pengaruh pendapatan asli daerah, sisa lebih perhitungan...
TRANSCRIPT
1
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, SISA LEBIH PERHITUNGAN ANGGARAN DAN DANA
ALOKASI UMUM TERHADAP PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN ANGGARAN
(Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah)
Adi Dicka Fathony (C2C607003)
Dr. H. Abdul Rohman, M.Si, Akt.
ABSTRACT
The Application of the Local Autonomy Program in Indonesia based on Law No. 22/1999 about Local Government gives an opportunityto the application of agency theory in local budgeting. This theory addresses a relationship between local government, the People Representative Board at local level (DPRD), and people (voters). Voters Legislative is principle for legislative.The information asymmetry between executive and legislative in the local budget allocation, especially when there is a change of the Estimate Income of Regional Expense (APBD)has no meaning when the legislative uses its discretionary power as the consequence of Law No 22/1999 so that the executive is difficult to refuse the legislative recommendation to allocate the budged as its preference. The revision of Law No. 2/1999 into Law No. 32/2004 about Local Government actually endeavors to reduce thelegislative opportunistic behavior.
This study is aimed toexamineandanalyze the influence of PAD towards the opportunisticbehaviorof budget requestor in all the regions/cities of theCentralJava, toexamineandanalyze theinfluence ofSiLPA towards theopportunistic behaviorbudget requestor in all the regions/cities of theCentralJava, toexamineandanalyze theeffectof DAUtowards theopportunistic behaviorbudget requestor in theCentralJavaProvincial Government. The data which is used is the secondary data obtained fromRegional Secretariat of Central Java Province. The population in this study is all the regions/cities in Central Java of the research period 2008 – 2010. The sampling technique in this study uses purposive sampling method. Based on the criteria, the samples which are used are 33 Regencies/cities. The instrument used is multiple regression method.
The result of the study shows that theLocal Revenue (PAD) and General Allocation Fund (DAU) have significantly positive influence toward the opportunistic behaviorof the budget requestor in theCentralJavaProvincial Government.SiLPA has significantly negative influence towards the opportunistic behaviorof the budget requestor in theCentralJavaProvincial Government.
Keywords: Local Revenue (PAD), Time over Budget Calculation (SiLPA), the General Allocation Fund (DAU), Opportunistic BehaviorBudget Requestor(OPA)
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era reformasi yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
yang direvisi dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan dan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan
kekuatan baru dalam otonomi pemerintah daerah. Otonomi daerah menurut Undang-Undang
nomor 32 tahun 2004 merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Penerapan undang-undang ini berimplikasi pada perubahan yang
sangat mendasar terhadap hubungan pemerintah daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan
Rakat Daerah (legislatif).
Legislatif diberi kewenangan sebagai pengawas pelaksanaan pembangunan yang dilakukan
oleh eksekutif menyebabkan posisi legislatif menjadi superior terhadap pemerintah. Akibatnya
tekanan kepada eksekutif menjadi semakin besar, termasuk dalam proses penyusunan anggaran.
Sebab, legislatif yang memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban dan mengadakan
penyelidikan terhadap eksekutif menjadi sangat berwibawa dalam proses penyusunan anggaran.
Keadaan ini dapat ditelaah melalui perspektif keagenan dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang melihat hubungan DPRD-Pemerintah Daerah–masyarakat. Halim dan
Abdullah (2006) menyatakan bahwa dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif,
eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal, sedangkan dalam hubungan legislatif dan
rakyat (pemilih), pemilih adalah prinsipal dan legislatif adalah agen. Permasalahan timbul sebab
dalam interaksinya, masing-masing pihak baik agen maupun prinsipal akan berusaha untuk
mengutamakan kepentingannya masing-masing.
Menurut Jaya (2006) penyalahgunaan sumber daya dapat terjadi karena agen melepaskan
tanggungjawabnya tanpa sepengetahuan prinsipal. Sebaliknya prinsipal karena kekuasaan yang
dimiliknya dapat berlaku semena-mena berkaitan dengan pengalokasian sember daya tersebut.
Implikasinya, baik prinsipal ataupun agen dapat berperilaku oportunistik untuk mendahulukan
kepentingannya masing-masing. Perilaku oportunistik legislatif sebagai agen dari rakyat, terjadi
3
bila legislatif sebagai agen seharusnya membela kepentingan rakyat. Namun, kenyataannya
seringkali berbeda. Rakyat tidak selalu mengetahui seluruh informasi yang ada, dan bagaimana
proses pengalokasian anggaran berlangsung.
APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan
pembiayaan daerah (Nurlan, 2008). Adanya kemungkinan tambahan pendapatan daerah yang
berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dapat dijabarkan ke sektor-sektor yang menjadi
preferensi legislatif. Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang
dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok
masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum (Warsito dkk,
2008). Akan tetapi, pengalokasian tersebut seringkali tidak memperhatikan jangka waktu
penetapan perubahan APBD yang hanya tinggal beberapa bulan sebelum berakhirnya tahun
anggaran seringkali menjadi tidak efektif atau bahkan tidak terserap sepenuhnya saat tahun
anggaran berakhir, dan berdampak pada SiLPA (sisa lebih perhitungan anggaran), bagaimana
dana yang seharusnya dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat ternyata tidak
terserap sepenuhnya.
