patofisiologi resistensi insulin
DESCRIPTION
hghgyuiuuTRANSCRIPT
Patofisiologi resistensi insulin Tweet
Secara langsung dengan metabolisme, insulin dilepaskan dari sel-sel beta (β) dari pulau Langerhans yang terletak di pankreas setelah makan ("postprandial"), dan itu sinyal insulin-sensitif jaringan dalam tubuh (misalnya, otot, adipose) untuk menyerap glukosa. Ini menurunkan kadar glucose darah. Sel-sel beta mengurangi mereka insulin output sebagai darah glukosa tingkat jatuh, dengan hasil bahwa glukosa darah dipertahankan pada sekitar 5 mmol/L (mM) (90 mg/dL). Secara pribadi '' insulin-resistant'', normal tingkat insulin tidak memiliki efek yang sama pada otot dan sel-sel adipose, dengan hasil bahwa kadar glucose tinggal lebih tinggi dari normal. Untuk mengimbangi ini, pankreas individu insulin-resistant dirangsang untuk melepaskan insulin lebih banyak. Tingkat insulin ditinggikan memiliki efek tambahan (lihat insulin) yang menyebabkan lebih lanjut efek biologis seluruh tubuh.
Jenis paling umum resistensi insulin berkaitan dengan kumpulan gejala yang dikenal sebagai sindrom metabolik. Resistensi insulin dapat maju ke penuh tipe 2 diabetes mellitus (T2DM). Hal ini sering terlihat ketika hiperglikemia berkembang setelah makan, ketika pankreas β-sel mampu memproduksi insulin yang cukup untuk menjaga tingkat gula darah normal (euglycemia). Ketidakmampuan β-sel untuk memproduksi cukup insulin dalam kondisi hiperglikemia adalah apa yang mencirikan transisi dari resistensi insulin untuk tipe 2 diabetes mellitus.
Berbagai penyakit negara membuat jaringan tubuh yang lebih tahan terhadap tindakan insulin. Contohnya infeksi (ditengahi oleh sitokin TNFα) dan asidosis. Penelitian terbaru menyelidiki peran adipokines (sitokin diproduksi oleh jaringan adiposa) di resistensi insulin. Obat-obatan tertentu juga dapat dikaitkan dengan resistensi insulin (misalnya, Glukokortikoid).
Insulin itu sendiri dapat menyebabkan resistensi insulin; setiap kali sebuah sel terkena insulin, produksi GLUT4 (tipe empat reseptor glukosa) pada membran sel menurun. Hal ini mengakibatkan perlunya besar insulin, yang lagi mengarah ke lebih sedikit reseptor glukosa. Latihan membalikkan proses ini dalam jaringan otot, tetapi jika dibiarkan, itu dapat spiral ke resistensi insulin.
Peningkatan kadar glukosa darah-terlepas dari penyebab-mengarah ke peningkatan glycation protein dengan perubahan (hanya beberapa yang dipahami dalam setiap detail) dalam fungsi protein di seluruh tubuh.
Resistensi insulin sering ditemukan pada orang dengan mendalam adiposity (yaitu, tingkat tinggi jaringan lemak di bawah tembok otot perut - sebagai berbeda dari subkutan adiposity atau fat antara kulit dan otot dinding, terutama di tempat lain di badan, seperti pinggul atau paha), hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia melibatkan ditinggikan trigliserida, partikel-partikel
kecil padat rendah lipoprotein (sdLDL), dan penurunan kadar kolesterol HDL. Sehubungan dengan adiposity mendalam, banyak bukti menunjukkan dua hubungan yang kuat dengan resistensi insulin. Pertama, tidak seperti jaringan adiposa subkutan, mendalam adipose sel menghasilkan jumlah proinflammatory sitokin seperti tumor nekrosis faktor-alpha (TNF-a), dan interleukin-1 dan 6, dll. Dalam banyak model eksperimental, sitokin proinfammatory ini sangat mengganggu normal insulin tindakan dalam sel-sel lemak dan otot, dan mungkin merupakan faktor utama dalam menyebabkan resistensi insulin seluruh tubuh diamati pada pasien dengan adiposity yang mendalam. Banyak perhatian ke produksi sitokin proinflammatory telah difokuskan pada jalur IKK-beta/NF-kappa-B, jaringan protein yang meningkatkan transkripsi sitokin gen. Kedua, mendalam adiposity berkaitan dengan akumulasi lemak dalam hati, kondisi yang dikenal sebagai non-alkohol penyakit lemak hati (NAFLD). Hasil dari NAFLD adalah rilis yang berlebihan asam lemak bebas ke dalam aliran darah (berkat peningkatan lipolysis), dan peningkatan produksi hepatic glukosa, keduanya memiliki efek memperparah resistensi insulin perifer dan meningkatkan kemungkinan jenis 2 diabetes mellitus.
