paper_status dan ian penyakit jap_draft

Upload: najib-terlantar

Post on 22-Jul-2015

42 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Status dan Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih pada Sistem Wanatani Berbasis Karet Unggul di Kalimantan Barat1Ilahang, Budi, G.Wibawa, L. Joshi World Agroforestry Centre (ICRAF SEA)

Latar Belakang Tanaman karet merupakan salah satu komoditi andalan provinsi Kalimantan Barat. Luas areal perkebunan karet di Kalimantan Barat tahun 2005 adalah 464.274 Ha atau 12.9% dari luas perkebunan karet nasional dan merupakan peringkat ke-5 dari provinsi sentra karet di Indonesia (Haris, 2005). Dari total areal tanaman karet yang ada di provinsi Kalimantan Barat sebanyak 94% merupakan perkebunan rakyat, dan sisanya adalah perkebunan negara (PTPN) dan swasta (Lasminingsih, et al., 2005). Permasalahan utama pada perkebunan karet rakyat adalah rendahnya produktivitas hasil yang disebabkan oleh rendahnya adopsi teknologi oleh petani, terutama penggunaan bahan tanam unggul, pemupukan , dan pengendalian penyakit. Jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidiporus microporus merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman karet. Menurut Prawirosoemardjo, et al., dalam Situmorang, (2004), daerah yang sering mengalami serangan berat jamur akar putih di Indonesia adalah Riau, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Penyakit jamur akar putih menimbulkan kematian pada tanaman karet, sehingga serangan penyakit ini akan berpengaruh negatif pada produksi kebun. Menurut hasil perhitungan Situmorang (2004) penurunan produksi karet kering terjadi rata-rata 2.7 kg/pohon atau 54 kg/pohon/20 tahun. Sejak tahun 1995 World Agroforestry Centre (ICRAF), salah satu lembaga riset internasional yang bekerja sama dengan CIRAD-Perancis, GAPKINDO, dan Pusat Penelitian Karet (Balai Penelitian Karet Sembawa), giat melakukan penelitian di bidang wanatanai berbasis karet unggul (Rubber Based Agroforestry System atau RAS) (Wibawa, et al., 2006) di Indonesia (Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat). Di Kalimantan Barat, kegiatan ini dilakukan di Kabupaten Sanggau, Sekadau dan Sintang. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produktivitas tanaman karet rakyat, melalui sistem wanatani berbasis karet. Peningkatan produktivitas tanaman karet rakyat dalam kegiatan ini dilakukan dengan implementasi pembangunan berbagai demplot dengan pola RAS di lahan petani (onfarm trial/OFT), pembangunan kebun entres desa/kelompok, pelatihan tentang budidaya dan pengendalian penyakit karet kepada para petani dan petani andalan, serta para penyuluh, yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap pengembangan karet rakyat. Kegiatan pelatihan diselenggarakan bekerja sama dengan Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet. Penyakit JAP yang disebabkan oleh R. microporus adalah penyakit tidak hanya menyerang tanaman karet, namun juga menyerang berbagai tanaman tahunan.

1) Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Jamur Akar Putih Tahun 2006, Pontianak, 30 November

2006.

Pertanyaannya adalah apakah dengan pola RAS, serangan penyakit JAP pada tanaman karet akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan serangan JAP pada kebun karet monokultur? Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk mencegah perkembangan penyakit yang mematikan ini. Makalah ini membahas status serangan Jamur Akar Putih pada tanaman karet pada berbagai sistem wanatani berbasis karet (RAS) dan upaya-upaya pengendalian Jamur Akar Putih di tingkat operasional.