Berdasarkan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Di
sisi lain, perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menjadi
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merubah posisi hubungan
eksekutif dan legislatif. Posisi legislatif makin lemah lantaran banyak kewenangannya yang
dirubah. Perubahan tersebut membuat legislatif dalam pembahasan rancangan peraturan daerah
(ranperda), termasuk ranperda tentang APBD harus berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri
(Mendagri).
Kewenangan legislatif untuk “memveto” pertanggungjawaban kepala daerah yang terjadi
di masa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak akan terjadi lagi, sebab legislatif hanya
berhak mengusulkan pemberhentian, sedangkan keputusannya ditentukan presiden. Hubungan
antara legislatif dan eksekutif menjadi hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat
kemitraan. Hubungan kemitraan bermakna bahwa legislatif dan eksekutif adalah sama-sama
4
mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai
dengan fungsi masing-masing. Kedua lembaga itu harus membangun hubungan kerja yang
sifatnya mendukung, bukan merupakan lawan atau ataupun pesaing satu sama lain dalam
melaksanakan fungsi masing-masing. Menurut Halim dan Abdullah (2006), perubahan ini
diharapkan mengurangi perilaku oportunistik legislatif berkaitan dengan keunggulan kekuasaan
yang dimilikinya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
ingin membuktikan pengaruh PAD, SiLPA dan DAU terhadap perilaku oportunistik penyusun
anggaran. Selain itu, fokus penelitian ini adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
Motivasi yang melandasi penelitian ini adalah studi mengenai peran legislatif dalam
penganggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengahdengan menggunakan perspektif
keagenan belum dilakukan karena pendekatan anggaran yang digunakan sebelumnya tidak
memungkinkan menggali lebih jauh perilaku oportunistik legislatif. Untuk itu dipandang perlu
melakukan penelitian ini, untuk membuktikan pengaruh PAD, SiLPA dan DAU terhadap
perilaku oportunistik penyusun anggaran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah PAD berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah?
2. Apakah SiLPA berpengaruh negatif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah?
3. Apakah DAU berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh PAD terhadap perilaku oportunistik penyusun
anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
5
2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh SiLPA terhadap perilaku oportunistik
penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
3. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh DAU terhadap perilaku oportunistik penyusun
anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa:
1. Masukan bagi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah untuk memahami perilaku
oportunistik penyusun anggaran.
2. Bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut mengenai permasalahan yang berkaitan dengan topik ini.
3. Wacana bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang penganggaran yang berkaitan
dengan teori agensi.
6
II. TELAAH PUSTAKA
2.1 Proses Penyusunan APBD
Proses penyusunan APBD diawali dengan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) untuk periode 1 tahun. Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah
(Pemda) menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang akan dijadikan dasar dalam
penyusunan APBD. Kemudian Pemerintah Daerah menyusun Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS) untuk selanjutnya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Setelah PPAS telah disetujui DPRD, maka disusunlah Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang kemudian disahkan menjadi APBD.
2.2 Oportunisme Penyusun Anggaran dalam Penganggaran
Menurut Garamvalvi (1997) politisi menggunakan pengaruh dan kekuasaan yang ada pada
mereka untuk menentukan alokasi sumberdaya, yang akan memberikan keuntungan pribadi bagi
mereka. Karena itu mereka akan memanfaatkan posisinya untuk memperoleh rente. Persoalan
akan semakin parah saat tidak ada institusi formal yang berfungsi mengawasi kinerja legislatif.
Martinez-Vasquez et al. (2006) menyatakan bahwa political corruption terjadi ketika
politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi keuntungan pribadi,
ataupun kalangan dekat mereka. Misalnya, dengan mengalokasikan belanja untuk barang-barang
khusus dan berteknologi tinggi karena merupakan belanja yang mudah dikorupsi sebab tidak
banyak orang yang memahami barang tersebut (Mauro, 1998).
2.3 Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Rakyat
Dalam hal memberikan pelayanan kepada publik, legislatif (DPRD) bertindak sebagai agen
dan publik (rakyat) bertindak sebagai prinsipal. Legislatif merupakan perwakilan dari rakyat
yang dipercaya untuk dapat menjalankan tugasnya dalam mensejahterakan rakyat dan
mengembangkan daerahnya. Legislatif bertindak berdasarkan keinginan rakyat dan rakyat
memantau kinerja dari legislatif. Jadi walaupun di satu sisi legislatif menjadi prinsipal, tapi
dalam hubungannya dengan publik, legislatif bertindak sebagai agen. Sehingga dalam
menjalankan tugasnya, legislatif menempatkan dirinya sebagai pihak yang menerima tugas dari
publik, kemudian melakukan pendelegasian tugas kepada eksekutif untuk melakukan
penganggaran.
7
2.4 Kerangka Pemikiran
2.5 Pengembangan Hipotesis
2.5.1 Pengaruh PAD terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
Secara konseptual, perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap belanja atas
pengeluaran. Studi Abdullah dan Asmara (2006) menemukan adanya preferensi antara eksekutif
dan legislatif dalam pengalokasian perubahan PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk
infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk pendidikan dan kesehatan justru
mengalami penurunan. Meskipun perubahan PP 110/2000 menjadi PP 24/2004 tidak lagi
mengharuskan alokasi anggaran untuk legislatif dikaitkan secara langsung dengan PAD, namun
PP 37/2005 dan perubahannya, yaitu PP 37/2006 dan PP 21/2007 kembali mengaitkan besaran
belanja penunjang operasional legislatif dengan besaran PAD.
