pengaruh lintas budaya tingkat tutur hormat keigo melalui

17
Mozaik Humaniora Vol. 19 (1) 2019 :1-17 © A. A. Ayu Dian Andriyani, Djatmika, Sumarlam, Ely Triasih Rahayu (2019) 1 Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui Media Sosial antara Driver Guide dan Wisatawan Jepang di Bali ( The Effects of Cross Culture through Social Media between Japanese Tourism and Indonesian Tourist Workers in Bali) A. A. Ayu Dian Andriyani Program Studi Doktor Linguistik, Universitas Sebelas Maret Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 Tel.: +62 (818) 557516 Surel: [email protected] Djatmika Faculty of Language and Arts, Universitas Sebelas Maret Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 Tel.: +62 (856) 2986387 Surel: [email protected] Sumarlam Faculty of Language and Arts, Universitas Sebelas Maret, Indonesia Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 Tel.: +62 (858) 67072900 Surel: [email protected] Ely Triasih Rahayu Faculty of Language and Arts, Universitas Jendral Soedirman Jalan HR Boenyamin No.708, Dukuhbandong, Purwokerto 53122 Tel.: +62 (812) 15587036 Surel.: [email protected] Abstrak Penggunaan tingkat tutur hormat keigo wajib digunakan dalam bisnis Jepang, salah satunya domain pariwisata, ketika berkomunikasi melalui media online, yaitu media sosial. Penelitian ini berfokus pada penggunaan keigo dari driver guide ketika berkomunikasi dengan wisatawan Jepang melalui media sosial. Penelitian kualitatif ini dilakukan di Kabupaten Badung dan Gianyar karena mempertimbangkan intensitas kunjungan wisatawan Jepang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya di Bali, sehingga banyak masyarakat bekerja dalam domain pariwisata, salah satunya berprofesi sebagai driver guide. Teknik pengumpulan data yaitu menyimak, mencatat interaksi driver guide, serta didukung teknik wawancara mendalam. Data dalam bentuk tertulis melalui media sosial, yaitu Whatshapp, Line, dan Instagram. Berdasarkan analisis domain, taksonomi, komponensial, dan analisis tema budaya, dengan mempertimbangkan kekuasaan, jarak sosial, tingkat pembebanan, dan situasi. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan keigo dari driver guide tidak konsisiten karena ditemukan kekeliruan dalam menggunaan keigo dan bentuk futsuugo pada bahasa tulis di media sosial. Driver guide masih belum memahami pola interaksi melalui media online yang berbeda dengan komunikasi lisan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lintas budaya pada bahasa, sistem kelompok berdasarkan pada konsep uchisoto, sistem komunikasi dan struktur kalimat yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Namun, meskipun kemampuan berbahasa Jepang secara tertulis sangat kurang, driver guide mampu memberikan pelayanan informasi secara positif melalui media online sebagai bentuk layanan jasa serta sikap ramah ketika merespons

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1) 2019 :1-17 © A. A. Ayu Dian Andriyani, Djatmika, Sumarlam, Ely Triasih Rahayu (2019)

1

Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui Media Sosial antara Driver Guide dan Wisatawan Jepang di Bali

( The Effects of Cross Culture through Social Media

between Japanese Tourism and Indonesian Tourist Workers in Bali)

A. A. Ayu Dian Andriyani Program Studi Doktor Linguistik, Universitas Sebelas Maret

Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 Tel.: +62 (818) 557516

Surel: [email protected]

Djatmika Faculty of Language and Arts, Universitas Sebelas Maret

Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 Tel.: +62 (856) 2986387

Surel: [email protected]

Sumarlam Faculty of Language and Arts, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 Tel.: +62 (858) 67072900

Surel: [email protected]

Ely Triasih Rahayu Faculty of Language and Arts, Universitas Jendral Soedirman

Jalan HR Boenyamin No.708, Dukuhbandong, Purwokerto 53122 Tel.: +62 (812) 15587036

Surel.: [email protected]

Abstrak Penggunaan tingkat tutur hormat keigo wajib digunakan dalam bisnis Jepang, salah satunya domain pariwisata, ketika berkomunikasi melalui media online, yaitu media sosial. Penelitian ini berfokus pada penggunaan keigo dari driver guide ketika berkomunikasi dengan wisatawan Jepang melalui media sosial. Penelitian kualitatif ini dilakukan di Kabupaten Badung dan Gianyar karena mempertimbangkan intensitas kunjungan wisatawan Jepang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya di Bali, sehingga banyak masyarakat bekerja dalam domain pariwisata, salah satunya berprofesi sebagai driver guide. Teknik pengumpulan data yaitu menyimak, mencatat interaksi driver guide, serta didukung teknik wawancara mendalam. Data dalam bentuk tertulis melalui media sosial, yaitu Whatshapp, Line, dan Instagram. Berdasarkan analisis domain, taksonomi, komponensial, dan analisis tema budaya, dengan mempertimbangkan kekuasaan, jarak sosial, tingkat pembebanan, dan situasi. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan keigo dari driver guide tidak konsisiten karena ditemukan kekeliruan dalam menggunaan keigo dan bentuk futsuugo pada bahasa tulis di media sosial. Driver guide masih belum memahami pola interaksi melalui media online yang berbeda dengan komunikasi lisan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lintas budaya pada bahasa, sistem kelompok berdasarkan pada konsep uchisoto, sistem komunikasi dan struktur kalimat yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Namun, meskipun kemampuan berbahasa Jepang secara tertulis sangat kurang, driver guide mampu memberikan pelayanan informasi secara positif melalui media online sebagai bentuk layanan jasa serta sikap ramah ketika merespons

Page 2: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1): 1-17

38

pertanyaan melalui media sosial yang digunakan sebagai alat komunikasi, sehingga komunikasi dapat berjalan baik. Temuan ini dapat dijadikan evaluasi bagi driver guide untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Jepang, khususnya berkomunikasi menggunakan bahasa tulis melalui penyuluhan dari Dinas Pariwisata Bali.

Kata kunci: lintas budaya, media sosial, penanda tingkat tutur, pragmatik, wisatawan Jepang

Abstract Japanese businesses in Japan, one of which is the tourism sector involving communication through online media, namely social media. Nevertheless, in fact, driver guides often mistakenly use the form of keigo. This study focused on the use of keigo by driver guides through social media. This qualitative research was conducted in Badung and Gianyar districts because it considered the intensity of Japanese tourist visits to be higher than other districts in Bali, so that many people worked in the tourism domain, one of them was a driver guide. The data under investigation included any forms of written communication through social media, namely, Line, WhatsApp, and Instagram. Based on the analysis comprising of taxonomy, complementary and cultural analysis, taking into account Power, Distance, Imposition, and Situation, the findings show that the use of keigo by driver guides is not consistent. This is corroborated by the use of keigo and futsuugo forms in written communication on social media. Driver guide still does not understand the pattern of interaction through online media, which is different from that in oral communication. This is influenced by cross-cultural factors in language, group systems based on the concept of uchisoto, communication systems and different sentence structures with Indonesian. However, despite the lack of written Japanese language skills, the driver guide is able to provide information services positively through online media as a form of service and friendly attitude when responding to questions through social media that is used as a communication tool, so that communication can run well. This is due to their inadequate Japanese language proficiency, particularly marked by the inability to understand the use of keigo when communicating through written media and the uchi ‘in-group’ soto ‘out-group’ concept in the Japanese business context. These findings can be used as an evaluation for driver guides to improve their Japanese language proficiency especially when communicating in written language through conducting training from Bali tourism agency. Keywords: cross culture, Japanese tourists, media social, pragmatic, respectful speech markers PENDAHULUAN Bali adalah daerah tujuan wisata bagi wisatawan lokal maupun asing. Kegiatan wisata umumnya dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, berpindah dari satu tempat ke tempat lain guna menikmati keindahan alam, budaya, maupun kuliner yang menjadi ciri khas dari pulau tersebut. Masa sekarang ini kegiatan wisata sudah menjadi kebutuhan masyarakat kota yang merasa penat dengan hiruk-pikuk suasana kota sehingga memerlukan udara segar dan relaksasi ke tempat yang baru untuk mendapatkan suasana yang lebih nyaman dan lepas dari rutinitas yang padat. Selain itu, kegiatan berwisata bagi wisatawan mancanegara memiliki tujuan tertentu daripada hanya berekreasi. Wisatawan dari negara lain yang memiliki budaya berbeda ingin mengetahui keunikan budaya, keindahan alam, serta cita rasa kuliner dari negara lain sehingga mampu menambah wawasan budaya dunia melalui berwisata. Kegiatan berwisata saat ini telah mengalami perkembangan yang baik dari sektor promosi. Adanya media sosial yang memberikan konten atau iklan tentang lokasi, objek, dan kesenangan yang ditawarkan dari suatu tempat wisata sudah dapat diakses dengan mudah. Dengan adanya hal tersebut, setiap perorangan maupun kelompok yang hendak berwisata sudah mendapatkan gambaran atas lokasi wisata yang akan dikunjungi. Selain itu, mereka dapat memesan paket wisata yang ditawarkan oleh beberapa biro perjalanan melalui media sosial, sehingga para wisatawan dapat memperoleh pelayanan yang lengkap, mulai dari perjalanan, penginapan, dan tujuan lokasi wisata sesuai keinginan. Para pengunjung tidak perlu takut dan ragu untuk melakukan perjalanana wisata bersama keluarga karena mereka sudah mengetahui melalui kesan yang ditulis oleh

