pelaksanaan hukum perjanjian syariah dalam perbankan syari
DESCRIPTION
cxxxTRANSCRIPT
![Page 1: Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah Dalam Perbankan Syari](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022082414/5695d2c21a28ab9b029b9eeb/html5/thumbnails/1.jpg)
Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah dalam Perbankan Syari’ah
Bank Syariah di Indonesia didirikan pada tahun 1992, pemerintah telah
membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan
syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah diatur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal 1
angka 3, disebutkan pengertian bank umum adalah “bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Sedangkan, yang dimaksud dengan
prinsip syariah, disebutkan dalam pasal 1 angka 13, yaitu “aturan perjanjian berdasarkan
Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah”. Di
Indonesia berlaku dua sistem perbankan, yaitu sistem konvensional yang menggunakan
sistem bunga dan sistem syariah yang berlandaskan pada ketentuan Islam.[5]
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah diatur dalam pasal 36
Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004. Kegiatan-kegiatan itu antara lain sebagai
berikut:[6]
a. Penghimpunan Dana
Giro berdasarkan prinsip wadi’ah
Giro adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat diambil sewaktu-waktu
dengan menggunakan cek atau alat sejenis lainnya. Pada dasarnya, wadi’ah
merupakan akad titipan yang tidak memberikan wewenang kepada penerima
titipan untuk menggunakan benda yang dititipkan. Penerima titipan berhak untuk
mendapatkan upah untuk itu. Bagi bank yang menjadi pihak yang menerima
titipan dengan seijin nasabahnya sebagai pihak yang menitipkan, bank dapat
menggunakan dana milik nasabah dengan menjamin, bahwa bank akan
mengembalikan dana itu secara utuh. Bank memiliki tanggung jawab atas segala
resiko yang terjadi pada dana tersebut. Dalam kondisi titipan seperti ini,
titipannya disebut dengan wadi’ah yad adh-dhamanah. Sedangkan untuk titipan
yang penerima titipan tidak berhak untuk menggunakan benda titipan disebut
dengan wadi’ah yad al-amanah. Dari proses wadi’ah yad adh-dhamanah ini,
tentunya bank tidak memperoleh upah dari nasabah atas jasa titipannya, tetapi ia
berhak mendapatkan semua keuntungan yang diperoleh dari hasil penggunaan
dana nasabah tersebut. Sedangkan bagi nasabah, selain ia mendapatkan jaminan
keamanan terhadap dananya, biasanya ia memperoleh intensif dari bank.
![Page 2: Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah Dalam Perbankan Syari](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022082414/5695d2c21a28ab9b029b9eeb/html5/thumbnails/2.jpg)
Pemberian intensif oleh bank tidak diperjanjikan diawal akad dan jumlahnya
tidak ditetapkan terlebih dulu.[7]
© Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah
Tabungan adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat diambil sewaktu-
waktu oleh nasabah dengan menggunakan buku tabungan atau alat lainnya tetapi
tidak menggunakan cek. Prinsip wadi’ah pada tabungan digunakan sama halnya
dengan produk giro yang telah diuraikan diatas.
Prinsip mudharabah pada tabungan adalah antara nasabah dan bank mengadakan
akad mudharabah, yaitu nasabah menyimpan sejumlah dana kepada bank untuk
dikelola oleh bank. Dalam hal ini, hasil yang diperoleh dari pengelolaan dananya
akan dibagikan kepada nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan bank
sebagai pengelola dana (mudharib). Besar bagi hasil (nisbah) tersebut telah
disepakati di awal akad.[8]
© Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah
Deposito berjangka merupakan penyimpanan dana oleh nasabah kepada bank
dengan ketentuan waktu penarikan dana adalah dalam jangka waktu tertentu sejak
penyetoran dananya, seperti 30 hari, 90 hari, dan sebagainya. Dalam hal ini,
perikatan yang digunakan adalah mudharabah. Nasabah sebagai shahibul maal
dan bank sebagai mudharib saling terikat untuk melakukan bagi hasil sesuai
dengan nisbah yang telah ditentukan di awal akad.[9]
b. Penyaluran Dana
1) Prinsip Jual Beli
§ Murabahah
Yaitu jual-beli dengan adanya tambahan dari harga asal. Nasabah yang
memiliki kebutuhan benda tertentu dapat mengajukan permohonan kepada
Bank Syariah untuk membeli benda tersebut. Benda yang telah dibeli oleh
bank, kemudian akan dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang lebih
tinggi dari harga asal. Kelebihan harga ini tentunya didasarkan pada
kesepakatan diantara keduanya. Pembayaran yang dilakukan oleh nasabah
biasanya dalam bentuk angsuran, meskipun tidak dilarang untuk membayar
secara tunai. Sistem ini biasanya dilakukan untuk pembiayaan barang-barang
investasi seperti melalui letter of credit (L/C) dan pembiayaan persediaan
sebagai modal kerja.[10]
§ Istishna
![Page 3: Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah Dalam Perbankan Syari](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022082414/5695d2c21a28ab9b029b9eeb/html5/thumbnails/3.jpg)
Bank sebagai penjual (shani’) mendapat pesanan dari nasabah sebagai pembeli
(mustashni’) dengan cara pembayaran dimuka, secara angsuran, atau
ditangguhkan pada waktu tertentu. Barang yang dibutuhkan oleh nasabah tidak
seketika itu ada, tetapi harus dilakukan proses pembuatannya terlebih dahulu.