Perubahan APBD menjadi sarana bagi legislatif dan eksekutif untuk merubah alokasi
anggaran secara legal. Perilaku oportunistik legislatif dan eksekutif saat perubahan APBD dapat
mengakibatkan terjadinya misalokasi anggaran belanja pemerintah. Kecenderungan PAD yang
selalu bertambah saat perubahan anggaran, membuka peluag bagi legislatif untuk
“merekomendasikan” penambahan anggaran bagi program dan kegiatan yang menjadi
preferensinya. Landasan teori tersebut menghasilkan hipotesis sebagai berikut :
H1 : PAD berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
2.5.2 Pengaruh SiLPA terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
SiLPA di sisi lain, mengurangi perilaku oportunistik legislatif. Alokasi sumber daya yang
telah ditetapkan legislatif untuk pemenuhan kepentingannya ada yang tidak terserap. SiLPA juga
bisa terjadi akibat asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Sebab, ternyata ada
SiLPA
DAU
Perilaku Oportunistik
Penyusun Anggaran
PAD +
+
-
8
akumulasi dana yang masih belum bisa dijabarkan oleh eksekutif dan tidak diketahui legislatif.
Akibatnya, dana yang dijabarkan dalam pengalokasian anggaran hanya sebagian dari dana yang
sesungguhnya ada dan dimiliki daerah. Landasan teori tersebut menghasilkan hipotesis sebagai
berikut :
H2 : SiLPA berpengaruh negatif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
2.5.3 Pengaruh DAU terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
Berdasarkan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut
merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan didalam APBN dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini
untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang
tidak penting.
Terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja
pemerintah daerah. Variabel-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek
disesuaikan (adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon
yang non-linier dan asymetric dinyatakan oleh Holtz-Eakin et. al. (1985) dalam penelian
empirisnya. Berdasarkan landasan teori tersebut, dapat menghasilkan hipotesis sebagai berikut:
H3 : DAU berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
9
III. METODE PENELITIAN
3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan
cara mengubahnya menjadi variabel, yang berarti sesuatu yang mempunyai variasi nilai.
Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari:
3.1.1. Variabel Dependen
Variabel terikat (Dependent Variable) pada penelitian ini adalah Perilaku
Oportunistik Penyusun Anggaran (OPA). Perilaku oportunistik yaitu perilaku yang berusaha
mencapai keinginan dengan segala cara bahkan dengan cara yang ilegal sekalipun, dapat
menyebabkan hubungan prinsipal-agen yang terjadi dalam suatu kontrak akhirnya mengarah
pada terjadinya adverse selection (menyembunyikan informasi) dan moral hazard
(penyalahgunaan wewenang). Ada dua tahap pengukuran OPA, yaitu (Abdullah dan Asmara,
2006):
a. Menghitung spread anggaran pendidikan (∆Pdk), spread anggaran kesehatan (∆Kes),
spread anggaran pekerjaan umum (∆PU), spread anggaran DPRD (∆Leg).
Perhitungan spread (∆) = APBD tahun berjalan (t) – APBD tahun sebelumnya (t-1)
b. Mengakumulasikan spread anggaran pendidikan (∆Pdk), spread anggaran kesehatan
(∆Kes), spread anggaran pekerjaan umum (∆PU), spread anggaran DPRD (∆Leg).
Perhitungan OPA = ∆Pdk + ∆Kes + ∆PU + ∆Leg
Keterangan:
∆Pdk : perubahan turun atau berkurangnya anggaran bidang pendidikan
∆Kes : perubahan turun atau berkurangnya anggaran bidang kesehatan
∆PU : perubahan meningkatnya anggaran bidang pekerjaan umum (infrastruktur)
∆Leg : perubahan meningkatnya anggaran bidang DPRD
Di dalam penelitian ini istilah Oportunistik Legislatif (OL) diganti dengan Oportunistik
Penyusun Anggaran (OPA). Karena dalam penelitian ini ditemukan adanya perilaku oportuistik
yang dilakukan baik oleh legislatif dan ekskutif dalam penyusunan anggaran.
10
3.1.2. Variabel Independen
Dalam penelitian ini, variabel bebas (Independent Variable) yang mempengaruhi
Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (OPA) terdiri dari tiga, yaitu:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, retribusi
Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain. Cara mengukur PAD adalah
dengan menggunakan perubahan PAD (∆ PPAD) adalah perubahan naik atau turunnya PAD
dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1) (Maria, 2009).
b. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)
Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup
pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan
penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan,
penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun terselesaikan
dan sisa dana kegiatan lanjutan, yang ditanggung dalam perubahan APBD. SiLPA diukur
dengan spread SiLPA (SiLPA) dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1)
(Maria, 2009).
c.Dana Alokasi Umum (DAU)
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang
berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dalam Halim (2004), Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer yang bersifat
umum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi ketimpangan
horisontaldengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Jumlah
keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN)
neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk masing-masing Kab/Kota dapat dilihat dari pos
dana perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD. DAU diukur dengan spread Dana Alokasi
Umum (DAU) dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1) (Yulia, 2007).
3.2. Populasi dan Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan metode purposive
11
sampling. Pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling) dilakukan dengan mengambil
sampel dari populasi berdasarkan kriteria tertentu (Jogiyanto, 2010).