Page 3: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Komunitas Sastra, Produksi Karya, dan Pembangunan Karakter

39

pengunjung dalam setiap lokasi tujuan wisata tersebut. Pengunjung bisa tahu terlebih dahulu tanpa harus datang ke objek wisata yang dituju. Menurut Mathieson and Wall (1982:83), pariwisata merupakan gerakan manusia untuk berpindah sementara ke luar tempat kerja dan tempat tinggal mereka. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang melakukan perjalanan, baik jarak dekat maupun jauh. Sebelum berwisata, bagi mereka yang belum pernah berkunjung ke pulau Bali, baik lokal maupun mancanegara, selain datang ke biro perjalanan untuk memesan tur, cara paling praktis adalah dengan menggunakan media online mencari berbagai informasi objek wisata yang menarik dan mencari penawaran dalam menjual jasa tur, mulai peminjaman mobil saja, menggunakan sopir, atau para pengunjung bisa memesan paket perjalanan selama lima jam, delapan jam, atau pun satu hari penuh. Tidak saja wisatawan lokal, saat ini di zaman milenial banyak wisatawan mancanegara menggunakan cara praktis untuk membeli berbagai tawaran tour melalui media sosial, seperti Whatsapp, Line, dan Instagram.

Sumber: Disparda Provinsi Bali (2019) Gambar 1. Perbandingan Jumlah Kunjungan Wisatawan Jepang ke Bali Gambar 1 di atas merupakan data statistik yang menunjukkan wisatawan mancanegara, terdiri atas China, Australia, dan Jepang yang berkunjung ke Bali sejak tahun 2015 hingga 2018. Wisatawan Jepang menduduki peringkat keempat setelah wisatawan dari China, Australia, dan India. Meskipun demikian, wisatawan Jepang pernah menduduki peringkat pertama pada tingkat kunjungan dimulai dari tahun 2004 sampai dengan 2008 kemudian menduduki urutan kedua setelah Australia pada tahun 2005 dan berlanjut sampai dengan tahun 2010. Persaingan pasar dalam industri/pariwisata mengakibatkan kunjungan wisatawan Jepang mengalami penurunan sejak tahun 2011 yang telah didominasi oleh wisatawan China (Disparda Bali 2019). Penurunan jumlah kunjungan wisatawan Jepang dalam kurun waktu tiga tahun terakhir juga terjadi, setelah didominasi oleh wisatawan China, Australia, dan disusul wisatawan India. Perkembangan kunjungan wisatawan Jepang menduduki peringkat keempat setelah wisatawan dari China, Australia, dan India (Disparda Provinsi Bali 2019). Berdasarkan Gambar 1 di atas, meskipun Jepang mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, kunjungan wisatawan dari negeri Sakura ini tetap konsisten. Hal ini dibuktikan dengan tetap menduduki peringkat lima besar sebagai wisatawan dengan jumlah kunjungan terbanyak ke Bali untuk berlibur terutama pada liburan sekolah. Banyak biro perjalanan mengambil kesempatan ini untuk menjual berbagai penawaran perjalanan dengan harga yang sangat bervariasi. Begitu juga pelaku pariwisata lainnya seperti driver guide yang menjual jasa layanan memanfaatkan media sosial sebagai ajang promosi. Seperti halnya wisatawan lain, wisatawan Jepang berkunjung ke Bali dengan tujuan liburan. Keunikan tersendiri yang menjadi alasan mereka berkunjung ke Bali, selain keindahan alam yang terdiri atas laut, gunung, dan sungai, juga karena adanya keanekaragaman budaya yang dimiliki Bali dan sikap masyarakat Bali yang sangat ramah menyambut wisatawan. Sikap ramah tamah ini sesuai dengan cara berpikir masyarakat Bali berdasarkan konsep Tri Hita Karana, yaitu menjalin

Page 4: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1): 1-17

40

hubungan yang harmonis tidak saja dengan Tuhan sebagai pencipta, alam sekitar, juga dengan sesama manusia tanpa memilih asal dan status sosialnya (TVRI Pusat Jakarta). Pandangan hidup masyarakat Bali tentu saja membentuk karakter dan pola pikir masyarakat Bali pada umumnya dan pelaku pariwisata baik guide maupun driver guide di Bali pada khususnya sebagai cerminan karakter masyarakat Bali. Tentu saja sikap ramah juga dilakukan ketika memberikan pelayanan jasa terhadap wisatawan asing. Sikap ramah menjadi modal penting dalam memberikaan pelayanan kepada wisatawan Jepang untuk menutupi kekurangan hal lain, seperti bahasa, sistem kelompok masyarakat, dan struktur kalimatnya. Kekurangan para driver guide dalam berbahasa Jepang karena umumnya mereka belajar bahasa Jepang secara otodidak, mengikuti kursus bahasa Jepang tingkat dasar saja selama tiga bulan, dan belum pernah mendapatkan pelatihan bahasa maupun budaya masyarakat Jepang yang memiliki perbedaan dengan Bali khususnya. Fenomena ini menjadi suatu permasalahan yang harus dicarikan solusi guna meningkatkan kualitas berbahasa Jepang sesuai dengan standar pelayanan terhadap konsumen dalam ranah pariwisata. Hal ini untuk menghindari keluhan yang berdampak pada kenyamanan serta kesan yang diciptakan para wisatawan ke Bali. Keterbatasan kemampuan berbahasa Jepang akan memberikan kendala ketika berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, terlebih lagi berkomunikasi menggunakan media sosial. Berdasarkan wawancara dengan driver guide yang sudah berpengalaman dan baru terjun dalam dunia pariwisata, mereka menyatakan bahwa mereka mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang sederhana, tetapi belum sampai memahami budaya yang dimiliki oleh orang Jepang. Salah satunya adanya penggunaan penanda tingkat tutur hormat keigo dalam bahasa Jepang yang terdiri dari futsuugo ‘bahasa biasa’ dan keigo ‘bahasa hormat.’ Keigo dibagi lagi menjadi sonkeigo ‘bahasa hormat’, kenjougo ‘bahasa merendah,’ dan teineigo ‘bahasa santun.’ Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian ini. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan desain studi kasus di Pulau Bali. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penanda tingkat tutur hormat keigo yang dilakukan oleh driver guide terhadap wisatawan Jepang ketika memberikan pelayanan jasa secara tertulis melalui media sosial yang terdiri atas Whatshapp, Line, dan Instagram. Adapun alasan tiga media mosial ini digunakan sebagai objek penelitian karena tiga media sosial tersebut dijadikan sebagai media komunikasi bagi masyarakat zaman milenial seperti sekarang ini. Mereka lebih sering memilih Whatshapp, Line, dan Instagram daripada media sosial lainnya sebagai alat komunikasi untuk mendapatkan berbagai informasi yang diinginkan secara murah dan efisien. Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Badung dan Gianyar sebagai tujuan wisata karena dua lokasi tersebut memiliki jumlah kunjungan wisatawan Jepang lebih banyak dibandingkan kabupaten lainnya di Bali. Bali merupakan destinasi wisata yang telah mendunia, sehingga rata-rata pendapatan masyarakat Bali bergerak di bidang pariwisata. Dunia kerja yang dapat diciptakan sendiri adalah pekerjaan menjadi driver guide. Penelitian ini meneliti data primer pada bentuk interaksi dalam komunikasi tertulis di media sosial, yaitu Whatsapp, Line, dan Instagram antara 25 driver guide dan 25 wisatawan Jepang. Adapun alasan pemilihan 25 driver guide diambil secara purposive sampling dengan mempertimbangkan kriteria pengalaman driver guide telah bekerja minimal selama lima tahun serta melihat tingkat kemampuan berbahasa Jepang yang diklasifikasikan menjadi: (1) mampu berbahasa Jepang yang benar sesuai dengan tata bahasa Jepang, serta mengetahui budaya Jepang dengan baik; (2) mampu berbahasa berdasarkan tingkat tutur bahasa Jepang, tetapi tidak mengetahui budaya Jepang; (3) berbicara menggunakan bahasa Jepang sepatah dua patah kata tanpa mengetahui budaya Jepang. Sementara 25 wisatawan Jepang dengan cara melihat penggunaan penanda tingkat tutur bahasa Jepang ketika berkomunikasi dengan driver guide. Metode observasi dengan teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak dan catat yaitu, menyimak berbagai isi komunikasi secara tertulis melalui media sosial dan mencatat berbagai penggunaan penanda tingkat tutur yang digunakan sebagai alat komunikasi secara tertulis terhadap wisatawan Jepang. Teknik wawancara mendalam tidak terstruktur dengan teknik pertanyaan dan jawaban yang diserahkan pada pihak yang diwawancara dengan tujuan mendapatkan informasi sealami mungkin dari informan target (Sutopo 2006:68).