Bahan dan Metoda Demplot-demplot yang dibangun mempertimbangkan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh petani seperti tenaga kerja dan modal finansial. Demplot-demplot penelitian ini dikategorikan dalam 3 tipe, yakni: pertama, RAS 1, setara dengan hutan karet, dimana bahan tanam karet cabutan (seedling) diganti dengan bahan tanam karet unggul. Pola RAS 1 diterapkan pada lahan dengan kondisi awal keragaman hayatinya cukup tinggi (kebun karet tua, hutan sekunder, tembawang atau sistem wanatani lain yang berbasis kayu atau buah (Penot, 1994; 1997). Penyiangan tanaman karet hanya difokuskan pada barisan tanam karet. RAS 1 dibagi dalam beberapa varian yang disebut dengan RAS 1.1 dan RAS 1.2. RAS 1.1 menekankan pada tingkat penyiangan hanya pada baris penanaman karet, sedangkan RAS 1.2 merupakan uji berbagai macam klon karet pada kondisi seperti hutan karet. Kedua, RAS 2, adalah sistem wanatani kompleks dimana tanaman karet, tanaman pangan dan tanaman kayu serta buah-buahan ditanam setelah dilakukan persiapan lahan (tebas-tebangbakar), dengan kerapatan karet 550 pohon/ha dan kerapatan tanaman non-karet antara 90-250 pohon/ha. Sistem ini sangat intensif, dengan penanaman tanaman sela semusim/pangan selama 2-3 tahun pertama dan tanaman penghasil buah dan kayu (tekam, meranti, keladan, tengkawang, langsat, jengkol, durian) ditanam pada saat pembangunan kebun. Ketiga, RAS 3, adalah sistem wanatani kompleks integrasi karet dan tanaman lain dimana kerapatannya sama dengan RAS 2. RAS 3 ini ditujukan untuk pengembangan karet dalam usaha untuk rehabilitasi lahan yang terdegradasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica). Pengendalian alang-alang dilakukan dengan cara penutupan tanah secepatnya sehingga alangalang ternaungi. Untuk itu dilakukan penanaman kombinasi tanaman kacang-kacangan penutup tanah (LCC) dan tanaman cepat tumbuh penghasil kayu untuk pulp (Acacia mangium, Gmelina arborea, P. falcataria).

Sumber data Data yang dipergunakan pada makalah ini berasal dari demplot-demplot RAS yang merupakan penelitian OFT yang dibangun pada tahun 1995, 1996, 2002 dan 2005.

2

Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada demplot-demplot on-farm trials yang terdapat di : 1. Dusun Embaong, Desa Sungai Mawang, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau 2. Desa Pana, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau 3. Dusun Kopar, Desa Dosan, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau 4. Dusun Engkayu, Desa Maringin Jaya, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau 5. Dusun Senunuk, Desa Sebarra, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau 6. Desa Trimulya, Kecamatan Mukok, Kabupaten Sanggau Waktu penelitian Pengumpulan data dilakukan sejak tahun 1996 sampai dengan sekarang (2006). Data yang dikumpulkan berupa pertumbuhan karet, mortalitas tanaman karet, penyebab kematian, produksi

Hasil dan Pembahasan Serangan JAP berdasarkan tipe RAS: RAS 1, RAS 2, dan RAS 3 Gambar 1 memperlihatkan serangan jamur akar putih pada berbagai tipe RAS. Serangan penyakit jamur akar putih pada RAS 1 sudah mulai terlihat pada tahun pertama penanaman sebesar 0.2%, dan semakin tahun semakin meningkat, hingga tahun keempat serangan menjadi sebesar 7.7%. Sedangkan pada RAS 2 tahun pertama dan kedua belum ada seranganTingkat kematian pada berbagai RAS akibat JAP9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.07.7

Kematian (%)

4.4

RAS 1 RAS 2 RAS 3

1.1 0.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.0 0.5 0.1

1

2

3

4

Umur (tahun)

Gambar 1. Serangan JAP berdasarkan RAS jamur akar putih. Serangan baru terjadi pada tahun ke-3 sebesar 0.3%. Penyakit jamur akar putih mulai menyerang RAS 3 pada umur empat tahun dengan serangan yang cukup kecil yaitu hanya sebesar 0.1%.

3

Menurut Pawirosoemardjo (2004) masalah penyakit jamur akar putih sering timbul pada lahan kebun karet diremajakan, atau lahan hutan yang dikonversi menjadi kebun karet. Hal ini searah dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat jamur akar putih pada RAS 1 lebih tinggi dibandingkan dengan RAS 2 dan RAS 3, RAS 1 diterapkan pada lahan bekas karet tua atau hutan sekunder. Sedangkan pada RAS 2 dan RAS 3, kematian karet yang diakibatkan oleh jamur akar putih sangat kecil, karena diterapkan di lahan bekas semak dan alang-alang. Hasil penelitian Situmorang (2004) memperlihatkan bahwa kebun karet yang dibangun pada areal bekas alang-alang, tingkat kematian pada umur 14 tahun sebesar 0%. Kematian karet yang diakibatkan jamur akar putih pada RAS 1.1 Gambar 2 memperlihatkan persentase kematian tanaman karet yang diakibatkan oleh jamur akar putih pada RAS 1.1. Pada plot Loheng tingkat kematian dan serangan sangat tinggi dibandingkan dengan plot yang lain, Plot Loheng berasal dari hutan karet tua 40 tahunan, dengan kondisi sekitar plot adalah hutan karet tua. Vegetasi yang tumbuh kembali di lorong penanaman karet adalah berbagai macam gulma seperti Melasthoma malabathricum, Micania micrantha, bambu dan Chromolaena odorata. Vegetasi di lorong penanaman mencapai 4 meter pada tahun ke 4. Plot ini sangat minim perawatan, rata-rata penyiangan pertahun hanya 2 kali, sedangkan pada tahun ke 4 tidak ada perawatan sama sekali di baris maupun di lorong penanaman. Tekstur tanah pada plot Loheng lempung berpasir.

