pengaruh asuhan keperawatan pada klien,...
TRANSCRIPT
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT
TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Rahmi Imelisa1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIADEPOK, JULI 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT
TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Rahmi Imelisa1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWAUNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
iii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
iv
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
v
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
vi
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang sebesar-besarnya penyusun sampaikan kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan karuniaNya kepada penyusun sehingga tesis ini dapat
diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka mencapai gelar
Magister Keperawatan Jiwa pada Program Pasca Sarjana Keperawatan
Universitas Indonesia. Dalam penyusunan tesis ini penyusun mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun bermaksud mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dewi Irawaty, MA. Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc., sebagai dosen pembimbing 1
yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penyusun
sehingga penyusun dapat terus berproses menyelesaikan tesis ini.
4. Drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes. sebagai dosen pembimbing 2 yang telah
meluangkan waktu, dan mengarahkan penyusun sehingga dapat memahami
rancangan berjalannya penelitian tesis ini.
5. Mustikasari, S.Kp., MARS., sebagai penguji 1 yang telah banyak memberikan
masukan untuk perbaikan tesis ini.
6. Ibu Nurhalimah, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.J., sebagai penguji 2 yang telah
memberikan banyak masukan untuk perbaikan tesis ini.
7. Novy Helena C.D.,S.Kp., M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang
dengan penuh pengertian mengarahkan penyusun selama menjalani masa studi
Program Magister Keperawatan Jiwa.
8. Bpk. Darsono, sebagai Kepala Puskesmas Kersamanah, yang telah dengan
terbuka mengizinkan penyusun untuk melakukan penelitian di Kecamatan
Kersamanah Garut.
9. Bpk. Iyus dan Ibu Ai sebagai staf program Kesehatan Jiwa Puskesmas
Kersamanah yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
vii
10. Ibu Lilis, Ibu Nyai, Ibu Nunung, Ibu Siti dan Ibu Alit, sebagai kader kesehatan
jiwa yang telah bersedia dan penuh semangat menjalani peran PMO dalam
penelitian ini.
11. Seluruh dosen Program Pasca Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia
yang telah membagi ilmu yang dimilikinya.
12. Keluarga yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada penyusun.
13. Teman-teman Angkatan VI Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan
Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang
unik dan selalu memberikan semangat kepada penyusun.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan semua pihak yang
terlibat dalam penelitian ini nantinya.
Depok, Juli 2012
Penyusun
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
viii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
ix Universitas Indonesia
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS INDONESIA
Tesis, Juli 2012
Rahmi Imelisa
Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut
xviii + 118 hal + 29 tabel + 5 skema + 17 lampiran
ABSTRAK
Prevalensi schizophrenia di Kersamanah adalah sebesar 2.6/1000 jiwa, dan 39,8% klien drop out berobat. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (terapi keperawatan) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan purposive sampling. Penelitian menggunakan instrumen kemandirian CMHN Jakarta dan MARS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna kemandirian dan kepatuhan berobat setelah diberikan terapi keperawatan (p-value<α=0.05). Terdapat perbedaan perubahan bermakna pada kelompok intervensi dan kontrol (p-value<α=0.05). Terdapat hubungan erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat (p-value < α=0.05). Saran dari penelitian ini adalah dikembangkannya asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO di Kersamanah.
Kata kunci : schizophrenia, kemandirian, kepatuhan berobat, PMO dan psikoedukasi keluarga
Daftar pustaka 29 (2006-2011)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
x Universitas Indonesia
POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSINGUNIVERSITY OF INDONESIA
Thesis, July 2012
Rahmi Imelisa
The effect of nursing process to client, family and ‘Pengawas Minum Obat’ role to independency and medication adherence of schizophrenic client in Kersamanah Garut.
xviii + 118 page + 29 table + 5 scheme + 17 appendix
ABSTRACT
The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p-value < α=0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < α=0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < α=0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah.
Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation
References 29 (2006-2011)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
ix
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS INDONESIA
Tesis, Juli 2012
Rahmi Imelisa
Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut
xviii + 118 hal + 29 tabel + 5 skema + 17 lampiran
ABSTRAK
Prevalensi schizophrenia di Kersamanah adalah sebesar 2.6/1000 jiwa, dan 39,8% klien drop out berobat. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (terapi keperawatan) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan purposive sampling. Penelitian menggunakan instrumen kemandirian CMHN Jakarta dan MARS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna kemandirian dan kepatuhan berobat setelah diberikan terapi keperawatan (p-value<α=0.05). Terdapat perbedaan perubahan bermakna pada kelompok intervensi dan kontrol (p-value<α=0.05). Terdapat hubungan erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat (p-value < α=0.05). Saran dari penelitian ini adalah dikembangkannya asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO di Kersamanah.
Kata kunci : schizophrenia, kemandirian, kepatuhan berobat, PMO dan psikoedukasi keluarga
Daftar pustaka 29 (2006-2011)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
x
POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSINGUNIVERSITY OF INDONESIA
Thesis, July 2012
Rahmi Imelisa
The effect of nursing process to client, family and ‘Pengawas Minum Obat’ role to independency and medication adherence of schizophrenic client in Kersamanah Garut.
xviii + 118 page + 29 table + 5 scheme + 17 appendix
ABSTRACT
The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p-value < α=0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < α=0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < α=0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah.
Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation
References 29 (2006-2011)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL iHALAMAN JUDUL iiHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iiiHALAMAN PENGESAHAN ivLEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN vKATA PENGANTAR viHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI viiiABSTRAK ixABSTRACT xDAFTAR ISI xiDAFTAR SKEMA xivDAFTAR TABEL xvDAFTAR LAMPIRAN xviii
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 11.2 Rumusan Masalah 91.3 Tujuan Penelitian 11
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian 111.3.2 Tujuan Khusus Penelitian 11
1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Pelayanan Keperawatan 121.4.2 Ilmu Pengetahuan 121.4.3 Penelitian Keperawatan 12
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Schizophrenia
2.1.1 Definisi schizophrenia 132.1.2 Proses terjadinya schizophrenia 162.1.3 Tanda dan gejala schizophrenia 182.1.4 Proses keperawatan pada klien dengan schizophrenia 20
2.1.4.1 Pengkajian 212.1.4.2 Diagnosa keperawatan 272.1.4.3 Intervensi keperawatan 30
1. Intervensi keperawatan generalis 302. Intervensi keperawatan spesialis 313. Pemberdayaan kader dan peran pengawas minum obat 34
2.1.4.4 Pedoman pelaksanaan terapi1. Asuhan keperawatan generalis pada klien 412. Family Psychoeducation pada keluarga 413. Pelaksanaan peran Pengawas Minum Obat oleh kader 44
2.1.4.5 Hasil akhir dan evaluasi intervensi keperawatan 45
2.2 Kemandirian klien schizophrenia 472.2.1 Efek schizophrenia terhadap aktivitas sehari-hari 482.2.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian 49
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xii
2.2.3 Pengukuran kemandirian 502.3 Kepatuhan berobat
2.3.1 Definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan 502.3.2 Batasan karakteristik 522.3.3 Faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan 522.3.4 Cara mengukur kepatuhan 53
BAB 3. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka teori 553.2 Kerangka konsep penelitian 593.3 Hipotesis 623.4 Definisi operasional 62
BAB 4. METODE PENELITIAN4.1 Rancangan penelitian 644.2 Populasi dan sampel 65
4.2.1 Populasi 654.2.2 Sampel 66
4.3 Waktu dan tempat penelitian 694.4 Etika penelitian 704.5 Instrumen penelitian 734.6 Uji coba instrumen 754.7 Prosedur pelaksanaan penelitian 76
4.7.1 Tahap persiapan 764.7.2 Tahap pelaksanaan 774.7.3 Tahap akhir 77
4.8 Pengolahan data 784.9 Analisa data 79
4.9.1 Analisa data univariat 794.9.2 Analisa data bivariat 804.9.3 Analisa data multivariat 82
BAB 5. HASIL PENELITIAN5.1 Karakteristik klien schizophrenia 83
5.1.1 Karakteristik usia klien 835.1.2 Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan
terhadap pelayanan kesehatan 845.1.3 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut 86
5.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 875.2.1 Kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan
terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 87
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xiii
5.2.2 Perubahan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 88
5.2.3 Kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90
5.2.4 Hubungan karakteristik dengan kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 91
5.3 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Garut 92
5.3.1 Kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 92
5.3.2 Perubahan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 935.3.3 Kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95
5.3.4 Hubungan karakteristik dengan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 96
5.4 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 98
BAB 6 PEMBAHASAN6.1 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
pada kemandirian klien 996.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kepatuhan berobat klien 1046.3 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 1096.4 Faktor predisposisi klien schizophrenia 1106.5 Keterbatasan penelitian 1116.6 Implikasi hasil penelitian 112
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN7.1 Kesimpulan 1137.2 Saran 114
DAFTAR PUSTAKA 117LAMPIRAN
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xiv
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Model Stress Adaptasi Stuart 20
Skema 3.1 Kerangka teori 58
Skema 3.2 Kerangka konsep penelitian 61
Skema 4.1 Rancangan penelitian 64
Skema 4.2 Gambaran prosedur penelitian 78
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Diagnosa keperawatan pada klien dengan schizophrenia 27
Tabel 3.1 Definisi operasional dan variabel penelitian 63
Tabel 4.1 Pemetaan jumlah klien berdasarkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol 69
Tabel 4.2 Kisi-kisi instrumen pengukuran kemandirian klien schizophrenia 74
Tabel 4.3 Kisi-kisi instrumen pengukuran kepatuhan berobat klien schizophrenia 74
Tabel 4.4 Analisis bivariat variabel penelitian 81
Tabel 5.1 Analisis karakteristik klien pada kelompok intervensi dan kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut 84
Tabel 5.2 Kesetaraan karakteristik klien schizophrenia berdasarkan usia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut 84
Tabel 5.3 Distribusi karakteristik klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah
Kabupaten Garut 85
Tabel 5.4 Kesetaraan karakteristik klien berdasarkan jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut 86
Tabel 5.5 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 86
Tabel 5.6 Analisis kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 87
Tabel 5.7 Analisis kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 88
Tabel 5.8 Analisis perbedaan kemandirian klien schizophrenia sebelum
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xvi
sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 89
Tabel 5.9 Analisa beda rata-rata selisih kemandirian klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 89
Tabel 5.10 Analisis kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90
Tabel 5.11 Perbedaan kemandirian klien schizophrenia setelah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90
Tabel 5.12 Analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 91
Tabel 5.13 Perbedaan rata-rata kemandirian sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol 92
Tabel 5.14 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 93
Tabel 5.15 Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 93
Tabel 5.16 Analisis perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 94
Tabel 5.17 Analisis beda rata-rata selisih kepatuhan berobat klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95
Tabel 5.18 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95
Tabel 5.19 Perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 96
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xvii
Tabel 5.20 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 97
Tabel 5.21 Perbedaan rata-rata kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol 97
Tabel 5.22 Analisis hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 98
Tabel 6.1 Perbandingan presentase peningkatan kemandirian pada penelitian CMHN Jakarta dengan penelitian Kersamanah Garut 102
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Jadwal pelaksanaan penelitian Lampiran 1
Penjelasan penelitian Lampiran 2
Lembar persetujuan responden (informed consent) Lampiran 3
Kuesioner 1 Lampiran 4
Kuesioner 2 Lampiran 5
Kuesioner 3 Lampiran 6
Keterangan lolos uji etik Lampiran 7
Keterangan lolos expert validity Lampiran 8
Keterangan lolos uji kompetensi Lampiran 9
Standar Asuhan Keperawatan Jiwa (Diagnosa Gangguan) Lampiran 10
Modul terapi Family Psycho Education (FPE) Lampiran 11
Buku kerja FPE Lampiran 12
Buku evaluasi PMO Lampiran 13
Buku evaluasi peneliti Lampiran 14
Pedoman pembekalan kader Lampiran 15
Surat-surat Lampiran 16
Daftar riwayat hidup peneliti Lampiran 17
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
1Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Schizophrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapat
perhatian. Menurut World Health Organiztion (WHO), schizophrenia
merupakan gangguan mental serius yang mempengaruhi sekitar tujuh dari
1000 populasi orang dewasa, kebanyakan dalam rentang usia 15 - 35 tahun.
Walaupun insidennya rendah (3/10.000), prevalensi penyakit ini cukup tinggi
karena penyakit ini bersifat kronis (WHO, 2012). Prevalensi median dari
schizophrenia adalah 4.6/1.000 untuk prevalensi point, 3.3/1.000 for
prevalensi periodik dan 4.0/1.000 untuk lifetime prevalence dan 7.2/1.000
untuk risiko morbiditas (NCBI, 2012). Melihat prevalensi ini, schizophrenia
perlu mendapat perhatian dalam penanganan dan pencegahan meningkatnya
prevalensi.
Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia tidak jauh berbeda dengan
prevalensinya di dunia. Angka kejadian gangguan jiwa di Indonesia
berdasarkan data riskesdas adalah sebesar 4,6/1000 jiwa (Balitbangkes, 2007).
Angka ini sama dengan angka prevalensi median gangguan jiwa di dunia. Di
Indonesia diperkirakan sekitar 1 juta penduduk menderita gangguan jiwa
(Depkes, 2012). Hasil pendataan kesehatan untuk schizophrenia ini bisa jadi
merupakan fenomena ‘gunung es’ di mana angka sebenarnya di lapangan
dapat lebih besar, karena stigma yang buruk mengenai gangguan jiwa yang
menyebabkan kejadian gangguan jiwa atau schizophrenia banyak ditutup-
tutupi oleh masyarakat.
Penyakit schizophrenia juga dianggap penyakit yang tidak kalah berbahaya
dibandingkan dengan penyakit-penyakit fisik kronis lainnya. Ho, Black dan
Andreasen (2003, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa schizophrenia
mungkin merupakan penyakit yang paling membingungkan dan paling tragis
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2
Universitas Indonesia
yang mengancam jiwa, dan mungkin juga penyakit yang paling merusak.
Penyakit ini tidak kalah berbahaya dibanding penyakit fisik kronis lainnya
pada usia dewasa. Schizophrenia menyerang pada usia muda, karena itu tidak
seperti pasien dengan kanker atau penyakit jantung, pasien dengan
schizophrenia masih tetap hidup bertahun tahun setelah onset penyakit dan
terus menderita karena efek penyakit tersebut, sehingga menghambat mereka
untuk menjalani kehidupan dengan normal, seperti sekolah, bekerja, memiliki
teman dekat, menikah, atau memiliki anak. Schizophrenia dapat berefek
terhadap individu, keluarga dan juga menyebabkan beban ekonomi yang besar
di masyarakat (Townsend, 2009). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat
bahwa selain berbahaya, penyakit ini juga berdampak buruk pada keluarga
dan menjadi beban bagi masyarakat.
Klien dengan schizophrenia terpisah dari dunia nyata dan memiliki dunianya
sendiri, seperti pengertian kata schizophrenia yang diambil dari bahasa
Yunani ‘schizein’ yang berarti terbelah dan ‘phren’ yang berarti pikiran
(Townsend, 2009). Orang dengan schizophrenia dapat mendengarkan suara
yang tidak dapat didengar orang lain. Mereka dapat berpikir bahwa orang lain
dapat membaca pikirannya, mengontrol pikirannya, atau berencana untuk
menyakiti mereka. Hal ini menakutkan bagi penderita schizophrenia dan
membuat mereka menarik diri atau gelisah berlebihan. Keluarga dan
masyarakat sekitar dapat juga terkena dampak dari schizophrenia.
Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam
menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka
mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Dari sini dapat
dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
Orang dengan schizophrenia akan mengalami gangguan dalam
kemandiriannya menjalankan fungsi dan peran dalam kehidupan sehari hari,
seperti merawat diri sendiri, sekolah atau bekerja dan fungsi lainnya. Oleh
karena itu, pasien dengan schizophrenia memerlukan bantuan dari pihak lain
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
3
Universitas Indonesia
untuk tetap bertahan hidup, atau dengan kata lain bergantung pada bantuan
orang lain (NIMH, 2012). Unit terdekat yang dapat membantu pasien dengan
schizophrenia adalah keluarga. Karena prevalensinya yang tinggi dan penyakit
ini bersifat kronik maka selain memberikan penanganan secara medis dengan
obat-obatan, diperlukan juga terapi untuk meningkatkan kemandirian klien
agar selama menjalani pengobatan kemandirian klien dapat ditingkatkan dan
dapat mengurangi kebergantungan pasien pada orang lain.
Schizophrenia sampai dapat menyebabkan kematian karena kejadian bunuh
diri. Radomsky, Haas, Mann, dan Sweeney (1999, dalam Townsend, 2009)
memperkirakan 10% pasien dengan schizophrenia meninggal karena bunuh
diri. Penelitian lain memperkirakan kejadian ide bunuh diri pada klien
schizophrenia sekitar 40 - 55% dan percobaan bunuh diri sekitar 20 – 50%
(Addington, 2006 dalam Townsend, 2009). Mempertimbangkan bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh penyakit ini kepada individu, maka schizophrenia ini
perlu mendapat perhatian serius dalam penanganannya.
Penanganan masalah gangguan jiwa perlu dirancang dengan baik dengan
mengikutsertakan berbagai pihak. Menurut perhitungan utilisasi layanan
kesehatan jiwa di tingkat primer, sekunder, dan tertier kesenjangan
pengobatan diperkirakan >90%. Hal ini berarti bahwa hanya <10% orang
dengan masalah kesehatan jiwa terlayani di fasilitas kesehatan (Diatri, 2011).
Perawatan pasien dengan schizophrenia dapat disediakan pada taraf
komunitas, dengan keaktifan keluarga dan keterlibatan komunitas di sekitar
pasien (WHO, 2012). Dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah ini
diperlukan penanganan tidak hanya kepada klien, tetapi juga kepada keluarga
dan masyarakat yang dapat terkena dampak dari penyakit ini.
Banyak penanganan berupa terapi telah dikembangkan oleh berbagai disiplin
ilmu untuk mengatasi masalah gangguan jiwa. Berbagai penelitian juga terus
dikembangkan untuk mengetahui efek dari terapi-terapi tersebut. Townsend
(2009) menyatakan bahwa saat ini dan mungkin selamanya tidak akan ada
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
4
Universitas Indonesia
satu penanganan saja yang bisa mengatasi schizophrenia. Karena itu,
penanganan yang efektif memerlukan usaha yang komprehensif, melibatkan
multidisiplin, termasuk terapi farmaka dan berbagai bentuk perawatan
psikososial, seperti kemampuan untuk menjalani hidup sehari-hari dan
keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009).
Karena itu, penanganan schizophrenia memerlukan kombinasi antara terapi
farmaka dan terapi lain seperti psikoterapi, rehabilitasi dan sebagainya.
Penanganan penyakit schizophrenia dapat melibatkan penanganan medis,
psikoterapi dan rehabilitasi. Dalam keperawatan telah dikenal adanya Standar
Asuhan Keperawatan (SAK) Jiwa yang merupakan panduan bagi perawat
dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dan keluarganya. SAK ini
digunakan oleh perawat untuk memberikan tindakan keperawatan generalis.
SAK ini berisi panduan untuk menangani diagnosa keperawatan Sedangkan
untuk terapi spesialis keperawatan jiwa telah dikembangkan berbagai
psikoterapi untuk individu, kelompok dan keluarga.
Keluarga sebagai unit sosial terdekat dengan klien juga memerlukan terapi
untuk menangani anggota keluarganya yang mengalami schizophrenia. Selain
asuhan keperawatan generalis sesuai SAK, saat ini telah dikembangkan pula
psikoterapi untuk keluarga antara lain Family Psychoeducation dan Triangle
Therapy (Keliat & Walter, 2011). Berbagai terapi ini terus dikembangkan dan
banyak dilakukan penelitian untuk terus mengembangkan metoda terapi dan
efeknya untuk masalah dan gangguan kesehatan jiwa.
Family psycho-education (FPE) atau psikoedukasi keluarga adalah salah satu
terapi untuk keluarga yang dapat digunakan di berbagai setting pelayanan
keperawatan jiwa. Psikoedukasi adalah pendekatan edukasional dan pragmatis
yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan mengenai anggota keluarga
yang sakit, mengurangi kekambuhan, dan memperbaiki keberjalanan fungsi
pasien dan keluarga (Stuart, 2009). Psikoedukasi keluarga dapat diberikan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
5
Universitas Indonesia
pada keluarga dalam berbagai setting, baik di rumah sakit jiwa, rumah sakit
umum maupun di komunitas.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek dari pemberian
FPE ini secara langsung kepada keluarga dan secara tidak langsung kepada
klien. Salah satu penelitian dalam The British Journal of Psychology
menunjukkan efek pemberian FPE pada keluarga yang merawat klien dengan
depresi mayor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada
kelompok yang diberikan FPE, waktu kekambuhan klien secara statistik lebih
panjang dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE
(Kaplan-Meier survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Hal ini
menunjukkan bahwa intervensi pada keluarga memberikan dampak yang
positif terhadap klien.
Pemberdayaan masyarakat dalam menangani schizophrenia juga tidak dapat
diabaikan. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa masalah
schizophrenia memberikan dampak pada keluarga dan masyarakat di
sekitarnya. Karena itu keberadaan keluarga dan masyarakat perlu
dipertimbangkan dalam rangka menangani masalah gangguan jiwa ini.
Pemberdayaan masyarakat dalam keperawatan kesehatan jiwa diwujudkan
dengan dikembangkannya model Community Mental Health Nursing
(CMHN). CMHN / Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (KKJK)
merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu masyarakat
menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa akibat dampak konflik,
tsunami, gempa maupun bencana lainnya (Keliat dkk, 2011). Dalam CMHN
masyarakat diberdayakan agar dapat mengatasi masalah kesehatan jiwa di
wilayah tempat tinggalnya.
Penelitian terkait penerapan model CMHN yang dilakukan Keliat, Helena dan
Riasmini (2011) yang mengujicobakan model CMHN pada 237 keluarga di
DKI Jakarta. Pada penelitian ini perawat CMHN melakukan kunjungan rumah
dilakukan sebanyak 12 kali kunjungan. Penelitian dilakukan dengan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
6
Universitas Indonesia
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dan memberikan health
education kepada keluarga klien. Hasil analisis menunjukkan rata-rata
kemandirian pasien pada kelompok intervensi sebelum penerapan model
CMHN yaitu 29.94, standar deviasi 11.27, dan setelah penerapan model
CMHN yaitu 38.83, standar deviasi 9.32. Rata-rata waktu produktif pasien
pada kelompok intervensi sebelum penerapan model CMHN yaitu 2.21,
standar deviasi 1.36, dan setelah penerapan model sebesar 3.82, standar
deviasi 1.28. Ada perbedaan bermakna kemampuan kognitif keluarga sebelum
dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi (p value = 0.000), sedangkan
pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan bermakna (p value = 0.123) ada
perbedaan bermakna kemampuan psikomotor sebelum dan setelah penerapan
model CMHN baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol (p
value = 0.000 dan 0.027). Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa penerapan
model CMHN berdampak positif terhadap klien dan keluarga.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pola kunjungan rumah
seperti pada penelitian di atas ditambah dengan pemberdayaan kader untuk
menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat). Peran PMO digunakan
dengan mempertimbangkan sumber daya yang telah ada, yaitu tersedianya
kader yang khusus berperan dalam program kesehatan jiwa dan fenomena
yang ditemukan selama peneliti melakukan studi pendahuluan yang akan
dijelaskan lebih rinci pada paragraf selanjutnya.
Peran kader dalam model CMHN salah satunya adalah melakukan kunjungan
rumah ke keluarga pasien gangguan jiwa yang telah mandiri (Keliat, 2010).
Kegiatan yang dapat dilakukan saat kader melakukan kunjungan rumah adalah
menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat) seperti yang telah
dikembangkan oleh Departemen Kesehatan untuk penyakit tuberculosis. PMO
bertugas untuk menjamin keteraturan pengobatan klien. PMO sendiri
sebaiknya dilakukan oleh petugas kesehatan, atau jika tidak memungkinkan
dapat dilakukan oleh kader atau keluarga klien (Nizar, 2010). Pada penelitian
ini akan diujicobakan pelaksanaan peran PMO oleh kader.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
7
Universitas Indonesia
Kecamatan Kersamanah adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Garut
Propinsi Jawa Barat yang cukup potensial untuk diberikan terapi spesialis.
Jumlah klien gangguan jiwa di kecamatan tersebut sampai akhir Desember
2011 mencapai 98 orang dari total jumlah penduduk 37.681 orang. Dengan
demikian prevalensi gangguan jiwa di kecamatan tersebut adalah 2,6/1000
jiwa. Angka ini lebih besar dari prevalensi di Provinsi Jawa Barat yang
mencapai 2,2/1000 jiwa. Desa Kersamanah yang memiliki jumlah klien paling
banyak, yaitu 35 klien, sempat diberitakan sebagai ‘desa gila’ pada tahun
2008 dalam salah satu media massa di Jawa Barat. Berdasarkan data Bulan
Januari 2012 yang diperoleh dari data sekunder di puskesmas, didapatkan data
dari 98 klien, sebanyak 39 klien terdata drop out (DO) obat dengan alasan
berbeda-beda.
Peneliti melakukan studi pendahuluan dengan mengunjungi enam keluarga
dengan schizophrenia. Dari hasil pengkajian didapatkan dua dari enam klien
belum mandiri melakukan perawatan diri dan salah satu klien tersebut
mengalami pemasungan sehingga perawatan dirinya semakin buruk. Empat
dari enam klien menunjukkan gejala fase aktif schizophrenia seperti
halusinasi, disorganisasi pembicaraan, gejala-gejala negatif seperti afek datar,
dan tidak ada motivasi untuk beraktivitas. Semua klien tidak mengetahui
bagaimana cara mengatasi masalah keperawatan, seperti halusinasi, isolasi
sosial dan risiko perilaku kekerasan yang muncul pada dirinya. Empat dari
enam klien yang dikaji, tidak teratur minum obat dengan berbagai alasan.
Alasan yang dikemukakan terkait pengobatan antara lain, klien menolak
minum obat karena bosan, klien tidak minum obat karena keluarga merasa
tidak perlu diobati, dan klien minum obat semaunya karena tidak diawasi oleh
orangtuanya yang sudah tua. Hal ini menunjukkan bahwa klien memerlukan
asuhan keperawatan untuk meningkatkan kemandirian dan meningkatkan
kepatuhan klien minum obat.
Studi pendahuluan juga dilakukan kepada keluarga klien untuk mengetahui
usaha keluarga untuk mengatasi penyakit klien dan dampak kondisi klien pada
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
8
Universitas Indonesia
keluarga. Empat dari enam keluarga merasa bingung dan tidak tahu apa yang
harus dilakukan pada anggota keluarganya yang sakit. Dua keluarga merasa
terancam dan takut kepada klien dan pernah menjadi korban perilaku
kekerasan klien. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga tidak memiliki koping
yang adekuat untuk merawat klien. Untuk itu keluarga perlu diberikan terapi
untuk meningkatkan pengetahuannya tentang cara merawat klien serta
meningkatkan kopingnya dalam menghadapi klien.
Kelima desa di Kecamatan Kersamanah memiliki 4-5 kader untuk membantu
petugas kesehatan di puskesmas. Hal yang sudah dilakukan kader yang ada
adalah membantu pasien mendapatkan obat dari puskesmas, memotivasi
pasien dan keluarga untuk mengingatkan pasien untuk minum obat,
mengidentifikasi pasien baru dan melaporkannya ke pihak puskesmas..
Peneliti juga menanyakan perihal kunjungan kader dan petugas puskesmas ke
rumah warga. Satu dari enam keluarga yang dikaji adalah kader kesehatan
jiwa yang dinilai cukup aktif di puskesmas. Satu keluarga lain menyatakan
bahwa kader dan petugas puskesmas tidak pernah mendatangi rumahnya. Satu
keluarga lain berikutnya menyatakan jarang, tetapi keluarga akan mendatangi
puskesmas jika gejala klien muncul lagi. Sedangkan tiga keluarga lain
menyatakan kader kesehatan jiwa maupun petugas puskesmas jarang datang
ke rumahnya, petugas atau kader hanya datang ketika memberikan obat atau
menyampaikan ada kegiatan di puskesmas. Kader juga belum pernah
mendapatkan pelatihan Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) sebelumnya. Peneliti
tertarik untuk memberdayakan kader untuk melakukan kunjungan rumah
sebagai salah satu peran KKJ untuk melakukan peran PMO.
Kecamatan Kersamanah terdiri dari lima desa, yaitu Desa Kersamanah, Desa
Sukamaju, Desa Girijaya, Desa Nanjungjaya, dan Desa Sukamerang.
Puskesmas utama berlokasi di Desa Sukamerang, dan puskesmas pembantu
terletak di Desa Kersamanah dan Desa Nanjungjaya. Dengan adanya
puskesmas pembantu, diperkirakan akses warga ke puskesmas cukup
terjangkau. Puskesmas juga menyediakan pemeriksaan psikiater gratis di
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
9
Universitas Indonesia
puskesmas satu minggu sekali dan pemberian obat gratis. Dapat disimpulkan
bahwa jarak puskesmas dan biaya pengobatan seharusnya tidak menjadi
hambatan untuk klien berobat. Jumlah petugas puskesmas untuk kesehatan
jiwa di Kecamatan Kersamanah adalah 2 orang, dibantu 2 orang lainnya untuk
teknis di lapangan. Petugas puskesmas merasa perlu dibantu oleh kader dalam
menjalankan tugasnya di lapangan seperti menyampaikan obat ke rumah klien.
Pengelolaan klien secara langsung ke rumah-rumah kurang optimal dilakukan
oleh petugas puskesmas karena keterbatasan tenaga. Kecamatan Kersamanah
juga belum pernah terpapar dengan terapi spesialis keperawatan jiwa.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk
meneliti pengaruh pemberian asuhan keperawatan kepada klien, FPE pada
keluarga dan pelaksanaan peran PMO oleh kader terhadap kemandirian dan
kepatuhan berobat klien gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Kecamatan Kersamanah merupakan salah satu kecamatan di Provinsi Jawa
Barat yang memiliki prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi dibandingkan
dengan prevalensi gangguan jiwa di Provinsi Jawa Barat. Jumlah klien yang
terdeteksi sampai Bulan Desember 2012 adalah 98 orang. Dari 98 klien,
sebanyak 39 orang terdata drop out (DO) obat karena berbagai alasan. Dari
hasil studi pendahuluan diketahui empat dari enam klien belum mandiri dalam
melakukan perawatan diri, bahkan salah satu klien dipasung oleh keluarga.
Semua klien yang dikaji menyatakan tidak tahu bagaimana cara mengatasi
masalah yang dialaminya, seperti halusinasi, isolasi sosial, defisit perawatan
diri dan perilaku kekerasan.
Enam keluarga yang dikaji mengatakan tidak tahu dalam merawat klien
dengan gangguan jiwa. Dua keluarga merasa takut dan pernah menjadi korban
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
10
Universitas Indonesia
perilaku kekerasan klien. Seluruh keluarga belum pernah terpapar oleh terapi
spesialis keperawatan jiwa seperti FPE sebelumnya.
Setiap desa memiliki sumber daya berupa kader sebanyak 4-5 orang yang
bertugas untuk membantu petugas puskesmas menjalankan program kesehatan
jiwa di kecamatan tersebut. Namun menurut keluarga petugas puskesmas dan
kader tidak teratur datang ke rumah klien. Belum pernah ada program PMO
sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, didapatkan
masalah-masalah penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Prevalensi gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah, yaitu sebesar
2,6/1000 jiwa, lebih tinggi dibanding prevalensi di Jawa Barat sebesar
2,2/1000 jiwa.
1.2.2 Empat dari enam klien yang dikunjungi belum mandiri dalam
melakukan ADL (Activity Daily Living) nya.
1.2.3 Sebesar 39 dari 98 klien (39,8%) dinyatakan drop out berobat.
1.2.4 Semua keluarga yang dikunjungi belum memahami cara merawat klien
di rumah.
1.2.5 Kader tidak teratur melakukan kunjungan rumah.
1.2.6 Belum pernah dilakukan FPE dan peran PMO sebelumnya.
Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk
memberikan asuhan keperawatan kepada klien, FPE kepada keluarga dan
memberdayakan kader untuk menjalankan peran PMO kepada klien dengan
schizophrenia di Kersamanah Garut, dengan pertanyaan penelitian yaitu:
1. Apakah pemberian asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran
Pengawas Minum Obat oleh kader mempengaruhi kemandirian dan
kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut?
2. Apakah ada hubungan antara kemandirian dengan kepatuhan berobat klien
schizophrenia di Kersamanah Garut?