Page 5: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Komunitas Sastra, Produksi Karya, dan Pembangunan Karakter

41

Data penelitian yang kredibel dapat dilakukan dengan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan cara triangulasi yang bertujuan untuk meningkatkan validitas data dalam penelitian sehingga penelitian ini menggunakan triangulasi sumber data dan triangulasi metode (Santosa 2017:64). Data tertulis yang dianalisis berdasarkan analisi domain, taksonomi, komponensial, dan tema budaya (Santosa 2017:10; Spradley, Elizabeth, dan Amirudin 1997:23). HASIL DAN PEMBAHASAN Jepang merupakan negara yang memiliki keunikan tersendiri dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan adanya penggunaan penanda tingkat tutur ketika berbicara dengan mitra tuturnya. Sebelum berbicara, penutur Jepang akan memerhatikan status sosial mitra tutur atau pun pihak ketiga sebagai topik pembicaraan, terutama dalam domain bisnis yaitu pariwisata. Penggunaan penanda hormat keigo merupakan salah satu implementasi pelayanan dalam domain pariwisata. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan penggunaan bahasa hormat maupun konsep uchisoto (Haugh 2004:96; Pizziconi 2004:278; Wiyatasari 2017) dan kajian media tulis (surel) tentang permohonan dalam bahasa Jepang (Wahyuningtias 2014:44). Namun, belum ditemukan penelitian dalam ranah pariwisata terkait implementasi penanda hormat keigo bahasa Jepang yang dilakukan oleh driver guide. Penelitian yang mengkaji tentang penggunaan penanda hormat juga masih sedikit dilakukan. Berbagai penelitian tersebut hanya penerapan strategi kesantunan berbahasa menurut pandangan Brown dan Levinson, di antaranya strategi kesantunan yang digunakan oleh diaspora di Jawa Timur (Sartini 2017:234) yang menghasilkan tiga jenis strategi kesantunan yang digunakan ketika berkomunikasi, yang terdiri atas strategi bald on record, on record positive politeness, on record negative politeness. Adapun ketiga jenis strategi tersebut memiliki penciri dalam berbagai jenis tuturan yang digunakan, yaitu di antaranya dalam tuturan sering ditemukan berbagai kalimat interogatif menggunakan partikel tertentu, adanya pemarkah tertentu untuk mengurangi tindak pengancaman muka dari mitra tutur, bentuk penghormatan dengan tuturan sapaan-sapaan tertentu, dalam tuturan lebih banyak ditemukan menggunakan permohonan maaf (apologizing), dalam tuturan menggunakan ujaran tidak langsung, menggunakan pagar (hedge), serta adanya bentuk impersonal. Adapun penciri penggunaan strategi kesantunan ketika situasi formal yaitu, adanya tuturan menyatakan permintaan maaf (apologizing) meskipun status sosial penutur lebih tinggi (+P) dibandingkan mitra tutur selain itu, ditemukan adanya campur kode pada tuturan berbahasa Bali Alus dan bahasa Indonesia. Berikutnya adalah kesantunan dalam domain pariwisata (Iwata and Okada 2018:76; Purnomo 2010:162) menyatakan penelitian yang mengkaji pengajaran bahasa Jepang dalam ranah pariwisata sangat mengutamakan pelayanan atau sering disebut dengan customer service ‘pelayanan kepada pelanggan’ dan konsep keramahtamahan sebagai konsep dasar pelayanan, apalagi perbedaan budaya yang dimiliki oleh pembelajar bahasa Jepang. Oleh karena itu, bagi pengajar bahasa Jepang ketika mengajarkan bahasa Jepang untuk pariwisata harus menekankan adanya perbedaan budaya lokal dengan Jepang dan materi yang diajarkan berfokus pada pelayanan dan keramah-tamahan. Selain itu, kajian dalam strategi kesantunan berbahasa Jepang dalam korespondensi melalui surat elektronik bertujuan untuk meneliti strategi kesantunan yang sama khususnya domain bisnis ketika berkomunikasi secara tertulis. Adapun temuan yang diperoleh, para penutur sebaiknya menggunakan strategi kesantunan positif didukung oleh penggunaan ungkapan singkat ketika menyampaikan dalam bentuk tulisan, apalagi kalimat tertulis menyatakan perintah, permintaan, penawaran, keluhan, permintaan maaf, dan memberi saran (Febriyanti 2018). Di samping itu, banyak penelitian dalam bidang linguistik yang telah dilakukan. Namun, teori yang digunakan untuk membedah kajian kesantunan menurut pandangan Leech (Budiarta and Rajistha 2018:25). Kajian ini belum menjelaskan adanya penanda tingkat tutur keigo sebagai bentuk lintas budaya yang terjadi antara wisatawan Jepang dan pelaku wisata Indonesia dalam menggunakan sistem tingkat tutur ketika berkomunikasi secara tertulis melalui media sosial, meskipun sama-sama berasal dari negara Asia. Masa milenia seperti sekarang ini, media komunikasi semakin canggih. Awalnya, media komunikasi tertulis hanya dalam bentuk surat kabar, tetapi sekarang telah berubah menjadi media sosial. Penelitian Patrick menjelaskan media surat kabar secara online di Nigeria memiliki dampak signifikan terhadap staf dan mahasiswa (2015:45). Dengan koran online, mereka dapat memperkaya pengetahuan tentang berbagai isu

