pemeriksaan autopsi haseo
DESCRIPTION
forensikTRANSCRIPT
4. Pemeriksaan Autopsi 2,3,4
Terdapat tiga pemeriksaan untuk jenazah autopsi, yaitu
a. Pemeriksaan luar
b. Pemeriksaan dalam
c. Pemeriksaan penunjang
Algoritma Pemeriksaan
7.a. Pemeriksaan Luar1,2
Bagian pertama dari teknik otopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika
pemeriksaan luar adalah :
1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan
pada jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama
berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap
mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar
jenazah, harus tetap ada pada tubuh mayat.
2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari penutup mayat.
3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada
4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas
sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi
bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian,
ukuran, merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial, dan
tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada
tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat
isinya.
5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk
serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6. Mencatat benda di samping mayat.
7. Mencatat perubahan tanatologi :
o Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
o Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi,
dan ada tidaknya spasme kadaverik.
o Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga
suhu ruangan pada saat tersebut.
o Pembusukan.
o Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.
8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan
umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/
tidak, striae albicantes pada dinding perut.
9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas
khusus, meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit,
anomali dan cacat pada tubuh.
10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut.
Rambut kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara
memotong dan mencabut sampai ke akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi
kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini disimpan dalam kantun-
gan yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya.
11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda
kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata,
warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak
perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau pa-
tologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat
ukuran pupil, bandingkan kiri dan kanan.
12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi
dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, ke-
lainan letak, pewarnaan, dan sebagainya.
14. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau pelebaran
pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara
menyeluruh.
15. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat ke-
lainan bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada
wanita dicatat keadaan selaput darah dan komisura posterior, periksa
sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan
adanya luka, benda asing, darah dan lain-lain.
16. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ik-
terus, sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran
lain pada tubuh.
17. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap
luka pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penye-
bab luka, lokasi, ukuran, dll. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur
setelah kedua tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil
beberapa patokan, antara lain : garis tengah melalui tulang dada, garis
tengah melalui tulang belakang, garis mendatar melalui kedua puting
susu, dan garis mendatar melalui pusat.
Contoh :
Luka panjang dua setengah sentimeter dan masuk ke dalam dada. Ujung yang
satu letaknya dua sentimeter sebelah kiri dari garis tengah melalui tulang dada dan dua
sentimeter di atas garis mendatar melalui kedua puting susu. Sedangkan ujung yang lain
lima sentimeter sebelah kiri dari garis tengah melalui tulang dada dan empat sentimeter
di atas garis mendatar melalui kedua puting susu. Saluran tusuk dilukis di bagian
pemeriksaan dalam, ditulis organ apa saja yang tertusuk.
7.b. Pemeriksaan Organ Dalam
Pemeriksaan dalam bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut ini :
Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus
xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari puat sampai simfisis, dengan
demikian tidak perlu melingkari pusat.
Insisi Y, merupakan salah satu tehnik khusus otopsi dan akan dijelaskan kemu-
dian.
Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis, lalu dari lekukan
suprasternal ini dibuat sayatan melingkari bagian leher.
Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati dan dicatat :
1. Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita pen-
gukur. Secara tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas inferior or-
gan. Organ hati yang mengeras juga menunjukkan adanya pembesaran.
2. Bentuk.
3. Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang lembut,
berkilat dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika terdapat
penebalan, permukaan yang kasar , penumpulan atau kekeruhan.
4. Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh tersebut.
5. Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ itu.
Caranya dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh pada saat di-
tarik. Jaringan yang mudah teregang (robek) menunjukkan kohesi yang rendah
sedangkan jaringan yang susah menunjukkan kohesi yang kuat.
6. Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur permukaan
penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna organ tubuh adalah ke-
abu-abuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah darah yang terdapat pada
organ tersebut. Warna kekuningan, infiltrasi lemak, lipofisi, hemosiferin atau ba-
han pigmen bisa merubah warna organ. Warna yang pucat merupakan tanda ane-
mia.
Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus juga
bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab
kematian. (4)
Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu :
1. Dada :
Jantung :
Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena kava
inferior sampai keluar di vena superior dan bagian ini dipotong. Ujung pisau di-
masukkan melalui katup trikuspidalis keluar di insisi bilik kanan dan bagian ini
dipotong. Ujung pisau lalu dimasukkan arteri pulmonalis dan otot jantung mulai
dari apeks dipotong sejajar dengan septum interventrikulorum.
