pemanfaatan model climex untuk analisis potensi … filepemanfaatan model climex untuk analisis...

43
PEMANFAATAN MODEL CLIMEX UNTUK ANALISIS POTENSI SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI SARAH BALFAS DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Upload: dangthuy

Post on 25-Mar-2019

243 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PEMANFAATAN MODEL CLIMEX UNTUK ANALISIS

POTENSI SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI

SARAH BALFAS

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

RINGKASAN

SARAH BALFAS. Pemanfaatan Model Climex untuk Analisis Potensi Serangan Hama

Penggerek Buah Kopi. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan YON SUGIARTO.

Hama penggerek buah kopi/PBKo (Hypothenemeus hampei Ferr.) sejak lama menimbulkan

kerugian besar pada perkebunan kopi di Indonesia. Gangguan ini perlu ditanggulangi secara

sistematis. Potensi serangan H. hampei Ferr di suatu wilayah dapat diprediksi dengan

memperhitungkan parameter-parameter iklim. Model Climex menggunakan beberapa fungsi

sederhana untuk menggambarkan respon spesies terhadap suhu dan kelembaban. Potensi serangan

spesies diwakili dengan nilai indeks ekoklimatik (EI). Dalam studi ini, dilakukan kajian pada 3

wilayah dengan ketinggian berbeda yaitu Bogor Barat 350m dpl, Kuningan 548m dpl, dan Pacet 1130m dpl. Hasil analisa dari fungsi compare location menunjukkan bahwa ketiga wilayah kajian

memiliki iklim yang cocok untuk pekembangan hama PBKo. Wilayah berpotensi terkena serangan

hama PBKo paling tinggi yaitu Pacet dengan nilai EI 81. Pada lokasi ini tidak terdapat indeks

cekaman apapun sehingga hama PBKo di Pacet dapat berkembang secara optimal. Fungsi compare

years menunjukkan perkembangan hama secara kontinu dari tahun ke tahun. Hasil analisis

menunjukkan indeks cekaman kering pada bulan Juni hingga Desember di wilayah Kuningan yang

berdampak pada penurunan nilai EI yang menekan perkembangan hama PBKo hingga pada titik

letal. Sementara di Bogor terdapat cekaman lembab, namun nilainya terlalu kecil sehingga hampir

tidak mempengaruhi nilai EI. Simulasi perubahan iklim yang dilakukan dengan mensimulasi

peningkatan suhu dan variasi curah hujan menunjukkan respon terhadap suhu lebih bervariatif

dibandingkan curah hujan. Fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan hama PBKo lebih

sensitif terhadap perubahan suhu. Prediksi potensi serangan menggunakan model Climex dapat mewakili luas serangan di lapangan dimana pola nilai EI mingguan mendekati luas serangan di

lapangan. Kualitas dan tingkat kepercayaan dari prediksi model Climex ditentukan oleh kualitas

dari data pendukung. Prediksi akan semakin baik apabila data pendukung lainnya seperti peta

distribusi, data kelimpahan musiman, dan sebagainya tersedia secara lengkap dan akurat.

Kata kunci: Hama Penggerek Buah Kopi, Climex, potensi serangan, Indeks Ekoklimatik.

ABSTRACT

SARAH BALFAS. The Attack Potential Analysis of Coffee Berry Borer Using CLIMEX Model.

Supervised by YONNY KOESMARYONO and YON SUGIARTO.

The Coffee Berry Borer (Hypothenemeus hampei Ferr.) as well known as Penggerek Buah Kopi

(PBKo) has caused excessive losses in Indonesian coffee plantations. This problem need to be

avoid systematically. Preventing such losses can be approached through the use of ecoclimatic

prediction. Climex is an ecoclimatic computer-based program to predict the potential spread of

PBKo in some certain regions. Using minimum data set and some simple functions, Climex can

describe the species responses against temperature and humidity. The attack potential of the

species was represented by Ecoclimatic Index (EI). The study examined prediction in three regions on the basis of different elevation, i.e., Bogor 350m asl, Kuningan 548m asl and Pacet 1130m

asl. The analysis of ‘compare location’ function indicates that the climate of these three locations

are suitable for the PBKo’s distribution. Pacet is the most suitable climate with highest EI value.

There is no stress indication in this area so that PBKo could spread optimally. Analysis of

‘compare years’ function indicates that the spread existed from year to year. The results show a

dry stress index from June to December in Kuningan area which affected a decrease of EI value

and suppressed the spread of PBKo towards the lethal point. Meanwhile wet stress occurred in

Bogor, although its value is too low to affect the EI value. Simulation of climate changes function

shows that the attack response to the temperature changes is more varied than rainfall. This

phenomenon indicates that the spread of PBKo is more sensitive against temperature changes. The

use of Climex prediction could represent the actual field attack where the pattern of the actual field

attack is close to the EI value.

Keywords: Coffee Berry Borer, Climex, potential attack, Ecoclimatic Index.

PEMANFAATAN MODEL CLIMEX UNTUK ANALISIS POTENSI

SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI

SARAH BALFAS

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

Judul Skripsi : Pemanfaatan Model Climex untuk Analisis Potensi Serangan

Hama Penggerek Buah Kopi

Nama : Sarah Balfas

Program Studi : Geofisika dan Meteorologi

NIM : G24062352

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS) (Yon Sugiarto, S.Si., M.Sc)

NIP: 19581228 198503 1 003 NIP: 19740604 199803 1 003

Mengetahui:

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS)

NIP: 196003051987032002

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas kehendak-Nya penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir (skripsi) ini tepat waktu. Penelitian dilaksanakan sejak akhir Februari

hingga Juli 2010. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan adalah perkembangan

hama terkait iklim, dengan judul Pemanfaatan Model CLIMEX untuk Analisis Potensi Serangan

Hama Penggerek Buah Kopi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS dan

Bapak Yon Sugiarto, S.Si. M.Sc selaku pembimbing. Terima kasih kepada Bapak Ir. Impron, M.Sc

selaku dosen penguji, Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, dan Bapak Ir. Bregas Budianto atas saran

dan masukannya. Penghargaan penulis sampaikan pula kepada beberapa pihak yang membantu

dalam pengumpulan data dan informasi mengenai data yang digunakan, diantaranya yaitu kepada Ibu Nani Suryani, Bapak Iwan Setiawan, dan staf UPTD BPTPH Provinsi Jawa Barat di Bandung,

Bapak Soewondo (BMKG pusat), Ibu Ida (BMKG Wilayah II), Ibu Woro (Balitklimat), dan Amri

HPT 42. Ungkapan terima kasih juga ditujukan kepada keluarga, khususnya orang tua yang selalu

memberi dukungan moril maupun doa.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan/kelemahan dalam karya ilmiah ini, karenanya

saran dan masukan sangat dihargai. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2010

Sarah Balfas

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Juni 1988. Penulis merupakan anak pertama dari

empat bersaudara, anak dari pasangan Bapak Ir. Jamal, M.Sc dan Ibu Soraya.

Penulis lulus dari SMA Kesatuan Bogor tahun 2006 dan diterima sebagai mahasiswa di

Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun

yang sama. Penulis memilih mayor Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam.

Selama masa perkuliahan penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi

(HIMAGRETO).

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. xii

I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1 1.2 Tujuan .................................................................................................................... 1

II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 1

2.1 Tanaman Kopi ........................................................................................................ 1

2.2 Hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) ...................................................................... 2

2.3 CLIMEX 3.0 .......................................................................................................... 4

III BAHAN DAN METODE ............................................................................................. 5

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................................. 5

3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................................... 5

3.3 Metode Penelitian .................................................................................................. 5

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................... 6

4.1 Keadaan Umum Wilayah Kajian. ............................................................................ 6

4.2 Potensi Serangan hama PBKo ................................................................................. 8

4.3 Kondisi Fisik Hama PBKo di Setiap Wilayah Kajian ............................................. 10

4.3.1 Kecamatan Bogor Barat ............................................................................... 10

4.3.2 Kecamatan Kuningan ................................................................................... 11

4.3.3 Kecamatan Pacet ......................................................................................... 11

4.4 Perbandingan nilai Ecoclimatic Index (EI) dengan serangan hama PBKo

di lapangan ........................................................................................................... 12

V KESIMPULAN ............................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 15

LAMPIRAN .............................................................................................................................. 17

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Syarat kondisi suhu yang diperlukan dalam siklus hidup H. hampei Ferr. .............................. 3

2 Hasil keluaran model compare location ................................................................................ 8

3 Hasil keluaran model climate scenario .................................................................................. 9

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Siklus hidup PBKo .............................................................................................................. 3

2 Tampilan software CLIMEX 3.0 .......................................................................................... 4

3 Histogram rata-rata curah hujan bulanan .............................................................................. 7

4 Grafik rata-rata kelembaban nisbi (RH) bulanan ................................................................... 7

5 Grafik rata-rata suhu bulanan ............................................................................................... 7

6 Hasil keluaran hubungan GIw dan stress terhadap waktu di Kecamatan Bogor Barat ........... 10

7 Hasil keluaran hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Bogor Barat ......... 10

8 Hasil keluaran hubungan GIw dan stress terhadap waktu di Kecamatan Kuningan ............... 11

9 Hasil keluaran hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Kuningan .............. 11

10 Hasil keluaran hubungan GIw dan stress terhadap waktu di Kecamatan Pacet ...................... 12

11 Hasil keluaran hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Pacet .................... 12

12 Perbandingan data hama dan Ecoclimatic Index Kecamatan Bogor Barat ............................. 14

13 Perbandingan data hama dan Ecoclimatic Index Kecamatan Kuningan ................................. 14

14 Perbandingan data hama dan Ecoclimatic Index Kecamatan Pacet ........................................ 14

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Contoh masukan basis data compare location ..................................................................... 17

2 Contoh masukan database compare years ........................................................................... 18

3 Masukan data fisik hama H. hampei Ferr. (PBKo) ............................................................... 20

4 Flowchart metode kerja ...................................................................................................... 21

5 Hasil keluaran compare location ......................................................................................... 22

6 Contoh hasil keluaran climate scenario ............................................................................... 25

7 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Bogor Barat ............................................ 26

8 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Kuningan ................................................ 27

9 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Pacet ....................................................... 28

10 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Bogor Barat ................... 29

11 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Kuningan ....................... 30

12 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Pacet ............................. 31

13 Hubungan nilai EI sebagai fungsi luas serangan tahun 2004-2009. ...................................... 32

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki iklim yang mendukung

budidaya perkebunan. Sektor perkebunan

Indonesia merupakan salah satu komoditi non

migas yang memiliki nilai ekonomi tinggi

dalam pemenuhan kebutuhan komoditi ekspor

maupun dalam negeri. Salah satu produk

perkebunan Indonesia yang dikenal dunia,

yaitu tanaman kopi (Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Jawa Barat 2006).

Kopi di Indonesia pada tahun 1930 hingga

1980an telah diakui sebagai kopi terbaik di

dunia. Kopi Jawa jenis Robusta dan Arabika

bahkan dianggap memiliki kualitas premium

dunia hingga menjadi favorit di tanah Eropa

dan Amerika (Santosa 2008).

Kopi jenis Robusta dan Arabika

merupakan 2 dari 40 jenis varietas kopi di

dunia yang paling banyak diperdagangkan.

Indonesia memproduksi 90% kopi Robusta dari 30% produksi dunia dan 10% kopi

Arabika dari 70% produksi dunia (Agustian

2008). Hal tersebut dapat terwujud karena

curah hujan dan tingkat keasaman tanah di

Indonesia sangat sesuai untuk tanaman kopi

(Santosa 2008).

Kendala yang banyak ditemukan dalam

proses produksi/budidaya tanaman kopi

adalah penerapan pengendalian hama terpadu

bagi masalah hama penyakit tanaman kopi

(Nitia 2001). Terutama pada produksi kopi ekspor yang harus memenuhi persyaratan

bebas hama penyakit. Upaya penanganan

hama penyakit karenanya dirasa penting demi

memenuhi syarat ekspor maupun peningkatan

mutu agar dapat bersaing di pasaran

internasional (Saptana et al. 2004).

Hama utama kopi yang dapat menurunkan

produksi dan mutu kopi yaitu hama penggerek

buah kopi (PBKo) Hypothenemus hampei

Ferr. PBKo sangat sensitif terhadap suhu dan

kelembaban. Gejala serangannya dapat terjadi

pada buah kopi yang muda maupun tua (masak), buah gugur mencapai 7-14% atau

perkembangan buah menjadi tidak normal dan

busuk (Nitia 2001). Sifat hama PBKo yang

cepat berkembang biak (invasif) menjadikan

hama ini dapat menyebabkan penurunan

produksi yang cukup besar. Serangan PBKo di

Lampung, misalnya, menyebabkan buah yang

berlubang mencapai 64%, sedangkan di Jawa

Timur kerusakan buah sekitar 61,5%. Pada

tingkat serangan tersebut, produksi menurun

hingga 30% dan mutu kopi yang dihasilkan rendah (Agustian 2008).