Page 6: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1): 1-17

42

penting, seperti memperkenalkan produk dan potensi Indonesia dan memulihkan dan meningkatkan citra pariwisata (Suryani 2014:132). Media sosial merupakan kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi web 2.0 yang menjadi dasar adanya media sosial (Kaplan and Haenlein 2010:60). Media ini digunakan sebagai alat komunikasi bagi driver guide untuk menjual jasa. Contohnya, jasa peminjaman mobil beserta dengan jasa guide berbahasa asing salah satunya Jepang. Tugas driver guide adalah mengemudi sekaligus berperan sebagai pramuwisata. Driver guide umumnya memanfaatkan fasilitas media sosial seperti Whatshapp, Line, dan Instagram, dengan mencantumkan kontak pribadi untuk memudahkan menjalin komunikasi. Melalui kontak pribadi, mereka dapat menjalin komunikasi dua arah dengan cepat, singkat, dan murah sampai akhirnya dapat memesan jasa yang dibutuhkan. Driver guide menerima dan memberikan layanan jasa yang diinginkan oleh wisatawan Jepang berdasarkan kebutuhan selama berada di Bali. Pada umumnya media sosial dapat memberikan manfaat positif serta dampak negatif (Rapp et al. 2013:558). Manfaat positif, salah satunya adalah media promosi yang efektif (Utami dan Purnama 2012:3). Sudah banyak pengguna media sosial mendapatkan manfaat ini, terutama dalam mempromosikan, baik dalam bentuk barang maupun jasa, cepat dikenal masyarakat dan memperluas pasar. Demikian juga dalam domain pariwisata, memainkan peran dalam meningkatkan kekuatan promosi untuk dikenal banyak orang. Sebelumnya peneliti menggunakan media sosial sebagai media promosi (Setiadi 2016:114; Supratman 2018:59; Utami dan Purnama 2012:4). Beberapa penelitian tentang media sosial menemukan bahwa media sosial telah memberikan manfaat bila digunakan dengan hal-hal positif (Leiliyanti, Diyantari, dan Irawaty 2018:197). Sebagai contoh, pemanfaatan Instagram sebagai media untuk memasarkan batik ternyata lebih efektif dan efisien. Dikatakan demikian karena selain pengoperasiannya yang tidak memerlukan biaya tinggi, Instagram juga memiliki semua fitur yang menarik dan bermanfaat bagi penggunanya (Irma 2017:12). Instagram merupakan media sosial yang saat ini memiliki banyak pengguna sehingga menjadi media yang sangat efektif untuk melakukan promosi penjualan (Kurniawan 2017:225). Selain produk berupa barang seperti di atas, media sosial juga digunakan oleh para driver guide untuk menjual berbagai jasa. Misalnya, layanan peminjaman mobil, motor, dan layanan pengantaran menuju objek wisata. Tugas driver guide sama dengan pemandu wisata di bawah naungan biro perjalanan wisata yang memiliki lisensi (HPI Bali 2018). Hanya saja, driver guide sangat beraneka, ada yang memiliki izin dan ada yang tidak. Media sosial yang mereka gunakan tidak jauh berbeda, seperti Whatshapp, Line, Instagram, dan dengan memasukkan kontak pribadi untuk memfasilitasi komunikasi agar lebih cepat dan mudah. Mereka juga memberikan layanan berupa penyediaan layanan di luar hal wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan selama mereka di Bali. Komunikasi tertulis melalui media online, salah satunya adalah media sosial dalam domain bisnis di Jepang, erat hubungannya dengan penggunaan penanda tingkat tutur bentuk hormat keigo. Pada ranah bisnis di Jepang, bentuk keigo merupakan bentuk penghormatan kepada konsumen karena konsumen adalah raja sehingga pelayanan yang diberikan seolah olah dilakukan kepada raja. Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa di dunia yang memberlakukan tingkat tutur berbahasa, di mana masyarakat pengguna bahasa Jepang harus cermat melakukan pemilihan bahasa (Rahayu 2013:109). Pilihan bahasa yang digunakan merupakan penanda bahasa hormat keigo. Suzuki (1998:23) menyatakan bahwa ragam hormat ditentukan oleh posisi mitra tutur, keadaan/situasi, suasana, jabatan serta faktor usia, atasan, senior, dan tempat. Adapun jenis bentuk hormat dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu sonkeigo, kenjougo, dan teineigo (Kaneko 2014:17). Bentuk sonkeigo adalah ragam hormat yang bertujuan untuk meninggikan mitra tutur, bentuk kenjougo untuk merendahkan diri penutur, dan teineigo adalah penanda bentuk santun, umumnya digunakan dalam situasi formal yang sifatnya netral. Selain itu, bentuk futsuugo yaitu bentuk biasa dalam situasi nonformal, bukan termasuk dalam ragam hormat yang biasa digunakan penutur dalam situasi formal, tingkat keakraban yang sudah tinggi dan usia penutur lebih tinggi dibandingkan mitra tutur (Lori et al. 2001:65; Kabaya, Kimu 2009:67; Kaneko 2014:25; Rahayu 2013:145).

Page 7: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Komunitas Sastra, Produksi Karya, dan Pembangunan Karakter

43

Penutur Jepang selain memerhatikan status sosial mitra tutur juga memerhatikan posisi mitra tutur termasuk pihak uchi ‘ingroup’ atau ‘outgroup.’ Uchisoto adalah sebuah konsep dalam bisnis Jepang yang digunakan dalam komunikasi secara lisan maupun tulis. Penggunaan penanda bentuk hormat adalah implementasi dari strategi kesantunan negatif, yang merupakan bentuk penghormatan untuk menjaga muka mitra tutur (Brown dan Levinson 1978; Purnomo 2010:160). Untuk menghindari ancaman ‘FTA,’ komunikasi juga mempertimbangkan faktor-faktor sosial, yaitu, (P) kekuasaan, (D) jarak, (I) posisi, dan (F) konteks situasi, baik situasi formal maupun nonformal: (a) Power yaitu kekuasaan (+/-P); (b) Distance yaitu jarak (+/-D) komponen jarak dalam interaksi yang terjadi, erat kaitannya dengan kedekatan antara penutur dengan mitra tutur, jika hubungan akrab terjadi, dapat dikategorikan memiliki hubungan kekerabatan (–D) misalnya, dengan teman dekat, orang tua, akan berbeda jika dalam hubungan baru pertama kali bertemu tidak saling mengenal tentu saja akan terjadi jarak antara penutur maupun mitra tutur dalam berinteraksi, sehingga situasi ini termasuk dalam kategori (+D); (c) Imposition atau imposisi (+/-I) adalah kesenjangan sosial sangat memengaruhi hubungan dalam berinteraksi ketika kesejangan meningkat (+I), maka strategi yang digunakan lebih bebas dibandingkan dengan kesenjangan yang menurun (–I) Selain itu, faktor sosial yang dapat dijadikan dasar pertimbangan seorang penutur dalam menentukan penanda tingkat tutur adalah konteks situasi baik formal maupun nonformal. Data penelitian ini mengambil dari media sosial Whatsapp, Line, dan Instagram. Media sosial tersebut pada saat ini sangat diminati oleh masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi masa kini, mulai dari mode, kuliner, isu terkini, bahkan destinasi yang sedang hits untuk dikunjungi, baik dalam maupun luar negeri. Para wisatawan khususnya Jepang menggunakan media sosial. Komunikasi terjadi berawal dari iklan yang mereka dapatkan melalui internet. Iklan tersebut menampilkan narahubung yang dapat dihubungi untuk informasi mengenai layanan wisata yang ditawarkan. Misal, ketika seseorang akan menghubungi melalui media Whatshapp, hal yang harus diperhatikan oleh seorang calon pengirim pesan adalah nomor telepon yang akan dihubungi. Biasanya pihak penjual jasa layanan menuliskan nomor telepon melalui Whatshapp atau hanya melalui pesan singkat. Mereka pada umumnya jarang menerima layanan telepon langsung. Selanjutnya, setelah wisatawan Jepang mendapatkan nomor Whatsapp, pengirim pesan akan menyampaikan maksud pesan yang disampaikan dalam bentuk tulisan. Sama halnya dengan akun Instagram, pengirim pesan biasanya harus mengetahui ID Instagram terlebih dahulu kemudian mencari ID yang ditawarkan. Biasanya ID tersebut bersifat umum dan bisa dibuat oleh siapa saja. Pengirim pesan dapat memanfaatkan kolom kirim pesan maupun kolom komentar untuk berkomunikasi dengan mudah dan efisien. Begitu juga dengan ID Line, dapat dilakukan dengan cara menyimpan nomor telepon yang akan dihubungi, maka secara otomatis akan terhubung menjadi teman dari pihak yang dituju. Melalui tiga media sosial ini, para wisatawan yang akan menggunakan jasa layanan pihak driver guide dapat berinteraksi secara langsung tanpa harus bertemu untuk membicarakan layanan tur yang ditawarkan. Bentuk Crossculture antara Driver Guide dan Wisatawan Jepang Crossculture atau lintas budaya menjadi hal yang mungkin terjadi jika suatu kejadian tuturan melibatkan pelaku tuturan yang memiliki beda latar belakang budaya. Misal, percakapan yang melibatkan driver guide dari Indonesia dan wisatawan Jepang. Driver guide yang berlatar belakang budaya Indonesia tentu tuturan yang diucapkan terpengaruh oleh keindonesiaannya, sedangkan mitra tutur yang seorang Jepang menanggapi hal tersebut pasti akan terjadi proses penyesuaian yang mungkin mengharuskan mereka memaklumi apa yang disampaikan oleh penutur yang berbeda latar belakang budaya. Budaya yang melatarbelakangi suatu peristiwa tutur meliputi bahasa, sistem kelompok, sistem berkomunikasi, dan struktur kalimat (Kluckhohn, 1953; Koentjaraningrat, 2009). Bahasa tentu menjadi faktor lintas budaya yang paling utama dalam peristiwa tutur yang terjadi antara driver guide dan wisatawan Jepang. Driver guide perlu penyesuaian dalam menggunakan bahasa Jepang mereka pada saat menghadapi wisatawan Jepang. Kesulitan mereka dalam proses translasi dan penyesuaian pengucapan tentu menjadi tantangan para driver guide. Tidak hanya di situ, proses kedua pelaku tutur dalam proses encoding dan decoding juga akan mendapati masalah karena faktor lintas budaya ini. Sistem kelompok adalah faktor budaya yang mengikat seseorang dalam berinteraksi. Sistem kelompok orang Indonesia berdasarkan suku, agama, namun dapat berinteraksi dengan harmonis, sedangkan Jepang sistem kelompok dipengaruhi oleh adanya konsep uchi ‘ingroup’ dan soto ‘outgroup’ dengan membedakan status sosial masyarakat Jepang berdasarkan posisi seseorang. Uchi ‘ingroup’ kelompok