Ujung pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena pul-
monalis kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup mi-
tral keluar di insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau kemudian di-
masukkan melalui katup aorta dan otot jantung dari apeks dipotong sejajar den-
gan septum inetrventrikulorum. Jantung sekarang sudah terbuka, diperiksa
katup, otot kapiler, chorda tendinea, foramen ovale, septum interventrikulorum.
Arteri koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5 mm mulai
dari lubang dikatup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di pertengahan sejajar
dengan epikardium dan endokardium, demikian pula dengan septum interven-
trikulorum.
Paru-paru :
Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong bronkhi dan
pembuluh darah di hilus, setelah perkardium diambil. Vena pulmonalis dibuka
dengan gunting, kemudian bronkhi dan terakhir arteri pulmonalis. Paru-paru di-
iris longitudinal dari apeks ke basis.
Tulang dada diangkat dengan memotong tulang rawan iga 1 cm dari
sambungannya dengan cara pisau dipegang dengan tangan kanan dengan bagian
tajam horizontal diarahkan pada tulang rawan iga dan dengan tangan yang lain
menekan pada punggung pisau. Pemotongan dimulai dari tulang rawan iga no. 2.
Tulang dada diangkat dan dilepaskan dari diafragma kanan dan kiri kemudian
dilepaskan mediastinum anterior. Rongga paru-paru diperiksa adanya perlengke-
tan, darah, pus atau cairan lain kemudian diukur.
Kemudian pisau dengan tangan kanan dimasukkan dalam rongga paru-
paru, bagian tajam tegak lurus diarahkan ke tulang rawan no.1 dan tulang rawan
dipotong sedikit ke lateral, kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke sendi ster-
noklavikularis dengan menggerak-gerakkan sternum, sendi dipisahkan. Prosedur
diulang untuk sendi yang lainnya.
Mediastinum anterior diperiksa adanya timus persistens. Perikardium
dibuka dengan Y terbalik, diperiksa cairan perikardium, normal sebanyak ku-
rang lebih 50 cc dengan warna agak kuning. Apeks jantung diangkat, dibuat in-
sisi di bilik dan serambi kanan diperiksa adanya embolus yang menutup arteri
pulmonalis. Kemudian dibuat insisi di bilik dan serambi kiri. Jantung dilepaskan
dengan memotong pembuluh besar dekat perikardium.
2. Perut :
Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati :
Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus di-
ikat ganda dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan unit
tadi dapat diangkat. Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya melekat
pada hati dilepaskan terlebih dahulu.
Esofagus dibuka terus ke kurvatura mayor, terus ke duodenum. Per-
hatikan isi lambung, dapat membantu penentuan saat kematian. Kandung
empedu ditekan, bulu empedu akan menonjol kemudian dibuka dengan gunting
ke arah papila Vater, kemudian dibuka ke arah hati, lalu kandung empedu
dibuka. Perhatikan mukosa dan adanya batu.
Buluh kelenjar ludah diperut dibuka dari papila Vater ke pankreas.
Pankreas dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong transversal.
Hati : perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan, kemudian dipo-
tong longitudinal.
Usus halus dan usus besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, per-
hatikan mukosa dan isinya, cacing.
Ginjal, Ureter, Rektum, dan Kandung Urine:
Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal dengan suatu
insisi lateral dapat diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh darah
di hilus, kemudian ureter dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung urine dan
rektum dilepaskan dengan cara memasukkan jari telunjuk lateral dari kandung
urine dan dengan cara tumpul membuat jalan sampai ke belakang rektum. Ke-
mudian dilakukan sama pada bagian sebelahnya. Tempat bertemunya kedua jari
telunjuk dibesarkan sehingga 4 jari kanan dan kiri dapat bertemu, kemudian jari
kelingking dinaikkan ke atas dengan demikian rektum lepas dari sakrum. Rek-
tum dan kandung urine dipotong sejauh dekat diafragma pelvis.
Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka dengan irisan longitudi-
nal dari lateral ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting sampai kandung urine,
kapsul ginjal dilepas dan perhatikan permukaannya. Pada laki-laki rektum
dibuka dari belakang dan kandung urine melalui uretra dari muka. Rektum
dilepaskan dari prostat dan dengan demikian terlihat vesika seminalis. Prostat
dipotong transversal, perhatikan besarnya penampang.