Kematian yang diakibatkan JAP pada RAS 1.140 35 30 25 20 15 10 5 0 1 2 3 4 Umur (tahun) Doncu Laten Loheng Sami Sidon Tinus Tonil

Gambar 2. Kematian yang diakibatkan JAP pada RAS 1.1 Serangan cenderung semakin meningkat dengan bertambahnya umur karet. Plot Doncu, Sami dan Tinus memperlihatkan serangan jamur akar putih pada tahun keempat antara 1520% . Pada plot Doncu, Sami dan Tinus, vegetasi yang tumbuh kembali di lorong penanaman didominasi oleh rumput-rumputan dan LCC seperti Centrocema pubescens dan Pueraria javanica, sebagian terdapat gulma. Tiga lokasi tersebut masih terdapat bekas tunggul pohon yang tidak dibersihkan, sementara lahan berasal dari hutan karet tua. Pemilik ke 3 plot

Kematian (%)

4

melakukan pembersihan pada baris penanaman sebanyak 2-4 kali per tahun, bahkan pada tahun ke 2, rata-rata pembersihan sebanyak 4 kali per tahun. Serangan jamur akar putih mempengaruhi pertumbuhan karet. Semakin tinggi kematian tanaman karet yang diakibatkan oleh penyakit jamur akar putih, maka pertumbuhan karet juga semakin lambat dibandingkan dengan pertumbuhan karet pada plot yang serangan JAP-nya rendah (Gambar 3)0.95 petumbuhan (cm/bulan) 0.90 0.85 0.80 0.75 0.70 0.65 0.60 0.55 0.50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 % Jamur akar putihy = -0.0055x + 0.8019 R2 = 0.411

Gambar 3. Persentase serangan JAP terhadap

Hubungan antara klon dan serangan jamur akar putih Data yang dipergunakan pada penelitian ini berasal dari perlakukan RAS 1.2 yakni perbandingan klon pada kondisi hutan karet. Empat jenis klon PB 260, RRIC 100, RRIM 600, dan BPM 1 dibandingkan dengan bahan tanam asal cabutan. Dilakukan pada 4 plot dan setiap plot merupakan ulangan untuk tiap-tiap klon. Tabel 1. Persentase kematian karet berbagai klon dan bahan tanam cabutanTahun Penanaman 1 2 3 4 BPM1 0.0 0.4 9.0 16.4 PB 260 0.0 1.7 9.5 14.1 RRIC100 0.4 0.8 9.1 14.5 RRIM600 0.0 1.7 6.4 11.1 Cabutan 0.0 0.0 2.6 5.7

Tabel 1 memperlihatkan tingkat kematian akibat jamur putih pada karet klonal lebih tinggi jika dibandingkan pada bahan tanam asal cabutan. Berdasarkan atas data ini persepsi petani bahwa tanaman asal seedlint tidak terserang jamur akar putih adalah tidak benar. Jamur akar putih mulai menyerang klon RRIC 100 pada umur 1 tahun, sedangkan pada bahan tanam asal cabutan mulai terserang pada umur 3 tahun. Tingkat kematian karet seedling lebih kecil dibandingkan dengan karet klonal, namun pertumbuhan karet klonal secara signifikan lebih cepat daripada karet asal cabutan (Gambar 4).