Kriteria pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah:
1. Seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang melaporkan secara rutin
APBD dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Urusan Pekerjaan Umum, dan
Sekretariat DPRD selama 3 tahun yaitu tahun 2008 – 2010
2. Seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang melaporkan secara rutin
APBD tahun anggaran 2008 – 2010 yang mempublikasikan PAD, SiLPA, dan
DAU.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data PAD, SiLPA, DAU
dan spread anggaran belanja dalam APBD Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun
anggaran 2008, 2009 dan 2010 yang bersumber dari Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah
bagian Evdal dan Pengendalian Kabupaten/Kota serta bagian Akuntansi.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara:
1. Studi kepustakaan (library research)
Dilakukan dalam rangka memperkuat landasan teori penelitian tentang agency theory di
sektor publik yang diperoleh dari buku-buku, aturan-aturan pemerintah, jurnal-jurnal ilmiah
dan hasil-hasil penelitian terdahulu dari dalam maupun luar negeri yang mempunyai kaitan
erat dengan penelitian ini.
2. Penelitian lapangan (field research)
Dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian ini pada
Bagian Keuangan Provinsi Jawa Tengah.
3. Deskriptif kualitatif
Yaitu dengan menganalisis, mengolah data serta menjelaskan sesuai dengan data yang
diperoleh.
12
3.5. Metode Analisis
3.5.1. Statistik Deskriptif
Penelitian ini menggunakan statistik deskriptif, yang menginformasikan tentang nilai
minimum, nilai maksimum, rata-rata (mean), dan standar deviasi (standard deviation). Statistik
deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskresipkan
atau menggambarkan data yang telah terkumpul tanpa membuat kesimpulan yang berlaku umum
(Sugiyono, 2005).
3.5.2. Pengujian Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik terdiri dari:
3.5.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t dan F
mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar
maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil (Ghozali, 2009). Dalam
penelitian ini, pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan One Sample
Kormogorov-Smirnov Test dengan tingkat signifikansi 5%.
3.5.2.2 Uji Multikolonearitas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya
korelasi antar variabel bebas (Ghozali, 2009). Multikolonieritas terjadi dalam analisis regresi
berganda apabila variabel-variabel bebas saling berkorelasi.Dalam Ghozali (2009)
mutikolonieritas dapat dilihat dari nilai tolerance > 0,1 dan nilai VIF < 10.
3.5.2.3 Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance
dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas
dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah Homoskedastisitas
atau tidak terjadi Heterokedastisitas (Ghozali, 2009).Uji statistik yang digunakan untuk
mendeteksi ada tidaknya Heterokedastisitas dalam penelitian ini adalah Uji Glejser.
13
3.5.2.4 Uji Autokorelasi
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data time series, sehingga
menggunakan pengujian autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya) (Ghozali, 2009).Uji Autokorelasi dapat dilakukan
dengan Run Test.
3.5.3. Metode Regresi Linier Berganda
Penelitian ini terdiri dari 3 variabel independen (Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran dan Dana Alokasi Umum) dan 1 variabel dependen (Perilaku
Oportunistik Penyusun Anggaran), sehingga menggunakan persamaan regresi berganda.
Persamaan regresi yang digunakan adalah:
Y = α + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e
Keterangan:
α : konstanta
b1, b2, b3 : koefisien regresi
Y : perilaku oportunistik penyusun anggaran
X1 : PAD
X2 : SiLPA
X3 : DAU
e : kesalahan pengganggu
3.5.4. Pengujian Hipotesis
Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari nilai
probabilitas uji t, uji F, dan koefisien determinasi (Adjusted R2). Perhitungan statistik disebut
signifikan secara statistik apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah kritis (daerah dimana
Ho ditolak). Sebaliknya disebut tidak signifikan bila nilai uji statistiknya berada dalam daerah
dimana Ho diterima (Ghozali, 2009).
14
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Proses seleksi sampel berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan tampak dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1.
Proses Seleksi Sampel Berdasarkan Kriteria
No. Kriteria Jumlah Yang
Tidak Sesuai
Jumlah Yang
Sesuai
1. Total Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah - 35
2.
Seluruh Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah yang
melaporkan secara rutin APBD
dari Dinas Pendidikan, Dinas
Kesehatan, Urusan Pekerjaan
Umum, dan Sekretariat DPRD
selama 3 tahun yaitu tahun 2008 –
2010
1 34
3.
Seluruh Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah yang
melaporkan secara rutin APBD
tahun anggaran 2008 – 2010
yang mempublikasikan PAD,
SiLPA, dan DAU
1 33
Jumlah Kabupaten/Kota sampel 33
Tahun pengamatan 3
Total Sampel (N) 99
Sampel: data sekunder diolah, 2011
4.2 Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan yaitu statistik deskriptif, uji asumsi
klasik dan uji hipotesis.