Testis dikeluarkan melalui kanalis spermatikus dan diiris longitudinal,
perhatikan besarnya, konsistensi, infeksi, normal, tubuli semineferi dapat ditarik
seperti benang.
Urogenital Perempuan :
Kandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus
dibuka dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan
dan ke kiri. Ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1-
1,5 cm. Ovarium diinsisi longitudinal.
Pada abortus provokatus kriminalis yang dilakukan dengan menusuk ke
dalam uterus, seluruhnya : kandung urine, uterus dan vagina, rektum difiksasi
dalam formalin 10% selama 7 hari, setelah itu dibuat irisan tegak lurus pada
sumbu rektum setebal 1,25 cm, kemudian semuanya direndam dalam alkohol se-
lama 24 jam. Saluran tusuk akan terlihat sebagai noda merah, hiperemis. Dari
noda merah ini dibuat sediaan histopatologi.
Pada beberapa keadaan tertentu, diperlukan berbagai prosedur khusus dalam
tindakan otopsi, antara lain : insisi ”Y”, insisi pada kasus dengan kelainan leher, tes
emboli udara, tes apung paru, tes pada pneumothorax, dan tes alphanaphthylamine.
Insisi ”Y”
1. Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan pada
tubuh pria.
Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan
sejajar dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu
pada bagian tengah (incisura jugularis).
Lanjutkan sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah bawah
tepat di garis pertengahan sampai ke sympisis os pubis menghin-
dari daerah umbilikus.
Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke rahang
bawah; tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat per-
tama kali.
Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-
alat dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan.
Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah mayat
yang biasa.
2. Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan untuk kaum
wanita.
Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada, dimulai
dari bagian lateral menuju bagaian medial (proc. Xiphoideus);
bagian lateral disini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah
sesuai dengan arah garis ketiak depan (linea axillaris anterior),
hal yang sama juga dilakukan untuk sisi yang lain (kiri dan
kanan).
Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai simphisis
os pubis, dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat
yang berada dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih
sulit bila dibandingkan dengan insisi ”Y” yang dangkal.
Insisi ”Y”, dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah
yang sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan
bedah mayat. Ada dua macam insisi ”Y”, yaitu :
Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher
o Buat insisi ”I”, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah
seperti biasa, sampai ke simpisis os pubis.
o Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga.
o Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava inferior,
vv.pulmonalis, a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.
o Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya.
o Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher
akan bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas ke arah
tengkorak dan ke bawah, ke arah rongga dada; dengan demikian pe-
meriksaan dapat dimulai.
Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga
kelainan yang minimalpun dapat terlihat; misalnya pada kasus pencekikan, penjeratan,
dan penggantungan. Prinsip dari teknik ini adalah pemeriksaan daerah dilakukan paling
akhir.
Tes emboli udara
o buat sayatan ”I”, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai
ke symphisis pubis,
o potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga
dan tulang dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-
3,
o potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,
o setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung
jantung dengan insisi ”I”, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua
ujung sayatan tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mence-
gah air yang keluar),
o masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat
tadi, sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung,
maka hal ini merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung,
o tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung
kanan, yang berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar
pisau itu 90 derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar menan-
dakan tes emboli hasilnya positif,
o bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis,
ke arah bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,
o bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan den-
gan prinsip yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada
jantung,
o semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner,
untuk tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya
adalah : pada tes emboli sistemik tidak dilakukan penusukan ventrikel,
tetapi sayatan melintang pada a. Coronaria sinistra ramus desenden, se-
cara serial beberapa tempat, dan diadakan pengurutan atas nadi tersebut,
agar tampak gelembung kecil yang keluar,
o dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk
emboli sistemik hanya beberapa ml.
Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak jarang
terjadi. Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada di
paru-paru, misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang
merobek paru-paru dan merobek pembuluh venanya.
Emboli pulmoner adalah emboli yang tersering, udara masuk melalui
pembuluh-pembuluh vena besar yang terfiksasi, misalnya pada daerah leher
bagian bawah, lipat paha atau daerah sekitar rahim (yang sedang hamil); dapat
pula pada daerah lain, misalnya pembuluh vena pergelangan tangan sewaktu
diinfus, dan udara masuk melalui jarum infus tadi. Fiksasi ini penting,
mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari tekanan udara luar, sehingga jika
ada robekan pada vena, vena tersebut akan menguncup, hal ini ditambah lagi
dengan pergerakan pernapasan, yang ”menyedot”.