Potensi kerugian akibat hama PBKo

menunjukkan perlunya upaya pengendalian

hama yang tepat berdasarkan analisis potensi

serangan hama. Namun sumber-sumber

informasi mengenainya terbatas sehingga

suatu studi mengenai potensi serangan hama

terkait parameter iklim akan bermanfaat

dalam referensi strategi pengendalian hama.

Teknik analisis potensi serangan hama dapat

dilakukan dengan penerapan model simulasi

yang menggunakan berbagai peubah yang diintegrasikan langsung (Saptana et al. 2004).

Salah satu model simulasi yang dapat

digunakan adalah Climex (Climatic Index).

Climex merupakan model yang

dikembangkan untuk menduga potensi

serangan suatu spesies dengan memanfaatkan

parameter-parameter iklim (Sutherst et al.

2007). Hasil keluaran model berupa tabel,

grafik, atau peta sehingga mempermudah

analisis. Selain itu, model Climex dapat

membantu pemahaman mengenai dampak perubahan iklim terhadap distribusi spesies

dan potensi risiko dari spesies invasif di suatu

wilayah.

Keberhasilan pengendalian hama akan

tergantung pada pengetahuan mengenai

interaksi hama dengan tanaman dan

faktor‐faktor yang mendukung atau menekan

perkembangan hama tersebut. Oleh karena itu

identifikasi potensi serangan hama terkait

faktor iklim dapat mendukung penyusunan

strategi yang tepat untuk pengendalian hama.

2.1 Tujuan

Penelitian bertujuan menganalisis wilayah

potensi serangan hama penggerek buah kopi

(Hypothenemus hampei Ferr.) serta dampak

perubahan iklim terhadap tingkat serangan

hama dengan memanfaatkan model Climex.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kopi (Coffea sp)

- Karakteristik tanaman Kopi merupakan spesies tanaman

berbentuk pohon yang termasuk dalam famili

Rubiaceae dan genus Coffea. Umumnya

tanaman kopi mempunyai perakaran yang

dangkal meskipun termasuk tanaman tahunan.

Oleh karena itu tanaman ini mudah

mengalami kekeringan pada musim kemarau

(Aksi Agraris Kanisius 1998).

Tanaman kopi akan mulai berbunga

setelah berumur ± 2 tahun. Mula-mula bunga

ini keluar dari ketiak daun yang terletak pada

batang utama atau cabang reproduksi. Tetapi bunga yang keluar dari kedua tempat tersebut

2

biasanya tidak berkembang menjadi buah,

jumlahnya terbatas, dan hanya dihasilkan oleh

tanaman-tanaman yang masih sangat muda.

Bunga yang jumlahnya banyak akan keluar

dari ketiak daun yang terletak pada cabang

primer. Bunga ini berasal dari kuncup-kuncup

sekunder dan reproduktif yang berubah

fungsinya menjadi kuncup bunga. Kuncup

bunga kemudian berkembang menjadi bunga

secara serempak dan bergerombol

(http://lablink.or.id). - Syarat tumbuh, budidaya, dan pemanenan

Tanaman kopi tumbuh subur pada daerah

yang memiliki curah hujan 1500-2500

mm/tahun. Ketahanan pada bulan kering

(curah hujan<60 mm/bulan) yaitu 1-3 bulan.

Angin diperlukan dalam penyerbukan bunga

sehingga angin yang tidak terlalu kencang

sangat sesuai bagi pertumbuhan tanaman.

Tanaman kopi Robusta ditanam di lintang

20oLU-20oLS pada ketinggian 300-1500 mdpl

dengan suhu optimum 21°C sampai 24°C. Sedangkan tanaman kopi Arabika ditanam di

lintang 9oLU-24oLS pada ketinggian 1250-

1850 mdpl dengan suhu optimum 17°C

sampai 21°C (Aksi Agraris Kanisius 1998).

Tanah yang subur banyak mengandung

humus dan memiliki lapisan atas yang dalam

akan baik untuk pertumbuhan tanaman kopi,

selain itu tanah juga harus gembur dan

permeabel. Akar tanaman kopi membutuhkan

oksigen yang tinggi, yang berarti tanah yang

drainasenya kurang baik dan liat akan tidak cocok. Tanah yang tekstur/strukturnya cocok

adalah tanah yang cukup mengandung pasir.

Keadalaman air tanah yang ideal minimal

3 meter dari permukaan tanah. Derajat

keasaman tanah (pH) antara 5.5 sampai 6.5.

Dalam penanamannya, pembibitan dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu pembiakan

secara genertaif dengan menanam biji

(zaaling), dan pembiakan secara vegetatif

dengan sambungan atau stek. Bibit kopi dapat

ditanam setelah umur 8‐9 bulan di persemaian kemudian dilakukan penanaman biji.

Pemanenan buah kopi dilakukan secara

manual dengan cara memetik buah yang telah

masak. Ukuran kematangan buah ditandai

oleh perubahan warna kulit buah. Kulit buah

berwarna hijau tua ketika masih muda,

berwarna kuning ketika setengah masak dan

berwarna merah saat masak dan menjadi

kehitam‐hitaman setelah masa masak terlewati

(over ripe). Kematangan buah kopi juga dapat

dilihat dari kekerasan dan komponen senyawa gula di dalam daging buah. Buah kopi yang

masak mempunyai daging buah lunak dan

berlendir serta mengandung senyawa gula

yang relatif tinggi sehingga rasanya manis

(http://ideelok.com).

- Manfaat tanaman kopi

Kafein yang terkandung didalam kopi

adalah zat kimia yang berasal dari tanaman

yang dapat menstimulasi otak dan sistem

saraf. Kafein tergolong jenis alkaloid yang

juga dikenal sebagai trimetilsantin. Kafein

dapat melegakan napas penderita asma dengan

cara melebarkan saluran bronkial yang

menghubungkan kerongkongan dengan paru. Kafein dapat menangkal radikal bebas dan

menghancurkan molekul yang dapat merusak

sel DNA. Kafein juga melindungi jantung dan

kanker serta dipercaya dapat mengurangi

derita sakit kepala (Iwan 2009).

Tanaman kopi sendiri berfungsi sebagai

sarana konservasi tanah dan air ditinjau dari

sifat-sifat botani tanaman kopi. Sehingga

budidaya kopi memiliki fungsi lindung bagi

daerah aliran sungai. Dan secara finansial

budidaya kopi mampu memberikan keuntungan bagi petani sekaligus

menyediakan lapangan kerja secara

berkelanjutan (Budidarsono dan Wijaya

2004).

2.2 Hama Penggerek buah kopi

(Hypothenemus hampei Ferr.) Hypothenemus (=Stephanoderes) hampei

(Ferr.), atau penggerek buah kopi berasal dari

Afrika Sentral namun tersebar melalui

pengepakkan biji kopi ke negara-negara lain. Pertama ditemukan di Jawa pada tahun 1909

(Khalsoven 1981).

Tanaman kopi yang paling rentan

terserang adalah kopi robusta dan kopi yang

ditanam di ketinggian yang rendah. Secara

fisik tubuhnya berwarna hitam dengan

prothorax sedikit kemerah-merahan, betina

berukuran 2.5 mm, jantan 1.6 mm. PBKo

merupakan organisme pengganggu tanaman

(OPT) utama tanaman kopi karena

perkembangannya yang pesat (Baker et al.

1992). - Daur hidup

Serangga betina menggerek ke dalam buah

kopi untuk bertelur dan makan sementara

serangga jantan hanya untuk makan.

Perbandingan jumlah serangga jantan dan

betina yaitu 1:20, namun 1 jantan dapat

mengawini 12 serangga betina dan setiap

serangga betina dapat bertelur hingga 70 butir

(Khalsoven 1981).

3

Gambar 1 Siklus hidup PBKo

(http://ars.usda.gov; Jaramilo et al. 2009).

Siklus hidup serangga dalam buah adalah

sebagai berikut:

Telur menetas menjadi larva yang

mengonsumsi biji kopi.

Larva menjadi kepompong di dalam biji.

Dewasa (serangga) keluar dari kepompong. Hama jantan dan betina

kawin di dalam buah kopi, kemudian

sebagian betina terbang ke buah lain untuk

masuk, lalu bertelur lagi. Hama jantan

tidak bisa terbang sehingga tetap di dalam

buah tempat lahirnya sepanjang hidup.

(Hindayana et al. 2002).

Pada kopi yang bijinya mulai mengeras,

umur stadium telur yaitu 6 – 9 hari. Lama

stadium larva 10 – 15 hari, prapupa 2 hari dan

stadium pupa 4 – 9 hari. Masa perkembangan

dari telur sampai dewasa 20 – 36 hari. Lama

hidup serangga betina rata‐rata 115 hari dan

serangga jantan maksimum 103 hari

(Khalsoven 1981; Hindayana et al. 2002).

- Populasi dan Serangan

PBKo sangat merugikan, karena mampu

merusak biji kopi dan sering mencapai

populasi yang tinggi. Pada umumnya, hanya

serangga betina yang sudah kawin yang akan

menggerek buah kopi; biasanya masuk ke

dalam buah kopi dengan cara membuat lubang

di sekitar diskus. Serangga betina menyerang buah kopi yang sedang terbentuk, sejak 8

minggu setelah berbunga hingga waktu panen.

Serangga betina terbang dari pagi hingga sore.

PBKo mengarahkan serangan pertamanya

pada bagian kebun kopi yang bernaungan,

lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika

tidak dikendalikan, serangan dapat menyebar

ke seluruh kebun. Buah yang sudah tua paling

disukai. Pada buah tua dan kering yang

tertinggal setelah panen, dapat ditemukan

lebih dari 70 PBKo dalam 1 buah. Karena itu

penting sekali membersihkan kebun dari

semua buah yang tertinggal.

PBKo dapat berkembang biak dan bertahan hidup selama 1 tahun dalam peti

penyimpanan biji kopi yang tersimpan rapat.

Ketika tanaman kopi sedang tidak berbuah,

PBKo bertahan hidup dengan menggerek kayu

yang tidak keras atau tanaman stem, meskipun

tidak dapat berkembang biak.

Serangan pada buah muda menyebabkan

gugur buah, sedangkan serangan pada buah

yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat

berlubang‐lubang dan bermutu rendah.

- Pengaruh suhu dan kelembaban

Serangan PBKo hampir selalu terjadi pada

tanaman kopi Robusta dan tanaman kopi di

dataran rendah. Lamanya fase perkembangan

yaitu 20-36 hari tergantung pada suhu

(Khalsoven 1981).

Kemunculan hama terjadi maksimum pada

kelembaban 90% dengan suhu 20-25°C. Pada

kelembaban 90-100% terjadi peningkatan

yang signifikan. Namun apabila kelembaban

90-100% tetapi suhu udara di bawah 20°C,

maka kemunculan hama akan rendah bahkan mati pada 15°C. Suhu di atas 25°C tidak

memicu peningkatan populasi hama (Baker et

al. 1992). Kisaran suhu pada tahapan siklus

hidup H. hampei Ferr. adalah seperti yang

terlihat pada tabel 1.

Tabel 1 Syarat kondisi suhu yang diperlukan

dalam siklus hidup H. hampei Ferr

(Baker et al. 1992).

Siklus hidup Kisaran suhu

(°C)

Telur

Batas suhu perkembangan

maksimal

20-30

Batas lethal untuk menetas 33

Larva – Pupa

Batas suhu perkembangan

maksimal

20-30

Batas rentan untuk

perkembangan

30

Dewasa

Batas aktif 20-30

4

2.2 CLIMEX 3.0

Gambar 2 Tampilan software Climex 3.0.

Model Climex dikembangkan oleh CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial

Research Organisation) pertama kali pada

tahun 1985. Program ini awalnya dirancang

untuk memprediksi spesies tanaman dan

hewan asing (sebagian besar hama pertanian)

yang akan dapat bertahan jika masuk ke

Australia. Kemampuan untuk memprediksi

informasi ini sangat penting untuk melawan

spesies baru. Para ilmuwan perlu mengetahui

spesies mana yang cenderung akan menjadi

hama sehingga dapat menentukan prioritas spesies yang perlu dikendalikan. Kemudian

Climex semakin berkembang penggunanya,

bukan hanya di Australia saja tapi juga di

seluruh dunia. Saat ini Climex telah

digunakan di lebih dari 30 negara untuk

penggunaan di bidang pertanian dan lembaga

konservasi (Sutherst et al. 1999).