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
11
Universitas Indonesia
3. Apakah karakteristik klien mempengaruhi kemandirian dan kepatuhan
berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pemberian asuhan keperawatan kepada klien, keluarga dan peran
Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kemandirian dan kepatuhan
berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut.
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.2.1 Diketahuinya karakteristik klien schizophrenia di Kersamanah
Garut
1.3.2.2 Diketahuinya kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah
Garut.
1.3.2.3 Diketahuinya kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kersamanah Garut.
1.3.2.4 Diketahuinya pengaruh asuhan keperawatan kepada klien, FPE
kepada keluarga dan peran PMO oleh kader terhadap
kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kersamanah Garut.
1.3.2.5 Diketahuinya hubungan antara kemandirian dengan kepatuhan
berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah.
1.3.2.6 Diketahuinya karakteristik yang berkontribusi terhadap
kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kecamatan Kersamanah.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
12
Universitas Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.4.1 Pelayanan keperawatan
Dengan penelitian ini diharapkan Unit Kesehatan Jiwa Puskesmas
Kersamanah dapat mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dengan
sasaran klien, keluarga dan kader. Penelitian ini juga diharapkan
menjadikan masukan bagi puskesmas untuk mengadakan pelatihan
CMHN untuk program kesehatan jiwa di Kecamatan Kersamanah.
Bagi kader yang sudah terbentuk diharapkan dapat menjadi masukan
untuk menjalankan peran sebagai Kader Kesehatan Jiwa sesuai dengan
model CMHN.
1.4.2 Ilmu pengetahuan
1.4.2.1 Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar dalam
pengembangan kader sesuai dengan model CMHN
1.4.2.2 Penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi
keluarga, kader dan petugas puskesmas dalam memberikan
intervensi pada klien dengan schizophrenia
1.4.3 Penelitian keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan data awal untuk melakukan
penelitian selanjutnya terkait intervensi kepada klien dengan
schizophrenia, keluarga dan kader.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
13
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT
TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Rahmi Imelisa1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWAUNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
14
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT
TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Rahmi Imelisa1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIADEPOK, JULI 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
13Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan disampaikan tinjauan pustaka mengenai schizophrenia,
termasuk penanganan kepada klien, keluarga dan peran kader dalam PMO,
kemandirian, dan kepatuhan berobat.
2.1 Schizophrenia
Berikut ini akan dibahas mengenai definisi schizophrenia, proses terjadinya
schizophrenia, tanda dan gejala schizophrenia, dan proses keperawatan pada
klien dengan schizophrenia.
2.1.1 Definisi schizophrenia
Kata ‘schizophrenia’ adalah kombinasi dari dua kata dari Yunani,
‘schizein’, yang berarti terbelah, dan ‘phren’, yang berarti pikiran.
Namun bukan berarti pikiran terbelah seperti yang terjadi pada seseorang
dengan kepribadian terbelah, tetapi keyakinan bahwa pembelahan terjadi
antara kognitif dan emosional seseorang (Stuart, 2009).
Schizophrenia merupakan salah satu fase dari psikosis. Untuk
memahami schizophrenia terlebih dahulu perlu dipahami mengenai
pengertian psikosis. Psikosis adalah kondisi mental di mana terjadi
disorganisasi kepribadian, kerusakan dalam fungsi sosial dan kehilangan
kontak atau distori terhadap realita. Mungkin terjadi halusinasi dan
waham. Psikosis dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kerusakan
organik (Townsend, 2009). Stuart (2009) mendefinisikan psikosis
sebagai kondisi mental dimana seseorang memiliki pengalaman realita
yang berbeda dari orang lain. Pada kondisi ini pasien tidak akan
menyadari bahwa orang lain tidak mengalami apa yang dialaminya dan
pasien akan merasa heran karena orang lain tidak bereaksi sama dengan
dirinya (Stuart, 2009). Dan Fontaine (2009) mendefinisikan psikosis
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
14
Universitas Indonesia
sebagai pengalaman perubahan mental yang menetap, seperti
ketidakmampuan berpikir jernih, tidak mampu memaknai sesuatu
dengan benar, dan tidak mampu mengontrol emosi yang berlebih. Dari
beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa psikosis adalah
gangguan mental di mana klien mengalami perubahan persepsi terhadap
realita. Klien dengan psikosis mengalami kesulitan dalam memaknai
kenyataan.
Definisi psikosis dan schizophrenia seringkali beriringan. Shizophrenia
sendiri menurut Townsend (2009) merupakan salah satu tahapan dari
psikosis, yaitu saat tanda dan gejala muncul sangat mencolok. Stuart
(2009) mendefinisikan schizophrenia sebagai penyakit otak
neurobiologis yang menetap. Menurutnya pula, bahwa schizophrenia
merupakan gejala klinis yang berdampak pada kehidupan individu,
keluarga dan komunitasnya. Stuart mengelompokkan schizophrenia ke
dalam rentang respon neurobiologis. Schizophrenia oleh Videbeck
(2008), diartikan sebagai suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku
yang aneh dan terganggu. Dan Fontaine (2009) mendefinisikan
schizophrenia sebagai kombinasi dari kerusakan berpikir, gangguan
persepsi, ketidaknormalan perilaku, gangguan afektif dan kerusakan
kompetensi sosial. Dapat disimpulkan bahwa schizophrenia merupakan
gangguan neurobiologis yang dimanifestasikan dengan gangguan
persepsi terhadap realita dan disertai dengan perilaku yang abnormal.
Berikut ini adalah kriteria DSM-IV-TR (APA, 2000 dalam Townsend,
2009) yang digunakan untuk mendiagnosa schizophrenia:
1. Gejala karakteristik: dua (atau lebih) dari gejala berikut, masing-
masing terjadi dalam waktu yang signifikan selama periode 1 bulan
(atau kurang jika berhasil ditangani):
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
15
Universitas Indonesia
a. Delusi (waham)
b. Halusinasi
c. Disorganisasi pembicaraan
d. Perilaku katatonik
e. Gejala negatif (misal afek datar, alogia, atau avolisi)
2. Disfungsi sosial atau okupasional: untuk waktu yang signifikan sejak
muncul gangguan, satu atau lebih area mayor atau fungsi seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri berada di
bawah normal pada level sebelum onset gangguan (atau jika onset
pada masa anak atau remaja, kegagalan mencapai pencapaian tingkat
interpersonal, akademik atau okupasional).
3. Durasi: gangguan berlanjut dan menetap selama sekurang-kurangnya
6 bulan. Selama 6 bulan ini termasuk masa 1 bulan gejala aktif (atau
kurang jika penanganan baik) dan dapat termasuk fase prodromal
atau residual. Selama masa prodromal dan residual ini, tanda-tanda
dari gangguan ini dapat berupa gejala negatif saja atau dua atau lebih
gejala yang telah diuraikan pada kriteria 1 dan muncul dalam bentuk
yang melemah (misal keyakinan yang aneh, ekpresi persepsi yang
tidak biasa).
4. Eksklusi skizoafektif dan mood disorder: Gangguan skizoafektif dan
mood disorder dengan masalah psikotik telah dikeluarkan karena (1)
tidak ada depresi mayor, manic, atau episode campuran yang terjadi
bersamaan dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood
terjadi selama fase aktif, durasi totalnya berhubungan langsung
dengan durasi masa aktif dan residual.
5. Esklusi masalah substansi atau kondisi kesehatan umum: Gangguan
yang terjadi tidak secara langsung merupakan efek fisiologis dari
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
16
Universitas Indonesia
penggunaan substansi tertentu (misal penyalahgunaan obat, atau
pengobatan) atau kondisi medis secara umum.
6. Berhubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: jika ada
riwayat autis atau masalah perkembangan lainnya, maka diagnosa
schizophrenia ditambahkan hanya jika waham atau halusinasi yang
sangat kuat muncul selama sekurang-kurangnya 1 bulan (atau kurang
jika penanganan baik).
2.1.2 Proses Terjadinya Schizophrenia
Untuk memahami proses terjadinya schizophrenia, perlu dipahami pula
perjalanan gangguan psikotik, karena schizophrenia merupakan salah
satu fase yang muncul pada perjalanan gangguan psikotik. Berikut ini
akan diuraikan mengenai empat fase perjalanan gangguan psikotik.
Schizophrenia dapat muncul tiba-tiba, tetapi kebanyakan tanda dan
gejala berkembang secara lambat dan bertahap. Gejala yang dapat
muncul seperti menarik diri dari masyarakat, perilaku yang tidak lazim,
kehilangan minat untuk sekolah atau bekerja, dan seringkali
mengabaikan hygiene (Videbeck, 2008).
Psikosis berkembang dalam empat fase, yaitu fase premorbid, fase
prodromal, fase schizophrenia dan fase residual. Berikut ini adalah
uraian dari setiap fase tersebut.
2.1.2.1 Fase I : Fase premorbid
Fase ini ditandai dengan periode munculnya ketidaknormalan
fungsi, walaupun hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari efek
penyakit tertentu (Lehman et al, 2006 dalam Townsend, 2009).
Indikator premorbid dari psikosis, diantaranya adalah riwayat
psikiatri keluarga, riwayat prenatal, dan komplikasi obstetrik dan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
17
Universitas Indonesia
defisit neurologis. Faktor premorbid lain adalah pribadi yang
terlalu pemalu dan menarik diri, hubungan sosial yang kurang
baik dan menunjukkan perilaku antisosial. Faktor usia dan jenis
kelamin perlu menjadi perhatian, perilaku menyimpang
cenderung lebih muncul saat remaja. Dan perilaku antisosial
lebih sering ditunjukkan oleh gender laki-laki, sementara perilaku
pasif dan menarik diri sering ditemui pada wanita (Olin dan
Mednick, 1996 dalam Townsend, 2009). Pada tahap ini individu
telah mengalami gangguan dalam menjalankan fungsi dalam
aktivitasnya sehari-hari. Pada fase ini tanda-tanda psikotik belum
muncul sehingga pencegahan pada klien yang telah menunjukkan
perilaku premorbid perlu diperhatikan.
2.1.2.2 Fase II : Fase prodromal
Fase ini menunjukkan tanda dan gejala tertentu yang mengarah
pada manifestasi fase akut dari penyakit ini. Fase prodromal
dimulai dengan adanya perubahan fungsi premorbid dan meluas
sampai munculnya gejala psikotik. Fase ini dapat terjadi dalam
beberapa minggu atau bulan, tetapi banyak penelitian
menyatakan bahwa fase prodromal terjadi antara 2 sampai 5
tahun. Lehman dan asosiasinya (2006 dalam Townsend, 2009),
menyatakan bahwa selama fase prodromal pasien akan
mengalami kerusakan fungsional penting dan gejala-gejala yang
tidak spesifik, seperti gangguan tidur, kecemasan, mudah
tersinggung, mood depresi, penurunan konsentrasi, lemah, dan
defisit perilaku seperti penurunan fungsi peran dan menarik diri
dari lingkungan sosial. Gejala positif seperti abnormalitas
persepsi, referensi ide, dan kecurigaan berkembang pada akhir
fase prodromal dan semakin mendekati kejadian psikosis
(Townsend, 2009). Pada fase ini tanda-tanda psikotik mulai
muncul dengan intensitas rendah. Pengenalan tanda dan gejala
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
18
Universitas Indonesia
dan penanganan pada fase ini perlu diperhatikan agar tidak
berkembang menuju fase aktif.
2.1.2.3 Fase III : Fase Schizophrenia
Fase schizophrenia merupakan fase aktif dari perjalanan penyakit
psikosis. Pada fase ini gejala gangguan tampak sangat mencolok
(Townsend, 2009). Tanda dan gejala pada fase ini akan
diuraikan pada sub pokok bahasan berikutnya mengenai tanda
dan gejala schizophrenia.
2.1.2.4 Fase IV : Fase Residual
Schizophrenia ditandai dengan adanya masa remisi dan
eksaserbasi. Fase residual biasanya mengikuti fase aktif penyakit.
Selama fase residual, gejala dari masa akut dapat hilang atau
tidak mencolok lagi. Gejala negatif mungkin masih ada, dan afek
datar dan kerusakan fungsi peran biasa terjadi. Kerusakan
residual biasanya berkembang antara masa masa aktif psikosis.
2.1.3 Tanda dan gejala schizophrenia
Pengelompokkan tanda dan gejala schizophrenia dikembangkan dalam
beberapa sistem pengelompokkan. Satu sistem mengelompokkan tanda
dan gejala ini dalam 2 kelompok, yaitu gejala positif dan negatif. Sistem
lain mengelompokkannya dalam 5 kelompok gejala, yaitu gejala positif,
gejala negatif, gejala kognitif, disfungsi sosial dan okupasional, serta
gejala mood (Stuart, 2009). Sistem yang membagi gejala menjadi 5
kelompok mempermudah pemahaman kita akan efek schizophrenia pada
individu, keluarga dan masyarakat (komunitas).
Gejala positif adalah gejala di mana perilaku yang muncul berlebihan
dibandingkan dengan perilaku normal, sebaliknya gejala negatif adalah
gejala yang muncul saat perilaku lebih menurun dibandingkan perilaku
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
19
Universitas Indonesia
normal. Gejala positif adalah gangguan atau fungsi yang berlebihan dari
fungsi normal, biasanya berrespon terhadap semua jenis obat obatan
antipsikotik. Gejala positif dapat dikelompokkan menjadi gangguan
proses pikir; yaitu munculnya waham (paranoid, somatik, kebesaran,
religious, nihilistik, atau penyiksaan; siar pikir, sisip pikir atau kontrol
pikiran) dan halusinasi (pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap atau
penghidu), dan disorganisasi pembicaraan dan perilaku; yaitu gangguan
pemikiran formal (inkoherensi, word salad, derailment, ketidaklogisan,
kehilangan asosiasi, pemikiran tangensial, sirkumstansial, pembicaraan
tertekan, pembicaraan terputus, atau sulit untuk bicara) dan perilaku
yang aneh (katatonia, gangguan pergerakan, penururan perilaku sosial)
(Stuart, 2009). Gejala positif menunjukkan perilaku klien yang
berlebihan. Gejala positif ini biasanya memunculkan perilaku agresif dan
dapat membahayakan klien dan orang lain di sekitarnya.
Gejala negatif adalah penurunan atau hilangnya fungsi normal, biasanya
tidak berrespon terhadap antipsikotik biasa dan lebih berrespon terhadap
antipsikotik atipikal. Yang termasuk ke dalam gejala negatif adalah
masalah emosi seperti afek datar (keterbatasan rentang atau intensitas
dari ekspresi emosi), dan anhedonia/asocial (ketidakmampuan
merasakan kesenangan atau membangun kontak sosial. Gejala negatif
lain yaitu kerusakan kemampuan membuat keputusan, dapat dilihat dari
adanya alogia (terbatasnya pemikiran dan pembicaraan), avolisi/apatis
(kurang inisiatif dalam perilaku mencapai tujuan), dan kerusakan
perhatian (tidak mampu fokus secara mental dan tidak mampu
mempertahankan perhatian) (Stuart, 2009). Dari penjelasan ini dapat
dianalisa bahwa gejala negatif dapat berkontribusi besar terhadap
kemandirian klien. Klien yang menunjukkan gejala negatif akan
mengalami penurunan motivasi dan kemampuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari, sehingga dapat terjadi defisit perawatan diri.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
20
Universitas Indonesia
2.1.4 Proses Keperawatan Pada Klien Dengan Schizophrenia
Unsur dalam proses keperawatan adalah pengkajian, penetapan diagnosis
keperawatan, intervensi, dan evaluasi (Nursalam, 2008). Berikut ini
adalah Model Stress Adaptasi Stuart, yang merupakan salah satu model
yang dapat dikembangkan dalam pendekatan proses keperawatan jiwa.
Model ini mengintegrasikan aspek biologis, psikologis dan sosial budaya
dalam pelayanan kepada klien. Tahapan yang terjadi sehingga muncul
diagnosa keperawatan pada klien dapat dilihat pada skema 2.1.
Skema 2.1
Model Stress Adaptasi Stuart
Sumber: Stuart (2009)
2.1.4.1 Pengkajian
Pengkajian klien schizophrenia dimulai dari mengkaji faktor
predisposisi. Selanjutnya dikaji faktor presipitasi, faktor
presipitasi, penilaian stressor, sumber koping dan mekanisme
koping (Stuart, 2009).
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi menurut Model Stress Adaptasi Stuart
terdiri dari tiga faktor, yaitu biologis, psikologis dan sosial
budaya. Pendapat lain menyatakan bahwa schizophrenia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
21
Universitas Indonesia
dapat merupakan hasil dari kombinasi beberapa penyebab
diantaranya faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor
lingkungan (Townsend, 2009).
a. Faktor Biologis
Faktor biologis terdiri dari latar belakang genetik, status
nutrisi, sensitivitas biologi, kondisi kesehatan umum, dan
paparan terhadap zat racun.
1) Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saudara dari
individu dengan schizophrenia memiliki
kecenderungan lebih besar untuk terkena penyakit ini
dibandingkan populasi secara umum. Risiko umum
untuk terkena schizophrenia adalah 1 persen di antara
populasi penelitian, sedangkan saudara kandung atau
keturunan dari klien yang teridentifikasi
schizophrenia memiliki risiko 5 sampai 10 persen
terkena schizophrenia (Andreasen & Black, 2006
dalam Townsend, 2009). Pada penelitian ini faktor
genetik akan diukur sebagai variabel perancu karena
faktor genetik (herediter) menjadi faktor yang
menyebabkan tingginya risiko seseorang menderita
schizophrenia.
Kejadian schizophrenia pada kembar monozigot
memiliki rasio 4 sampai 5 kali risiko dibandingkan
kembar dizigot dan sekitar 50 kali dibanding populasi
umum (Sadock & Sadock, 2007 dalam Townsend,
2009). Karena setengah kasus menunjukkan bahwa
hanya salah satu dari pasangan monozigot yang
terkena schizophrenia, maka beberapa peneliti
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
22
Universitas Indonesia
menyimpulkan bahwa ada faktor lingkungan yang
berinteraksi dengan faktor genetik (Townsend, 2009).
Hal ini menunjukkan bahwa schizophrenia terjadi
tidak hanya karena faktor biologis saja, tetapi ada
interaksi dengan faktor lain.
2) Sensitivitas biologi
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa schizophrenia
(atau gejala mirip schizophrenia) dapat disebabkan
oleh aktivitas berlebih dari syaraf yang tergantung
dopamine pada otak. Beberapa neurotransmitter telah
diimplikasikan sebagai penyebab schizophrenia.
Yaitu dopamine, norepinephrine, serotonin,
glutamate, dan GABA. Sistem dopaminergik adalah
yang paling banyak dipelajari dan yang paling dekat
berkaitan dengan gejala penyakit (Townsend, 2009).
Teori ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan
neurotransmitter sangat berperan dalam munculnya
tanda dan gejala schizophrenia.
3) Kondisi kesehatan umum
Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009)
melaporkan bahwa data epidemiologis menunjukkan
insiden schizophrenia yang tinggi setelah paparan
influenza pada masa prenatal.
Ketidaknormalan anatomis juga dapat berkaitan
dengan schizophrenia. Dengan penggunaan teknologi
neuroimaging, ditemukan ketidaknormalan struktur
otak pada klien dengan schizophrenia. Adanya
pelebaran ventrikel otak adalah temuan yang paling
konsisten; namun peluasan sulci dan atropi cerebellar
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
23
Universitas Indonesia
juga ditemukan. Pemeriksaan juga menunjukkan
penurunan ukuran lobus frontal, tetapi hal ini tidak
selalu ditemukan. MRI telah digunakan untuk
mengeksplorasi abnormalitas pada area-area yang
spesifik seperti amygdala, hippocampus, lobus
temporal dan ganglia basalis pada otak seorang
dengan schizophrenia.
Pada klien schizophrenia diduga terjadi ‘salah susun’
pada sel piramida di hippocampus (Jonsson, Luts,
Guldberg-Kjaer, & Brun, 1997 dalam Townsend,
2009). Teori ini menunjukkan bahwa schizophrenia
dapat terjadi pada seseorang yang memiliki
abnormalitas struktur otak.
4) Kondisi fisik. Beberapa penelitian melaporkan adanya
keterkaitan antara schizophrenia dengan epilepsi
(khususnya pada lobus temporalis), penyakit Huntington,
trauma kelahiran, trauma kepala pada masa dewasa,
penyalahgunaan alcohol, tumor otak (khususnya pada
sistim limbik), masalah cerebrovascular, systemic lupus
eritematosus, myxedema, parkinsonism, dan penyakit
Wilson (Townsend, 2009). Pernyataan ini menunjukkan
korelasi antara kondisi fisik dengan kondisi psikologis.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan (Nasrallah et al,
2005 dalam Stuart, 2009) bahwa seseorang dengan
schizophrenia memiliki morbiditas dan mortalitas lebih
tinggi karena penyakit medis.
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis terdiri dari kecerdasan, keterampilan
verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
24
Universitas Indonesia
diri, motivasi, pertahanan psikologis dan locus of control
atau perasaan seseorang mampu mengontrol nasibnya
sendiri.
Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009)
menyatakan bahwa petugas kesehatan harus memikirkan
kedua faktor, biologis dan psikososial, yang
mempengaruhi schizophrenia. Penyakit ini
mempengaruhi seseorang secara individual tetapi dampak
secara psikologis akan unik pada setiap orang. Seperti
dinyatakan pada sub pokok bahasan sebelumnya bahwa
schizophrenia terjadi tidak karena satu faktor saja
melainkan karena adanya interaksi antara berbagai faktor.
Faktor psikologis juga merupakan faktor penting yang
perlu diperhatikan dan perlu diberikan penanganan selain
untuk mengatasi aspek biologis dari schizophrenia.
c. Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya terdiri dari usia, jenis kelamin,
pendidikan, penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar
belakang budaya, keyakinan, afiliasi politik, pengalaman
sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial (Townsend, 2009).
Schizophrenia banyak terjadi pada individu dari golongan
sosial konomi rendah (Ho, Black & Andreasen, 2003
dalam Townsend, 2009). Hidup dalam kemiskinan,
seperti tinggal di tempat yang padat, nutrisi yang tidak
mencukupi, tidak adanya perawatan prenatal, kurangnya
sumber-sumber dalam menghadapi stress, dan merasa
tidak berdaya untuk merubah kondisi miskin seseorang
menjadi faktor ekonomi yang dapat menjadi predisposisi
schizophrenia (Townsend, 2009).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
25
Universitas Indonesia
Pandangan alternatif adalah hipotesa downward drift,
yang menyatakan bahwa, karena karakter penyakit ini,
individu dengan schizophrenia memiliki kesulitan untuk
mempertahankan pekerjaan dan beralih pada tingkat
sosial ekonomi yang lebih rendah (atau gagal untuk
meningkat dari kelompok sosial ekonomi yang rendah).
Pandangan ini mempertimbangkan bahwa kondisi sosial
ekonomi yang sulit merupakan konsekuensi dari
schizophrenia, bukan sebagai penyebab (Townsend,
2009).
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dalam Model Stress Adaptasi Stuart dapat
berasal dari faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya.
Stressor pencetus dapat berasal dari internal klien atau
lingkungan di luar klien. Selain menggambarkan sumber
stressor, perlu diketahui pula waktu dan berapa kali stressor
terjadi (Stuart, 2009).
Tidak ada bukti yang ilmiah yang membuktikan bahwa stress
menyebabkan schizophrenia. Tetapi sangat memungkinkan
bahwa stress berkontribusi terhadap keparahan penyakit ini.
Diketahui bahwa stress yang ekstrim dapat mencetuskan fase
psikotik. Stress dapat menjadi pencetus penyakit pada
individu yang memiliki kecenderungan genetis terhadap
schizophrenia (Townsend, 2009).
3. Penilaian stressor
Merupakan pandangan klien mengenai stressor.
Schizophrenia dapat berkembang karena adanya hubungan
antara jumlah stress yang dialami seseorang dan ambang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
26
Universitas Indonesia
batas stress seseorang (Stuart, 2009). Walaupun tidak ada
penelitian yang membuktikan bahwa stress adalah penyebab
dari schizophrenia, namun diyakini bahwa stress dapat
memperburuk schizophrenia (Jones & Fernyhough, 2007
dalam Stuart, 2009).
4. Sumber Koping
Schizophrenia membutuhkan penyesuaian pada klien dan
keluarga. Penyesuaian yang diperlukan setelah seseorang
mengalami masalah psikosis adalah: (1) gangguan kognisi,
(2) mencapai pemahaman, (3) keseimbangan semua aspek
kehidupan, dan (4) meraih pencapaian kerja dan pendidikan
(Stuart, 2009).
5. Mekanisme Koping
Pada fase aktif psikosis, pasien menggunakan mekanisme
pertahanan yang tidak disadari untuk melindungi diri dari
pengalaman yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh
penyakitnya. Berbagai mekanisme koping digunakan oleh
klien schizophrenia. Mekanisme koping dapat dijelaskan
berkaitan dengan schizophrenia. Regresi terjadi karena
masalah pemrosesan informasi dan pengeluaran banyak
energi untuk mengatasi ansietas. Proyeksi digunakan sebagai
usaha untuk menjelaskan kebingungan persepsi dengan
mengalihkan masalah pada sesuatu atau seseorang. Menarik
diri terjadi karena kesulitan menjalin kepercayaan dan karena
terlalu asik dengan dunianya sendiri. Keluarga seringkali
menyangkal diagnosa schizophrenia pada anggota
keluarganya. Mekanisme koping yang perlu dikaji pada klien
dengan schizophrenia adalah strategi koping kognitif,
emosional, interpersonal, fisiologis, dan spiritual (Stuart,
2009).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
27
Universitas Indonesia
2.1.4.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan
schizophrenia adalah diagnosa gangguan yang terdiri dari 11
diagnosa keperawatan yaitu gangguan sensori persepsi, gangguan
proses pikir, harga diri rendah, risiko perilaku kekerasan, isolasi
sosial, defisit perawatan diri, risiko perilaku kekerasan, regiment
terapeutik inefektif, regimen keluarga inefektif, berduka
disfungsional dan kerusakan komunikasi verbal. Berikut ini akan
dipaparkan mengenai data subjektif dan data objektif yang
menunjukkan 7 diagnosa gangguan utama.
Tabel 2.1Diagnosa Keperawatan Pada Klien Schizophrenia
No Data Subjektif Data Objektif Diagnosa Keperawatan
1 Mendengar suara-suara atau kegaduhanMendengar suara yang mengajak bercakap-cakapMendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
Bicara atau tertawa sendiri tanpa lawan bicaraMarah-marah tanpa sebabMencodongkan telinga ke arah tertentu Menutup telinga
Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasidengar/suara
Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster
Menunjuk-nunjuk ke arah tertentuKetakutan pada objek yang tidak jelas
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Penglihatan
Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan
Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentuMenutup hidung
Gangguan SensoriPersepsi: Halusinasi Penghidu
Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses
Sering meludah Muntah
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi pengecapan
Mengatakan ada serangga di permukaan kulit Merasa seperti tersengat listrik
Menggaruk-garuk permukaan kulit
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Perabaan
2 Memiliki isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan menetapTakut terhadap objek atau situasi tertentu atau cemas berlebihan tentang tubuh atau kesehatannyaMerasa benda-benda di sekitarnya aneh dan tidak nyata
- Gangguan proses pikir: Waham
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
28
Universitas Indonesia
Merasa berada di luar tubuhnyaMerasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lainBerpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol orang lainMengatakan memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lain atau yakin bahwa orang lain dapat membaca pikirannya
3 Mengkritik diri sendiriPerasaan tidak mampuPandangan hidup yang pesimisPenolakan terhadap kemampuan diri
Penurunan produktivitasKurang memperhatikan perawatan diriBerpakaian tidak rapiSelera makan kurangTidak berani menatap lawan bicaraLebih banyak menundukBicara lambatNada suara lemah
Harga Diri Rendah
4 Menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lainMerasa tidak aman berada dengan orang lainMengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lainMerasa bosan dan lambat menghabiskan waktuTidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusanMerasa tidak bergunaTidak yakin dapat melangsungkan
Tidak memiliki teman dekatMenarik diriTidak komunikatifTindakan berulang dan tidak bermaknaAsyik dengan pikirannya sendiriTidak ada kontak mataTampak sedih, afek tumpul
Isolasi Sosial
5 Isi pembicaraan mengancam Muka merah dan tegangPandangan tajamMengatupkan rahang dengan kuatMengepalkan tanganJalan mondar-mandirBicara kasarSuara tinggi, menjerit atau berteriakMengancam secara verbal atau fisikMelempar atau memukul benda/orang lainMerusak barang atau bendaTidak mempunyai kemampuan untuk mencegah/mengontrol perilaku kekerasan
Risiko Perilaku Kekerasan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
29
Universitas Indonesia
6 - Gangguan kebersihan diri: rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotorTidakmampu berhias/berdandan: rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur (klien pria), tidak berdandan (klien wanita)Tidak mampu makan mandiri: makan berceceran, makan tidak pada tempatnyaTidak mampu defekasi/berkemih mandiri: defekasi/berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah defekasi/berkemih
Defisit Perawatan Diri
7 Memberikan isyarat secara tidak langsung, misal mengatakan “tolong jaga anak-anak saya karena saya akan pergi jauh’Mengancam akan bunuh diri
Memiliki rencana bunuh diri dengan menunjukkan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebutMencederai diri sendiri
Risiko Bunuh Diri
Sumber : (Keliat, dkk., 2011)
2.1.4.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan jiwa dikelompokkan dalam intervensi
generalis dan intervensi spesialis. Intervensi generalis
menggunakan standar yang telah disepakati di Indonesia yaitu
SAK (Standar Asuhan Keperawatan) Jiwa. SAK jiwa ini berisi
panduan Strategi Pelaksanaan (SP) untuk melakukan komunikasi
terapeutik pada klien dan pada keluarga. Intervensi spesialis
keperawatan jiwa dapat berupa psikoterapi yang saat ini telah
dikembangkan dengan sasaran individu, keluarga, dan kelompok.
1. Intervensi Keperawatan Generalis
Intervensi keperawatan generalis dilakukan dengan
menggunakan panduan SAK (Standar Asuhan Keperawatan)
Jiwa. SAK berisi panduan untuk melakukan komunikasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
30
Universitas Indonesia
terapeutik kepada klien dan keluarga. SAK untuk pasien
maupun untuk keluarga berisi SP 1 sampai SP 5 s.d 12.
Masing-masing SP adalah panduan untuk melakukan satu
kali komunikasi terapeutik kepada klien ataupun keluarga. SP
dapat dilakukan berulang-ulang jika kriteria keberhasilan
yang diharapkan belum tercapai.
Pada setiap SP klien diarahkan untuk mengenali masalahnya
dan dilatih untuk mengatasi masalahnya secara mandiri.
Misalnya untuk klien dengan isolasi sosial, pada pertemuan
pertama (SP 1), klien bersama-sama dengan perawat
mengenali penyebab isolasi sosialnya terjadi, kemudian klien
diajak untuk menyadari pentingnya bersosialisasi, dan klien
dilatih untuk berkenalan dengan anggota keluarganya. Pada
SP berikutnya klien dilatih untuk bersosialisasi secara
bertahap sampai klien dapat melakukannya secara mandiri.
SP keluarga diberikan agar keluarga memahami masalah
yang dialami klien, keluarga mengetahui cara merawat klien,
sampai keluarga mampu merawat klien secara mandiri di
rumah. Panduan lengkap SAK untuk intervensi kepada klien
dan keluarga dapat dilihat pada lampiran.
2. Intervensi Keperawatan Spesialis
Intervensi keperawatan spesialis juga dapat diberikan kepada
klien dan keluarga. Intervensi keperawatan spesialis telah
banyak dikembangkan baik untuk individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Terapi spesialis untuk individu
diantaranya adalah cognitive therapy, behavioral therapy,
cognitive-behavioral therapy, social skill training, thought
stopping, progressive relaxation dan assertiveness training.
Selain terapi-terapi tersebut, masih banyak terapi lain yang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
31
Universitas Indonesia
terus dikembangkan untuk memberikan intervensi kepada
individu dengan schizophrenia.
Intervensi keperawatan spesialis untuk keluarga yang telah
dikembangkan antara lain adalah family psychoeducation dan
triangle therapy. Pada penelitian ini, akan dilakukan family
psychoeducation kepada keluarga dengan klien
schizophrenia. Intervensi keperawatan spesialis jiwa yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah FPE.
Family Psychoeducation (FPE)
Beberapa pemberi layanan menangani schizophrenia sebagai
penyakit yang tidak hanya mengenai individu saja, tetapi juga
seluruh keluarga. Walaupun keluarga tampak memiliki
koping yang baik, dapat dipastikan ada pengaruh pada status
mental keluarga saat salah satu anggota keluarga mengalami
schizophrenia. Safier (1997, dalam Townsend, 2009)
menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar
dalam dirinya. Hal ini menjadi dasar pentingnya keluarga
mendapatkan terapi.