15
4.2.1 Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif untuk variabel-variabel penelitian yang digunakan dalam model
persamaan regresi dalam penelitian disajikan dalam tabel 4.2 sebagai berikut:
Tabel 4.2
Statistik Deskriptif
Variabel N Nilai
Minimum
Nilai
Maksimum
Nilai Rata-Rata
(Rp)
OPA 99 -3.372.039.356 61.366.922.000 22.870.360.807,41
PAD 99 -124.999.500 976.800.500 87.063.338,93
SiLPA 99 0 999.978.000 55.800.027,00
DAU 99 0 100.000 7.656,57
Sumber: data sekunder diolah, 2011
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai minimum perilaku oportunistik penyusun
anggaran (OPA) sebesar minus Rp 3.372.039.356,- nilai maksimum sebesar Rp
61.366.922.000,- dan nilai rata-rata Rp 22.870.360.807,41,-. Nilai minimum Pendapatan Asli
Daerah (PAD) sebesar minus Rp 124.999.500,- nilai maksimum sebesar Rp 976.800.500,- dan
nilai rata-rata Rp 87.063.338,93,-. Nilai minimum Sisa Lebih Perhitungan Anggaran sebelumnya
(SiLPA) sebesar Rp 0,- nilai maksimum sebesar Rp 999.978.000,- dan nilai rata-rata Rp
55.800.027,00. Nilai minimum Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 0,- nilai maksimum
sebesar Rp 100.000,- dan nilai rata-rata Rp 7.656,57.
4.2.2 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas, multikolonieritas,
heteroskedastisitas, dan autokorelasi.
4.2.2.1 Uji Normalitas
Tabel 4.3
Hasil Uji Normalitas Dengan Kolmogorov-Smirnov
Keterangan Nilai
Nilai Kolmogorov Smirnov 0,716
Signifikansi Kolmogorov Smirnov 0,684
Sumber: Data sekunder diolah, 2011
16
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa nilai signifikansi uji Kolmogorov- Smirnov sama
dengan 0,684 (signifikansi > 0,05) sehingga normalitas pada penelitian ini terpenuhi.
4.2.2.2 Uji Multikolonieritas
Tabel 4.4
Hasil Uji Multikolonieritas
Variabel Independen Colinearity Statistic
Tolerance VIF
PAD 0,979 1,022
SiLPA 0,975 1,026
DAU 0,990 1,010
Sumber: data sekunder diolah, 2011
Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa tidak ada variabel independen yang
memiliki nilai Tolerance < 0,1 yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen. Hasil
perhitungan nilai VIF juga tidak ada satu variabel independen yang memiliki nilai VIF > 10. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolonieritas antar variabel independen dalam penelitian
ini.
4.2.2.3 Uji Heteroskedastisitas
Tabel 4.5
Uji Glejser
Variabel Independen
Signifikansi uji t
terhadap Absolut
Unstandardized Residual
PAD 0,148
SiLPA 0,995
DAU 0,437
Sumber: data sekunder diolah, 2011
Dari tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel independen yang
signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen nilai absolute unstandardized
residual dengan nilai signifikansi > 0,05 sehingga disimpulkan model regresi tidak mengandung
adanya heterokedastisitas.
17
4.2.2.4 Uji Autokorelasi
Tabel 4.6
Run Test
Unstandardized Residual
Z hitung - 0,706
Signifikansi Run Test 0,480
Sumber: data sekunder diolah, 2011
Hasil output SPSS di atas menunjukkan bahwa nilai test adalah – 0,706 dengan
probabilitas 0,480 (signifikansi > 0,05) yang berarti bahwa residual bersifat random atau acak.
Dengan demikian tidak terjadi autokorelasi antar nilai residual, sehingga model regresi layak
digunakan.
4.2.3 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
4.2.3.1 Koefisien Determinasi
Tabel 4.7
Koefisien Determinasi
Model R R2 Adjusted R2
1 0,428 0,183 0,158
Sumber: data sekunder diolah, 2011
Dari tabel 4.6 di atas, terlihat bahwa nilai Adjusted R Square sebesar 0,158 atau 15,8 %
yang memiliki arti bahwa kemampuan variabel bebas yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa
Lebih Perhitungan Anggaran sebelumnya (SiLPA), dan Dana Alokasi Umum (DAU) dapat
menjelaskan besarnya variabel dependen yaitu Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (OPA)
adalah sebesar 15,8 %. Sedangkan sisanya (100 % - 15,8 % = 84,2 %) dijelaskan oleh sebab-
sebab lain di luar model regresi.
4.2.3.2 Uji Simultan (Uji Statistik F)
Tabel 4.8
Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Model F hitung Signifikansi Uji F
Regression 7,113 0,000 Sumber: data sekunder 2011, diolah
18
Dari tabel 4.8 diatas, terlihat bahwa hasil uji ANOVA atau uji F, diperoleh F hitung
sebesar 7,113 dengan nilai probabilitas 0,000 (signifikan). Karena nilai signifikansi < 0,05 maka
model regresi dapat digunakan untuk memprediksi Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
(OPA) atau dapat dikatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran sebelumnya (SiLPA), dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependen yaitu Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
(OPA).