Bank akan melakukan pemesanan kembali kepada perusahaan industri untuk
memperoleh barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Dalam hal jual beli yang
kedua ini disebut juga dengan istishna parallel. Keuntungan yang diperoleh
oleh bank adalah berupa selisih harga dari nasabah dengan harga jual kepada
pembeli. Model perikatan istishna bisa dilakukan pada pembiayaan persediaan
(inventory financing) sebagai modal kerja.[11]
§ Salam
Salam hamper sama dengan istishna. Pembayaran harga pada salam dilakukan
pada saat akad dilakukan. Sifat akad dari salam adalah mengikat secara asli
(thabi’i), yaitu mengikat semua pihak sejak awal. Pada perikatan salam,
nasabah berkedudukan sebagai pembeli (muslam), sedangkan bank sebagai
penjual (muslam ilaih). Bank juga dapat melakukan salam paralel dengan
produsen. Pada salam paralel bank adalah muslam dan produsen adalah
muslam alaih.[12]
2) Prinsip Bagi Hasil
ª Mudharabah
Bank dan nasabah dapat melakukan kerjasama dalam mengadakan suatu
usaha. Dalam mudharabah, bank sebagai pemilik dana (shahibul maal)
menyediakan sejumlah dana untuk suatu usaha yang akan dikelola oleh
nasabah (mudharib). Pada awal akad, keduanya telah menyepakati nisbah yang
akan dibagikan dari hasil keuntungan yang diperoleh dari usahanya.[13] Jenis
mudharabah yang dapat digunakan adalah mudharabah mutlaqah dan
mudharabah muqayyadah. Dalam mudharabah mutlaqah, pihak pemodal tidak
berhak mengelola persekutuan secara mutlak. Namun pihak mudharib lah yang
berhak mengelola, sebab mudharabah merupakan percampuran antara badan
pengelola (pekerja) dengan modal, tetapi bukan pemilik modal. Sehingga
pemodal layaknya pihak yang berada di luar persekutuan.[14]
Mudharabah muqayyadah adalah akad syirkah yang mengharuskan pekerja
(mudharib) untuk mengikuti ketentuaan maupun pengarahan yang ditetapkan
oleh pemilik modal (shahibul maal) dalam mengelola usaha. Dengan
![Page 4: Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah Dalam Perbankan Syari](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022082414/5695d2c21a28ab9b029b9eeb/html5/thumbnails/4.jpg)
demikian, dalam persekutuan mudharabah ini, kewenangan yang diberikan
kepada pihak mudharib bersifat terbatas.[15]
ª Musyarakah
Syirkah yaitu akad perjanjian antara orang-orang yang berserikat dalam hal
modal dan keuntungan.[16] Dalam kerjasama ini masing-masing pihak (bank
dan nasabah) memberikan kontribusi dana untuk suatu usaha tertentu dengan
keuntungan dan resiko yang terjadi akan ditanggung bersama. Aplikasinya
dalam perbankan, musyarakah dapat dipergunakan untuk pembiayaan proyek
dan juga pemiayaan modal ventura.[17]
3) Prinsip Sewa menyewa
Ճ Ijarah
Ijarah adalah pengambilan manfaat suatu benda, jadi dalam hal ini bendanya
tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya
peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang
disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti
kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga
berupa karya pribadi seperti pekerja.[18]
Dalam praktik, biasanya disebut dengan operational lease, yaitu bank
menyewakan barang yang dibutuhkan nasabah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan usahanya. Nasabah memiliki kewajiban membayar harga sewa
kepada bank.[19]
Ճ Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT)
Sering kali barang yang disewakan kepada nasabah akan merepotkan bank
dalam hal pemeliharaanya. Oleh karena itu, bank dapat memberikan opsi
kepada nasabah untuk menjadi pemilik atas barang setelah masa sewa telah
berakhir. Hal ini yang diaplikasikan dalam bentuk financial lease with
purchase option, baik dalam bentuk pembiayaan produktif berupa investasi
maupun pembiayaan konsumtif.[20]
4) Prinsip Pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian
dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya menghutang uang
Rp50.000,- akan dibayar Rp50.000,- pula.[21] Perikatan jenis ini bertujuan untuk
menolong, bukan sebagai perikatan yang mencari untung (komersil). Oleh karena
itu, bank hanya akan mendapatkan kembali sejumlah modal yang diberikan
![Page 5: Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah Dalam Perbankan Syari](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022082414/5695d2c21a28ab9b029b9eeb/html5/thumbnails/5.jpg)
kepada nasabah. Bank syariah dapat menyediakan fasilitas ini dalam bentuk
sebagai berikut:[22]
h Sebagai dana talangan untuk jangka waktu singkat, maka nasabah akan
mengembalikannya dengan cepat, seperti compensating balance dan factoring
(anjak piutang).[23]
h Sebagai fasilitas untuk memperoleh dana cepat karena nasabah tidak bisa
menarik dananya, misalnya karena tersimpan dalam deposito.
h Sebagai fasilitas membantu usaha kecil atau sosial.