Intervensi kepada keluarga dimaksudkan untuk memperkuat
sistem keluarga, mencegah atau menghambat kekambuhan,
dan mempertahankan klien di masyarakatnya. Program
psikoedukasi ini memperlakukan keluarga sebagai sumber,
bukan sebagai stressor, dengan berfokus pada penyelesaian
masalah yang konkrit, dan perilaku menolong yang spesifik
untuk beradaptasi dengan stress. Dengan memberikan
informasi pada keluarga tentang penyakit dan menyarankan
tentang mekanisme koping yang efektif, program
psikoedukasi mengurangi kecenderungan klien untuk kambuh
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
32
Universitas Indonesia
dan mengurangi pengaruh penyakit ini pada keluarga yang
lain (Townsend, 2009).
Intervensi psikoedukasi yang sudah cukup terkenal
dikembangkan oleh National Alliance on Mental Illness
(NAMI). Dalam program dari keluarga ke keluarga, keluarga
saling mengajari satu sama lain mengenai penyakit ini,
metoda koping yang digunakan, dan sumber-sumber
dukungan yang ada.
Psikoedukasi untuk keluarga termasuk dengan individu yang
mengalami gangguan, seperti schizophrenia, depresi mayor,
dan gangguan bipolar, biasanya dikombinasikan dengan
terapi farmaka (Nathan and Gorman, 2007 dalam Stuart,
2009). Psikoedukasi ini terbukti memperbaiki gejala umum
dan mengurangi penolakan serta beban keluarga (Stuart,
2009).
Terapi keluarga biasanya terdiri dari program utama untuk
memberikan edukasi kepada keluarga tentang schizophrenia,
dan program yang lebih luas dengan keluarga dibentuk untuk
mengurangi manifestasi konflik yang jelas dan untuk
merubah pola komunikasi keluarga dan penyelesaian
masalah. Respon terhadap terapi ini sangat dramatis. Ho,
Black, dan Andreasen (2003 dalam Townsend, 2009)
melaporkan pada beberapa penelitian bahwa hasil positif
pada penanganan klien dengan schizophrenia ini dapat
tercapai dengan mengikutsertakan keluarga dalam pelayanan.
Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen
program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara
pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
33
Universitas Indonesia
terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan
yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart, 2009).
FPE dilakukan dalam 5 sesi, yaitu : (1) sesi 1, pengkajian
masalah keluarga, (2) sesi 2, edukasi kepada keluarga tentang
cara merawat klien dengan gangguan jiwa, (3) sesi 3,
manajemen stress keluarga, (4) sesi 4, manajemen beban
keluarga, dan (5) sesi 5, pemberdayaan komunitas untuk
membantu keluarga. Penjelasan lengkap mengenai FPE pada
klien schizophrenia dapat dilihat pada modul FPE terlampir.
3. Pemberdayaan Kader dan Peran Pengawas Minum Obat
(PMO)
Intervensi lain yang dapat diberikan di komunitas adalah
dengan menerapkan model CMHN. Pada penelitian ini akan
dilakukan pemberdayaan kader untuk menjalankan peran
PMO kepada klien dengan schizophrenia di rumah.
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan
potensi pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar
mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam
pemenuhan kebutuhan mereka sendiri (Helvie, 1998 dalam
Keliat, 2010). Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) merupakan
sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di Desa
Siaga Sehat Jiwa. Pemberdayaan kader kesehatan jiwa
sebagai tenaga potensial yang ada di masyarakat diharapkan
mampu mendukung program CMHN yang diterapkan di
masyarakat. Seorang kader akan mampu melakukan kegiatan
apabila kader tersebut telah diberikan pembekalan sejak awal.
Metode yang dipakai dalam mengembangkan kader
kesehatan jiwa sebaiknya teratur, sistematis, dan rasional
(Keliat, 2010).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
34
Universitas Indonesia
Kemampuan kader kesehatan jiwa dalam melakukan kegiatan
perlu dipertahankan, dikembangkan, dan ditingkatkan melalui
manajemen pemberdayaan kader yang konsisten dan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat
ini. Pengembangan kader kesehatan jiwa digambarkan
sebagai suatu proses pengelolaan motivasi kader sehingga
mereka dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Hal ini
juga merupakan penghargaan bagi kader karena melalui
manajemen sumber daya manusia (SDM) yang baik, kader
akan mendapatkan kompensasi berupa penghargaan
(compensatory reward) sesuai dengan apa yang telah
dikerjakannya (Keliat, 2010).
Manajemen pemberdayaan kader kesehatan jiwa di Desa
Siaga Sehat Jiwa berfokus pada proses rekruitmen, seleksi,
orientasi, penilaian kinerja, dan pengembangan kader. Proses
ini dilakukan dalam mempersiapkan Desa Siaga Sehat Jiwa,
juga setiap kali ada penambahan kader baru (Keliat, 2010).
a) Proses rekruitmen kader kesehatan jiwa
Rekruitmen kader kesehatan jiwa adalah suatu proses
pencarian dan pemikatan para calon kader yang
mempunyai kemampuan dalam mengembangkan Desa
Siaga Sehat Jiwa. Proses awal dalam merekrut kader
adalah dengan melakukan sosialisasi tentang
pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa disertai dengan
kriteria kader yang dibutuhkan. Adapun kriteria kader
adalah sebagai berikut:
1) Bertempat tinggal di Desa Siaga Sehat Jiwa
2) Sehat jasmani dan rohani
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
35
Universitas Indonesia
3) Mampu membaca dan menulis dengan lancar
menggunakan bahasa Indonesia
4) Bersedia menjadi kader kesehatan jiwa sebagai tenaga
suka rela
5) Mempunyai komitmen untuk melaksanakan program
kesehatan jiwa komunitas
6) Menyediakan waktu untuk kegiatan CMHN
7) Mendapat izin dari suami atau istri atau keluarga
(Keliat, 2010)
Rekruitmen kader dilakukan di tiap desa pada wilayah
puskesmas yang akan dikembangkan menjadi Desa Siaga
Sehat Jiwa. Kader Kesehatan Jiwa DSSJ direkrut dengan
rasio satu KKJ bertanggung jawab terhadap 15-20
keluarga (Keliat, 2010).
Proses rekrutmen kader di Desa Siaga Sehat Jiwa
dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat yang
dapat menentukan calon kader yang mampu dan mau
melakukan kegiatan kesehatan jiwa di lingkungan tempat
tinggalnya. Perawat CMHN melakukan koordinasi
dengan kepala desa, kepala dusun, atau dengan organisasi
masyarakat yang ada di wilayah kerjanya, seperti PKK.
Proses rekrutmen kader kesehatan jiwa dilakukan sebagai
berikut.
1) Perawat CMHN mengadakan pertemuan dengan
kepala desa dan tokoh masyarakat setempat untuk
menjelaskan pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa dan
kebutuhan kader kesehatan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
36
Universitas Indonesia
2) Perawat CMHN menjelaskan kriteria kader dan
jumlah kader yang dibutuhkan untuk tiap desa dan
dusun.
3) Tokoh masyarakat melakukan pencarian calon kader
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
4) Kader yang telah direkrut mengisi biodata pada
formulir yang telah disediakan untuk proses seleksi
selanjutnya.
(Keliat, 2010).
b) Proses Seleksi Kader Kesehatan Jiwa
Proses seleksi adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk memutuskan apakah calon kader
diterima atau tidak sebagai kader kesehatan jiwa. Proses
seleksi ini penting untuk mendapatkan sumber daya
manusia yang mempunyai motivasi dan kemampuan yang
tepat sesuai dengan yang dibutuhkan. Proses seleksi calon
kader di Desa Siaga Sehat Jiwa adalah sebagai berikut.
1) Perawat CMHN melakukan koordinasi dengan tokoh
masyarakat atau organisasi masyarakat dalam
menentukan calon kader yang memenuhi syarat.
2) Kader terpilih harus mengisi surat pernyataan
bersedia menjadi kader kesehatan jiwa dan bersedia
menjalankan program CMHN.
3) Kader terpilih diwajibkan mengikuti pelatihan kader
kesehatan jiwa.
(Keliat, 2010)
c) Proses Orientasi Kader Kesehatan Jiwa
Setiap kader yang akan melaksanakan program kesehatan
jiwa akan melalui masa orientasi, yaitu mengikuti
sosialisasi program CMHN dan pelatihan kader kesehatan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
37
Universitas Indonesia
jiwa. Orientasi yang dilakukan mencakup informasi
budaya kerja dan informasi umum tentang visi, misi,
filosofi, kebijakan Desa Siaga Sehat Jiwa, dan
kemampuan kader kesehatan jiwa. Kegiatan orientasi
menggunakan metode klasik selama 2 hari, praktik
lapangan selama 3 hari, dan dilanjutkan dengan praktik
penerapan Desa Siaga Sehat Jiwa. Materi pelatihan kader
kesehatan jiwa mencakup :
1) Program Desa Siaga Sehat Jiwa
2) Deteksi keluarga di masyarakat: kelompok keluarga
sehat, kelompok keluarga yang berisiko mengalami
masalah psikososial, dan kelompok keluarga dengan
gangguan jiwa
3) Peran serta dalam menggerakkan masyarakat pada
kegiatan:
i) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok keluarga
sehat jiwa
ii) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok yang
berisiko mengalami masalah psikososial
iii) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok yang
mengalami gangguan jiwa
iv) Terapi aktivitas kelompok dan rehabilitasi pasien
gangguan jiwa
4) Supervisi keluarga dan pasien gangguan jiwa yang
telah mandiri
5) Perujukan kasus pasien gangguan jiwa
6) Pelaporan kegiatan kader kesehatan jiwa
d) Kemampuan Kader Kesehatan Jiwa
Kemampuan kader yang dinilai di sini adalah kemampuan
dalam:
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
38
Universitas Indonesia
1) Mendeteksi keluarga di Desa Siaga Sehat Jiwa: Sehat,
Risiko, dan Sakit.
2) Menggerakkan keluarga sehat untuk mengikuti
penyuluhan sehat jiwa sesuai dengan usia anak.
3) Menggerakkan keluarga yang berisiko untuk
mengikuti penyuluhan risiko gangguan jiwa.
4) Menggerakkan keluarga pasien gangguan jiwa untuk
mengikuti penyuluhan tentang cara merawat pasien.
5) Menggerakkan pasien gangguan jiwa untuk mengikuti
TAK dan rehabilitasi.
6) Melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien
gangguan jiwa yang telah mandiri.
7) Merujuk kasus ke perawat CMHN.
8) Mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan
(Keliat, 2010)
e) Peran PMO (Pengawas Minum Obat)
PMO atau Pengawas Minum Obat adalah seseorang yang
mengawasi dan menjamin keteraturan klien minum obat.
Berikut ini adalah standar PMO yang dikembangkan
untuk klien tuberculosis.
1) Persyaratan Pengawas Minum Obat
Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO
adalah sebagai berikut:
i) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui,
baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain
itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
ii) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
iii) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
iv) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan
bersama-sama dengan pasien.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
39
Universitas Indonesia
v) Memahami tanda dan gejala penyakit termasuk
cara penularan, pengobatan dan perawatannya
(Nazir, 2010).
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya
Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru
Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal
dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
2) Tugas Seorang Pengawas Minum Obat
Berikut ini adalah tugas seorang PMO berdasarkan
standar PMO untuk pasien tuberculosis (TB).
Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO
adalah:
i) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara
teratur sampai selesai pengobatan.
ii) Memberi dorongan kepada pasien agar mau
berobat teratur.
iii) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak
pada waktu yang ditentukan.
iv) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga
pasien TB yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri
ke petugas kesehatan terdekat.
v) Membantu atau mendampingi penderita dalam
pengambilan obat di pelayanan kesehatan
terdekat.
vi) Membantu petugas kesehatan dalam rangka
memantau perkembangan penyakit tuberkulosis di
desanya.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
40
Universitas Indonesia
Point 1 sampai 4 adalah tugas pokok PMO yang
ditetapkan depkes. Tetapi dalam pelaksanaan di
lapangan PMO juga berperan melakukan hal-hal lain
berkaitan dengan pasien TB dan petugas kesehatan
seperti pada poin 5 dan 6 di atas (Nazir, 2010).
2.1.4.4 Pedoman pelaksanaan terapi
1. Asuhan keperawatan generalis pada klien
Asuhan keperawatan generalis pada klien dilakukan dengan
menggunakan panduan SAK untuk diagnosa keperawatan
pada klien gangguan jiwa. Diagnosa yang akan digunakan
pada penelitian adalah 7 diagnosa utama pada klien gangguan
jiwa, yaitu gangguan sensori persepsi: halusinasi, gangguan
proses pikir: waham, harga diri rendah, isolasi sosial, risiko
perilaku kekerasan, defisit perawatan diri, dan risiko bunuh
diri.
SAK terdiri dari pedoman asuhan kepada klien dan kepada
keluarga. Pedoman tersebut dikembangkan per diagnosa
keperawatan. Intervensi kepada individu berfokus untuk
membantu klien mengenali masalahnya, dan melatih klien
mengatasi masalahnya sendiri. Sedangkan intervensi kepada
keluarga berfokus untuk membantu keluarga untuk
mengenali masalah yang dialami oleh anggota keluarganya
yang sakit dan melatih keluarga untuk merawat klien di
rumah. Panduan SAK lengkap dapat dilihat pada lampiran.
2. Family Psychoeducation pada keluarga
a) Pengertian
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
41
Universitas Indonesia
Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen
program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara
pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang
terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan
yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart & Laraia,
2005). Psikoedukasi keluarga merupakan sebuah metode
yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap
pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga
keperawatan jiwa profesional sebagai bagian dari
keseluruhan intervensi klinik untuk anggota keluarga yang
mengalami gangguan. Terapi ini menunjukkan adanya
peningkatan outcomes pada klien dengan schizofrenia dan
gangguan jiwa berat lainnya (Anderson, 1983 dalam
Levine, 2002).
Sedangkan menurut Carson (2000), psikoedukasi
merupakan alat terapi keluarga yang makin popular
sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor
resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejala-
gejala perilaku. Jadi pada prinsipnya psikoedukasi dapat
membantu anggota keluarga dalam meningkatkan
pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian
informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan
dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan bagi
anggota keluarga itu sendiri.
b) Tujuan terapi
1) Tujuan Umum
Tujuan utama psikoedukasi keluarga adalah untuk
berbagi informasi tentang perawatan kesehatan jiwa
(Varcarolis, 2006). Sedangkan menurut Levine (2002),
tujuan psikoedukasi keluarga adalah untuk mencegah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
42
Universitas Indonesia
kekambuhan klien gangguan jiwa, dan untuk
mempermudah kembalinya klien ke lingkungan
keluarga dan masyarakat dengan memberikan
penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien
gangguan jiwa. Tujuan lain dari program ini adalah
untuk memberi dukungan terhadap anggota keluarga
yang lain dalam mengurangi beban keluarga terutama
beban fisik dan mental dalam merawat klien gangguan
jiwa untuk waktu yang lama.
2) Tujuan Khusus
i) Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga
tentang penyakit dan pengobatan
ii) Meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya
menurunkan angka kekambuhan
iii) Mengurangi beban keluarga
iv) Melakukan penelitian yang berkelanjutan tentang
perkembangan keluarga
v) Melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan
perasaan, bertukar pandangan antar anggota
keluarga dan orang lain
c) Proses pelaksanaan terapi
Meski tidak ada satupun program bisa menjelaskan struktur
umum yang dapat memodifikasi kebutuhan pertemuan
individu keluarga, tetapi yang paling penting dari program
Family Psyhcoeducation adalah bertemu keluarga
berdasarkan pada kebutuhan, dan keluarga mendapat
kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan
bersosialisasi dengan anggota yang lain dan tenaga
kesehatan jiwa profesional. Adapun proses kerja untuk
melakukan psikoedukasi pada keluarga adalah:
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
43
Universitas Indonesia
i) Persiapan
- Identifikasi dan seleksi keluarga yang
membutuhkan psikoedukasi sesuai indikasi dan
kriteria yang telah ditetapkan
- Menjelaskan tujuan dilaksanakan psikoedukasi
keluarga
- Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan
dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan dan
anggota keluarga yang mengikuti keseluruhan
pertemuan adalah orang yang sama yang tinggal
serumah dengan klien
ii) Pelaksanaan
Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai
kelompok, pencapaian terapi Family Psyhcoeducation
dapat dilakukan dalam 5 sesi:
- Sesi 1 : Pengkajian Masalah Keluarga
- Sesi 2 : Perawatan Klien Gangguan Jiwa
- Sesi 3 : Manajemen Stres Keluarga
- Sesi 4 : Manajemen Beban Keluarga
- Sesi 5 : Pemberdayaan Komunitas Untuk
Membantu Keluarga
Panduan lengkap mengenai terapi FPE dapat dilihat pada
modul terapi FPE terlampir.
3. Pelaksanaan Peran PMO oleh kader
Pelaksanaan peran PMO oleh kader akan dilaksanakan
dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Persiapan kader
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
44
Universitas Indonesia
i) Peneliti meminta izin dan berkoordinasi dengan petugas
puskesmas untuk mengumpulkan kader
ii) Kader yang bertempat di desa yang dipilih untuk
kelompok intervensi 2 dikumpulkan oleh peneliti di
satu tempat yang telah disepakati
iii) Kader diberikan materi mengenai schizophrenia, peran
kader kesehatan jiwa dan peran pengawas minum obat
iv) Kader dilatih untuk menjadi pengawas minum obat
b. Pelaksanaan
i) Kader mengunjungi klien ke rumahnya setiap minggu
satu kali
ii) Kader melakukan wawancara kepada klien
iii) Kader melakukan klarifikasi kepada keluarga klien
iv) Kader melakukan penghitungan obat
v) Kader menjelaskan pentingnya berobat
c. Evaluasi
Pelaksanaan kunjungan kader untuk menjalankan peran
PMO didokumentasikan dalam buku kerja kader ke rumah
klien. Pedoman kerja dan buku kerja kader terlampir.
2.1.4.5 Hasil Akhir dan Evaluasi Intervensi Keperawatan
Intervensi pada penelitian ini meliputi pemberian asuhan
keperawatan generalis kepada klien dengan schizophrenia
berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul, pemberian
terapi spesialis FPE kepada keluarga klien dan pemberdayaan
kader untuk menjalankan peran PMO.
Evaluasi pemberian asuhan keperawatan generalis kepada klien
dengan schizophrenia dapat dilihat dari kriteria evaluasi yang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
45
Universitas Indonesia
tercantum pada SAK. Masing-masing disesuaikan dengan
diagnosa keperawatan yang muncul. Pada dasarnya setelah
diberikan intervensi tersebut, klien mampu mengatasi
masalahnya sendiri. Termasuk di dalamnya kemandirian klien
dalam melakukan aktivitas perawatan dirinya sendiri.
Pada setiap intervensi pada masing-masing diagnosa keperawatan
jiwa yang muncul pada klien dengan schizophrenia. Selalu
diikuti dengan intervensi untuk meningkatkan kesadaran klien
dan keluarga dalam hal pengobatan klien. Karena masalah
pengobatan menjadi masalah yang cukup perlu perhatian dalam
schizophrenia. Karena itu, intervensi keperawatan juga
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan klien dalam berobat.
Intervensi FPE kepada keluarga dimaksudkan agar setelah
diberikan terapi pengetahuan keluarga tentang penyakit dan
pengobatan meningkat, kemampuan keluarga dalam upaya
menurunkan angka kekambuhan meningkat, beban keluarga
berkurang, keluarga dapat mengungkapkan perasaan dan bertukar
pandangan antar anggota keluarga dan orang lain.
Intervensi berikutnya adalah pemberdayaan kader untuk
menjalankan peran PMO kepada klien. Peran ini perlu menjadi
pertimbangan mengingat fenomena ketidakpatuhan berobat yang
ada pada klien schizophrenia. Peran PMO sendiri dapat
dilakukan oleh keluarga, kader ataupun masyarakat sekitar.
Dalam penelitian ini akan dilakukan uji coba pelaksanaan peran
PMO oleh kader. Hasil akhir yang diharapkan setelah
pelaksanaan peran ini adalah peningkatan kepatuhan berobat
klien schizophrenia.
2.2 Kemandirian Klien Schizophrenia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
46
Universitas Indonesia
NAMI (National Alliance on Mental Illness) menyatakan bahwa gejala negatif
dari schizophrenia termasuk terjadinya afek datar dan menurunnya ekspresi
emosi klien, dan ketidakmampuan memulai atau mengakhiri aktivitas, dan
kurangnya rasa nyaman atau minat dalam hidup (NAMI, 2012). Pernyataan ini
menjadi dasar untuk memahami bahwa klien schizophrenia akan mengalami
gangguan dalam aktivitasnya.
Klien dengan schizophrenia terpisah dari dunia nyata dan memiliki dunianya
sendiri, seperti pengertian kata schizophrenia yang diambil dari bahasa
Yunani ‘schizein’ yang berarti terbelah dan ‘phren’ yang berarti pikiran
(Townsend, 2009). Orang dengan schizophrenia dapat mendengarkan suara
yang tidak dapat didengar orang lain. Mereka dapat berpikir bahwa orang lain
dapat membaca pikirannya, mengontrol pikirannya, atau berencana untuk
menyakiti mereka. Hal ini menakutkan bagi penderita schizophrenia dan
membuat mereka menarik diri atau gelisah berlebihan. Keluarga dan
masyarakat sekitar dapat juga terkenai dampak dari schizophrenia.
Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam
menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka
mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Dari sini dapat
dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
Bagi klien sebagai individu, schizophrenia menyebabkan gangguan dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari atau berdampak kepada kemandirian klien.
Hal ini menyebabkan klien banyak tergantung kepada orang lain, terutama
keluarga. Kemandirian sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan klien
menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini selaras ciri
sehat jiwa pertama, yaitu memiliki otonomi atau kemandirian. Di mana
seorang individu dapat menentukan apa yang akan dilakukannya dan mampu
melakukan banyak hal secara mandiri.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
47
Universitas Indonesia
2.2.1 Efek schizophrenia pada aktivitas sehari-hari (ADL = Activity Daily
Living)
Schizophrenia bisa berdampak besar pada aktivitas sehari-hari dan
seluruh bagian dari kehidupan seseorang akan terpengaruh oleh
pengalaman memiliki penyakit psikotik. Kesulitan menjalani hidup bagi
seseorang dengan penyakit mental seperti schizophrenia, adalah karena
harus menghadapi gejala yang terus muncul, menghadapi masalah
pengobatan dan penanganan lain, dan merasa asing, terisolasi dan
kesepian. Berhubungan dengan orang lain menjadi sulit, walaupun
merasa perlu, ada perasaan takut untuk menjadi dekat dengan orang lain
dan masalah dalam memanaje stress yang dapat disebabkan oleh
kedekatan dengan orang lain (Chang & Johnson, 2008).
Kesulitan meluas terkait dengan aktivitas hidup sehari-hari tergantung
tidak hanya pada keparahan penyakit atau gejala sisa, tetapi juga pada
keterlambatan perkembangan yang disebabkan oleh onset munculnya
penyakit. Orang muda yang memiliki penyakit psikotik akan sulit
membangun hubungan sosial yang baik dan keterampilan hidup sehari-
hari karena onset penyakit ini. Penilaian yang buruk dan pemikiran yang
terganggu menyebabkan klien sulit membuat keputusan dalam aktivitas
sehari-hari.
Karena itu, orang dengan schizophrenia membutuhkan dukungan dan
pengetahuan mengenai kebersihan diri, berpakaian, berbelanja,
memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan, membangun
hubungan sosial dan memanaje waktu. Bekerja dapat akan mengalami
banyak kesulitan dan banyak orang dengan schizophrenia yang tidak
bekerja walaupun mereka menginginkannya. Saat mereka bekerja,
mereka akan sangat membutuhkan dukungan terkait manajemen
pengobatan dan pekerjaan dan kejelasan tentang status kesehatan mereka
(Chang & Johnson, 2008).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
48
Universitas Indonesia
Pendapat lain menyatakan bahwa orang dengan schizophrenia akan
mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu
dalam bekerja, sekolah, aktivitas sehari-hari, menjadi orang tua, merawat
diri, hidup mandiri, aktivitas di waktu luang, hubungan interpersonal.
Schizophrenia memiliki dampak yang signifikan pada kualitas hidup
karena gejala dapat menjadi sangat merusak bagi klien dan bagi orang
lain yang dekat dengan klien. Misal, klien dengan schizophrenia bisa
jadi bicara tidak masuk akal, hal ini dapat mengarahkan pada isolasi
sosial dari keluarga dan kontak sosial lain yang lebih lanjut dapat
memperburuk gejala. Klien dengan schizophrenia juga dapat mengalami
depresi dan atau penyalahgunaan substansi, keduanya meningkatkan
risiko untuk bunuh diri. Dampak selanjutnya adalah kesulitan dalam
bekerja, mengejar tujuan, seperti menyelesaikan pendidikan, membina
hubungan, dan hidup mandiri dan berarti (medifocus, 2011).
2.2.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian
Kemandirian klien schizophrenia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
berikut, yaitu:
1. Usia
Pada masa usia anak-anak, manusia mempelajari untuk melakukan
aktivitas sehari-hari dengan mandiri. Dan pada saat memasuki usia
lansia, manusia mengalami kemunduran kemandirian dikarenakan
penurunan fisiologis lansia.
2. Kondisi sakit
Mengalami rasa sakit dapat menghambat seseorang dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Seperi dinyatakan oleh Chang dan
Johnson bahwa orang dewasa yang memiliki nyeri yang kronis
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
49
Universitas Indonesia
seringkali tidak mampu melakukan aktivitas sesuai dengan tugas
tumbuh kembang pada usianya (Chang & Johnson, 2008).
2.2.3 Pengukuran kemandirian
Kemandirian klien schizophrenia dapat diukur dengan instrumen yang
pernah digunakan dalam penelitian CMHN Jakarta oleh Keliat, Helena,
dan Riasmini (2011). Instrumen tersebut terdiri dari 26 item yang berisi
tentang kegiatan sehari-hari klien. Skala pengukuran masing-masing
kegiatan tersebut, menggunakan tiga kategori, yaitu tidak dilakukan (T),
dilakukan dengan bantuan (B), dan dilakukan mandiri (M).
2.3 Kepatuhan berobat
Berikut ini akan dipaparkan mengenai definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan,
batasan karakteristik, faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat,
dan cara mengukur kepatuhan.
2.3.1 Definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan
Definisi mudah untuk menggambarkan kepatuhan yang sering digunakan
oleh praktisi kesehatan adalah perilaku pasien untuk mengikuti
permintaan dokter (Jaret, 2001 dalam Brannon & Feist, 2010).
Kepatuhan dapat didefinisikan pula sebagai kemampuan dan kemauan
seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon
& Feist, 2010). Kata ‘kepatuhan’ dapat diasosiasikan dengan kata
kooperatif dan kolaborasi. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara
pasien dengan petugas kesehatan. Hal ini juga menunjukkan bahwa
pasien berperan aktif dalam meningkatkan derajat kesehatannya sendiri.
Haynes (1979 dalam Brannon & Feist, 2010) memberikan defisini yang
lebih luas mengenai kepatuhan, yaitu perluasan perilaku seseorang (yang
dimaksud adalah dalam berobat, mengikuti aturan diet atau melakukan
perubahan gaya hidup) sesuai dengan anjuran kesehatan. Definisi ini
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
50
Universitas Indonesia
meluas dari pengobatan menjadi mempertahankan pola hidup sehat
seperti melakukan perawatan sesuai, melakukan olahraga cukup,
menghindari stress berkepanjangan, tidak merokok, dan tidak
menggunakan alkohol. Selanjutnya kepatuhan juga termasuk
menjadwalkan pemeriksaan kesehatan atau pemeriksaan gigi secara
teratur, menggunakan sabuk pengaman, dan melakukan perilaku lain
yang sesuai dengan saran kesehatan terbaik yang tersedia.
Ketidakpatuhan berobat menunjukkan perilaku individu dan/atau
pemberi asuhan yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan
atau terapeutik yang ditetapkan oleh individu (dan/atau keluarga
dan/atau komunitas) serta profesional pelayanan kesehatan. Perilaku
pemberi asuhan atau individu yang tidak mematuhi ketetapan, rencana
promosi kesehatan atau terapeutik secara keseluruhan atau sebagian
dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif secara klinis atau
sebagian tidak efektif (NANDA, 2010)
Ketidakpatuhan dipengaruhi oleh kondisi penyakit itu sendiri. Orang-
orang biasanya lebih patuh pada pengobatan dibandingkan pada
kebutuhan untuk merubah pola hidup, seperti diet atau olah raga. Rata-
rata angka ketidakpatuhan adalah sebesar 25%. Philip Ley, seorang
peneliti yang melakukan penelitian mengenai kepatuhan selama lebih
dari 30 tahun, menyatakan bahwa semakin sederhana jadwal pengobatan,
dan semakin singkat durasinya, maka kepatuhan akan semakin tinggi
(Ley, 1997 dalam Brannon & Feist, 2010). Karena itu tenaga kesehatan
perlu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan
ketidakpatuhan klien dalam berobat.
2.3.2 Batasan Karakteristik
Batasan karakteristik ketidakpatuhan menurut NANDA (2010) adalah:
1. Perilaku menunjukkan individu gagal mematuhi ketetapan
2. Terjadi perkembangan komplikasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
51
Universitas Indonesia
3. Terdapat perburukan gejala
4. Gagal mempertahankan janji untuk kunjungan klinis
5. Gagal mengalami perkembangan kesehatan
6. Uji objektif (misal tindakan fisiologis, deteksi penanda fisiologis)
2.3.3 Faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan
Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan
mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia (Brannon & Feist,
2010)
1. Faktor pribadi
Beberapa faktor yang telah diteliti dan terbukti mempengaruhi
kepatuhan seseorang dalam berobat adalah faktor demografi seperti
usia dan jenis kelamin. Faktor lain yang penting adalah kepribadian
seseorang dan faktor pribadi lain seperti faktor emosi, dan faktor
keyakinan seseorang.
2. Norma budaya
Keyakinan budaya dan norma-norma memiliki pengaruh yang kuat
tidak hanya pada tingkat kepatuhan tetapi apa yang terdapat dalam
kepatuhan (Brannon & Feist, 2010). Contohnya adalah keyakinan
individu pada hal-hal yang dapat memberikan kesembuhan atau
kesehatan akan mempengaruhi pemilihan seseorang pada terapi
medis. Individu tersebut cenderung akan memilih hal diyakini
tersebut dan secara otomatis, kepatuhan akan menurun.
Terkadang seseorang mengkombinasikan pengobatan tradisional,
atau sesuai dengan keyakinannya, dengan terapi medik. Perilaku ini
akan ternilai sebagai ketidakpatuhan oleh kedua belah pihak
(Brannon & Feist, 2010).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
52
Universitas Indonesia
Norma budaya juga dapat meningkatkan kepatuhan, misalnya
tingginya kepatuhan lansia di Jepang, dibandingkan dengan lansia
Amerika atau Eropa. Sistem pelayanan kesehatan di Jepang
menyediakan pelayanan untuk semua warga negara dengan
pelayanan yang beragam, hal ini menciptakan kepercayaan warga
kepada pelayanan kesehatan di Jepang.
3. Interaksi praktisi kesehatan dengan pasien
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai hubungan antara
interaksi praktisi kesehatan dan pasien dengan kepatuhan pasien.
Praktisi yang berhasil membangun hubungan kemitraan dengan
pasien, akan cenderung mencapai kepuasan bagi pasien dan pasien
akan lebih mudah mengikuti sarannya (Fuertes et.al, 2007 dalam
Brannon & Feist, 2010). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan
dalam membina hubungan baik dengan pasien diantaranya adalah
komunikasi verbal dan karakter pribadi praktisi kesehatan.
2.3.4 Cara Mengukur Kepatuhan
Tingkat kepatuhan tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa
teknik telah digunakan oleh para peneliti dan mampu memberikan
gambaran mengenai ketidakpatuhan. Ada enam hal dasar yang dapat
digunakan dalam mengukur kepatuhan, yaitu: (1) bertanya kepada
praktisi kesehatan, (2) bertanya kepada pasien, (3) bertanya kepada
orang lain, (4) memantau penggunaan obat, (5) pemeriksaan biokimia,
dan (6) menggunakan kombinasi dari cara-cara tersebut (Brannon &
Feist, 2010).