Resistensi insulin ini juga sering dikaitkan dengan keadaan hypercoagulable (gangguan fibrinolysis) dan meningkatkan tingkat sitokin peradangan.
Resistensi insulin juga kadang-kadang ditemukan pada pasien yang menggunakan insulin. Dalam kasus ini, produksi antibodi terhadap insulin mengarah ke lebih rendah dari yang diharapkan glukosa tingkat pengurangan (glycemia) setelah dosis insulin tertentu. Dengan perkembangan manusia insulin, analogues pada 1980-an, dan penurunan penggunaan hewan insulins (misalnya, daging babi, daging sapi), jenis resistensi insulin telah menjadi biasa.
Magnesium (Mg) hadir dalam sel hidup dan konsentrasi plasma sangat konstan dalam mata pelajaran yang sehat. Plasma dan intraselular Mg konsentrasi erat diatur oleh beberapa faktor. Di antara mereka, insulin tampaknya menjadi salah satu yang paling penting. In vivo dan in vitro penelitian telah menunjukkan bahwa insulin mungkin memodulasi pergeseran Mg dari ekstraselular untuk intraselular ruang. Intraselular Mg konsentrasi juga telah ditunjukkan untuk menjadi efektif dalam modulasi insulin tindakan (metabolisme oksidatif terutama glukosa), offset kalsium yang berhubungan dengan eksitasi-kontraksi coupling dan mengurangi halus sel responsivitas untuk depolarizing rangsangan. Miskin konsentrasi Mg intraselular, seperti yang ditemukan dalam tipe 2 diabetes mellitus dan hipertensi pasien, dapat mengakibatkan cacat tirosina-kinase kegiatan di insulin reseptor kalsium intraselular yang berlebihan dan tingkat konsentrasi. Kedua peristiwa bertanggung jawab gangguan dalam insulin tindakan dan memburuknya resistensi insulin dalam noninsulin bergantung pada pasien diabetes dan hipertensi. Sebaliknya, dalam T2DM pasien administrasi Mg sehari-hari, pemulihan konsentrasi Mg intraselular lebih tepat, berkontribusi untuk meningkatkan pengambilan insulin-mediated glukosa. Manfaat berasal - dari suplemen Mg sehari-hari di T2DM pasien lebih lanjut didukung oleh studi epidemiologi yang menunjukkan bahwa asupan Mg harian yang tinggi input insiden lebih rendah T2DM.
PATOFISIOLOGI DIABETES MELITUS A. PENDAHULUAN
Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung. Di dalamnya terdapat
kumpulan sel yang disebut pulau-pulau langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormon
insulin, yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa darah. Tiap pankreas mengandung kurang
lebih 100.000 pulau langerhans dan tiap pulau berisi 100 sel beta. Bagian endokrin pankreas
memproduksi, menyimpan, dan mengeluarkan hormon dari pulau langerhans. Pulau langerhans
mengandung 4 kelompok sel khusus, yaitu alfa, beta, delta, dan sel F. Sel alfa menghasilkan glukagon,
sedangkan sel beta menghasilkan insulin. Kedua hormon ini membantu mengatur metabolisme. Sel
delta menghasilkan somatostatin (faktor penghambat pertumbuhan hipotalamik) yang bisa mencegah
sekresi glukagon dan insulin. (Baradero, 2009, hal.88).
Glukosa terbentuk dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari (terdiri dari karbohidrat, protein,
dan lemak). Kemudian glukosa akan diserap melalui dinding usus dan disalurkan dalam darah. Setelah
makan, kadar glukosa dalam darah akan lebih tinggi, melebihi glukosa yang dibutuhkan dalam proses
pembentukan energi tubuh. Untuk mencegah meningginya glukosa dengan tiba-tiba, insulin (hormon
yang diproduksi sel beta pankreas) berfungsi menyimpan glukosa (dinamakan glikogen) dalam hati dan
sel-sel otot. Jika kadar gula menurun maka simpanan glikogen akan kembali ke dalam darah. Proses ini
membutuhkan glukagon. Glikogen yang disimpan dalam hati bisa bertahan 8-10 jam. Apabila tidak
digunakan dalam tempo yang ditentukan maka simpanan ini akan berubah menjadi lemak. (Mahendra,
2008, hlm. 1).
Insulin adalah hormon anabolik (pembentuk) utama tubuh dan memiliki berbagai efek lain selain
menstimulasi transpor glukosa insulin juga meningkatkan transpor asam amino ke dalam sel
menstimulasi sintesis protein dan glukosa insulin yang menghambat glukoneogenesis, sintesa glukosa ke
tubuh kita, membangun protein, dan mempertahankan kadar glukosa plasma rendah. (Corwin, 2001,
hlm. 620).