Page 8: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1): 1-17

44

orang yang posisinya berada di lingkungan sendiri, soto ‘outgroup’ adalah kelompok orang yang berada di luar lingkungan keluarga, lingkungan kerja, sekolah, atau pun kelompok masyarakat (Santoso, 2015:52). Sikap terbuka dan keramahtamahan yang dimiliki driver guide selaku masyarakat Indonesia akan berbeda dengan sikap tertutup yang dimiliki Jepang. Selain itu, driver guide memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain meskipun belum dikenal, namun Jepang tidak memiliki rasa kepedulian terhadap orang yang belum dikenal. Driver guide ketika bertutur secara tidak sadar menggunakan pola Subjek-Predikat-Objek-Keterangan. Begitu juga sebaliknya wisatawan Jepang sulit bertutur menggunakan bahasa Indonesia karena dalam bahasa Jepang setiap huruf harus diikuti oleh vokal misalnya, nomina tomat menjadi tomato. Ada penambahan vokal ‘o’ pada akhir konsonan yang digunakan. Tabel 1. Unsur Lintas Budaya antara Driver Guide dan Wisatawan Jepang

Negara berbudaya berkonteks tinggi (high context culture, HCC) seperti Indonesia dan Jepang terdapat dalam ikatan hubungan yang sangat erat, informasi yang dimiliki merupakan informasi milik bersama dan menganggap penting pesan sesederhana apa pun sehingga bentuk komunikasinya diatur secara jelas dengan model kegiatan yang senantiasa dilakukan secara tradisi dan sangat terikat pada konteks. Selain itu, fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat Jepang termasuk dalam kebudayaan berkonteks tinggi memiliki struktur masyarakat dan hubungan personal sangat erat Soepardjo; Setiawan (1999:75).

Page 9: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Komunitas Sastra, Produksi Karya, dan Pembangunan Karakter

45

Penggunaan Penanda Tingkat Tutur bentuk Sonkeigo oleh Driver Guide dalam Interaksi melalui Whatsapp (1)

Data di atas merupakan interaksi melalui media Whatsapp. Ciri-ciri wisatawan Jepang kira-kira berusia 20-25 tahun, berjenis kelamin perempuan, berencana datang ke pulau Bali untuk berlibur. Kunjungan ke Bali kali ini merupakan kunjungan pertama kalinya. Sehingga wisatawan Jepang membutuhkan jasa layanan penjemputan di bandara. Data di atas menunjukkan adaanya lintas budaya pada sistem komunikasi antara Indonesia yang terbuka kepada wisatawan Jepang selaku konsumen berkonteks memperkenalkan diri sebagai bentuk implementasi keramah-tamahan. Pada awal komunikasi wisatawan Jepang sangat santun memperkenalkan diri dengan driver guide. Penggunaan penanda tingkat tutur bentuk kenjougo pada pilihan kata ~ to moushimasu 'nama saya ~ sebagai bentuk merendahkan diri kepada driver guide yang belum dikenal sama sekali. Artinya, meskipun wisatawan Jepang sebagai konsumen namun tetap menghormai driver guide dengan cara memilih penanda bentuk kenjougo. Selain itu, penanda tingkat tutur bahasa yang digunakan untuk menunjukkan bentuk penghormatan adalah bentuk teineigo. Penanda bentuk santun ini dapat dilihat pada kalimat interogatif ~ kite moraimasuka ‘dapatkah datang menjemput?. Penanda hormat bentuk kenjougo dan teineigo yang digunakan wisatawan Jepang melalui media Whatsapp merupakan penanda tingkat tutur yang digunakan oleh wisatawan Jepang dengan mempertimbangkan jarak ‘distance’ yang sangat jauh karena belum pernah bertemu dan baru kenal pertama kali. Selain itu, ditunjang oleh tingkat pembebanan ketika menyatakan permohonan untuk menjemput dirinya di bandara kepada driver guide yang belum dikenal meskipun faktor kekuasaan (P) dimiliki oleh wisatawan Jepang bukan pihak driver guide selaku pihak pemberi jasa layanan. Pada konteks ini, wisatawan Jepang menggunakan kalimat interogatif meminta bantuan driver guide untuk menjemput. Meskipun selaku konsumen tetapi dalam konteks komunikasi melalui media online wisatawan Jepang memilih penanda bahasa bentuk hormat karena mempertimbangkan konteks situasi formal dibandingkan dengan tuturan langsung yang sering terjadi dalam situasi nonformal, sehingga hal inilah yang dapat menentukan adanya perbedaan penggunaan penanda. Berdasarkan hasil analisis kutipan di atas mendukung pandangan (Rahayu 2013: 109) yang menyatakan masyarakat pengguna bahasa Jepang harus cermat dalam menentukan penanda tingkat tutur yang digunakan. Selain itu, analisis juga sesuai dengan pandangan Suzuki (1998:23) bahwa ragam hormat ditentukan oleh posisi mitra tutur, keadaan/situasi, suasana, jabatan serta faktor usia, atasan, senior, dan tempat’

Ketika driver guide menerima pesan melalui media Whatsapp, driver guide langsung merespon permintaan wisatawan Jepang dengan santun dan bersikap terbuka kepada siapa saja meskipun baru bertemu. Wujud komunikasi seperti ini sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Kalimat di atas adalah respon driver guide menanggapi permintaan jasa dari wisatawan Jepang. Pada awal kalimat driver guide memanggil nama wisatawan Jepang dengan menambahkan ~ san setelah nama seseorang. Kata ~ san umumnya digunakan pada akhir nama orang Jepang sebagai bentuk penghormatan. Umumnya penggunaan ~ san pada akhir nama orang