Tanaman dan hewan tertentu akan

menyukai kondisi iklim tertentu pula. Secara

umum iklim menentukan di mana hewan atau

tumbuhan tertentu ditemukan. Seringkali

faktor-faktor lain seperti jenis tanah, bentuk topografi, interaksi antara spesies (termasuk

manusia), dan batas-batas alam (yaitu padang

pasir, lautan, dan pegunungan) juga

mempengaruhi di mana spesies dapat bertahan

hidup, namun faktor yang paling dominan

adalah faktor iklim (Sutherst et al. 2007).

Climex memperkirakan kondisi iklim yang

disukai suatu spesies dengan melihat

distribusinya. Proses estimasi ini melibatkan

penyesuaian beberapa parameter iklim dalam

Climex sehingga hasil prediksi akan sesuai dengan distribusi spesies yang

diketahui. Setelah diketahui parameter-

parameter, kita dapat membuat prediksi

mengenai potensi distribusi spesies di lokasi

baru (Steven 2004).

- CLIMEX 3.0 dan CLIMEX 1.1

Climex 3.0 merupakan aplikasi DYMEX

dan memiliki tampilan yang lebih fleksibel

jika dibandingkan dengan versi Climex 1.1.

Secara umum masukan untuk beberapa fungsi

pada Climex ditambahkan guna meningkatkan

keakuratan hasil. Secara khusus, kemampuan

peta pada versi 3.0 jauh lebih kuat dengan

dukungan zoom dan pan. Met Manager pada

Climex versi 3.0 telah dapat mengaplikasikan

Microsoft Access sehingga mengatasi

masalah-masalah pengimporan data yang

sering terjadi di versi 1.1.

(http://hearne.com.au).

- Compare years dan compare location

Climex menggunakan serangkaian data

minimal dan beberapa fungsi sederhana untuk

menggambarkan respon spesies terhadap suhu dan kelembaban (Steven 2004). Menggunakan

pilihan fungsi compare years atau compare

location. Suatu indeks pertumbuhan

dinyatakan dengan Growth Index (GI)

mempresentasikan potensi pertumbuhan

populasi selama musim yang

baik/menguntungkan dan terdapat empat

indeks lainnya yang menyatakan stres atau

indeks cekaman (dingin (CS), panas (HS),

lembab (WS), dan kering (DS)) yang

mepresentasikan probabilitas populasi yang mampu bertahan melalui musim yang kurang

menguntungkan. Gabungan dari GI dan

indeks cekaman akan mengahasilkan suatu

nilai Ecoclimatic Index (EI) dimana nilai

tersebut menggambarkan suatu potensi

serangan spesies di suatu lokasi dengan

kisaran 0-100. Nilai 0 menunjukkan wilayah

tidak berpotensi terserang spesies yang telah

ditentukan dan sebaliknya untuk nilai 100.

Nilai EI memberikan perkiraan potensi

persebaran spesies secara geografis dalam jangka waktu yang lama atau time series.

Hasil keluaran dapat berupa tabel, grafik atau

peta (Sutherst et al. 2007).

- Match climate

Match climate merupakan fungsi

pencocokan iklim dengan spesies yang dapat

digunakan dalam keadaan tidak diketahuinya

informasi mengenai distribusi spesies. Fungsi

match climate memungkinkan pengguna

untuk secara langsung membandingkan suhu,

curah hujan, pola hujan, dan kelembaban

relatif dari suatu lokasi tertentu dengan sejumlah lokasi lainnya. Dapat pula

digunakan dalam identifikasi lokasi lain yang

memiliki iklim serupa dengan lokasi yang

dikaji untuk menilai resiko dari spesies pada

lokasi lain tersebut. Hasil keluaran

mempresentasikan serangkaian kesesuaian

iklim yang berindikasi baik atau sesuai untuk

variabel iklim tertentu yang dipilih. Fungsi ini

banyak digunakan dalam menentukan daerah

beresiko tersebar spesies (Steven 2004).

- Climate scenario Perubahan iklim mempunyai efek yang

serupa terhadap suatu spesies sebagai relokasi

5

ke lingkungan yang baru. Terdapat fungsi

climate scenario pada Climex yang dapat

membuat skenario perubahan iklim yang

disesuaikan dengan wilayah yang dikaji

(Sutherst et al. 2007). Dampak perubahan

iklim terhadap kesesuaian musiman dapat

dieksplorasi untuk melihat pertumbuhan

populasi. Dengan demikian pengguna dapat

mempertimbangkan potensi dampak dari

perubahan iklim terhadap kelimpahan dan

distribusi spesies (http://hearne.com.au).

III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Laboratorium

Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan

Meteorologi, FMIPA, IPB. Waktu

pelaksanaan penelitian yaitu Februari 2010

hingga Juli 2010.

3.2 Bahan dan Alat

1. Data iklim harian (suhu, curah hujan, dan

kelembaban udara) stasiun Darmaga,

Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten

Bogor tahun 2004-2009. 2. Data iklim bulanan (suhu, curah hujan,

dan kelembaban udara) stasiun Pacet,

Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur dan

stasiun Kuningan, Kecamatan Kuningan,

Kabupaten Kuningan tahun 2004-2009.

3. Data geografis Kecamatan Bogor Barat,

Kecamatan Pacet, dan Kecamatan

Kuningan.

4. Data serangan hama PBKo di lapangan

Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan

Pacet, dan Kecamatan Kuningan. 5. Seperangkat PC (Personal Computer).

6. Perangkat lunak (software) Climex v.3.0,

CLIMGEN v.2.0, Microsoft Office, dan

notepad.

3.3 Metode

1. Studi literatur Climex dan hama penggerek

buah kopi (Hypothenemus hampei Ferr.).

Metode ini dilakukan untuk memahami sifat dan perilaku hama PBKo

(Hypothenemus hampei Ferr.) terutama

keterkaitannya dengan unsur-unsur iklim

dan mempelajari proses kerja Climex 3.0.

Literatur rujukan yang digunakan berupa

jurnal, buku cetak, informasi internet

(website), dan tulisan-tulisan ilmiah

lainnya yang berhubungan.

2. Persiapan data.

Data hama diperoleh dari Dinas Proteksi

Tanaman Perkebunan-Bandung. Data iklim harian Bogor diperoleh dari BMKG-

Jakarta. Data iklim bulanan Pacet dan

Kuningan diperoleh dari Balitklimat-

Bogor.

Terdapat keterbatasan data harian Pacet

dan Kuningan sehingga dilakukan

pembangkitan data harian dari data iklim

bulanan wilayah Pacet dan Kuningan

dengan menggunakan software CLIMGEN

v.2.0, yang diperoleh dari laboratorium

Klimatologi, departemen Geofisika dan

Meteorologi, FMIPA, IPB. ClLIMGEN v.2.0 merupakan versi yang telah

dikembangkan oleh Dr. Rizaldi Boer dan

tim.

3. Pengolahan data menggunakan model

Climex 3.0.

- Pembuatan basis data iklim dan wilayah

Tidak terdapat basis data wilayah kajian

pada Climex, oleh karenanya perlu

dimasukkan data iklim dan data wilayah

atau data geografis kajian (keterangan

nama lokasi, letak lintang, bujur, dan ketinggian tempat). Untuk memasukkan

wilayah kajian dalam fungsi compare

location, diperlukan 3 bentuk data yaitu

file dalam bentuk *.LOC untuk data

geografis dan dalam bentuk *.MET dan

*.mm untuk data iklim bulanan. Ketiga

bentuk data tersebut dibuat pada notepad

dan Ms Acces, kemudian dibantu dengan

Metmanager pada Climex

(Metmanager>import) untuk memanggil

data tersebut dan menjalankan fungsi compare location.

Sementara basis data iklim dibuat dengan

memasukkan data iklim harian time series

dengan bantuan notepad yang disimpan

dalam bentuk *DAT file. Basis data ini

kemudian digunakan dalam fungsi

compare years pada Climex.

- Penentuan masukan parameter spesies

Parameter spesies merupakan nilai

kesesuaian suatu spesies dalam

menyesuaikan diri dengan faktor-faktor

iklim di wilayah tertentu. Parameter ini menjadi masukan dalam menjalankan

Climex yang diperoleh dari literatur.

Dalam kajian ini dibuat parameter spesies

H. hampei Ferr. dengan menduplikat

template wet tropical kemudian merubah

nama dan parameternya sesuai literatur.

- Menjalankan model Climex 3.0 untuk

memperoleh nilai indeks ekoklimatik (EI).

Indeks ekoklimatik (EI) menunjukkan

potensi serangan hama. Hasil yang

diperoleh dari fungsi compare location memperlihatkan potensi sebaran H.hampei

Ferr. di tiga wilayah yang dikaji secara

6

umum terkait kesesuaiannya dengan

parameter iklim. Sementara hasil compare

years menggambarkan potensi sebaran

suatu wilayah secara geografis dalam

kurun waktu yang lama (time series).

Adapun konsep perhitungan nilai EI

sebagai berikut,

Ecoclimatic Index (EI) = GIA x SI x SX

dimana:

GIA= Annual Growth Index

SI = Annual Stress Index SX = Annual Interaction Index

Index perkembangan hama harian (GIA)

yang memiliki skala 0-100 diperoleh dari

nilai pertumbuhan mingguan dengan

persamaan berikut,

GIA=

GIw= TIw x MIw x LIw x RIw x SVw x DIw

dimana:

GIw = Weekly Growth Index

TIw = Weekly Temperature Index

MIw = Weekly Moisture Index

LIw = Weekly Light Index

RIw = Weekly Radiation Index

SVw = Weekly Substrate Index DIw = Weekly Diapause Index

Indeks cekaman mepresentasikan

probabilitas populasi yang mampu

bertahan melalui musim yang kurang

menguntungkan bagi spesies. Berikut

persamaan yang digunakan untuk mencari

nilai indeks cekaman (Stress Index),

SI = (1- )(1- )(1- )(1- )

dimana:

CS = Annual Cold stress HS = Annual Heat stress

DS = Annual Dry stress

WS = Annual Wet stress

Indeks interaksi cekaman merupakan nilai

yang menunjukkan hubungan antar indeks

cekaman. Indeks interaksi cekaman

diperoleh dari persamaan,

SX = (1- )(1- )(1- )(1- )

dimana: CDX = Annual cold-dry

CWX = Annual cold-wet

HDX = Annual hot-dry

HWX = Annual hot-wet

4. Analisis hasil keluaran Climex 3.0

Hasil keluaran (output) Climex 3.0 berupa

data dan grafik kemudian dilakukan

analisis. Dalam penelitian ini hasil yang

dianalisis adalah potensi persebaran hama

PBKo (Hypothenemeus hampei Ferr.) dan

pengaruh perubahan iklim terhadap

kelimpahan dan distribusinya.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Wilayah Kajian Wilayah kajian memiliki karakteristik

iklim dan topografi yang berbeda. Kecamatan

Bogor Barat terletak pada ketinggian 190-

350m dpl. Topografi cenderung landai dan

sedikit berbukit, kemiringan lereng 0-15%.

Kecamatan Pacet berada pada ketinggian

1000–1500m dpl dengan kemiringan lereng 8-

15%. Karakteristik topografi Kecamatan Pacet

berupa perbukitan berelief halus. Sedangkan

Kecamatan Kuningan terletak pada 500-

1000m dpl dengan karakteristik topografi relatif datar dengan variasi berbukit-bukit.

Pola curah hujan Kecamatan Bogor Barat,

Kuningan, maupun Pacet yaitu Monsoon. Pola

tersebut dicirikan dengan bentuk pola hujan

unimodal dimana puncak curah hujan tertinggi

terjadi satu kali pada bulan tertentu seperti

tampak pada Gambar 3. Curah hujan relatif

tinggi selama enam bulan dan enam bulan

berikutnya curah hujan relatif lebih rendah.

Bogor Barat mengalami puncak curah

hujan tertinggi pada bulan November. Rata-rata curah hujan mencapai 3909 mm/tahun.

Jumlah curah hujan bulanannya selalu tinggi

sepanjang tahun dikarenakan Bogor berada di

daerah lereng hujan (sisi gunung yang

dilewati desakan angin). Hal tersebut

mengakibatkan sering terjadinya hujan

orografik, yakni hujan yang terbentuk akibat

pendinginan uap air (pembentukan awan)

disebabkan oleh desakan angin dari arah

pantai naik ke atas pegunungan (Sopian

2008). Pacet, memiliki curah hujan hampir

selalu tinggi sepanjang tahun meskipun lebih bervariasi jika dibandingkan dengan Bogor

Barat. Puncak curah hujan terjadi di bulan

November dengan rata-rata curah hujan yaitu

3192 mm/tahun. Menurut klasifikasi iklim

Oldeman, Bogor Barat termasuk iklim tipe A1

dimana bulan basah terjadi 10 bulan berturut-

turut. Iklim tipe ini merupakan iklim hujan

tropis tanpa periode bulan kering yang nyata.

