penatalaksanaan

15
PENATALAKSANAAN Implikasi Terhadap Gizi Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang telah berlangsung lama. Gejala – gejalanya secara umum disebut sindroma uremik, gejala utamanya adalah gejala gastro intestinal seperti rasa mual , muntah dan menurunnya nafsu makan. Sehingga penderita umumnya berada dalam status gizi kurang. Penelitian terbatas terhadap status gizi penderita gagal ginjal kronik tanpa hemodialisis menunjukan bahwa dengan pengukuran antropometri 42,9% penderita berstatus gizi baik, 50% penderita berada dalam status gizi kurang dan 7,1% berada dalam status gizi buruk (Almatsier, 2007). Kebutuhan makanan yang mempengaruhi gagal ginjal kronik : 1. Asupan protein yang konsisten dan terkendali adalah penting. Protein tetap diperlukan sebagai zat pembangun tetapi asupan terlalu banyak dapat menyebabkan kadar BUN meningkat dan gejala uremia kembali. Oleh karena itu, ukuran porsi sebaiknya ditimbang atau diukur terlebih dahulu dan sesudah itu secara periodik di cek ketepatannya. Kebutuhan protein dipenuhin secara tersebar sepanjang hari, jangan hanya diberikan dalam satu hidangan. 2. Asupan kalori yang cukup adalah penting. Kalori yang terlalu rendah akan meningkatkan katabolisme. Bahan makanan sumber kalori tanpa protein, seperti mentega, minyak dan kue – kue manis yang diperbolehkan dapat diberikan secara bebas. 3. Bagi yang memerlukan pembatasan cairan. Sumber cairan termasuk juga makanan yang mencair pada temperatur kamar.

Upload: hanifahsa

Post on 08-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ggk

TRANSCRIPT

Page 1: PENATALAKSANAAN

PENATALAKSANAAN

Implikasi Terhadap Gizi

Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang telah berlangsung lama. Gejala –

gejalanya secara umum disebut sindroma uremik, gejala utamanya adalah gejala gastro intestinal

seperti rasa mual , muntah dan menurunnya nafsu makan. Sehingga penderita umumnya berada dalam

status gizi kurang. Penelitian terbatas terhadap status gizi penderita gagal ginjal kronik tanpa

hemodialisis menunjukan bahwa dengan pengukuran antropometri 42,9% penderita berstatus gizi

baik, 50% penderita berada dalam status gizi kurang dan 7,1% berada dalam status gizi buruk

(Almatsier, 2007).

Kebutuhan makanan yang mempengaruhi gagal ginjal kronik :

1. Asupan protein yang konsisten dan terkendali adalah penting.

Protein tetap diperlukan sebagai zat pembangun tetapi asupan terlalu banyak dapat

menyebabkan kadar BUN meningkat dan gejala uremia kembali. Oleh karena itu,

ukuran porsi sebaiknya ditimbang atau diukur terlebih dahulu dan sesudah itu secara

periodik di cek ketepatannya.

Kebutuhan protein dipenuhin secara tersebar sepanjang hari, jangan hanya diberikan

dalam satu hidangan.

2. Asupan kalori yang cukup adalah penting.

Kalori yang terlalu rendah akan meningkatkan katabolisme.

Bahan makanan sumber kalori tanpa protein, seperti mentega, minyak dan kue – kue

manis yang diperbolehkan dapat diberikan secara bebas.

3. Bagi yang memerlukan pembatasan cairan.

Sumber cairan termasuk juga makanan yang mencair pada temperatur kamar.

Cara yang mudah untuk mengukur masukan cairan adalah menggunakan air yang

berisi kebutuhan cairan total perhari dan menempatkan pada lemari es. Cairan yang

dikonsumsi, sesuai dengan jumlah air yang ada dalam kan.

Untuk mengurangi haus, cobalah :

a) Permen (hard candies).

b) Air yang sangat dingin bukan air biasa.

c) Kumur dan jaga kebersihan mulut yang baik.

4. Bagi yang memerlukan pembatasan kalium.

Kebutuhan kalium didasarkan pada data laboratorium dan gejala klinik, bahkan

makanan disesuaikan dengan kesukaan / kebiasaan makanan pasien.

Cara mengurangi kandungan kalium pada sayuran dan buah – buahan : potong kecil –

kecil, rendam satu malam, dan rebus dalam air yang baru.

Page 2: PENATALAKSANAAN

Ukuran porsi dibuat khusus sehingga setiap porsi mengandung kira – kira jumlah

protein, natrium dan kalium yang sama.