Page 10: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1): 1-17

46

Jepang digunakan pada tuturan lisan. Sedangkan pada interaksi tertulis ditujukan untuk wisatawan Jepang selaku konsumen dalam bisnis Jepang terasa santun menggunakan pilihan kata ‘okyakusan’ maupun ‘okyakusama’ merujuk pada wisatawan Jepang sebagai penerima jasa layanan. Penanda bentuk teineigo yaitu menggunakan ~ mashita merujuk pada kala lampau menunjukkan rasa terimakasih ~ arigatou gozaimashita ‘terima kasih. Namun berbeda dengan nomina ~ yoyaku yang tidak diikuti dengan awalan ~ go. Kondisi ini mengakibatkan nomina ~ yoyaku menjadi bentuk futsuugo. Teineigo adalah penggunaan bentuk sopan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain dengan cara memberi awalan o ~, go ~, dan penanda desu, gozaimasu’. Selain itu, teineigo ditandai dengan penggunaan bentuk ~ masu (untuk kalimat yang berakhiran verba) serta penggunaan kopula ~ desu (untuk kalimat yang berakhiran adjektif dan nomina). Driver guide tampak kurang konsisten menggunakan penanda tingkat tutur. Namun meskipun penggunaan penanda tingkat tutur tidak sempurna, interaksi tertulis dengan santun sudah mewakili keinginan driver guide untuk memberikan pelayanan jasa dengan baik karena kesan pertama merupakan awal dari kelanjutan interaksi berikutnya.

Respon berikutnya, driver guide berusaha menggunakan penanda bentuk sonkeigo ~ irasshaimasu ‘ada’ merujuk pada dirinya sendiri. Driver guide tidak menyadari pilihan kata yang digunakan salah karena kata ~ irasshaimasu ‘ada’, merupakan bentuk sonkeigo yang ditujukan kepada mitra tutur bukan penutur itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dalam menggunakan bentuk hormat ‘keigo’ terutama dalam bentuk tulisan dan belum menyadari bahwa posisi wisatawan Jepang selaku pihak out grup selaku konsumen wajib untuk dihormati yang berbeda dengan Indonesia saling menghormati tanpa memandang kelompok. Meskipun bentuk penghormatan yang digunakan oleh driver guide kurang tepat, tetapi sikap ramah tamah pada salam maupun menjawab pertanyaan mulai dari proses pemesanan spa, aktivitas maupun perjalanaan menuju objek wisata maka komunikasi berjalan baik. Hasil analisis ini dapat menyanggah pandangan (Haugh 2004: 96; Pizziconi 2004: 278; Wiyatasari 2017) bahwa penggunaan penanda hormat merupakan salah satu implementasi wujud sikap hormat terhadap konsumen dalam budaya Jepang. Hal itu saja tidak cukup harus didukung oleh sikap ramah tamah, mengerti keinginan wisatawan sebagai wujud pelayanan jasa kepada konsumen secara maksimal.

Meskipun driver guide mampu menggunakan bahasa Jepang dengan fasih tetapi secara tertulis bahasa Jepang yang digunakan kurang tepat. Driver guide terinterferensi bahasa lisan sehingga struktur kalimat keliru antara tulis dengan lisan. Fenomena ini memberikan gambaran driver guide tidak memahami perbedaan tata cara berkomunikasi secara lisan dan tertulis dimedia online. Misalnya, driver guide menggunakan kalimat ajakan ~ aimashou 'mari kita bertemu' kepada wisatawan Jepang yang baru saja bertemu. Kalimat ajakan ini biasanya digunakan kepada mitra tutur yang sudah saling mengenal dengan baik. Selain itu, kalimat penutup, mengungkapkan salam perpisahan menggunakan kalimat pendek, yaitu ~ yoroshiku. Kata ~ yoroshiku umumnya digunakan dalam komunikasi lisan nonformal. Sehingga akan terasa tidak santun digunakan dalam komunikasi secara online apalagi kepada konsumen yang belum dikenal dengan baik. Penggunaan Penanda Tingkat Tutur Bentuk Teineigo dan Futsuugo oleh Driver guide dalam Interaksi melalui Whatsapp (2)

Page 11: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Komunitas Sastra, Produksi Karya, dan Pembangunan Karakter

47

Interaksi antara driver guide dengan wisatawan Jepang melalui media Whatsapp menggunakan penanda tingkat tutur bentuk teineigo ditandai kopula ~ desu dan bentuk futsuugo tanpa diakhiri kopula apapun. Driver guide tidak konsisten menggunakan penanda bentuk teineigo saja tetapi juga penanda bentuk biasa ‘futsuugo’. Bentuk futsuugo digunakan pada situasi nonformal kepada teman seusia, sudah memiliki kedekatan dan bentuk lisan. Karena inferensi bahasa lisan maka ditemukan kekeliruan dalam bahasa tulis melalui media sosial seperti Whatsapp. Berdasarkan fenomena tersebut digambarkan driver guide mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang dengan baik dan mengenal penanda tingkat tutur yang umum. Namun, masih ditemukan adanya kekeliruan oleh driver guide ketika menentukan sistem kelompok berdasarkan suku, agama yang memiliki kesadaran untuk saling bekerja sama dan bertoleransi tanpa adanya perbedaan kelompok, berdasarkan konsep uchi ’ingrup dan soto ‘outgrup’ yang berlaku dalam bisnis Jepang. Disamping itu, ditemukan juga penggunaan bahasa Jepang yang dipengaruhi oleh bahasa daerah dan struktur kalimat dalam bahasa Jepang yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Wisatawan Jepang : Sumimasen, Indonesia ryouri doko de osusume desuka ‘Maaf, di manakah tempat menjual masakan Indonesia yang dapat direkomendasikan?’ Driver guide : Okyakusan, karai tabemono daijoubu desukak? Okyakusama wa Indonesia ryouri o tabemasu.X Bali to iu resutoran de. ‘Bapak, apakah tidak apa apa dengan makanan pedas? Anda bisa menikmati makanan Indonesia, di restoran X Bali’. Data di atas memberikan gambaran bahwa telah terjadi cross culture berdasarkan struktur kalimat bahasa Jepang. Umumnya menggunakan pola SKOP (subyek, keterangan, objek, predikat) namun driver guide menggunakan pola kalimat menurut bahasa Indonesia yaitu SPOK (subyek predikat, objek , keterangan) mengakibatkan partikel “de” yang merujuk pada tempat makan diletakkan pada akhir kalimat. Selain itu, pengaruh bahasa daerah (dialek bahasa) dapat mengakibatkan penanda bentuk teineigo yang ditandai dengan penggunaan kopula ~ desu di akhiri oleh “K” menjadi ~ desukak yang seharusnya kopula ini tanpa akhiran “K”. Penggunaan Penanda Tingkat Tutur Bentuk Sonkeigo dan Kenjougo oleh Driver guide, Interaksi melalui Line (1) Data interaksi terjadi melalui media Line dengan peserta tutur yang berbeda dan topik percakapan yang berbeda pula. Wisatawan Jepang berencana datang ke pulau Bali. Pada konteks ini, datang sendirian. Karena merasa khawatir maka, sebelum tiba di Bali wisatawan menggunakan jasa media sosial untuk memesan treatment spa. Berikut dipaparkan interaksi yang terjadi dari awal sampai akhir.