Sementara Pacet termasuk iklim tipe B

dimana bulan basah terjadi selama 8 bulan

berturut-turut.

7

Gambar 3 Histogram rata-rata curah hujan

bulanan (periode 2004-2009).

Puncak curah hujan Kuningan terjadi pada

bulan Januari dengan rata-rata curah hujan

paling rendah dibanding 2 wilayah lainnya

yaitu 1956 mm/tahun. Bulan basah terjadi

selama 5 bulan yaitu Desember-April. Tipe iklim seperti ini termasuk iklim tipe C, bulan

basah berturut-turut terjadi selama 5-6 bulan

atau bulan kering berturut-turut terjadi selama

4-6 bulan.

Kelembaban nisbi (RH) merupakan

perbandingan antara tekanan uap aktual (ea)

dengan tekanan uap jenuh (es). Nilai tekanan

uap aktual ditentukan oleh kandungan uap air

aktual dan tekanan uap jenuh ditentukan oleh

kapasitas udara untuk menampung air

(Handoko 1995). Pada Gambar 4, tampak perbandingan RH rata-rata pada ketiga

wilayah kajian. Fluktuasi nilai RH hampir

serupa diantara ketiganya yaitu relatif tinggi

antara bulan November hingga April dan lebih

rendah di bulan sisanya yang merupakan

bulan kering atau memasuki bulan kemarau.

Ketika musim hujan, kandungan uap air di

atmosfer akan lebih besar sehingga nilai ea

akan tinggi dan menyebabkan nilai RH tinggi.

Kelembaban rata-rata tahunan Bogor

Barat, Kuningan, dan Pacet tidak jauh

berbeda, berturut-turut yaitu 79%, 81%, dan 82%. Nilai RH tersebut bersesuaian dengan

letak wilayah terendah hingga tertinggi. RH

cenderung lebih rendah di dataran rendah

dikarenakan suhu di dataran rendah lebih

tinggi. Sehingga pada tekanan uap aktual (ea)

tetap, suhu udara yang semakin tinggi akan

membuat tekanan uap jenuh (es) meningkat.

Penyebaran suhu vertikal menunjukkan

bahwa secara umum suhu akan semakin

rendah seiring bertambahnya ketinggian.

Rata-rata penurunan suhu menurut ketinggian di Indonesia yaitu 5-6oC/km (Handoko 1995).

Gambar 5 menunjukkan terlihat jelas bahwa

suhu rata-rata Bogor Barat paling tinggi

disusul dengan Kuningan dan Pacet. Rata-rata

suhu udara Bogor Barat berkisar antara 23.5-

25.80C, Kuningan antara 23.5-25.1

0C, dan

Pacet antara 19.2-21.70C. Sesuai dengan

ketinggian masing-masing wilayah .

Fluktuasi suhu antar bulan tampak serupa

jika dilihat sekilas, namun suhu terendah

Bogor Barat seringkali tercapai pada pada

bulan Februari, Kuningan pada bulan Agustus,

dan Pacet pada bulan Juli. Sedangkan suhu tertinggi Bogor Barat dan Kuningan seringkali

terjadi pada bulan Oktober dan Pacet pada

bulan November. Intensitas radiasi matahari

yang tinggi sepanjang tahun di daerah tropis

menyebabkan fluktuasi suhu harian sepanjang

tahun lebih kecil dibandingkan fluktuasi suhu

diurnal.

Menurut data Simakit 2009, luas

perkebunan kopi di Bogor Barat yaitu 445 Ha.

Sedangkan di wilayah Pacet terdapat seluas

85.5 Ha,dan wilayah Kuningan seluas 62 Ha.

Gambar 4 Grafik rata-rata kelembaban nisbi

(RH) bulanan (periode 2004-

2009).

Gambar 5 Grafik rata-rata suhu bulanan

(periode 2004-2009).

0

100

200

300

400

500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cu

rah

Hu

jan

Bulan

Bogor Barat Kuningan Pacet

72

74

76

78

80

82

84

86

88

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

RH

Bulan

Bogor Barat Kuningan Pacet

15

17

19

21

23

25

27

29

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Su

hu

Bulan

Bogor Barat Kuningan Pacet

8

4.2 Potensi Serangan Hama PBKo

Model Climex memprediksi distribusi

spesies berdasarkan unsur-unsur iklim secara

geografis. Unsur-unsur lain seperti jenis tanah,

bentuk topografi, interaksi antara spesies, dan

sebagainya tidak diperhitungkan karena

meskipun juga berpengaruh namun dianggap

tidak mendominasi.

Informasi parameter iklim menurut

sensitivitas serangga yang paling banyak

diperlukan dalam menjalankan model Climex adalah parameter suhu. Menurut Nasir (2002),

suhu sangat erat hubungannya dengan

pertumbuhan dan perkembangan vegetasi

maupun hewan/serangga terkait proses kimia

dalam sel ketika bertumbuh dan berkembang

menggunakan katalisator enzim. Enzim

merupakan protein, bahan yang sensitif

terhadap suhu.

Salah satu fungsi Climex, compare

location, dapat membantu memperkirakan

potensi serangan hama di beberapa wilayah sekaligus. Fungsi ini memanfaatkan parameter

spesies yaitu nilai cekaman yang membatasi

distribusi geografis dan batas kondisi spesies

tidak bertahan.

Menurut Sutherst et al. (2007), nilai EI

diatas 30 menunjukkan ketiga wilayah kajian

(Kecamatan Bogor Barat, Pacet, dan

Kuningan) memiliki iklim yang mendukung

perkembangan hama PBKo, namun nilai EI

Kecamatan Pacet jauh lebih tinggi yaitu 81

(Gambar 2). Nilai indeks cekaman pada wilayah Pacet

dan Bogor Barat sama dengan nol sehingga

nilai GI yang menunjukkan kondisi nyaman

hama PBKo sama dengan nilai EI. Sedangkan

wilayah Kuningan mengalami cekaman kering

(DS). Nilai cekaman kering tidak besar

sehingga hanya sedikit mengurangi nilai EI.

Nilai MI mempresentasikan kelembaban

tanah sebagai faktor dominan prediksi

kelembaban dari vegetasi dan kondisi iklim

mikro. Perkembangan hama akan maksimum

ketika nilai MI sama dengan 100. Wilayah Kuningan memiliki kondisi kelembaban tanah

yang paling kurang mendukung

perkembangan hama PBKo, bahkan nilai MI

lebih kecil dari Bogor Barat. Namun wilayah

Kuningan memiliki nilai TI sempurna yaitu

100 yang menunjukkan kesesuaian iklim bagi

perkembangan hama. Oleh karenanya

meskipun nilai MI Kuningan lebih kecil dari

Bogor Barat namun nilai GI Kuningan lebih

besar. Nilai TI sendiri merupakan nilai respon

spesies terhadap siklus suhu harian yang diperhitungkan dengan mengembangkan

konsep day degrees.

Tabel 2 Hasil keluaran model compare

location

Output compare

location

Location

Bogor

Barat Pacet Kuningan

Total rain 3909 3186 1949

DD 4404 2156 3565

EI 52 81 64

GI 52 81 65

DS 0 0 2

HS 0 0 0

CS 0 0 0

WS 0 0 0

MI 73 82 65

TI 73 100 100 Keterangan:

Total Rain = total rain/year

DD = Day Degree

EI = Ecoclimatic Index

GI = Growth Index

DS = Dry Stress

HS = Heat Stress

CS = Cold Stress

WS = Wet Stress

MI = Moisture Index

TI = Temperature Index

Serangga memerlukan sejumlah unit panas

(dalam satuan day degree/derajat hari) untuk

berkembang dari satu tahap ke tahap lain dalam siklus hidupnya (Gordan 1999).

Menurut Jaramillo et al. (2009), unit panas

hama PBKO yaitu 517.6 derajat hari.

Nilai DD pada hasil keluaran

menunjukkan akumulasi termal yang tersedia

pada suatu wilayah per tahunnya dalam satuan

day degrees (DD). Nilai DD tersebut dapat

digunakan untuk mengetahui jumlah

maksimum generasi hama per tahun dengan

membagi nilai DD dengan unit panas hama.

Sehingga diperoleh informasi bahwa di

wilayah Bogor Barat hama PBKo dapat beregenerasi maksimum hingga 8

generasi/tahun, wilayah Kuningan 6

generasi/tahun, dan wilayah Pacet 4 generasi/

tahun. Unit panas di Bogor Barat lebih tinggi

sehingga kebutuhan unit panas yang

dibutuhkan hama PBKo untuk memenuhi

siklus hidupnya lebih cepat terpenuhi. Dengan

demikian siklus hidup menjadi lebih singkat

dan cenderung menurunkan jumlah telur yang

direproduksi.

Model Climex juga dapat mensimulasikan dampak perubahan iklim. Dengan mengatur

kondisi perubahan iklim (suhu dan curah

hujan) pada fungsi climate scenario, maka

akan tampa perubahan potensi serangan hama

9

setelah terjadinya perubahan iklim. Perubahan

iklim dapat mempengaruhi serangga secara

langsung, diantaranya mempengaruhi siklus

hidup, jumlah generasi per tahun, fenologi,

kisaran distribusi, dan ketahanan terhadap

perubahan iklim (Jaramillo et al. 2005).

Menurut Intergovernmental Panel on

Climate Change (IPCC), perkiraan kenaikan

suhu global rata-rata hingga akhir abad 21

yaitu 1.4-5.80C (IPCC 2007) sementara curah

hujan akan berkurang 10-20% di wilayah subtropis dan bertambah 10-20% di wilayah

tropis (Kunzeman 2010). Sementara saat ini

kenaikan suhu global sejak 1901 diperkirakan

telah mencapai 0.740C (IPCC 2007). Kondisi

pemanasan global yang dipresentasikan IPCC

dapat menyebabkan penurunan produksi kopi

secara drastis di Brazil dan beberapa wilayah

tropis lainnya (Camargo & Marcelo 2009).

Dengan demikian penggunaan climate

scenario dalam kajian ini disimulasikan

dengan pertimbangan apabila terjadi kenaikan

suhu sebesar kenaikan suhu saat ini yaitu

0.70C, kemudian apabila terjadi perkiraan

kenaikan suhu global minimum hingga akhir

abad 21 yaitu 1.40C serta nilai tengahnya yaitu

30C sebagai kondisi paling ekstrim. Sementara curah hujan disimulasikan dengan perubahan

curah hujan 10% dan 20%.

Hasil keluaran simulasi menunjukkan

respon dari perubahan iklim yang terjadi

(Tabel 3).

Tabel 3 Hasil keluaran climate scenario

Tidak ada

perubahan

iklim

Suhu Curah hujan

+0.70C +1.40C +30C +10% ­10% +20%

Bogor Barat

DD 4404 4658 4913 5496 4404 4404 4404

EI 52 43 35 15 47 57 41

GI 52 43 35 15 47 57 41

DS 0 0 0 0 0 0 0

HS 0 0 0 0 0 0 0

CS 0 0 0 0 0 0 0

WS 0 0 0 0 0 0 0

MI 73 73 73 73 66 80 59

TI 73 61 50 23 73 73 73

Kuningan

DD 3565 3820 4075 4657 3565 3565 3565

EI 64 63 61 47 64 64 64

GI 65 64 62 49 65 66 64

DS 2 2 3 3 1 3 1

HS 0 0 0 0 0 0 0

CS 0 0 0 0 0 0 0

WS 0 0 0 0 0 0 0

MI 65 65 64 63 65 66 64

TI 100 98 95 75 100 100 100

Pacet DD 2156 2407 2660 3243 2156 2156 2156

EI 81 82 82 82 76 86 71

GI 81 82 82 82 76 86 71

DS 0 0 0 0 0 0 0

HS 0 0 0 0 0 0 0

CS 0 0 0 0 0 0 0

WS 0 0 0 0 0 0 0

MI 82 82 82 82 76 86 71

TI 100 100 100 100 100 100 100

10

Penambahan maupun pengurangan jumlah

curah hujan tidak menunjukkan perubahan signifikan pada indeks keluaran kecuali MI

wilayah Bogor Barat. Nilai MI Bogor Barat

menurun akibat kondisi normal Bogor Barat

telah memiliki curah hujan tinggi sehingga

ketika ada penambahan curah hujan 10%

maupun 20% maka ketersediaan air akan

melebihi kapasitas lapang. Hal tersebut

menyebabkan kondisi kelembaban tanah

berubah dan mempengaruhi nilai growth

index (GI). Meskipun demikian kondisi

penurunan GI yang terjadi tidak besar.