4.2.3.3 Uji Parsial (Uji Statistik t)
Tabel 4.9
Hasil Uji t
Variabel Unstandardized
Coefficients (B) t hitung
Signifikansi
uji t
Konstanta 20.939.425.408,331 12,981 0,000
PAD 23,653 2,448 0,016
SiLPA -18,467 -2,608 0,011
DAU 117.820,985 2,171 0,032
Sumber: data sekunder 2011, diolah
Dari tabel 4.9 diatas, dapat dilihat bahwa dari ketiga variabel independen yang
dimasukkan kedalam model regresi, masing-masing variabel independen berpengaruh signifikan
terhadap dependen karena memiliki nilai signifikansi < 0,05. Hal ini dapat dilihat dari
nilai probabilitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 0,016, nilai probabilitas Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran sebelumnya (SiLPA) sebesar 0,011, dan nilai probabilitas Dana Alokasi
Umum (DAU) sebesar 0,032.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Perilaku
Oportunistik Penyusun Anggaran (OPA) dipengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran sebelumnya (SiLPA), dan Dana Alokasi Umum (DAU) dengan
persamaan sistematis sebagai berikut ini:
OPA = 20.939.425.408,331 + 23,653 PAD – 18,467 SiLPA + 117.820,985 DAU
Keterangan:
OPA = Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Y)
19
PAD = Pendapatan Asli Daerah (X1)
SiLPA = Sisa Lebih Perhitungan Anggaran sebelumnya (X2)
DAU = Dana Alokasi Umum (X3)
Dalam penelitian ini, persamaan tersebut tidak digunakan untuk memprediksi, namun
hanya digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antara variabel satu dengan lainnya.
4.2.4 Hasil Pengujian Hipotesis
Tabel 4.10
Hasil Pengujian Hipotesis
Variabel Unstandardized
Coefficients (B)
Signifikansi
uji t
PAD 23,653 0,016
SiLPA -18,467 0,011
DAU 117.820,985 0,032
Sumber: data sekunder 2011, diolah
Dari tabel 4.10 diatas, dapat disimpulkan bahwa dari uji hipotesis secara parsial dari
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen adalah sebagai berikut:
H1 : PAD berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Berdasarkan hasil uji t di atas, dapat dilihat bahwa nilai B untuk variabel PAD pada
kolom understandardized coefficients menunjukkan nilai yang positif yaitu 23,653 dan nilai
probabilitas untuk variabel PAD adalah 0,016. Karena nilai probabilitas ini lebih kecil dari taraf
signifikansi 0,05, maka kesimpulannya adalah PAD mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap perilaku penyusun anggaran. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa H1 diterima.
H2 : SiLPA berpengaruh negatif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Pada tabel 4.10, dapat dilihat bahwa nilai B untuk variabel SiLPA menunjukkan nilai
negatif yaitu sebesar - 18,467 dan nilai probabilitas SiLPA sebesar 0,011. Karena nilai
probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 ini berarti SiLPA mempunyai
pengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. Dengan
demikian maka kesimpulannya adalah H2 diterima.
20
H3 : DAU berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Pada tabel 4.10, dapat dilihat bahwa nilai B untuk variabel DAU menunjukkan nilai
positif yaitu sebesar 117.820,985 dan nilai probabilitas DAU sebesar 0,032. Karena nilai
probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 ini berarti DAU mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. Dengan demikian maka
kesimpulannya adalah H3 diterima.
Tabel 4.11
Ringkasan Hasil Uji Hipotesis
No. Hipotesis Hasil Uji
H1
PAD berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik
penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah
diterima
H2
SiLPA berpengaruh negatif terhadap perilaku oportunistik
penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah
diterima
H3
DAU berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik
penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah
diterima
4.3 Interpretasi Hasil
4.3.1 Hasil Uji Hipotesis Pertama (H1)
Hipotesis pertama menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa PAD mempunyai nilai koefisien 23,653 dan nilai probabilitas nilai
probabilitas 0,016. Karena nilai probabilitas PAD di bawah taraf signifikansi 0,05 maka H1
diterima.
Hasil pengujian terhadap hipotesis pertama ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan Abdullah dan Asmara (2006), dan Maria (2009) yang menyatakan bahwa perubahan
PAD (PPAD) berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku oportunistik legislatif (OL).
21
Secara konseptual, perubahan APBD akan berpengaruh terhadap belanja atau
pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam
belanja. PP 24/2004 secara tidak langsung memberi motivasi kepada legislatif untuk membuat
misalokasi anggaran belanja ketika besaran alokasi belanja untuk legislatif dikaitkan dengan
kemampuan keuangan daerah (diukur dari besaran PAD). Oleh karena itu, kenaikan PAD
berpengaruh positif terhadap alokasi untuk DPRD. Pelaksanaan PP 24/2004 sendiri tidak
berjalan dengan baik. Dalam pasal 27 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Anggaran belanja
DPRD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari APBD”, peraturan ini sering dilanggar dan
justru digunakan sebagai pembenaran untuk mengalokasikan anggaran legisltif yang lebih besar.
Meskipun perubahan PP 24/2004 tidak lagi mengharuskan alokasi anggaran untuk
legislatif dikaitkan secara langsung dengan PAD, namun PP 37/2005 dan perubahannya, yaitu PP
37/2006 dan PP 21/2007 kembali mengaitkan besaran belanja penunjang operasional legislatif
dengan besaran PAD.