Berbagai metoda tadi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Beberapa peneliti lebih memilih untuk menggunakan kombinasi
dari metoda-metoda tersebut. Teknik yang sering digunakan oleh para
peneliti adalah mewawancarai pasien, menghitung obat yang ada,
memonitor secara elektronik, dan melakukan pengukuran biokimia.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
53
Universitas Indonesia
Teknik ini lebih banyak disetujui untuk mengukur kepatuhan
dibandingkan dengan hanya mengandalkan pernyataan dari pasien atau
praktisi klinis. Namun teknik ini memiliki kekurangan, yaitu
membutuhkan biaya lebih besar.
Salah satu instrumen untuk mewawancarai klien untuk mengukur
kepatuhan berobat adalah instrumen yang dikembangkan dari penelitian
oleh Thompson K, et.al (2000) dan Fialko L, et al yang dinamakan
intstrumen MARS (Medical Adherence Rating Scale)
(virtualmedicalcentre.com). Instrumen ini terdiri dari 10 pernyataan
mengenai kepatuhan berobat dengan pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
55Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
DAN DEFINISI OPERASIONAL
Pada bab ini dijelaskan mengenai kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis
penelitian dan definisi operasional yang memberikan arah terhadap pelaksanaan
penelitian serta analisis data.
3.1 Kerangka Teori
Pada kerangka teori ini akan dijelaskan mengenai schizophrenia, kemandirian,
kepatuhan berobat dan intervensi yang dapat dilakukan pada klien dengan
schizophrenia berdasarkan literatur. Kerangka teori akan digambarkan pada
skema 3.1.
Stuart (2009) mendefinisikan schizophrenia sebagai penyakit otak
neurobiologis yang menetap. Schizophrenia merupakan gejala klinis yang
berdampak pada kehidupan individu, keluarga dan komunitasnya (Stuart,
2009). Schizophrenia bukan penyakit yang homogen yang disebabkan oleh
satu penyebab tetapi merupakan hasil dari kombinasi predisposisi genetik,
disfungsi biokimia, faktor fisiologis, dan stress psikososial (Townsend, 2009).
Stuart (2009) mengembangkan Model Stress Adaptasi untuk membantu
memahami masalah keperawatan jiwa. Menurut Stuart, faktor predisposisi
gangguan jiwa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu faktor
biologis, psikologis dan sosial budaya. Faktor biologis terdiri dari latar
belakang genetik, status nutrisi, sensitivitas biologis, kondisi kesehatan umum,
dan paparan terhadap zat racun. Faktor psikologis terdiri dari kecerdasan,
keterampilan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri,
motivasi, pertahanan psikologis, dan locus of control, atau rasa menguasai
takdir sendiri. Dan faktor sosial budaya termasuk usia, gender, pendidikan,
penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan,
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
56
Universitas Indonesia
afiliasi politik, pengalaman sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial (Stuart,
2009).
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan diagnosa
schizophrenia adalah gangguan sensori persepsi: halusinasi, gangguan proses
pikir, isolasi sosial, harga diri rendah, risiko perilaku kekerasan, defisit
perawatan diri, risiko bunuh diri, kerusakan komunikasi verbal, regimen
terapeutik inefektif, dan regimen keluarga inefektif (NANDA, 2011). Saat ini
telah dikembangkan SAK (Standar Asuhan Keperawatan) untuk sebelas
diagnosa tersebut. SAK berisi SP (Strategi Pelaksanaan) untuk setiap diagnosa
yang memberikan arahan untuk pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan jiwa dan keluarga.
Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam
menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka
mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Orang dengan
schizophrenia membutuhkan dukungan dan pengetahuan mengenai kebersihan
diri, berpakaian, berbelanja, memasak dan membereskan rumah, mengatur
keuangan, membangun hubungan sosial dan memanage waktu (Chang &
Johnson, 2008).
Penderita schizophrenia memerlukan pengobatan medis secara teratur dan
terkontrol. Seringkali penderita schizophrenia mengalami putus obat karena
berbagai faktor seperti malas, merasa sudah sembuh, dan sebagainya. Jangka
waktu pengobatan yang lama dapat menjadi faktor yang menyebabkan
ketidakpatuhan klien pada pengobatan. Kepatuhan berobat sendiri diartikan
sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik
kesehatan yang dianjurkan (Brannon & Feist, 2010). Dengan adanya
fenomena ketidakpatuhan pada klien schizophrenia, maka diperlukan
pengawasan dalam mengkonsumsi obat-obatan.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
57
Universitas Indonesia
Pengawas Minum Obat (PMO) adalah seseorang yang mengawasi dan
menjamin keteraturan klien minum obat. Peran ini dapat dilakukan oleh
keluarga, kader kesehatan atau orang lain yang memenuhi kriteria PMO
(Nazir, 2010).
Tidak ada penanganan tunggal untuk penyakit schizophrenia ini. Karena itu,
penanganan yang efektif membutuhkan dukungan yang komprehensif dari
berbagai disiplin ilmu, yaitu terapi farmaka dan berbagai bentuk penanganan
psikososial, seperti latihan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, latihan
keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009).
Keperawatan jiwa di Indonesia telah mengembangkan berbagai terapi untuk
klien gangguan jiwa. Terapi yang dikembangkan dapat dikelompokkan
menjadi terapi generalis dan terapi spesialis. Terapi juga telah dikembangkan
tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk keluarga, kelompok, dan
masyarakat.
Penanganan masalah schizophrenia tidak hanya dirancang untuk individu saja.
Karena schizophrenia juga berdampak pada keluarga klien dan masyarakat.
Untuk itu, dalam keperawatan telah dikembangkan terapi-terapi keluarga dan
model CMHN untuk memberdayakan masyarakat menangani schizophrenia.
Terapi keluarga, family psychoeducation telah banyak dibuktikan manfaatnya
untuk keluarga dengan klien gangguan jiwa, maupun pada keluarga dengan
gangguan psikososial.
Model CMHN adalah pendekatan untuk memberdayakan berbagai elemen
masyarakat dalam menangani masalah gangguan jiwa. Model CMHN
memberdayakan salah satunya kader dalam mewujudkan Desa Siaga Sehat
Jiwa. Peran kader dalam CMHN adalah mendeteksi, menggerakkan keluarga,
menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat,
2010).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
58
Universitas Indonesia
Skema 3.1KERANGKA TEORI
Input Proses Output
DAMPAK PENYAKITPENANGANANDIAGNOSA MEDIS :Schizophrenia: Penyakit otak neurobiologis yang menetap (Stuart, 2009).Suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2010).
DIAGNOSA KEPERAWATAN :Gangguan sensori persepsi: halusinasi, Gangguan Proses Pikir, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri, Risiko Bunuh Diri, Kerusakan komunikasi verbalRegimen terapeutik inefektifRegimen keluarga inefektif(NANDA, 2011)
Penelitian ini berfokus pada diagnosa gangguan sensori persepsi: halusinasi, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri
INDIVIDU:Generalis : SP 1 - SP 5 s.d SP 12Terapi spesialis : cognitive therapy, behavioral therapy, cognitive-behavioral therapy, assertiveness training, thought stopping, social skill training, progressive relaxation therapy(Keliat & Walter, 2011).
Terapi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah terapi generalis SP1-SP5 untuk diagnosa: halusinasi, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri
KELUARGA:
Generalis : SP 1 – SP 5 s.d SP 12Terapi spesialis : Family psychoeducation (FPE), Triangle therapy (Keliat & Walter, 2011).FPE adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart & Laraia, 2005 )
Terapi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah FPE
CMHN : Kader
Tugas kader : Mendeteksi, menggerakkan keluarga, menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat, 2010)PMO : Seseorang yang mengawasi dan menjamin keteraturan klien minum obat (Nazir, 2010)
Pada penelitian ini dikembangkan peran PMO merujuk pada peran PMO pada penyakit tuberculosis
Kepatuhan berobat klien:Kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon & Feist, 2010)
Kemandirian klien:kebersihan diri, berpakaian, berbelanja, memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan, membangun hubungan sosial dan memanaje waktu (Chang & Johnson, 2008).
Bekerja, sekolah, aktivitas sehari-hari, menjadi orang tua, merawat diri, hidup mandiri, aktivitas di waktu luang, hubungan interpersonal(www.medifocus.com, 2011)
FAKTOR PREDISPOSISI:Biologis: latar belakang genetik, status nutrisi, sensitivitas biologis, kondisi kesehatan umum, dan paparan terhadap zat racun
Psikologis: kecerdasan, keterampilan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan locus of control, atau rasa menguasai takdir sendiri
Sosial budaya: usia, gender, pendidikan, penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, afiliasi politik, pengalaman sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial(Stuart, 2009)
FAKTOR PRESIPITASI:Nature : biologis, psikologis, sosial budayaOrigin : internal, eksternalTiming : kapan, berapa lama, berapa kali stressor munculNumber : berapa banyak stressor dalam periode waktu tertentu(Stuart, 2009)
Jenis faktor precipitasi : kejadian hidup yang penuh tekanan, ketegangan hidup dan perselisihan (Stuart, 2009).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
59
Universitas Indonesia
3.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini merupakan bagian dari kerangka teori yang akan digunakan sebagai
acuan dalam penelitian. Pada kerangka konsep ini akan dijelaskan mengenai terapi
keperawatan yang dipilih yaitu asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada
keluarga dan peran PMO. Kerangka konsep akan digambarkan pada skema 3.2.
Penelitian ini mengukur kemandirian klien schizophrenia serta kepatuhan berobat klien
sebagai variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah intervensi
keperawatan berupa pemberian asuhan keperawatan generalis kepada klien, FPE kepada
keluarga dan pelaksanaan peran kader sebagai Pengawas Minum Obat (PMO). Asuhan
keperawatan kepada klien diberikan sesuai SAK generalis yang terstandar sebagai
intervensi mendasar kepada klien. FPE yang diberikan kepada keluarga klien merupakan
salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian
informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi
merupakan pendekatan yang bersifat edukatif dan pragmatik (Stuart, 2009). FPE dipilih
karena menurut Safier (1997, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa keluarga yang
memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar
dalam dirinya.
Peran PMO dapat menjadi salah satu kegiatan untuk memberdayakan kader kesehatan di
masyarakat. Pemberdayaan kader serupa dengan pemberdayaan masyarakat yaitu
merupakan proses pengembangan potensi pengetahuan maupun keterampilan masyarakat
agar mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan mereka
sendiri (Helvie, 1998, dalam Keliat, 2010). Salah satu kegiatan kader kesehatan jiwa
dalam buku modul IC-CMHN adalah mendeteksi, menggerakkan keluarga,
menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat, 2010).
Kader dapat melaksanakan peran PMO pada saat melakukan kunjungan rumah. Peran
PMO dipilih pada penelitian ini karena sudah ada sumber daya di tempat penelitian dan
karena cukup tingginya kejadian drop out berobat pada klien schizophrenia di
Kersamanah Garut.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
60
Universitas Indonesia
Variabel pengganggu yang dapat mempengaruhi hasil penelitian atau dikenal juga dengan
confounding variable, yaitu berupa karakteristik responden. Karakteristik klien yang
dapat mempengaruhi kemandirian klien antara lain adalah usia (Stuart, 2009) dan kondisi
sakit (Chang & Johnson, 2008). Dan karakteristik yang mempengaruhi variabel
kepatuhan berobat klien adalah usia, jenis kelamin dan faktor budaya (Brannon & Feist,
2010).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
61
Universitas Indonesia
Skema 3.2KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Pre-test Post-test
VARIABEL DEPENDEN VARIABEL DEPENDEN
VARIABEL INDEPENDEN
1. Asuhan keperawatan generalis pada klien(SP 1 - SP 5 s.d SP 12)
2. FPE pada keluarga klien Sesi 1 : pengkajian masalah keluargaSesi 2 : edukasi cara merawat klienSesi 3 : manajemen stress keluargaSesi 4 : manajemen beban keluargaSesi 5 : pemberdayaan komunitas
3. Peran PMO oleh kader
CONFOUNDING VARIABLES(Kemandirian):
- Usia (Stuart, 2009)- Kondisi sakit
(Chang & Johnson, 2008)
CONFOUNDING VARIABLES(Kepatuhan):
- Usia
- Jenis kelamin
- Faktor budaya(Brannon & Feist, 2010)
Kemandirian
Kepatuhan berobat Kepatuhan berobat
Kemandirian
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
62
Universitas Indonesia
3.3 Hipotesis
Menurut Nursalam (2008), hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan
masalah atau pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut :
3.3.1 Ada perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia
sebelum dan sesudah dilakukan asuhan keperawatan pada klien, FPE
pada keluarga dan peran PMO oleh kader
3.3.2 Ada perbedaan perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien
schizophrenia pada kelompok yang diberikan asuhan keperawatan pada
klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader dengan kelompok
kontrol
3.3.3 Ada hubungan antara kemandirian dan kepatuhan berobat klien
schizophrenia di Kecamatan Kersamanah
3.3.4 Ada hubungan antara karakteristik klien dengan kemandirian dan
kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah.
3.4 Definisi Operasional
Variabel yang telah didefinisikan perlu dijelaskan secara operasional, sebab
setiap istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang
berlainan. Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang
diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008). Pada tabel
3.1 akan dijelaskan mengenai definisi operasional dari semua variabel
dependen, independen dan variabel pengganggu (confounding variables).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
63
Universitas Indonesia
Tabel 3.1DEFINISI OPERASIONAL DAN VARIABEL PENELITIAN
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur dan Cara Ukur
Hasil Ukur Skala
A. Variabel Independen1 Asuhan
KeperawatanAsuhan keperawatan adalah proses sistematik mulai dari pengkajian hingga implementasi. Implementasi yang dilakukan sesuai dengan SAK untuk klien gangguan
Check list : observasi
1. Tidak diberikan
2. Diberikan
Nominal
2 Family Psychoeducation (FPE)
Terapi spesialis yang diberikan kepada keluargadengan cara pemberian informasi dan edukasi yang terapeutik
Check list : observasi
1. Tidak diberikan
2. Diberikan
Nominal
3 Peran Pengawas Minum Obat (PMO)
Pengawasan langsung untuk menjamin keteraturan pengobatan klein schizophrenia. Peran PMO dalam penelitian ini akan dilakukan oleh kader
Check list : Observasi
1. Tidak diberikan
2. Diberikan
Nominal
B. Variabel Dependen1 Kemandirian Kemampuan pasien dalam
mengatasi masalahkesehatan jiwa secara mandiri
Kuesioner kemandirian CMHN Jakarta, 24 item, skor 0-48
Nilai kemandirian 0-52
Interval
2 Kepatuhan berobat
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kepatuhan adalah kesesuaian klien meminum obat sesuai aturan
Kuesioner MARS, 6 item, skor 0-6
Nilai kepatuhan berobat 0-6
Interval
C. Variabel Pengganggu1 Usia Lamanya klien hidup, yang
dihitung sejak tahun klien lahir hingga tahun penelitian dilakukan
Kuesioner isian Dinyatakan dalam tahun
Interval
2 Jenis kelamin Identitas klien sesuai dengan kartu identitas resmi klien
Kuesioner isian 1. Laki-laki2. Perempuan
Nominal
3 Kondisi sakit(keluhan fisik)
Kondisi fisik klien jika klien merasakan nyeri atau tidak
Kuesioner isian 1. Tidak ada nyeri2. Ada nyeri
Nominal
4 Faktor budaya(keyakinan terhadap pelayanan kesehatan)
Norma budaya klien yang mempengaruhi keyakinan klien terhadap pengobatan dan tindakan medis
Kuesioner isian 1. Positif2. Negatif
Nominal
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
64Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan mengenai rencana pelaksanaan penelitian, mulai dari
rancangan penelitian, populasi dan sampel, waktu dan tempat penelitian, etika
penelitian, instrumen penelitian sampai pada cara menganalisa data hingga hasil
penelitian dapat disajikan.
4.1 Rancangan penelitian
Rancangan penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan
penelitian atau menguji kesahihan hipotesis (Nursalam, 2008). Penelitian ini
adalah penelitian kuantitatif yang menggunakan rancangan quasy
experimentpre-post test dengan grup kontrol. Rancangan kuasi eksperimen
berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental (Nursalam,
2008).
Intervensi pada penelitian ini yaitu asuhan keperawatan generalis pada klien
schizophrenia dan FPE pada keluarga dan peran Pengawas Minum Obat
(PMO) oleh kader. Kelompok kontrol akan diberikan pendidikan kesehatan
mengenai cara merawat klien di rumah, setelah penelitian selesai dilakukan.
Efek yang akan dilihat pada klien schizophrenia adalah kemandirian dan
kepatuhan berobat klien. Secara skematik, rancangan penelitian dapat dilihat
pada skema 4.1.
Skema 4.1Rancangan penelitian quasy experimental pre-post test with control group
Pre test Post test
Kelompok Intervensi
X
Kelompok Kontrol
Keterangan :
O1 O2
O3 O4
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
65
Universitas Indonesia
X : Intervensi pada kelompok intervensi yaitu asuhan keperawatan generalis
pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader
O1 : Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum
diberikan intervensi asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada
keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi
O2 : Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia setelah
diberikanintervensi asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada
keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi
O3 : Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum
penelitian dimulai pada kelompok kontrol
O4 : Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum
penelitian dimulai pada kelompok kontrol
O2 – O1 = Y1 : Perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien
schizophrenia pada kelompok intervensi sebelum dan
sesudah diberikan asuhan keperawatan generalis pada
klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader
O4 – O3 = Y2 : Perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien
schizophrenia pada kelompok kontrol sebelum dan
sesudah penelitian
Y2 – Y1 = Y3 : Perbedaan perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat
klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol
4.2 Populasi dan sampel
4.2.1 Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian, atau disebut
juga universe (Ali, 1985 dalam Taniredja & Mustafidah, 2011).
Sedangkan Nursalam (2008) menyatakan bahwa populasi adalah subjek
(misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh klien yang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
66
Universitas Indonesia
mengalami schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
yang terdata pada Januari 2012 sebanyak 98 orang.
4.2.2 Sampel
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subjek penelitian melalui teknik sampling. Sampling adalah
proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi
yang ada (Nursalam, 2008). Sampel dalam penelitian ini adalah klien
dengan schizophrenia yang tinggal dengan keluarganya sebagai
caregiver.
Besar sampel akan ditentukan berdasarkan rumus besar sampel untuk uji
beda mean kelompok independen, dengan menggunakan derajat
kepercayaan (confidence interval = CI) sebesar 95%, α = 0,05 dan β =
80%. Penelitian sebelumnya yang digunakan peneliti adalah penelitian
penerapan CMHN di Jakarta oleh Keliat, Helena dan Riasmini (2011)
yang mengukur variabel kemandirian dengan = 9,32, dan ( 1 – 2)
yaitu (38,83 – 29,94). Adapun rumus yang digunakan adalah rumus
berikut.
=2 [ + ]( − )
Keterangan := jumlah sampel
= standar normal deviasi untuk α (dapat dilihat pada tabel
distribusi Z)
= standar normal deviasi untuk β (dapat dilihat pada tabel distribusi Z)
= estimasi standar deviasi dan beda mean data pre test dan post test
− = Beda mean yang dianggap bermakna secara klinik antara sebelum dan sesudah perlakukan
(Dharma, 2011).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
67
Universitas Indonesia
Dengan rumus tersebut, dapat dilakukan perhitungan berikut.
=2(9,32) [1,96 + 0,842](38,83 − 29,94)
= 17,26, dibulatkan menjadi 18 orang.
Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota
sampel masing-masing kelompok antara 10 s/d 20 (Sugiyono, 2007).
Dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan kejadian drop out
responden, karena itu perlu dilakukan koreksi jumlah sampel untuk
mengantisipasi kejadian drop out ini. Rumus yang dapat digunakan
untuk ini antisipasi ini adalah sebagai berikut.
= (1 − )Keterangan :
= besar sampel setelah dikoreksi
= besar sampel yang akan dihitung
1 − = perkiraan proporsi subjek yang drop out, perkiraan 10%
(f=0,1)
(Dharma, 2011)
Dengan rumus tersebut, maka dapat dihitung koreksi sampel sebagai
berikut.
= 18(1 − 0,1) = 20 orang.
Pada penelitian ini digunakan teknik purposive sampling. Teknik ini
adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
68
Universitas Indonesia
antara populasi yang sesuai dengan kriteria yang dikehendaki peneliti
(Nursalam, 2008). Kriteria inklusi untuk sampel dalam penelitian ini
adalah klien yang didiagnosa schizophrenia, tinggal menetap di
Kecamatan Kersamanah dan tinggal bersama keluarga sebagai caregiver.
Penelitian ini melibatkan keluarga dan kader dalam satu paket intervensi,
walaupun perhitungan sampel tetap berdasarkan jumlah klien. Setelah
didapatkan sampel yang sesuai kemudian ditetapkan keluarga dan kader
yang berkaitan dengan klien tersebut. Tidak dilakukan pengukuran
variabel pada keluarga dan kader karena penelitian berfokus pada
kondisi klien.
Sampel untuk kelompok intervensi adalah klien schizophrenia yang
tinggal di Desa Sukamaju, Desa Mekar Raya (pemekaran Desa
Sukamaju), dan Desa Girijaya. Jumlah total klien yang memenuhi
kriteria adalah 28 klien. Dua orang klien tidak dapat ditemui, sehingga
pada saat pretest terdata 26 klien. Selama proses terapi pada 8 orang
klien drop out dari penelitian dikarenakan menolak diintervensi, klien
bepergian ke luar dari Kecamatan Kersamanah untuk waktu yang lama,
dan klien sulit berkomunikasi. Sehingga total klien untuk kelompok
intervensi adalah 18 orang.
Sampel untuk kelompok kontrol diambil dari Desa Kersamanah. Data
awal pada Bulan Januari 2012 jumlah klien di Desa Kersamanah adalah
35 orang. Pada saat penelitian jumlah klien yang masih ada berjumlah 24
orang. Lima orang didrop out dengan alasan sulit ditemui, pasien masih
akut sehingga sulit berkomunikasi dengan klien, dan klien dinyatakan
sembuh menurut data dari puskesmas. Jumlah akhir klien kelompok
kontrol adalah 19 orang. Pemetaan kelompok intervensi dan kontrol
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
69
Universitas Indonesia
Tabel 4.1Pemetaan jumlah klien berdasarkan kelompok intervensi
dan kelompok kontrol
No Kelompok Nama Desa KlienTotal
KlienInklusi
Drop out
Klien Responden
1 Intervensi Sukamaju 24 10 4 6
2 Intervensi Mekar raya (*) 11 4 7
3 Intervensi Giri Jaya 10 7 2 5
4 Kontrol Kersamanah 35 24 19 19
TOTAL 37
(*)pemekaran Desa Sukamaju, jumlah total termasuk ke dalam jumlah klien di Desa Sukamaju
4.3 Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan dalam waktu 5 minggu. Minggu pertama digunakan
untuk persiapan yaitu melatih kader untuk melakukan peran PMO dan
melakukan pengukuran kemandirian dan kepatuhan berobat, mengurus
perizinan penelitian ke Puskesmas dan Kecamatan Kersamanah. Minggu
kedua digunakan untuk mengukur variabel dependen (pre-test) pada semua
responden di kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pretest untuk
kelompok intervensi dilakukan mulai tanggal 24 Mei 2012. Intervensi
dilakukan selama 3 kali kunjungan dengan jarak masing-masing kunjungan
selama 1 minggu. Pretest untuk kelompok kontrol dilakukan mulai tanggal 30
Mei 2012. Post test dilakukan pada tanggal 18-21 Juni 2012 untuk kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut di 4 desa,
yaitu Desa Kersamanah, Desa Girijaya, Desa Sukamaju dan Desa Mekar
Raya. Kecamatan ini dipilih karena prevalensinya yang lebih tinggi (2,6/1000
jiwa) dibandingkan dengan prevalensi gangguan jiwa Jawa Barat (2,2/1000
jiwa).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
70
Universitas Indonesia
4.4 Etika penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah klien schizophrenia yang memiliki hak
asasi manusia. Karena itu setiap responden perlu dilindungi hak-haknya
dengan memperhatikan etika penelitian. Prinsip etika yang harus diperhatikan
dalam penelitian ini yaitu etika terhadap responden, prinsip etik terapi yang
dilakukan, prinsip etik peneliti sebagai terapis dan prinsip etik proposal
penelitian.
Ethical clearance (uji etik) untuk memvalidasi proposal penelitian. Uji etik
dilakukan oleh komite etik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
karena penelitian ini menggunakan manusia sebagai responden. Uji etik
dilakukan agar penelitian tidak menyalahi prinsip etik. Keterangan lolos uji
etik diperoleh pada tanggal 30 April 2012 (lampiran 7).
Prinsip etik untuk modul terapi yang dilakukan dalam penelitian, dilakukan
agar terapi yang dilakukan tidak melanggar prinsip etik kepada responden.
Prinsip etik ini diperoleh dengan cara memvalidasi modul dari terapi yang
akan dilakukan kepada pakar (expert validity). Keterangan lolos expert
validity diperoleh pada Bulan April 2012 (lampiran 8).
Uji kompetensi dilakukan untuk meyakinkan kemampuan peneliti dalam
memberikan intervensi kepada responden. Uji kompetensi dilakukan untuk
menilai kemampuan peneliti untuk melakukan asuhan keperawatan kepada
klien dan FPE kepada keluarga klien, dan kemampuan klien melatih kader
untuk menjalankan peran PMO. Uji kompetensi dilakukan pada Bulan Mei
2012 (lampiran 9).
Adapun etika dalam penelitian kepada responden yang perlu diperhatikan
selama proses penelitian menurut Nursalam (2008), terdiri dari 3 bagian, yaitu
prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
71
Universitas Indonesia
4.4.1 Prinsip manfaat
1. Bebas dari penderitaan
Menurut prinsip ini penelitian harus dilaksanakan tanpa
mengakibatkan penderitaan kepada subjek. Terapi yang dilakukan
oleh peneliti banyak terbukti memberikan dampak positif kepada
subjek penelitian, seperti digambarkan pada bab I. Pada penelitian ini
terbukti tidak ada penderitaan atau bahaya pada klien schizophrenia
yang disebabkan oleh terapi yang dilakukan peneliti. Setiap tahapan
tindakan sudah direncanakan dalam modul dengan
mempertimbangkan dampak positif bagi klien dan keluarga sebagai
sasaran terapi.
2. Bebas dari eksploitasi
Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan
yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa
partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,
tidak dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek
dalam bentuk apapun. Untuk memenuhi prinsip ini, sebelum
penelitian, klien dan keluarganya diberikan informasi yang jelas
mengenai proses penelitian dan penggunaan penelitian selanjutnya.
Bukti bahwa klien dan/atau keluarga telah mendapat keterangan yang
jelas mengenai penelitian dan setuju dijadikan subjek penelitian
tercantum dalam format informed consent.
3. Risiko (benefits ratio)
Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan
yang berakibat kepada subjek pada setiap tindakan. Pemilihan
intervensi yang dilakukan didasari dari keuntungan yang didapatkan
yang disampaikan dalam literatur-literatur dan penelitian yang
dilakukan sebelumnya. Sebelum penelitian, peneliti menyepakati
langkah-langkah penelitian bersama-sama pihak puskesmas dan
kader, dan disepakati langkah yang dirancang peneliti memiliki
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
72
Universitas Indonesia
banyak keuntungan untuk klien, keluarga, kader dan program
kesehatan jiwa di puskesmas.
4.4.2 Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)
1. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)
Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai
hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun
tidak, tanpa adanya sanksi apapun atau akan berakibat terhadap
kesembuhannya, jika mereka seorang klien. Dalam pelaksanaannya,
peneliti telah memberikan penjelasan mengenai proses penelitian lalu
meminta kesediaan responden tanpa memaksa. Klien yang tidak
bersedia menjadi responden penelitian tidak akan diikutsertakan
dalam penelitian sesuai dengan kriteria eksklusi klien pada saat
pemilihan sampel.
2. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan
(right to full disclosure)
Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta
bertanggungjawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek. Hal
ini dilakukan dengan memberikan informasi lengkap sebelum
mendapat persetujuan dari responden dan meyakinkan responden
bahwa responden memiliki akses kepada peneliti secara langsung
selama penelitian berlangsung. Selama penelitian peneliti didampingi
oleh kader yang dikenal oleh klien dan keluarga, peneliti
memberitahukan tempat tinggal selama penelitian dan nomor telepon
peneliti (jika diperlukan).
3. Informed consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan
penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas
berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed
consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
73
Universitas Indonesia
akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu. Informed consent
diisi oleh klien atau keluarga sebelum peneliti melakukan pre-test.
Lembar informed consent dapat dilihat pada lampiran 3.
4.4.3 Prinsip keadilan (right to justice)
1. Hak untuk mendapatkan penanganan yang adil (right in fair
treatment)
Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan
sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi
apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari
penelitian. Prinsip ini diaplikasikan dengan tidak membeda-bedakan
perlakuan pada semua klien schizophrenia.
2. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)
Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan
harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity)
dan rahasia (confidentiality). Untuk memenuhi prinsip etik ini,
responden tidak akan memberikan nama jelas, tetapi hanya inisial,
dan data mentah hasil penelitian akan segera dimusnahkan setelah
penelitian selesai.
4.5 Instrumen penelitian
Pada penelitian ini digunakan 3 instrumen yaitu kuesioner untuk mengukur
karakteristik responden, kuesioner untuk mengukur kemandirian, dan
kuesioner untuk mengukur kepatuhan berobat.
Instrumen untuk mengukur karakteristik berisi pertanyaan tentang usia, jenis
kelamin, keluhan fisik, dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan.
Instrumen ini terdiri dari 4 pertanyaan tertutup, ditambah 3 pertanyaan
mengenai faktor predisposisi yang menyebabkan klien menderita
schizophrenia. Peneliti menyediakan pilihan jawaban dan responden memilih
dengan memberikan tanda pada pilihan jawaban.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
74
Universitas Indonesia
Instrumen kemandirian menggunakan instrumen yang telah digunakan dalam
penelitian mengenai penerapan model CMHN di Jakarta. Instrumen ini terdiri
dari 26 pertanyaan mengenai kegiatan yang dapat dilakukan klien. Pilihan
jawaban terdiri dari ‘dilakukan mandiri’, ‘dilakukan dengan bantuan’ dan
‘tidak pernah dilakukan’. Komponen kemandirian yang diukur meliputi
kemampuan klien dalam melakukan kegiatan sehari-hari klien, secara rinci
komponen yang diukur dalam variabel kemandirian ini dapat dilihat pada tabel
4.2 mengenai kisi kisi instrumen pengukuran kemandirian klien
schizophrenia. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen ini pada penelitian
CMHN Jakarta adalah r alpha dengan pearson product moment sebesar 0,933.
Tabel 4.2Kisi-kisi instrumen pengukuran kemandirian klien schizophrenia
No Komponen yang diukur No Pernyataan Jumlah item1 Perawatan diri 1,2,3 32 Aktivitas fisik 4,5,6,7,8,12,13,16 82 Sosialisasi 9,10,11,14,15 53 Kegiatan mengatasi gejala 17,18 24 Mekanisme koping 19,20,21 35 Pengobatan 22,23,24,25,26 5
TOTAL 26
Instrumen kepatuhan berobat menggunakan Medication Adherence Rating
Scale (MARS) (virtual medical centre, 2012). Instrumen ini terdiri dari 10
pernyataan dengan pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Gambaran mengenai
komponen dalam instrumen untuk pengukuran kepatuhan berobat ini dapat
dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3Kisi-kisi instrumen pengukuran kepatuhan berobat klien schizophrenia
No Komponen yang diukur No Pernyataan Jumlah item1 Perawatan diri 1,2,3 32 Aktivitas fisik 4,5,6,7,8,12,13,16 82 Sosialisasi 9,10,11,14,15 53 Kegiatan mengatasi gejala 17,18 24 Mekanisme koping 19,20,21 35 Pengobatan 22,23,24,25,26 5
TOTAL 26
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
75
Universitas Indonesia
4.6 Uji coba instrumen
Uji coba instrumen dilakukan untuk meyakinkan bahwa instrumen yang akan
digunakan saat penelitian merupakan instrumen yang valid dan reliabel. Uji
coba instrumen terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas yang menjadi dasar
agar peneliti yakin bahwa instrumen penelitiannya dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur dan mampu menunjukkan konsistensinya dalam
pengukuran (Dharma, 2011). Uji coba instrumen dilakukan pada 20 orang
klien dengan schizophrenia di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat.
4.6.1 Uji validitas
Tekhnik uji validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut: (Dharma, 2011)
1. Content validity
Yaitu validitas yang menunjukkan kemampuan item pertanyaan
dalam instrumen dapat mewakili semua unsur dimensi konsep yang
sedang diteliti. Validitas ini dilakukan dengan meminta seorang
pakar (expert) untuk menelaah instrumen yang digunakan, apakah
seluruh item pertanyaan telah mencakup isi konsep yang diteliti.