Page 12: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1): 1-17

48

Interaksi melalui media Line terjadi antara wisatawan Jepang dengan driver guide. Awalnya, mendapatkan ID Line dari media internet yang memperlihatkan adanya tawaran menjual layanan jasa berupa treatmnet spa di Bali. Wisatawan Jepang langsung mencari ID tersebut dan akhirnya terhubung dengan ID milik driver guide. Pada salam awal, wisatawan terlebih dahulu memperkenalkan diri menggunakan penanda tingkat tutur bentuk kenjougo sebagai bentuk penghormatan pada driver guide yang belum pernah diketahui sebelumnya, ditandai dengan bentuk ~ tou moshimasu. Driver guide langsung merespon pertanyaan meskipun WJ baru dikenal melalui media Line. Hal ini merupakan faktor lintas budaya sistem komunikasi, yakni bentuk sikap terbuka, menerima siapa saja sebagai wujud dari kepedulian terhadap orang lain terlebih kepada wisatawan Jepang sebagai konsumen.

Page 13: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Komunitas Sastra, Produksi Karya, dan Pembangunan Karakter

49

Setelah memperkenalkan diri langsung menyatakan tujuannya untuk memesan X spa kepada driver. Respon balik dan penuh dengan sikap terbuka menerima perkenalan ditunjukkan oleh driver guide ditandai dengan penanda bentuk santun’teineigo’ yang sifatnya netral. Komunikasi tetap berjalan dengan baik sampai menu treatment dan jam penjemputan yang diinginkan oleh wisatawan dapat dipesan sesuai harapannya. Penanda tingkat tutur hormat yang dominan untuk merespon pertanyaan menggunakan kopula ~ desu. Kopula ini tidak dapat berdiri sendiri, biasanya digunakan oleh penutur untuk menutup kalimat yang berakhiran nomina dan adjektif. Selain itu, banyak ditemukan bentuk ~ mashita pada akhir verba berasal dari ~ masu dan berubah menjadi ~mashita jika dikaitkan dengan kala lampau. Penggunaan Penanda Tingkat Tutur Bentuk Teineigo dan Futsuugo oleh Driver guide, Interaksi melalui Line (2)

Berbeda dengan kutipan di atas, interaksi menggunakan Line ketika wisatawan Jepang dengan driver guide sudah saling mengenal. Intensitas pertemuan sebanyak dua kali. Karena sudah saling mengenal dengan baik, maka penanda tingkat tutur yang digunakan bentuk biasa ‘futsuugo’. Wisatawan Jepang menuliskan keinginannya untuk menonton kecak bersama teman, Driver guide segera merespon pertanyaan dengan memberikan jawaban yang sangat santun dan penuh keakraban. Sikap santun dan penuh dengan keakraban adalah bentuk cross culture antara Jepang dengan Indonesia dilihat dari sistem komunikasi dengan mitra tutur. Driver guide menyadari meskipun sudah saling mengenal baik tetapi posisi wisatawan sebagai pihak penerima jasa layanan, maka tetap menjaga jarak dan menggunakan bahasa santun melalui penggunaan bentuk teineigo didukung oleh sikap sangat ramah merespon berbagai keinginan wisatawan. Hal ini menunjukkan bahwa selain berbahasa Jepang dengan baik melalui media sosial didukung keramah-tamahan tentu saja interaksi akan berjalan harmonis. Penggunaan Penanda Tingkat Tutur Bentuk Sonkeigo dan Kenjougo oleh Driver guide, Interaksi melalui Instagram (1) Media sosial selain Whatshapp dan Line adalah Instagram. Media sosial ini mampu memberikan berbagai informasi sama seperti media sosial lainnya. Hanya saja media ini memiliki berbagai fitur gambar, foto maupun video. Sebelum mengikuti ID Instagram seseorang akan melihat terlebih dahulu komentar dan

Page 14: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1): 1-17

50

gambar ataupun foto yang diupload ke media Instagram. Driver guide dapat dengan mudah menjual jasa layanan mulai dari tawaran tour, spa maupun aktivitas dengan mengupload berbagai gambar yang sangat menarik untuk dilihat. Ketika konsumen tertarik maka saat itulah mereka merespon melalui kolom kirim pesan atau kolom komentar. Di bawah ini adalah kalimat dalam kolom komentar dari salah satu wisatawan Jepang ketika melihat gambar mobil dengan penawaran harga yang cukup murah sehingga dapat digunakan untuk melakukan perjalanan menuju objek wisata.

Dialog antara driver guide dengan wisatawan Jepang seperti pada kutipan data di atas dapat dilihat dari struktur percakapan ketika masuk pada struktur pendahuluan driver guide berusaha untuk mendekatkan jarak sosial kepada wisatawan yang baru pertama kali diajak berkomunikasi melalui media sosial, tanpa melihat perbedaan kelompok seperti dalam Jepang. Komunikasi pertama yang dilakukan oleh wisatawan Jepang melalui kolom komentar di media Instagram adalah memperkenalkan diri. ~ to moushimasu merupakan salah satu bentuk kenjougo. Kenjougo digunakan untuk diri sendiri untuk menunjukkan rasa hormat secara langsung dengan cara merendahkan diri sendiri. Analisis ini telah membuktikan pandangan Suzuki (1998:23) dan Iori (2011:65) bahwa dalam domain bisnis di Jepang sangat memperhatikan posisi mitra tutur, dituturkan kepada orang yang belum dikenal dan belum memiliki kedekatan’. Driver guide juga banyak menggunakan bentuk teineigo yang ditandai dengan penggunaan bentuk ~ masu (untuk kalimat yang berakhiran verba) serta penggunaan kopula ~ desu (untuk kalimat yang berakhiran adjektif dan nomina). Perubahan waktu (kala) dalam bahasa Jepang ditandai dengan perubahan secara morfologi bentuk ~masu. Apabila dikaitkan dengan penanda kala merupakan perbuatan/ tindakan yang belum dilakukan (dalam bahasa indonesia ditandai dengan kata bantu akan). Bentuk ~ masu akan berubah menjadi ~mashita jika dikaitkan dengan kala lampau. Respon positif dengan menyambut salam perkenalan merupakan satu bentuk implikasi bahwa driver guide selaku mayarakat Indonesia memiliki sikap yang ramah terbuka kepada siapa saja meskipun belum pernah bertemu sebelumnya.

Analisis ini mendeskripsikan interaksi antara wisatawan Jepang dengan driver guide melalui media Instagram. Media ini mampu menjembatani komunikasi dalam menjual jasa layanan meskipun belum pernah bertemu

Page 15: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Komunitas Sastra, Produksi Karya, dan Pembangunan Karakter

51

sama sekali. Sikap ini telah membuktikan bahwa sistem komunikasi terbuka dan keramah-tamahan menjadi pedoman utama dalam berinterkasi meskipun kepada orang yang belum dikenal sama sekali. Hal ini telah membuktikan pandangan Rapp et al. (2013:558) dan Utami dan Purnama (2012: 3) bahwa media sosial dapat memberikan manfaat positif serta dampak negatif. Manfaat positif, salah satunya adalah media promosi yang efektif. Penanda hormat pada data di atas menggunakan bentuk teineigo pada kata ~ tsukatte kudasai dan kenjougo pada ~ onegaiitashimasu. Kedua bentuk ini digunakan oleh driver guide untuk menjawab keinginan wisatawan Jepang dalam memesan sopir saat datang ke Bali. Respon ini membuktikan bahwa keramah-tamahan tetap dimiliki oleh driver guide ketika berinteraksi dengan siapa saja yang baru dikenal. Dalam dunia bisnis seperti ini, Jepang ternyata memiliki pandangan khusus akan pentingnya penanda tingkat hormat seperti pandangan Rahayu (2013:109). Oleh karenanya, diperlukan sebuah pemahaman bagi para driver guide untuk dapat mengaplikasikan penanda tingkat tutur hormat keigo sehingga bisnis yang mereka lakukan dapat diterima oleh wisatawan Jepang. Serta didukung pula dengan sikap ramah tamah sebagai cerminan karakter masyarakat Bali. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dialog di atas dapat disimpulkan bahwa cross culture yang banyak ditemui dalam domain pariwisata selain sistem bahasa dan struktur kalimat yaitu, sistem berkomunikasi yang terbuka dan ramah sebagai ciri khas dari interaksi yang dimiliki masyarakat Bali khususnya dan sistem kelompok yang tidak memandang adanya perbedaan kelompok maupun golongan. Penggunaan penanda tingkat tutur bahsa Jepang oleh driver guide dilakukan dengan baik tetapi masih ditemukan banyak kesalahan.Walaupun penguasaan bahasa Jepang secara lisan sangat baik tetapi tidak menjamin mereka mampu menerapkan penanda tindak tutur hormat ‘keigo’ secara tepat. Meskipun demikian, karena faktor keramah-tamahan, sikap terbuka menyambut perkenalan awal dari wisatawan Jepang melalui media sosial Whatshapp, Line dan Instagram driver guide mampu menjalin interaksi dengan baik sehingga wisatawan Jepang memaklumi kondisi tersebut. Lintas budaya antara Indonesia dengan Jepang yang berwujud pada keramah-tamahan sikap terbuka menerima pertemanan dari siapa saja, cepat akrab dan peduli terhadap kebutuhan orang lain dalam komunikasi baik tulis maupun lisan mampu menjembatani perbedaan budaya sehingga interaksi dapat terjalin di antara kedua belah pihak khususnya dalam domain bisnis. Banyak media sosial yang digunakan sebagai media komunikasi khususnya dalam mendapatkan informasi ataupun sebagai media untuk menjual jasa layanan dalam ranah pariwisata. Namun banyaknya media sosial yang sedang tren saat ini didominasi oleh Whatsapp, Line dan Instagram. Ketiga media sosial ini paling sering digunakan karena tidak memerlukan biaya yang mahal, efisien dan mampu menampilkan fitur gambar maupun foto sehingga pengguna media sosial akan merasa lebih praktis dalam berkomunikasi.

UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada RISTEKDIKTI atas kesempatan mengikuti Program Sandwich Like (PKPI) ke Universitas Shizuoka of Art and Culture (SUAC) sehingga sangat membantu dalam penulisan disertasi dan artikel.

DAFTAR PUSTAKA Berita Resmi Statistik Perkembangan and Pariwisata. 2019. “Perkembangan Pariwisata Bali Februari 2019.” Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. 1978. “Universals in Language Usage: Politeness Phenomena.”

Dalam Questions and Politeness: Strategies in Social Interaction, Cambridge University Press. Budiarta, I. Wayan dan I. Gusti Ngurah Adi Rajistha. 2018. “Politeness in ‘Adit Dan Sopo Jarwo’ Animation.”

Lingua Cultura 12 (1):25, doi:10.21512/lc.v12i1.1822. Febriyanti, Rike. 2018. “Strategi Kesopanan Berbahasa Jepang dalam Korespondensi Surat Elektronik Bisnis

Sesuai yang Disarankan oleh Penutur Asli Bahasa Jepang.” Erudio Journal of Educational Innovation 5.

Page 16: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Mozaik Humaniora Vol. 19 (1): 1-17

52

Haugh, Michael. 2004. “Revisiting the Conceptualisation of Politeness in English and Japanese.” Multilingua

23 (1/2): 85–110, doi:10.1515/mult.2004.009. Iori, Isao et al. 2001. “Nihongo Bunpou Handbook.” Tokyo: 3A Corporation. Irma, Ade. 2017. “Sebagai Media Komunikasi Pemasaran Bisnis.” Jurnal Online Klasik 4 (2): 1–12. Iwata, Yuka dan Miho Okada. 2018. “Teaching Japanese Language in Tourism and Customer Service Skills.”

Journal of Global Tourism Research 3 (2). Kabaya, Hiroshi, Kimu Dongyu, dan Takagi Miyoshi. 2009. Keigo Hyougen Handobukku. Taishukan Japan. Kaneko Hiroyuki. 2014. Nihongo Keigo Toreningu. 会社アスク出版. Kaplan, Andreas M. dan Michael Haenlein. “Users of the World, Unite! The Challenges and Opportunities of

Social Media.” Business Horizons 53 (1):59–68. Kluckhohn, Clyde. 1953. “Universal Categories of Culture.” Anthropology Today 276. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Kurniawan, Puguh. 2017. "Pemanfaatan Media Sosial Instagram sebagai Komunikasi Pemasaran Modern Pada

Batik Burneh." 11:217–25. Leiliyanti, Eva et al. 2018. “Transcoding Wacana Konstruksi dan Kontestasi Citra Jokowi dan Prabowo dalam

Media Sosial pada Masa Kampanye Pilpres 2014.” Mozaik Humaniora 17 (2):192–213. Mathieson, Alister dan Geoffrey Wall. 1982. Tourism, Economic, Physical and Social Impacts. Longman. Patrick, Nkemdilim. 2015. “Assessment of Patterns of Readership of Online Newspapers in Selected Nigerian

Universities.” International Journal of Linguistics and Communication 3 (2): 35–46, doi:10.15640/ijlc.v3n2a4.

Pizziconi, Barbara. 2004. “Japanese Politeness in the Work of Fujio Minami.” Linguistics 13:269–280. Purnomo, Budi. 2010. “Politeness Strategies and Levels in Tourism-Service Language in Surakarta Residency.”

REGISTER, Language & Language Teaching Journals 3 (1): 153–89. Rahayu, Ely Triasih. 2014. “Comparison of Honorific Language in Javanese and Japanese Speech Community”

International Journal on Studies in English Language and Literature (IJSELL) 2 (7):140–46. ________. “Comparison of Honorific Language in Javanese and Japanese Speech Community.” International

Journal on Studies in English Language and Literature, vol. 2, no. 7, 2014, pp. 140–46. ________. 2013. “The Japanese Keigo Verbal Marker.” Advances in Language and Literary Studies 4 (2):104–11,

doi:10.7575/aiac.alls.v.4n.2p.104. Rapp, Adam et al. 2013. “Understanding Social Media Effects Across Seller, Retailer, and Consumer

Interactions.” Journal of the Academy of Marketing Science 41 (5):547–566. Resmi, Berita, et al. 2019. Perkembangan Pariwisata Bali Februari 2019.

Page 17: Pengaruh Lintas Budaya Tingkat Tutur Hormat Keigo melalui

Komunitas Sastra, Produksi Karya, dan Pembangunan Karakter

53

Santosa, Riyadi. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif Kebahasaan, disunting oleh Dwi Purnanto. Surakarta: UNS Press.

Sartini, Ni Wayan. 2017. “Strategi Kesantunan Berbahasa Diaspora Orang Bali di Jawa Timur dalam Situasi

Formal.” Mozaik Humaniora 16 (2):233–46. Setiadi, Ahmad. “Pemanfaatan Media Sosial Untuk Efektifitas Komunikasi.” Cakrawala: Jurnal Humaniora Bina

Sarana Informatika, vol. 16, no. 2, 2016, pp. 110–116. Spradley, James P. et al. 1997. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Supratman, Lucy Pujasari. 2018. “Penggunaan Media Sosial oleh Digital Native.” Jurnal Ilmu Komunikasi 15

(1):47–60. Suryani, Ita. 2014. “Pemanfaatan Media Sosial sebagai Media Pemasaran Produk dan Potensi Indonesia dalam

Upaya Mendukung ASEAN Community 2015 (Studi Social Media Marketing Pada Twitter Kemenparekraf RI dan Facebook Disparbud Provinsi Jawa Barat).” Jurnal Komunikasi 8 (2):123-38.

TVRI Pusat Jakarta. 2019. Beryadnya Berbasis Tri Hita Karana. TVRI Pusat Jakarta. Utami, Agustin Dyah dan Bambang E. Purnama. 2012. “Pemanfaatan Jejaring Sosial sebagai Media Bisnis

Online (Studi Kasus di Batik Solo 85).” Seruni FTI UNSA 1: 1-7. Wahyuningtias, Hani. 2014. “Kajian Kesantunan dalam E-Mail Permohonan yang Ditulis oleh Penutur Jepang

dan Pembelajar Indonesia.” Lingua Cultura 8:1-7. Wiyatasari, Reny. 2017. “Representasi Konsep Uchi-Soto dalam Bahasa Jepang.” Kiryoku Volume 1 (4):37-47.