Perubahan APBD menjadi sarana bagi legislatif dan eksekutif untuk merubah alokasi
anggaran secara legal. Perilaku oportunistik legislatif dan eksekutif saat perubahan APBD dapat
mengakibatkan terjadinya misalokasi anggaran belanja pemerintah. Kecenderungan PAD yang
selalu bertambah saat perubahan anggaran, membuka peluang bagi legislatif untuk
“merekomendasikan” penambahan anggaran bagi program dan kegiatan yang menjadi
preferensinya.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah, pemerintah
daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (UU 32/2004). Kemampuan
daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada
kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi
yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Besarnya kewenangan legislatif dalam proses penyusunan anggaran (UU 32/2004)
membuka ruang bagi legislatif untuk “memaksakan” kepentingan pribadinya. Posisi legislatif
sebagai pengawas bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah, dapat digunakan untuk
memprioritaskan preferensinya dalam penganggaran. Untuk merealisasikan kepentingan
pribadinya, politisi memiliki preferensi atas alokasi yang mengandung lucrative opportunities
dan memiliki dampak politik jangka panjang. Oleh karena itu, legislatif akan merekomendasi
22
eksekutif untuk menaikkan alokasi pada sektor-sektor yang mendukung kepentingannya.
Legislatif cenderung mengusulkan pengurangan atas alokasi untuk pendidikan, kesehatan, dan
belanja publik lainnya yang tidak bersifat job programs dan targetable.
Keinginan anggota parlemen untuk menerima dana rapel dengan nilai maksimal, seperti
yang diatur Peraturan Pemerintah 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler Keuangan Pimpinan
dan anggota DPRD, dianggap sebagai bentuk persetujuan terhadap legalisasi korupsi.
Sejak terbentuknya DPRD hasil Pemilihan Umum Tahun 2004, PP No 37/2006
merupakan perubahan kedua atas PP No 24/2004. Sebelum, PP No. 37/2006 telah diperbaiki
dengan PP No 37/2005. Artinya, dalam rentang waktu kurang dari dua setengah tahun, presiden
telah menetapkan tiga kali peraturan pemerintah tentang protokoler dan keuangan anggota
DPRD. Dalam perubahan tersebut yang mengalami perubahan hanya tunjangan untuk pimpinan
dan anggota DPRD.
4.3.2 Hasil Uji Hipotesis Kedua (H2)
Hipotesis kedua menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh negatif terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa SiLPA mempunyai nilai koefisien - 18,467 dan nilai probabilitas nilai
probabilitas 0,011. Karena nilai probabilitas SiLPA di bawah taraf signifikansi 0,05 maka H2
diterima.
Hasil pengujian terhadap hipotesis kedua ini konsisten dengan hasil penelitian yang
dilakukan Maria (2009) yang menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku oportunistik legislatif (OL). Hal ini berarti kenaikan SiLPA mengurangi jumlah dana
yang dapat dialokasikan untuk membiayai proyek atau kegiatan yang dapat mendukung perilaku
oportunistik penyusun anggaran.
Banyaknya SiLPA menggambarkan adanya dana lebih yang belum dapat dijabarkan
pemerintah, daya serap yang rendah, ataupun masih adanya kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi. Semakin besar SiLPA berarti ada sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan
untuk memenuhi kepentingan masyarakat, tetapi karena keterbatasan yang ada belum dijabarkan.
Ini juga berarti akan mengurangi perilaku oportunistik legislatif karena SiLPA akan digunakan
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban termasuk mengutamakan kepentingan masyarakat.
23
4.3.3 Hasil Uji Hipotesis Ketiga (H3)
Hipotesis ketiga menyatakan bahwa DAU berpengaruh positif terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa SiLPA mempunyai nilai koefisien 117.820,985 dan nilai probabilitas nilai
probabilitas 0,032. Karena nilai probabilitas DAU di bawah taraf signifikansi 0,05 maka H3
diterima.
Hasil pengujian terhadap hipotesis ketiga ini ada korelasinya dengan hasil penelitian yang
dilakukan Darwanto dan Mustikasari (2007) yang menyatakan bahwa DAU berpengaruh secara
signifikan terhadap belanja modal. Meskipun belanja modal digunakan untuk memberikan
pelayanan publik oleh pemerintah daerah, namun karena DAU merupakan dana APBN dari
pemerintah pusat yang diberikan secara gratis kepada pemerintah daerah maka pemerintah juga
leluasa untuk menggunakan dana ini perilaku oportunistik legislatif.
Untuk memberi dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah telah diterbitkan UU
33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dana Alokasi
Umum (DAU), adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya didalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di
dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa
dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada
masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting. Dana alokasi umum (DAU) yang
cuma-cuma inilah yang memberikan peluang kepada para legislatif untuk berperilaku
oportunistik.
24
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
2. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran sebelumnya (SiLPA) berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah.
3. Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
5.2. Keterbatasan
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, diantaranya adalah:
1. Obyek penelitian hanya di Provinsi Jawa Tengah sehingga belum dapat mewakili secara
keseluruhan perilaku oportunistik penyusun anggaran di semua tingkat pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
2. Periode penelitian hanya 3 tahun yaitu dari tahun 2008 sampai tahun 2010 sehingga
belum dapat menggeneralisasi hasil yang diperoleh.
3. Variabel independen yang digunakan hanya terbatas pada PAD, SiLPA, dan DAU, yang
sebenarnya masih banyak variabel yang belum dimasukkan ke dalam penelitian yang
sebenarnya dapat mempengaruhi perilaku oportunistik penyusun anggaran di
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
5.3. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan berkaitan dengan kesimpulan di atas adalah sebagai
berikut:
1. Perilaku opotunistik ini dapat dikurangi dengan memperbaiki dan memperjelas
mekanisme perencanaan, termasuk sungguh-sungguh melaksanakan perencanaan
partisipatif yang melibatkan masyarakat.
2. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah saat perubahan APBD ini
timbul karena adanya peluang atau sebagai reaksi terhadap aspek institusi yang lemah.
25
Karena itu perlu dibuat aturan main yang lebih transparan, misalnya dengan
mempublikasikan rancangan peraturan daerah, khususnya rancangan peraturan daerah
tentang APBD.
3. Perlu sosialisasi tentang hubungan eksekutif dan legislatif yang merupakan mitra sejajar,
sehingga dapat terjadi perubahan paradigma baik pada eksekutif maupun legislatif.
4. Perbaikan terhadap aspek institusi seperti aturan yang lebih jelas baik berupa aturan
formal, maupun aturan informal seperti norma-norma sosial, nilai-nilai etika dan standar
moral, juga pemilihan legislatif maupun eksekutif yang baik dan dapat dipercaya.
26
VI. REFERENSI
Abdullah, Syukriy dan Asmara, Jhon Andra. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Makalah Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang: 23-26 Agustus 2006.
Colombatto, Enrico. 2001. Discretionary Power, Rent-Seeking and Corruption. University di Torino & ICER, Working Paper.
Darise, Nurlan. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah (Akuntansi Sektor Publik). Jakarta: PT. Indeks.
Darwanto dan Yulia Yustikasari. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. Data Series Keuangan Daerah. http://www.djpk.depkeu.go.id
Florensia, Theresia Maria. 2009. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik, Tesis Program Pasca Sarjana Megister Sains Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada. (tidak dipublikasikan).
Forrester, Jhon. 2002. The-Principal Model and Budget Theory : Budget Theory in the Public Sector. Quorum Books. London : Wetsport, Connecticut.
Freeman, Robert J. & Craig D. Shoulders. 2003. Government and Nonprofit Accounting Theory and Practice. Seventh edition. Upper Sadle River, NJ: Prentice Hall.
Ghozali, Imam, 2009, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS : Cetakan IV, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Ghozali, Imam, 1993, Pokok-Pokok Akuntansi Pemerintahan : Edisi 3, BPFE, Yogyakarta
Ghozali, Imam, Dwi Ratmono, 2008, Akuntansi Keuangan Pemerintah Pusat (APBN) dan Daerah (APBD), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Gujarati, Damador. 2004. Basic Econometric, 4th Editions. MC Graw-Hill, Singapore.
Insukindro, Maryatmo, R. Aliman. 2001. “Ekonometrika Dasar dan Penyusunan Indikator Unggulan Ekonomi”.Modul. Disampaikan pada Lokakarya (Workshop) Ekonometrika Dalam Rangka Penjajakan Leading Indikator Export di KTI. Makasar: Hotel Sedona. 03-06 September 2001.
Isaksen, Jan. 2005. “The Budget Process and Corruption”. Paper for Corruption Resource Centre CMI CHR-MICHELSEN INSTITUTE. www.U4.no
Jaya, Wihana Kirana. 2005. Dysfunctional Institutions in The Case of Local Elite Behavior in Decision-Making about Local Government Budgets in Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 20(2):120-135.
27
Jaya, Wihana Kirana. 2006. Peran Institusi dalam Pertumbuhan Ekonomi Pangsa. Jurnal ekonomi dan Pembangunan 13(12): 3-18.
Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict between Bureaucrats and Legislators. Armonk, New York: M.E. Sharpe.
Kawedar, Warsito, Abdul Rohman dan Sri Handayani. 2008. Akuntansi Sektor Publik : Buku 1. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Keefer, Philip & Stutu Khemani. 2003. The Political Economy of Public Expenditures. Background paper for WDR 2004.
Kuncoro, Mudrajad. 2007. Metode Kuantitatif Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Martinez-Vazquez, Jorge, F. Javier Arze & Jameson Boex. 2006. Corruption. Fiscal Policy, and Fiscal Management. Working paper. Publication was produced for review by The United states Agency for International Development.
Mauro, Paolo. 1998. Corruption and The Composition of Government Expenditure. Jurnal of Public Economics 69:263-279.
Noegraha, S. Yoenanto dan Soelistiningsih, Lanam. 2007. Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi pertumbuhan Ekonomi Regional. Makalah, Paralel SessionIVA Urban & Regional , Universitas Indonesia, Depok.
Petrie, Murray. 2002. A framework for Public Sector Performance Contracting. OECD Jurnal on Budgetting: NO. Vol.3,p 117-153.
Scott, W. R. 2002. Financial accounting Theory, 2nd Edition . Canada: Prentice Hall Canada Inc.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Penerbit CV Alfabeta.
Tanzi, Vito & Hamid Davoodi. 1997. Corruption, Public Investment, and Growth. IMF Working paper.
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No.17/2003 tentang Keuangan Negara.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.24/2004 tentang Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakiln Rakyat Daerah.
28
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.37/2005 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakiln Rakyat Daerah.
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Republik Indonesia. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.37/2006 tentang perubahan ke dua atas Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakiln Rakyat Daerah.
Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.21/2007 tentang perubahanke tiga atas Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakiln Rakyat Daerah.
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No.59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules. Fiscal Institutions, and Fiscal Performance. The Economic and Social review 33(3):263-284.
Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika : Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta : Penerbit Ekonisia Kampus FE UII.
Winarno, Wing Wahyu. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Yogyakarta: Penerbit UPP STIM YKPN.