2. Construct validity
Yaitu validitas yang menunjukkan bahwa instrumen disusun secara
rasional berdasarkan konsep yang sudah mapan. Validitas ini
dilakukan dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan untuk uji
ini adalah dengan menggunakan Pearson Product Moment.
Koefisien korelasi yang diharapkan untuk jumlah responden 20
orang sesuai r table adalah 0.444.
Hasil uji validitas untuk instrumen pengukuran kemandirian
didapatkan 3 item yang tidak valid yaitu nomor 12,13 dan 15. Nomor
12 tidak digunakan pada penelitian karena cukup terwakili oleh item
nomor 13. Sedangkan nomor 13 dan 15 tetap digunakan karena
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
76
Universitas Indonesia
pertimbangan peneliti bahwa item tersebut penting untuk ditanyakan.
Item nomor 18 tidak digunakan karena di tempat penelitian tidak
terdapat fasilitas yang menyediakan layanan kegiatan Terapi
Aktivitas Kelompok (TAK).
Hasil uji validitas untuk instrumen kepatuhan berobat didapatkan 3
item yang tidak valid yaitu nomor 3,7 dan 8. Semua item tersebut
tidak digunakan dalam penelitian. Item nomor 6 valid secara statistik
tetapi tidak peneliti gunakan dalam penelitian dengan pertimbangan
bahwa item tersebut dinilai ambigu dan membingungkan saat
ditanyakan pada responden.
4.6.2 Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas adalah uji instrumen yang dilakukan untuk mengukur
tingkat konsistensi dari suatu pengukuran.Uji reliabilitas dapat dilakukan
dengan menguji konsistensi internal suatu alat ukur menggunakan
metoda 1 kali uji dengan metode item covariance menggunakan
cronbach alpha (Dharma, 2011).
Hasil uji reliabilitas untuk instrumen pengukuran kemandirian
didapatkan koefisien alpha cronbach sebesar 0.860, sedangkan untuk
instrumen pengukuran kepatuhan berobat didapatkan reliabilitas sebesar
0.778.
4.7 Prosedur pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu persiapan, tahap
pelaksanaan dan tahap akhir.
4.7.1 Tahap persiapan
Pada tahap ini peneliti mengajukan permohonan ijin penelitian kepada
Kecamatan Kersamanah dan Puskesmas Kersamanah. Setelah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
77
Universitas Indonesia
berkoordinasi dan mendapatkan izin dari Kecamatan Kersamanah dan
Puskesmas Kersamanah, peneliti memulai tahap awal penelitian.
Penelitian ini melibatkan kader untuk menjalankan peran PMO. Jumlah
kader sebanyak lima orang. Untuk menyetarakan kemampuan kader
diadakan uji intereter. Hasil uji interrater untuk pengukuran kemandirian
kelima kader dinyatakan lulus uji interrater yaitu mencapai nilai Kappa
>0.6. Untuk pengukuran kepatuhan berobat 2 kader memiliki nilai
Kappa <0.6, yaitu 0.583 dan 0.545. Untuk kedua kader ini dilakukan
penyamaan persepsi agar selanjutnya dapat menjalankan peran PMO.
Pada tahap ini selanjutnya peneliti melakukan pre-test dibantu oleh kader
untuk mengukur kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia
sebelum diberikan intervensi.
4.7.2 Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini peneliti mulai memberikan intervensi kepada kelompok
intervensi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada klien, FPE pada
keluarga dan peran PMO oleh kader. Pada setiap kunjungan, peneliti
sekaligus sebagai terapis bersama-sama dengan kader dan melakukan
intervensi yang berbeda pada waktu kunjungan yang sama. Pada setiap
klien dan keluarga, kunjungan dilakukan selama 3 kali.
4.7.3 Tahap akhir
Pada tahap ini dilakukan kembali pengukuran kemandirian dan
kepatuhan berobat. Pada kelompok kontrol diberikan pendidikan
kesehatan mengenai cara merawat klien gangguan jiwa di rumah.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
78
Universitas Indonesia
Gambaran pelaksanaan penelitian selama lima minggu tersebut dapat dilihat
pada skema 4.2 di bawah ini.
Skema 4.2Gambaran Prosedur Penelitian
PROSES
(minggu ke-2 sampai ke-4)
4.8 Pengolahan data
Pengolahan data adalah langkah yang dilakukan setelah data mentah dari
kuesioner telah dikumpulkan.Data diolah agar dapat dianalisa dan
menghasilkan informasi. Agar data dapat dianalisa dan menghasilkan
informasi yang akurat, ada empat tahapan yang harus dilalui, yaitu:
1. Editing
Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir
atau kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap, jelas,
relevan dan konsisten.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berupa angka/bilangan. Kegunaan coding adalah untuk mempermudah
PERSIAPAN PENELITIAN(minggu ke-1)
Penentuan sampel
Informed consent
Pengukuran karakteristik responden
Pembekalan dan pelatihan kader
Pre test: kemandirian dan kepatuhan berobat
AKHIR PENELITIAN(minggu ke-5)
Minggu ke-5:Post test: kemandirian dan kepatuhan berobat
Kelompok kontrol diberikan pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien schizophrenia di rumah
Kelompok intervensi :1. Asuhan keperawatan generalis
pada klien (3 kali)2. FPE pada keluarga (3 kali)3. Peran PMO oleh kader (3 kali)
Kelompok Kontrol:
Pada akhir penelitian akan diberikan pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien schizophrenia di rumah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
79
Universitas Indonesia
pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data. Contoh
coding pada penelitian ini misalnya pada kuesioner 1 yang digunakan
untuk mengukur karakteristik responden. Untuk pertanyaan jenis kelamin,
jika klien berjenis kelamin laki-laki diberikan kode 1, dan jika responden
perempuan diberikan kode 2.
Untuk kuesioner 2 (pengukuran kemandirian), coding dilakukan pada
masing-masing pilihan jawaban yang disediakan, yaitu 0=jika klien tidak
pernah melakukan kegiatan yang ditanyakan, 1=jika klien dapat
melakukan kegiatan namun dengan bantuan dari orang lain, dan 2=jika
klien dapat melakukan kegiatan secara mandiri. Untuk kuesioner 3
(pengukuran kepatuhan), diberikan kode 1 untuk jawaban ‘ya’ dan 0 untuk
jawaban ‘tidak’.
3. Processing
Processing adalah langkah memproses data, agar data yang sudah di-entry
dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan meng-entry data dari
kuesioner ke paket program komputer.
4. Cleaning
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-
entry apakah ada kesalahan atau tidak.
(Hastono, 2007)
4.9 Analisa data
Analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari analisa
univariat, analisa bivariat dan analisa multivariat.
4.9.1 Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel
yang diukur dalam penelitian, yaitu dengan distribusi frekuensi. Hasil
statistik deskriptif meliputi mean, median, modus, standar deviasi,
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
80
Universitas Indonesia
minimal dan maksimal serta proporsi dari variabel penelitian
(Supriyanto, 2007).
Karakteristik klien terdiri dari data numerik dan data kategorik. Data
numerik yang disajikan dalam bentuk statistik deskriptif adalah
variabel usia. Sedangkan data kategorik yaitu jenis kelamin, keluhan
fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan disajikan dalam
bentuk distribusi proporsi.
Kemandirian disajikan dalam data interval yang kemudian
diinterpretasikan dalam kategori kemandirian rendah (skor 0-16),
sedang (17-32) dan tinggi (33-48).
Kepatuhan berobat disajikan dalam data interval yang kemudian
dikategorikan menjadi kepatuhan rendah (0-3) dan kepatuhan tinggi
(4-6).
4.9.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisis untuk menguji hubungan antara dua
variabel. Pemilihan uji statistik yang akan digunakan untuk melakukan
analisis didasarkan pada skala data, jumlah populasi/sampel dan
jumlah variabel yang diteliti (Supriyanto, 2007). Dalam penelitian ini
analisis bivariat digunakan untuk menguji kesetaraan antara kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol dan menganalisis perbedaan
kemandirian dan kepatuhan berobat pada klien schizophrenia.
Uji kesetaraan dilakukan dengan menggunakan uji beda mean. Untuk
menguji kesetaraan karakteristik responden, digunakan uji independent
t-test untuk usia karena data tersebut berskala numerik. Dan untuk
karakteristik gender, kesehatan umum (keluhan fisik), dan keyakinan
pada pelayanan kesehatan akan digunakan rumus chi-square karena
berskala kategorik (lihat tabel 4.3.1).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
81
Universitas Indonesia
Perbedaan kemandirian dan kepatuhan berobat klien sebelum dan
sesudah intervensi dianalisa dengan menggunakan uji beda 2 mean
pada kelompok yang sama yaitu menggunakan uji paired t-test.
Tingkat kemaknaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
95% (alpha = 0,05). Untuk lebih mudah melihat cara analisis yang
akan digunakan dapat dilihat pada tabel 4.3.2. dan tabel 4.3.3.
Kemandirian dan kepatuhan berobat dianalisa hubungannya dengan
menggunakan koefisien korelasi Pearson (lihat tabel 4.3.4)
Tabel 4.3Analisis Bivariat Variabel Penelitian
1. Analisis Uji Kesetaraan Karakteristik Responden
No Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Cara Analisis1 Keluhan fisik Kesehatan umum Chi-square
2 Usia Usia Independent t-test
3 Gender Gender Chi-square
4 Keyakinan Keyakinan Chi-square
2. Analisis Kemandirian Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi
No Variabel Kemandirian Variabel Kemandirian
Cara Analisis
1 Kemandirian responden kelompok intervensi sebelum diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)
Kemandirian responden kelompok kontrol sebelum penelitian(data interval)
Independent t-test
2 Kemandirian responden kelompok intervensi sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)
Kemandirian responden kelompok kontrol sesudah penelitian (data interval)
Independent t-test
3 Perbedaan kemandirian responden kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
Perbedaan kemandirian responden kelompok kontrol sebelum dan sesudah penelitian
Paired t-test
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
82
Universitas Indonesia
3. Analisis Kepatuhan Berobat Responden Sebelum dan Sesudah
Intervensi
No Variabel Kepatuhanberobat
Variabel Kepatuhan berobat
Cara Analisis
1 Kepatuhan berobat responden kelompok intervensi sebelum diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)
Kemandirian responden kelompok kontrol sebelum penelitian (data interval)
Independent t-test
2 Kepatuhan berobat responden kelompok intervensi sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)
Kepatuhan berobatresponden kelompok kontrol sesudah penelitian (data interval)
Independent t-test
3 Perbedaan kepatuhan berobatresponden kelompok intervensisebelum dan sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
Perbedaan kepatuhan berobat responden kelompok kontrol sebelum dan sesudah penelitian
Paired t-test
4. Analisis hubungan kemandirian dengan kepatuhan berobat klien
schizophrenia sebelum dan sesudah intervensi
No Kelompok intervensi Kelompok kontrol Cara Analisis
1 Kemandirian dan kepatuhan berobat klien kelompok intervensi sebelum diberikanasuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)
Kemandirian dan kepatuhan berobat klienkelompok kontrol sebelum penelitian (data interval)
One-sample t-test
4.9.3 Analisa Multivariat
Analisa multivariat dilakukan untuk menganalisis pengaruh intervensi
setelah dikontrol karakteristik responden. Analisa multivariat yang
akan digunakan adalah ancova (analysis of covariance). Ancova
digunakan untuk menguji pengaruh variabel covariance (skala
interval/rasio) terhadap hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen (Dharma, 2011). Ancova mirip dengan multiple
regression, tetapi juga menampilkan anova. Ancova digunakan untuk
membandingkan mean dari dua atau lebih kelompok (Polit & Beck,
2006).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
83 Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini disajikan hasil penelitian mengenai pengaruh asuhan keperawatan
pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat
klien schizophrenia di Kersamanah Garut. Penelitian dilakukan mulai tanggal 24
Mei 2012 sampai 19 Juni 2012. Penelitian ini melibatkan 18 orang klien
schizophrenia di kelompok intervensi dan 19 orang klien schizophrenia di
kelompok kontrol.
Data yang disajikan dalam bab ini meliputi data karakteristik klien, kemandirian
dan kepatuhan berobat klien sebelum diberikan terapi, kemandirian dan kepatuhan
berobat klien setelah diberikan terapi, perubahan kemandirian dan kepatuhan
berobat klien setelah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan
peran PMO dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian dan kepatuhan
berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut.
5.1. Karakteristik klien schizophrenia
Berikut ini disajikan karakteristik klien berdasarkan kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Data numerik, yaitu usia disajikan dalam mean, median,
standar deviasi, nilai minimal-maksimal, dan confidence interval untuk rata-
rata. Sedangkan untuk data kategorik, yaitu jenis kelamin, keluhan fisik, dan
keyakinan terhadap tindakan medis disajikan dalam persentase. Dalam
penyajian mengenai karakteristik responden ini, disajikan pula faktor
predisposisi yang menyebabkan responden mengalami schizophrenia. Faktor
predisposisi tersebut juga disajikan dalam persentase.
5.1.1. Karakteristik usia klien
Karakteristik usia klien pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dapat dilihat pada tabel 5.1. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
84
Universitas Indonesia
bahwa rata-rata usia klien adalah 36.16 tahun (95% CI: 32.77; 39.56),
dengan usia termuda 19 tahun dan usia tertua 70 tahun.
Tabel 5.1Analisis karakteristik klien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten
GarutVariabel Kelompok
N=37 Mean Median SD
Min-Maks
95% CI
Usia
Intervensi 18 35.06 35.5 8.342 20-52 30.91;39.20
Kontrol 19 37.21 37 11.797 19-70 31.52;42.90
Total 37 36.16 36 10.18 19-70 32.77;39.56Keterangan : usia dalam tahun
Selanjutnya dilakukan uji kesetaraan antara usia klien pada kelompok
intervensi dengan usia klien pada kelompok kontrol. Uji yang
digunakan untuk melakukan uji kesetaraan pada variabel numerik
adalah dengan menggunakan independent t-test. Hasil uji kesetaraan
untuk variabel usia klien dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2Kesetaraan karakteristik klien schizophrenia berdasarkan usia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten GarutVariabel Kelompok N=37 Mean SD SE p-value
UsiaIntervensi 18 35.06 8.342 1.966
0.527Kontrol 19 37.21 11.797 2.706
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa tidak ada perbedaan usia klien
schizophrenia dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol
dengan p-value 0.527 (p-value > α=0.05).
5.1.2. Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap
pelayanan kesehatan
Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap
pelayanan kesehatan dapat dilihat pada tabel 5.3. Berdasarkan tabel 5.3
diketahui bahwa jumlah klien laki-laki yang diikutkan dalam penelitian
adalah sebanyak 22 orang (59.6%) dan klien perempuan sebanyak 15
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
85
Universitas Indonesia
orang (40.5%). Klien yang mengalami keluhan fisik yaitu berupa nyeri
sebanyak 6 orang (16.2%) dan yang tidak mengalami nyeri sebanyak
31 orang (83.8%). Klien yang memiliki keyakinan negatif terhadap
pelayanan kesehatan sebanyak 1 orang (2.7%) dan klien yang memiliki
keyakinan positif terhadap pelayanan kesehatan sebanyak 36 orang
(97.3%).
Tabel 5.3Distribusi karakteristik klien schizophrenia pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kategori
Kelompok intervensi
(N=18)
Kelompok kontrol (N=19)
Jumlah
N % N % N %
Jenis kelamin
Laki-laki 10 55.6 12 63.2 22 59.6
Perempuan 8 44.4 7 36.8 15 40.5
Keluhan fisik
Tidak ada nyeri 12 66.7 19 100 31 83.8
Ada nyeri 6 33.3 0 0 6 16.2
Keyakinan yankes
Negatif 1 5.6 0 0 1 2.7
Positif 17 94.4 19 100 36 97.3
Pada karakteristik klien yang berupa data kategorik, yaitu jenis
kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan,
dilakukan uji kesetaraan untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan antara karakter klien pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Uji kesetaraan dilakukan dengan menggunakan
rumus chi-square. Kesetaraan karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik
dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan dapat dilihat pada tabel
5.4 berikut.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
86
Universitas Indonesia
Tabel 5.4Kesetaraan karakteristik klien berdasarkan jenis kelamin,
keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kategori
Kelompok intervensi
(N=18)
Kelompok kontrol (N=19)
Jumlah
x² P-value
OR
95% CIN % N % N %
Jenis kelamin
Laki-laki 10 55.6 12 63.2 22 59.60.222 0.743
1.371
Perempuan 8 44.4 7 36.8 15 40.5 0.368; 5.116
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa tidak ada perbedaan
karakteristik jenis kelamin pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dengan p-value 0.743 (p-value > α=0.05). Karakter keluhan
fisik dan keyakinan terhadap pelayanan medis tidak dilakukan uji
kesetaraan karena data yang didapatkan terlalu homogen.
5.1.3. Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut
Berikut ini adalah gambaran karakteristik klien berdasarkan faktor
predisposisi yang menyebabkan klien mengalami schizophrenia.
Faktor tersebut yaitu faktor biologis, faktor psikologis dan faktor sosial
budaya.
Tabel 5.5Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kategori
Kel. Intervensi Kel. Kontrol Total
N=18 % N=19 % N=37 %
Biologis
Tidak 11 61.1 8 42.1 19 51.4
Ya 7 38.9 11 57.9 18 48.6
Psikologis
Tidak 1 5.6 0 0 1 2.7
Ya 17 94.4 19 100 36 97.3
Sosial Budaya
Tidak 0 0 5 26.3 5 13.5
Ya 18 100 14 73.7 32 86.5
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
87
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa 18 orang klien
(51.4%) memiliki faktor predisposisi biologis, 36 dari 37 orang klien
(97.3%) memiliki predisposisi psikologis, dan 32 dari 37 orang klien
(86.5%) memiliki faktor predisposisi sosial budaya.
5.2. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
terhadap kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah
Kabupaten Garut
Berikut ini akan disajikan data hasil penelitian mengenai kemandirian klien
schizophrenia di Kersamanah Garut, pengaruh asuhan keperawatan pada
klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian klien schizophrenia di
Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut dan hubungan karakteristik klien
dengan kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut.
5.2.1. Kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut
Berikut ini akan disajikan hasil analisa data mengenai kemandirian
klien schizophrenia yaitu meliputi analisa kemandirian klien sebelum
dilakukan terapi, analisa kemandirian klien sebelum dan sesudah
dilakukan terapi, analisa kemandirian klien sesudah dilakukan terapi
dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian klien
schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut.
Tabel 5.6Analisis kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel KelompokN=37 Mean
Median SD
Min-Maks 95% CI
Kemandirian
Intervensi 18 29.83 31 11.577 7 -- 44 24.08; 35.59
Kontrol 19 28.47 32 13.636 4 -- 45 21.90; 35.05
Total 37 29.14 32 12.519 4 -- 45 24.96; 33.31Kemandirian : 0-16= rendah, 17-32=sedang, 33-48=tinggi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
88
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa rata-rata kemandirian
keseluruhan klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi adalah
kemandirian sedang, yaitu sebesar 29.14 (95% CI: 24.96; 33.31)
dengan nilai terrendah 4 dan nilai tertinggi 45.
Uji kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum diberikan
terapi dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-
rata kemandirian klien pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol. Hasil uji kesetaraan dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7Analisis kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum
dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kelompok N Mean SD SE T p-value
Kemandirian
Intervensi 18 29.83 11.577 2.729(-)0.326 0.746
Kontrol 19 28.47 13.636 3.128
Berdasarkan tabel 5.7 di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan antara rata-rata kemandirian klien schizophrenia pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat dari
nilai p-value 0.746 (> α=0.05). Dengan kata lain terdapat kesetaraan
antara rata-rata nilai kemandirian klien schizophrenia pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.
5.2.2. Perubahan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah
dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Analisa perbedaan nilai kemandirian klien antara sebelum dan sesudah
dilakukan terapi dilakukan untuk mengetahui apakah perubahan yang
terjadi pada data post-test cukup bermakna secara statistik. Hasil uji
perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan terapi tersebut
dapat dilihat pada tabel 5.8.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
89
Universitas Indonesia
Tabel 5.8Analisis perbedaan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
KelompokN=37
Mean pretest
Mean posttest
Mean-paired SD SE 95% CI t
p-value
Intervensi 18 29.83 31.61 (-)1.7782.21
10.52
1(-)2.877; (-)0.678
(-)3.411 0.003
Kontrol 19 28.47 28.84 (-)0.3681.11
60.25
6(-)0.906; 0.170
(-)1.439 0.167
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa pada kelompok intervensi nilai
rata-rata kemandirian klien schizophrenia meningkat dari 29.83
menjadi 31.61. Rata-rata selisih antara post-test dan pre-test adalah -
1.778 (95% CI -2.877; -0.678). Dari tabel di atas juga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna setelah
diberikan terapi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada klien, FPE
pada keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi.
Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value 0.003 (<α=0.05).
Diketahui pula nilai rata-rata kemandirian klien schizophrenia pada
kelompok kontrol meningkat dari 28.47 menjadi 28.84. Rata-rata
selisih nilai kemandirian pre dan posttest adalah sebesar -0.368 (95%
CI -0.906; 0.170). Perubahan nilai kemandirian yang terjadi pada
kelompok kontrol dapat disimpulkan tidak bermakna. Hal ini
dibuktikan dari nilai p-value 0.107 (>α=0.05).
Tabel 5.9Analisa beda rata-rata selisih kemandirian klien sebelum dan
sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value
Selisih kemandirian
Intervensi 18 1.78 2.211 0.521(-)2.468 0.019
Kontrol 19 0.37 1.116 0.256
Berdasarkan tabel 5.9 dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna antara rata-rata selisih kemandirian pada kelompok
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
90
Universitas Indonesia
intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai p-value 0.019
(<α=0.05).
5.2.3. Kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut
Kemandirian klien sesudah dilakukan terapi dibandingkan antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil analisa posttest
kemandirian dapat dilihat pada tabel 5.10.
Tabel 5.10Analisis kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel KelompokN=37 Mean
Median SD
Min-Maks 95% CI
Kemandirian
Intervensi 18 31.61 32.5 10.472 12--46 26.40; 36.82
Kontrol 19 28.84 34 13.853 4--45 22.16; 35.52
Total 37 30.19 33 12.236 4--46 26.11; 34.27
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa rata-rata nilai kemandirian
keseluruhan klien schizophrenia setelah diberikan terapi adalah 30.19
(kemandirian sedang) (95% CI 26.11; 34.27) dengan nilai terrendah 4
dan nilai tertinggi 46.
Uji independent t-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan nilai
kemandirian klien setelah diberikan terapi pada kelompok intervensi.
Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 5.11.
Tabel 5.11Perbedaan kemandirian klien schizophrenia setelah dilakukan
terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value
Kemandirian
Intervensi 18 31.61 10.472 2.468(-)0.688 0.499
Kontrol 19 28.84 13.853 3.178
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
91
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara rata-rata nilai kemandirian setelah diberikan terapi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai p-
value 0.499 (>α=0.05).
5.2.4. Hubungan karakteristik dengan kemandirian klien schizophrenia
di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah karakteristik
usia dan keluhan fisik. Faktor-faktor ini merupakan confounding
variables yang dapat mempengaruhi efek terapi. Berikut ini adalah
analisa faktor-faktor tersebut untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi kemandirian secara bermakna, dan untuk mengetahui
perubahan kemandirian yang disebabkan oleh terapi tanpa dipengaruhi
confounding variables tersebut. Teknik analisa yang digunakan adalah
dengan menggunakan analysis of covariance (Ancova), dengan hasil
yang dapat dilihat pada 5.12 dan 5.13.
Tabel 5.12Analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian
klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten GarutKarakteristik B p-value
Usia (-)0.007 0.817
Keluhan fisik (-)0.178 0.844
Kelompok (-)1.454 0.035
Berdasarkan tabel 5.12 diketahui bahwa faktor usia dan keluhan fisik
adalah faktor yang tidak bermakna dalam mempengaruhi kemandirian
klien schizophrenia pada penelitian ini. Faktor terapi adalah faktor
yang bermakna dalam mempengaruhi kemandirian. Hal ini berarti
bahwa terapi yang diberikan menyebabkan perubahan bermakna dalam
kemandirian klien schizophrenia. Hal ini dibuktikan oleh nilai p-value
yang lebih kecil dari α (=0.05).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
92
Universitas Indonesia
Tabel 5.13Perbedaan rata-rata perubahan kemandirian pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol
KelompokSebelum dikontrol
Setelah dikontrol
Intervensi 1.78 1.801
Kontrol 0.37 0.347
Berdasarkan tabel 5.13 dapat dilihat perbedaan antara nilai rata-rata
perubahan kemandirian klien schizophrenia pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol, setelah dikontrol dari confounding variables.
Dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum dan
sesudah dikontrol oleh confounding variables. Pada kelompok
intervensi rata-rata kemandirian klien schizophrenia mengalami
peningkatan dari 1.78 menjadi 1.801, sedangkan pada kelompok
kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi 0.347.
5.3. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
terhadap kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan
Kersamanah Garut
Berikut ini akan disajikan analisa data mengenai variabel dependen
kepatuhan berobat pada klien. Analisa yang disajikan meliputi analisa
univariat, bivariat dan multivariat.
5.3.1. Kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut
Analisa mengenai kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum
dilakukan terapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
dilakukan dengan menggunakan deskriptif stastistik. Hasil analisa
tersebut dapat dilihat pada tabel 5.14.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
93
Universitas Indonesia
Tabel 5.14Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan
terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
VariabelKelompok
N=37
Mean
Median SD
Min-Maks 95% CI
Kepatuhan berobat
Intervensi 18 1.72 2.001.52
6 0-40.96; 2.48
Kontrol 19 2.26 2.002.44
6 0-61.08; 3.44
Total 37 2.00 2.002.04
1 0-61.32; 2.68
Kepatuhan : 0-3=rendah, 4-6=tinggi
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui bahwa rata-rata kepatuhan berobat
keseluruhan klien schizophrenia yang diikutsertakan dalam penelitian
berada dalam rentang rendah, yaitu sebesar 2.00 (95% CI 1.32; 2.68)
dengan nilai terrendah 0 dan nilai tertinggi 6.
Tabel 5.15Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia
sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value
Kepatuhan berobat
Intervensi 18 1.72 1.526 0.561
0.802 0.428Kontrol 19 2.26 2.446 0.36
Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan dengan
menggunakan uji independent t-test. Dari tabel 5.15 diketahui bahwa
terdapat kesetaraan nilai kepatuhan berobat klien schizophrenia pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai p-value
0.428 (>α=0.05).
5.3.2. Perubahan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan
sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Berikut ini adalah hasil analisa perbedaan kepatuhan berobat klien
schizophrenia sebelum dan sesudah diberikan terapi pada kelompok
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
94
Universitas Indonesia
intervensi. Uji yang dilakukan adalah dengan menggunakan paired t-
test pada masing-masing kelompok. Hasil analisa tersebut dapat dilihat
pada tabel 5.16.
Tabel 5.16Analisis perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia
sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah
Kabupaten Garut
KelompokN=37
Mean pretest
Mean posttest
Mean-paired SD SE 95% CI t p-value
Intervensi 18 1.72 2.89 (-)1.167 1.15 0.271(-)1.739; (-)0.595
(-)4.302 0.000'
Kontrol 19 2.26 2.63 (-)0.368 0.684 0.157(-)0.698; (-)0.039
(-)2.348 0.031
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa kepatuhan berobat klien
schizophrenia pada kelompok intervensi meningkat dari 1.72 menjadi
2.89. Sedangkan rata-rata selisih antara nilai pre dan posttest adalah -
1.167 (95% CI -1.739; 0.595). Dan dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna antara kepatuhan berobat sebelum dan
sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga
dan peran PMO oleh kader. Hal ini dibuktikan oleh nilai p-value 0.000
(<α=0.05).
Pada kelompok kontrol terdapat pula perubahan nilai rata-rata
kepatuhan berobat klien schizophrenia yaitu dari 2.26 menjadi 2.63.
Nilai rata-rata selisih antara pre dan posttest sebesar -0.368 (95% CI: -
0.698; -0.039). Dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna pada kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok
kontrol sebelum dan sesudah penelitian. Hal ini dilihat dari nilai p-
value 0.031 (<α=0.05).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
95
Universitas Indonesia
Tabel 5.17Analisis beda rata-rata selisih kepatuhan berobat klien
schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten GarutVariabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value
Selisih kepatuhan
Intervensi 18 1.17 1.15 0.271(-)2.582 0.014
Kontrol 19 0.37 0.684 0.157
Berdasarkan tabel 5.17 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara rata-rata selisih kepatuhan berobat klien
schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini
dapat dilihat dari nilai p-value 0.014 (<α=0.05).
5.3.3. Kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut
Berikut ini adalah kepatuhan berobat klien sesudah dilakukan terapi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil deskripsi
statistik dapat dilihat pada tabel 5.18.
Tabel 5.18Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan
terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel KelompokN=37 Mean Median SD
Min-Maks 95% CI
Kepatuhan berobat
Intervensi 18 2.89 3.00 2.272 0-6 1.76; 4.02
Kontrol 19 2.63 3.00 2.692 0-6 1.33; 3.93
Total 37 2.76 3.00 2.465 0-6 1.93; 3.58
Berdasarkan tabel 5.18 diketahui bahwa rata-rata kepatuhan berobat
klien schizophrenia setelah dilakukan terapi adalah 2.76 (kepatuhan
rendah) (95% CI 1.93; 3.58), dengan nilai terrendah 0 dan nilai
tertinggi 6.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
96
Universitas Indonesia
Pada tabel 5.19 dapat dilihat perbedaan kepatuhan berobat klien
schizophrenia setelah diberikan intervensi kepada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol.
Tabel 5.19Perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah
dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value
KepatuhanIntervensi 18 2.89 2.272 0.536
(-)0.313 0.756Kontrol 19 2.63 2.692 0.618
Berdasarkan tabel 5.19 diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara kepatuhan berobat klien sesudah diberikan terapi baik
pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.
5.3.4. Hubungan karakteristik dengan kepatuhan berobat klien
schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Berikut ini adalah analisa multivariat untuk variabel dependen
kepatuhan berobat. Analisa multivariat ini menggunakan uji ancova
untuk mengetahui faktor-faktor yang secara bermakna mempengaruhi
kepatuhan berobat klien schizophrenia dan untuk mengetahui
perubahan nilai kepatuhan berobat klien schizophrenia setelah faktor-
faktor yang mempengaruhinya dikontrol. Sehingga dapat diketahui
perubahan kepatuhan berobat klien yang hanya disebabkan oleh terapi
yang diberikan pada penelitian, yaitu pemberian asuhan keperawatan
pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Hasil
analisa ancova tersebut dapat dilihat pada tabel 5.20 dan tabel 5.21.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
97
Universitas Indonesia
Tabel 5.20Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat
klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Karakteristik B p-value
Usia (-)0.07 0.655
Keyakinan 1.462 0.136
Jenis kelamin (-)0.512 0.111
Kelompok (-)0.904 0.006
Berdasarkan tabel 5.20 dapat diketahui bahwa faktor usia, keyakinan
terhadap pelayanan medis dan jenis kelamin tidak mempengaruhi
kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna. Faktor
kelompok menjadi faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan
berobat klien. Ini dapat berarti bahwa terapi yang diberikan
mempengaruhi kepatuhan berobat secara bermakna. Hal ini dapat
dilihat dari nilai p-value yang lebih kecil dari α (=0.05).
Tabel 5.21Perbedaan rata-rata kepatuhan berobat sebelum dan sesudah
terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
KelompokSebelum dikontrol
Setelah dikontrol
Intervensi 1.17 1.221
Kontrol 0.37 0.317
Berdasarkan tabel 5.21 dapat diketahui perbedaan rata-rata kepatuhan
berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol sebelum dan sesudah pengaruh confounding variables
dihilangkan. Dapat diketahui bahwa pada kelompok intervensi terdapat
peningkatan dari 1.17 menjadi 1.221, sedangkan pada kelompok
kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi 0.317.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
98
Universitas Indonesia
5.4. Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut
Pada tabel 5.22 dapat dilihat mengenai hubungan antara variabel dependen
kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol. Uji yang digunakan adalah dengan
menggunakan one sample t-test.
Tabel 5.22Analisis hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien
schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel N=37Pearson correlation p-value
Kemandirian dan kepatuhan berobat
37 0.66 0.000
Berdasarkan tabel 5.22 diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat dan
searah antara kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut. Ini berarti bahwa semakin tinggi
kemandirian klien, maka semakin tinggi pula kepatuhan berobat. Hal ini
dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi dan p-value 0.000 (<α =0.05).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
99 Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
Pada bab ini dibahas mengenai hasil penelitian dan analisa dari pengolahan data
yang didapatkan pada bab 5 sebelumnya. Kerangka pembahasan pada bab ini
meliputi pembahasan mengenai pengaruh asuhan keperawatan pada klien,
keluarga dan peran PMO pada kemandirian klien, faktor-faktor yang
mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia, pengaruh asuhan keperawatan
pada klien, keluarga dan peran PMO pada kepatuhan berobat klien, faktor-faktor
yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia, keterbatasan
penelitian dan implikasi hasil penelitian.
