku kejahatan tersebut. Dengan kata lain saksi melakukakan kebohongan dalam persidangan karena dipaksa.
Diterangkan pula dalam kaidah fiqh, perkataan dan pengertian paksaan
dinyatakan dengan istilah ikrah. Sementara pengertian paksaan menurut
‘Alauddin, sebagaimana yang dikutip oleh Haliman dalam bukunya Hukum
93 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1422.
Pidana Syari’at Islam, adalah suatu tindakan yang membawa manusia kepada
sutu perbuatan yang secara pasti perbuatan tersebut tidak dikehendakinya.94 Dari
perumusan tersebut, jelaslah bahwa terdapat dua unsur penting dalam paksaan.
Kedua unsur tersebut yaitu tidak adanya kerelaan (ridla) dan tidak adanya ikhtiar
(kemauan bebas).
Menurut para ulama fiqh, setidaknya ada empat syarat yang harus ditemukan
pada tindak pemaksaan, yaitu orang yang memaksa mampu melakukan apa yang
diancamkan kepada orang yang dipaksa (mukrah) baik yang bersifat kekuasaan
atau kejahatan, adanya rasa takut terhadap apa yang diancamkan atas diri orang
yang dipaksa, adanya perlawanan dari diri orang yang dipaksa, dan adanya
ketakutan akan kehilangan nyawa atau anggota badannya.95
Dan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Dzarr, yaitu:
إن اهللا : رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم: ن ابي ذ رالغفاري رضي اهللا عنه، قالع
96)رواه ابن ماجة (.تجاوزعن أمتي النسيان وماا ستكرهواعليهArtinya: Sesungguhnya Allah memaafkan umatku yeng melakukan sesuatu karena
keliru, lupa dan dipaksa.” Larangan terhadap pemaksaan dalam ayat diatas, adalah larangan yang berarti haram dan berdosa. Selain itu, jadi penulis beranggapan bahwa ayat tersebut juga memberikan isyarat pada dua hal, yaitu:
94 Haliman, HukumPidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlusunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 174
95 Ibid, h. 175-176 96 Mauqi Ya’sub, Sunan al-Kubra al-Baihaqi, Juz. 7, h. 356
- Upaya untuk melarang pemaksaan terhadap saksi, baik yang dilakukan secara
individual maupun sistem sosial yang menjerumuskan saksi pada tindak
kejahatan dari berbagai ancaman,
- Pemerintah harus memberikan dukungan dan pendampingan terhadap saksi
korban tindak kejahatan, agar dapat kembali menjadi aman dari segala
ancaman.
Selain berdasarkan dari dalil naqli tersebut, Jumbhur juga menggunakan dalil
aqli, yaitu berdasarkan pemahaman bahwa pemaksaan dalam hal ini disamakan
dengan syubhat dalam suatu perbuatan, hukuman tidak dapat dijatuhkan. Hal ini
berdasarkan Hadits Nabi, yang artinya: “hukuman harus dihindari jika terdapat
syubhat (kesamaran atau ketidak jelasan).”
Unsur pemaksaan memang dapat menimbulkan hal yang positif atau juga
negatif, tetapi pemaksaan dalam kasus ini lebih terarah kepada kerugian, dengan
sebab ia telah memaksa agar saksi memberikan keterangan yang bukan
sebenarnya, jadi tidak layak kalau saksi hanya dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk mengangkat ancaman hukuman, karena dalam hal ini saksi
memang tidak melakukan kejahatan, sehingga tidak pantas untuk dihukum.
Begitu pula sebaliknya ia memerlukan pendampingan dan penguatan untuk
memulihkan kembali kepercaan dirinya. Sedangkan bagi pelakunya harus
diancam dengan hukuman yang seberat-beratnya, karena ia tidak hanya
melakukan ancaman tetapi untuk membunuh atau lainnya, melainkan juga
melakukan pemaksaan dan kekerasan yang mencederai si saksi, baik fisik maupun
psikis.