5

Pertumbuhan karet pada RAS 1.240 35 30 25 20 15 10 5 0 1 2 3 4 Umur (tahun)

Lilit batang (cm)

BPM 1 PB 260 RRIC 100 RRIM 600 Cabutan

Gambar 4. Pertumbuhan karet pada RAS 1.2

Hubungan antara kondisi asal lahan penanaman dengan serangan jamur akar putih Menurut Situmorang (2004) asal lahan penanama karet mempengaruhi perkembangan jamur akar putih. Berdasarkan data yang ditampilkan pada Gambar 5, tingkat kematian karet pada empat tahun pertama pada asal lahan hutan karet tua, sangat tinggi sampai dengan 10% jika dibandingkan dengan tanaman karet pada asal lahan yang lain yang hanya dibawah 1%.Tingkat kematian akibat jamur akar putih berdasarkan asal lahan12.0 Kematian (%) 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 1 2 3 4 Umur (tahun) Hutan karet tua Bawas Alang-alang Resam

Gambar 5. Persentase kematian akibat jamur putih berdasarkan asal lahan

6

Hubungan produksi dengan tingkat kematian akibat serangan jamur akar putih Pada grafik di bawah ini memperlihatkan bahwa serangan jamur akar putih akan mempengaruhi produksi kebun. Semakin tinggi serangan jamur akar putih, maka akan semakin kecil produksi kebun. Serangan jamur akar putih mengakibatkan kematian terhadap pohon produksi, sehingga potensi untuk produksi lateks pun akan menurun. Data produksi yang disajikan pada Grafik 6 merupakan data produksi pada tahun kedua sadap, dan persentase kematian pada tahun tersebut. Setiap terjadi peningkatan kematian sebesar 5% akan mengakibatkan turunnya produksi sebesar 89.43 kg/ha/tahun.

Hubungan produksi lateks dengan serangan jamur akar putih2500

Produksi (kg/ha/tahun)

2000 y = -17.886x + 1496.9 R = 0.5791 15002

1000

500

0 0 10 20 30 40 50 60 70 Kematian (% )

Grafik 6. Hubungan antara produksi lateks dengan serangan jamur akar putih.

Upaya-upaya pengendalian jamur akar putih Pengendalian secara kimia dan biologis Pengendalian dilakukan terhadap plot yang sudah terserang jamur akar, terutama pada tanaman karet yang sudah berproduksi. Perlakuan pengobatan dengan tingkat serangan JAP10%, perlakuan pengobatan dilakukan pada semua pohon dengan kandungan bahan kimia (bayleton) dan biologis (Trico-SP). Pemberian bahan kimia dan biologis dilakukan secara bersamaan dengan membagi plot menjadi dua bagian yang relatif sama. Pengulangan pengobatan dilakukan 1-2 kali setiap enam bulan. Cara pengaplikasian Bayleton Bayleton 5 cc/l dicampur dengan air sampai menjadi satu liter, disiramkan di sekitar pangkal pohon dengan sebelumnya membuat parit keliling agar campuran bayleton tersebut dapat

7

terserap hingga ke daerah perakaran tanaman. Berdasarkan umur tanaman, campuran bayleton tersebut diberikan sebanyak 250 ml/pohon (< 1 tahun), 500 ml/pohon (2-3 tahun) dan 1000 ml/pohon > 3 tahun). Pada perlakuan pengobatan diberikan 1000 ml/pohon yang diulang setiap enam bulan sekali Cara pengaplikasi Trico-SP Bahan berbentuk serbuk yang mengandung Trichoderma sp ini dicoba pada tanaman muda dan sudah menghasilkan. Penggunaan 50 gram/pohon diberikan untuk pencegahan serangan JAP pada tanaman saat di polibag dan saat ditanam di lapangan, sementara 100gram/pohon diberikan pada pohon yang sudah terserang. Bahan ini dicampur dengan tanah di polibag dan di lubang tanam, sementara untuk tanaman yang sudah menghasilkan, terlebih dahulu dibuat parit keliling radius 0.5 m dari pangkal pohon yang akan diisi oleh Trico-SP dan ditutup kembali dengan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan satu tahun setelah aplikasi, pada kasus pohon per pohon, dimana hanya beberapa pohon dengan tetangga terdekatnya yang diobati, kematian karet pada sub plot yang diberi perlakuan bayleton sebesar 5.3%, sedangkan sub plot dengan perlakuan Trico-SP adalah sebesar 8.1%. Aplikasi bayleton dan Trico-SP pada semua pohon dalam plot memperlihatkan kematian satu tahun setelah aplikasi sebesar 5.3% dan Trico-SP sebesar 5.1%. Dengan relatif rendahnya tingkat kematian setelah satu tahun pengobatan, dua cara pengendalian tersebut sangat diperlukan untuk menahan dan mengontrol serangan JAP, terutama dalam penggabungan penggunaan Trico-SP di tingkat pencegahan dan Bayleton pada pengobatan lebih lanjut. Okulasi Langsung Salah satu cara yang diuji untuk mengurangi serangan JAP adalah dengan meminimalkan pelukaan terhadap akar tanaman karet, karena pelukaan akan memudahkan terjadinya infeksi penyakit ini. Okulasi yang dilakukan pada batang bawah yang ditanam langsung di lapangan dengan jarak tanam 6m x 3m diduga dapat mengurangi serangan JAP karena dan sistem perakaran yang kuat dan sehat. Biji klonal GT1 yang sudah disemai dan berkecambah, kemudian dipindah ke lapangan dengan jarak tanam 6m x 3m. Pada setiap titik, ditanam tiga kecambah karet yang dipersiapkan sebagai batang bawah untuk diokulasi dengan klon PB 260 pada umur sekitar 6 bulan, langsung di tempat. Satu hasil okulasi yang berhasil akan dipelihara sebagai tanaman kebun, sedangkan, dua tanaman lainnya dicabut dan dipindahkan dan dimanfaatkan oleh petani (ditanam di kebun lain atau di jual). Pengamatan pendahuluan pada potensi JAP di lahan yang digunakan, ditandai dengan adanya tunggul dan lapukan kayu bekas hutan karet tua yang dikonversi menjadi ladang melalui persiapan tebas, tebang dan bakar. Gejala awal ditandai dengan munculnya benang-benang (miselia) di perakaran tanaman karet pada hasil okulasi yang dicabut/dipindahkan (OMAT)