6.1. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
pada kemandirian klien
Hasil analisa data menunjukkan bahwa kondisi kemandirian awal keseluruhan
klien schizophrenia sebelum dilakukan asuhan keperawatan pada klien, FPE
pada keluarga dan peran PMO adalah kemandirian sedang. Kebanyakan orang
dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya
atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada
bantuan orang lain (NIMH, 2012). Ini menunjukkan bahwa kemandirian klien
terganggu karena kondisi schizophrenia.
Masalah kemandirian klien schizophrenia perlu mendapat perhatian karena
akan banyak masalah lain yang ditimbulkan seperti masalah stress pada
caregiver dan menambah beban keluarga. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Safier (1997, dalam Townsend, 2009) bahwa keluarga yang
memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan
yang besar dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi schizophrenia
dapat berdampak pada kondisi keluarga, karena itu keluarga pun memerlukan
intervensi agar tidak menimbulkan masalah baru.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
100
Universitas Indonesia
Pengaruh dari adanya anggota keluarga dengan gangguan mental sering
disebut dengan beban keluarga (Stuart, 2009). Sebuah survey mengenai
caregiver di keluarga menunjukkan bahwa beban yang paling besar dirasakan
adalah mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya konsentrasi,
terganggunya rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena merasa apa yang
dilakukan tidak cukup baik, merasa terperangkap di rumah, dan merasa sedih
karena perubahan pada anggota keluarga (Rose et al., 2006 dalam Stuart,
2009). Dengan potensi yang dimiliki oleh klien, klien dapat meningkatkan
kemandiriannya dengan cara dilatih untuk menjalankan aktivitas sehari-hari
secara mandiri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diperlukan terapi
yang sesuai kepada klien dan keluarga.
Hasil penelitian ini menunjukkan kemandirian pada kelompok yang
mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran
PMO lebih meningkat secara bermakna dibandingkan kelompok yang tidak
mendapatkan terapi. Terdapat perbedaan yang bermakna antara selisih
kemandirian pada kelompok yang mendapatkan asuhan keperawatan pada
klien, FPE pada keluarga dan peran PMO dengan kelompok kontrol.
Perbedaan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa
pemberian terapi atau kunjungan secara rutin dan terstruktur dapat
meningkatkan kemandirian klien.
Pada penelitian ini dilakukan asuhan keperawatan generalis pada klien agar
klien dapat dilatih langsung untuk mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-
hari. Asuhan keperawatan yang diberikan pada klien sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang muncul pada klien, dalam penelitian dikelola 5 diagnosa
yaitu gangguan sensori persepsi; halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial,
risiko perilaku kekerasan dan defisit perawatan diri. Asuhan keperawatan ini
dapat membantu meningkatkan kemandirian klien karena dalam isi asuhan
keperawatan, klien diajarkan untuk mengatasi masalahnya dan dapat
menjalani kegiatan sehari-hari secara wajar dan mandiri. Pada keluarga
diberikan terapi psikoedukasi agar keluarga sebagai caregiver mampu
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
101
Universitas Indonesia
meningkatkan kemandirian klien sehari-hari seperti mensupport klien untuk
mengatasi masalahnya sendiri seperti mengingatkan cara mengontrol
halusinasi, dan mensupport klien untuk mandiri dalam aktivitas sehari-hari
seperti mencuci bajunya sendiri, mengingatkan klien untuk merawat diri, dan
sebagainya.
Penelitian dalam The British Journal of Psychology menunjukkan efek
pemberian FPE pada keluarga yang merawat klien dengan depresi mayor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada kelompok yang
diberikan FPE, waktu kekambuhan klien secara statistik lebih panjang
dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE (Kaplan-
Meier survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Dalam penelitian ini
FPE diasumsikan dapat berpengaruh terhadap perawatan keluarga sebagai
caregiver kepada klien dengan schizophrenia.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Keliat, Helena dan Riasmini (2011)
mengenai penerapan model CMHN Jakarta. Intervensi yang dilakukan berupa
pemberian asuhan keperawatan pada klien dan health education kepada
keluarga yang dilakukan selama 12 kali kunjungan. Hasil penelitian ini
menunjukkan perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah penelitian baik
pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Terdapat peningkatan
kemandirian sebesar 8,88 pada kelompok intervensi dan sebesar 3,96 pada
kelompok kontrol. Penelitian tersebut dapat menjadi dasar perbandingan
dengan penelitian ini yang melakukan kunjungan untuk kelompok intervensi
sebanyak 3 kali dengan menambah peran kader sebagai Pengawas Minum
Obat.
Pada penelitian ini, setelah dilakukan terapi rata-rata nilai kemandirian klien
masih berada pada rentang kemandirian sedang. Pada kelompok intervensi
terjadi peningkatan sebesar 1,778 dan pada kelompok kontrol sebesar 0,368.
Pada penelitian ini terjadi peningkatan 3,7% dalam 3 kali kunjungan,
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
102
Universitas Indonesia
sedangkan pada penelitian CMHN Jakarta terjadi peningkatan 17,1% dalam
12 kali kunjungan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel 6.1
Tabel 6.1Perbandingan persentase peningkatan kemandirian pada penelitian
CMHN Jakarta dengan penelitian Kersamanah Garut3 kali 12 kali 1: 4
Intervensi Askep, FPE, PMO Askep, HE
Peningkatan 1,778 8,88 1 : 4.9
Persentase 3,7% 17,1%
Pada penelitian tersebut dapat dilihat bahwa ratio perubahan kemandirian
klien lebih tinggi pada penelitian CMHN Jakarta. Hal ini dapat disebabkan
karena jumlah tim yang terlibat dalam penelitian lebih banyak. Pada penelitian
di Kersamanah Garut ini peneliti melakukan terapi sendiri. Sehingga
keefektifan waktu kunjungan dan pelaksanaan terapi menjadi kurang efektif.
Pada penelitian yang dilakukan pada CMHN Jakarta, rata-rata tingkat
pendidikan responden adalah menengah, sedangkan pada penelitian di
Kersamanah Garut adalah pada tingkat rendah, yaitu di bawah SMU. Hal ini
secara tidak langsung dapat mempengaruhi kognitif, psikomotor dan afektif
klien dalam meningkatkan kemandiriannya. Stuart (2009) menyatakan bahwa
klien dengan tingkat pendidikan rendah memiliki motivasi yang rendah untuk
menjalani pengobatan. Klien dengan pendidikan yang rendah juga menjadi
kurang peka terhadap informasi-informasi terkait pengobatannya.
Stuart (2009) menyatakan pula bahwa klien dengan pendidikan yang rendah
selanjutnya memiliki penghasilan yang rendah atau bahkan tidak bekerja. Pada
penelitian di Kersamanah Garut, diketahui bahwa sebagian besar klien dan
keluarganya tidak bekerja atau memiliki penghasilan yang rendah.
Keberhasilan asuhan keperawatan sebagai bagian dari paket intervensi dalam
meningkatkan kemandirian klien schizophrenia didukung pula oleh penelitian
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
103
Universitas Indonesia
sebelumnya. Penelitian Sari (2009) mengenai pengaruh FPE terhadap beban
keluarga dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Nangroe
Aceh Darussalam, juga mengukur dampak pemberian asuhan keperawatan
kepada klien terhadap kemandirian klien pasung. Dari penelitian ini diketahui
bahwa setelah diberikan intervensi defisit perawatan diri terjadi peningkatan
yang bermakna pada aspek kemandirian klien, yang terdiri dari aktivitas
harian, aktivitas sosial, cara mengatasi masalah dan pengobatan klien (Sari,
2009). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi langsung kepada klien
memberikan pengaruh yang bermakna pada kemandirian klien.
Keberhasilan pemberian asuhan keperawatan pada klien dalam penelitian ini
dapat dilihat dari satu contoh kasus, yaitu Tn.E yang perubahannya secara
subjektif dirasakan sangat signifikan oleh keluarga. Tn. E memiliki HDR
(Harga Diri Rendah), Isolasi sosial, dan DPD (Defisit Perawatan Diri). Klien
sering merasa malu karena kondisi dirinya dan tidak mau ke luar rumah, lebih
sering tidur, mandi seperlunya (atau jika diingatkan), klien juga malas
mencuci baju sendiri. Setelah dilakukan intervensi, terjadi perubahan yaitu
klien mau mencuci bajunya, mandi dan membersihkan rumah, dan mau datang
ke puskesmas walaupun masih didampingi kakaknya serta berkunjung ke
rumah temannya.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikembangkan terapi spesialis
selanjutnya untuk keluarga yaitu terapi suportif dan self help group. Hal ini
karena mempertimbangkan banyaknya klien dengan gangguan jiwa, dan
potensi keluarga yang memiliki keyakinan positif terhadap pelayanan
kesehatan. Dengan terapi spesialis tersebut masalah yang muncul pada
keluarga dengan klien schizophrenia dapat dikurangi dengan mengoptimalkan
potensi keluarga sendiri.
Peningkatan yang dicapai pada kelompok intervensi dalam penelitian ini
adalah sebesar 3,7% dan nilai kemandirian sesudah intervensi adalah 31,61.
Hal ini berarti peningkatan yang dihasilkan belum optimal pada klien, dilihat
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
104
Universitas Indonesia
dari nilai maksimum kemandirian yang belum tercapai, yaitu 48. Dan
walaupun terjadi peningkatan setelah intervensi dalam penelitian ini, namun
rata-rata kemandirian tersebut masih berada pada rentang kemandirian sedang.
Hal ini dapat disebabkan karena diperlukan pembudayaan yang lebih lama
untuk merubah perilaku dan diperlukan kekonsistenan pendampingan pada
klien dan keluarga agar perilaku yang sudah baik dapat bertahan dan
meningkat. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Pavlov, bahwa
perilaku merupakan hal yang dipelajari oleh makhluk hidup. Pembentukan
perilaku dapat dilakukan dengan memberikan stimulus secara berulang-ulang
sehingga menjadi pola perilaku (Varcarolis & Halter, 2010).
Peningkatkan kemandirian klien dan nilai optimal dari kemandirian dapat
dicapai dengan cara memberikan pendampingan secara teratur oleh kader,
evaluasi secara berkala oleh pihak puskesmas atau spesialis jiwa sekaligus
sebagai pendampingan, serta dilakukan konsultasi kepada spesialis jiwa untuk
psikoterapi yang tepat pada masing-masing klien dan keluarga. Berdasarkan
hasil penelitian dengan perhitungan statistik didapatkan bahwa diperlukan 30
kali kunjungan untuk mencapai nilai kemandirian yang optimal.
Faktor usia dan keluhan fisik adalah faktor yang tidak bermakna dalam
mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia pada penelitian ini. Faktor
terapi adalah faktor yang bermakna dalam mempengaruhi kemandirian. Hal
ini berarti bahwa terapi yang diberikan menyebabkan perubahan bermakna
dalam kemandirian klien schizophrenia. Pada kelompok intervensi rata-rata
kemandirian klien schizophrenia mengalami peningkatan dari 1.78 menjadi
1.801, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi
0.347.
6.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
pada kepatuhan berobat klien
Kondisi awal kepatuhan berobat keseluruhan klien schizophrenia yang
diikutsertakan dalam penelitian ini adalah kepatuhan berobat rendah.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
105
Universitas Indonesia
Kepatuhan berobat yang rendah dapat terjadi pada penyakit-penyakit kronis
yang memerlukan waktu jangka panjang untuk pengobatan. Rata-rata
kepatuhan berobat keseluruhan klien schizophrenia yang diikutsertakan
dalam penelitian berada dalam rentang kepatuhan rendah. Klien dengan
schizophrenia biasanya menjalani pengobatan dalam jangka waktu yang
lama. Seperti dinyatakan dalam Stuart (2009) bahwa pada beberapa klien
dengan masalah kesehatan jiwa, program pengobatan dapat berlangsung
selama beberapa bulan atau bahkan seumur hidup. Kondisi ini dapat
menyebabkan muncul perasaan bosan, lelah dan sebagainya sehingga dapat
menurunkan kepatuhan berobat klien schizophrenia.
Penelitian Wardhani (2009) menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan dapat
disebabkan oleh berbagai aspek, yaitu aspek yang berkaitan dengan obat,
aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan dengan keluarga,
dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Perilaku ketidakpatuhan
pasien yang paling banyak dilakukan adalah perilaku menurunkan dosis obat.
Penyebab perilaku ini adalah pandangan pasien bahwa kerugian minum obat
lebih besar dibandingkan dengan manfaat minum obat.
Analisa data penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara rata-rata selisih kepatuhan berobat klien schizophrenia pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Setelah dilakukan terapi terjadi
peningkatan rata-rata kepatuhan berobat sebesar 1.167 pada kelompok
intervensi dan sebesar 0,368 pada kelompok kontrol. Peningkatan tersebut
dapat terjadi karena terapi yang diberikan kepada klien dan keluarga serta
peran PMO oleh kader. Seperti dinyatakan dalam penelitian Wardhani (2009)
bahwa kepatuhan berobat dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu
diantaranya adalah aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan
dengan keluarga dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Paket
intervensi yang diberikan dalam penelitian pada klien schizophrenia di
Kersamanah Garut ini memberikan intervensi pada aspek-aspek yang dapat
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
106
Universitas Indonesia
mempengaruhi kepatuhan berobat tersebut sehingga kepatuhan berobat dapat
meningkat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
antara kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi baik pada kelompok
kontrol maupun kelompok intervensi. Intervensi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah asuhan keperawatan kepada klien schizophrenia sesuai
SAK Jiwa, FPE kepada keluarga sebagai caregiver dan peran PMO oleh
kader untuk menjamin keteraturan berobat klien. Intervensi yang diberikan
kepada klien berupa asuhan keperawatan sesuai SAK dapat membantu
meningkatkan kepatuhan berobat klien karena dalam salah satu strategi
pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, terdapat satu strategi pelaksanaan
mengenai pengobatan klien. Dalam intervensi tersebut klien diberikan
penjelasan mengenai obat-obatan yang diminum klien, fungsi obat-obatan
tersebut, berapa lama klien harus berobat dan apa alasannya, klien juga
diajarkan mengenai pengobatan yang benar, jadwal kontrol dan akibat yang
ditimbulkan jika klien tidak teratur berobat. Penjelasan-penjelasan ini dapat
meningkatkan kepatuhan berobat klien karena pengetahuan yang baik
menjadi dasar untuk perilaku yang sesuai. Sesuai dengan teori perilaku yang
dikemukakan oleh Bloom (dalam Notoatmodjo, 2002), bahwa perilaku
seseorang dipengaruhi oleh pengetahuannya. Berbagai penelitian
membuktikan hubungan searah antara pengetahuan dan perilaku seseorang,
dengan arti bahwa semakin baik pengetahuan seseorang maka dapat
diasumsikan semakin baik pula perilakunya.
Pada penelitian ini dalam paket terapi diberikan FPE kepada keluarga. Pada
sesi 2 diberikan pemberian informasi mengenai cara perawatan klien
berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien, termasuk
mengenai pengobatan klien. Diasumsikan bahwa keluarga dapat memberikan
kontribusi secara tidak langsung kepada klien untuk meningkatkan kepatuhan
berobat klien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wardhani (2009) bahwa
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
107
Universitas Indonesia
keluarga juga berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung sebagai
penyebab ketidakpatuhan.
Keberhasilan FPE dalam berbagai variabel yang diukur pada keluarga telah
banyak diteliti. Salah satu penelitian yang dilakukan mengenai FPE adalah
penelitian Sari (2009) mengenai pengaruh FPE terhadap beban yang
dirasakan keluarga dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di
Nangroe Aceh Darussalam, yang menyimpulkan bahwa terjadi penurunan
bermakna pada beban keluarga dan terjadi peningkatan yang bermakna pada
kemampuan keluarga merawat klien pasung. Dalam penelitian ini, aspek
perawatan pada klien diasumsikan termasuk ke dalam kemampuan keluarga
mengatur pengobatan klien. karena itu pemberian FPE kepada keluarga
secara tidak langsung menyebabkan peningkatan kepatuhan berobat pada
klien.
Rata-rata nilai kepatuhan berobat setelah dilakukan terapi adalah 2,76 yang
berarti masih berada pada rentang kepatuhan rendah. Peningkatan yang hanya
sebesar 1,9% dalam penelitian ini dapat disebabkan karena perubahan
perilaku klien memerlukan pendampingan agar membudaya. Dan untuk
mencapai nilai optimal yaitu 6 diperlukan intervensi lebih lanjut seperti
keberlanjutan peran PMO oleh kader dengan rentang kunjungan yang lebih
sering, karena pada saat penelitian kader melakukan kunjungan 1 kali dalam
seminggu menyesuaikan dengan kunjungan peneliti. Selain itu dapat
dilakukan kunjungan berkala dari pihak puskesmas, serta konsultasi pada
spesialis jiwa secara berkala untuk psikoterapi yang tepat yang dapat
mendukung meningkatnya kepatuhan berobat klien.
Aspek pengobatan yang dapat mempengaruhi pengobatan diantaranya adalah
durasi pengobatan yang cenderung lama pada klien schizophrenia. Hal
diungkapkan oleh Philip Ley, seorang peneliti yang melakukan penelitian
mengenai kepatuhan selama lebih dari 30 tahun, menyatakan bahwa semakin
sederhana jadwal pengobatan, dan semakin singkat durasinya, maka
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
108
Universitas Indonesia
kepatuhan akan semakin tinggi (Ley, 1997 dalam Brannon & Feist, 2010).
Pada klien dengan schizophrenia kejadian drop out berobat juga seringkali
menjadi masalah karena jangka waktu pengobatan yang lama. Klien
seringkali merasa bosan, atau merasa sudah sembuh. Karena itu peran PMO
untuk klien dengan schizophrenia juga diperlukan untuk mengurangi angka
drop out berobat. Karena lamanya durasi pengobatan klien schizophrenia,
maka klien perlu mendapat dukungan agar teratur berobat. Dukungan dapat
diberikan oleh keluarga sebagai unit terdekat dengan klien, dan keluarga juga
dapat menjalankan peran Pengawas Minum Obat.
Ketiga bagian dari paket terapi berkaitan dengan pengobatan klien. Dalam
asuhan keperawatan generalis yang diberikan kepada klien sesuai dengan
diagnosa keperawatan terdapat strategi pelaksanaan untuk membahas
mengenai pengobatan klien, sehingga dapat membantu meningkatkan
kesadaran klien akan pentingnya berobat. Pada FPE kepada keluarga sesi 2,
keluarga diberikan pengetahuan mengenai kondisi penyakit klien termasuk
pengobatannya dan keluarga dilatih untuk membantu klien teratur berobat.
Dan peran PMO yang merupakan hal yang baru yang memang ditujukan
spesifik untuk masalah pengobatan klien.
Peran Pengawas Minum Obat adalah peran yang dijalankan oleh seseorang
untuk meyakinkan keteraturan klien meminum obat. Peran PMO sendiri
dapat dilakukan oleh keluarga atau kader atau pemberi layanan kesehatan
(Nizar, 2010). Pengembangan peran PMO telah banyak dikenal pada
penyakit tuberculosis karena kepatuhan minum obat pada penyakit ini
dianggap rendah, sementara drop out berobat dapat memperburuk kondisi
pasien dengan tuberculosis. Peran PMO yang dijalankan dalam penelitian ini
adalah kader memotivasi klien untuk teratur berobat, memberikan penjelasan
kepada keluarga untuk mengawasi pengobatan klien dan menganjurkan klien
untuk teratur melakukan pemeriksaan ke puskesmas (Nazir, 2010). Dengan
dikunjungi oleh kader klien dan keluarga mendapatkan informasi bahwa
pengobatan mudah dan murah didapat. Selain itu dengan mendapatkan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
109
Universitas Indonesia
penjelasan dari kader, klien dan keluarga dapat lebih memahami manfaat dari
pengobatan, sehingga termotivasi untuk teratur menjalani pengobatan. Dalam
penelitian ini kader juga memotivasi klien untuk berobat dengan cara
menceritakan keberhasilan pengobatan pada klien lain.
Faktor usia, keyakinan terhadap pelayanan medis dan jenis kelamin tidak
mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna.
Faktor kelompok menjadi faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan
berobat klien. Ini dapat berarti bahwa terapi yang diberikan mempengaruhi
kepatuhan berobat secara bermakna. Setelah dikontrol oleh faktor
confounding, pada kelompok intervensi terdapat peningkatan dari 1.17
menjadi 1.221, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 0.37
menjadi 0.317.
Keyakinan klien terhadap pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi
kepatuhan berobat klien. Hal ini dapat disebabkan karena homogenitas klien
dan keluarga. Klien dan keluarga akan lebih cenderung memilih cara
pengobatan yang diyakini dapat memberikan perubahan pada kondisi klien.
Sehingga kepatuhan berobat klien akan dipengaruhi oleh keyakinan yang
selanjutnya mempengaruhi pemilihan klien terhadap alternatif pengobatan.
Pada penelitian ini hanya satu orang yang memiliki keyakinan negatif pada
pengobatan medis. Hal ini dapat disebabkan oleh program kesehatan jiwa
yang cukup menjadi sorotan di Kecamatan Kersamanah, sehingga klien dan
keluarga memiliki harapan yang besar terhadap program program kesehatan
jiwa yang dikembangkan di puskesmas. Dan dapat disebabkan oleh
kedekatan dengan petugas kesehatan sehingga sudah terbina kepercayaan
yang baik.
6.3 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian dan kepatuhan berobat
klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
110
Universitas Indonesia
berhubungan secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan asuhan
keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Ini
berarti bahwa semakin tinggi kemandirian klien, maka semakin tinggi pula
kepatuhan berobat.
Analisa data menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut. Dalam kuesioner kemandirian 4 item
berkaitan dengan pengobatan klien. Mandiri dalam berobat menjadi salah
satu aspek yang ditanyakan dalam pengukuran kemandirian. Koefisien
korelasi positif menunjukkan hubungan searah antara kemandirian dengan
kepatuhan berobat klien schizophrenia. Artinya semakin tinggi kemandirian
maka kepatuhan berobat pun semakin meningkat. Dengan demikian dapat
diasumsikan bahwa jika kemandirian ditingkatkan, maka kepatuhan berobat
pun akan ikut meningkat. Maka usaha yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kepatuhan berobat dapat dilakukan bersamaan dengan usaha
untuk meningkatkan kemandirian klien.
Item dalam pengukuran kepatuhan berobat adalah tidak pernah lupa jadwal
minum obat dan tidak pernah terlewat jadwal minum obat. Kemandirian
yang diukur dalam penelitian ini menunjukkan kemampuan klien melakukan
aktivitasnya sehari-hari tanpa bantuan dari orang lain. Aktivitas sehari-hari
tersebut termasuk di dalamnya adalah mengenai pengobatan klien. Klien
yang sudah mandiri dan teratur dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari
dapat diasumsikan bahwa klien tersebut juga teratur dan mandiri dalam
pengobatan. Hal ini dapat menjadi alasan yang mendasari hubungan yang
erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat.
6.4 Faktor Predisposisi Klien Schizophrenia
Dalam penelitian ini juga diteliti mengenai faktor predisposisi yang
menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa. Faktor predisposisi psikologis
dimiliki oleh seluruh klien kecuali 1 orang, yang tidak menyatakan ada faktor
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
111
Universitas Indonesia
psikologis sebelum tanda dan gejala schizophrenianya muncul. Faktor
psikologis yang menyebabkan schizophrenia pada klien dalam penelitian ini
antara lain karena kegagalan dalam rumah tangga, kegagalan dalam usaha,
pengalaman tarumatis, kehilangan, dan sebagainya. 86,5% memiliki
predisposisi budaya seperti kemiskinan dan pendidikan yang rendah. Dan
51.4% terkaji memiliki predisposisi biologis seperti faktor keturunan, trauma
kepala, terpapar narkoba, dan sebagainya. Menurut Model Stress Adaptasi
Stuart (Stuart, 2009), faktor predisposisi dapat dikelompokkan menjadi faktor
biologis, psikologis dan faktor sosial budaya. Pendapat lain menyatakan
bahwa schizophrenia dapat merupakan hasil dari kombinasi beberapa
penyebab diantaranya faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor
lingkungan (Townsend, 2009). Maka faktor predisposisi dapat merupakan
kombinasi dari beberapa faktor, misalnya salah satu klien mengalami
schizophrenia setelah ditinggal meninggal oleh suaminya dalam kondisi
hamil dan tidak bekerja, sehingga klien merasa terbebani secara psikologis
dan sosial budaya.
6.5 Keterbatasan penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu waktu penelitian. Waktu penelitian
yang dirancang sebelumnya adalah selama 8 minggu dengan 5 kali kunjungan
untuk terapi. Namun karena keterbatasan waktu penelitian maka penelitian
hanya dilakukan selama 5 minggu dengan 3 kali kunjungan untuk terapi.
Kunjungan dilakukan dengan melakukan beberapa SP atau sesi dalam satu
kali pertemuan.
Keterbatasan penelitian yang lain adalah isi dari kuesioner kepatuhan berobat
yaitu MARS lebih sesuai jika ditujukan untuk klien yang sedang menjalani
pengobatan, sedangkan pada penelitian ini klien yang tidak berobat pun
diikutsertakan dengan skor kepatuhan berobat nol (0).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
112
Universitas Indonesia
6.6 Implikasi hasil penelitian
1. Bagi pelayanan keperawatan
Penelitian ini memberikan pengalaman terutama kepada kader untuk
menjalankan peran PMO. Pengalaman dalam melakukan kunjungan dan
mengikuti asuhan keperawatan yang diberikan oleh peneliti, dapat
memberikan pengetahuan baru kepada kader dalam menghadapi klien dan
keluarga dengan schizophrenia. Penelitian ini juga dapat menjadi dasar
pengembangan program Desa Siaga Sehat Jiwa yang sedang direncanakan
di Kecamatan Kersamanah dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.
2. Bagi keilmuan
Penelitian ini memberikan pengembangan ilmu baru mengenai intervensi
kepada klien schizophrenia terutama mengenai peran Pengawas Minum
Obat yang sebelumnya dikembangkan pada klien tuberculosis. Penelitian
ini memberikan gambaran bagi peneliti, kader dan pihak puskesmas untuk
memberikan intervensi yang komprehensif pada klien dan keluarga dengan
melibatkan peran spesialis jiwa, peran kader, dan peran petugas kesehatan
dari puskesmas.
3. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data awal untuk pelaksanaan
penelitian mengenai klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah
Kabupaten Garut. Beberapa usulan penelitian yang disarankan oleh
peneliti adalah sebagai berikut.
- Analisis faktor predisposisi schizophrenia pada klien schizophrenia di
Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut.
- Pengaruh pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien di rumah
terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan gangguan
jiwa di rumah.
- Pengaruh terapi Self Help Group terhadap kemampuan keluarga
merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
113 Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
7.1 Kesimpulan
1. Karakteristik usia klien adalah rata-rata 36.16 tahun, lebih dari setengah
klien berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar tidak memiliki keluhan
nyeri dan hampir seluruhnya memiliki keyakinan positif terhadap
pelayanan kesehatan.
2. Kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut adalah
kemandirian sedang.
3. Kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut adalah
kepatuhan rendah.
4. Pemberian asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan
pelaksanaan peran PMO oleh kader meningkatkan kemandirian dan
kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna.
5. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia yang tidak
mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan
pelaksanaan peran PMO oleh kader mengalami peningkatan yang tidak
bermakna.
6. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah
Garut memiliki hubungan yang erat. Peningkatan kemandirian akan
menyebabkan peningkatan kepatuhan berobat, dan peningkatan kepatuhan
berobat akan meningkatkan kemandirian klien schizophrenia di
Kersamanah Garut.
7. Tidak ada karakteristik klien schizophrenia yang berkontribusi secara
bermakna terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien
schizophrenia di Kersamanah Garut.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
114
Universitas Indonesia
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti memberikan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Pelayanan keperawatan
Penanggungjawab program kesehatan jiwa Puskesmas Kersamanah dapat
mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dengan sasaran klien, keluarga
dan kader. Kemandirian klien dapat dioptimalkan dengan keberlanjutan
kunjungan dari petugas puskesmas maupun kader. Kemandirian dan
kepatuhan berobat klien dapat ditingkatkan dengan pemberian asuhan
keperawatan generalis pada klien, yaitu pemberian asuhan keperawatan
sesuai diagnosa keperawatan yang muncul pada klien sesuai dengan
pedoman SAK. Petugas kesehatan di Puskesmas Kersamanah dapat
melatih kader untuk melakukan asuhan keperawatan generalis, melakukan
pendampingan dan supervisi.
Intervensi kepada keluarga, dapat dilakukan dengan melanjutkan
pemberian FPE oleh perawat spesialis jiwa. Rancangan akhir yang dapat
ditargetkan pada keluarga adalah membentuk kelompok-kelompok
pendukung sesama keluarga yang memiliki anggota keluarga
schizophrenia. Terapi spesialis yang dapat dilakukan selanjutnya di
Kersamanah adalah terapi supportif dan kemudian dilanjutkan dengan
pembentukan kelompok-kelompok self help group.
Pemberdayaan kader yang dapat diteruskan adalah dengan menjalankan
peran PMO. Kader dapat melakukan kunjungan rutin kepada klien dan
keluarga untuk memantau keteraturan berobat klien. Semua kegiatan dapat
didokumentasikan di dalam status klien yang diarsipkan di puskesmas.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa untuk
mendapatkan kemandirian yang optimal perlu dilakukan kunjungan rutin
dan evaluasi berkelanjutan oleh tenaga kesehatan. Secara statistik, pada
kelompok intervensi dapat ditingkatkan kemandirian dengan melakukan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
115
Universitas Indonesia
kunjungan sebanyak 30 kali. Sedangkan untuk kepatuhan berobat secara
statistik perlu dilakukan kunjungan sebanyak 11 kali untuk mendapatkan
rata-rata kepatuhan yang optimal.
2. Ilmu pengetahuan
Penelitian ini dapat dijadikan model untuk mengembangkan peran PMO
kader di masyarakat pada klien schizophrenia. Hasil penelitian ini juga
dapat dijadikan dasar bagi pengembangan paket terapi untuk klien dan
keluarga dengan klien schizophrenia. SAK, modul, buku kerja, buku
evaluasi, buku pedoman pembekalan kader dan buku pegangan kader yang
digunakan dalam penelitian ini dapat ditelaah lebih lanjut dan digunakan
untuk intervensi peran PMO di Kersamanah Garut. Hasil penelitian ini
dapat dibandingkan dengan penelitian lain terkait intervensi dengan
kunjungan ke rumah klien, untuk mengetahui pola kunjungan yang lebih
efektif. Penelitian ini juga dapat menjadi gambaran pola kunjungan antara
petugas puskesmas, perawat spesialis dan kader.
3. Penelitian keperawatan
Penelitian lain perlu dilakukan untuk terus mengembangkan intervensi
kepada klien schizophrenia di masyarakat. Penelitian yang perlu dilakukan
antara lain untuk mengetahui faktor yang paling berkontribusi
menyebabkan schizophrenia di Kecamatan Kersamanah, mengetahui
intervensi yang paling optimal untuk mengatasi masalah yang dapat
muncul pada klien dengan schizophrenia seperti kemandirian dan
kepatuhan berobat. Penelitian juga perlu dilakukan untuk mengembangkan
paket intervensi yang efektif, komprehensif dengan memberdayakan
berbagai pihak seperti petugas kesehatan dari puskesmas, tenaga
keperawatan generalis maupun spesialis, kader dan keluarga klien
schizophrenia.
Penelitian selanjutnya dapat membandingkan kelompok intervensi yang
diberikan intervensi asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
116
Universitas Indonesia
PMO, dengan kelompok intervensi yang hanya diberikan asuhan
keperawatan pada klien dan keluarga saja. Buku pedoman dan buku
pegangan kader mengenai PMO perlu ditinjau ulang dan dilakukan
penelitian untuk mengujicobakan keefektifan rancangan peran PMO
tersebut.
Penelitian selanjutnya dapat pula meneliti mengenai keefektifan jumlah
kunjungan ke rumah klien schizophrenia, mengetahui hasil evaluasi
kemandirian dengan rentang waktu pembudayaan terapi lebih lama dan
sebagainya. Frekuensi kunjungan dapat menggunakan dasar penelitian ini
dan penelitian CMHN Jakarta sebelumnya.