Penulis beranggapan, terdapat hubungan yang nyata antara rehabilitasi yaitu
perlindungan bersaksi dalam Islam dengan rehabilitasi dalam memulihkan kondisi
saksi dari ancaman. Dimana saksi yang terancam sehingga mengalami tarauma
yang mendalam akibat terjadinya peristiwa yang dialaminya, oleh sebab itu agar
pulih kembali kondisinya dapat dilakukan dengan cara memberikan ruangan
perlindungan dari ancaman pelaku kejahatan, melainkan sebagai usaha untuk
memulihkn kembali fisik dan mentalnya seperti belum terjadinya kejadian,
sehingga saksi dapat menata hidupnya menjadi lebih baik dimasa mendatang. Dan
menempatkan saksi pada suatu lembaga yang menangani masalah rehabilitasi ini.
Proses rehabilitasi ini akan dilakukan dalam jangka waktu yang bisa
disesuaikan dengan kondisi korban (saksi). Jika saksi yang terancam itu
merasakan trauma yang mendalam sehingga dapt menimbulkan deperesi, maka
rehabilitasi dapat dilakukan dalam waktu lebih dari satu tahun, sebab untuk
mendapatkan mental seseorang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan,
dan butuh waktu yang cukup lama.
Oleh sebab itu, rehabilitasi dalam Islam pun dilakukan dengan membedakan
antara yang hak (benar) dan yang bathil (tidak benar), yang demikian tidak
dilakukan lagi secara bersamaan atau dengan kata lain perlunya saksi pada
pembinaan. Maka hal seperti inilah yang dimaksudkan al-Qur’an dengan salah
satu usaha menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran (QS. Al-Imran
[3]: 104 dan 110). Untuk mencegah kemungkaran, terutama yang ditujukan oleh
Rosulullah SAW dengan kekuasaan atau kekuatan, seperti dalam sangkar saksi
yang terancam sebelum mereka mendapatkan pembinaan, kemudian baru dengan
nasihat (lidah) dan dengan hati (berpaling dari kemungkaran tersebut), akan tetapi
menggunakan hati nurani adalah perwujudan iman yang paling lemah. Dan hal ini
diterangkan pula dalam HR. Muslim yaitu:
من راى منكم منكرفليغيره بيده فإن لم يستطع : قل رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم )رواه المسلم(فبقلبه وذالك أضعف اإليمان
Artinya: Rosulullah SAW bersabda “Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemungkaran hendaklah memperbaiki dengan tangannya (kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah dengan lidahnya (nasehat), bila tidak mungkin pula maka hendaklah dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah penulis uraikan mengenai masalah perlindungan saksi dalam perkara pidana maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Posisi saksi dalam perkara pidana menurut hukum Islam adalah
menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan sebuah
kebenaran dengan mengucapkan lafadz-lafadz kesaksian dihadapan sidang
pengadilan dan merupakan salah satu alat bukti yang kuat bagi hakim dalam
menetapkan suatu hukum.
2. Faktor yang menyebabkan saksi perlunya perlindungan hukum oleh undang-
undang diantaranya: seringkali mendapatkan intimidasi dan teror, tidak
mendapatkan perlindungan dari aparat, Saksi dan Korban takut memberikan
kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak
tertentu.
3. Undang-undang nomor 13 Tahun 2006 memberikan perlindungan terhadap
saksi sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 8-10 yang menjelaskan
bahwa saksi akan mendapatkan penyelidikan dengan dimulainya atau akan
berakhir yang sesuai dengan aturan undang-undang, yaitu dijelaskan pada
pasal 9 bahwa saksi akan mendapatkan perlindungan hukum dari ancaman
yang sangat besar berupa adanya persetujuan hakim agar dapat memberikan
kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara dan
kesaksiannya dapat berupa tulisan saja oleh pejabat yang berwenang,
kemudian kesaksiannya dapat didengar secara langsung dengan menggunakan
alat elektronik dan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
4. Pandangan hukum Islam mengenai perlindungan hukum terhadap
saksi dalam perkara pidana adalah sebagai berikut:
a. Perlindungan saksi dari ancaman yang dilakukan dengan memberikan
pendampingan terhadap diri saksi.