5) Jasa Pelayanan
v Wakalah
Berwakil ialah menyerahkan pekerjaan yang dikerjakan kepada yang lain, agar
dikerjakannya (wakil) semasa hidupnya (yang berwakil).[24] Perwakilan
merupakan bentuk pemberian kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu. Dalam pasal 1792 KUH Perdata, yang dimaksud pemberian
kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan
kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.[25]
Bank syariah disini sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa
(muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini bank akan
mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai
contoh, bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik
atau telepon kepada perusahaan listrik atau telepon. Contoh lainnya adalah
bank mewakili sekolah atau universitas sebagai penerima biaya pembayaran
SPP dari para pelajar atau mahasiswa untuk biaya studi.[26]
v Hawalah
Hiwalah ialah memindahkan hutang dari tanggungan seseorang kepada
tanggungan yang lain.[27] Hiwalah disyari’atkan untuk memberikan
kemudahan bagi hamba-hambaNya dalam kehidupan muamalah. Melalui akad
hiwalah, memungkinkan seseorang yang mengalami kesulitan untuk
mengalihkan sesuatu yang masih menjadi tanggungannya (hutang) kepada
pihak lain.[28]
Dalam praktiknya, perikatan ini biasanya dilakukan pada produk perbankan
berikut ini:[29]
![Page 6: Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah Dalam Perbankan Syari](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022082414/5695d2c21a28ab9b029b9eeb/html5/thumbnails/6.jpg)
a) Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b) Post dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
c) Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah.
Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee,
sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.
v Kafalah
Menurut Pasal 612 HUH Perdata Islam hak jaminan (kafalah) adalah suatu
bentuk penambahan kewajiban kepada suatu tanggungan yang berkaitan
dengan adanya permintaan atas barang tertentu; artinya seseorang
menggabungkan dan mengikatkan dirinya kepada orang lain, dengan sesuatu
yang berkaitan dengan adanya penambahan kewajiban bagi orang lain
tersebut.[30]
Pada perikatan ini, bank berkedudukan sebagai pemberi jaminan (kafiil) atas
nasabahnya (makful), kemudian nasabah akan mendapatkan upah atas jasanya
tersebut selain harus mengembalikan dana yang telah dikeluarkan oleh bank
kepada penerima jaminan. Contohnya, kafalah dapat dilaksanakan pada
performance bonds atau jaminan prestasi.[31]
v Rahn
Perjanjian gadai adalah merupakan perjanjian dua pihak, yaitu orang yang
berhutang (debitur), pemberi gadai, yaitu orang yang menyerahkan benda yang
dijadikan objek perjanjian gadai serta orang yang berpiutang atau pemegang
gadai (kreditur).[32]
Rahn merupakan perikatan pemberian jaminan yang diberikan oleh nasabah
atas pinjamannya dari bank. Dalam bank syari’ah, rahn dapat digunakan
sebagai produk pelengkap dan produk tersendiri. Produk pelengkap itu yaitu
pada saat nasabah melakukan perikatan dalam bentuk lain (seperti
mudharabah, murabahah, dan lainnya), maka bank dapat meminta nasabah
untuk menyerahkan jaminan. Sebagai produk tersendiri, yaitu sering kali
dikenal dengan istilah gadai. Nasabah yang membutuhkan biaya dapat
menggadaikan barang miliknya. Barang ini kemudian dapat dinilai harganya,
sehingga bank dapat memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai dengan
![Page 7: Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah Dalam Perbankan Syari](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022082414/5695d2c21a28ab9b029b9eeb/html5/thumbnails/7.jpg)
nilai barang gadai tersebut. Dalam hal ini, bank akan memperoleh keuntungan
berupa biaya penitipan dan pemeliharaan atas barang gadai tersebut. Apabila
pinjaman telah lunas, maka barang gadai akan dikembalikan kepada nasabah
yang bersangkutan.[33]
nuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 11
[3] Ibid, hlm 12
[4] Ibid, hlm 12
[5] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 154
[6] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 155
[7] Ibid, hlm 155
[8] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 156
[9] Ibid, hlm 156
[10] Ibid, hlm 156-157
[11] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 157
[12] Ibid, hlm 157
[13] Ibid, hlm 158
[14] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 116
[15] Ibid, hlm 116
[16] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 74
![Page 8: Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah Dalam Perbankan Syari](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022082414/5695d2c21a28ab9b029b9eeb/html5/thumbnails/8.jpg)
[17] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 158
[18] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 52
[19] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 158-159
[20] Ibid, hlm 159
[21] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 306
[22] Muhammad Syafi’I Antonio, 2002, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, hlm 133
[23] Muhammad Syafi’I Antonio, 2002, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, hlm 162 dan 163
[24] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 320
[25] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 147
[26] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 159-160
[27] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 312
[28] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 139
[29] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 160
[30] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 153
[31] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 160
[32] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 139
[33] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 160-161