B. PENGERTIAN
1. Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. (Syahfudin,
2002, hlm. 32).
2. Diabetes melitus adalah diabetes yang berkaitan dengan kadar gula dalam tubuh, juga dikenal dengan
nama kencing manis. (Tjahjadi, 2011, hlm. 3)
3. Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat
gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah.
(Nogroho, 2011, hlm. 53).
C. KLASIFIKASI
Menurut klasifikasi klinisnya diabetes melitus dibedakan menjadi :
1. Tipe 1 (DMT1) adalah insufisiensi absolut insulin.
2. Tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin yang disertai defek sekresi insulin dengan derajat bervariasi
3. Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul pada saat hamil (Kowalak & Welsh, 2003, hlm. 519).
4. Gangguan toleransi glukosa (GTG), kadar glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes
atau menjadi normal atau tetap tidak berubah.
(Price, 1995, hlm. 1259).
D. ETIOLOGI
Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :
1. Diabetes Tipe I ( Insulin Dependent Diabetes Melitus / IDDM )
Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas disebabkan
oleh :
a. Faktor genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi suatu predisposisi / kecenderungan
genetik ke arah terjadinya DM tipe 1. Ini ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen HLA (
Human Leucocyte Antigen ) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas
antigen transplatasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.
2. Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus / NIDDM )
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes
tipe II belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan yaitu :
a. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada
usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas
untuk memproduksi insulin. (Sujono & Sukarmin, 2008, hlm. 73).
b. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap
penurunan produksi insulin. Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme
glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak. (Sujono & Sukarmin,
2008, hlm.73).
c. Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non identik), risiko menderita
penyakit ini 5 hingga 10 kali lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak
memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes tipe 1, penyakit ini tidak berkaitan
dengan gen HLA. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat
sejumlah defek genetif, masing-masing memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga
dipengaruhi oleh lingkungan. (Robbins, 2007, hlm. 67).
d. Gaya hidup (stres)
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji yang kaya pengawet,
lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan
meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat
pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak
pada penurunan insulin. ( Smeltzer and Bare,1996, hlm. 610).
E. PATOFISIOLOGI
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan
sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang,
hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka
glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di
dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1.
Perbedaannya adalah DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi juga kadar insulin tinggi atau normal.
Keadaan ini disebut resistensi insulin.( Suyono, 2005, hlm 3).
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan
insulin yaitu :
a. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi
glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.
b. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan
metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
c. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Keadaan patologi tersebut akan berdampak :
1. Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi daripada rentang kadar puasa
normal 80-90 mg/100 ml darah, atau rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. (Corwin,
2001, hlm. 623).
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam tubuh akan difasilitasi
(oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan
energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-
sel hati dan sel-sel otot (sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur
glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat
berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia). (Long, 1996,
hlm. 11).
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada perubahan
metabolik sebagai berikut :
a. Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
b. Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa
dalam darah.
c. Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa “hati”
dicurahkan dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.
d. Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi
glukosa “hati” yang tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak. (Long, 1996,
hlm.11).
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan cepat
seperti bakteri dan jamur. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya
glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan darah pada jaringan
yang cidera. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi.
Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan
mengakibatkan penderita diabetes melitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur. (Sujono,
2008, hlm. 76).
2. Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel karena adanya
peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan karena
adanya peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes melitus terjadinya
hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene komposisi
terbanyak adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan
ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/ menit).
Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria). Ekskresi
molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis
osmotik) dan berakibat peningkatan volume air (poliuria).
Akibat volume urin yang sangaat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti
penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang
pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus. (Corwin,2001, hlm.636).
Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum lebih dan 370-380 mosmols/ dl dalam
keadaan tidak terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar
nonketotik (KHHN). (Sujono, 2008, hlm. 77).
3. Starvasi Selluler
Starvasi Selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk
padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi tidak bisa dibawa untuk
diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin.
Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan
fungsi sel. Proses itu antara lain :
a. Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral yang
tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot
memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energi
mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini berdampak pada penurunan
massa otot, kelemahan otot, dan rasa mudah lelah.
b. Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang
digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Hasil dari
glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh.
Protein dan asam amino yang melalui proses glukoneogenesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O serta
glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein.
Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan penipisan simpanan protein
tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua
bagian tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang
banyak akan berakibat pada keseimbangan negative nitrogen.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya
pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau cidera).
c. Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolisme lemak (lipolisis) asam lemak
bebas, trigliserida, dan gliserol yang akan meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati
untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis mengakibatkan
peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk
buffer pH darah menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis
metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme
protein yang meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein.