Kepatuhan berobat klien perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan
instrumen yang lebih representatif dan diujicobakan pola intervensi yang
efektif untuk meningkatkan kepatuhan berobat klien dengan keterlibatan
kader kesehatan. Frekuensi kunjungan dapat diujicobakan sesuai saran
untuk pelayanan keperawatan dan waktu pembudayaan terapi kepada klien
dapat dipertimbangkan dari hasil penelitian ini.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
117
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangkes. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Depkes.
Brannon, L., & Feist, J. (2010). Health psychology: an introduction to behavior and health (7thed). USA: Wadsworth Cengage Learning.
Chang & Johnson. (2008). Chronic illness & disability: principles for nursing practice. Australia: Elsevier Australia.
Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: panduan melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media.
Diatri.(2011). www.depkes.go.id. Februari, 24. 2012.
Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (6thed). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. Depok: FKM UI.
Keliat, B.A. (2007). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas : CMHN (Basic Course). Jakarta : EGC.
__________. (2010). Manajemen keperawatan jiwa komunitas desa siaga : CMHN (Intermediate Course). Jakarta: EGC.
Keliat, B.A., Helena, N. & Riasmini, N.M. (2011). Efektifitas penerapan model community mental health nursing terhadap kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganya di wilayah DKI Jakarta. Hibah riset unggulan UI.
Keliat & Walter. (2011). Buku saku terapi keperawatan. Depok: FIK UI.
NANDA International. (2010). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC.
Nazir, M. (2010). Pemberantasan dan penanggulangan tuberculosis. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan (ed.2). Jakarta: Salemba Medika.
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2006). Nursing research: principles and methods(7thed). Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
118
Universitas Indonesia
Shimazu, et.al. (2008). Family psychoeducation for major depression: randomised controlled trial. The British Journal of Psychology. Februari 26, 2012. http://bjp.rcpsych.org/content/198/5/385.abstract.
Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing (9thed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Sugiyono.(2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.
Taniredja, T., & Mustafidah, H. (2011).Penelitian kuantitatif: sebuah pengantar.Bandung: Alfabeta.
Tim Keperawatan Jiwa FIK UI. (2011). Draft modul terapi. Depok: FIK UI.
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6thed). Philadelphia: F.A. Davis Company.
Varcarolis, Elizabeth M & Halter, Margareth J. (2010). Foundation of psychiatric mental health nursing : a clinical approach (6th ed). New York: Elsevier Inc.
Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.
World Health Organization. Februari 24, 2012. www.who.int/ mental_health/management/schizophrenia/en/.
www.depkes.go.id, Februari 24, 2012.
www.medifocus.com. (2011). Februari 2012.
www.nami.org. Februari 26, 2012.
www.ncbi.nlm.nih.gov. Februari 24, 2012.
www.nimh.nih.gov, Februari 24, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN
‘Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum Obat terhadap kemandirian dan
kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut’
No KegiatanWaktu Penelitian (2012)
Februari Maret April Mei Juni JuliI II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1 Penyusunan proposal2 Ujian proposal3 Revisi proposal4 Expert validity, uji kompetensi,
ethical clearance5 Surat izin penelitian6 Pengumpulan data7 Analisa data8 Penyusunan laporan9 Sidang hasil10 Perbaikan (revisi)11 Sidang tesis12 Revisi tesis13 Pengumpulan tesis
Lampiran 1
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
PENJELASAN PENELITIAN
Judul penelitian : Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan
peran Pengawas Minum Obat terhadap kemandirian dan
kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah
Garut
Peneliti : Rahmi Imelisa
Telepon : 08996036184
Saya, Rahmi Imelisa, adalah mahasiswa Program Magister Keperawatan Jiwa
Universitas Indonesia. Saya bermaksud mengadakan penelitian dengan
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan schizophrenia,
memberikan terapi spesialis FPE (family psychoeducation) kepada keluarga dan
memberdayakan peran kader sebagai PMO (Pengawas Minum Obat). Hasil akhir
yang akan diteliti adalah dampak terapi-terapi tersebut pada kemandirian dan
kepatuhan berobat klien.
Responden akan dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama akan mendapat
asuhan keperawatan pada klien dan FPE pada keluarga. Kelompok kedua akan
mendapat asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO
oleh kader. Dan kelompok ketiga tidak mendapatkan intervensi apa-apa selama
penelitian, namun di akhir penelitian, keluarga akan menerima panduan cara
merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.
Pada penelitian ini peneliti akan menjunjung hak-hak responden dengan cara : (1)
merahasiakan identitas responden, (2) memberikan kebebasan kepada klien untuk
berhenti menjadi responden selama penelitian berlangsung. Demikian penjelasan
penelitian ini saya buat. Terima kasih.
Lampiran 2
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Setelah membaca penjelasan penelitian dan mendapatkan penjelasan langsung
dari peneliti, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama :
Alamat :
Menyatakan setuju untuk dijadikan responden dalam penelitian yang berjudul:
‘Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum
Obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut’. Saya telah memahami segala
konsekuensi yang saya dapatkan selama menjadi responden dan saya
menandatangani lembar persetujuan ini dengan kemauan sendiri.
Garut, …………………2012
(…………………………….)
Lampiran 3
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
KUESIONER 1
Karakteristik Responden
Petunjuk pengisian :
Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ditujukan pada keluarga klien.
Jawablah pertanyaan di bawah ini, sesuai dengan kondisi anggota keluarga
anda yang mengalami schizophrenia dengan sebenar benarnya.
1. Berapakah usia anggota keluarga anda tersebut saat ini? ……………… tahun
2. Jenis kelamin anggota keluarga tersebut?
Laki-laki
Perempuan
3. Apakah saat ini anggota keluarga anda yang menderita schizophrenia sedang
memiliki keluhan fisik yang menyebabkan nyeri?
Tidak ada nyeri
Ada nyeri
4. Bagaimana keyakinan anggota keluarga anda tersebut terhadap pengobatan dan
tindakan medis?
Positif
Negatif
5. Faktor biologis
No Faktor biologisJawaban
Ya Tidak
1 Latar belakang genetik (keturunan)
2 Riwayat status nutrisi kurang baik
3 Memiliki sensitivitas biologis untuk gangguan jiwa
4 Kondisi kesehatan secara umum kurang baik
5 Adanya paparan terhadap racun
Faktor biologis lain : …………….. (narasikan)
Lampiran 4
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
6. Faktor psikologis
No Faktor psikologisJawaban
Ya Tidak
1 Adanya gangguan inteligensia
2 Adanya gangguan keterampilan verbal
3 Adanya gangguan kepribadian
4 Adanya pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu
5 Motivasi diri kurang baik
6 Konsep diri negatif
Faktor psikologis lain : ……. (narasikan)
7. Faktor sosial budaya
No Faktor sosial budayaJawaban
Ya Tidak
1 Pendidikan rendah
2 Penghasilan rendah
3 Pengalaman sosial tidak menyenangkan
Faktor sosial budaya lain : …………….. (narasikan)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
KUESIONER 2:KEMANDIRIAN KLIEN
Petunjuk Pengisian:1. Kuesioner ini diisi dengan cara wawancara terhadap pasien atau keluarga 2. Berikan tanda cek (√ ) sesuai kondisi terkini pasien pada kolom yang disediakan. 3. Jika jawaban adalah:
Tidak Pernah dilakukan pasien, isilah kolom T Dilakukan pasien dengan bantuan, isilah kolom B Dilakukan sendiri (mandiri) oleh pasien, isilah kolom M
4. Isilah pernyataan pada kolom dibawah dengan sebenar – benarnya.
NO KEGIATAN-KEGIATAN YANG DILAKUKAN PASIENKemampuan
M B T
1. Mandi dengan benar dan bersih
2. Buang air besar/buang air kecil dengan bersih.
3. Mengganti pakaian dengan pakaian bersih
4. Membereskan pakaian kotor
5. Merapikan tempat tidur
6. Mengambil makanan dengan rapi
7. Mempersiapkan makanan.
8. Membersihkan ruangan
9. Ngobrol dengan teman
10. Ngobrol dengan keluarga
11. Mendengarkan saran dari keluarga
12. Bepergian dengan kendaraan sendiri
13. Bepergian dengan kendaraan umum
14. Mengikuti kegiatan keluarga
15. Mengikuti kegiatan masyarakat
16. Melakukan kegiatan sehari-hari secara teratur.
17. Melakukan kegiatan untuk mengatasi gejala yang dialami
18. Mengikuti terapi aktivitas kelompok
19. Menceritakan masalah yang dialami kepada petugas kesehatan
20. Menceritakan masalah yang dialami kepada keluarga.
21. Menceritakan masalah yang dialami kepada teman dekat.
22. Kontrol ke Puskesmas atau Rumah Sakit secara teratur
23. Minum obat sesuai jenisnya
24. Minum obat sesuai dosis (takaran yang seharusnya)
25. Minum obat tepat waktu
26. Minum obat sesuai cara
Lampiran 5
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
KUESIONER 3
Kepatuhan Berobat
Petunjuk pengisian :
- Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ditujukan kepada klien dan
keluarga klien (anggota keluarga yang mengalami schizophrenia).
- Berikan tanda checklist ( V ) pada kolom di sebelah kanan pernyataan
yang sesuai dengan jawaban anda!
No Pernyataan Ya Tidak
1 Apakah anda pernah lupa meminum obat?
2 Apakah anda teledor dalam waktu meminum obat?
3Saat anda merasa lebih baik, apakah anda terkadang tidak meminum
obat anda?
4Sewaktu-waktu, saat anda merasa lebih buruk karena meminum obat,
apakah anda berhenti meminum obat?
5 ‘Saya meminum obat hanya jika saya sakit’
6 Bagi saya tidak wajar jika pikiran dan tubuh saya diatur oleh obat
7 Pikiran saya lebih jelas karena meminum obat
8 Dengan terus meminum obat, saya dapat mencegah penyakit
9 Saya merasa aneh, seperti zombie, karena meminum obat
10 Pengobatan membuat saya merasa lelah dan loyo
Sumber : Medication Adherence Rating Scale, www.virtualmedicalcentre.com
Lampiran 6
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
MODUL PANDUANFAMILY PSYCHOEDUCATION THERAPY
(TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA)PADA KLIEN SCHIZOPHRENIA
Oleh :
Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.
Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
Lampiran 11
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang besar penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan
memberi petunjuk dan kekuatan kepada penyusun sehingga modul panduan Family
Psychoeducation untuk keluarga klien dengan schizophrenia ini dapat diselesaikan. Modul ini
adalah panduan untuk melaksanakan terapi spesialis Family Psychoeducation di lingkungan
masyarakat atau di rumah sakit. Terapi ini dimaksudkan agar keluarga memiliki pengetahuan yang
adekuat mengenai masalah yang dialami klien, mampu merawat klien dan mampu mengatasi
masalah yang muncul di dalam diri dan keluarga karena merawat klien. Karena itu modul ini
berisi langkah-langkah dalam melaksanakan Family Psychoeducation (FPE) pada keluarga klien
dengan schizophrenia di masyarakat.
Penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.,
yang telah mengarahkan pembuatan modul ini dan kepada pihak-pihak lain yang telah turut
membantu tersusunnya modul ini. Penyusun sangat mengharapkan masukan yang membangun
untuk mengembangkan modul ini lebih lanjut. Dan penyusun berharap modul ini dapat digunakan
secara luas untuk keluarga klien dengan schizophrenia.
Depok, April 2012
Penyusun
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR ISI
Halaman sampul i
Kata pengantar ii
Daftar isi iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan 3
1.3 Manfaat 3
Bab II Pedoman pelaksanaan psikoedukasi keluarga pada keluarga dengan anggota keluarga
schizophrenia
2.1 Sesi 1: Pengkajian masalah keluarga 4
2.2 Sesi 2: Cara perawatan klien gangguan jiwa 8
2.3 Sesi 3: Manajemen stress keluarga 11
2.4 Sesi 4: Manajemen beban keluarga 14
2.5 Sesi 5: Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga 18
Bab III Penutup 22
Daftar pustaka 23
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
NAMI (National Alliance on Mental Illness) menyatakan bahwa gejala negatif dari
schizophrenia termasuk terjadinya afek datar dan menurunnya ekspresi emosi klien, dan
ketidakmampuan memulai atau mengakhiri aktivitas, dan kurangnya rasa nyaman atau minat
dalam hidup (NAMI, 2012). Pernyataan ini menjadi dasar untuk memahami bahwa klien
schizophrenia akan mengalami gangguan dalam aktivitasnya. Kebanyakan orang dengan
schizophrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk
merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012).
Dari sini dapat dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
Bagi klien sebagai individu, schizophrenia menyebabkan gangguan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari atau berdampak kepada kemandirian klien. Hal ini menyebabkan klien
banyak tergantung kepada orang lain, terutama keluarga. Kemandirian sendiri dapat diartikan
sebagai kemampuan klien menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini
selaras ciri sehat jiwa pertama, yaitu memiliki otonomi atau kemandirian. Di mana seorang
individu dapat menentukan apa yang akan dilakukannya dan mampu melakukan banyak hal
secara mandiri.
Orang dengan schizophrenia membutuhkan dukungan dan pengetahuan mengenai kebersihan
diri, berpakaian, berbelanja, memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan,
membangun hubungan sosial dan memanaje waktu. Bekerja dapat akan mengalami banyak
kesulitan dan banyak orang dengan schizophrenia yang tidak bekerja walaupun mereka
menginginkannya. Saat mereka bekerja, mereka akan sangat membutuhkan dukungan terkait
manajemen pengobatan dan pekerjaan dan kejelasan tentang status kesehatan mereka (Chang
& Johnson, 2008).
Beberapa pemberi layanan menangani schizophrenia sebagai penyakit yang tidak hanya
mengenai individu saja, tetapi juga seluruh keluarga. Walaupun keluarga tampak memiliki
koping yang baik, dapat dipastikan ada pengaruh pada status mental keluarga saat salah satu
anggota keluarga mengalami schizophrenia. Safier (1997, dalam Townsend, 2009)
menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Hal ini menjadi dasar pentingnya keluarga
mendapatkan terapi.
Intervensi kepada keluarga dimaksudkan untuk memperkuat sistem keluarga, mencegah atau
menghambat kekambuhan, dan mempertahankan klien di masyarakatnya. Program
psikoedukasi ini memperlakukan keluarga sebagai sumber, bukan sebagai stressor, dengan
berfokus pada penyelesaian masalah yang konkrit, dan perilaku menolong yang spesifik untuk
beradaptasi dengan stress. Dengan memberikan informasi pada keluarga tentang penyakit dan
menyarankan tentang mekanisme koping yang efektif, program psikoedukasi mengurangi
kecenderungan klien untuk kambuh dan mengurangi pengaruh penyakit ini pada keluarga
yang lain (Townsend, 2009).
Psikoedukasi untuk keluarga termasuk dengan individu yang mengalami gangguan, seperti
schizophrenia, depresi mayor, dan gangguan bipolar, biasanya dikombinasikan dengan terapi
farmaka (Nathan and Gorman, 2007 dalam Stuart, 2009). Psikoedukasi ini terbukti
memperbaiki gejala umum dan mengurangi penolakan serta beban keluarga (Stuart, 2009).
Terapi keluarga biasanya terdiri dari program utama untuk memberikan edukasi kepada
keluarga tentang schizophrenia, dan program yang lebih luas dengan keluarga dibentuk untuk
mengurangi manifestasi konflik yang jelas dan untuk merubah pola komunikasi keluarga dan
penyelesaian masalah. Respon terhadap terapi ini sangat dramatis. Ho, Black, dan Andreasen
(2003 dalam Townsend, 2009) melaporkan pada beberapa penelitian bahwa hasil positif pada
penanganan klien dengan schizophrenia ini dapat tercapai dengan mengikutsertakan keluarga
dalam pelayanan.
Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa
keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik.
Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart,
2009).
1.2 Tujuan
Setelah diberikan terapi family psychoeducation, keluarga diharapkan mampu:
1.2.1 Memahami masalah yang dialami oleh anggota keluarga dengan schizophrenia
1.2.2 Mengatasi masalah pada diri sendiri yang muncul karena merawat anggota keluarga
dengan schizophrenia
1.2.3 Mengatasi beban pada keluarga yang muncul karena adanya anggota keluarga
dengan schizophrenia
1.2.4 Memanfaatkan sarana di komunitas untuk membantu keluarga
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
1.3 Manfaat
Terapi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi keluarga dan klien dengan schizophrenia.
1.3.1 Bagi keluarga, dapat memiliki kemampuan untuk merawat klien dan mengatasi
masalah yang timbul karena merawat klien
1.3.2 Bagi klien, secara tidak langsung mendapatkan perawatan yang optimal dari keluarga
BAB II
PEDOMAN PELAKSANAAN PSIKOEDUKASI KELUARGA
(FAMILY PSYCHOEDUCATION) PADA KELUARGA
DENGAN ANGGOTA KELUARGA SCHIZOPHRENIA
Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap sesi dilakukan selama 45-60
menit. Adapun urutan dari terapi ini adalah sebagai berikut:
2.1 Sesi 1: Pengkajian Masalah Keluarga
Pada sesi pertama ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang
timbul di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa. Terapi ini mengikutsertakan seluruh
anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien, terutama caregiver.
Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa bagi keluarga dan dampaknya
pada orangtua, anak, saudara kandung, dan pasangan.
Pengkajian dibuat terpisah antara masalah yang dirasakan oleh caregiver dan anggota
keluarga yang lain. Pengkajian berfokus pada masalah dalam merawat klien sakit dan masalah
yang muncul pada diri karena merawat klien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada
saat mengkaji masalah ini adalah sebagai berikut (Saunders, 1997 dalam Stuart, 2009):
- Situasi bagaimana yang membuat stress pada keluarga anda?
- Bagaimana perasaan anda mengenai ketergantungan, interaksi sosial atau respon terhadap
tindakan pada anggota keluarga yang sakit?
- Seberapa besar dukungan yang anda dapatkan dari profesional kesehatan mental,
komunitas atau keluarga besar anda?
2.1.1 Tujuan sesi I:
1. Peserta dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga
2. Peserta mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga
3. Peserta mendapat kesempatan untuk menyampaikan pengalamannya dalam
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
merawat klien dengan gangguan jiwa (masalah dalam merawat dan masalah
pribadi yang dirasakan karena merawat)
4. Peserta dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti
program psikoedukasi keluarga
2.1.2 Setting
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman
2.1.3 Alat dan bahan
Leaflet/lembar balik, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi)
2.1.4 Metode
Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab
2.1.5 Langkah-langkah:
1. Persiapan
a. Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Pelaksanaan
Fase Orientasi:
a. Salam terapeutik: salam dari terapis
b. Memperkenalkan nama dan panggilan terapis
c. Menanyakan nama dan panggilan peserta
d. Validasi:
Menanyakan bagaimana perasaan peserta dalam mengikuti program
psikoedukasi keluarga saat ini
e. Kontrak:
Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu untuk bekerjasama dan
membantu keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa
f. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut:
1) Menyepakati pelaksanaan terapi selama 5 sesi
2) Lama kegiatan 45 – 60 menit
3) Keluarga mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga yang tidak berganti
Fase Kerja :
a. Menanyakan tentang apa yang dirasakan keluarga selama ini terkait dengan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
gangguan jiwa yang dialami salah satu anggota keluarga
1) Masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga sendiri
2) Masalah dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa
3) Keluarga menuliskan masalahnya pada buku kerja keluarga
4) Terapis menuliskan pada buku kerja sendiri
b. Menanyakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dengan
adanya salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa
1) Setiap anggota keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan
perubahan-perubahan yang dialami dalam keluarga
c. Menanyakan keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti psikoedukasi
keluarga
d. Memberikan kesempatan keluarga untuk mengajukan pertanyaan terkait
dengan hasil diskusi yang sudah dilakukan
Fase Terminasi:
a. Evaluasi:
1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi I
2) Menanyakan perasaan keluarga setelah selesai sesi I
3) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama dan kemampuan
keluarga dalam menyampaikan apa yang dirasakan
b. Tindak lanjut:
1) Menganjurkan keluarga untuk menyampaikan dan mendiskusikan pada
anggota keluarga yang lain tentang masalah yang dihadapi keluarga dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga dengan gangguan jiwa
c. Kontrak:
1) Menyepakati topik sesi 2 yaitu menyampaikan tentang gangguan jiwa dan
cara merawat klien gangguan jiwa
2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya
2.1.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan
keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan kegiatan secara
keseluruhan.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format EvaluasiSesi I Psikoedukasi Keluarga : Pengkajian Masalah Keluarga
Tanggal :
No KegiatanAnggota keluarga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyepakati kontrak kegiatan3 Menyampaikan masalah yang dialami
(masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan perubahan yang dialami dalam keluarga)
4 Aktif dalam diskusi
2. Dokumentasi Kemampuan
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga yaitu masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan masalah
yang dialami selama merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa dan
perubahan– perubahan yang terjadi dalam keluarga.
Format DokumentasiSesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga
(caregiver)
Tanggal:
NoMasalah pribadi dalam
merawat Masalah yang muncul karena anggota
keluarga sakitKeinginan Harapan
1.
2.
3.
Format DokumentasiSesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga
(anggota keluarga lain)
Tanggal:
No
Nama anggota keluarga Masalah pribadi
dalam merawat Masalah yang muncul karena
anggota keluarga sakitKeinginan Harapan
1.
2.
3.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.2 Sesi II: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
Sesi II ini berfokus pada edukasi mengenai masalah yang dialami oleh klien. Edukasi yang
diberikan kepada keluarga terkait dengan diagnosa medis dan diagnosa keperawatan yang
dialami klien. Edukasi pada sesi II ini disesuaikan dengan SAK keluarga yang telah
dikembangkan pada untuk intervensi generalis. Intervensi yang diberikan pada sesi II ini
didasarkan dengan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien.
Bellack dan Mueser (1993 dalam Fortinash & Worret, 2004) menyatakan bahwa intervensi
dengan memberikan edukasi pada keluarga dapat membantu keluarga menghadapi stressor
karena klien sakit, yang berefek positif pada kondisi klien. Townsend (2009) menyatakan
dampak positif program psikoedukasional secara tidak langsung pada klien yaitu bahwa
dengan memberikan informasi mengenai penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran
mengenai koping yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan
menurunkan kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota keluarga
yang lain.
2.2.1 Tujuan sesi II:
1. Keluarga mengetahui tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien
2. Keluarga mengetahui tentang pengertian, gejala, etiologi, prognosis, intervensi dan
terapi yang dapat diberikan kepada klien gangguan jiwa
3. Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah
4. Keluarga mampu memperagakan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di
rumah
2.2.2 Setting
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman
2.2.3 Alat
Leaflet/lembar balik, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi)
2.2.4 Metoda
Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab
2.2.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2. Pelaksanaan
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik: salam dari terapis.
b. Evaluasi: menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah
keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya
tentang masalah yang dialami oleh anggota keluarga yang lain.
c. Kontrak: menyepakati waktu dan lama sesi.
Fase Kerja
a. Mendiskusikan tentang gangguan jiwa yang dialami oleh salah satu anggota
keluarga (misalnya: perilaku kekerasan, halusinasi).
1) Anggota keluarga menyampaikan pengalamannya selama ini
2) Memberi kesempatan anggota keluarga lain untuk memberi pendapat
b. Menyampaikan tentang konsep gangguan jiwa meliputi pengertian, penyebab,
tanda, prognosis, intervensi dan terapi.
1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka
2) Memberi kesempatan kepada keluarga untuk bertanya
c. Mendiskusikan cara merawat klien dengan gangguan jiwa yang selama ini
dilakukan oleh keluarga.
d. Mendemonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan jiwa, misalnya
klien dengan halusinasi atau perilaku kekerasan.
1) Meminta keluarga untuk mendemonstrasikan kembali salah satu cara
merawat klien dengan gangguan jiwa, misalnya halusinasi.
2) Memberi masukan terhadap hal–hal yang perlu ditingkatkan oleh
keluarga.
3) Memberi kesempatan anggota keluarga lain untuk memperagakan cara
merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi II selesai
2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b. Tindak lanjut: menganjurkan keluarga untuk menyampaikan tentang materi
gangguan jiwa yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain
c. Kontrak: menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk
pertemuan berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.2.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan
keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
Format EvaluasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
No Kegiatan Anggota keluarga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan pengertian gangguan jiwa 3 Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami
anggota keluarga4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara
merawat klien5 Aktif dalam diskusi
2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga yaitu tentang gangguan jiwa yang dialami oleh anggota keluarga.
Format DokumentasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
No Masalah yg dialami klien Cara mengatasi masalah1
2
3
2.3 Sesi III: Manajemen Stress Keluarga
Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu
dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk menghadapi
keinginan-keinginan tersebut (Townsend, 2009). Stressor adalah keinginan dari lingkungan
internal atau eksternal individu yang meningkatkan respon fisiologis dan/atau psikologis
seseorang. Kondisi klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor tersendiri bagi
keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan koping yang baik.
Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan manajemen stress yang tepat.
Manajemen stress adalah berbagai metode yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi
tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup; termasuk latihan relaksasi,
latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain yang berhasil pada individu
tersebut.
Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu mengatasi masalah masing-masing individu
keluarga yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada caregiver yang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini, terapis mengajarkan cara-cara
memanajemen stress pada seluruh anggota keluarga, terutama caregiver.
2.3.1 Tujuan sesi III:
1. Keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang stres
yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam
keluarga
2. Keluarga mendapatkan informasi tentang cara mengatasi stres yang dialami akibat
salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga
3. Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stres
4. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stres
2.3.2 Setting
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman.
2.3.3 Alat
Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi), alat bantu disesuaikan dengan teknik manajemen stress yang dipilih.
2.3.4 Metode
Ceramah, diskusi, curah pendapat, role play (bermain peran) dan tanya jawab.
2.3.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. Pelaksanaan
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik: salam dari terapis
b. Validasi: menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah
keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, yaitu tentang
materi gangguan jiwa dan cara merawat klien di rumah
c. Kontrak: menyepakati lama waktu terapi (sesi) serta materi yang akan
disampaikan
Fase Kerja
Menanyakan pada keluarga terkait stres yang mereka alami dengan adanya klien
gangguan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
a. Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka
b. Memberikan pujian/penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/perasaannya
c. Menjelaskan tentang stres yang dialami keluarga akibat salah satu anggota
mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan leaflet
d. Meminta anggota keluarga mengidentifikasi tanda dan gejala serta cara
mengurangi stres sesuai dengan penjelasan terapis
e. Mendemontrasikan cara mengurangi stres yang dialami oleh anggota keluarga
f. Meminta anggota keluarga untuk mendemontrasikan kembali cara mengurangi
stres yang telah diajarkan
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi III selesai
2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b. Tindak lanjut: menganjurkan keluarga untuk berlatih cara mengurangi stres.
c. Kontrak: menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk
pertemuan berikutnya.
2.3.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan
keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
Format EvaluasiSesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga
No Kegiatan Anggota keluarga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan tanda-tanda stres yang dialami
keluarga3 Menyebutkan cara mengatasi stress dalam
merawat klien gangguan jiwa 4 Memperagakan cara mengatasi stres yang telah
diajarkan5 Aktif dalam diskusi
2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga, yaitu cara mengatasi stres dalam merawat anggota keluarga dengan
gangguan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format DokumentasiSesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga
(caregiver)
No Tanda-tanda stres yang dialami caregiverCara mengatasi
stres yang dapat digunakan123
Format DokumentasiSesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga
(anggota keluarga lain)
NoNama anggota
keluargaTanda-tanda stres yang dialami anggota
keluargaCara mengatasi
stres yang dapat digunakan123
2.4 Sesi IV: Manajemen Beban Keluarga
Pada sesi IV ini terapis bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan
mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah bersama-
sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari seluruh anggota keluarga untuk
memecahkan masalah yang dirasakan keluarga.
Family psychoeducation telah terbukti dapat memperbaiki gejala umum penyakit dan
mengatasi penolakan dan beban yang dirasakan keluarga. Pengaruh dari adanya anggota
keluarga dengan gangguan mental sering disebut dengan beban keluarga (Stuart, 2009).
Sebuah survey mengenai caregiver di keluarga menunjukkan bahwa beban yang paling besar
dirasakan adalah mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya konsentrasi, terganggunya
rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena merasa apa yang dilakukan tidak cukup baik,
merasa terperangkap di rumah, dan merasa sedih karena perubahan pada anggota keluarga
(Rose et al., 2006 dalam Stuart, 2009).
Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan perilaku klien,
penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan dukungan, dan biaya yang
dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah perasaan terbebani yang dirasakan oleh
seseorang; bersifat individual dan tidak selalu berhubungan dengan bagian dari beban
objektif. Dengan mengkaji beban keluarga perawat dapat bekerja sama dengan keluarga untuk
mengidentifikasi dalam hal mana keluarga memerlukan bantuan (Stuart, 2009).
2.4.1 Tujuan Sesi IV:
1. Keluarga mengenal beban subjektif maupun objektif yang dialami keluarga akibat
adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
2. Keluarga mengetahui cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota
keluarga yang menderita gangguan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
3. Keluarga mampu menjelaskan cara mengatasi beban yang telah diajarkan oleh
terapis.
4. Semua anggota keluarga menyepakati cara mengatasi beban keluarga dan perannya
masing-masing dalam mengatasi beban keluarga.
2.4.2 Setting
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman
2.4.3 Alat
Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi)
2.4.4 Metode
Ceramah, diskusi, curah pendapat, roleplay dan tanya jawab
2.4.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. Pelaksanaan
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik: salam dari terapis.
b. Evaluasi: menanyakan penerapan cara mengatasi stres yang sudah dilakukan
keluarga di rumah sesuai dengan yang diajarkan pada sesi sebelumnya dan
hasil yang dirasakan.
c. Kontrak: menyepakati kontrak waktu dan topik yang akan disampaikan yaitu
tentang beban keluarga.
Fase Kerja
a. Menanyakan apa yang dirasakan anggota keluarga tentang beban objektif
maupun subjektif yang dialami keluarga akibat adanya anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa.
1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka
2) Memberikan kesempatan anggota keluarga lain untuk memberi tanggapan
3) Memberikan pujian dan penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/perasaannya
b. Menanyakan pendapat anggota keluarga tentang cara mengatasi beban yang
sudah dilakukan dengan adanya anggota keluarga yang menderita gangguan
jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
c. Menjelaskan macam-macam beban keluarga dan cara mengatasi beban yang
dialami keluarga karena adanya anggota keluarga yang menderita gangguan
jiwa dengan menggunakan leaflet.
d. Meminta anggota keluarga untuk mengulangi menyebutkan macam-macam
beban keluarga dan cara mengatasi beban yang dirasakan keluarga akibat
adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sesuai dengan
penjelasan terapis.
e. Terapis mendemonstrasikan satu cara untuk mengatasi beban yang dipilih oleh
keluarga.
f. Memberi kesempatan anggota keluarga untuk mendemonstrasikan ulang.
g. Memberikan pujian atas partisipasi anggota keluarga selama pelaksanaan
terapi.
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi IV selesai
2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama keluarga
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan keluarga untuk menerapkan cara mengatasi beban yang
telah diajarkan.
c. Kontrak: menyepakati waktu, tempat dan topik pertemuan berikutnya
2.4.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan
keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
Format EvaluasiSesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban Keluarga
No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan tanda-tanda dan cara mengatasi
beban dalam merawat klien gangguan jiwa 3 Memperagakan cara untuk mengatasi beban
keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa 4 Aktif dalam diskusi
2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga, yaitu cara mengatasi beban keluarga serta demonstrasi cara
mengatasi beban keluarga.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format DokumentasiSesi IV Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Beban Keluarga
No Nama anggota keluarga Beban keluarga Cara mengatasi beban123
2.5 Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga
Pada sesi V ini, akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar keluarga, yaitu
di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga dengan klien gangguan jiwa.
Keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa seringkali merasa malu, merasa
dikucilkan dan merasa sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya
ada dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota keluarga dengan
gangguan jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota keluarga yang sakit
menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua aspek dari beban subjektif
dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial. Keluarga seperti ini memerlukan
bantuan untuk membangun kembali dukungan sosialnya (Stuart, 2009).
Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan
gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran
pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan
dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan
kesehatan mental.
2.5.1 Tujuan Sesi V:
1. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa di
rumah.
2. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga
kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi.
3. Keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari puskesmas tentang sistem
rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk
pembentukan Self Help Group.
2.5.2 Setting
Peserta (keluarga), terapis dan tenaga kesehatan dari puskesmas duduk berhadapan
dengan posisi melingkar.