5. Pasien gagal ginjal yang dianjurkan banyak makan makanan manis (tinggi CHO) untuk

mencakupi asupan kalori, perlu diberi anjuran memperhatikan higinie mulut untuk

menghindari caries gigi.

6. Salah satu gejala sindroma uremik adalah menurunnya nafsu makan, maka pasien dianjurkan

untuk makan pagi yang baik. Karena uremia dapat mengakibatkan indra cita rasa, pasien

mungkin memilih makanan yang sangat berbumbu.

Terapi medika mentosa

1. Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi dan

memperlambat perkembangan penyakit.

Menurut Arief Mansjoer (2001) penatalaksanaan yang dilakukan pada klien dengan

gagal ginjal kronik :

a. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.

Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (250- 1000 mg/hr) atau diuretik

loop (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan,

sementara pasien lain mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau

natrium bikarbonat oral. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine dan

pencatatan keseimbangan cairan.

b. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit.

Untuk mencegah hiperkalemia, hindari masukan kalium yang besar, diuretik

hemat kalium, obat-obatan yang berhubungan dengan ekskresi kalium (misalnya,

obat anti-inflamasi nonsteroid).

c. Mencegah penyakit tulang.

Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti aluminium

hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat (500- 3000 mg) pada setiap

makan.

d. Deteksi dini dan terapi infeksi.

Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imonosupuratif dan terapi lebih ketat.

e. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal.

Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metaboliknya toksik

yang dikeluarkan oleh ginjal Misalnya: analgesik opiate, dan alupurinol.

f. Anemia pada pasien GGK

Page 3: PENATALAKSANAAN

Anemia pada GGK dapat diterapi dengan pemberian Recombinant Human

Erythropoetin (r-HuEPO) atau transfusi. Salah satu penanggulangan anemia yang

sering dilakukan adalah transfusi darah menggunakan Packed Red Cell (PRC).

Menurut National Kidney Foundation di Amerika (NKF-K/DOQI)

merekomendasikan pemberian Recombinat Human Erythropoeitin (r-HuEPO)

pada semua tingkat GGK, baik yang belum atau telah menjalani terapi dialisis.

Terapi r-HuEPO pada pasien GGK telah terbukti bermakna secara klinik

(Evidence level A) dapat menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi

akibat anemia pada pasien GGK. Selain itu terapi r-HuEPO dapat mengurangi

kebutuhan transfusi darah, mengurangi komplikasi transfusi, mengurangi efek

sekunder anemia terhadap sistem kardiovaskuler, serta meningkatkan kualitas

hidup secara umum (Kristanto, 2011). Walaupun sudah dibuktikan bahwa

pemberian r-HuEPO pada GGK secara bermakna memperbaiki kualitas hidup

penderita, mengingat harganya yang mahal sehingga tidak semua pasien

beruntung dan mampu mendapatkannya. Sedangkan PRC sebagian besar terdiri

dari sel darah merah/ eritrosit, akan tetapi masih mengandung sedikit sisa-sisa

leukosit dan trombosit. Indikasi pemberiannya adalah pada pasien anemia,

dengan syarat: akan dilakukannya operasi besar, tetapi Hb < 10; atau anemia yang

menimbulkan keluhan dan mengancam keselamatan.

g. Deteksi terapi komplikasi.

Awasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati uremia, perikarditis, neuropati

perifer, hiperkalemia meningkat, kelebihan volume cairan yang meningkat,

infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan, sehingga diperlukan

dialisis.

Agen alkalinisasi (seperti natrium bikarbonat atau larutan Shohl), pertukaran kation

resin mengikat kalium, antibiotik, antasid alumunium hidroksida atau alumunium

karbonat untuk mengikat fosfor, agen antihipertensi, dan diuretetik merupakan tindakan

pengobatan yang paling sering digunakan.

Dialisis diperlukan bila langkah – langkah ini, yang dikombinasikan dengan

pembatasan diet, tidak cukup untuk mencegah atau mengontrol hiperkalemia, kejenuhan

cairan, uremia simtomatik (mengantuk, mual, muntah dan tremor), atau kenaikan yang

cepat dari kadar BUN dan kreatinin. Walaupun hemodialisis banyak digunakan, semakin

banyak jumlah pasien yang memakai CAPD (chronic ambulatory peritoneal dialysis)

Page 4: PENATALAKSANAAN

atau CCPD (continuous cycling peritoneal dialysis), yang dilakukan setiap hari dan

sangat populer karena mudah dilakukan untuk pasien rawat jalan.