Adanya starvasi selluler akan meningkatakan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan
pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan
memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan kerusakan
berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan orggan tubuh yang lain
seperti persarafan perifer dan mata (muncul rasa baal dan mata kabur). (Sujono, 2008, hlm. 79).
Diabetes mellitus jangka panjang member dampak yang parah ke sistem kardiovaskular, terjadi
kerusakan di mikro dan makrovaskular.
MIKROVASKULAR
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penebalan membran basal pembuluh-pembuluh kecil.
Penyebab penebalan tersebut tampaknya berkaitan langsung dengan tingginya kadar glukosa darah.
Penebalan mikrovaskular tersebut menyebabkan iskemia dan penurunan penyaluran oksigen dan zat gizi
ke jaringan. Selain itu, Hb terglikosilasi memiliki afinitas terhadap oksigen yang lebih tinggi sehingga
oksigen terikat lebih erat ke molekul Hb. Hal ini menyebabkan ketersediaan oksigen untuk jaringan
berkurang.
Hipoksia kronis juga dapat menyebabkan hipertensi karena jantung dipaksa meningkatkan curah
jantung sebagai usaha untuk menyalurkan lebih banyak oksigen ke jaringan. Ginjal, retina, dan sistem
saraf perifer, termasuk neuron sensorik dan motorik somatic sangat dipengaruhi oleh gangguan
mikrovaskular diabetik.
Sirkulasi mikrovaskular yang buruk juga akan menganggu reaksi imun dan inflamasi karena
kedua hal ini bergantung pada perfusi jaringan yang baik untuk menyalurkan sel-sel imun dan mediator
inflamasi. (Chang, 2006, hlm. 110).
1. Kerusakan ginjal (Nefropati)
Diabetes mellitus kronis yang menyebabkan kerusakan ginjal sering dijumpai, dan nefropati
diabetic merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal. Di ginjal, yang paling parah mengalami
kerusakan adalah kapiler glomerolus akibat hipertensi dan glukosa plasma yang tinggimenyebabkan
penebalan membran basal dan pelebaran glomerolus. Lesi-lesi sklerotik nodular, yang disebut nodul
Kimmelstiel-Wilson, terbentuk di glomerolus sehingga semakin menghambat aliran darah dan akibatnya
merusak nefron. (Corwin, 2001, hlm. 637).
2. Kerusakan sistem saraf (Neuropati)
Penyakit saraf yang disebabkan diabetes mellitus disebut neuropati diabetic. Neuropati diabetic
disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek dari hiperglikemia.
Pada jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan dan fruktosa dan penurunan kadar
mioinositol yang menimbulkan neuropati selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi
getar dan propoioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refkeks tendon dalam,
kelemahan oto-otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf kranial atau
sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom disertai diare nokturnal, keterlambatan
pengosongan lambung, hipotensi dan impotensi. (Corwin, 2001, hlm. 637).
3. Gangguan penglihatan (Retinopati)
Retinopati disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada
pembuluh darah retina. Hal ini bahkan bisa menjadi salah astu penyebab kebutaan. Retinopati
sebenarnya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain karena gangguan
mikrovaskular, penyakit ini juga disebabkan adanya biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat-zat
tertentu pada jaringan retina.
Gangguan awal pada retina tidak menimbulkan keluhan-keluhan sehingga penderita kebanyakan
tidak mengetahui telah terkena retinopati. Hal ini baru terdeteksi oleh ahli mata dengan
ophtalmoskop.jika gangguan ini dibiarkan dan kerusakan menjadi sangat progresif serta menyerang
daerah penting (makula) maka penderita dapat kehilangan penglihatannya. Katarak dan glaukoma
(meningkatnya tekanan pada bola mata) juga merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien
diabetes. Oleh karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata pada dokter mata
secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes. (Mahendra & Tobing, 2008, hlm 23).
MAKROVASKULAR
Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis. Komplikasi makrovaskular ikut
berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan
peningkatan mortalitas.
Pada diabetes terjadi kerusakan pada lapisan endotel arteri dan dapat disebabkan secara
langsung oleh tingginya kadar glukosa darah, metabolit glukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam
darah yang sering dijumpai pada pasien diabetes. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel
meningkat sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan
mencetuskan reaksi imun dan inflamasi sehinga akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag, dan
jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri meyebabkan hipertensi, yang
semakin merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya merobek sel-sel edotel.
Efek vascular dari diabetes kronis adalah penyakit arteri koroner, stroke, dan penyakit vascular
perifer. Pasien diabetic yang menderita infark miokard memiliki prognosis yang buruk dibandingkan
pasien diabetes tanpa infark miokard. Penyakit arteri koroner merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pada populasi pengidap diabetes. (Chang, 2006, hlm. 110).