2.5.3 Alat
Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.5.4 Metoda
Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab
2.5.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. Pelaksanaan
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik: salam terapeutik dari terapis
b. Evaluasi: mengevaluasi hasil keluarga dalam menerapkan cara untuk
mengatasi beban pada keluarga
c. Kontrak: menyampaikan topik pada sesi ini yaitu tentang pemberdayaan
komunitas.
Fase Kerja
a. Menanyakan hambatan yang dirasakan selama merawat klien gangguan jiwa
di rumah
1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan
pendapat
2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi
b. Menanyakan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan selama
ini
1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan
pendapat
2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi
c. Menjelaskan kepada keluarga bagaimana seharusnya hubungan keluarga
dengan tenaga kesehatan
d. Menjelaskan kepada keluarga bagaimana cara mengatasi hambatan dalam
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan
e. Memberi kesempatan keluarga untuk berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari
Puskesmas (atau yang mewakili) tentang sistem rujukan, advokasi hak-hak
klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk pembentukan Self Help
Group.
1) Masing – masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan
pendapat
2) Memberikan kesempatan pada keluarga untuk bertanya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
3) Memfasilitasi dialog antara keluarga dengan pihak Puskesmas
4) Menyimpulkan hasil diskusi
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi V selesai
2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan keluarga untuk tetap menerapkan apa yang telah dilakukan
selama terapi yaitu merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah,
menyarankan keluarga untuk memanfaatkan sistem rujukan yang telah
ada, menjalankan kelompok swabantu yang akan difasilitasi oleh pihak
puskesmas dan disepakati oleh keluarga
c. Terminasi akhir yaitu menyerahkan kelompok pada pihak puskesmas
2.5.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan
keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan
Format EvaluasiSesi V Psikoedukasi Keluarga: Pemberdayaan Komunitas
Membantu KeluargaNo Kegiatan Anggota keluarga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 Hadir dalam terapi2 Menyampaikan hambatan yang dialami
dalam merawat klien gangguan jiwa 3 Menyampaikan hambatan yang dialami
dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan
4 Menyebutkan cara mengatasi hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa dan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan
5 Mengetahui sistem rujukan6 Menyepakati adanya kelompok swabantu
yang akan difasilitasi oleh Puskesmas7 Aktif dalam diskusi
2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga, yaitu hambatan yang dialami dalam merawat klien dan dalam
berhubungan dengan tenaga kesehatan, menyebutkan cara mengatasi hambatan dan
kesepakatan keluarga untuk pembentukan Self Help Group yang akan difasilitasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
oleh Puskesmas.
Format DokumentasiSesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas
Membantu Keluarga
NoNama
KeluargaHambatan dalam merawat klien & dalam
berhubungan dengan tenaga kesehatanMenyebutkan cara
mengatasi hambatan12345678910
BAB III
PENUTUP
Keluarga adalah unit terdekat dengan klien yang akan terpengaruh karena kondisi sakit klien, baik
masalah dalam aspek psikososial maupun gangguan jiwa. Keluarga juga merupakan bagian
terkecil dari masyarakat yang berperan dalam meningkatkan kesehatan keluarganya untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal baik fisik maupun mental. Karena itu intervensi
keperawatan perlu mempertimbangkan keluarga sebagai sasaran intervensi.
Family Psychoeducation adalah terapi spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan
anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa.
Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan klien karena keluarga yang akan
merawat klien di rumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan
gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka panjang. Karena itu diperlukan pengetahuan
dan kemampuan mengatasi masalah yang baik, agar walaupun salah satu anggota keluarga
mengalami gangguan jiwa, keseimbangan keluarga tetap terjaga.
Terapi ini dapat memberikan dampak positif kepada keluarga dan secara tidak langsung kepada
klien. Bagi keluarga, dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakit yang dialami klien,
meningkatkan kemampuan merawat klien, memperbaiki koping keluarga, dan meningkatkan
kemampuan mengatasi masalah karena kondisi sakit klien. Bagi klien, akan mendapatkan
perawatan yang optimal oleh keluarga, mendapatkan dukungan yang adekuat dari keluarga dan
secara tidak langsung dapat meningkatkan kemandirian dan menurunkan kekambuhan pada klien.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Chang & Johnson. (2008). Chronic illness & disability: Principles for nursing practice. Australia: Elsevier Australia.
Fortinash, K.M & Worret, P.A.H. (2004). Psychiatric mental health nursing (3rd ed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
NAMI. www.nami.org. Februari 24, 2012.
NIMH. www.nimh.nih.gov, Februari 24, 2012.
Sari, Hasmila. (2009). Modul panduan family psychoeducation therapy. Depok: FIK UI.
Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing (9th ed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6th ed). Philadelphia: F.A. Davis Company.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BUKU KERJAPSIKOEDUKASI KELUARGA
DENGAN KLIEN SCHIZOPHRENIA
Oleh :
Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.
Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
Lampiran 12
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
IDENTITAS KELUARGA
Nama klien :
Nama anggota keluarga :
-
-
-
-
Alamat :
FAMILY PSYCHOEDUCATION (PSIKOEDUKASI
KELUARGA) DENGAN KLIEN SCHIZOPHRENIA
Family Psychoeducation adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk
diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Keluarga menjadi unit
penting yang mempengaruhi kesehatan klien karena keluarga yang akan merawat
klien di rumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan
gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka panjang. Karena itu
diperlukan pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah yang baik, agar
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
walaupun salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, keseimbangan
keluarga tetap terjaga.
Terapi ini dilakukan dalam 5 sesi yaitu:
Sesi 1 : Identifikasi masalah keluarga
Sesi 2 : Cara merawat klien dengan gangguan jiwa
Sesi 3 : Manajemen stress keluarga
Sesi 4 : Manajemen beban keluarga
Sesi 5 : Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga
Setiap sesi dilakukan selama 45-60 menit. Setiap sesi tidak terbatas untuk
dilakukan dalam satu pertemuan. Penjelasan untuk setiap sesi akan dibahas
selanjutnya.
SESI I: PENGKAJIAN MASALAH KELUARGA
Sesi pertama dilakukan untuk menemukan masalah yang ada pada keluarga. Pada
sesi ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul
di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa. Tindakan ini mengikutsertakan
seluruh anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien,
terutama caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa
bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung, dan
pasangan.
Tujuan sesi I:
5. Peserta dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga
6. Peserta mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga
7. Peserta mendapat kesempatan untuk menyampaikan pengalamannya dalam
merawat klien dengan gangguan jiwa (masalah karena klien sakit dan masalah
pribadi yang dirasakan karena merawat)
8. Peserta dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti
program psikoedukasi keluarga
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI I. PENGKAJIAN MASALAH KELUARGA
Format DokumentasiSesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga
(caregiver)
NoMasalah pribadi dalam
merawat Masalah yang muncul karena
anggota keluarga sakitKeinginan / Harapan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format DokumentasiSesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga
(anggota keluarga lain)
NoNama anggota
keluargaMasalah pribadi dalam
merawat Masalah yang muncul karena
anggota keluarga sakitKeinginan/
Harapan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI II: CARA MERAWAT KLIEN GANGGUAN JIWA
Sesi II ini berfokus untuk membahas mengenai masalah yang dialami oleh klien.
Keluarga akan berbagi cara merawat klien yang selama ini dilakukan dan
kemudian membahas bersama-sama perawat mengenai cara merawat yang baik.
Keluarga kemudian dilatih oleh perawat untuk melakukan perawatan langsung
pada klien.
Psikoedukasi keluarga ini terbukti berdampak positif pada klien. Dampak positif
dari program psikoedukasional yaitu bahwa dengan memberikan informasi
mengenai penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran mengenai koping
yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan menurunkan
kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota keluarga yang
lain.
Tujuan sesi II:
5. Keluarga mengetahui tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien
6. Keluarga mengetahui tentang pengertian, gejala, etiologi, prognosis, intervensi
dan terapi yang dapat diberikan kepada klien gangguan jiwa
7. Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah
8. Keluarga mampu memperagakan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di
rumah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI II: CARA MERAWAT KLIEN GANGGUAN JIWA
Format DokumentasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
No Masalah yg dialami klien Cara mengatasi masalah1
2
3
4
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI III: CARA MENGATASI STRESS KELUARGA(Manajemen Stress Keluarga)
Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan
individu dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk
menghadapi keinginan-keinginan tersebut. Stressor adalah semua hal yang dapat
menyebabkan stress. Kondisi klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor
tersendiri bagi keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan
koping yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan
manajemen stress yang tepat.
Manajemen stress adalah berbagai cara yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi
tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup. Cara tersebut antara lain
dengan latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain
yang berhasil pada individu tersebut.
Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu mengatasi masalah masing-masing
individu keluarga yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada
caregiver yang setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini, perawat
mengajarkan cara-cara manajemen stress pada seluruh anggota keluarga, terutama
caregiver.
Tujuan sesi III:
5. Keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang stres
yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga
6. Keluarga mendapatkan informasi tentang cara mengatasi stres yang dialami akibat
salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga
7. Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stres
8. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stres
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI III: CARA MENGATASI STRESS KELUARGA(Manajemen Stress Keluarga)
Format DokumentasiSesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga
(caregiver)
No Tanda-tanda stres yang dialami caregiverCara mengatasi
stres yang dapat digunakan1
2
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format DokumentasiSesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga
(anggota keluarga lain)
NoNama anggota
keluargaTanda-tanda stres yang dialami
anggota keluargaCara mengatasi
stres yang dapat digunakan1
2
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI IV: CARA MENGATASI BEBAN KELUARGA
(Manajemen Beban Keluarga)
Pada sesi IV ini perawat bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga,
membicarakan mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari
pemecahan masalah bersama-sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari
seluruh anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga.
Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan
perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan
dukungan, dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah
perasaan terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan tidak
selalu berhubungan dengan bagian dari beban objektif.
Tujuan Sesi IV:
5. Keluarga mengenal beban subjektif maupun objektif yang dialami keluarga
akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
6. Keluarga mengetahui cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya
anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
7. Keluarga mampu menjelaskan cara mengatasi beban yang telah diajarkan oleh
perawat.
8. Semua anggota keluarga menyepakati cara mengatasi beban keluarga dan
perannya masing-masing dalam mengatasi beban keluarga.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI IV: CARA MENGATASI BEBAN KELUARGA
(Manajemen Beban Keluarga)
Format DokumentasiSesi IV Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Beban Keluarga
No Beban keluarga Cara mengatasi beban1
2
3
4
5
6
7
8
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI V: CARA MENGATASI HAMBATAN DENGAN MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS
(Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga)
Pada sesi V ini, akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar keluarga,
yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga dengan klien gangguan
jiwa. Keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa seringkali merasa malu,
merasa dikucilkan dan merasa sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang
sebelumnya ada dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota
keluarga dengan gangguan jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota
keluarga yang sakit menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua
aspek dari beban subjektif dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial. Keluarga
seperti ini memerlukan bantuan untuk membangun kembali dukungan sosialnya (Stuart,
2009).
Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan
gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran
pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan
dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan
kesehatan mental.
Tujuan Sesi V:
4. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa di
rumah.
5. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga
kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi.
6. Keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari puskesmas tentang sistem
rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk
pembentukan Self Help Group.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI V: CARA MENGATASI HAMBATAN DENGAN MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS
(Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga)
Format DokumentasiSesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga
NoHambatan dalam merawat klien & dalam
berhubungan dengan tenaga kesehatanMenyebutkan cara mengatasi hambatan
1
2
3
4
5
6
7
8
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
CATATAN HARIANKU
(Caregiver)
Tanggal No Cara yang digunakan Hasil
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
CATATAN HARIANKU(Anggota keluarga lain)
Tanggal No Cara yang digunakan Hasil
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BUKU EVALUASI / RAPPORT
Klien schizophrenia
(Pegangan kader)
Disusun oleh :
Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.
Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
Lampiran 13
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
IDENTITAS PMO
Nama :
Alamat :
Telepon :
Jumlah Klien binaan :
Klien binaan :
-
-
-
-
-
-
-
-
1. Evaluasi keteraturan berobat2. Evaluasi kegiatan sehari-hari (living skill assessment)3. Evaluasi penurunan gejala4. Evaluasi kemampuan sosialisasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Klien 1Nama : …….. Usia : ……. tahunAlamat : ……………
EVALUASI KEPATUHAN BEROBAT
No PerilakuPertemuan ke-
I II III IV V VI VII VIII IX X1 Meminum obat sesuai jadwal2 Meminum obat sesuai dosis
3Tidak pernah terlewat waktu meminum obat
4Terus meminum obat walaupun merasa baikan
5Bertanya pada tenaga kesehatan jika efek obat dirasakan mengganggu
6Menyatakan obat membuat klien lebih baik
Keterangan :- Tuliskan tanggal pertemuan di kolom pertemuan ke-.- Beri tanda checklist pada kolom pertemuan, untuk perilaku yang sudah
dilakukan klien- Identifikasi perilaku lain yang menunjukkan kepatuhan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Catatan Kader :
NoHari,
TanggalJam Catatan
1 - Klien/pasien:- Keluarga :- Jumlah Obat :
HaloperidolTrihexyphenidylChlorpomazide
TTD2
3
4
5
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
EVALUASI KEGIATAN SEHARI-HARI (LIVING SKILL ASSESSMENT)
No Kegiatan sehari-hariPertemuan ke-
I II III IV V VI VII VIII IX XFisik1 Perawatan diri : mandi
Perawatan diri : makan dan minumPerawatan diri : berdandanPerawatan diri : BAB dan BAK
2 Olah raga fisik
3Menggunakan transportasi umum
4 Memasak5 Belanja6 Membersihkan rumah7 Partisipasi dalam olah raga
8Menggunakan fasilitas rekreasional
9 BeribadahEmosional1 Hubungan antar manusia 2 Kontrol diri 3 Penghargaan diri4 Mengurangi stigma5 Pemecahan masalah
6Kemampuan berbincang-bincang
Intelektual1 Mengatur keuangan2 Menetapkan tujuan3 Pengembangan masalah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
EVALUASI PENURUNAN GEJALA
No Kegiatan sehari-hariPertemuan ke-
I II III IV V VI VII VIII IX XGejala positif1 Waham2 Halusinasi3 Tidak nyambung (inkoheren)4 Bicara berputar-putar 5 Sedikit bicara6 Bicara mudah beralih7 Diam kaku8 Gangguan pergerakan
Gejala negatif1 Afek datar2 Hilang minat 3 Tidak mau bersosialisasi
4Pikiran dan pembicaraan terbatas
5Kurang inisiatif dalam mencapai tujuan
6 Sulit fokus7 Sedikit bicara8 Diam kaku
EVALUASI KEMAMPUAN SOSIALISASI
No Kemampuan sosialisasiPertemuan ke-
I II III IV V VI VII VIII IX X1 Berkomunikasi sesuai (koheren)2 Memiliki keinginan dan minat3 Tidak mengalami paranoid
4Minat cukup baik pada kegiatan-kegiatan rekreasional
5 Mampu memulai pembicaraan
6Mampu memperkenalkan diri pada orang lain
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BUKU EVALUASI
‘PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN
PERAN PENGAWAS MINUM OBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI
KERSAMANAH GARUT’
Oleh :
Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.
Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
Lampiran 14
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
Nama
IDENTITAS KELUARGA
Nama Klien :
Alamat :
Nama caregiver :
Nama anggota keluarga :
- …………..
- …………
- ………….
- ………….
- ………….
- ………….
Nama kader :
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pertemuan 1
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 1 pasienImplementasi Evaluasi
Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga
Tanggal :
No KegiatanAnggota keluarga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 Hadir dalam terapi2 Menyepakati kontrak kegiatan3 Menyampaikan masalah yang dialami (masalah
pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan perubahan yang dialami dalam keluarga)
4 Aktif dalam diskusi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
Format EvaluasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan pengertian gangguan jiwa3 Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami
anggota keluarga4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara
merawat klien5 Aktif dalam diskusi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi Kinerja Kader
Tanggal :
No Aspek yang dinilaiPenilaian
Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pertemuan 2
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 2 pasienImplementasi Evaluasi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
Format EvaluasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan pengertian gangguan jiwa3 Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami
anggota keluarga4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara
merawat klien5 Aktif dalam diskusi
Evaluasi Kinerja Kader
Tanggal :
No Aspek yang dinilaiPenilaian
Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pertemuan 3
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 3 pasienImplementasi Evaluasi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
Format EvaluasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan pengertian gangguan jiwa3 Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami
anggota keluarga4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara
merawat klien5 Aktif dalam diskusi
Sesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga
Format EvaluasiSesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga
No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan tanda-tanda stres yang dialami
keluarga3 Menyebutkan cara mengatasi stress dalam
merawat klien gangguan jiwa4 Memperagakan cara mengatasi stres yang telah
diajarkan5 Aktif dalam diskusi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi Kinerja Kader
Tanggal :
No Aspek yang dinilaiPenilaian
Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pertemuan 4
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 4 pasienImplementasi Evaluasi
Sesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban KeluargaFormat Evaluasi
Sesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban KeluargaNo Kegiatan Anggota keluarga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan tanda-tanda dan cara mengatasi
beban dalam merawat klien gangguan jiwa3 Memperagakan cara untuk mengatasi beban
keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa4 Aktif dalam diskusi
Evaluasi Kinerja Kader
Tanggal :
No Aspek yang dinilaiPenilaian
Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pertemuan 5
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 5 pasienImplementasi Evaluasi
Sesi V Psikoedukasi Keluarga: Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga
No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi2 Menyampaikan hambatan yang dialami dalam
merawat klien gangguan jiwa3 Menyampaikan hambatan yang dialami dalam
berhubungan dengan tenaga kesehatan4 Menyebutkan cara mengatasi hambatan dalam
merawat klien gangguan jiwa dan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan
5 Mengetahui sistem rujukan6 Menyepakati adanya kelompok swabantu yang
akan difasilitasi oleh Puskesmas7 Aktif dalam diskusi
Evaluasi Kinerja Kader
Tanggal :
No Aspek yang dinilaiPenilaian
Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
PEDOMAN PEMBEKALAN KADER
Disusun oleh :
Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.
Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
Lampiran 15
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang besar penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah berkenan memberi petunjuk dan kekuatan kepada penyusun sehingga buku
pedoman kader untuk peran Pengawas Minum Obat (PMO) pada klien
schizophrenia ini dapat diselesaikan.
Buku pedoman ini adalah panduan untuk menjalankan peran PMO pada klien
dengan schizophrenia. Peran ini dapat dilakukan oleh kader, keluarga atau tenaga
kesehatan lain yang dipercaya oleh klien. Peran PMO ini dimaksudkan untuk
menjamin kemandirian, keteraturan berobat, sosialisasi dan pemantauan gejala
klien schizophrenia. Modul ini berisi panduan dalam menjalankan peran PMO
dan materi-materi lain yang dapat menjadi bekal bagi seorang PMO
schizophrenia.
Penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof. DR. Budi Anna Keliat,
S.Kp., M.App.Sc., yang telah mengarahkan pembuatan buku pedoman ini dan
kepada berbagai pihak yang telah turut membantu tersusunnya buku panduan ini.
Penyusun sangat mengharapkan masukan yang membangun untuk
mengembangkan buku pedoman ini lebih lanjut. Dan penyusun berharap buku
pedoman ini dapat digunakan secara luas oleh keluarga klien atau kader untuk
mengawasi pengobatan klien dengan schizophrenia.
Depok, April 2012
Penyusun
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR ISI
Halaman sampul i
Kata pengantar ii
Daftar isi iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Manfaat 2
Bab II Pelaksanaan Peran Pengawas Minum Obat
2.1 Pengawas minum obat 3
2.2 Kepatuhan berobat 4
2.3 Obat-obatan untuk klien schizophrenia 5
2.4 Pelaksanaan peran PMO 5
Bab III Penutup 7
Daftar pustaka 8
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Latar Belakang
Klien dengan schizophrenia, memerlukan pengobatan jangka panjang dan
kontrol rutin. Dalam kenyataannya, seringkali klien merasa bosan, merasa
obat tidak bermanfaat, merasa obat memperburuk kondisinya atau merasa
sudah tidak memerlukan obat lagi. Kondisi ini mempengaruhi kepatuhan klien
dalam berobat. Akibatnya kondisi klien kembali memburuk dan sering terjadi
rawat ulang pada klien dengan schizophrenia.
Kepatuhan adalah perilaku klien mengikuti saran dari tenaga kesehatan. Salah
satunya adalah kepatuhan berobat, di mana klien mengikuti instruksi dokter
dalam berobat. Ketidakpatuhan klien dalam berobat dapat dipengaruhi oleh
faktor individu, faktor budaya, dan faktor kepercayaan pada tenaga medis.
Klien dengan schizophrenia adalah seseorang yang mengalami gangguan
dalam membedakan antara realita dengan dunia khayal nya. Klien
schizophrenia seringkali bingung dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari,
termasuk berobat. Oleh karena itu, klien schizophrenia memerlukan
pengawasan dalam meminum obat.
Pengawasan dalam berobat telah dikembangkan untuk penyakit tuberculosis
dengan adanya istilah PMO (Pengawas Minum Obat). PMO bertugas untuk
menjamin keteraturan berobat klien. PMO dikembangkan pada penyakit
tuberculosis mengingat pengobatan jangka panjang yang perlu dijalani oleh
klien tuberculosis. Begitu pula dengan klien schizophrenia, klien dengan
schizophrenia memerlukan waktu jangka panjang untuk berobat. Selain itu,
kejadian putus obat juga sering terjadi pada klien schizophrenia yang
menyebabkan tingginya angka kekambuhan. Karena itu, pengembangan peran
PMO pada klien dengan schizophrenia perlu dikembangkan.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
PMO sendiri dapat dilakukan oleh keluarga, masyarakat atau kader, atau
tenaga kesehatan yang dipercaya oleh klien sehingga dapat meningkatkan
kepatuhannya dalam berobat. Buku panduan ini berisi mengenai hal-hal yang
perlu diketahui oleh seorang PMO untuk menjalankan perannya.
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan potensi
pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar mereka mampu
mengontrol diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan mereka sendiri
(Helvie, 1998 dalam Keliat, 2010). Seorang kader akan mampu melakukan
kegiatan apabila kader tersebut telah diberikan pembekalan sejak awal.
Metode yang dipakai dalam mengembangkan kader kesehatan jiwa sebaiknya
teratur, sistematis, dan rasional (Keliat, 2010).
Dalam penelitian ini akan diberdayakan kader untuk melakukan kunjungan
rumah dan melakukan pengawasan kepada klien yaitu dalam kepatuhan
berobat, kemandirian aktivitas sehari-hari, penurunan gejala, dan sosialisasi
klien. Kader yang telah terbentuk di setiap desa di Kecamatan Kersamanah
Kabupaten Garut terdiri dari 5-6 orang di masing-masing desa, dan beberapa
di antaranya adalah keluarga dari klien gangguan jiwa. Kader yang terbentuk
tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan-pelatihan sesuai standar
CMHN.
Sebelum kader melakukan kunjungan kepada klien, maka kader perlu
diberikan pembekalan agar dalam pelaksanaan perannya, kader dapat
membantu mensukseskan program pengawasan sesuai dengan pedoman yang
telah dibuat. Dengan latar belakang ini, maka peneliti merasa perlu dilakukan
pembekalan kader mengenai pengawasan terutama pengawasan minum obat
klien schizophrenia.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
1.5 Tujuan
Tujuan dilakukannya kegiatan pembekalan kader ini adalah untuk melatih dan
menyamakan persepsi kader dalam menjalankan peran Pengawas Minum
Obat.
1.6 Manfaat
Kegiatan pembekalan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.3.1 Kader
Memiliki kemampuan mengawasi keteraturan berobat, sosialisasi,
penurunan gejala dan kemandirian klien
1.3.2 Klien
Mendapatkan pelayanan yang intensif dari tenaga kesehatan yang
diwakili oleh kader
1.3.3 Puskesmas
Membantu mensukseskan program puskesmas untuk menurunkan angka
schizophrenia di Kersamanah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB IIPERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO)
2.1 Pengawas Minum Obat
PMO atau Pengawas Minum Obat adalah seseorang yang mengawasi dan
menjamin keteraturan klien minum obat. Berikut ini adalah standar PMO yang
dikembangkan untuk klien tuberculosis.
2.1.1 Persyaratan Pengawas Minum Obat
Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO adalah sebagai
berikut:
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati
oleh pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien.
5. Memahami tanda dan gejala penyakit termasuk cara penularan,
pengobatan dan perawatannya
(Nazir, 2010).
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat
lainnya atau anggota keluarga.
2.1.2 Tugas Seorang Pengawas Minum Obat
Tugas seorang PMO adalah:
1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
ditentukan.
4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke petugas kesehatan terdekat.
5. Membantu atau mendampingi penderita dalam pengambilan obat di
pelayanan kesehatan terdekat.
6. Membantu petugas kesehatan dalam rangka memantau
perkembangan penyakit tuberkulosis di desanya.
Point 1 sampai 4 adalah tugas pokok PMO yang ditetapkan depkes.
Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan PMO juga berperan melakukan
hal-hal lain berkaitan dengan pasien TB dan petugas kesehatan seperti
pada poin 5 dan 6 di atas (Nazir, 2010).
2.2 Kepatuhan berobat
Kepatuhan dapat didefinisikan pula sebagai kemampuan dan kemauan
seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon &
Feist, 2010). Definisi ini meluas dari pengobatan menjadi mempertahankan
pola hidup sehat seperti melakukan perawatan sesuai, melakukan olahraga
cukup, menghindari stress berkepanjangan, tidak merokok, dan tidak
menggunakan alkohol. Selanjutnya kepatuhan juga termasuk menjadwalkan
pemeriksaan kesehatan atau pemeriksaan gigi secara teratur, menggunakan
sabuk pengaman, dan melakukan perilaku lain yang sesuai dengan saran
kesehatan terbaik yang tersedia.
Ketidakpatuhan berobat menunjukkan perilaku individu dan/atau pemberi
asuhan yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan atau terapeutik
yang ditetapkan oleh individu (dan/atau keluarga dan/atau komunitas) serta
profesional pelayanan kesehatan. Perilaku pemberi asuhan atau individu yang
tidak mematuhi ketetapan, rencana promosi kesehatan atau terapeutik secara
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
keseluruhan atau sebagian dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif
secara klinis atau sebagian tidak efektif (NANDA, 2010).
Tingkat kepatuhan tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa teknik
telah digunakan oleh para peneliti dan mampu memberikan gambaran
mengenai ketidakpatuhan. Ada enam hal dasar yang dapat digunakan dalam
mengukur kepatuhan, yaitu: (1) bertanya kepada praktisi kesehatan, (2)
bertanya kepada pasien, (3) bertanya kepada orang lain, (4) memantau
penggunaan obat, (5) pemeriksaan biokimia, dan (6) menggunakan kombinasi
dari cara-cara tersebut (Brannon & Feist, 2010).
2.3 Obat-obatan untuk klien schizophrenia
1. Haloperidol
Adalah obat antipsikotik atipikal yang efektif untuk mengatasi
hiperaktivitas, agitasi dan mania. Haloperidol digunakan untuk manifestasi
psikosis akut dan kronis, termasuk schizophrenia dan kondisi manik.
2. Trihexyphenidyl
Trihexyphenidyl digunakan untuk mengatasi gejala penyakit Parkinson
dan tremor yang disebabkan oleh masalah medis atau pengobatan.
3. Chlorpomazide
Chlorpomazide digunakan untuk mengatasi gangguan psikotik dan gejala
seperti halusinasi, waham, dan rasa bermusuhan. Obat ini juga digunakan
untuk mencegah dan menangani mual dan muntah, untuk menangani
masalah perilaku pada anak, dan untuk mengurangi cegukan berat.
4. Trifluperazine (Stelazine)
Obat antipsikotik tipikal, satu golongan dengan chlorpomazide.
5. Risperidon
Obat antipsikotik atipikal.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.4 Pelaksanaan peran PMO
Pelaksanaan peran PMO dilakukan dengan melakukan kunjungan langsung ke
tempat tinggal klien dengan schizophrenia. Kunjungan dilakukan
berkesinambungan selama klien menjalani pengobatan.
2.4.1 Tujuan
Tujuan setiap pertemuan adalah untuk menjaga keteraturan berobat klien
dan meningkatkan kepatuhan klien untuk berobat
2.4.2 Setting
Kader datang ke tempat tinggal klien. Duduk berhadapan saat
mewawancarai klien dan keluarga. Wawancara klien dan keluarga
dilakukan terpisah.
2.4.3 Alat dan bahan
Alat tulis dan buku evaluasi kader PMO
2.4.4 Metode
Wawancara, tanya jawab, hitung obat
2.4.5 Langkah-langkah:
1. Mengidentifikasi perilaku keteraturan berobat
2. Mewawancara klien mengenai perilaku berobat
3. Memotivasi klien untuk teratur berobat
4. Mewawancarai keluarga untuk memvalidasi keteraturan berobat
klien
5. Menghitung obat yang ada
6. Mendokumentasikan tindakan
2.1.6 Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada masing-masing klien yang dikunjungi dan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
dilakukan pemantauan perilaku di setiap pertemuan. Format evaluasi
yang dapat digunakan dapat dilihat di bawah ini.
Tabel 2.1Format evaluasi keteraturan berobat klien schizophrenia
Nama Klien :Alamat :
No PerilakuPertemuan ke-
I II III IV V VI VII VIII IX X1 Meminum obat sesuai jadwal2 Meminum obat sesuai dosis3 Tidak pernah terlewat waktu meminum obat
4Terus meminum obat walaupun merasa baikan
5Bertanya pada tenaga kesehatan jika efek obat dirasakan mengganggu
6 Menyatakan obat membuat klien lebih baikKeterangan :
- Tuliskan tanggal pertemuan di kolom pertemuan ke-.- Beri tanda checklist pada kolom pertemuan, untuk perilaku yang sudah dilakukan klien- Identifikasi perilaku lain yang menunjukkan kepatuhan
2.5 Pelaksanaan Pembekalan Kader
2.5.1 Setting
Kegiatan dilakukan di ruangan seminar, kader sebagai
peserta duduk melingkar dan peneliti berdiri di depan
peserta.
2.5.2 Metoda
Ceramah, tanya jawab, diskusi, role play.
2.5.3 Alat dan bahan
Ruang seminar, LCD, laptop, power point presentation, buku
pedoman kader, buku kerja kader.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.5.4 Waktu dan tempat
Pembekalan kader akan dilakukan pada minggu pertama
sebelum penelitian (peran kader) dimulai.
2.5.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Evaluasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB III
PENUTUP
Keteraturan berobat menjadi hal penting yang perlu diperhatikan pada klien
dengan schizophrenia mengingat waktu pengobatan dalam jangka panjang.
Karena kondisi sakitnya, klien schizophrenia memerlukan seseorang untuk
mengawasi keteraturan berobat. Peran ini dapat dilakukan oleh seorang PMO
(Pengawas Minum Obat) yang berfungsi menjaga keteraturan berobat klien.
Menjaga keteraturan berobat klien dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan
rumah, lalu melakukan wawancara kepada klien dan keluarga, lalu mneghitung
persediaan obat yang tersisa. Metoda ini adalah metoda yang paling praktis dan
murah untuk mengecek perilaku kepatuhan klien dalam berobat.
Akhirnya penyusun berharap bahwa buku panduan ini dapat bermanfaat bagi
pelayanan kesehatan jiwa dan dapat memudahkan kader menjalankan tugasnya.
Dampak akhir yang diinginkan dari peran PMO ini adalah prognosa klien yang
baik, sehingga klien dapat hidup produktif dan mencegah kekambuhan klien.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Brannon, L., & Feist, J. (2010). Health psychology: an introduction to behavior and health (7th ed). USA: Wadsworth Cengage Learning.
NANDA International. (2010). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC.
Nazir, M. (2010). Pemberantasan dan penanggulangan tuberkulosis. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata
Nama : Rahmi Imelisa
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta/ 2 Juni 1984
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Dosen tetap
Alamat instansi : STIKES Jenderal Ahmad Yani Cimahi
Alamat rumah : Jl. Utama Bbk. Cihapit No.64 Rt.05/08 Cicaheum
Bandung.
No telepon : 08996036184
Riwayat pendidikan
SDN Awigombong III Bandung : 1989-1991
SDN Jatihandap II Bandung : 1991-1995
SLTPN 20 Bandung : 1995-1998
SMUN 10 Bandung : 1998-2001
Program Sarjana PSIK -FK UNPAD : 2001-2006
Program Profesi Ners FIK UNPAD : 2006-2007
Riwayat pekerjaan
Perawat magang RS.Krakatau Medika Cilegon (2007)
Dosen tetap Program Studi Ilmu Keperawatan (S.1) STIKES Jenderal Ahmad
Yani Cimahi (2008-sekarang)
Lampiran 17
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.