Kenaikan suhu lebih mempengaruhi indeks-indeks keluaran terutama pada kondisi

kenaikan suhu 30C. Nilai TI pada Bogor Barat

menurun drastis dari 73 menjadi 23, sehingga

perubahan nilai EI pun besar. Suhu di

wilayah tersebut berubah menjadi melebihi

ambang batas suhu toleran siklus hidup hama

PBKo. Nilai EI menurun hingga 15,

menunjukkan kondisi iklim Bogor Barat

berubah menjadi tidak nyaman lagi bagi

kelangsungan hidup hama PBKo. Sedangkan

pada kondisi kenaikan suhu 0.70C dan 1.40C, diketahui bahwa nilai EI juga menurun

menjadi 43 dan 35 menunjukkan serangan

hama PBKo masih dapat berkembang baik di

wilayah Bogor Barat namun serangannya

tidak setinggi sebelumnya (tidak terjadi

perubahan iklim).

Menurut Huffaker et al. (1999),

suhu merupakan salah satu unsur yang paling

penting dan kritis bagi faktor-faktor abiotik

yang mempengaruhi perkembangan serangga

serta mempengaruhi dinamika populasi

serangga hama dan musuh alaminya. Dari hasil simulasi perubahan iklim diketahui

bahwa hama PBKo lebih sensitif terhadap

perubahan suhu daripada perubahan jumlah

curah hujan.

Menurut IPCC, skenario pemanasan global

menunjukkan suhu maksimum akan lebih

tinggi dan suhu minimum akan lebih rendah.

Berdasarkan informasi tersebut, Camargo &

Marcelo (2009) merumuskan dampak yang

berkonsekuensi pada penurunan produksi kopi

diantaranya yaitu pertumbuhan fisiologis tanaman akan lebih cepat sehingga

menyebabkan produksi lebih sedikit, risiko

serangan patogen hama meningkat, dan

dibutuhkannya irigasi yang lebih intensif.

4.3 Kondisi Fisik Hama PBKo di Setiap

Wilayah

Fungsi Climex yang lainnya yaitu

compare years. Fungsi tersebut dapat menguji

pengaruh variasi iklim terhadap kelimpahan

spesies selama beberapa tahun (kontinu) pada

suatu lokasi yang sama. Hasil keluaran berupa fluktuasi harian indeks-indeks

pendukung kenyamanan hama PBKo terkait

iklim dan indeks-indeks cekaman setiap

tahun.

4.3.1 Bogor Barat

Nilai GI mingguan (GIw) untuk Bogor

Barat menunjukkan fluktuasi serupa setiap

tahunnya (Gambar 6). Pada bulan Maret dan

April nilai GIw menurun hingga mendekati

nol dan tampak indikasi cekaman lembab.

Nilai cekaman lembab yang muncul sangat

kecil sehingga akan sedikit pula pengaruhnya terhadap nilai EI. Namun kemunculan nilai

cekaman lembab tersebut menunjukkan

bahwa cekaman lembab akan mungkin terjadi

di wilayah Bogor Barat apabila suhu

mendukung.

Nilai GIw terendah terjadi bulan April

ketika curah hujan tinggi mencapai 400 mm,

RH 81, dan suhu tinggi yaitu di atas 270C.

Sedangkan nilai GIw tertinggi seringkali

tercapai di bulan Juni ketika curah hujan di

Bogor Barat rendah yaitu kurang dari 300 mm, RH kurang dari 76, dan suhu sekitar

270C.

Nilai GIw bervariasi seiring dengan nilai

MIw (Gambar 7). Demikian pula dengan TIw,

pola per bulan tampak serupa namun pada

bulan April nilai TIw tinggi sementara GIw

dan MIw bernilai rendah. Artinya suhu pada

bulan April tersebut mendukung

perkembangan hama PBKo tetapi kondisi

kelembaban justru sebaliknya. Kelembaban

melebihi batas atas toleran perkembangan

hama PBKo sehingga menimbulkan cekaman lembab yang menekan perkembangan hama.

Gambar 6 Hubungan GIw dan Stress

terhadap waktu di Kecamatan

Bogor Barat.

0

2

4

6

8

100

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Wet S

tress (x

10

5)Gro

wth

In

dex

Tahun

Growth Index (GI) Ecoclimatic Index (EI)Wet Stress (WS)

11

Gambar 7 Hubungan GIw, MI, dan TI

terhadap waktu di Kecamatan

Bogor Barat.

4.3.2 Kuningan

Hama PBKo tidak ditemukan di wilayah

Kuningan pada bulan Juni hingga November. Namun ketika hama PBKo muncul pada

bulan-bulan lainnya, serangan hama PBKo

berkembang dengan pesat. Hal tersebut dapat

dilihat dari adanya fluktuasi nilai GIw pada

bulan Januari hingga Mei dan bulan

Desember, sementara pada bulan Juni hingga

November nilai GIw sama dengan nol

(Gambar 8).

Terjadi fluktuasi cekaman kering (DS)

yang serius pada bulan Juli hingga November

setiap tahunnya yang menyebabkan kondisi tidak nyaman hingga pada titik kematian

(lethal) bagi hama PBKo di Kuningan. Hal

tersebut pula yang menekan perkembangan

hama PBKo (GIw=0) sehingga tidak

ditemukan serangan hama PBKo di wilayah

Kuningan pada bulan-bulan tersebut.

Cekaman kering yang terjadi dikarenakan

suhu udara yang tinggi namun tingkat

kelembaban udara sangat rendah.

Kondisi iklim ketika nilai GIw terendah

dan GIw tertinggi di daerah Kuningan berkebalikan dari 2 wilayah lainnya. GIw

tertinggi terjadi pada bulan April ketika curah

hujan 400 mm, RH 82, dan suhu 250C. Maka

dapat dikatakan bahwa hama PBKo

berkembang optimal pada musim hujan di

wilayah Kuningan.

Ditinjau dari nilai TIw yang berfluktuasi

antara 0.6 hingga 0.8 (Gambar 9), maka suhu

di wilayah Kuningan sangat ideal bagi

perkembangan hama PBKo sepanjang tahun.

Namun kondisi kelembaban seringkali tidak

mendukung. Rata-rata suhu bulanan pada

musim kering yaitu 250C, dimana suhu tersebut merupakan suhu yang paling nyaman

bagi hama PBKo dalam bereproduksi. Hal ini

dapat menyebabkan ledakan populasi

(Jaramillo et al. 2009). Ledakan populasi yang

terjadi dapat membuat luas serangan di suatu

wilayah mendadak tinggi seperti yang tampak

di bulan April ketika nilai GIw mencapai nilai

tertinggi dalam satu tahun.

Gambar 8 Hubungan GIw dan Stress

terhadap waktu di Kecamatan

Kuningan.

Gambar 9 Hubungan GIw, MI, dan TI

terhadap waktu di Kecamatan

Kuningan.

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Ind

ek

s

Tahun

Mi Gi Ti

0

2

4

6

8

100

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Dry S

tress (x

10

4)

Gro

wth

In

dex

Tahun

Growth Index (GI) Dry Stress (DS)

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Ind

ek

s

Tahun

MI GI TI

12

4.3.3 Pacet

Perkembangan hama PBKo sangat sesuai di wilayah Pacet. Tampak dari nilai GIw tidak

pernah mendekati nol (Gambar 10). Tidak

terdapat indikasi cekaman apapun sehingga

hama di wilayah Pacet selalu ada sepanjang

tahun meskipun tidak selalu tinggi

serangannya. Kondisi kesesuaian iklim bagi

perkembangan hama yang kontinu sepanjang

tahun sangat memungkinkan terjadinya

kelimpahan populasi hama PBKo di wilayah

Pacet.

Nilai GIw terendah pada bulan Desember

dengan curah hujan di atas 400 mm, RH 83, dan suhu 210C. Nilai GIw tertinggi terjadi

pada bulan Agustus dengan curah hujan

kurang dari 100 mm, RH kurang dari 74, dan

suhu 200C. Karakteristik iklim tersebut tidak

jauh berbeda dengan karakteristik iklim Bogor

Barat ketika tercapai GIw tertinggi dan

terendah. Hama PBKo berkembang optimal

pada musim kering di wilayah Pacet dan

Bogor Barat.

Nilai TIw di wilayah Pacet cenderung

lebih stabil/kurang bervariatif (Gambar11). Letak wilayah Pacet di dataran tinggi

menyebabkan kerapatan udara di dataran

tinggi lebih rendah dan memiliki lapisan udara

tipis. Energi akan lebih cepat hilang dari

permukaan dan udara yang berhembus lebih

kencang sehingga panas udara lebih merata.

Oleh karenanya suhu rata-rata Pacet tidak

banyak berfluktuasi, begitu pula dengan nilai

TIw.

Gambar 10 Hubungan GIw dan Stress

terhadap waktu di Kecamatan Pacet.

Gambar 11 Hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan

Pacet.

4.4 Perbandingan nilai Ecoclimatic Index

(EI) dengan serangan hama PBKo di

lapangan

Analisis potensi serangan menunjukkan

wilayah berpotensi terkena serangan hama

PBKo (tinggi-rendah) berdasarkan besar nilai

EI berturut-turut yaitu Pacet, Kuningan,

kemudian Bogor Barat. Hal ini sesuai dengan

data Simakit 2004-2009 yang menginformasikan bahwa rata-rata luas

serangan Pacet yaitu 50.71%, Kuningan

26.36%, dan Bogor Barat 20.27%.

Hasil analisis fisik ketiga wilayah

menunjukkan kesamaan yaitu keberadaan

serangan hama PBKo cukup tinggi pada bulan

Februari atau Maret dimana bulan tersebut

merupakan akhir masa panen tanaman kopi di

Indonesia. Sedangkan serangan tertinggi

terjadi pada musim kering di wilayah Bogor

Barat dan Pacet dan di musim hujan untuk wilayah Kuningan. Sebaliknya, serangan

terendah terjadi di musim hujan bagi wilayah

Bogor Barat dan Pacet dan di musim kering

untuk wilayah Kuningan.

Diketahui pula dari hasil analisis fisik

bahwa hama PBKo ada sepanjang tahun di

Bogor Barat namun tidak demikian di

lapangan (Gambar 12). Terdapat beberapa

bulan dimana serangan hama PBKo tidak ada.

Pada wilayah Pacet dan Kuningan fluktuasi

luas serangan per tahunnya lebih serupa dan

polanya lebih banyak mendekati nilai EI (Gambar 13 dan 14).

Perbandingan fluktuasi serangan hama di

lapangan dengan nilai EI menunjukkan bahwa

tidak selalu ketika nilai EI tinggi maka

serangan di lapangan juga tinggi. Namun pola

0

1

2

3

4

50

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Str

ess

Gro

wth

In

dex

Tahun

Growth Index (GI) Stress

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Ind

ek

s

Tahun

MI GI TI

13

fluktuasi nilai EI dan luas serangan tidak jauh

berbeda. Selain faktor iklim, Climex tidak memperhitungkan faktor lain yang juga dapat

mempengaruhi serangan hama di lapangan.

Kenyataannya terdapat faktor-faktor lain

seperti interaksi antara spesies, campur tangan

pemberantasan hama oleh manusia, irigasi,

pengaruh kondisi beberapa wilayah sekitar

wilayah kajian, dan lain sebagainya yang

mungkin terjadi di lapangan. Oleh karenanya

potensi serangan bulanan berdasarkan nilai EI

terlihat seperti pola berulang atau lebih

seragam setiap tahunnya dibandingkan luas

serangan hama di lapangan. Climex memprediksi potensi serangan

hama dengan pengembangan konsep populasi

hama. Data populasi hama tidak tersedia

sehingga kajian ini menggunakan data luas

serangan yang mengindikasikan populasi

hama. Hal ini menyebabkan tingkat

kepercayaan dari regresi linier maupun

eksponensial rendah jika dibuat hubungan

antara nilai EI sebagai fungsi luas serangan

(Lampiran 13). Meskipun tinggi dan

rendahnya luas serangan mengidikasikan populasi hama, namun tidak selalu populasi

hama tinggi akan menyebabkan luas serangan

yang tinggi. Adalah mungkin apabila populasi

tidak begitu tinggi namun menyebabkan

kerusakan cukup parah pada tanaman, atau

sebaliknya. Terdapat faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi populasi terhadap luas

serangan. Sebagai contoh, populasi hama

PBKo tinggi namun luas serangan rendah

akibat adanya pesaing bagi hama PBKo untuk

bertahan hidup yang biasanya disebut musuh

alami. Penggunaan data luas serangan dalam

validasi nilai Climex menunjukkan bahwa

nilai EI tidak secara tepat memberikan angka

serangan di lapangan. Namun nilai EI dapat

mengindikasikan tingkat serangan hama tinggi

atau rendah berdasarkarkan kisaran nilai EI

sesuai dengan keadaan di lapangan.