8

sudah mencapai 10%. Pengamatan ini dilanjutkan dengan mengamati jumlah pohon yang mati akibat serangan JAP. Data yang dikumpulkan dari plot observasi okulasi langsung di atas kemudian dibandingkan dengan hasil pengamatan pada plot yang ditanami dengan tanaman karet dengan bibit yang dipelihara dalam polibag (Tabel 2) Tabel 2 . Persentase kematian yang diakibatkan JAP berdasarkan perbedaan asal bahan tanamPlot Asal bahan tanam Jumlah diamati 50 50 50 pohon Jumlah pohon mati (bulan ke-) 3 6 9 12 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 1 % kematian akibat JAP (bulan ke-) 3 6 9 12 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 0.0 0.0 4.0 2.0

Isa Atik Baki

Okulasi Langsung Polibag Polibag

Pada Tabel diatas, ketiga plot berasal dari lahan bekas hutan tua dengan perbedaan asal bahan tanam melalui okulasi langsung dan polibag. Pada tahun pertama, serangan JAP belum nampak (0%) di plot Isa dengan bahan tanam hasil okulasi langsung, sedangkan pada plot Atik dan Baki, dengan asal bahan tanam polibag, tanaman karet sudah terserang JAP mulai umur 9 bulan yang meningkat di bulan berikutnya pada kisaran antara 2-4%. Tindakan pencegahan terhadap JAP juga telah dilakukan di dua plot ini, yaitu dengan memberi TricoSP sebanyak 25 gram/pohon pada saat penanaman. Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman karet dan tingkat serangan JAP pada plot di atas akan terus dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci perkembangan JAP dan tingkat kematian tanaman karet. Sampai dengan umur satu tahun pertama, cara okuladi langsung di tempat nampaknya memberikan hasil yang cukup menggembirakan karena serangan JAP masih belum terdeteksi. Hal ini dapat disebabkan oleh karena tanaman hasil okulasi langsung tumbuh tanpa stagnasi yang nyata, memiliki pangkal dan sistem perakaran yang lebih kuat yang diharapkan mampu menahan serangan jamur akar putih, seperti yang diuraikan oleh Wijewantha (1964) dalam Situmorang (2004). Pemanfaatan titik tanam karet yang mati terserang jamur akar putih Tanaman karet yang mati akibat serangan JAP akan meninggalkan ruang kosong di barisan karet, sehingga menggantinya dengan tanaman baru harus memperhatikan naungan dari karet yang sudah tumbuh. Pertumbuhan tanaman menurun dengan berkurangnya intensitas sinar radiasi (Lasminingsih et al, 2005), sementara di umur 2 tahun naungan diantara karet sudah terbentuk yang menyebabkan pertumbuhan tanaman pengganti sangat lambat. Untuk itu, penggunaan ruang kosong di barisan karet dapat ditanami dengan pohon kayu atau buah yang mampu tumbuh di bawah naungan karet. Tujuh jenis pohon telah dicoba di tujuh plot percobaan RAS yang terkena JAP, hasilnya ditunjukkan dengan persentase kemampuan pohon untuk tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan karet, seperti dalam Tabel 3.