2. Pencucian darah

Cuci darah (dialisis) ada 2 macam , prinsip kerjanya berdasarkan proses difusi osmosis:

1. Hemodialisis : dipergunakan membran semipermeabel buatan (dialiser).

Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh. Selama hemodialisa darah

dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang

dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua

ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat,

sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh

dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-

shunt).

Menurut Arief Mansjoer (2001) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan

dengan kebutuhan individu.Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi

2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB

200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan

waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari

diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air,dan pH sudah tidak normal lagi.

Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah

rusak dalam proses hemodialisa.

Tujuan : Menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh, mengeluarkan sisa akhir produk

metabolisme dalam tubuh, menormalkan pH dalam tubuh.

Indikasi : Hemodialisa pada gagal ginjal kronik adalah berdasarkan data klinis dan

biokimia :

Page 5: PENATALAKSANAAN

1) Klinis meliputi : sindrom uremia , penurunan kesadaran, over load, anuria

(lebih dari 3 hari).

2) Biokimia meliputi : Uremia (> 200 mg/dl), hiperkalemia (> 7 mEq/l), asidosis.

Page 6: PENATALAKSANAAN

Komplikasi hemodialisa:

1) Kram otot

Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa

sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi

pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.

2) Hipotensi

Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,

rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati

otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.

3) Aritmia

Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan

kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh

terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.

4) Sindrom ketidakseimbangan dialisa

Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan

dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat

Page 7: PENATALAKSANAAN

dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara

kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan

perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini

tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa

pertama dengan azotemia berat.

5) Hipoksemia

Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor

pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

6) Perdarahan

Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat

dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama

hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

7) Ganguan pencernaan

Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang

disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan

sakit kepala.

8) Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.

9) Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak

adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

2. Peritoneal dialisis : menggunakan selaput dinding perut (peritoneum) pasien sendiri

sebagai membran semipermiabel. Peritoneal dialisis merupakan salah satu tipe

dialisis, dimana darah dibersihkan di dalam tubuh. Dokter akan melakukan

pembedahan untuk memasang akses berupa catheter di dalam abdomen penderita.

Pada saat tindakan, area abdominal pasien akan secara perlahan diisi oleh cairan

dialisat melalui catheter. Ada dua macam peritoneal dialysis yaitu continous

peritoneal dialysis (CAPD) dan Continonus Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD).

Untuk Indonesia CAPD lebih lazim digunakan daripada CCPD. Pada CAPD

penderita melakukan sendiri tindakan medis tanap bantuan mesin dan biasanya

berlangsung 4 kali sehari masing – masing selama 30 menit.

Page 8: PENATALAKSANAAN

Pada gagal ginjal kronik diperlukan terapi cuci darah seumur hidup sebagai terapi

pengganti ginjal kecuali dilakukan operasi cangkok ginjal untuk mengganti ginjal yang

rusak.

Idealnya cuci darah dilakukan 2 – 3 kali dalam seminggu. Apabila pasien ingin

mengurangi frekuensi dialisis, maka harus membatasi diet protein dan air lebih ketat,

yang mempunyai konsekuensi terjadi malnutrisi kurang disarankan. Penundaan cuci

darah dapat berisiko terjadi komplikasi seperti pembengkakan paru – paru, kejang –

kejang, penurunan kesadaran, gangguan elektrolit yang berat, perdarahan saluran cerna,

gagal jantung bahkan bisa menimbulkan kematian.

3. Transplantasi ginjal atau pencangkokan ginjal

Transplatasi ginjal adalah terapi pengganti ginjal yang melibatkan pencangkokan

ginjal dari orang hidup atau mati kepada orang yang membutuhkan. Transplatasi ginjal

adalah terapi pilihan untuk sebagian besar pasien dengan gagal ginjal kronik.

Transplatasi ginjal menjadi pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Transplatasi ginjal biasanya diletakkan di fossa iliaka bukan diletakkan di tempat

ginjal yang asli, sehingga diperlukan pasokan darah yang berbeda, seperti arteri renalis

yang dihubungkan ke arteri iliaka eksterna dan vena renalis yang dihubungkan ke vena

iliaka ekstema.

Page 9: PENATALAKSANAAN

Terdapat sejumlah komplikasi setelah transplatasi, seperti penolakan (rejeksi), infeksi,

sepsis, gangguan poliferasi limfa pasca transplatasi, ketidakseimbangan elektrolit.

Terapi gizi

Seiring penderita gagal ginjal kronik mengalami mual dan muntah oleh karena itu porsi

makanan diusahakan kecil tapi bernilai gizi dan diberikan dalam frekuensi yang lebih sering.