Hasil analisis model Climex dapat

dijadikan saranan dalam penyusunan sistem

pengendalian hama di Indonesia. Namun hasil

ini perlu diperdalam dengan analisis lain yang lebih detail dan kompeherensif. Karena meski

pola nilai EI dan luas serangan di lapangan

seringkali memiliki pola serupa, pada kondisi

tertentu masih ditemukan perbedaan jauh

antara hasil prediksi dan keadaan di lapangan.

Model Climex pada mulanya dirancang untuk

memprediksi hama yang masuk ke Australia

(Sutherst et al. 1999). Oleh karena itu, hal lain

yang mungkin mempengaruhi ketepatan

prediksi yaitu perbedaan kondisi iklim

Indonesia dan Australia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kondisi iklimnya

didominasi oleh angin laut dan berada di

wilayah tropika basah. Sementara Australia

merupakan kontinen besar dan berada di

wilayah temperate. Kondisi iklim gurun di

tengah kontinen Australia menyebabkan

wilayah tersebut hampir selalu bertekanan

rendah. Dengan demikian pola pergerakan

angin maupun pusat-pusat tekanan rendah

dapat diketahui lebih jelas sehingga arah

angin maupun pola hujan akan lebih mudah

diprediksi. Distribusi hama dapat diprediksi lebih baik ketika parameter iklim yang

mempengaruhi perkembangan hama tepat

diprediksi.

Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa

model Climex sudah cukup baik apabila

dijadikan salah satu referensi tambahan dalam

pertimbangan pengambilan keputusan

menyangkut strategi pemberantasan hama

atau menyusun pengendalian hama terpadu di

suatu wilayah.

14

Gambar 12 Perbandingan data hama dengan nilai Ecoclimatic Index Bogor Barat.

Gambar 13 Perbandingan data hama dengan nilai Ecoclimatic Index Kuningan.

Gambar 14 Perbandingan data hama dengan nilai Ecoclimatic Index Pacet (data April-

Desember 2004 tidak tersedia).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Lu

as S

eran

gan

(%)E

co

cli

mati

c I

nd

ex

Tahun

EI LS

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Lu

as S

eran

gan

(%)E

co

cli

mati

c I

nd

ex

Tahun

EI LS

0

10

20

30

40

50

60

70

0

5

10

15

20

25

30

35

40

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Lu

as S

eran

gan

(%)E

co

cli

mati

c I

nd

ex

Tahun

EI LS

15

V KESIMPULAN

Nilai Ecolimatic Index (EI) untuk wilayah

Bogor Barat, Pacet, maupun Kuningan

menunjukkan kondisi iklim yang sesuai bagi

perkembangan hama PBKo. Wilayah yang

paling berpotensi terkena serangan hama

PBKo yaitu Pacet dengan nilai EI 81 dan

tidak terdapat indeks cekaman apapun yang dapat menurunkan perkembangan hama

PBKo. Wilayah Bogor Barat mengalami

cekaman lembab meskipun nilainya kecil,

sedangkan Kuningan mengalami cekaman

kering yang cukup serius hingga hama PBKo

tidak ditemukan di wilayah tersebut pada

bulan Juni hingga November.

Hama PBKo berkembang optimal pada

musim kering di wilayah yang memiliki curah

hujan tahunan tinggi, sedangkan di wilayah

yang memiliki curah hujan tahunan rendah hama PBKo berkembang optimal pada musim

hujan. Kesamaan di tiga wilayah tersebut

adalah serangan hama PBKo cenderung

meningkat pada akhir masa panen buah kopi

antara bulan Februari atau Maret, dan tingkat

serangan hama lebih sensitif terhadap

perubahan suhu dibandingkan perubahan

curah hujan.

Validasi hasil model Climex dengan data

luas serangan di lapangan menunjukkan

bahwa nilai EI tidak secara tepat memberikan

angka serangan di lapangan namun dapat mengindikasikan tingkat serangan hama tinggi

atau rendah sesuai dengan keadaan di

lapangan. Pada dasarnya model Climex

merupakan pengembangan konsep populasi

hama sehingga nilai EI akan lebih mendekati

kondisi populasi hama. Dengan demikian,

penggunaan Climex dapat bermanfaat untuk

membantu penyusunan strategi pemberantasan

hama sebagai referensi tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian A. 2008. Penerapan pengendalian

hama terpadu pada kopi di Jawa Timur.

Warta Penelitian dan Pengembangan

Pertanian 30:6.

Aksi Agraris Kanisius (AAK). 1998. Budidaya Tanaman Kopi. Jakarta:

Kanisius.

Baker PS, Barerra JF, Rivas A. 1992. Life

history studies of the coffee berry borer

(Hypothenemus hampei, Scolytidae) on

coffee trees in southern Mexico. Applied

Ecology. 29:656-622.

Baker PS, Ley C, Balbuena R, Barerra JF.

1992. Factors affecting the emergence of Hypothenemus hampei (Coleoptera:

Scolytidae) from coffee berries. Bulletin

of Entomological Research 82:145-150.

Bediako A, Chown SL, Gaston KJ. 2000.

Thermal tolerance, climatic variability

and latitude. Journal of Cambridge

University.

Camargo MBP, Marcelo BP. 2009. The

impact of climatic variability in coffee

crop. http://infoibibos.com (9 Agustus

2010)

Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Jawa Barat. 2006. Pengendalian Organisme

Pengganggu Tanaman (OPT) Penting

pada Tanaman Kopi. Bandung: BPTP

Jawa Barat.

Gordan HT. 1999. Growth and development

of insects. Ecological Entomology.

2:55-82.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta:

PT. Dunia Pustaka Jaya.

Hindayana D et al. 2002. Musuh Alami,

Hama dan Penyakit Tanaman Kopi. Jakarta: Proyek Pengendalian Hama

Terpadu Perkebunan Rakyat. Direktorat

Perlindungan Perkebunan, Direktorat

Jenderal Bina Produksi Perkebunan.

Departemen Pertanian.

Huffaker CA, Berryman, Turchin P.

1999. Dynamics and regulation of insect

populations. Ecological Entomology

2:269-305.

Iwan. 2009. Manfaat kopi.

http://iwanudin.wordpress.com. (2 Maret

2010) IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In

Climate Change 2007.Published forthe

Intergovernmental Panel on Climate

Change. Cambridge: Cambridge

University Press. 2-18.

Jaramillo J et al. 2005. Biological control of

the coffee berry borer Hypothenemus

hampei (Coleoptera: Curculionidae) by

Phymastichus coffea (Hymenoptera:

Eulophidae) in Colombia. Bulletin of

Entomological Research 95:467-472 Khalsoven LGE. 1981. The Pest of Crops

in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar

Baru-Van Hoeve.

Kunzeman T. 2010. The UN Global Warming

Report Facts and Predictions.

http://Allianzknowledgepartnership.com

(29 Juli 2010)

Nasir AA. 2002. Fenologi dan Heat Unit

Tanaman. Pelatihan Dosen-dosen

Perguruan Tinggi se-Indonesia Bagian

16

Barat dalam Bidang Pemodelan dan

Simulasi Pertanian dan Lingkungan; Bogor, 1-13 Juli 2002. Bogor. 2002.

Nitia GW. 2001. Penerapan PHT untuk

meningkatkan mutu kopi Arabika.

Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN).

Agdex: 03:625.

Santosa I. 19 Agustus 2008. Kopi Jawa

(dulu) Kopi Kelas Dunia. Kompas: 11.

Saptana, Panaji T, Tarigan H, Setianto A. 2004. Analisis Kelembagaan

Pengendalian Hama Terpadu

Mendukung Agribisnis Kopi Rakyat

dalam Rangka Otonomi Daerah. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Bogor.

Sopian T. 2008. Produksi Tanaman Karet

(Hevea Brasiliensis) di Daerah Bercurah

Hujan Tinggi di Kabupaten Bogor.

Inovasi 10.

Steven P. 2004. CLIMEX v2 for Windows 1.1

Tutorials. Melbourne: Hearne Scientific

Software Ltd.

Sutherst RW, Maywald GF, Yonov, Steven.

1999. CLIMEX 1.0 for Windows 1.1 Tutorials. Melbourne: Hearne Scientific

Software Ltd.

Sutherst RW, Maywald GF, Kriticos D. 2007.

Climex Version 3. Melbourne: Hearne

Scientific Software Ltd.

Budidarsono S, Wijaya K. 2004. Praktek

Konservasi dalam Budidaya Kopi

Robusta dan Keuntungan Petani.

Agrivita 26 (1): 126-138.

___________ . 2010. New Climex and

Dymex version 3. http://hearne.com.au

(7 Februari 2010) ___________ . 2006. Tanaman Kopi Bisa

Menahan Lahan dan Air seperti Hutan.

Sinar Tani. Ed.5-11 April 2006.

___________ . 2001. Biologi Tanaman Kopi.

http://lablink.or.id. (28 Februari 2010)

___________. 2001. Kopi. http://ideelok.com

(2 Maret 2010)

___________. 2010. Coffee Berry Borer

Cycle. http://ars.usda.gov. (20 Agustus

2010)

17

LAMPIRAN

Lampiran 1 Contoh masukan basis data compare location

- LOC file (masukan data geografis wilayah kajian)

*1.00 ASIA

*1.01 Indonesia

#* nostates

0 Bogor Barat 6.3 S 106.4 E 350 *ASIA *BOGOR BARAT

0 Kuningan 6.6 S 108.3 E 549 *ASIA *KUNINGAN

0 Pacet 6.4 S 107.0 E 1130 *ASIA *PACET

Aturan spasi dalam penulisan masukan data geografis pada notepad:

1 : Kode tingkat

7-25 : Nama lokasi

26-29 : Letang lintang

31 : Posisi lintang (N/S)

34-38 : Letak bujur

40 : Posisi bujur (E/W)

41-45 : Ketinggian (mdpl)

71-80 : Kode lokasi

- MET file (masukan data iklim bulanan wilayah kajian)

*.MET file menjadi *.mm file dengan bantuan Met Manager menggunakan Ms Access

18

Urutan Kuningan, Pacet, Bogor Barat

Lampiran 2 Contoh masukan database compare years

Bogor Barat 06.3 S 106.4 E 350 bgbt

1 1 2004 23 30.4 12.5 97 74 bgbt

2 1 2004 21.2 31.2 15.5 98 66 bgbt

3 1 2004 21.6 30.4 18.1 96 71 bgbt

4 1 2004 22.8 29.8 0.5 97 74 bgbt

5 1 2004 22.6 31.1 4 97 67 bgbt

6 1 2004 21.7 31.8 0.2 93 58 bgbt

7 1 2004 22 31.4 - 95 64 bgbt

8 1 2004 22.4 29.3 32.8 97 90 bgbt

9 1 2004 22 32 3 98 64 bgbt

10 1 2004 22.6 32.4 7 97 64 bgbt

11 1 2004 22.6 32.6 0.2 95 58 bgbt

12 1 2004 21.5 32.5 64 98 64 bgbt

13 1 2004 22.7 30.8 17.5 97 71 bgbt

14 1 2004 23.1 30.3 14.6 97 74 bgbt

15 1 2004 22.8 29.4 - 91 79 bgbt

16 1 2004 22 30.1 0 95 74 bgbt

17 1 2004 22.6 31.9 - 95 66 bgbt

18 1 2004 23 30.2 0.5 95 82 bgbt

19 1 2004 21.9 32.6 23.8 98 53 bgbt

20 1 2004 22.2 31.9 19.5 97 71 bgbt

21 1 2004 22.8 30.8 - 95 90 bgbt

22 1 2004 22 30.1 2.2 95 72 bgbt

23 1 2004 22 30.1 13.5 97 75 bgbt

19

24 1 2004 23.5 31 - 95 73 bgbt

25 1 2004 22.4 28.7 98.5 98 82 bgbt

26 1 2004 23.6 27.3 14.6 95 92 bgbt

27 1 2004 23.8 31 2.5 98 72 bgbt

28 1 2004 22.4 31.9 10.5 98 72 bgbt

29 1 2004 23 31.6 17.8 98 61 bgbt

30 1 2004 22.6 31.7 9.8 91 63 bgbt

31 1 2004 22.6 31.1 0.6 97 65 bgbt

1 2 2004 22.7 31.1 6.5 97 87 bgbt

2 2 2004 22 30.6 3.7 98 81 bgbt

3 2 2004 23.3 28.5 1.6 93 74 bgbt

4 2 2004 22.4 28.5 12.4 97 81 bgbt

5 2 2004 22.1 32.5 2.7 97 64 bgbt

6 2 2004 23.1 32.1 0.2 97 63 bgbt

7 2 2004 23 30 - 93 84 bgbt

8 2 2004 23.2 30 5.5 95 70 bgbt

9 2 2004 22 30.6 23.5 98 72 bgbt

10 2 2004 22.6 31.8 7.5 98 62 bgbt

11 2 2004 21.8 30 0 93 76 bgbt

12 2 2004 20.7 30.1 10.8 98 79 bgbt

13 2 2004 23.2 28.8 13.2 98 82 bgbt

14 2 2004 23.6 28.5 15.6 97 82 bgbt

15 2 2004 24 27.5 2.4 95 92 bgbt

16 2 2004 23 28.1 16 97 90 bgbt

17 2 2004 23.3 27.8 33 97 89 bgbt

18 2 2004 23.5 29 1 98 85 bgbt

19 2 2004 24 28.2 27.7 97 91 bgbt

20 2 2004 23 29.5 48.3 98 83 bgbt

21 2 2004 23.2 31.5 0.5 95 71 bgbt

22 2 2004 23.4 31 23.5 97 86 bgbt

23 2 2004 23.3 31.5 25.5 97 83 bgbt

20

24 2 2004 22.1 32.4 29.9 98 63 bgbt

25 2 2004 23 31.8 12 97 68 bgbt

26 2 2004 23 31.7 0 97 69 bgbt

27 2 2004 22.4 30 0 96 75 bgbt

28 2 2004 23.5 32.5 0 95 73 bgbt

29 2 2004 24 31.9 4.2 97 66 bgbt

Lampiran 3 Masukan data fisik hama H. hampei Ferr. (PBKo)