9

Tabel 3. Persentase tumbuh pohon buah dan kayu selama satu tahun di kondisi wanatani karetPlot Alysius Cacot Indi Laten Lidi Rasyid Sidon Durian 85.7 70.0 100.0 77.8 80.0 80.0 Gaharu 95.7 100.0 88.9 85.0 90.9 100.0 87.5 Jenis Pohon (% hidup) Nangka Pekawai Petai 72.2 86.6 66.6 42.8 66.6 100.0 88.2 53.8 76.4

Tengkawang 66.6 87.50 100.0 100.0

Terindak

100.0

78.5 60.

100.0

Secara umum, dari ketujuh jenis pohon lain yang diamati selama satu tahun di semua plot (Tabel 3), gaharu memiliki persentase tumbuh terbaik berkisar antara 85.0-100.0%, terutama di empat plot percobaan, kemudian diikuti secara berturut-turut oleh tengkawang, terindak, durian dan pekawai.

KESIMPULAN Kematian tanaman karet yang diakibatkan oleh jamur akar putih lebih tinggi pada kebun yang berasal dari hutan karet tua dibandingkan dengan pada lahan yang berasal dari semak belukar (bera/bawas), atau resam. Pola RAS 1 yang banyak memanfaatkan lahan asal karet tua atau hutan sekunder menunjukkan tingkat serangan lebih tinggi, jika dibandingkan dengan RAS 2 dan RAS 3. Pada RAS 1, serangan JAP mulai teramati pada umur 1 tahun, sedangkan pada RAS 3, tanaman terdeteksi terserang JAP pada umur empat tahun dalam jumlah sangat kecil. Pengendalian jamur akar putih sebaiknya dilakukan dengan kombinasi antara cara kimia dan cara biologis, walaupun cara kimia menunjukkan hasil lebih efektif daripada biologis pada aplikasi pohon per pohon. Pengendalian JAP dengan cara biologis dilakukan lebih banyak untuk pencegahan perkembangan JAP. Upaya pengendalian jamur akar putih pada kondisi asal lahan hutan karet dengan penerapan okulasi batang bawah yang ditanam langsung di lahan calon kebun (okulasi di tempat) cukup efektif untuk mengendalikan JAP. Pengamatan lanjutan atas pengujian cara okulasi langsung ini masih terus dilakukan. Pohon yang mati akibat JAP dapat digantikan dengan penanaman pohon lain yang mempunyai nilai ekonomi seperti gaharu, tengkawang, terindak, durian dan pekawai. Pohon yang dipilih adalah pohon yang toleran terhadap naungan.

10

PUSTAKA Budiman, A. 2005. ICRAF participatory farmer training for disease assesment and control on rubber in Sanggau and Sintang Distric, West Kalimantan. Hanis, I. 2005. Program pengembangan kawasan agribisnis berbasis karet rakyat (PROBANGKARA). Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat. Makalah Gelar Teknologi di Sintang Tahun 2005. Lasmingsih, M., Thomas, A. Situmorang. 2005. Klon anjuran untuk wilayah Kalimantan Barat dan pola pengembangannya. Makalah Gelar Teknologi Karet di Sintang 2005. Hal : 24-41. Pawirosoemardjo, S. 2004. Manajemen pengendalian penyakit penting dalam upaya mengamankan target produksi karet nasional tahun 2020. Prosiding Pertemuan Teknis, Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Sembawa. Hal : 21-45 Penot, E. 1994. Improving the productivity of smallholder Rubber Agroforestry Systems: Sustainable alternataives. Project frame, general proposal and on farm trial methodology. Bogor. Situmorang, A. 2004. Status dan manajemen pengendalian jamur akar putih di perkebunan karet. Prosiding Pertemuan Teknis. Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Sembawa. Hal : 66-86

Wibawa, G., L. Joshi., M.van Noordwijk, dan E. Penot. 2006. Sistem Wanatani Berbasis Karet (RAS) sebagai alternatif sistem monokultur. Makalah pada Lokakarya Budidaya Karet. Medan Oktober 2006.

11