b. Restitusi atau diat
Restitusi atau ganti rugi dalam hukum Islam juga disebut dengan istilah
diat. Diat diberlakukan pada dua hal, yaitu diat atas jiwa dan diat atas
anggota tubuh.
c. Rehabilitasi
Rehabilitasi dalam Islam hanya dilakukan pada tindak pidana pembunuhan (korban) walaupun saksi tidak tercantumkan, akan tetapi saksi disini termasuk bagian dari korban karena sudah mendekati ancaman hingga menyebabkan kematian dengan bermacam-macam cara yang dilakukan pelaku yang bersangkutan, maka dari itu saksi sebelum mengungkapkan keterangan berita tindak kejahatan, saksi terlebih dahulu meminta hak-haknya, karena bila terjadinya tindak kejahatan selanjutnya, saksi bisa mendapatkan yang diinginkan dengan cara membayar diat atau juga qishas dari pelaku.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa perlindungan hukum terhadap saksi yang diatur dalam Undang-undang
No. 13 Tahun 2006 telah sesuai dengan hukum Islam, walaupun masih belum
sempurna dan memerlukan perbaikan atau pengkajin ulang. Hal ini dilakukan
agar tujuan mencapai kemaslahatan didunia dan diakhirat dapat tercapai dan
terwujud. Namun, karena masalah ini dalam kategori tindak pidana ancaman
(saksi yang selalu terancam akan dibunuh atau lainnya, dirinya atau
keluarganya), maka dalam penetapan hukumnya semua diserahkan pada
kebijakan ulil amri atau pemerintah.
B. Saran
Setelah menguraikan kesimpulan dan melihat kondisi hukum yang tidak berjalan efektivitasnya walaupun sudah terbentuk peraturan akan tetapi masih perlu dorongan dari rakyat untuk mendukung dan membangun dengan lebih baik lagi dalam peraturan-peraturan pemerintah, khususnya peraturan perlindungan saksi.
Diakhir pembahasan skripsi ini, penulis akan memberikan beberapa saran yang terkait dengan pembahasan skripsi ini, dengan harapan saran-saran yang penulis berikan tersebut dapat menjadi kontribusi dalam pengembangan pelayanan perjuangan hak-hak asasi terhadap saksi.
1. Pemerintah
Hendaklah pemerintah mengintropeksi hukum yang sudah tidak
dipedulikan, bahwasanya hukum itu sangatlah penting , disebabkan bila
hukum tidak ada maka banyak terjadi kekacauan dimuka bumi ini. Karena
hukumlah yang membatasi kebebasan orang lain, selain itu pemerintah juga
hendaklah meningkatkan sosialisasi Undang-undang no. 13 Tahun 2006
agar tidak terjadi lagi saksi yang enggan untuk memberikan kesaksian.
2. Masyarakat
Kepada seluruh masyarakat marilah bersama-sama untuk mengayomi
bentuk-bentuk aturan pemerintah, baik secara materi maupun moril dan bila
ingin memperoleh bantuan terutama ingin memberikan kesaksian hendaklah
meminta bantuan kepada peraturan pemerintah dalam undang-undang
perlindungan saksi no 13 Tahun 2006, agar saksi bisa tenang sehingga saksi
dapat kembali hidupnya menjadi lebih baik dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terjemahan, Bandung: Ar-Risalah, 1992, Cet.
Ke- 1 Al-Da’ur, Ahmad, terj: Syamsuddin Ramadlan, Hukum Pembuktian dalam
Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002, Cet. ke- 1 Al-Aushari, Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Cairo: Daru al-Misr, tt. Juz 4 Al-Bayhaqi, Baihaqi al-Jalil Abi Bakr Ahmad ibn Ali, al-Sunan al-Kubra,
Beirut: Dar al-Sadir, tt, Jilid 7 Al-Baihaqi, Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa Abu Bakar, Sunan al-
Baihaqi al-Kubra, Mekkah al-Mukarromah: Maktabah Daarul Baaz, 1994, Juz 7 Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali, Sunan al-Baihaqi
India: Majlis al-Nizomiah al-Kaainah, 1344 H, Cet. ke-1, Juz 2 Al-Bigha, Musthafa Dieb, Fiqh Sunnah, Surabaya: Insan Amanah, 1424 H Al-Kuufi, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, al-
Musnad fil Ahadits wal Atsaar Riyadh: Maktabah al-Rasyadih, 1409, Cet, ke-1, Juz 4 Al-Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997, ed. 2 Al-Azadi, Sulaiman bin al-Asy ‘as Abu Daud al-Sajastani, Sunan Abu
Daud, Mesir: Daarul Fikr, tt., Juz 2 Ash-Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta:
Al-Ma’arif, 1964
Arto, A. Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, Cet. ke- 3.