Parameter suhu

Batas suhu minimum DV0 14.9

Batas bawah suhu optimal DV1 20

Batas atas suhu optimal DV2 30

Batas atas suhu maksimum DV3 36

Minimum Degree-day di atas DV0

(Jaramillo et al. 2009)

PDD

0

Parameter Kelembaban

Batas minimum kelembaban tanah1 SM0 0.35

Batas bawah kelembaban tanah optimal2 SM1 0.7

Batas atas kelembaban tanah optimal3 SM2 1.5

Batas maksimum kelembaban tanah4

(1,4 wet-tropical template Climex v.3; 2, 3 Jaramillo et al. 2009)

SM3

2.5

Indeks Stres

Batas suhu stres dingin TTCS 2

Laju stres dingin THCS 0

Batas degree-day stres dingin DTCS 25

Laju stres dingin degree-day DHCS -0.002

Batas suhu stres panas TTHS 37

Laju stres panas THHS 0.0002

Batas degree-day stres panas DTHS 0

Laju stres panas degree-day DHHS 0

Batas stres kering SMDS 0.25

Laju stress kering HDS -0.01

Batas stres basah SMWS 0.25

Laju stres basah

(wet-tropical template Climex v.3)

HWS

0.002

21

Lampiran 4 Flowchart metode kerja

Luas serangan hama

Grafik dan data

potensi serangan

hama

Analisis serangan

hama pada

kondisi iklim

normal dan

terjadi perubahan

iklim

Analisis potensi

serangan hama

di 3 wilayah

kajian

Indikasi keberadaan

serangan hama

Grafik dan data

potensi serangan

hama

Potensi serangan

hama setelah

terjadi perubahan

iklim

Wilayah potensi serangan hama PBKo serta dampak perubahan

iklim terhadap kelimpahan hama.

Analisis kesesuaian

serangan hama

secara time series

keluaran model dan

di lapangan

Persiapan data

Data iklim

Masukan data

lokasi (LOC file)

Masukan

parameter hama

Data Geografis Data fisik hama

Masukan data

iklim CH, RH, T (MET, DAT file)

Model CLIMEX

Compare Years

EI EI

Climate scenario Compare

Location

EI

22

Lampiran 5 Hasil keluaran compare location

- Data

Continent ASIA ASIA ASIA

Country Indonesia Indonesia Indonesia

Location Kuningan Pacet Bogor Barat

Altitude 548.6 1130 350

Latitude 6 6 6

Longitude 108 107 106

Core Distribution 98 100 100

CS 0 0 0

DD 3565 2156 4404

DS 2 0 0

EI 64 81 52

GI 65 81 52

GI-Pos 81 82 52

HS 0 0 0

MI 65 82 73

Run 1 2 3

TI 100 100 73

total Rain (curr) 1949 3186 3909

Weeks GI>0 42 52 52

WS 0 0 0

- Grafik hubungan perkembangan (GIw) dan curah hujan (Rainfal)

Indonesia, Bogor Barat

23

- Grafik hubungan kelembaban (MIw) dan curah hujan (Rainfal)

Indonesia, Bogor Barat

24

Lampiran 6 Contoh hasil keluaran climate scenario

Continent ASIA ASIA ASIA ASIA ASIA ASIA ASIA ASIA ASIA

Country

Indo-

nesia

Indo-

nesia

Indo-

nesia

Indo-

nesia

Indo-

nesia

Indo-

nesia

Indo-

nesia

Indo-

nesia

Indo-

nesia

Location

Ku-

ning-

An Pacet

Suka

mak

mur

Ku-

ning-

an Pacet

Suka

mak

mur

Ku-

ning-

an Pacet

Suka

mak

mur

Latitude 6 6 6 6 6 6 6 6 6

Longitude 108 107 106 108 107 106 108 107 106

Climate

Scenario 3

0C -20% rainfall +20% rainfall

Core

Distribu-

tion 97 100 100 96 100 100 99 100 100

CS 0 0 0 0 0 0 0 0 0

CS

difference 0 0 0

0 0 0

DD 4657 3243 5496 3565 2156 4404 3565 2156 4404

DS 3 0 0 4 0 0 1 0 0

25

DS

difference 2 0 0

-2 0 0

EI 47 82 15 63 91 62 64 71 41

EI diff -17 11 -26

17 -11 26

GI 49 82 15 65 91 62 64 71 41

GI positive 64 82 16 88 91 62 75 71 42

HS 0 0 0 0 0 0 0 0 0

HS diff 0 0 0 0 0 0 0 0 0

MI 63 82 73 65 91 86 64 71 59

Run 1 2 3 1 2 3 1 2 3

TI 75 100 23 100 100 73 100 100 73

Weeks

GI>0 40 52 52 39 52 52 45 52 52

WS 0 0 0 0 0 0 0 0 0

WS diff 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Hasil keluaran climate scenario

Tidak ada

perubahan

iklim

Suhu

+0.70C

Suhu

+1.40C

Suhu

+30C

Curah

hujan

+10%

Curah

hujan

­10%

Curah

hujan

+20%

Curah

hujan

­20%

Bogor Barat

DD 4404 4658 4913 5496 4404 4404 4404 4404

EI 52 43 35 15 47 57 41 62

GI 52 43 35 15 47 57 41 62

DS 0 0 0 0 0 0 0 0

HS 0 0 0 0 0 0 0 0

CS 0 0 0 0 0 0 0 0

WS 0 0 0 0 0 0 0 0

MI 73 73 73 73 66 80 59 86

TI 73 61 50 23 73 73 73 73

Kuningan

DD 3565 3820 4075 4657 3565 3565 3565 3565

EI 64 63 61 47 64 64 64 63

GI 65 64 62 49 65 66 64 65

DS 2 2 3 3 1 3 1 4

HS 0 0 0 0 0 0 0 0

CS 0 0 0 0 0 0 0 0

WS 0 0 0 0 0 0 0 0

MI 65 65 64 63 65 66 64 65

TI 100 98 95 75 100 100 100 100

Pacet

DD 2156 2407 2660 3243 2156 2156 2156 2156

EI 81 82 82 82 76 86 71 91

GI 81 82 82 82 76 86 71 91

DS 0 0 0 0 0 0 0 0

HS 0 0 0 0 0 0 0 0

CS 0 0 0 0 0 0 0 0

WS 0 0 0 0 0 0 0 0

MI 82 82 82 82 76 86 71 91

TI 100 100 100 100 100 100 100 100

26

Lampiran 7 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Bogor Barat

Simulation

date GI (w) TI MI HS (w) WS (w) DS (w) CS (w)

1/1/2004 0.8 0.8 0.9 0 0 0 0

8/1/2004 0.9 0.9 1 0 0 0 0

15/1/2004 0.6 0.9 0.6 0 0 0 0

22/1/2004 0.6 0.9 0.7 0 0 0 0

29/1/2004 0.7 1 0.8 0 0 0 0

5/2/2004 0.5 1 0.5 0 0 0 0

12/2/2004 0.7 0.9 0.8 0 0 0 0

19/2/2004 0.6 0.9 0.7 0 0 0 0

27/2/2004 0.3 0.9 0.4 0 0 0 0

5/3/2004 0.4 0.8 0.5 0 0 0 0

12/3/2004 0.4 0.7 0.5 0 0 0 0

19/3/2004 0.2 0.7 0.3 0 0 0 0

26/3/2004 0 0.6 0 0 0.0001 0 0

2/4/2004 0.1 0.5 0.1 0 0 0 0

9/4/2004 0 0.5 0 0 0 0 0

16/4/2004 0 0.6 0 0 0.0001 0 0

23/4/2004 0 0.6 0 0 0.0001 0 0

30/4/2004 0.2 0.6 0.4 0 0 0 0

7/5/2004 0.4 0.6 0.6 0 0 0 0

14/5/2004 0.5 0.6 0.7 0 0 0 0

21/5/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

28/5/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

4/6/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

11/6/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

18/6/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

25/6/2004 0.6 0.7 0.9 0 0 0 0

2/7/2004 0.6 0.7 0.9 0 0 0 0

9/7/2004 0.6 0.7 0.9 0 0 0 0

16/7/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

23/7/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

30/7/2004 0.6 0.6 1 0 0 0 0

6/8/2004 0.6 0.6 1 0 0 0 0

13/8/2004 0.6 0.6 1 0 0 0 0

20/8/2004 0.5 0.6 0.9 0 0 0 0

27/8/2004 0.5 0.6 0.9 0 0 0 0

3/9/2004 0.5 0.6 0.8 0 0 0 0

10/9/2004 0.4 0.6 0.7 0 0 0 0

17/9/2004 0.3 0.6 0.6 0 0 0 0

24/9/2004 0.4 0.6 0.8 0 0 0 0

1/10/2004 0.4 0.5 0.8 0 0 0 0

8/10/2004 0.4 0.5 0.8 0 0 0 0

27

Lampiran 8 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Kuningan

Simulation

date GI (w) TI MI HS (w) WS (w) DS (w) CS (w)

1/1/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

8/1/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

15/1/2004 0.3 0.7 0.5 0 0 0 0

22/1/2004 0.3 0.7 0.4 0 0 0 0

29/1/2004 0.2 0.7 0.3 0 0 0 0

5/2/2004 0 0.7 0 0 0 0 0

12/2/2004 0.1 0.6 0.1 0 0 0 0

19/2/2004 0.1 0.6 0.2 0 0 0 0

27/2/2004 0 0.6 0.1 0 0 0 0

5/3/2004 0.1 0.6 0.2 0 0 0 0

12/3/2004 0.5 0.6 0.7 0 0 0 0

19/3/2004 0.5 0.8 0.7 0 0 0 0

26/3/2004 0.5 0.8 0.6 0 0 0 0

2/4/2004 0.5 0.8 0.6 0 0 0 0

9/4/2004 0.5 0.8 0.7 0 0 0 0

16/4/2004 0.5 0.8 0.7 0 0 0 0

23/4/2004 0.7 0.7 0.9 0 0 0 0

30/4/2004 0.8 0.8 1 0 0 0 0

7/5/2004 0.8 0.8 1 0 0 0 0

14/5/2004 0.8 0.8 1 0 0 0 0

21/5/2004 0.1 0.8 0.2 0 0 0 0

28/5/2004 0 0.8 0 0 0 0.0005 0

4/6/2004 0 0.8 0 0 0 0.0018 0

11/6/2004 0 0.8 0 0 0 0.0023 0

18/6/2004 0 0.8 0 0 0 0.0025 0

25/6/2004 0 0.8 0 0 0 0.0025 0

2/7/2004 0 0.8 0 0 0 0.0025 0

9/7/2004 0 0.8 0 0 0 0.0022 0

16/7/2004 0 0.8 0 0 0 0.0022 0

23/7/2004 0 0.7 0 0 0 0.0022 0

30/7/2004 0 0.7 0 0 0 0.0022 0

6/8/2004 0 0.7 0 0 0 0.0014 0

13/8/2004 0 0.7 0 0 0 0.0014 0

20/8/2004 0 0.8 0 0 0 0.0014 0

27/8/2004 0 0.7 0 0 0 0.0014 0

3/9/2004 0 0.8 0 0 0 0.0014 0

10/9/2004 0 0.8 0 0 0 0.002 0

17/9/2004 0 0.8 0 0 0 0.0022 0

24/9/2004 0 0.8 0 0 0 0.0022 0

1/10/2004 0 0.8 0 0 0 0.0022 0

8/10/2004 0 0.8 0 0 0 0.0021 0

28

Lampiran 9 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Pacet

Simulation

date GI (w) TI MI HS (w) WS (w) DS (w) CS (w)