Makanan dihidanhkan secara menarik, bervariasi, sesuai dengan kebutuhan penderita. Karena

penderita sering mengalami malnutrisi maka perlu diperhatikan asupan energi dan protein.

Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber energi. Pemenuhan asupan energi

terutama diperoleh dari bahan makanan pokok. Masukan yang adekuat sangat diperlukan

untuk mencapai status gizi optinal.

Keadaan gizi penderita gagal ginjal kronik sangat penting untuk dipertahankan dan

ditingkatkan. Tujuan diet untuk pasien gagal ginjal kronik adalah :

1. Mencukupi kebutuhan protein untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan juga

mencegah berlebihnya akumulasi sisa metabolisme diantara dialysis.

2. Memberikan cukup energi untuk mencegah katabolisme jaringan tubuh.

3. Mengatur asupan natrium untuk mengantisipasi tekanan darah dan oedem.

4. Membatasi asupan kalium untuk mencegah hiperkalemia.

5. Mengatur asupan cairan, untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan di antara

dialysis.

6. Membatasi asupan phospor.

7. Mencukupi kebutuhan zat –zat gizi lainnya terutama vitamin – vitamin yang larut

dalam proses dialisis.

Syarat diet :

Energi cukup yaitu 30 - 35 kkal/kg BB. Asupan energi harus harus optimal dari

golongan bahan makanan non protein. Ini dimaksudkan untuk mencegah gangguan

protein sebagai sumber energi, bahan – bahan ini biasa diperoleh dari minyak,

mentega, margarin, gula, madu, sirup, jamu dan lain – lain.

Protein 0,6 - 0,75 g/kg BB. Pembatasan protein dilakukan berdasarkan berat badan,

derajat insufisiensi renal, dan tipe dialisis yang akan dijalani. Protein hewani lebih

dianjurkan karena nilai biologisnya lebih tinggi ketimbang protein nabati. Mutu

protein dapat ditingkatkan dengan memberikan asam amino esensial murni.

1. Diet protein rendah I : 30 g protein , untuk BB 50 kg.

2. Diet protein rendah II : 35 g protein, untuk BB 60 kg.

3. Diet protein rendah III : 40 g protein, untuk BB 65 kg.

Page 10: PENATALAKSANAAN

Sumber protein ini biasanya dari golongan hewani misalnya telur, daging, ayam,

ikan, susu, dan lain dalm jumlah sesuai anjuran. Untuk meningkatkan kadar

albuminnya diberikan bahan makanan tambahan misalnya ekstrak lele atau dengan

putih telur 4 kali sehari.

Lemak cukup 20 – 30 % dari total kebutuhan energi total. Diutamakan lemak tidak

jenuh ganda. Perbandingan lemak jenuh dan tk jenuh adalah 1:1.

Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi energi yang berasal dari

protein dan lemak. Karbohidrat yang diberikan pertama adalah karbohidrat kompleks.

Natrium yang diberikan antara 1 – 3 g. Pembatasan natrium dapat membantu

mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat mencegah kelebihan asupan cairan.

Bahan makanan tinggi natrium yang tidak dianjurkan antara lain : bahan makanan

yang dikalengkan. Garam natrium yang ditambahkan ke dalam makanan seperti

natrium bikarbonat atau soda kue, natrium benzoate atau pengawetan buah, natrium

nitrit atau sendawa yang digunakan sebagai pengawet daging seperti pada “corner

beff”.

Kalium dibatasi (40 – 70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium daarah > 5,5 mEq),

oligura, atau anuria. Makanan tinggi kalium adalah umbi, buah – buahan, alpukat,

pisang ambon, mangga, tomat, rebung, daun singkong, daun papaya, bayam, kacang

tanah, kacang hijau dan kacang kedelai.

Kalsium dan Phospor hendaknya dikontrol keadaan hipokalsium dan

hiperphosphatemi, ini untuk menghindari terjadinya hiperparathyroidisme dan

seminimal mingkin mencegah klasifikasi dari tulang dan jaringan tubuh. Asupan

phosphor 400 – 900 ml/hari, kalsium 1000 – 1400 mg/hari.

Cairan dibatasi yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran cairan

melalui keringat dan pernapasan ( ± 500 ml )

Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam folat , vitamin C, dan

vitamin D.

Sumber : Almatsier, 2007 dan Hartono, 2004.

Referensi :

1. Almatsier, S. 2007. Penuntun Diet Instalasi Gizi Perjan RSCM. Jakarta : Gramedia.

2. Hartono, Andry. 2004. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta : EGC.