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian: Menurut Undang-undang Hukum Perdata (RW), Jakarta: PT Bina Aksara, 1986, Cet. ke- 3
Az-Zarqawi, Syarah Muwatta Al-Imamu Malik, Mesir: Mustofa al-Babil Halabi, 1962, Juz. 5
Baihaqi, al-Jalil Abi Bakr Ahmad ibn Ali al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, Beirut: Dar al-Sadir, tt, Jilid 7
Bukhari, Shahih Bukhari, Kairo: Nur Ats Tsaqapatil Islamiyyah, tt., Jilid 1, Juz 3
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar BAru Van Hoeve, 1997, Cet. ke- 1.
Daud, Abu, As-Sunan, Mesir: Mustafa al-Babil Halabi, 1371 H / 1952 M,
Juz 3
“Faktor Penyebab Adanya Perlindungan Saksi” artikel diakses pada 1 Mei 2008 dari http:// www. Balitbangham. Go. It./Agendas/2007-2012.
“Faktor Penyebab Adanya Perlindungan Saksi” artikel diakses pada 1 Mei
2008 dari http:// www. Balitbangham. Go. It./Agendas/2007-2012. Marbun, Kamus Hukum Indoneia, Jakarta, Pustaka Sina Harapan, 2006,
Cet. Ke. 1
Muhammad, bin Abdullah. Fardhu Kifayah, ialah Suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa.. Terj — Abd Ghaffar, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam asy- Syafi’I, 2001, Cet. ke 1, Jilid 1
Hamman, Ibnul, Syarah Fathul Qadir, Mesir: Mustofa Al Babil Halabi, 1970
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, Cet. ke-1
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlusunnah,
Jakarta: Bulan Bintang, 1971 Husein, Yunus, "Sang Pelapor dan Perlindungan Saksi”Saturday 12
January 2008 I:/index.php.htm.
Kasim, Ifdhal, Berkenaan dengan “Critical Legal Studies” dalam Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, (terj), Jakarta : ELSAM, 1999, Cet. Ke- 1
Madzkur, Muhammad Salam, al-Qadha fi al-Islam, Kairo: Dar al-Nadhatu al-Arabiyyah, 1964
Mahalli, Hasyiyatan Qaliyubi wa’ Umarah, Beirut: Daar al-Fikr, 1995,
Jilid 4
Mujib, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menganani Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat Bandung: Angkasa, 1979, Cet ke-4
Sabiq, Sayyid, terj –Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994, Cet ke-4, Jilid 14
Saukaniy, Muhammad bin Ali Muhammad, Nailul Authar Min Ahaadits
Akhyar, Sarah Muntaqa Akhbar, Juz 6, t. tmpt: Idaarah at-Thabaa’ah al-Muniyriya, tt, Juz 6
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Cet.
ke-1, Vol. 1
Simorangkir J.C.T., et. Al, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983, Cet. ke-3
Sudarsono. Kamus Hukum Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Cet. Keempat, h.
355
Suharto, RM. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. ke- 3
Trueblood, David, terj- M. Rasjidi, Filsafat Agama, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1965, Cet. ke- 1
Tjitrosudibio R, dan R. Subekti., Kamus Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2000, Cet. ke-13
Umar, Abdur Rahman, Kedudukan Saksi dalam Peradilan menurut Islam,
Jakarta: Al-Husna, 1986, Cet. Ke-1 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2006, Cet. ke- 1. Ya’sub, Mauqi, Sunan al-Kubra al-Baihaqi, Juz. 7
Yunus Husein, "Sang Pelapor dan Perlindungan Saksi” Saturday 12
January 2008 I:/index.php.htm.