1/1/2004 0.3 0.7 0.5 0 0 0 0

8/1/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

15/1/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

22/1/2004 0.5 0.7 0.7 0 0 0 0

29/1/2004 0.4 0.7 0.6 0 0 0 0

5/2/2004 0.5 0.7 0.7 0 0 0 0

12/2/2004 0.5 0.6 0.8 0 0 0 0

19/2/2004 0.4 0.6 0.7 0 0 0 0

27/2/2004 0.5 0.6 0.7 0 0 0 0

5/3/2004 0.5 0.6 0.8 0 0 0 0

12/3/2004 0.4 0.6 0.6 0 0 0 0

19/3/2004 0.4 0.7 0.6 0 0 0 0

26/3/2004 0.4 0.7 0.6 0 0 0 0

2/4/2004 0.3 0.6 0.5 0 0 0 0

9/4/2004 0.2 0.6 0.3 0 0 0 0

16/4/2004 0.3 0.7 0.4 0 0 0 0

23/4/2004 0.4 0.7 0.5 0 0 0 0

30/4/2004 0.3 0.7 0.5 0 0 0 0

7/5/2004 0.5 0.7 0.7 0 0 0 0

14/5/2004 0.6 0.7 0.9 0 0 0 0

21/5/2004 0.6 0.7 0.9 0 0 0 0

28/5/2004 0.6 0.7 0.9 0 0 0 0

4/6/2004 0.6 0.7 0.8 0 0 0 0

11/6/2004 0.5 0.7 0.7 0 0 0 0

18/6/2004 0.5 0.7 0.7 0 0 0 0

25/6/2004 0.5 0.7 0.8 0 0 0 0

2/7/2004 0.3 0.7 0.4 0 0 0 0

9/7/2004 0.4 0.7 0.6 0 0 0 0

16/7/2004 0.5 0.7 0.7 0 0 0 0

23/7/2004 0.5 0.8 0.6 0 0 0 0

30/7/2004 0.5 0.7 0.7 0 0 0 0

6/8/2004 0.7 0.8 0.9 0 0 0 0

13/8/2004 0.8 0.8 1 0 0 0 0

20/8/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

27/8/2004 0.8 0.8 1 0 0 0 0

3/9/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

10/9/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

17/9/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

24/9/2004 0.5 0.7 0.8 0 0 0 0

1/10/2004 0.7 0.7 1 0 0 0 0

8/10/2004 0.5 0.7 0.7 0 0 0 0

29

Lampiran 10 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Bogor

GI (m) TI MI EI

2004 J 0.7 0.9 0.8 72.0

F 0.5 0.9 0.6 52.5

M 0.3 0.7 0.3 25.0

A 0.1 0.6 0.1 6.0

M 0.6 0.7 0.8 57.5

J 0.7 0.7 1.0 67.5

J 0.6 0.7 1.0 64.0

A 0.6 0.6 1.0 55.0

S 0.4 0.6 0.7 40.0

O 0.4 0.5 0.7 40.0

N 0.5 0.7 0.7 45.0

D 0.5 0.9 0.6 45.0

2005 J 0.5 0.9 0.5 50.0

F 0.6 0.9 0.6 55.0

M 0.3 0.7 0.4 27.5

A 0.1 0.6 0.1 6.0

M 0.6 0.7 0.8 57.5

J 0.7 0.7 1.0 67.5

J 0.6 0.7 1.0 64.0

A 0.6 0.6 1.0 55.0

S 0.4 0.6 0.7 40.0

O 0.4 0.5 0.7 40.0

N 0.5 0.7 0.7 45.0

D 0.5 0.9 0.6 45.0

2006 J 0.5 0.9 0.5 50.0

F 0.4 0.9 0.4 35.0

M 0.6 0.9 0.6 55.0

A 0.1 0.6 0.1 6.0

M 0.6 0.7 0.8 57.5

J 0.7 0.7 1.0 67.5

J 0.6 0.7 1.0 64.0

A 0.6 0.6 1.0 55.0

S 0.4 0.6 0.7 40.0

O 0.4 0.5 0.7 40.0

N 0.5 0.7 0.7 45.0

D 0.5 0.9 0.6 45.0

2007 J 0.5 0.9 0.5 50.0

F 0.6 0.9 0.6 55.0

M 0.3 0.7 0.4 27.5

A 0.1 0.6 0.1 6.0

M 0.6 0.7 0.8 57.5

J 0.7 0.7 1.0 67.5

J 0.6 0.7 1.0 64.0

A 0.6 0.6 1.0 55.0

S 0.4 0.6 0.7 40.0

O 0.3 0.5 0.5 30.0

N 0.5 0.7 0.7 45.0

D 0.5 0.9 0.6 45.0

2008 J 0.5 0.9 0.5 50.0

F 0.5 0.9 0.5 50.0

M 0.2 0.7 0.3 22.5

A 0.1 0.6 0.2 10.0

M 0.6 0.6 0.9 55.0

J 0.7 0.7 1.0 67.5

J 0.6 0.7 1.0 64.0

A 0.5 0.6 0.9 52.5

S 0.4 0.6 0.8 42.5

O 0.4 0.5 0.8 40.0

N 0.5 0.7 0.7 45.0

D 0.4 0.9 0.5 42.5

2009 J 0.5 0.9 0.5 48.0

F 0.5 0.9 0.5 50.0

M 0.3 0.7 0.4 25.0

A 0.1 0.6 0.2 10.0

M 0.6 0.6 0.9 55.0

J 0.7 0.7 1.0 67.5

J 0.6 0.7 1.0 64.0

A 0.5 0.6 0.9 52.5

S 0.4 0.6 0.8 42.5

O 0.4 0.5 0.8 40.0

N 0.5 0.7 0.7 45.0

D 0.4 0.9 0.5 42.5

30

Lampiran 11 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Kuningan

GI (m) TI MI EI

2004 J 0.4 0.7 0.6 44

F 0.1 0.6 0.1 5

M 0.4 0.7 0.6 39.8

A 0.6 0.8 0.8 60

M 0.4 0.8 0.6 42.5

J 0 0.8 0 0

J 0 0.8 0 0

A 0 0.7 0 0

S 0 0.8 0 0

O 0 0.8 0 0

N 0 0.8 0 0

D 0.5 0.7 0.7 47.5

2005 J 0.3 0.7 0.4 25.9

F 0.1 0.6 0.1 9.9

M 0.4 0.7 0.6 42.3

A 0.6 0.8 0.8 60

M 0.4 0.8 0.6 42.5

J 0 0.8 0 0

J 0 0.8 0 0

A 0 0.7 0 0

S 0 0.8 0 0

O 0 0.8 0 0

N 0 0.8 0 0

D 0.5 0.7 0.7 47.5

2006 J 0.3 0.7 0.4 25.9

F 0.5 0.7 0.8 52.4

M 0.1 0.6 0.1 9.9

A 0.6 0.8 0.8 60

M 0.4 0.8 0.6 42.5

J 0 0.8 0 0

J 0 0.8 0 0

A 0 0.7 0 0

S 0 0.8 0 0

O 0 0.8 0 0

N 0 0.8 0 0

D 0.5 0.7 0.7 47.5

2007 J 0.3 0.7 0.4 25.9

F 0.1 0.6 0.1 9.9

M 0.4 0.7 0.6 42.3

A 0.6 0.8 0.8 60

M 0.4 0.8 0.6 42.5

J 0 0.8 0 0

J 0 0.8 0 0

A 0 0.7 0 0

S 0 0.8 0 0

O 0 0.8 0 0

N 0 0.8 0 0

D 0.5 0.7 0.7 47.5

2008 J 0.3 0.7 0.4 25.9

F 0.1 0.6 0.1 9.9

M 0.4 0.7 0.5 37.4

A 0.6 0.8 0.8 60

M 0.3 0.8 0.4 30

J 0 0.8 0 0

J 0 0.8 0 0

A 0 0.8 0 0

S 0 0.8 0 0

O 0 0.8 0 0

N 0 0.8 0 0

D 0.5 0.7 0.7 47.5

2009 J 0.2 0.7 0.3 22

F 0.1 0.6 0.2 12.4

M 0.4 0.7 0.6 42.3

A 0.6 0.8 0.8 60

M 0.3 0.8 0.4 30

J 0 0.8 0 0

J 0 0.8 0 0

A 0 0.8 0 0

S 0 0.8 0 0

O 0 0.8 0 0

N 0 0.8 0 0

D 0.5 0.7 0.7 47.5

31

Lampiran 12 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Pacet

GI (m) TI MI EI

2004 J 0.5 0.7 0.8 51.9

F 0.5 0.6 0.7 47.2

M 0.4 0.7 0.7 42.3

A 0.3 0.7 0.4 29.9

M 0.6 0.7 0.9 57.4

J 0.5 0.7 0.8 52.3

J 0.4 0.7 0.6 44.0

A 0.8 0.8 1.0 75.0

S 0.7 0.7 1.0 65.0

O 0.5 0.7 0.7 48.0

N 0.3 0.8 0.5 32.5

D 0.3 0.8 0.3 25.0

2005 J 0.4 0.7 0.6 43.9

F 0.5 0.6 0.7 47.2

M 0.5 0.7 0.7 44.8

A 0.3 0.7 0.4 29.9

M 0.6 0.7 0.9 57.4

J 0.5 0.7 0.8 52.3

J 0.4 0.7 0.6 44.0

A 0.8 0.8 1.0 75.0

S 0.7 0.7 1.0 65.0

O 0.5 0.7 0.7 48.0

N 0.3 0.8 0.5 32.5

D 0.3 0.8 0.3 25.0

2006 J 0.4 0.7 0.6 43.9

F 0.4 0.7 0.5 40.0

M 0.5 0.6 0.7 47.2

A 0.3 0.7 0.4 29.9

M 0.6 0.7 0.9 57.4

J 0.5 0.7 0.8 52.3

J 0.4 0.7 0.6 44.0

A 0.8 0.8 1.0 75.0

S 0.7 0.7 1.0 65.0

O 0.5 0.7 0.7 48.0

N 0.3 0.8 0.5 32.5

D 0.3 0.8 0.3 25.0

2007 J 0.4 0.7 0.6 43.9

F 0.5 0.6 0.7 47.2

M 0.5 0.7 0.7 44.8

A 0.3 0.7 0.4 29.9

M 0.6 0.7 0.9 57.4

J 0.5 0.7 0.8 52.3

J 0.4 0.7 0.6 44.0

A 0.8 0.8 1.0 75.0

S 0.7 0.7 1.0 65.0

O 0.5 0.7 0.7 50.0

N 0.3 0.8 0.5 32.5

D 0.3 0.8 0.3 25.0

2008 J 0.4 0.7 0.6 43.9

F 0.5 0.6 0.7 47.3

M 0.4 0.7 0.7 39.8

A 0.3 0.7 0.4 27.9

M 0.6 0.7 0.9 59.9

J 0.5 0.7 0.8 52.4

J 0.4 0.7 0.6 40.0

A 0.7 0.8 1.0 72.5

S 0.7 0.7 1.0 67.5

O 0.5 0.7 0.7 48.0

N 0.3 0.8 0.5 32.5

D 0.3 0.8 0.3 25.0

2009 J 0.4 0.7 0.6 43.9

F 0.5 0.6 0.7 47.2

M 0.4 0.7 0.7 42.3

A 0.3 0.7 0.4 27.9

M 0.6 0.7 0.9 59.9

J 0.5 0.7 0.8 52.4

J 0.4 0.7 0.6 40.0

A 0.7 0.8 1.0 72.5

S 0.7 0.7 1.0 67.5

O 0.5 0.7 0.7 48.0

N 0.3 0.8 0.5 32.5

D 0.3 0.8 0.3 25.0

32

Lampiran 13 Hubungan nilai EI sebagai fungsi luas serangan tahun 2004-2009

- Bogor Barat (Bogor)

- Kuningan (Kuningan)

- Pacet (Pacet)

R² = 0.058

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

EI

LS (%)

R² = 0.272

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

EI

LS (%)

R² = 1E-05

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

EI

LS (%)