Tes Apung Paru-paru
o Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam
satu kesatuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
o Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.
o Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang
kanan.
o Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan
pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua
lobus.
o Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan
mana yang terapung.
o Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong
dengan ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.
o Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan
potongan tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan
menggunakan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air.
o Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung
udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup.
o Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan par-
tial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup.
Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang
diperiksa itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya sama
dengan test emboli udara, yakni mayatnya harus segar. Cara melakukan tes
apung paru-paru:
Tes Pada Pneumothoraks
o Buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu seki-
tar iga ke 4 dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ),
o Buat ”kantung” dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari
daerah iga 4 dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )
o Pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan
pisau, adanya gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax;
dan bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,
o Cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar
dengan jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila
ada pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara pada spuit tadi.
Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek,
sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme ”ventil” di mana udara yang masuk
ke paru-paru akan diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak dapat keluar
kembali, sehingga terjadi kumulasi udara, dengan akibat paru-paru akan kolaps
dan korban akan mati.
Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar test ini, bila
test ini tidak dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara melakukan test ini
adalah sebagai berikut:
Tes Alpha Naphthylamine
o kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine,
dan keringkan dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari,
o pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-butir
mesiu, dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi
alpha-naphthylamine,
o di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh
lagi kertas saring yang dibasahi oleh aquadest,
o keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang
akan diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas
saring yang basah,
o test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada
kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-bintik
merah jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu pada paka-
ian. (5)
Test ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesin khususnya
pada pakaian korban penembakan. Setelah otopsi selesai, semua organ
tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke
dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak dikembalikan ke dalam rongga
tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat
membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang
kuat, mulai dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan
kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru
kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh mayat dari darah
sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga.
7.c. Pemeriksaan Penunjang2
Pada otopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu :
1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ.
Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan difiksasi dalam formalin
10%.Organ yang diambil adalah: paru-paru, hati, limpa, pankreas, otot jantung, arteri
koronaria, kelenjar gondok, ginjal, prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari
bagian lain yang menunjukkan adanya kelainan.
2. Pemeriksaan toksikologi.
1. Lambung dan isinya.
2. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan
pada pada usus setiap jarak sekitar 60 cm.
3. Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer
(v,jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50 ml dan
dibagi dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain tidak diberi
bahan pengawet.
4. Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
5. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat
khususnya atau bila urine tidak tersedia.
6. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sian-
ida, dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempun-
yai kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pem-
bususkan.
7. Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskre-
sikan melalui urine, khususnya pada test penyaring untuk keracunan
narkotika, alkohol dan stimulan.
8. Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
9. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot,
lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil
sebanyak-banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk
pemeriksaan histopatolgik. Secara umum sampel yang harus diambil adalah:
Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam
jenuh pada sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat
digunakan untuk sampel cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl mercuric
nitrate khusus untuk pengawet urine.
3. Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan
limpa untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menem-
pelkan spatel yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan darah jantung diambil
dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung reagen yang steril.
Permukaan limpa dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan pinset dan
gunting yang steril diambil sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung
reagen yang steril dan kedua tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi.
Dapus
1. Apuranto, Hariadi., dkk. 2009. Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal (hal.205-
208). Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal FK UNAIR
2. Bambang P, Kunthi Y, Arista H, Petunjuk Teknik Otopsi, Badan Penerbit
Univeristas Diponegoro, Semarang, 2009.
ILUNI FK’83. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan. http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:VRZRhHMNK2EJ:www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/uu-ri-
no-36-tahun-2009-tentang-
kesehatan t262.htm+UU+RI+36+no+119&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id . Diakses
tanggal 30 November 2014
3. Panduan Belajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
http://gamel.fk.ugm.ac.id/pluginfile.php?file=%2F23879%2Fmod_resource
%2Fcontent%2F0%2FBab%202%20Pemeriksaan%20Jenazah%20Forensik
%20%20Medikolegal.pdf Diakses tanggal 30 November 2014
4. Prameng BL, Yulianti K, Hardinisa A. Petunjuk Teknik Otopsi. 2012. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang
5. Chadha, PV. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi
Kelima.
6. Idries, AM. Prosedur Khusus. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi
Pertama. Binarupa Aksara. Jakarta. 1997 : 354-61.
7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita Se-
lekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 187-